RENCANA NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA 2015 – 2019
PRIORITAS NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA
1 Renas PB 2015-2019
SAMBUTAN Dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU No. 24/2007), terutama Pasal 36, Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sesuai dengan mandatnya menyiapkan dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (Renas PB) 2015-2019. Dokumen Renas PB ini disusun berdasarkan capaian, tantangan dan peluang dalam melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana tahun 2010-2014 sebagaimana tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, Renas PB 2010-2014 dan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN-PRB) 2010-2012. Selanjutnya, subtansi utama Renas ini dilengkapi pula dengan kajian risiko bencana berdasarkan lokasi dan per bencana yang melibatkan 12 perguruan tinggi dan divalidasi melalui serangkaian diskusi publik baik dengan kementerian/lembaga dan non kementerian/lembaga. Dengan telah tersusunnya Renas PB 2015-2019, diharapkan dapat menjadi masukan dalam penyusunan RPJMN 2015-2019 dan menjadi rujuan bagi Kementerian/ Lembaga (K/L) dalam menyusun Rencana Srategisnya masing-masing dan implementasinya terkait dengan upaya penanggulangan bencana. Secara khusus, kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada K/L dan non K/L serta para pakar kebencanaan yang telah menyumbangkan pemikiran dan masukan dalam proses penyusunan dokumen Renas PB ini. Semoga Renas PB ini dapat mendorong terlaksananya penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia secara terarah, terkoordinasi dan terpadu sebagaimana diamanatkan oleh tujuan penanggulangan bencana Pasal 4 UU No. 24/2007.
Jakarta, Maret 2014 Kepala BNPB
Dr. Syamsul Maarif, M.Si.
2 Renas PB 2015-2019
RINGKASAN EKSEKUTIF RENAS PB TAHUN 2015-2019
Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea keempat menyatakan bahwa "Negara Kesatuan Republik Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Pernyataan ini merupakan komitmen negara untuk melindungi warganya untuk hidup sejahtera dan terhindar dari bahaya bencana. Untuk dapat melindungi warganya dari bencana, maka tidak ada pilihan lain kecuali menjadi bangsa yang sadar, tangguh dalam mengelola risiko bencana. Penerbitan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU No. 24/2007) menandai babak baru upaya penanggulangan bencana (PB). Selanjutnya, upaya PB telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perencanaan pembangunan sebagaimana tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Dari delapan misi pembangunan nasional yang tertuang dalamnya, topik Penanggulangan bencana masuk ke dalam narasi RPJPN. Secara tersurat, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 dan RPJMN 2015-2019 menjadikan penanggulangan bencana menjadi salah satu prioritasnya. Indonesia secara teratur terkena banjir, gempa bumi, tsunami, tanah longsor dan letusan gunung berapi, dan lain-lain menyebabkan hilangnya nyawa, perusakan harta benda, kemunduran ekonomi dan kerusakan lingkungan. Data menunjukkan bahwa kejadian bencana telah meningkat secara signifikan dalam dekade terakhir. Frekuensi kejadian terkait perubahan iklim meningkat, dengan lebih sering banjir dan tanah longsor, yang menunjukkan bahwa negara ini lebih rentan terhadap variabilitas iklim dan perubahan iklim. Laju degradasi dan kerusakan lingkungan masih menjadi ancaman bagi banyak wilayah yang menimbulkan kejadian bencana, seperti bencana banjir dan longsor. Terlebih dampak perubahan iklim global sangat mempengaruhi wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil. Gabungan antara dampak kerusakan lingkungan dan perubahan iklim meningkatkan kejadian bencana, terutama yang bersifat hidrometeorologi. Dalam kurun waktu sepuluh tahun (2004-2013) Indonesia dilanda oleh beragam bencana besar dengan total kerugian mencapai Rp 126,7 triliun. Kejadian bencana itu antara lain gempa bumi dan tsunami Aceh-Nias (2004), gempa bumi Yogyakarta 3 Renas PB 2015-2019
dan Jawa Tengah (2006), gempa bumi Sumatera Barat (2007), banjir Jakarta (2007), gempabumi Bengkulu (2007), gempa bumi Sumatera Barat (2009), tsunami Mentawai (2010), banjir bandang Wasior (2010), erupsi Gunung Merapi (2010), lahar dingin Gunung Merapi (2011), serta banjir Jakarta pada akhir 2012 dan awal 2013. Upaya penanggulangan bencana dalam lima tahun terakhir (2010-2014) telah mengalami perkembangan yang signifikan. Pemberlakuan UU No. 24/2007 dan turunannya telah menjadi landasan kokoh dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia. Capaian itu meliputi: (1) Aspek kerangka regulasi dan kelembagaan, (2) Aspek pengkajian risiko bencana dan penetapan peringatan dini, (3) Aspek IPTEK untuk membangun budaya aman, (4) Mengurangi risko-risiko mendasar, (5) Memperkuat kesiapsiagaan, (6) Integrasi perubahan iklim ke dalam pengurangan risiko bencana. Subtansi UU No. 24/2007 telah memberikan landasan yang kuat untuk melakukan upaya penanggulangan bencana secara terpadu, mulai dari pencegahan, kesiapsiagaan, tanggap darurat hingga pascabencana. Penanggulangan bencana bukan lagi ranah negara belaka melainkan telah menjadi urusan bersama. Dalam hubungan ini, maka Pasal 36 UU No. 24/2007 tentang perlunya penyelengaraan penanggulangan bencana dalam situasi bencana dengan menyusun Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB) di tingkat pusat dan Rencana Penanggulangan Bencana Daerah (RPBD) untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Renas PB adalah sebuah dokumen perencanaan yang memuat data dan informasi tentang risiko bencana yang ada di Indonesia dalam kurun waktu antara 2015-1019 dan rencana pemerintah untuk mengurangi risiko tersebut melalui program-program kegiatan. Renas PB merupakan komitmen dari pemerintah yang memuat upayaupaya pengurangan risiko bencana yang efektif, penanganan kondisi tanggap darurat yang efisien dan upaya pemulihan yang tepat sasaran. Program-program kegiatan dalam Renas PB disusun berdasarkan visi dan misi penanggulangan bencana serta rencana tindakan yang harus diambil sesuai dengan manajemen risikobencana. Secara khusus, Renas PB ini telah mengintegrasikan hasil evaluasi RPJMN 2010-2014 terkait penanggulangan bencana dan evaluasi terhadap pelaksanaan Renas PB 2010-2014. Selanjutnya, dalam pelaksanaannya perlu dipadukan dengan perencanaan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d dalam UU No. 24/2007.
4 Renas PB 2015-2019
Tujuan penyusunan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-1019 adalah: (1) Menyusun rencana penanggulangan bencana yang meliputi pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan berdasarkan analisis risiko bencana serta menentukan pilihan tindakan yang sesuai dengan fokus prioritas, program, sasaran, indikator capaian, dan kegiatan yang diperlukan, (2) Memberikan acuan kepada kementerian, lembaga pemerintah, dan lembaga non pemerintah serta seluruh pemangku kepentingan penanggulangan bencana di Indonesia agar dapat melaksanakan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh. Adapun visi yang ingin dicapai dalam upaya penanggulangan bencana adalah “Menjadikan Bangsa yang Tangguh Menghadapi Bencana”. Suatu bangsa yang tangguh bencana adalah bangsa yang memiliki kemampuan mengenali, mengantisipasi, mencegah, dan mengurangi risiko bencana serta mampu mengatasi secara efektif jika terjadi bencana, kemudian mampu bangkit kembali setelah bencana untuk melanjutkan kehidupannya. Untuk mewujudkan “bangsa yang tangguh bencana” tersebut, dirumuskan misi sebagai berikut (1) Membangun efektivitas dalam upaya pengurangan risiko bencana pada kawasan yang memiliki risiko bencana, terutama pada pusat-pusat pertumbuhan pembangunan, (2) Meningkatkan efektivitas penanganan tanggap darurat, (3) Melakukan optimalisasi dan percepatan pemulihan wilayah pasca bencana, dan masyarakat yang terkena bencana untuk lebih mandiri, (4) Meningkatkan kemampuan dan akuntabilitas dalam tata kelola penanggulangan bencana. Arah kebijakan nasional yang akan diwujudkan melalui Renas PB 2015-2019 adalah sebagai berikut: (1) Terselenggaranya upaya pengurangan risiko bencana secara efektif yang didukung dengan meningkatnya kesadaran, kesiapan, dan kemampuan aparat pemerintah baik di tingkat pusat dan daerah dan kelembagaan masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana melalui peningkatan kapasitas kelembagaan para pemangku kepentingan, (2) Terlaksananya sistem penanganan kedaruratan bencana yang efektif melalui peningkatan koordinasi penanganan kedaruratan, peningkatan keandalan sarana dan prasarana pendukung, serta peningkatan kinerja sistem logistik dan peralatan penanggulangan bencana yang efektif dan efisien, (3) Terlaksananya efisiensi dalam upaya rehabilitasi dan rekonstruksi dengan hasil yang lebih baik dibanding sebelum bencana, melalui peningkatan kapasitas perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang handal, peningkatan koordinasi pelaksanaan serta pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam setiap kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam rangka pembangunan berkelanjutan, (4) Terlaksananya 5 Renas PB 2015-2019
mekanisme dan sistem untuk menjamin adanya akuntabilitas dan transparansi serta tata kelola penanggulangan bencana di tingkat pusat dan daerah. Adapun progam penanggulangan bencana terdiri dari dari 7 (tujuh) fokus prioritas yaitu (1) Penguatan kerangka hukum penanggulangan bencana, (2) Pengarusutamaan PB dalam pembangunan, (3) Peningkatan kemitraan multi pihak dalam penanggulangan bencana, (4) Peningkatan efektivitas pencegahan dan mitigasi bencana, (5) Peningkatan kesiapsiagaan dan penanganan darurat bencana, (6) Peningkatan kapasitas pemulihan bencana, dan (7) pemenuhan tata kelola bidang penanggulangan bencana. Fokus prioritas ini dilengkapi dengan 100 (seratus) indikator capaian untuk memastikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pihak baik K/L maupun non-K/L guna mencapai sasaran yang diinginkan. Untuk menjabarkan Renas PB secara operasional dilengkapi dengan rencana aksi nasional. Mengacu pada sasaran pembangunan nasional di bidang penanggulangan bencana dan prioritas nasional sebagaimana tercantum dalam RPJMN 2015-2019, maka sasaran strategis Renas PB 2015-2019 mengarahkan untuk (1) Tersedianya perangkat hukum yang mendorong penyelenggaraan penanggulangan bencana, (2) Terintegrasinya penanggulangan bencana pada kegiatan pembangunan, (3) Meningkatnya efektivitas mekanisme penyelenggaraan penanggulangan bencana, (4) Diterapkannya strategi yang menjamin terlaksananya pemberdayaan masyarakat secara sinergi, (5) Meningkatnya kemitraan multi-pihak, (6) Meningkatnya upaya pencegahan dan mitigasi untuk mengurangi potensi korban jiwa, kerugian ekonomi, (7) Meningkatnya kesiapsiagaan dan penanganan darurat, (8) Tersedianya mekanisme pendukung dalam menjamin terselenggaranya pemulihan dampak bencana, (9) Terselenggaranya pemulihan dampak bencana secara lintas sektor, (10) Meningkatnya kapasitas SDM serta kelembagaan pemerintah dan non pemerintah terkait penanggulangan bencana. Sumber pendanaan penanggulangan bencana sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana (PP No. 22/2008) berasal dari (1) Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), (2) Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), dan atau (3) Masyarakat. Yang dimaksud dengan masyarakat sebagaimana tercantum dalam penjelasan PP No. 22/2008 ini adalah orang perseorangan,badan usaha, lembaga swadaya masyarakat baik dalam dan luar negeri. Penggunaan dana penanggulangan bencana dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, BPNB dan/atau PBPD sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Dana penanggulangan bencana digunakan sesuai dengan penyelenggaraan penangulangan bencana yang meliputi tahap prabencana, saat tanggap darurat dan/atau pascabencana. 6 Renas PB 2015-2019
Renas PB 2015-2019 merupakan amanat regulasi yang terkait dengan perencanaan pembangunan dan penanggulangan bencana. Guna menjamin optimalisasi dalam implementasi Renas PB, diperlukan pemantauan (monitoring), evaluasi dan pelaporan (MEP). Monitoring, evaluasi, dan pelaporan bertujuan untuk mengendalikan pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan agar sesuai dengan rencana yang telah disusun. Pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan dilakukan untuk menjamin tercapainya tujuan-tujuan dan sasaran pembangunan. Pelaksanaan MEP Renas PB bertujuan untuk: (1) memantau secara terus menerus proses pelaksanaan Renas PB, (2) mengantisipasi kendala dan permasalahan dalam pelaksanaan Renas PB sedini mungkin, (3) pencapaian standar minimum dan peningkatan kinerja PB, (4) penyusunan informasi dan pelaporan pencapaian kegiatan PB yang cepat, tepat dan akurat secara berkala dan berjenjang, serta (5) penyusunan rekomendasi bagi perbaikan implementasi dan perencanaan PB secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
7 Renas PB 2015-2019
DAFTAR ISI
SAMBUTAN .......................................................................................................... 2 RINGKASAN EKSEKUTIF RENAS PB TAHUN 2015-2019 ........................................... 3 DAFTAR ISI ......................................................................................................... 8 DAFTAR SINGKATAN .......................................................................................... 12 DAFTAR TABEL .................................................................................................. 15 DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... 16 BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 18 1.1.
Latar Belakang ...................................................................................... 18
1.2.
Tujuan .................................................................................................. 20
1.3.
Arahan RPJPN 2005-2025, RPJMN II dan RPJMN III ................................. 21
1.4.
Kedudukan Dokumen dan Landasan Hukum ............................................ 23
1.5.
Kaidah Pelaksanaan ............................................................................... 28
1.6.
Proses Penyusunan ................................................................................ 29
BAB II GAMBARAN UMUM KEBENCANAAN ........................................................... 33 2.1.
Risiko Bencana Indonesia ....................................................................... 33
2.1.1.
Risiko Bencana per Provinsi dan Kabupaten/Kota ............................... 34
2.1.2.
Risiko Bencana Geologi .................................................................... 38
2.1.3.
Risiko Hidrometeorologi ................................................................... 49
2.1.4.
Risiko Biologi ................................................................................... 61
2.1.5.
Risiko Gagal Teknologi ..................................................................... 64
2.2.
Kerentanan ........................................................................................... 68
2.2.1.
Sosial Budaya .................................................................................. 68
2.2.2.
Ekonomi.......................................................................................... 71
2.2.3.
Fisik ................................................................................................ 72
2.2.4.
Ekologi ............................................................................................ 73
2.3.
Kapasitas .............................................................................................. 76
2.3.1.
Regulasi Penanggulangan Bencana ................................................... 76
2.3.2.
Kelembagaan Penanggulangan Bencana ........................................... 77
8 Renas PB 2015-2019
2.3.3.
Perencanaan Penanggulangan Bencana ............................................ 78
2.3.4.
Penganggaran Penanggulangan Bencana .......................................... 78
BAB III CAPAIAN, ISU DAN PERMASALAHAN PENANGGULANGAN BENCANA ......... 81 3.1.
Capaian Upaya PB ................................................................................. 81
3.1.1.
Kerangka Regulasi dan Kelembagaan ................................................ 81
3.1.2.
Pengkajian Risiko Bencana Penetapan Peringatan Dini ....................... 82
3.1.3.
IPTEK untuk Membangun Budaya Aman ........................................... 83
3.1.4.
Mengurangi Risko-Risiko Mendasar ................................................... 84
3.1.5.
Memperkuat Kesiapsiagaan .............................................................. 85
3.1.6.
Perubahan Iklim .............................................................................. 86
3.2.
Peluang dan Tantangan ........................................................................ 88
3.2.1.
Kerangka Hukum dan Kelembagaan .................................................. 88
3.2.2.
Perencanaan ................................................................................... 90
3.2.3.
Penganggaran PB ............................................................................ 91
3.2.4.
Penyelenggaraan PB ........................................................................ 93
3.2.5.
Sinergi Penanggulangan Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim ........ 96
3.2.6.
Komitmen dan Kerjasama Internasional dan Regional ...................... 100
3.2.7.
Kemitraan di Tingkat Nasional ........................................................ 104
3.3.
Isu dan Permasalahan .......................................................................... 105
3.3.1.
Penguatan Kerangka Hukum dan Kelembagaan. .............................. 106
3.3.2.
Pengarusutamaan PB dalam Pembangunan ..................................... 106
3.3.3.
Peningkatan Efektivitas PB ............................................................. 106
3.3.4.
Optimalisasi Pemberdayaan Masyarakat untuk PB ............................ 107
3.3.5.
Peningkatan Kemitraan Multi Pihak ................................................. 107
3.3.6.
Peningkatan Efektivitas Pencegahan dan Mitigasi Bencana ............... 108
3.3.7.
Peningkatan Kesiapsiagaan dan Penanganan Darurat Bencana ......... 109
3.3.8.
Penyelenggaraan Pemulihan Dampak Bencana ................................ 109
3.3.9.
Penyiapan Unsur Pendukung Pemulihan Bencana ............................ 110
3.3.10. Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas Tata Kelola PB ................... 110 BAB IV KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA 2015-2019 ............................ 112 4.1.
Visi ..................................................................................................... 112
4.2.
Misi ..................................................................................................... 112 9 Renas PB 2015-2019
4.3.
Tujuan ................................................................................................ 113
4.4.
Sasaran ............................................................................................... 114
4.5.
Arah Kebijakan Nasional Penyelenggaraan PB 2015-2019 ....................... 114
4.6.
Strategi Penyelenggaraan PB 2015-2019 ............................................... 116
4.6.1.
Penguatan Kerangka Hukum dan Kelembagaan PB .......................... 116
4.6.2.
Mengarusutamakan PB dalam Pembangunan .................................. 116
4.6.3.
Peningkatan Efektivitas PB ............................................................. 117
4.6.4.
Optimalisasi Pemberdayaan Masyarakat untuk PB ............................ 117
4.6.5.
Peningkatan Kemitraan Multi Pihak dalam PB .................................. 118
4.6.6.
Peningkatan Efektivitas Pencegahan dan Mitigasi Bencana ............... 118
4.6.7.
Peningkatan Kesiapsiagaan dan Penanganan Darurat Bencana ......... 119
4.6.8.
Penyelenggaraan Pemulihan Dampak Bencana ................................ 120
4.6.9.
Penyiapan Unsur Pendukung Pemulihan Bencana ............................ 120
4.6.10. Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas Tata Kelola PB ................... 121 4.7.
Penataan Kelembagaan ........................................................................ 121
BAB V PROGRAM PENANGGULANGAN BENCANA ................................................ 128 5.1.
Fokus Prioritas Renas PB 2015-2019 ..................................................... 128
5.2.
Sasaran Renas PB 2015-2019 ............................................................... 129
5.3.
Indikator Capaian Renas PB 2015-2019 ................................................. 132
BAB VI RENCANA AKSI ..................................................................................... 139 6.1. Dasar Pertimbangan ............................................................................... 139 6.2
Perkembangan Penyusunan Rencana Aksi Pengurangan Risiko Bencana . 140
6.3.
Rencana Aksi dalam Renas PB 2015-2019 .......................................... 141
BAB VII PENDANAAN PENANGGULANGAN BENCANA .......................................... 144 7.1. Sumber Pendanaan ................................................................................ 144 7.2. Penggunaan Dana .................................................................................. 145 7.2.1.
Penggunaan Dana Pra Bencana ...................................................... 145
7.2.2.
Penggunaan Dana Saat Bencana (Tanggap Darurat) ........................ 146
7.2.3.
Penggunaan Dana Pascabencana.................................................... 147
7.3. Pengawasan dan Laporan Pertanggungjawaban ....................................... 148 7.3.1.
Pengawasan .................................................................................. 148
7.3.2.
Laporan Pertanggungjawaban ........................................................ 148
10 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
BAB VIII PEMANTAUAN, EVALUASI DAN PELAPORAN ......................................... 149 8.1. Pemantauan .......................................................................................... 150 8.2. Evaluasi ................................................................................................. 151 8.3. Pelaporan .............................................................................................. 152 8.4. Mekanisme MEP ..................................................................................... 153
11 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
DAFTAR SINGKATAN AIDS
Acquired Immune Deficiency Syndrome
BAPETEN
Badan Pengawas Tenaga Nuklir
BATAN
Badan Tenaga Nuklir Nasional
BIG
Badan Informasi Geospasial
BMKG
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
BNPB
Badan Nasional Penanggulangan Bencana
BPBD
Badan Penanggulangan Bencana Daerah
BPPT
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
BPS
Badan Pusat Statitstik
BPN
Badan Pertanahan Negara
BASARNAS
Badan SAR Nasional
BSN
Badan Standardisasi Nasional
DAS
Daerah Aliran Sungai
DDI
Disaster Defisit Index atau Indeks Defisit Bencana
DIBI
Data dan Informasi Bencana Indonesia
DBD
Demam Berdarah Dengue
HIV
Human Immunodeficiency Virus
HDRI
Historical Disaster Risk Index
IRBI
Indeks Rawan Bencana Indonesia
IOD
Indian Ocean Dipole
JICA
Japan International Cooperation Agency
K/L
Kementerian/Lembaga
Kemenko Kesra
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
Kemendagri
Kementerian Dalam Negeri
Kemenlu
Kementerian Luar Negeri
Kemenhan
Kementerian Pertahanan
Kemenkumham
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
12 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Kemenkeu
Kementerian Keuangan
Kemen ESDM
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Kemenhut
Kementerian Kehutanan
Kementan
Kementerian Pertanian
Kemenhub
Kementerian Perhubungan
Kemen KP
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Kemen PU
Kementerian Pekerjaan Umum
Kemenkes
Kementerian Kesehatan
Kemendikbud
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Kemensos
Kementerian Sosial
Kemenkominfo
Kementerian Komunikasi dan Informatika
Kemenakertrans
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kemenristek
Kementerian Riset dan Teknologi
Kemen LH
Kementerian Lingkungan Hidup
Kemen KUKM
Kementerian Negera Urusan Koperasi dan UKM
Kemen PDT
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal
Kemen PPN/
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
BAPPENAS
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Kemenpera
Kementerian Perumahan Rakyat
KLB
Kejadian Luar Biasa
KPB
Konsorsium Pendidikan Bencana
LIPI
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
LAPAN
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
NOAA
National Oceanic and Atmospheric Administration
Planas PRB
Platform Nasional untuk Pengurangan Risiko Bencana
PODES
Potensi Desa
Perpres
Peraturan Presiden
Perka BNPB
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
POLRI
Kepolisian Republik Indonesia
13 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Pusdatinmas
Pusat Data, Informasi dan Humas
PVMBG
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
SIMPADU
Sistem Informasi Terpadu
SKPD
Satuan Kerja Perangkat Daerah
RAN PRB
Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana
Renas PB
Rencana Nasional Penanggulangan Bencana
Renstra
Rencana Strategis
Renja
Rencana Kerja
RKP
Rencana Kerja Pemerintah
RPJMN
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RPJPN
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
RPJMD
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RPJPD
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
RPB Daerah
Rencana Penanggulangan Bencana Daerah
SDA
Sumber Daya Air
TNI
Tentara Nasional Indonesia
UUD
Undang-Undang Dasar
WS
Wilayah Sungai
14 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Topik Penanggulangan Bencana dalam RPJPN 2005-2025 ....................... 21 Tabel 2: Indeks Risiko Bencana Provinsi .............................................................. 34 Tabel 3: Peristiwa Tsunami Indonesia yang Disebabkan oleh Gempabumi ............. 42 Tabel 4: Gunungapi Aktif di Indonesia ................................................................. 44 Tabel 5: Fenomena Bencana Gerakan Tanah (Tanah Longsor) .............................. 47 Tabel 6: Keterkaitan Program, Fokus Prioritas dan Sasaran PB ............................ 130
15 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Kedudukan Renas PB dalam Perencanaan Pembangunan ..................... 24 Gambar 2: Instrumen Sinergi dlm Koordinasi PB .................................................. 25 Gambar 3: Sinergi Lintas Sektor dalam Impelementasi Renas PB 2015-2019 ......... 29 Gambar 4: Sistematika Isi Renas PB 2015-2019 ................................................... 32 Gambar 5: Metode Pengkajian Risiko Bencana ..................................................... 34 Gambar 6: Peta Indeks Risiko Bencana Provinsi ................................................... 36 Gambar 7: Perbandingan Jumlah Kejadian Bencana Berdasarkan Jenis Bencana Periode 1982-2012 ............................................................................................. 37 Gambar 8: Trend Jumlah Kejadian Bencana Periode 1982-2012 ............................ 37 Gambar 9: Jumlah Korban Meninggal-Hilang Akibat Bencana Periode 1982-2012 .. 38 Gambar 10: Peta Kegempaan di Indonesia .......................................................... 39 Gambar 11: Peta Kejadian Gempabumi dengan Magnitude di atas 6,5 pada 20042012 ................................................................................................................. 40 Gambar 12: Peta Indeks Risiko Bencana Gempabumi ........................................... 41 Gambar 13: Peta Indeks Risiko Bencana Tsunami ................................................ 43 Gambar 14: Sebaran Gunungapi Aktif di Indonesia .............................................. 45 Gambar 15: Peta Indeks Risiko Bencana Gunungapi ............................................. 46 Gambar 16: Peta Indeks Risiko Bencana Gerakan Tanah ...................................... 48 Gambar 17: Peta Indeks Risiko Bencana Banjir .................................................... 51 Gambar 18: Peta Indeks Risiko Bencana Kekeringan ............................................ 54 Gambar 19: Peta Indeks Risiko Bencana Cuaca Ekstrim ........................................ 57 Gambar 20: Peta Indeks Risiko Bencana Abrasi.................................................... 58 16 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Gambar 21: Peta Indeks Risiko Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan ................... 61 Gambar 22: Peta Risiko Bencana Epidemi dan Wabah Penyakit ............................. 64 Gambar 23: Peta Risiko Bencana Gagal Teknologi ................................................ 67 Gambar 24: Paparan Bahaya Bencana di Indonesia .............................................. 68 Gambar 25:Perkembangan Kemiskinan di Indonesia 2004-2012............................ 69 Gambar 26: Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dengan Jumlah Kejadian Bencana Tiap Provinsi di Indonesia ..................................................................... 70 Gambar 27: Skema Dampak Perubahan Iklim Akibat Peningkatan Suhu Global ..... 87 Gambar 28: Mekanisme Pelaksanaan MEP Renas PB 2015-2019 ......................... 154
17 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea keempat menegaskan bahwa "Negara Kesatuan Republik Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa". Pernyataan ini menunjukkan komitmen awal para pendiri Bangsa Indonesia dalam melindungi, mensejahterakan dan mencerdaskan segenap bangsa Indonesia. Komitmen awal ini sangat terkait erat dengan upaya penanggulangan bencana agar menjadi bangsa yang sadar dan tangguh dalam mengelola risiko bencana. Pembangunan yang dilakukan di suatu wilayah masih sering dilakukan tanpa mengikuti rencana tata ruang, tidak mempertimbangkan keberlanjutan dan daya dukung lingkungan, serta tidak memerhatikan kerentanan wilayah terhadap terjadinya bencana. Keinginan untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek seringkali menimbulkan keinginan untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, sehingga akan menurunkan kualitas dan kuantitas sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta memperbesar risiko bencana. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data Badan Informasi Geospasial (BIG) pada 2013 jumlah pulau di Indonesia ada 13.466 pulau. Luas daratan adalah 1.922.570 Km2 (37,1%), dan luas perairan adalah 3.257.483 Km2 (62,9%), hingga total luas Indonesia adalah 5.180.053 Km2. Garis pantainya kurang lebih sepanjang 81.000 Km. Pulau-pulau Indonesia terbentuk sepanjang garis yang berpengaruh kuat antara perubahan lempeng-lempeng teknotik Australia, Pasifik, Eurasia, dan Philipina. Dimana pertemuan lempeng ini membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang paling banyak berubah wilayah geologinya. Tidak kurang dari 5.590 daerah aliran sungai (DAS) baik berskala besar maupun kecil, yang membentuk wilayah-wilayah sungai, tersebar dari Sabang sampai Merauke. Iklim indonesia dipengaruhi oleh letak geografisnya di daerah iklim tropis, wilayahnya berbentuk kepulauan. Terbentang sepanjang 6.400 Km diantara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Memiliki tiga pola iklim, yakni iklim monsonal, iklim ekuatorial, dan iklim lokal. Tidak semua wilayah Indonesia mempunyai pola hujan yang sama. Sementara curah hujan merupakan parameter iklim yang paling 18 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
mempengaruhi pola kehidupan masyarakat. Indonesia secara teratur terkena banjir, gempa bumi, tsunami, gerakan tanah (tanah longsor) dan letusan gunung berapi, menyebabkan hilangnya nyawa, perusakan harta benda, kemunduran ekonomi dan kerusakan lingkungan. Data menunjukkan bahwa kejadian bencana telah meningkat secara signifikan dalam dekade terakhir. Frekuensi kejadian terkait iklim meningkat, dengan lebih sering banjir dan gerakan tanah (tanah longsor), yang menunjukkan bahwa negara ini lebih rentan terhadap variabilitas iklim dan perubahan iklim. Laju degradasi dan kerusakan lingkungan masih menjadi ancaman bagi banyak wilayah yang menimbulkan kejadian bencana, seperti bencana banjir dan longsor. Terlebih dampak perubahan iklim global sangat mempengaruhi wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil. Gabungan antara dampak kerusakan lingkungan dan perubahan iklim meningkatkan kejadian bencana, terutama yang bersifat hidrometeorologi. Dalam kurun waktu sepuluh tahun (2004-2013) Indonesia dilanda oleh beragam bencana besar dengan total kerugian mencapai Rp126,7 triliun. Kejadian bencana itu antara lain gempa bumi dan tsunami Aceh-Nias (2004), gempa bumi Yogyakarta dan Jawa Tengah (2006), gempa bumi Sumatera Barat (2007), banjir Jakarta (2007), gempabumi Bengkulu (2007), gempa bumi Sumatera Barat (2009), tsunami Mentawai (2010), banjir bandang Wasior (2010), erupsi Gunung Merapi (2010), lahar dingin Gunung Merapi (2011), serta banjir Jakarta pada akhir 2012 dan awal 2013. Selain bencana-bencana berskala besar (intensive disaster) yang pernah tercatat dalam sejarah, Indonesia juga tidak lepas dari bencana kecil (local disaster) yang terjadi hampir setiap tahun yang menimbulkan kerugian tidak sedikit. Banjir yang hampir setiap tahun menimpa Jakarta dan wilayah sekitarnya kota-kota di sepanjang daerah aliran sungai Bengawan Solo dan beberapa daerah lain di Indonesia menimbulkan kerugian material dan non-material senilai triliunan rupiah. Demikian pula kekeringan yang semakin sering terjadi di beberapa daerah di Indonesia, selain mengancam produksi tanaman pangan juga kian mempermiskin penduduk yang mata pencahariannya tergantung daripertanian, perkebunan dan peternakan. Untuk menghadapi meningkatnya potensi dan kompleksitas bencana di masa depan dengan lebih baik, Indonesia memerlukan suatu rencana makro yang sifatnya terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh. Rencana ini menggambarkan kondisi yang diinginkan oleh pemerintah Republik Indonesia dalam 5 (lima) tahun mendatang
19 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
mengenai penanggulangan bencana. Proses perencanaan tersebut dimulai dari identifikasi bahaya (hazard), kerentanan dan kapasitas hingga analisis risiko bencana, sampai dengan disusunannya program kegiatan dan fokus prioritas yang akan dilakukan, serta keterlibatan kementerian/lembaga (K/L) dan besarnya anggaran yang dibutuhkan. Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB) 2015-1019 merupakan wujud dari upaya pemerintah untuk merumuskan program-program kegiatan dan fokus prioritas penanggulangan bencana. Penyusunan Renas PB juga merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU No. 24/2007). Renas PB adalah sebuah dokumen perencanaan yang memuat data dan informasi tentang risiko bencana yang ada di Indonesia dalam kurun waktu antara 2015-1019 dan rencana pemerintah untuk mengurangi risiko tersebut melalui program-program kegiatan. Renas PB merupakan komitmen dari pemerintah yang memuat upayaupaya pengurangan risiko bencana yang efektif, penanganan kondisi tanggap darurat yang efisien dan upaya pemulihan yang tepat sasaran. Program-program kegiatan dalam Renas PB disusun berdasarkan visi dan misi penanggulangan bencana serta rencana tindakan yang harus diambil sesuai dengan manajemen risikobencana. Secara khusus, Renas PB ini telah mengintegrasikan hasil evaluasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 terkait penanggulangan bencana dan evaluasi terhadap pelaksanaan Renas PB 2010-2014. Selanjutnya, dalam pelaksanaannya perlu dipadukan dengan perencanaan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d dalam UU No. 24/2007.
1.2. Tujuan Tujuan penyusunan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-1019 adalah: 1. Menyusun rencana penanggulangan bencana yang meliputi pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan berdasarkan analisis risiko bencana serta menentukan pilihan tindakan yang sesuai dengan fokus prioritas, program, sasaran, indikator capaian, dan kegiatan yang diperlukan. 2. Memberikan acuan kepada kementerian, lembaga pemerintah, dan lembaga non pemerintah serta seluruh pemangku kepentingan penanggulangan bencana di Indonesia agar dapat melaksanakan penanggulangan bencana
20 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh.
1.3. Arahan RPJPN 2005-2025, RPJMN II dan RPJMN III Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 memberikan perhatian besar dalam upaya penanggulangan bencana. Sebagai penjabaran dari UUD 1945, RPJPN disusun dengan pertimbangan dasar bahwa kondisi umum negara Indonesia berada pada wilayah yang sangat rawan bencana. Dari delapan misi pembangunan nasional yang tertuang dalam RPJPN 2005-2025, topik penanggulangan bencana masuk ke dalam narasi RPJPN tersebut antara lain dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1: Topik Penanggulangan Bencana dalam RPJPN 2005-2025 Misi dalam RPJPN 2005-2025 Nomor Misi Misi Ke-2
Arah Pembangunan Jangka Panjang
Uraian Misi Mewujudkan bangsa yang berdayasaing.
Pengendalian daya rusak air mengutamakan pendekatan nonkonstruksi melalui konservasi sumber daya air dan keterpaduan pengelolaan daerah aliran sungai. Peningkatan partisipasi masyarakat dan kemitraan di antara pemangku kepentingan terus diupayakan tidak hanya pada saat bencana, tetapi juga pada tahap pencegahan serta pemulihan pascabencana.
Misi Ke-5
Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan.
Pembangunan kesejahteraan sosial juga dilakukan dengan memberi perhatian yang lebih besar pada kelompok masyarakat yang kurang beruntung, termasuk masyarakat miskin dan masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil, tertinggal, dan wilayah bencana.
Misi Ke-6
Mewujudkan Indonesia asri dan lestari.
Mitigasi bencana alam sesuai dengan kondisi geologi Indonesia.
Misi Ke-7
Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat,
Mengurangi dampak bencana pesisir dan pencemaran laut dilakukan melalui (a) pengembangan sistem mitigasi bencana, (b) pengembangan sistem peringatan dini, (c)
21 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Misi dalam RPJPN 2005-2025 Nomor Misi
Arah Pembangunan Jangka Panjang
Uraian Misi dan berbasiskan kepentingan nasional.
pengembangan perencanaan nasional darurat tumpahan minyak di laut.
tanggap
Pelaksanaan RPJPN 2005-2025 terbagi dalam tahap-tahap perencanaan pembangunan dalam periodisasi perencanaan pembangunan jangka menengah nasional lima tahunan, yang dituangkan dalam RPJMN I (2005–2009), RPJMN II (2010–2014), RPJMN III (2015–2019), dan RPJMN IV (2020–2024). Disini akan fokus pada RPJMN II dan RPJMN III, antara lain: 1. RPJM II (2010–2014) ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan iptek serta penguatan daya saing perekonomian. 2. RPJM III (2015–2019) ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan iptek yang terus meningkat. Dari 11 (sebelas) Prioritas Nasional dalam RPJMN 2010-2014, upaya penanggulangan bencana masuk pada Prioritas No. 9, yaitu Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana. Konservasi dan pemanfaatan lingkungan hidup mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang keberlanjutan, disertai penguasaan dan pengelolaan risiko bencana untuk mengantisipasi perubahan iklim. Oleh karena itu, substansi inti program aksi bidang lingkungan hidup dan pengelolaan bencana adalah sebagai berikut: 1. Perubahan iklim: Peningkatan keberdayaan pengelolaan lahan gambut, peningkatan hasil rehabilitasi seluas 500,000 ha per tahun, dan penekanan laju deforestasi secara sungguh-sungguh di antaranya melalui kerja sama lintas kementerian terkait serta optimalisasi dan efisiensi sumber pendanaan seperti dana Iuran Hak Pemanfaatan Hutan (IHPH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), dan Dana Reboisasi. 2. Pengendalian Kerusakan Lingkungan: Penurunan beban pencemaran lingkungan melalui pengawasan ketaatan pengendalian pencemaran air limbah dan emisi di 680 kegiatan industri dan jasa pada 2010 dan terus
22 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
berlanjut, Penurunan jumlah hotspot kebakaran hutan sebesar 20% per tahun dan penurunan tingkat polusi keseluruhan sebesar 50% pada 2014, Penghentian kerusakan lingkungan di 11 Daerah Aliran Sungai yang rawan bencana mulai 2010 dan seterusnya. 3. Sistem Peringatan Dini: Penjaminan berjalannya fungsi Sistem Peringatan Dini Tsunami (TEWS) dan Sistem Peringatan Dini Cuaca (MEWS) mulai 2010 dan seterusnya, serta Sistem Peringatan Dini Iklim (CEWS) pada 2013. 4. Penanggulangan bencana: Peningkatan kemampuan penanggulangan bencana melalui: 1) penguatan kapasitas aparatur pemerintah dan masyarakat dalam usaha mitigasi risiko serta penanganan bencana dan bahaya kebakaran hutan di 33 provinsi, dan 2) pembentukan tim gerak cepat (unit khusus penanganan bencana) dengan dukungan peralatan dan alat transportasi yang memadai dengan basis di dua lokasi strategis (Jakarta dan Malang) yang dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Dalam RPJMN 2015-2019 arah kebijakan nasional bidang penanggulangan bencana ditujukan kepada penguatan tata kelola penanggulangan bencana di pusat dan daerah pada seluruh tingkatan pemerintahan dan masyarakat termasuk perguruan tinggi, lembaga masyarakat dan lembaga usaha guna meningkatkan ketangguhan dalam menghadapi bencana. Uraian lebih arah kebijakan tersebut dipaparkan dengan lebih detail dalam Renas PB 2015-2019 dan kemudian menjadi panduan bagi K/L dalam menjabarkan isu penanggulangan bencana pada masing-masing renstranya.
1.4. Kedudukan Dokumen dan Landasan Hukum Tujuan upaya penanggulangan bencana menurut Pasal 4 huruf c dalam UU No. 24/2007 adalah “Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh”. Agar upaya penyelenggaraan penanggulangan bencana ini dapat dilakukan dengan baik, maka perlu ada suatu perencanaan dan koordinasi yang baik. Sebagai salah satu prioritas nasional yang tercantum dalam RPJPN dan RPJMN, maka penanggulangan bencana harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU No. 25/2004). Hal ini selaras dengan amanat Pasal 2 ayat 2 dan ayat 4 UU No. 25/2004 yang berbunyi “Perencanaan pembangunan nasional disusun secara sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap terhadap perubahan”. Sedangkan ayat 4 23 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
menyebutkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk: 1. Mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan. 2. Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara pusat, dan daerah. 3. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan. 4. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat. 5. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Gambar 1: Kedudukan Renas PB dalam Perencanaan Pembangunan
Sumber: Bappenas. Penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan urusan bersama, maka pendekatan yang dilakukan adalah dengan multisektor dan multipihak. Urusan penanggulangan bencana ini tidak hanya menjadi tanggung jawab Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) saja, tetapi juga urusan Kementerian/Lembaga (K/L) di tingkat pusat Satuan 24 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait di tingkat daerah. Renas PB merupakan rencana pemerintah lintas sektor yang berlaku selama lima tahun. Ringkasan isi Renas PB diintegrasikan ke dalam dokumen RPJMN yang memuat kebijakan dan program pembangunan serta rencana kerja Pemerintah. Secara khusus, perencanaan dan tindakan penanggulangan bencana menjadi salah satu prioritas utama dalam RPJMN dan terintegrasi ke dalam program-program pembangunan dalam dokumen tersebut. Dengan demikian, dokumen Renas PB akan menjadi arah dalam melakukan pengarusutamaan berbagai kebijakan dan program penanggulangan bencana. Dengan mengacu RPJMN, maka pemerintah setiap tahun akan menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) sebagai penjabaran dan operasionalisasi RPJMN yang memuat kerangka regulasi, kerangka anggaran dan rincian program. Gambar 2: Instrumen Sinergi dlm Koordinasi PB
Sumber: Bappenas 2014 Untuk memastikan terlaksananya perencanaan dan tindakan penanggulangan bencana, maka Renas PB diintegrasikan ke dalam RPJMN 2015-2019. Masing-masing K/L memformulasikan isu penanggulangan bencana ke dalam Rencana Strategis (Renstra) dengan mengacu kepada program-program penanggulangan bencana dalam Renas PB. Selanjutnya perencanaan ini dijabarkan ke dalam implementasi tahunan K/L melalui Rencana Kerja (Renja). Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, Renas PB menjadi panduan dan referensi dalam perencanaan penanggulangan bencana yang terintegrasi dengan perencanaan pembangunan di daerahnya. 25 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Landasan penyusunan dokumen Renas PB adalah Pasal 4 huruf c UU No. 24/2007 yang menyatakan bahwa “menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh”. Pada Pasal 6 UU No. 24/2007 menekankan tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: 1. Pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan. 2. Perlindungan masyarakat dari dampak bencana. 3. Penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum. 4. Pemulihan kondisi dari dampak bencana. 5. Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana pendapatan dan belanja negara yang memadai.
dalam
anggaran
6. Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai. 7. Pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana. Penyusunan Renas PB ini dilakukan dalam situasi tidak terjadi bencana (Pasal 35 huruf a UU No. 24/2007) dan proses penyusunannya dikoordinasikan oleh BNPB atau BPBD (Pasal 36 ayat 2 UU No. 24/2007). Untuk selanjutnya dokumen Renas PB ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya (Pasal 36 ayat 2 UU No. 24/2007). Masa waktu Renas PB adalah selama 5 (lima) tahun, dan dapat ditinjau secara berkala setiap 2 (dua) tahun atau sewaktu-waktu apabila terjadi bencana (Pasal 6 ayat 5 dan ayat 6 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana). Renas PB ini juga mengacu peraturan-peraturan sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2009
tentang
Perlindungan
dan
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. 3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. 4. Undang-Undang Nomor Publik.
14
26 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi
5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun2007 tentang Penataan Ruang. 6. Undang-Undang Nomor 27 Tahun2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 7. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. 8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. 9. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. 10. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. 11. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. 12. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. 13. Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana. 14. Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non-Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana. 15. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri. 16. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Keterbukaan Informasi Publik. 17. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan. 18. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional. 19. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kep-102/Mk.2/2002 & Kep. 292/M.Ppn/09/2002 tentang Sistem Pemantauan dan Pelaporan Pelaksanaan Proyek Pembangunan. 20. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.02/2011 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Atas Pelaksanaan Rencana Kerja & Anggaran Kementerian Negara/Lembaga. 27 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
21. Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 09 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja. 22. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negera Nomor 25 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. 23. Surat Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur KEP/135/M.PAN/9/2004 tentang Pedoman Umum Evaluasi LAKIP.
Negara
24. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 03 Tahun 2010 tentang Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014. 25. Surat Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
1.5. Kaidah Pelaksanaan Renas PB 2015-2019 merupakan wujud dari komitmen pemerintah dalam bidang penanggulangan bencana yang dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres). Renas PB merupakan pedoman bagi K/L dalam menyusun Renstra K/L, Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN PRB) dan merupakan pedoman bagi daerah dalam menyusun Rencana Penanggulangan Bencana Daerah (RPB Daerah) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Kaidah-kaidah pelaksanaan Renas PB adalah sebagai berikut: 1. Kementerian, lembaga pemerintah, pemerintah daerah, serta masyarakat termasuk lembaga usaha mengacu pada Renas PB 2015-2019. 2. Kementerian, lembaga pemerintah berkewajiban menyusun rencana strategis yang berperspektif pengurangan risiko bencana sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing dengan berpedoman pada Renas PB 2015-2019. 3. Pemerintah daerah berkewajiban menyusun RPB Daerah, yang akan menjadi pedoman dalam menyusun renstra SKPD dengan memperhatikan Renas PB 2015-2019. 4. Kementerian dan lembaga pemerintah berkewajiban menjamin konsistensi antara Renas PB 2015-2019 dengan renstra K/L yang berkaitan dengan isu kebencanaan. 5. Pemerintah daerah berkewajiban menjamin konsistensi antara Renas PB
28 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
2015-2019 dengan RPB Daerah serta RPJMD. 6. Dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan Renas PB 2015-2019, BNPB, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kemen PPN/Bappenas) berkewajiban untuk melakukan pemantauan terhadap penjabaran Renas PB 2015-2019 ke dalam renstra K/L dan RPB Daerah serta RPJMD. Dalam implementasi Renas PB 2015-2019 ini sangat membutuhkan sinergi berbagai pihak dengan penyelenggaraan penanggulangan bencana, baik pemerintah, pemerintah daerah, organisasi non pemerintah, perguruan tinggi, lembaga usaha, masyarakat dan lain-lain. Gambar 3 menunjukkan sinergi berbagai pihak dalam implementasi tersebut. Gambar 3: Sinergi Lintas Sektor dalam Impelementasi Renas PB 20152019
Sumber: Bappenas 2014.
1.6. Proses Penyusunan Penyusunan Renas PB 2015-2019 ini melibatkan partisipasi para pemangku kepentingan terkait dengan upaya penanggulangan bencana, khususnya dari K/L 29 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
dan organisasi non pemerintah (ornop) yang bekerja di bidang penanggulangan bencana di tingkat nasional. Semua proses penyusunan itu dikoordinasikan oleh BNPB. Untuk melaksanakan penyusunan Renas PB 2015-2009 ini dibentuk 4 (empat) tim, yaitu Tim Substansi, Tim Asistensi, Tim RAN PRB dan Tim Penulis. Tim Substansi bertugas untuk membahas dan memutuskan substansi dalam Renas PB 2015-2019. Tim ini merupakan perwakilan 37 K/L terkait penanggulangan bencana dan masingmasing K/L diwakili oleh Unit Teknis dan Perencananaan. Sebagai Ketua Tim Substansi adalah pejabat BNPB sebagai pemegang mandat UU No. 24/2007 dan Wakil Ketua dari Bappenas sebagai pemegang mandat perencanaan pembangunan nasional. Anggota-anggota Tim Substansi merupakan perwakilan-perwakilan dari K/L, antara lain Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Kementerian Kelautan dan Perikanan (Kemen KP), Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen PU), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Sosial (Kemensos), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), Kementerian Lingkungan Hidup (Kemen LH), Kementerian Negera Urusan Koperasi dan UKM (Kemen KUKM), Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemen PDT), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kemen PPN /BAPPENAS), Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), BNPB, BMKG, Badan SAR Nasional (BASARNAS), Badan Informasi Geospasial (BIG), Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT), Badan Pusat Statitstik (BPS), Badan Pertanahan Negara (BPN), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Standardisasi Nasional (BSN), Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Tim Asistensi bertugas untuk mendukung penyusunan Renas PB 2015-2019. Tim ini menyiapkan bahan yang digunakan oleh Tim Substansi. Tim ini dibentuk oleh BNPB. Anggota-anggota Tim Asistensi merupakan para para pelaku dan praktisi penanggulangan bencana yang berasal dari K/L, pemerintah daerah, ornop nasional, perguruan tinggi dan lembaga internasional. 30 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Tim RAN PRB bertugas untuk menyusun kegiatan-kegiatan spesifik (rencana aksi) yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Renas PB. Tim ini dibentuk oleh Safer Communities through Disaster Risk Reduction Phase 2 (SCDRR II), yang merupakan program kerjasama antara BNPB dan United Nations Development Programme (UNDP). Tim RAN PRB terdiri dari para praktisi penanggulangan bencana. Tim Penulis bertugas untuk menuliskan dokumen Renas PB 2015-2019. Tim ini terdiri dari para praktisi penanggulangan bencana yang ditunjuk oleh BNPB. Para pakar dari perguruan tinggi dilibatkan dalam pengkajian ancaman dan kerentanan serta penilaian risiko bencana dengan hasil rencana induk (masterplan) 12 bencana. Ada 12 perguruan tinggi yang terlibat dalam penyusunan rencana induk 12 bencana, yaitu (1) Universitas Syiahkuala (tsunami), (2) Univesitas Andalas (gelombang ekstrim), (3) Universitas Institut Pertanian Bogor (kebakaran hutan dan lahan), (4) Institut Teknologi Surabaya (kecelakaan industri), (5) Universitas Diponegoro (banjir), (6) Universitas Gadjah Mada (gerakan tanah atau tanah longsor), (7) UPN Veteran Yogyakarta (gunungapi), (8) Institut Teknologi Bandung (gempabumi), (9) Universitas Udayana (kekeringan), (10) Universitas Airlangga (epidemi), (11) Universitas Hasanuddin (banjir bandang), dan (12) Universitas Indonesia (cuaca ekstrim). Para pemangku kepentingan yang meliputi asosiasi-asosiasi pemerintah daerah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, organisasi-organisasi profesi dan pihak swasta, media serta publik yang lebih luas juga telah dilibatkan dalam memberikan masukan dalam penyusunan Renas PB. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam proses penyusunan Renas PB 2015-2019 melalui diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) dan penugasan tim sesuai dengan topik masing-masing. Kegiatan selanjutnya dilaksanakan melalui konsultasi teknis, baik yang berasal dari pihak swasta maupun kalangan akademisi dan lembaga swadaya masyarakat yang memfokuskan diri pada upaya penanggulangan bencana. Pelaksanaannya dilakukan melalui lokakarya perencanaan, konsultasi publik, dan masukan melalui berbagai media publik. Dari hasil evaluasi dan pembelajaran pelaksanaan Renas PB 2010-2014, RAN PRB 2006-2009 dan RAN PRB 2010-2012 maka untuk 2015-2019 ini dokumen Renas PB dan RAN PRB dijadikan satu kesatuan konseptual dan merupakan penjabaran teknis dari Renas PB. Hal ini ditujukan agar tidak terjadi pengulangan dan tumpang tindih pekerjaan yang tidak perlu. Sistematika
isi
Renas
PB
2015-2019
31 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
terdiri
dari
buku
prioritas
nasional
penanggulangan bencana dan dua buah lampiran yang merupakan satu kesatuan yang utuh dengan masing-masing memuat hal-hal sebagai berikut: Prioritas Nasional memuat gambaran umum kebencanaan, visi-misi, tujuan, sasaran, strategi, fokus prioritas, program dan kegiatan umum (generik) serta pendanaan dengan visi “Menjadikan Bangsa yang Tangguh Menghadapi Bencana”. Lampiran A memuat hasil kajian risiko bencana, daftar lokasi dengan risiko bencana tinggi, dan lokasi prioritas berisiko tinggi per bencana. Lampiran B memuat memuat rencana aksi yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari prioritas nasional penanggulangan bencana dan diwujudkan dengan kegiatan-kegiatan yang lebih spesifik.
Gambar 4: Sistematika Isi Renas PB 2015-2019
32 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
BAB II GAMBARAN UMUM KEBENCANAAN
2.1. Risiko Bencana Indonesia Indonesia adalah negara yang sangat rawan bencana. Kenyataan tersebut tidak dapat dipungkiri mengingat kondisi geografi dan geologi Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng raksasa Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik, serta berada pada Cincin Api (Ring of Fire). Untuk mengetahui secara rinci tingkat kerawanan daerah di wilayah Negara Indonesia, BNPB telah melakukan penilaian tentang Indeks Kerawanan Bencana Indonesia pada 2009 yang diperbaharui dengan Indeks Rawan Bencana Indonesia (IRBI) pada 2011, selanjutnya disebut IRBI 2011. Pada tahun 2013 BNPB meningkatkan analisis dari Indeks Rawan Bencana Indonesia menjadi Indeks Risiko Bencana Indonesia, selanjutnya disebut IRBI 2013. Risiko bencana merupakan penilaian kemungkinan dari dampak yang diperkirakan apabila bahaya (hazard) itu menjadi bencana. Dengan demikian perhitungan ini ditekankan pada potensi kemungkinan dan besarnya dampak yang diukur dari keterpaparan (exposure) dari setiap bahaya dan gabungan dari beberapa bahaya yang ada (multi hazards). Jadi apabila kerawanan yang lalu dihitung dari data korban/kerusakan yang tercatat (existing data) untuk setiap bencana, saat ini indeks risiko ini dihitung dari potensi kemungkinan korban dan dampak yang akan ditimbulkan dari suatu bencana. Dalam penilaian Indeks Risiko Bencana Indonesia ini telah menggunakan parameter-parameter bahaya, kerentanan dan kapasitas sebagai penghitungan risiko bencana. Tujuan Indeks Risiko Bencana Indonesia antara lain untuk: 1. Memberikan informasi tingkat risiko bencana tiap-tiap kabupaten/kota di Indonesia sesuai dengan bahaya yang dimiliki dan gabungan dari bahaya tersebut. 2. Memberikan gambaran perbandingan tingkat risiko dari suatu daerah dibandingkan dengan daerah yang lain. 3. Melakukan analisis sebagai dasar dari kebijakan kelembagaan, pendanaan, perencanaan, statistik, dan operasionalisasi penanggulangan bencana. Pengkajian risiko bencana dilaksanakan dengan menggunakan metode pada Gambar 5. 33 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Gambar 5: Metode Pengkajian Risiko Bencana
Sumber: BNPB, IRBI 2013.
2.1.1. Risiko Bencana per Provinsi dan Kabupaten/Kota Dari Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) 2013 dapat diketahui indeks risiko bencana masing-masing provinsi di Indonesia sebagai berikut: Tabel 2: Indeks Risiko Bencana Provinsi No.
Provinsi
Skor
Kelas Risiko
1
Sulawesi Barat
202
Tinggi
2
Maluku
187
Tinggi
3
Sulawesi Tenggara
177
Tinggi
4
Sulawesi Selatan
176
Tinggi
5
Maluku Utara
175
Tinggi
6
Sulawesi Tengah
168
Tinggi
34 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
7
Sulawesi Utara
158
Tinggi
8
Bengkulu
156
Tinggi
9
Gorontalo
148
Tinggi
10
Kalimantan Timur
147
Tinggi
11
Riau
145
Tinggi
12
Sumatera Selatan
145
Tinggi
13
Sumatera Utara
137
Tinggi
14
Nusa Tenggara Timur
135
Tinggi
15
Kepulauan Bangka Belitung
131
Tinggi
16
Kepulauan Riau
127
Tinggi
17
Kalimantan Barat
122
Tinggi
18
Kalimantan Tengah
116
Tinggi
19
Nusa Tenggara Barat
113
Tinggi
20
Jambi
113
Tinggi
21
Jawa Timur
110
Tinggi
22
Aceh
107
Tinggi
23
Jawa Barat
101
Tinggi
24
Jawa Tengah
100
Tinggi
25
Lampung
97
Tinggi
26
D.I. Yogyakarta
97
Tinggi
27
Banten
88
Tinggi
28
Sumatera Barat
86
Tinggi
29
Papua Barat
82
Tinggi
30
Bali
75
Tinggi
31
Papua
67
Sedang
35 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
32
Kalimantan Selatan
64
Sedang
33
DKI Jakarta
54
Sedang
Sumber: BNPB, IRBI 2013. Apabila digambarkan dalam sebuah peta maka indeks risiko bencana provinsi di atas dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6: Peta Indeks Risiko Bencana Provinsi
Sumber: BNPB, IRBI 2013. Berdasarkan data IRBI 2013 ada 388 kabupaten/kota (78%) memiliki indeks risiko bencana tinggi dari 497 kabupaten/kota di Indonesia, lihat Lampiran A. Apabila digambarkan dalam sebuah peta maka indeks risiko bencana kabupaten/kota di atas dapat dilihat pada Gambar 6.
36 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Gambar 7: Perbandingan Jumlah Kejadian Bencana Berdasarkan Jenis Bencana Periode 1982-2012
Sumber: BNPB 2012. Berdasarkan data bencana yang dihimpun Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB, bencana dalam kurun waktu 30 tahun terakhir (1982-2012) sebanyak 10.817 kejadian, seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 7 dan Gambar 8. Data pada gambar tersebut memperlihatkan dominasi kejadian ada pada bencana banjir sebanyak 4.121 kejadian (38%), gerakan tanah (tanah longsor) sebanyak 1.983 kejadian (18%), angin puting beliung sebanyak 1.903 kejadian (18%), kekeringan sebanyak 1.414 kejadian (13%) dan bancana lainnya 1,397 kejadian (13%). Gambar 8: Trend Jumlah Kejadian Bencana Periode 1982-2012
Sumber: BNPB 2012. 37 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Kejadian bencana selama tahun 1982-2012 telah menyebabkan 225.509 jiwa hilang dan meninggal. Korban ini disebabkan oleh berbagai jenis bencana yang terjadi antara lain gempabumi dan tsunami sebanyak 174.101 orang, gempabumi 15.250 orang, banjir dan tanah long sor 7.555 orang dan bencana lainnya sebanyak 28.603 orang. Rekapitulasi jumlah korban akibat kejadian bencana dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9: Jumlah Korban Meninggal-Hilang Akibat Bencana Periode 1982-2012
Sumber: BNPB 2012. Dokumen Renas PB 2015-2019 ini fokus uraian risiko bencana ke dalam 12 risiko yang dapat dikelompokkan dalam risiko geologi (gempabumi, tsunami, gunungapi, gerakan tanah atau tanah longsor), risiko hidrometeorologi (banjir, banjir bandang, kekeringan, cuaca ekstrim, gelombang ekstrim, kebakaran hutan dan lahan), risiko biologi (epidemi dan wabah penyakit), serta risiko gagal teknologi (kecelakaan industri).
2.1.2. Risiko Bencana Geologi Risiko bencana geologi dipengaruhi oleh faktor bahaya geologi, kerentanan dan kapasitas. Bahaya geologi merupakan proses atau fenomena geologis yang bisa mengakibatkan hilangnya nyawa, cedera atau dampak-dampak kesehatan lain, 38 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
kerusakan harta benda, hilangnya penghidupan dan layanan, gangguan sosial dan ekonomi, atau kerusakan lingkungan. Termasuk dalam bahaya geologi antara lain adalah proses-proses internal bumi, seperti gempabumi, aktivitas dan emisi gunung api, dan proses-proses geofisik terkait seperti gerakan massa, gerakan tanah (tanah longsor), longsoran batuan, runtuhan permukaan, dan aliran puing atau lumpur. Faktor-faktor hidrometeorologi berperan penting dalam beberapa proses tersebut.
2.1.3.1. Gempabumi Secara geografis Indonesia terletak pada rangkaian cincin api yang membentang sepanjang lempeng Pasifik yang merupakan lempeng tektonik paling aktif di dunia. Zona ini memberikan kontribusi sebesar hampir 90% dari kejadian gempa di bumi dan hampir semuanya merupakan gempa besar di dunia. Kondisi kegempaan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh empat (4) lempeng tektonik utama yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia, Pasifik, dan Filipina. Beberapa sesar yang memberikan potensi gempa yang cukup besar juga ditemukan baik yang berada di laut maupun di darat seperti sesar Sumatera, sesar Palu-Koro, sesar Maluku, dan sesar Sorong. Gambar 10: Peta Kegempaan di Indonesia
Sumber: Rencana Induk Penanggulangan Risiko Bencana Gempabumi
39 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Beberapa gempa besar secara berulang sudah terjadi di Indonesia selama beberapa tahun terakhir yang menyebabkan dampak yang buruk terhadap populasi penduduk dan bangunan-bangunan yang ada di Indonesia. Gambar 11 merangkum beberapa kejadian gempabumi dengan magnitude di atas 6,5 pada tahun 2004-2012. Gambar 11: Peta Kejadian Gempabumi dengan Magnitude di atas 6,5 pada 2004-2012
Sumber: Rencana Induk Penanggulangan Risiko Bencana Gempabumi Kejadian gempa semakin sering terjadi dan cenderung meningkat besarannya. Setiap terjadi gempa besar timbul korban jiwa yang cukup banyak akibat kerusakan yang signifikan (bahkan hingga roboh) pada bangunan-bangunan yang ada, termasuk bangunan sarana dan prasarana umum (seperti sekolah, tempat ibadah, puskesmas, rumah sakit dan lain - lain), bangunan hunian dan rumah tinggal, dan bangunan perkantoran dan pertokoan. Belum ada suatu panduan yang lengkap dan sesuai dengan tingkat kegempaan yang ada pada wilayah terkait untuk perencanaan bangunan nonengineered. Belum ada suatu panduan yang lengkap untuk mengevaluasi kerawanan suatu bangunan serta untuk merancang bentuk-bentuk perkuatan yang sesuai untuk meningkatkan keamanan bangunan yang ada terhadap gempa. 40 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Berdasarkan IRBI 2013 maka Peta Indeks Risiko Bencana Gempabumi dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12: Peta Indeks Risiko Bencana Gempabumi
Sumber: BNPB, IRBI 2013. Dari Peta Indeks Risiko Bencana Gempabumi di atas terdapat 10 (sepuluh) provinsi prioritas guna dilakukan fokus kegiatan penanggulangan bencana gempabumi, antara lain (1) Jawa Barat, (2) Jawa Tengah, (3) Jawa Timur, (4) Sumatera Utara, (5) Banten, (6) Sumatera Barat, (7) Lampung, (8) Aceh, (9) D.I. Yogyakarta dan (10) Bali.
2.1.3.2. Tsunami Bencana tsunami merupakan salah satu jenis bencana yang kerap melanda Indonesia yang menyebabkan kerusakan yang luas dan jumlah korban yang besar. Dalam kurun satu dekade terakhir, Indonesia telah dilanda beberapa kali bencana tsunami dengan kerusakan dan jumlah korban yang begitu banyak seperti peristiwa 41 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
tsunami tahun 2004 di Aceh dan Nias, tsunami di Pangandaran 2006, dan tsunami di Kepulauan Mentawai 2010. Mengingat begitu banyak jumlah penduduk, perkotaan, dan infrastruktur yang berada di kawasan yang rawan terhadap bencana tsunami, maka penanggulangan bencana tsunami di Indonesia semestinya mendapatkan perhatian yang memadai. Indonesia terletak pada pertemuan empat lempeng bumi yang aktif, yaitu lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Filipina. Lempeng tersebut saling mendorong satu sama lain. Aktivitas lempeng tersebut adalah penyebab tsunami paling sering di wilayah Indonesia. Tabel 3: Peristiwa Tsunami Indonesia yang Disebabkan oleh Gempabumi No
Lokasi
Tahun Peristiwa
Besaran Gempa (Mw)
Akibat Tsunami Meninggal
Lukaluka
Maksimal Gelombang (m)
Rumah Rusak
1
Aceh
2004
9,2
22.898
125.000
NA
50,9
2
Nias
2005
8,7
10
NA
NA
3
3
Bali
1818
8,5
NA
NA
NA
3,5
4
Bengkulu
2007
8,4
0
0
0
1
5
Laut Sulawesi
1918
8,3
6
-
-
7,2
6
Papua
1996
8,2
110
100
-
7,7
7
Sunda
1997
8
189
75
-
15
8
Laut Banda
1996
7,9
9
63
283
3,4
9
Laut Andaman
1881
7,9
-
-
-
-
10
Laut Flores
1992
7,8
2.500
500
31.765
26,2
11
Laut Jawa
1994
7,8
250
233
1.500
13,9
12
Kep. Mentawai
2010
7,7
485
-
-
-
Sumber: Rencana Induk Penanggulangan Risiko Bencana Tsunami Tsunami umumnya terjadi karena gempa bumi di laut, longsornya dasar laut, meletusnya gunung api, dan kejatuhan meteor. Di Indonesia, tsunami yang pernah terjadi adalah disebabkan oleh gempabumi di laut, meletusnya gunung api, dan longsor nya dasar laut. Catatan tsunami paling awal yang pernah ditemukan adalah tsunami 1907 yang terjadi di sekitar Pulau Simeulue, Provinsi Aceh. Dengan metode kajian deposit sedimen (Paleotsunami), catatan tsunami di Indonesia dapat merekam hingga peristiwa tsunami hampir seribu tahun lalu. Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa wilayah Provinsi Aceh telah mengalami beberapa kali 42 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
peristiwa tsunami yang cukup besar. Beberapa tempat lainnya juga diketahui memiliki sejarah perulangan peristiwa tsunami seperti halnya yang ditemukan di Aceh. Beberapa tsunami juga pernah mengakibatkan kerusakan yang masif di wilayah Selatan Pulau Jawa. Pada Tanggal 3 Juni 1994, tsunami dengan ketinggian gelombang 9,5 m menghantam wilayah Lumajang, Jember, dan Banyuwangi. Berdasarkan Tabel 3 tersebut dapat dilihat bahwa peristiwa tsunami yang terjadi di Indonesia didominasi oleh peristiwa gempabumi dasar laut. Namun demikian, penting diperhatikan bahwa beberapa peristiwa lain masih berpotensi menciptakan tsunami di masa yang akan datang seperti meletusnya Gunungapi Krakatau. Mengingat aktifitas gunungapi relatif lebih terpantau dalam waktu yang lebih panjang, maka bahaya tsunami yang disebabkan oleh gempabumi akan menjadi tantangan serius untuk diperhatikan. Berdasarkan IRBI 2013 maka Peta Indeks Risiko Bencana Tsunami dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13: Peta Indeks Risiko Bencana Tsunami
Sumber: BNPB, IRBI 2013. 43 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Dari Peta Indeks Risiko Bencana Tsunami di atas terdapat 10 (sepuluh) provinsi prioritas guna dilakukan fokus kegiatan penanggulangan bencana tsunami, antara lain (1) Jawa Tengah, (2) Sumatera Barat, (3) Aceh, (4) Banten, (5) Jawa Barat, (6) Jawa Timur, (7) Bali, (8) Nusa Tenggara Barat, (9) Maluku dan (10) Maluku Utara.
2.1.3.3. Gunungapi Terkait dengan zona penunjaman lempeng-lempeng besar yang telah diuraikan, Indonesia memiliki lebih dari 500 gunungapi dengan 127 di antaranya aktif. Gununggunungapi aktif yang tersebar di Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Utara dan Kepulauan Maluku merupakan sekitar 17% dari sebaran gunungapi aktif dunia. Dalam sejarah juga tercatat 2 kali letusan terbesar sepanjang sejarah di dunia. Wilayah Indonesia juga merupakan kepulauan gunungapi terbesar/terpanjang di dunia. Dalam 400 tahun terakhir ada jumlah letusan 78 Buah dengan luas daerah terancam 16.670 Km2 dan jumlah jiwa terancam > 5 juta orang. Sebaran gunungapi meliputi wilayah Sumatera ada 30, Jawa ada 35, Bali dan Nusa Tenggara ada 30, Maluku ada 16, dan Sulawesi ada 18. Sedangkan jenis gunungapi ada 3 macam, yaitu Tipe A (Meletus 400 Tahun Terakhir) ada 78, Tipe B (Solfatar dan Fumarol) ada 29, dan Tipe C (Lapangan Solfatar dan Fumarol) ada 21. Tabel 4: Gunungapi Aktif di Indonesia Daerah Penyebaran
No
Jumlah Gunungapi Aktif Jumlah Tipe A
Tipe B
Tipe C
1
Sumatera
13
11
6
30
2
Jawa
19
10
5
34
3
Lombok
1
-
-
1
4
Bali
2
-
-
2
5
Sumbawa
2
-
-
2
6
Flores
17
3
5
25
7
Laut Banda
7
2
-
9
8
Sulawesi
6
2
5
13
44 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
9
Kepulauan Sangir
5
-
-
5
10
Halmahera
5
1
-
6
77
29
21
127
Jumlah
Sumber: Rencana Induk Penanggulangan Risiko Bencana Gunungapi Selain letusan-letusan besar seperti letusan gunung Tambora yang menewaskan lebih dari 92 ribu jiwa dan Krakatau lebih dari 36 ribu orang pada abad XIX, berdasarkan data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) ada beberapa kejadian letusan lain yang menimbulkan korban jiwa besar, antara lain letusan Gunung Kie Besi di Maluku Utara pada tahun 1760 yang menewaskan 2.000 korban jiwa, letusan Gunung Galunggung tahun 1822 yang menewaskan 4.011 korban jiwa dan letusan Gunung Papandayan tahun 1772 yang menewaskan 2.951 korban jiwa di Jawa Barat. Di Jawa Timur letusan Gunung Kelud pada tahun 1919 mengakibatkan 5.190 korban jiwa dan letusan tahun 1966 dengan 210 korban jiwa. Gambar 14: Sebaran Gunungapi Aktif di Indonesia
Sumber: PVMBG 45 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Di Teluk Tomini, Sulawesi Tengah pada tahun 1983 terjadi letusan dahsyat Gunung Colo yang mengakibatkan hancurnya sumbat lava serta membumihanguskan sekitar 2/3 wilayah Pulau Una-Una tempat lokasi Gunung Colo. Sedangkan di wilayah Yogyakarta letusan Gunung Merapi tahun 1930 mengakibatkan 1.369 orang korban jiwa dan letusan tahun 1972 menewaskan lebih dari 3.000 orang. Gambar 14 memperlihatkan sebaran gunungapi di Indonesia. Dalam beberapa tahun ke depan potensi risiko bencana gunungapi yang perlu mendapat perhatian ada 70 gunungapi diantaranya adalah Gunung Merapi, Soputan, dan Lokon. Berdasarkan sejarah, Gunung Merapi di Yogyakarta mempunyai perulangan letusan cukup pendek. Letusan tersebut memiliki pola yang sama yaitu pertumbuhan kubah lava, kubah lava runtuh dan menghasilkan awan panas yang melanda daerah sekitar Gunung Merapi. Sedangkan kawah gunungapi yang perlu mendapat perhatian khusus adalah kawah Gunung Ijen dan Dempo. Berdasarkan IRBI 2013 maka Peta Indeks Risiko Bencana Gunungapi dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15: Peta Indeks Risiko Bencana Gunungapi
Sumber: BNPB, IRBI 2013. 46 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Ada 17 lokasi fokus upaya penanggulangan bencana gunungapi, antara lain (1) Gunung Agung, (2) Gunung Batur, (3) Gunung Merapi, (4) Gunung Kelud, (5) Gunung Ijen, (6) Gunung Lamongan, (7) Gunung Salak, (8) Gunung Galunggung, (9) Gunung Gede, (10) Gunung Talang, (11) Gunung Marapi, (12) Gunung Burnitelong, (13) Gunung Rinjani, (14) Gunung Keibesi, (15) Gunung Gamalama, (16) Gunung Rokatenda dan (17) Gunung Karangetang. Dari Peta Indeks Risiko Bencana Gunugapi di atas terdapat 12 (duabelas) provinsi prioritas guna dilakukan fokus kegiatan penanggulangan bencana tsunami, antara lain (1) Bali, (2) Jawa Tengah, (3) D.I. Yogyakrta, (4) Jawa Timur, (5) Sumatera Barat, (6) Jawa Barat, (7) Sulawesi Utara, (8) Nusa Tenggara Timur, (9) Aceh, (10) Maluku, (11) Maluku Utara, dan (12) Sumatera Utara.
2.1.3.4. Gerakan Tanah (Tanah Longsor) Bahaya gerakan tanah atau dikenal sebagai tanah longsor merupakan fenomena alam yang dikontrol oleh kondisi geologi, curah hujan dan pemanfaatan lahan pada lereng. Dalam beberapa tahun terakhir, intensitas terjadinya bencana gerakan tanah di Indonesia semakin meningkat, dengan sebaran wilayah bencana semakin luas. Hal ini disebabkan oleh makin meningkatnya pemanfaatan lahan yang tidak berwawasan lingkungan pada daerah rentan gerakan tanah, serta intensitas hujan yang tinggi dengan durasi yang panjang, ataupun akibat meningkatnya frekuensi kejadian gempa bumi. Tabel 5: Fenomena Bencana Gerakan Tanah (Tanah Longsor) No
Jenis Longsoran
Uraian
Pemicu
1
Rayapan (creep)
Terletak pada zona tekuk lereng atau zona transisi dari kondisi lereng curam menjadi landai.
Hujan
2
Luncuran bahan rombakan berupa tanah & batuan (Debris Slump)
Debris slump terbentuk pada salah satu sisi tebing
Hujan
Luncuran bahan rombakan berupa tanah dan batuan
Dikontrol oleh kondisi kemiringan lereng yang terjal, Gempa yaitu lebih dari 70º dan kondisi material penyusun bumi lereng berupa endapan kuarter gunungapi yang bersifat lepas dan belum terkompaksi. Getaran
3
yang mengelilingi hamparan lahan, dikontrol oleh kemiringan lereng yang relatif curam, material penyusun lereng berupa tanah tebal hasil pelapukan breksi volkanik dan perubahan fungsi lahan.
47 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
4
(Debris Slump)
gempabumi menyebabkan terjadinya perubahan susunan butiran material penyusun lereng dan memicu terjadinya debris slump.
Luncuran tanah (Earth Slide) berkembang menjadi aliran bahan rombakan berupa campuran tanah dan batuan (Debris Flow)
Dipicu oleh adanya hujan deras, earth slide berkembang membentuk debris flow. Hal ini, terutama disebabkan oleh meningkatnya kandungan air dalam material longsoran. Endapan material dari debris flow membentuk landslide dam yang rentan mengalami pergerakan dan dapat menyebabkan terjadinya debris flood, terutama dipicu oleh ada hujan.
Sumber: Rencana Induk Penanggulangan Risiko Bencana Tanah Longsor Berdasarkan IRBI 2013 maka Peta Indeks Risiko Bencana Gerakan Tanah (Tanah Longsor) dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16: Peta Indeks Risiko Bencana Gerakan Tanah
Sumber: BNPB, IRBI 2013.
48 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Berdasarkan hasil kajian risiko gerakan tanah (tanah longsor) yang dilakukan oleh BNPB, ditetapkan 10 provinsi prioritas pada penyelenggaraan penanggulangan bencana gerakan tanah (tanah longsor) 2015-2019 berturut-turut sebagai berikut (1) Jawa Barat, (2) Jawa Tengah, (3) Jawa Timur, (4) Nusa Tenggara Timur, (5) Sumatera Barat, (6) Sumatera Utara, (7) Sulawesi Selatan, (8) Papua, (9) Sulawesi Tengah dan (10) Bali.
2.1.3. Risiko Hidrometeorologi Kejadian bencana di Indonesia cenderung akan terus meningkat, baik dari segi intensitas, frekuensi, magnitude, maupun sebarannya. Kerusakan lingkungan dan perubahan iklim makin meningkatkan bencana hidrometeorologi. Hal ini dapat dilihat dari kejadian bencana bahwa 77% adalah bencana hidrometerorologi berupa banjir, longsor, puting beliung, kekeringan, dan gelombang pasang. Berdasarkan laporan Indonesia Climate Change Sektoral Roadmap (ICCSR) 2010, terjadinya perubahan pola iklim regional berpengaruh terhadap pola hujan lokal. Perubahan tersebut menimbulkan potensi bahaya kecenderungan pertambahan curah hujan di bulan-bulan basah dan berkurangnya curah hujan di bulan-bulan transisi. Kondisi tersebut akan semakin parah pada tahun 2080-an nanti. Kenaikan suhu udara mengakibatkan kondisi atmosfer di wilayah Indonesia akan semakin dinamis dan akan mempengaruhi perubahan pola curah hujan. Kenaikan anomali suhu tertinggi akan terjadi di wilayah Kalimantan dan berpotensi kejadian kekeringan yang lebih luas. Selanjutnya di beberapa wilayah dengan anomali temperatur tinggi akan berpotensi terjadi kenaikan penguapan karena wilayahnya dikelilingi oleh lautan. Seperti di wilayah di Nusa Tenggara diperkirakan terjadi anomali temperatur sebesar 2,7-2,90C pada tahun 2100 yang berpotensi terjadinya kenaikan curah hujan di wilayah tersebut. Kenaikan suhu permukaan laut berpengaruh terhadap peningkatan volume air laut. Setiap derajat celcius kenaikan suhu akan meningkatkan tinggi muka laut sebesar 0,2-0,4 m. Untuk wilayah perairan Indonesia sendiri, kenaikan tinggi muka laut yang telah terjadi selama ini memiliki kecenderungan rata-rata 0,6-0,8 cm/tahun. Kenaikan muka laut akan mencapai 175 cm pada tahun 2100 dibandingkan tinggi muka laut tahun 2000. Selanjutnya tinggi muka laut pada tahun 2030 naik sebesar 52,5 cm, tahun 2050 naik sebesar 87,5 cm, dan naik 140 cm pada tahun 2080.
49 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Kecenderungan ini mendorong makin tingginya abrasi, erosi dan genangan air laut, tidak hanya disebabkan oleh makin tingginya kenaikan muka laut. Gelombang badai, pasang surut akibat gravitasi bulan dan matahari, serta iklim ekstrim seperti La Nina juga ikut menambah parah abrasi, erosi dan genangan air laut. Perubahan iklim memiliki potensi meningkatkan risiko kejadian bencana terkait iklim seperti longsor, banjir, dan kebakaran hutan. Kejadian badai tropis dan peningkatan frekuensi air laut pasang cenderung meningkat dimasa datang. Risiko kerusakan harta benda, sumberdaya dan kehilangan nyawa semakin besar di masa datang. Beberapa kajian mengindikasikan telah terjadi peningkatan frekuensi dan intensitas siklon tropis. Intensitas tinggi dapat menarik awan dari daerah yang lebih jauh dari sebelumnya. Terlebih kombinasinya pada tahun El Nino. Awan berkumpul lebih banyak di daerah dengan aktivitas/dinamika atmosfir yang tinggi karena atau tidak merata, sehingga di Indonesia dapat terjadi banjir dan kekeringan (kebakaran hutan) dalam waktu bersamaan.
2.1.2.1. Banjir Banjir dapat disebabkan oleh kondisi alam yang statis (seperti geografis, topografis, dan geometri alur sungai), peristiwa alam yang dinamis (seperti curah hujan yang tinggi, pembendungan dari laut/pasang pada sungai induk, amblesan tanah dan pendangkalan akibat sedimentasi), serta aktivitas manusia yang dinamis seperti adanya tata guna di lahan dataran banjir yang tidak sesuai (mendirikan pemukiman di bantaran sungai, kurangnya prasarana pengendalian banjir, amblesan permukaan tanah dan kenaikan muka air laut akibat pemanasan global). Pengelolaan banjir di Indonesia, satu mata uang, dengan pengelolaan sumber daya air. Pengelolaan tidak dapat dibatasi oleh wilayah administrasi, tetapi pengelolaan dalam wilayah Sungai. Wilayah Sungai ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai (Keppres No. 12/2012). Seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari: 5 wilayah sungai lintas negara, 29 wilayah sungai lintas provinsi, 29 wilayah sungai strategis nasional, 53 wilayah sungai lintas kabupaten/kota, dan 15 wilayah sungai kabupaten/kota. Berdasarkan IRBI 2013 maka Peta Indeks Risiko Bencana Banjir dapat dilihat pada Gambar 17.
50 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Gambar 17: Peta Indeks Risiko Bencana Banjir
Sumber: BNPB, IRBI 2013. Berdasarkan hasil kajian risiko banjir yang dilakukan oleh BNPB, ditetapkan 10 provinsi prioritas pada penyelenggaraan penanggulangan bencana banjir 2015-2019 berturut-turut sebagai berikut (1) Jawa Timur: DAS Bengawan Solo, (2) Banten: DAS Ciunjung, DAS Cisadane, dan DAS Ciliman, (3) Jawa Tengah: DAS Bengawan Solo, (4) DKI Jakarta: DAS Ciliwung, (5) Jawa Barat: DAS Citarum dan DAS Cimanuk, (6) Nusa Tenggara Timur: DAS Benain, (7) Kalimantan Selatan: DAS Sepapah, (8) Sumatera Utara: DAS Wampu, (9) Sumatera Selatan: DAS Batanghari, dan (10) Nangroe Aceh Darussalam (NAD): DAS Krueng Aceh Tamiang.
2.1.2.2. Banjir Bandang Salah satu bencana yang relatif baru dikenal dan akhir-akhir ini muncul dengan intensitas cukup tinggi adalah apa yang disebut sebagai “banjir bandang” (flash flood). Banjir bandang merupakan aliran air dalam jumlah besar yang mengalir dari
51 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
hulu sungai (sebagai pengirim) ke hilir (sebagai penerima) dengan kecepatan yang tinggi. Banjir bandang dibedakan dari jenis banjir lainnya karena mempunyai arus aliran yang sangat cepat, mempunyai daya rusak yang besar, genangan airnya cepat hilang dan membawa material lumpur yang banyak (viskositas tinggi) serta sering disertai dengan material batu dan pepohonan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya banjir bandang adalah (1) terbentuknya bendung (DAM) pada aliran sungai bagian hulu, baik bendung yang dibentuk oleh alam, maupun oleh manusia, (2) hujan deras dengan intensitas tinggi serta durasi waktu yang cukup lama (biasanya > 2 hari berturut-turut) di bagian hulu, (3) geometri DAS yang menunjang (lembah sempit, gradien sungai terjal) antara bagian hulu dan hilir. Banjir bandang merupakan banjir yang terjadi secara tiba-tiba pada wilayah dataran rendah yang dipicu oleh curah hujan hujan tinggi atau terdapat bendungan alam/buatan yang jebol. Kondisi ini terjadi jika tanah menjadi sangat jenuh dengan air dan volume air tersebut tidak dapat diinfiltrasikan ke dalam tanah, sehingga menyebabkan terjadinya luapan air dengan cepat pada sisi tebing yang akan menyapu berbagai macam material yang terdapat sepanjang daerah aliran. Keadaan yang terjadi secara tiba-tiba tersebut menyebabkan peristiwa banjir bandang sangat membahayakan. Prakiraan cuaca tentang kemungkinan terjadinya banjir perlu diperhatikan dengan seksama. Banjir bandang dibedakan dengan banjir pada umumnya oleh kecepatan arus air, waktu genangan yang relatif cepat hilang yaitu kurang dari 6 jam, viskositas aliran tinggi. Pada laporan Kementerian Pekerjaan Umum dan Japan International Cooperation Agency (JICA) 2012, dan National Weather Service Weather Forecast Office (2009) banjir yang datang tiba-tiba, umumnya terjadi di dataran rendah dan diakibatkan oleh hujan deras terus menerus, tinggi genangan (gelombang air) antara 3-6 m (tergantung volume air di hulu dan gadien sungai, membawa material lumpur, kerikil batu dan pepohonan serta apa saja yang disapunya dalam perjalanan air dari hulu ke hilir, serta wilayah terdampak relatif lebih sempit dari banjir biasa. Kejadian banjir bandang yang paling baru adalah di Negeri Lima, Kabupaten Maluku Utara, Provinsi Maluku pada Kamis 25 Juli 2013 sekitar pukul 10:30 WITA. Bencana tersebut menerjang Negeri Lima di bibir pantai dengan jarak sekitar 2,5 km, dimana banjir tersebut membawa material bebatuan, tanah dan pohon-pohon. Bencana tersebut mengakibatkan tiga warga Negeri Lima dinyatakan hilang. Beberapa kejadian banjir bandang lainnya yang terekam oleh media massa adalah banjir bandang Bohorok 2003 (Sumatera Utara), Banjir Bandang Sinjai 2006 (Sulawesi Selatan), Situ Gintung 2009 (Banten), banjir bandang Wasior 2010 (Papua Barat) ataupun lokasi lainnya. 52 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Berdasarkan hasil kajian risiko banjir bandang yang dilakukan oleh BNPB, ditetapkan 10 provinsi prioritas pada penyelenggaraan penanggulangan bencana banjir bandang 2015-2019, antara lain (1) Jawa Timur, (2) Jawa Barat, (3) Sumatera Barat, (4) Nusa Tenggara Barat, (5) Sumatera Utara, (6) Maluku, (7) Gorontalo, (8) Sulawesi Tengah, (9) Sulawesi Utara dan (10) Sulawesi Selatan.
2.1.2.3. Kekeringan Kekeringan merupakan salah satu jenis bencana alam yang terjadi secara perlahan, berlangsung lama sampai musim hujan tiba, berdampak sangat luas dan bersifat lintas sektor (ekonomi, sosial, kesehatan, dan pendidikan). Kekeringan merupakan bencana yang kompleks dan ditandai dengan kekurangan air berkepanjangan. Kekeringan merupakan salah satu problem yang sangat serius di Indonesia. Penyebab kekeringan adalah menurunnya curah hujan pada periode yang lama yang disebabkan oleh interaksi atmosfer dan laut serta akibat ketidakteraturan suhu permukaan laut yang terjadi di Indonesia dan sekitarnya, diantaranya adalah fenomena El Nino, IOD (Indian Ocean Dipole) positif, dan siklus monsun. Kekeringan di Indonesia biasanya berhubungan dengan kejadian anomali iklim seperti El Nino dan IOD positif. Dari 43 kejadian kekeringan di Indonesia antara tahun 1884 - 1998, hanya 6 kejadian kekeringan yang tidak berhubungan dengan fenomena El Nino yang terjadi di Samudera Pasifik. Kekeringan di Indonesia juga dipengaruhi oleh IOD positif yang merupakan fenomena iklim regional di Samudera Hindia. Kejadian El Nino dan IOD positif mengakibatkan berkurangnya produksi awan dan jumlah hujan di atas wilayah Indonesia sebagai akibat dari menurunnya suhu permukaan laut di Indonesia dan sekitarnya. Datangnya bencana kekeringan belum dapat diperkirakan secara teliti, namun secara umum berdasarkan statistik, terlihat adanya fenomena terjadinya kekeringan kurang lebih setiap empat atau lima tahun sekali. Bahkan akibat semakin seringnya siklus kejadian El Nino bisa mengakibatkan semakin seringnya terjadi kekeringan. Bencana kekeringan dapat disebabkan antara lain oleh curah hujan yang jauh dibawah normal pada areal yang airnya telah dimanfaatkan secara maksimal atau pada musim kemarau panjang. Berdasarkan IRBI 2013 maka Peta Indeks Risiko Bencana Kekeringan dapat dilihat pada Gambar 19. 53 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Gambar 18: Peta Indeks Risiko Bencana Kekeringan
Sumber: BNPB, IRBI 2013. Berdasarkan hasil kajian risiko yang dilakukan oleh BNPB, ditetapkan 10 Provinsi prioritas pada penyelenggaraan penanggulangan bencana kekeringan 2015-2019 berturut-turut sebagai berikut (1) Jawa Barat, (2) Jawa Tengah, (3) Sulawesi Selatan, (4) Kalimantan Barat, (5) Bali, (6) Kepulauan Riau, (7) Sulawesi Tenggara, (8) Sulawesi Barat, (9) Kepulauan Bangka Belitung dan (10) Papua. Meningkatnya kekeringan memicu kasus kebakaran hutan meskipun hampir seluruh kasus kebakaran hutan lebih disebabkan oleh faktor manusia. Kebakaran hutan meningkat tajam apabila terjadi hari tanpa hujan di atas seminggu. Pada tahuntahun terjadinya El Nino, kasus kebakaran lahan dan hutan juga meningkat tajam. Sebaliknya, pada tahun-tahun La Nina atau kemarau basah, kebakaran hujan menurun.Di saat El Nino kekeringan juga mengancam daerah pertanian di berbagai wilayah di Indonesia. Banyak petani gagal panen lantaran kemarau berkepanjangan sehingga persediaan air untuk tanaman terbatas. Contoh dampak kekeringan antara lain:
Akibat kekeringan, produksi padi sawah irigasi, dan padi sawah tadah hujan 54 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
di Indonesia menurun sebesar 1,2 juta ton dan 150 ribu ton saat El Nino tahun 1997/98.
El Nino 2009-10 menyebabkan penurunan produksi padi sebesar 18.654 ton dan jagung 78.571 ton di Nusa Tenggara Timur (NTT).
El Nino 1997/98 menyebabkan penurunan debit air antara 3% hingga 65% pada 20 bendungan di Provinsi Jawa Tengah.
Akibat El Nino 1997, luas lahan hutan yang terbakar di Indonesia mencapai 9,75 jt Ha.
2.1.2.4. Cuaca Ekstrim Saat ini kajian mengenai cuaca ekstrim semakin mendapat sorotan di berbagai penjuru dunia khususnya dikaitkan dengan perubahan iklim, dimana para ahli memperkirakan bahwa terjadinya bencana cuaca ekstrim merupakan salah satu gejala perubahan iklim yangsemakin nyata. Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC4) 2012, bukti-bukti terkait kejadian cuaca dan iklim ekstrim yang ada di dunia antara lain adalah kekeringan, curah hujan ekstrim, banjir, dan gelombang panas. Sedangkan untuk tornado dan badai, masih sedikit digunakan untuk menjadi bukti kejadian cuaca dan iklim ekstrim di dunia. Istilah cuaca dan iklim secara ilmiah memiliki pengertian yang tidak sama meskipun unsur-unsurnya (komponen) sama, antara lain suhu udara, hujan, angin, kelembaban udara, evaporasi, radiasi matahari, dan sebagainya. Secara konseptual, cuaca pada umumnya mengacu pada kondisi atmosfer yang selalu berubah-ubah sebagai akibat dari rotasi bumi, memiliki nilai yang mutlak, berlangsung dalam periode waktu yang singkat (pendek) dan pengaruhnya (dampak) bersifat langsung. Sedangkan konsep iklim mengacu kepada kondisi atmosfer rata-rata yang relatif tetap (tidak berubah) sebagai akibat dari posisi lintang permukaan bumi, berlangsung dalam periode waktu yang lama dan pengaruhnya tidak langsung. Proses meteorologis dan kondisi cuaca dikaji dalam ilmu meteorologi, sedangkan kondisi iklim merupakan materi kajian bidang klimatologi. Perbedaan antara kejadian cuaca ekstrim dan kejadian iklim ekstrim tidaklah nyata (presisi), tetapi lebih terkait dengan spesifikasi skala (periode) waktunya. Suatu kejadian cuaca ekstrim secara tipikal berasosiasi dengan pola-pola cuaca dalam rentang (skala) waktu kurang dari satu hari sampai beberapa minggu. Sedangkan kejadian iklim ekstrim berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dapat
55 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
merupakan akumulasi dari beberapa kejadian cuaca (ekstrim dan non-ekstrim), contohnya kondisi kekeringan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengkategorikan bahwa cuaca termasuk ekstrim untuk kondisi dan kejadian di Indonesia apabila terjadi salah satu atau beberapa kejadian berikut: (1) suhu udara permukaan lebih dari 35°C atau di bawah 15°C (untuk wilayah dataran rendah/pantai), (2) kecepatan angin lebih dari 25 knots atau 45 km/jam, (3) curah hujan dalam satu hari ≥ 50 mm, atau (4) terjadi kelembaban udara di bawah 40%. BMKG mendefinisikan cuaca ekstrim sebagaimana tertuang dalam Peraturan BMKG Nomor Kep.009 Tahun 2010 tentang Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan, dan Diseminasi Informasi Cuaca Ekstrim sebagai “kejadian cuaca yang tidak normal, tidak lazim, yang dapat mengakibatkan kerugian terutama keselamatan jiwa dan harta”. Kata kunci dari definisi tersebut adalah “tidak lazim” dan “mengakibatkan kerugian”. Tidak lazim berkaitan dengan nilai mutlak dari unsur cuaca yang tercapai ketika berlangsung kejadian cuaca ekstrim. Sedang Menimbulkan kerugian berkaitan dengan dampak atau akibat dari kejadian kondisi atmosfer tersebut yang cenderung menimbulkan bencana. Peraturan BMKG Nomor Kep.009 Tahun 2010 tersebut lebih jauh mengungkapkan bahwa cuaca ekstrim dapat berupa: (1) fenomena global seperti kejadian El Nino/La Nina dan kejadian Dipole Mode, (2) fenomena regional seperti kejadian siklon tropis, aktivitas monsoon, peristiwa Madden Julian Oscillation (MJO) dan pembentukan awan aktif, dan (3) fenomena lokal seperti labilitas udara, liputan awan, kondisi suhu dan kelembaban udara. Selanjutnya BMKG melalui peraturan Kepala BMKG Nomor Kep. 009 Tahun 2010 menerjemahkan bencana alam cuaca ekstrim sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang diakibatkan oleh cuaca ekstrim sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Secara ringkas BMKG menyatakan bahwa wujud atau kejadian cuaca ekstrim di daratan adalah angin puting beliung, angin kencang, hujan lebat, hujan lebat disertai petir/angin kencang, hujan es dan jarak pandang mendatar akibat kabut atau asap. Adapun kejadian cuaca ekstrim di lautan adalah siklon tropis, angin kencang gelombang laut ekstrim, gelombang pasang, hujan lebat, hujan lebat disertai angin kencang/petir dan jarak padang mendatar akibat kabut atau asap.
56 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
BNPB melalui Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana menyebutkan bahwa cuaca ekstrim berkaitan dengan kejadian luar biasa yang berpotensi menimbulkan bencana, yaitu meliputi kejadian angin tornado, badai siklon tropis dan angin puting beliung. Khusus untuk wilayah Indonesia, BNPB menetapkan cuaca ekstrim hanya angin puting beliung saja. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, angin puting beliung didefinisikan sebagai angin kencang yang datang secara tiba-tiba, mempunyai pusat, bergerak melingkar menyerupai spiral dengan kecepatan 40-50 km/jam hingga menyentuh permukaan bumi dan akan hilang dalam waktu singkat (3-5 menit). Berdasarkan IRBI 2013 maka Peta Indeks Risiko Bencana Cuaca Ekstrim dapat dilihat pada Gambar 20. Gambar 19: Peta Indeks Risiko Bencana Cuaca Ekstrim
Sumber: BNPB, IRBI 2013. Ditetapkan 10 Provinsi prioritas pada penyelenggaraan penanggulangan bencana 2015-2019 berturut-turut sebagai berikut (1) Jawa Barat, (2) Nusa Tenggara Timur,
57 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
(3) Jawa Tengah, (4) Jawa Timur, (5) Sumatera Utara, (6) Sulawesi Selatan, (7) DKI Jakarta, (8) Maluku, (9) Sumatera Barat dan (10) Kalimantan Tengah
2.1.2.5. Abrasi Abrasi disebabkan oleh beberapa faktor yang secara umum dapat digolongkan menjadi 2 kelompok yaitu faktor alam dan faktor aktivitas manusia. Faktor alam yang mengakibatkan abrasi dipicu oleh perubahan cuaca atau iklim, seperti pelapukan batuan, perubahan arus global, siklus vegetasi, perubahan suplai sedimen serta perubahan arah dan tinggi gelombang. Sedangkan aktivitas manusia adalah seluruh kegiatan manusia yang dapat menyebabkan hilangnya keseimbangan alamiah wilayah pantai seperti merusak perlindungan alami pantai, perubahan fungsi lahan, pembangunan di wilayah sempadan pantai serta pengambilan material yang berakibat pengurangan suplai sedimen di daerah hilir ataupun hulu sungai. Berdasarkan IRBI 2013 maka Peta Indeks Risiko Bencana Abrasi dapat dilihat pada Gambar 21. Gambar 20: Peta Indeks Risiko Bencana Abrasi
Sumber: BNPB, IRBI 2013 58 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Ditetapkan 10 provinsi prioritas pada penyelenggaraan penanggulangan bencana 2015-2019 berturut-turut sebagai berikut (1) Kepulauan Bangka Belitung, (2) DKI Jakarta, (3) Nusa Tenggara Timur, (4) Jawa Tengah, (5) Jawa Timur, (6) Banten, (7) Sumatera Utara, (8) Sulawesi Tengah, (9) NAD dan Kalimantan Selatan.
2.1.2.6. Kebakaran Hutan dan Lahan Konsentrasi CO2 dunia telah meningkat hingga 30 persen dalam 100 tahun terakhir, dan hal ini mengakibatkan peningkatan suhu permukaan bumi antara 0.3-0.6°C. Peningkatan suhu permukaan bumi ini mengakibatkan fenomena El-Nino Southern Oscilation (ENSO) di kawasan Asia Tenggara lebih sering terjadi yang berakibat pada peningkatan intensitas kejadian curah hujan yang ekstrim, baik curah hujan yang sangat rendah yang berakibat kekeringan yang berkepanjangan, ataupun curah hujan yang sangat besar yang berakibat banjir. Perubahan iklim global yang menyebabkan kekeringan berkepanjangan di Indonesia lebih sering terjadi dalam 10 tahun terakhir ini menjadi salah satu faktor pemicu kebakaran hutan dan lahan, yang diperparah dengan lebih kerapnya kejadian ENSO. Pada dasarnya kebakaran hutan bukanlah bencana alam karena hampir 99 persen kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh faktor manusia, baik karena kesengajaan maupun kelalaian. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah menjadi kejadian rutinitas tahunan dan menjadi isu lingkungan terutama sejak kejadian kebakaran hutan pada tahun 1982/1983 yang menghanguskan sekitar 3,5 juta Ha hutan di Kalimantan Timur. Pada tahun 1997/1998 di dunia mengalami kejadian ENSO yang berdampak pada meningkatnya kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan luas mencapai 20 juta Ha dan Indonesia termasuk negara yang mengalami musibah kebakaran hutan dan lahan tersebut yaitu mencapai luasan 9,75 Ha. Pasca kejadian kebakaran hutan dan lahan yang parah pada tahun 1997/1998, kejadian kebakaran hutan dan lahan berikutnya senantiasa terjadi setiap tahun hingga saat ini dengan intensitas yang beragam. Kebakaran merupakan permasalahan yang terus berulang di Sumatera dan Kalimantan, dan Indonesia secara umum. Melihat data historis antara tahun 2001 sampai 2012, Sumatera mengalami rata-rata sekitar 20.000 peringatan titik api setiap tahunnya (dengan tingkat keyakinan deteksi lebih dari 30%). Peningkatan titik api biasanya muncul cukup banyak di sekitar bulan Juni hingga September setiap tahunnya, atau pada saat terjadinya musim kemarau. Enam puluh persen titik 59 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
api yang diobservasi setiap tahunnya muncul pada periode waktu 4 bulan tersebut. Kecenderungan musim kebakaran yang hampir sama ditemukan pula di Kalimantan dengan puncak musim kebakaran terjadi diantara bulan Agustus dan September. Luasnya areal hutan dan lahan yang terbakar di Indonesia hingga saat ini dipengaruhi pula oleh karakteristik biofisik lahannya. Sebagian besar kejadian kebakaran hutan dan lahan pada 10 tahun terakhir terjadi di lahan gambut. Lahan gambut secara alami merupakan lahan basah yang tidak mudah terbakar, tetapi jika lahan gambut kering karena adanya drainase yang berlebihan, maka sangat rentan terbakar. Lahan gambut yang kering juga dapat berubah sifatnya sehingga tidak dapat kembali ke awal sehingga tingkat kerentanan terbakar semakin tinggi.Dengan demikian, aspek kondisi lahan dan iklim menjadi aspek penting yang berpengaruh terhadap kejadian kebakaran saat ini. Meskipun dampak kebakaran hutan dan lahan dapat dinilai secara ekonomi, namun akibat dan risiko yang dirasakan oleh masyarakat yang terkena dampak lebih berat dan dapat bersifat lintas generasi seperti dampak terhadap kesehatan dan kehilangan pekerjaan. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan UNDP, kejadian kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 berdampak pada kesehatan seperti kematian, Atsma, Bronkitis dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Sementara itu dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap lingkungan terutama perannya dalam perubahan iklim menjadi motor bagi munculnya dampak politik yang salahsatunya akibat dari adanya polusi kabut asap lintas negara sehingga ada kesepakatan negara-negara ASEAN untuk mengendalikannya dalam sebuah kesepakatan Transboundary Haze Polution. Meningkatnya kekeringan memicu kasus kebakaran hutan meskipun hampir seluruh kasus kebakaran hutan lebih disebabkan oleh faktor manusia. Kebakaran hutan meningkat tajam apabila terjadi hari tanpa hujan di atas seminggu. Pada tahuntahun terjadinya El Nino, kasus kebakaran lahan dan hutan juga meningkat tajam. Sebaliknya, pada tahun-tahun La Nina atau kemarau basah, kebakaran hujan menurun.Jumlah titik apik (hot spot) di Pulau Kalimantan dan Sumatera berkolerasi kuat dengan tingkat intensitas El Nino yang terjadi di Samudra Pasifik yang diwakili oleh suhu muka laut di wilayah Nino 3. Besaran kolerasi meningkat pada paruh setengah tahun kedua antara Juli dan Desember. BMKG mencatat, kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera akibat kemarau panjang terjadi pada tahun-tahun El Nino, yakni 1997, 2002, 2004, dan 2006. Hutan gambut di Kalimantan misalnya, secara alami mudah terbakar ketika kemarau panjang melanda kawasan tersebut. 60 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Berdasarkan IRBI 2013 maka Peta Indeks Risiko Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan dapat dilihat pada Gambar 22. Gambar 21: Peta Indeks Risiko Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan
Sumber: BNPB, IRBI 2013. Ditetapkan 11 provinsi prioritas pada penyelenggaraan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan 2015-2019 berturut-turut sebagai berikut (1) Riau, (2) Kalimantan Tengah, (3) Kalimantan Barat, (4) Sumatera Selatan, (5) Kalimantan Timur, (6) Jambi, (7) Papua, (8) Lampung, (9) Sumatera Utara, (10) Kalimantan Selatan dan (11) Sulawesi Tengah.
2.1.4. Risiko Biologi 2.1.3.1. Epidemi dan Wabah Penyakit Epidemi dan wabah penyakit yang telah ditetapkan oleh BNPB dan Kementerian Kesehatan sebagai prioritas utama rawan bencana adalah penyakit campak, demam 61 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
berdarah dengue (DBD), malaria, dan HIV-AIDS. Campak, demam berdarah, malaria, dan HIV-AIDS merupakan epidemi penyakit menular yang selalu ada setiap tahun. Penyebab penyakit demam berdarah adalah virus Dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Ae.Aegypti dan Ae.Albopictus. Peningkatan dan penyebaran kasus DBD tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi penduduk serta faktor epidemiologi lainnya yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Di Indonesia, demam berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK): 41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia. Di Indonesia, DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada laporan kasus DBD. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009. Sampai pertengahan tahun 2013 ini, kasus demam berdarah terjadi di 31 provinsi dengan penderita 48.905 orang 376 di antaranya meninggal dunia. Penyakit menular ketiga yang termasuk dalam prioritas utama rawan bencana adalah malaria. Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, dan ibu hamil, selain itu malaria secara langsung menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas kerja. Penyakit ini juga masih endemis di sebagian besar wilayah Indonesia. Penyakit malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah manusia. Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Penyakit malaria masih ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia. Berdasarkan Annual Parasite Incidence (API), dilakukan stratifikasi wilayah dimana Indonesia bagian Timur termasuk dalam stratifikasi malaria tinggi, stratifikasi sedang di beberapa wilayah di Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera sedangkan di Jawa dan Bali termasuk dalam stratifikasi rendah, meskipun masih terdapat desa/fokus malaria tinggi. API dari tahun 2008-2009 menurun dari 2,47 per 1000 penduduk menjadi 1,85 per 1000 penduduk. Bila dilihat per provinsi dari tahun 2008-2009 provinsi 62 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
dengan API yang tertinggi adalah Papua Barat, NTT dan Papua, serta terdapat 12 provinsi dengan API di atas angka API nasional. Untuk meminimalkan penularan malaria maka dilakukan upaya pengendalian terhadap Anopheles sp sebagai nyamuk penular malaria. Beberapa upaya pengendalian vektor yang dilakukan misalnya terhadap jentik dilakukan larvaciding (tindakan pengendalian larva Anopheles sp secara kimiawi, menggunakan insektisida), kontrol biologis (menggunakan ikan pemakan jentik), manajemen lingkungan, dan lain-lain. Pengendalian terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan penyemprotan dinding rumah dengan insektisida (indoors residual spraying/IRS) atau menggunakan kelambu berinsektisida. Namun perlu ditekankan bahwa pengendalian vektor harus dilakukan secara REESAA (rational, effective, efisien, suntainable, affective, affordable) mengingat kondisi geografis Indonesia yang luas dan bionomik vektor yang beraneka ragam sehingga pemetaan breeding places dan perilaku nyamuk menjadi sangat penting. Untuk itu diperlukan peranpemerintah daerah, seluruh stakeholders dan masyarakat dalam pengendalian vektor malaria. Kesehatan adalah salah satu sektor yang sensitif terhadap perubahan iklim. Kasus demam berdarah (DBD) dan malaria semakin meningkat. Peningkatan ini disebabkan oleh naiknya suhu daratan pada masa transisi antar musim. Anomali iklim pada tahun 2010 mengakibatkan sepanjang tahun terjadi kemarau basah dengan diselingi hari hujan. Pada saat yang sama, kurangnya perawatan pada saluran-saluran air menghalangi air buangan sehingga tidak dapat mengalir. Kondisi ini sangat mendukung bagi pertumbuhan nyamuk yang merupakan vector borne untuk DBD sehingga penderita demam berdarah meningkat. Kasus ini meningkat lebih tinggi pada masa peralihan dari musim hujan ke kemarau dibandingkan masa peralihan dari musim kemarau ke hujan. Hal ini dikarenakan pada masa peralihan petama masih banyak hujan atau sisa aliran air permukaan. Sementara itu, pada masa peralihan kedua, suhu di daratan lebih tinggi dari biasanya. Ancaman diare juga terjadi sepanjang tahun. Masih di tahun 2010, perubahan musim seperti berlebihnya aliran air di permukaan mengancam penyebaran penyakit menular melalui air. Musim hujan yang berkepanjangan tersebut menyebabkan terjadinya epidemik diare sepanjang tahun. Peningkatan kasus kebakaran hutan akibat kekeringan yang berlanjut akan mengakibatkan penyakit pernapasan seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Pada musim kemarau, aliran udara begerak secara horizontal dan tidak ada daya
63 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
angkat seperti pada musim penghujan. Akibatnya, debu partikulat dari asap kebakaran hutan tersebut menumpuk di permukaan dan menimbulkan kepekatan sehingga rawan terhadap penyakit ISPA. Gambar 22: Peta Risiko Bencana Epidemi dan Wabah Penyakit
Sumber: BNPB 2013 Ditetapkan 10 Provinsi prioritas pada penyelenggaraan penanggulangan bencana epidemi dan wabah penyakit 2015-2019 berturut-turut sebagai berikut (1) Jawa Barat, (2) Kalimantan Timur, (3) Jawa Tengah, (4) Kalimantan Barat, (5) Kalimantan Tengah, (6) Papua, (7) Jawa Timur, (8) Sumatera Utara, (9) Sumatera Selatan dan (10) Riau.
2.1.5. Risiko Gagal Teknologi Menurut UNISDR, definisi gagal teknologi adalah semua kejadian bencana yang diakibatkan oleh kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia dalam penggunaan teknologi dan/atau industri. Penyebab terjadinya 64 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
kegagalan teknologi adalah kebakaran, kegagalan/kesalahan desain keselamatan pabrik/teknologi, kesalahan prosedur pengoperasian pabrik/teknologi, kerusakan komponen, kebocoran reaktor nuklir, kecelakaan transportasi (darat, laut, udara), sabotase atau pembakaran akibat kerusuhan, jebolnya bendungan, dan dampak ikutan dari bencana alam (gempa bumi, banjir, dan sebagainya). Kegagalan teknologi dapat menyebabkan pencemaran (udara, air, dan tanah), korban jiwa, kerusakan bangunan, dan kerusakan lainnya. Bencana gagal teknologi pada skala yang besar akan dapat mengancam kestabilan ekologi secara global. Di dalam Peraturan Kepala BNPB Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa kegagalan teknologi merupakan kejadian yang diakibatkan oleh kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia dalam menggunakan teknologi dan industri. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa kebakaran, pencemaran bahan kimia, bahan radioaktif/nuklir, kecelakaan industri, kecelakaan transportasi yang menyebabkan kerugian jiwa dan harta benda. Terdapat dua hal yang kerap muncul manakala terjadi bencana akibat kegagalan teknologi. Pertama, turunnya kesinambungan ekosistem alam yang mempertinggi kerentanan lingkungan sosial masyarakat. Dalam hal ini, bencana akibat kegagalan teknologi kerap mempersempit ruang bagi terselenggaranya pembangunan berkelanjutan. Kedua, bencana akibat kegagalan teknologi menyebabkan terjadinya fenomena benefit injustice, yang mana masyarakat yang berdomisili di sekitar daerah terdampak bencana, seringkali menjadi pihak yang paling sedikit menerima manfaat dari teknologi yang diterapkan namun di sisi lain mengalami kerugian paling besar akibat kegagalan teknologi. Dalam Pasal 12 PP No. 21/2008 menyebutkan bahwa (1) Setiap kegiatan pembanguan yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana, wajib dilengkapi dengan analisis risiko bencana, dan (2) Analisis risiko bencana disusun berdasarkan persyaratan analisis risiko bencana melalui penelitian dan pengkajian terhadap suatu kondisi atau kegiatan yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana. Dengan peningkatan jumlah kejadian bencana industri dan dampak besar yang telah diakibatkannya maka sudah waktunya industri di Indonesia dikelola sedemikian rupa guna mengurangi risiko tersebut.
2.1.4.1. Kecelakaan Industri Berdasarkan data pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2008-2012, besarnya 65 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
sumbangan dari setiap sektor ekonomi selama lima tahun terakhir diketahui bahwa sektor industri pengolahan menempati posisi pertama dengan struktur sebesar 25,4%. Posisi kedua oleh sektor pertanian sebesar 14,8% baru kemudian sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 13,7% yang menempati posisi ketiga (Kemenkeu, 2013). Data di atas menunjukkan bahwa selama ini sektor industri menjadi sektor signifikan yang memberikan kontribusi terbesar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Secara umum pada tahun 2012 lalu pertumbuhan dari industri pengolahan nonmigas saja mencapai 6,5% dengan pertumbuhan tertinggi dicapai oleh industri pupuk dan kimia. Menurut data dari Biro Pusat Statistik (BPS), perkembangan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1987-2011 menunjukkan jumlah yang terus naik setiap tahunnya. Pada 2012 lalu pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor mencapai 12% yang didominasi oleh mobil penumpang dan sepeda motor. Dengan laju pertumbuhan yang positif dari industri dan kendaraan bermotor serta sektor-sektor lainnya maka selanjutnya akan memaksa sektor industri migas untuk berkembang serta meningkatkan kapasitasnya. Meningkatnya jumlah industri baik migas maupun non-migas yang terus bertambah setiap tahunnya tentu merupakan sinyal positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Peningkatan jumlah industri juga memberikan sinyal positif khususnya dalam hal ketersediaan lapangan kerja. Bagaikan sebuah mata uang yang memiliki dua sisi, peningkatan jumlah industri juga berpotensi memberikan tekanan atau ancaman terhadap lingkungan. Fenomena Lumpur Lapindo di Sidoarjo yang terjadi pada akhir Mei 2006 di lokasi dimana PT. Lapindo Brantas Inc. sedang melakukan kegiatan pengeboran adalah sebuah contoh telak dampak negatif dari kegiatan industri. Sebuah bencana yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Umumnya bentuk ancaman bahaya besar dari sebuah kegiatan industri adalah kebakaran, ledakan, atau akibat yang ditimbulkan oleh bahan berbahaya atau beracun namun tidak pernah oleh lumpur. Beberapa kejadian lainnya dari contoh kasus kecelakaan besar industri di Indonesia adalah : (1) Tanggal 5 November 1993 terjadi kebocoran dan ledakan dari tangki penampung chlorine di PT. Indorayon Utama, Porsea, Kab. Tapanuli Utara, (2) Tahun 1994 terjadi kebocoran amoniak di PT. Pupuk Iskandar Muda, Lhokseumawe, Kab. Aceh Utara, (3) Tahun 1995 terjadi kebakaran dan ledakan dari tangki penimbun bahan bakar minyak di Cilacap, (4) Tanggal 25 Maret 1999 terjadi
66 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
kebocoran gas amoniak di PT. Ajinomoto, Mojokerto, (5) Tanggal 9 Agustus 2001 terjadi tumpahan tetes tebu di PG. Ngadirejo, Kediri yang kemudian mencemari badan air Kali Brantas mulai dari Kediri hingga Surabaya sejauh 170 km, (6) Tanggal 20 Januari 2004 terjadi ledakan dan kebakaran unit maleic anhydride dan phytalic anhydride di PT. Petrowidada, Gresik, (7) Tanggal 7 Juli 2013 terjadi kebocoran gas sulfur dioksida di PT. Smelting, Gresik. Industri berikut potensi bencana serta dampak negatif ikutannya adalah sebuah keniscayaan, tidak bisa dihindari apalagi dihilangkan sama sekali. Oleh karenanya strategi untuk mengantisipasi potensi bencana atau dampak negatif dari industri menjadi sangat penting dilakukan. Sehubungan dengan hal ini maka keberadaan atau tersedianya peta risiko bencana industri di Indonesia menjadi sangat krusial. Gambar 23: Peta Risiko Bencana Gagal Teknologi
Sumber: BNPB 2013 Berdasarkan hasil kajian dalam Rencana Induk Penanggulangan Risiko Bencana Kecelakaan Industri, ada 4 (empat) provinsi yang mempunyai tingkat bencana industri risiko tinggi, antara lain:
67 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
1. Provinsi Jawa Timur: Kab./Kota Gresik, Kab. Sidoarjo, Kab. Tuban, dan Kab. Bojonegoro. 2. Provinsi Banten: diprioritaskan pada Kota Cilegon 3. Provinsi Jawa Barat: Kab. Krawang, Kab. Bekasi, dan Kab. Cirebon 4. Provinsi Kalimantan Timur: Kota Bontang, Kota Balikpapan, Samarinda dan Tarakan.
2.2. Kerentanan Kerentanan dipahami sebagai karakteristik dan kondisi sebuah komunitas, sistem atau aset yang membuatnya cenderung terkena dampak merusak yang diakibatkan bahaya bencana. Aspek-aspek kerentanan ini meliputi sosial budaya, ekonomi, fisik dan ekologi.
2.2.1. Sosial Budaya Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 adalah 237.641.326 jiwa, termasuk mereka yang tinggal di daerah perkotaan sebanyak 118.320.256 jiwa (49,79%) dan di daerah pedesaan sebanyak 119.321.070 jiwa (50,21%) dan terdiri dari 119.630.913 laki-laki dan 118.010.413 perempuan. Periode 2010-2025, penduduk Indonesia bertambah 36,35 juta orang, sehingga total penduduk tahun 2025 mencapai 270,53 juta orang. Penduduk perkotaan mencapai 182,6 juta atau + 67,5% (atau 3,73 juta per tahun). Jumlah jiwa ini menambah potensi exposures di seluruh Indonesia, terutama pada kabupaten/kota padat penduduk. Distribusi populasi pada pulau-pulau besar adalah: Sumatera mencakup 25,2% dari luas seluruh wilayah Indonesia dan dihuni oleh 21,3% populasi, Jawa 6,8% dihuni oleh 57,5% dari populasi dan Papua yang meliputi 21,8%, dihuni oleh 1,5% dari populasi. Gambar 24: Paparan Bahaya Bencana di Indonesia
68 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Sumber: EMDAT CRED – Prevention Web Dalam hal paparan bahaya bencana, yang merupakan pemodelan jumlah orang yang hadir di zona bahaya yang tunduk pada potensi kerugian, Indonesia memiliki empat jajaran menonjol. Hal ini memegang peringkat pertama dari 76 negara dalam hal paparan tsunami, dengan lebih dari 5,4 juta orang yang terkena. Hal ini juga menempati urutan pertama (dari 162 negara) dalam hal paparan longsor, dengan lebih dari 197.000 orang yang terkena. Negara ini memegang peringkat ketiga untuk gempa (dari 153 negara) dan keenam untuk banjir (dari 162 negara). Gambar 22 menyajikan posisi paparan masyarakat Indonesia terhadap bahaya dalam konteks risiko global. Gambar 25:Perkembangan Kemiskinan di Indonesia 2004-2012
69 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Sumber: Susenas Ada keterkaitan yang sangat erat antara jumlah kemiskinan dengan kebencanaan di Indonesia. Jumlah dan persentase penduduk miskin menurun dari tahun 2004 ke 2005. Namun, pada tahun2006 jumlah penduduk miskin mengalami kenaikan karena harga barang-barang kebutuhan pokok saat itu naik tinggi yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95%. Namun mulai tahun 2007 sampai 2012 jumlah maupun persentase penduduk miskin terus mengalami penurunan. Perkembangan tingkat kemiskinan dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2012 ditunjukkan oleh Gambar 23. Keterkaitan antara jumlah penduduk miskin dan jumlah kejadian bencana dapat dilihat pada Gambar 24 di bawah ini. Hubungan antara basis data kemiskinan (Sistem Informasi Manajemen Terpadu/SIMPADU) dan basis data sejarah bencana di Indonesia (DIBI) di BNPB telah memberikan hasil analisis risiko bencana dan kemiskinan dalam satu sistem. Berikut beberapa temuan dari data sejarah bencana dan data kemiskinan. Gambar 26: Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dengan Jumlah Kejadian Bencana Tiap Provinsi di Indonesia
Sumber: BNPB 2012. Dari Gambar 24 di atas, dapat diproyeksikan bahwa korelasi antara kemiskinan dan 70 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
risiko bencana. daerah dengan jumlah penduduk miskin tertinggi cenderung memiliki risiko kejadian yang tinggi juga. Begitupula dengan daerah dengan jumlah kejadian sejarah bencana banyak memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi. Hal ini juga didukung dari Gambar 27 terkait dengan kejadian bencana di tingkat kabupaten yang selaras dengan jumlah tingkat kemiskinan. Kejadian bencana mayoritas terjadi di Pulau Jawa khususnya arah pantai selatan dan beberapa bagian di Sumatera, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Tenggara. Jumlah kejadian bencana di suatu daerah akan menyebabkan hilangnya aset ekonomi yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di daerah itu. Di sisi lain, konsentrasi populasi yang tinggi di Pulau Jawa telah menyebabkan tidak hanya perubahan dalam populasi, aset ekonomi dan infrastruktur, tetapi juga telah menyebabkan perubahan ekologi besar yang berpengaruh terhadap ancaman risiko bencana. Selain itu, tingginya jumlah orang miskin yang hidup di Jawa dengan kapasitas terbatas dalam penanggulangan bencana serta terbatasnya akses pelayanan dasar menjadi faktor penting yang mempengaruhi kerentanan terhadap jiwa terpapar, bangunan, dan lahan terdampak.
2.2.2. Ekonomi Kendala lain terungkap secara global adalah belum efektifnya tata kelola pemerintah. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga merambah di lingkup Asia-Pasifik. Seperti yang tercermin pada laporan yang disusun oleh UNESCAP dan UNISDR berikut. “Selain ini peningkatan mutlak dalam paparan terhadap ancaman bencana alam, kerugian ekonomi akibat bencana ini juga terus meningkat. Produk Domestik Bruto (PDB) global memiliki lebih dari tiga kali lipat 12,4-40,2 triliun dolar (dalam konstan 2000 dolar AS), sementara PDB Asia-Pasifik telah tumbuh dengan empat setengah kali selama periode yang sama. Tren paparan ekonomi meningkat untuk hampir semua sub-kawasan dan untuk semua ancaman bencana. Dari laporan tersebut jelas terlihat, bahwa pertumbuhan PDB wilayah Asia-Pasifik naik empat setengah kali lipat, namun kerugian ekonomi akibat bencana juga terus meningkat. Pertumbuhan ekonomi tidak serta merta menjamin penurunan ancaman kerugian akibat bencana. Dibutuhkan tata kelola efektif dalam hampir segenap lini pemerintahan untuk menjamin anggaran yang dialokasikan untuk pengurangan risiko bencana dapat meredam dampak negatif bencana.
71 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Ketersediaan anggaran untuk pengurangan risiko bencana yang cukup signifikan memang diperoleh dari upaya pengarusutamaan Penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan. Namun demikian perlu dicatat dalam prosesnya, tema penanggulangan bencana masuk secara mendadak menjadi prioritas pembangunan tanpa melalui jalur yang telah ditetapkan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Hal ini menyebabkan terjadinya kesulitan-kesulitan sinkronisasi penganggaran dan penurunan aturan antar kementerian/lembaga terkait penanggulangan bencana. Banyaknya regulasi teknis yang saling tumpang tindih serta saling melemahkan adalah salah satu dampak dari kondisi ini.
2.2.3. Fisik Keruntuhan struktur-struktur bangunan akibat gempa masih sering terjadi di Indonesia. Hal ini salah satunya disebabkan oleh belum lengkap dan sempurnanya persyaratan detailing yang ada, khususnya untuk bangunan-bangunan nonengineered yang berada di daerah yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi. Pedoman perancangan bangunan nonengineered yang ada saat ini berlaku sama untuk semua tingkat kegempaan yang ada berdasarkan peta bahaya bencana yang berlaku. Selain itu, dengan berubahnya peta bahaya bencana yang ada saat ini, perlu dilakukan verifikasi terhadap pedoman perancangan bangunan nonengineered. Posisi geodinamik Indonesia yang aktif mengakibatkan hampir 146 dari 486 kota dan kabupaten berisiko terhadap gempabumi. Dengan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia 6% per tahun, bila tidak diperhatikan aspek PRB dalam program pembangunan jangka pendek maupun menengah, jumlah kota dan kabupaten yang berisiko terhadap gempa bumi akan meningkat atau tingkat risiko dari kota kabupaten tersebut akan meningkat. Kerusakan infrastruktur terkait erat dengan perubahan curah hujan terutama peningkatan cuaca ekstrim. Struktur bangunan, terutama kapasitas dan daya maksimum beban, bisa terkena dampak ketika limpahan curah hujannya sangat tinggi. Perubahan pola tersebut akan banyak mempengaruhi kekuatan struktur dalam jangka panjang. Kerusakan yang terjadi seringkali tidak terasa dalam jangka pendek tetapi lambat laun akan terasa nyata. Salah satu akibat curah hujan ekstrim yang berpengaruh pada infrastruktur adalah badai dan banjir. Kelebihan curah hujan di hulu dapat merusak kapasitas tampung waduk air untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sehingga seringkali melimpas menjadi aliran buangan yang kurang bermanfaat. Selain itu, curah hujan yang tinggi 72 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
dapat menimbulkan pendangkalan di waduk sebagai akibat dari banyaknya erosi yang dibawa air hujan tadi. Kebijakan pembuangan limpasan air dan pengerukan sedimen lumpur perlu diambil sebagai solusi antisipasi agar kapasitas struktur bangunan waduk tidak mengalami kerusakan secara permanen. Peningkatan suhu ekstrim dapat mempengaruhi tingginya paras muka air laut yang lambat laun akan mempengaruhi infrastruktur di wilayah pesisir. Tambak-tambak ikan dan udang di daerah pesisir misalnya akan tergenang air akibat tingginya kenaikan muka air laut.
2.2.4. Ekologi Salah satu aspek yang menentukan kerentanan adalah letak suatu komunitas dari pusat ancaman. Dengan demikian, daerah rawan letusan gunungapi adalah daerah yang terdapat di sekitar tubuh gunungapi. Daerah seperti ini pada umumnya mempunyai daya tarik dalam rupa tanah yang subur untuk bercocok tanam, mata air, dan pemandangan yang indah, sehingga masyarakat senang tinggal dan beraktivitas diwilayah tersebut. Mereka adalah warga masyarakat yang rentan karena tinggal terlalu dekat dengan sumber ancaman. Begitu pula untuk ancamanancaman lainnya: masyarakat yang rentan terhadap tsunami adalah mereka yang tinggal di pesisir pantai yang berada di dekat daerah penunjaman lempeng bumi, mereka yang rentan terhadap gempabumi adalah yang tinggal di dekat patahanpatahan/sesar aktif, penduduk yang rentan terhadap gerakan tanahadalah mereka yang tinggal di lerang-lereng yang labil, masyarakat yang rawan banjir adalah mereka yang tinggal di bantaran-bantaran sungai atau di daerah-daerah yang dahulunya memang merupakan dataran banjir. Unsur kerentanan lainnya adalah tingkat kepadatan penduduk, dimana Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki jumlah penduduk yang tinggi. Salah satu masalah yang dihadapi Indonesia adalah tidak meratanya penyebaran penduduk di pulau-pulau di negeri ini. Menumpuknya populasi penduduk di Pulau Jawa dan Madura, diikuti oleh Pulau Sumatera, menimbulkan kerentanan karena Pulau Jawa selain memiliki banyak ancaman alam termasuk gempabumi dan letusan gunungapi, juga menghadapi ancaman kerawanan sosial. Dengan terbatasnya daya dukung sumberdaya dan lingkungan, lapangan kerja, dan bercampurnya masyarakat multi etnis dan budaya di pulau-pulau utama tersebut, maka tingkat kerawanan sosial akan menjadi lebih tinggi. Begitu pula dengan tingkat pertambahan penduduk yang relatiftinggi, jika 73 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
tidak dikendalikan dengan baik maka akan berpotensi meningkatkan kerawanan sosial di Indonesia. Perubahan pola curah hujan dapat berdampak pada berkurangnya ketersediaan air di permukaan dan penurunan kualitas air akibat pekatnya kandungan polutan di air permukaan yang menurun kuantitasnya. Permasalahan sumber daya air menyangkut aliran air di permukaan dan aliran air di bawah tanah. Permasalahan utama sumber daya air di Indonesia adalah tidak meratanya distribusi musiman dari air yang tersedia. Dengan jumlah curah hujan sekitar 2.300 mm per tahun sebenarnya Pulau Jawa memiliki kelebihan sumber daya air, tetapi sekitar 80% air yang tercurah tersebut jatuh pada musim hujan. Sisanya yang 20% tercurah pada musim kemarau. Dalam hal ini diperlukan manajemen sumber daya air yang mengacu pada prediksi iklim yang jitu untuk mendukung ketersediaan sumber daya air yang memadai sepanjang tahun. Pergeseran musim dapat menyebabkan terjadinya perubahan waktu dan jenis tangkapan ikan. Perubahan suhu muka laut dapat menyebabkan perubahan lokasi tangkapan, perpindahan lokasi ikan, serta pengurangan jenis dan jumlah ikan. Perubahan pola angin dan gelombang tinggi dapat menyebabkan nelayan gagal malaut. Selain itu, perubahan tersebut juga dapat mengakibatkan terjadinya pengadukan di waduk, tambak, dan keramba jarring apung sehingga turbiditas meningkat. Perubahan pola hujan, fenomena banjir, dan kekeringan dapat mempengaruhi pola budi daya petani tambak. Perubahan frekuensi El Nino dapat menyebabkan peningkatan hasil tangkapan (tuna) dan peningkatan produksi garam. Sebaliknya, pada saat La Nina dan kemarau basah dapat menyebabkan produksi garam turun dan hasil tangkapan tuna jauh berkurang. Perubahan kelembaban udara dapat menyebabkan peningkatan keasinan air tambak dan mempengaruhi pola budi daya. Peningkatan tinggi muka laut dapat menyebabkan peningkatan terjadinya rob, erosi tebing pantai, serta tenggelamnya pulau dan tambak. Perubahan suhu muka bumi menyebabkan terjadinya pemutihan (bleaching) terumbu karang yang merupakan kerusakan objek wisata bahari. Pemutihan terumbu karang tersebut lebih disebabkan oleh perubahan suhu yang mendadak, baik meningkatnya akibat pemanasan global maupun tahun-tahun El Nino. Padahal 74 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
untuk memulihkan terumbu karang seperti kondisi semula dibutuhkan waktu yang sangat lama, dapat mencapai ratusan tahun. Akibat suhu meningkat dan perubahan pola musim, beberapa jenis flora dan fauna terancam punah. Padahal flora dan fauna tersebut selama ini pesona wisata Indonesia. Kenaikan muka laut dapat menyebabkan terjadinya banjir atau rob di wilayah pesisir yang dapat pula merusak infrastruktur wisata seperti akses jalan, fasilitas rekreasi, dan lain-lain. Peningkatan iklim ekstrim di laut, darat, dan udara dapat menyebabkan terganggunya trasportasi wisata yang pada akhirnya dapat mengurangi minat wisatawan untuk berkunjung atau dapat mempersingkat waktu kunjungan. Industri wisata menyukai suasana cerah sinar Matahari. Jadi, jika iklim kemarau basah terus terjadi dan sinar Matahari berkurang, praktis dapat menurunkan daya tarik bagi para wisatawan. Peningkatan suhu dan perubahan pola hujan, seperti kemarau panjang, dapat menyebabkan peningkatan risiko kebakaran hutan dan lahan serta mengancam ketersediaan air. Perubahan biodiversitas dapat terjadi dikarenakan perubahan suhu dan pola curah hujan akibat iklim ekstrim. Di lain pihak, terjadinya kemarau basah dapat menguntungkan karena dapat mempercepat penghijauan di sektor kehutanan. Dalam satu dekade dari sekarang diperkirakan kawasan-kawasan tropis di dunia akan menghadapi dampak perubahan iklim yang parah dan jauh lebih awal dibandingkan kawasan Arktik dan lainnya. Kawasan tropis akan mengalami dampak parah akibat dari iklim mereka yang stabil, ungkap para peneliti. Tidak seperti yang terjadi kawasan Arktik, dimana perubahan suhu di musim panas dan musim dingin bisa begitu berbeda, di kawasan tropis satwa dan vegetasi cenderung berada pada suhu yang kurang lebih sama sepanjang tahun. Dengan hanya seidkit perubahan, meningkatnya suhu, dan berkurangnya curah hujan, maka akan sangat mempengaruhi kondisi ekosistem di kwasan tropis. Sebagian besar spesies di kawasan tropis hidup di rentang iklim yang lebih sempit dibandingkan di kawasan Subtropis dan Arktik.
75 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
2.3. Kapasitas Kapasitas merupakan gabungan antara semua kekuatan, ciri yang melekat dan sumber daya yang tersedia dalam sebuah komunitas, masyarakat atau organisasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang disepakati.
2.3.1. Regulasi Penanggulangan Bencana Pola penanggulangan bencana mendapatkan dimensi baru dengan dikeluarkannya UU No. 24/2007 yang diikuti beberapa aturan pelaksana terkait, yaitu Peraturan Presiden No. 08 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (PP No. 21/2008), Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana (PP No. 22/2008), dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Nonpemerintah dalam Penanggulangan Bencana (PP No. 23/2008). Selain itu, Kementerian Dalam Negeri juga menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Permendagri No. 46/2008). Dimensi baru dari rangkaian peraturan terkait dengan bencana tersebut adalah: 1. Penanggulangan bencana sebagai sebuah upaya menyeluruh dan proaktif dimulai dari pengurangan risiko bencana, tanggap darurat, serta rehabilitasi dan rekonstruksi. 2. Penanggulangan bencana sebagai upaya yang dilakukan bersama oleh para pemangku kepentingan dengan peran dan fungsi yang saling melengkapi. 3. Penanggulangan bencana sebagai bagian dari proses pembangunan sehingga mewujudkan ketahanan (resilience) terhadap bencana. Berbagai kebijakan tersebut telah ditindaklanjuti dengan pendirian BNPB di tingkat pusat dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat provinsi, dan kabupaten/kota. Hingga bulan Februari 2014 telah terbentuk 436 BPBD yang terdiri dari 33 BPBD Provinsi dan 403 BPBD Kabupaten/Kota (81% dari 497 kabupaten/kota). Pada skala teknis, BNPB juga menerbitkan berbagai panduan dan pedoman untuk membantu Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta lembaga lain di luar pemerintah dalam pelaksanaan tugas penanggulangan bencana. Sementara proses
76 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
pengembangan kebijakan sedang berlangsung, proses lain yang tidak kalah penting adalah memastikan bahwa provinsi dan kabupaten/kota mulai mengembangkan kebijakan, strategi, dan operasi penanggulangan bencana sesuai dengan arah pengembangan kebijakan di tingkat nasional. Upaya penanggulangan bencana di daerah perlu dimulai dengan adanya kebijakan daerah yang bertujuan menanggulangi bencana sesuai dengan peraturan yang ada. Strategi yang ditetapkan daerah dalam menanggulangi bencana perlu disesuaikan dengan kondisi daerah. Operasi penanggulangan bencana perlu dipastikan efektif, efisien dan berkelanjutan. Pada RPJMN 2010-2014, penanggulangan bencana telah menjadi salah satu agenda prioritas pembangunan nasional. Hal ini menandakan bahwa pemerintahan di Indonesia dari tingkat pusat hingga lokal menjadikan penyelenggaraan penanggulangan bencana sebagai salah satu upaya prioritas pembangunan. Internalisasi Renas PB dan RPJMN 2010-2014 memperlihatkan bahwa lebih dari 82% fokus prioritas yang bersifat generik pada Renas PB telah diakomodir oleh berbagai kementerian dan lembaga. Sedangkan untuk program spesifik berdasarkan jenis ancaman bencana, terlihat bahwa tingkat implementasinya adalah sebesar 18%. Proses penyusunan Renas PB dan internalisasinya pada RPJMN di tingkat pusat harus juga diikuti di daerah. Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) adalah dokumen sejenis Renas PB untuk tingkat pemerintahan daerah. Saat ini seluruh provinsi dan sebagian kecil daerah kabupaten/kota telah memiliki dokumen RPB.
2.3.2. Kelembagaan Penanggulangan Bencana Lembaga khusus yang menangani penanggulangan bencana berdasarkan UU No. 24/2007 adalah BNPB di tingkat nasional serta BPBD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Hingga bulan Februari 2014 telah terbentuk 436 BPBD yang terdiri dari 33 BPBD Provinsi dan 403 BPBD Kabupaten/Kota (81% dari 497 kabupaten/kota). Diakui secara luas bahwa kapasitas BPBD-BPBD masih sangat lemah. Ada semacam keinginan bahwa dengan usia BPBD yang masih “bayi” di berbagai daerah akan langsung menjadi efektif dalam penyelenggaraan PB. Konsekuensinya, kritik terhadap BPBD jarang dilakukan secara sehat, tanpa melihat hambatan-hambatan internal maupun eksternal dari kelembagaan lokal maupun nasional. Permasalahan
77 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
terkait kelembagaan di tingkat lokal dan nasional, antara lain tingkat kecepatan pembentukan BPBD di kabupaten/kota, sumber daya manusia (pengetahuan teknis, administrasi dan epistemik) sebagai titik yang paling lemah baik di pusat maupun daerah, lemahnya koordinasi perencanaan dan implementasi, koordinasi dalam penyadaran masyarakat rentan bencana, sinkronisasi kebijakan vertikal (pusat vs daerah), pengurangan risiko bencana (PRB) belum menjadi isu strategis pemerintah, lemahnya kebijakan strategis PRB, keberlanjutan BPBD berdasarkan peraturan kepala daerah (bupati/walikota) rentan pada volatilitas politik anggaran lokal, kompetisi proyek (sektor versus BPBD/BNPB), pelaksanaan peraturan yang masih sangat lemah serta lemahnya kepemimpinan di nasional maupun daerah. Sejalan dengan hal tersebut, kebijakan-kebijakan terkait kebencanaan di daerah belum sepenuhnya tersusun untuk memayungi upaya-upaya pembangunan kesiapsiagaan, peringatan dini dan penanggulangan bencana secara umum yang dapat memberikan perlindungan bagi masyarakat, sehingga perlu disusun kebijakankebijakan yang mendukung upaya-upaya pelaksanaan penanggulangan bencana.
2.3.3. Perencanaan Penanggulangan Bencana Sebanyak 33 provinsi dan 33 kabupaten/kota tahun 2011 dan 2012 telah menyusun rencana penanggulangan bencana (RPB) dengan dukungan pemerintah pusat. Walaupun baru sebagian kecil saja kabupaten/kota yang menyusun RPB, namun ini adalah langkah-langkah kongkret dan strategis antara pemerintah, provinsi maupun kabupaten/kota untuk bersinergis dalam mengurangi risiko bencana secara terencana, menyeluruh, terpadu, dan terkoordinasi. Apabila kegiatan upaya penyusunan RPB pada tingkat kabupaten/kota dilanjutkan serta diagendkan secara teratur dan konsisten setiap tahun, maka sekitar 275 kabupaten/kota lagi akan selesai kurang lebih dalam 9 tahun lagi (33 kabupaten/kota per tahun). Namun, pekerjaan menyusun Renas PB dan RPB tidak akan pernah selesai, karena dokumen-dokumen tersebut harus selalu diperbarui setiap 5 tahun. Mekanisme pembaharuan setiap 5 tahun dinilai cukup efektif karena selaras dengan pola RPJP, RPJM dan RKP sehingga pengurangan risiko bencana dapat diarusutamakan ke dalam rencana kerja pembangunan, baik di tingkat tahunan, menengah dan panjang di tingkat nasional maupun di provinsi dan kabupaten/kota.
2.3.4. Penganggaran Penanggulangan Bencana 78 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Di bidang penganggaran PB diatur secara khusus melalui PP No. 22/2008. Pada Pasal 4 PP No. 22/2008 menyebutkan bahwa (1) Dana PB menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah (budget sharing), (2) Dana PB berasal dari APBN, APBD, masyarakat. Dalam pendanaan PB ini dikenal adanya dana kontijensi, dana siap pakai (on call), dan dana bantuan sosial berpola hibah. Dana kontinjensi bencana disediakan dalam APBN untuk kegiatan kesiapsiagaan pada tahap prabencana. Dana siap pakai disediakan dalam APBN yang ditempatkan dalam anggaran BNPB untuk kegiatan pada saat tanggap darurat. Pemerintah daerah dapat menyediakan dana siap pakai dalam anggaran PB yang berasal dari APBD yang ditempatkan dalam anggaran BPBD. Dana siap pakai harus selalu tersedia sesuai dengan kebutuhan pada saat tanggap darurat. Dana bantuan sosial berpola hibah disediakan dalam APBN untuk kegiatan pada tahap pascabencana (rehabilitasi dan rekontruksi). Dari sudut pendanaan adalah meningkatnya jumlah anggaran PB dalam APBN, pada tahun 2012 anggarannya sebesar Rp9,5 Trilyun atau 0,77% dari total dana APBN. Dana tersebut tidak saja untuk keperluan saat tanggap darurat dan pemulihan, tapi juga untuk pengurangan risiko bencana (PRB). Khusus untuk dana penanggulangan bencana yang dialokasikan melalui BNPB menjadi Rp1.045 milyar di tahun 2013. Dana APBN itu tersebar di 37 K/L yang mempunyai program-program PB. Untuk upaya tanggap darurat disediakan dana siap pakai (on call) sebesar Rp4 triliun yang disimpan di Kementerian Keuangan tapi apabila sewaktu-waktu dibutuhkan maka BNPB dengan persetujuan DPR dapat mencairkannya. Kekurangan utama dari pendanan PB di atas adalah masih berasal dari APBN sedangkan pendanaan dari APBD masih sangat kecil. Secara nasional, rata-rata setahun terdapat Rp12,5 triliun anggaran yang tersebar di 37 K/L untuk PB, sedangkan di BNPB hanya Rp1,34 triliun per tahunnnya. Di sisi lain, kebutuhan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di seluruh Indonesia memerlukan biaya sekitar Rp30 triliun, sedangkan ketersediaan dana cadangan PB hanya Rp4 triliun. Sementara itu rata-rata anggaran di BPBD provinsi hanya 0,38% dari APBD setempat, bahkan di APBD kabupaten/kota kurang dari 0,1% dari jumlah APBD. Hal ini pada umumnya disebabkan oleh para pemangku kepentingan utama di daerah, misalnya para eksekutif, dan legislatif yang baru terbentuk, dan para penyedia pelayanan publik lainnya termasuk lembaga usaha belum mempunyai kepedulian dan komitmen yang memadai sehingga perlu upaya untuk meningkatkan kepedulian dan komitmen tersebut. Kondisi ini, akan menjadi tantangan berat
79 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
karena untuk beberapa tahun ke depan ancaman bencana menunjukkan tren peningkatan.
80 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
BAB III CAPAIAN, ISU DAN PERMASALAHAN PENANGGULANGAN BENCANA
3.1. Capaian Upaya PB Upaya penanggulangan bencana (PB) dalam lima tahun terakhir (2010-2014) telah mengalami perkembangan yang signifikan. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU No. 24/2007) telah menjadi landasan kokoh dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia. Pasal 33 UU No. 24/2007 menegaskan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap meliputi prabencana, saat tanggap darurat dan pascabencana. Penegasan dalam pasal ini menunjukan adanya transformasi besar dalam penyelenggaran PB yang sebelumnya hanya terfokus pada upaya tanggap darurat saja. Berdasarkan hasil evaluasi paruh waktu RPJMN 2010-2014, kajian dan evaluasi Renas PB 2010-2014 dan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN PRB) 2010-2012, maka secara umum capaian dalam upaya penangulangan bencana 2010-2014 diuraikan di bawah ini.
3.1.1. Kerangka Regulasi dan Kelembagaan Pencapaian Indonesia dalam aspek kerangka regulasi dan kelembagaan antara lain telah memiliki UU No. 24/2007 dan peraturan turunannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (PP No. 21/2008), Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana (PP No. 22/2008), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non-Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana (PP No. 23/2008) dan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Perpres No. 8/2008). Pada tataran operasional telah diterbitkan peraturan pelaksanaan, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Permendagri No. 46/2008) dan 81 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
sejumlah Peraturan Kepala Badan Nasional Penangulangan Bencana (Perka BNPB) sebagai landasan pelaksanaan penyelenggaraan penanggulangan bencana baik yang terkait dengan tahap prabencana, tanggap darurat maupun pascabencana. Kerangka regulasi sektoral yang terkait dengan upaya penyelenggaran PB juga telah diterbitan antara lain Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU No. 26/2007), Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No. 27/2007), UndangUndang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 29/2009), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (UU No. 31/2009), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan Rakyat (UU No. 1/2011), Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (UU No. 4/2011) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU No. 6/2014). Kelembagaan penyelenggaraan penanggulangan bencana telah dibentuk, yakni BNPB dan Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana (SRC PB) di tingkat nasional. SRC PB ini terdiri dari SRC Wilayah Barat yang berkedudukan di Jakarta dan SRC Wilayah Timur yang berkedudukan di Malang Jawa Timur. BPBD untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Hingga bulan Februari 2014 telah terbentuk 436 BPBD yang terdiri dari 33 BPBD Provinsi dan 403 BPBD Kabupaten/Kota (81% dari 497 kabupaten/kota). Komitmen nasional dalam upaya penanggulangan bencana diwujudkan pula dalam bentuk pengintegrasian PB dalam perencanaan pembangunan. RPJMN 2010-2014 telah menjadikan PB menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional. Di samping itu, di tingkat nasional telah disusun dan ditetapkan Renas PB 2010-2014 dan RANPRB 2010-2012. Di tingkat daerah telah 33 provinsi dan 33 kabupaten telah memiliki Rencana Penanggulangan Bencana Daerah (RPBD). Komitmen nasional lainya adalah telah dialokasikannya anggaran untuk penanggulangan bencana yang terus meningkat, pada tahun anggaran 2008 berjumlah Rp.147.652.346.000,00 menjadi Rp.5.206.880.402.000,00 pada 2011.
3.1.2. Pengkajian Risiko Bencana Penetapan Peringatan Dini Pencapaian dalam prioritas ini, antara lain telah tersusunnya Pedoman Kajian Risiko Bencana yang tertuang dalam Perka BNPB Nomor 2 Tahun 2012 dan Panduan Kajian Kapasitas Daerah yang dituangkan dalam Perka BNPB Nomor 3 Tahun 2012. Pedoman ini telah digunakan oleh daerah dalam melakukan kajian risiko dan kajian 82 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
kapasitasnya, sampai sekarang sebanyak 33 provinsi dan 33 kabupaten/kota telah memiliki Peta Risiko Bencana. Pembangunan Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI) merupakan capaian yang menandai perkembangan yang signifikan dalam penyediaan data kebencanaan yang secara regular diperbaharui dan dapat diakses oleh para pemangku kepentingan. Pembangunan kesiapsiagaan bencana tsunami telah tumbuh, yang ditandai dengan diterbitkannya UU No. 31/2009. UU ini memberikan landasan efektif untuk pembangunan sistem peringatan dini bencana, khususnya tsunami. Di lain pihak, BNPB berkoordinasi dengan sejumlah kementerian dan lembaga lain, menyusun rencana induk (masterplan) tsunami. Rencana induk ini menjadi arah pergerakan pembangunan kesiapsiagaan tsunami di Indonesia. Saat ini, di bawah koordinasi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Indonesia telah menjadi salah satu Regional Tsunami Service Provider (RTSP) untuk peringatan dini bencana tsunami bersama dengan India dan Australia. Pembangunan sistem peringatan dini bencana yang terintegrasi dalam skala nasional dengan menggunakan parameter-paramater penyebaran arahan yang terstandar belum dapat dilakukan untuk semua jenis bencana. Bahkan untuk sistem peringatan dini bencana tsunami, masih terkendala dengan berbagai masalah penyebaran arahan di tingkat komunitas. Status awas, siaga dan waspada yang diberlakukan pada sistem peringatan dini bencana tsunami berbeda tingkat kedaruratannya dengan sistem peringatan dini bencana yang digunakan untuk banjir dan gunung api. Secara khusus untuk sistem peringatan dini bencana letusan gunung api berada di bawah kendali Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) yang berada di dalam lingkup Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM).
3.1.3. IPTEK untuk Membangun Budaya Aman Pencapaian dalam prioritas ini, antara lain telah dibangunnya budaya sadar bencana melalui pelaksanaan Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana. Kegiatan ini selaras dengan imbauan UNISDR yang dilaksanakan tiap tanggal 13 bulan Oktober. Pembentukan Konsorsium Pendidikan Bencana (KPB) merupakan bagian dari membangun budaya sadar bencana. Upaya memasukkan kurikulum bencana dalam kurikulum pada jenjang pendidikan formal melalui Surat Edaran Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70A/MPN/SE/2010 merupakan capaian yang juga perlu dilanjutkan dimasa-masa mendatanng. Kementerian Pendidikan Nasional menyatakan, seluruh
83 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
pemerintah daerah diimbau menyelenggarakan penanggulangan bencana di sekolah di tengah kurangnya pengetahuan anak terhadap bencana. Pengetahuan pengurangan risiko bencana (PRB) segera dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan. Siswa mulai sekolah dasar (SD) sampai dengan sekolah menengah atas (SMA) akan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang tepat untuk menyelamatkan diri saat terjadi bencana. Upaya lain untuk membangun budaya aman adalah dengan adanya pembukaan Program Pasca Sarjana Manajemen Bencana dan Pusat-Pusat Studi Bencana serta terbentuknya Forum Perguruan Tinggi Pengurangan Risiko Bencana. Secara khusus, BNPB dengan dukungan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementrian Riset dan Teknologi menyelenggarakan Lokakarya Penelitian Kebencanaan. Kegiatan ini ditindak-lanjuti kerjasama antara BNPB dengan 12 Perguruan Tinggi untuk penyusunan 12 Rencana Induk (Masterplan) Bencana di Indonesia. Upaya membangun budaya sadar bencana dilakukan pula dengan peluncuran kampanye “Satu Juta Sekolah dan Rumah Sakit Aman” dan sekaligus membangun ketahanan bangsa dan ketangguhan masyarakat. Kampanye yang dilaksanakan pada tahun 2010 mentargetkan mampu mengembangkan 1.000 sekolah dan rumah sakit aman di Indonesia. Dalam kampanye itu Indonesia berjanji untuk meningkatkan keamanan bagi lebih dari 3.000 sekolah dan 100 rumah sakit sebagai bagian dari komitmennya untuk program PBB dalam memperkuat stuktur bangunan, dimana konstruksi yang buruk dapat menyebabkan angka kematian yang tinggi pada saat terjadi gempa bumi atau bencana lainnya. Untuk mendukung pelaksanaan Sekolah/Madrasah Aman Bencana, secara khusus telah diterbitkan Peraturan Kepala BNPB Nomor 4 Tahun 2012 tentang Pembangunan Sekolah/Madrasah Aman Bencana (Perka BNPB No. 4/2012).
3.1.4. Mengurangi Risko-Risiko Mendasar Pencapaian prioritas ini, antara lain telah dilakukan pendekatan dengan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) untuk merintis Adaptasi Perubahan Iklim (API) dan Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Pembahasan tentang asuransi bencana (risk transfer) dan pembiayaan risiko bencana (risk financing). Upaya penerapan asuransi bencana dimulai dengan asuransi untuk mengamankan ABPN terhadap bencana sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2013. Pelaksanaan beragam program penangggulangan kemiskinan dalam mencapai target Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2005-2015, seperti Program Nasional 84 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan yang dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum, dan PNPM Mandiri Perdesaan yang dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri serta PNPM Mandiri Sektoral yang dilaksanakan oleh sejumlah Kementrian merupakan bagian untuk mengurangi risiko-risiko dasar. Bahkan untuk memudahkan pengendalian dan evaluasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) berhasil mengembangkan Sistem Informasi Penanggulangan Kemiskinan Terpadu (Simpadu). Selanjutnya, upaya untuk mengurangi risiko-risiko mendasar telah memiliki landasan hukum sebagaimana tertuang pada sejumlah undang-undang antara lain UU No. 26/2007, UU No. 27/2007, UU No. 29/2009, UU No. 31/2009, UU No. 1/2011, UU No. 4/2011 dan UU No. 6/2014.
3.1.5. Memperkuat Kesiapsiagaan Pencapaian prioritas ini, antara lain dicanangkannya rencana kontijensi di 100 lokasi, pembangunan Pusat Pengendalian Operasional (Pusdalops) di beberapa provinsi, dana siap pakai tingkat nasional. Di tingat nasional, secara regular diselenggarakan latihan di dalam ruangan (table top exercise – TTX) dan latihan langsung di luar ruangan (field top exercise – FTX). Di sisi kerjasama internasional untuk pembangunan kesiapsiagaan dalam lingkup regional, Indonesia dipandang berhasil dalam menyelenggarakan acara ASEAN Regional Forum Disaster Relief Exercise (ARF DiREx) 2011 sebagai forum latihan PB se-ASEAN. ARF DiREx digelar di Manado, Sulawesi Utara pada tanggal 14 - 19 Maret 2011 dengan diikuti oleh 23 negara dari 27 negara yang semula berniat hadir. Indonesia dan Jepang menjadi Ketua Bersama dalam kegiatan ini. Kegiatan pada ARF DiREx dibagi menjadi dua kegiatan yaitu, kegiatan TTX dan FTX. Kegiatan TTX ARF DiREx ini diikuti oleh total 225 peserta. Ada 106 peserta dari dunia internasional, yaitu 23 negara anggota ARF, 7 lembaga internasional (ASEAN Secreatariat, AHA Center, UNOCHA, UNICEF, WHO, WFP, IFRC) dan 119 peserta nasional (kementerian/lembaga, BNPB, PMI, akademisi, swasta, LSM dan relawan). TTX ARF DiREx menyiapkan sebuah forum yang efektif untuk peningkatan kesadaran pada mekanisme koordinasi respon darurat pada negara-negara yang terdampak bencana, negara donor dan komunitas kemanusiaan. Adalah sangat penting untuk mengakui bahwa semua bantuan internasional yang disediakan untuk mendukung negara dan penduduk yang terdampak bencana dan peraturan yang berlaku, syarat-syarat dan penghargaan kepada budaya dan adat-istiadat setempat. 85 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Kegiatan FTX ARF DiREx 2011 diikuti oleh 3.575 peserta total, yang terdiri 3.530 peserta dari Indonesia dan 455 peserta dari luar negeri (Cina, Uni Eropa, Singapura, India, Filipina, Timor Timur, Jepang, Australia, Mongolia). Kegiatan FTX itu meliputi operasi darat (ada 88 kegiatan tiap hari), operasi laut (ada 72 kegiatan tiap hari dan total 18 kapal berbagai jenis) dan operasi udara (ada 49 kali penerbangan dan total 10 pesawat terbang dan helikopter dari berbagai jenis). Kegiatan lapangan berupa kegiatan pelatihan evakuasi korban bencana alam darat, laut dan udara juga kegiatan bakti sosial masyarakat mulai dari pelayanan kesehatan gratis, pembangunan jalan, pemasangan alat penjernih air dan pembangunan balai pertemuan rakyat. Semua kegiatan telah berhasil dilaksanakan dengan lancar, sukses dan sesuai dengan perencanaan.
3.1.6. Perubahan Iklim Perubahan iklim akan mempengaruhi risiko bencana dalam dua hal, pertama dengan meningkatnya bahaya-bahaya cuaca dan iklim, dan kedua dengan meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap bahaya bencana alam, terutama melalui degradasi ekosistem, berkurangnya ketersediaan air dan makanan, serta perubahan-perubahan dalam penghidupan masyarakat. Perubahan iklim juga akan menambah tekanan lain terhadap penurunan kualitas (degradasi) lingkungan hidup dan pertumbuhan perkotaan yang cepat dan tidak terencana baik, yang selanjutnya akan semakin mengurangi kemampuan masyarakat untuk mengatasi bahkan pada tingkat bahaya cuaca yang ada saat ini. Perubahan iklim mempengaruhi tekanan lingkungan biofisik dan manusia, dengan berkontribusi terhadap degradasi lingkungan hidup dan perubahan sosial-ekonomi, dan dengan demikian semakin mengurangi kemampuan masyarakat untuk mengatasi dampak buruk perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan sebuah rintangan besar untuk pengurangan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan di seluruh dimensi-dimensinya. Adaptasi Perubahan Iklim dalam penanggulangan bencana berintegrasi dengan programprogram pengentasan kemiskinan. Negara Indonesia terletak pada kondisi geografis yang umumnya sudah berada pada kondisi lebih panas dan terpapar variasi curah hujan yang tinggi. Sebagai hasilnya, pemanasan lebih lanjut akan membawa biaya tinggi dan keuntungan yang sedikit bagi negara. Indonesia bergantung pada pertanian, yaitu sektor yang paling sensitif terhadap iklim dibandingkan semua sektor ekonomi lainnya. Pada beberapa wilayah di Indonesia juga memiliki fasilitas
86 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
kesehatan dan pelayanan masyarakat yang masih berkualitas rendah. Tingkat pendapatan yang rendah dari sebagian besar penduduk Indonesia membuat upaya adaptasi perubahan iklim menjadi sulit. Karena faktor-faktor kerentanan ini, perubahan iklim sangat mungkin mengurangi pendapatan yang sudah rendah dan meningkatkan tingkat penyakit dan kematian di wilayah-wilayah paling miskin di Indonesia. Perubahan iklim global memberikan pengaruh terhadap kehidupan dan sejumlah bidang penghidupan di Indonesia. Gambar 25 di bawah ini menjelaskan kaitan kenaikan temperatur dengan dampak yang terjadi pada beberapa sektor kehidupan. Gambar 27: Skema Dampak Perubahan Iklim Akibat Peningkatan Suhu Global
Sumber: Paparan Indonesia Forest and Climate Support (IFACS), Februari 2013.
87 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
3.2. Peluang dan Tantangan 3.2.1. Kerangka Hukum dan Kelembagaan Kelembagaan yang dibekali fungsi dan kewenangan yang memadai untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana menjadi salah satu kunci sukses pembangunan penanggulangan bencana di Indonesia. UU No. 24/2007 memberikan landasan bagi pembangunan sebuah kerangka kebijakan dan kelembagaan yang kuat pada semua tingkat untuk mengkoordinasikan kegiatan penanggulangan bencana. Undang-undang tersebut diikuti oleh beberapa peraturan lainnya termasuk PP No. 21/2008, PP No. 22/2008, PP No. 23/2008 dan Perpres No. 8/2008, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 38 Tahun 2008 tentang Penerimaan dan Pemberian Bantuan Organisasi Kemasyarakatan Dari dan Kepada Pihak Asing (Permendagri No. 38/2008), Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri (Permendagri No. 3/2008), Permendagri No. 46/2008, dan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Perka BNPB No. 3/2008). BNPB dibentuk oleh Pemerintah Pusat (Pasal 10, ayat 1 UU No. 24/2007) yang kedudukannya merupakan lembaga pemerintah non departemen setingkat menteri (Pasal 10, ayat 2 UU No. 24/2007). Di satu sisi BNPB merupakan lembaga pemerintah yang memiliki mandat utama sebagai penyelenggara PB melalui fungsi koordinasi, komando dan pelaksana namun di sisi lain Perpres No. 8/2008 “hanya” menempatkan BNPB sebagai lembaga teknis non departemen yang dipimpin oleh kepala setingkat menteri. Dalam posisi seperti ini, sulit bagi BNPB untuk melakukan fungsi kordinasi terhadap K/L lain karena BNPB merupakan badan yang secara hirarki berada di bawah kementerian. Selain itu, terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan sehubungan dengan mandat penyelenggaraan PB masih belum sepenuhnya selaras, karena mandat penyelenggaraan PB secara proporsional juga dimiliki oleh sektor-sektor lain sesuai dengan tupoksi masing-masing. Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan mempunyai mandat mengatur hubungan dan ketersediaan sumberdaya di pusat dan daerah dalam hal PB. Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pekerjaan Umum menangani kondisi darurat bencana. Dalam hal tata kerja dan pendanaan PB masih ada sedikit tantangan. UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32/2004) dan 88 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU No. 33/2004) dikeluarkan sebelum UU No. 24/2007, sehingga belum mengatur mandat Pemerintah Daerah dalam PB. Hal ini berakibat PB belum menjadi “mandat pokok” pendanaan, sehingga pendanaan PB di daerah tidak masuk dalam prioritas utama. Namun demikian BPBDBPBD di berbagai daerah yang baru dibangun dan masih berkapasitas rendah diharapkan akan langsung menjadi efektif dalam penyelenggaraan PB. Konsekuensinya, kritik terhadap BPBD jarang dilakukan secara sehat, tanpa melihat hambatan-hambatan internal maupun eksternal dari kelembagaan lokal maupun nasional. Tantangan terkait kelembagaan di tingkat lokal dan nasional, antara lain tingkat kecepatan pembentukan BPBD di kabupaten/kota antara lain: (1) sumber daya manusia (pengetahuan teknis, administrasi dan epistemik) sebagai titik yang paling lemah baik di pusat maupun daerah, (2) lemahnya koordinasi perencanaan dan implementasi, koordinasi dalam penyadaran masyarakat rentan bencana, sinkronisasi kebijakan vertikal antara pusat dan daerah), (3) pengurangan risiko bencana (PRB) belum menjadi isu strategis pemerintah, lemahnya kebijakan strategis PRB, keberlanjutan – BPBD berdasarkan Peraturan Kepala Daerah (Bupati/Walikota) rentan pada tarik-menarik politik anggaran lokal, (4) kompetisi proyek antara program/kegiatan sektor dengan program/kegiatan kebencanaan (baca,BPBD/BNPB). Pelaksanaan kebijakan dan penegakan aturan menjadi lemah,karena belum optimalnya pengawasan dan pengendalian dilapangan. Tantangan lain terkait dengan manajemen bencana di daerah adalah (1) kuantitas dan kualitas sumber-daya manusia terbatas, (2) fasilitas yang terbatas. Dari 436 BPBD yang sudah terbentuk sebagian besar belum punya kantor. Sebagian besar belum memiliki Pusdalops 24/7, (3) logistik dan peralatan yang masih terbatas dan belum dapat hadir pada waktu dan tempat dibutuhkan, (4) politik lokal dukungan legislatif sangat minim, (5) fleksibelitas sumberdaya manusia yang tinggi sehingga mudah dimutasi, (6) luasnya cakupan wilayah yang rawan bencana dan akses terbatas. Benturan aturan pendukung yang bersifat teknis mengakibatkan tema penanggulangan bencana belum menjadi “mandat pokok” pendanaan, sehingga pendanaan PB di daerah tidak masuk dalam prioritas utama. Dampak lain akibat benturan aturan tersebut terlihat dari belum seluruh daerah kabupaten/kota yang memiliki BPBD. Selain itu juga terlihat bahwa walau pun penanggulangan bencana menjadi sebuah rencana prioritas pembangunan, namun mayoritas daerah belum menjadikan tema ini sebagai prioritas di daerahnya masing-masing. 89 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
3.2.2. Perencanaan Perlu dicatat bahwa proses yang belum selaras (internalisasi) antara penanggulangan bencana dengan perencanaan pembangunan berakibat pada terjadinya tumpang tindihnya program-program penanggulangan bencana di pemerintahan baik di tingkat pusat secara horizontal antara Kementerian/Lembaga dan secara vertikal antara Pusat dan Daerah. Saat ini telah disadari bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana yang berfokus pada pengurangan risiko bencana telah menjadi komitmen politis bangsa. Oleh karenanya tantangan dan hambatan untuk memasukkan penyelenggaraan penanggulangan bencana sebagai salah satu agenda prioritas pembangunan telah dapat diduga dan dikelola. Tantangan ini dapat digunakan untuk mengintegrasikan upaya penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan. Sistem terpadu dalam penanggulangan bencana dapat dibagi dalam dua bagian yaitu keterpaduan sistem antara PRB dengan operasi tanggap darurat dan keterpaduan antara PRB dengan pemulihan. Keterpaduan sistem antara PRB dengan operasi tanggap darurat bencana difokuskan kepada sistem kesiapsiagaan bencana yang meliputi sistem peringatan dini, sistem evakusi dan perencanaan kontinjensi. Sedangkan keterpaduan sistem antara PRB dengan pemulihan bencana difokuskan kepada pengembangan pola mitigasi pada proses pemulihan pada daerah yang pernah terkena bencana. Pembangunan sistem kesiapsiagaan diarahkan kepada penyusunan dasar perencanaan yang berlaku umum dan dapat digunakan untuk seluruh bencana. UU No. 24/2007 sebenarnya telah mensyaratkan penyusunan Rencana Penanggulangan Kedaruratan Bencana sebagai dasar perencanaan kesiapsiagaan. Namun hingga kini, tidak ada satu pun aturan pendukung yang memberikan penjelasan spesifik terkait bagaimana dokumen ini disusun dan seperti apa pola penerapannya pada saat tanggap darurat bencana. Dokumen ini boleh jadi menjadi jalan keluar untuk menjawab permasalahan perencanaan kontinjensi bencana yang belum menjadi dasar sebagian besar pelaksanaan operasi tanggap darurat bencana. Di samping itu, kemajuan sistem peringatan dini bencana tsunami dan bencana letusan gunungapi perlu tetap dipertahankan dan dikembangkan. Pengembangan sistem peringatan dini bencana ini berorientasi baik secara horizontal maupun vertikal. Orientasi horizontal pengembangan sistem peringatan dini bencana adalah dalam bentuk pengembangan sistem peringatan dini bencana multi bahaya. Sistem 90 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
peringatan dini bencana multi bahaya ini diharapkan dapat mensinkronkan kesenjangan-kesenjangan yang ada antar sistem peringatan bencana yang telah ada. Kesenjangan yang perlu segera dibenahi adalah penggunaan parameter yang sama dalam menyebarkan arahan ke masyarakat, penggunaan prosedur operasi yang terintegrasi antar bencana di daerah agar lebih efisien dan tidak membebani anggaran pemerintah daerah, pelatihan terus menerus dari pelaksana serta pengguna sistem. Pada orientasi vertikal, pengembangan sistem peringatan dini bencana diarahkan kepada perluasan daerah pelayanan sistem di masyarakat, peningkatan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap informasi peringatan, serta perbanyakan alternatif moda penyebaran arahan untuk menyentuh segala tingkat dalam segala keterbatasan masyarakat baik keterbatasan fasilitas daerah maupun keterbatasan fisik dan ekonomi masyarakat. Khusus untuk sistem peringatan dini bencana tsunami rekomendasi terhadap pengembangan dan penyelesaian rantai peringatan dari nasional hingga ke komunitas menjadi prioritas pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Keterpaduan sistem pemulihan dengan pengurangan risiko bencana, diarahkan kepada pendekatan mitigasi dan pencegahan bencana sejenis terjadi di daerah yang sama pada masa depan. Untuk itu sistem pemulihan sebaiknya dipadukan dengan sistem pencegahan dan mitigasi yang berorientasi kepada penerapan rencana tata ruang, pengelolaan lingkungan, sensitif gender, dan kelompok rentan dan penanggulangan bencana berbasis komunitas.
3.2.3. Penganggaran PB Di bidang penganggaran penanggulangan bencana diatur secara khusus melalui Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana (PP No. 22/2008). Pada Pasal 4 PP No. 22/2008 menyebutkan bahwa (1) Dana PB menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah (budget sharing), (2) Dana PB berasal dari APBN, APBD, masyarakat. Dalam pendanaan PB ini dikenal adanya dana kontijensi, dana siap pakai (on call) dan dana bantuan sosial berpola hibah. Dana kontinjensi bencana disediakan dalam APBN untuk kegiatan kesiapsiagaan pada tahap prabencana. Dana siap pakai disediakan dalam APBN yang ditempatkan dalam anggaran BNPB untuk kegiatan pada saat tanggap darurat. Pemerintah daerah dapat menyediakan dana siap pakai dalam anggaran penanggulangan 91 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
bencana yang berasal dari APBD yang ditempatkan dalam anggaran BPBD. Dana siap pakai harus selalu tersedia sesuai dengan kebutuhan pada saat tanggap darurat. Dana bantuan sosial berpola hibah disediakan dalam APBN untuk kegiatan pada tahap pascabencana (rehabilitasi dan rekontruksi). Sebagian besar pendanaan untuk penanggulangan bencana berasal dari APBN melalui dana siap pakai (DSP) dan dana sosial berpola hibah. Ada peningkatan jumlah anggaran penanggulangan bencana dalam APBN, pada tahun 2012 anggarannya sebesar Rp 9,5 Trilyun atau 0,77% dari total dana APBN. Kekurangan utama dari pendanan PB di atas adalah masih berasal dari APBN sedangkan pendanaan dari APBD masih sangat kecil. Sementara itu rata-rata anggaran di BPBD provinsi hanya 0,38% dari APBD setempat, bahkan di APBD kabupaten/kota kurang dari 0,1% dari jumlah APBD. Kecilnya anggaran penanggulangan bencana di daerah ini disebabkan karena pemerintah daerah dan legislatif setempat relatif minim perhatiannya terhadap bencana. Kondisi ini, akan menjadi tantangan berat karena untuk beberapa tahun ke depan ancaman bencana menunjukkan tren peningkatan. Penyaluran dana hibah dan bantuan sosial sangat berpotesial terjadinya penyelewengan dan penyalahgunaan serta menjadi salah satu lahan subur tumbuhnya korupsi di daerah, yang justru dilakukan oleh kepala daerah, anggota DPRD, pejabat eksekutif, atau anggota masyarakat. Acuan penyaluran dana hibah dan bantuan sosial adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD (Permendagri No. 32/2011) dan kemudian disempurnakan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD (Permendagri No. 39/2012). Adalah sangat penting untuk menekankan akuntabilitas dalam penggunaan dana-dana penanggulangan bencana serta semua pihak yang berkepentingan terlibat dalam pemantauan dan pengawasan implementasi dana-dana penanggulangan bencana tersebut. Minimnya jumlah pendanaan penanggulangan bencana di daerah juga disebabkan karena dalam UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004 belum mengatur mandat Pemerintah Daerah dalam penanggulangan bencana. Hal ini berakibat penanggulangan bencana belum menjadi “mandat pokok” pemeintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana dan pendanaan penanggulangan bencana masih menjadi “anak tiri” di dalam perimbangan keuangan pembangunan. Pendanaan penanggulangan bencana di daerah tidak masuk dalam prioritas utama. Hal yang sama pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah dalam 92 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
penyelenggaraan penanggulangan bencana sering dianggap belum jelas. Dalam hal implementasi PP No. 22/2008 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, atau antara Pemerintah Daerah Provinsi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (PP No. 38/2007) masih belum bermakna. Salah satu perangkat perundangan yang digunakan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2012 tentang Dana Darurat (PP No. 44/2012). Peraturan penggunaan dana darurat perlu mengakomodir praktik-praktik penanganan darurat yang memunculkan status kesiapan darurat dan transisi darurat, dengan mempertimbangkan implikasi yang ada.
3.2.4. Penyelenggaraan PB Kejadian bencana cenderung meningkat, baik intensitas, frekuensi, magnitude, dan sebarannya. Kerusakan lingkungan makin meningkatkan bencana hidrometeorologi. Hal ini dapat dilihat dari kejadian bencana bahwa 77% adalah bencana hidrometerorologi berupa banjir, longsor, puting beliung, kekeringan, dan gelombang pasang. Data Sensus Penduduk Indonesia 2010 menunjukkan jumlah terpapar bencana gerakan tanah (tanah longsor) 229,6 juta jiwa, gempabumi 227,4 juta jiwa, kekeringan 225,6 juta jiwa, puting beliung 115,7 juta jiwa, banjir 60,9 juta jiwa, kebakaran lahan dan hutan 50 juta jiwa, tsunami 5 juta jiwa dan erupsi gunungapi 3,8 juta jiwa. Kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda, dan berubahnya tata kehidupan masyarakat.Kesiapsiagaan dan tanggap darurat sangat mudah dipahami bila dimaknai sebagai bidang-bidang kegiatan dalam siklus penanggulangan bencana. Kesiapsiagaan dan tanggap darurat adalah penjaga gawang atau benteng terakhir kita untuk mengurangi risiko ketika pencegahan dan mitigasi belum bekerja dengan baik. UU No. 24/2007 menjelaskan bahwa kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Selanjutnya, tanggap darurat bencanaadalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang rneliputi 93 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana, dan sarana. UU No. 24/2007 dan peraturan penjabarannya yaitu PP No. 21/2008 secara konsisten menjabarkan jenis-jenis penyelenggaran kesiapsiagaan. Termasuk dalam penyelenggaraan kesiapsiagaan tersebut antara lain melalui (1) penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana, (2) pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini, (3) penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar, (4) pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme tanggap darurat, (5) penyiapan lokasi evakuasi, (6) penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiranprosedur tetap tanggap darurat bencana, dan (7) penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana. Sedikit berbeda, Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (Perka BNPB No. 4/2008) menegaskan pilihan tindakan penyelenggaraan kesiapsiagaan. Termasuk penyelenggaraan kesiapsiagaan antara lain melalui (1) pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur pendukungnya, (2) pelatihan siaga / simulasi / gladi / teknis bagi setiap sektor penanggulangan bencana berupa search and rescue, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum, (3) inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan, (4) penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik. (5) penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna mendukung tugas kebencanaan, (6) penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini, (7) penyusunan rencana kontinjensi, dan (8) mobilisasi sumber daya personil maupun prasarana dan sarana peralatan. BNPB belum membuat peraturan yang secara langsung dapat menjadi acuan atau kerangka kerja delapan kegiatan kesiapsiagaan seperti disebutkan di atas, serta belum mengembangkan sebuah mekanisme kesiapsiagaan yang lebih terstruktur. Namun demikian, BNPB telah menerbitkan peraturan-peraturan yang secara tidak langsung dapat mendorong penyelenggaraan kesiapsiagaan dengan lebih baik. Peraturan-peraturan tersebut antara lain Pedoman Pengelolaan Bantuan Logistik pada Saat Keadaan Darurat, Pedoman Pengelolaan Data dan Informasi Bencana Indonesia, Pedoman Manajemen Logistik dan Peralatan, Pedoman Relawan Penanggulangan Bencana, Standarisasi Data Kebencanaan, Pedoman Pergudangan, Pedoman Bantuan Peralatan, Pedoman Bantuan Logistik, Pedoman Standarisasi Logistik Penanggulangan Bencana, serta Pedoman Standarisasi Peralatan Penanggulangan Bencana. 94 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Penguatan kapasitas kelembagaan BPBD dilakukan dalam berbagai bentuk dan mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.Pada tahun 2009 penguatan kapasitas untuk tanggap darurat ke-9 provinsi pada 15 kabupaten/kota. Pada tahun 2010 untuk kesiapsiagaan ke-29 provinsi, dalam bentuk mobil rescue dan motor trail. Pada tahun 2011 dilakukan penguatan kelembagaan untuk kesiapsiagaan 33 provinsi dalam bentuk mobil rescue, motor trail, mobil dapur lapangan, dan mobil water treatment. Pada tahun 2012 dilaksanakan penguatan kesiapsiagaan untuk 33 provinsi berupa mobil komando, truk serbaguna dan ambulan serta peralatan standar penanggulangan bencana bagi 265 BPBD kabupaten/kota. Upaya penyelenggaraan PB untuk operasi tanggap darurat bencana ini juga mendapatkan perhatian serius dari Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Dalam arahan Presiden pada 12 September 2007 di Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat pada saat gempabumi Bengkulu dan Sumatera Barat (7,9 SR) antara lain (1) Pemerintah daerah kabupaten/kota menjadi penanggung jawab utama penyelenggaraan penanggulangan bencana di wilayahnya, (2) Pemerintah daerah provinsi segera merapat ke daerah bencana serta mengerahkan seluruh sumberdaya yang ada di tingkat provinsi, (3) Pemerintah memberi bantuan sumberdaya yang secara ekstrim tidak tertangani daerah, (4) Melibatkan TNI dan POLRI, dan (5) Melaksanakan PB secara dini untuk menyelamatkan lebih banyak jiwa manusia. Hal penting yang harus dilakukan sebelum melakukan tanggap darurat adalah menyatakan status darurat seperti dimandatkan oleh Pasal 51 UU No. 24/2007. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa skala atau tingkat bencana ditetapkan oleh pimpinan daerah yang bersangkutan, sedang untuk skala nasional ditetapkan oleh Presiden. Keharusan ini selanjutnya diatur oleh Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pedoman Komando Tanggap Darurat Bencana (Perka BNPB No. 10/2008). Payung hukum “pembeda” skala ini belum tersusun sehingga banyak tanggap darurat yang dilakukan bersifat “abu-abu”. Indonesia telah mempunyai acuan kerja yang baik mengenai kegiatan kesiapsiagaan.Meskipun belum mempunyai payung hukum yang jelas namun kegiatan kesiapsiagaan telah dilaksanaan secara meluas, yaitu pengembangan peringatan dini, rencana evakuasi, dan rencana kontijensi. Pembangunan sebuah sistem operasi berdimensi banyak yang diharapkan dapat berjalan efektif pada saat mendesak membutuhkan koordinasi yang kuat dan berlanjut, dan diperkuat terus menerus. Apalagi penggunaan sistem operasi tersebut amat bergantung pada sistem operasi yang lain. Rentang pengaruh antar sistem terkait ini, membutuhkan fokus 95 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
perhatian yang lebih besar dibandingkan pembuatan sistem-sistem operasi tersebut secara sendiri-sendiri.
3.2.5. Sinergi Penanggulangan Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gagasan adaptasi dibangun secara sistematis melalui kajian risiko iklim dan pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan adaptasi dan perencanaan, tidak hanya melaksanakan 'berdiri sendiri' tindakan adaptasi. Dampak destruktif perubahan iklim tidak akan bisa dicegah dengan hanya menambahkan beberapa tindakan adaptasi tambahan di atas dari status quo. Apa yang lakukan, bagaimana caranya dan di mana lokasinya harus diuji. Ini tidak berarti bahwa perubahan fundamental yang dibutuhkan, tapi harus bertujuan untuk membangun budaya yang mengantisipasi risiko perubahan iklim dan membuat keputusan cerdas iklim. Keputusan adaptasi dan pengarusutamaannya, harus didasarkan pada informasi perubahan iklim. Kurangnya informasi sering digunakan sebagai alasan untuk tidak mengantisipasi perubahan iklim dalam pengambilan keputusan. Hal ini bukan tugas yang sepele, dan mencakup tentang memberikan informasi yang memadai dengan tingkat kedetilan yang diperlukan, dengan cara olahan ramah pengguna (user friendly), dan pada waktu yang tepat. Ketidakpastian informasi perubahan iklim menimbulkan tantangan tertentu. Penguatan kapasitas adaptasi menjadi hal yang krusial dan penting. Kuat atau lemahnya kapasitas adaptasi dapat dilihat dari sisi eksternal seperti daya dukung ekosistem dan lingkungan saat ini, juga sisi internal yang dilihat dari kesiapan perangkat regulasi dan kelembagaan, anggaran serta sumberdaya manusia. Berikut ini adalah beberapa strategi yang perlu diperhitungkan dan dipertimbangkan dalam upaya sinergi adaptasi perubahan iklim (API) dan pengurangan risiko bencana (PRB) antara lain (1) Perubahan iklim berdampak memperburuk risiko bahaya hidrometeorologis maka kajian risiko bencana harus memperhitungkan kecenderungan dan prediksi iklim di masa mendatang, (2) Penanggulangan bencana guna memperkuat adaptasi perubahan iklim perlu menargetkan peningkatan kapasitas pada kelompok perempuan, anak, orang tua, petani dan nelayan yang berisiko tinggi dampak perubahan iklim, (3) Pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim perlu difokuskan pada wilayah-wilayah kota dan pulaupulau kecil, (3) Adaptasi perubahan iklim dalam penanggulangan bencana berintegrasi dengan program-program pengentasan kemiskinan.
96 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Prinsip-prinsip pendekatan untuk sinergi dan/atau konvergensi API dan PRB antara lain: 1. Pendekatan pemberdayaan masyarakat (pengembangan sistem kehidupan atau aset-aset penghidupan). Kondisi dinamis yang menyebabkan kerentanan terdampak bencana antara lain (1) masyarakat yang memilih tinggal di daerah rawan bencana karena miskin (tidak memiliki banyak pilihan atau faktor ekonomi), (2) masyarakat yang memilih tetap tinggal di huniannya meskipun terkena dampak bencana karena tidak adanya jaminan perlindungan aset (perlindungan), (3) masyarakat yang tidak mampu menggunakan hak politiknya sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhannya (politik), (4) masyarakat yang termarjinal, akan rentan terdampak bencana (sosial budaya), (5) akibat sumber daya manusia yang rendah, kerentanannya semakin tinggi untuk terdampak bencana (sumberdaya manusia). Tindakan adaptasi yang kontekstual direncanakan dan dilaksanakan oleh komunitas di tingkat lokal. Dalam beradaptasi dengan perubahan iklim dan dampaknya, diperlukan kapasitaskapasitas yang dipengaruhi juga oleh kondisi-kondisi di atas. Oleh karenanya, masyarakat perlu difasilitasi untuk dapat secara kontekstual agar mampu beradaptasi dengan menggunakan (memobilisir) aset-aset penghidupannya. Aset penghidupan terdiri dari lingkungan hidup dan sumberdaya alam, fisik atau infrastruktur, sosial, finansial, dan sumberdaya manusia. 2. Fasilitasi dan perkuatan kapasitas pemerintah daerah dan komunitas rentan (kemampuan individu, mata pencaharian, lokasi) untuk mengagendakan strategi adaptasi mereka di tingkat lokal. Selain memastikan terjadinya pelembagaan adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana di tingkat nasional dan daerah melalui berbagai kebijakan dan dukungan mekanisme penjaminan sosial di tingkat lokal. Juga fasilitasi dan perkuatan kapasitas harus diupayakan di tingkat daerah dan lokal. Pengembangan mekanisme pendukung dan perancangan di tingkat daerah dan lokal akan menjawab 3 kesenjangan yakni perbedaan spasial, perbedaan norma, dan perbedaan pengetahuan dan/atau informasi. Kegiatan kajian kerentanan setidaknya meliputi: (1) Gambaran dan analisis kerentanan seperti kelompok masyarakat dan area atau wilayah rentan akibat risiko bahaya iklim, (2) Gambaran potensi kerentanan akibat perubahan iklim di masa depan, dan (3) Perbandingan kerentanan dalam kondisi sosial ekonomi yang berbeda, perubahan iklim dan respon adaptasi yang dilakukannya. 97 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Sebaiknya dilakukan di tingkat daerah dan lokal. Kajian kerentanan dan adaptasi adalah kegiatan yang sepatutnya dilakukan di setiap daerah karena daerah memiliki karekteristik fisik dan lingkungan yang berbeda. Kondisi topografi, hidrologi, geologi dan klimatologi yang berbeda membuat setiap daerah terpapar dampak perubahan iklim yang berbeda pula. Daerah pesisir misalnya, rentan akan mundurnya garis pantai akibat hantaman gelombang dan kenaikan muka air laut. Sebaliknya, kawasan pertanian rentan terhadap kekeringan yang panjang akibat iklim ekstrim. Oleh karena dampak perubahan iklim terjadi dan perlu diatasi pada level yang berbeda, karena kapasitas pada masing-masing tingkatan daerah tidak sama. Dalam konteks administrasi pemerintahan, pemetaan dan kajian kerentanan dapat dilakukan ke dalam 3 (tiga) level, yaitu tingkat makro (nasional), messo (provinsi) dan mikro (kabupaten/kota). Dalam kajian kerentanan makro, maka unit yang dijadikan analisis adalah seluruh wilayah provinsi, sehingga skala peta yang digunakan adalah tingkat kedetailan kecil atau setara dengan skala peta 1: 1.000.000. Oleh karena itu, kajian yang digunakan lebih banyak digunakan untuk kebijakan adaptasi yang bersifat arahan dan koordinasi antar K/L di tingkat nasional. Sedangkan dalam kajian kerentanan messo, maka unit yang dijadikan analisis adalah daerah kabupaten/kota yang menjadi bagian dari daerah provinsi tersebut. Skala peta yang digunakan dapat berkisar diantara peta skala 1:250.000 s/d 1:100.000 kergantung dari luas wilayah provinsi tersebut. Kajian pemetaan kerentanan messo ini dapat digunakan untuk memberikan pedoman pelaksanaan adaptasi untuk daerah yang bersifat lintas kabupaten/kota dan juga untuk daerah-daerah yang memiliki nilai strategis nasional dan/atau provinsi. Sedangkan kajian kerentanan mikro, unitnya adalah kecamatan/desa dengan skala peta yang lebih operasional, yaitu untuk kecamatan sekitar 1:50.000 dan desa sekitar 1:10.000. Kajian ini dapat digunakan untuk melakukan program dan tindakan adaptasi yang lebih kontekstual , dalam artian bersentuhan langsung dengan kerentanan yang dialami oleh masyarakat atau komunitas setempat. 3. Pendekatan ‘bentang alam’ dari sumber kelola ancaman, seperti daerah aliran sungai (DAS). Dalam pengelolaan lingkungan hidup pendekatan yang meninjau area geografis lebih mengenali tren dan kondisi sumber manusia, serta peluang bagi pelestarian, 98 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
dikenal pendekatan lanskap, yang luas dan terhubung untuk daya alam, pengaruh alam dan pemulihan dan pengembangan
sumber daya. Pendekatan ini berupaya mengidentifikasi nilai-nilai ekologi penting dan pola perubahan lingkungan yang mungkin tidak kentara ketika mengelola area lahan setempat yang lebih kecil. Sumber-sumber bahaya dan daerah terdampak pada risiko bahaya seperti banjir, misalnya memerlukan pengelolaan yang memperhatikan adanya tata kelola lanskap. Pengelolaan bencana seperti banjir, tidak dapat hanya dikeloa pada ‘daerah terkena banjir’ saja tetapi minimal mengelola wilayah sungai dan daerah aliran sungainya. 4. Adaptasi sekaligus mitigasi perubahan iklim Idealnya adaptasi dan mitigasi harus dilaksanakan secara bersamaan, karena beberapa langkah adaptasi dapat berkontribusi pada emisi gas rumah kaca, sementara langkah-langkah mitigasi dapat direncanakan untuk membantu mengurangi, dan tidak sebaliknya malah meningkatkan, risiko-risiko bencana. Merancang kegiatan ketahanan pangan, misalnya yang dilakukan dimasa lalu dengan proyek-proyek persawahan besar, yang mengkonversi ribuan hektar gambut di suatu lanskap ekosistem daerah adalah contoh mal-adaptasi yang dilakukan. Karena konversi lahan gambut selain sebaliknya akan meningkatkan emisi gas rumah kaca selain menghilangkan jasa lingkungan (ekosistem) yang diberikan oleh daerah gambut (misalnya, sekat bakar alamiah untuk mencegah kebakaran lahan dan hutan, pengendali banjir, dan penyedia air). 5. Sektor sensitif untuk perluasan kemitraan pemerintah-masyarakat-lembaga usaha. Sektor ekonomi yang dianggap sensitif seperti pertanian, perlu menjadi pintupintu masuk bagi pelibatan lembaga usaha. Mekanisme-mekanisme tanggung jawab sosial yang sesungguhnya bukan merupakan kegiatan sesaat, tetapi terencana dan sistematis sejalan dengan mekanisme adaptasi. Dunia usaha yang berbasis pada pertanian dan komoditi pertanian memiliki kepentingan mempertahankan rantai nilai bahan dan produksinya, maka perlu terlibat dalam memikirkan tindakan-tindakan adaptasi yang sesuai ditingkat lokal. 6. Ekosistem berbasis pengurangan risiko bencana. UNEP menjelaskan ‘pengelolaan ekosistem’ sebagai pendekatan dalam pengelolaan sumber daya alam yang difokuskan pada pelestarian ekosistem guna memenuhi kebutuhan manusia dan ekologi di masa mendatang. Pengelolaan ekosistem disesuaikan dengan berubahnya kebutuhan dan tersedianya informasi baru. Pengelolaan ekosistem menggalakkan visi 99 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
bersama sebuah masa depan yang diidamkan dengan mengintegrasikan perspektif sosial, lingkungan dan ekonomi untuk mengelola sistem ekologi alam yang terdefinisi secara geografis. Ekosistem juga dapat memainkan peran penting dalam pencegahan ancaman bahaya. Apabila dikelola secara lestari, ekosistem dapat berfungsi sebagai pelindung dari ancaman bahaya, seperti dataran banjir yang mengurangi banjir di daerah hilir. Ekosistem bahkan dapat mencegah terjadinya ancaman bahaya, sebagai contoh lereng bukit berhutan di daerah aliran sungai (bagian tengah dan hulu) dapat mencegah gerakan tanah (tanah longsor) serta memastikan penyediaan sumber daya air di daerah hilir. Dalam konteks ini, ekosistem dianggap sebagai ‘infrastruktur alam’ yang mencegah atau mengurangi (dampak) ancaman bahaya. 7. Pengelolaan hutan/kawasan/lahan dan tata ruang. Cara manusia mengelola lingkungan sekitarnya sebagian besar menentukan tingkat dampak yang ditimbulkan oleh ancaman bahaya yang berlainan. Dalam situasi tertentu, pekerjaan pembangungan berskala besar seperti bendungan dan tanggul diperlukan untuk menanggulangi ancaman bahaya ekstrim yang tidak dapat ditahan oleh alam. Dalam kasus lainnya, perencanaan tata guna lahan yang cerdas dapat mencegah manusia terpapar kejadian ekstrim. Akan tetapi, keputusan tata guna lahan yang tak bijak kerap kali mengakibatkan peningkatan kerentanan yang sangat besar. Inilah yang terjadi ketika jasa ekosistem sirna akibat degradasi lingkungan. Penebangan hutan dan konversi lahan basah, misalnya, dapat menyebabkan erosi besar-besaran dan meningkatnya paparan terhadap badai dan banjir. Terkadang langkah-langkah dengan maksud baik menimbulkan dampak buruk yang tidak diinginkan dan peningkatan akhir kerentanan. Inilah yang terjadi, misalnya, ketika air dialihkan ke daerah hulu untuk mendukung pertanian atau instalasi pembangkit listrik tenaga air (PLTA), sehingga menyebabkan berkurangnya aliran air ke hilir, yang selanjutnya mengakibatkan lenyapnya lahan basah dan jasanya yang begitu berharga bagi masyarakat di daerah hilir.
3.2.6. Komitmen dan Kerjasama Internasional dan Regional Apresiasi dunia internasional terhadap pencapaian upaya penyelenggaraan PB, 100 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
khususnya di bidang PRB di Indonesia semakin meningkat dengan diberikannya Penghargaan Tokoh Dunia Bidang Pengurangan Risiko Bencana (Global Champion for Disaster Risk Reduction) kepada Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden SBY). Penghargaan ini diumumkan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki Moon di Jenewa dalam acara Global Platform for Disaster Risk Reduction Third Session di Geneva, Swiss pada tanggal 10 Mei 2011. Pemberian penghargaan Global Champion for Disaster Risk Reduction bersamaan waktunya dengan acara KTT ASEAN, dimana Indonesia sebagai Ketua Asean, maka Presiden SBY tidak dapat hadir di Geneva. Penerimaan penghargaan diwakili oleh DR. Syamsul Maarif selaku Kepala BNPB dan Ketua Delegasi Republik Indonesia. Dari PBB diwakili oleh United Nations Special Representative of the Secretary-General for Disaster Risk Reduction, Margareta Wahlstrom dengan disaksikan beberapa kepala negara, menteri dan 2.500 undangan dari 160 negara. Pada tahun 2009 Dr. Eko Teguh Paripurno, Kepala Pusat Studi Manajemen Bencana (PSMB) Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta mendapatkan Penghargaan Sasakawa atas kontribusi hidupnya dan komitmen luar biasa untuk mengurangi risiko bencana dan peningkatan kapasitas di tingkat masyarakat akar rumput. Penghargaan Sasakawa merupakan penghargaan yang sangat bergengsi di tingkat dunia internasional yang dilakukan tiap dua tahun oleh UNISDR. Indonesia juga telah berhasil dalam menyelenggarakan Konferensi Tingkat Menteri se-Asia untuk Pengurangan Risiko Bencana Ke-5 atau Fifth Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction – AMCDRR Ke-5. AMCDRR Ke-5 diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 22-25 Oktober 2012 dengan dihadiri oleh 2600 peserta dari 72 negara, yang termasuk di dalamnya dua kepala negara dan 25 menteri. AMCDRR Ke-5 menghasilkan Deklarasi Yogyakarta terkait upaya PRB di kawasan Asia Pasifik. Dalam AMCDRR ini Presiden SBY juga menekankan perlunya membangun kemitraan antara pemangku-kepentingan. Oleh karena itu, dalam kesempatan Forum Ekonomi Dunia di KTT Asia Timur 2011, diluncurkanlah Disaster Resource Partnership (DRP) National Network for Indonesia. Di sisi kerjasama internasional untuk pembangunan kesiapsiagaan dalam lingkup regional, Indonesia dipandang berhasil dalam menyelenggarakan acara ASEAN Regional Forum Disaster Relief Exercise (ARF DiREx) 2011 sebagai forum latihan PB se-ASEAN. ARF DiREx digelar di Manado, Sulawesi Utara pada tanggal 14 - 19 Maret 2011 dengan diikuti oleh 23 negara dari 27 negara yang semula berniat hadir. Indonesia dan Jepang menjadi Ketua Bersama dalam kegiatan ini. Kegiatan pada ARF DiREx dibagi menjadi dua kegiatan yaitu, kegiatan latihan di dalam ruangan 101 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
(table top exercise – TTX) dan latihan langsung di luar ruangan (field top exercise – FTX). Dalam kerjasama penanggulangan bencana, Asia Pacific Economy Coorperation (APEC) telah mengagendakan setiap tahun adanya pertemuan Emergency Preparedness Working Group (EPWG) untuk mengadakan pertemuan. EPWG diselenggarakan pada 2-3 Februari 2013 setelah pelaksanaan Policy Dialogue on Emergency Response Travel Facilitation (ERTF). Beberapa negara yang hadir adalah Australia, China Taipe, Indonesia, Korea, Jepang, Meksiko, Peru, Philipina, Rusia, Singapura, USA, Thailand, dan Vietnam. Pada pertemuan APEC 2012 di Kazan, Rusia, Indonesia telah mengusulkan Emergency Response Travel Facilitation (ERTF). ERTF ini adalah suatu mekanisme yang mempermudah masuknya bantuan (perseonel dan barang) dari suatu ekonomi kepada ekonomi lainnya yang terkena bencana berskala besar. Konsep ini sebenarnya mengadopsi konsep APEC Business Travel Card (ABTC) dimana para pengusaha bonafit dari ekonomi APEC yang memegang ABTC ini terdaftar pada pihak otoritas imigrasi ekonomi APEC dan dapat bebas lalu lalang di semua ekonomi APEC tanpa harus mengajukan visa pada setiap kunjungan. Mengingat bahwa pelaksanaan ERTF ini menyangkut pada working group lainnya maka Indonesia mengundang Emergency Preparedness Working Group (EPWG) untuk mengadakan dialog dengan Business Mobility Group (BMG) untuk isu keimigrasian dan Sub Committee on Customs and Procedure (SCCP) untuk isu bea dan cukai untuk membahas ERTF tersebut. Dalam pertemuan ASEAN di Vientiane, Laos PDR, pada 26 Juli 2005 Pemerintah Indonesia telah menandatangani ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response (AADMER) / Persetujuan Asean Mengenai Penanggulangan Bencana dan Penanganan Darurat), sebagai hasil perundingan para Menteri Luar Negeri Negara-Negara Anggota ASEAN. Selanjutnya dengan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pengesahan AADMER (Perpres No. 32/2008) diratifikasi pada 15 Mei 2008. AADMER menetapkan bahwa AHA Centre harus dibentuk untuk menjalankan berbagai fungsinya. AADMER secara resmi mulai berlaku pada 26 Desember 2009, dan hal ini mencerminkan bahwa kebutuhan adanya AHA Centre menjadi sangat mendesak. Sejak ditandatanganinya kesepakatan AADMER pada Juli 2005, Pemerintah Indonesia secara konsisten telah menawarkan diri menjadi tempat kedudukan AHA Centre. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Hanoi, Vietnam bulan Oktober 2010 yang lalu, para Kepala Negara ASEAN telah 102 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
menyepakati agar AHA Centre dapat beroperasi pada tahun 2011 di Indonesia. Sebagai tindak lanjutnya adalah diresmikannya kantor ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management (AHA Centre) di Gedung I BPPT, Jakarta oleh Menko Kesra, Dr.H.R Agung Laksono 27 Januari 2011. BNPB menjadi tuan rumah pelaksanaan the 7th Senior Disaster Management Officials’ Forum (SDMOF) pada 21-22 Agustus 2013 di Bali. SDMOF ketujuh ini dihadiri peserta setingkat menteri penanggulangan bencana dari ekonomi APEC dengan tema “Improving Disaster Risk Reduction and Resiliency in the APEC region”. Seluruh keluaran yang dihasilkan dalam pertemuan SDMOF itu berkaitan dengan upaya pengurangan risiko dan peningkatan ketangguhan dalam penanggulangan bencana di kawasan. Adapun lima poin tersebut adalah (1) Mendukung kerja Emergency Preparedness Working Group (EPWG) dalam rangka peningkatan kapasitas pengurangan risiko bencana dan tanggap darurat, termasuk mendukung rencana kerja strategis EPWG 2013-2016, (2) Mendukung adanya kerjasama yang lebih erat di antara ekonomi anggota APEC khususnya dalam membantu korban bencana segera setelah kejadian bencana, (3) Meningkatkan kapasitas dalam pengurangan risiko bencana dengan mendorong ekonomi anggota APEC agar terus menjadikan pengurangan risiko bencana sebagai agenda, khususnya berkenaan dengan penguatan ketangguhan masyarakat di tingkat lokal, (4) Menekankan pentingnya fasilitasi mobilitas bagi tim tanggap darurat dari ekonomi anggota APEC dalam memberikan bantuan kepada ekonomi lainnya saat terjadinya bencana, dan (5) Mendorong kemitraan publik dan swasta (public private partnership) serta pendekatan berbasis komunitas dalam pengurangan risiko bencana melalui peningkatan kapasitas terkait disaster risk financing dan asuransi bencana. Indonesia menjadi ketua dan tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (Asia Pacific Economy Coorperation - APEC) pada 7-8 Oktober 2013 di Nusa Dua, Bali. Tema besar APEC 2013 adalah “Resilient Asia Pacific, Engine of Global Growth” dengan 3 prioritas, yaitu (1) Attaining the Bogor Goals, (2) Sustainable Growth with Equity, dan (3) Promoting Connectivity. KTT APEC ini menghasilkan tujuh poin kesepakatan, yaitu (1) Semua anggota APEC sepakat untuk meningkatkan kerja sama guna mencapai Deklarasi Bogor, (2) Para anggota APEC sepakat untuk meningkatkan perdagangan intra APEC, (3) Tercapainya kesepakatan untuk mempercepat konektivitas APEC, (4) Komitmen untuk mencapai keseimbangan, dan pertumbuhan global yang inklusif dan berkelanjutan, (5) Menjaga sumber daya alam yang terbatas, (6) Sepakat agar APEC bersinergi dengan forum-forum regional dan global lainnya, dan (7) Kesepakatan mengembangkan 103 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
sektor bisnis melalui Dewan Penasehat Bisnis APEC (ABAC) untuk mencapai tujuan perdagangan bebas dan terbuka serta mendorong investasi.
3.2.7. Kemitraan di Tingkat Nasional Penanggulangan bencana adalah tanggung jawab bersama dari pemerintah dan masyarakat, baik di tingkat nasional maupun daerah. Oleh karena itu, Indonesia telah memberi dorongan untuk berpartisipasi dalam penguatan kapasitas lokal. Para pemangku kepentingan termasuk kelompok masyarat sipil, para ilmuwan, profesional, anggota parlemen, pemuka agama, termasuk lembaga usaha. Di dalam penyelenggaraan PB juga dikenal adanya jejaring dari para pemangku kepentingan untuk mengurangi risiko bencana. Walaupun tidak secara khusus diatur dalam UU No. 24/2007 tapi dalam praktik jejaring tersebut diakomodasi dan dilaksanakan dengan membentuk forum (platform) baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, masyarakat basis, dan tematik. Di tingkat nasional ada Platform Nasional PRB (Planas PRB), Forum Masyarakat Sipil, Forum Lembaga Usaha, Forum Perguruan Tinggi untuk PRB (FPT PRB), Forum Media, Forum Lembaga Internasional. Planas PRB dibentuk pada tanggal 28 April 2009, atas dukungan para pemangku kepentingan PRB di Indonesia yang terdiri dari pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, lembaga usaha, media, dan komunitas internasional. Planas PRB merupakan sebuah forum independen yang dibentuk untuk mendorong serta memfasilitasi kerjasama antar berbagai pihak dalam upaya PRB di Indonesia. Planas PRB berupaya mewadahi semua kepentingan terkait kebencanaan, serta membantu menyelaraskan berbagai kebijakan, program dan kegiatan PRB di tingkat pusat, agar dapat mendukung tercapainya tujuan-tujuan PRB Indonesia dan terwujudnya ketahanan dan ketangguhan bangsa terhadap bencana, selaras dengan tujuantujuan Kerangka Aksi Hyogo 2005 - 2015. Di tingkat provinsi ada Forum PRB Nusa Tenggara Timur (NTT), Forum PRB Yogyakarta, Forum PRB Sumatera Barat, yang hingga saat ini sudah terbentuk sebanyak 10 Forum PRB tingkat provinsi di Indonesia. Selain itu ada forum yang bersifat tematik, seperti Forum Merapi, Forum Slamet, Forum Bengawan Solo, dan lain-lain. Sedangkan di tingkat masyarakat ada Paguyuban Siaga Merapi, Jangkar Kelud, dan lain-lain. Kendala utama yang dihadapi oleh Forum PRB baik yang berbasis kawasan maupun ancaman adalah keberlanjutan. Dalam konteks ini belum terbangun kerjasama Public Private Partnership (PPP) 104 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Pembentukan Planas PRB Indonesia termasuk urutan awal dibandingkan dengan Planas dinegara lain. Planas PRB Indonesia bisa disebut menjadi pemicu atau motor penggerak negara-negara lain untuk bersegera membentuk Planas PRB dinegaranya masing-masing. Ini adalah salah satu contoh konkret penyebab Presiden SBY menerima Global Champion for DRR. Prinsip kemitraan juga telah diimplementasikan dalam upaya tanggap darurat bencana. Upaya tanggap darurat tidak bisa dilakukan oleh satu K/L saja, tanggap darurat harus dilakukan bersama-sama untuk mencapai hasil yang optimal. BNPB sebagai koordinator dalam upaya tanggap darurat telah melakukan tugas dengan baik dalam mengkoordinasikan seluruh satuan tugas K/L terkait seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), Kementerian Sosial (Kemensos), Kementrian Kesehatan (Kemenkes), Badan Search and Rescue Nasional (BASARNAS), Kementrian Pekerjaan Umum (Kemen PU). Perkuatan fungsi kemitraan perlu diarahkan untuk dapat menggalang berbagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk pengurangan risiko bencana di luar APBN dan APBD. Tidak hanya itu, arah kemitraan yang bersifat cair lebih memungkinkan untuk penyelesaian masalah yang bersifat mendesak di luar proses birokrasi. Penggalangan inisiatif penggunaan hasil teknologi terapan yang dirancang untuk efisiensi upaya pengurangan risiko bencana dapat dimulai dari kemitraan yang telah ada. Planas sebagai bentuk kemitraan PRB perlu dikembangkan. Dalam skala daerah, forum-forum PRB perlu diperkuat selain membangun hubungan antar forum untuk berbagi pengalaman. Oleh karenanya dibutuhkan pengakuan pemerintah terhadap penggunaan hasil-hasil dari forum secara optimal. Mekanisme ini perlu dilembagakan untuk dapat memperoleh manfaat secara luas dari kemitraan untuk pengurangan risiko bencana.
3.3.
Isu dan Permasalahan
Berdasarkan evaluasi paruh waktu RPJMN 2010-2014, kajian analisis terhadap Renas PB 2010-2014 serta beragam pembelajaran dari upaya penyelengaraan penangulangan bencana selama lima tahun terakhir, maka dapat diindetifkasi isu dan permasalahan upaya penanggulangan bencana. Isu dan permasalahan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
105 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
3.3.1. Penguatan Kerangka Hukum dan Kelembagaan. Belum tersedianya kerangka regulasi dan peraturan turunannya serta peraturan operasionalnya, telah mengakibatkan penyelenggaran penanggulangan tidak berjalan secara efektif dan berkelanjutan baik di tingkat pusat dan daerah. Adanya tumpang tindih kerangka hukum dan peraturan berupa undang-undang dan peraturan pemerintah terkait kebencanaan di tingkat pusat dan peraturan daerah (Perda) perlu dipetakan dan ditata-ulang. Berbagai peraturan pelaksanaan tentang perencanaan, penganggaran, dan pengawasan perlu didorong untuk diterbitkan. Untuk memastikan pelaksanaan peraturan didaerah perlu disusun berbagai Standar Pelayanan Minimum (SPM) terkait dengan penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah.
3.3.2. Pengarusutamaan PB dalam Pembangunan Belum terintegrasinya program penanggulangan bencana dalam dokumen perencanaan baik di tingkat pusat dan daerah mengakibatkan terhambatnya penyelengaraan PB, yang dilaksanakan oleh pemerintah dan non pemerintah. Masalah terintegrasinya PB dalam perencanaan pembangyunan, karena belum adanya mekanisme pengarusutamaan PB dalam program pembangunan nasional baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Di tingkat pusat PB belum diintergrasikan dalam RPJMN, Renstra K/L, RKP dan RKA serta Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Sementara di tingkat daerah pengarusutamaan PB dalam program pembangunan daerah, belum tercantum pada RJMPD, Renstra SKPD, Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) dan RKA RKPD serta Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah (RTRWD) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Secara khusus, pengarusutamaan penanggulangan bencana belum tercantum dalam rencana kerja dari organisasi non pemerintah (ornop). Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PB secara sektoral dan lintas sektoral belum terumuskan. Belum adanya mekanisme dan sistem untuk melakukan evaluasi Renas PB 2015-2019, untuk selanjutnya menjadi masukan bagi penyusunan Renas PB 2020-2024 yang akan datang. Belum adanya mekanisme pemantuan dan evaluasi akan berdampak pada terfragmentasinya data dan informasi tentang penanggulangan bencana.
3.3.3. Peningkatan Efektivitas PB 106 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Belum efektifnya mekanisme penyelenggaraan penanggulangan bencana yang disebabkan oleh kelemahan yang dijumpai pada sejumlah sistem dan sub-sistem. Masalah belum efektifnya upaya penyelenggaraan bencana antara lain disebabkan oleh : (1) lemahnya peningkatan kapasitas yang diarahkan agar, agar terdapat keselarasan dan kordinasi antar program pengurangan risiko bencana dengan penanganan darurat, (2) pendefinisian dan pengaturan untuk menjamin kesiapsiagaan bencana yang meliputi peringatan dini, evakuasi dan perencanaan kontinjensi sebagai bagian dari penanganan darurat, (3) Pengembangan mekanisme pemulihan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan melakukan upaya pengurangan risiko pada proses rehabilitasi dan rekonstruksi pada daerah yang terkena bencana secara terencana,(4) pembangunan sistem peringatan dini multi bahaya secara terkoordinasi dan lintas kementerian/lembaga dengan prosedur operasi standar yang disepakati bersama untuk bencana-bencana prioritas nasional, (6) Penyusunan Kerangka Nasional Penanggulangan Kedaruratan Bencana yang disepakati dan ditetapkan oleh Pemerintah.
3.3.4. Optimalisasi Pemberdayaan Masyarakat untuk PB Belum optimalnya program pemberdayaan masyarakat dan tidak terjadinya sinergi antara pelaku baik di tingkat pusat dan daerah serta lokal, berdampak pada tidak ada kesamaan orientasi, kesamaan pandangan dan gerak dalam upaya penurunan risiko bencana dengan kearifan lokal dan kemandirian daerah. Masalah belum optimalnya upaya pemberdayaan masyarakat karena (1) belum adanya strategi pemberdayaan masyarakat dengan pengerahan dana sosial dan mekanisme pemindahan risiko sekaligus meningkatkan ketangguhan terhadap bencana dengan memperhatikan kearifan lokal, (2) belum adanya sasaran baik kualitatif maupun kuantitif terkait dengan program/kegiatan bredasarkan strategi pemberdayaan masyarakat bagi kelompok miskin, dan kelompok perempuan di daerah berisiko tinggi bencana yang tersebar, (3) masih lemahnya pendayagunaan potensi media dan pengetahuan tradisional, serta kearifan lokal dalam program-program pemberdayaan masyarakat.
3.3.5. Peningkatan Kemitraan Multi Pihak Masih lemahnya jalinan kemitraan multi-pihak (pemerintah, lembaga usaha dan 107 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
masyarakat) dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, menyebabkan terpencarnya potensi sumber-daya yang terdapat di masyarakat dan lembaga usaha. Permasalahan ini terjadi kerana : (1) minimnya upaya untuk membangun sinergi, sehingga minim jumlah pendanaan yang dapat digunakan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, khususnya pengurangan risiko bencana diluar alokasi APBN dan APBD, (2) belum efektifnya fungsi forum-forum tematik tingkat nasional yang dapat mengkomunikasikan pembelajaran dari implementasi program-program penanggulangan bencana di tingkat komunitas yang berorientasi kepada kemandirian mobilisasi sumberdaya lokal, (3) masih lemahnya kapasitas Forum PRB tingkat nasional dan daerah, (4) belum terbangunnya mekanisme dan dukungan untuk membangun budaya sadar bencana pada dunia pendidikan, melalui proses belajar-mengajar,(6). belum ada mekanisme untuk memastikan terlaksananya metoda dan sistem untuk meningkatkan keterlibatan para relawan penanggulangan bencana pada semua tingkatan, (7). belum adanya penjaminan dan pemastian bagi terlaksananya mekanisme yang memberikan insentif bagi pihak–pihak yang berkontribusi secara mandiri terhadap ketangguhan masyarakat terhadap bencana.
3.3.6. Peningkatan Efektivitas Pencegahan dan Mitigasi Bencana Masih lemahnya upaya pencegahan dan mitigasi untuk mengurangi potensi korban jiwa, kerugian ekonomi, dan kerusakan lingkungan akibat bencana. Kelemahan ini disebabkan oleh : (1) belum adanya strategi penyadaran publik untuk berperan serta aktif dalam pencegahan dan mitigasi bencana untuk setiap jenis bahaya, (2).belum optimalnya penyelenggaraan penyadaran publik dalam upaya pencegahan dan mitigasi bencana untuk pendidikan formal, masyarakat dan pelaku industri di daerah berisiko, (3) belum terbangun kerangka kerja riset nasional untuk menghasilkan inovasi teknologi terapan dalam upaya pencegahan dan mitigasi bencana yang mengarah kepada peningkatan rasio manfaat-biaya (cost-benefit ratio), (4) belum optimalnya fungsi sistem informasi bencana nasional untuk pencegahan dan mitigasi bencana yang diarahkan kepada pemutakhiran parameter kajian risiko bencana, (5). belum adanya pemutakhiran metodologi dan hasil pengkajian risiko bencana, (8). belum tersusunnya rencana pengelolaan sumberdaya air, tanah dan hutan untuk pengelolaan risiko bencana di daerah prioritas nasional, (10). adanya tumpang tindih aturan dan kebijakan teknis terkait pengelolaan sumber daya alam dan penataan ruang/lahan dalam upaya pencegahan dan mitigasi bencana, (11). masih lemahnya penegakan aturan pengendalian pemanfaatan lahan untuk pencegahan dan mitigasi bencana berdasarkan Kajian Risiko Bencana serta Kajian Lingkungan Hidup Strategis di daerah berisiko bencana, (12). belum tersusunnya panduan teknis dan 108 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
mekanisme standar upaya pencegahan dan mitigasi bencana.
3.3.7. Peningkatan Kesiapsiagaan dan Penanganan Darurat Bencana Masih lemahnya upaya kesiapsiagaan dan penanganan darurat untuk menghadapi bencana secara mandiri dan proaktif. Permasalahan ini terjadi karena terkait dengan (1) terbatasnya kapasitas kelembagaan, sarana prasarana evakuasi bencana pada daerah prioritas nasional, (2) belum tersusunya dan penerapan pedoman dan mekanisme standar untuk peningkatan kesiapsiagaan masyarakat untuk menghadapi bencana, (3) belum diselenggarakannya latihan kesiapsiagaan tingkat nasional secara bertahap, berjenjang dan berlanjut sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI), (4) belum terbangunnya Budaya Siaga Bencana yang menjamin kemandirian mobilisasi sumberdaya masayarakat untuk kesiapsiagaan bencana, (5). belum tersusunnya sistem dan mekanisme mobilisasi sumber daya saat penanganan darurat bencana tingkat nasional, (6) belum tersusunnya sistem dan mekanisme serta sarana dan prasarana pendukung dan logistik dalam penanganan darurat bencana, (7) masih lemahnya SDM dalam penggunaan pedoman pelaksanaan kajian cepat dan penetapan status darurat bencana, (8) belum optimalnya sosialisasi mekanisme penetapan status darurat bencana khususnya pada rantai komando pengendali, (10) belum terselenggaranya pelatihan dan sertifikasi berkala terhadap personil Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana (SRC PB) Indonesia, (10) belum terselenggaranya upaya perkuatan terhadap Sistem Komando Tanggap Darurat berdasarkan Kerangka Nasional Penanggulangan Kedaruratan Bencana.
3.3.8. Penyelenggaraan Pemulihan Dampak Bencana Permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemulihan dampak bencana adalah masih lambannya pelaksanaan pada kawasan-kawasan yang terkena bencana. Permasalahan ini terjadi disebabkan oleh (1) belum terbangunnya kordinasi antar sektor dalam upaya pemulihan dampak bencana baik bidang fisik maupun non-fisik, (2) masih lemahnya SDM yang memiliki kapasitas untuk melakukan kajian pasca bencana dan dalam menyusun Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekontruksi, (3) masih panjangnya rantai birokrasi anggaran dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi, (4) belum terbangunya sistem dan mekanisme asuransi kebencanaan baik untuk bidang fisik maupun untuk penghidupan (ekonomi), (5) pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Bidang Sosial, Ekonomi dan Budaya belum sesuai dengan Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana, (6). 109 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
belum terbangunnya budaya masyarakat mandiri yang memiliki kesadaran membangun kembali wilayahnya, (7) belum terumuskannya sistem dan mekanisme serta insentif bagi Lembaga Usaha (baik BUMN, Usaha Swasta serta BUMD) yang terlibat dalam melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi secara mandiri, (8) belum terumusknya sistem dan mekanisme untuk mempercepat pemulihan ekonomi pada kawasan-kawasan yang terkena bencana.
3.3.9. Penyiapan Unsur Pendukung Pemulihan Bencana Belum mamadainya mekanisme pendukung dalam menjamin terselenggaranya pemulihan dampak bencana secara mandiri, efektif dan bermartabat. Permasalahan ini terjadi karena antara lain : (1) belum terbangunnya mekanisme pola dukungan rehabilitasi dan rekonstruksi pada setiap tingkatan kedaruratan bencana melalui peningkatan kapasitas aparat daerah, (2) belum terbangunnya rantai pengadaan sarana prasarana rehabilitasi dan rekonstruksi pada setiap sektor pelayanan dan percepatannya, (3) belum penjaminan bagi adanya kebersamaan, kepercayaan dan kerjasama antar negara untuk berbagi dukungan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana, (4) belum tersusunnya Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana berdasarkan Kajian Kebutuhan Pascabencana, yang disertai dengan pengendalian dan pengawasan serta mekanisme pembelajaran untuk setiap jenis bencana.
3.3.10.
Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas Tata Kelola PB
Lemahnya kapasitas SDM dan lemahnya tata kelola penangggulangan bencana masih dapat dijumpai dingkat daerah, permasalahan ini terjadi karena antara lain : (1) belum tersusunnya sistem informasi untuk penilaian efektivitas implementasi Renas PB, (2) belum terumuskannya mekanisme yang jelas untuk menilai implementasi Renas PB berdasarkan analisa manfaat-biaya, (3) belum tersusunnya standar kompetensi dasar dan lanjut untuk peningkatan kapasitas pemerintah di daerah berisiko untuk setiap jenis bahaya, (4) belum tersusunnya kurikulum dan modul untuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia, aparat dan pelaku penanggulangan bencana, (5) belum ada mekanisme tentang kompetensi dasar kapasitas aparat pemerintah untuk pencegahan dan mitigasi bencana di daerah berisiko, (6) belum terlaksananya pelatihan secara berkala dan sertifikasi untuk membangun kompetensi dasar kapasitas aparat pemerintah dalam penanggulangan bencana, (7) belum memadainya sarana dan prasarana kelembagaan untuk 110 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
pengurangan risiko bencana, (8) belum memadainya sarana dan prasarana kelembagaan untuk penanganan darurat bencana, (9) belum memadainya sarana dan prasarana kelembagaan untuk pemulihan bencana, (10) belum tersusunya pedoman dan prosedur pengelolaan kelembagaan penanggulangan bencana, (11) belum adanya jaminan fasilitasi dan pendampingan terhadap daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, (12) belum tersusunnya sistem dan mekanisme tanggung gugat dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
111 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
BAB IV KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA 2015-2019
4.1. Visi Sesuai dengan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung-jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana. Amanat di atas, telah dijabarkan oleh UU No. 24/2007. Dengan demikian, maka visi yang ingin dicapai dalam upaya penanggulangan bencana adalah : “Menjadikan Bangsa yang Tangguh Menghadapi Bencana” Suatu bangsa yang tangguh bencana adalah bangsa yang memiliki kemampuan mengenali, mengantisipasi, mencegah, dan mengurangi risiko bencana serta mampu mengatasi secara efektif jika terjadi bencana, kemudian mampu bangkit kembali setelah bencana untuk melanjutkan kehidupannya. Bangsa yang tangguh ditandai pula oleh terbangunnya budaya sadar bencana, dimana pengurangan risiko bencana telah terintegrasi pada semua kebijakan, perencanaan,pelaksanaan dan perilaku yang mendukung terbangunnya bangsa dan masyarakat yang tangguh bencana. Dengan demikian, bangsa yang tangguh bencana adalah bangsa yang mempunyai kemampuan/kapasitas: (1) menyerap tekanan atau kekuatan-kekuatan yang menghancurkan, melalui perlawanan atau adaptasi, (2) mengelola, atau mempertahankan fungsi-fungsi dan struktur-struktur dasar tertentu, selama kejadian-kejadian yang mendatangkan malapetaka, (3) memulihkan diri atau ‘melenting balik’ setelah suatu kejadian bencana dan membangun kembali kehidupan dengan cara yang lebih baik.
4.2. Misi Sesuai dengan kondisi umum dan tantangan yang dihadapi serta disesuaikan dengan kemampuan yang ada, maka untuk mewujudkan “bangsa yang tangguh bencana” 112 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
tersebut, dirumuskan misi sebagai berikut : 1. Membangun efektivitas dalam upaya pengurangan risiko bencana pada kawasan yang memiliki risiko bencana, terutama pada pusat-pusat pertumbuhan pembangunan, 2. Meningkatkan efektivitas penanganan tanggap darurat, 3. Melakukan optimalisasi dan percepatan pemulihan wilayah pasca bencana, dan masyarakat yang terkena bencana untuk lebih mandiri. 4. Meningkatkan kemampuan penanggulangan bencana.
dan
akuntabilitas
dalam
tata
kelola
Upaya pencapaian misi penanggulangan bencana tersebut memerlukan suatu kerjasama yang sinergis antar para pemangku kepentingan, yaitu K/L, lembaga nonpemerintah dan masyarakat termasuk lembaga usaha dalam kerangka kerjasama yang terkordinasi, terarah dan terpadu serta kemitraan yang harmonis.
4.3. Tujuan Tujuan penanggulangan bencana seperti yang ditegaskan dalam Pasal 4 UU No. 24/2007 adalah (1) memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana, (2) menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada, (3) menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkordinasi dan menyeluruh, (4) menghargai budaya lokal, (5) membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta, (6) mendorong semangat gotongroyong, kesetiakawanan, dan kedermawanan, (7) menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Sesuai dengan kondisi dan perkembangan situasi, maka tujuan strategis dari penanggulangan bencana untuk jangka waktu 5 (lima) tahun mendatang (20152019) adalah (1) Penguatan kerangka hukum penanggulangan bencana, (2) Pengarusutamaan penanggulangan bencana dalam pembangunan, (3) Peningkatan kemitraan multi pihak dalam penanggulangan bencana, (4) Peningkatan efektivitas pencegahan dan mitigasi bencana, (5) Peningkatan kesiapsiagaan dan penanganan darurat bencana, (6). Peningkatan kapasitas pemulihan bencana, (7). Pemenuhan tata kelola bidang penanggulangan bencana.
113 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
4.4. Sasaran Mengacu pada sasaran pembangunan nasional di bidang penanggulangan bencana dan prioritas nasional sebagaimana tercantum dalam RPJMN 2015-2019, maka sasaran strategis Renas PB 2015-2019 mengarahkan untuk: 1. Tersedianya perangkat hukum yang mendorong penyelenggaraan penanggulangan bencana yang efektif dan mandiri di tingkat pusat hingga daerah secara proporsional. 2. Terintegrasinya penanggulangan bencana pada kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan non pemerintah. 3. Meningkatnya bencana.
efektivitas
mekanisme
penyelenggaraan
penanggulangan
4. Diterapkannya strategi yang menjamin terlaksananya pemberdayaan masyarakat secara sinergi yang beroritentasi kepada penurunan risiko bencana dengan kearifan lokal dan kemandirian daerah. 5. Meningkatnya kemitraan multi-pihak (pemerintah, lembaga usaha dan masyarakat sipil) dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. 6. Meningkatnya upaya pencegahan dan mitigasi untuk mengurangi potensi korban jiwa, kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan akibat bencana. 7. Meningkatnya kesiapsiagaan dan penanganan darurat untuk menghadapi bencana secara mandiri dan proaktif. 8. Tersedianya mekanisme pendukung dalam menjamin terselenggaranya pemulihan dampak bencana secara mandiri, efektif dan bermartabat. 9. Terselenggaranya pemulihan dampak bencana secara lintas sektor sesuai dengan Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana. 10. Meningkatnya kapasitas SDM serta kelembagaan pemerintah dan non pemerintah terkait penanggulangan bencana.
4.5.
Arah Kebijakan Nasional Penyelenggaraan PB 2015-2019
Arah kebijakan nasional penanggulangan bencana telah tertuang dalam UU No. 24/2007 beserta peraturan turunannya, yaitu PP No. 21/2008, PP No. 22/2008, PP No. 23/2008 serta Perpres No. 8/2008. Landasan utama penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah Pancasila dan 114 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
UUD 1945. Sedangkan asas penanggulangan bencana ditegaskan dalam Pasal 3 huruf (1) UU No. 24/2007, yaitu (1) kemanusiaan, (2) keadilan, (3) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, (4) keseimbangan, (5) ketertiban dan kepastian hukum, f) kebersamaan, (7) kelestarian lingkungan hidup, dan (8) ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya, prinsip-prinsip yang harus dirujuk dalam penanggulangan bencana diamanatkan dalam Pasal 3 huruf (2) UU No. 24/2007, yaitu (1) cepat dan tepat, (2) prioritas, (3) kordinasi dan keterpaduan, (4) berdaya dan hasil guna, (5) transparansi dan akuntalibitas, f) kemitraan, (7) pemberdayaan (8) nondiskriminatif dan (9) nonproseliti yaitu dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana. Renas PB merupakan suatu pedoman atau panduan bagi semua pemangku kepentingan kebencanaan dalam mencapai tujuan dan sasaran penanggulangan bencana yang memuat komitmen kebijakan pemerintah sekaligus sebagai arah kebijakan, program, fokus prioritas, dan kegiatan yang diterapkan untuk mencapai prioritas nasional yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019. Arah kebijakan nasional bidang penanggulangan bencana (2015-2019) ditujukan kepada penguatan tata kelola penanggulangan bencana di pusat dan daerah pada seluruh tingkatan pemerintahan dan masyarakat termasuk perguruan tinggi, lembaga masyarakat dan lembaga usaha guna meningkatkan ketangguhan dalam menghadapi bencana. Dengan demikian arah kebijakan nasional yang akan diwujudkan melalui Renas PB 2015-2019 adalah sebagai berikut: 1. Terselenggaranya upaya pengurangan risiko bencana secara efektif yang didukung dengan meningkatnya kesadaran, kesiapan dan kemampuan aparat pemerintah baik di tingkat pusat dan daerah dan kelembagaan masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana melalui peningkatan kapasitas kelembagaan para pemangku kepentingan. 2. Terlaksananya sistem penanganan kedaruratan bencana yang efektif melalui peningkatan koordinasi penanganan kedaruratan, peningkatan keandalan sarana dan prasarana pendukung, serta peningkatan kinerja sistem logistik dan peralatan penanggulangan bencana yang efektif dan efisien, 3. Terlaksananya efisiensi dalam upaya rehabilitasi dan rekonstruksi dengan hasil yang lebih baik dibanding sebelum bencana, melalui peningkatan kapasitas perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang handal, peningkatan koordinasi pelaksanaan serta pengarusutamaan pengurangan risiko bencana 115 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
dalam setiap kegiatan rehabilitasi pembangunan berkelanjutan,
dan
rekonstruksi
dalam
rangka
4. Terlaksananya mekanisme dan sistem untuk menjamin adanya akuntabilitas dan transprasi serta tata kelola penanggulangan bencana di tingkat pusat dan daerah.
4.6. Strategi Penyelenggaraan PB 2015-2019 Untuk mewujudkan visi, misi, sasaran dan arah kebijakan penanggulangan bencana, maka strategi yang akan ditempuh dalam Renas PB 2015-2019 adalah sebagai berikut:
4.6.1. Penguatan Kerangka Hukum dan Kelembagaan PB Strategi ini perlu dilakukan untuk mendorong tersedianya kerangka hukum peraturan operasionalnya, agar penyelenggaran penanggulangan dapat berjalan secara efektif dan mandiri di tingkat pusat hingga daerah secara proporsional. Adanya tumpang tindih kerangka hukum dan peraturan berupa undang-undang dan peraturan pemerintah terkait kebencanaan di tingkat pusat dan peraturan daerah (perda) akan dapat dipetakan dan ditataulang. Berbagai peraturan pelaksanaantentang perencanaan, penganggaran, dan pengawasan akan didorong untuk diterbitkan. Untuk memastikan pelaksanaan peraturan didaerah akan disusun berbagai Standar Pelayanan Minimum (SPM) terkait dengan penyelenggaraan Penanggulangan bencana didaerah.
4.6.2. Mengarusutamakan PB dalam Pembangunan Strategi ini ditempuh untuk kegiatan pembangunan di pusat dan di daerah yang dilakukan oleh pemerintah dan non pemerintah. Untuk itu, perlu adanya mekanisme pengarusutamaan penanggulangan bencana dalam (1) program pembangunan nasional, yang tercantum pada RPJMN, Renstra K/L, RKP dan RKA serta RTRWN, (2) Pengarusutamaan penanggulangan bencana dalam program pembangunan daerah, yang tecantum pada RJMPD, Renstra SKPD, RKPD dan RKA RKPD serta RTRWD dan RDTR. Secara khusus, pengarusutamaan penanggulangan bencana masuk dalam rencana 116 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
kerja dari lembaga non pemerintah. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan penanggulangan bencana secara sektoral dan lintas sektoral. Memastikan adanya pemutakhiran dan evaluasi Renas PB 2015-2019, untuk selanjutnya menjadi masukan bagi penyusunan Renas PB 2020-2014. Dengan demikian, program dan kegiatan penanggulangan bencana tidak berdiri sendiri,tetapi terpadu kedalam program pembangunan secara regular dan berkelanjutan.
4.6.3. Peningkatan Efektivitas PB Strategi ini dilakukan untuk meningkatkan efektivitas mekanisme penyelenggaraan penanggulangan bencana melalui (1) Peningkatan kapasitas yang diarahkan agar, agar terdapat keselarasan dan kordinasi antar program pengurangan risiko bencana dengan penanganan darurat, (2) Pendefinisian dan pengaturan untuk menjamin kesiapsiagaan bencana yang meliputi peringatan dini, evakuasi dan perencanaan kontinjensi sebagai bagian dari penanganan darurat, (3) Pengembangan mekanisme pemulihan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan melakukan upaya pengurangan risiko pada proses rehabilitasi dan rekonstruksi pada daerah yang terkena bencana secara terencana, (4) Pengintegrasian program pengurangan risiko bencana dan pembaruan tata ruangpada daerah yang sedang melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi, (5) Pembangunan sistem peringatan dini multi bahaya secara terkoordinasi dan lintas kementerian/lembaga dengan prosedur operasi standar yang disepakati bersama untuk bencana-bencana prioritas nasional, (6) Penyusunan Kerangka Nasional Penanggulangan Kedaruratan Bencana yang disepakati dan ditetapkan oleh Pemerintah sebagai dokumen kebijakan publik untuk disosialisasikan, diperkuat kapasitas para pelakunya dan dilaksanakan secara konsisten dan tepat sasaran.
4.6.4. Optimalisasi Pemberdayaan Masyarakat untuk PB Strategi ini untuk menjamin terlaksananya pemberdayaan masyarakat secara sinergi yang beroritentasi kepada penurunan risiko bencana dengan kearifan lokal dan kemandirian daerah. Upaya-upaya yang perlu dilakukan antara lain (1) Penyusunan strategi pemberdayaan masyarakat dengan pengerahan dana sosial dan mekanisme pemindahan risiko sekaligus meningkatkan ketangguhan terhadap bencana dengan memperhatikan kearifan lokal, (2) Peningkatan jumlah program/kegiatan 117 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
bredasarkan strategi pemberdayaan masyarakat bagi kelompok miskin, dan kelompok perempuan di daerah berisiko tinggi bencana yang tersebar, (3) Peningkatan pendayagunaan potensi media dan pengetahuan tradisional, serta kearifan lokal dalam program-program pemberdayaan masyarakat.
4.6.5. Peningkatan Kemitraan Multi Pihak dalam PB Strategi ini ditempuh untuk meningkatkan kemitraan multipihak (pemerintah, lembaga usaha dan masyarakat) dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Upaya-upaya yang perlu ditempuh antara lain (1) Peningkatan jumlah pendanaan yang digunakan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, khususnya pengurangan risiko bencana diluar alokasi APBN dan APBD, (2) Pembentukan dan peningkatan forum-forum tematik tingkat nasional yang mengkomunikasikan pembelajaran dari implementasi program-program penanggulangan bencana di tingkat komunitas yang berorientasi kepada kemandirian mobilisasi sumberdaya lokal, (3) Peningkatan kapasitas Forum PRB tingkat nasional dan daerah serta tematik dalam penanggulangan bencana dengan perkuatan mekanisme pada berbagai kegiatan forum, (4) Pembentukan 12 pusat pembelajaran pada perguruan tinggi yang telah ditetapkan untuk komunitas akademis, peneliti dan pakar yang ditujukan untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan penanggulangan bencana nasional, (5) Membangun mekanisme dan dukungan bagi terbangunnya budaya sadar bencana pada dunia pendidikan, melalui proses belajar-mengajar. (6) Penyusunan dan penjaminan terlaksananya mekanisme untuk meningkatkan keterlibatan para relawan penanggulangan bencana pada semua tingkatan, (7) Penyusunan dan penjaminan kepastian terlaksananya mekanisme yang memberikan insentif bagi pihak–pihak yang berkontribusi secara mandiri terhadap ketangguhan masyarakat terhadap bencana.
4.6.6. Peningkatan Efektivitas Pencegahan dan Mitigasi Bencana Strategi ini ditempuh untuk meningkatkan upaya pencegahan dan mitigasi untuk mengurangi potensi korban jiwa, kerugian ekonomi, dan kerusakan lingkungan akibat bencana. Upaya-upaya lainnya berupa (1) Penyusunan strategi penyadaran publik untuk berperan serta aktif dalam pencegahan dan mitigasi bencana untuk setiap jenis bahaya, (2) Penyelenggaraan strategi penyadaran publik dalam upaya pencegahan dan mitigasi bencana untuk pendidikan formal, masyarakat dan pelaku industri di daerah berisiko, (3) Penyusunan kerangka kerja riset nasional untuk 118 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
menghasilkan inovasi teknologi terapan dalam upaya pencegahan dan mitigasi bencana yang mengarah kepada peningkatan rasio manfaat-biaya (cost-benefit ratio), (4) Peningkatan jumlah hasil riset (temuan) teknologi terapan untuk pengurangan risiko bencana, (4) Penerapan hasil riset terapan berdasarkan pengembangan metode dan survei pendukung serta pengetahuan asli lokal untuk peningkatan efektivitas upaya mitigasi bencana, (5) Peningkatan fungsi sistem informasi bencana nasional untuk pencegahan dan mitigasi bencana yang diarahkan kepada pemutakhiran parameter kajian risiko bencana, identifikasi pembelajaran dari kejadian bencana, dan komponen pertimbangan dalam pengambilan keputusan di tingkat masyarakat atau pun pemerintah, (6). Pemutakhiran metodologi dan hasil pengkajian risiko bencana, (7) Penyusunan dan penggunaan pedoman pemutakhiran pengkajian risiko bencana oleh pemerintah daerah, (8) Penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya air, tanah dan hutan untuk pengelolaan risiko bencana di daerah prioritas nasional, (9). Perkuatan dan penyerasian aturan dan kebijakan teknis terkait pengelolaan sumber daya alam dan penataan ruang/lahan dalam upaya pencegahan dan mitigasi bencana, (10). Penegakkan aturan pengendalian pemanfaatan lahan untuk pencegahan dan mitigasi bencana berdasarkan Kajian Risiko Bencana serta Kajian Lingkungan Hidup Strategis di daerah berisiko bencana, (11). Penyusanan dan penerapan panduan teknis dan mekanisme standar upaya pencegahan dan mitigasi bencana, (12) Pelaksanaan upaya mitigasi yang ditujukan secara spesifik untuk mengurangi risiko suatu bencana.
4.6.7. Peningkatan Kesiapsiagaan dan Penanganan Darurat Bencana Strategi ini dilakukan untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan penanganan darurat untuk menghadapi bencana secara mandiri dan proaktif. Upaya-upaya yang perlu dilakukan antara lain (1) Pelaksanaan pembangunan dan peningkatan kapasitas sarana prasarana evakuasi bencana pada daerah prioritas nasional, (2) Penyusunan dan penerapan pedoman mekanisme standar untuk peningkatan kesiapsiagaan masyarakat untuk menghadapi bencana, (3) Penyelenggaraan latihan kesiapsiagaan tingkat nasional secara bertahap, berjenjang dan berlanjut sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI), (4) Pelaksanaan pembangunan Budaya Siaga Bencana yang menjamin kemandirian mobilisasi sumberdaya masayarakat untuk kesiapsiagaan bencana, (5), Penyusunan sistem mobilisasi sumber daya saat penanganan darurat bencana tingkat nasional, (6) Penyusunan mekanisme serta sarana dan prasarana pendukung dan logistik dalam penanganan darurat bencana, (7) Penggunaan pedoman pelaksanaan kajian cepat dan penetapan status darurat bencana, (8) Peningkatan kapasitas aparatur dalam pelaksanaan kajian cepat 119 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
bencana, (9) Pelaksanaan sosialisasi mekanisme penetapan status darurat bencana khususnya pada rantai komando pengendali, (10) Penyelenggaraan pelatihan dan sertifikasi berkala terhadap personil Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana (SRC PB) Indonesia, (11) Penguatan mekanisme pengerahan bantuan dan kerjasama dengan negara/lembaga asing dalam penanganan darurat bencana, (12) Penyediaan pedoman penyusunan kerangka penanggulangan kedaruratan bencana untuk daerah, (13) Penyelenggaraan upaya perkuatan terhadap Sistem Komando Tanggap Darurat berdasarkan Kerangka Nasional Penanggulangan Kedaruratan Bencana, (14) Pendampingan penyusunan kerangka penanggulangan kedaruratan bencana di daerah, (15) Penyelenggaraan latihan berkala penerapan Kerangka Penanggulangan kedaruratan bencana daerah, (16) Penyelenggaraan kegiatan penyelamatan Jiwa dan pemenuhan kebutuhan dasar terhadap kelompok rentan berdasarkan kejadian bencana, (17) Percepatan penyelesaian pemulihan dini pada masa tanggap darurat bencana.
4.6.8. Penyelenggaraan Pemulihan Dampak Bencana Strategi ini ditempuh untuk menjamin terselenggaranya (1) Pemulihan dampak bencana secara lintas sektor sesuai dengan Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana, (2) Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Bidang Fisik sesuai dengan Rencana Aksi, (3) Terlaksananya Pemulihan Dampak Bencana, (4) Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Bidang Sosial, Ekonomi dan Budaya sesuai dengan Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana, (5) Pembentukan budaya masyarakat mandiri yang memiliki kesadaran membangun kembali wilayahnya.
4.6.9. Penyiapan Unsur Pendukung Pemulihan Bencana Strategi ini ditempuh untuk penyediaan mekanisme pendukung dalam menjamin terselenggaranya pemulihan dampak bencana secara mandiri, efektif dan bermartabat. Upaya-upaya yang perlu dilakukan antara lain (1) Penyelenggaraan mekanisme pola dukungan rehabilitasi dan rekonstruksi pada setiap tingkatan kedaruratan bencana melalui peningkatan kapasitas aparat daerah, (2) Pembangunan rantai pengadaan sarana prasarana rehabilitasi dan rekonstruksi pada setiap sektor pelayanan dan percepatannya, (3) Penjaminan adanya kebersamaan, kepercayaan dan kerjasama antar negara untuk berbagi dukungan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana, (4) Penyusunan Rencana Aksi 120 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Rehabilitasi dan pascabencana.
4.6.10.
Rekonstruksi
Pascabencana
berdasarkan
kajian
kebutuhan
Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas Tata Kelola PB
Strategi ini dilakukan untuk meningkatkan kapasitas SDM serta kelembagaan pemerintah dan non pemerintah terkait penanggulangan bencana.Upaya-upaya yang perlu dilakukan antara lain (1) Penyusunan sistem informasi untuk penilaian efektivitas implementasi Renas PB, (2) Penjaminan mekanisme yang jelas untuk menilai implementasi Renas PB berdasarkan analisa manfaat-biaya, (3) Penyusunan standar kompetensi dasar dan lanjut untuk peningkatan kapasitas pemerintah di daerah berisiko untuk setiap jenis bahaya, (4) Penyusunan kurikulum dan modul untuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia, aparat dan pelaku penanggulangan bencana, (5) Penjamian adanya kompetensi dasar kapasitas aparat pemerintah untuk pencegahan dan mitigasi bencana di daerah berisiko, (6) Pelaksanaan pelatihan secara berkala dan sertifikasi untuk membangun kompetensi dasar kapasitas aparat pemerintah dalam penanggulangan bencana, (7) Peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana kelembagaan untuk pengurangan risiko bencana, (8) Peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana kelembagaan untuk penanganan darurat bencana, (9) Peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana kelembagaan untuk pemulihan bencana, (10) Penyusunan pedoman dan prosedur pengelolaan kelembagaan penanggulangan bencana, (11) Penjaminan adanya fasilitasi dan pendampingan terhadap daerah dalam penyelenggaraan PB, (9) Penyusunan sistem dan mekanisme tanggung gugat dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
4.7. Penataan Kelembagaan Dalam rangka pelaksanaaan tanggung-jawab penyelanggaraan penanggangulan bencana, maka Pemerintah membentuk BNPB (Pasal 10, ayat 1 UU No. 24/2007) yang kedudukannya merupakan lembaga pemerintah non departemen setingkat menteri (Pasal 10, ayat 2 UU No. 24/2007). BNPB merupakan lembaga pemerintah nonkementrian yang dipimpin oleh pejabat setingkat menteri. Tugas dan fungsi BNPB adalah melakukan perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat serta efektif dan efisien. Selain itu, BNPB juga melakukan pengkordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh. 121 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Adapun tugas BNPB sesuai dengan Pasal 12 UU No. 24/2007 adalah sebagai berikut (1) memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi secara adil dan setara, (2) menetapkan standarisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundangan, (3) menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat, (4) melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Presiden setiap bulan sekali dalam kondisi normal dan pada setiap saat dalam kondisi darurat bencana, (5) menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan nasional dan internasional, (6) mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBN. Dalam melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana, BNPB melaksanakan fungsi kordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait sesuai dengan tugas, pokok dan fungsinya. Dalam melaksanakan fungsinya, BNPB didukung oleh unsur pengarah yang beranggotan 19 (sembilan belas orang) yang terdiri dari 10 (sepuluh) orang pejabat pemerintah dan sembilan orang unsur profesional. Anggota unsur pengarah dari pejabat pemerintah terdiri dari : (1) Kementerian Koordinator Bidang Kesejahretraan Rakyat, (2) Kementerian Dalam Negeri, (3) Kementerian Sosial, (4) Kementerian Pekerjaan Umum, (5) Kementerian Kesehatan, (6) Kementerian Keuangan, (7) Kementerian Perhubungan, (8) Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, (9) Kepolisian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Secara umum, tugas dan fungsi Kementerian dan Lembaga Pemerintah nonKementerian di tingkat pusat adalah sebagai berikut : 1. Kementerian Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat mengkordinasikan program-program penanggulangan bencana lintas Kementerian dan Lembaga. 2. Kementerian Dalam Negeri mengendalikan program-program dan kegiatan pembangunan daerah yang berkaitan dengan penanggulangan bencana. 3. Kementerian Luar Negeri mendukung program-program dan kegiatan penanggulangan bencana yang berkaitan dengan kemitraan Internasional. 4. Kementerian Pertahanan mendukung pengamanan daerah-daerah yang terkena bencana , baik pada masa tanggap darurat maupun pasca bencana. 5. Kementerian Hukum dan HAM mendorong peningkatan dan penyelarasan perangkat-perangkat hukum terkait kebencanaan. 6. Kementerian Keuangan penyiapan anggaran biaya kegiatan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada masa pra-bencana, tanggap darurat dan pasca bencana. 122 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
7. Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral merencanakan dan mengendalikan upaya mitigasi bencana dibidang geologi dan bencana akibat ulah manusia yang terkait dengan bencana geologi. 8. Kementerian Pertanian merencanakan dan mengendalikan upaya mitigasi dibidang bencana kekeringan dan bencana lain terkait dengan bidang pertanian dan ketahanan pangan. 9. Kementerian Kehutanan merencanakan dan mengendalikan upaya mitigasi bencana khususnya kebakaran hutan/lahan dan konservasi hutan. 10. Kementerian Perhubungan merencanakan dan melaksanakan kebutuhan transportasi, khususnya pada masa tanggap darurat dan dampak bencana kegagalan teknologi transportasi. 11. Kementerian Kelautan dan Perikanan merencanakan dan mengendalikan upaya mitigasi dibidang bencana tsunami dan abrasi pantai. 12. Kementerian Pekerjaan Umum merencanakan tata-ruang daerah yang rawan terhadap risiko bencana,penyiapan lokasi dan jalur evakuasi dan kebutuhan pemulihan prasarana publik. 13. Kementerian Kesehatan merencanakan pelayanan kesehatan dan medik termasuk obat-obatan, tenaga medis/paramedic, dan relawan pada masa tanggap darurat dan pemulihan pasca bencana. 14. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merencanakan dan mengendalikan penyelenggaraan pendidikan pada masa darurat untuk daerah-daerah yang terkena bencana dan pemulihan sarana dan prasarana pendidikan,serta mengkordinasikan tentang pendidikan sadar bencana pada semua jenjang pendidikan formal dan informal. 15. Kementerian Sosial merencanakan kebutuhan bagi para pengungsi dan relawan. 16. Kementerian Komunikasi dan Informatika merencanakan dan mengendalikan pengadaan fasilitas dan sarana komunikasi darurat untuk mendukung tanggap darurat bencana dan pasca bencana. 17. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi merencanakan penyerahan dan pemindahan korban bencana daerah yang aman bencana. 18. Kementerian Riset dan Tehnologi melakukan kajian dan penelitian sebagai bahan untuk merencanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada situasi tidak terjadi bencana,tanggap darurat,dan tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. 19. Kementerian Koperasi dan UKM menyelenggarakan program-program koperasi dan usaha-usaha kecil dan kegiatan ekonomi produktif bagi warga masyarakat 123 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
miskin pada daerah-daerah pasca bencana untuk mempercepat pemulihan kehidupan ekonomi. 20. Kementerian Lingkungan Hidup merencanakan dan mengendalikan upaya yang bersifat preventif,advokasi dan deteksi dini dalam pencegahan bencana terkait lingkungam hidup. 21. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal merencanakan dan mengendalikan program-program pembangunan di daerah tertinggal yang berdasarkan kajian risiko bencana. 22. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional mendukung perencanaan program-program pembangunan yang peka terhadap risiko bencana. 23. Kementerian Perumahan Rakyat mengkordinasikan pengadaan perumahan dan pemukiman untuk warga yang menjadi korban bencana. 24. Tentara Nasional Indonesia membantu dalam kegiatan pencarian dan penyelamatan (Search And Rescue/SAR) dan mendukung pengkordinasian upaya tanggap darurat. 25. Kepolisian Republik Indonesia membantu dalam kegiatan SAR dan pengamanan saat tanggap darurat termasuk mengamankan lokasi yang ditinggalkan kerana para penghuninya mengungsi, menjamin ketertiban masyarakat di daerah bencana. 26. Basarnas mendukung BNPB dalam mengkordinasikan dan menyelenggarakan kegiatan pencarian dan penyelamatan (SAR). 27. Badan Informasi Geospasial merencanakan dan mengendalikan pemetaan risiko bencana bekerjasama dengan kementerian/lembaga teknis. 28. BMKG membantu dalam bidang pemantauan potensi bencana yang terkait dengan metereologi, klimatologi dan geofisika. 29. BPPT membantu dalam bidang pengkajian dan penerapan tehnologi khususnya teknologi yang berkaitan dengan penanggulangan bencana. 30. BPS membantu dalam bidang penyiapan data-data statistic terkait kebencanaan. 31. BPN membantu dalam bidang penyediaan data-data terkait dengan pertanahan. 32. LIPI membantu dalam bidang pengkajian ilmu pengetahuan yang berkaiatan dengan upaya penanggulangan bencana. 33. Lapan membantu dalam bidang penyediaan informasi dan data-data spasial khususnya dari satelit.
124 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
34. BSN membantu dalam bidang standarisasi pedoman-pedoman teknis maupun panduan teknis penanggulangan bencana. 35. Bapeten membantu dalam bidang pemantauan, pemanfaatan dan pengendalian bahaya nuklir. 36. Batan membantu dalam bidang pemantauan, pemanfataan dan pengendalian bahaya akibat tenaga atom. Di tingkat daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, dibentuk BPBD. Pembentukan ini sesuai dengan pasal 18 ayat 1 UU No. 24/2007. Pembentukan BPBD merujuk pada Perka BNPB No. 3/2008 dan Permendagri No. 46/2008. Sesuai dengan Pasal 2 Permendagri No. 46/2008, BPBD dibentuk di setiap Provinsi dan dapat dibentuk di tingkat Kabupaten/Kota. Pembentukan BPBD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota. Bagi daerah-daerah yang belum membentuk atau tidak membentuk BPBD, maka fungsifungsi penanggulangan bencana dilaksanakan oleh SKPD yang menangangi kebencanaan. Hingga bulan Februari 2014 telah terbentuk 436 BPBD yang terdiri dari 33 BPBD Provinsi dan 403 BPBD Kabupaten/Kota (81% dari 497 kabupaten/kota). Berdasarkan Pasal 21 UU No. 24/2007, tugas BPBD adalah (1) menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan BNPB terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat,rehabilitasi serta rekonstruksi secara adil dan setara, (2) menetapkan standarisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundangan, (3) menyusun, menetapkan dan menginformasikan peta rawan bencana, (4) menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana, (5) melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala daerah setiap bulan sekali dalam kondisi normal dan pada setiap saat dalam kondisi darurat bencana, (6) mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang, (8) mempertanggung-jawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBD dan (9) melaksanakan kewajiban lain sesuai peraturan perundang-undangan. Di dalam penyelenggaraan PB, telah terbangun jejaring dari para pemangku kepentingan untuk mengurangi risiko bencana. Walaupun tidak secara khusus diatur dalam UU No. 24/2007 tapi dalam praktik jejaring tersebut diakomodasi dan dilaksanakan dengan membentuk forum (platform) baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota. Di tingkat nasional ada Platform Nasional PRB (Planas PRB), Forum Masyarakat Sipil, Forum Lembaga Usaha, Forum Perguruan Tinggi untuk PRB (FPT PRB), Forum Media, Forum Lembaga Internasional. Secara khusus, Masyarakat
125 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) secara regular menyelenggarakan Konperensi Nasional Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK). Planas PRB dibentuk pada tanggal 28 April 2009, atas dukungan para pemangku kepentingan PRB di Indonesia yang terdiri dari pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, lembaga usaha, media dan komunitas internasional. Planas PRB merupakan sebuah forum independen yang dibentuk untuk mendorong serta memfasilitasi kerjasama antar berbagai pihak dalam upaya PRB di Indonesia. Planas PRB berupaya mewadahi semua kepentingan terkait kebencanaan, serta membantu menyelaraskan berbagai kebijakan, program dan kegiatan PRB di tingkat pusat, agar dapat mendukung tercapainya tujuantujuan PRB Indonesia dan terwujudnya ketahanan dan ketangguhan bangsa terhadap bencana, selaras dengan tujuan-tujuan Kerangka Aksi Hyogo 2005-2015. Saat ini di tingkat provinsi telah terbentuk 12 Forum PRB antara lain Forum PRB NTT, Forum PRB Yogyakarta, Forum PRB Sumatera Barat, Forum PRB Bengkulu dan beberapa provinsi lainya. Selain itu ada forum yang bersifat tematik, seperti Forum Gunung Merapi, Forum Gunung Slamet, Forum Bengawan Solo, Forum DAS Citarum, Forum DAS Benenain dan lain-lain. Sedangkan di tingkat masyarakat ada Paguyuban Siaga Merapi, Jangkar Kelud, dan lain-lain. Kendala utama yang dihadapi oleh Forum PRB baik yang berbasis kawasan maupun ancaman adalah keberlanjutan. Dalam konteks ini belum terbangun kerjasama yang melibatkan sektor swasta melalui Public Private Partnership (PPP) Secara khusus dalam Bab VI UU No. 24/ 2007 ditegaskan tentang peran lembaga usaha dan lembaga internasional dalam upaya penanggulangan bencana. Pasal 28 menegaskan bahwa lembaga usaha termasuk lembaga swasdaya masyarakat mendapatkan kesempatan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana baik secara sendiri maupun secara bersama dengan pihak lain. Selanjutnya dalam pasal 29 diuraikan bahwa lembaga usaha antara lain: (1) menyesuaikan kegiatannya dengan kebijakan penanggulangan bencana, (2) berkewajiban menyampaikan laporan kepada pemerintah dan atau badan yang diberi tugas melakukan penanggulangan bencana secara menginformasikan kepada publik secara tranparan, (3) berkewajiban mengindahkan prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan fungsi ekonominya dalam penanggulangan bencana. Peran lembaga internasional dan lembaga asing non pemerintah diatur dalam pasal 30 UU No. 24/2007, yaitu lembaga-lembaga tersebut (1) dapat ikut berperan-serta dalam kegiatan penanggulangan bencana dan mendapat jamian perlindungan dari pemerintah terhadap pekerjaannya, (2) dapat melakukan kegiatan PB baik secara sendiri, bersama-
126 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
sama dan atau bersama mitra kerja Indonesia dengan memperhatikan latar belakang sosial, budaya, dan agama masyarakat setempat.
127 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
BAB V PROGRAM PENANGGULANGAN BENCANA
Renas PB 2015-1019 merupakan wujud dari komitmen politik pemerintah dalam penyelenggarakan “Program Penanggulangan Bencana”. Penyusunan Renas PB juga merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan turunannnya serta penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengan Nasional 2015-2019. Renas PB adalah dokumen resmi yang berisi data dan informasi tentang risiko bencana yang ada di Indonesia dalam kurun waktu antara 2015-1019 dan rencana pemerintah untuk mengurangi risiko tersebut melalui program-program dan kegiatan operasionalnya. Selanjutnya, Renas PB 2015-2019 memuat fokus prioritas, program dan sasaran yang akan dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan dalam lima tahun mendatang.
5.1. Fokus Prioritas Renas PB 2015-2019 Sesuai dengan Pasal 33 UU No. 24/2007 bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap prabencana, saat tanggap darurat dan pascabencana. Arahan dan prioritas nasional sebagaimana ditegaskan pada RPJMN 2015-2019, pengkajian beragam dokumen seperti RPJMN 2009-2014, Renas PB 2010-2014, dan Rencana Aksi Nasional (RAN PRB) 2010-2012, serta memperhatikan capaian 5 (lima) tahun terakhir tentang penanggulangan bencana, baik yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat, maka fokus prioritas disusun dan dirumuskan sebagai berikut : 1. Penguatan kerangka hukum penanggulangan bencana. 2. Pengarusutamaan penanggulangan bencana dalam pembangunan. 3. Peningkatan kemitraan multi pihak dalam penanggulangan bencana. 4. Pemenuhan tata kelola bidang penanggulangan bencana. 5. Peningkatan efektivitas pencegahan dan mitigasi bencana. 6. Peningkatan kesiapsiagaan dan penanganan darurat bencana. 7. Peningkatan kapasitas pemulihan bencana.
128 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
5.2. Sasaran Renas PB 2015-2019 Sasaran Renas PB 2015-2019 diarahkan antara lain untuk: 1. Tersedianya perangkat hukum yang mendorong penyelenggaraan penanggulangan bencana yang efektif dan mandiri di tingkat pusat hingga daerah secara proporsional. 2. Terintegrasinya penanggulangan bencana pada kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerinrah daerah dan non pemerintah. 3. Meningkatnya bencana.
efektivitas
mekanisme
penyelenggaraan
penanggulangan
4. Diterapkannya strategi yang menjamin terlaksananya pemberdayaan masyarakat secara sinergis yang beroritentasi kepada penurunan risiko bencana dengan kearifan lokal dan kemandirian daerah. 5. Meningkatnya kemitraan multipihak (pemerintah, lembaga usaha dan masyarakat sipil) dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. 6. Meningkatnya upaya pencegahan dan mitigasi untuk mengurangi potensi korban jiwa, kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan akibat bencana. 7. Meningkatnya kesiapsiagaan dan penanganan darurat untuk menghadapi bencana secara mandiri dan proaktif. 8. Tersedianya mekanisme pendukung dalam menjamin terselenggaranya pemulihan dampak bencana secara mandiri, efektif dan bermartabat. 9. Terselenggaranya pemulihan dampak bencana secara lintas sektor sesuai dengan rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. 10. Meningkatnya kapasitas SDM serta kelembagaan pemerintah dan non pemerintah terkait penanggulangan bencana. Dalam Renas PB 2015-2019 ini hanya memuat 1 (satu) program, yaitu “Program Penanggulangan Bencana” dan dengan 10 (sepuluh) sasaran di atas. Hal ini berdasarkan hasil kajian risiko bencana yang tertuang dalam BAB II, khususnya prioritas bencana nasional dan hasil kajian kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan sebagaimana dituangkan dalam BAB III. Selanjutnya juga didasarkan dari hasil pemantauan pelaksanaan program tahun 2009-2014, laporan pelaksanaan Kerangka Aksi Hyogo dari 2009-2013. Penetapan satu program ini dimaksudkan untuk mencapai misi yang telah ditetapkan sebagaimana diuraikan dalam BAB IV di atas. Rumusan program Renas PB tersebut 129 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
merupakan konsolidasi dari pembelajaran dan evaluasi terhadap pelaksananan Renas PB 2010-2014 dan RAN PRB 2010-2012 termasuk didalam pelaksanaan kesepakatan internasional sebagaimana tercantum pada Kerangka Aksi Hyogo 2005-2015 yang dilakukan secara berkala dan dilaporkan pada forum Global Platform Disaster Risk Reduction. Penetapan program tersebut dilakukan sebagai cara dan metodologi untuk mewujudkan sasaran. Adapun sasaran penanggulangan bencana, dirumuskan dan ditetapkan untuk tercapainya arah penanggulangan bencana sesuai dengan prioritas nasional yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019. Uraian mengenai keterkaitan antara program, fokus prioritas, dan sasaran penanggulangan bencana yang termuat dalam Renas PB 2015-2019 adalah sebagai berikut: Tabel 6: Keterkaitan Program, Fokus Prioritas dan Sasaran PB Program Penanggulangan Bencana
Fokus Prioritas
Sasaran
1. Penguatan kerangka hukum penanggulangan bencana
1) Tersedianya perangkat hukum yang mendorong penyelenggaraan penanggulangan bencana yang efektif dan mandiri di tingkat pusat hingga daerah secara proporsional
2. Pengarusutamaan penanggulangan bencana dalam pembangunan
2) Terintegrasinya penanggulangan bencana pada kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahdan non pemerintah 3) Meningkatnya efektivitas mekanisme penyelenggaraan penanggulangan bencana
3. Peningkatan kemitraan 4) Diterapkannya strategi yang multi pihak dalam menjamin terlaksananya penanggulangan pemberdayaan masyarakat secara bencana sinergi yang beroritentasi kepada penurunan risiko bencana dengan kearifan lokal dankemandirian daerah. 5) Meningkatnya kemitraan multi-pihak (pemerintah, lembaga usaha dan masyarakat sipil) dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
130 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
4. Peningkatan efektivitas pencegahan dan mitigasi bencana
6) Meningkatnya upaya pencegahan dan mitigasi untuk mengurangi potensi korban jiwa, kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan akibat bencana.
5. Peningkatan kesiapsiagaan dan penanganan darurat bencana
7) Meningkatnya kesiapsiagaan dan penanganan darurat untuk menghadapi bencana secara mandiri dan proaktif.
6. Peningkatan kapasitas pemulihan bencana
8) Tersedianya mekanisme pendukung dalam menjamin terselenggaranya pemulihan dampak bencana secara mandiri, efektif dan bermartabat. 9) Terselenggaranya pemulihan dampak bencana secara lintas sektor sesuai dengan Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana
7. Pemenuhan tata kelola 10) Meningkatnya kapasitas SDM serta bidang penanggulangan kelembagaan pemerintah dan non bencana pemerintah terkait penanggulangan bencana
Untuk melaksanakan program tersebut, pemerintah sesuai dengan kewenangan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 7 UU No. 24/2007. Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: (1) penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan pembangunan nasional, (2) pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana, (3) penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah, (4) penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan negara lain, badan-badan, atau pihak-pihak internasional lain, (5) perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana, (6) perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan pemulihan, dan (7) pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang berskala nasional. Secara operasional pelaksanaan program penanggulangan bencana dilakukan oleh K/L terkait dengan dikordinasikan oleh BNPB sesuai dengan BAB IV kelembagaan penanggulangan bencana yang dijabarkan dalam Perpres No. 8/2008. Dalam Pasal 14 Perpres No. 8/2008 bahwa fungsi unsur pelaksana PB menyelenggarakan fungsi (1)
131 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
koordinasi penyelenggaran penanggulangan bencana, (2) komando penyelenggaraan bencana dan, (3) pelaksana dalam penyelenggaraan PB. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya BNPB didukung oleh K/L sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing K/L dan non K/L sebagaimana diuraikan dalam BAB IV tentang kerangka hukum dan kelembagaan.
5.3. Indikator Capaian Renas PB 2015-2019 Untuk memastikan pencapaian sasaran Renas PB maka sebanyak 100 (seratus) indikator disusun guna memastikan bahwa kegiatan Renas PB terlaksana di tingkat implementasinya. 1. Adanya kesepakatan para pihak tentang revisi UU No. 24/2007. 2. Adanya naskah akademis tentang revisi UU No. 24/2007. 3. Adanya pengesahan hasil revisi UU No. 24/2007. 4. Adanya peta konflik dari peraturan yang disepakati oleh K/L terkait penanggulangan bencana pada tingkat pusat dan daerah. 5. Adanya kesepakatan untuk menyelaraskan penanggulangan bencana oleh K/L terkait.
peraturan
teknis
terkait
6. Adanya pengesahan peraturan teknis yang memberikan pedoman yang selaras dengan hasil revisi UU No. 24/2007. 7. Adanya pengesahan peraturan yang menjadikan penanggulangan bencana sebagai urusan wajib di daerah dan mengharuskan alokasi anggaran penanggulangan bencana di daerah. 8. Adanya pengesahan peraturan teknis terkait dengan sistem kesiapsiagaan dan kedaruratan nasional, yang meliputi sistem peringatan dini, rencana kontinjensi dan rencana operasi. 9. Adanya pengesahan peraturan terkait penggalangan kemitraan dalam penanggulangan bencana. 10. Adanya pengesahan peraturan terkait penetapan status keadaan darurat bencana. 11. Adanya pengesahan peraturan teknis sebagai pedoman pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan penanggulangan bencana secara lintas sektor dan lintas kelembagaan. 12. Terlaksananya pemantauan, evaluasi, pelaporan dan penegakan hukum dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
132 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
13. Terbentuknya kelembagaan yang mengawal pengarusutamaan PB dalam Rencana Pembangunan, sekaligus memantau dan mengevaluasi pelaksanaan Renas PB 2015-2019. 14. Dimasukkannya PB sebagai bagian dari Strategi Pembangunan Nasional dalam RPJMN. 15. Dimasukkannya Program PB dalam Renstra K/L dan rencana kerja jangka menengah Non K/L. 16. Terlaksananya pemantauan, evaluasi dan pelaporan berkala (tahunan, pertengahan dan akhir) dari pelaksanaan Renas PB 2015-2019. 17. Dimutakhirkannya Renas PB 2015-2019 berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi berkala. 18. Tersusunnya Renas PB 2020-2024 berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi berkala serta hasil kajian lain yang ditetapkan. 19. Meningkatnya koordinasi kegiatan, peningkatan kapasitas dan program antara pengurangan risiko bencana dengan penanganan darurat. 20. Adanya pendefinisian yang diperkuat dalam sebuah aturan untuk menjamin kesiapsiagaan bencana yang meliputi peringatan dini, evakuasi dan perencanaan kontinjensi sebagai bagian dari penanganan darurat. 21. Adanya pengembangan pola mitigasi pada proses rehabilitasi dan rekonstruksi pada daerah yang terkena bencana secara terencana. 22. Adanya mekanisme yang dapat mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan melakukan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi. 23. Adanya integrasi program pengurangan risiko bencana dan pembaruan tata ruang pada daerah yang sedang melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi. 24. Tersusunnya strategi pemberdayaan masyarakat dengan mengembangkan dana sosial dan mekanisme pemindahan risiko sekaligus meningkatkan ketangguhan terhadap bencana yang memperhatikan kearifan lokal dan adaptif terhadap perubahan iklim. 25. Meningkatnya jumlah program/kegiatan bredasarkan strategi pemberdayaan masyarakat bagi komunitas paling miskin, dan kelompok perempuan di daerah berisiko tinggi bencana yang tersebar. 26. Meningkatkannya pendayagunaan potensi media dan pengetahuan tradisional, serta kearifan lokal dalam program-program pemberdayaan masyarakat. 27. Meningkatnya jumlah pendanaan yang digunakan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, khususnya pengurangan risiko bencana di luar alokasi APBN dan APBD. 133 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
28. Terselenggaranya forum-forum tematik tingkat nasional yang mengkomunikasikan pembelajaran dari implementasi program-program penanggulangan bencana di tingkat komunitas yang berorientasi kepada kemandirian mobilisasi sumberdaya lokal. 29. Meningkatnya kapasitas Forum PRB tingkat nasional dan daerah serta tematik dalam penanggulangan bencana dengan perkuatan mekanisme pada berbagai kegiatan forum. 30. Tersedianya mekanisme dan sumberdaya yang mendukung penggunaan hasil-hasil Forum PRB tingkat nasional dan daerah serta tematik oleh pemerintah dalam penanggulangan bencana. 31. Terbentuknya 12 pusat pembelajaran pada perguruan tinggi yang telah ditetapkan untuk komunitas akademis, peneliti dan pakar yang ditujukan untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan penanggulangan bencana nasional. 32. Adanya mekanisme dan dukungan bagi terbangunnya budaya sadar bencana pada dunia pendidikan, melalui proses belajar-mengajar. 33. Adanya mekanisme dan dukungan bagi terselenggaranya kegiatan ekstrakurikuler penanggulangan bencana (Pramuka, Palang Merah Remaja, kunjungan lapangan, dan lain-lain) pada lembaga pendidikan formal. 34. Terselenggaranya Jambore Siaga Bencana Sekolah tingkat nasional yang diikuti oleh seluruh perwakilan sekolah pada jenjang pendidikan tertentu setiap provinsi di Indonesia. 35. Tersusun dan dilaksanakannya mekanisme untuk meningkatkan keterlibatan para relawan penanggulangan bencana pada semua tingkatan. 36. Tersusun dan dilaksanakannya mekanisme yang memberikan insentif bagi pihak–pihak yang berkontribusi secara mandiri terhadap ketangguhan masyarakat terhadap bencana. 37. Tersusunnya strategi penyadaran publik untuk berperan serta aktif dalam pencegahan dan mitigasi bencana untuk setiap jenis bahaya. 38. Terselenggaranya strategi penyadaran publik untuk upaya pencegahan dan mitigasi bencana pada jenjang pendidikan formal, masyarakat dan pelaku industri di daerah berisiko. 39. Tersusunnya kerangka kerja riset nasional untuk inovasi teknologi terapan dalam upaya pencegahan dan mitigasi bencana yang mengarah kepada peningkatan rasio manfaat-biaya (cost-benefit ratio). 40. Meningkatnya jumlah hasil riset (temuan) teknologi terapan pengurangan risiko bencana.
untuk
41. Digunakannya hasil riset terapan berdasarkan pengembangan metode dan survei pendukung serta pengetahuan asli lokal untuk peningkatan efektivitas upaya mitigasi bencana.. 134 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
42. Meningkatnya fungsi sistem informasi bencana nasional untuk pencegahan dan mitigasi bencana yang diarahkan kepada pemutakhiran parameter kajian risiko bencana, identifikasi pembelajaran dari kejadian bencana, dan komponen pertimbangan dalam pengambilan keputusan di tingkat masyarakat atau pun pemerintah. 43. Terlaksananya pemutakhiran metodologi dan hasil pengkajian risiko bencana. 44. Tersusunnya dan digunakannya pedoman pemutakhiran pengkajian risiko bencana oleh pemerintah daerah. 45. Tersusunnya rencana pengelolaan sumberdaya air, tanah dan hutan untuk pengelolaan risiko bencana di daerah prioritas nasional. 46. Terlaksananya perkuatan dan sinkronisasi aturan dan kebijakan teknis terkait pengelolaan sumber daya dan penataan ruang/lahan dalam upaya pencegahan dan mitigasi bencana. 47. Terlaksananya penataan ruang dan lahan untuk pencegahan dan mitigasi bencana berdasarkan kajian risiko bencana serta kajian lingkungan hidup strategis di daerah berisiko. 48. Tersusun dan diterapkannya panduan teknis dan mekanisme standar untuk upaya pencegahan dan mitigasi bencana. 49. Terlaksananya upaya mitigasi yang mengurangi risiko suatu bencana.
ditujukan
secara
spesifik
untuk
50. Terbangunnya sistem peringatan dini multi bahaya secara terkoordinasi dan lintas K/L dengan prosedur operasi standar yang disepakati bersama untuk bencana-bencana prioritas nasional. 51. Adanya pelatihan yang sistematis untuk pengelola peringatan dini dan pemerintah untuk memahami mekanisme dan prosedur peringatan dini, kebijakan dan operasionalisasinya 52. Adanya banyak alternatif moda penyebaran peringatan dini untuk menjangkau masyarakat dengan segala keterbatasannya. 53. Terselenggaranya sosialisasi peringatan dini kepada masyarakat pemerintah dengan berbagai cara yang murah, mudah dan efektif.
dan
54. Adanya indikator yang sama dalam menyebarkan peringatan dini multi bahaya ke masyarakat. 55. Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap informasi peringatan dini yang disebar. 56. Adanya dokumen kerangka nasional penanggulangan kedaruratan bencana yang telah disepakati bersama dengan K/L terkait. 57. Adanya kerangka nasional penanggulangan kedaruratan bencana yang disepakati dan ditetapkan oleh pemerintah untuk diimplementasikan.
135 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
58. Terlaksananya pembangunan dan peningkatan kapasitas sarana prasarana evakuasi bencana pada daerah prioritas nasional. 59. Tersusun dan diterapkannya pedoman mekanisme standar untuk peningkatan kesiapsiagaan masyarakat untuk menghadapi bencana. 60. Terselenggaranya latihan kesiapsiagaan tingkat nasional secara bertahap, berjenjang dan berlanjut sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). 61. Terlaksananya pembangunan budaya siaga bencana yang menjamin kemandirian mobilisasi sumberdaya masayarakat untuk kesiapsiagaan bencana. 62. Tersusunnya sistem mobilisasi sumber daya saat bencana tingkat nasional.
penanganan darurat
63. Tersedianya mekanisme serta sarana dan prasarana pendukung dan logistik dalam penanganan darurat bencana. 64. Digunakannya pedoman pelaksanaan kajian cepat dan penetapan status darurat bencana. 65. Meningkatnya kapasitas aparatur dalam pelaksanaan kajian cepat bencana. 66. Terlaksananya sosialisasi mekanisme penetapan status darurat bencana khususnya pada rantai komando pengendali. 67. Terselenggaranya pelatihan dan sertifikasi berkala terhadap personil SRC PB Indonesia. 68. Terbentuknya sistem desentralisasi SRC PB Indonesia ke daerah-daerah prioritas bencana di Indonesia. 69. Diperkuatnya mekanisme pengerahan bantuan dan kerjasama dengan negara/lembaga asing dalam penanganan darurat bencana. 70. Digunakannya standar operasi prosedur (SOP) pengelolaan posko pada masa darurat bencana. 71. Tersedianya pedoman penyusunan kerangka penanggulangan kedaruratan bencana untuk daerah. 72. Terselenggaranya perkuatan terhadap Sistem Komando Tanggap Darurat (SKTD) berdasarkan kerangka nasional penanggulangan kedaruratan bencana. 73. Terselenggaranya pendampingan penyusunan kerangka kedaruratan bencana di daerah.
penanggulangan
74. Terselenggaranya latihan berkala penerapan kedaruratan bencana daerah.
penanggulangan
kerangka
75. Terselenggaranya kegiatan penyelamatan jiwa dan pemenuhan kebutuhan dasar terhadap kelompok rentan berdasarkan kejadian bencana.
136 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
76. Terkendalinya kerugian.
luasan
daerah
terdampak
bencana
untuk
minimalisasi
77. Terlindunginya aset vital pada masa tanggap darurat bencana. 78. Dipercepatnya bencana.
penyelesaian pemulihan dini
pada masa tanggap darurat
79. Terselenggaranya mekanisme pola dukungan rehabilitasi dan rekonstruksi pada setiap tingkatan kedaruratan bencana melalui peningkatan kapasitas aparat daerah. 80. Terbangunnya rantai pengadaan sarana prasarana rehabilitasi rekonstruksi pada setiap sektor pelayanan dan percepatannya.
dan
81. Terbangunnya kebersamaan, kepercayaan dan kerjasama antar negara untuk berbagi dukungan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana. 82. Tersusunnya rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana berdasarkan kajian kebutuhan pascabencana. 83. Terlaksananya rehabilitasi dan rekonstruksi bidang fisik sesuai dengan rencana aksi pemulihan dampak bencana. 84. Terlaksanannya rehabilitasi dan rekonstruksi bidang sosial, ekonomi dan budaya sesuai dengan rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. 85. Terbentuknya karakter masyarakat mandiri membangun kembali wilayahnya pascabencana.
yang
86. Terpetakannya kebutuhan standar pelayanan penyelenggaraan penanggulangan bencana.
memiliki
minimal
kesadaran
(SPM)
terkait
87. Tersusunnya dan dilaksanakannya SPM terkait penanggulangan bencana berdasarkan peta kebutuhan yang telah disepakati. 88. Adanya sistem informasi untuk penilaian efektivitas implementasi Renas PB 2015-2019. 89. Adanya mekanisme yang jelas untuk penilaian implementasi Renas PB 20152019 berdasarkan analisa manfaat-biaya. 90. Tersusunnya kompetensi dasar dan lanjut peningkatan kapasitas pemerintah daerah untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana. 91. Adanya kurikulum dan modul untuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia, aparat dan pelaku penanggulangan bencana. 92. Adanya pelatihan berkala dan sertifikasi untuk membangun kompetensi dasar kapasitas aparat pemerintah dalam penanggulangan bencana. 93. Adanya peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana kelembagaan untuk pengurangan risiko bencana.
137 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
94. Adanya peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana kelembagaan untuk penanganan darurat bencana. 95. Adanya peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana kelembagaan untuk pemulihan bencana. 96. Adanya pedoman dan prosedur pengelolaan kelembagaan penanggulangan bencana. 97. Adanya fasilitasi dan pendampingan terhadap daerah dalam penyelenggaraan PB. 98. Adanya sistem dan mekanisme tanggung gugat dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. 99. Adanya peningkatan sarana prasarana bagi aparatur PB. 100.
Adanya pemeliharaan sarana dan prasarana PB yang telah ada.
138 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
BAB VI RENCANA AKSI
Rencana aksi nasional merupakan penjabaran Renas PB 2015-2019 secara operasional dari program, fokus prioritas, sasaran dan indikator. Rencana aksi ini sudah merupakan komitmen K/L dan non-K/L terkait dengan penyelenggaraan penanggulangan bencana, Dengan demikian rencana aksi baru dapat menjadi sebuah dokumen final setelah dilakukannya renstra K/L yang memunculkan indikator dan kegiatan per tahun serta dilengkapi dengan pagu pendanaan tahunan yang pasti.
6.1. Dasar Pertimbangan Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan pada saat tidak terjadi bencana, saat terjadi bencana, dan pascabencana. Dalam pembuatan perencanaan penanggulangan bencana yang terintegrasi dalam sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN), kegiatan perencanaan penanggulangan bencana yang paling dapat dikaitkan dengan SPPN adalah perencanaan penanggulangan bencana pada saat tidak terjadi bencana. Hal ini kemudian mewujud dalam bentuk Renas PB dan rencana aksi pengurangan risiko bencana. Rencana aksi pengurangan risiko bencana secara spesifik diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggararaan Penanggulangan Bencana (PP No. 21/2008). Pasal 8 ayat 1 PP No. 21/2008 menyebutkan bahwa untuk melakukan upaya pengurangan risiko bencana dilakukan penyusunan rencana aksi pengurangan risiko bencana. Beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan penyusunan rencana aksi pengurangan risiko bencana antara lain: 1. Rencana aksi pengurangan risiko bencana disusun baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. 2. Di tingkat nasional, rencana aksi pengurangan risiko bencana disusun secara menyeluruh dan terpadu dalam suatu forum yang meliputi unsur dari pemerintah, non pemerintah, masyarakat, dan lembaga usaha yang dikoordinasikan oleh BNPB. 3. Rencana aksi nasional ditetapkan oleh Kepala BNPB setelah dikoordinasikan dengan instansi/lembaga yang bertanggungjawab di bidang perencanaan pembangunan nasional. 4. Rencana aksi nasional dan rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana 139 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
ditetapkan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat ditinjau sesuai dengan kebutuhan.
6.2
Perkembangan Penyusunan Rencana Aksi Pengurangan Risiko Bencana
Rencana Aksi Nasional Pengurangan Rsiko Bencana (RAN PRB) 2006-2009 merupakan rencana aksi nasional pengurangan risiko bencana yang pertama kali disusun sebagai salah satu upaya Pemerintah Indonesia dalam memberikan pernyataan kepada global atas komitmen Indonesia terhadap pelaksanaan Kerangka Aksi Hyogo 2005-2015, yang mana menekankan negara-negara di dunia untuk menyusun mekanisme terpadu perngurangan risiko bencana yang didukung dengan kelembagaan dan kapasitas sumber daya yang memadai. Karena pada saat disusunnya RAN PRB 2006-2009 UU No. 24/2007 belum terbit, maka landasan penyusunan rencana aksi lebih pada landasan global yang terdiri dari Resolusi PBB, Strategi Yokohama, Kerangka Aksi Hyogo 20052015 serta Rencana Aksi Beijing. RAN PRB 2006-2009 ini disusun oleh Bappenas yang bekerjasama dengan Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas), dimana pada saat itu BNPB juga belum berdiri. Sesuai dengan periode waktu rencana aksi yang akan berakhir pada tahun 2009, dan sejalan dengan periode pelaksanaan RPJMN 2005-2009. Pelaksanaan Rencana Aksi ini akan menjadi ukuran sejauh mana upaya peningkatan kinerja penanggulangan bencana, khususnya pengurangan risiko bencana dapat diwujudkan pada dua tahun terakhir pelaksanaan RPJMN tersebut. Pada proses penyusunannya, RAN PRB 2006-2009 ini sudah dilakukan melalui proses partisipatif dan konsultatif dari berbagai K/L dan pemangku kepentingan terkait, yang merupakan rencana terpadu bersifat lintas sektor, lintas wilayah serta meliputi aspek social, ekonomi dan lingkungan. Sebagai suatu RAN PRB yang pertama di susun, maka rencana aksi ini lebih merupakan kompilasi dari berbagai rencana kegiatan dari K/L dan para pemangku kepentingan terkait, termasuk PMI dan perguruan tinggi, dengan pendekatan dan sistematika sesuai ke lima aksi dari Kerangka Aksi Hyogo 2005-2015. RAN PRB 2010-2012 ini disusun sesudah terbitnya UU No. 24/2007 yang merupakan landasan dari rencana aksi PRB, termasuk juga PP No. 21/2008, serta dengan mempertimbangkan kelima aksi dari Kerangka Aksi Hyogo 2005-2015. Proses penyusunan dilakukan dengan pendekatan partisipatif dan konsultatif dengan berbagai Kementerian/ Lembaga serta pemangku kepentingan terkait, termasuk donor 140 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
internasional sebagai mitra pembangunan pemerintah, dan Platform Nasional (Planas) PRB yang beranggotakan perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, swasta, serta media. Secara intensif, Bappenas yang mengkoordinasikan penyusunan RAN PRB 20102012 ini, selama proses penyusunan berkonsultasi dan berkoordinasi dengan BNPB yang secara parallel sedang menyusun Renas PB 2010-2014. Pengesahan RAN PRB 20102012 ini juga dilakukan berurutan dengan Renas PB 2010-2014 melalui Peraturan Kepala BNPB Nomor 5 Tahun 2010. Komponen/ matriks RAN PRB 2010-2012 terdiri dari: 1. Prioritas: terdiri dari 5 (lima) Prioritas, yang mengacu pada HFA 2005-2015 2. Program: terdiri dari 7 (tujuh) Program, yang merupakan program-program dalam UU 24/2007 tentang PB dan PP No 21/2008 tentang Penyelenggaraan PB 3. Kegiatan: terdiri dari 33 (tigapuluh tiga) Kegiatan atas dasar kegiatankegiatan yang diidentifikasi dalam UU No. 24/2007 dan PP No. 21/2008. Keseluruhan rencana aksi PRB ini ditampilkan dalam bentuk matriks yang terdiri dari kegiatan, sasaran, lokasi, indikator kinerja, budget indikatif, sumber pendanaan dan pelaksana.
6.3.
Rencana Aksi dalam Renas PB 2015-2019
Peningkatan upaya-upaya penanggulangan bencana, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai monitoring dan evaluasi dari berbagai aspek dan tahapan penanggulangan bencana terus dilakukan secara sistematis dan holistic oleh BNPB sebagai pemegang utama mandat UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Hal ini juga tidak terlepas dalam upaya penyusunan Renas PB 2015-2019 beserta dengan rencana aksi sebagai acuan implementasi bagi berbagai Kementarian / Lembaga serta para pemangku kepentingan terkait. Sejalan dengan hal ini, pendekatan dan landasan dasar dalam penyusunan rencana aksi pengurangan risiko bencana untuk periode 2015-2019 adalah sebagai berikut: 1. Landasan hukum: UU No 2 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta peraturan perundangan lain yang terkait sebagaimana dasar penyusunan Renas PB. 2. Disusun dengan pendekatan partisipatif dan konsultatif dengan Bappenas serta Kementerian / Lembaga terkait (37 K/L), dan pemangku kepentingan terkait, termasuk mitra pembangunan internasional, swasta, media, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi serta Planas PRB. 141 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
3. Sinergi lintas sektor dalam perencanaan dan implementasi Renas PB juga diterapkan dalam rencana aksi. 4. Merupakan bagian yang tidak terpisahkan, satu kesatuan konseptual, terintegrasi secara melekat dan penjabaran teknis dari Renas PB 2015-2019. 5. Kajian risiko bencana dan kajian ilmiah (scientific) terkait rencana induk (master plan) untuk 12 ancaman bencana yang merupakan dasar penyusunan Renas PB juga menjadi dasar pertimbangan dalam menyusun rencana aksi. Hal ini mengacu pada Pasal 2 PP No. 21/2008 yang mengamanatkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana bertujuan untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko, dan dampak bencana. 6. Merupakan sub-sistem dari Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dimana kebijakan dan strategi diturunkan dari RPJP 2005-2025 dan RPJMN 2015-2019. 7. Kegiatan yang dicantumkan dalam rencana aksi merupakan kegiatan yang sudah disepakati oleh para pelaku, dan dalam hal kegiatan di bawah tanggung jawab K/L juga dicantumkan dalam renstra K/L terkait. 8. Nomenklatur yang disusun dalam Renas PB maupun rencana aksi disesuaikan dengan nomenklatur yang berlaku di pemerintah, sehingga memberikan kemudahan dalam mengkaitkan dengan renstra KL dan juga dalam upaya pemantauan dan evaluasi. Sebagai turunan atau rincian yang melekat dengan Renas PB 2015-2019, maka uraian kegiatan dalam rencana aksi merupakan turunan dari Program, Fokus Prioritas, Sasaran dan Indikator dalam Renas PB sebagaimana yang diuraikan pada Bab V. Atas dasar diskusi dan konsultasi dengan Kementerian / Lembaga serta para pemangku kepentiangan terkait selama proses penyusunan Renas PB 2015-2019, maka disepakati matriks dalam Renas PB dan rencana aksi terdiri dari: 1. Program: Program Penanggulangan Bencana 2. Fokus Prioritas: terdiri dari 7 (tujuh) focus prioritas 3. Sasaran: terdiri dari 10 (sepuluh) sasaran outcome 4. Indikator: terdiri dari 100 (seratus) indicator capaian 5. Kegiatan: kegiatan yang diuraikan mencantumkan lokus
per
tahun, yang secara spesifik
6. Pagu Anggaran: dijabarkan setiap tahun sesuai kegiatan yang di rencanakan 7. Pelaku: pelaku kegiatan, dalam hal ini K/L maupun instansi non pemerintah atau pemangku kepentingan yang telah memberikan komitmen nya untuk 142 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
pelaksanaan rencana aksi nasional Selama proses konsultasi dan diskusi dengan K/L dan para pemangku kepentingan, telah berhasil dirumuskan berbagai usulan kegiatan, baik yang bersifat generik di tingkat nasional dan kegiatan spesifik untuk ancaman bencana tertentu untuk skala nasional. Usulan kegiatan ini diselaraskan dengan fokus prioritas untuk mencapai sasaran yang telah disepakati dengan indicator capaian sebagai alat memantau dan mengevaluasi. Namun demikian dengan pertimbangan belum disahkannya RPJMN 2015-2019 yang berdampak pada belum disusunnya renstra K/L, maka usulan kegiatan ini belum dapat di finalisasi dengan rincian kegiatan per tahun anggaran serta budget indikatif. Dengan demikian, maka rencana aksi ini akan dirinci lebih lanjut sesudah terbitnya RPMJN 20152019 dan adanya Renstra K/L di awal tahun 2015.
143 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
BAB VII PENDANAAN PENANGGULANGAN BENCANA
Dalam Pasal 5 UU No. 24/2007 ditegaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam penyelengaraan penanggulangan bencana. Tangung jawab ini antara lain diwujudkan dan ditegaskan dalam Pasal 6 huruf e dan f yakni dalam bentuk pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang memadai, dan pengalokasian anggaran belanja dalam bentuk dana siap pakai. Penjabaran secara operasional tentang pendanaan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana (PP No. 22/2008). Selanjutnya, PP tersebut dilengkapi dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.05/2013 tentang Mekanisme Pelaksanaan Anggaran Penanggulangan Bencana (PMK No. 105/2013). Uraian di bawah ini merupakan subtansi dari PP No 22/2008.
7.1. Sumber Pendanaan Sumber pendanaan penanggulangan bencana sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) PP No. 22/2008 berasal dari (1) Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), (2) Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), dan atau (3) Masyarakat. Yang dimaksud dengan masyarakat sebagaimana tercantum dalam penjelasan PP No. 22/2008 ini adalah orang perseorangan, lembaga usaha, lembaga swadaya masyarakat baik dalam dan luar negeri. Angggaran penanggulangan bencana yang disediakan baik melalui APBN ditingkat pusat maupun APBD ditingkat daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 PP No. 22/2008 disediakan untuk tahap prabencana, saat bencana dan pascabencana. Disamping itu, pemerintah menyediakan pula dana kontijensi, dana siap pakai dan dana bantuan berpola hibah. Selanjutnya, pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal ayat (2) hurup c PP No. 22/2008 , mendorong partisipasi masyarakat dalam penyediaan dana yang bersumber dari masyarakat. Dana yang bersumber masyarakat yang diterima oleh pemerintah dicatat dalam APBN, dan yang diterima oleh pemerintah daerah dicatat dalam APBD. Pemerintah daerah hanya dapat 144 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
menerima dana yang bersumber dari masyarakat dalam negeri, hal ini ditegaskan dalam Pasal 7 ayat 4 PP No. 22/2008. Dalam mendorong partisipasi masyarakat,pemerintah dan pemerintah daerah dapat (1) memfasilitasi masyarakat yang akan memberikan bantuan dana penanggulangan bencana, (2) memfasilitasi masyarakat yang akan melakukan pengumpulan dana penanggulangan bencana, dan (3) meningkatkan kepedulian masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyediaan dana. Setiap pengumpulan dana penangulangan bencana wajib mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang. Setiap izin yang diberikan oleh instansi/lembaga, maka salinannnya disampaikan kepada BNPB atau BPBD.
7.2. Penggunaan Dana Penggunaan dana penanggulangan bencana dilakssanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, BPNB dan/atau PBPD sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Dana Penanggulangan digunakan sesuai dengan penyelenggaraan Penangulangan Bencana yang meliputi tahap prabencana, saat tanggap darurat dan/atau pascabencana.
7.2.1. Penggunaan Dana Pra Bencana Penggunaan dana yang bersumber dari APBN atau APBD pada tahap bencana dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan yang meliputi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawabannya. Dana penanggulangan pada tahap prabencana dialokasikan untuk kegiatan dalam situasi: 1. Tidak terjadi bencana, maka penggunaan dananya meliputi (1) fasilitasi penyusunan rencana penanggulangan bencana, (2) program pengurangan risiko bencana, (3) program pencegahan bencana, (4) penyusunan analisis risiko bencana, (5) fasilitasi pelaksanaan penegakan rencana tataruang, (6) penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan penanggulangan bencana dan, (7) penyusunan standar teknis penanggulangan bencana. 2. Terdapat potensi bencana, maka penggunaan danannya meliputi: (1) kegiatan kesiapsiagaan yang meliputi: penyusunan dan uji coba rencana
145 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
kedaruratan,pengorganisasian,pemasangan dan pengujian sistem peringatan dini,penyediaan dan penyiapan barang pasokan, pengorganisasian penyuluhan dan latihan tentang mekanisme tanggap darurat, penyiapan lokasi evakuasi dan lain-lain, (2) pembangunan sistem peringatan dini antara lain meliputi: pengamatan gejala bencana, analisis hasil pengamatan gejala bencana, pengambilan keputusan oleh pihak yang berwenang, penyebarluasan informasi tentang peringatan bencana dan pengambilan tindakan oleh masyarakat, dan, (3) kegiatan mitigasi bencana antara lain meliputi pelaksanaan penataan ruang, pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur dan tata bangunan, serta penyelenggaraan penddikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern.
7.2.2. Penggunaan Dana Saat Bencana (Tanggap Darurat) Dana penanggulangan bencana yang digunakan pada saat tanggap darurat meliputi: (1). dana penanggulangan bencana yang telah dialokasikan dalam APBN atau APBD untuk masing-masing instansi/lembaga terkait, (2) dana siap pakai yang dialokasikan dalam anggaran BNPB, dan (3) dana siap pakai yang telah dialokasikan pemerintah daerah dalam anggaran BPBD. BNPB atau BPBD sesuai dengan kewenangannya mengarahkan penggunaan dana penanggulangan bencana yang dialokasikan dalam APBN dan APBD. Penggunaan dana penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat, meliputi: (1) pelaksanaan pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya, (2) kegiatan penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana, (3) pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan dasar korban bencana, (4) pelaksanaan perlindungan terhadap kelompok rentan, dan, (5) kegiatan pemulihan darurat prasarana dan sarana. Dana siap pakai digunakan sesuai dengan kebutuhan tanggap darurat bencana. Penggunaan dana siap pakai terbatas pada pengadaan barang dan/atau jasa untuk (1) pencarian dan penyelamatan korban bencana, (2) pertolongan darurat, (3) evakuasi korban bencana, (4) kebutuhan air bersih dan sanitasi, (5) pangan, (6) sandang, (7) pelayanan kesehatan, dan (8) penampungan serta tempat hunian sementara. Penggunaan dana siap pakai dilaksanakan berdasarkan pedoman yang ditetapkan 146 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
oleh Kepala BNPB nomor 6A/2012 tentang Penggunaan Dana Siap Pakai (DSP). Dalam hal pemerintah daerah mengalokasikan dana siap pakai dalam anggaran BPBD, pengaturan penggunaan dana siap pakai berlaku mutatis mutandis Pasal 17 PP No. 22/2008.
7.2.3. Penggunaan Dana Pascabencana Perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban penggunaan dana penanggulangan bencana yang bersumber dari APBN dan APBD pada tahap pascabencana dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 1. Kegiatan Rehabilitasi, meliputi: (1) perbaikan lingkungan daerah bencana, (2) perbaikan prasarana dan sarana umum, (3) pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat, (4) pemulihan sosial psikologis, (5) pelayanan kesehatan, (6) rekonsiliasi dan resolusi konflik, (7) pemulihan sosial ekonomi budaya, (8) pemulihan keamanan dan ketertiban, (9) pemulihan fungsi pemerintahan, atau (10) pemulihan fungsi pelayanan publik. 2. Kegiatan rekonstruksi, meliputi: (1) pembangunan kembali prasarana dan sarana, (2) pembangunan kembali sarana sosial masyarakat, (3) membangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat, (4) penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana, (4) partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, lembaga usaha dan masyarakat, (5) peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya, (6) peningkatan fungsi pelayanan publik, atau (7) peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat. 3. Pemerintah dapat memberikan bantuan untuk pembiayaan pascabencana kepada pemerintah daerah yang terkena bencana berupa dana bantuan sosial berpola hibah. Untuk memperoleh bantuan, pemerintah daerah mengajukan permohonan tertulis kepada Pemerintah melalui BNPB. 4. Berdasarkan permohonan, BNPB melakukan evaluasi, verifikasi, dan mengkoordinasikannya dengan instansi/lembaga terkait. Hasil evaluasi dan verifikasi ditetapkan oleh Kepala BNPB dan disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk selanjutnya diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan penggunaan dana bantuan sosial berpola hibah.
147 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
7.3. Pengawasan dan Laporan Pertanggungjawaban Pemerintah, pemerintah daerah, BNPB atau BPBD sesuai dengan kewenangannya melaksanakan pengawasan dan laporan pertanggungjawaban terhadap pengelolaan dana dan bantuan penanggulangan bencana. Instansi/lembaga terkait bersama BNPB atau BPBD melakukan pengawasan terhadap penyaluran bantuan dana yang dilakukan oleh masyarakat kepada korban bencana.
7.3.1.
Pengawasan
Pemerintah dan pemerintah daerah melaksanakan pengawasan terhadap pengelolaan dana dan bantuan pada seluruh tahapan penanggulangan bencana.
7.3.2.
Laporan Pertanggungjawaban
Laporan pertanggungjawaban pelaksanaan penanggulangan bencana, baik keuangan maupun kinerja pada tahap prabencana dan pascabencana dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 1. Pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat bencana diperlakukan secara khusus sesuai dengan kondisi kedaruratan dan dilaksanakan sesuai dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Laporan pertanggungjawaban pelaksanaan penanggulangan bencana, baik keuangan maupun kinerja pada saat tanggap darurat dilaporkan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah masa tanggap darurat. 2. Pelaporan keuangan. Pelaporan keuangan penanggulangan bencana yang bersumber dari APBN atau APBD dilakukan sesuai standar akuntansi pemerintahan. Sistem akuntasi dana penanggulangan bencana yang bersumber dari masyarakat dilakukan sesuai pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Semua laporan pertanggungjawaban penanggulangan bencana, baik keuangan maupun kinerjanya, diaudit sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
148 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
BAB VIII PEMANTAUAN, EVALUASI DAN PELAPORAN
Renas PB 2015-2019 merupakan amanat regulasi yang terkait dengan perencanaan pembangunan dan penanggulangan bencana. Guna menjamin optimalisasi dalam implementasi Renas PB, diperlukan pemantauan (monitoring), evaluasi, dan pelaporan (MEP). Monitoring, evaluasi, dan pelaporan bertujuan untuk mengendalikan pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan agar sesuai dengan rencana yang telah disusun. Pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan dilakukan untuk menjamin tercapainya tujuan-tujuan dan sasaran pembangunan. Pelaksanaan MEP Renas PB bertujuan untuk (1) memantau secara terus menerus proses pelaksanaan Renas PB, (2) mengantisipasi kendala dan permasalahan dalam pelaksanaan Renas PB sedini mungkin, (3) pencapaian standar minimum dan peningkatan kinerja PB, (4) penyusunan informasi dan pelaporan pencapaian kegiatan PB yang cepat, tepat dan akurat secara berkala dan berjenjang, serta (5) penyusunan rekomendasi bagi perbaikan implementasi dan perencanaan PB secara menyeluruh, terpadu. dan berkesinambungan. Regulasi utama yang terkait dengan pelaksanaan MEP Renas PB 2015-2019 adalah Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan UU No. 24/2007. Secara lebih teknis, pelaksanaan MEP Renas PB 2015-2019 mengacu pada Peraturan Pemerintah 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 249/PMK.02/2011 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Atas Pelaksanaan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian dan Lembaga (RKAKL), serta beberapa aturan teknis lainnya. Berbagai regulasi yang terkait dengan pelaksanaan MEP Renas PB antara lain: 1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. 2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. 3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. 4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
149 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
5. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri. 6. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah. 7. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan. 8. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional. 9. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. 10. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas Nomor Kep-102/Mk.2/2002 dan Nomor Kep.292/M.Ppn/09/2002 tentang Sistem Pemantauan dan Pelaporan Pelaksanaan Proyek Pembangunan. 11. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 09 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja, 12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.02/2011 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Atas Pelaksanaan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga. 13. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. 14. Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor KEP/135/M.PAN/9/2004 tentang Pedoman Umum Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. 15. Peraturan Kepala BNPB Nomor Tahun 2011 tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi Manajemen Peralatan Penanggulangan Bencana. 16. Surat Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
8.1. Pemantauan Pemantauan atau selanjutnya disebut monitoring dalam beberapa referensi sangat erat terkait dengan pengawasan. Menurut UU No. 25/2004 yang dimaksud dengan "pemantauan" adalah melihat kesesuaian pelaksanaan perencanaan dengan arah, tujuan, dan ruang lingkup yang menjadi pedoman dalam rangka menyusun 150 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
perencanaan berikutnya. Selain itu terminologi pengawasan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam SPPN yang saling terkait dan konsisten antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan. UU ini juga memberikan kewenangan kepada pimpinan KL/SKPD untuk melakukan pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan; dan Menteri/Kepala Bappeda untuk menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masingmasing pimpinan KL/SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Secara lebih rinci PP No. 21/2008 menjabarkan bahwa BNPB atau BPBD sesuai dengan kewenangannya melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan analisis risiko bencana. Sementara pemerintah dan pemerintah daerah secara berkala melaksanakan pemantauan dan evaluasi terhadap perencanaan, pelaksanaan tata ruang, dan pemenuhan standar keselamatan. Dalam hal penggunaan bantuan yang diberikan oleh Pemerintah kepada pemerintah daerah dilakukan pemantauan dan evaluasi oleh tim antar departemen/lembaga pemerintah nondepartemen dengan melibatkan BPBD yang dikoordinasikan oleh BNPB. PP No. 21/2008 ini juga menjelaskan bahwa (1) pemantauan penyelenggaraan PB diperlukan sebagai upaya untuk memantau secara terus menerus terhadap proses pelaksanaan penyelenggaraan penanggulangan bencana; dan dilakukan oleh unsur pengarah beserta unsur pelaksana BNPB dan/atau BPBD dan dapat melibatkan lembaga perencanaan pembangunan nasional dan daerah, sebagai bahan evaluasi menyeluruh dalam penyelenggaraan PB.
8.2. Evaluasi Evaluasi (evaluation) adalah proses penilaian. Evaluasi pelaksanaan rencana sendiri merupakan bagian dari sistem perencanaan pembangunan yang meliputi 4 hal yaitu: (1) penyusunan rencana, (2) penetapan rencana, pengendalian (monitoring), (3) pelaksanaan rencana, dan (4) evaluasi pelaksanaan rencana. Evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan dilakukan untuk menilai efisiensi, efektifitas dan manfaat dari program dan kegiatan. Evaluasi pelaksanaan rencana tahunan dilakukan terhadap implementasi Renas PB 2015-2019. Menurut PP No. 39/2006, disebutkan bahwa efisiensi adalah derajat hubungan antara barang/jasa yang dihasilkan melalui suatu program/kegiatan dan sumberdaya yang diperlukan untuk menghasilkan barang/jasa tersebut yang diukur dengan biaya per unit keluaran/output. Sedangkan efektifitas adalah ukuran yang menunjukkan seberapa jauh program/kegiatan mencapai hasil dan manfaat yang diharapkan. 151 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Kemanfaatan adalah kondisi yang diharapkan akan dicapai bila keluaran (output) dapat diselesaikan tepat waktu, tepat lokasi, dan tepat sasaran serta berfungsi dengan optimal. Sementara keluaran adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijakan. Indikator kinerja pelaksanaan program dan kegiatan mempunyai beberapa unsur atau alat pengukuran (measurement) yang sudah lazim digunakan. Alat ukur tersebut terdiri atas masukan (input), keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampak (impact). Berdasarkan UU No. 25/2004, evaluasi merupakan dalam tahapan perencanaan yang perlu dilakukan, dimana dalam tatanan analisis kebijakan, evaluasi berfungsi untuk memberi masukan pada klarifikasi dan kritik nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan sasaran kebijakan serta memberi masukan pada aplikasi metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan penyusunan rekomendasi. Dalam sistem perencanaan pembangunan, indikator yang diukur adalah indikator kinerja. Dalam kaitannya dengan kegiatan PB, menurut PP No. 21/2008 maka (1) evaluasi penyelenggaraan PB dilakukan dalam rangka pencapaian standar minimum dan peningkatan kinerja PB; dan (2) evaluasi dilakukan oleh unsur pengarah BNPB untuk penanganan bencana tingkat nasional dan unsur pengarah BPBD untuk penanganan bencana tingkat daerah.
8.3. Pelaporan Menurut PP No. 39/2006 pelaporan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memberikan informasi yang cepat, tepat, dan akurat kepada pemangku kepentingan sebagai bahan pengambilan keputusan sesuai dengan kondisi yang terjadi serta penentuan kebijakan yang relevan (berkala, berjenjang, publik). Sementara menurut PP No. 21/2008, penyusunan laporan penyelenggaraan PB dilakukan oleh unsur pengarah dan unsur pelaksana BNPB dan/atau BPBD; dan digunakan untuk memverifikasi perencanaan program BNPB dan/atau BPBD.
152 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
8.4. Mekanisme MEP Renas PB 2014-2019 merupakan rencana penyelenggaraan PB yang melibatkan berbagai pihak, baik dari institusi pemerintah (kementerian/lembaga) maupun institusi nonpemerintah (organisasi nonpemerintah, organisasi nonpemerintah internasional, pelaku usaha, media massa, masyarakat dan lain-lain). Oleh karena itu, mekanisme pelaksanaan MEP melibatkan seluruh pihak yang terkait dengan pelaksanaan Renas PB. Pelaksanaan MEP dilakukan secara sistematis oleh semua pihak sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing. Guna mengkoordinir seluruh hasil MEP Renas PB dapat diakomodasi oleh sebuah gugus tugas yang terdiri dari berbagai pihak dan dikoordinasikan oleh BNPB. Gugus tugas ini bekerja secara sistematis dan berkesinambungan guna mendukung pelaksanaan MEP Renas PB. Pendekatan dalam pelaksanaan MEP Renas PB dilakukan melalui (1) penilaian mandiri (self assessment); (2) penilaian terhadap dokumen pelaporan (report assessment); dan (3) penilaian implementasi lapangan (field assessment). Penilaian mandiri merupakan monitoring dan evaluasi yang dilakukan masing-masing pihak pelaksana program dan kegiatan dalam Renas PB, baik institusi pemerintah maupun non-pemerintah. Penilaian terhadap dokumen pelaporan dilakukan sebagai masukan MEP secara tertulis dari berbagai dokumen yang disusun oleh para pihak dalam pelaksanaan Renas PB. Penilaian implementasi lapangan merupakan monitoring dan evaluasi yang dilakukan sebagai verifikasi terhadap pelaksanaan berbagai program dan kegiatan Renas PB di berbagai lokasi penyelenggaraan PB jika diperlukan. Seluruh pendekatan pelaksanaan MEP Renas PB tersebut dikoordinasikan dan dikompilasikan oleh gugus tugas di atas. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Renas PB dilakukan oleh masing-masing institusi sesuai dengan kewenangan dan mekanisme yang ada dalam institusi yang bersangkutan. Pemantauan juga dilakukan oleh gugus tugas pelaksanaan Renas PB secara berkala minimal setiap tahun dan/atau saat terjadi penyelenggaraan PB di berbagai lokasi di Indonesia. Evaluasi pelaksanaan Renas PB dilakukan oleh gugus tugas pelaksanaan Renas PB secara berkala minimal setiap dua tahun berdasarkan hasil kompilasi MEP yang dilakukan masing-masing institusi dan hasil MEP yang dilakukan oleh gugus tugas. Gugus tugas pelaksanaan Renas PB merupakan sebuah Sekertariat Renas PB 20152019, yang dibentuk berdasarkan surat keputusan presiden atau surat keputusan bersama menteri. Komposisi keanggotaan Sekertariat Nasional ini terdiri dari 7 (tujuh) anggota yang berasal dari unsur K/L dan non-K/L. Tugas dan fungsi serta
153 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
struktur Sekertariat Renas PB 2015-2019 secara rinci akan ditetapkan pada lampiran surat keputusan tersebut. Secara diagramatik, mekanisme pelaksanaan MEP Renas PB 2015-2019 disajikan dalam Gambar 26 berikut: Gambar 28: Mekanisme Pelaksanaan MEP Renas PB 2015-2019
Sumber: Tim Asistensi Renas PB 2015-2019. Pemantauan dan evaluasi dilakukan terhadap kinerja berbagai institusi pelaksana program dan kegiatan renas PB. Pemantauan dilakukan untuk memantau capaian program dan kegiatan yang sedang berjalan, serta kendala dan hambatan dalam pelaksanaannya. Capaian program dan kegiatan berupa besarnya sumberdaya input yang telah dipergunakan (anggaran, SDM, jangka waktu, dan lain-lain), serta keluaran (output) dan hasil (outcome) yang dapat berupa dampak atau manfaat bagi masyarakat dan/atau pemerintah akibat pelaksanaan program dan kegiatan 154 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9
Renas PB. Capaian program dan kegiatan bisa dijabarkan dalam indikator dan sasaran kinerja pelaksanaan Renas PB. Sementara evaluasi merupakan hasil kompilasi monitoring yang dibandingkan terhadap rencana program dan kegiatan Renas PB. Monitoring dan evaluasi dilaksanakan secara sistematis, menyeluruh, objektif dan transparan. Hasil evaluasi menjadi bahan bagi penyusunan laporan dan rekomendasi perencanaan dan pelaksanaan program dan kegiatan Renas PB berikutnya. Pelaporan hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan Renas PB disusun oleh setiap Kementerian/Lembaga (Pemerintah) dan institusi non-K/L diserahkan kepada gugus tugas melalui koordinasi dengan Bappenas dan BNPB. Laporan disusun oleh masingmasing institusi secara berkala minimal setiap tahun. Laporan ini akan menjadi bahan monitoring tahunan gugus tugas terhadap pelaksanaan Renas PB. Sementara laporan evaluasi gugus tugas disusun secara berkala minimal setiap dua tahun. Mekanisme operasional dan teknis pelaksaanaan MEP disusun oleh gugus tugas sebagai pedoman bagi semua pihak dalam melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan yang disesuaikan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya, laporan pelaksanaan Renas PB secara menyeluruh disusun setiap lima tahun pada tahun terakhir oleh BNPB berdasarkan hasil MEP berbagai institusi terkait dan gugus tugas. BNPB dalam menyusun laporan pelaksanaan Renas PB secara menyeluruh, melakukan koordinasi dengan Bappenas dan berbagai pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Renas PB.
155 R e n a s P B 2 0 1 5 - 2 0 1 9