ISSN 2087-636X JURNAL DIALOG PENANGGULANGAN BENCANA
JURNAL DIALOG PENANGGULANGAN BENCANA
Pusat Data Informasi dan Humas BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA Graha BNPB Jl. Pramuka Kav. 38 Jakarta Timur 13120 +62 21 2982 7793
@BNPB_Indonesia
+62 21 212 812 00
BNPBIndonesia
[email protected]
BNPB_Indonesia
www.bnpb.go.id
Infobencana BNPB
+62 812 95590090
+62 812 1237575
ISSN 2087-636X
9 772087 636007
Volume 7, Nomor 2, Tahun 2016
Diterbitkan oleh:
Volume 7, Nomor 2, Tahun 2016
TERBITAN BERKALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana
Vol. 7
No. 2
Hal. 95-163
Jakarta Desember 2016
ISSN 2087-636X
ISSN 2087-636X
JURNAL DIALOG PENANGGULANGAN BENCANA Volume 7, Nomor 2, Tahun 2016
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana
Vol. 7
No. 2
Hal. 95 - 163
Jakarta Desember 2016
ISSN 2087-636X
JURNAL DIALOG PENANGGULANGAN BENCANA
Terbit 2 Kali setahun, mulai Oktober 2010 ISSN: 2087-636X Volume 7, Nomor 2, Desember 2016 Pembina: Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Penasihat: Sekretaris Utama BNPB Pemimpin/Penanggung Jawab Redaksi: Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Ketua Dewan Penyunting: Dr. Sutopo Purwo Nugroho, M.Si, APU Hidrologi dan Pengurangan Risiko Bencana Anggota Dewan Penyunting: Dr. Sugimin Pranoto, M. Eng / Teknik Sipil dan Lingkungan Ir. Sugeng Tri Utomo, DESS / Pengurangan Risiko Bencana Dr. Rudy Pramono / Sosiologi Bencana Ir. B. Wisnu Widjaja, M.Sc / Geologi dan Kesiapsiagaan Bencana Dr. Ir. Agus Wibowo / Database & GIS Mitra Bestari: Prof. Dr. rer. nat. Junun Sartohadi, MSc Prof. Dr. Edvin Aldrian, MSc Dr. Tri Handoko Seto,M.Si Pelaksana Redaksi: Teguh Harjito, Dian Oktiari, Linda Lestari, Ario Akbar Lomban, Suprapto, Ainun Rosyida, Nurul Maulidhini, Ratih Nurmasari, Theopilus Yanuarto, Andri Cipto Utomo, Ignatius Toto Satrio Alamat Redaksi: Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana GRAHA BNPB Jl. Pramuka Kav. 38 Jakarta Timur 13120 Indonesia Telp. 021-29827793, Fax. 021-21281200, Email :
[email protected]
Foto Cover : Tanah Longsor, Anyaman Serabut Penahan Longsor - Gregorius Magnus
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya, sehingga penerbitan Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Volume 7 Nomor 2 pada bulan Desember 2016 ini dapat diselesaikan. Upaya penanggulangan bencana terus berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. Ilmu pengetahuan senantiasa memberikan pemahaman dan wawasan kepada masyarakat akan pentingnya kesadaran dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Melalui jurnal ilmiah ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia menuju bangsa yang tanggap, tangkas dan tangguh menghadapi bencana. Materi jurnal dalam edisi ini, menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan seluruh fase kebencanaan. Kehidupan Masyarakat di Hunian Tetap Pasca Letusan Gunung Merapi 2010 mengawali materi dalam jurnal ini. Materi berikutnya menyampaikan hal mengenai Kerjasama Sipil-Militer dalam Penanggulangan Bencana (Studi Kasus Tanggap Darurat Banjir Jakarta 2013, 2014, 2015) diikuti materi Peran Kearifan Lokal dalam Mitigasi Bencana: Studi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Longsor di Desa Bojongkoneng, Kabupaten Bogor. Efektivitas Pelatihan Bersyukur untuk Meningkatkan Resiliensi pada Penyintas Erupsi Gunung Sinabung. Model Pengembangan Kesiapsiagaan Masyarakat Percontohan dan Non-Percontohan Program Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Masyarakat (KBBM) dalam Menghadapi Ancaman Banjir. Pada jurnal edisi kali ini juga menyajikan Estimasi Karakteristik Dinamis Tanah untuk Pemetaan Daerah Rawan Bencana Gempabumi Berdasarkan Data Pengukuran Mikrotremor di Kota Solok. Dan terakhir membahas tentang Analisisi Kerentanan Lahan Sawah Padi Terhadap Banjir DAS Cidurian Menggunakan Multi Skenario. Bagi para tim redaksi jurnal dialog penanggulangan bencana serta pihak yang turut membantu dalam edisi kali ini, kami mengucapkan terima kasih. Tim Penyusun
i
JURNAL DIALOG PENANGGULANGAN BENCANA Volume 7, No. 2, Desember 2016 DAFTAR ISI Kata Pengantar ................................................................................................................. Daftar Isi ............................................................................................................................
i ii
Kehidupan Masyarkat di Hunian Tetap Pasca Letusan Gunung Merapi 2010 Suprapto, Ratih Nurmasari, Ainun Rosyida .................................................................. 95-102 Kerjasama Sipil-Militer dalam Penanggulangan Bencana (Studi Kasus Tanggap Darurat Banjir Jakarta 2013, 2014, 2015) DR. Sutopo Purwo Nugroho, M.Si, APU, Suprapto, S.Si., M.Si (Han), Tika Savitri Pandanwangi, S.Si., M.Si (Han) ..................................................................................... 103-110 Peran Kearifan Lokal dalam Mitigasi Bencana: Studi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Longsor di Desa Bojongkoneng, Kabupaten Bogor Randy Raharja, Faisal Grahadi Wibowo, Riski Vitria Ningsih, dan Sari Viciawati Machdum ......................................................................................................................... 110-119 Efektivitas Pelatihan Bersyukur untuk Meningkatkan Resiliensi pada Penyintas Erupsi Gunung Sinabung Achmad Irvan Dwi Putra, Rodhiatul Hasanah Siregar, Rahma Fauziah ..................... 120-127 Model Pengembangan Kesiapsiagaan Masyarakat Percontohan dan Non-Percontohan Program Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Masyarakat (KBBM) dalam Menghadapi Ancaman Banjir Rima Rianti, Eddy Rahardjo, Muhammad Zainuddin .................................................... 128-139 Estimasi Karakteristik Dinamis Tanah untuk Pemetaan Daerah Rawan Bencana Gempabumi Berdasarkan Data Pengukuran Mikrotremor di Kota Solok Agus Adibil Muhtar, Sismanto, Marjiyono ..................................................................... 140-150 Analisisi Kerentanan Lahan Sawah Padi Terhadap Banjir DAS Cidurian Menggunakan Multi Skenario Siti Dahlia, Sudibyakto, dan Dyah R. Hizbaron ............................................................. 151-163
ii
KEHIDUPAN MASYARAKAT DI HUNIAN TETAP PASCA LETUSAN GUNUNG MERAPI 2010 Suprapto1, Ratih Nurmasari2, Ainun Rosyida3 Statistisi BNPB1, 2, 3 Graha BNPB Jl. Pramuka Kav. 38 Jakarta Timur
[email protected] Abstract Relocating people after the eruption of Mount Merapi is in order to dissociate public from the threat of disaster. Relocation should not only just move people, but rather to rebuild people’s lives better. Community has participated actively since early start of designing creation and also they directly involved in the establishment of their house. Some houses have been extended independently by their owner and people’s lives have been gradually returning to normal. Research conducted in Hunian Tetap Pagerjurang shows that people around the relocation can accept the presence of their new neighbour so there’s no conflict between them. Some of problems that should be faced are the difficulty to fulfill the needs of cattle feed and activities for the elderly. Difficulty of fulfillment feed for cattle caused by additional costs that should be spend because of the distance to pasture. The activity of the elderly tend to be reduced due to lack of land yard that used to be their place to fill the time with farming activities or fodder. Keywords : Relocation, Permanent Housing, Participation. 1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Gunung Merapi merupakan salah satu gunungapi aktif yang masuk ke dalam tipe letusan vulkanik lemah dengan ciri khas adanya peranan kubah lava dalam tiaptiap erupsinya. Sejarah letusan Gunung Merapi telah ada sejak pemerintahan kolonial Belanda sekitar abad ke-17. Sebelum 2010, letusan gunung ini terjadi pada tahun 1994, 1997, 1998, 2001 dan 2006. Letusan tahun 2010 sebaran awan panas dan material melampaui batas peta kawasan rawan bencana yang diterbitkan tahun 2002, sehingga peta KRB (Kawasan Rawan Bencana) disesuaikan dengan dampak letusan ini. Selama proses erupsi, volume material yang dikeluarkan mencapai 130 juta m 3 yang tersebar di sungai-
sungai utama Gunung Merapi (Aisyah & Purnamawati, 2012). Tanggal 26 Oktober 2010 Gunungapi Merapi mengalami delapan kali letusan yang menghasilkan awan panas (nuee ardente) dan material piroklastik. Tanggal 4 November 2010, aliran material piroklastik berjumlah 30 kali lipat dari erupsi tahun 2006 yang hanya sebesar 5 juta m3, mencapai jarak 15 km dari puncak yang menghilangkan 135 jiwa (Kumalawati et al, 2013). Iguchi et al (2011) dalam penelitianya menerangkan bahwa dalam erupsi Merapi 2010 terbagi ke dalam 5 tahap yaitu (1) periode sebelum September sampai 26 Oktober saat letusan, (2) letusan pertama, (3) aktivitas penurunan tentative dari 27 Oktober sampai 2 November, (4) kejadian aliran piroklastik secara terusmenerus antara 3-5 November (letusan klimak 2010), (5) penuruan aktivitas letusan setelah 6 November.
Kehidupan Masyarakat di Hunian ... (Suprapto, Ratih Nurmasari, Ainun Rosyida)
95
Pasca letusan yang terjadi, ancaman bencana tidak selesai di sini saja melainkan masih ada ancaman banjir lahar hujan yang mungkin dapat terjadi sewaktu-waktu ketika hujan turun. Terdapat tujuh sungai yang dilanda banjir lahar hujan, yaitu Kali Pabelan, Blongkeng, Putih, Batang, Lamat, Krasak, dan Bebeng. Bencana lahar hujan yang sewaktu-waktu dapat terjadi menjadikan masyarakat yang tinggal di sekitar sungai dan beberapa wilayah lereng gunung menjadi tidak aman. Apabila hujan turun dengan deras di hulu sungai/ puncak gunung maka dapat dipastikan lahar dingin akan terjadi di sepanjang aliran sungai. Bencana erupsi Gunungapi Merapi mempengaruhi status ekonomi rumah tangga setelah bencana yaitu perubahan pekerjaan, pendapatan, pengeluaran, pola konsumsi, aset rumah tangga (investasi tanah, kendaraan pribadi, barang elektronik) (Handayani dan rofi, n.d). Upaya untuk menjauhkan masyarakat dari ancaman bencana lahar hujan dan letusan Gunung Merapi di kemudian hari diwujudkan pemerintah setempat dibantu oleh pemerintah pusat dengan melakukan relokasi masyarakat dari wilayah yang rawan ke tempat yang lebih aman. Menurut Gaillard dalam Martanto et al (n.d) relokasi atau permukiman kembali adalah progres yang sangat komplek yang lebih dari sekedar membangun kembali perumahan namun lebih pada rekonstruksi sosial dari rumah, hubungan sosial politik serta mata pencaharian. Relokasi memerlukan perencanaan yang sangat hati-hati dan analisis menyeluruh pada sebuah komunitas baru (Boen dan Jigyasu, 2005 dalam Martanto et al). Beberapa hal memang perlu mendapat prioritas dan pemecahan ketika diputuskan untuk melakukan relokasi ke permukiman masyarakat, diantaranya adalah masalah pekerjaan, sosial budaya, agama, keamanan, dan lain sebagainya. Permasalahan-permasalahan ini menjadi sangat dinamik karena relokasi tidak hanya memindahkan satu keluarga saja melainkan memindahkan kelompok masyarakat yang 96
karakteristik di dalamnya bersifat sangat unik. Kegiatan relokasi dilakukan melalui program Rehabilitasi dan Rekonstruksi Berbasis Komunitas (Re-Kompak), yang meliputi komponen bantuan dana rumah (BDR), komponen bantuan dana lingkungan (BDL), komponen pendampingan masyarakat dan komponen pendampingan teknis. Menurut Jha et al (2010) dalam bukunya Safer Homes, Stronger Communities: A Handbook for Reconstructing After Natural Disaster: World Bank Publications menyebutkan bahwa ada 6 (enam) prinsip dalam relokasi yaitu: 1. Perencanaan relokasi yang efektif adalah yang bisa membantu membangun dan melihat secara positif; 2. Relokasi bukanlah sebuah pilihan yang harus dilakukan karena risiko bisa dikurangi dengan mengurangi jumlah penduduk pada suatu permukiman daripada memindahkan seluruh permukiman; 3. Relokasi bukan sekedar merumahkan kembali manusia, namun juga menghidupi dan membangun kembali masyarakat, lingkungan dan modal sosial; 4. Lebih baik menciptakan insentif yang mendorong orang untuk merelokasi daripada memaksa mereka untuk meninggalkan; 5. Relokasi seharusnya mengambil tempat sedekat mungkin dengan lokasi asal mereka; 6. Masyarakat di lokasi yang akan ditempati merupakan salah satu yang mendapat dampak dari relokasi dan harus dilibatkan dalam perencanaan. Relokasi dilakukan untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat dari bahaya letusan Gunung Merapi di waktu yang akan datang. Sebanyak 16 hunian tetap (huntap) dibangun dalam rangka memindahkan masyarakat dari ancaman bencana, salah satunya adalah huntap Pagerjurang yang
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 95-102
berasal dari Dusun Manggong, Kaliadem dan Petung. Proses perpindahan warga dari lokasi lama ke lokasi huntap Pagerjurang dilakukan atas kemauan sendiri. Mereka menyadari bahwa lokasi asal berada di daerah terdampak langsung serta berada dalam kawasan rawan bencana (KRB-3) (http://rekompakciptakarya.org/ news/2013/10/sharing-pengalaman-bangkitdari-bencana-erupsi-merapi/). Pembangunan rumah dilakukan secara swadaya masyarakat dengan mengikuti struktur rumah dari Rekompak dengan dana stimulan BDR sebesar Rp 30 Juta. Lokasi yang dipakai untuk huntap Pagerjurang merupakan tanah kas desa, dan pembangunanya juga berdasarkan rapat dengan warga yang lebih dulu tinggal di daerah tersebut. Hal ini dilakukan untuk memberikan pengertian dan menghindari kesalahpahaman antara masyarakat yang sudah menetap dengan masyarakat yang akan tinggal di hunian tetap. Pada tahun ini (2016) sudah lebih dari 4 tahun masyarakat menghuni hunian tetap Pagerjurang. Mereka sudah memulai hidup baru dengan berbagai pekerjaan demi mencukupi kebutuhan hidup. Perkembangan dari segi kehidupan masyarakat, ekonomi, sosial dan bentuk rumah sudah sedikit banyak mengalami perubahan. 1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kehidupan masyarakat di Pagerjurang. Selain itu, diharapkan pula penelitian ini dapat menilai tingkat kepuasan masyarakat terhadap hunian yang telah mereka tempati, serta harapan dan keluhan yang masih ada. 2. METODOLOGI 2.1. Tempat dan waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di lokasi Huntap Pagerjurang, Kelurahan Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten
Sleman, DI Yogyakarta. Data diambil dari BPBD DI Yogyakarta, Kepala Desa Kepuharjo dan masyarakat yang menghuni huntap. Penelitian dilakukan pada tanggal 19-22 Mei 2016. Hunian tetap terbagi menjadi tiga blok yaitu blok pertama dihuni oleh seluruh masyarakat Dusun Petung, blok kedua, yang berada tengah, dihuni oleh seluruh masyarakat Dusun Kaliadem, dan blok ketiga dihuni oleh sebagian masyarakat Dusun Manggong, Kepuh, dan Pagerjurang. 2.2. Sampling dan Analisis Penelitian Data yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui dua cara yaitu wawancara dengan pegawai BPBD DI Yogyakarta, Kepala Desa Kepuharjo, dan masyarakat; serta pengamatan secara visual terhadap kondisi huntap. Masyarakat yang diwawancarai adalah sebanyak 35 KK dari 301 KK yang tinggal di Huntap Pagerjurang. Pemilihan sample dilakukan dengan metode simple random sampling. Pengamatan secara visual terhadap gambaran lokasi huntap juga dilakukan dengan memanfaatkan drone sebagai bagian dari pemetaan lokasi di lapangan. Data sekunder yang digunakan adalah data yang didapatkan dari berbagai sumber pustaka seperti buku, jurnal, website serta sumber-sumber lainnya. Analisis data dilakukan dengan cara analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif yaitu dengan statistik deskriptif berdasarkan hasil pengisian kuesioner. Analisis kualitatif dilakukan dengan melihat hasil wawancara mendalam dengan responden. Teknik wawancara mendalam diharapkan dapat menggambarkan harapan dan keluhan masyarakat yang menghuni hunian tetap. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Huntap Pagerjurang Pasca letusan Gunung Merapi 2010, pemerintah Kabupaen Sleman melakukan
Kehidupan Masyarakat di Hunian ... (Suprapto, Ratih Nurmasari, Ainun Rosyida)
97
relokasi masyarakatnya ke tempat yang lebih aman. Salah satu huntap yang dibangun adalah Pagerjurang. Hunian tetap Pagerjurang, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki luas 49.665 m2 yang terdiri dari 301 KK (Rekompak Cipta Karya, 2013). Huntap Pagerjurang dihuni oleh 301 KK yang terdiri dari 97 KK dari Dusun Petung, 136 KK dari Dusun Kaliadem, 46 KK dari Dusun Manggong, 14 KK dari Dusun Kepuh dan 8 KK dari Dusun Pagerjurang. Huntap ini terbagi menjadi 3 blok, yaitu Blok 1 dihuni oleh Dusun Petung, Blok 2 oleh Dusun Kaliadem, dan Blok 3 oleh Dusun Manggong, Kepuh, dan Pagerjurang. Bangunan huntap ini dibangun di tanah kas desa dan telah diberikan sertifikat hak milik kepada setiap KK. Untuk mendukung dan memulihkan perekonomian masyarakat, maka huntap
juga dilengkapi dengan peternakan sapi dan kambing. Sapi diberikan agar masyarakat dapat memerah susu untuk selanjutnya dijual demi memenuhi kebutuhan seharihari. Selain itu, penduduk juga dibekali dengan kelompok-kelompok usaha kecil menengah seperti UKM tempe, tas rajut, wedang vulkanik, jahe instan, kerajinan kristal, bakpia telo, stik aneka rasa, dan jahe susu. Hasil dari UKM ini dipasarkan ke luar huntap dan pada pintu masuk ke huntap juga telah disediakan stan khusus sebagai display dan toko untuk menjual berbagai hasil UKM. Kondisi rumah masyarakat di huntap sekarang ini sudah banyak yang mengalami perubahan. Beberapa rumah sudah tidak lagi seperti bangunan aslinya karena dipugar oleh pemilik. Wulansari (2014) mengemukakan dalam publikasi penelitiannya bahwa masyarakat belum merasa puas terhadap unit hunian yang ditinggali, sehingga terjadi fenomena pengembangan mandiri yang dilakukan oleh masyarakat. Pengembangan yang dilakukan sebagian besar berupa penambahan ruang serta peningkatan kualitas material dan finishing bangunan. Gambar 1 menunjukkan bahwa rumah masyarakat sudah mengalami perubahan bentuk. Perubahan ini merupakan inisiatif dari warga untuk mendapatkan hunian yang lebih nyaman. 3.2. Kehidupan Masyarakat Huntap
Gambar 1. Rumah Huntap yang Sudah Direnovasi warga.
98
Sebagian masyarakat telah menghuni huntap mulai tahun 2012, perkembangan beberapa rumah memang sudah pesat namun demikian ada juga rumah yang masih mempertahankan bentuk aslinya. Hasil wawancara di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat masih memiliki pekerjaan yang sama dengan keadaan sebelum pindah ke huntap. Namun 32% telah meninggalkan pekerjaan yang lama dan mencari pekerjaan yang baru. Pekerjaan warga yang relatif sama adalah mereka yang bekerja sebagai peternak dan
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 95-102
pegawai negeri/swasta yang mempunyai kantor tetap. Masyarakat pasca relokasi mendapatkan bantuan sapi perah dari pemerintah. Kerugian ekonomi dalam usaha tani akibat erupsi Merapi dapat berupa kerugian langsung karena tanaman dan ternak yang mati, penurunan produksi, dan turunnya harga jual pada kondisi bencana (Ilham, n.d). Kandang-kandang sapi dibuat pada sisi pinggir huntap yang mampu menampung semua sapi milik warga. Untuk masyarakat yang bekerja di kantor pada umumnya mereka masih menjalani rutinitas pekerjaan seperti biasa. Sebagian besar masyarakat memang memiliki pekerjaan yang sama dengan sebelum kejadian, namun ada beberapa masyarakat yang mengalami peningkatan pendapatan pasca mereka tinggal di huntap Pagerjurang. Peningkatan pendapatan lebih banyak diterima oleh mereka yang mengelola pasir hasil letusan Gunung Merapi. Melimpahnya pasir karena letusan gunung memberikan peluang kerja bagi sebagian masyarakat Merapi. Hingga saat ini proses penambangan pasir letusan Merapi masih berlangsung, baik yang menggunakan peralatan sederhana hingga yang modern.
Gambar 2. Hunian Tetap Pagerjurang. Diterima Warga Bantuan Ekonomi Tetangga Sama Ikut Mendesign Melakukakn Tradisi Rasa Aman Partisipasi Huntap Jauh dari Tempat Kerja Peningkatan Pendapatan Pekerjaan Masih Sama 0%
10%
20%
30% Ya
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Tidak
Gambar 3. Hasil Survei Masyarakat Huntap Pagerjurang.
Kehidupan Masyarakat di Hunian ... (Suprapto, Ratih Nurmasari, Ainun Rosyida)
99
Relokasi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya harus mampu untuk menghidupi dan membangun kembali masyarakat, lingkungan, dan kehidupan sosial. Lokasi huntap yang dekat dengan tempat kerja merupakan bagian untuk menciptakan rasa nyaman dalam melakukan pekerjaan. Sebagain besar responden berpendapat bahwa huntap yang mereka tempati jauh dari lokasi mereka bekerja. Hanya sedikit yang menyatakan bahwa huntap memiliki jarak yang dekat dengan tempat kerja. Terlepas dari lokasi huntap yang jauh dari tempat kerja, namun masyarakat pada sisi yang lain lebih merasa aman tinggal di sana, terlebih lagi dari ancaman letusan Merapi di masa yang akan datang. Tujuan dari relokasi adalah untuk menjauhkan masyarakat dari ancaman bencana yang ada. Ketika masyarakat merasa aman, maka jika terjadi letusan lagi pemerintah tidak harus menggelontorkan dana yang cukup besar untuk proses darurat dan rehabilitasi rekonstruksi. Dalam pembangunan huntap, pelibatan masyarakat merupakan unsur yang sangat penting. Masyarakat yang turut serta membangun huntap dari awal hingga akhir cenderung memiliki rasa kepemilikan terhadap tempat yang baru. Pelibatan masyarakat juga merupakan wujud dari kepedulian masyarakat akan pentingnya hunian yang baru pasca rumah mereka hancur terkena bencana. Pada sisi yang lain, pelibatan ini juga sebagai upaya untuk menumbuhkan kembali sifat gotong royong. Masyarakat lereng Merapi terkenal dengan budaya gotong royong, terlebih lagi dalam hal mengadakan kegiatan tradisional. Kegiatan bersih-bersih lingkungan masih tetap dilakukan oleh masyarakat huntap walaupun sudah tidak menempati rumah lama mereka. Masyarakat yang sudah tinggal lama di suatu wilayah, biasanya sudah mempunyai komunikasi dan kedekatan secara batin terhadap sesama tetangga bahkan semua orang yang berada di lingkungan mereka. Terutama bagi masyarakat lereng Merapi, 100
hubungan kekeluargaan dengan tetangga dan lingkungan sangat kental demi menjaga keberlangsungan hidup yang damai. Kondisi seperti ini juga harus mampu untuk selalu dipertahankan ketika masyarakat menghuni hunian tetap. Dilihat dari susunan tetangga yang berada di kanan kiri penghuni huntap, lebih dari 70% menyatakan bahwa mereka memiliki tetangga yang sama dengan ketika berada di lingkungan asal. Kondisi ini merupakan bagian untuk menumbuhkan rasa nyaman terhadap warga, karena mereka tidak harus saling berkenalan lagi. Dalam menumbuhkan kembali perekonomian masyarakat, pemerintah memberikan bantuan stimulus ekonomi berupa sapi perah, pembuatan berbagai kerajinan dan olahan hasil kebun seperti jahe. Untuk mendukung program sapi perah, maka kandang sapi dibuat terpusat di bagian pinggir huntap agar sapi dapat ditampung pada tempat khusus dan memudahkan dalam mengolah limbah. Perawatan sapi diserahkan langsung kepada warga. Untuk produk kerajinan telah dibantu oleh tenaga pendamping, sedangkan untuk pemasaran telah dibangun toko khusus pada pintu masuk huntap. Produk-produk tidak hanya dipamerkan di toko ini saja, melainkan ke beberapa toko lainnya, hingga mengikuti ajang-ajang pameran untuk memperkenalkan produk tersebut. Masyarakat yang menghuni huntap tidak mendapatkan pertentangan dari masyarakat yang sudah lama tinggal di wilayah tersebut. Hampir semua warga mau menerima kehadiran mereka dan mampu beradaptasi. Dari semua warga yang ditanya, mereka menjawab dapat diterima dengan baik oleh warga sekitar. Beberapa warga juga berkata bahwa mereka justru sangat dibantu oleh warga sekitar ketika membutuhkan sesuatu. 3.3. Permasalahan Masyarakat Huntap Masyarakat yang tinggal di wilayah baru, memang akan membutuhkan penyesuaian/adaptasi dengan lingkungan
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 95-102
yang baru. Masalah biasanya akan timbul karena mereka mengalami perubahan rutinitas yang sudah terbentuk selama bertahun-tahun. Begitu juga dengan masyarakat yang baru menghuni huntap pasti sedikit banyak mengalami permasalahan tinggal di lokasi yang baru. Beberapa warga masih kesulitan dalam mendapatkan pakan ternak karena lokasi ladang rumput yang jauh dari huntap. Masyarakat biasanya mencari ladang rumput di sekitar lokasi tempat tinggal mereka yang terdahulu, sehingga membutuhkan biaya setiap kali mencari rumput. Ketika mereka tidak memiliki kendaraan menuju padang rumput, mereka harus berjalan kaki yang membutuhkan waktu cukup lama. Jika tidak mau berjalan kaki mereka harus menggunakan transportasi ojek yang memerlukan ongkos. Hal ini menjadi kendala bagi masyarakat yang mempunyai ternak namun tidak memiliki kendaraan dalam mencari pakan ternak. Permasalahan juga dialami oleh sebagian masyarakat yang memiliki keluarga lanjut usia (lansia). Dahulu rumah mereka memiliki pekarangan yang cukup luas dan dekat ke ladang untuk bercocok tanam atau sekedar mencari rumput. Sekarang setelah tinggal di huntap, rumah mereka saling berhimpitan dengan tetangga sehingga tidak memiliki lahan yang dapat digunakan untuk melakukan aktivitas. Lansia yang tinggal di hunian tetap saat ini banyak yang tidak memiliki kegiatan sehari-hari, hal ini membuat mereka kurang melakukan aktivitas fisik yang akan menurunkan daya tahan tubuh. Seringnya mereka berdiam diri di rumah membuat mereka menjadi bosan, tetapi tidak tahu harus melakukan apa hanya untuk sekedar aktivitas. 4. KESIMPULAN Hasil penelitian yang telah dijelaskan dalam pembahasan di atas dan temuan di lapangan membuktikan bahwa masyarakat yang tinggal di huntap Pagerjurang sebagian besar merasa aman dari ancaman
bahaya letusan Gunung Merapi. Sebagian besar masyarakat masih memiliki pekerjaan yang sama dengan sebelum pindah ke huntap. Kehadiran mereka di huntap dapat diterima warga sekitar dengan baik sehingga tidak timbul perselisihan dalam bermasyarakat. Bantuan ekonomi sedikit banyak telah merangsang perekonomian masyarakat, terbukti dari beberapa rumah telah mengalami renovasi. Kendala yang dihadapi masyarakat di huntap sampai sekarang ini adalah kesulitan untuk mendapatkan pakan ternak. Lokasi pencarian rumput yang jauh mengakibatkan masyarakat mengeluarkan biaya tambahan dalam memenuhi kebutuhan pakan sapi mereka. Kondisi rumah yang berdekatan dan kurang tersedianya lahan di pekarangan untuk berkebun, menyebabkan keluarga yang mempunyai anggota lanjut usia kurang mendapatkan aktivitas. Di tempat asal mereka, lanjut usia (lansia) biasanya memiliki aktivitas di sekitar rumah, namun sekarang mereka banyak menghabiskan waktu di rumah tanpa ada aktivitas. DAFTAR PUSTAKA Aisyah, N dan Purnamawati, D,I,. 2012. Tinjauan Dampak Banjir Lahar Kali Putih, Kabupaten Magelang Pasca Erupsi Merapi 2010. Jurnal Teknologi Technoscientia Vol. 5 No. 1 Handayani, D, A. dan Rofi, A. n.d. Perubahan Status Sosial Ekonomi Rumah Tangga Pengungsi Desa Kepuharjo Di Shelter Desa Wukirsari, Cangkringan, Sleman, D. I Yogyakarta. Ilham, N. n.d. Dampak Erupsi Gunung Merapi Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani (Kasus Kabupaten Sleman. Jha, A, K. Barenstrein, J,D. Phelps, P, M. Pittet, D. and Sena, S. 2010. Safer Homes, Stronger Communities A Handbook for Reconstructing after Natural Disasters. The World Bank:Washington DC
Kehidupan Masyarakat di Hunian ... (Suprapto, Ratih Nurmasari, Ainun Rosyida)
101
Martanto, F, dan Sagala, S. A H,. n.d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persoalan Relokasi Pasca Bencana Lahar Dingin di Kali Putih (Studi Kasus Dusun Gempol, Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang). ITB: Bandung. http://rekompakciptakarya.org/news/2013/ 10/sharing-pengalaman-bangkit-dari bencana-erupsi-merapi/ diakses tanggal 3 September 2016
102
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 95-102
KERJASAMA SIPIL-MILITER DALAM PENANGGULANGAN BENCANA (STUDI KASUS TANGGAP DARURAT BANJIR JAKARTA 2013, 2014, 2015) DR. Sutopo Purwo Nugroho, M.Si, APU1, Suprapto, S.Si., M.Si (Han)2, Tika Savitri Pandanwangi, S.Si., M.Si (Han)3 Kapusdatinmas BNPB & Dosen Universitas Pertahanan1 Statistisi BNPB2, Pegawai Sekretariat ASEAN3
[email protected] Abstract Flood is one of potential hazards led to disaster in DKI Jakarta Province. The flood almost occurs every year due to rainfall and water distribution from upper areas such as Bogor and Depok. During Jakarta flood in 2013, 2014, and 2015, emergency response optimized roles of military and civil. Military conducts its roles and functions in disaster as part of Military Operation Besides War or Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Civil-military coordination is a mechanism in disaster management in term of accelerating response and minimizing number of victim and damage as well. In 2013, the Governor appointed the Secretary of DKI Jakarta Province as the Incident Commander and Military High Official of Kasdam Jaya as the Vice Incident Commander. In 2014 and 2015, flood still occured but involvement of the military was not larger than in 2013 and the Governor did not issue a status of emergency response. Keywords : Flood, Coordination, OMSP. 1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Bencana dewasa ini sudah menjadi ancaman yang nyata bagi bangsa dan negara Indonesia. Tsunami Aceh 2004, gempa Yogyakarta 2006, letusan Gunung Merapi 2010, tsunami Mentawai 2010 dan lain sebagainya menunjukkan bahwa wilayah Indonesia tidak sepenuhnya terbebas dari ancaman bencana. Begitu juga dengan wilayah DKI Jakarta, yang hampir setiap tahun mengalami bencana banjir. Salah satu faktor penyebab banjir yang terjadi di wilayah Bogor, Depok dan Jakarta adalah tingginya intensitas curah hujan yang berdampak pada tingginya muka air pada pintu air Katulampa, pintu air Depok, dan pintu air Manggarai yang bermuara ke laut melalui kali Ciliwung yang
melintasi Jakarta. Terbatasnya kapasitas pintu air menyebabkan meluapnya air yang kemudian mengalir ke Jakarta dalam waktu 11 sampai 13 jam. Bahkan pada Januari 2013 banjir menggenangi 31 kecamatan, 74 kelurahan, dan 337 RW yang tersebar di lima wilayah Jakarta dengan ketinggian antara 20 cm hingga 200 cm. Penanggulangan banjir Jakarta tidak hanya melibatkan dinas ataupun relawan terkait, melainkan juga melibatkan pasukan TNI. Semenjak tahun 1990 dalam kejadian bencana, militer dan sipil telah beroperasi secara simultan dan terdapat saat di mana militer dan sipil mempunyai hubungan kerjasama yang sangat dekat (Rietjens dan Bollen, 2008). Bencana tidak hanya menjadi urusan sipil saja, melainkan perlu adanya keterlibatan dari pihak militer. Koordinasi sipil-militer terbuki mampu untuk mempercepat penanganan bencana
Kerjasama ... (DR. Sutopo Purwo Nugroho, M.Si, APU, Suprapto, S.Si., M.Si (Han), Tika Savitri Pandanwangi, S.Si., M.Si (Han))
103
sehingga jumlah korban dan kerusakan dapat diminimalisir. Dalam makalah Metcalfe dan Hanysom (2012) yang berjudul “Trends and Challenges in Humanitarian Civil-Miitary Coordination, a review of the literature” dijelaskan bahwa definisi CivilMilitary Coordination (CMCoord) atau koordinasi sipil-militer menurut United Nations berarti dialog penting antara aktor sipil dan militer dalam bidang kemanusiaan untuk melindungi dan mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan, menghindari persaingan, meminimalkan ketidakkonsistenan, dan mencapai tujuan bersama. Definisi serupa juga digunakan oleh United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA) dan InterAgency Standing Committee (IASC). Dalam upaya penanggulangan bencana alam dan bantuan kemanusiaan banyak terjadi interaksi antara militer (TNI) dengan otoritas sipil (BNPB/BPBD), pemerintah daerah, masyarakat sipil lainnya seperti swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), baik dalam masa prabencana, bencana, maupun pasca bencana (Nugroho, 2012). BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) maupun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tentunya memiliki keterbatasan dalam melakukan emergency response, maka diperlukan sebuah koordinasi dan perencanaan program emergency response yang terpadu antara pihak sipil dan militer pada saat tanggap darurat, baik dalam koridor Sistem Komando Tanggap Darurat (SKTD) maupun pengerahan pasukan dan kerjasama sipilmiliter di luar daripada SKTD tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pengerahan pasukan skala besar, maka TNI dirasa lebih cepat dibandingkan dengan sipil. Kecepatan dalam memberikan bantuan kepada korban bencana memungkinkan untuk menekan jumlah korban meninggal. Banjir Jakarta yang terjadi pada tahun 2013, 2014, dan 2015 dalam penanganganya telah melibatkan sipil dan militer terutama pada masa tanggap 104
darurat. Pengerahan sumber daya baik sipil maupun militer dimaksimalkan baik dari segi sumber daya manusia maupun peralatan penanggulangan bencana. Permasalah yang dihadapi dalam pelibatan militer adalah belum adanya prosedur yang tetap. Di tingkat pusat maupun tingkat daerah, prosedur dan mekanisme perbantuan kekuatan TNI dalam menangani bencana alam masih menjadi permasalahan birokrasi yang kontra produktif bagi penanganan akibat bencana secara cepat dan tepat. Di sisi lain, partisipasi kalangan sipil dalam penanggulangan bencana kerap dihadapkan pada keterbatasan kemampuan maupun sarana dan prasarana yang dimiliki (Soepandji, 2013). Menurut penelitian Panjaitan (2008) dalam Hidayat (2013) dalam kasus Gempa Nias, ada indikasi bahwa salah satu kendala TNI dalam OMSP (Operasi Militer Selain Perang) meliputi antara lain: belum cukupnya legislasi yang mencakup peran TNI terutama dalam hal apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan, Standard Operating Procedure (SOP) koordinasi dengan elemen sipil pada masa tanggap darurat, dan aturan tentang batasan waktu pendampingan yang kesemuanya itu berakibat pada kurang jelasnya koordinasi masing-masing elemen pada saat penanganan bencana di lapangan. Bencana dalam perspektif ketahanan nasional, menunjukkan bahwa ancaman ini harus dihadapi dengan segala potensi nasional yang ada. Dalam makalah yang berjudul Penguatan Identitas TNI melalui Kepemimpinan dalam Penanggulangan Bencana, Hidayat (2013) menjelaskan pandangan Rukavishnikov (2006) bahwa perkembangan terakhir terkait hubungan sipil-militer ini mengarah kepada harapan akan adanya perubahan pada posisi dan status militer dalam masyarakat, yaitu perubahan dari militer yang bersifat dependent/mono menuju yang bersifat professional dan multifungsional. Dalam keadaan damai maka militer dapat menjalankan kegiatan OMSP seperti
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 103-110
membantu dalam penanggulangan bencana. Tidak semua pelaksanaan koordinasi sipil militer berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Adanya perbedaan dalam sistim komando menyebabkan terkadang terjadi kendala dalam pelaksanaan di lapangan. Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: bagaimana sistem koordinasi dan kerjasama sipil-militer antara teori CivilMilitary Coordination dengan keadaan sebenarnya dalam tanggap darurat banjir Jakarta 2013, 2014, dan 2015? 1.2. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dan mendeskripsikan sistem koordinasi dan kerjasama sipil-militer pada tanggap darurat banjir Jakarta 2013, 2014, 2015 serta menemukan bentuk optimal dari kerjasama dan koordinasi sipil-miiter pada tanggap darurat. 2. METODOLOGI 2.1. Sumber Data Sumber primer adalah sumber yang langsung memberikan data kepada pengumpul data (Sugiyono, 2011). Dalam hal ini data primer didapatkan dari hasil wawancara mendalam, teknik wawancara digunakan karena sebagian data terdapat dalam benak informan (Irawan, 2007) yang dalam hal ini aktor kunci dari pelaksanaan koordinasi sipil-militer pada tanggap banjir Jakarta 2013, 2014, 2015. Sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, sebagai contoh lewat orang lain atau lewat dokumen (Sugiyono, 2011). Data sekunder merupakan pendukung bagi penelitian yang dilakukan, data diperoleh dari sumber terbuka seperti buku-buku, internet, jurnal, dan berbagai sumber literatur dari instansi yang diteliti.
2.2. Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di DKI Jakarta. Lokasi penelitian terletak di instansi pemerintah (BNPB & BPBD DKI Jakarta) serta satuan-satuan militer di Jakarta yang bertugas pada tanggap darurat banjir Jakarta 2013, 2014, dan 2015. 2.3. Pengumpulan dan Analisa Data Metodologi dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan analisis berdasarkan teori Civil-Military Coordination dari IASC pada studi kasus tanggap darurat banjir Jakarta 2013, 2014, 2015. Metode deskriptif juga digunakan untuk mengkaji data sesuai apa adanya (Irawan, 2007). Teknik pengumpulan data dibagi menjadi dua, yaitu pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan secara langsung kepada obyek penelitian, sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan dengan penelitianpenelitian terhadap dokumen dan literatur yang didapatkan selama penelitian berlangsung dan berkaitan dengan obyek penelitian. Analisis data dilakukan dengan cara induktif agar dapat menemukan pengaruh yang mempertajam hubungan-hubungan. Penelitian induktif memungkinkan temuantemuan penelitian muncul dari ‘keadaan umum’, tema-tema dominan dan signifikan yang ada dalam data, tanpa mengabaikan hal-hal yang muncul oleh struktur metodologisnya (Moleong, 2010). 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Sejarah Banjir Jakarta Banjir Jakarta merupakan bencana yang hampir setiap tahun terjadi di ibukota, namun yang membedakan adalah luas wilayah terdampaknya. Rencana kontijensi banjir 2015 yang disusun oleh BPBD DKI Jakarta menyebutkan bahwa wilayah
Kerjasama ... (DR. Sutopo Purwo Nugroho, M.Si, APU, Suprapto, S.Si., M.Si (Han), Tika Savitri Pandanwangi, S.Si., M.Si (Han))
105
Provinsi DKI Jakarta dilewati 13 Sungai dan 70 kawasan rawan banjir, meliputi 37 kecamatan, 125 Kelurahan, dan 634 RW. Sejarah banjir Jakarta pernah terjadi pada tahun 1621, 1654, 1918, 1976, 1996, 2002, 2007, dan tahun 2013. Menurut Khomarudin et.al (2014) jika dilihat dari masalah banjir di DKI Jakarta, terdapat tiga masalah yang dapat menjadi penyebab banjir. Pertama adalah karena debit sungai dari daerah hulu mengalir ke DKI Jakarta. Kedua adalah curah hujan lokal yang melanda DKI Jakarta dalam beberapa hari dan tanah sudah tidak mampu lagi menyerap air hujan. Ketiga adalah banjir rob dari laut yang biasanya melanda di Jakarta bagian utara. Permasaahan banjir di DKI Jakarta sebenarnya bukan merupakan masalah yang baru. Sejak zaman kerajaan Tarumanegara yang dipimpin oleh Raja Purnawarman pada abad ke-5 banjir sudah menggenangi wilayah Jakarta. Pada saat Jakarta diambil alih oleh Pemerintahan Hindia Belanda di mana Jakarta masih bernama Batavia, pada tahun 1621 banjir juga melanda dengan begitu dahsyatnya. Zaenuddin (2013) menjelaskan bahwa ambisi besar petinggi VOC untuk menyulap Batavia seperti kotakota di Eropa khususnya Belanda kandas karena kondisi geografis, keadaan alamnya, dan iklim tropis yang tidak memungkinkan. Tahun 1654 bencana banjir besar kembali melanda, yang menyebabkan aliran sungai Ciliwung menjadi keruh dan tidak dapat digunakan lagi untuk mandi, mencuci, dan minum. Pada saat itu banjir menggenangi wilayah Batavia berlangsung hingga beberapa hari. Hal ini menyebabkan semua perekonomian dan aktivitas masyarakat lumpuh total. Demikian pula yang terjadi pada tahun 1654, 1918, 1976, 1996, 2002, dan 2007. Hingga sampai saat ini banjir besar di Jakarta terkenal dengan siklus 5 dan 10 tahunan. Banjir 2013 adalah banjir besar yang terjadi pada tahun 2013 yang menggenangi 508 RW di 124 kelurahan di DKI Jakarta. Banjir ini menjadikan 83.930 orang mengungsi selama beberapa hari dan 38 106
orang meninggal dunia. Pada tanggal 17 Januari 2013, Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, mengumumkan status darurat banjir untuk Jakarta. Kerugian akibat banjir ini ditaksir lebih dari 20 triliun rupiah. Pada tahun 2014 dan 2015 banjir juga masih terjadi di wilayah DKI Jakarta namun dalam skala yang lebih kecil. Tahun 2014 banjir menerjang DKI Jakarta terjadi sebanyak 3 kali dengan rentang waktu sekitar 3 minggu. Pada tanggal 12 Januari 2014 curah hujan maksimum tercatat pada pos hujan Tanjung Priok (91 mm/hari) dan tanggal 13 Januari pada pos hujan Lebak Bulus (128 mm/hari). Berdasarkan pencatatan dari BNPB, 25 orang meninggal akibat banjir ini dan ribuan orang harus diungsikan ke tempat yang lebih aman. Puncak pengungsi pada banjir Jakarta 2014 terjadi pada tanggal 22 Januari 2014 pukul 12.00 WIB. Jumlah pengungsi mencapai 80.600 jiwa yang tersebar pada 297 lokasi pengungsian. Pengungsi terbanyak berada di Jakarta Barat dan Jakarta Selatan (25.319 jiwa dan 24.847 jiwa). BPBD DKI Jakarta mencatat pada Senin (9-2-2015) pukul 16.00 WIB, ada 93 titik genangan di Jakarta. Banjir tersebar di 35 titik di Jakarta Pusat, 28 titik di Jakarta Barat, 17 titik di Jakarta Utara, 8 titik di Jakarta Timur, dan 5 titik di Jakarta Selatan. Kurang lebih 13 ribu lebih masyarakat Jakarta terdampak banjir di 126 RT/221 RW. Jumlah pengungsi yang tertinggi tercatat berada di Jakarta Utara yaitu 3.255 jiwa yang tersebar di 59 tempat pengungsian. Banjir telah menyebabkan 5 orang meninggal dunia yang tersebar di Jakarta Pusat (1 orang), Jakarta Timur (1 orang), dan Jakarta Utara (3 orang). 3.2 Koordinasi Sipil Militer Penanggulangan Banjir
dalam
Penanggulangan bencana sekarang ini tidak hanya menjadi tanggung jawab sipil saja melainkan sudah menjadi bagian dari tugas militer. Tentara Nasional Indonesia (TNI) dewasa ini menjalankan dua tugas
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 103-110
yaitu Operasi Militer Perang (OMP) dalam keadaan darurat dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dalam keadaan aman. Menurut undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menyebutkan bahwa salah satu tugas dalam OMSP adalah penanggulangan bencana. TNI dapat diterjunkan untuk mempercepat penanganan ketika terjadi bencana. Perbedaan budaya kerja antara sipil dan militer membuat koordinasi antara keduanya kadang menimbulkan beberapa persoalan. Tujuan, cara kerja serta penggunaan bahasa dalam melaksanakan kegiatan cenderung berbeda antara sipil dan militer. Dalam melakukan tugas kemanusiaan seperti bencana, perlu adanya koordinasi yang jelas agar pelaksanaan di lapangan tidak mengalami kendala.
BASIC UN-CMCOORD CONCEPT Need for Assistance
Relief
Reconstruction Foreign Military and Civil Defence Assets
Training
International Civilian Relief Local/ National Response (including Military Resources) Information Sharing Task Division Planning
Planning Task Division Informastion Sharing
Gambar 1. Konsep dan Hubungan Dasar UN-CMCoord (Sumber: United Nations Civil-Military Coordination Officer Field Handbook hal. 12).
United Nations (UN) pada gambar 1 menjelaskan bahwa penggunaan opsi militer merupakan opsi terakhir jika tenaga sipil tidak cukup kemampuan untuk penanganan bencana. Sedangkan, dalam OSLO Guidelines menjelaskan bahwa militer merupakan sebuat alat yang melengkapi mekanisme penanggulangan bencana. Sehingga keberadaan TNI akan mengisi kekurangan kebutuhan dalam masa darurat bencana. Konsep kerjasama sipil militer merupakan bagian untuk mengimplementasikan hubungan sipil
dan militer yang terjadi di lapangan, di mana posisi militer mengisi kesenjangan dari kemampuan sipil (Franke, 2006). Dalam perkembanganya, untuk merespon bencana, kekuatan TNI sangat diperlukan karena kesiapan dan jumlah personil yang cukup besar terutama dalam masa tanggap darurat bencana. Dalam keadaan damai, kerjasama (cooperation) antara sipil-militer menjadi sangat dekat, salah satunya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan terkait dengan kerjasama antar keduanya. Namun, pada waktu menghadapi situasi complex emergency dibentuk liaison atau penghubung, baik dari pihak sipil maupun militer. Proses koordinasi telah diadaptasi dari model Rietjens (2008). Terdapat 3 tahapan dalam koordinasi; tahap pertama yaitu pembentukan, tahap kedua yaitu operasional di lapangan, tahap ketiga yaitu evaluasi yang merupakan fase akhir dari sebuah koordinasi. Pembentukan struktur organisasi dalam koordinasi sipil-militer dibutuhkan untuk melihat siapa melakukan apa dan sebagai kontrol dalam pencapaian tujuan. Banjir Jakarta yang terjadi pada tahun 2013, 2014, dan 2015 tidak terlepas dari peran serta sipil-militer dalam penanganannya. Pengerahan pasukan TNI dilakukan setelah ada permintaan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pada tahun 2013, Gubernur DKI Jakarta menetapkan status darurat bencana banjir diiringi dengan pembentukan Komando Tanggap Darurat melalui keputusan Gubernur nomor 25/2013. Masa tanggap darurat bencana banjir ditetapkan selama 10 hari (17-27 Januari 2013). Pembentukan komando ini bertujuan untuk menyelaraskan penanganan karena melibatkan kekuatan sipil dan militer. Komando ini memiliki fungsi untuk menyelaraskan koordinasi sipilmiliter agar penanggulangan banjir Jakarta dapat segera teratasi dan menghindari kesalahpamahan antara kedua belah pihak. Kekuatan militer/TNI dalam masa darurat bencana bukan merupakan utama tetapi
Kerjasama ... (DR. Sutopo Purwo Nugroho, M.Si, APU, Suprapto, S.Si., M.Si (Han), Tika Savitri Pandanwangi, S.Si., M.Si (Han))
107
sebagai kekuatan pembantu, sehingga jumlah personil yang diterjunkan dalam masa tanggap darurat sangat tergantung dari permintaan pemerintah DKI Jakarta. Dalam pelaksanaan darurat bencana pemerintah DKI Jakarta mengamanatkan kepada Badan Penanggunalang Bencana Daerah (BPBD) DKI. Komando tanggap darurat bencana dijabat oleh Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai komandan komando tanggap darurat dan Kasdam Jaya sebagai wakil komando. Susunan ini memperlihatkan koordinasi yang baik diharapkan mampu terwujud dengan komposisi pejabat tinggi yang saling melengkapi. Pembagian tugas dilakukan sesuai dengan kemampuan dan kapasitas baik dari kalangan sipil maupun militer. TNI yang terlibat dalam tanggap darurat ini tergabung dalam Satuan Tugas Pasukan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana (Satgas PRC PB) yang dikomandoi oleh Kodam Jaya. Pelibatan TNI dalam bencana sesuai dengan Undang-Undang No. 34 tahun 2004 mengenai tugas pokok TNI yang salah satunya adalah pelaksanaan OMSP. Tahun 2013 TNI yang terlibat berjumlah 6.024 personil yang berasal dari matra darat, laut, dan udara, sedangkan pada tahun 2014 dan 2015 tidak sebanyak itu karena skala bencana yang tidak terlalu besar dan pemerintah DKI Jakarta tidak sampai mengeluarkan status darurat bencana. Pengerahan personil militer pada tahun 2014 berdasarkan kebutuhan pada 23 titik prioritas penanggulangan banjir. Kebutuhan personil saat itu berjumlah 92 orang untuk melakukan berbagai tugas. Beberapa tugas TNI saat itu adalah mengontrol keluar masuk barang, menampung keluhan/kebutuhan masyarakat, mengordinasikan lurah/camat, dan bertanggung jawab terhadap aktivitas posko. Sejumlah 18 kompi personil TNI AD membantu penanganan banjir, yang semuanya berasal dari Kodam Jaya. Untuk membantu sarana evakuasi dikerahkan 15 perahu karet dan 18 truk, (Palagan, 2014). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 108
tanggal 13 Januari 2014 mengeluarkan surat keputusan Nomor 70 tahun 2014 tentang Penetapan Status Siaga Darurat Bencana Banjir berlaku hingga 11 Februari 2014. Walaupun tidak sampai mengeluarkan status darurat banjir, namun pelibatan militer/TNI sudah ada sejak ditetapkannya status siaga darurat. Pada tahun 2015 pengerahan pasukan TNI yang terlibat dalam Satuan Reaksi Cepat (SRC), berikut ini jumlah pasukan yang disiagakan pada sesuai dengan tahapan bencana. a. Siaga darurat 10-19 Januari 2015: 120 berasal dari SRC b. Tanggap darurat 20-26 Januari 2015: 595 (120 SRC, 475 Satuan Tempur TNI) c. Transisi darurat ke pemulihan ( 27 Jan-8 Feb 2015): 120 berasal dari SRC Personil yang tergabung dalam SRC PB disebar ke 22 titik posko banjir, yaitu 2 posko di Jakarta Pusat, 7 posko di Jakarta Barat, 3 di Jakarta Selatan, 5 di Jakarta Utara, dan 5 di Jakarta Timur. Dalam perkembangan selanjutnya, BNPB melalui Panglima TNI membutuhkan dukungan personil tambahan untuk banjir Jakarta sebanyak 450 personil. Tambahan pasukan ini berasal dari 100 orang Armabar TNIAL, 100 orang Paskhas TNI-AU, 150 orang Kostrad TNI-AD, dan 100 orang Kopasus TNI-AD. Tambahan pasukan berfungsi untuk memperkuat personil yang telah lebih dahulu berada di lapangan. Pelaksanaan penanggulangan banjir Jakarta merupakan bagian dari sinergitas antara sipil dan militer. Keterlibatan SKPD, BNPB, Basarnas, TNI, Polri dan lain sebagainya membutuhkan komando yang jelas dan terencana. Setiap pelaksanaan di lapangan harus dilakukan secara terarah dan dilakukan evaluasi setiap harinya. Sesuai dengan tahapan yang telah dijelaskan oleh Rietjens (2008), tahapan kedua yaitu operasional lapangan, semua rapat koordinasi dan pembagian pekerjaan dilaksanakan di posko utama sekaligus
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 103-110
sebagai bahan evaluasi untuk pelaksanaan kegiatan di hari berikutnya. Pada masa tanggap darurat rapat diadakan pada sore hari setiap harinya. Rapat evaluasi ini bertujuan untuk melihat capaian yang telah dihasilkan oleh masing-masing pelaku dan menentukan prioritas serta kegiatan pada esok harinya. Rapat evaluasi memberikan kesempatan kepada semua unsur untuk memberikan hasil dan kendala yang mungkin ada di lapangan. Luasnya wilayah yang terdampak bencana banjir juga merupakan kendala dalam melakukan koordinasi di lapangan. Seperti banjir 2013, karena luasnya wilayah yang tergenang dan banyaknya organisasi yang terlibat dalam upaya darurat menjadi kendala tersendiri. TNI yang berasal dari beberapa kesatuan dan organisasi sipil yang juga berbeda-beda, ketika di lapangan mengalami beberapa kesulitan dalam hal kerja sama karena perbedaan gaya komunikasi dan instruksi. Banyaknya organisisasi masyarakat yang terlibat dalam banjir Jakarta dan pasukan militer yang berasal dari beberapa kesatuan, ketika di lapangan tidak bisa menerima perintah kecuali dari pimpinan mereka langsung. Dalam hal ini peran komandan komando tanggap darurat sangat penting untuk menyelaraskan koordinasi di lapangan. Syaifudin (2013) meyebutkan bahwa tidak terjalin koordinasi yang baik antara elemen pemerintah, perguruan tinggi, dan perusahaan (triple helix) menyebabkan tumpang tindih bantuan dengan tidak meratanya proses distribusi bantuan di wilayah - wilayah yang terkena banjir di DKI Jakarta dan terlantarnya masyarakat yang menjadi korban bencana banjir.
pasukan sangat tergantung pada permintaan dari pemerintah setempat. Militer dalam masa damai menjalankan tugas dan fungsinya dalam hal Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yang salah satunya adalah penanggulangan bencana. Sesuai dengan OSLO guideline menyebutkan bahwa keterlibatan militer dalam penanggulangan bencana merupakan langkah untuk mengisi celah/gap yang tidak dimiliki oleh kemampuan sipil. Banjir Jakarta yang terjadi pada tahun 2013, 2014, dan 2015 menunjukkan bahwa koordinasi antara sipil dan militer dalam bencana dapat berjalan baik. Pengerahan pasukan militer dalam penanganan banjir merupakan bagian untuk mempercepat upaya tanggap darurat agar tidak timbul korban dan kerusakan yang lebih banyak. Koordinasi ini dapat dilihat juga dalam penetapan sistim komando tanggap darurat 2013 dengan menempatkan Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai komando dan Kasdam Jaya sebagai wakil komando. Dalam melakukan koordinasi di lapangan evaluasi kegiatan dilakukan setiap hari pada sore hari selama masa tanggap darurat. Evaluasi berguna untuk mengukur semua kegiatan yang telah dikerjakan baik oleh sipil maupun militer dan merencanakan kegiatan yang dilakukan pada hari berikutnya. Perbedaan komando dan tata bahasa yang digunakan dalam sipil dan militer sedikit banyak memberikan kendala dalam operasi darurat di lapangan. Banyaknya organisisasi masyarakat yang terlibat dalam banjir Jakarta dan pasukan militer yang berasal dari beberapa kesatuan, ketika di lapangan tidak bisa menerima perintah kecuali dari pimpinan mereka langsung.
4. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Koordinasi sipil militer dalam penanggulangan bencana sekarang ini menjadi bagian yang sangat penting. Koordinasi ini menempatkan militer sebagai kekuatan pendukung sehingga pengerahan
Franke, V. 2006. The Peacebuilding Dilemma: Civil-Military Cooperation In Stability Operations. Autumn: International Journal of Peace Studies 11.
Kerjasama ... (DR. Sutopo Purwo Nugroho, M.Si, APU, Suprapto, S.Si., M.Si (Han), Tika Savitri Pandanwangi, S.Si., M.Si (Han))
109
Hidayat, Nurul. 2013. Penguatan Identitas TNI melalui kepemimpinan dalam Penanggulangan Bencana. Irawan, Prasetya. 2007. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: DIA Fisip UI. Khomarudin, M. K. , Suwarsono., Ambarwati. D.O., dan Prabowo. G. 2014. Evaluasi Kejadian Banjir Kampung Pulo Dki Jakarta Dan Analisis Pengurangan Risikonya Berbasis Data Unmanned Air Vehicle (Uav) Dan Penginderaan Jauh Resolusi Tinggi. Jakarta: LAPAN Metcalfe, Victoria dan Simon Haysom. 2012.Trends and Challenges Humanitarian Civil-Military Coordination: A review of the literature. UK: Humanitarian Policy Group. Moleong, Lexy J., 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nugroho, Sundoro A. 2012. Analisis Kerjasama Sipil-Militer Dalam Bantuan Kemanusiaan Indonesia (Studi Kasus Masa Tanggap darurat Penanggulangan Bencana Alam Letusan G. Merapi 2010). Universitas Pertahanan Indonesia: Sekolah Kajian Pertahanan dan Strategis Program Studi Manajemen Pertahanan. Rietjens, Sebastian J.H. dan Myriame
110
T.I.B. Bollen.2008.Managing Civil Military Cooperation: A 24/7 Joint Effort for Stability. England: Ashgate Publishing Limited. Rietjens, S.J.H., 2008, Civil-Military Cooperation in Response to a Complex Emergency: Just Another Drill? Leiden, Netherland: Koninklijke Brill NV. Soepandji, Budi S. 2013.Ketangguhan Bangsa Terhadap Risiko Bencana dalam Perspektif Ketahanan Nasional. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta. Syaifudin. 2013. Relasi Triple Helix Pada Penanggulangan Bencana Banjir di DKI Jakarta (Studi Kasus Pada Tahap Tanggap Darurat Bencana Banjir DKI Jakarta Awal Tahun 2013). Jakarta. ---Redaksi Palagan. 2014. TNI AD Bantu Korban Banjir. Jakarta: Volume 15 No. I Edisi Maret 2014. ---Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Jakarta.
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 103-110
PERAN KEARIFAN LOKAL DALAM MITIGASI BENCANA: STUDI MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA LONGSOR DI DESA BOJONGKONENG, KABUPATEN BOGOR Randy Raharja1, Faisal Grahadi Wibowo2, Riski Vitria Ningsih3, dan Sari Viciawati Machdum4 Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia1, Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia2, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia3, Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik4
[email protected],
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstract Based on the hazardous index in 2011, Indonesia National Disaster Management claimed the Bogor Regency as 5th ranked hazardous area. In January 2014, the number of catastrophic events has reached 79 cases, while 60 were the incidence of landslides. Disasters cannot be avoided, but the risk of disasters able to be diminished through mitigation. Mitigation in the form of local wisdom is an instrument of society in facing the matter of life. This article describes the role of local wisdom of people of Bojongkoneng in landslide disaster mitigation and community means to preserve local wisdom in Bojongkoneng. The study was conducted in Bojongkoneng village, the Bogor regency with the number of 16 participants of villager and stakeholders. Besides, it applied a descriptive qualitative approach and applied interview and observation in collecting data. The result is local wisdom of Bojongkoneng, including utilized of houses on stilts that can diminish the impact on landslides, their taboos in respect of environmental destruction, and predictions of disaster occurrence of landslides through stories passed down through generations. However, local wisdom began to fade due to the influx of development that changed the way of society, particularly the perception of home as a place to stay. Keywords : Local Wisdoms, Disaster Mitigation, Landslide, Bojongkoneng Village. 1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik yaitu lempeng Euro-Asia di bagian Utara, lempeng IndoAustralia di bagian Selatan, dan lempeng Samudra Pasifik di bagian Timur. Posisi geografis Indonesia yang berada di antara dua benua dan dua samudera menyebabkan
wilayah Indonesia dilalui oleh angin Muson Barat dan angin Muson Timur, kondisi tersebut berpotensi menimbulkan bencana hidrometeorologi seperti banjir, angin puting beliung, dan kekeringan (Pusat Mitigasi Bencana ITB, 2008). Selama kurun waktu 1990-2000, Indonesia berada dalam urutan ke-4 negara yang paling sering mengalami bencana di antara negaranegara lain di Asia. Tercatat setidaknya 257 kejadian bencana terjadi di Indonesia dari keseluruhan 2.886 kejadian bencana alam
Peran Kearifan Lokal ... (Randy Raharja, Faisal Grahadi Wibowo, Riski Vitria Ningsih dan Sari Viciawati Machdum)
111
di Asia selama periode tersebut (Pusat Mitigasi Bencana ITB, 2008.). Ada beberapa bencana yang tidak dapat dihindari, tetapi dampak yang ditimbulkan dapat dikurangi dengan pengurangan risiko bencana yang dilakukan melalui pengelolaan risiko bencana. Siklus pengelolaan bencana terdiri dari empat tahap yaitu pencegahan/ mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan rehabilitasi serta rekonstruksi pasca bencana. Pada tahap mitigasi, tindakan dilakukan untuk mencegah atau mengurangi dampak dari bencana. Tahap mitigasi memfokuskan pada tindakan jangka panjang untuk mengurangi risiko bencana. Di sisi lain, kearifan lokal digunakan sebagai instrumen masyarakat dalam menghadapi masalah yang ditemui di dalam kehidupannya. Kearifan lokal merupakan semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis (Keraf, 2010). Dalam hal ini, kearifan lokal dapat berperan dalam proses mitigasi bencana. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Permana (2011) mengenai kearifan lokal masyarakat Baduy telah mengidentifikasi peran kearifan lokal dalam mitigasi bencana. Penanggulangan banjir Jakarta tidak hanya melibatkan dinas ataupun relawan terkait, melainkan juga melibatkan pasukan TNI. Semenjak tahun 1990 dalam kejadian bencana, militer dan sipil telah beroperasi secara simultan dan terdapat saat di mana militer dan sipil mempunyai hubungan kerjasama yang sangat dekat (Rietjens dan Bollen, 2008). Bencana tidak hanya menjadi urusan sipil saja, melainkan perlu adanya keterlibatan dari pihak militer. Koordinasi sipil-militer terbuki mampu untuk mempercepat penanganan bencana. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi lebih lanjut peran kearifan lokal masyarakat Desa Bojongkoneng dalam mitigasi bencana longsor. Desa Bojongkoneng, Kabupaten Bogor dipilih 112
sebagai lokasi penelitian karena Desa tersebut memiliki tingkat kerentanan bencana yang sangat tinggi. Berdasarkan data indeks rawan bencana 2011, BNPB menetapkan wilayah Kabupaten Bogor sebagai peringkat ke-5 daerah rawan bencana di Indonesia. Di tahun 2014, dalam bulan Januari saja jumlah kejadian bencana sudah mencapai 79 kejadian, 60 kejadian di antaranya ialah longsor.
Gambar 1. Kondisi Atap dan Dinding Rumah Akibat Pergeseran Tanah. Sumber: dokumentasi pribadi.
1.2. Tujuan Penelitian Dari paparan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi peran kearifan lokal dalam mitigasi bencana longsor dan upaya masyarakat dalam menjaga dan melestarikan kearifan lokal dalam mitigasi bencana longsor di Desa Bojongkoneng, Kabupaten Bogor. 2.
METODE PENELITIAN
2.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yang berpikir secara induktif, yaitu berasal dari fakta dan data di lapangan yang dikaji dengan pendekatan dan pemikiran teoritis maupun digunakan dalam pembentukan konsep baru (Neuman, 2007). Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif yang menggali hasil temuan sesuai dengan fakta dan tujuan penelitian. Sumber informasi penelitian ini diperoleh dari beberapa
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 111-119
orang informan. Teknik pengumpulan data dan sumber informasi dalam penelitian ini juga dilakukan dengan observasi serta studi dokumen yang terkait dengan topik penelitian. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, tata cara dalam masyarakat, dan situasi-situasi tertentu dalam suatu fenomena. Hal ini ditujukan untuk memberikan gambaran dan pandangan yang jelas mengenai subjek maupun objek yang sedang diteliti. (Neuman, 2007). 2.2. Lokasi Pengumpulan Data Lokasi penelitian berada di Desa Bojongkoneng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi tersebut karena Desa Bojongkoneng sesuai dengan berbagai kriteria yang diperlukan dalam penelitian ini karena desa ini berlokasi di Kabupaten Bogor memiliki tingkat kerentanan bencana yang sangat tinggi, memiliki riwayat bencana longsor yang tinggi, dan Desa Bojongkoneng merupakan sebuah desa yang di dalamnya terdapat berbagai individu yang membentuk suatu masyarakat tradisional.
Gambar 2. Penampakan Alam Desa Bojongkoneng. Sumber: dokumentasi pribadi.
2.3. Teknik Pengumpulan Data Dalam melakukan penelitian ini, peneliti membagi data yang didapat ke dalam dua bagian yaitu data primer dan data sekunder. Data primer didasarkan pada pernyataan informan hasil dari wawancara mendalam, dan hasil observasi. Sedangkan data sekunder diambil melalui mekanisme arsip ataupun studi dokumen yang menunjang topik penelitian.
2.4. Teknik Pemilihan Informan Penelitian kualitatif ini berusaha mengetahui dan memahami peran kearifan lokal masyarakat Bojongkoneng dalam mitigasi bencana. Oleh karena itu, tidak semua warga Desa Bojongkoneng dapat menjadi informan dalam penelitian ini. Penelitian ini pun menggunakan jenis penelitian deskriptif, jadi untuk menentukan informan pada penelitian ini tidak dapat menggunakan teknik pengambilan sampel dalam populasi seperti pada penelitian kuantitatif. Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi tetapi menggunakan istilah situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen yaitu tempat, pelaku, dan aktivitas. Pada situasi sosial atau objek penelitian ini, peneliti dapat mengamati secara mendalam aktivitas orang-orang yang ada pada tempat tertentu. Adapun kriteri pemilihan informan sebagai berikut: a. Stakeholders yang terkait dengan mitigasi bencana longsor dan kearifan lokal Desa Bojongkoneng. • Kriteria informan yang pertama adalah stakeholders lokal Desa Bojongkoneng. Hal ini disebabkan posisi dan peran stakeholders lokal sangat penting dalam praktek langsung mitigasi bencana longsor dan pengetahuannya terkait dengan kearifan lokal setempat. • Kriteria informan yang kedua adalah stakeholders eksternal Desa Bojongkoneng. Hal ini disebabkan posisi dan perannya dalam mengatur kebijakan terkait mitigasi bencana longsor di Desa Bojongkoneng. b. Masyarakat yang tinggal di daerah rawan longsor di Desa Bojongkoneng. • Kriteria informan yang ketiga adalah masyarakat yang telah tinggal di daerah rawan longsor di Desa Bojongkoneng kurang lebih selama dua puluh tahun agar peneliti bisa mendapatkan informasi terkait praktik kearifan lokal yang masih dilestarikan dan kejadian bencana di Desa Bojongkoneng secara historis. • Kriteria informan yang keempat adalah
Peran Kearifan Lokal ... (Randy Raharja, Faisal Grahadi Wibowo, Riski Vitria Ningsih dan Sari Viciawati Machdum)
113
masyarakat yang telah tinggal di daerah rawan longsor di Desa Bojongkoneng selama empat puluh tahun hingga lebih agar peneliti bisa mendapatkan informasi terkait praktik kearifan lokal dalam mitigasi bencana serta kejadian bencana di Desa Bojongkoneng secara historis.
Tabel 1. Jumlah Informan Berdasarkan Kriteria Informan. Informan
Stakeholder
Masyarakat yang tinggal di wilayah rawan longsor
Jumlah Informan diperoleh
Stakeholder Lokal
6
Stakeholder Eksternal
2
Menetap > 20 tahun
4
Menetap > 40 tahun
4
Skema pemilihan informan dibuat berdasarkan pada nonprobability sampling, artinya tidak semua informan memiliki kesempatan yang sama untuk dikaji sebagai subjek penelitian. Pemilihan informan ini didasarkan pada kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing individu yang berkaitan dengan topik penelitian ini (Neuman, 2007). Seperti yang dituliskan di atas, informan dalam penelitian dipilih dan terpilih berdasarkan kriteria yang telah dirumuskan. Oleh karena itu, teknik pemilihan informan yang sesuai dengan skema adalah purposive sampling. Teknik purposive merupakan teknik pemilihan informan yang memungkinkan peneliti untuk memilih informan sesuai dengan tujuan penelitian yang sudah ditetapkan. 2.5. Teknis Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat induktif. Terdapat beberapa poin dalam melakukan analisis data yaitu (Miles dan Huberman, 1992): a. Reduksi data Reduksi data digunakan untuk mengurangi data lapangan yang terlalu banyak dengan cara pengecilan jumlah 114
data yang akan digunakan sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam hal ini peneliti melakukan kodifikasi pernyataan informan berdasarkan pertanyaan yang diajukan. b. Organisasi data Setelah data direduksi kemudian data data tersebut dikelompokkan ke dalam klasifikasi yang dimunculkan sehingga lebih mudah untuk dibaca. c. Interpretasi data Setelah data dikelompokkan, hal yang selanjutnya dilakukan adalah pencarian dan identifikasi hubungan, persamaan, maupun pola-pola tertentu dalam penelitian. Dengan mengacu pada teori, data-data tersebut akan diinterpretasi dan selanjutnya dilakukan pembandingan antara temuan lapangan dengan konsep teori yang dijadikan acuan. 2.6. Teknik untuk Meningkatkan Kualitas Penelitian Untuk meningkatkan kualitas penelitian ini dapat digunakan dengan beberapa cara. Menurut Guba dalam Krefting (1990) terdapat empat aspek yang dapat meningkatkan kualitas penelitian yaitu: a. Credibility Penelitian ini melakukan triangulasi pada sumber data dalam metode penggalian datanya. Peneliti melakukan pembandingan antara satu pernyataan informan dengan informan lainnya (Member checking). Peneliti juga menggunakan catatan lapangan sebagai cara untuk merefleksikan data yang didapat (Field note). b. Transferability Penelitian ini melakukan penjabaran data yang didapat dengan mendeskripsikannya secara lengkap mengenai konteks penelitian (Dense description). Hal tersebut dilakukan agar dapat dilihat sejauh mana temuan penelitian mampu digeneralisasikan ke dalam konteks penelitian lainnya.
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 111-119
c. Dependability Penelitian ini melakukan pengecekan kembali hasil temuan di lapangan dengan mendiskusikannya kepada tim peneliti agar didapat pemahaman yang lebih mendalam (Peer examination). d. Confirmability Penelitian ini melakukan pengecekan ‘ terkait konfirmasi data dalam prosesnya. Hal tersebut dilakukan untuk mencari tahu apakah data dapat dikonfirmasikan (Confirmability audit). Selain itu juga dilakukan triangulasi dengan membandingkan berbagai data yang didapat di lapangan dari sumber atau informan yang berbeda-beda. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Peran Kearifan Lokal dalam Mitigasi Bencana Longsor a. Dimensi pengetahuan lokal Masyarakat Bojongkoneng memiliki pengetahuan bahwa adanya sebuah pamali mengenai perusakan lingkungan di mana ketika ada masyarakat yang menebang dan merusak pohon di hutan dan menambang batu, maka mereka akan diganggu oleh jurigan. Selain itu masyarakat Bojongkoneng mengetahui adanya cerita rakyat mengenai prediksi perubahan alam di masa yang akan datang. Para tetua Desa Bojongkoneng mengatakan bahwa pada suatu saat akan ada dua gunung yang menyatu, lalu di tengah-tengah gunung tersebut akan terbentuk sungai. Ketika sungai terbentuk, hal ini menunjukkan bahwa daerah tempat masyarakat tersebut tinggal tanahnya sarat sekali dengan air sehingga menyebabkan daerah tersebut sangat rawan terjadi longsor. Prediksi ini digunakan oleh tetua Bojongkoneng untuk mengatur perilaku masyarakat sehingga masyarakat akan lebih waspada dan lebih menjaga lingkungannya.
Masyarakat Bojongkoneng juga mengetahui bahwa penggunaan rumah panggung lebih aman dibandingkan penggunaan rumah beton. Rumah panggung yang terbuat dari kayu mampu meminimalisasikan dampak kerusakan bencana longsor. Selain itu, masyarakat Bojongkoneng mengetahui bahwa daerahnya sangat sekali rawan longsor ketika musim hujan dan kegiatan menambang batu juga akan memperbesar risiko terjadi bencana longsor di Desa Bojongkoneng. Pengetahuan lokal masyarakat Bojongkoneng ini menjadi dasar dalam melakukan tindakan mitigisi bencana oleh masyarakat Bojongkoneng. b. Dimensi nilai lokal Masyarakat Bojongkoneng memiliki nilai nilai yang telah ada di dalam kehidupan masyarakat di sana, termasuk nilai-nilai yang berkaitan dengan mitigasi bencana longsor. Terdapat 2 nilai, yaitu adanya pamali mengenai perusakan lingkungan dan adanya cerita rakyat mengenai prediksi kejadian bencana longsor di masa yang akan datang Nilai-nilai lokal ini berperan untuk mengatur perilaku masyarakat Bojongkoneng dalam menjaga dan melestarikan lingkungannya sehingga dampak bencana longsor mampu dikurangi. c. Dimensi keterampilan lokal Masyarakat Bojongkoneng memiliki keterampilan membuat penahan longsoran tanah dengan menggunakan bambu. Bambu dipotong dengan ukuran 1 hingga 1,5 m lalu ditancapkan ke dalam tanah yang mengalami pergeseran tanah. Hal ini bertujuan untuk menahan pergerakan tanah sehingga dampak bencana longsor mampu dikurangi. Selain itu masyarakat Bojongkoneng juga mampu membuat rumah panggung mereka sendiri. Pondasi rumah panggung masyarakat Bojongkoneng terbuat dari batu yang dibentuk menyerupai balok dengan panjang 60 70 cm lalu ditancapkan ke dalam tanah
Peran Kearifan Lokal ... (Randy Raharja, Faisal Grahadi Wibowo, Riski Vitria Ningsih dan Sari Viciawati Machdum)
115
sedalam 5-10 cm dan penopang rumah panggung yang terbuat dari kayu diletakkan begitu saja di atas pondasi batu tersebut sehingga ketika terjadi pergeseran tanah, pondasi batu yang miring akibat dampak dari pergeseran tanah tersebut dapat dengan mudah dibetulkan kembali posisinya menjadi tegak seperti semula sehingga kerusakan yang diakibatkan oleh pergeseran tanah dapat diminimalisasikan. d. Dimensi sumber daya lokal Desa Bojongkoneng memiliki sumber daya alam yang melimpah berupa bambu yang mudah sekali ditemui di sana. Bambu tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat Bojongkoneng untuk membuat penahan longsoran tradisional yang terbuat dari bambu. Selain itu juga terdapat 2 gunung batu, yaitu Gunung Batu Kidul dan Gunung Parahu yang dipercayai oleh masyarakat sebagai paku bumi penyangga tanah di Desa Bojongkoneng dan juga dijadikan sebagai bahan baku untuk membuat pondasi rumah panggung.
e. Dimensi mekanisme pengambilan keputusan lokal Pemerintah desa telah memberikan anjuran untuk menghentikan penambangan batu di Desa Bojongkoneng untuk mengurangi risiko terjadinya bencana longsor. Selain itu, adanya himbauan dari ketua RT dan RW kepada masyarakat untuk selalu berwaspada ketika hujan terjadi di malam hari karena di saat itulah paling rawan terjadi bencana longsor. Dengan adanya himbauan ini diharapkan masyarakat mampu melakukan deteksi dini kejadian bencana longsor. f. Dimensi solidaritas kelompok lokal Masyarakat Bojongkoneng masih memiliki semangat gotong royong yang masih kuat dalam hal pembuatan fasilitas umum seperti jalan, tanggul penahan longsor, dan rumah panggung. Selain itu juga adanya sistem ronda malam yang melibatkan partisipasi dari warga untuk berjaga di malam hari ketika terjadi hujan sehingga masyarakat mampu melakukan deteksi dini terjadinya bencana longsor di wilayah mereka.
Tabel 2. Peran Kearifan Lokal di Desa Bojongkoneng Kabupaten Bogor Dimensi Kearifan Lokal
Klasifikasi
Kearifan Lokal
Pengetahuan lokal
Mitigasi Nonstruktural
a) Adanya pamali yang berkaitan dengan perusakan lingkungan. b) Adanya cerita rakyat mengenai prediksi perubahan alam di masa yang akan datang. c) Masyarakat mengetahui bahwa daerah Bojongkoneng rawan longsor. d) Masyarakat mengetahui bahwa penambangan batu menyebabkan longsor. e) Masyarakat mengetahui bahwa menanam pohon dapat mengurangi dampak longsor. f) Masyarakat mengetahui bahwa menggunakan rumah panggung lebih aman dibandingkan rumah beton. g) Masyarakat mengetahui bahwa ketika musim hujan adalah saat paling rawan terjadi longsor.
Nilai lokal
Mitigasi Nonstruktural
a) Adanya pamali yang berkaitan dengan perusakan lingkungan. b) Adanya cerita rakyat mengenai prediksi perubahan alam di masa yang akan datang.
Keterampilan lokal
Mitigasi Struktural
116
a) Keterampilan membuat penahan longsoran tanah dengan menggunakan bambu. b) Membuat rumah panggung.
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 111-119
a) Bambu sebagai penahan pergeseran tanah. b) Batu gunung sebagai penahan pergeseran tanah.
Sumber daya lokal
Mitigasi Struktural
Mekanisme pengambilan keputusan lokal
Mitigasi Nonstruktural
a) Anjuran Pemerintah desa kepada masyarakat untuk menghentikan tambang batu ilegal. b) Adanya himbauan langsung dari ketua RT untuk waspada ketika hujan di malam hari.
Solidaritas kelompok lokal
Mitigasi Nonstruktural
a) Gotong royong masih kuat. b) Sistem ronda malam hari untuk bersiaga longsor ketika hujan.
Tabel 3. Upaya Masyarakat dalam Melestarikan Kearifan Lokal Dimensi Kearifan Lokal
Upaya Masyarakat dalam melestarikan kearifan lokal
Pengetahuan Lokal
• Masyarakat tetap melakukan penambangan batu di Desa Bojongkoneng untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Padahal, penambangan batu diakui oleh masyarakat sebagai penyebab utama terjadinya bencana longsor di Desa Bojongkoneng. Adanya penambangan batu menyebabkan batu sebagai penyangga tanah di Desa Bojongkoneng dikeruk dan membuat tanah bergeser dan terjadilah bencana longsor. • Masyarakat sudah tidak lagi menggunakan rumah panggung padahal menurut mereka rumah panggung terbukti lebih aman dibandingkan dengan rumah beton untuk mengurangi dampak bencana longsor. Hal ini disebabkan karena adanya anggapan di masyarakat Bojongkoneng bahwa penggunaan rumah panggung dikaitkan dengan status sosial-ekonomi bagi masyarakat sangat miskin. Bahkan rumah panggung telah dianggap tidak layak untuk ditinggali dan lebih layak dijadikan sebagai kandang kambing. Akibatnya, banyak rumah masyarakat yang terbuat dari beton mengalami retak-retak dan pada kondisi yang paling parah dapat ambruk karena terjadinya pergeseran tanah sebagai dampak dari bencana longsor. Hal ini tidak akan terjadi jika masyarakat menggunakan rumah panggung yang mana dampak dari pergeseran tanahnya hanya mengakibatkan pondasi/bagian bawah rumah miring dan dapat diperbaiki, tidak sampai menyebabkan rumah ambruk sehingga dampak bencana longsor lebih kecil. • Masyarakat melakukan penebangan pohon untuk membuka lahan garapan. Adapun pohon yang ditanami oleh masyarakat umumnya merupakan pohon yang dapat dimanfaatkan buahnya seperti durian, rambutan, jeruk, jambu sehingga masyarakat mau merawat pohon yang telah ditanamnya dalam waktu yang lebih lama selama pohon tersebut dapat berbuah.
Nilai Lokal
• Pamali mengenai larangan menambang batu dan menebang pohon telah ditinggalkan. Alasannya adalah karena himpitan ekonomi, masyarakat terpaksa menambang gunung batu untuk dijual batunya ke pengepul/tengkulak dan didistribusikan ke perusahaan kontraktor perumahan mewah yang terdapat di sekitar Desa Bojongkoneng. Masyarakat mengaku bahwa tidak ada lagi pekerjaan yang dapat dilakukan selain menambang batu sehingga mau tidak mau masyarakat merusak alam untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Sedangkan penebangan pohon dilakukan untuk membuka lahan garapan yang terdiri atas tanaman umbi-umbian seperti singkong. • Cerita rakyat mengenai prediksi perubahan alam di masa yang akan datang tidak dilestarikan lagi oleh masyarakat. Perubahan alam yang terjadi yang terkait dengan perusakan lingkungan sudah tidak dihiraukan oleh masyarakat karena adanya tuntutan ekonomi untuk mengeksploitasi alam berupa gunung batu yang dikeruk untuk dijual dan penebangan pohon untuk pembukaan lahan garapan.
Keterampilan Lokal
• Masyarakat masih memanfaatkan keterampilannya dalam membuat penahan longsoran tanah secara tradisional dengan menggunakan bambu yang dipotong dan ditancapkan di tanah untuk menahan pergeseran tanah. • Keterampilan masyarakat dalam membuat rumah panggung sudah jarang ditemui karena sebagian besar masyarakat lebih memilih menggunakan rumah beton.
Peran Kearifan Lokal ... (Randy Raharja, Faisal Grahadi Wibowo, Riski Vitria Ningsih dan Sari Viciawati Machdum)
117
Sumber Daya Lokal
• Masyarakat masih memanfaatkan bambu sebagai penahan longsoran tanah. Pemanfaatan bambu sebagai penahan longsoran tanah menjadi cara yang cepat dan murah bagi masyarakat Bojongkoneng dalam mengurangi dampak bencana longsor.
Mekanisme pengambilan keputusan lokal
• Himbauan Pemerintah Desa Bojongkoneng kepada masyarakat untuk menghentikan aktivitas penambangan batu tidak dihiraukan oleh masyarakat. Masyarakat mengatakan bahwa penambangan batu dilakukan karena tidak ada lagi pekerjaan yang dapat mereka lakukan dan pemerintah desa pun tidak sanggup untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi para penambang batu jika penambangan batu di Desa Bojongkoneng dihentikan. • Himbauan dari ketua RT untuk selalu waspada ketika terjadi hujan di malam hari masih dijalankan oleh masyarakat.
Solidaritas Kelompok Lokal
• Sistem gotong royong masyarakat masih dilaksanakan dalam hal pembangunan fasilitas umum seperti jalan dan perbaikan rumah yang terkena dampak bencana khususnya bencana longsor. • Sistem ronda malam untuk berjaga ketika musim hujan masih dijalankan oleh masyarakat untuk berjaga-jaga dan memastikan kondisi di Desa Bojongkoneng tetap aman dan terkendali, terlebih untuk memantau pergerakan tanah agar dapat mengurangi dampak dari bencana longsor.
3.2. Upaya Masyarakat dalam Melestarikan dan Menjaga Kearifan Lokal Upaya masyarakat dalam melestarikan kearifan lokal setempat mulai luntur, teridentifikasi dari terkikisnya kearifan lokal setempat akibat masuknya pembangunan yang mengubah interaksi sistem sosial budaya masyarakat dengan lingkungannya. Masyarakat mayoritas tidak lagi menggunakan rumah panggung karena pilihan penggunaan rumah panggung dan rumah beton pada umumnya dikaitkan dengan status sosial. Kondisi masyarakat Desa Bojongkoneng saat ini adalah sebagian besar merupakan pendatang. Pengetahuan dan nilai yang ada dan tertanam sebelumnya mulai berbaur dengan masyarakat pendatang. Arus kedatangan masyarakat pendatang ini disebabkan oleh perekonomian di sekitar Desa Bojongkoneng yang semakin membaik dan kebutuhan masyarakat yang meningkat. Selain itu, di Desa Bojongkoneng terdapat wilayah pariwisata yang bersumber dari sumber daya lokal, yaitu adanya air terjun atau curug yang menjadi daya tarik masyarakat. 4.
KESIMPULAN DAN SARAN
Masyarakat di Desa Bojongkoneng memiliki beberapa kearifan lokal dalam mitigasi bencana longsor diantaranya 118
penggunaan rumah panggung, adanya pamali (sesuatu yang tidak boleh dikerjakan) mengenai perusakan lingkungan, dan prediksi masyarakat mengenai kejadian bencana longsor melalui cerita turun temurun. Upaya masyarakat dalam melestarikan kearifan lokal setempat mulai luntur yang teridentifikasi dari terkikisnya kearifan lokal setempat akibat masuknya pembangunan yang mengubah interaksi sistem sosial budaya masyarakat dengan lingkungannya. Dengan adanya pengikisan kearifan lokal yang telah tertanam pada masyarakat asli Desa Bojongkoneng akibat dari adanya pembangunan yang mengakibatkan meningkatnya bencana longsor, maka dalam penelitian ini menyarankan perlu adanya upaya peningkatan peran kearifan lokal yang ada pada masyarakat dengan melakukan pendekatan masyarakat untuk mengurangi pandangan dalam status sosial masyarakat dengan menggunakan rumah panggung dan identifikasi peringatan wilayah bencana dari kearifan lokal yang ada di masyarakat. Pada kasus yang terjadi di Desa Bojongkoneng, masuknya pembangunan di Desa Bojongkoneng telah mengubah interaksi sistem sosial budaya masyarakat dengan lingkungannya, menyebabkan terkikisnya kearifan lokal. Dampak dari terkikisnya kearifan lokal yang berperan sebagai upaya mitigasi bencana tersebut adalah semakin
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 111-119
tingginya kerentanan bencana longsor di Desa Bojongkoneng. Untuk itu, penelitian ini menyarankan pentingnya penguatan peran kearifan lokal masyarakat Desa Bojongkoneng sebagai upaya mitigasi bencana longsor. Jika penguatan peran kearifan lokal dalam mitigasi bencana longsor dilakukan, maka akan dapat mengurangi dampak terjadinya bencana longsor di Desa Bojongkoneng. Selain itu jika penguatan peran kearifan lokal dilakukan maka akan terbentuk pola interaksi manusia dengan lingkungannya yang berjalan serasi, selaras, dan seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan. Hal tersebut merupakan upaya untuk mencegah serta menanggulangi dampak negatif pembangunan terhadap lingkungan yang berujung pada pengurangan risiko bencana longsor yang terjadi sebagai bentuk peran kearifan lokal dalam mitigasi bencana longsor masyarakat Desa Bojongkoneng UCAPAN TERIMA KASIH Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, yang telah menyelenggarakan dan mendanai Program Kreativitas Mahasiswa pada bidang Penelitian Sosial dan Humaniora. DAFTAR PUSTAKA Fathiyah, K. N. and Hiryanto. (2013). ‘Local Wisdom Identification on Understanding Natural Disaster Sign by Elders in Daerah Istimewa Yogyakarta’, Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial. Vol.37, No.1, Maret 2013, hal. 453-462. Ife, J. (2002). Community Development, Community Based Alternatives in an Age of Globalization, 2nd ed. Australia: Pearson Education Australia Pty Limited
Keraf, A. S. (2010). Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Kongprasertamorn, K. (2007). ‘Local wisdom, environmental protection and community development: the clam farmers in Tabon Bangkhusai, Phetchaburi Province, Thailand’, Manusya: Journal of Humanities, 10,1-10. Marfai, M. A. (2012). Pengantar Etika Lingkungan dan Kearifan Lokal. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mercer, J. and Kelman, I. (2007). ‘Combining Indigenous and Scientific Knowledge for PNG Disaster Risk Reduction’. ISISA Newsletter. Vol. 7, No. 2, p. 6 Miles, M. B. and Huberman A. M. (1992). Qualitative Data Analysis: A Source Book of New Methods. Beverly Hills: Sage Publications. Neumann, L. W. (2007). Basic of Social Science Research, Qualitative and Quantitative Approaches, second Edition. Boston: Pearson Education, Inc. Permana, R. C. E., Nasution, I. P. and Gunawijaya, J. (2011). ‘Kearifan lokal tentang mitigasi bencana pada masyarakat Baduy’, Makara Sosial Humaniora, 15 (1), 67-76. Sartini. (2004). ‘Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafat’, Jurnal Filsafat, 37, 111-120. Suparmini, S, Setyawati, S, and Sumunar, D. R. S. (2015). ‘Mitigasi Bencana Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Baduy’. Humaniora, 19(1). UU Nomor 32 Pasal 1 (30) Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Zulkarnain, A. and Febriamansyah, R. (2008), ‘Kearifan Lokal dan Pemanfaatan dan Pelestarian Sumberdaya Pesisir’, Jurnal Agribisnis Kerakyatan, 1,69-85.
Peran Kearifan Lokal ... (Randy Raharja, Faisal Grahadi Wibowo, Riski Vitria Ningsih dan Sari Viciawati Machdum)
119
EFEKTIVITAS PELATIHAN BERSYUKUR UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PADA PENYINTAS ERUPSI GUNUNG SINABUNG Achmad Irvan Dwi Putra1, Rodhiatul Hasanah Siregar2, Rahma Fauziah3 Alumnus Magister Profesi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara1, Dosen Universitas Sumatera Utara, Medan2, Dosen Universitas Sumatera Utara, Medan3
[email protected] Abstract Sinabung eruption impact the survivors lived in shelters more than 6 months. Loss of farm, privacy, limited facilities and infrastructure is a stressor that makes the survivors feel bored lived in shelter. The uncertainty of how long to stay in evacuation add to the burden that makes the survivors feel worried, despair, defenceless and less optimistic. When helplessness, people had the opportunity to see life more positively. This can be done by given gratitude training as a part of the positive psychology approach to survivors of the eruption of Mount Sinabung. The method used is pretest-posttest control group design. Participants in this study were 12 survivors of the eruption Sinabung, 30-50 years old and still living in evacuation shelters. Participants were divided into a control and the experimental group. From the data analysis using the Mann Whitney test significance value 0.010 <0.05. This mean gratitude training effectively increases the resilience of survivors eruption Sinabung. Keywords : Disaster, Resilience, Gratitude training. 1.
PENDAHULUAN
Menurut Asian Disaster Risk Reduction bencana adalah gangguan serius dari keberfungsian masyarakat yang menyebabkan kerugian manusia, materi atau kerugian lingkungan yang melampaui kemampuan masyarakat yang terkena dampak untuk mengatasinya dengan kemampuan yang dimiliki (Shaluf, 2007). Data dari situs BNPB selama 10 tahun terakhir tercatat jumlah bencana yang terjadi di Indonesia lebih dari 1000 kali dan juga lebih dari 5000 korban yang terkena dampak bencana. Salah satu bencana yang masih sering terjadi adalah erupsi gunungapi. Sebelumnya pemerintah menetapkan Gunung Sinabung merupakan gunung tipe B yang sejarah letusannya tidak lagi tercatat sejak tahun 1800, namun sejak 120
terjadi erupsi bulan Agustus tahun 2010 pemerintah menetapkan Gunung Sinabung termasuk dalam gunung tipe A (Islahudin, 2013). Sejak pertengahan November 2013 BNPB menetapkan status Gunung Sinabung dari level siaga menjadi level awas dan penduduk yang tinggal di sekitar kawasan Gunung Sinabung diharuskan untuk melakukan evakuasi demi meminimalisir korban jiwa jika terjadi erupsi. Masyarakat yang menjadi penyintas merasa terkejut dan takut saat erupsi terjadi serta mereka mengakui tidak memiliki persiapan saat keadaan darurat. Pasca erupsi Gunung Sinabung, para penduduk harus tinggal di posko pengungsian dalam jangka waktu yang tidak pasti. Ketika berada di posko pengungsian, penyintas merasa sedih, khawatir, gelisah, pesimis, putus asa, mudah marah, berdiam
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 120-127
diri karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa masyarakat yang menjadi penyintas erupsi Sinabung yang tinggal di posko pengungsian, kondisi saat ini lebih parah dibandingkan dengan erupsi yang terjadi pada tahun 2010. Ketika erupsi tahun 2010 mereka hanya mengungsi selama 2 minggu, namun saat ini mereka telah lebih dari 6 bulan tinggal di posko pengungsian dan tidak tahu harus berapa lama mereka harus mengungsi. Tinggal di posko pengungsian akan menimbulkan masalah bagi para penyintas, baik masalah fisik maupun masalah psikologis. Beberapa masalah dapat disebabkan karena berbagai keterbatasan yang ada ketika hidup dalam posko pengungsian. Bencana berdampak pada hilangnya harga diri dan rasa percaya diri, sehingga penyintas terkesan pasrah, putus asa, tidak berdaya dalam menghadapi masa depan, cenderung menyalahkan orang / pihak lain yang dianggap menambah beban hidup mereka (Hikmawati & Rusmiyati, 2012). Selain itu gangguan psikologis pasca bencana seperti kecemasan, depresi, post traumatic stress disorder (PTSD), bahkan bunuh diri dapat muncul pada para penyintas (Pietrzak, Tracy, Galea, Kilpatrick, Ruggiero, Hamblen, Southwick, & Norris, 2012; Kyotuku, Umeyama, Harada, Kikuchi, Watanabe, Dougall, & Dan, 2012; Caldera, Palma, Penayo, & Kullgren, 2001). Masalah ekonomi sangat terasa setelah terjadi bencana. Kehilangan pendapatan menjadi dampak yang utama (Ursano, Fullerton dan Terhakopian, 2008). Para penyintas mengungkapkan mereka juga harus tetap mengeluarkan biaya untuk anak-anak mereka. Hal ini tentunya menjadi salah satu stressor ketika berada di posko pengungsian. Berdasarkan wawancara dengan para penyintas diperoleh informasi bahwa penyintas merasa tidak nyaman dengan kondisi posko meskipun untuk kebutuhan
fisik seperti makan dan minum telah terpenuhi, namun mereka merasa kurang mendapat pemenuhan psikologis yang dapat membantu mereka untuk bisa adaptif selama berada dalam posko pengungsian. Penyintas mengaku telah merasa jenuh dan bosan dengan keadaannya sekarang. Salah satu cara yang dilakukan penanggung jawab posko untuk memberikan aktivitas kepada para penyintas lakilaki dewasa adalah dengan melibatkan mereka secara bergantian untuk kegiatan di dapur umum seperti memasak nasi atau mempersiapkan logistik. Hal ini dilakukan agar para penyintas tidak merasa bosan dengan kondisi yang terjadi saat menjalani kehidupan di posko pengungsian. Pemerintah juga berupaya memberikan hiburan kepada para penyintas agar tidak merasa jenuh saat berada di posko dengan mengadakan berbagai kegiatan yang positif seperti menonton bersama, kegiatan adat Karo dengan menyanyi dan menari bersama diiringi dengan organ tunggal (Didiet, 2014). Namun hal ini menurut penyintas kurang efektif karena mereka tidak memiliki aktivitas lain ketika acara tersebut telah selesai. Selain itu penyintas juga tidak memiliki inisiatif untuk melakukan kegiatan yang dapat dilakukan secara bersama seperti membersihkan posko pengungsian. Erupsi Gunung Sinabung juga membuat para penyintas kurang optimis menghadapi masa depan. Kehilangan sumber ekonomi, rusaknya harta benda dan ketidakpastian waktu mengungsi berapa lama, membuat penyintas tidak mengetahui apa yang dapat mereka lakukan. Saat ini penyintas juga tidak memiliki tujuan dalam menjalani kegiatan sehari-hari di posko pengungsian. Bencana erupsi Sinabung membuat para penyintas merasa putus asa akan kehidupannya. Perasaan putus asa terjadi ketika individu menggambarkan bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dan mengubah situasi yang ada (Seligman, 1990; Schultz and Schultz, 1993).
Efektifitas Pelatihan ... (Achmad Irvan Dwi Putra, Rodhiatul Hasanah Siregar, Rahma Fauziah)
121
Penyintas membutuhkan kemampuan untuk dapat bertahan dan beradaptasi ketika keadaan menjadi tidak pasti yang disebut dengan resiliensi. Resiliensi merupakan suatu proses yang adaptif dan memberikan hasil yang positif dalam menghadapi keadaan yang tidak menyenangkan. Resiliensi dapat terjadi pada setiap fase kehidupan. Individu yang resilien memiliki karakteristik seperti memiliki emosi yang positif, memiliki kontrol atas dirinya, fleksibilitas dalam berfikir, altruisme, aktif dalam penyelesaian masalah, berani dan memiliki spiritual. Selain itu orang yang resilien dapat mengatasi tekanan dengan baik, ramah, menunjukkan minat yang lebih tinggi untuk berafiliasi pada orang lain, memiliki sikap optimis. Mereka menyelesaikan krisis secara cepat dengan komitmen dan self-efficacy yang tinggi dan memiliki pemahaman bahwa segala kesulitan dapat dipahami, dikelola, dan memiliki makna bagi kehidupan (Astuti 2005). Dengan demikian kemampuan untuk menjadi individu yang resilien dapat membantu dan memudahkan para penyintas agar dapat bertahan dan menyesuaikan diri secara positif selama berada dalam situasi yang tidak menyenangkan. Menurut Grotberg (1999) resiliensi bukan merupakan suatu keajaiban, tidak hanya ditemukan pada sebagian manusia dan bukan merupakan sesuatu yang berasal dari sumber yang tidak jelas. Resiliensi bersifat universal namun setiap manusia memiliki kapasitas resiliensi yang berbeda-beda. Situasi lingkungan juga mempengaruhi untuk meningkatkan atau justru memperlemah resiliensi untuk menghadapi tekanan (Gallo, Bogart, Vranceanu & Matthews, 2005 ; Reich dkk 2010). Menurut Reivich & Shatte (2002) resiliensi merupakan kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi ketika keadaan menjadi tidak pasti. Resiliensi merupakan hal yang penting saat harus mengambil keputusan yang cepat meskipun berada dalam keadaan yang kacau. Dengan 122
resiliensi akan memberikan perubahan dalam kehidupan, kesulitan akan menjadi tantangan, kegagalan menjadi keberhasilan, keputusasaan menjadi kekuatan. Resiliensi dapat mengubah korban menjadi survivor dan membuatnya menjadi lebih baik. Menurut Reivich & Shatte (2002) ada 7 kemampuan yang membangun resiliensi dan tidak ada orang yang bisa menguasai semua kemampuan tersebut dengan baik. Adapun 7 kemampuan tersebut yaitu : a) Regulasi emosi, b) Impuls control, c) Empathy, d) Optimisme, e) Causal analysis, f) Self efikasi, dan g) Reaching out. Resiliensi bukan sifat bawaan atau faktor genetis sehingga dapat ditingkatkan melalui pelatihan (Reivich & Shatte, 2002). Kunci resiliensi adalah kemampuan mengenali pikiran sendiri dan struktur keyakinan, memanfaatkan kekuatan untuk meningkatkan keakuratan dan fleksibilitas berpikir sehingga mampu mengatur konsekuensi emosional dan behavioral secara lebih baik. Kemampuan ini dapat diukur, diajarkan, dan ditingkatkan (Jackson & Watkin dalam Mulyani 2011). Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan resiliensi adalah dengan memberikan latihan bersyukur (gratitude interventions) terhadap kehidupan (Emmon, 2013). Bersyukur merupakan kunci utama pada resiliensi saat terjadi kemalangan (Fredrickson, Tugade, Waugh, & Larkin, 2003; Ruini & Vescovelli, 2012). Sebagai masyarakat yang beragama, masyarakat Karo memiliki nilai bersyukur terhadap apa yang telah diperoleh dalam kehidupan dan nilai bersyukur merupakan bagian dalam kehidupan masyarakat Karo. Pada masyarakat tradisional suku Karo ada suatu kepercayaan untuk melakukan upacara tertentu sebagai bentuk syukur kepada debata atau Tuhan yang disebut dengan erpanger (Prinst, 2004). Bentuk dari bersyukur dapat dilihat dari berbagai tradisi agama yang ada di dunia. Adanya rasa bersyukur dinyatakan dengan cara yang berbeda oleh hampir semua budaya dan masyarakat (Emmon
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 120-127
& Mc. Cullough, 2004). Bersyukur dapat dianggap sebagai perasaan menyenangkan yang dapat terjadi ketika individu menerima kebaikan atau manfaat dari orang lain. Bersyukur terhadap kehidupan dapat menciptakan kedamaian pikiran, kebahagiaan, kesehatan fisik, dan kepuasan dalam hubungan personal (Emmon & Shelton dalam Emmon & Mc. Doughlas, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Fredrickson dkk (2003) menyimpulkan bahwa dengan emosi positif seperti bersyukur, cinta dan simpati membantu individu menjadi resilient dan mengurangi depresi, menjadi lebih tenang, merasa optimis, dan memiliki kepuasan dalam hidup. Selain itu bersyukur dapat membantu individu untuk mengatasi stres dan trauma dengan menginterpretasi ulang secara positif pengalaman yang negatif (Kobau, Seligman, Peterson, Diener, Zack, Chapman, & Thompson, 2011). Bersyukur terbagi menjadi dua jenis, yaitu personal dan transpersonal (Peterson dan Seligman, 2004). Bersyukur personal adalah rasa berterimakasih yang ditujukan kepada orang lain yang khusus telah memberikan kebaikan atau sebagai adanya diri mereka. Sementara bersyukur transpersonal adalah ungkapan terima kasih terhadap Tuhan, kepada kekuatan yang lebih tinggi, atau kepada alam semesta. Menurut Mc. Collough dkk ( dalam Linley & Joseph, 2004; Peterson dan Seligman, 2004) ada 4 aspek dalam bersyukur yaitu : a) Gratitude Intensity, b) Gratitude Frequency, c) Gratitude Span, dan d) Gratitude Density. Dalam penelitian ini pelatihan bersyukur merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan aspek bersyukur tersebut. Menurut Miler ( dalam Emmons dan Mc. Collough, 2004) ada empat langkah sederhana yang dapat dilakukan untuk melatih rasa bersyukur, yaitu : a)
Mengidentifikasi pemikiran akan hal-hal yang tidak disyukuri, b) Memformulasikan pemikiran akan hal-hal yang mendukung untuk disyukuri, c) Mengganti pemikiran akan hal-hal yang tidak disyukuri dengan hal-hal yang disyukuri, d) Segera mengerahkan apa yang sedang dirasakan dalam diri menjadi sebuah tindakan. 2. METODE 2.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan rancangan pretestpostest control group design. 2.2. Partisipan Partisipan dalam penelitian ini adalah 12 orang penyintas erupsi Gunung Sinabung yang dipilih dengan teknik purposive sampling. Seluruh partisipan yang berpartisipasi dalam penelitian masih tinggal di posko pengungsian serta berusia antara 30 sampai 50 tahun. Partisipan dibagi menjadi 6 orang kelompok kontrol dan 6 orang kelompok eksperimen. 2.3. Alat Ukur Instrumen dalam penelitian ini berupa skala resiliensi model Likert dengan alternatif 5 pilihan jawaban. Pemberian skor bergerak dari 1(STS) sampai 5 (SS) untuk sistem yang favorabel dan 5 (STS) sampai 1 (SS) untuk sistem unfavorabel. Skala ini disusun berdasarkan teori Reivich & Shatte (2002), mencakup 7 kemampuan yang dapat membangun resiliensi. Skala ini memiliki nilai reliabilitas α = .95 dan corrected item total correlation = .34 sampai .81. Skala diberikan saat pretes dan post test. Adapun kegiatan pelatihan bersyukur dapat dilihat dalam tabel berikut :
Efektifitas Pelatihan ... (Achmad Irvan Dwi Putra, Rodhiatul Hasanah Siregar, Rahma Fauziah)
123
Tabel 1. Kesimpulan Kegiatan Pelatihan Bersyukur Pertemuan
Kegiatan
Tempat
Penjelasan mengenai pelaksanaan pelatihan
I 20 Juli2014
Melaksanakan pre- test Mereview pertemuan I Memberikan games ayo bangkit
II 21 Juli 2014
Memberikan materi resiliensi dan diskusi Menutup pertemuan II
Ruangan pengungsian Universitas Karo Ruangan posko pengungsian Universitas Karo
Mereview pertemuan II Mengidentifikasi hal-hal yang tidak disyukuri Memberikan materi bersyukur untuk memformulasikan pemikiran akan hal-hal yang tidak disyukuri dengan hal yang disyukuri
III 22 Juli 2014
Mengganti pemikiran akan hal-hal yang tidak disyukuri dengan hal-hal yang masih dapat disyukuri serta melakukan sesuatu hal sebagai bentuk syukur yang dirasakan
Ruangan posko pengungsian Universitas Karo
Menutup pertemuan III Mereview pertemuan III
Ruangan posko pengungsian Universitas Karo
Feed back
IV 24 Juli 2014
Melaksanakan post test Terminasi seluruh rangkaian kegiatan
V 6 Agustus 2014
3.
Follow Up dengan memberikan skala resiliensi
Ruangan posko pengungsian Universitas Karo
Tabel 3. Kategorisasi data resiliensi
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 2. Data Resiliensi Pretest dan Postest
X> 147
Tinggi
93 < X < 147
Sedang
X< 93
Rendah
Kelompok Eksperimen
Kelompok Kontrol
No.
Pre-test
Pos test
Pre test
Postest
1
137
139
136
120
2
140
149
115
116
3
146
149
139
135
4
163
171
139
138
5
130
147
132
120
6
120
132
129
128
Data yang diperoleh dalam penelitian dianalisis dengan menggunakan statistik non parameterik Mann-Whitney. Teknik ini digunakan karena data tidak terdistribusi secara normal. Adapun hasil dari pengolahan data dapat dilihat dari tabel berikut :
Mean
139
147
131
126
Tabel 4. Hasil Analisa Data Mann-Whitney
Berdasarkan data tersebut dapat ditentukan mean hipotetik sebesar 120 dan standar deviasi sebesar 27. Dengan demikian maka dapat ditentukan kategorisasi data resiliensi sebagai berikut :
124
Mann-Whitney U Asymp.Sig. (2-tailed)
Pretest
Post test
11.000
2.000
.261
Exact Sig. [2* (1-tailed Sig.)]
.010 Rendah
.310a
.009a
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 120-127
Berdasarkan tabel Mann-Whitney, saat post-test diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,010, dimana nilai p<0.05. Dengan kata lain ada pengaruh pemberian pelatihan bersyukur terhadap peningkatan resiliensi pada kelompok yang diberikan pelatihan bersyukur dengan kelompok yang tidak diberikan pelatihan. Sehingga dapat disimpulkan pelatihan bersyukur efektif untuk meningkatkan resiliensi pada penyintas erupsi Gunung Sinabung. Berdasarkan hasil analisa data yang dilakukan, diketahui bahwa ada peningkatan resiliensi pada kelompok eksperimen dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa pemberian pelatihan bersyukur efektif untuk meningkatkan resiliensi pada penyintas erupsi Gunung Sinabung. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Fredrickson dkk (dalam Ruini & Vescovelli, 2012) bahwa bersyukur merupakan kunci utama pada resiliensi saat terjadi kemalangan. Selanjutnya dari hasil penelitian juga diperoleh bahwa dengan diberikan pelatihan bersyukur partisipan dalam kelompok eksperimen melihat kondisi yang ada dengan cara yang lebih positif di mana partisipan melihat hal-hal positif yang masih ada dalam diri mereka sehingga halhal yang sebelumnya dipandang negatif menjadi sesuatu yang positif bagi partisipan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Reivich & Shatte (2002) bahwa thinking style akan menentukan resiliensi yang dimiliki oleh individu. Pelatihan bersyukur memberikan dampak yang berbeda-beda terhadap kemampuan yang mempengaruhi resiliensi pada masing-masing partisipan. Menurut Jewel & Siegall (1998) masing-masing individu mempunyai kemampuan yang berbeda sehingga masing-masing individu akan berbeda dalam keterampilan yang diperolehnya dari pelatihan. Berdasarkan 7 kemampuan yang ada dalam resiliensi menurut Reivich & Shatte (2002) tidak ada yang bisa menguasai seluruh kemampuan resiliensi dengan baik.
Perbedaan peningkatan resiliensi berkaitan dengan perbedaan bersyukur yang ada pada diri masing-masing partisipan, baik pada aspek gratitude intesity, gratitude frequency, gratitude span, dan gratitude density. Menurut Mc. Collough dkk (dalam Linley & Joseph, 2004; Peterson dan Seligman, 2004) orang yang memiliki rasa bersyukur yang kuat akan lebih bersyukur jika dibandingkan dengan orang yang memiliki rasa bersyukur yang lemah walaupun sama-sama mengalami kejadian yang positif. Orang yang memiliki rasa bersyukur yang kuat akan lebih sering bersyukur untuk segala hal dalam hidupnya, namun orang yang memiliki rasa syukur yang lemah hanya akan bersyukur pada beberapa aspek kehidupannya. 4. KESIMPULAN 4.1. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan pelatihan bersyukur efektif meningkatkan resiliensi pada penyintas erupsi Gunung Sinabung. Hal ini terlihat dari peningkatan skor resiliensi pada masing-masing partisipan pada saat sebelum dan sesudah diberikan intervensi. Adanya perbedaan tingkat resiliensi pada masing-masing partisipan berkaitan dengan perbedaan aspek bersyukur yang meliputi gratitude intensity, gratitude frequency, gratitude span, dan gratitude density. Selanjutnya pelatihan bersyukur membuat masing-masing partisipan lebih optimis menghadapi masa depan serta membuat partisipan merasa lebih tenang menjalani kehidupan di posko pengungsian. 4.2. Saran 1. Dalam penelitian ini tidak dilakukan pengukuran terhadap rasa bersyukur yang dimiliki masing-masing partisipan sehingga bagi penelitian
Efektifitas Pelatihan ... (Achmad Irvan Dwi Putra, Rodhiatul Hasanah Siregar, Rahma Fauziah)
125
selanjutnya diharapkan untuk mengukur rasa syukur pada yang ada, baik sebelum maupun sesudah diberikan pelatihan. 2. Kegiatan dalam pelatihan ini hanya dilakukan selama 4 hari sehingga hasil yang diperoleh hanya sampai tataran kognitif sehingga disarankan bagi penelitian selanjutnya untuk melakukan kegiatan dengan waktu yang lebih lama agar memperoleh hasil yang lebih baik. 3. Penggunaan alat bantu berupa video dalam pelatihan ini sangat mendukung untuk membantu partisipan dalam memformulasikan dan mengganti pemikiran yang tidak disyukuri menjadi hal yang lebih disyukuri sehingga diharapkan penggunaan alat bantu ini menjadi salah satu pertimbangan bagi penelitian selanjutnya yang ingin melakukan hal yang sama dengan mempertimbangkan kesesuaian dari isi video yang hendak diberikan. 4. Bagi penyintas diharapkan untuk tetap memikirkan kebaikan dan nikmat Tuhan yang masih bisa dirasakan saat ini meskipun penyintas berada di posko pengungsian. Hal tersebut membuat penyintas merasa bersyukur dan penyintas lebih resilien sehingga dapat lebih adaptif meskipun tinggal di posko pengungsian. 5. Untuk profesional lainnya, melihat hasil yang diperoleh dari penelitian bahwa pelatihan bersyukur cukup efektif untuk meningkatkan resiliensi, diharapkan metode ini menjadi salah satu pertimbangan yang dapat digunakan dalam upaya meningkatkan resiliensi khususnya pada penyintas yang terkena dampak bencana alam.
126
DAFTAR PUSTAKA Caldera, T., Palma, L., Penayo, U., & Kullgren, G. (2001). Psychological impact of the hurricane mitch in nicaragua in a one year perspective. Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiol 36: 108-114. Emmons, R. A., & McCullough, M. E. (2004). The Psychology Of Gratitude. New York Oxford University Press. Fredrickson, B. L., Tugade, M. M., Waugh, C. E., & Larkin, G. R. (2003). What good are positive emotions in crises? A prospective study of resilience and emotions following the terrorist attacks on the United States on September 11 th, 2001. Journal of Personality and Social Psychology 84(2): 365-376. Gallo, L. C., Bogart, L. M., Vranceanu, A. M., & Matthews, K. A. (2005). Socioeconomic status, resources, psychological experiences, and emotional responses. A test of the reserve capacity model. Journal of Personality and Social Psychology 88: 386-399. Grotberg, E. H. (1999). Tapping your inner strength. How to find the resilience to deal with anything. Oakland, CA. Newharbinger Publication, Inc. Hikmawaty, E., & Rusmiyati, C. (2012). Penanganan dampak sosial psikologis korban bencana Merapi. Jurnal Informasi 17(2): 97-110 Kobau, R., Seligman, M. E. P., Peterson, C., Diener, E., Zack, M. M., Chapman, D., & Thompson, W. (2011). Mental health promotion in publichealth. Perspectives and strategies from positive psychology. American Journal Of Public Health 101(8):e1-e9
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 120-127
Kyutoku, Y,. Tada, R., Umeyama, T., Harada, K., Kikuchi, S., Watanabe, E., Dougall, A. L., & Dan, I. (2011). Cognitive and psychological reactions of the general population three months after the 2011 tohoku earthquake and tsunami. Plos One 7(2): 1-10. Linley, P. A., & Joseph, S. (2004). Positive Psychology In Practice. New Jersey. John Wiley and Son, Inc. Mulyani, S. (2011). Resiliensi Daya Pegas Menghadapi Trauma Kehidupan. Medan. USU Press. Peterson, C., & Seligman, M, E, P. (2004). Character Strength And Virtues. New York. Oxford University Press. Pietrzak, R. H., Tracy, M., Galea, S., Kilpatrick, D. G., Ruggiero, K. J., Hamblen, J. L., Southwick, S. M., & Norris, F. H. (2012). Resilience in the face of disaster. Prevalence and longitudinal course of mental disorders following hurricane ike. Plos One 7(6): 1-14
Prinst, D. (2004). Adat Karo. Medan. Bina Media Perintis. Reich, J. W., Zautra, A. J., & Hall, J. S. (2010). Handbook of Adult Resilience. New York. The Guilford Press. Reivich, K., & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor 7 Essential Skills For Overcoming Life’s Inevitable Obstacles. New York. Random House, Inc. Ruini, C., & Vascovelli, F. (2012). The role of gratitude in breast cancer. Its relationships with post-traumatic growth, psychological well-being and distress. J Happines Stud 4: 263-274
Efektifitas Pelatihan ... (Achmad Irvan Dwi Putra, Rodhiatul Hasanah Siregar, Rahma Fauziah)
127
MODEL PENGEMBANGAN KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT PERCONTOHAN DAN NON-PERCONTOHAN PROGRAM KESIAPSIAGAAN BENCANA BERBASIS MASYARAKAT (KBBM) DALAM MENGHADAPI ANCAMAN BANJIR Rima Rianti1, Eddy Rahardjo2, Muhammad Zainuddin3 Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen Bencana Sekolah Pascasarjana UNAIR1, Dosen Program Studi Magister Manajemen Bencana Sekolah Pascasarjana UNAIR2,3
[email protected] Abstract Disaster recovery centers, namely East Java Red Cross, Bojonegoro Red Cross, and Bojonogero Regional Disaster Recovery Center in collaboration with Norwegian Red Cross establish Community-based Disaster Preparedness Program of which goal is to improve community preparedness in coping with flood. In general, the purpose of the study is to develop model of community preparedness in coping with flood from Bengawan Solo river, and particularly to find the influence of knowledge, attitude and risk perception towards community preparedness to cope with threat of flood from Bengawan Solo river, Balen, Bojonegoro. The study is an explanatory survey study. The samples of the study are 81 (eighty-one) heads of family from pilot village and 76 (seventy-six) heads of family from non-pilot village. Random cluster sampling is the sampling method used. Questionnaire is used as data collection method. Statistical analysis is carried out using Partial Least Square (PLS) test using Smart PLS 2.0 software. The findings show that knowledge, attitude and risk perception have significant influence towards model and non-model community preparedness in coping with threat of flood from Bengawan Solo. Structural model in non-pilot and pilot villages has good predictive relevance toward preparedness endogen construct. Keywords : Preparedness model, Disaster, Flood, Community. 1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Wilayah Indonesia terletak di garis khatulistiwa sehingga banyak menerima panas matahari dan curah hujan yang tinggi, oleh karena itu Indonesia menjadi rawan terhadap bencana alam hidrometeorologi seperti banjir, kekeringan, gelombang laut besar. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat dari total bencana hidrometerologi yang paling sering terjadi di Indonesia
128
adalah bencana banjir dan tanah longsor (DIBI BNPB, 2012). Khusus untuk Provinsi Jawa Timur, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ristika (2013), menunjukkan bahwa frekuensi tertinggi banjir terjadi pada tahun 2010 dengan jumlah kejadian banjir terbanyak terdapat di Kabupaten Bojonegoro. Kabupaten Bojonegoro merupakan wilayah hilir Bengawan Solo yang berpotensi untuk seringnya terjadi banjir. Kejadian banjir yang sering terjadi di daerah ini telah banyak menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan manusia mulai
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 128-139
dari kehilangan nyawa manusia, kerugian ekonomi, gangguan kesehatan, dan penurunan kualitas lingkungan. Untuk mengurangi dampak tersebut, lembaga-lembaga penanggulangan bencana dalam hal ini adalah Palang Merah Indonesia (PMI) Provinsi Jawa Timur, PMI Kabupaten Bojonegoro, dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bojonegoro bekerjasama dengan Palang Merah Norwegia merintis sebuah program pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat. Program tersebut dinamakan program Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Masyarakat (KBBM). (PMI, 2007). Program KBBM diterapkan di tiga desa rawan banjir Bengawan Solo yaitu Desa Pilanggede, Sarrirejo, dan Mulyorejo. Namun berdasarkan peta bahaya banjir Bengawan Solo Kabupaten Bojonegoro, di Kecamatan Balen masih terdapat 3 (tiga) desa yang termasuk daerah rawan banjir dan yang tidak mendapatkan program KBBM. Desa yang tidak mendapatkan program KBBM adalah Desa Kedungdowo, Desa Prambatan, dan Desa Sekaran. Secara umum, ancaman bencana (hazard) dan kerentanan (Vulnereability) yang dimiliki desa percontohan dan desa non-percontohan adalah sama, yaitu samasama memiliki ancaman bencana yang tinggi terhadap bencana banjir Bengawan Solo. Perbedaan keduanya terletak pada kapasitas masyarakat, dimana masyarakat desa percontohan telah mendapatkan program KBBM, sehingga selain memiliki pengalaman dalam menghadapi bencana banjir sebelumnya, masyarakat desa percontohan juga memiliki kesiapsiagaan yang telah ditingkatkan. Sedangkan untuk masyarakat desa non-percontohan, masyarakat hanya memiliki pengalaman yang mereka dapat dari kejadian bencana sebelumnya. Kesiapsiagaan merupakan suatu upaya yang dilaksanakan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian
harta benda, dan berubahnya tata kehidupan masyarakat di kemudian hari (Gregg et al., 2004; Perry dan Lindell, 2008; Sutton dan Tiemey, 2006). Kesiapsiagaan bencana dilakukan dengan cara mempersiapkan diri dengan perlengkapan yang efektif (Cappola, 2007) dengan tujuan untuk meningkatkan keselamatan dan melindungi jiwa manusia (Sutton dan Tierney, 2006). Upaya kesiapsiagaan terhadap bencana pada setiap individu atau kelompok tidak sama. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana banjir, yaitu: pengetahuan, sikap, pendidikan, jenis kelamin, umur, pengalaman bencana sebelumnya, budaya, dan kepercayaan (FEMA, 2006). Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pengetahuan dan sikap memiliki pengaruh yang besar dalam perhitungan tingkat kesiapsiagaan masyarakat pedesaan Aceh. Pengetahuan akan meningkatkan kemampuan penduduk mempersiapkan diri dengan lebih baik dari gempabumi atau bencana lainnya. Berbagai pengalaman menunjukan bahwa salah satu hambatan kesiapan diri masyarakat dalam menghadapi bencana adalah adanya unrealistic optimism, suatu persepsi yang kurang tepat, beranggapan bahwa bencana hanya terjadi pada orang lain dan bukan diri sendiri. Sesuai pendapat Miceli (2008), persepsi risiko mempunyai korelasi positif dengan kesiapsiagaan bencana, sehingga menurut Tierney (2001), faktor persepsi risiko pada tiap orang penting untuk diperhatikan karena akan menentukan bagaimana tingkat kesadaran dan perilaku orang tersebut terhadap potensi bencana yang ada. Berdasarkan penjelasan di atas diketahui beberapa faktor penting yang mempengaruhi kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana sehingga diperlukan analisis lebih lanjut tentang faktor yang mempengaruh kesiapsiagaan masyarakat khususnya kesiapsiagaan dalam menghadapi ancaman
Model Pengembangan ... (Rima Rianti, Eddy Rahardjo, Muhammad Zainuddin)
129
banjir Bengawan Solo di Kecamatan Balen Kabupaten Bojonegoro. 1.2. Tujuan Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor pengetahuan, sikap dan persepsi risiko terhadap kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman banjir Bengawan Solo. Hasil analisis faktor tersebut kemudian akan dikembangkan menjadi sebuah model kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman banjir Bengawan Solo. 2. METODOLOGI Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat explanatory. Explanatory digunakan untuk menganalisis pengaruh antara variabel independen yaitu pengetahuan, sikap, dan persepsi risiko terhadap kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana banjir Bengawan Solo di Kecamatan Balen Kabupaten Bojonegoro. 2.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di desa yang telah mendapatkan program KBBM (desa percontohan) dan desa pembanding yaitu desa yang belum mendapatkan program KBBM (desa non-percontohan). 2.2. Sampling dan Analisis Sampel Desa yang telah mendapatkan program KBBM terdiri dari tiga desa yang kemudian dipilih satu desa berdasarkan teknik randomisasi Cluster. Desa yang terpilih untuk mewakili desa percontohan adalah Desa Pilanggede. Untuk desa pembanding, terdapat tiga desa rawan banjir yang belum mendapatkan program KBBM, dari tiga desa dipilih satu desa
130
untuk mewakili desa non-percontohan berdasarkan teknik randomisasi Cluster. Desa yang terpilih untuk mewakili desa non-percontohan adalah Desa Sekaran. 2.3. Populasi dan Jumlah Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Kepala Keluarga yang ada di desa percontohan dan non-percontohan program KBBM. Dari populasi tersebut, ditentukan besar sampel yang dianalisis menggunakan rumus untuk jumlah unit populasi yang tertentu (finite). Jumlah sampel yang didapatkan adalah 81 KK untuk desa percontohan dan 76 KK untuk desa nonpercontohan. Untuk mengumpulkan data penelitian menggunakan metode survei dengan menyebarkan kuesioner kepada 81 KK atau yang mewakili rumah tangga di desa percontohan dan kepada 76 KK atau yang mewakili rumah tangga di desa non-percontohan. Daftar pertanyaan untuk mengukur setiap konstruk mengacu pada indikator-indikator tiap konstruk yang dikembangkan berdasarkan teori dan menyesuaikan kondisi di masyarakat sesuai hasil wawancara studi pendahuluan peneliti kepada masyarakat dan fasilitator program KBBM. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik randomisasi Cluster Sampling, yaitu pertama ditetapkan desa yang akan menjadi objek penelitian, dari desa tersebut kemudian ditentukan beberapa RT, dan dari tiap RT selanjutnya dilakukan pengambilan KK yang menjadi sampel secara acak sederhana. 2.4. Teknik Analisis Data Data yang sudah terkumpul kemudian akan dianalisis menggunakan Partial Least Square (PLS) untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh konstruk pengetahuan, sikap, persepsi risiko terhadap kesiapsiagaan masyarakat percontohan dan non-percontohan dalam menghadapi ancaman banjir Bengawan Solo.
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 128-139
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
penyuluhan dan pelatihan tentang kesiapsiagaan menghadapi ancaman banjir. Hasil statistik deskriptif masingmasing variabel untuk desa nonpercontohan menunjukkan bahwa nilai ratarata variabel pengetahuan (X1) sebesar 0,54 menunjukkan bahwa rata-rata pengetahuan responden adalah cukup. Nilai rata-rata variabel sikap (X2) sebesar 2,51 yang menunjukkan kondisi bahwa rata-rata sikap responden adalah positif. Nilai rata-rata variabel persepsi risiko (X3) sebesar 2,41 yang menunjukkan kondisi bahwa rata-rata persepsi risiko responden adalah rendah. Kesiapsiagaan menunjukkan nilai rata-rata sebesar 0,43 yang menunjukkan kondisi bahwa rata-rata kesiapsiagaan responden adalah tidak siap. Untuk desa percontohan nilai ratarata variabel pengetahuan sebesar 0,75 yang menunjukkan kondisi bahwa ratarata pengetahuan responden adalah baik. Nilai rata-rata sikap sebesar 2,96 yang menunjukkan kondisi bahwa rata-rata sikap masyarakat adalah positif. Nilai ratarata persepsi risiko sebesar 2,66 yang menunjukkan kondisi bahwa rata-rata persepsi risiko responden adalah tinggi. Kesiapsiagaan rata-rata sebesar 0,74 yang menunjukkan kondisi bahwa rata-rata kesiapsiagaan responden adalah siap.
3.1. Laporan Penelitian Responden dalam penelitian ini merupakan 76 kepala keluarga desa nonpercontohan dan 81 kepala keluarga desa percontohan yang dibagi menjadi beberapa karakteristik menurut umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, pendapatan, pengalaman terkena banjir, serta responden yang mendapatkan penyuluhan dan pelatihan. Untuk desa non-percontohan dan pencontohan, hampir setengah dari responden berusia 41-50 tahun dan bekerja sebagai petani. Sebagian besar responden adalah laki-laki. Untuk desa percontohan, hampir setengah responden dengan latar pendidikan terakhir adalah SMP/ MTS, sedangkan desa non-percontohan, hampir setengah responden dengan latar pendidikan SD/MA. Sebagian besar pendapatan responden desa percontohan dan non-percontohan berjumlah di bawah Rp 1.500.000,-, sebagian besar responden mempunyai pengalaman banjir lebih dari dua kali baik untuk tahun lalu maupun tahun ini. Sebagian besar responden desa nonpercontohan tidak mendapatkan penyuluhan tentang banjir. Sedangkan desa percontohan, semua responden pernah mendapatkan Peng1
Peng2 0.724
Peng3 0.700
0.837
Peng4 0.778
Peng5
0.724
Ks1 Ks10
Skp1 Skp2 Skp3 Skp4 Skp5
0.512 0.929 0.837 0.774 0.904 0.868 0.827
0.564
0.353
X2
X3
Y
0.254
Skp6
0.787 0.711 0.755 0.812 0.733 0.709 0.736 0.803 0.727
Ks2 Ks3 Ks4 Ks5 Ks6 Ks7
0.869
Pers1
0.770
Pers2
0.740
0.719
0.771
Pers3
0.800
Pers4
Ks8 Pers5
Pers6
Gambar 1. Hasil Analisis Outer Model - Desa Non Percontohan. Peng1
Peng2 0.722
Peng3 0.731
0.877
Peng4 0.772
Peng5
0.772
Model Pengembangan ... (Rima Rianti, Eddy Rahardjo, Muhammad Zainuddin)
Ks10
Skp1 Skp2
Ks1
0.608
0.817 0.778
Ks2
131
Ks7 0.869
Pers1
Peng1
0.770
Pers2
0.719
Pers4
Peng3 0.731
0.877
0.800
0.771
Pers3
Peng2 0.722
0.740
Peng4 0.772
Ks8 Pers5
Pers6
Peng5
0.772
Ks1 Ks10
Skp1 Skp2 Skp3 Skp4 Skp5
0.608 0.849 0.758 0.765 0.818 0.738 0.740
0.564
0.312
X2
X3
Y
0.186
Skp6
0.817 0.778 0.793 0.817 0.731 0.743 0.751 0.798 0.32
Ks2 Ks3 Ks4 Ks5 Ks6 Ks7
0.761
Pers1
Pers2
0.743
0.726
Pers3
0.715
0.715
Pers4
0.747
Ks8 Pers5
Pers6
Gambar 2. Hasil Analisis Outer Model - Desa Percontohan.
1. Analisis Model Pengukuran atau Outer Model Validitas Convergen Validity (Nilai Loading factor) Hasil analisis atas Outer Model pada kelompok sampel non-percontohan dan percontohan dapat digambarkan dengan jelas seperti yang terlihat pada gambar 1 dan 2. Dari gambar 1 di atas, menunjukkan bahwa semua nilai loading factor (standardized loading) untuk peng1 = 0,724, untuk peng2 = 0,7000, dan seterusnya. Semua nilai loading factor untuk konstruk pengetahuan (X1) di atas 0,7; sehingga dapat dikatakan bahwa indikator peng1, peng2, peng3, peng4, dan peng5 valid mengukur konstruk pengetahuan (X1). Untuk indikator skp1, skp2, skp3 sampai skp6 memiliki tingkat validitas yang baik pula. Hal ini dapat diketahui dari nilai loading factor di atas 0,7. Sama halnya dengan indikator yang mengukur persepsi risiko memiliki nilai loading factor di atas 0,7, sehingga dapat dikatakan sebagai indikator yang valid. Untuk indikator kesiapsiagaan, indikator ks1 sampai ks8 dan ks10 nilai loading factor di atas 0,7; termasuk
132
indikator yang valid. Sedangkan ks9, nilai loading factor di bawah 0,7 tidak memenuhi syarat convergen validity, sehingga untuk ks9 harus didrop dari model. Dari gambar 2 di atas, menunjukkan bahwa semua nilai loading factor (standardized loading) untuk peng1 = 0,722, untuk peng2 = 0,731, dan seterusnya. Semua nilai loading factor untuk konstruk pengetahuan (X1) di atas 0,7; sehingga dapat dikatakan bahwa indikator peng1, peng2, peng3, peng4, dan peng5 valid mengukur konstruk pengetahuan (X1). Untuk indikator skp1, skp2, skp3 sampai skp6 memiliki tingkat validitas yang baik pula. Hal ini dapat diketahui dari nilai loading factor di atas 0,7. Sama halnya dengan indikator yang mengukur persepsi risiko memiliki nilai loading factor di atas 0,7, sehingga dapat dikatakan sebagai indikator yang valid. Untuk indikator kesiapsiagaan, indikator ks1 sampai ks8 dan ks10 nilai loading factor di atas 0,7; termasuk indikator yang valid. Sedangkan ks9, nilai loading factor di bawah 0,7 tidak memenuhi syarat convergen validity, sehingga untuk ks9 harus didrop dari model.
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 128-139
Discriminant Validity Perbandingan Akar AVE dengan Latent Variable Correlations Tabel 1. Matriks Perbandingan Akar AVE dengan Latent Variable Correlations Desa Non-Percontohan. Variabel
X1
X2
X3
Y
Pengetahuan (X1)
0,7544
0
0
0
Sikap
0,1153
0,8581 0
0
Persepsi risiko
0,2540
0,0299 0,7794
0
Kesiapsiagaan
0,6169
0,4191 0,3949
0,7535
Tabel 2. Matriks Perbandingan Akar AVE dengan Latent Variable Correlations - Desa Percontohan. Variabel
X1
X2
X3
Y
Pengetahuan (X1)
0,7767
0
0
0
Sikap (X2)
0,3801
0,7792 0
0
Persepsi risiko (X3)
0,2191
0,1458 0,7347
0
Kesiapsiagaan (Y)
0,7676
0,5705 0,3644
0,7741
Hasil analisis kelompok sampel desa non-percontohan menunjukkan bahwa akar AVE konstruk pengetahuan (X 1) sebesar 0,7544 lebih tinggi daripada korelasi antara konstruk pengetahuan (X 1) dengan sikap (X 2), persepsi risiko (X 3), dan kesiapsiagaan (Y). Nilai akar AVE konstruk sikap (X 2) sebesar 0,8581 lebih tinggi daripada korelasi antara konstruk sikap (X 2) dengan pengetahuan (X 1), persepsi risiko (X 3), dan kesiapsiagaan (Y). Nilai akar AVE konstruk persepsi risiko (X 3) sebesar 0,7794 lebih tinggi daripada korelasi antara konstruk persepsi risiko (X 3) dengan pengetahuan
(X 1), sikap (X 2), dan kesiapsiagaan (Y). Nilai akar AVE konstruk kesiapsiagaan (Y) sebesar 0,7535 lebih tinggi daripada korelasi antara konstruk kesiapsiagaan (Y) dengan pengetahuan (X 1), sikap (X 2), dan persepsi risiko (Y). Hal ini menunjukkan bahwa dalam kelompok sampel desa non percontohan indikator-indikator masingmasing variabel telah tepat mengukur konstruk. Hasil analisis kelompok sampel desa percontohan menunjukkan bahwa akar AVE konstruk pengetahuan (X 1) sebesar 0,7767 lebih tinggi daripada korelasi antara konstruk pengetahuan (X 1) dengan sikap (X 2), persepsi risiko (X 3), dan kesiapsiagaan (Y). Nilai akar AVE konstruk sikap (X 2) sebesar 0,7792 lebih tinggi daripada korelasi antara konstruk sikap (X 2) dengan pengetahuan (X 1), persepsi risiko (X 3), dan kesiapsiagaan (Y). Nilai akar AVE konstruk persepsi risiko (X 3) sebesar 0,7347 lebih tinggi daripada korelasi antara konstruk persepsi risiko (X 3) dengan pengetahuan (X 1), sikap (X 2), dan kesiapsiagaan (Y). Nilai akar AVE konstruk kesiapsiagaan (Y) sebesar 0,7741 lebih tinggi daripada korelasi antara konstruk kesiapsiagaan (Y) dengan pengetahuan (X 1), sikap (X 2), dan persepsi risiko (Y). Hal ini menunjukkan bahwa dalam kelompok sampel desa percontohan indikatorindikator masing-masing variabel telah tepat mengukur konstruk variabelnya. Reliabilitas Analisis Composite Reliability dan Cronbach Alpha Hasil analisis pada kelompok sampel non percontohan dan percontohan
Tabel 3. Hasil Analisis Composite Reliability dan Cronbach Alpha. Non Percontohan Variabel
Composite Reliability
Cronbach Alpha
Percontohan Composite Reliability
Cronbach Alpha
Pengetahuan (X1)
0.8680
0.8093
0.8832
0.8370
Sikap (X2)
0.9435
0.9277
0.9024
0.8701
Persepsi risiko (X3)
0.9024
0.8707
0.8755
0.8300
Kesiapsiagaan (Y)
0.9218
0.9047
0.9307
0.9162
Model Pengembangan ... (Rima Rianti, Eddy Rahardjo, Muhammad Zainuddin)
133
menunjukkan bahwa nilai Composite Reliability dan Cronbach Alpha untuk masing-masing variabel pengetahuan (X1), sikap (X2), persepsi risiko (X3) dan kesiapsiagaan (Y) menunjukkan nilai di atas 0,70, sehingga dapat dinyatakan bahwa konstruk masing-masing variabel memiliki reliabilitas yang baik.
jalur (path) pengaruh pengetahuan (X1) terhadap kesiapsiagaan (Y) adalah positif sebesar 0,6082, dengan nilai t statistics sebesar 7,1785 > nilai t tabel sebesar 1,96. Menunjukkan bahwa pengetahuan (X1) berpengaruh signifikan positif terhadap kesiapsiagaan (Y). Nilai koefisien jalur (path) pengaruh sikap (X2) terhadap
Tabel 4. Hasil Pengujian Signifikansi Koefisien Jalur (Path) Model Struktural. Desa Non Percontohan
Desa Percontohan
Koefisien Jalur (Path)
t statistics
Keterangan
Koefisien Jalur (Path)
X1 → Y
0,5116
6,9619
Signifikan
0,6082
7,1785
Signifikan
X2 → Y
0,3525
4,9867
Signifikan
0,3123
3,2073
Signifikan
X3 → Y
0,2544
3,7444
Signifikan
0,1856
3,0707
Signifikan
Hubungan
2. Analisis Model Struktural (Inner Model) Path Coefficients Pada kelompok sampel desa non percontohan, pengujian atas signifikansi koefisien jalur (path) melalui uji t statistics memperlihatkan hasil bahwa nilai koefisien jalur (path) pengaruh pengetahuan (X 1) terhadap kesiapsiagaan (Y) adalah positif sebesar 0,5116, dengan nilai t statistics sebesar 6,9619 > nilai t tabel sebesar 1,96. Menunjukkan bahwa pengetahuan (X 1) berpengaruh signifikan positif terhadap kesiapsiagaan (Y). Nilai koefisien jalur (path) pengaruh sikap (X 2) terhadap kesiapsiagaan (Y) adalah positif sebesar 0,3525, dengan nilai t statistics sebesar 4,9867 > nilai t tabel sebesar 1,96. Menunjukkan bahwa sikap (X 2) berpengaruh signifikan positif terhadap kesiapsiagaan (Y). Nilai koefisien jalur (path) pengaruh persepsi risiko (X 3) terhadap kesiapsiagaan (Y) adalah positif sebesar 0,2544, dengan nilai t statistics sebesar 3,7444 > nilai t tabel sebesar 1,96. Menunjukkan bahwa persepsi risiko (X 3) berpengaruh signifikan positif terhadap kesiapsiagaan (Y). Pada kelompok sampel desa percontohan, pengujian atas signifikansi koefisien jalur (path) melalui uji t statistics memperlihatkan hasil bahwa nilai koefisien 134
t statistics
Keterangan
kesiapsiagaan (Y) adalah positif sebesar 0,3123, dengan nilai t statistics sebesar 3,2073 > nilai t tabel sebesar 1,96. Menunjukkan bahwa sikap (X 2) berpengaruh signifikan positif terhadap kesiapsiagaan (Y). Nilai koefisien jalur (path) pengaruh persepsi risiko (X 3) terhadap kesiapsiagaan (Y) adalah positif sebesar 0,1856, dengan nilai t statistics sebesar 3,0707 > nilai t tabel sebesar 1,96. Menunjukkan bahwa persepsi risiko (X 3) berpengaruh signifikan positif terhadap kesiapsiagaan (Y). R-Square Berdasarkan hasil analisis Koefisien Determinasi atau R-Square (R2), dapat dijelaskan bahwa pada kelompok sampel desa non-percontohan, pengaruh pengetahuan (X 1), sikap (X 2), dan persepsi risiko (X 3) terhadap kesiapsiagaan (Y) memperlihatkan nilai R-Square sebesar 0,5638, di mana dapat diinterpretasikan bahwa variabilitas konstruk kesiapsiagaan (Y) yang dapat dijelaskan oleh pengetahuan (X 1), sikap (X 2), dan persepsi risiko (X 3) adalah sebesar 56,38%, sedangkan sisanya sebesar 43,62% masih dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak diteliti. Pada kelompok sampel desa percontohan, pengaruh pengetahuan (X 1),
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 128-139
sikap (X 2), dan persepsi risiko (X3) terhadap kesiapsiagaan (Y) memperlihatkan nilai R-Square sebesar 0,7126, di mana dapat diinterpretasikan bahwa variabilitas konstruk kesiapsiagaan (Y) yang dapat dijelaskan oleh pengetahuan (X 1), sikap (X 2), dan persepsi risiko (X 3) adalah sebesar 71,26%, sedangkan sisanya sebesar 28,74% masih dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak diteliti. 3.2. Pembahasan Pengaruh Pengetahuan Masyarakat Percontohan dan Non-Percontohan terhadap Kesiapsiagaan Menghadapi Ancaman Banjir Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan responden desa non-percontohan dan responden desa percontohan berpengaruh signifikan positif terhadap kesiapsiagaan menghadapi ancaman banjir. Variabel pengetahuan desa non-percontohan maupun responden desa percontohan, menunjukan bahwa pengetahuan memiliki pengaruh yang paling besar dibandingkan kedua variabel lainnya. Mengacu pada hasil penelitian tersebut, dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi pengetahuan tentang ancaman banjir, maka tindakan kesiapsiagaan juga akan baik di daerah rawan banjir. Hal ini sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh Notoatmodjo (2007), di mana peningkatan pengetahuan mempunyai hubungan yang positif dengan perilaku, yakni dengan peningkatan pengetahuan maka terjadinya perubahan perilaku akan cepat. Sehingga semakin tinggi pengetahuan maka semakin baik pula tindakan dan begitu pula sebaliknya. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Marpaung (2009) bahwa ada korelasi antara pengetahuan dengan tindakan kesiapsiagaan, yang berarti tingkat pengetahuan komunitas tentang bencana yang baik akan meningkatkan kemampuan dalam menghadapi banjir.
Rata-rata pengetahuan responden desa non-percontohan yang hanya termasuk dalam kategori cukup, rata-rata tidak siap dalam menghadapi ancaman banjir. Pengetahuan tentang ancaman banjir yang berada dalam kategori cukup menyebabkan responden desa non-percontohan cenderung mengabaikan kesiapsiagaan seperti bagaimana membagi tugas anggota keluarga ketika akan terjadi banjir, kapan waktu yang tepat untuk mengungsi, peralatan dan perlengkapan apa yang dipersiapkan jika akan terjadi banjir di desa mereka, tidak melakukan upaya penyelamatan dokumen penting, tidak menyiapkan kebutuhan darurat, rakit, obat-obatan sederhana, tidak menyiapkan tabungan untuk menghadapi banjir, serta tidak mengikuti pelatihan tentang kesiapsiagaan banjir. Beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan responden desa nonpercontohan tentang ancaman banjir, diantaranya pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan. Mayoritas pendidikan terahir responden desa non-percontohan adalah setingkat SD/MI, yaitu berjumlah 33 orang atau 43%. Pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku seseorang. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku sehari-hari (Depkes RI, 2004). Pada responden desa non-percontohan, sangat sedikit responden yang mendapatkan penyuluhan tentang banjir, yaitu berjumlah 8 orang atau 11%. Kurangnya penyuluhan dan tidak adanya pelatihan menghadapi banjir, menyebabkan rata-rata kesiapsiagaan responden desa non-percontohan masih dalam kategori rendah. Untuk kelompok sampel responden desa percontohan, rata-rata pengetahuan responden termasuk dalam kategori baik. Hal ini mengakibatkan kesiapsiagaan responden desa percontohan masuk dalam kategori siap, sehingga responden cenderung untuk melakukan tindakan kesiapan sebelum terjadi banjir, seperti
Model Pengembangan ... (Rima Rianti, Eddy Rahardjo, Muhammad Zainuddin)
135
melakukan penyelamatan dokumen penting, menyiapkan perlengkapan dan peralatan darurat, menyiapkan kebutuhan darurat, serta merencanakan tindakan evakuasi sebelum banjir. Faktor yang menyebabkan ratarata responden desa percontohan memiliki pengetahuan yang baik tentang ancaman banjir diantaranya adalah pelatihan, usia dan pengalaman responden yang sering mengalami banjir di desa mereka. Menurut LIPI (2006), pelatihan kebencanaan efektif meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana. Dalam penelitian ini, semua responden desa percontohan telah mendapatkan pelatihan tentang banjir, dan hampir semua responden yaitu berjumlah 68 orang atau 84% telah mengikuti pelatihan selama 6 hari sesuai waktu yang diberikan oleh fasilitator PMI. Dilihat dari frekuensi pengalaman terkena banjir, hampir seluruh responden desa percontohan yaitu berjumlah 75 orang atau sebesar 93% mengalami banjir lebih dari satu kali pada tahun ini, dan berjumlah 78 orang atau sebesar 96% responden mengalami banjir dengan frekuensi lebih dari satu kali pada tahun lalu. Artinya, responden desa percontohan hampir setiap tahunnya selalu hidup berdampingan dengan banjir, sehingga ancaman banjir yang sering terjadi telah membentuk kearifan lokal tersendiri di daerah mereka. Dalam penelitian ini, responden desa percontohan rata-rata didominasi oleh responden berusia 4050 tahun yaitu berjumlah 35 orang atau sebesar 43%. Usia 40-50 termasuk dalam kategori dewasa. Menurut Huclok (1998), semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Pengetahuan juga sangat erat kaitannya dengan pendidikan di mana diharapkan dengan pendidikan yang tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pengetahuannya (Widiono, S 2001). Pada kelompok sampel desa percontohan, responden didominasi oleh latar belakang pendidikan SLTP/MTS yaitu berjumlah 27 orang atau sebesar 33%. 136
Hal ini menunjukkan bahwa responden di desa percontohan sudah termasuk dalam kategori menengah. Menurut Priyanto (2006), masyarakat yang berpendidikan tinggi lebih mampu dalam mengurangi risiko, meningkatkan kemampuan dan menurunkan dampak terhadap kesehatan sehingga akan berpartisipasi baik sebagai individu atau masyarakat dalam menyiapkan diri untuk bereaksi terhadap bencana. Pengaruh Sikap Masyarakat Percontohan dan Non-Percontohan terhadap Kesiapsiagaan Menghadapi Ancaman Banjir Hasil penelitian menunjukan sikap responden desa non-percontohan dan responden desa percontohan berpengaruh signifikan positif terhadap kesiapsiagaan menghadapi ancaman banjir. Evaluasi mengenai besarnya pengaruh tiap variabel eksogen terhadap variabel endogen, baik kelompok sampel desa non-percontohan maupun desa percontohan, menunjukan bahwa sikap memiliki pengaruh yang sedang terhadap kesiapsiagaan masyarakat menghadapi ancaman banjir. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian LIPI (2006), bahwa pengaruh paling besar dalam perhitungan tingkat kesiapsiagaan masyarakat perdesaan Aceh adalah tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat (KA) yang dinilai cukup baik untuk individu/rumah tangga. Sikap positif masyarakat percontohan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah pengalaman dan adanya pelatihan tentang kesiapsiagaan mengantisipasi ancaman banjir. Dalam menghadapi bencana banjir terbesar tahun 2007 di Kecamatan Balen, masing-masing masyarakat mempunyai pengalaman yang berbeda-beda. Masyarakat dari kedua desa yang mempunyai pengalaman buruk maka akan selalu berhati-hati dan mawas diri terhadap bencana yang sama di masa yang akan datang. Menurut Notoatmodjo (2003), pengalaman mempengaruhi pengetahuan seseorang tentang suatu objek yang
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 128-139
mengandung 2 (dua) aspek, yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek inilah yang menentukan sikap seseorang terhadap objek tertentu. Dalam hal ini pengalaman buruk yang dirasakan seperti kehilangan rumah, sanak keluarga dan kerugian lainnya seperti kehilangan harta benda merupakan suatu tantangan yang harus dihadapi. Kejadian banjir terbesar 2007 dijadikan pelajaran yang berharga sehingga masyarakat mempersiapkan diri dan keluarga. Apabila ada tanda-tanda banjir, masyarakat sudah mulai bersiap mengamankan harta benda rumah tangga dan mencari tempat aman sementara sampai air surut. Pelatihan juga mempunyai peran penting dalam mengubah sikap seseorang. Pada kelompok sampel responden desa percontohan, semua responden telah mendapatkan pelatihan tentang banjir, dan hampir semua responden yaitu berjumlah 68 orang atau 84% mengikuti pelatihan selama 6 (enam) hari sesuai dengan lama pelatihan yang diberikan oleh PMI. Untuk sampel responden desa nonpercontohan, walaupun nilai rata-rata sikap termasuk dalam kategori positif, namun berdasarkan deskripsi per indikator, terdapat 3 (tiga) indikator yang termasuk dalam kategori negatif, yaitu indikator skp1 yaitu sikap pertolongan pertama, penyelamatan darurat, mobilisasi anggota keluarga; indikator skp3 yaitu sikap dalam menyiapkan peralatan dan perlengkapan darurat; dan indikator skp5 yaitu sikap mengenai rencana evakuasi. Sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindar, membenci dan tidak menyukai objek tertentu. Artinya, masyarakat nonpercontohan cenderung tidak mengungsi ketika banjir masih sepaha orang dewasa, tidak menyiapkan rakit/perahu darurat sebelum terjadi banjir, dan cenderung merasa tidak perlu mengikuti pelatihan kesiapsiagaan menghadapi banjir, tidak melarang anak bermain air saat banjir, serta tidak menyiapkan tas siaga yang berisi berisi ijazah, surat-surat tanah, surat kendaraan, dan dokumen penting
lainnya untuk dibawa mengungsi. Hal ini mengakibatkan responden pada sampel desa non-percontohan rata-rata tidak siap menghadapi ancaman banjir dan masyarakat cenderung mengabaikan kesiapsiagaan menghadapi ancaman banjir. Pengaruh Persepsi Risiko Masyarakat Percontohan dan Non-Percontohan terhadap Kesiapsiagaan Mengahadapi Ancaman Banjir Hasil penelitian menunjukan persepsi risiko responden desa non-percontohan dan percontohan berpengaruh signifikan positif terhadap kesiapsiagaan menghadapi ancaman banjir. Hasil penelitian ini sejalan dengan Miceli (2008), di mana persepsi risiko mempunyai korelasi positif dengan kesiapsiagaan bencana. Responden yang memiliki persepsi risiko yang tinggi terhadap ancaman banjir, seperti pada sampel desa percontohan di mana rata-rata persepsi risiko responden termasuk dalam kategori tinggi akan cenderung untuk melakukan tindakan kesiapsiagaan. Dibuktikan dengan nilai rata-rata kesiapsiagaan responden desa percontohan masuk dalam kategori siap, yaitu sebesar 2,66. Begitu juga sebaliknya, responden yang mempunyai persepsi risiko rendah terhadap ancaman banjir, seperti pada sampel responden desa non-percontohan, di mana rata-rata persepsi risiko responden masuk dalam kategori rendah, cenderung untuk tidak melakukan tindakan kesiapsiagaan mengantisipasi ancaman banjir, dibuktikan dengan nilai rata-rata kesiapsiagaan responden desa non-percontohan masuk dalam kategori tidak siap yaitu sebesar 0,43. Menurut Tierney (2001), penilaian informasi tentang risiko bencana yang dihadapi mempengaruhi tingkat kesadaran dan perilaku seseorang terhadap potensi bencana yang ada di daerahnya. Masyarakat yang merasa ancaman banjir di daerah mereka tinggi, maka masyarakat tersebut akan merasa takut dan respon yang terjadi adalah ancaman tersebut tidak diabaikan dan masyarakat cenderung lebih
Model Pengembangan ... (Rima Rianti, Eddy Rahardjo, Muhammad Zainuddin)
137
banyak melakukan tindakan kesiapsiagaan. Lindell and Whitney (2000) mengemukakan bahwa dampak bencana alam umumnya menimbulkan berbagai kerusakan dan kerugian. Kerugian dan ketakutan dari bencana alam mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan meminimalisir kerugian/kerusakan yang ada. Enders (2001) menyatakan bahwa persepsi risiko dipengaruhi oleh pemahaman tentang ancaman, sikap diri terhadap risiko, pengalaman sebelumnya, paparan terhadap kesadaran, kemampuan untuk mitigasi, dan karakteristik demografi. Pada sampel masyarakat percontohan, sesuai dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi risiko masyarakat termasuk dalam kategori tinggi, hal ini diakibatkan karena rata-rata pengetahuan tentang ancaman banjir adalah baik, seluruh masyarakat memiliki pengalaman banjir sebelumnya serta pernah mendapatkan pelatihan dan penyuluhan yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk siap siaga terhadap ancaman banjir. Sedangkan untuk masyarakat non-percontohan, ratarata persepsi risiko masyarakat masuk dalam kategori rendah. Berdasarkan karakteristik demografi, terlihat bahwa rata-rata responden desa non-percontohan didominasi oleh responden yang berpendidikan SD, yaitu berjumlah 33 orang atau sebesar 43%. Responden nonpercontohan hanya sebagian kecil yaitu berjumlah 8 orang atau 11% yang pernah mendapat pemaparan tentang ancaman banjir yang dapat meningkat kesadaran mereka. Berdasarkan data mengenai adanya kerabat/keluarga di desa-desa percontohan seperti desa Mulyorejo, Sarrirejo, dan Pilanggede, hanya sebagian kecil yaitu hanya 10 responden yang mempunyai kerabat di desa percontohan dan terpapar informasi tentang banjir.
138
4. KESIMPULAN 4.1. Kesimpulan Hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini bahwa pengetahuan tentang ancaman banjir, sikap terhadap kesiapsiagaan, dan persepsi risiko ancaman banjir berpengaruh signifikan terhadap kesiapsiagaan masyarakat percontohan dan non-percontohan melalui Program Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Masyarakat (KBBM) dalam menghadapi ancaman banjir Bengawan Solo di Kecamatan Balen Kabupaten Bojonegoro. Hasil evaluasi nilai koefisien determinasi (R2) untuk kriteria akurasi prediktif dapat disimpulkan bahwa pengaruh pengetahuan (X 1), sikap (X 2), dan persepsi risiko (X 3) pada sampel kelompok percontohan dan non-percontohan menunjukkan pengaruh yang moderat terhadap kesiapsiagaan (Y), yaitu sebesar 0,5638 untuk kelompok sampel desa nonpercontohan dan 0,7126 untuk sampel desa percontohan. Berdasarkan hasil nilai Stone-Geisser (Q2) untuk mengukur relevansi prediktif suatu model dalam model structural, didapatkan nilai Stone-Geisser (Q2) untuk variabel kesiapsiagaan (Y) pada kelompok sampel desa non-percontohan dan percontohan masing-masing sebesar 0,3024 dan 0,4100. Dapat disimpulkan bahwa model memiliki relevansi prediktif yang baik bagi konstruk endogen kesiapsiagaan (Y). 4.2. Saran Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai evaluasi program KBBM yang telah diterapkan di wilayah ancaman Bengawan solo.
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 128-139
DAFTAR PUSTAKA Coppola DP, M. EK. 2009. Communicating Emegency Preparedness, Strategies for Creating a Disasters Resilient Community, Taylor & Francis Group 2009, ISBN 978-4200-6510-7. Depkes RI. 2009. Buku saku pelaksanaan PHBS Bagi Masyarakat di Wilayah Kecamatan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. DIBI BNPB. 2012. Laporan Perbandingan Jumlah Kejadian Bencana Per Jenis 1812-2012. [internet] tersedia dalam : dibi.bnpb.go.id/ diunduh pada 15 Mei 2015. Enders, Jessica. 2001. Measuring Community Awareness and Preparedness for Emergencies. Australian Journal of Emergency Management, Spring 2001_16(3): pp 52-59. Federal Emergency Management Agency. 2006. Citizen Corps Personal Behavior Change Model For Disaster Preparedness. Citizen Preparedness Review. Community Resilience Through Civic Responsibili And Self Reliance. FEMA B-728/July. Gregg, C, E., Houghton, B. F., Johnston, D. M.,Paton, C., and Swanson, D. A. 2004. The perception of Volcanic Risk in Kona Communities from Mauna Loa and Hualalai Volcanoes, Hawaiki. Journal of Volcanology and Geothermal Research, 130. p179 196. Hurlock, Elizabeth B 2012, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima, Jakarta: Erlangga. Lindell, M.K. and Whitney, M., 2000. Correlates of Household Seismic Hazard Adjusment Adoption. Risk Analysis, 20(1). LIPI-UNESCO/ISDR. 2006. Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi & Tsunami. Jakarta: Deputi Ilmu
Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Miceli R, Sotgiu I, Settanni M. 2008. Disaster preparedness and perception of flood risk: A study in an Alpine Valley in Italy. Journal of Enviromntal Psychology Volume28. Issue 2, June 2008, pages 164-171 http://www. sciencedirect.com/science/article/pii/ S0272494407000904 (Diunduh 25 Juni 2015). Notoadmodjo, S. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Cetakan Pertama, PT Rineka Cipta, Jakarta. ----------- 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta: PT Rineka Cipta. ----------- 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT Rineka Cipta. Palang Merah Indonesia. 2007. Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Masyarakat Startegi dan Pendekatan. Jakarta: PMI Pusat. Priyanto, A. 2006. Promosi Kesehatan Pada Situasi Emergensi. Edisi 2, Jakarta. Ristika, R, P. 2013. Skripsi Peta Spasial Indeks Rawan Bencana Banjir Jawa Timur Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Sig). Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember. Suton, J., and Tierney, K. 2006. Disaster Preparendess: Concept, Guidance and Research, Colorado: University of Colorado. Sasikome, J Rifika, 2015. Skripsi Pengaruh Penyuluhan Bencana Banjir Terhadap Kesiapsiagaan Siswa SMP Katolik Soegiyo Pranoto Manado Menghadapi Banjir. Ejournal keperawatan(e.kp). Volume 3 nomor 2 mei 2015-11-21. Prodi Ilmu Keperawatan Universitas Sam Ratulangi.
Model Pengembangan ... (Rima Rianti, Eddy Rahardjo, Muhammad Zainuddin)
139
ESTIMASI KARAKTERISTIK DINAMIS TANAH UNTUK PEMETAAN DAERAH RAWAN BENCANA GEMPABUMI BERDASARKAN DATA PENGUKURAN MIKROTREMOR DI KOTA SOLOK Agus Adibil Muhtar1, Sismanto2, Marjiyono3 Departemen Fisika FMIPA, UGM, Jl. Kaliurang Km 3, Yogyakarta1,2 Pusat Survei Geologi Jl. Diponegoro No. 57 Bandung 401223
[email protected] Abstract The soil dynamic characteristics can provide information about the soil layer structure which can be used for basic infrastructure development and natural disasters mitigation, especially earthquakes. This research has been conducted to estimate soil dynamic characteristics for earthquake vulnerable zone mapping based on microtremor measurement data in Solok City. Microtremor single station data were analyzed using HVSR method and microtremor array data were analyzed using SPAC method. The soil dynamic characteristics estimated in this research includes the value of dominant frequency, peak amplitude, seismic vulnerability index, peak ground acceleration, ground shear strain, shear wave velocity and sediment layer thickness. The results showed that Solok City has a dominant frequency values ranged from 0,42 Hz to 4,91 Hz, peak amplitude ranged from 1.92 to 8.47, seismic vulnerability index ranged from 1.72 to 108.01, peak ground acceleration ranged from 99,36 to 115,43 gal, ground shear strain ranged from 1,887x10-4 to 1,242x10-2, shear wave velocity ranged from 149.02 to 192.46 m/s and sediment layer thickness ranged from is 9.8 m to 110.86 m. The soil dynamic characteristics distribution generally indicates that Solok city area is quite high potential building damage due to the earthquakes. The results showed that the highest eartquake vulnerable zones include most area in Kelurahan Kampung Jawa, north part of Kelurahan Nan Baimo, and west part of Kelurahan Laing. Keywords : Microtremor, HVSR, SPAC, Soil dynamic characteristics, Solok city, Earthquake vulnerable zone mapping. 1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu kawasan dengan intensitas kejadian gempabumi yang tinggi karena wilayah ini merupakan pertemuan antara dua lempeng tektonik Indo-Australia dengan lempeng tektonik Eurasia. Sumber gempa di wilayah ini tidak hanya berasal dari pertemuan lempeng tektonik saja, akan tetapi juga
140
disebabkan adanya sistem patahan Mentawai dan sistem patahan Sumatera. Tiga sumber gempabumi tersebut semakin menambah kompleknya tektonik wilayah Sumatera Barat dan menyebabkan wilayah ini menjadi daerah yang rawan terhadap gempabumi (Triyono, 2009). Kota Solok merupakan kota yang strategis di Sumatera Barat karena kota ini terletak pada persimpangan jalan antar provinsi dan antar kabupaten/kota. Selain itu, Kota Solok juga memiliki peran sentral
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 140-150
sebagai salah satu penghasil beras terbaik yang menopang perokonomian di Sumatera Barat. Namun demikian, potensi bahaya gempabumi mengancam kota ini karena secara umum Kota Solok merupakan salah satu daerah dengan indeks kerawanan dengan kelas risiko yang tinggi (Kurniawan, dkk, 2014). Kejadian gempabumi yang merusak Kota Solok dengan Magnitudo 7,4 terjadi pada 9 Juni 1943 di bawah Danau Singkarak dan menghasilkan pergeseran horizontal sejauh 1 meter di dekat Kota Solok (Sieh and Natawijaya, 2000) dan gempa pada 6 Maret 2007 juga telah menyebabkan banyak kerusakan di sepanjang segmen ini dari Sumani hingga Selayo (Edward, 2015). Penelitian mengenai upaya mitigasi bencana gempabumi di Kota Solok masih belum begitu banyak dilakukan. Sedangkan pada saat ini Kota Solok sudah menunjukkan perkembangannya dengan melakukan pembangunan infrastruktur dan beberapa fasilitas umum. Padahal besarnya ancaman gempabumi yang mungkin akan terjadi di Kota Solok di masa yang akan datang, membutuhkan berbagai usaha untuk penanggulangan bencana sehingga perencanaan pendirian bangunan dengan memperhatikan peta mikrozonasi ini diharapkan memperkecil korban dan kerugian akibat gempabumi ke depannya. Salah satu upaya untuk mengurangi risiko bencana gempabumi di suatu daerah adalah dengan menganalisis dan memetakan potensi bahaya gempabumi secara lengkap. Hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristik dinamis tanah di daerah tersebut. Pengukuran mikrotremor dengan metode HVSR dan SPAC dapat digunakan untuk memetakan daerah rawan bencana berdasarkan karakteristik dinamis tanah Kota Solok. Mikrotremor merupakan getaran konstan pada permukaan bumi selain gempabumi yang berasal dari aktivitas manusia dan fenomena alam, (Aki, 1957). Pengukuran mikrotremor dapat digunakan untuk mengetahui kondisi geologi dan ketebalan lapisan sedimen permukaan
yang menggambarkan kondisi permukaan bedrock di suatu daerah (Marjiyono, dkk., 2014). Parameter yang digunakan untuk memetakan daerah rawan bencana gempabumi berdasarkan pada karakteristik dinamika tanah yaitu frekuensi dominan, amplitudo puncak, indeks kerentanan seismik, ground shear strain, kecepatan gelombang sekunder dan ketebalan lapisan sedimen. 1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: a. Menentukan karakteristik dinamis tanah berdasarkan parameter HVSR yaitu nilai frekuensi dominan, faktor amplifikasi, indeks kerentanan seismik, PGA dan ground shear strain serta parameter SPAC berupa kecepatan gelombang sekunder dan kedalaman batuan dasar. b. Memetakan hasil estimasi karakteristik dinamis tanah untuk pemetaan daerah rawan bencana gempabumi di Kota Solok. 2. METODOLOGI 2.1. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian berada di Kota Solok, Provinsi Sumatera Barat, meliputi Kecamatan Lubuk Sikarah yang terdiri atas tujuh kelurahan, dan Kecamatan Tanjung Harapan, yang terdiri atas enam kelurahan. Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai dengan bulan Mei tahun 2016. 2.2. Sampling Data Data mikrotremor diperoleh dari data pengukuran yang dilakukan oleh Tim Pusat Survey Geologi (PSG) Bandung. Jumlah titik ukur mikrotremor adalah sebanyak 85 titik pengukuran mikrotremor single station dan 8 titik pengukuran mikrotremor array.
Estimasi Karakteristik ... (Agus Adibil Muhtar, Sismanto, Marjiyono)
141
2.3. Analisis Data 2.3.1. A nalisis Data Mikrotremor Single Station (Metode HVSR) Metode HVSR merupakan perhitungan data mikrotremor dengan cara menghitung perbandingan komponen horizontal (H) dan komponen vertikal (V) yang terjadi pada spektrum getaran tanah pada setiap data yang diakusisi. Data mikrotremor single station menggambarkan kecepatan getaran tanah dalam tiga komponen arah, yaitu utara-selatan (N-S), barat-timur (E-W), dan vertikal (U-D) yang dinyatakan dalam domain waktu. Data tersebut kemudian diolah menggunakan metode HSVR melalui perangkat lunak Geopsy.
Frekuensi dominan (fo) dan amplitudo puncak (A) tersebut merupakan parameter yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik dinamik lapisan tanah permukaan. Nilai frekuensi dominan dan amplitudo puncak selanjutnya digunakan untuk menentukan ketebalan lapisan sedimen, indeks kerentanan seismik (Kg), percepatan getaran tanah (PGA), dan ground shear strain (γ) (Nakamura, 2000). Tingkat kerentanan tanah permukaan terhadap deformasi saat terjadi gempabumi dapat diidentifikasi berdasarkan indeks kerentanan seismik (Kg). Pada lapisan sedimen tebal, jika disertai dengan penguatan getaran gelombang seismik (amplitudo puncak) besar, maka akan menghasilkan nilai indeks kerentanan yang besar pula. Semakin tinggi indeks kerentanan seismik suatu daerah maka semakin tinggi potensi kerusakan akibat gempabumi (Daryono, 2011). Menurut Nakamura (2008), indeks kerentanan seismik diperoleh dari kuadrat amplitudo maksimum (A) dibagi dengan frekuensi dominan (fo), yang secara matematis ditulis sebagai:
K g= Gambar 1. Peta sebaran titik pengukuran mikrotremor di Kota Solok Percontohan.
Hasil analisis data mikrotremor dengan menggunakan metode HVSR ini adalah kurva H/V dengan puncak kurva adalah frekuensi dominan (fo) dan amplitudo puncak (A) (Gambar 2).
A2 fo
(1)
Percepatan getaran tanah maksimum (Peak Ground Acceleration/PGA) merupakan nilai terbesar dari percepatan getaran tanah yang pernah dialami di suatu tempat karena gempabumi (Broptopuspito, dkk, 2006). Menurut Fukushima dan Tanaka (1990), persamaan empiris untuk menghitung PGA di batuan dasar (di bawah lapisan sedimen permukaan) yaitu:
(ab) = 1,3 + 0,41M 0,42M Log (R.0,32.10 ) 0.0034R
Log
Gambar 2. Contoh kurva HVSR hasil pengukuran di Kota Solok.
142
(2)
Nilai PGA di batuan dasar ini kemudian digunakan untuk menghitung nilai ground shear strain. Ground shear strain menyatakan besarnya regangan maksimum yang dialami tanah
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 140-150
permukaan jika terjadi gempabumi (Nakamura, 1997). Nilai ground shear strain dinyatakan dalam persamaan: γ = Kg × 10-6 × α (3) dengan γ merupakan ground shear-strain, Kg merupakan indeks kerentanan seismik, 10-6 merupakan tetapan untuk mengestimasi nilai strain pada satuan 10-6 pada lapisan tanah permukaan dan α merupakan nilai PGA di batuan dasar. 2.3.2. Analisis Data (Metode SPAC)
secara
(1)
) simum upakan tanah karena 2006). (1990), PGA di edimen (2) )
mudian d shear
atakan dialami pabumi strain
(3)
Mikrotremor
Array
Metode SPAC merupakan metode pengukuran mikrotremor dengan tujuan untuk memperoleh kurva dispersi (kurva kecepatan fase-frekuensi) dan permodelan struktur kecepatan gelombang sekunder (Vs) pada lapisan bawah permukaan bumi (Thein dkk, 2015). Metode ini merupakan metode pengukuran gelombang mikrotremor komponen vertikal dengan asumsi bahwa gelombang mikrotremor pada komponen vertikal didominasi oleh gelombang Rayleigh mikrotremor pada komponen vertikal didominasi (Okada, 2006). oleh gelombang Rayleigh (Okada, 2006). Profil Profilkecepatan kecepatangelombang gelombang sekunder sekunder diperoleh dari diperoleh dariproses prosesinversi inversiyang yangdilakukan dilakukan dengan dengancara caramencocokkan mencocokkankurva kurva koherensi koherensi teoritis teoritisdari darifungsi fungsiBessel Bessel terhadap terhadap kurva kurva koherensi pengukuran secara koherensi pengukuran secaraiterasi. iterasi.Menurut Menurut Okada Okada(2006) (2006)koefisien koefisien SPAC SPAC memenuhi memenuhi persamaan Bessel persamaan Besselorde ordenolnolyang yangdinyatakan dinyatakan dalam Persamaan (4):(4): dalam persamaan
⎛ 2πfr ⎞ ⎟⎟ ρ (f , r ) = J o ⎜⎜ (4) (4) ⎝ c (f ) ⎠
jarak antar seismometer (r) yang berbedabeda. Jarak seismometer yang digunakan adalah 2,5 m, 5 m, 10 m, 20 m dengan durasi tiap pengukuran antara 20 - 45 menit. Data pengukuran mikrotremor array diolah menggunakan metode SPAC (Spatial Autocorrelation) untuk menentukan kecepatan gelombang sekunder (Vs). Pengolahan data diawali dengan menggunakan program Geopsy selanjutnya menggunakan program Spac2disp untuk mendapatkan kurva dispersi dan terakhir menggunakan software Dinver untuk mendapatkan profil kecepatan gelombang sekunder (Vs). Ketebalan lapisan sedimen berhubungan dengan frekuensi dominan yang merupakan frekuensi resonansi lapisan sedimen permukaan saat mencapai nilai amplitudo maksimum. Menurut Seht dan Wohlenberg (1999), hubungan ketebalan lapisan sedimen (h), kecepatan gelombang sekunder (Vs) dan frekuensi dominan (fo) dapat dirumuskan:
3.
h=
vs 4f 0
(5)
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Data Mikrotremor Single Station Kurva HVSR yang didapatkan dari analisis ini secara umum menunjukkan puncak yang jelas (clear peak) dan dapat digunakan untuk menentukan nilai frekuensi dominan serta ampifikasi. Contoh hasil kurva HVSR ditunjukkan pada Gambar 3.
dengan ρ(f,r) adalah koofisienSPAC, SPAC,JJo adalah ) dengan �(f,r) adalah koofisien o adalah fungsi Bessel orde nol, c(f) adalah kecepatan fungsi Bessel orde nol, c(f) adalah kecepatan gelombang sekunder, dan r adalahjarak jarakantar antar gelombang sekunder, dan r adalah stasiun pengukuran. stasiun pengukuran. Pengambilandata data mikrotremor mikrotremor array array Pengambilan dilakukan dengan menggunakan 4 4seismometer dilakukan dengan menggunakan seismometer dengan konfigurasi dengan konfigurasiberbentuk berbentuksegitiga. segitiga.Pada Pada mikrotremor array pengukuran hanya mikrotremor array pengukuran hanyadilakukan dilakukan pada komponen vertikal. Satu pada komponen vertikal. Satudata datamikrotremor mikrotremor array terdiri array terdiriatas atas4 4data datapengukuran pengukurandengan dengan Gambar 3. Spektrum HVSR di titik (a) S001, (b) S002. jarak antar seismometer (r) yang berbeda-beda. Jarak seismometer yang digunakan adalah 2,5 m, Estimasi 5 m,Karakteristik 10m, 20m dengan durasiSismanto, tiap Marjiyono) ... (Agus Adibil Muhtar, 143 pengukuran antara 20 - 45 menit. Data pengukuran mikrotremor array diolah menggunakan metode SPAC (Spatial Autocorrelation) untuk menentukan kecepatan
Nilai frekuensi dominan (f0) yang didapatkan berkisar antara 0,42 - 4,91 Hz. Adapun peta sebaran nilai frekuensi dominan pada daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 4. Sebaran nilai frekuensi yang diperoleh dari hasil pengukuran menunjukkan bahwa frekuensi tinggi umumnya berada di sebelah timur laut dan di sebelah barat Kota Solok. Daerah ini merupakan wilayah dengan elevasi yang relatif lebih tinggi, yaitu berupa daerah lereng dan perbukitan. Sedangkan sebaran nilai frekuensi rendah tersebar di bagian tengah Kota Solok yang memiliki elevasi relatif lebih rendah. Nilai frekuensi ini menggambarkan ketebalan lapisan sedimen permukaan di mana nilai frekuensi berbanding terbalik dengan ketebalan lapisan sedimen. Semakin tinggi nilai frekuensi maka akan semakin tipis ketebalan sedimen, dan sebaliknya (Parolai, dkk., 2002; Prabowo 2015). Selain frekuensi dominan, spektrum HVSR juga memperlihatkan nilai amplitudo puncak (A). Nilai amplitudo puncak yang didapatkan berkisar antara 1,92 - 8,47. Adapun peta sebaran nilai frekuensi dominan pada daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 5. Amplitudo berkaitan dengan kontras impedansi antara lapisan permukaan terhadap lapisan di bawahnya. Semakin tinggi nilai amplitudo maka semakin tinggi kontras impedansi, begitu pula sebaliknya. Nilai frekuensi dominan dan amplitudo puncak selanjutnya digunakan untuk menentukan indeks kerentanan seismik (Kg). Nilai indeks kerentanan seismik pada daerah penelitian berkisar antara 1,72-108,01. Adapun peta sebaran nilai indeks kerentanan seismik di daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 6. Nilai indeks kerentanan seismik ini berkaitan dengan tingkat kerawanan suatu wilayah dari ancaman risiko gempabumi. Semakin besar nilai indeks kerentanan seismik di suatu wilayah, maka tingkat risiko gempabumi terhadap kerusakan akibat gempabumi semakin besar. Daerah dengan sedimen lunak yang tebal akan memiliki nilai indeks kerentanan seismik tinggi sehingga semakin meningkatkan potensi kerusakan tanah dan bangunan saat mengalami gempabumi (Nakamura, 2000; Daryono, 144
dkk.,2009; Sungkono dan Santosa, 2011). Kondisi geologi di Kota Solok yang tersusun atas endapan aluvium dan endapan kolovium menyebabkan daerah tersebut memiliki nilai Kg yang tinggi. Berdasarkan analisis data diperoleh bahwa Kelurahan Kampung Jawa merupakan daerah dengan nilai Kg yang tinggi (zona merah) karena daerah tersebut tersusun dari kombinasi dua jenis endapan yang bersifat lunak dan tebal. Sedangkan daerah lain yang berada pada zona hijau memiliki nilai Kg yang rendah disebabkan daerah ini memiliki nilai amplifikasi yang lebih kecil sehingga amplitudo gelombang seismik tidak terlalu mengalami perbesaran dan kurang rentan mengalami deformasi saat daerah tersebut mengalami gempabumi. Hasil perhitungan menunjukkan daerah penelitian mengalami PGA sebesar 99,36 sampai 115,43 gal. Sebaran nilai PGA di batuan dasar pada daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 7. PGA di batuan dasar dihitung berdasarkan pada parameter gempabumi yang terjadi pada tanggal 06 Maret 2007, posisi episenter pada 0.55o LS dan 100.47o BT pada kedalaman 22,5 Km dengan skala 6,5 magnitudo momen. Persamaan yang digunakan adalah persamaan (2) dari Fukushima dan Tanaka (1990). Dari Gambar 7 terlihat bahwa nilai PGA akan semakin besar jika semakin dekat dengan hiposenter dan semakin kecil di tempat yang jauh dari pusat gempa. Hal ini disebabkan oleh PGA batuan dasar hanya dipengaruhi oleh nilai magnitudo dan jarak hiposenter gempabumi. Nilai PGA di batuan dasar selanjutnya akan digunakan dalam analisis perhitungan nilai ground shear strain. Nilai ground shear strain (GSS) pada daerah penelitian berkisar antara 1,887x104 - 1,242x10-2. Sebaran nilai ground shear strain di batuan dasar pada daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 8. Semakin besar nilai ground shear strain maka lapisan sedimen permukaan akan semakin mudah meregang dan bergeser sehingga terjadi deformasi seperti rekahan tanah, likuifaksi dan longsoran. Berdasarkan hubungan ground shear strain terhadap kondisi dan sifat dinamika tanah pada
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 140-150
permukaan (Isihara, 1982) maka Kelurahan Kampung Jawa yang memiliki nilai di atas 10-2 berpotensi untuk mengalami longsor, kompaksi tanah, dan likuifaksi. Hal ini diperkuat dengan kejadian tanah longsor di Kelurahan Kampung Jawa pada 08 Februari 2016 (Faruqi, 2016). Kelurahan lain di Kota Solok yang memiliki rentang nilai 10-4 - 10-3 berpotensi untuk mengalami rekahan dan penurunan tanah. Keadaan topografi yang cukup tinggi di Kelurahan Nan Baimo dan Kelurahan Tanah Garam dipadu dengan kondisi tanah yang merupakan endapan Alluvium dan Kolovium semakin mendukung potensi terjadinya rekahan bahkan dimungkinkan bisa terjadi tanah longsor. Sedangkan kelurahan lain yang berada pada daerah topografi rendah berpotensi untuk mengalami rekahan sehingga menyebabkan rusaknya bangunan.
Gambar 6. Peta Sebaran Nilai Kg di Daerah Penelitian.
3.2. Data Mikrotremor Array
Gambar 7. Peta Sebaran Nilai PGA di Daerah Penelitian.
Gambar 4. Peta Sebaran Nilai Frekuensi Dominan di Daerah Penelitian.
Gambar 8. Peta Sebaran Nilai GSS di Daerah Penelitian.
Gambar 5. Peta Sebaran Nilai Amplitudo di Daerah Penelitian.
Metode SPAC digunakan untuk menghitung kecepatan gelombang geser (Vs) di lapisan sedimen berdasarkan data hasil pengukuran mikrotremor array. Analisis terhadap kecepatan gelombang geser dekat
Estimasi Karakteristik ... (Agus Adibil Muhtar, Sismanto, Marjiyono)
145
permukaan sangat penting untuk mempelajari efek lokal (Picozzi.,dkk, 2009; Grutas, 2012). Analisis menggunakan metode SPAC menghasilkan ground profile yang merupakan perolehan iterasi dengan nilai error terkecil. Dari ground profile ini kemudian didapatkan nilai Vs. Nilai Vs hasil analisis SPAC di delapan titik pengukuran berkisar antara 149.02-192.46 m/s (Tabel 1). Pada analisis SPAC ini nilai Vs yang digunakan untuk analisis selanjutnya karena nilai Vs di lapisan sedimen sangat mendekati nilai Vs rata-rata dari pengukuran di lubang bor (Bettig, dkk., 2001; Prabowo, 2015). Nilai Vs ini kemudian dirata-rata untuk memetakan ketebalan sedimen menggunakan persamaan (5) (Syahrudin, dkk. 2014). Tabel 1. Kecepatan gelombang geser (Vs) hasil analisis SPAC. Titik Pengukuran
Vs (m/s)
Jenis Sedimen
A001
149.02
Qal
A002
156.71
Qal
A003
149.07
Qal
A004
150.72
Qal
A005
167.2
Qal
A006
164.87
Qal
A007
179.33
Qal
A008
192.46
Qtau
Berdasarkan analisis SPAC didapatkan bahwa nilai Vs sebesar 192.46 m/s di titik A008 berada pada daerah yang memiliki litologi berupa Qtau atau undifferentiated volcanic product yaitu berupa endapan kolovium, konglomerat dan lahar. Nilai kemudian digunakan sebagai faktor pembagi pada titik-titik pengukuran dengan litologi Qtau. Sedangkan nilai Vs sebesar 149.02-179.33 m/s di titik A001-A007 berada pada daerah yang memiliki litologi berupa Qal atau aluvium. Nilai Vs pada titik A001-A007 tersebut kemudian dirata-rata sehingga didapatkan nilai Vs rerata sebesar 159.5 m/s. Nilai ini kemudian digunakan sebagai
146
faktor pembagi pada titik-titik pengukuran yang memiliki litologi aluvium. Dari tabel (1) dapat dilihat bahwa nilai Vs pada kondisi geologi dan litologi yang sama akan memberikan nilai yang relatif sama sehingga meskipun pengukuran mikrotremor array hanya di 8 titik namun tetapi dapat mewakili pengukuran Vs pada area sekitar daerah penelitian. Ketebalan lapisan sedimen dan identifikasi struktur geologi di bawah lapisan sedimen dapat secara akurat ditentukan dengan persamaan (5) (Seht dan Wohlenberg, 1999; Thein, dkk., 2013,; Marjiyono, dkk., 2014). Ketebalan sedimen di daerah penelitian berkisar antara 9,8 m - 110,86 m. Secara umum daerah yang memiliki sedimen paling tebal berada di bagian tengah Kota Solok yang memiliki elevasi rendah. Sedangkan daerah yang memiliki sedimen paling tipis berada di bagian barat Kelurahan Tanah Garam dan bagian timur Kelurahan Laing yang berada pada elevasi lebih tinggi. Peta persebaran ketebalan lapisan sedimen dapat dilihat pada Gambar 9. Morfologi bedrock di daerah penelitian dapat diketahui dengan cara mengurangkan ketinggian permukaan di titik pengukuran (elevasi dari permukaan laut) dengan ketebalan lapisan sedimen. Nilai yang didapatkan kemudian diinterpolasi untuk mendapatkan gambaran morfologi bedrock.
Gambar 9. Peta Persebaran Ketebalan Lapisan Sedimen.
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 140-150
Gambar 10. Penampang 3D Morfologi Bedrock Daerah Penelitian.
Gambar 10. Peta kerawanan akibat gempabumi di Kota Solok.
Penampang 3D morfologi daerah penelitian pada Gambar 10 menunjukkan bahwa Kota Solok berada pada sebuah cekungan yang dibatasi oleh dua bidang batas yang memanjang dari arah tenggara ke barat laut Kota Solok. Kedua bidang batas tersebut diperkirakan sebagai batas patahan antara blok yang naik dan blok yang turun. Kota Solok sebagian besar terletak pada blok yang turun atau disebut dengan graben. Graben adalah hasil dari patahan pada kulit bumi yang mengalami depresi dan terletak di antara dua bagian yang lebih tinggi (Crawford, 1998). Berdasarkan sifat-sifat patahan maka dapat diidentifikasi bahwa patahan yang melintasi Kota Solok merupakan jenis patahan normal (normal fault). Peta daerah rawan bencana akibat gempabumi di Kota Solok dibuat dengan
menggabungkan peta indeks kerentanan seismik, peta PGA lapisan tanah permukaan, peta ground shear strain, dan peta ketebalan lapisan sedimen. Peta daerah rawan bencana akibat gempabumi di Kota Solok dapat dilihat pada Gambar 11. Dari peta tersebut tampak bahwa daerah-daerah dengan zona warna merah merupakan daerah dengan tingkat kerawanan tinggi, zona kuning merupakan daerah dengan tingkat kerawanan sedang, dan zona hijau dengan tingkat kerawanan rendah, dan terdapat dua patahan yang diperkirakan melintasi Kota Solok (garis biru solid). Tingkat kerawanan ini menggambarkan kerusakan yang mungkin akan terjadi apabila daerah tersebut mengalami gempabumi. Secara umum sebagian besar Kota Solok berpotensi untuk mengalami kerusakan akibat gempabumi antara lain disebabkan karena tanah longsor, penurunan tanah, kompaksi tanah, dan likuifaksi. Daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi (zona merah) akibat bencana gempabumi antara lain mencakup sebagian besar Kelurahan Kampung Jawa, bagian utara Kelurahan Nan Balimo, dan bagian barat Kelurahan Laing. Hal ini disebabkan pada daerah tersebut memiliki lapisan sedimen yang tebal (aluvium dan kolovium), variasi kemiringan lahan yang cukup curam dan juga dilintasi oleh patahan dari segmen Sumani. Daerah yang memiliki tingkat kerawanan sedang (zona kuning) akibat bencana gempabumi mencakup bagian timur Kelurahan Tanah Garam, bagian barat Kelurahan Kampung Jawa, bagian tengah Kelurahan Nan Balimo, sebagian Kelurahan Laing, bagian tengah Kelurahan Simpang Rumbio, bagian timur dan barat Kelurahan Kampai Tabu Karambia, Kelurahan IX Korong, Kelurahan Sinapa Piliang, Kelurahan Koto Panjang, Kelurahan Pasar Pandan Air Mati, Kelurahan Aro IV Korong. Daerah ini merupakan daerah yang memiliki variasi sedimen Alluvium yang cukup tebal dan rawan akan terjadinya rekahan tanah dan penurunan tanah. Sedangkan daerah yang memiliki tingkat kerawanan rendah (zona hijau) akibat bencana gempabumi mencakup sebagian besar
Estimasi Karakteristik ... (Agus Adibil Muhtar, Sismanto, Marjiyono)
147
Kelurahan Tanah Garam, Kelurahan IV Suku, bagian barat daya Kelurahan Kampung Jawa, bagian selatan Kelurahan Nan Balimo, bagian timur Kelurahan Laing, Kelurahan Tanjung Paku, bagian timur dan selatan Kelurahan Simpang Rumbio, dan bagian tengah Kelurahan Kampai Tabu Karambia. Daerah dengan zona hijau ini umumnya memiliki nilai Kg yang kecil. Namun demikian daerah ini masih memiliki potensi untuk mengalami amplifikasi dan rekahan tanah karena lapisan sedimen Alluvium yang cukup tebal. Kota Solok secara umum merupakan daerah yang memiliki potensi kerusakan besar akibat gempabumi yang disebabkan oleh patahan Sumatera. Daerah yang memiliki tingkat kerawanan sedang (zona kuning) hingga tinggi (zona merah) akibat bencana gempabumi di kota Solok berada pada daerah di sekitar dua patahan dari Segmen Sumani. Patahan Sumatera dari segmen Sumani yang melintasi Kota Solok berpotensi menimbulkan kerusakan tinggi karena segmen patahan tersebut menyimpan potensi gempa berskala magnitude gempa 7.2 -7.4 Mw dengan periode perulangan selama 100 tahun. Gempa terakhir yang terjadi akibat aktivitas patahan Sumani yang melewati Kota Solok terjadi pada tahun 1926 (6.7 Mw) sehingga diperkirakan pada tahun 2026 akan terjadi gempa dengan magnitude yang lebih besar (Natawidjaja, 2007).
2) Estimasi karakteristik dinamis tanah menunjukkan bahwa Kota Solok secara umum berpotensi mengalami kerusakan bangunan akibat gempabumi. Daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi di Kota Solok akibat bencana gempabumi antara lain mencakup sebagian besar Kelurahan Kampung Jawa, bagian utara Kelurahan Nan Balimo, dan bagian barat Kelurahan Laing. 4.2. Saran Jumlah titik-titik pengukuran mikrotremor ditambah lebih banyak dan area pengukuran lebih diperluas untuk dapat mengungkap lebih jauh karakteristik dinamis tanah dan batasbatas patahan yang melintasi Kota Solok. Selain itu juga perlu dilakukan kajian lebih mendalam tentang seismisitas dan tingkat keaktifan patahan yang melintasi Kota Solok. UCAPAN TERIMAKASIH
4.
KESIMPULAN DAN SARAN
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada LPDP atas bantuan dana penelitian, Prof. Dr. Sismanto, M.Si dari Prodi Geofisika UGM dan Marjiyono, M.Si dari Pusat Survey Geologi Bandung atas waktu, arahan dan bimbingan yang telah diberikan, dan Pusat Survey Geologi (PSG), Badan Geologi, Kementrian ESDM atas data yang diberikan kepada penulis
4.1 .
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
1) Nilai frekuensi dominan tanah berkisar antara 0,42 Hz hingga 4,91 Hz, amplifikasi berkisar antara 1,92 hingga 8,47, indeks kerentanan seismik berkisar antara 1,72 hingga 108,01, PGA berkisar antara 99,36 hingga 115,43 gal, ground shear strain PGA berkisar antara 1,887×10-4 hingga 1,24×10-2, kecepatan gelombang geser berkisar antara 149.02 hingga 192.46 m/s dan kedalaman batuan dasar berkisar antara 9,8 m hingga 110,86 m.
148
Aki, K., 1957, Space and Time Spectra of Stationary Stochastic Waves, with Special Reference to Microtremors, Earthquake Research Institute Japan, Vol 35, pp 415-456. Bettig, B., P.Y. Bard, F. Scherbaum, J. Riepl, F. Cotton, C. Cornou dan D. Hatzfeld, 2001, Analysis of Dense Array Noise Measurements Using The Modified Spatial Auto-Correlation Method (SPAC): Application to The Genoble Area, Bulletino Di Geofisica Teorica Ed Applicata, 42, 3-4, 281-304.
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 140-150
Broptopuspito, K.S, Tiar P., dan Ferry M.W., 2006, Percepatan Getaran Tanah Maksimum Daerah Istimewa Yogyakarta 1943-2006, J. Geofisika, 2006/1. Crawford, M. J., 1998, Physical Geology, Cliff Notes, Inc, Lincoln, Nebraska Daryono, Sutikno, J. Sartohadi, Dulbahri, dan K. S. Brotopuspito, 2009, Efek Tapak Lokal (Local Site effect) di Graben Bantul Berdasarkan Pengukuran Mikrotremor, International Conference Earth Science And Technology, Yogyakarta 6-7 August 2009 Daryono, 2011, Indeks Kerentanan Seismik Berdasarkan Mikrotremor Pada Setiap Satuan Bentuklahan di Zona Graben Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Geografi, UGM, Yogyakarta. Edward, A., 2015, Bahaya Gempabumi Zona Patahan Sumatera, Tim Pusdalops PB BPBD Prov. Sumatera Barat. IAGI. Sumatera Barat. Faruqi, A.L., 2016, Tanah Longsor Jalan Sumatera Barat Sumatera Utara putus, https://m.tempo.co/read/news/2016 /02/08 /058743013/tanah-longsor-jalan sumatera-barat-sumatera-utara-putus diakses 18 Juni 2016 via Google.com Fukusima, Y., dan Tanaka, T., 1990, A New Attenuation Relation for Peak Horizontal Acceleration of Strong Earthquake Ground Motion in Japan, Bull of the seismological society of America. Soc. Am., 80, 757-783. Grutas, R. N., 2012. Exploration of S-wave Velocity of Sedimentary Layers with Application to Seismic Microzonation in Metro Manila, the Philippines, Doctoral Dissertation, Department of Environmental Science and Technology, Tokyo Institute of Technology. Isihara, K., 1982, Evaluatian of Soil Properties for Use in Earthquake Response Analysis. Proc. Int. Symp. On Numerical Model in Geomech, 237-259.
Kurniawan, L., Triutomo, S., Yunus, R., Amri, M. R., Hartyanto, A. A., 2014, Indeks Risiko Bencana Indonesia, BNPB, Jakarta. Marjiyono, Ratdomopurbo, Suharna, M.H.H Zajuli, dan R. Setianegara, 2014, Geologi Bawah Permukaan Dataran Klaten Berdasarkan Interpretasi Data Mikrotremor, Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral, 15, 1, 3-9. Nakamura, Y, 1997, Seismic Vulnerability Indices for Ground And Structures Using Microtremor, World Congress on Railway Research, Florence, Nov. 1997. Nakamura, Y, 2000, Clear Identification of Fundamental Idea of Nakamura’s Technique and its Applications, Proc XII World Conf. Earthquake Engineering, New Zealand, 2656. Nakamura, Y., T. Sato, dan M. Nishinaga, 2008, Local Site Effect of Kobe Based on Microtremor Measurement. Proceeding of the Sixth International Conference on Seismic Zonation EERI, Palm Springs California. Natawidjaja, 2007, Gempabumi dan Tsunami di Sumatera dan Upaya Untuk Mengembangkan Lingkungan Hidup Yang Aman Dari Bencana Alam, http:// geospasial.menlh.go.id/assets/Analisis/ DHNLaporanKLH2007finalv2sm.pdf, diakses 22 Mei 2016. Okada, H., 2006, Theory of efficient array observations of microtremors with special reference to the SPAC method, J. Exploration Geophysics, 37, 73-85. Parolai, S., P.Bormann dan C. Milkereit, 2002, New Relationships between Vs, Thicknes of Sediments, and Resonance Frequency Calculated by the H/V Ratio of Seismic Noise for the Cologne Area (Germany), Bull of Seismological Society of America, 92, 6, 2521-2527.
Estimasi Karakteristik ... (Agus Adibil Muhtar, Sismanto, Marjiyono)
149
Picozzi, M., Strollo, A., Parolai Rix, S., Durukal, E., O zel, O., Karabulut, S.,Zschau,J., dan Erdik,M., 2009, Site characterization by seismic noise in Istanbul,Turkey, Soil Dynamics and Earthquake Engineering 29. 469 - 482 Prabowo, N., 2015, Pemetaan Daerah Rawan Rekahan Tanah Berdasarkan Analisis Mikrotremor di Kota Madya Denpasar dan Kabupaten Badung, Bali, Tesis, Program Studi S2 Ilmu Fisika, Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Seht, M.I, dan Wohlenberg, J., 1999, Microtremor Used To Map Thickness of Soil, Bulletin of the Seismological Society of America, 89, 1, 250-259. Sieh, K. and Natawidjaja, D., 2000, Neotectonics of the Sumateran fault, Indonesia: Journal of Geophysical Research 105, 28,295-28,326. Sungkono dan B.J. Santosa, 2011, Karakterisasi Kurva Horizontal to Vertical Spectral Ratio: Kajian Literatur dan Pemodelan. Jurnal Neutrino, 4, 1. Syahrudin, M.H., Aswad, S., Palullungan, E. F., Maria, dan Syamsuddin, 2014, Penentuan Profil Ketebalan Sedimen Lintasan Kota Makassar Dengan Mikrotremor, Jurnal Fisika Vol. 4 No. 1, Mei 2014
150
Thein, P.S., S. Pramumijoyo, K.S. Broptopuspito, W. Wilopo, J. Kiyono, and A. Setyanto, 2013, Estimation of sedimen Thickness by Using Microtremor Observation at Palu City, Indonesia, Prociding of The 11th International Conference on Mining, Materials and Petroleum Engineering, The 7th International Conference on Earth Resources Tecnology, Chiang Mai, Thailand, 116. Thein, P.S., S. Pramumijoyo, K.S. Broptopuspito, W. Wilopo, J. Kiyono, Furukawa, A., Putra, P.R, and A. Setyanto, 2015, Estimation of S-Wave Velocity Structure For Sedimentary Layered Media Using Microtremor Array Measurements In Palu City, Indonesia, Procedia Environmental Sciences 28, 595 - 605 Triyono, R., 2009, Ancaman Gempabumi di Sumatera Tidak Hanya Bersumber dari Mentawai Megathrust, http://www.bmkg. go.id/BMKG_Pusat/Publikasi/ Artikel/ Artikel_Detail.bmkg ?id=ztib94418083 bpzn5154, 14 Agustus 2015, diakses tanggal 06 Maret 2016
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 140-150
ANALISIS KERENTANAN LAHAN SAWAH PADI TERHADAP BANJIR DAS CIDURIAN MENGGUNAKAN MULTI SKENARIO
1
Siti Dahlia1, Sudibyakto2, dan Dyah.R.Hizbaron3 Mahasiswa Geo-Informasi untuk Manajmen Bencana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2 Fakultas Geografi, Unversitas Gadjah Mada, Yogyakarta 3 Fakultas Geografi, Unversitas Gadjah Mada, Yogyakarta
[email protected] Abstract
Renged Village, Binuang District, Serang Regency, Banten Province is area which economic condition are influenced by agriculture sector, especially in paddy field. The major floods event in the last 21 years occurred in 1994, 2001, and 2013, that caused harvest failure for farmer. The aims of research: (1) flood hazard analysis based on historical data of flood 1994, 2001, and 2013, and (2) vulnerability assessment of paddy field to the flood hazard Cidurian Watershed. Research conducted using qualitative and quantitative methods, with landform and community perception approach. The data analysis are interpolation, scoring, and weighting scenario. The result of the research shows that most of research area located in medium level of flood hazard. The high level of flood hazard is distributed in landform units: flood plain, abandoned river channels, and aluvial plain that associated with irrigation drainage. The result of vulnerability assessment shows that the highest of vulnerability index of paddy field using equal weight scenario, with index from 0 to 0.89. The lowest of vulnerability index of paddy field using crop phase weight scenario, with index from 0 to 0.77. The high level vulnerability of paddy field is distributed in landform units: flood plain and aluvial plain that associated with irrigation drainage. Keywords : Vulnerability Assessment, Flood Hazard, Cidurian Watershed, Paddy Field, Perception, Landform. 1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan berbagai bencana alam, seperti kekeringan, banjir, tanah longsor, letusan gunung berapi, bencana gempabumi, dan tsunami. Bencana banjir meskipun menimbulkan risiko relatif lebih rendah dibandingkan bencana letusan gunung berapi, gempabumi atau tsunami, tetapi mempunyai frekuensi relatif lebih tinggi. Berdasarkan hal tersebut, apabila diakumulasikan bencana banjir dapat berpotensi menimbulkan kerugian yang
sama besarnya dari ketiga bencana tersebut (Zubaidah et al., 2005). Ancaman banjir juga semakin sering berdampak pada lahan sawah, yang merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim terhadap sektor pertanian. Peristiwa ini menyebabkan berkurangnya luas area panen, dan turunnya produksi padi secara signifikan (Badan Litbang Pertanian, 2011). Penelitian ini mengkaji terkait kerentanan lahan sawah padi terhadap banjir DAS Cidurian di Desa Renged, Kecamatan Binuang, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Desa Renged dipilih sebagai lokasi wilayah penelitian, karena dua faktor yaitu kondisi ekonomi penduduk dan lokasi
Analisis Kerentanan Lahan ... (Siti Dahlia, Sudibyakto, dan Dyah.R.Hizbaron)
151
geografis wilayah penelitian. Sebagian besar penggunaan lahan wilayah penelitian dimanfaatkan untuk lahan sawah, yaitu seluas 380,01 ha dari 474,76 ha luas total. Kondisi tersebut mengakibatkan sebagian besar penduduk setempat bekerja sebagai petani yaitu 60% atau 1966 penduduk, sehingga kondisi ekonomi wilayah penelitian dipengaruhi oleh sektor pertanian yaitu padi sawah. Secara geografis wilayah penelitian terletak di bagian hilir DAS Cidurian (Gambar 1a), dan kemiringan yang relatif datar sampai hampir datar yaitu 0-2%. Kondisi tersebut mengakibatkan wilayah penelitian rawan terhadap banjir luapan DAS Cidurian, termasuk lahan pertanian wilayah penelitian. Hasil wawancara dengan masyarakat setempat menunjukkan bahwa banjir di wilayah penelitian terjadi setiap tahun. Peristiwa banjir besar yang mengakibatkan gagal tanam dan panen bagi petani, dalam 21 tahun terakhir terjadi pada tahun 1994, 2001, dan 2013. Berdasarkan hal tersebut, lahan sawah padi Desa Renged memiliki ancaman tinggi terhadap banjir DAS Cidurian. Kajian analisis kerentanan dalam penelitian ini, berdasarkan analisis bahaya dan kerentanan dengan elemen berisiko yaitu lahan sawah padi. Bahaya banjir yaitu probabilitas terjadinya peristiwa banjir yang berpotensi merusak, pada besaran (magnitude) dan di daerah tertentu dalam jangka waktu tertentu (Dang et al., 2010). Kerentanan yaitu derajat potensi kerugian atau kerusakan terhadap elemen yang berisiko yang merupakan akibat dari terjadinya fenomena alam, tingkat kerentanan dan kerusakan elemen berisiko diberi nilai 0 jika tidak ada kerusakan dan nilai 1 jika kerusakan total (Thywissen, 2006). Penilaian kerentanan lahan sawah padi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan bentuklahan dan persepsi masyarakat. Pendekatan bentuklahan digunakan karena kajian geomorfologikal untuk tujuan hidrologikal harus menekankan 152
pada peranan bentuklahan dan faktor geomorfologikal lainnya (Verstappen, 2014). Selain itu, karakteristik geomorfologi menjadi kunci dalam kajian potensi banjir, banjir genangan ataupun jejak-jejaknya dapat dikenali dari pola bentuklahan pada dataran rendah (Setiawan et al., 2014). Pendekatan bentuklahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bentuklahan asal proses fluvial, karena wilayah penelitian terbentuk oleh aktivitas Sungai Cidurian. Pendekatan persepsi masyarakat digunakan karena persepsi dan partisipasi masyarakat, secara langsung dapat membangun kesadaran dan kewaspadaan dalam menghadapi bahaya dan kerentanan (Irawan, 2015). Selain itu, informasi masyarakat lokal terkait bahaya merupakan hal penting, karena penduduk setempat memiliki pengetahuan tentang peristiwa bahaya yang mereka alami (Van Westen et al., 2011). 1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan yaitu: (1) Menganalisis bahaya banjir daerah penelitian berdasarkan data kejadian banjir tahun 1994, 2001, dan 2013, (2) Menilai tingkat kerentanan lahan sawah padi terhadap bahaya banjir. 2. METODE 2.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Renged, Kecamatan Binuang, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Secara administratif wilayah penelitian terbagi menjadi empat kampung, yaitu Renged, Rangkong, Jering, dan Pandawa. Secara astronomis wilayah o penelitian terletak pada 6 7’51,239’’ LS o o 6 9’16,698’’ LS, dan 106 22’07,125’’ BT o 106 23’25,505’’ BT (Gambar 1b). Selain itu, Wilayah penelitian terletak di bagian hilir DAS Cidurian, sehingga memiliki ancaman terhadap luapan Sungai Cidurian pada setiap tahunnya (Gambar 1a). Luas wilayah
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 151-163
penelitian yaitu 474,76 ha. Penelitian ini dilakukan pada musim penghujan, yaitu pada Bulan Januari Tahun 2016. Kondisi tersebut sesuai dengan kajian penelitian, yaitu terkait banjir karena banjir wilayah penelitian pada umumnya terjadi pada musim penghujan khususnya Bulan Januari.
Metode analisis penelitian yang digunakan yaitu kualitatif dan kuantitatif, berdasarkan hasil persepsi masyarakat pada satuan bentuklahan fluvial. Pendekatan persepsi masyarakat dalam konteks penelitian ini merupakan tidak murni secara kualitatif, karena menggunakan
(A)
(B) Gambar 1. Lokasi Penelitian (a) DAS Cidurian, (b) Batas Administrasi Desa Renged.
2.2. Metode Sampling dan Analisis Data Populasi dalam penelitian ini yaitu petani pemilik lahan sawah padi di Desa Renged, yang meliputi petani hak milik dan hak garap. Metode penentuan sampel responden yang digunakan yaitu purposive sampling, karena responden dipilih berdasarkan pertimbangan petani yang masih mengingat kejadian banjir tahun 1994, 2001, dan 2013. Jumlah total responden yang diperoleh yaitu 119 responden, dan teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu wawancara mendalam, kuesioner, dan survei.
pengetahuan dan pengalaman petani melalui wawancara terkait karakteristik banjir dan informasi lahan sawah padi untuk kuantifikasi variabel bahaya banjir, dan kerentanan. Analisis bahaya banjir wilayah penelitian berdasarkan data persepsi masyarakat pada satuan bentuklahan fluvial, terkait kejadian banjir tahun 1994, 2001, dan 2013. Berdasarkan parameter kedalaman, durasi, dan frekuensi banjir, dengan analisis data menggunakan metode skoring dan interpolasi Natural Neighbour. Analisis kerentanan lahan sawah padi wilayah penelitian berdasarkan pendekatan
Analisis Kerentanan Lahan ... (Siti Dahlia, Sudibyakto, dan Dyah.R.Hizbaron)
153
indikator (Cutter et al., 2000; Deressa Kondisi tersebut atas dasar asumsi bahwa et al., 2008; Widiarto, 2013). Indikator indikator bahaya, merupakan indikator yang digunakan yaitu fase pertumbuhan yang memiliki kontribusi tinggi dalam tanaman padi, produktivitas, luasan mempengaruhi tingkat kerentanan total lahan sawah, dan jarak lahan sawah lahan sawah padi dibandingkan indikator dari sungai (Tabel.1). Unit analisis yang lainnya. Selanjutnya, pada skenario digunakan untuk penilaian kerentanan, seimbang (equal) peneliti berasumsi bahwa yaitu persil lahan sawah. Metode penilaian setiap indikator memiliki kontribusi yang kerentanan menggunakan skoring dan sama, dalam mengevaluasi kerentanan skenario pembobotan (Tabel.2). Skala yang total lahan sawah padi wilayah penelitian, digunakan untuk penilaian kerentanan yaitu sehingga setiap indikator diberi bobot yang skala 0-1, skala 0 menunjukkan tidak rentan seimbang yaitu 0,20 (Tabel 2). dan 1 rentan secara keseluruhan. Tabel 1. Analisis Data Indikator Kerentanan. No 1 2 3 4
Indikator
Deskripsi
Fase tanaman
Fase tanaman pada tahap kebutuhan air rendah, semakin tinggi tingkat kerentanannya (+)
Produktivitas
Semakin tinggi hasil produktivitas lahan sawah padi pada persil lahan sawah, maka semakin tinggi tingkat kerentanannya (+)
Luasan lahan sawah
Semakin luas lahan sawah per persil, semakin tinggi tingkat kerentanannya (+)
Jarak lahan dari sungai
Semakin dekat jarak lahan sawah dengan sungai, semakin tinggi tingkat kerentanannya (+)
Catatan; (+) memiliki kontribusi tinggi terhadap kerentanan. Tabel 2. Skenario Pembobotan Kerentanan. Bahaya
Fase Tanaman
Produktivitas
Luasan Lahan
Jarak Lahan dari Sungai
Bahaya
0,40
0,15
0,15
0,15
0,15
Fase tanaman
0,15
0,40
0,15
0,15
0,15
Produktivitas
0,15
0,15
0,40
0,15
0,15
Luasan lahan
0,15
0,15
0,15
0,40
0,15
Jarak lahan dari sungai
0,15
0,15
0,15
0,15
0,40
Seimbang (Equal)
0,20
0,20
0,20
0,20
0,20
Seimbang (Equal)
0,20
0,20
0,20
0,20
0,20
Skenario
Sumber: Hizbaron et al., 2012 dengan modifikasi
Penilaian kerentanan dalam penelitian menggunakan skenario pembobotan, (Tabel.2). Pembobotan yang dilakukan bersifat subjektif, yaitu menempatkan setiap indikator sesuai dengan kontribusinya dalam mengevaluasi kerentanan. Sebagai contoh pada skenario bahaya, pemberian bobot tertinggi yaitu pada indikator bahaya 0,40, dan indikator lainnya diberi bobot secara seimbang yaitu masing-masing 0,15. 154
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Peta Satuan Bentuklahan Fluvial Wilayah Penelitian Wilayah penelitian merupakan daerah dataran rendah dan dilalui oleh aliran Sungai Cidurian, sehingga memiliki bentuklahan asal proses fluvial yang terdiri atas: aliran sungai mati (7,56 ha), dataran aluvial
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 151-163
(351,83 ha), dataran banjir (66,12 ha), tanggul alam (21,97 ha), dan dataran aluvial antropogenik (27,29 ha) (Gambar 2). Satuan bentuklahan fluvial terluas wilayah penelitian yaitu dataran aluvial dengan luas 351,83 ha. Satuan bentuklahan fluvial wilayah penelitian didominasi oleh dataran aluvial, yang merupakan hasil proses sedimentasi pada topografi datar dengan material aluvium. Kondisi tersebut dapat diidentifikasikan bahwa wilayah penelitian terpengaruh oleh aktivitas banjir dan penggenangan, karena material aluvium berasal dari hasil pengendapan ketika terjadi banjir dan penggenangan (Sunarto et al., 2014).
Gambar 2. Peta Satuan Bentuklahan Fluvial Desa Renged.
3.2. Analisis Bahaya Penelitian
Banjir
Wilayah
3.2.1. K edalaman Banjir Hasil peta interpolasi kedalaman banjir (Gambar 3), menunjukkan bahwa kedalaman banjir maksimum tahun 1994 dan 2013 yaitu 2,8 m, sedangkan tahun
2001 yaitu 3,8. Hasil interpolasi kedalaman banjir dari tiga tahun kejadian banjir besar, terdapat perbedaan pola spasial terkait kedalaman banjir. Peta dengan mayoritas warna biru terang sampai gelap (kedalaman banjir sedang sampai tinggi) didominasi pada tahun 2001 (Gambar 3b), dan warna gambar putih sampai biru terang (kedalaman banjir rendah sampai sedang) terdapat pada tahun 1994 (Gambar 3a). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2001, wilayah penelitian memiliki tingkat kedalaman banjir maksimum lebih tinggi dibandingkan banjir tahun 1994 dan 2013. Berdasarkan luasan, pada tahun 1994 sebagian besar wilayah penelitian berada pada tingkat kedalaman banjir sedang yaitu 0,5-1 m dengan luas 202,43 ha. Pada tahun 2001, sebagian besar wilayah penelitian berada pada tingkat kedalaman banjir tinggi yaitu >1 m dengan luas 247,27 ha. Pada tahun 2013 sebagian besar wilayah penelitian memiliki tingkat kedalaman banjir sedang yaitu 0,5-1 m dengan luas 199,62 ha (Gambar 4). Berdasarkan kondisi tersebut menunjukkn bahwa pada tahun 2001 memiliki tingkat kedalaman banjir tinggi lebih luas, dibandingkan tahun 1994 dan 2013. Kondisi tersebut dapat diindikasikan pada tahun 2001, terjadi peningkatan volume banjir. Pada tahun 1994 lokasi dengan tingkat kedalaman banjir tinggi, lebih rendah dibandingkan tahun 2001 dan 2013. Berdasarkan hal tersebut dapat diindikasikan bahwa terjadi peningkatan luasan dan kedalaman banjir setelah kejadian banjir tahun 1994. Kondisi peningkatan volume banjir, dapat diindikasikan salah satunya disebabkan oleh pengaruh perubahan iklim akibat pemanasan global dan perubahan penggunaan lahan (Dang et al., 2010; Marfai et al., 2014). Berdasarkan distribusi spasial pada satuan bentuklahan, hasil analisis menununjukkan bahwa pada tiga tahun kejadian banjir besar tersebut terdapat kesamaan terkait lokasi dengan tingkat
Analisis Kerentanan Lahan ... (Siti Dahlia, Sudibyakto, dan Dyah.R.Hizbaron)
155
kedalaman banjir tinggi (>1 m), yaitu pada satuan bentuklahan dataran banjir, aliran sungai mati, dan sebagian dataran aluvial. Tingkat kedalaman banjir sedang (0,5-1 m) terdapat pada sebagian satuan bentuklahan dataran aluvial, dan tingkat kedalaman banjir rendah (0-0,5 m) yaitu pada satuan bentuklahan tanggul alam dan dataran aluvial antropogenik.
(a)
durasi banjir sedang (warna kuning) dengan luas 239 ha. Pada tahun 2001 menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah penelitian memiliki durasi banjir panjang >10 hari (warna merah), dengan luas 192,18 ha. Pada tahun 2013 sebagian besar wilayah penelitian memiliki durasi banjir sedang, yaitu 5-10 hari (warna kuning), dengan luas 218,82 ha (Gambar 6). Kondisi tersebut
(b)
(c)
Gambar 3. Peta Interpolasi Kedalaman Banjir (a) Tahun 1994, (b) Tahun 2001, (c) Tahun 2013.
(a)
(b)
(c)
Gambar 4. Grafik Tingkat Kedalaman Banjir Wilayah Penelitian Berdasarkan Luasan, a) Tahun 1994, (b) Tahun 2001, (c) Tahun 2013.
3.2.2. Durasi Banjir Hasil peta interpolasi durasi banjir (Gambar 5), menunjukkan bahwa pada tiga tahun kejadian banjir besar tersebut memiliki pola spasial yang bervariasi. Pada tahun 1994 hasil interpolasi durasi banjir, sebagian besar wilayah penelitian memiliki 156
dapat diindikasikan disebabkan karena pada tahun 2001 volume banjir lebih tinggi dibandingkan tahun 1994 dan 2013, sehingga dapat diasumsikan mempengaruhi panjangnya durasi banjir wilayah penelitian. Berdasarkan distribusi spasial pada satuan bentuklahan, menunjukkan bahwa pada tiga tahun kejadian banjir besar
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 151-163
tersebut, daerah dengan durasi banjir panjang (>10 hari) yaitu terdistribusi pada satuan bentuklahan dataran banjir, aliran sungai mati, dan dataran aluvial yang berasosiasi dengan saluran irigasi. Durasi banjir sedang (5-10 hari) yaitu sebagian besar pada satuan bentuklahan dataran aluvial. Daerah dengan durasi pendek (0-5 hari) yaitu satuan bentuklahan tangul alam dan dataran aluvial antropogenik. Menurut Kundu (2010), faktor yang mempengaruhi
(a)
panjang karena secara elevasi lebih rendah yaitu 2-14 m dpal dibandingkan dengan elevasi satuan bentuklahan dataran aluvial antropogenik dan tanggul alam yaitu 8-28 m dpal. 3.2.3. R ata-Rata Kedalaman dan Durasi Banjir Hasil nilai kedalaman dan durasi banjir tahun 1994, 2001, dan 2013, dalam
(b)
(c)
Gambar 5. Peta Interpolasi Durasi Banjir (a) Tahun 1994, (b) Tahun 2001, (c) Tahun 2013.
(a)
(b)
(c)
Gambar 6. Grafik Tingkat Durasi Banjir Wilayah Penelitian Berdasarkan Luasan, a) Tahun 1994, (b) Tahun 2001, (c) Tahun 2013.
panjangnya durasi banjir suatu wilayah yaitu faktor geomorfologi dan elevasi. Teori ini sesuai dengan kondisi wilayah penelitian, bahwa pada satuan bentuklahan aliran sungai mati, dataran banjir, dan dataran aluvial memiliki durasi banjir lebih
penelitian ini dilakukan perhitungan nilai rata-rata. Perhitungan untuk identifikasi nilai rata-rata kedalaman dan durasi banjir, dari tiga tahun kejadian banjir besar. Hasil peta interpolasi nilai rata-rata kedalaman dan durasi banjir tahun 1994, 2001, dan 2013
Analisis Kerentanan Lahan ... (Siti Dahlia, Sudibyakto, dan Dyah.R.Hizbaron)
157
(a)
(b)
Gambar 7. Peta Interpolasi Rata-Rata (a) Kedalaman Banjir, dan (b) Durasi Banjir.
wilayah penelitian, yaitu nilai kedalaman banjir maksimum 3,3 m (Gambar 7a), dan durasi banjir maksimum yaitu 21 hari (Gambar 7 b). 3.2.4. F rekuensi Banjir Analisis frekuensi banjir dilakukan secara kualitatif berdasarkan data historis, yaitu berdasarkan data jumlah kejadian banjir yang terjadi pada periode waktu tertentu. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden terjadi 3 kali kejadian banjir besar dalam kurun waktu 21 tahun (1994-2015) di wilayah penelitian. Menurut Islam et al (2013), dalam penelitiannya menyatakan bahwa frekuensi banjir berdasarkan data historis apabila terjadi banjir satu kali setelah 2-5 tahun merupakan frekuensi sedang, dan satu kali setelah 10 tahun yaitu frekuensi rendah. Berdasarkan hal tersebut, frekuensi banjir wilayah penelitian dapat diasumsikan rata-rata termasuk pada kategori frekuensi rendah. Semakin rendah frekuensi kejadian banjir, maka semakin tinggi potensi magnitudo banjir (van Westen et al., 2011).
158
3.2.5. P eta Bahaya Penelitian
Banjir
Wilayah
Hasil analisis peta bahaya banjir wilayah penelitian (Gambar 8) ditinjau berdasarkan luasan, daerah dengan kelas bahaya banjir tinggi seluas 161,20 ha, sedang seluas 189,70 ha, dan rendah seluas 120,77 ha. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah penelitian termasuk pada kelas bahaya banjir sedang. Faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut dapat diindikasikan dipengaruhi oleh faktor kondisi geomorfologi, elevasi, dan tekstur tanah wilayah penelitian. Secara geomorfologi wilayah penelitian merupakan dataran rendah, dan terdapat satuan bentuklahan yang merupakan identitas rawan banjir yaitu aliran sungai mati, dataran banjir dan dataran aluvial (Setiawan et al., 2014). Berdasarkan elevasi sebagian besar wilayah penelitian memiliki elevasi rendah sampai sedang yaitu 2-14 m dpal, sehingga menjadi tempat muara aliran sungai mati dan saluran irigasi yang berasal dari desa bagian selatan wilayah penelitian. Kondisi tersebut mengakibatkan wilayah penelitian
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 151-163
menjadi tempat akumulasi air banjir Sungai Cidurian, yang mengalir dari Desa Koper dan Desa Gembor (Gambar 1b). Secara tekstur tanah, sebagian besar tekstur tanah wilayah penelitian merupakan berlempung. Kondisi tekstur tanah yang berlempung memiliki kemampuan infiltrasi air yang lambat (Purnama dan Mudjiatun, 2014). Berdasarkan distribusi spasial pada satuan bentuklahan, hasil analisis menunjukkan bahwa bahaya banjir wilayah penelitian dengan kategori kelas tinggi terdapat pada satuan bentuklahan dataran banjir yang berasosiasi dengan Sungai Cidurian, aliran sungai mati, dan dataran aluvial yang berasosiasi dengan saluran irigasi. Bahaya banjir dengan kategori sedang, terdapat pada satuan bentuklahan dataran banjir yang berasosiasi dengan aliran sungai mati, dan dataran aluvial. Bahaya banjir dengan kategori rendah terdapat pada satuan bentuklahan dataran aluvial antropogenik, tanggul alam, dan sebagian dataran aluvial. Satuan bentuklahan dataran banjir, aliran sungai mati, dan dataran aluvial merupakan satuan bentuklahan dengan kelas bahaya banjir tinggi, kondisi tersebut disebabkan oleh faktor pada satuan bentuklahan tersebut memiliki elevasi rata-rata 2-14 m dpal (rendah sampai sedang), dan berasosiasi dengan Sungai Cidurian serta saluran irigasi yang merupakan sumber banjir. Satuan bentuklahan dataran aluvial antropogenik dan tanggul alam merupakan kelas bahaya banjir rendah, karena memiliki elevasi yang lebih tinggi dibandingkan satuan bentuklahan lainnya yaitu 8-28 m dpal. Ditinjau berdasarkan penggunaan lahan, daerah dengan kelas bahaya banjir tinggi sampai sedang, sebagian besar terdapat pada penggunaan lahan yaitu sawah. Kondisi tersebut disebabkan oleh sebagian besar lahan sawah wilayah penelitian sebagian besar terletak pada elevasi rendah yaitu 2-8 m dpal.
Gambar 8. Peta Bahaya Banjir Wilayah Penelitian.
3.3. Analisis Kerentanan Lahan Sawah Padi Wilayah Penelitian Hasil penilaian kerentanan menghasilkan nilai indeks dan peta kerentanan dengan enam skenario. Peta kerentanan dengan skenario memiliki manfaat untuk memperbanyak analisis prediksi, karena semakin banyak analisis prediksi dapat diindikasikan semakin mendekati kondisi di lapangan. Nilai indeks kerentanan dengan skenario dapat dilihat pada Tabel 3, 4, 5, 6, 7 dan 8. Tabel 3. Nilai Kerentanan Skenario Bahaya. Interval Nilai Indeks
Kelas
Jumlah Lahan Sawah (Persil)
0,30 - 0,48
Rendah
45
0,49 - 0,67
Sedang
64
0,68 - 0,86
Tinggi
74
Analisis Kerentanan Lahan ... (Siti Dahlia, Sudibyakto, dan Dyah.R.Hizbaron)
159
Tabel 4. Nilai Kerentanan Skenario Fase Tanaman. Interval Nilai Indeks
Kelas
Jumlah Lahan Sawah (Persil)
0,30 - 0,45
Rendah
62
0,46 - 0,61
Sedang
83
0,62 - 0,77
Tinggi
38
Tabel 5. Nilai Kerentanan Skenario Produktivitas. Interval Nilai Indeks
Kelas
Jumlah Lahan Sawah (Persil)
0,30 - 0,48
Rendah
45
0,49 - 0,67
Sedang
88
0,68 - 0,86
Tinggi
50
Tabel 6. Nilai Kerentanan Skenario Luasan Lahan Sawah. Interval Nilai Indeks
Kelas
Jumlah Lahan Sawah (Persil)
0,30 - 0,48
Rendah
64
0,49 - 0,67
Sedang
61
0,68 - 0,86
Tinggi
58
Tabel 7. Nilai Kerentanan Skenario Jarak Lahan Sawah dari Sungai. Interval Nilai Indeks
Kelas
Jumlah Lahan Sawah (Persil)
0,30 - 0,48
Rendah
64
0,49 - 0,67
Sedang
61
0,68 - 0,86
Tinggi
58
Tabel 8. Nilai Kerentanan Skenario Seimbang (Equal). Interval Nilai Indeks
Kelas
Jumlah Lahan Sawah (Persil)
0,30 - 0,49
Rendah
38
0,50 - 0,69
Sedang
106
0,70 - 0,89
Tinggi
39
Hasil penilaian kerentanan berdasarkan enam skenario bobot kerentanan, menunjukkan bahwa nilai indeks kerentanan tertinggi terdapat pada skenario kerentanan bobot seimbang (equal), yaitu 0,30-0,89 (Tabel 8). Kondisi tersebut dapat diindikasikan pengaruh bobot setiap indikator yang seimbang yaitu masing-masing 0,20 (Tabel 2), 160
karena tinggi atau rendah nilai skor dan bobot dapat mempengaruhi hasil penilaian kerentanan total (Dahlia, 2016). Jumlah lahan sawah dalam persil memiliki tingkat kerentanan tinggi terbanyak, terdapat pada hasil penilaian kerentanan dengan skenario bobot bahaya yaitu 74 persil (Tabel 3). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa indikator bahaya memiliki kontribusi tinggi, dalam menentukan tingkat kerentanan lahan sawah padi wilayah penelitian. Selain itu, hasil analisis penilaian kerentanan berdasarkan skenario, menunjukkan bahwa potensi kerugian atau kerusakan lahan sawah padi akibat banjir tertinggi terdapat pada skenario bahaya. Informasi ini dapat menjadi dasar arahan untuk direkomendasikan kepada pihak terkait pengurangan risiko bencana, terkait skenario terburuk dampak dari kejadian banjir luapan Sungai Cidurian. Hasil peta interpolasi kerentanan dengan enam skenario pembobotan (Gambar 9 dan 10), menunjukkan bahwa terdapat pola spasial yang beragam. Berdasarkan distribusi spasial pada satuan bentuklahan, dari enam skenario terdapat kesamaan bahwa sebagian besar kelas kerentanan tinggi, terdapat pada lahan sawah yang berlokasi di dataran banjir dan dataran aluvial dekat saluran irigasi. Kondisi tersebut disebabkan pada satuan bentuklahan tersebut merupakan daerah yang memiliki tingkat bahaya banjir tinggi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa lahan sawah dengan tingkat kerentanan tinggi, sebagian besar terdapat pada lahan sawah dengan kelas bahaya banjir tinggi. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa variabel bahaya memiliki kontribusi tinggi dalam mempengaruhi tingkat kerentanan lahan sawah padi wilayah penelitian. Analisis lebih lanjut bahwa adanya kesamaan pola spasial terkait lokasi tingkat kerentanan tinggi dari enam skenario hasil penilaian kerentanan, sebagai dasar argumen bahwa hasil penilaian dan analisis kerentanan lahan sawah padi wilayah penelitian merupakan valid.
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 151-163
4.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan Penelitian ini terkait analisis kerentanan lahan sawah padi terhadap banjir DAS Cidurian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah penelitian sebagian besar terletak pada bahaya banjir sedang seluas 189,70 ha, dengan kelas bahaya banjir tinggi sampai sedang terdapat pada penggunaan lahan yaitu sawah. Hasil analisis menunjukkan bahwa wilayah penelitian dengan kategori kelas bahaya banjir tinggi terdapat pada satuan bentuklahan dataran banjir, aliran sungai mati, dan dataran aluvial yang berasosiasi dengan saluran irigasi. Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa faktor geomorfologi khususnya bentuk lahan, saluran irigasi, elevasi, dan tekstur tanah dapat diidentifikasikan mempengaruhi tingkat bahaya banjir wilayah penelitian. Hasil penilaian kerentanan dengan skenario bobot kerentanan menghasilkan indeks kerentanan lahan sawah tertinggi terdapat pada skenario seimbang (equal), dengan nilai indeks 0-0,89, dan terendah pada skenario fase tanaman dengan indeks kerentanan 0-0,77. Berdasarkan distribusi spasial pada satuan bentuklahan, terdapat kesamaan bahwa sebagian besar kelas kerentanan tinggi terdapat pada lahan sawah yang berlokasi di dataran banjir dan dekat saluran irigasi.
Gambar 9.
Peta Skenario Kerentanan (a) Skenario Bahaya, (b) Skenario Fase Tanaman, (c) Skenario Produktivitas, (d) Skenario Luasan Lahan.
4.2. Saran Penelitian ini terfokus pada elemen berisiko yaitu lahan sawah padi, yang dalam penilaian kerentanan tidak mengkaji terkait kondisi kapasitas petani secara spesifik. Berdasarkan hal tersebut untuk penelitian selanjutnya terkait kajian serupa, diharapkan dapat mengkaji terkait kapasitas petani wilayah penelitian, karena kondisi kapasitas petani dapat mempengaruh pengurangan kerentanan lahan sawah wilayah penelitian.
Gambar 10. Peta Skenario Kerentanan, (a) Skenario Jarak Lahan Sawah dari Sungai, (b) Skenario Seimbang (Equal).
UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. H.A. Sudibyakto, M.S, Ketua Program Minat Studi GeoInformasi untuk Manajemen Bencana atas
Analisis Kerentanan Lahan ... (Siti Dahlia, Sudibyakto, dan Dyah.R.Hizbaron)
161
kesempatannya kepada penulis untuk menuntut ilmu dalam kajian kebencanaan pada program Beasiswa Unggulan (BU) Kemendikbud. Selanjutnya, kepada Bapak Prof. Dr. H.A. Sudibyakto, M.S, dan Ibu Dr. Dyah R. Hizbaron, M.T, M.Sc. selaku dosen pembimbing penelitian. Kepada para petani Desa Renged atas partisipasinya, sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar. DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian. 2011. Pedoman Umum Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian Prosiding,
(diakses 19 Mei 2015). Cutter, S.L., Mitchell, J.T., dan Scott, M.S. 2000. Revealing the Vulnerability of People and Places: A Case Study of Georgetown County, South Carolina. Annals of the Association of American Geographers, 90(4), 713 737. Dahlia, Siti. 2016. Analisis Risiko Banjir pada Lahan Sawah Padi dengan Pendekatan Bentuklahan dan Persepsi Masyarakat di Desa Renged DAS Cidurian. Thesis: Universitas Gadjah Mada. Dang, N.M., Babel, M.S., dan Luong, H.T, 2010. Evaluation of Food Risk Parameters in The Day River Flood Diversion Area, Red River Delta, Vietnam. Journal of Natural Hazards 56:169-194. Deressa, T., M. Hassan, R., dan Ringler, C. 2008. Measuring Ethiopian Farmers’ Vulnerability to Climate Change Across Regional States. Paper: International Food Policy Research Institute.
162
Hizbaron, D.R., Baiquni, M., Sartohadi, J., dan Rijanta, R. 2012. Urban Vulnerability in Bantul District, Indonesia - Towards Safer and Sustainable Development. Sustainability: 4: 2022-2037; doi:10. 3390/su4092022. Irawan, Listyo. Y. 2015. Kajian Persepsi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengurangan Risiko Banjir Lahar Gunungapi Kelud di Desa Pandansari, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang. Thesis: Universitas Gadjah Mada. Islam, M.N., Malak. M.A., dan Islam, M. 2013. Community-based disaster risk and vulnerability models of a coastal municipality in Bangladesh. Journal of Natural Hazards 69:2083. Kundu, Sananda. 2010. Flood Characterisation and Inundation Pattern Mapping using Radarsat Imagery for Rice Vulnerability Assessment. Thesis: International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation dan Indian Institute Of Remote Sensing. Marfai, M.A., Andung, B.S., dan Philip W. 2014. Community Responses and Adaptation Strategies Toward Flood Hazard in Jakarta, Indonesia. Journal of Natural Hazards 75:1127-1144. Purnama, S., dan Mudjiatun, E. 2014. Aspek Air Tanah dalam Pengelolaan DAS, dalam Suprayogi., Purnama, dan Darmanto, 2014, Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Setiawan, M.A., H. Warsin., dan Sulistiyaningrum.Y. Potensi Bencana Hidrometeorologi di Kawasan Sub DAS Ampel, Kabupaten Jepara, dalam Sunarto., Marfai, M.A., dan
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Tahun 2016 Hal. 151-163
Setiawan, M.A. 2014. Geomorfologi dan Dinamika Pesisir Jepara, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sunarto., Rahayu, E., dan Nugrahaeni, L., Deskripsi Lingkungan Wilayah Pesisir Jepara, dalam Sunarto., Marfai, M.A., dan Setiawan, M.A., 2014, Geomorfologi dan Dinamika Pesisir Jepara, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Thywissen, Katherina. 2006. Core Terminology of Disaster Reduction: A Comparative Glossary dalam Measuring Vulnerability to Natural Hazards, Birkman, Jorn (editor), United Nations University Prss, Tokyo, hal: 448-496. Van Westen, C.J., Alkema, D., Damen, MCJ., Kerle, N., dan Kingma, NC. 2011. Multi Hazard Risk Assessment, United Nations University - ITC School on Disaster Geoinformation Management.
Verstappen, H. Th. 2014. Garis Besar Geomorfologi Indonesia, Diterjemahkan oleh Sutikno, Editor Suratman, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Widiarto, A.L, 2013, Agriculture Loss Caused By 2007 Flood and Its Household Impact A Case Study In Sidoharjo Village, Sragen Regency, Indonesia, Thesis: Universitas Gadjah Mada dan University Of Twenty. Zubaidah, A., Suwarsono, dan Purwaningsih, R. 2005. Analisa Daerah Potensi Banjir di Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan Menggunakan Citra AVHRR/NOAA-16, Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XI. LAPAN, hal : 127.
Analisis Kerentanan Lahan ... (Siti Dahlia, Sudibyakto, dan Dyah.R.Hizbaron)
163
FORMAT PENULISAN UNTUK JURNAL DIALOG PENANGGULANGAN BENCANA Judul (UPPERCASE, CENTER, BOLD FONT ARIAL 12) Nama Lengkap Penulis
}
Huruf dll lay out hal berikut
Abstract : Tuliskan tujuan dari kesimpulan artikel anda secara jelas dan singkat; dalam BAHASA INGGRIS maksimal 250 kata. Abstrak ditulis 4 cm dari sisi kiri dan sisi kanan dengan sentence, Justify, Italic, Font Arial 10. Keywords : bahasa Inggris paling banyak 10 kata (Sentence case, Justify, Italic, Arial 10).
1.
PENDAHULUAN (UPPERCASE, LEFT, BOLD, FONT ARIAL 10) Jurnal ini hanya memuat artikel yang disusun dengan isi dan format yang sesuai dengan ketentuan pada halaman ini dan contoh LAY OUT di halaman berikutnya.
1.1 Latar Belakang (Tinjauan Pustaka). (Titlecase, left, Bold, font Arial 10). Uraian tentang substansi penelitian atau tinjauan yang dilakukan penulis dengan dasar publikasi mutakhir. 1. 2 Tujuan (huruf seperti 1.1) Menjelaskan dengan singkat tujuan penelitian ataupun tujuan yang akan dilakukan. 2.
METODOLOGI Pada BAB ini penulis bisa membagi 2 atau 3 sub bab.
2.1 Tempat dan waktu penelitian ; menjelaskan di mana dan kapan penelitian dilakukan; 2.2 Sampling dan analisis sampel; yang menjelaskan bagaimana mengambil sampel dan dianalisis di mana dengan metode apa. 2.3 ............... (jika perlu)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN (huruf seperti 1.) Pada BAB ini penulis dapat membagi 2 sub bab atau lebih. 3.1 Laporan Penelitian (huruf seperti 1.1) Penulis harus menyampaikan data/ hasil pengamatannya. Hubungkan dan diskusikan dengan referensi hasil/hasil penelitian lain. Jelaskan mengapa hasil penelitian anda berbeda atau sama dengan referensi yang ada, kemudian ambil kesimpulannya. 3.2 Artikel Ulasan (Huruf seperti 1.1) Penulis menyampaikan “teori, pandangan dan hasil penelitian” peneliti lain tentang sebuah substansi/isu yang menarik. Diskusikan/kupas perbedaan dan persamaan referensi yang anda sampaikan tersebut. Ambil kesimpulan; yang akan lebih baik jika penulis mampu mensinergikan referensi yang ada menjadi sebuah pandangan baru. Tabel dan Gambar dapat disisipkan di tengah-tengah artikel. Contoh : Tabel 1. Judul Tabel (Capital Each Word, regular, ditulis di atas tabel).
Gambar 1. Judul Gambar (Capital Each Word, regular, ditulis di bawah gambar). 4.
KESIMPULAN DAN SARAN Penulis bisa membagi 2 sub bab: 4.1 kesimpulan yang berisi kesimpulan pada pembahasan dan 4.2. Saran diberikan jika ada hasil penelitian yang perlu ditindak lanjuti.
UCAPAN TERIMAKASIH Berisikan ucapan terima kasih penulis pada pihak yang membantu (kalau perlu saja).
DAFTAR PUSTAKA Berisi referensi yang diacu yang dalam artikel ditulis dengan superscript dan ditulis dengan cara berikut: 1.
Author, tahun Judul paper, jurnal/prosidang/ buku, Vol (no), hal/jumlah hal. (perhatikan cara menaruh singkatan nama sebagai author ke-1: Garno, Y.S. dan nama ke-2: Y.S. Garno).
LAYOUT PENULISAN 18.5 cm
Judul KARYA ILMIAH (UPPERCASE, CENTER, BOLD, FONT ARIAL 12)
Penulis (Tittlecase, center, Bold, Font Arial 10) Nama Unit Kerja (Tittlecase, Center, Reg, Arial 10)
ABSTRACT: sentence case, justify, italic, font Arial 10 Kata kunci: maksimal 5 kata; ditulis Sentence case, justify with last line aligned left, italic, Arial 10
1.5 cm
Footer 1.5 cm
Awal paragraph menjorok ke dalam 1,25 cm semua kalimat artikel selain judul bab dan subbab ditulis dengan MS Word, 1 spasi, sentence case, justify, regular, font Arial 10 0.5 cm
2 cm
Format penulisan jurnal ini terdiri dari 2 kolom dengan jarak antara kolom 0,5 cm dengan : Paper Size : Custom Size Width : 19,1 cm High : 26 cm Header : 1,25 cm Footer : 1 cm Top : 2,5 cm Bottom : 2,5 cm Left : 3 cm Right : 2,5 cm
2.5 cm