ISSN 2087-636X JURNAL DIALOG PENANGGULANGAN BENCANA
JURNAL DIALOG PENANGGULANGAN BENCANA
ISSN 2087-636X
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana
Vol. 5
No. 1
Hal. 1 - 64
Jakarta Juni 2014
ISSN 2087-636X
ISSN 2087-636X
JURNAL DIALOG PENANGGULANGAN BENCANA
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana
Vol. 5
No. 1
Hal. 1 - 64
Jakarta Juni 2014
ISSN 2087-636X
JURNAL DIALOG PENANGGULANGAN BENCANA
Terbit 2 Kali setahun, mulai Oktober 2010 ISSN: 2087-636X Volume 5, Nomor 1, Juni 2014 Pembina: Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Penasihat: Sekretaris Utama BNPB Pemimpin/Penanggung Jawab Redaksi: Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Ketua Dewan Penyunting: DR. Sutopo Purwo Nugroho, M.Si, APU Hidrologi dan Pengurangan Risiko Bencana Anggota Dewan Penyunting: DR. Sugimin Pranoto, M. Eng / Teknik Sipil dan Lingkungan Ir. Sugeng Tri Utomo, DESS / Pengurangan Risiko Bencana DR. Rudy Pramono / Sosiologi Bencana Ir. B. Wisnu Widjaja, M.Sc / Geologi dan Kesiapsiagaan Bencana DR. Ir. Agus Wibowo / Database & GIS Ir. Neulis Zuliasri, M.Si / Teknologi Informasi Mitra Bestari: Prof. DR. Zainuddin Maliki, MSi Prof. DR. Sudibyakto DR. Iwan Gunawan, MSc Pelaksana Redaksi: Teguh Harjito, Dian Oktiari, S.T, Linda Lestari, S.Kom, Ario Akbar Lomban, Suprapto, S.Si, Sri Dewanto Edi P, S.Si, Nurul Maulidhini, S.T, Ratih Nurmasari, S.Si, Theopilus Yanuarto, S.S, Andri Cipto Utomo, Ignatius Toto Satrio Alamat Redaksi: Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Jln. Ir. H. Juanda, Nomor 36 Jakarta 10120 Indonesia Telp. 021-3458400; Fax. 021-34558500, Email :
[email protected]
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya, sehingga penerbitan Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Volume 5 Nomor 1 pada bulan Juni 2014 ini dapat diselesaikan. Upaya penanggulangan bencana terus berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. Ilmu pengetahuan senantiasa memberikan pemahaman dan wawasan kepada masyarakat akan pentingnya kesadaran dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Melalui jurnal ilmiah ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia menuju bangsa yang tanggap, tangkas dan tangguh menghadapi bencana. Materi jurnal dalam edisi ini, menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan seluruh fase kebencanaan. Penerapan Knowledge Management System Berbasis Web Sebagai Sistem Pendukung Pengambilan Keputusan (DSS) dalam Pengurangan Risiko Bencana di Indonesia mengawali materi dalam jurnal ini. Materi berikutnya menyampaikan hal mengenai Kapasitas Masyarakat Sekitar Kampus ITB dalam Menghadapi Gempabumi yang kemudian diikuti materi Peran Media Komunikasi dalam Tanggap Bencana Banjir Lahar Dingin di Sungai Code Kota Yogyakarta. Masalah kesehatan mental korban bencana dibahas dalam Pelayanan Konseling Kesehatan Mental Pasca Bencana di Indonesia, sehingga diharapkan dapat menjadi salah satu solusi dalam pengambilan kebijakan secara bijak bagi masyarakat yang terimbas bencana. Pada jurnal edisi kali ini juga menyajikan Perilaku Proteksi Diri Relawan SAR Terhadap Injury Pada Tanggap Bencana. Dan terakhir membahas tentang Gejolak Sosial Paska Penganggulangan Bencana: Studi Bencana Gempa Bumi Bantul 2006. Pada kesempatan ini juga kami atas nama dewan redaksi jurnal dialog penanggulangan bencana mengundang para ahli penanggulangan bencana, akademisi maupun masyarakat untuk berpartisipasi mengisi makalah ilmiah pada penerbitan jurnal edisi selanjutnya. Bagi para tim redaksi jurnal dialog penanggulangan bencana serta pihak yang turut membantu dalam edisi kali ini, kami mengucapkan terima kasih. Tim Penyusun
Penerapan Knowledge ... (Narwawi Pramudhiarta, Adhistya Erna Permanasari, Ari Cahyono)
i
JURNAL DIALOG PENANGGULANGAN BENCANA Volume 5, No. 1, Juni 2014
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................................... Daftar Isi ..............................................................................................................................
i ii
Penerapan Knowledge Management System Berbasis Web Sebagai Sistem Pendukung Pengambilan Keputusan (DSS) dalam Pengurangan Risiko Bencana di Indonesia Narwawi Pramudhiarta, Adhistya Erna Permanasari, Ari Cahyono ...............................
1-10
Kapasitas Masyarakat Sekitar Kampus ITB dalam Menghadapi Gempabumi Anggraeny Kusuma Dewi A.P, Aminudin Hamzah, Bayu Pranata, dkk, ........................
11-24
Peran Media Komunikasi dalam Tanggap Bencana Banjir Lahar Dingin di Sungai Code Kota Yogyakarta Wuri Rahmawati ................................................................................................................ 25-40 Pelayanan Konseling Kesehatan Mental Pasca Bencana di Indonesia Ifdil ...................................................................................................................................... 41-46 Perilaku Proteksi Diri Relawan SAR Terhadap Injury Pada Tanggap Bencana Asmadi ............................................................................................................................... 47-56 Gejolak Sosial Paska Penanggulangan Bencana: Studi Bencana Gempa Bumi Bantul 2006 Wasisto Raharjo Jati ......................................................................................................... 57-64
ii
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 1-10
PENERAPAN KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM BERBASIS WEB SEBAGAI SISTEM PENDUKUNG PENGAMBILAN KEPUTUSAN (DSS) DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA DI INDONESIA Narwawi Pramudhiarta1, Adhistya Erna Permanasari2, Ari Cahyono3 1,3 Jurusan Teknik Elektro FT UGM Jln. Grafika 2 Yogyakarta 55281 Indonesia 2 Badan Nasional Penanggulangan Bencana Jl. Ir.H.Juanda No. 36 Jakarta Pusat, Indonesia Abstract The aims of this study is to implement a web based knowledge management system that able to manage, process, and analyse the disasters historical data in Indonesia into a useful knowledge to BNPB and other parties involved in the decisionmaking for disaster risk reduction and also to provide a web-based media to BNPB and people who need the information and documents related to disaster management. The development of the web based knowledge management system in this study is using historical disaster events in Indonesian that has occurred for a period of 15 years (1997-2012) consist of time, location, type of disaster, number of casualties, damage and loss disaster. In addition to these data the other materials used are the documents related to disaster management ever undertaken by BNPB through activities that existed or from the disaster emergency response. The results showed that the availability of data and information related to disaster management in BNPB can be used as input for the development of a knowledge management system in this study. One result of the utilization of knowledge management system that can be used in support of disaster risk reduction programs are disaster prone area indexes and disaster risk assessments are generated based on historical data of disasters, the vulnerability of the population, and data loss due to disasters in the past. The implementation of this knowledge management system will be more effective if supported by the regulations of BNPB on data standardization and operational procedure on how to use this system, further development of the resulting system is might possible especially in terms of detail data, development of the system for smaller areas such as provincial or district to assist the government in obtaining information for disaster risk level conditions in Indonesia. Keywords: Knowledge management, disaster risk reduction, disaster management. 1. PENDAHULUAN Indonesia terletak di wilayah rawan bencana dengan berbagai jenis bencana alam yang terjadi baik dalam skala ringan dan menengah yang memberikan dampak negatif pada kehidupan masyarakatnya. Hal tersebut menyebabkan Indonesia rentan terhadap bencana tidak hanya dari segi faktor fisik/alam tetapi juga faktor sosial ekonomi. Berdasarkan data indeks rawan bencana
yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana pada tahun 2010 dari sejumlah 386 Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia sejumlah 175 Kabupaten/ Kota masuk dalam kategori rawan bencana tinggi, 179 Kabupaten/Kota rawan bencana kategori sedang, dan 32 Kabupaten/Kota masuk dalam kategori rawan bencana rendah. Tingkat kerawanan itu menjadi aktual ketika berdasarkan International Strategy for Reduction 2006-2009 World Disaster Reduction
Penerapan Knowledge ... (Narwawi Pramudhiarta, Adhistya Erna Permanasari, Ari Cahyono)
1
Campaign UNESCO pada tahun 2005 bencana alam yang terjadi di Indonesia menempati urutan 7 dunia dalam hal tingkat kerusakan dan kerugian yang diakibatkan. 1.1. Latar Belakang Meskipun pengalaman dalam penanganan bencana telah dilakukan berulang kali tetap saja terjadi kesenjangan didalam koordinasi dan pembagian informasi. Selama ini, pengalaman dan pengetahuan praktisi bencana hanya tersimpan secara personal di masing-masing lembaga/institusi sehingga dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) perlu untuk menangkap, mengatur, dan berbagi pengetahuan ini dengan seluruh pengambil kebijakan yang terkait bencana di pemerintahan baik itu di tingkat nasional maupun di daerah. Kebutuhan akan adanya sebuah jaringan pengetahuan kebencanaan yang memungkinkan adanya dialog dan interaksi antara praktisi kebencanaan di Indonesia dimana manajemen pengetahuan digambarkan sebagai sebuah alat untuk menyimpan, menarik kembali, menyebarkan, dan mengatur informasi yang terkait dengan penanggulangan bencana. Bencana tidak dapat dicegah namun dapat dikurangi risikonya secara berarti jika masyarakat mengetahui informasi yang cukup akan cara-cara pengurangan risiko bencana dan didorong pada budaya pencegahan serta ketahanan terhadap bencana, yang pada akhirnya memerlukan pencarian, pengumpulan, dan penyebaran pengetahuan dan informasi yang terkait dengan ancaman bahaya, kerentanan, dan kapasitas. 1.2. Tujuan Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menerapkan sebuah knowledge management system yang mampu mengelola, mengolah, dan menganalisis data sejarah kejadian bencana yang ada di Indonesia menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi pemerintah dan pihak lain yang terkait dalam pengambilan keputusan 2
pengurangan risiko bencana di Indonesia. 2. Memberikan sebuah media berbasis web bagi pemerintah dan masyarakat yang membutuhkan informasi serta dokumendokumen terkait dengan penanganan bencana. 1.3. Manfaat Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Sistem yang diterapkan diharapkan mampu mengolah dan mengelola datadata kebencanaan yang merupakan kumpulan knowledge menjadi informasi yang dapat digunakan untuk mengetahui tentang kondisi ancaman, kerentanan, dan risiko bencana di tingkat kabupaten/kota di wilayah Indonesia 2. Memberikan dukungan bagi pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan penanganan bencana terutama dalam pengurangan risiko bencana di Indonesia 3. Sebagai media bagi masyarakat umum yang membutuhkan informasi tentang data sejarah kebencanaan di Indonesia. 2. METODOLOGI 2.1. Bahan Bahan yang digunakan untuk menyusun knowledge management system dalam penelitian ini adalah data sejarah kejadian bencana di Indonesia yang telah terjadi untuk kurun waktu 15 tahun yaitu tahun 1997 – 2012 data kejadian bencana tersebut berupa waktu kejadian, lokasi, jenis, jumlah korban, kerusakan dan kerugian akibat bencana. Selain data-data tersebut bahan lain yang digunakan adalah dokumen-dokumen terkait penanganan bencana yang pernah dilakukan oleh BNPB baik itu dilakukan melalui kegiatan yang pernah ada maupun dalam penanganan tanggap darurat dilapangan. Bahan-bahan penelitian tersebut diatas diperoleh dari data yang ada di Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN), dan Kedeputian (I, II, III, IV) di Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 1-10
2.2. Alat
pembangunan yang mendasarkan pada mitigasi bencana. Penelitian ini juga memfokuskan pada Alat penelitian yang digunakan dalam lembaga/organisasi penanggulangan bencana, penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua serta informasi yang berputar di dalam lembaga/ bagian yaitu perangkat keras dan perangkat organisasi tersebut, untuk mendapatkan lunak. Untuk perangkat keras yang digunakan desain dari knowledge management system pada saat pengembangan sistem yaitu berupa yang tepat untuk pengurangan risiko bencana seperangkat komputer dengan sistem operasi di Indonesia. windows 7, sedangkan untuk penerapan Data dan dokumen yang digunakan sistem di BNPB digunakan sebuah server sebagai masukan dalam penelitian ini diperoleh dengan sistem operasi windows server 2008. dari masing-masing Badan Penanggulangan Perangkat lunak yang digunakan untuk Bencana Daerah (BPBD) di tingkat provinsi pengembangan sistem menu Wiki digunakan maupun kabupaten. Data-data tersebut berupa content management system Drupal Wiki data kejadian bencana yang terjadi di wilayah dan untuk pengembangan data sejarah tersebut selama 15 tahun yaitu periode tahun kejadian bencana digunakan DesInventar 1997 - 2012. Sebagian besar data diperoleh (disaster inventory system) yang merupakan dalam bentuk cetak yang diterima oleh Pusat perangkat lunak open source berupa konsep Data dan Informasi dan Hubungan Masyarakat dan metodologi dalam membangun basis data (PUSDATIN dan HUMAS) BNPB. Data-data kerugian, kerusakan, dan dampak lainnya yang tersebut tidak secara otomatis langsung disebabkan oleh bencana. dimasukkan kedalam sistem akan tetapi terlebih dahulu dilalukan proses verifikasi oleh 2.3. Pengembangan Sistem BNPB kepada masing-masing Kabupaten/ Kota dan Provinsi. Dokumen lainnya juga Dalam penelitian ini penulis akan diperoleh dari masing-masing bidang menjabarkan kerangka penelitian dalam (Kedeputian) yang ada di BNPB, dokumen pembuatan knowledge management system tersebut dapat berupa laporan kegiatan, yang didasarkan pada proses pengambilan dokumentasi, ataupun buku-buku pedoman keputusan dalam pelaksanaan kebijakan yang terkait penanggulangan bencana. di suatu daerah maupun pelaksanaan Knowledge management system bencana yang dibangun ini akan diletakkan di bagian Pusat Pengendali Operasi (PUSDALOPS) BNPB yang berada dibawah Deputi Tanggap Darurat. Sistem ini memiliki hubungan dengan website BNPB sebagai pintu masuk utama. Masingmasing kedeputian yang ada di BNPB dapat langsung mengakses sistem ini melalui website secara online. Hasil dari sistem ini diharapkan mampu membantu semua kedeputian yang ada di BNPB dalam hal pengambilan keputusan terkait dengan penanganan bencana. Gambar 1. Kerangka pikir pengembangan sistem. Penerapan Knowledge ... (Narwawi Pramudhiarta, Adhistya Erna Permanasari, Ari Cahyono)
3
Gambar 1 menunjukkan bagaimana penempatan KMS di dalam PUSDALOPS yang ditempatkan bersama-sama dengan sistem informasi manajemen (SIM) bencana sehingga ada sinergi antara keduanya, dimana KMS yang dikembangkan dalam penelitian ini akan lebih banyak berguna untuk pengambilan keputusan pada tahap mitigasi dan pengurangan risiko sedangkan SIM bencana lebih banyak digunakan untuk tahap tanggap darurat dan rehabilitasi rekonstruksi. Selain itu terdapat bagian pengolahan data spasial dan non spasial yang dapat memanfaatkan sistem ini untuk analisis lebih lanjut, seperti analisis risiko bencana. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil knowledge management system yang diterapkan dalam penelitian ini meliputi dua hal, yaitu menu wiki dan menu data.
3.1. Menu Wiki Menu wiki merupakan sebuah aplikasi website yang memungkinkan pengguna menambahkan isi, memodifikasi, ataupun berkolaborasi dengan pengguna lain, yang tentunya dalam hal ini merupakan pengguna yang telah ditentukan oleh BNPB. Gambar 2 menunjukkan tampilan menu wiki yang digunakan dalam implementasi sistem ini. Wiki yang digunakan dalam sistem ini menggunakan content management system dari drupal, yang disebut dengan drupal wiki. Dalam menu ini disajikan berita tentang penanganan bencana yang sudah dan sedang dan terjadi, selain itu terdapat pula beberapa definisi kebencanaan yang terkait. Dengan menggunakan menu ini pengguna dapat mengakses berita yang diinginkan dan dapat melihat hubungan dengan terminologi terkait yang ada didalam berita serta dapat juga terhubung dengan dokumen-dokumen dari berita yang disajikan.
Gambar 2. Menu wiki disaster knowledge management system. 4
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 1-10
Gambar 2. Isi berita dalam menu wiki. Gambar 3. menunjukkan salah satu isi berita dalam menu wiki, dicontohkan adalah berita mengenai penanganan bencana gempabumi Aceh Tengah tahun 2013, dalam berita dapat terlihat hubungan terminologi gempabumi ditandai dengan link berwarna biru, sehingga ketika pengguna mengklik link tersebut maka akan muncul mengenai pengertian gempabumi tersebut, seperti ditunjukkan pada gambar 4. Selain menghubungkan dengan halaman lain, menu
ini juga dapat memungkinkan pengguna untuk mengunduh dokumen dokumen terkait dengan berita, seperti pada contoh diatas dengan menggunakan menu ini pengguna juga dapat mengunduh dokumen penanganan tanggap darurat gempabumi Aceh Tengah 2013. Penggunaan menu wiki ini memungkinkan pengguna dapat mengakses informasi tentang penanganan bencana baik yang sudah terjadi maupun yang masih dalam penanganan.
Gambar 4. Tautan dalam isi artikel menu wiki. Penerapan Knowledge ... (Narwawi Pramudhiarta, Adhistya Erna Permanasari, Ari Cahyono)
5
Dengan menu ini pengguna dapat memperoleh informasi-informasi terkait dari suatu penanganan bencana seperti dokumendokumen ataupun definisi yang berhubungan dengan jenis kejadian bencana tertentu. Pada bagian sebelah kanan menu wiki terdapat tautan untuk mempermudah mengakses dokumen ataupun artikel terkait penanggulangan bencana, tautan yang ada dibedakan berdasarkan tahapan dalam penanggulangan bencana yaitu, pra bencana, tanggap darurat, dan paska bencana, seperti ditunjukkan pada gambar 2. 3.2. Menu Data dan Informasi Bencana Didalam menu ini terdapat beberapa fungsi untuk pencarian data dan informasi kejadian bencana yang telah terjadi, meliputi jumlah kejadian bencana, jumlah korban jiwa, dan jumlah kerusakan dan kerugian material akibat kejadian bencana selama periode 15 tahun yaitu tahun 1997 – 2012. Beberapa fungsi yang terdapat dalam menu ini meliputi dashboard, permintaan (query data), tampilan data, pemetaan, statistik, pembuatan grafik, cross tab, dan pembuatan laporan.
Gambar 5. Tampilan dashboard data dan informasi bencana Indonesia. Gambar 5 menunjukkan tampilan dashboard system dengan tampilan diagram 6
dan grafik memberikan gambaran cepat kepada pengguna untuk mengetahui kondisi kebencanaan yang ada di Indonesia. Pada fungsi ini pengguna mendapatkan informasi tentang jumlah kejadian bencana, korban jiwa, dan kerusakan yang disebabkan oleh bencana pada periode tahun tertentu. 3.3. Implementasi Knowledge Management System Sistem yang dikembangkan ini diharapkan nantinya secara formal digunakan oleh pemerintah Indonesia sebagai pengelola pengetahuan tentang sejarah bencana lintas sektor di semua kabupaten dan provinsi di Indonesia. Diharapkan dalam jangka menengah sistem ini dapat mengisi alat pengelola pengetahuan sehingga dapat mencakup semua provinsi dan dapat dimanfaatkan oleh semua pihak yang terkait. Pada tingkat nasional dan daerah diharapkan sistem ini mampu meningkatkan kapasitas perencanaan pengelolaan bencana di setiap tahapan siklus pengelolaan bencana seperti mendukung pelaporan, pemantauan bencana, dan menyediakan informasi mengenai bencana untuk pemerintah dan aksi kemanusiaan di Indonesia. Beberapa informasi yang dihasilkan dari sistem ini diharapkan mampu digunakan oleh pemerintah dalam mendukung pengambilan kebijakan yang terkait dengan pengurangan risiko bencana. Beberapa data tersebut antara lain jumlah kejadian, jumlah korban, bahkan tingkat kerugian yang diakibatkan dari sebuah bencana sangat memungkinkan untuk dihasilkan dari sistem ini. Informasi yang dimunculkan dari sistem ini tidak hanya berupa angka-angka, tetapi juga disajikan dalam bentuk diagram baik itu batang, garis ataupun kue (pie). Untuk memudahkan dan mempercepat dalam pembacaan informasi dalam sistem ini juga digunakan analisis spasial yaitu memunculkan semua data-data kebencanaan yang ada dalam bentuk peta tematik. Peta tematik ditunjukkan dalam gradasi warna yang menunjukkan tingkatan kuantitas dari sebuah data. Sebagai
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 1-10
contoh adalah jumlah kejadian bencana, jumlah korban meninggal, dan sebagainya.
Gambar 6. Grafik Jumlah Kejadian Bencana di Indonesia Tahun 1999 – 2010.
melakukan analisis secara keruangan dengan melihat wilayah-wilayah mana saja yang perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah terkait dengan kondisi kebencanaan di Indonesia. Pada gambar 7. menunjukkan peta sebaran jumlah kejadian bencana di Indonesia untuk tingkat kabupaten. Selain untuk seluruh wilayah Indonesia, sistem ini juga memungkinkan pemetaan sampai dengan tingkat wilayah provinsi, pemilihan parameter data kebencanaan dapat dilakukan dengan lebih satu parameter.
Gambar 7. Peta Jumlah Kejadian Bencana di Indonesia Tahun 1999 – 2010. Gambar 6. grafik jumlah kejadian bencana di Indonesia tahun 1999 – 2009. Dari grafik tersebut terlihat dengan jelas bahwa jenis bencana yang sangat dominan di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir adalah bencana banjir, kekeringan, dan angin puting beliung. Penggunaan peta tematik dalam sistem ini dimaksudkan untuk memudahkan user melihat sebaran dan lokasi dari kejadian bencana, selain itu juga mempercepat dalam
3.4. Knowledge Management System sebagai DSS dalam Pengurangan Risiko Bencana. Beberapa hasil dari sistem ini telah digunakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagai dasar dalam penyusunan indeks rawan dan risiko bencana, dimana berdasarkan nilai indeks tersebut pemerintah mengambil keputusan dan kebijakan dalam rangka penanganan bencana
Penerapan Knowledge ... (Narwawi Pramudhiarta, Adhistya Erna Permanasari, Ari Cahyono)
7
di Indonesia. Hasil dari analisis rawan dan risiko bencana digunakan sebagai dasar untuk kebijakan, pendanaan program pengurangan risiko bencana dan keputusan perencanaan pembangunan, selain itu hasil dari analisis risiko juga digunakan untuk mengidentifikasi daerah rawan bencana di seluruh Indonesia dengan menghasilkan sebuah analisis risiko yang disebut dengan indeks rawan bencana Indonesia yang mencakup sembilan jenis bencana di semua provinsi dan kabupaten. Gambar 8. merupakan peta indeks rawan bencana di Indonesia, peta ini menunjukkan tingkat kerawanan suatu daerah terhadap bencana. Pemetaan disini dilakukan sampai dengan level kabupaten. Tingkat kerawanan bencana dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu rendah, sedang dan tinggi. Indeks rawan bencana tersebut disusun berdasarkan datadata yang diperoleh dari hasil knowledge management system yang meliputi data jumlah kejadian bencana, data korban meninggal, data kerusakan infrastruktur, serta data-data demografi pendukung seperti jumlah dan kepadatan penduduk.
Hasil dari indeks rawan bencana tersebut digunakan menjadi dasar keputusan mengenai kabupaten-kabupaten mana yang harus mempunyai BPBD. Di luar sensitifitas politik dan birokrasi, jenis informasi ini juga digunakan oleh Departemen Keuangan dan BAPPENAS untuk menetapkan garis anggaran pada Dana Anggaran Umum untuk pengucuran dana kepada kabupaten-kabupaten yang membentuk BPBD. Hasil indeks rawan bencana yang dihasilkan tersebut selanjutnya dilakukan sebuah kajian yang disebut dengan kajian risiko bencana. Kajian risiko bencana dilakukan untuk mengetahui bagaimana risiko suatu wilayah terhadap ancaman bencana yang ada, dengan melihat kondisi dan kapasitas penduduk dalam menghadapi ancaman bencana. Ancaman atau bahaya alam sendiri adalah gejala lingkungan yang potensial merusak dan menganggu pembangunan, sementara itu, kondisi lingkungan merupakan suatu faktor kunci yang menentukan kerentanan terhadap bahaya alam. Kerentanan sosial dan ekonomi yang digunakan dalam penghitungan indeks
Gambar 8. Peta Indeks Rawan Bencana di Indonesia Tahun 2010. 8
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 1-10
kerentanan pada setiap jenis hazard relatif sama dengan indikator utama diantaranya, pendapatan asli daerah, laju pertumbuhan ekonomi, dan densitas populasi. Kerentanan sosial ekonomi penduduk terhadap bencana meliputi aspek ekonomi (laju pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah, PDRB), dan aspek sosial (kependudukan seperti densitas dan jumlah penduduk, pendidikan, kesehatan, kemiskinan, tenaga kerja). Peta kerentanan sosial ekonomi wilayah Indonesia menunjukkan bahwa komponen densitas penduduk dan laju pertumbuhan ekonomi menjadi indikator penentu kerentanan wilayah. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang diperoleh dari penelitian ini, maka penulis dapat menyampaikan beberapa kesimpulan dari penelitian ini yaitu: 1. Ketersediaan data dan informasi terkait penanganan bencana yang ada di
BNPB merupakan knowledge yang dapat digunakan sebagai masukan bagi pengembangan knowledge management system dalam penelitian ini. 2. Kondisi infrastruktur teknologi informasi yang ada di BNPB berupa ketersediaan jaringan internet, adanya website, sistem informasi kebencanaan, ketersediaan data dan dokumen kebencanaan sangat mendukung untuk diterapkannya knowledge management system yang dihasilkan dalam penelitian ini 3. Salah satu hasil pemanfaatan knowledge management system yang dapat digunakan dalam mendukung program pengurangan risiko bencana adalah indeks rawan dan kajian risiko bencana yang dihasilkan berdasarkan data sejarah kejadian bencana, kerentanan penduduk, dan data kerugian akibat bencana dimasa lampau. 4. Hasil yang diperoleh dari knowledge management system ini sangat tergantung kepada kualitas data dan informasi yang diperoleh dari BNPB, selain itu juga ditentukan oleh sumberdaya manusia
Gambar 9. Peta Indeks kerentanan sosial ekonomi di Indonesia Tahun 2010. Penerapan Knowledge ... (Narwawi Pramudhiarta, Adhistya Erna Permanasari, Ari Cahyono)
9
yang ada di BNPB dalam hal kemauan untuk memperbaharui data dan informasi yang ada di dalam sistem ini.
5.2 Saran 1. Penerapan knowledge management system di BNPB lebih efektif dan optimal jika didukung oleh adanya peraturanperaturan dari BNPB tentang standarisasi data dan operasional penggunaan knowledge management system. 2. Pengembangan lebih lanjut dari sistem yang dihasilkan ini masih sangat memungkinkan terutama dalam hal kedetilan data. Pengembangan sistem untuk wilayah yang lebih kecil seperti tingkat provinsi ataupun kabupaten sangat membantu pemerintah dalam hal memperoleh informasi kondisi tingkat risiko bencana di Indonesia. 3. Perlu adanya sebuah forum dalam hal pengumpulan dan pengelolaan data-data kebencanaan sehingga data-data yang diperoleh merupakan data yang berkualitas yang dapat digunakan sebagai masukan kedalam sistem. 4. Perlu adanya standarisasi data dan metode yang digunakan dalam melakukan kajian risiko bencana, sehingga kajian-kajian risiko yang dilakukan oleh berbagai pihak saat ini mampu memenuhi metode standar minimum yang telah ditetapkan BNPB. DAFTAR PUSTAKA Probst, G., Buchel, B. and Raub, S. Knowledge as A Strategic Resource. In Knowing in Firms, von Krogh G, Roos J, Kleine D (eds). Sage: London; 240-252. 1998. Chua, A. Relationship Between TheTypes Of Knowledge Shared And Types Of Communication Channels Used, Journal of Knowledge Management Practice, 2001. Cummings, J, Knowledge Sharing: A review of the literature. World Bank OED.2003. Srinivasan, Knowledge Architectures for Cultural Narratives, Journal of Knowledge Management. 2004. Hariharan, A. 360 Degree Knowledge Management. Journal of Knowledge 10
Management Practice. 2005. Bhirud, S., Rodrigues, L., & Desai P. (2005), Knowledge Sharing Practices in KM: A Case Study in Indian Software Subsidiary, Journal of Knowledge Management Practice, Retrieved January 06, 2006. Morgan J. Lori. Knowledge Continuity Management In Healthcare. Journal of Knowledge Management Practice. 2005. Davenport, Thomas, H., and Laurence Prusak. Working Knowledge: How Organizations Manage What They Know. Havard Business School Press, Boston. 1998. Nonaka, I. The Knowledge Creating Company, arvard Business Review, November December 1991, 2-9. Boston: Harvard Business School Press. 1991. Nonaka, Ikujiro and Takeuchi H. The Knowledge Creating Company: How Japanesse Companies Create the Dynamics In Innovation. Oxford University Press. 1995. Quinn, James, B., Philip Anderson and Sydney Finkelstein. Managing Professional Intellect: Making the Most of the Best. Harvard Business Review. Harvard Business School Publishing. 1996. Tiwana, Amrit. The Knowledge Management Toolkit. New Jersey: Prentice Hall PTR. 1999. McInerney, Claire. Knowledge Management and the dynamic nature of knowledge. Journal of the American Society for Information Science and Technology. Vol. 53, Issue 12 (Oktober 2002) Hal: 1009 – 1018. 2002. Dhar, Vasant, and Roger Stein, Seven Methods for Transforming Corporate Data into Business Intelligence, Prentice Hall, Upper Saddle River, NJ 1997. Keen, P. G. W. Decision support systems: an organizational perspective. Reading, Mass., Addison-Wesley Pub. Co. ISBN 0-201-03667-3. 1978. Power, D. J. Decision support systems: concepts and resources for managers. Westport, Conn., Quorum Books. 2002. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2010-2012. 2010.
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 1-10
KAPASITAS MASYARAKAT SEKITAR KAMPUS ITB DALAM MENGHADAPI GEMPABUMI Anggraeny Kusuma Dewi A.P1, Aminudin Hamzah1,3, Bayu Pranata1,4, Mona Foralisa1, Ignatius Ryan Pranantyo1,5, A. M. Pramatadie1, Budi Prajanto1,6, Irwan Meilano2 1) Graduate Research on Earthquake and Active Tectonics (GREAT), Institut Teknologi Bandung 2) Kelompok Keahlian Geodesi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, InstitutTeknologi Bandung 3) Analis Bencana Mitigasi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana 4) Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) 5) Australia-Indonesia Facility for Disaster Reduction, AIFDR 6) Badan Informasi Geospasial (BIG) Abstract Lembang fault moves by slip rate of 2-4 millimeters per year (Meilano, 2011). Within the last year, Bandung had at least twice the incidence of earthquakes, ie 22 July 2011 earthquake which felt by people living in Bojongkoneng, Ujungberung and Sand Impun, and 28 August 2011 earthquake in Cisarua damaging 103 homes. The number of people who do not understand the characteristics of the danger around him makes possible losses and negative impact becomes very large. It is necessary for the study of the capacity or the ability of communities to mitigate the impact of the earthquake risk in Bandung. This study was conducted to measure the index of the capacity of the general public and government agencies located around the Institut Teknologi Bandung with radius 1 km. Government agencies such LIPI, Polsek Coblong, BATAN Bandung, BAPPEDA, Depkominfo, and institutions or other places that are not owned by the government such clinical Bumi Medika Ganesha, Wisma Dago, Borromeus Hospital, and several factory outlets in Jl. Ir. H. Juanda. Data from 50 respondents were analyzed with descriptive statistics, it is concluded: information index = 0.6450, knowledge index = 0.7133, perception index = 0.52, response index = 0.64, membership index = 0.05, preparation index = 0.4, and training index = 0.54. Using wAI = 0.6 and wPI = 0.4, obtained values CI = 0.509857. From these values it can be concluded that the capacity of the community around the campus ITB categorized as medium capacity index. Keywords: Community capacity, earthquake hazard. 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam dapat terjadi secara tibatiba maupun melalui proses yang berlangsung secara perlahan. Beberapa jenis bencana, seperti gempa bumi, hampir tidak mungkin secara akurat diperkirakan kapan, dimana, dan seberapa besar kekuatan ketika terjadi. Sedangkan beberapa bencana lain, seperti
banjir, tanah longsor, letusan gunung berapi, tsunami dan anomali cuaca masih dapat diramalkan sebelumnya. Meskipun demikian, kejadian bencana selalu memberikan dampak kejutan dan menimbulkan banyak kerugian baik jiwa maupun materi. Kejutan tersebut terjadi akibat kurangnya kewaspadaan dan kesiapan dalam menghadapi bahaya. Dalam kurun waktu satu tahun terakhir, setidaknya Bandung mengalami dua kali kejadian gempa bumi. Gempa pertama
Kapasitas Masyarakat ... (Anggraeny Kusuma Dewi A.P, Aminudin Hamzah, Bayu Pranata, dkk,)
11
dirasakan masyarakat yang bermukim di Bojongkoneng, Ujungberung, dan Pasir Impun, terjadi pada 22 Juli 2011 pukul 05.46 WIB. Berdasarkan penyelidikan lapangan, gempa bumi lebih terasa di Kecamatan Cilengkrang, sebelah utara Ujung Berung. Kejadian gempa bumi tersebut tidak tercantum di Situs Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). BMKG hanya mempublikasikan gempa bumi dengan magnitudo di atas 5 skala Richter. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bandung (Silitonga, 1973) di wilayah Bandung dan sekitarnya terdapat struktur geologi berupa sesar dan gawir sesar di dekat Lembang dan Ciater dengan arah sesar barat – timur. Di daerah Pangalengan sampai dengan Garut terdapat banyak sesar yang berarah timurlaut barat daya dan barat laut – tenggara (Sulaiman dan Hidayati, 2011). Gempa kedua terjadi pada tanggal 28 Agustus 2011, terjadi di Cisarua (tepat di jalur Sesar Lembang) dan merusak 103 rumah. Dengan terbentangnya robekan pada kerak bumi yang memanjang sedikitnya 22 km dari Cisarua di barat, melewati kota padat Lembang, hingga lereng G. Palasari di timur, para ahli geologi mengkhawatirkan gempa bumi berkekuatan besar dapat mengguncang Bandung, dipicu aktivitas tektonik dan robekan itu (Brahmantyo, 2011). Sejarah mencatat gempa dahsyat pernah menggoyang Bumi Parahyangan akibat aktivitas sesar Lembang. Masyarakat diminta selalu siaga dan waspada karena ilmuwan belum mengetahui kapan gempa itu akan berulang. Kekhawatiran terpicunya gempabumi besar karena keberadaan Sesar Lembang sudah mulai diperhitungkan. Selain sebagai media rambat gelombang gempabumi dari sesar-sesar aktif lainnya di Jawa Barat, Sesar Lembang dapat juga menjadi sumber gempabumi itu sendiri. Sesar Lembang bergerak dengan kecepatan 2-4 milimeter per tahun (Meilano, 2011). Dari penelitian Yulianto dan Meilano et al (Kompas 2011) sesar adalah kenampakan morfologis yang khas akibat proses tektonik. Suatu sesar dikatakan aktif bila mengalami 12
deformasi dalam 10.000 tahun terakhir. Berdasarkan penelitian, pada 2.000 tahun yang lalu pernah terjadi gempa di sekitar Sesar Lembang dengan magnitud 6,8. Pada 500 tahun yang lalu, juga pernah terjadi gempa bermagnitud 6,6. Hasil penelitian ini mengkonfirmasi hasil penelitian sebelumnya dan perkiraan-perkiraan sebelumnya bahwa ancaman kerusakan di Lembang juga tinggi. Kawasan Cekungan Bandung terbentuk dari pengendapan danau purba. Tanahnya berusia muda dan lunak sehingga rawan bagi bangunan yang berada di atasnya. Hal itu terbukti dari gempa Cisarua (ujung barat Sesar Lembang) yang terjadi pada 28 Agustus lalu. Ada 103 rumah yang retak-retak hanya dengan gempa berkekuatan 3,3 skala Richter selama 3 detik. Hasil tinjauan pada lokasi gempa, ditemukan banyak rumah dibangun dengan dinding batako. Hasil tinjauan lapangan yang dilakukan Brahmantyo (2011), rumah-rumah dibangun tanpa tiang-tiang besi beton dengan kualitas adukan atau semen yang rendah. Penyebab dari besarnya kerusakan dan kerugian tersebut adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang bahaya gempa yang ada di sekitarnya. Hal ini ditunjukkan dari hasil tinjauan Yulianto (Kompas, Oktober 2011) bahwa masyarakat yang berada di sekitar Lembang tidak mengetahui tentang keberadaan Sesar Lembang. Selain banyak pemukiman, banyak juga sekolah yang berada di lokasi sesar Lembang. Pihak sekolah juga belum mengetahui bahwa sekolah terletak di lokasi sesar. Hal ini tentu saja sangat membahayakan sehingga membuat risiko terjadinya kerusakan dan kerugian bahkan terancamnya jiwa masyarakat menjadi sangat tinggi. Sistem mitigasi bencana perlu diterapkan pada daerah yang rawan bencana. Mitigasi bencana perlu dilakukan untuk meminimalkan risiko atau mengurangi dampak akibat bencana. 1.2. Rumusan Permasalahan Banyaknya masyarakat yang tidak memahami karakteristik ancaman bahaya yang ada di sekitarnya membuat kemungkinan
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 11-24
Gambar 1. Peta Persebaran Survei / Kuesioner di Sekitar Kampus ITB, Bandung (Google Maps Mei 2012). kerugian dan dampak negatif menjadi sangat besar. Untuk itu perlu dilakukan kajian tentang kapasitas atau kemampuan masyarakat dalam mengurangi dampak risiko akibat bencana gempa di Bandung. 1.3. Tujuan Melakukan kajian untuk mengetahui kapasitas masyarakat dan instansi Pemerintah yang berada di sekitar kampus ITB untuk mengurangi dampak akibat bencana gempa. 1.4. Ruang Lingkup Kajian ini dilakukan untuk mengukur indeks kapasitas pada masyarakat umum dan instansiinstansi Pemerintahan yang berada di sekitar Institut Teknologi Bandung yaitu yang berada di sekitar Jl. Taman Sari, Jl. Sangkuriang, Jl. Gelap Nyawang, Jl. Ir. H. Juanda, Plesiran, dan Cisitu. Radius lokasi-lokasi tersebut dari kampus ITB adalah 1 km. Instansi pemerintah tempat survey kuesioner dilakukan antara lain, LIPI dan Polsek Coblong yang ada di Jl. Sangkuriang,
BATAN Bandung, BAPPEDA, dan Depkominfo serta instansi atau tempat lain yang bukan milik pemerintah antara lain klinik Bumi Medika Ganesa, Wisma Dago, RS Borromeus, dan beberapa factory outlet yang ada di Jl. Ir. H. Juanda (lihat Gambar 1). 1.5. Bahaya Gempa di Indonesia Indonesia menempati zona tektonik yang sangat aktif karena tiga lempeng besar dunia dan sembilan lempeng kecil lainnya saling bertemu di wilayah Indonesia (Gambar 3.) dan membentuk jalur-jalur pertemuan lempeng yang kompleks (Bird, 2003). Keberadaan interaksi antar lempenglempeng ini menempatkan wilayah Indonesia sebagai wilayah yang sangat rawan terhadap gempa bumi (Milson et al, 1992). Tingginya aktivitas kegempaan ini terlihat dari hasil pencatatan dalam rentang waktu 18972009 terdapat lebih dari 14.000 kejadian gempa dengan magnituda M > 5.0. Kejadian gempa-gempa utama (main shocks) dalam rentang waktu tersebut dapat dilihat dalam Gambar 2.
Kapasitas Masyarakat ... (Anggraeny Kusuma Dewi A.P, Aminudin Hamzah, Bayu Pranata, dkk,)
13
Gambar 2. Data episenter gempabumi di Indonesia untuk magnitude ≥ 5,0 (1900-2009) dari Isryam et al (2010). Dalam enam tahun terakhir telah tercatat berbagai aktifitas gempa besar di Indonesia, yaitu Gempa Aceh disertai tsunami tahun 2004 (Mw = 9,2), Gempa Nias tahun 2005 (Mw = 8,7), Gempa Yogya tahun 2006 (Mw = 6,3), Gempa Tasik tahun 2009 (Mw = 7,4), Gempa Padang tahun 2009 (Mw = 7,6) dan terakhir gempa ganda di bagian barat Pulau Simeuleu pada tahun 2012 (Mw = 8,5 dan 8,1). Gempa-gempa tersebut telah menyebabkan ribuan korban jiwa meninggal, keruntuhan dan kerusakan ribuan infrastruktur dan bangunan, serta menghabiskan dana trilyunan rupiah untuk rehabilitasi dan rekonstruksi (Irsyam et al, 2010).
Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat (Arnold, 1986). Tingginya kemungkinan terjadi dan dampak yang diakibatkan oleh gempa perlu diminimalisir untuk menghindari kerusakan dan kerugian yang dialami oleh masyarakat luas. Menurut Bakornas Penanggulangan Bencana (2006), paling tidak ada empat faktor utama bagaimana bencana dapat menimbulkan banyak korban dan kerugian yang besar yaitu : • Kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bahaya (hazards)
Gambar 3. Peta Tektonik Kepulauan Indonesia sekitarnya (Bock et al., 2003). 14
dan
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 11-24
• Sikap atau perilaku yang mengakibatkan penurunan kualitas sumber daya alam (vulnerability) • Kurangnya informasi serta peringatan dini (early warning) yang menyebabkan ketidaksiapan • Ketidakberdayaan / ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya. 1.6. Potensi Bahaya Gempa di Bandung Potensi bahaya gempa Bandung terutama dipengaruhi oleh Sesar Lembang. Sesar Lembang terletak sekitar 10 km di utara Kota Bandung dan memanjang dengan arah barattimur. Menurut data dari Pusat Lingkungan Geologi (PLG) dalam Pikiran Rakyat (2004), sesar Lembang akan mengalami siklus gempa sekira 500 tahun sekali, sedangkan menurut data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) dalam Kompas (2005), sesar Lembang dengan panjang 22 kilometer bergeser sekitar 0.2 sampai 2.5 mm per tahun. Perlu dicatat di sini bahwa menurut Tjia (1968), Sesar Lembang adalah sesar mengiri (sinistral) yang juga memiliki komponen sesar menurun (normal), dengan rasio rata-rata antara strike slip dan dip slip sekitar 2 banding 1. Secara geologis, Sesar Lembang adalah satu landmark yang paling menarik di dataran tinggi Bandung yang terletak di lereng sebelah Selatan dari gunung Tangkuban Perahu dan menurut Nossin et al., (1992) dan Brahmantyo (2005), Sesar Lembang merupakan ekspresi geomorfologi yang jelas dari neotektonik di cekungan Bandung. Sesar Lembang secara morfologi diekspresikan berupa gawir sesar (fault scarp) dengan dinding gawir menghadap ke arah utara. Sesar Lembang yang dapat dilihat pada foto udara maupun citra satelit, mempunyai panjang sekitar 22 km, dan memanjang dengan arah barat-timur. Berdasarkan umur dan tinggi gawir nya, Sesar Lembang dapat dibagi atas Segmen Timur dan Segmen Barat (Nossin et al., 1992). Batas antara kedua segmen ini terletak di jalan Bandung-Lembang yang memotong sesar kurang lebih 1 km sebelum memasuki kota Lembang. Dari titik perpotongan ini sampai
Kecamatan Lembang terdapat suatu dataran. Di bagian Barat, dataran sempit ini dibatasi oleh S. Cihideung yang mempunyai lembah terjal dan dalam, mengalir dari utara ke selatan memotong gawir sesar. Di bagian timur dari dataran sempit ini, gawir sesar dicirikan oleh tebing-terbing terjal mulai dari sekitar 75 m di Kawasan Lembang sampai 450 m di G. Pulasari di ujung timurnya. Secara umum dari timur ke barat, tinggi gawir sesar yang mencerminkan besarnya pergeseran vertikal sesar berubah dari sekitar 450 m di ujung timur (Maribaya, G. Pulusari) hingga sekitar 40 m di sebelah barat (Cisarua) dan bahkan menghilang di ujung barat sekitar utara Padalarang (Brahmantyo, 2005). Menurut Nossin et al. (1996), pembentukan Sesar Lembang bagian timur terjadi sekitar 100.000 tahun yang lalu, dan bagian baratnya terbentuk sekitar 27.000 tahun lalu. Signifikansi geomorfologis dari sesar Lembang adalah sesar ini mengontrol sistem drainase dan produkproduk vulkanik ke dataran di sekitarnya. 1.7. Sistem Mitigasi Bencana Sebagai akibat dari gerak lempeng bumi, beberapa kejadian gempa dahsyat belakangan ini telah mengakibatkan ribuan korban jiwa, dan telah mengakibatkan kerusakan berbagai prasarana dan sarana fisik yang tentu saja menganggu kehidupan masyarakat luas. Sebagai langkah pengurangan risiko bencana gempa terhadap korban jiwa dan perlindungan investasi terhadap bangunan, infrastruktur dan fasilitas penunjang vital kehidupan maka suatu kota perlu memiliki pedoman kriteria desain beban gempa/seismik, peraturan, pedoman serta parameter-parameter teknis desain yang memadai dan handal. Kriteria desain dan parameter-parameter desain seismik ini harus didasarkan pada kajian hazard gempa, analisis perambatan gelombang atau klasifikasi site, serta pengembangan peta mikrozonasi seismik yang seksama dan memadai dengan mempertimbangkan karakteristik sumber-sumber gempa dan kondisi geologi serta kondisi geoteknik yang dapat memberikan pengaruh pada suatu kota atau wilayah (Widiyantoro, et al, 2009).
Kapasitas Masyarakat ... (Anggraeny Kusuma Dewi A.P, Aminudin Hamzah, Bayu Pranata, dkk,)
15
Masyarakat diharapkan dapat memahami bahaya gempa yang berada di sekitarnya untuk mendukung pengurangan risiko terhadap bahaya bencana gempa. Hal ini berkaitan dengan konsep bencana yang ada pada UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 24 Tahun 2007, serta konsep bencana yang diberikan oleh Awotona (1997) yaitu bahwa model “crunch” yang digunakan secara luas dalam disaster management menyatakan bahwa risiko atau bencana (disaster) adalah produk dari vulnerability bertemu dengan hazard (Gambar 4).
Gambar 4. Faktor-faktor Dalam Konsep Bencana (Sanderson, 1997). Bahaya atau hazard adalah kejadian (alam atau perbuatan manusia) yang dapat mengakibatkan suatu bencana. Dengan kata lain, hazard merupakan suatu kejadian yang mempunyai potensi untuk menyebabkan terjadinya kecelakaan, cedera, hilangnya nyawa atau kehilangan harta benda. Hazard mungkin terjadi dan belum tentu menimbulkan bencana (disaster). Pada natural hazard, yang biasanya bersifat ‘given’ sehingga apa yang bisa dilakukan adalah meresponnya saja, sedangkan pada technological hazard dan man-made hazard, bahaya dapat dihindarkan keberadaannya dan/atau diminimasi tingkat bahayanya. Kerentanan (vulnerability) merupakan kondisi yang akan menentukan apakah bahaya (hazard) akan menimbulkan bencana (disaster). Bencana akan terjadi pada kelompok orang/ fisik yang rentan terhadap bahaya. Kerentanan terjadi dihasilkan oleh sistem manusia. Kerentanan dapat dalam bentuk sosial, ekonomi, budaya, organisasi atau politis, dan kondisi bangunan-bangunan. Faktor lain adalah kapasitas yaitu aspekaspek positif dari situasi yang ada yang apabila dimobilisasi dapat mengurangi risiko dengan mengurangi vulnerability. 16
Mitigasi terhadap bencana menjadi penting pada beberapa dekade terakhir. Pada periode terdahulu, fokus dari mitigasi adalah bagaimana respons atau tindakan/tanggapan setelah terjadi kejadian bencana. Berikut adalah siklus mitigasi.
Gambar 5. Siklus Mitigasi (Alexander 2002). Manfaat dari mitigasi adalah mengurangi vulnerability, meningkatkan resilience, sehingga mempercepat pemulihan akibat bencana, dan berkontribusi untuk keberlanjutan kehidupan masyarakat yang terkena bencana. Daerah dengan kerentanan dan bahaya yang tinggi serta kapasitas yang rendah akan memiliki risiko yang tinggi terhadap bencana. Daerah dengan kerentanan dan bahaya yang rendah serta kapasitas yang tinggi akan memiliki tingkat risiko yang rendah. Sedangkan daerah dengan kerentanan atau bahaya (salah satu) yang tinggi umumnya diperkirakan akan memiliki tingkat risiko yang menengah walaupun perlu dikaji lebih lanjut. Bila masyarakat tidak memiliki persepsi bahwa mereka terancam bahaya, mereka berpikir tidak perlu menyiapkan diri/prepare. Persepsi masyarakat dapat memengaruhi attitude/respon masyarakat tersebut selama gempa dan dalam jangka waktu yang panjang memengaruhi level preparedness (Jimee et. al., 2008). Persepsi dibangun dan dapat ditingkatkan oleh informasi dan pengetahuan, serta respon masyarakat setelah mengetahui bahaya gempa.
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 11-24
1.8. Jenis Mitigasi Mitigasi Bencana, mencakup intervensi yang dilakukan sebelum bencana terjadi untuk mencegah atau mengurangi potensi bahaya fisik dan gangguan sosial yang mungkin terjadi. Setiap bahaya yang mengancam akan memberikan efek yang unik dan berbeda pada manusia dan lingkungannya. Hal ini mengakibatkan pemilihan mitigasi tidak akan sama pada bencana yang sama tetapi terjadi di tempat yang berbeda (Coppola, 2011). Ada dua jenis utama mitigasi bencana yaitu mitigasi struktural dan mitigasi nonstruktural. a. Mitigasi struktural Melibatkan merancang, membangun, menjaga, dan merenovasi struktur fisik dan infrastruktur atau perubahan secara mekanis atau perbaikan yang bertujuan untuk melawan tekanan fisik dari dampak bencana. Mitigasi struktural ini relatif mahal termasuk juga melibatkan regulasi, pemenuhan, pelaksanaan, inspeksi, pemeliharaan dan pembaruan. Mitigasi struktural ini dikelompokkan dalam : • Pembuatan konstruksi yang tahan terhadap bencana • Peraturan dan kode bangunan Bangunan yang tahan terhadap bencana akan membutuhkan petunjuk dan peraturan untuk mengaplikasikannya. Dengan pengetahuan yang memadai tentang potensi bahaya yang sering terjadi, para insinyur dapat mengembangkan peraturan dan kode bangunan untuk digunakan dalam desain, pelaksanaan bahkan pada tahap operasi dan pemeliharaan bangunan. Setiap potensi bahaya akan memberikan external pressures pada struktur bangunan termasuk: • Lateral and/or vertical shaking (earthquakes). • Lateral and/or uplift load pressure (severe storms, cyclonic storms, tornadoes, windstorms). • Extreme heat (structure fires, wildland fires, forest fires). • Roof loading (hailstorms, snowstorms, ash falls). • Hydrological pressure (floods, storm surge). • Relokasi.
Cara yang paling masuk akal untuk melindungi bangunan dari ancaman bahaya gempa adalah merelokasi bangunan agar bangunan terlindungi dari potensi bahaya. Ada beberapa jenis struktur bangunan yang dapat dibongkar pasang atau dipindahkan secara utuh. • Modifikasi struktural Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan penelitian dapat memberikan informasi baru tentang potensi bahaya. Ada tiga hal yang dapat dilakukan terhadap bangunan yang telah didirikan berkaitan dengan informasi baru tersebut yaitu : • Tidak melakukan apapun terhadap bangunan • Melakukan demolisi dan membangun kembali berkaitan dengan adanya informasi baru agar bangunan dapat mengakomodasi adanya informasi potensi bahaya • Memodifikasi struktur agar dapat mengantisipasi adanya tekanan-tekanan luar dari informasi yang baru. Untuk mengantisipasi bahaya gempa maka dapat dilakukan modifikasi misalnya Sheer walls, mengganti dinding yang kurang kuat atau rapuh, foundation anchor bolts, frame anchor connections, floor framing, chimney reinforcement, base isolation systems, external frames, pengurangan beban atap, soft-story reinforcement • Konstruksi perlindungan untuk masyarakat (shelter). Konstruksi ini dapat dibuat sebagai tempat berlindung bagi masyarakat agar terhindar dari konsekuensi bencana. Dua sistem yang harus ditempatkan agar tempat perlindungan ini berfungsi baik yaitu : • Sistem peringatan dini agar masyarakat masih memiliki cukup waktu untuk berlindung atau menyelamatkan diri • Pendidikan atau sosialisasi pada masyarakat yang meningkatkan kesadaran masyarakat untuk penggunaan bangunan pelindung ini dan bagaimana jalan untuk menuju bangunan ini bila terjadi bencana • Konstruksi yang digunakan sebagai Barrier, defleksi atau retensi • Sistem pendeteksi yang dirancang untuk mengenali bahaya yang tidak dapat dilakukan
Kapasitas Masyarakat ... (Anggraeny Kusuma Dewi A.P, Aminudin Hamzah, Bayu Pranata, dkk,)
17
oleh manusia. Sistem ini mampu mencegah terjadinya bencana atau member peringatan konsekuensi potensi bahaya sebelum bencana terjadi. Contoh sistem pendeteksi adalah satelit, stasiun cuaca, dan Undersea and buoy oceanic movement detection. • Modifikasi fisik. Mitigasi ini adalah melakukan perubahan pada fisik bentang alam untuk mengurangi kemungkinan atau konsekuensi dari bahaya. Contoh dari mitigasi ini adalah dengan slope terracing (untuk menghindari longsoran atau erosi), slope drainage, mengurangi kecuraman lereng, perbaikan atau penggantian jenis tanah dan sebagainya. • Sistem pengolahan (Treatment system). Sistem ini dapat didesain untuk penggunaan secara terus menerus (nonstop) atau hanya digunakan pada saat ada bahaya. Contoh sistem ini adalah: • Water treatment systems • HEPA air filtration ventilation systems • Airborne pathogen decontamination systems • Hazardous materials (HAZMAT) decontamination systems • Redundansi infrastruktur untuk keselamatan hidup masyarakat. Manusia adalah makhluk sosial yang tergantung satu sama lain dan terhadap infrastruktur sosialnya. Saat ini baik pemerintah maupun swasta menyediakan fasilitas infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan masyarakat misalnya dengan infrastruktur air minum, komunikasi, transportasi dan lain-lain. Sistem ini akan berhubungan dan akan ada ketergantungan satu sama lain. Pada saat terjadi bencana, jika salah satu sistem terganggu maka akan mengganggu sistem lain yang akan membuat lifelines kebutuhan masyarakat menjadi terganggu. Contoh dari sistem yang harus dibangun untuk keselamatan hidup masyarakat adalah infrastruktur listrik, infrastruktur kesehatan masyarakat, manajemen tanggap darurat, sistem persediaan air bersih, infrastruktur transportasi, irigasi dan pengiriman makanan. b. Mitigasi Nonstruktural Mitigasi non struktural melakukan upaya untuk mengurangi “exposure” populasi 18
manusia, struktur fisik, dan infrastruktur dari kondisi yang berbahaya tanpa menggunakan rekayasa struktur bangunan. Pendekatan mitigasi nonstructural mencakup mekanisme bagaimana manusia beradaptasi pada alam. Mitigasi ini mengeluarkan biaya yang relatif lebih murah dan dapat diterapkan oleh masyarakat dengan sumber daya finansial atau teknologi yang lebih sedikit. Beberapa contoh yang dilakukan dalam kategori mitigasi non struktural ini adalah : • Penggunaan Peraturan. Contoh: manajemen tata guna lahan (zoning), pengaturan ruang terbuka hijau, perlindungan sumber daya misalnya sumber daya hutan, tidak membangun bangunan infrastruktur pada lahan yang berisiko tinggi terkena bencana, pengendalian kepadatan penduduk pada daerah rawan bencana, regulasi penggunaan bangunan, regulasi dan standar keamanan, regulasi penggunan sumber daya alam, dan sebagainya • Program pendidikan dan kesadaran pada masyarakat. Masyarakat harus mampu melindungi diri sendiri dari efek bahaya bila diberi informasi tentang bahaya yang mengancam dan masyarakat harus dididik bagaimana mengurangi risiko terkena bencana. Program pendidikan masyarakat harus mempertimbangkan mitigasi dan kesiapan. Beberapa informasi yang harus diberikan dalam memberikan pendidikan dan kesadaran masyarakat adalah kesadaran akan adanya risiko bahaya, modifikasi tingkah laku yang meliputi pengurangan risiko bencana dan kesiapan sebelum terjadi bencana, dan tanggapan serta pemulihan setelah bencana, sistem peringatan. • Modifikasi fisik nonstructural. Contoh: Pengamanan terhadap perabotan yang ada pada bangunan agar tidak membahayakan pada saat bencana gempa terjadi. • Pengendalian Lingkungan. Hal ini dapat dilakukan untuk mengendalikan atau memengaruhi potensi bahaya melalui mitigasi nonstruktural misalnya menggunakan ledakan untuk mengurangi tekanan seismik, menggunakan kemiringan lereng untuk menghindari longsor, dan sebagainya. • Perbaikan Tingkah Laku. Untuk penerapan
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 11-24
perbaikan tingkah laku masyarakat kemungkinan akan sulit untuk dilaksanakan dalam waktu yang singkat. Tetapi melalui pendidikan masyarakat secara efektif, hal ini dapat diterapkan. Misalnya penghematan energi dengan pembatasan penggunaan listrik dengan efisien. Mitigasi harus memperhatikan semua tindakan yang diambil untuk mengurangi pengaruh dari bencana dan kondisi yang peka dalam rangka untuk mengurangi bencana yang lebih besar dikemudian hari. Karena itu seluruh aktivitas mitigasi difokuskan pada bencana itu sendiri atau bagian/elemen dari ancaman (Ilyas, 2006). Beberapa hal untuk rencana mitigasi (mitigation plan) pada masa depan dapat dilakukan sebagai berikut: • Perencanaan lokasi (land management) dan pengaturan penempatan penduduk. • Memperkuat bangunan dan infrastruktur serta memperbaiki peraturan disain yang sesuai. • Melakukan usaha preventif dengan merealokasi aktifitas yang tinggi ke daerah yang lebih aman dengan mengembangkan mikrozonasi • Melindungi dari kerusakan dengan melakukan upaya perbaikan lingkungan • Mensosialisasikan dan melakukan training yang intensif bagi penduduk di daerah area yang rawan gempa • Membuat early warning system sepanjang daerah pantai/perkotaan yang rawan gempa Rencana Pengurangan Risiko Bencana akibat Gempa Sesar Lembang menurut Meilano (2011) yaitu: • Ilmu Kebumian • Peningkatan pemahaman aktifitas sesar Lembang melalui penelitian • Perhitungan detail hazard gempa (mikrozonasi) • Pendidikan dan penyebaran informasi • Peningkatan pemahaman masyarakat • Peningkatan pemahaman pemegang kebijakan • Pemberian informasi pada siswa melalui pendidikan dasar-menengah • Aspek Ekonomi • Menunjukan bahwa upaya mitigasi
mengurangi kerugian • Memberikan insentif pada upaya-upaya pengurangan risiko bencana • Penataan Ruang • Memadukan peta hazard dan risiko dalam perencanaan wilayah • Penerapan standar kegempaan dan pembangungan kawasan • Penyiapan masyarakat • Peningkatan pemahaman akan risiko apabila terjadi gempa • Mengajak agar setiap individu mengambil tindakan • Tanggap darurat • Meningkatan kemampuan manajemen saat kondisi darurat • Meningkatkan kemampuan bertindak (medis, rescue dll) • Recovery • Membangun rencana strategis dalam proses recovery. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan pengurangan risiko bencana melalui peningkatan ketahanan (resiliency) komunitas desa menurut Twigg (2007) yaitu: • Kapasitas untuk menyerap tekanan atau kekuatan yang menghancurkan (bencana) melalui adaptasi dan perlawanan • Kapasitas untuk mengelola, atau mempertahankan fungsi-fungsi dan strukturstruktur dasar tertentu selama kejadian bencana • Kapasitas untuk memulihkan diri atau ‘melenting balik’ setelah suatu kejadian (bangkit dengan kemampuan sendiri). 2. METODOLOGI 2.1 Penyusunan Kuesioner/Wawancara Pertanyaan-pertanyaan mengenai halhal tentang bencana maupun tentang mitigasi disusun untuk mendapatkan data tentang kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana akibat gempa. Lembar kuesioner terdiri dari 2 halaman dan 26 pertanyaan. Biodata responden meliputi: nama responden, usia, jenis kelamin, pekerjaan, alamat saat mengisi kuesioner, pendidikan terakhir.
Kapasitas Masyarakat ... (Anggraeny Kusuma Dewi A.P, Aminudin Hamzah, Bayu Pranata, dkk,)
19
Pertanyaan dibuat dalam bentuk tertutup dan terbuka. Pertanyaan dirancang secara sederhana dan responden dapat menjawab dalam bentuk daftar centang (check list) untuk mempermudah proses pengisian kuesioner. Untuk pertanyaan yang membutuhkan uraian/ penjelasan disediakan kolom di samping kolom centang. Selain dengan pengisian kuesioner, pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara. Pertanyaan disusun untuk melihat kapasitas masyarakat. Pertanyaan terdiri dari dua tema yaitu awareness dan preparedness. Pada pertanyaan awareness ditujukan untuk melihat bagaimana informasi, pengetahuan, persepsi dan respon dari masyarakat tentang bahaya atau bencana gempa yang ada di sekitarnya, sedangkan pertanyaan preparedness ditujukan untuk melihat bagaimana keterlibatan masyarakat dalam keanggotaan organisasi kebencanaan, kesiapan dan pelatihan yang pernah diikuti oleh masyarakat. 2.2. Pengumpulan Data Penyebaran kuesioner dilakukan pada masyarakat dan beberapa institusi pemerintah di sekitar wilayah Institut Teknologi Bandung. Lokasi yang dijadikan sampel adalah Jl. Taman Sari, Jl. Gelap Nyawang, Jl Ir. H. Juanda, Jl Sangkuriang dan sekitarnya. Jumlah isian kuesioner dari responden yang dapat dikumpulkan adalah sebanyak 50 responden. 2.3. Analisis Data Data dianalisis dengan statistik deskriptif. Jawaban dari responden diolah kemudian dianalisis secara sederhana dengan persentase jawaban dari responden. Berikut langkahlangkah yang digunakan untuk mengetahui index kapasitas masyarakat sekitar ITB untuk menghadapi bencana gempa bumi : • Rekap seluruh hasil kuisioner yang memiliki jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’, lalu dibuat persentase dari masing-masing jawaban. • Kemudian, hitung index dari setiap pertanyaan dengan cara sebagai berikut:
20
• Cari nilai index rata-rata dari setiap jenis pertanyaan (informasi, pengetahuan, persepsi, respon, membership, persiapan, dan training). • Sub-komponen indeks =1/n (Q1+Q2+...+Qn) AI = 1/4 (information index + knowledge index + perception index + response index) PI = 1/3(membership index + training index + preparation index) • Hitung index kapasitas dengan cara sebagai berikut: CI = (wAi AI+wPI PI) (wAI+wPI) CI = Indeks kapasitas wAI = bobot awareness index AI = awareness index WPI = bobot preparedness index PI = preparedness index Dengan bobot AI = 0.4, bobot PI = 0.6 karena preparedness menunjukkan sesuatu yang telah diimplementasikan atau dilakukan untuk mengurangi risiko sehingga preparedness dapat dianggap sebagai komponen yang jauh lebih penting daripada awareness. (Jimee et al, 2008) Dari hasil indeks kapasitas yang didapat, maka indeks tersebut dapat digolongkan sebagai berikut: 0,75 – 1 = tinggi 0,51 – 0,74 = sedang 0,31 – 0,50 = rendah 0,0 – 0,30 = sangat rendah 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Data dan Pengolahan Data Jumlah data dan responden yang didapatkan untuk melakukan kajian kapasitas masyarakat di sekitar kampus ITB adalah 50 orang. Berikut data-data dasar responden yang berhasil didapat :
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 11-24
Gambar 6. Usia responden di lokasi kajian. Menurut Hurlock (2001), terdapat empat pembagian umur penduduk, yaitu: • Dewasa awal, dengan usia antara 18 hingga 40 tahun • Dewasa madya, dengan usia antara 41 hingga 60 tahun • Dewasa lanjut, dengan lebih dari 60 tahun Berdasar pembagian umur penduduk yang dilakukan oleh Hurlock (2001), maka sebagian besar responden untuk kajian kapasitas ini, didominasi oleh responden dewasa awal sebanyak 58% dan diikuti oleh responden madya sebanyak 34% serta 6% dari responden adalah usia dewasa lanjut (Gambar 6).
Melihat latar belakang pendidikan responden, dibagi ke dalam enam jenis latar pendidikan responden, yaitu masyarakat yang mengecap pendidikan hingga jenjang doctor (S3), magister (S2), sarjana (S1), diploma, tingkat SMA, dan masyarakat dengan latar belakang pendidikan rendah (<SMA). Dari 50 responden yang didapatkan, 40% pendidikan hanya mencapai jenjang SMA dan masyarakat yang dapat mengecap pendidikan hingga tingkat sarjana sebanyak 24%. Data lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan jenis pekerjaan, dibagi kedalam 9 jenis pekerjaan yang dimiliki oleh responden. Kelima jenis tersebut adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS), karyawan swasta, polisi, wiraswasta/pedangang, sopir, tukang bangunan, pensiunan dan yang masih berstatus sebagai mahasiswa. Responden PNS yang didapatkan, merupakan para pegawai yang bekerja di Lemba Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo), dosen, dan Badan Atom Nasional (BATAN). Jumlah responden didominasi oleh PNS sebanyak 30%, diikuti oleh karyawan swasta (22%) dan yang masih berstatus sebagai mahasiswa sebanyak 20%. Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 7. Jenis Kelamin Responden. Berdasarkan gender responden, responden adalah laki-laki (Gambar 7).
60% Gambar 9. Jenis Pekerjaan Responden. 3.2. Hasil Kuisioner
Gambar 8. Latar Belakang Responden.
Pendidikan
Berdasarkan jawaban kuisioner yang didapatkan, dapat diketahui bahwa 65% responden memiliki informasi awal yang baik mengenai kondisi sekitar. Namun, hampir setengah (48%) dari responden belum mengetahui adanya bahaya gempa bumi disekitar tempat tinggal atau beraktivitas mereka
Kapasitas Masyarakat ... (Anggraeny Kusuma Dewi A.P, Aminudin Hamzah, Bayu Pranata, dkk,)
21
dan hanya 18% responden yang mengetahui nomor telepon lokal penting (seperti: polisi, pemadam kebakaran, ambulance, dll.) jika terjadi keadaan darurat. Baiknya tingkat informasi yang dimiliki oleh responden ternyata juga menunjang tingkat pengetahuan mereka. Dari tiga pertanyaan yang diajukan, 71,3% responden memiliki tingkat pengetahuan yang baik. Selain itu, hanya 52% responden yang berani mengatakan bahwa tempat mereka tinggal atau beraktifitas merupakan tempat yang aman dan hampir seluruh responden (82%) tidak mengetahui badan-badan pemerintah yang berwenang mengurusi bencana gempabumi. Selain itu, berdasarkan hasil kuisioner yang didapatkan, sebagian besar responden (64%) pernah ikut memberi bantuan kepada korban bencana gempabumi walaupun 95% dari mereka bukan merupakan anggota dari kelompok relawan kebencanaan maupun kelompok-kelompok lainnya. Berdasarkan tingkat persiapan responden, dapat dilihat bahwa responden belum memiliki persiapan yang baik untuk menghadapi bencana gempa bumi. Tetapi 66% responden menyatakan bahwa mereka memiliki obatobatan darurat (P3K) jika terjadi keadaan darurat dan hampir seluruh responden (86%) belum berpikir untuk menyiapkan cadangan bahan makanan jika menghadapi keadaan darurat. Hasil kuisioner juga memberi informasi bahwa hanya 20% responden yang pernah mengikuti pelatihan/simulasi kebencaan dan sisanya belum. Kabar baiknya, responden juga menyatakan bahwa perlu diadakan pelatihan/ simulasi kebencanaan yang dilakukan oleh instansi-instansi yang terkait pada bencana gempa bumi (88%).
Gambar 10. Respon Saat Terjadi Gempa. 22
Dari hasil kuesioner yang diberikan kepada masyarakat di sekitar kampus ITB bahwa sekitar 69% responden merasa panik saat terjadi gempa. Kepanikan responden ini bisa diakibatkan oleh beberapa hal seperti trauma akibat kejadian gempa masa lalu serta kurangnya pengetahuan responden terhadap gempa dan persiapan serta mitigasi dalam menghadapi gempa. 25% responden merespon gempa dengan tenang hal ini bisa diakibatkan adanya keyakinan terhadap kualitas bangunan yang ditempati terhadap efek gempa mapun adanya kesadaran dari pengetahuan yang telah dipelajarinya mengena gempa. 6% sisa respoden yang merespon tidak tahu jika terjadi gempa mungkin dikarenakan belum pernah mengalami kejadian gempa. Dari segi persiapan (preparation), setelah responden mengetahui bahwa daerah tempat tinggal/beraktifitas merupakan daerah bahaya gempa bumi, upaya-upaya yang telah dilakukan oleh responden untuk mengurangi kerugian yang mungkin terjadi bila gempa bumi benarbenar terjadi, antara lain • Memperkuat atau merehabilitasi bangunan, rumah/ tempat tinggal apabila dirasa bangunan masih kurang kokoh untuk menghadapi gempa. • Dalam membangun bangunan dengan memperhatikan aturan kekuatan bangunan dan tata cara membangun yang benar • Menata barang-barang sedemikian rupa sehingga apabila terjadi gempa barang-barang tersebut berjatuhan tidak membahayakan. • Mempersiapkan nomor-nomor darurat yang bisa dihubungi untuk pertolongan apabila terjadi bencana besar • Menyimpan barang-barang berharga pada satu tempat aman dan mudah dijangkau untuk diselamatkan (misal surat-surat berharga). • Mempersiapkan P3K dirumah sebagai pertolongan pertama. Namun, jumlah responden yang telah melakukan persiapan tersebut hanya 28%, sedangkan 72% lainnya belum melakukan tindakan persiapan. Dari data responden tersebut, disimpulkan bahwa sebagian besar responden tidak melakukan upaya-upaya yang berarti dalam mengurangi kerugian
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 11-24
akibat bencana gempabumi, meskipun telah mengetahui daerah tempat tinggalnya rawan gempa bumi. Responden masih merasa daerahnya cukup aman terhadap gempa. Secara historis selama mereka tinggal belum pernah mengalami gempa yang menimbulkan korban/ kerugian yang besar. Responden menganggap selama ini bangunan tempat tinggal mereka cukup kuat untuk menahan gempa, karena selama ini hanya terjadi gempa-gempa kecil, sehingga menganggap kemungkinan gempa besar sangat kecil. Dari hal di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya kecenderungan dari masyarakat yang mengabaikan bahwa daerahnya merupakan daerah bencana gempa yang bisa menimbulkan kerugian baik harta maupun jiwa. Mengenai harapan responden terhadap pemerintah utuk membantu mengurangi dampak bencana gempa bumi, mereka mengharapkan: 1. Adanya suatu penyuluhan dari pemerintah mengenai gempa bumi, serta upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk pengurangan risiko 2. Pelatihan atau simulasi dalam menghadapi bencana 3. Kesigapan pemerintah dalam mengatur distribusi bantuan baik obat-obatan dan bahan makanan. 4. Menerapkan peraturan yang ketat tentang bangunan untuk bangunan tahan gempa (building code). 5. Ijin mendirikan bangunan harus memperhatikan daerah rawan gempa. 3.3. Index kapasitas Berdasarkan persamaan pada subbab 2.3 mengenai analisis data, maka diperoleh: • Information index = 0.6450 • Knowledge index = 0.7133 • Perseption index = 0.52 • Response index = 0.64 • Membership index = 0.05 • Preparation index = 0.4 • Training index = 0.54 Hasil perhitungan menunjukkan bahwa yang cukup menarik adalah nilai indeks pengetahuan lebih tinggi dari nilai indeks
informasi, menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat sekitar ITB lebih mempunyai pengetahuan dalam menghadapi bencana gempabumi dibandingkan mengetahui tentang informasi dari gempa itu sendiri. Dengan menggunakan wAI=0.6 dan wPI=0.4 dan persamaan di sub bab 2.3, maka diperoleh nilai CI = 0.509857. Dari hasil perhitungan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kapasitas indeks masyarakat sekitar kampus ITB bernilai 0,51 atau dapat dikategorikan sebagai kapasitas dengan indeks sedang (ambang atas dengan rendah). Hal ini mengindikasikan bahwa kapasitas masyarakat di sekitar ITB masih tergolong kurang siap dalam menghadapi risiko dari adanya potensi bahaya dari gempa bumi. Semakin kecil nilai indeks kapasitas masyarakat, berarti semakin rentan (nilai resilience-nya semakin rendah) dan sangat mudah menerima risiko. Efeknya jika terjadi bencana maka masyarakat akan susah untuk bangkit kembali dari keterpurukan akibat bencana. Dengan meningkatnya risiko, maka akan semakin mudah kehilangan harta benda bahkan nyawa dan sulit membangun kembali keadaan ekonomi yang normal kembali. Nilai indeks kapasitas masyarakat sekitar ITB yang sedang ini apakah dipengaruhi oleh kehadiran ITB sebagai salah satu universitas yang bergerak dan berkecimpung dalam kebencanaan dan menjalankan fungsi tridarma perguruan tinggi perlu dikaji lebih lanjut. Seharusnya ITB dapat memengaruhi masyarakat sekitar dalam meningkatkan kapasitas dari masyarakat sekitar ITB dalam proses untuk mengurangi risiko bencana. 4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Dari hasil kajian di atas, diperoleh beberapa kesimpulan yaitu: 1. Berdasarkan analisa dari 50 orang responden, didapatkan • Information index = 0.6450 • Knowledge index = 0.7133 • Perception index = 0.52 • Response index = 0.64
Kapasitas Masyarakat ... (Anggraeny Kusuma Dewi A.P, Aminudin Hamzah, Bayu Pranata, dkk,)
23
• Membership index = 0.05 • Preparation index = 0.4 • Training index = 0.54 2. Menggunakan wAI = 0.6 dan wPI = 0.4, didapat nilai CI = 0.509857. Dari nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa kapasitas indeks masyarakat sekitar kampus ITB dapat dikategorikan sebagai kapasitas dengan indeks sedang (ambang atas dengan rendah). 4.2. Saran Dari hasil kajian, ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan mengenai hasil indeks kapasitas masyarakat sekitar kampus ITB yaitu : a. Untuk meningkatkan indeks kapasitas masyarakat sekitar ITB perlu dilakukan sosialisasi dan informasi yang terintegrasi dan kontinyu sehingga masyarakat dapat mendapatkan awareness dan preparedness yang lebih baik untuk mengurangi dampak akibat bencana gempa. b. Perlu diberikan pelatihan atau simulasi untuk masyarakat luas dalam menghadapi situasi bencana gempabumi untuk memberikan gambaran yang mendekati situasi sebenarnya agar tindakan atau respon masyarakat menjadi lebih baik dalam menghadapi gempa.
Irsyam. M., W. Sengara, F. Aldiamar, S. Widiyantoro, W. Triyoso, D. Hilman, E. Kertapati, I. Meilano, Suhardjono, M. Asrurifak, dan M. Ridwan, 2010, Summary of Study: Development of Seismic Hazard Map of Indonesia for Revision of Hazard Map in SNI 03-1726-2002. Bandung Jimee, G. K., C, Van Westen., dan B, Veronica, Seismic Vulnerability and Capacity Assessment: A Case Study of Lalitpur Sub Metropolitan City, Nepal, Proceedings 14th World Conference On Earthquake Engineering. Meilano, I., dan E, Yulianto., 2011, www kompas.com. 31 Oktober 2011. Nossin, J. J., P. G, Robert., A, Voskui, dan M. A.C, Dam., 1996, Geomorphologic development of the Sunda volcanic complex, West Java, Indonesia. ITC Journal, No. 1996-2, hal. 157- 165. Sanderson, D. 1997. Reducing Vulnerability to Increase Capacity; The Caqueta Ravine, Lima in Reconstruction After disaster: Issues and Practices. Sulaeman, Cecep dan S, Hidayati., 2011, Gempa Bumi Bandung 22 Juli 2011. Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 2 No. 3 Desember 2011 halaman 185–190. Tjia, H.D., 1968. The Lembang Fault, West Java. Geologie en Mijnbouw, 47 (2): 126 130.
DAFTAR PUSTAKA Abidin, H.Z, et al, 2008, Studi Pergerakan Sesar Lembang dengan Menggunakan Metode Survei GPS. Jurnal Geoaplika Volume 3, Nomor 3, hal. 105 – 117. Awatona, A, 1997, Reconstruction After Disaster. Ashgate. Bramantyo, B, 2011, Sesar Lembang, Heartquake di Jantung Cekungan Bandung http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo Coppola, D. P, 2011. Introduction to International Disaster Management, 2nd Edition. Elsevier. Ilyas, T, 2006. Mitigasi Gempa Dan Tsunami Di daerah Perkotaan. Seminar Bidang Kerekayasaan Fatek-Unsrat 2006.
24
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 11-24
PERAN MEDIA KOMUNIKASI DALAM TANGGAP BENCANA BANJIR LAHAR DINGIN DI SUNGAI CODE KOTA YOGYAKARTA Wuri Rahmawati Majelis Pemberdayaan Masyarakat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abstract The research objectives were to describe the stakeholders role in mud flood disaster response and to discover communication media role in mud flood disaster response, This research is exploratory research design, with an analytic inductive method and qualitative approaches. Total informant are 53 people, they are from government, society leaders, societies and voluntaries unsure, they are choosen with purposive method. The result of this research are implementation of mud flood disaster response need a disaster management and participation of government, society leaders, societies and voluntaries. Government roles are regulator, facilitator and implementator, but that roles are not optimal, especially role of regulator. Society leaders, societies and voluntaries roles are facilitator and implementator. The roles of conventional mass media are to inform, to educate and to persuade but the roles are not optimal especially role of banner and leaflet. The roles of interpersonal media are to inform, to educate and to persuade, the roles are optimal especially role to persuade. The roles of hybrid media are to inform and to persuade, the roles are optimal especially role to inform. Communication media with transmission system or streght signal is needed at potential mud flood condition, because it can reach large societies in short time, together and get fast feedback. Keywords: Role, communication media, disaster response, mud flood. 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Erupsi Gunung Merapi tahun 2010 menimbulkan dampak primer dan dampak sekunder bagi masyarakat di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Dampak primer berupa kerusakan, kehilangan harta benda dan nyawa sedangkan dampak sekundernya adalah aliran lahar dingin ke seluruh sungai yang berhulu di lereng Gunung Merapi. Subandriyo, Kepala BPPTK DIY menyampaikan bahwa jumlah material vulkanik yang berpotensi menjadi lahar dingin sebesar 130 juta meter kubik, yang 40% akan mengalir melalui Sungai Gendol dan sisanya (60%) akan mengalir tersebar ke 10 sungai sungai yang lain, sehingga rata-rata setiap sungai akan dialiri 5-10 juta meter kubik lahar dingin ( www. kompas.com, edisi 5 Januari 2011).
Kota Yogyakarta mendapatkan dampak atas aliran lahar dingin tersebut melalui Sungai Code yang berhulu di Sungai Boyong. Material vulkanik berupa batu, pasir dan lumpur mengalir dari Sungai Boyong masuk ke Sungai Code. Sepanjang Sungai Code terdapat 8 Kecamatan, 15 Kelurahan dan 66 RW yang wilayahnya rawan terkena dampak banjir lahar dingin, wilayah yang paling rawan adalah Kecamatan Jetis dan Kecamatan Danurejan (Staf Kantor Penanggulangan Bencana dan Perlindungan Masyarakat, 5 Januari 2011). Aliran lahar dingin yang besar menjadi bencana baru untuk masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Code yang dikenal dengan banjir lahar dingin. Upaya mengantisipasi bencana banjir lahar dingin dilakukan dengan mempersiapkan masyarakat tanggap terhadap bencana banjir lahar dingin yang kegiatannya berupa kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi
Peran Media Komunikasi Dalam Tanggap Bencana Banjir Lahar Dingin ... (Wuri Rahmawati)
25
bencana. Kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana menjadi hal penting bagi pemerintah yang secara konstitusional pemerintah mempunyai tanggungjawab untuk menjamin dan merealisasikan perlindungan keamanan seluruh masyarakatnya (Kartasasmita dan Kusmiati, 2006). Pelaksanaan kesiap-siagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak dengan memperkuat kebijakan dan kapasitas teknis, pembagian peran masing-masing pihak, melakukan dialog, pertukaran informasi dan koordinasi antar elemen yang terlibat, memperkuat sistem komunikasi, membangun mekanisme khusus untuk mengundang partisipasi aktif dan rasa memiliki dari pihak-pihak yang terlibat terkait (Bappenas dan Bakornas Penanggulangan Bencana, 2006). Soetarso (1997) menyatakan bahwa ada enam tindakan dalam penanggulangan bencana yang salah satunya adalah pengaktifan sistem-sistem penangkal bencana termasuk di antaranya sistem komunikasi dan informasi becana sebagai salah satu media untuk peringatan dini. Komunikasi mengacu pada tindakan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih dalam mengirim dan menerima pesan, terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik (Devito, 1997). Proses komunikasi menurut Devito (1997) dapat dilihat dalam Gambar 1.
Gambar proses komunikasi di atas menunjukkan bahwa komunikasi dapat terjadi secara langsung antara penyampai pesan (sumber) dengan penerima pesan (destinasi), sumber ataupun penerima dapat saling bertukar pesan yang memberikan umpan balik dan disertai dengan adanya gangguan atau noise. Komunikasi juga dapat dilakukan dengan menggunakan media atau saluran (channel). Leeuwis (2004) menyatakan bahwa terdapat tiga kelompok utama media komunikasi yaitu conventional mass media (media massa konvensional), interpersonal media (media interpersonal) dan hybrid media. Media massa secara relatif penting dalam proses atau tahap perubahan pengetahuan sedangkan media interpersonal secara relatif penting dalam tahapan persuasi yaitu sikap mendukung atau tidak mendukung atas pesan yang disampaikan (Rogers, 1995). Conventional mass media merupakan media komunikasi dengan karakteristik dasar pengirim pesan (sender) dapat menjangkau banyak orang yang berada di kejauhan dan memungkinkan tanpa adanya interaksi langsung dengan penerima pesan (receiver). Media massa konvensional saat ini telah mengalami perkembangan yaitu receiver dapat berinteraksi langsung dengan sender misalnya melalui dialog interaktif. Interpersonal media merupakan media komunikasi dengan karakteristik dasar pengirim pesan (sender) dan penerima pesan (receiver) dapat saling bertukar peran dengan mudah baik melalui
Saluran (channel, Media) Pesan (umpan maju)
Penyampai Pesan (Sumber) Umpan balik dari diri sendiri
Penerima pesan ( destinasi)
Umpan balik dari penerima Gangguan (Noise)
Gambar 1. Proses Komunikasi. Sumber : Devito (1997). 26
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 25-40
pertemuan tatap muka ataupun melalui telepon. Receiver dan sender dapat saling memberikan respon dengan segera (saat itu juga). Hybrid media merupakan media komunikasi yang mengkombinasikan perangkat dari media massa dan dari komunikasi interpersonal, yang potensial menjangkau audiens secara luas di beberapa lokasi berbeda, tetapi juga memberikan kesempatan interaktif antara pengirim pesan (sender) dan penerima pesan (receiver) misalnya teknologi internet dan CDROM (Compact Disc-Read Only Memory). Media komunikasi mempunyai peran yang sangat penting dalam tanggap bencana. Peran media komunikasi dalam tanggap bencana banjir lahar dingin adalah bagian dari suatu fungsi media komunikasi dengan karakteristik tertentu yang dapat dilihat dari isi pesan yang disampaikan dalam tanggap bencana Sumber Informasi
Pesan
Alat pemancar
Sinyal
penyebaran informasi ke masyarakat tentang tanda-tanda banjir lahar dingin harus dilakukan secara cepat. Kepadatan penduduk yang tinggi tentu memerlukan pemanfaatan media komunikasi yang dapat menjangkau atau diterima secara cepat dan luas oleh masyarakat sehingga masyarakat dapat melakukan antisipasi sebelumnya. Jumlah masyarakat yang berada di bantaran Sungai Code dan potensial terkena dampak banjir adalah 11.846 jiwa. Shannon dan Weaver pada tahun 1949 membuat sebuah model komunikasi kemudian dikenal sebagai model komunikaksi Shannon dan Weaver yang dapat dilihat dalam Gambar 2. Gambar 2. menunjukkan sumber informasi menghasilkan sebuah pesan atau rangkaian pesan untuk dikomunikasikan. Pesan tersebut Sinyal yang diterima
Alat penerima
Tujuan
Sumber noise atau gangguan
Gambar 2. Model Komunikasi Shannon dan Weaver. Sumber : Liliweri (1991). banjir lahar dingin di sepanjang Sungai Code. Liliweri (1996) menyatakan bahwa terdapat empat peran media komunikasi yaitu to inform (media menyampaikan dan menyebarluaskan informasi atau pesan-pesan kepada masyarakat mengenai tanggap bencana banjir lahar dingin), to educate (media memberikan pengetahuan baru dan atau meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai tanggap bencana banjir lahar dingin), to persuade (media mengajak, membujuk atau mempengaruhi kognisi (kesadaran) masyarakat, sehingga masyarakat dapat melakukan tindakan (sikap) sebagaimana yang disampaikan tanpa adanya unsur paksaan) dan to entertaint (media memberikan hiburan kepada masyarakat) yang dalam penelitian ini, peran menghibur tidak dibahas karena tidak ditemukan di lapangan. Pada kondisi potensial bencana
kemudian diubah dalam bentuk sinyal-sinyal seperti dalam telekomunikasi oleh sebuah pemancar. Sinyal harus disesuaikan dengan saluran yang tersedia menuju ke alat penerima yang berfungsi kebalikan dari alat pemancar pertama dan akhirnya pesan sampai ke tujuan. Sinyal dapat berubah karena adanya noise atau gangguan misalnya dalam waktu bersamaan banyak sinyal yang masuk melalui saluran. Bencana merupakan fakta yang tidak dapat dihindari akan tetapi dapat diantisipasi atau diminimalkan dampaknya. Pembagian peran yang jelas antara berbagai pihak yang terlibat dan pemanfaatan media komunikasi dapat mempercepat penyebaran informasi, memperlancar komunikasi dan koordinasi antar berbagai pihak yang terlibat sehingga diharapkan dapat meminimalkan risiko bencana baik risiko kerusakan ataupun kehilangan.
Peran Media Komunikasi Dalam Tanggap Bencana Banjir Lahar Dingin ... (Wuri Rahmawati)
27
1.2. Tujuan Penelitian ini mempunyai tujuan utama menganalisis peran media komunikasi dalam tanggap bencana banjir lahar dingin di Sungai Code. Sedangkan tujuan khususnya yaitu menganalisis pihak-pihak yang terlibat dalam upaya mempersiapkan masyarakat tanggap bencana banjir lahar dingin, menganalisis peran masing-masing pihak yang terlibat dalam mempersiapkan masyarakat tanggap bencana banjir lahar dingin, menganalisis peran media yang digunakan dalam mempersiapkan masyarakat tanggap bencana banjir lahar dingin, menganalisis kesiap-siagaan masyarakat menghadapi banjir lahar dingin yang dapat terjadi sewaktu-waktu. 2. METODE PENELITIAN 2.1. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian di sepanjang Sungai Code, Kota Yogyakarta dan dilaksanakan selama satu bulan, yaitu pada bulan Maret 2011. Wilayah Sungai Code terbagi menjadi tiga yaitu Code Utara, Code Tengah dan Code Selatan. Code Tengah dan Code Selatan menjadi lokasi dalam penelitian ini. Code Tengah meliputi wilayah Kelurahan Suryatmajan (Kampung Gemblakan Bawah, Gemblakan Atas dan Ledok Macanan) dan Kelurahan Danurejan (Kampung Ledok Tukangan) dan Code Selatan meliputi Kelurahan Brontokusuman (Kampung Karanganyar dan Lowanu) dan Kelurahan Sorosutan (Kampung Lowanu). Pemilihan Code Tengah karena lokasi berada di tengah-tengah Kota Yogyakarta, kepadatan penduduknya cukup tinggi dengan jumlah masyarakat yang potensial terkena banjir lahar dingin 5.916 jiwa. Wilayah ini termasuk wilayah yang sering terkena luapan air Sungai Code karena tanggulnya kurang tinggi, endapan material vulkanik akibat erupsi Gunung Merapi cukup tebal dan media komunikasi yang digunakan berupa media massa konvensional (spanduk, leaflet, kenthongan, megaphone base station), media interpersonal (pertemuan di tingkat RW/RT, Kelurahan, Kecamatan, pos ronda, handy talky) 28
dan hybrid media (handphone, interconecting network). Pemilihan Code Selatan karena wilayah tersebut merupakan hilir dari Sungai Code, adanya Dam menghambat aliran lahar dingin sehingga terjadi endapan material vulkanik yang cukup tebal, jumlah masyarakat yang potensial terkena banjir lahar dingin 3.348 jiwa. Wilayah ini termasuk daerah rawan terkena luapan air karena tanggulnya kurang tinggi dan media komunikasi yang digunakan berupa media massa (spanduk, leaflet, kenthongan, megaphone), media interpersonal (pertemuan di tingkat RW/RT, Kelurahan, Kecamatan, handy talky), hybrid media (handphone, internet). Wilayah Code Utara tidak dijadikan lokasi penelitian karena tingkat kerentanan terkena luapan air lebih rendah dibadingkan dengan wilayah Code Tengah dan Code Selatan. Hal ini karena umumnya tanggul telah dibuat tinggi sehingga dapat menahan luapan air Sungai Code ke perkampungan penduduk. Jumlah masyarakat yang potensial terkena banjir di wilayah Code Utara juga lebih sedikit yaitu 2.582 jiwa. 2.2. Penentuan Informan Informan dalam penelitian ini dari unsur pemerintah, tokoh masyarakat, relawan dan masyarakat. Pengambilan informan dari unsur pemerintah, tokoh masyarakat, relawan dan masyarakat dilakukan secara purposive yaitu penentuan informan dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2003) yaitu bahwa pemerintah (Pemerintah Kota, Kecamatan, Kelurahan) dipandang sebagai pihak yang kompeten dan bertanggungjawab, tokoh masyarakat dan relawan dipandang sebagai pihak yang terlibat langsung dengan masyarakat, serta masyarakat sebagai pihak yang secara langsung terkena banjir lahar dingin Sungai Code sehingga mengetahui berbagai informasi yang diperlukan peneliti. Jumlah informan dari unsur pemerintah 9 orang terdiri dari 1 orang dari Kantor Penanggulangan Bencana Kebakaran dan Perlindungan Masyarakat Pemerintah Kota
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 25-40
Yogyakarta, 1 orang dari Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana Pemerintah Kota Yogyakarta, 3 orang dari kecamatan (Kecamatan Mergangsan, Kecamatan Umbulharjo dan Kecamatan Danurejan), 4 orang dari Kelurahan (Kelurahan Brontokusuman, Kelurahan Sorosutan, Kelurahan Tegal Panggung dan Kelurahan Suryatmajan). Jumlah informan dari RW/RT 10 orang terdiri dari 6 ketua RW di Code Tengah dan 4 ketua RW di Code Selatan. Jumlah informan dari unsur relawan 4 orang dan dari unsur masyarakat 30 orang. Penelitian ini merupakan penelitian eksplorasi dengan pendekatan kualitatif dan metode analisis induktif yaitu membahas fakta dari hal-hal umum, kemudian dirumuskan dalam sebuah konsep dasar atau kesimpulan awal yang dapat digunakan sebagai hipotesa untuk penelitian lebih lanjut ( Henn et.al, 2006) Metode yang digunakan adalah metode kualitatif yaitu menekankan pengumpulan informasi mendalam dari beberapa individu atau dalam suatu lingkungan terbatas, menjelaskan suatu persoalan dengan kata-kata mereka sendiri dan kesimpulan didasarkan pada interpretasi yang ditarik oleh peneliti (Cozby,2009). Teknik analisis data dengan melakukan pengecekan hasil transkripsi untuk memastikan tidak adanya kesalahan yang dibuat selama proses transkripsi, reduksi data (data reduction) yaitu menyederhanakan dan mengambil inti dari data atau informasi yang diperoleh, penyajian data (data display) yaitu memaparkan data yang diperoleh secara sistematis dalam bentuk naskah penelitian yang berkaitan dengan peran media komunikasi dalam tanggap bencana banjir lahar dingin di Sungai Code Kota Yogyakarta, penarikan kesimpulan (data conclusion) yaitu membuat kesimpulan berdasarkan data atau informasi yang telah diperoleh sebagai bentuk jawaban dari permasalahan penelitian. Uji validitas dalam penelitian ini dengan menggunakan Triangulasi yaitu melakukan pengecekan dari sumber-sumber data yang berbeda dengan memeriksa bukti-bukti yang berasal dari sumber-sumber tersebut dan menggunakannya untuk membangun justifikasi tema-tema secara koheren (Creswell, 2010). Jenis triangulasi yang digunakan adalah
triangulasi sumber yaitu membandingkan atau mengecek ulang derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dari sumber yang berbeda (Kriyantono, 2009) yang dalam penelitian ini dilakukan dari sudut pandang peneliti, pemerintah, tokoh masyarakat, masyarakat dan relawan. 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1. Laporan Penelitian A. Upaya Pemerintah dalam Tanggap Bencana Pada awal kejadian banjir lahar dingin yaitu tanggal 29 November 2010, Pemerintah Kota Yogyakarta secara mendadak Pemerintah membuat posko pemantaun di wilayah Kecamatan Danurejan yang dipandang sebagai wilayah rawan banjir. Posko ini bertugas memantau kondisi terkini di Sungai Code dan mengakses informasi dari posko di Turgo Asri mengenai cuaca di Gunung Merapi. Pada saat itu, ketika kondisi potensial bencana maka pihak Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Camat dan Lurah datang langsung ke lokasi-lokasi rawan banjir untuk menginformasikan bahwa akan terjadi banjir lahar dingin dan masyarakat untuk waspada atau mengungsi. Kondisi ini tentu kurang efektif karena memerlukan waktu yang cukup lama untuk sampai ke lokasi rawan banjir, jangkauan ke masyarakat juga terbatas. Perkembangan selanjutnya, Pemerintah Kota Yogyakarta membentuk Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) Kota Yogyakarta yang tertuang dalam Surat Keputusan Walikota Nomor 585/KEP/2010. Satlak PB merupakan wadah koordinasi bersifat non struktural bagi penanganan bencana di Kota Yogyakarta, yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Walikota. Posko Satlak PB berada di Rumah Dinas Walikota Yogyakarta (Posko Kartika Induk). Berdasar Surat Keputusan Walikota maka setiap kejadian bencana di Kota Yogyakarta menjadi tanggungjawab Satlak PB, termasuk penanganan banjir lahar dingin yang terjadi
Peran Media Komunikasi Dalam Tanggap Bencana Banjir Lahar Dingin ... (Wuri Rahmawati)
29
di Sungai Code dalam koordinasi Satlak PB. Bagan struktur organisasi Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana Kota Yogyakarta sebagai berikut :
Jetis, jembatan Gondolayu, jembatan Kewek, jembatan Jambu, jembatan Juminahan, jembatan Sayidan, jembatan Tungkak, dan jembatan Wirosaban. Posko di jembatan
SATUAN PIMPINAN Ketua Wakil Ketua I Wakil Ketua II Wakil Ketua III
PELAKSANA HARIAN RUPUSDALOPS BIDANG-BIDANG
Unsur Instansi
Unsur TNI /POLRI
Camat Se Kota
Lurah Se Kota
PKK Se Kota
PLN
PDAM
Anggota
Gambar 3. Bagan Struktur Organisasi Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) Kota Yogyakarta. Dalam upaya memberikan kemudahan akses kepada Satlak PB untuk beberapa hal yaitu pengerahan sumberdaya manusia, pengerahan peralatan, pengerahan logistik, perizinan, pengadaan barang dan jasa, pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan atau barang, penyelamatan serta komando untuk memerintahkan sektor atau lembaga, Pemerintah Kota Yogyakarta mengeluarkan Surat Keputusan tentang Penentuan Tanggap Darurat Banjir Lahar Dingin sejak 1 Desember 2010 sampai dengan 31 Maret 2011. Sedangkan untuk memantau kondisi terkini di lereng Gunung Merapi maupun di sepanjang Sunga Code, maka pemerintah membentuk 12 posko pemantauan di jembatan-jembatan sepanjang Sunga Code yaitu jembatan Ngentak, jembatan Ringroad Utara atau Plemburan, jembatan Gemawang, jembatan Sardjito Lama, jembatan Sardjito Baru atau 30
Ngentak merupakan sumber informasi pertama tentang kondisi di puncak Gunung Merapi, turun hujan atau tidak, terjadi kenaikan air atau tidak, yang kemudian dikenal dengan sebutan posko Kartika Utara. Selanjutnya sebagai upaya mempercepat komunikasi dan informasi sampai ke masyarakat luas, maka Pemerintah Kota Yogyakarta memberikan sarana komunikasi handy talky kepada 8 Camat, 14 Lurah dan 66 ketua RW yang wilayahnya termasuk daerah rawan banjir lahar dingin. Handy talky merupakan sarana yang kurang banyak dimanfaatkan dalam kehidupan seharihari masyarakat sepanjang Sungai Code, sehingga sebelum mengoperasikannya, setiap pemegang handy talky memerlukan penjelasan yang detail baik dari menghidupkan dan mematikan, frekuensi yang harus diakses, kata sandi atau bahasa atau istilah atau kode-kode yang disepakati, dan sebagainya. Fakta yang
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 25-40
ditemukan dalam penelitian ini bahwa pernah terjadi kesalahan informasi karena kesalahan mengakses frekuensi yang telah ditetapkan pemerintah. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemegang handy talky tidak mengikuti aturan pengoperasian baik dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja. Upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta untuk meminimalkan kesalahan informasi dan memusatkan sumber informasi terkait banjir lahar dingin yaitu dengan memasang base station di Posko Kartika Induk dan di Kampung Ledok Macanan, Kelurahan Suryatmajan. Base station ini hanya mempunyai jangkauan 500 meter baik ke arah utara, selatan, barat dan timur sehingga dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi dan daerah rawan banjir lahar dingin Sungai Code panjang memerlukan beberapa base station. Padahal apabila dilihat dari biaya pengadaannya cukup mahal yaitu 100 juta per unit. Penelitian ini juga menemukan adanya beberapa media komunikasi selain handy talky, base station yaitu spanduk, leaflet, kenthongan dan megaphone, pertemuan, interconnecting Network (Internet) dan handphone. B. Peran Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Tanggap Bencana Pihak-pihak yang terlibat dalam tanggap bencana banjir lahar dingin di Sungai Code adalah pemerintah, tokoh masyarakat, masyarakat dan relawan. Masing-masing pihak
Pemerintah
Peran regulator artinya peran membuat dan menentukan kebijakan terkait penanggulangan banjir lahar dingin. Peran fasilitator artinya menyediakan atau mempersiapkan berbagai kebutuhan masyarakat yang potensial terkena banjir lahar dingin (logistik, tempat pengungsian, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya). Peran pelaksana artinya melaksanakan secara langsung tindakan-tindakan terkait tanggap bencana banjir lahar dingin. Pemerintah sebagai penanggungjawab berperan sebagai regulator, fasilitator dan pelaksana. Peran yang dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah adalah peran regulator sedangkan peran fasilitator dan pelaksana dilakukan pemerintah bekerjasama dengan tokoh masyarakat, relawan dan masyarakat. Peran tokoh masyarakat cukup besar dalam tanggap bencana ini. Tokoh masyarakat sebagai pihak yang mengetahui secara persis kondisi masyarakat dan lingkungannya sehingga setiap kebijakan pemerintah senantiasa disampaikan kepada masyarakat melalui tokoh masyarakat. Relawan dalam tanggap bencana berperan cukup baik, senantiasa berkoordinasi dengan masyarakat terutama terkait kondisi potensi banjir lahar dingin meskipun pada dasarnya tugas relawan adalah evakuasi. Pihak-pihak yang terlibat dalam tanggap bencana banjir lahar dingin di Sungai Code dapat dilihat dalam Gambar 4. Gambar 4. menunjukkan bahwa pemerintah sebagai penanggungjawab, koordinator atau komando tertinggi dalam tanggap bencana
Informasi
Relawan Tindakan
Teknis
Tokoh Masyarakat
Masyarakat
Keterangan : : Garis Komando : Garis koordinasi Gambar 4. Hubungan pelaku tanggap bencana banjir lahar dingin di Sungai Code Tahun 2011 memiliki peran dalam tanggap bencana ini yaitu peran regulator, fasilitator dan pelaksana.
banjir lahar dingin di Sungai Code. Pemerintah senantiasa melibatkan tokoh masyarakat
Peran Media Komunikasi Dalam Tanggap Bencana Banjir Lahar Dingin ... (Wuri Rahmawati)
31
(ketua RW/RT) di masing-masing wilayah dalam sosialisasi dan implementasi berbagai kebijakan terkait penanggulangan bencana banjir lahar dingin di Sungai Code. Tokoh masyarakat sebagai salah satu pihak yang dipandang mempunyai kedekatan dengan masyarakat di wilayahnya baik secara fisik maupun psikis sehingga lebih mudah untuk mengkondisikan wilayah dan masyarakatnya. Pemerintah juga melibatkan relawan yang berada di beberapa posko pemantauan sebagai salah satu sumber informasi cuaca di Gunung Merapi, kondisi terkini di Sungai Boyong dan Sungai Code. Relawan-relawan tersebut juga melakukan koordinasi dengan tokoh masyarakat mengenai hal-hal yang bersifat teknis dan tindakan (action). Secara umum partisipasi masyarakat dalam tanggap bencana banjir lahar dingin cukup baik, masyarakat selain sebagai pelaksana teknis juga sebagai fasilitator dalam tanggap bencana di Sungai Code. Pemerintah juga melibatkan relawan yang ada di beberapa posko pemantauan sebagai salah satu sumber informasi cuaca di Gunung Merapi, kondisi terkini di Sungai Boyong dan Sungai Code. Relawan-relawan tersebut juga melakukan koordinasi dengan tokoh masyarakat mengenai hal-hal yang bersifat teknis seperti pemasangan watermeter, distribusi bantuan, pemasangan jalur evakuasi, dan sebagainya. Sedangkan koordinasi relawan dengan masyarakat dalam bentuk tindakan yaitu bersama-sama memasang watermeter dan jalur evakuasi, mendistribusikan bantuan, melakukan evakuasi apabila banjir lahar dingin membahayakan atau mengancam keselamatan masyarakat. Hal ini karena relawan pada prinsipnya bertugas untuk melakukan evakuasi. C. Isi Pesan dan Peran Media Komunikasi dalam Tanggap Bencana Media komunikasi sebagai sarana penunjang dalam sistem informasi bencana mempunyai peran penting dalam upaya kesiap-siagaan dan peringatan dini kepada masyarakat. Kemampuan media komunikasi untuk menjangkau masyarakat secara 32
luas dan cepat menjadi aspek yang sangat penting dalam kondisi potensial bencana. Masyarakat dapat menerima informasi yang sama dalam waktu yang hampir bersamaan meskipun di tempat yang berbeda karena pemanfaatan media komunikasi. Media memang tidak dapat mencegah datangnya bencana, tapi dapat berkontribusi mencegah banyaknya korban dengan mengurangi kepanikan masyarakat akibat isu-isu dan rumor yang tidak bertanggung jawab, juga mendidik masyarakat agar lebih mengetahui bencana. Pada dasarnya semua media yang digunakan dalam tanggap bencana banjir lahar dingin di Sungai Code menyampaikan pesan tanggap bencana, masing-masing media mempunyai kemampuan atau kekuatan dan kelemahan dalam menyampaikan informasi. Media komunikasi dalam tanggap bencana banjir lahar dingin di Sungai Code mempunyai tiga peran yaitu menginformasikan (to inform), mendidik (to educate) dan mengajak atau membujuk (to persuade). Peran menginformasikan (to inform) artinya media komunikasi berusaha untuk memberikan informasi kepada masyarakat luas mengenai kondisi riil Sungai Code, sehingga masyarakat diharapkan dapat terus mengantisipasi datangnya banjir lahar dingin. Informasi yang disampaikan melalui media komunikasi akan cepat tersebar luas ke masyarakat. Peran mendidik (to educate) artinya media komunikasi dapat menambah dan atau mengubah pengetahuan masyarakat tentang banjir lahar dingin. Peran mengajak atau membujuk (to persuade) artinya media komunikasi mampu menumbuhkan kebersamaan, kegotongroyongan dan saling membantu dalam menghadapi banjir lahar dingin. Hal yang diwaspadai dalam penyampaian informasi adalah dalam kondisi yang potensial bencana banjir, secara umum masyarakat akan segera membenarkan informasi yang diperoleh tanpa mengetahui kebenaran informasi tersebut sehingga dapat menimbulkan kepanikan. Peran media komunikasi dalam tanggap bencana banjir lahar dingin dapat dilihat pada Tabel 1.
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 25-40
Tabel 1. Saluran, sumber pesan dan pesan dalam tanggap bencana banjir lahar dingin di Sungai Code Tahun 2011 Media
Sumber Pesan
Pesan
Spanduk
• Pemerintah
• Code Tanggap Merapi • Aksi Segoro Amarto • Dari Code Selatan Kami Berseru Jadikan Sungai Aset Berharga
Leaflet
• Satgas Mitigasi Bencana • Pengertian lahar dingin Fakultas Teknik UGM • Tanda-tanda banjir lahar • Tindakan yang harus dilakukan (anjuran dan larangan)
Kenthongan dan Megaphone
• Masyarakat Relawan
Base Station
• Relawan Posko Kartika • Cuaca, hujan/tidak, Utara dan Pemerintah di kenaikan debit air, aliran air Posko Kartika Induk membawa material vulkanik, aliran lahar dingin sampai daerah mana, masyarakat waspada/mengungsi
Pertemuan di tingkat Pemerintah Kota, Kecamatan, Kelurahan dan RW/RT
• Pemerintah Masyarakat
Handy Talky
• Pemerintah (Posko Kartika • Cuaca, hujan/tidak, Utara) dan Relawan kenaikan debit air, aliran air membawa material vulkanik, aliran lahar dingin sampai daerah mana, masyarakat waspada/mengungsi
Internet
• Pemerintah
• Prakiraan cuaca, kelembaban, arah dan kecepatan angin, peta daerah rawan banjir lahar dingin
Handphone
• Pemerintah
• cuaca, arah angin, suhu udara, kelembaban udara, ketinggian air , material yang terbawa air dan jangka waktu air masuk ke sungai Code
dan
• Tanda bahaya akan terjadi banjir lahar dingin
Tokoh • Sosialisasi kemungkinan banjir • Anjuran untuk mengemas barang • Anjuran untuk meningkatkan kewaspadaan • Pendataan pasca banjir
Sumber : Data Primer (2011) Peran Media Komunikasi Dalam Tanggap Bencana Banjir Lahar Dingin ... (Wuri Rahmawati)
33
Tabel 2. Saluran, penilaian masyarakat atau penerima dan peran media dalam tanggap bencana banjir lahar dingin di Sungai Code Tahun 2011 Saluran
Penilaian Masyarakat
Peran Media Komunikasi
Spanduk
• Masyarakat tidak • To inform, To persuade mengakses atau tetapi tidak optimal (kurang memperhatikan pesan berperan) media sehingga Media ini tidak diperlukan
Leaflet
• Pesan kurang detail • To educate tetapi belum • Jumlah /frekuensi kurang optimal • masyarakat umum tidak mendapatkan media ini secara langsung
Kenthongan dan Megaphone
• Media cukup membantu • To inform, cukup optimal dan masyarakat sudah memahami melalui bunyi yang terdengar
Base station
• Belum tahu karena baru di • To inform dan to persuade launching pada 13 Januari 2011
Pertemuan
• Sosialisasi dengan baik
Handy Talky
• Informasi cepat diterima • To inform dan to persuade dan media ini sangat efektif
Interconnecting Network
• membantu untuk • To inform memantau cuaca harian
Handphone
• Membantu untuk • To inform memantau cuaca harian • Menyebarkan informasi pada kondisi potensial banjir
dilakukan • To inform, to educate dan to persuade
Sumber : Data Primer (2011) Berdasar Tabel 2 dan 3 terlihat bahwa peran media spanduk tidak optimal sehingga dapat dikatakan kurang berperan dalam tanggap bencana banjir lahar dingin di Sungai Code karena fakta yang ditemukan bahwa masyarakat kurang mengerti informasi yang ada dalam spanduk tersebut. Media leaflet 34
sebagai salah satu media yang berperan mendidik juga masih belum optimal perannya karena sosialisasi pesan dan pendistribusian hanya sampai tingkat Kelurahan. Masyarakat dapat mengetahui pesan dalam leaflet dengan membaca di papan-papan pengumuman atau di beberapa pos ronda.
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 25-40
Tabel 3. Kendala dalam pemanfaatan media komunikasi dalam tanggap bencana banjir lahar dingin di Sungai Code Tahun 2011 Media Komunikasi
Kendala
Spanduk
• Masyarakat kurang mengerti pesan-pesan dalam spanduk
Leaflet
• Tidak tersosialisasi secara langsung ke masyarakat
Kenthongan dan Megaphone • Jangkauan suara atau bunyi sangat terbatas Pertemuan
• Membangun kepercayaan masyarakat susah, masyarakat lebih menyukai hal-hal konkrit (bantuan) daripada hal-hal abstrak misal pesan kewaspadaan, dan sebagainya
Handy Talky
• Kesalahan mengakses frekuensi berakibat pada kesalahan dan ketidak akuratan informasi. • Terjadi jump-jump ketika banyak yang masuk ke frekuensi yang sama pada saat bersamaan
Base Station
• Jangkauan terbatas (radius 500 meter), biaya pengadaan mahal (100 juta /unit)
Interconnecting Network
• Masyarakat umum belum banyak yang mengakses
Handphone
• Space untuk menulis pesan terbatas, komunikasi terputus ketika pulsa tidak ada, memerlukan waktu untuk mencari nomor telepon yang akan di hubungi
Sumber : Data Primer (2011) Media kenthongan dan megaphone cukup optimal perannya dalam menginformasikan tanda bahaya akan terjadi banjir lahar dingin. Megaphone dimanfaatkan dengan membunyikan sirinenya sedangkan kenthongan dioperasionalkan dengan cara memukul sehingga terdengar bunyinya sebagai
tanda bahaya. Bunyi kenthongan untuk tiap kejadian berbeda-beda dan telah diatur dalam instruksi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 05 Instruksi/1980. Tanda bunyi kenthongan menurut instruksi tersebut dapat dilihat dalam tabel 4.
Tabel 4. Tanda Bunyi Kenthongan menurut Instruksi Gubernur DIY. No. 05/ Instruksi / 1980. No
Isyarat
Frekuensi dan Jeda Tanda Bunyi
Keterangan
1
Keadaan aman
00000 . 00000
Doro Muluk
2
Keadaan waspada
00 . 00 . 00
Dua-dua
3
Kejahatan khusus
000 . 000 . 000
Tiga-tiga
4
Kejahatan besar
0000000 . 0000000 . 0000000
5
Bencana alam
0000000000000000000
6
Kematian
00000 . 00000 . 00000 . 00000
Titir Gandul Titir Doro Muluk 2x
Sumber : Data Sekunder (2011) Peran Media Komunikasi Dalam Tanggap Bencana Banjir Lahar Dingin ... (Wuri Rahmawati)
35
Pada saat kondisi potensial banjir lahar dingin, bunyi kenthongan Titir selalu terdengar di sepanjang Sungai Code. Bunyi kenthongan berantai dari wilayah Code Utara ke wilayah Code Selatan baik yang ada di Barat ataupun Timur bantaran Sungai Code. Kenthongan sebagai alat komunikasi tradisional yang telah ada sejak dulu di kehidupan masyarakat sehingga masyarakat dapat memahami pesan yang disampaikan melalui bunyi yang di dengar. Pertemuan dilakukan baik di tingkat Pemerintah Kota, Kecamatan, Kelurahan dan RW/RT yang membahas berbagai hal terkait tanggap bencana banjir lahar dingin. Pesan yang disampaikan melalui media ini adalah sosialisasi kemungkinan terjadinya banjir lahar dingin, anjuran untuk mengemas barangbarang berharga yang dimiliki, anjuran untuk meningkatkan kewaspadaan, dan pasca banjir melakukan pendataan baik kerusakan, korban, kebutuhan masyarakat terkena banjir, dan sebagainya. Media ini cukup optimal dalam persuasi. Handy talky menjadi media komunikasi yang cukup optimal dalam tanggap bencana banjir lahar dingin. Informasi dapat dipantau selama 24 jam terkait kondisi terkini di Sungai Boyong khususnya dan di lereng Gunung Merapi pada umumnya. Informasi tersebut antara lain mengenai cuaca, arah angin, suhu udara, kelembaban udara, ketinggian air, material yang terbawa air dan jangka waktu air masuk ke sungai Code, anjuran untuk waspada atau mengungsi. Informasi tersebut cepat terdistribusi ke masyarakat melalui para pemegang handy talky yaitu ketua RW/RT setempat. Hambatan yang dihadapi dalam pemanfaatan media ini adalah kesalahan mengakses frekuensi berakibat pada kesalahan atau ketidakakuratan informasi dan terjadi jump-jump ketika banyak yang masuk ke frekuensi yang sama pada waktu bersamaan. Namun demikian masyarakat menyampaikan bahwa media handy talky sangat efektif dalam penyebaran informasi terkait tanda-tanda banjir lahar dingin. Base station merupakan early warning sistem yang dimaksudkan untuk meminimalisasi 36
ketidakakuratan informasi dan di launching pada tanggal 13 Januari 2011. Base station saat ini terpasang di dua tempat yaitu di posko Kartika Induk dan di Balai RW Kampung Ledokmacanan Kelurahan Suryatmajan. Walikota Yogyakarta dalam acara launching early warning system tersebut menyampaikan bahwa base station akan menjadi sumber informasi satu-satunya bagi masyarakat sepanjang Sungai Code supaya informasinya sama, akurat, tidak ada kesalahan dalam informasi sehingga tidak menimbulkan kepanikan ataupun rasa trauma. Masyarakat tidak perlu dipaksa atau diperintah untuk mengungsi, masyarakat tahu kondisi harus mengungsi dan kondisi masih tetap dapat bertahan di bantaran sungai. Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan base station adalah jangkauan suara atau bunyi hanya 500 meter ke arah Barat, Timur, Utara, Selatan dan apabila dilakukan dalam jarak dekat akan terjadi dengungan-dengungan atau feedback. Prinsip kerja handy talky dan base station sesuai dengan model komunikasi Shannon dan Weaver sehingga dapat dijelaskan bahwa dalam kondisi potensial bencana banjir lahar dingin dengan tingkat kepadatan penduduk sepanjang Sungai Code yang tinggi maka penyebarluasan informasi dengan media yang menggunakan sistem transmisi dan atau sinyal kuat sangat diperlukan sebagai sebuah peringatan dini bagi masyarakat. Masyarakat dapat secara cepat dan jelas menerima peringatan dini sehingga mempunyai waktu untuk mengambil tindakan dalam menghadapi ancaman banjir lahar dingin. Media interconnecting network dan handphone merupakan media yang berperan dalam menginformasikan (to inform). Pihak pemerintah dan relawan yang lebih sering mengakses informasi melalui media internet. Informasi mengenai prakiraan cuaca, kelembaban, arah dan kecepatan angin, peta daerah rawan banjir lahar dingin dapat diakses melalui internet salah satunya melalui website BNPB www.bnpb.go.id dan www.geospasial. bnpb.go.id. Sedangkan media handphone hampir dimiliki oleh seluruh masyarakat sehingga penyebaran informasi akan lebih mudah hanya saja sangat terbatas kapasitas
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 25-40
untuk menulis pesan dan memerlukan biaya (pulsa) untuk berkomunikasi. Media ini sering digunakan terutama pada saat media handy talky mengalami trouble. Pesan yang disampaikan melalui handphone lebih singkat dari pesan yang disampaikan melalui handy talky. Pesan tersebut meliputi cuaca, arah angin, suhu udara, kelembaban udara. Media komunikasi di wilayah Code Tengah lebih beragam daripada di wilayah Code Selatan. Hal ini berkaitan dengan tingkat kerentanan ancaman banjir lahar dingin yang tidak sama di antara dua wilayah tersebut. Media komunikasi yang ada di wilayah Code Tengah adalah media interpersonal (pertemuan, handy talky), media massa (spanduk, leafet, kenthongan, base station) dan hybrid media (interconnecting network, handphone). Media komunikasi yang ada di wilayah Code Selatan adalah media interpersonal (pertemuan handy talky), media massa (spanduk, leaflet, kenthongan, megaphone) dan hybrid media (interconnecting network, handphone). D. Tanggap Bencana dan Kesiap-siagaan Masyarakat Penelitian ini mengkaji persepsi tanggap bencana dari unsur pemerintah, tokoh masyarakat, relawan dan masyarakat. Tanggap bencana menurut pemerintah adalah upaya pengurangan risiko bencana dengan mempersiapkan warga untuk selalu waspada menghadapi banjir lahar dingin sehingga dapat mengurangi resiko kerugian atau korban serta memberdayakan masyarakat. Kesiapan mencakup kesiapan tenaga, logistik, perencanaan yang baik, lokasi evakuasi, jalur evakuasi, melakukan koordinasi dengan wilayah yang terkena bencana. Tanggap bencana menurut tokoh masyarakat adalah upaya menanggulangi bencana supaya masyarakat merasa aman, tidak merasa resah apabila sewaktu-waktu banjir datang. Tanggap bencana merurut relawan adalah upaya mengantisipasi bencana supaya dapat menekan jumlah korban dan
menaggulangi bencana. Masyarakat di bantaran Sungai Code diberitahu untuk menjauh atau menghindari sungai, membuat tanda atau jalur mengungsi, melakukan evakuasi pada kondisi membahayakan, mendistribusikan logistik ke masyarakat dan memasang watermeter disepanjang Sungai Code. Tanggap bencana menurut masyarakat adalah kondisi masyarakat yang selalu siap sebelum kejadian banjir, siap untuk menyelamatkan diri dan sebagian dari harta benda yang dimiliki ke tempat-tempat yang aman dan jauh dari bantaran Sungai Code. Kesiap-siagaan di sepanjang Sungai Code telah dilakukan Pemerintah antara lain dengan pembentukan Satlak PB dan pembagian tugas masing-masing, pemasangan dan pemanfaatan sistem peringatan dini, membuat jalur evakuasi dan lokasi-lokasi pengungsian untuk mempermudah dan mempercepat upaya penyelamatan. Upaya kesiap-siagaan ini dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah, tokoh masyarakat, relawan dan masyarakat. Bentuk kesiap-siagaan masyarakat antara lain mengemas barangbarang berharga dan barang-barang yang diperlukan apabila harus mengungsi seperti ijazah, surat nikah, sertifikat, pakaian dan stok makanan. Barang-barang tersebut kemudian di letakkan ke tempat yang lebih tinggi. Pada saat akan terjadi banjir, masyarakat selalu siap dan memantau perkembangan Sungai, dan ketika kondisi membahyakan maka dapat segera untuk menyelamatkan diri, keluarga serta harta benda yang dimiliki. 3.2. Artikel Ulasan Penelitian Raharjo, (2006) menyampaikan bahwa gempa bumi pada tanggal 27 Mei 2006 telah menimbulkan kerusakan terbesar di daerah sepanjang zona patahan geser mendatar dari Parangtritis ke arah timur laut hingga Piyungan dan Prambaan antara lain kerusakan hunian penduduk, bangunan-bangunan, struktur dan infrastruktur seperti saluran irigasi, fasilitasfasilitas pengolahan air, jembatan, jalan, pipa-pipa air, fasilitas pembangkit tenaga listrik, fasilitas telekomunikasi dan lain-lain.
Peran Media Komunikasi Dalam Tanggap Bencana Banjir Lahar Dingin ... (Wuri Rahmawati)
37
Hasil penelitian tersebut mengisyaratkan bahwa penelitian dilakukan setelah terjadi gempa dengan melakukan inventarisasi berbagai kerusakan yang ada akibat gempa bumi. Penelitian ini tidak mengkaji kondisi sebelum gempa terutama berkaitan dengan antisipasi dan kesiapan masyarakat menghadapi gempa bumi tersebut. Penelitian Wahida (2009) menyampaikan bahwa pemukiman di bantaran Sungai Code cukup padat, tidak teratur dan letaknya sangat dekat dengan garis sempadan sungai sehingga apabila sewaktu-waktu terjadi banjir dapat menimbulkan resiko besar terutama untuk rumah kumuh dan semipermanen. Mitigasi bencana secara struktural maupun non struktural sangat diperlukan untuk mengurangi dampak resiko bencana banjir. Mitigasi struktural dilakukan dengan pembuatan tanggul, memperkuat struktur bangunan membuat resapan air, membangun rumah dengan pondasi tinggi atau membuat rumah panggung. Mitigasi non struktural berupa kesadaran masyarakat untuk menjaga serta memelihara lingkungan tempat tinggalnya, kesediaan untuk direlokasi, menjaga kawasan hijau di daerah resapan air dengan tidak menebang pohon sembarangan, pengerukan sedimentasi secara bergotong-royong, tidak membuang sampah ke Sungai Code, memanfaatkan kearifan lokal (membunyikan kenthongan) sebagai peringatan tanda bahaya. Peneliitian tersebut hanya mengkaji mengenai mitigasi bencana yang diperlukan untuk mengurangi resiko banjir baik mitigasi struktural maupun mitigasi non struktural. Halhal lain berkaitan dengan kesiap-siagaan dan peringatan dini belum diuraikan secara detail padahal dalam menghadapi bencana kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana merupakan tiga aspek penting. Lebih lanjut bahwa dalam kondisi potensial bencana banjir maka kesiap-siagaan dan peringatan dini menjadi prioritas yang harus dilakukan oleh berbagai pihak dalam upaya meminimalkan resiko bencana terutama jatuhnya korban jiwa. Metode penelitian yang digunakan oleh 38
Wahida adalah penelitian survei dengan teknik pengambilan sampel probability sampling sehingga merupakan penelitian kuantitatif. Penggunaan metode survei menunjukkan telah digunakannya konsep atau teori-teori dan variabel-variabel tertentu yang berkaitan dengan topik penelitian tentang mitigasi bencana. Sedangkan penelitian ini merupakan penelitian eksploratif karena informasi terkait tanggap bencana diperoleh pada saat melakukan penelitian dan tidak ada variabelvariabel tertentu yang digunakan selama penelitian. Penelitian ini memungkinkan peneliti untuk menggali lebih luas mengenai tanggap bencana banjir lahar dingin di Sungai Code, terutama mengenai media komunikasi serta isi pesan yang disampaikan dari masing-masing media tersebut. Penelitian yang dilakukan ini asli berdasarkan hasil penelusuran peneliti bahwa hingga saat ini belum menemukan penelitian yang sama atau hampir sama berkaitan dengan peran media komunikasi dalam tanggap bencana. 4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Berdasar hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam tanggap bencana banjir lahar dingin di Sungai Code pihak yang terlibat adalah pemerintah, tokoh masyarakat, relawan dan masyarakat. Peran regulator dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah Kota Yogyakarta sedangkan peran fasilitator dan pelaksana dilakukan bersama antara pemerintah (unsur instansi, unsur TNI/POLRI, unsur Kecamatan dan Kelurahan) dan non pemerintah (tokoh masyarakat, relawan, masyarakat umum). Media komunikasi yang digunakan dalam tanggap bencana banjir lahar dingin di Sungai Code adalah media massa konvensional (leaflet, spanduk, megaphone, kenthongan), media interpersonal (pertemuan, handy talky, base station), dan hybrid media (handphone, interconnecting networking). Peran media massa konvensional adalah to inform dan to
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 25-40
persuade tetapi tidak optimal karena masyarakat hampir tidak memperdulikan pesan-pesan yang ada dalam media tersebut khususnya media spanduk. Peran media interpersonal adalah to inform, to educate, to persuade dan peran yang optimal adalah to persuade karena dengan media ini dapat terjadi feedback secara cepat. Peran hibryd media adalah to inform, to persuade dan peran yang optimal adalah peran to inform karena hybrid media mudah diakses dan memuat berbagai informasi yang dapat diperoleh dengan cepat. Media yang paling efektif pada kondisi tanggap bencana adalah media komunikasi yang dapat menginformasikan (to inform) pesan-pesan kondisi terkini (up to date), menjangkau masyarakat luas dengan waktu bersamaan secara cepat, akurat dan memungkinkan umpan balik (feedback) yang cepat. Media komunikasi tersebut menggunakan sistem transmisi dan atau sinyal yang kuat sehingga dapat menjangkau masyarakat luas dalam waktu cepat, serentak dan memperoleh feedback dengan cepat. 4.2. Saran Potensi banjir lahar dingin diperkirakan masih akan terjadi hingga 3-4 musim hujan sehingga kebijakan terkait antisipasi bencana banjir hendaknya dibuat untuk jangka panjang bukan hanya untuk kejadian banjir pada musim hujan saat ini saja. Kebijakan terkait simpulsimpul komunikasi dan koordinasi disertai pemanfaatan sistem peringatan dini hendaknya dibuat secara baku oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, untuk kemudian disosialisasikan kepada seluruh masyarakat di sepanjang Sungai Code. Penelitian terkait efektifitas media komunikasi dalam tanggap bencana banjir lahar dingin penting untuk dilakukan. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam tanggap bencana perlu dilakukan dengan mengoptimalkan peran kelompok dan menentukan simpulsimpul komunikasi (sumber informasi utama) di masing-masing wilayahnya sehingga ketidak akuratan informasi yang berpotensi menimbulkan kepanikan dapat diminimalkan.
DAFTAR PUSTAKA Bappenas dan Bakornas Penanggulangan Bencana., 2006, Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana 2006-2010, Kementrian PPN / Bappenas, Jakarta. Cozby, P.C. 2009. Methods in Behavioral Research edisi ke-9. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Creswell, J.W. 2010. Research Design : Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Devito, J.1997. Komunikasi Antar Manusia edisi kelima, Jakarta : Profesional Book Henn, M.,Mark, W.dan Nick, F., 2006. A Short Introduction to Social Reasearh. London : Sage Publications Ltd. Kartasasmita dan Kusmiati. 2006. Mitigasi Bencana Berbasis Komunitas dalam Prosiding Lokakarya Mitigasi Pasca Bencana Alam Gempa Bumi Yogyakarta. Bandung : Universitas Katolik Parahyangan Kriyantono, R. 2009. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta : Kencana Prenada Media Group Leuwis, C. 2003. Communication for rural Innovation : Rethinking Agricultural Extension Third Edition. London : Blackwell Science. Liliweri, A. 1991. Komunikasi Antarpribadi, Bandung : PT Citra Aditya Bakti Rahardjo, P. 2006. Dampak Kerusakan Infrastruktur dan Bangunan Pada Gempa 27 Mei 2006 di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, Universitas Bandung : Katholik Parahyangan Rogers, E.M.1995. Diffusion of Innovation Fourth Edition, New York : The Free Press Soetarso.1997. Penanggulangan Bencana dan Sistem Informasi Bencana dalam Kumpulan Makalah Pelatihan Aplikasi Sistem Informasi Penanggulangan Bencana. Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) dan Puspics UGM bekerjasama dengan Badan Koordinasi Penanggulanagn Bencana (BAKORNAS PB), Yogyakarta 17 Maret 1997 – 12 Apri 1997, Yogyakarta.
Peran Media Komunikasi Dalam Tanggap Bencana Banjir Lahar Dingin ... (Wuri Rahmawati)
39
Sugiyono.,2003. Statistika untuk Penelitian. Bandung : CV Alfabeta Wahida. 2009. Mitigasi Bencana Banjir di Bantaran Sungai Code Kota Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Tesis, Yogyakarta : UGM.
40
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 25-40
PELAYANAN KONSELING KESEHATAN MENTAL PASCA BENCANA DI INDONESIA Ifdil Universitas Negeri Padang E-Mail
[email protected] Abstract Disasters that occur in Indonesia resulted in the occurrence of problems after that. The issue of the mental health problems, including depression, anxiety, Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). If we left these problems, it can interfere with the effectiveness of disaster victims in most of his life, which complicate the adjustment and mental development-social and so on. To solve this problem needs to be done to alleviate that problem’s efforts. This effort can be done by counsellors, so the service disaster counseling can be helpful for the community to create and manifest a better life. Further, this article will expose about disaster counseling services. Keywords: Disaster, mental health, depression, anxiety, PTSDL. 1. PENDAHULUAN Berdasarkan data 27 Provinsi dari 33 Provinsi di Indonesia memiliki indeks rawan bencana pada katagori tinggi (Lilik K., Ridwan Y., Mohd. Robi A., & Narwawi P. 2011). Lebih lanjut Deny, Haryadi,dkk. (2006); dan Imam AS. (2008) menyebutkan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara di dunia yang menjadi daerah rawan bencana Bencana. Lebih lanjut Susilo Bambang Yudhoyono. (2012) menyebutkan bahwa 80 % persen Kabupaten di Indonesia Rawan Bencana. Bencana tersebut seperti gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, gunung meletus, kemarau, angin ribut, angin topan, badai, puting beliung, penyakit dan lain-lain. Selama kurun waktu 5 tahun terakhir lebih dari 4.408 kali bencana terjadi di Indonesia, (Badan NPB 2010) diantaranya gempa bumi sebanyak 71, gempa bumi yang mengakibatkan tsunami sebanyak 2, letusan gunung berapi sebanyak 24, tanah langsor sebanyak 469, banjir sebanyak 1.916, banjir disertai tanah longsor sebanyak 158, kekeringan sebanyak 1.083, angin tofan sebanyak 580, gelombang pasang sebanyak 105. (Priyadi K; 2009) Tingginya frekuensi bencana ini
menimbulkan kecemasan, ketakutan, kerusakan serta kerugian material maupun non-material yang luar biasa. Lebih lanjut Ratih (2007) menyatakan bencana mengakibatkan korban merasa cemas, kehilangan kedudukan, goncangan, depresi (depression), tekanan psikologi (stress) dan trauma. Pandapat ini didukung oleh Mudjiran (2010) menyatakan akibat lain dari bencana gempa dan tsunami telah pula menyebabkan kegoncangan psikologis, depresi, stess dan trauma dan berpengaruh terhadap keadaan psikososial, terutama pada anak-anak/siswa. Dari sumber lain menyebutkan pasca bencana telah menimbulkan masalah kesehatan mental pasca bencana di antaranya yaitu depresi (depression), kegelisahan (anxiety), stres dan somatization. (Diaz, J. O. P., Murthy, S., & Lakshminarayana, R. 2006). Lebih lanjut Diah (2012) menyebutkan bahwa bencana alam dan bencana sosial seperti kebakaran, gempa bumi, dan kerusuhan meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental (jiwa). Kondisi ini jika dibiarkan berlarut-larut menurut Sunardi (2007) menyebutkan dapat menimbulkan Post Traumatic Stress Disorder – PTSD, yang bisa berlangsung sampai dengan jangka 30 tahun, bahkan menurut Rice dan Fahrudin (dalam
Pelayanan Konseling Kesehatan Mental Pasca Bencana ... (Ifdil)
41
Sunardi, 2007) dapat berlangsung sepanjang hayat. Permasalahan kesehatan mental pasca bencana ini, perlu diperhatikan secara menyeluruh dan perlu pengendalian. Jika tidak hal ini akan meninggalkan dampak yang serius terhadap seluruh aspek kesejahteraan kehidupan masyarakat. Anggota masyarakat dapat kehilangan gairah hidup, kehilangan semangat kerja, anak-anak akan kehilangan semangat hidup, putus asa, dan pada akhirnya mereka akan menjadi generasi yang menjadi beban masyarakat (Mudjiran, 2010), seiring dengan pendapat Lauzon (1999) yang melihat kesehatan dan kesejahteraan hidup dapat meningkatkan tahap kegembiraan, kepuasan dan semangat meneruskan kehidupan. Kondisi ini perlu penyelesaian sehingga tidak menjadi wabah yang sukar ditangani. Hal ini sejalan dengan laporan BPP (2008) menyebutkan akibat bencana yang terjadi perlu adanya aktivitas pengendalian kesehatan mental sebelum maupun sesudah bencana. Berdasarkan laporan dan kajian yang telah dijalankan dapat dibuktikan bahwa permasalahan kesehatan mental pasca bencana sangat banyak terjadi. Lisa M. Brown. (2009) menyatakan 6% - 7% penduduk Amerika Serikat adalah terkena bencana atau trauma setiap tahunnya. Bordoloi, S., & Khoja, A. (2006) menyebutkan akibat gempa bumi dan tsunami 2004 di daerah Calang Aceh Provinsi Nanggaroe Aceh Darussalam telah menyebabkan lebih dari 20.000 orang atau sekitar 80% meninggal dunia, dan 85% terdiri dari guru dan pelajar sekolah menengah, kondisi ini menjadikan berlakunya kecemasan dan kebimbangan, stress dan trauma bagi korban. Data World Mental Health Survey (2000), menyebutkan gangguan kesehatan mental ringan dan sederhana pasca bencana (depresi dan gangguan anxietas, termasuk PTSD) rata-rata sekitar 10% di seluruh dunia Angka ini akan meningkat hingga 20% - pasca terkena trauma dan kehilangan yang berat kalau dibiarkan. Mudjiran (2010) menyebutkan bahwa jika dibiarkan dalam jangka panjang, dengan munculnya masalah-masalah yang dihadapi 42
anggota masyarakat pasca bencana terutama karena permasalahan gangguan kesehatan mental akan menyulitkan penyesuaian diri mereka dan perkembangan mental-sosial, baik yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan maupun untuk memenuhi keperluan-keperluan dalam kehidupannya secara meluas. Kesulitankesulitan dan penderitaan yang dialami kanakkanak tersebut memerlukan pengendalian langsung dan segera untuk pemulihan ke arah kehidupan yang normal. Upaya pemulihan masalah-masalah kesehatan mental pasca bencana dapat dilakukan oleh konselor. Upaya ini merupakan salahsatu fokus baru dan merupakan tanggungjawab konselor dalam mengentaskannya. ACA (American Counseling Association; 2010) menyatakan pelayanan konseling dalam menangani masalah pasca bencana merupakan salah satu fokus baru; konselor sepatutnya memiliki minimal kemampuan dasar dalam pelayanan konseling untuk menangani masalah-masalah pasca. Oleh karenanya konselor harus memiliki wawasan, pengetahuan. ketrampilan, nilai dan sikap (WPKNS), dalam penyelenggaraan pelayanan untuk melakukan pelayanan konseling kesehatan mental pasca bencana sehingga masyarakat dapat terbantu demi untuk menciptakan dan mewujudkan tantanan kehidupan yang lebih baik. 2. OBJEKTIF Artikel ini memaparkan tentang arah pelayanan konseling kesehatan mental pasca bencana. Pelayanan konseling yang dilakukan ini untuk menangani masalah kesehatan mental, yaitu depresi (depression), kegelisahan (anxiety), stres (Stress), dan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). 3. MASALAH KESEHATAN MENTAL PASCA BENCANA DI INDONESIA Setelah terjadinya bencana, banyak masalah-masalah kesehatan mental yang muncul. Tingkat masalah sangat beragam, tergantung bentuk dan jenis bencana yang terjadi, berikut beberapa masalah kesehatan
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 41-46
mental berdasarkan hasil penelitian, diantaranya. Hasanuddin pada tahun (2005) melaporkan data tentang kumpulan terjadinya Gangguan Stress Pasca-trauma (GSPT) yaitu trauma khusus, akibat bencana alam (3,7% laki-laki, 5,4% wanita), korban pembunuhan (1.8% lakilaki, 21,8% wanita), peperangan (38% lakilaki, 18% wanita), rogol (40,5% laki-laki, 65% wanita). Secara umum 10-20% dari orang yang terkena trauma akan berkembang menjadi GSPT. Trauma Center 2005 melaporkan jumlah klien stres pasca-trauma yang melanda Lhokseumawe. mencapai 473 orang, dengan jumlah klien tiap bulan sebagai berikut: Januari sebanyak 63 orang, Februari 72 orang, Maret 55 orang, April 35 orang, Mei 25 orang, Juni 26 orang, Juli 47 orang, Agustus 28 orang, September 42 orang, Oktober 42 orang, November 18 orang dan Desember sebanyak 20 orang, di mana klien yang tidak mengunjungi tahun 2005 sebanyak 175 orang (37%) (Laporan Trauma Center Lhokseumawe., 2005). Pada tahun yang sama, Dharmono dkk (2008) menjalankan penelitian tentang Gangguan Stres pasca Trauma terdapat sekitar 10-20% yang mengalami gangguan mental berarti seperti gangguan tekanan pascatrauma, gangguan depresi, gangguan panik, dan berbagai gangguan anxietas terkait. Seterusnya Nandang Rusmana (2008) menjalankan kajian dan hasil kajian yang dijalankan melalui instrumen kriteria diagnostik PTSD diperolehi gambaran 77,1% pelajar MI masih dibayangi oleh peristiwa traumatik, 46,7% berfikir negatif, 33,3% merasa tidak berdaya, 34,8 % mempunyai masalah emosional dan 22,9%, mengasingkan diri, dan 16,7% lain merasa harapan masa depan rendah. 22,4% pelajar MTs merasa masih dibayangi oleh peristiwa traumatik, 18,1% berfikir negatif, 14,3% merasa tidak berdaya, 10,5% mempunyai masalah emosional, 9% mengasingkan diri, dan 8,6 % lain merasa harapan masa depan rendah. Seterunya Hidayat (2009), melaporkan dari hasil pemeriksaan terhadap 50 pengungsi kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat sekitar 15% (30 orang) mengalami stress
akut. Memang hasil pemeriksaan ini tidak dapat mewakili kondisi mental korban secara keseluruhan, namun jumlah tersebut dapat menunjukkan situasi mental yang buruk akibat gempa bumi. 4. PELAYANAN KONSELING BENCANA DI INDONESIA
PASCA
Keterlibatan konselor pasca bencana di Indonesia kalau dirata-ratakan dapat dikatagorikan masih rendah (Ifdil.2012). Dengan besarnya jumlah bencana dan luasnya daerah serta kurangnya konselor di Indonesia, menjadikan dasar minimnya keterlibatan konselor, namun demikian berdasarkan laporan penyelenggaraan konseling trauma tiap tahun semakin meningkat. (UNP 2005, 2010). Lebih lanjut Sunardi (2007) menyebutkan bahwa kepedulian profesi konseling terhadap individu yang mengalami trauma, sebenarnya bukan hal yang baru, walaupun untuk kasus di Indonesia masih termasuk modus baru, seiring dengan banyaknya korban yang mengalami trauma sebagai dampak terjadinya bencana, konflik, dan aksi-aksi kekerasan lainnya. Keterlibatan konselor dan organisasi konseling dalam melakukan pelayanan membantu korban pasca bencana, diawali dengan bencana tsunami besar yang terjadi Aceh pada tahun 2004 (UNP, 2005). Dalam laporan menyebutkan pasca tsunami Aceh akhir tahun 2004 Prof. Dr. Prayitno dari UNP bersama timnya pada minggu kedua mengunjungi daerah bencana di Banda Aceh dan memberikan layanan - layanan konseling di tenda-tenda darurat. (UNP 2005). Beberapa bulan kemudian tim LPTK Indonesia (antara lain UNP, UM, UNNES, UPI) juga mengirim konselor ke daerah bencana tersebut untuk melakukan penanganan permasalahan psikologis pasca bencana di sana. UNP (2010), melaporkan selama kegiatan traumatik konseling telah melibatkan para konselor, para dosen bk, mahasiswa Pendidikan Profesi Konselor, mahasiswa BK, guru pembimbing, dosen PLS, dosen PGPaud, dosen psikologi, mahasiswa psikologi dan yang lainnya. Lebih lanjut UNP (2010) pasca gempa 30 September 2009, UNP telah
Pelayanan Konseling Kesehatan Mental Pasca Bencana ... (Ifdil)
43
mengirimkan konselor, mahasiswa PPK dan Mahasiswa BK ke 50 lokasi korban bencana gempa di kabupaten/kota yang tersebar di Sumatera Barat. Ifdil (2010) pasca bencana gunung merapi meletus tahun 2010, para petinggi Ikatan Konselor Indonesia (IKI) Jawa Tengah, bersama dengan calon konselor Mahasiswa PPK UNNES bahu-membahu menyiapkan tim yang akan turun ke lokasi bencana untuk melakukan Konseling Trauma Merapi. Konseling Trauma Merapi ini dilakukan dalam upaya untuk mengatasi kondisi KES-T itu tidak boleh berlarut-larut dan harus segera diatasi. 5. ARAH PELAYANAN KONSELING KESEHATAN MENTAL PASCA BENCANA DI INDONESIA Pelayanan konseling pasca bencana, dapat dilakukan dalam menangani masalah kesehatan mental. Masalah kesehatan mental pasca bencana merujuk kepada kemampuan berfikir yang baik yaitu pemikiran yang rasional serta kemampuan untuk mengentaskan masalah. WHO menyebutkan bahwa mental yang sehat meliputi keupayaan individu berfikir dan bertindak positif, bergaul secara sehat dan mampu mengendali masalah dan tekanan kehidupan sehari-hari secara sadar. Prayitno (2010) menyebutkan secara umum tahapan pelayanan konseling pasca bencana mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut: (1) Mengidentifikasi variasi dan intensitas permasalahan yang (dapat) mengakibatkan trauma dan menimbulkan gangguan terhadap KES (Effective Daily Living) sehingga menjadikan KES-T (Kehidupan Efektif sehari-hari ;Terganggu) yang dialami oleh peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan warga masyarakat umumnya. (2) Memberikan pelayanan konseling untuk mengatasi trauma dan kondisi KES-T tersebut pada nomor (1), sesuai dengan kondisi permasalahan masing-masing pihak terkait. (3) Mengkondisikan berlangsungnya kembali proses pembelajaran dan kehidupan yang kondusif dengan melibatkan peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan dengan dukungan orang tua tersebut pada nomor 1 44
dan nomor 2, serta kelembagaan umum dan unit sosial kemasyarakatan terkait. Secara khusus masalah-masalah yang mengganggu keefektifan kehidupan sehari-hari pasca bencana merupakan masalah-masalah kesehatan mental diantaranya yaitu depresi (depression), kegelisahan (anxiety), Stres (Stress) dan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Arah penyelenggaraan pelayanan konseling pasca bencana mencakup pengentasan masalah kesehatan mental pasca bencana yaitu depresi (depression), kegelisahan (anxiety), Stres (Stress) dan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Konseling yang dilakukan yaitu terentasnya permasalahan kesehatan mental pasca bencana dengan berbagai pendekatan dapat dilakukan. Sunardi (2007) menyebutkan beberapa metode dan pendekatan yang dapat diselenggarakan dalam pelayanan secara umum dikenal diantaranya terapi tingkah laku, art therapy, relaksasi, desentisisasi sistematis, cognitive therapy, group support therapy, dan expressive therapy, play tehrapy, reality therapy, defusing, dan debriefing, dan coping stress. Pemilihan pendekatan konseling disesuaikan dengan jenis bencana dan masalahnya. 6. PENUTUP Tingginya frekuensi bencana yang terjadi akan membawa dampak yang tinggi pula. Termasuk dampak terhadap kesehatan mental korban pasca bencana. Kondisi ini memerlukan upaya untuk mengentaskannya, permasalahan kesehatan mental pasca bencana ini memerlukan perhatian menyeluruh dalam pengendaliannya. Konselor dapat berpartisipasi dalam pengentasan masalahmasalah kesehatan mental setelah bencana. Peran dan ketrampilan konselor dalam menangani masalah kesehatan mental pasca bencana di Indonesia perlu ditingkatkan agar dapat menyelenggarakan pelayanan. Oleh karenanya konselor harus minimal memiliki kompetensi dasar dalam pelayanan konseling untuk menangani masalah-masalah kesehatan mental pasca mencakup depresi (depression),
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 41-46
kegelisahan (anxiety), Stres (Stress) dan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). DAFTAR PUSTAKA ACA. (2011). Disaster Mental Health. Retrived November 29, 2011, from http://www counseling.org/sub/dmh/index.aspx: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB 2010). Statistik Bencana. Retrived November 30, 2011, from www.bnpb.go.id Bocanegra, H. T. d., Moskalenko, S., & Kramer, E. J. (2006). PTSD, Depression, Prescription Drug Use, and Health Care Utilization of Chinese Workers Affected by theWTC Attacks. Journal of Immigrant and Minority Health, , Vol. 8, No. 3, July 2006 (Springer Science+Business Media, LLC). Bordoloi, S., & Khoja, A. (2006). Development Of A Psychosocial Questionnaire And A Worksheet For Teachers, Parents, Students And Other School Personnel To Assess Educational Needs Of Survivors Of The Tsunami In Calang, Indonesia. In J. O. P. Diaz, R. S. Murthy & R. Lakshminarayana (Eds.), ADVANCES IN DISASTER MENTAL HEALTH AND PSYCHOLOGICAL SUPPORT (pp. 153 163). New Delhi: Voluntary Health Association of India Press. Deny Hidayati, Haryadi Permana, et al. (2006). Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi & Tsunami: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Dharmono S, Agiananda F, Redayani P, dan Diatri H. (2008). Gangguan Stres pasca Trauma (panduan Praktis bagi Tenaga Kesehatan), Pusat Kajian Bencana dan Tindak Kekerasan, Departemen Psikiatri FKUI- RSCM, Jakarta. Diah Setia Utami. (2012). Bencana Alam dan Sosial Tingkatkan Gangguan Jiwa. Retrieved 28 Oktober 2012, from http:// www.tempo.co/read/news/2012/08/31/ 173426684/Bencana-Alam-dan-Sosial Tingkatkan-Gangguan-Jiwa Diaz, J. O. P., Murthy, S., & Lakshminarayana, R. (2006). Advances in Psychological and
Social Support after Disasters. New Delhi: Voluntary Health Association of India Press. Hasanuddin Ayra. (2005). Gangguan Jiwa setelah Bencana Tsunami, PPDS Psikiatri, International Society of Sypnosis. Jakarta. Depkes RI Imam A. Sadisun. (2008). Pemahaman Karakteristik Bencana, Aspek Fundamental dalam Upaya Mitigasi dan Penanganan Tanggap Darurat Bencana. Paper. Bandung. Institut Teknologi Bandung Ifdil.(2010). PPK UNNES Bersama IKI Jawa Tengah Siapkan Diri untuk Konseling Trauma Merapi. Retrived November 29 Oktober¬¬ 2012. from http://konselor.org/ index php?option=com_content&task=vie w&id=61&Itemid=1 Kennedy, A. (2006, July).When disaster strikes. Counseling Today, pp. 6, 25. Kuoa, H. W., Wua, S. J., Mab, T. C., Chiuc, M.-C., & Choub, S.-Y. (2004). Posttraumatic symptoms were worst among quake victims with injuries following the Chi-chi quake in Taiwan. Psychosomatic Research, 62 (2007) 495– 500(Elsevier Inc.). Lauzon, L. (1999). Teacher Wellness. Newsletter For Wellness. 1 (2), 1-5 Lisa M. Brown. (2009). Disasters: Impact on Mental Health in an Elderly Population and Practical Suggestions for Preparation, Response, and Recovery. Department of Aging and Mental Health Disparities Florida Mental Health Institute, MHC 1441 University of South Florida. Lilik Kurniawan, Ridwan Yunus, Mohd. Robi Amri, & Narwawi Pramudirta. (2011). Indeks Rawan Bencana Indonesia. Jakarta: BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Mudjiran, Daharnis, Taufik,e t al (2010). Pemulihan Dini Mental Masyarakat Pasca Gempa di Kota Padang. Padang: Pemko Padang, BNPB, UNP. Nandang Rusmana. (2008). Konseling Kelompok Bagi Anak Berpengalaman Traumatik. (Pengembangan Model Konseling Kelompok melalui Permainan untuk Mengatasi Kecemasan Pascatrauma pada Anak-Anak Korban Tsunami di
Pelayanan Konseling Kesehatan Mental Pasca Bencana ... (Ifdil)
45
Cikalong Tasikmalaya) Tesis. Tidak diterbitkan. Universitas Pendidikan Indonesia Norris, F. H., Hamblen, e. L., & Rosen, C. S. (2009). Service Characteristics and Counseling Outcomes: Lessons from a Cross-Site Evaluation of Crisis Counseling After Hurricanes Katrina, Rita and Wilma. Adm Policy Ment Health, 36:176–185 (Springer Science+Business Media,). Prayitno. (2010). Traumatic counseling For disaster victims. Paper, Internasional Seminar. Parung: P4TK Penjas dan BK. Priyadi Kardono, Hermana, et al (2009). Data Bencana Indonesia Tahun 2009. Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Ratih Putri Pratiwi. (2007). Sumbangan Psikologi Klinis Dalam Assessment Gangguan Psikologis Korban Bencana Alam. Retrived November 28, 2011, from http://psikologi.or.id/: Sunardi. (2007). Gangguan Stres Pasca Trauma (Post Traumatic Stress Disorder) dalam Perspektif Konseling. PLB FIP Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. Susilo Bambang Yudhoyono. (2012). 80 Persen Kabupaten Di Indonesia Rawan Bencana. Retrieved 25 Oktober 2012, from http://setkab.go.id/berita-6133-80-persen kabupaten-di-indonesia-rawan-bencana. html Trauma Centre Lhokseumawe. (2005). Laporan Perkembangan Trauma Centre Kabupaten Aceh Utara, Lhokseumawe. Kabupaten Aceh Utara. UNP. (2005). Laporan Pelaksanaan Konseling Trauma di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam. Padang : Jurusan BK FIP UNP UNP. (2010). Laporan Pelaksanaan Konseling Trauma di Propinsi Sumatera Barat. Padang: Jurusan BK FIP UNP
46
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 41-46
PERILAKU PROTEKSI DIRI RELAWAN SAR TERHADAP INJURY PADA TANGGAP BENCANA Asmadi Penulis adalah Dosen STIKes Kuningan dan Anggota Potensi SAR Kantor SAR Bandung Jawa Barat Abstract The volunteers’ role of search and rescue (SAR) personnel in disaster response is very important. State of being prepared for SAR personnel in disaster response do not ignore to safety and health for their self. Volunteers or SAR personnel have high risk for injury as fall, strucking down, geting stabbed, hazards expose, communicable disease, psychological stress, and death.From based on high risk condition, volunteers have to caution and self protection during working in disaster response. Self protection is most important priority for every volunteers. This research used descriptive design. Samples were search and rescue personnelboard for disaster management Kuningan district as many as 47 peoples. Result in this research were 63,8% volunteers have not complete for self protection tools and 42,6% volunteers have good for protection behavior. The result of this study be able to become foundation for stakeholders to make policy in disaster management programe especially improvement for volunteers self protection skills. Keywords: SAR, disaster, self protection. 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peristiwa bencana merupakan pemasalahan yang dihadapi oleh seluruh masyarakat dunia tidak terkecuali negara Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang paling sering terjadi berbagai bencana baik bencana karena faktor alam maupun bencana karena faktor non alam atau manusia. Banyaknya bencana alam di Indoensia tidak lepas dari letak geografis Indonesia. Secara geografis Indonesia berada pada jalur ring of fire. Indonesia berada pada posisi pertemuan lempeng besar dunia yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Selain itu, Indonesia juga berada pada pertemuan tiga sistem pegunungan yaitu Alpine Sunda, Circum Pacific, dan Cirscum Australia (Purnomo dan Sugiantoro, 2010). Oleh karena itu, Indonesia merupakan wilayah yang rawan bencana. Akibatnya, di Indonesia sering terjadi gunung
meletus, gempa bumi, banjir, tanah longsor, tsunami, dan lainnya. Peristiwa bencana di Indonesia dapat terjadi di hampir seluruh wilayah salah satunya adalah di Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Kabupaten Kuningan merupakan salah satu daerah pegunungan yang memiliki gunung tertinggi di Jawa Barat yaitu gunung Ciremai. Selain itu, Kabupaten Kuningan merupakan daerah perbukitan. Kondisi ini membuat Kabupaten Kuningan rawan terjadi bencana terutama adalah tanah longsor saat terjadi hujan. Kabupaten Kuningan menempati peringkat ke-11 daerah rawan bencana di Jawa Barat. Sedangkan secara nasional, berada pada peringkat ke-76 sebagai daerah rawan bencana (BPBD Kab. Kuningan, 2013). Hampir setengahnya kecamatan di kabupaten Kuningan masuk kategori paling rawan terjadi bencana tanah longsor yaitu 15 dari 32 kecamatan. Setiap kali terjadi bencana pasti akan menimbulkan kerugian baik kerugian
Perilaku Proteksi Diri Relawan SAR Terhadap Injury ... (Asmadi)
47
material maupun imaterial. Sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 bahwa bencana mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Tidak sedikit korban jiwa manusia yang meninggal akibat bencana alam misalnya tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam 26 Desember 2004 menelan korban lebih dari 200.000 jiwa meninggal. Besarnya kerugian yang ditimbulkan bencana, maka semestinya penanggulangan bencana dilakukan dengan tepat dan benar sesuai dengan prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana sebagaimana termaktub dalam UU No. 24 tahun 2007. Salah satu upaya dalam penanggulangan ketika bencana terjadi adalah tanggap darurat. Tanggap darurat bencana merupakan respon segera setelah bencana terjadi. Dalam manajemen disaster tanggap darurat merupakan salah satu fase atau tahapan dalam bencana. Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007, tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Pelaksanaan tanggap darurat merupakan kegiatan yang sangat krusial ketika bencana terjadi. Menurut International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (2007), waktu dalam merespon bencana sama dengan waktu penyelamatan ketika bencana terjadi. Artinya, lebih cepat dan tepat dalam merespon bencana maka akan lebih banyak korban yang diselamatkan. Begitu pula sebaliknya bila respon bencana lamban dan tidak tepat akan memungkinkan banyaknya korban bencana yang tidak terselamatkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelaksanaan tanggap darurat bencana adalah berpacu dengan waktu dalam memberikan ketepatan pertolongan pada bencana. Pelaksanaan tanggap darurat bencana dilakukan oleh suatu tim tertentu yang 48
disebut dengan tim Search and Rescue (SAR) atau tim gerak cepat atau berbagai penyebutan lainnya. Tim tersebut dimiliki oleh berbagai institusi dengan penamaan yang berbeda seperti BASARNAS, TAGANA (Dinas Sosial dan Tenaga Kerja), dan lainnya. Meskipun berbeda penamaannya tetapi semuanya sama sebagai unit search and rescue sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 36 Tahun 2006. Pada Peraturan pemerintah tersebut dijelaskan bahwa setiap instansi/ organisasi potensi SAR dapat membentuk unsur SAR sesuai tugas dan fungsinya. Berbagai instansi yang terlibat dalam penanganan bencana mempersiapakan dan mengorganisir relawan yang akan dilibatkan dalam penanganan bencana. Atas dasar itu, maka Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Kuningan memiliki unit SAR yang disebut dengan relawan unit cegah siaga. Kesiapsiagaan petugas atau relawan, terutama tim Search and Rescue (SAR), mutlak diperlukan dalam tanggap darurat bencana. Tim SAR dituntut untuk memiliki kemampuan dalam menolong dan mengevakuasi korban sebagaimana tertuang pada Peraturan Pemerintah RI No. 36 Tahun 2006. Menolong korban bencana dengan cepat dan tepat mutlak diperlukan. Lambatnya pertolongan dapat memperparah kondisi korban. Begitu pula dengan ketidaktepatan dalam memberikan pertolongan juga dapat memperburuk korban bencana. Oleh karenanya personil SAR mesti lebih profesional dalam memberikan pertolongan korban bencana. Kesiapsiagaan personil SAR dalam tanggap darurat bukan berarti mengabaikan terhadap keselamatan dan kesehatan dirinya. Menjalankan tugas sebagai personil SAR memungkinkan akan menghadapi risikorisiko yang mengancam keselamatan dan kesehatannya. Beratnya medan lokasi bencana, kondisi cuaca, dan kelelahan merupakan beberapa faktor yang dapat mengancam terhadap keselamatan dan kesehatan personil SAR.
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 47-56
Personil SAR berisiko dalam menjalankan tugasnya, maka perlu adanya manajemen risiko dan kecenderungan terkena penyakit pada relawan. Masalah keselamatan dan kesehatan relawan/personil SAR merupakan issue kritis yang harus diperhatikan pada pengelolaan relawan/personil SAR dalam pertolongan bencana. Sebab, area bencana merupakan area yang bahaya yang tak terpisahkan dan relawan/personil SAR dapat terpapar bahaya tersebut. Personil SAR bukan hanya dibutuhkan kesiapan secara fisik dan mental namun perlengkapan-perlengkapan perlindungan diri juga penting untuk diperhatikan. Berbagai risiko kemungkinan dapat terjadi. Kondisi darurat pada bencana bukan hanya nyawa korban yang diselamatkan tetapi juga mempertaruhkan hidup para relawan/personil SAR. Relawan ataupun personil SAR berisiko tinggi mengalami cedera seperti jatuh, tertimpa reruntuhan, tertusuk benda tajam dan terpapar dengan berbagai hazard baik hazard material maupun hazard biologis. Selain itu, kemungkinan tertular penyakit maupun stres psikologis juga dapat dialami oleh personil SAR. Bahkan relawan juga memiliki risiko kematian dalam menjalankan tugasnya. Terjadinya kecelakaan atau cedera pada personil SAR dapat menambah persoalan yang dihadapi dalam penanganan bencana. Atas dasar itu, maka proteksi diri dan kewaspadaan dalam melakukan tindakan tanggap darurat bencana mutlak diperlukan dan menjadi prioritas utama yang harus diperhatikan oleh para relawan. Selain itu, personil SAR juga seyogyanya memperhatikan keselamatan dan kesehatan selama menjalankan tugas dalam tanggap darurat bencana. 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelengkapan peralatan yang dibawa atau dipakai oleh relawan dan bentukbentuk perilaku proteksi yang dilakukan oleh para relawan yang tergabung dalam tim unit cegah siaga Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Kuningan.
2. METODOLOGI 2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data penelitian dilakukan pada bulan Desember 2013 dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner terdiri dari dua komponen yaitu kuesioner mengenai kelengkapan peralatan yang dibawa relawan dengan pilihan jawaban ya atau tidak dan kuesioner mengenai bentuk-bentuk perilaku proteksi diri yang dilakukan oleh tiap relawan dengan bentuk pernyataan skala Likert. Kuesioner ini diberikan langsung kepada responden untuk diisi secara objektif sesui dengan yang biasa dilakukan ketika melakukan tanggap bencana. Adapun lokasinya penelitiannya adalah Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten Kuningan. Namun, karena tim Unit Cegah Siaga (UCS) BPBD Kabupaten Kuningan tersebar asal instansi, maka peneliti mendatangi ke instansi-instansi dimana para tim UCS bekerja. 2.2. Sampel Penelitian Sampel penelitian adalah para relawan yang tergabung dalam tim unit cegah siaga BPBD Kabupaten Kuningan. Jumlah sampel sebanyak 47 orang yang diambil secara acak. Karakteristik sampel pada penelitian ini beragam baik dari jenis kelamin, status marital, pendidikan formal terakhir, maupun dari lamanya menjadi relawan dan frekuensi ditugaskan pada daerah bencana. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Laporan Penelitian Hasil penelitian mencakup dua komponen yaitu kelengkapan alat dan perilaku proteksi diri. Kelengkapan alat yang dimaksud adalah perlengkapan yang dipakai atau dibawa oleh tiap relawan untuk melindungi diri dari risiko cedera, jatuh, kontaminasi penyakit dan risiko lainnya yang kemungkinan besar bisa dialami oleh relawan. Perlengkapan alat yang dimaksud diantaranya adalah helm atau topi, pakaian/kaos lengan panjang, sepatu boots,
Perilaku Proteksi Diri Relawan SAR Terhadap Injury ... (Asmadi)
49
sarung tangan karet, masker, jaket, ponco (baju anti air), tali pengaman, betadhin, kain kasa/ verban, cairan desinfektan, plester, dan sabun cair untuk cuci tangan. Hasil penelitian mengenai kelengkapan alat ini diperoleh hanya 36,2% relawan yang lengkap dalam memakai atau membawa peralatan proteksi diri. Jenis peralatan yang paling banyak tidak dibawa oleh para relawan adalah tali pengaman, jaket, baju anti air hujan, dan sepatu boots. Secara rinci kelengkapan alat yang dibawa oleh relawan unit cegah siaga BPBD Kabupaten Kuningan dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kelengkapan Jenis Peralatan yang Dibawa Relawan Unit Cegah Siaga BPBD Kabupaten Kuningan (n = 47). No. Peralatan
Kelenkapan Lengkap
Tidak Lengkap
f
%
f
%
1.
Helm
38
80,9
9
19,1
2.
Topi kain
44
93,6
3
6,4
3.
Sepatu boots
16
34
31
66
4.
Sarung tangan karet
44
93,6
3
6,4
5.
Masker
45
95,7
2
4,3
6.
Jas hujan
20
42,6
27
57,4
7.
Jaket
23
48,9
24
51,1
8.
Tali pengaman
17
36,2
30
63,8
9.
Bethadin
41
93,6
3
6,4
10. Kasa/kain verban
42
89,4
5
10,6
11. Plester
44
93,6
3
6,4
12. Cairan desinfektan
38
80,9
9
19,1
13. Sabun cair/ pembersih tangan
40
85,1
7
14,9
Sumber: Hasil Penelitian Tahun 2013 50
Hasil penelitian komponen yang kedua pada penelitian ini adalah perilaku proteksi diri yang dilakukan oleh para relawan selama melakukan tanggap bencana. Hasil yang diperoleh sebanyak 42,6% relawan yang melakukan proteksi diri dengan baik. Tim unit cegah siaga BPBD Kabupaten Kuningan masih banyak yang belum baik perilakuproteksi dirinya. Beberapa perilaku proteksi diri yang banyak diabaikan oleh relawan diantaranya adalah 70,2% relawan tidak pernah disuntik ATS (Anti Tetanus Serum) sebelum ditugaskan ke lokasi bencana; 59,6% relawan sering menunda waktu untuk makan; 46,8% relawan tidak pernah melakukan pemeriksaan kesehatan setelah selesai ditugaskan pada tanggap bencana; dan 48,9% relawan tidak pernah memakai sepatu boots. 3.2. Pembahasan Hasil penelitian yang menunjukkan masih banyaknya personil unit cegah siaga BPBD Kab. Kuningan kurang lengkap mengenai peralatan yang dibawa selama melakukan tanggap bencana tidak bisa dianggap sepele. Padahal Peraturan Pemerintah RI Nomor 36 Tahun 2006 dengan tegas menyatakan bahwa Instansi/ organisasi potensi SAR wajib memiliki sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi dan sarana serta prasarana SAR yang sesuai standar atau kualifikasi yang ditentukan Badan SAR Nasional Sebab, risiko yang akan dialami relawan tidak bisa diprediksi secara pasti. Oleh karenanya kesiapsiagaan dan kelengkapan alat mesti diutamakan. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 bahwa salah satu satu lingkup pada tanggap darurat adalah penyelamatan dan evakuasi masyarakat yang terkena korban. Menyelamatkan dan mengevakuasi korban mencakup antara lain pencarian dan penyelamatan; pertolongan darurat; dan evakuasi korban. Menolong korban bencana harus cepat dan tepat untuk mengurangi kemungkinan bertambahnya jumlah korban. Meskipun menolong korban mesti cepat, relawan mesti memprioritaskan keselamatan dirinya agar tidak menjadi korban.
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 47-56
Cuaca dan kondisi lokasi bencana dapat mempertinggi risiko yang dialami relawan. Relawan berisiko mengalami injury bahkan kematian akibat kelelahan, dehidrasi, personal hygiene yang kurang dan lainnya. Untuk itu, perlindungan diri tiap personil mesti diperhatikan dan diprioritaskan mulai pada semua anggota tubuh seperti respirasi, kulit, wajah, mata, hidung, dan kulit. Kesehatan dan keselamatan relawan dalam menjalankan aktivitasnya perlu diperhatikan. Pencegahan merupakan upaya penting agar relawan terlindungi dari berbagai hazard. Hal yang sangat penting dalam perlindungan diri adalah pakaian dan peralatan yang dibutuhkan. Tujuan dari pakaian dan perlatan perlindungan diri adalah untuk mengisolasi seseorang dari hazard baik hazard kimia, fisik, maupun biologis yang ditemukan selama dalam kondisi yang membahayakan. Selama tanggap darurat, peralatan pelindung diri sering tidak diperhatikan ketika terjadi peristiwa. Emergency Management Australia (2008) merekomendasikan beberapa peralatan keselamatan personal yang mesti digunakan selama menolong korban bencana. Peralatan tersebut meliputi: helm keselamatan, helm lampu, pelindung telinga, masker, lampu senter (obor), kacamata, bantalan lutut (knee pads), bantalan sikut (elbow pads), sarung tangan, sepatu boot, pakaian pelindung. Penggunaan jenis perlengkapan secara spesifik berbeda tiap tingkatan. California Emergency Medical Services Authority (2003, dalam Langan dan James, 2005) membagi tingkat perlengkapan perlindungi personalcke dalam empat level seperti tampak pada tabel 2. Kelengkapan alat berguna untuk melindungi diri dari kemungkinan mengalami masalah kesehatan. Menjadi relawan SAR merupakan pekerjaan mulia karena mengorbankan tenaga, waktu, dana bahkan nyawa demi untuk menyelamatkan para korban bencana. Relawan menghadapi banyak risiko yang sewaktu-waktu dapat menimpanya. Beberapa risiko yang mungkin dialami relawan SAR diantaranya adalah strain injury, terpapar hazard, mendapatkan perlakukan kekerasan, heat and cold stres, dan stres psikologis.
Adanya risiko-risiko tersebut menuntut relawan untuk mampu mencegah maupun mengatasinya. Ada beberapa risiko yang mungkin dapat dialami oleh relawan dan upaya atau tindakan pencegahannya. Tabel 2. Tingkat Perlengkapan Perlindungan Personal. Level
Perlengkapan
D (proteksi minimum)
Perlindungan terhadap percikan cairan: • Pelindung seluruh wajah • Penutup kepala/sarung tangan • Pakaian anti air • Sepatu karet/sepatu boots
C (proteksi lebih)
Peralatan perlindungan pada level D ditambah adanya peralatan perlindungan respirasi yaitu: • R e s p i r a t o r / f i l t e r pembersih udara • Pengadaan respirator udara dengan penutup kepala • Masker full face
B atau A (proteksi khusus)
Perlengkapan protektif: • A: setelan protektif asap • B: setelan anti kimia dengan penutup kepala • Kedua-duanya: sepatu boots anti air/kimia Perlindungan terhadap pernapasan: • Atmosphere supplying respirator (ASR) • Supplied Air Respiratory (SAR) • Self-contained breathing apparatus (SCBA)
Sumber: di adaptasi dari California Emergency Medical Services Authority (2003, dalam Langan dan James, 2005).
Perilaku Proteksi Diri Relawan SAR Terhadap Injury ... (Asmadi)
51
3.2.1. Strain injury Menurut Corwin (2009), strain adalah trauma pada suatu otot atau tendon, biasanya terjadi ketika otot atau tendon teregang melebihi batas normalnya. Otot atau tendon meregang terjadi ketika otot berkontraksi. Ketika seseorang mengangkat beban, maka kontraksi otot meningkat. Mengangkat beban yang berlebihan dapat menyebabkan kontraksi otot pun berlebihan. Oleh karena itu, menurut Emergency Management British Columbia (2012), strain injury terjadi disebabkan karena mengangkat beban berat yang melebihi kemampuan tubuh. Relawan SAR berisiko mengalami strain injury bila melakukan evakuasi korban seperti mengangkat korban sendirian. Risiko strain injury lebih besar bila relawan memaksakan diri untuk bekerja dengan kondisi tubuh yang sudah kecapaian. Menurut Emergency Management British Columbia (2012), risiko kecelakaan kerja seperti strain injury ini pada aktivitas SAR terutama terjadi akibat kondisi daerah bencana dan penggunaan khusus peralatan pertolongan; situasi kerja yang terbatas dan berbahaya; stres panas atau dingin yang ekstrim; perubahan suhu lingkungan yang cepat. Untuk mencegah terjadinya strain injury, maka seyogyanya relawan perlu memahami mengenai hazard-hazard strain injury, penyebab dan gejala-gejalanya pada saat melakukan rescue. Selain itu, relawan juga mesti mampu mengidentifikasi dan mengkaji risiko-risiko berkenaan dengan operasi SAR dan bagaimana untuk dapat mencegahnya. Relawan SAR perlu diberikan pelatihan mengenai keselamatan kerja untuk mencegah atau mengurangi terjadinya strain injury. Hal lain yang penting untuk mencegah strain injury adalah memastikan relawan bekerja dalam kondisi tubuh yang sehat. Oleh karena itu, relawan mesti mampu menganalisis kesehatan tubuhnya sendiri. Hindari menjalankan pekerjaan ketika badan merasa tidak sehat. Secara lebih rinci Emergency Management British Columbia (2012) merekomendasi solusi untuk mencegah strain injury diantaranya adalah: 1). Bekerja dengan teknik dan keterampilan yang bagus. 2). Meningkatkan 52
kapasitas kesehatan baik fisik maupun mental (dapat dilakukan melalui program olahraga dan pendidikan kesadaran kesehatan; 3). Peralatan yang benar untuk bekerja agar mengurangi penggunaan fisik yang berlebihan dan mencegah bahaya yang mungkin terjadi. 3.2.2. Terpapar Hazard Material ataupun biohazard Kejadian bencana menimbulkan kerusakan infrastruktur maupun instalasi dan berbagai kerusakan lainnya. Lokasi bencana seperti medan perang dimana bila relawan SAR tidak hati-hati dapat terpapar berbagai hazard. Hazard adalah sesuatu yang berpotensi membahayakan terhadap kehidupan, kesehatan seseorang maupun kerugian lainnya. Relawan SAR perlu mewaspadai risiko-risiko dan hazard yang ada baik hazard material maupun biohazard yang dihadapi selama melakukan aktivitas SAR. Untuk dapat mengatasi terpaparnya hazard, Emergency Management British Columbia (2012). merekomendasikan agar relawan SAR harus memahami potensi-potensi hazard material/zat biologis yang ada di lokasi bencana. Relawan SAR juga mesti memahami prosedur dan peralatan yang digunakan untuk mencegah terpaparnya biohazard maupun material seperti prosedur dekontaminasi dan universal precautions. 3.2.3. Stres Psikologis Relawan berisiko mengalami stres psikologis selama menjalankan aktivitas SAR. Kondisi lokasi bencana dapat memicu munculnya stres pada relawan SAR. Kondisi yang tidak terendali dan stres yang dialami oleh korban bencana merupakan beberapa kondisi yang memicu meningkatnya stres. Bila relawan tidak mampu berespon secara positif, stres yang dialami dapat berdampak terhadap kejiwaannya. Oleh karena itu, relawan SAR mesti memahami bagaimana mengahadapi orang yang marah dan meyakinkan kemudahan untuk mendapatkan dukungan. Selain itu, relawan juga harus dilatih manajemen stres.
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 47-56
3.2.4. Heat and Cold Stress (Stres Panas dan Dingin) Relawan SAR yang bekerja di lapangan memungkinkan akan menghadapi cuaca yang ekstrim. Cuaca ekstrim yang dimaksud bisa cuaca yang sangat panas ataupun dingin. Cuaca yang ekstrim dapat mempengaruhi kesehatan para relawan SAR. Cuaca ekstrim panas dapat menyebabkan relawan kekurangan cairan tubuh. Sedangkan cuaca yang ekstrim dingin dapat menyebabkan suhu tubuh menurun (hipothermia). Cuaca ekstrim baik panas atau dingin
mesti diwaspadai dan diantisipasi oleh relawan. Oleh karena itu, relawan perlu dilatih untuk mengetahui tanda dan gejala stres panas ataupun dingin. Relawan juga perlu dilatih pencegahan terhadap stres panas dan dingin. Heat stres dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang mengancam kesehatan relawan SAR sebagai akibat dari cuaca panas ketika menjalankan pekerjaannya. Suhu yang panas ini dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan.Tabel di bawah ini menggambarkan kondisi akibat heat stress yang dapat dialami oleh relawan dan upaya pencegahan yang dapat dilakukannya.
Tabel 3. Heat Stress. Penyebab
Gejala
Tindakan
Pencegahan
Heat Rash (ruam kemerahan)
Lingkungan yang panas Hot humid environment;
Ruam merah yang tidak rata dengan rasa sangat gatal
Mengganti dengan pakaian kering dan menghindari lingkungan yang panas. Mencuci kulit dengan air dingin.
Mencuci secara teratur untuk menjaga kulit bersih dan kering.
Sunburn (terbakar sinar matahari)
Terlalu lama terpapar dengan sinar matahari
Kemerahan, painful, atau sangat panas dan kulit terkelupas.
Jika kulit terkelupas cari bantuan medis. Gunakan skin lotion dan bekerja di tempat teduh.
Bekerja di tempat teduh; lindungi kulit dengan pakaian panjang; gunakan skin lotion yang mengandung pelindung sinar matahari.
Kejang yang menyakitkan pada tangan, kaki atau lambung yang terjadi mendadak ketika bekerja atau setelah pulang ke rumah. Kejang panas merupakan masalah serius karena dapat menjadi peringatan berbagai bahaya terjadinya penyakit.
Pindahkan ke area yang dingin; longgarkan pakaian dan minum air dingin yang mengandung garam. Segera minta bantuan medis.
Kurangi tingkat aktivitas atau terpapar dengan panas. Minum air secara teratur. Cek satu sama lain adanya gejalagejala heat stroke.
Heat Cramps Keluar (Kejang panas) keringat yang tidak dapat diganti dengan air minum
Perilaku Proteksi Diri Relawan SAR Terhadap Injury ... (Asmadi)
53
Fainting (Pingsan)
Kehilangan cairan dan intake air yang inadekuat.
Tiba-tiba pingsan setelah bekerja sekiditnya dua jam; kulit dingin, nadi lemah.
Segera minta bantuan medis. Kaji kemungkinan perlu dilakuakn CPR. Pindahkan ke area yang dingin; longgarkan pakaian; baringkan pasien; dan jika pasien sadar tawarkan untuk minum air dingin sedikit demi sedikit. Pingsan mungkin juga mengindikasikan adanya penyakit lain.
Kurangi tingkat aktivitas atau terpapar dengan panas. Minum air secara teratur. Cek satu sama lain adanya gejalagejala heat stroke.
Heat Exhaustion (Kehausan)
Kehilangan cairan
Keringat yang berlebihan; kulit dingin; suhu tubuh lebih dari 38°C; nadi lemah; tekanan darah normal atau rendah; seseorang merasa lelah dan lemah juga dapat mengalami mual dan muntah, merasa sangat haus, napas cepat; pandangan mungkin kabur.
Segera minta bantuan medis. Kondisi dapat mengarah terjadinya heat stroke yang dapat membunuh. Pindahkan pasien ke area yang teduh atau dingin; longgarkan atau lepaskan pakaian; berikan minum air dingin, kipas dan semprotkan air dingin.
Kurangi tingkat aktivitas atau terpapar dengan panas. Minum air secara teratur. Cek satu sama lain adanya gejalagejala heat stroke.
Heat Stroke
Jika air dan garam dalam tubuh seseorang banyak kehilangan karena digunakan terus akan
Suhu tubuh tinggi lebih dari 41°C dan seseorang menjadi lemah, bingung, kacau atau tindakan aneh; kulit panas, kering dan kemerahan; nadi cepat; sakit kepala
Panggil ambulance. Kondisi ini dapat membunuh seseorang secara cepat. Lepaskan pakaian; berikan kipas dan
Kurangi tingkat aktivitas atau terpapar dengan panas. Minum air secara teratur. Cek satu sama lain adanya gejalagejala heat stroke.
54
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 47-56
menghentikan keringat. Ini dapat menyebabkan suhu tubuh naik. Heat stroke mungkin terjadi secara mendadak atau kelanjutan dari heat exhaustion.
atau atau pusing. Fase selanjutnya seseorang menjadi konfulsi.
semprotkan air dingin; tawarkan untuk minum air dingin sedikit demi sedikit jika orang tersebut sadar.
Sumber: Ontario Ministry of Labour diadops oleh Emergency Management British Columbia (2012) Menurut Emergency Management British Columbia (2012), ada empat faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya cold stress yaitu suhu yang dingin, angin yang dingin atau kencang, kelembaban, dan air dingin. Lingkungan yang dingin memaksa tubuh bekerja lebih keras untuk menjaga suhu tubuh tetap hangat. Lama kelamaan aliran darah dalam tubuh akan berpindah dari ekstremitas dan kulit luar ke dada dan abdomen. Akibatnya kulit dan ekstremitas cepat dingin dan meningkatkan risiko hipotermia. Bila suhu tubuh terus menurun akan menyebabkan seseorang tidak sadar dan dapat menimbulkan kematian. Hipothermia dikategorikan ke dalam beberapa kategori. Hipothermia mulai dari tingkat yang ringan sampai tingkat membahayakan. Setiap tingkat hipothermia memiliki tanda gejala yang berbeda. Emergency Management British Columbia (2012) mengkategorikan ke dalam tiga tingkat hiperthermia yaitu hiperthermia ringan, sedang, dan berat. Mengingat hipothermia sangat besar dampak terhadap kesehatan, maka relawan mesti memahami cara untuk mengatasi hipothermia. Cara yang lebih mudah untuk menghindari cold stress adalah dengan mengenakan pakaian yang tepat ketika bekerja pada lingkungan dingin. Emergency Management British Columbia (2012) merekomendasikan untuk orang yang bekerja di lingkungan dingin yaitu: mengenakan
pakaian tiga lapis. Lapisan paling luar untuk menahan angin. Lapisan tengah gunakan wol untuk menyerap keringat dan memberikan isolator bila basah. Lapisan dalam adalah katun atau tenun sintetik untuk memberikan ventilasi; kenakan topi. Lebih dari 40% panas tubuh hilang ketika kepala terbuka; selalu sediakan pakaian kering sebagai ganti bila pakaian basah; dan jangan mengenakan pakaian ketat. Pakaian longgar bagus untuk memberikan ventilasi. Selain perlu mengenakan pakaian yang benar, untuk mencegah cold stress sebaiknya banyak minum cairan dan hindari minum kafein ataupun alkohol karena dapat menyebabkan dehidrasi ketika cuaca dingin; atur jadwal kerja jika memungkinkan seperti bekerja keras ketika hari panas dan berhenti bekerja bila cuaca dingin; mintakan teman untuk saling melihat adanya tanda-tanda cold stres. 4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Kelengkapan peralatan proteksi diri merupakan standar penting yang mesti dipenuhi dalam melakukan tanggap bencana. Hal ini karena medan bencana seperti medan perang dimana berbagai kemungkinan dapat terjadi. Bukan hanya kelengkapan alat, hal penting lainnya adalah kemampuan melakukan
Perilaku Proteksi Diri Relawan SAR Terhadap Injury ... (Asmadi)
55
proteksi diri dari tiap relawan. Relawan sebagai penolong korban bukan hanya bertugas menyelamatkan korban tetapi juga harus memperhatikan keselamatan dirinya. Oleh karena itu, semestinya relawan memiliki skill yang baik dalam melakukan pertolongan pertama ataupun pencegahan terhadap berbagai kemungkinan risiko yang mengancam keselamatan dan kesehatan dirinya.
Purnomo H dan Sugiantoro R., 2010. Manajemen Bencana: Respon dan Tindakan Terhadap Bencana. Yogyakarta: MedPres Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
4.2. Saran Hasil penelitian ini perlu ditindaklanjuti untuk penelitian selanjutnya. Aspek yang perlu diteliti adalah mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap kemampuan proteksi diri dan kelengakapan peralatan kesehatan dan keselamatan kerja sebagai relawan. DAFTAR PUSTAKA BPBD Kabupaten Kuningan. 2013. Profil Wilayah Kabupaten Kuningan Burns N. and Grove S. K., 2001. The practice of nursing research: conduct, critique, & utilization. Fourth Edition. Philadelphia: W.B. Saunders Company Corwin E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC Emergency Management Australia, 2008. Urban Search and Rescue: Capability Guidelines for Structural Collapse Response. Canberra: EMA Emergency Management British Columbia, 2012. Search and Rescue Safety Programe Guide. International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies, 2007. Disaster response and Contingency Planning Guide Langan. J.C. and James D.C., 2005. Preparing Nurses for Disaster Management. New Jersey: Pearson Prentice Hall Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2006 Tentang Pencarian dan Pertolongan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
56
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 47-56
GEJOLAK SOSIAL PASKA PENANGGULANGAN BENCANA: STUDI BENCANA GEMPA BUMI BANTUL 2006 Wasisto Raharjo Jati Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Abstract This study aimed to analyze Social upheaval was occurred in the Bantul earthquake disaster in 2006. The study is centered in the Janganan village, Sewon, Bantul as a locus of study to look at a wide range of social unrest that occurred in the community. The study shows that the social unrest that occurred in the community due to the clash between the values of rational action, affective, and traditional. The contestation rooted in human desire which always looking for security and protection in an atmosphere of disaster. Presence of a figure persona that exists in relation patronage becomes essential to reduce the social turbulence negative oriented. Keywords: Social upheaval, Bantul earthquake, clash of values, disaster reduction. 1. PENDAHULUAN Gempa bumi yang terjadi pada tanggal 27 Mei 2006 di Yogyakarta dengan kekuatan 5,9 SR (Skala Richter) atau 6,2 MM (Moment Magnitude) meluluhlantahkan banyak bangunan baik rumah penduduk, gedung sekolah, gedung pemerintahan dan bangunanbangunan yang lain. Banyak korban berjatuhan mulai dari meninggal dunia sampai luka-luka ringan. Reaksi mereka yang tidak menjadi korban pun cepat, bantuan baik secara personal maupun kelompok, walau jumlahnya tidak terlalu banyak, namun bantuan tersebut dapat meringankan beban korban yang masih hidup Korban-korban gempa bumi yang masih hidup saat ini kembali meneruskan dinamika kehidupannya. Hidup dengan sisa-sisa harta benda yang dimiliki dan kondisi sosial masyarakat yang berbeda dengan sebelum terjadinya bencana merupakan sebuah kehidupan baru bagi para korban bencana tersebut. Mereka hidup di tenda-tenda pengungsian sambil membangun kembali rumah dan lingkungan mereka. Hidup di tenda pengungsian menyebabkan kehidupan sosial para korban semakin akrab. Namun, dibalik itu semua permasalahan privasi dan
keamanan menjadi suatu ganjalan tersendiri, sehingga dapat menimbulkan adanya gejolakgejolak sosial yang menjadi dapat menimbulkan suatu fenomena sosial yang menarik untuk dikaji. Dari sekian daerah yang terkena imbas dari gempa bumi yang ada di daerah DIY, Kabupaten Bantul (korban meninggal sebanyak 4.143 orang berdasarkan laporan dari Departemen Sosial RI pada tanggal 7 Juni 2006) yang merasakan dampak yang besar dari bencana ini karena wilayah ini dekat dengan episentrum (pusat gempa). Sampai sekarang masyarakat di Kabupaten Bantul masih trauma dan panik apabila terjadi gempa susulan. Kenyataan sosial seperti ini dapat menjadi salah satu faktor mendukung timbulnya perubahan sosial. Dampak dari gempa 27 Mei silam yang dirasakan oleh masyarakat Kabupaten Bantul juga seperti dirasakan oleh masyarakat Janganan Panggungharjo, Sewon, Bantul khususnya wilayah RT 03, RT 04 dan RT 05 karena wilayah tersebut hampir 95 % (RT 03) dan 65 % (RT 04 dan RT 05) bangunan rata dengan tanah atau rusak berat. Hal ini dapat memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan fenomena sosial selama masa tanggap darurat karena masyarakat
Gejolak Sosial Paska Penanggulangan Bencana ... (Wasisto Raharjo Jati)
57
tinggal di tenda-tenda pengungsian. Perubahan situasi tersebut berdampak pada kondisi psikis dari masyarakat. Kondisi psikis yang masih labil dari para korban gempa di lingkungan masyarakat Janganan yang menjadi salah satu hal yang dapat memicu timbulnya gejolak sosial. Selain itu kegiatan rohani di dalam tenda pengungsian selama pasca gempa menjadi hal yang menarik perhatian penulis misalnya peningkatan kuantitas dan kualitas dalam hal beribadah menjadi hal yang menarik untuk diangkat menjadi salah bahan karya tulis ilmiah. Berdasarkan kenyataan di atas, penulis tertarik untuk mengungkapkan apakah terjadi gejolak-gejolak sosial di dalam masyarakat Janganan dan apakah dari gejolak tersebut timbul suatu fenomena tersendiri di tengah masyarakat. Maka pertanyaan relevan yang diajukan dalam penelitian ini adalah gejolakgejolak sosial apa sajakah yang muncul dalam pola penanganan bencana di Desa Janganan, Bantul? 2. RESPONS KEBENCANAAN Dalam menghadapi kasus bencana sendiri yang paling diutamakan sebenarnya sikap publik dalam menghadapi bencana tersebut. Hal itu jelas terkait dengan berbagai macam tindakan sosial yang muncul dalam internal masyarakat tersebut. Dalam hal ini, terdapat tiga golongan dalam menghadapi bencana yakni tindakan rasional yang berorientasi hasil, tindakan rasional yang berorientasi pada nilai, tindakan tradisional, maupun tindakan afektif. Masing-masing jenis tindakan tersebut memiliki tujuan sendiri. Tindakan rasional sendiri lebih mengarahkan pada respons publik terhadap bencana lebih bersifat teknokratis sedangkan tindakan afektif maupun tradisional lebih kepada afektif (Rohman, 2003). Dari situlah kemudian, terjadi gejolakgejolak dalam masyarakat mengenai pengedepanan nilai yang akan diajukan dalam mereduksi dampak bencana. Gejolak sendiri dapat bersumber dari nilai fatalistik yang bersumber secara inheren dalam manusian yakni krisis selama hidup maupun kekuatan luar biasa (Horton, 1999). Yang pertama yakni krisis selama hidup menganalogikan bahwa selama 58
hidupnya manusia mengalami berbagai krisis yang ditakuti, contohnya: terhadap bencana sakit, maut, harta benda. Segala kepandaian, kekuasaaan, dan harta benda yang dimilikinya manusia tidak berdaya (Roderick, 1993). Selama daur hidupnya, ada saat-saat genting bagi manusia, saat-saat ketika manusia mudah jatuh sakit atau tertimpa bencana. Pada saat–saat seperti itu manusia merasa perlu melakukan sesuatu untuk memperteguh imannya, yang dilakukannya dengan ritualritual kepercayaannya. Perbuatan-perbuatan inilah yang merupakan pangkal dari religi dan merupakan bentuk-bentuk yang tertua. Seperti yang kita lihat dalam kebudayaan orang Jawa bahwa kraton mempunyai pengaruh yang kuat dalam kehidupan religi atau kepercayaan khususnya masyarakat Jawa itu sendiri. Hal ini membuat sebagian masyarakat Jawa mematuhi anjuran dari kraton. Misalnya perintah kraton mengenai masalah gempa bumi, kraton memerintahkan untuk memasak sayur lodeh dan memakai janur kuning sebagi tolak bala. Perasaan tidak berdaya dalam menghadapi gejala-gejala dan peristiwa- peristiwa yang dianggap luar biasa dalam kehidupan manusia. misalnya bencana alam atau kejadian–kejadian luar biasa lainnya. Kepercayaan pada suatu kekuatan luar biasa yang ada dalam gejalagejala, hal-hal dan peristiwa yang luar biasa tadi, dianggap sebagai kepercayaan yang sudah dianut oleh manusia sebelum mereka mengenal makhluk halus dan ruh (Shadiliy, 1984). Sampai sekarang kepercayaan itu masih melekat pada masyarakat Jawa. Hal ini membuat masyarakat Jawa mudah untuk menghubung–hubungkan kejadian-kejadian luar biasa (bencana alam) dengan mitos–mitos yang berkembang. Seperti kejadian gempa bumi dengan mitos dari Ratu Nyi Roro Kidul. 3. METODE PENELITIAN
a. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan penulis dalam penyusunan karya tulis ini terdiri atas data primer dan sekunder. Data primer diperoleh
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 57-64
dengan beberapa cara, sebagai berikut: 1. Wawancara (Interview) Cara ini dilakukan kepada 10 responden yang berada di RT 03, RT 04 dan RT 05. 2. Angket (Kuesioner) Cara ini dilakukan kepada 35 responden yang berada di RT 03, RT 04 dan RT 05. Dalam mengambil sampel penulis menggunakan teknik sampel acak. 3. Observasi Cara ini dilakukan di beberapa tempat yang berbeda di wilayah RT 03, RT 04 dan RT 05. 4. Partisipasi Pengamat Penulis di sini kebetulan sebagai salah satu korban gempa bumi 27 Mei 2006 yang lalu. Data sekunder diperoleh dari buku–buku sumber seperti yang tercantum dalam daftar pustaka.
b. Metode Pengolahan Data
Metode ini dilakukan setelah semua data yang diperlukan terkumpul dari hasil metode pengumpulan data. Langkah pertama adalah editing yang bertujuan memperbaiki kualitas data dan menghilangkan keraguraguan data. Langkah ini dilaksanakan dengan membandingkan data-data yang telah diperoleh,
adalah deskriptif-analitik, yaitu melakukan interpretasi data kemudian diselaraskan dengan hasil studi pustaka.
d. Tempat Penelititan
Untuk tempat penelitian cara ini dilakukan di beberapa tempat yang berbeda di wilayah RT 03, RT 04 dan RT 05. 1. RT 03, RT 04 dan RT 05 Janganan, Panggungharjo, Sewon, Bantul. 2. Untuk tempat pengolahan data di : • Jln. Gadean No. 5 Ngupasan Yogyakarta. • Jln. KH. Ali Maksum, Krapyak, Sewon, Bantul, Yogyakarta.
d. Hasil Penelitian
Sebagaimana pengamatan dari hasil observasi di lapangan, penelitian ini memperoleh data-data yang dapat mengambil informasi yang relevan mengenai jumlah kerusakan rumah yang diakibatkan gempa 27 Mei 2006 di lingkungan RT 03, RT 04 dan RT 05 masyarakat Janganan, Panggungharjo, Sewon, Bantul. Adapun persentase dari rumah yang rusak di RT 03, RT 04 dan RT 05 adalah sebagai berikut :
Tabel 1. ( Persentase) kerusakan rumah akibat gempa bumi 27 Mei 2006 di Janganan khususnya wilayah RT 03, RT 04 dan RT 05 Wilayah / Kerusakan
Berat
Sedang
Ringan
RT 03
96,79 %
3,21 %
0,00 %
RT 04
65,72 %
14,28 %
20,00 %
RT 05
68,33 %
26,67 %
5,00 %
memeriksa kelengkapan data, memeriksa kesempurnaan data, dan mengoreksi apabila terdapat kesalahan terhadap data tersebut. Langkah kedua adalah menganalisis data dan menginterpretasi data. Langkah ketiga adalah generalisasi dan menarik kesimpulan.
c. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan
Dari tabel 1. di atas menunjukkan bahwa efek kerusakan gempa yang begitu dahsyat sehingga mampu meratakan sebagian besar rumah penduduk RT 03, RT 04 dan RT 05 Janganan. Keadaan tersebut memaksa mereka untuk sementara waktu untuk tinggal di tenda/ barak pengungsian. Selain itu kami melakukan penelitian melalui angket yang telah kami berikan kepada responden di wilayah Janganan khususnya RT
Gejolak Sosial Paska Penanggulangan Bencana ... (Wasisto Raharjo Jati)
59
03, RT 04 dan RT 05 maka kami mendapat tanggapan dari responden tentang trauma
pengamatan lansung, maupun wawancara
angket (kuisioner) kepada responden
9
Jumlah Responden
8 7 6
masa tanggap darurat
5
sekarang
4 3 2 1
0 Tanggapan
Ya
Tidak
Tidak Tahu
Diagram 1. Trauma pasca gempa kepada 9 responden RT 05.
Jumlah responden
serta interaksi sosial pasca gempa, sebagai berikut: Penelitian ini juga memperoleh data dari
16 14 12 10 8 6 4 2 0
Tanggapan
mengenai tanggapan mereka terhadap keadaan interaksi masyarakat di sekitar mereka. Hasilnya adalah sebagai berikut:
masa tanggap darurat sekarang
Ya
Tidak
Tidak tahu
Diagram 2. Trauma pasca gempa kepada 15 responden di RT 03. 60
Diagram 1.03 Keadaan interaksi sosial masyarakat Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 57-64 Janganan pasca gempa sekarang di RT 03, 04 dan 05
35
Diagram 1.03 Keadaan interaksi sosial masyarakat Janganan pasca gempa sekarang di RT 03, 04 dan 05
Kapitulasi Responden
35 30 25 20 15 10 5 0
Tanggapan
Baik
Kurang Baik Tidak Tahu
Diagram 4. Keadaan interaksi sosial masyarakat Janganan pasca gempa sekarang di RT 03, 04, dan 05. Dari tabel 1. menunjukkan bahwa masyarakat Janganan-pun merasakan efek gempa tersebut baik secara sosial maupun kelingkungannya Di samping itu, dalam masyarakat Janganan juga timbul perubahan dan gejolak sosial secara menyeluruh dalam pola interaksi kemasyarakatannya akibat banyaknya rumah yang hancur. Sebagai masyarakat yang menempati lingkungan yang masih terpengaruh kuat dari kraton masyarakat Janganan kental akan pengaruh Jawa. Gempa yang menghancurkan banyak rumah seolaholah juga ikut menghancurkan kegiatan dan kehidupan kultural masyarakat Jawa (dalam hal ini masyarakat Janganan), karena dalam mitologi orang Jawa rumah merupakan “puser” (Suryanto Sastroatmodjo, 2006: hal.31) dalam kegiatan dan kehidupan kultural setiap insan Jawa. Jelas, baik secara makro maupun mikro gempa sangat berpengaruh terhadap kondisi
kehidupan bagi masyarakat Jawa, rumah yang mereka bangun secara bertahap dalam waktu yang lumayan lama serta biaya yang tidak sedikit hancur dalam waktu 57 detik. Hal ini memicu timbulnya perubahan–perubahan yang terjadi dalam kehidupannya sehari–hari baik secara sosial maupun budaya. Peristiwa gempa bumi pada tanggal 27 Mei tahun lalu berdampak pada kondisi kejiwaan dari setiap anggota masyarakat. Namun, bagi korban yang masih hidup mereka tetap harus meneruskan hidup meskipun harus mulai dari bawah lagi. Tentunya dalam filosofi Jawa yang berbunyi “Narimo Ing Pandhum” dikatakan bahwa setiap insan Jawa harus menerima apa adanya segala pemberian Tuhan baik berupa bencana seperti gempa bumi yang melanda DIY dan sekitarnya pada tanggal 27 Mei 2006. Filosofi tersebut membuat masyarakat Jawa relatif kuat secara batin.
Gejolak Sosial Paska Penanggulangan Bencana ... (Wasisto Raharjo Jati)
61
Berkurangnya jumlah penduduk dan kondisi lingkungan serta alam yang berbeda sebelum gempa, juga memungkinkan terjadinya suatu perubahaan dan gejolak sosial dalam kehidupan masyarakat. Perubahan dan gejolak–gejolak tersebut semakin mendukung untuk terjadinya fenomena di tengah masyarakat. Adapun pola kehidupan masyarakat yang terbentuk dengan tinggal bersama timbul suatu konsep yang mana hidup yang tergantung pada kehendak bersama itu timbul dari adanya kepentingan serta perhatian terhadap kepentingan orang lain dalam masyarakat. Masyarakat Jawa dalam hal ini masyarakat Janganan sendiri sangat percaya dengan kekuatan kearifan lokal yang ada berpusat pada Kraton. Saat terjadinya gempa kemarin,”Ngarso Ndalem“ beserta “Rayi Ndalem“ menganjurkan pada masyarakat untuk membuat sayur lodeh maupun memakai janur kuning sebagai tolak bala. Tentunya masyarakat Janganan yang percaya dengan hegemoni budaya Jawa Kraton tentu akan melaksanakan “dawuh“ tersebut. Namun, ada pula segelintir masyarakat Janganan yang tidak melasanakannya. Klenik– klenik yang berkembang dalam masyarakat tersebut dianggap oleh sebagian masyarakat Janganan adalah sesuatu hal yang tabu dan hanyalah mitos. Hal semacam ini tentunya adalah suatu fenomena sosial tersendiri dan juga dapat dipersepsikan kekuatan sakral kejawen yang dimiliki kraton sehingga apapun anjuran dari kalangan kraton dilakukan oleh masyarakat, walaupun ada segelintir orang yang tidak mempercayainya. Di sisi lain peran dari tokoh masyarakat setempat sangat besar pengaruhnya dalam upaya mengendalikan gejolak sosial yang timbul. Gejolak–gejolak sosial yang timbul di dalam masyarakat Janganan di antara lain dipicu oleh kondisi masyarakat yang hidup bersamaan di dalam tenda pengungsian selama ± tiga minggu masa tanggap darurat pasca gempa. Peran dari para tokoh masayarakat terlihat ketika masyarakat mendengar isu–isu mengenai akan terjadinya Tsunami, dalam hal ini si tokoh berperan aktif dalam mengendalikan gejolak–gejolak yang 62
ditimbulkan oleh isu tersebut. Di lain pihak terjadi perubahan–perubahan sosial yang menimbulkan fenomena antara lain semakin maraknya kegiatan kerohanian di masjid sekitar, seperti salat berjamaah dan doa bersama setiap malam selama masa tanggap darurat. Dalam hal ini masyarakat ingin mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena kejadian tersebut merupakan kejadian yang sangat luar biasa dalam kehidupan masyarakat. Sesuai diagram (diagram 1, 2, dan 3) di atas dapat dilihat bahwa masyarakat Janganan masih mengalami trauma yang begitu mendalam yang diakibatkan gempa 27 Mei 2006. Sesuai Teori Masa Krisis Dalam Hidup berpendapat bahwa selama hidupnya manusia mengalami berbagai krisis yang ditakuti, contohnya: terhadap bencana alam. Hal ini tentunya wajar karena kejadian tersebut akan selalu membekas. Selain itu, hal tersebut akan berpengaruh pada tingkah laku mereka ketika berada di masyarakat. Rata–rata dari mereka masih dalam keadaan labil ketika mereka di tengah perkumpulan masyarakat. Hal ini sangat berdampak pada kestabilan sosial dari masyarakat Janganan. Sekaligus menimbulkan gejolak sosial. Interaksi sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat Janganan sesudah pasca gempa tentunya berbeda sebelum terjadinya gempa. Semisal, interaksi sosial masyarakat Janganan dalam pengolahan bantuan logistik. Sebagai contoh, adalah dalam hal pembagian jadwal pembagian masak dan makanan di dapur umum. Umumnya, masyarakat sendiri mempunyai selera sendiri dalam hal makanan. Konflik akan kepuasan pelayanan makanan tentunya menjadi hal yang sering terjadi di dapur. Akan tetapi berkat kesiapsiagaan para perangkat desa dalam mengatasinya. Adapun faktor traumatik yang dialami masyarakat Janganan khususnya wilayah RT 05 sama dengan warga yang ada di RT 04. Hanya saja, upaya untuk bangkit dari keterpurukan dari gempa tampaknya penduduk RT 05 lebih cepat untuk bangkit. Integritas antara unsur religi maupun birokrat saling
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 57-64
terikat sehingga menimbulkan semacam rasa keamanan diri (Self Security) bagi setiap warga dalam membangun dinamika kehidupan masyarakatnya kembali. Interaksi sosial (lihat diagram 3) yang ada dalam kehidupan masyarakat Janganan di wilayah RT 04 dan RT 05 sesudah pasca gempa (selama masa tanggap darurat) tentunya berbeda sebelum terjadinya gempa. Semisal, interaksi sosial dalam hal seperti dalam pembagian kerja masyarakat sesuai kemampuan (Zaken Kabinet) misalnya, remaja menjaga keamanan lingkungan, ibuibu yang menyiapkan logistik pangan, para perangkat desa yang mengkoordinasi bantuan kemanusiaan yang akan dipublikasikan sehingga menimbulkan semacam kepuasan diri (Self Satisfication) warga RT 04 dan RT 05. Namun, di RT 05 timbul gejolak sosial seperti pergantian jadwal masak yang macet membuat ganjalan tersendiri sewaktu mereka berada dalam masa tanggap darurat di tenda pengungsian. Hal ini tentu saja menimbulkan fenomena sosial seperti “cekcok“ antar petugas masak dan“grundelan“ atau menggunjingkan para petugas yang tidak mau melaksanakan tugasnya dengan baik. Namun, berkat peran panitia atau pengurus tenda darurat yang tanggap, masalah tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Dalam lingkup interaksi RT 03 berbeda dengan wilayah R T 04 dan RT 05 yang notabene sangat kental dengan fenomena sosial maupun gejolak sosial dalam pola demogarafis masyarakatnya. Tentunya ini menjadi semacam anomali tersendiri karena dalam pola interaksi masyarakat Janganan khususnya wilayah RT 03 mengenai penyaluran bantuan, ketidaktransparan, dll. Anomali itu dikarenakan hampir sebagian besar warga RT 03 umumnya golongan menengah ke atas serta lingkungan kemasyarakatnya yang mengarah ke masyarakat perkotaaan (Urban Commnunity). Akan tetapi dalam hal ini masyarakatnya juga tidak meninggalkan identitas mereka sebagai suatu masyarakat pedesaan (Rural Community). Hal ini tetu saja berbeda dengan konsep masyarakat marjinal (Marginal Community) yang lebih mementingkan keduniaaan saja (Secular Orientations).
Dalam lingkungan RT 03 sendiri, kegiatan peribadatannya justru semarak bahkan sampai sekarang. Konsep Maninggaling Kawula Gusti maupun Kridhaning Sinathriya Pratidina tampaknya tak bisa dielakkan masyarakat Janganan khususnya RT 03 yang masih terikat dengan kearifan lokal (Local Wisdom) tanpa terpengaruh hegemonitas kehidupan. Di dalam masyarakat RT 03 terjadi pengadaaan tenda mesra, tetapi tidak difungsikan karena mengingat kondisi lingkungan yang masih serba memprihatinkan baik secara materi maupun moril. Selain itu konsep primus interpares masih melekat pada kharisma tokoh masyarakatnya hal ini ditunjukan dengan adanya peran aktif ketua RT dalam mengkoordinir bantuan logistik. Dari penjabaran yang telah dipaparkan di atas bahwa di masyarakat Janganan terdapat gejolak-gejolak sosial yang terjadi selama masa tanggap darurat. Gejolak-gejolak sosial yang terjadi menimbulkan fenomenafenomena sosial. Adapun fenomena-fenomena sosial tersebut ada yang positif dan ada yang negatif bagi kehidupan masyarakat Janganan itu sendiri. 4. KESIMPULAN Dalam sitausi yang serba chaotic dalam krisis kebencanaan tersebut. Adanya gejolak sosial merupakan bentuk keniscayaan yang akan selalui dihadapi. Hal itu jelas terkait dengan sifat manusia yang ingin senantiasa mencari sekuritas dalam dirinya sendiri. Adanya gejolak sosial yang terjadi dalam penanganan bencana memang bersumber pada ritus konflik-konflik yang terjadi. Oleh karena itulah peran figuritas sebagai primus intepares berperan penting sebagai pendamai dalam mereduksi gejolak sosial berekses pada hal negatif. UCAPAN TERIMA KASIH Dalam kesempatan ini, saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Saudara Yaltafit Abror Jeem maupun Eriyono Budi Wijoy, atas kontribusi dalam penelitian ini.
Gejolak Sosial Paska Penanggulangan Bencana ... (Wasisto Raharjo Jati)
63
DAFTAR PUSTAKA Dhodiri, Taufiq Rohman. 2003. Sosiologi : Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Yudhistira . Horton, Paul B. 1999. Sosiologi. Jakarta: Erlangga. Martin, Roderick. 1993. Sosiologi Kekuasaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sastroatmodjo, Suryanto. 2006. Citra Diri Orang Jawa. Yogyakarta: Narasi Yogyakarta. Shadily, Hassan. 1984. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
64
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 1 Tahun 2014 Hal. 57-64
FORMAT PENULISAN UNTUK JURNAL DIALOG PENANGGULANGAN BENCANA Judul (UPPERCASE, CENTER, BOLD FONT ARIAL 12) Nama Lengkap Penulis
}
Huruf dll lay out hal berikut
ABSTRACT: Tuliskan tujuan dari kesimpulan artikel anda secara jelas dan singkat; dalam BAHASA INGGRIS maksimal 250 kata. Abstrak ditulis 4 cm dari sisi kiri dan sisi kanan dengan sentence, Justify, Italic, Font Arial 10. Key word : bahasa Inggris paling banyak 10 kata (Sentence case, justify, regular, Arial 10).
1.
PENDAHULUAN (UPPERCASE, LEFT, BOLD, FONT ARIAL 10) Jurnal ini hanya memuat artikel yang disusun dengan isi dan format yang sesuai dengan ketentuan pada halaman ini dan contoh LAY OUT dihalaman berikutnya. 1.1 Latar Belakang (Tinjauan Pustaka). (Titlecase, left, Bold, font Arial 10). Uraian tentang substansi penelitian atau tinjauan yang dilakukan penulis dengan dasar publikasi mutakhir. 1. 2 Tujuan (huruf seperti 1.1) Menjelaskan dengan singkatan tujuan penelitian ataupun tujuan yang akan dilakukan. 2. Metodologi Pada BAB ini penulis bisa membagi 2 atau 3 sub bab. 2.1 Tempat dan waktu penelitian ; menjelaskan dimana dan kapan penelitian dilakukan; 2.2 Sampling dan analisis sample; y a n g menjelaskan bagaimana mengambil sample dan dianalisis dimana dengan metode apa. 2.3 ............... (jika perlu) 3. HASIL DAN PEMBAHASAN (huruf seperti 1.) Pada BAB ini penulis dapat membagi 2 sub bab atau lebih. 3.1 Laporan Penelitian (huruf seperti 1.1) Penulis harus menyampaikan data / hasil pengamatannya. Hubungkan dan diskusikan dengan referensi hasil/hasil penelitian lain.
Jelaskan mengapa hasil penelitian anda berbeda atau sama dengan referensi yang ada, kemudian ambil kesimpulannya. 3.2 Artikel Ulasan (Huruf seperti 1.1) Penulis menyampaikan “teori, pandangan dan hasil penelitian” peneliti lain tentang sebuah substansi/isu yang menarik. Diskusikan/kupas perbedaan dan persamaan referensi yang anda sampaikan tersebut. Ambil kesimpulan; yang akan lebih baik jika penulis mampu mensinergikan referensi yang ada menjadi sebuah pandangan baru. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Penulis bisa membagi 2 sub bab: 4.1 kesimpulan yang berisi kesimpulan pada pembahasan dan 4.2. Saran diberikan jika ada hasil penelitian yang perlu ditindak lanjuti. UCAPAN TERIMAKASIH Berisikan ucapan terima kasih penulis pada pihak yang membantu (kalau perlu saja). DAFTAR PUSTAKA Berisi referensi yang diacu yang dalam artikel ditulis dengan superscript dan ditulis dengan cara berikut: 1. Author, tahun Judul paper, jurnal/prosidang/ buku, Vol (no), hal/jumlah hal. (perhatikan cara menaruh singkatan nama sebagai author ke-1: Garno, Y.S. dan nama ke-2: Y.S. Garno pada contoh penulisan daftar pustaka di bawah ini)
LAY OUT PENULISAN 18.5 cm
Judul KARYA ILMIAH (UPPERCASE, CENTER, BOLD, FONT ARIAL 12)
Penulis (Tittlecase, center, Bold, Font Arial 10) Nama Unit Kerja (Tittlecase, Center, Reg, Arial 10)
ABSTRACT: sentence case, justify, italic, font Arial 10 Kata kunci: maksimal 5 kata; ditulis Sentence case, justify with last line aligned left, regular, Arial 10
Awal paragraph menjorok ke dalam 1,25 cm semua kalimat artikel selain judul bab dan subbab dutulis dengan MS Word, 1 spasi, sentence case, justify, regular, font Arial 10
2.5 cm
1.5 cm
Footer 1.5 cm
0.5 cm
2 cm
Format penulisan jurnal ini terdiri dari 2 kolom dengan jarak antara kolom 0,5 cm dengan : Paper Size : Custom Size Width : 19,1 cm High : 26 cm Header : 1,25 cm Footer : 1 cm Top : 2,5 cm Bottom : 2,5 cm Left : 3 cm Right : 2,5 cm