Daftar Isi Ringkasan Eksekutif ....................................................................................................... 3 BAB 1
PENDAHULUAN ............................................................................................. 7
1.1. Latar Belakang .................................................................................................... 7 1.2. Maksud Penyusunan Strategi Nasional REDD+ .................................................. 9 1.3. Belajar dari Pengalaman .................................................................................... 9 BAB 2 PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA .................................................................... 14 2.1. Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Lahan Gambut di Indonesia .......................................................................................................... 14 2.2 . Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia .............................. 16 2.3. Skenario Business as Usual (BAU) dan Konsekuensinya ................................. 19 BAB 3 KOMITMEN INDONESIA DAN REDD+ ............................................................... 22 3.1. Komitmen Pemerintah Indonesia .................................................................... 23 3.2. REDD+ di Indonesia .......................................................................................... 25 3.2.1. Visi, misi, tujuan, dan ruang lingkup REDD+ .............................................. 25 3.2.2. Dampak dan Potensi REDD+ ...................................................................... 31 3.2.3. Rekonsiliasi dengan program lain .............................................................. 32 3.2.4. REDD+, keanekaragaman hayati dan adaptasi perubahan iklim ............... 34 BAB 4 STRATEGI NASIONAL REDD+ ............................................................................ 37 4.1 Kerangka strategi .............................................................................................. 37 4.2. Membangun Kelembagaan REDD+ .................................................................. 39 4.2.1. Badan REDD+ ............................................................................................. 41 4.2.2. Lembaga dan Instrumen Pendanaan ......................................................... 45 4.2.3 Sistem Pemantauan, Pelaporan dan Verifikasi (MRV) ................................ 49 4.3. Mengkaji Ulang serta Memperkuat Kebijakan dan Peraturan ......................... 52 4.3.1. Penataan dan Penggunaan Ruang ............................................................. 53 4.3.2. Tenurial ...................................................................................................... 55 4.3.3. Pengelolaan Hutan dan Lahan Gambut ..................................................... 55 4.3.4. Pemantauan Hutan dan Penegakan Hukum .............................................. 57 4.3.5. Penangguhan Izin Selama Dua Tahun ........................................................ 58 4.4. Meluncurkan Program‐program Strategis ........................................................ 59 4.4.1. Pengelolaan lanskap berkelanjutan ........................................................... 60 4.4.2. Pelaksanaan sistem ekonomi pemanfaatan SDA secara berkelanjutan .... 63 4.4.3. Konservasi dan Rehabilitasi ....................................................................... 66 1
4.5. Perubahan Paradigma dan Budaya Kerja ......................................................... 69 4.6. Pelibatan Para Pihak ........................................................................................ 73 4.6.1. Interaksi dan Strategi Pelibatan Para Pihak ............................................... 73 4.6.2. Pelaksanaan Prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) ............................................................................... 74 4.6.3. Penerapan Kerangka Pengaman (Safeguards) .......................................... 76 4.6.4. Pembagian manfaat ................................................................................... 79 BAB 5 RENCANA KERJA UNTUK PELAKSANAAN ......................................................... 81 5.1. Fase‐fase Pelaksanaan ...................................................................................... 81 5.2. Sub Nasional ...................................................................................................... 84 5.2.1. Provinsi Contoh .......................................................................................... 84 5.2.2. Pengembangan Sub Nasional .................................................................... 87 5.3. Dasar hukum ..................................................................................................... 87 BAB 6 PENUTUP .......................................................................................................... 90 Daftar Pustaka .............................................................................................................. 91 Singkatan ...................................................................................................................... 94 Definisi ......................................................................................................................... 96
2
Ringkasan Eksekutif Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) adalah sebuah mekanisme global yang memberikan kesempatan unik bagi negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki luas hutan yang besar dan mengalami ancaman deforestasi. Kesempatan ini dapat dimanfaatkan untuk membawa Indonesia memasuki transisi ekonomi rendah karbon sekaligus mewujudkan komitmen Pemerintah Republik Indonesia (RI) untuk menurunkan emisi sebesar 26% ‐ 41% secara sukarela. Kemauan politik dalam skala global dan nasional telah ditunjukkan sejak Konferensi Perubahan Iklim di Bali, Kopenhagen, sampai di Cancun. Meskipun berjalan lambat, komunitas global dengan pasti terus bekerja sama agar perubahan iklim yang membahayakan umat manusia dapat diatasi melalui pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) yang merupakan penyebab pemanasan global dan perubahan iklim. Pendanaan dan kerjasama bilateral dan multilateral terus mengalir untuk meningkatkan kapasitas negara berkembang dalam mempersiapkan diri untuk melaksanakan program REDD+. Untuk mencapai komitmen tersebut, Indonesia memiliki urgensi untuk menurunkan emisi GRK, khususnya yang bersumber dari kegiatan penggunaan lahan, alih guna lahan dan kehutanan (Land‐use, Land‐use Change and Forestry/LULUCF); sektor yang menurut kategori Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) sangat erat hubungannya dengan pelaksanaan REDD+. Pada tahun 2005 kontribusi sektor ini mencapai lebih dari 60% dari total emisi Indonesia, yaitu sebesar 2.120 juta ton CO2e. Berdasarkan emisi historis dari deforestasi, kebakaran hutan dan lahan serta drainase lahan gambut selama 2000‐2005, Indonesia dapat mengadopsi tingkat rujukan emisi sebesar 1.870 juta ton CO2e per tahun. Mengingat emisi dari sektor LULUCF Indonesia bersumber pada deforestasi dan degradasi lahan hutan dan gambut, maka arsitektur strategi pelaksanaan REDD+ di Indonesia diletakkan pada upaya pembenahan tata kelola sektor kehutanan dan lahan gambut dengan tujuan utama menurunkan deforestasi dan degradasi. Sebagai negara berkembang dengan tutupan hutan tropis seluas 136,8 juta hektar (Kementerian Kehutanan, RKTN 2010), Indonesia tidak hanya dapat memperoleh manfaat finansial dari skema REDD+ tetapi juga dapat menggunakan kesempatan ini untuk membenahi tata ruang dan tata kelola hutan dan lahan gambut. Pemerintah sebagai pemangku kepentingan yang memiliki kewenangan dalam menyelenggarakan tata kelola, menyusun regulasi, dan memiliki sumber daya untuk mengkoordinasikan sejumlah pemangku kepentingan yang lain, akan mengambil kepemimpinan untuk mempersiapkan dan menciptakan kondisi agar program‐program REDD+ dapat diimplementasikan secara efektif.
3
Cakupan penerapan REDD+ di Indonesia adalah: (1) penurunan laju deforestasi; (2) penurunan laju degradasi hutan; (3) peningkatan konservasi; dan (4) peningkatan cadangan karbon melalui pengelolaan hutan lestari dan pengayaan simpanan karbon. Untuk kegiatan REDD+, kawasan konservasi bersama kawasan hutan alam dan gambut akan memberikan manfaat tambahan (co‐benefit) dari keanekaragaman hayati dengan perolehan (additionality) karbon yang relatif rendah. Adapun kawasan rehabilitasi akan memperoleh keuntungan karbon jika cadangannya ditingkatkan melalui aforestasi dan reforestasi. Pengusahaan hutan berskala besar (46 juta hektar) memiliki potensi membatalkan emisi sedikitnya 21 juta ton CO2e per tahun jika IUPHHK‐HA dan IUPHHK‐HT dikelola secara lestari. Disadari bahwa dalam kawasan yang sekarang berstatus hutan terdapat kawasan yang telah dicadangkan untuk pengembangan lahan bagi area penggunaan lain (APL), yaitu bagi kegiatan ekonomi sektor lain seperti pertanian, perkebunan, dan infrastruktur. Salah satu cara yang efektif dan bertanggungjawab untuk mencapai target pengurangan emisi melalui mekanisme REDD+ adalah dengan melakukan reklasifikasi fungsi dan tukar pakai (swapping) penggunaan hutan sehingga akan diperoleh sejumlah kawasan berhutan, yaitu Hutan Produksi Konversi (HPK) dan Hutan Penggunaan Lain (HPL), yang dapat dikonversi. Dalam pelaksanaannya, pemerintah Indonesia akan memanfaatkan berbagai peluang untuk melakukan reklasifikasi fungsi dan pertukaran peruntukan lahan, sesuai dengan tujuan pengurangan emisi GRK melalui penurunan deforestasi dan degradasi hutan. Secara makro, sekitar 13 juta hektar lahan tanpa tutupan hutan yang terdapat di kawasan hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi dapat ditukarfungsikan dengan sekitar 18 juta hektar hutan primer yang masih baik, yang terletak dalam kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) dan area penggunaan lain (APL). Delapan juta hektar dari hutan primer yang masih baik ini bahkan berada di lahan gambut. Upaya penurunan emisi melalui skema REDD+ yang didukung oleh penyelarasan tata ruang dan penguatan tata kelola hutan dan lahan memerlukan upaya yang terkoordinasi. Pelaksanaan REDD+ juga ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang sumber pendapatannya tergantung pada hutan dan meningkatkan konservasi keanekaragaman hayati yang berada dalam ekosistem hutan. Implementasi program REDD+ di Indonesia akan dilakukan di atas lahan hutan, lahan gambut dan juga lahan APL sejauh itu relevan dengan cakupan dan tujuan di atas. Mitigasi emisi GRK yang berbasis lahan melalui skema REDD+ memerlukan tata ruang yang jelas disertai kepastian sistem tenurial atau hak penguasaan atas lahan. Dengan adanya kepastian ini, hak maupun tanggung jawab atas lahan akan menjadi jelas. Kepastian bagi masyarakat untuk melakukan usaha dan berbagai kegiatan ekonomi juga menjadi lebih terjamin. Perlu diingat bahwa terdapat 70 juta orang di sekitar hutan yang hidupnya tergantung pada keberadaan hutan. Arsitektur Strategi Nasional REDD+ di Indonesia memiliki 5 pilar yaitu: (1) kelembagaan dan proses; (2) kerangka hukum dan peraturan; (3) pelaksanan program strategis, (4) perubahan paradigma dan budaya kerja, serta (5) pelibatan para pihak. Sasaran jangka pendeknya adalah untuk membangun kelembagaan yang mampu melaksanakan tata kelola hutan dan lahan gambut dengan tujuan utama menurunkan deforestasi dan degradasi. Kelembagaan yang kuat (Pilar 1) diperlukan agar REDD+ dapat bekerja secara lintas sektoral dan multi pihak dengan tata kelola yang transparan. Untuk itu akan dibentuk Badan REDD+ yang 4
dibentuk melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang (Perpu) dan memiliki status setingkat Komisi atau Unit Kerja Presiden. Badan REDD+ bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. Lembaga ini perlu dilengkapi dengan instrumen pendanaan yang akuntabel dan sistem pemantauan, pelaporan dan verifikasi (MRV) yang kredibel. Strategi Nasional REDD+ juga memprogramkan penguatan kerangka hukum dan peraturan (Pilar 2), proses, kapasitas dan kelembagaan untuk mengeliminir hambatan pencapaian tujuan di atas. Sejak paruh awal tahun 2011 telah dilaksanakan kajian, definisi, perancangan dan perencanaan pembentukan kebijakan dan regulasi, penyelarasan insentif serta kelembagaan. Pengembangan kerangka hukum kehutanan yang berkesinambungan dengan perubahan iklim (climate friendly legal framework/CFLF) mencakup sektor kehutanan dan lahan gambut di Indonesia sebagai acuan dalam penyusunan kebijakan dan juga menjadi perangkat penyelarasan peraturan antar sektor. Pengembangan tersebut akan dilakukan oleh lembaga REDD+ yang terbentuk. Hasil pekerjaan ini mulai diimplementasikan pada akhir paruh kedua tahun 2011. Untuk melaksanakan program strategis yang secara langsung terkait dengan pengendalian emisi, fokus pelaksanaan diarahkan untuk membantu pelaksanaan REDD+ di provinsi contoh yang telah siap. Program strategis yang merupakan Pilar ketiga ini difokuskan pada: (1) pengelolaan lanskap berkelanjutan; (2) pengembangan sistem ekonomi berbasis sumber daya alam (SDA); dan (3) konservasi dan rehabilitasi. Ketiga program strategis ini menjadi tumpuan untuk mewujudkan ekonomi rendah karbon sekaligus mewujudkan kepastian hak dan akses masyarakat adat dan lokal lainnya terhadap pemanfaatan SDA. Pada tahapan lebih lanjut seluruh provinsi berhutan akan mendapatkan dukungan parsial dari Badan REDD+ dan didorong untuk belajar dari provinsi percontohan yang telah berjalan sebelumnya. Program REDD+ akan dikembangan secara lebih sistematis pada tahun 2014 untuk seluruh Indonesia. Sebelum tahap implementasi dilakukan pada seluruh provinsi, Badan REDD+ juga menyediakan bantuan teknis dan sumber daya serta kebutuhan koordinasi terhadap proyek REDD+, dan memastikan terdokumentasinya berbagai pembelajaran dari aktivitas ini. Di samping itu, strategi yang terkait perubahan paradigma dan budaya kerja (Pilar 4) dilaksanakan secepat mungkin agar masyarakat segera memahami kepentingan dan manfaat pelaksanaan program REDD+. Selain itu akan dilakukan kampanye REDD+ melalui program pendidikan, kerja sama dengan negara‐negara yang sedang mengembangkan REDD+ dan pengembangan proses pembelajaran dari implementasi REDD+. Badan REDD+ juga akan melakukan kampanye perubahan budaya kerja di lingkungan birokrasi pemerintah terkait dengan proses‐proses perencanaan pembangunan sektoral dan daerah serta mengefektifkan fungsi konsultasi publik pada setiap tahap yang diperlukan. Konsultasi tersebut juga perlu dilakukan dengan pendekatan gender mainstreaming yang menekankan pada analisa manfaat dan dampak yang berbeda antara kelompok perempuan dan laki‐laki sebagai kesatuan daripada pembangunan nasional yang berkelanjutan dan berkeadilan gender. Pada akhirnya pelibatan dan komunikasi dengan para pihak (Pilar 5) dilaksanakan dalam setiap proses implementasi strategi secara keseluruhan sebagai wahana untuk mewujudkan 5
pelaksanaan partisipasi yang efektif guna mendapatkan input dan memperoleh legitimasi oleh para pihak, serta menjamin prinsip keadilan dalam kebijakan REDD+ maupun pelaksanaannya.
6
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Perubahan iklim adalah fenomena global yang telah menjadi perhatian berbagai pihak baik di tingkat global, nasional, maupun lokal. Dampak yang ditimbulkan oleh fenomena ini mendorong komunitas internasional untuk mengatasi penyebabnya (mitigasi) dan mengantisipasi akibatnya (adaptasi). Penyebab perubahan iklim adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK), terutama karbon dioksida (CO2) yang terjadi karena pembakaran bahan bakar fosil dan alih guna lahan, khususnya deforestasi hutan tropis. Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) melaporkan bahwa secara global dalam periode 2002‐2005 kontribusi kegiatan penggunaan lahan, alih guna lahan dan kehutanan (Land‐use, Land‐use Change and Forestry/LULUCF) adalah sekitar 17% dari total emisi per tahun sebesar 32,3 Gt CO2e (IPCC 2007). Sejak pemerintah Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Para Pihak ke‐13 (13th Conference of Parties/COP 13) Konvensi Kerangka Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa‐ Bangsa (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) di Bali tahun 2007 yang lalu, pemahaman masyarakat mengenai perubahan iklim berangsur‐angsur membaik. Apalagi ketika pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (reducing emission from deforestation and forest degradation/REDD) menjadi salah satu keputusan COP 13 dan menjadi bagian penting dalam Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan/BAP) untuk mitigasi perubahan iklim. Hutan menjadi pokok pembicaraan yang menarik dalam konteks perubahan iklim. Biaya penurunan emisi dari sektor LULUCF yang relatif murah di negara berkembang (Stern 2007) menunjukkan bahwa mitigasi perubahan iklim melalui sektor LULUCF dapat diprioritaskan dengan tetap memanfaatkan peluang‐peluang ekonomi dalam sektor ini. Selanjutnya konsep REDD ini berkembang menjadi REDD+ yang diakui dalam Kesepakatan Kopenhagen (Copenhagen Accord) pada COP 15. Mitigasi perubahan iklim melalui LULUCF adalah prioritas kebijakan nasional Indonesia berdasarkan kepentingan nasional sebagaimana tercantum dalam berbagai peraturan perundangan‐undangan. Dalam pertemuan G20 di Pittsburg pada bulan September 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mencanangkan bahwa pada tahun 2020 Indonesia akan menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% berdasarkan skenario Business As Usual (BAU). Ditambahkan pula, jika negara‐negara industri bersedia membantu, emisi tersebut dapat diturunkan sampai sebesar 41%. Sejak saat itu, dalam tatanan global, Indonesia dipandang sebagai pelaku penting dalam isu perubahan iklim.
7
Dalam konteks perundingan internasional perubahan iklim, mitigasi nasional bersifat sukarela (voluntary). Namun, upaya mitigasi nasional melalui LULUCF adalah hal yang sangat penting bagi Indonesia terkait dengan tiga hal, yaitu: (i) kerentanan Indonesia terhadap dampak dari perubahan iklim; (ii) mitigasi melalui LULUCF merupakan suatu jalur (pathway) utama untuk proses transisi menuju pembangunan berbasis ekonomi hijau; dan (iii) mitigasi melalui LULUCF memberikan kesempatan untuk melakukan perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut. Respon kebijakan yang terkait dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim secara umum dan REDD secara khusus mulai dikembangkan. Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) telah disusun dan peraturan tentang tata cara dan perijinan pengurangan emisi melalui mekanisme REDD telah diterbitkan. Mengingat REDD adalah sebuah mekanisme yang baru, apalagi setelah berubah menjadi REDD+ karena memasukkan unsur konservasi, pengelolaan hutan lestari, dan pengayaan cadangan karbon, sudah barang tentu Indonesia memerlukan perubahan paradigma yang cukup mendasar. Perubahan lintas sektoral ini akan melibatkan transformasi kelembagaan, aspek hukum dan kebijakan serta sistem tata kelola yang terkait dengan implementasi REDD+. Arsitektur REDD+ perlu dirancang bangun dengan strategi nasional yang utuh dan memberikan pilihan‐pilihan kebijakan yang mengutamakan efektivitas penurunan emisi dan peningkatan cadangan karbon hutan, efisien secara ekonomis sehingga memberikan keuntungan finansial, serta memberikan manfaat tambahan (co‐benefit) secara sosial dan ekologis. Bagi Indonesia, arsitektur REDD+ sebenarnya adalah desain ulang tata ruang dan tata kelola hutan. Dalam konteks tersebut, skema REDD+ memungkinkan terciptanya paradigma baru dalam tata kelola hutan yang mengutamakan dialog dengan semua stakeholders melalui pendekatan pengarusutamaan gender1. Paradigma baru ini memungkinkan aspek‐aspek yang terkait dengan Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals/MDGs) terintegrasi dalam tata kelola hutan. Pendekatan ini sejalan dengan dasar hukum yang telah diratifikasi oleh Pemerintah RI pada Beijing Conference 1995 sebagai kebijakan global maupun aturan manifestasinya melalui Instruksi President Nomer 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional dan Undang‐undang Lainnya. Oleh karena itu, disamping pengembangan beberapa lembaga baru, penyusunan Strategi Nasional REDD+ memberi arah solusi bagi tumpang‐tindih kewenangan lintas sektor dan benturan kepentingan antara pelaku bisnis dan masyarakat lokal, dan memperjelas
1 Gender adalah konsep yang mengacu pada peran dan tanggung jawab laki‐laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Pengarusutamaan gender adalah salah satu strategi pembangunan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki‐laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan, program, proyek dan kegiatan di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
8
kewenangan dan koordinasi antara kementerian/lembaga pusat dan antara pemerintah pusat dan daerah.
1.2.
Maksud Penyusunan Strategi Nasional REDD+
Strategi Nasional REDD+ ini disusun dengan maksud: 1. Mendukung pencapaian komitmen Presiden RI dari sisi kontribusi sektor kehutanan untuk mencapai target penurunan emisi sebesar 26% di bawah proyeksi emisi tahun 2020 berdasarkan skenario BAU; 2. Menindaklanjuti Bali Action Plan, Copenhagen Accord dan Keputusan COP 16 UNFCCC di Cancun; 3. Menyiapkan sistem kelembagaan yang efektif untuk melaksanakan program REDD+. Sistem ini akan memastikan bahwa pengurangan emisi dapat dipantau, dilaporkan dan diverifikasi, dan didukung dengan instrumen pendanaan yang dapat dipertanggunggugatkan (accountable); 4. Memberi dasar dan arahan bagi sistem tata kelola dan peraturan yang terintegrasi untuk menaungi pelaksanaan skema REDD+ yang dijalankan oleh masyarakat, korporasi, organisasi masyarakat sipil, dan pemerintah daerah; 5. Mendukung tujuan pembangunan yang berkelanjutan melalui pendekatan yang didasarkan pada perspektif masyarakat lokal, termasuk perempuan dan kelompok rentan yang terkait dengan skema REDD++, sehingga skema REDD+ dapat memberikan manfaat pada semua kelompok secara adil serta mendorong rasa memiliki pada masyarakat; 6. Membangun proses yang partisipatif dan pendekatan yang sistematis dan terkonsolidasi bagi upaya‐upaya penyelamatan hutan alam Indonesia dalam konteks perubahan nilai lahan dan harga komoditi yang sangat dinamis; dan 7. Memberikan acuan bagi pengembangan investasi oleh semua pihak pada semua skala dalam bidang pemanfaatan lahan hutan dan gambut baik untuk komoditi kehutanan dan/atau pertanian serta jasa lingkungan (ecosystem service) termasuk penyerapan dan pemeliharaan stok karbon. Secara keseluruhan, Strategi Nasional REDD+ menjadi acuan untuk memastikan bahwa implementasi REDD+ dapat mengatasi penyebab mendasar dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut di Indonesia serta menjamin pencapaian target‐target penurunan emisi GRK nasional.
1.3.
Belajar dari Pengalaman
Kementerian Kehutanan semenjak tahun 2007 telah memberikan perhatian kepada rencana implementasi skema REDD di Indonesia (REDDI). Oleh karena itu, dimunculkan kebijakan mengenai fase implementasi bertahap dari REDD yang mencakup persiapan, transisi/pilot activities, dan implementasi penuh. Untuk mempersiapkan pembahasan REDD di Bali (pada saat COP 13), Departemen Kehutanan membentuk Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA) yang juga didukung dengan bantuan dari negara‐negara donor serta berbagai pihak dari 9
pemerintah, akademisi, swasta, dan masyarakat sipil.2 Munculnya IFCA juga tidak terlepas dari peran Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan di bawah Kementerian Kehutanan yang memfasilitasi para pihak dalam perumusan kerangka acuan bagi IFCA. Perhatian sektor kehutanan ini menunjukkan bahwa Indonesia memandang skema REDD sebagai sebuah momentum titik balik bagi perbaikan sektor kehutanan di Indonesia, sekaligus menjadi peluang baru untuk meningkatkan potensi kehutanan serta lahan gambut yang juga meliputi keanekaragaman hayati di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan andil besar Indonesia untuk memasukkan tiga elemen penting dalam konsepsi REDD+ pada dokumen Bali Action Plan: (i) penerapan pengelolaan hutan berkelanjutan; (ii) pengakuan 3
peran penting konservasi; dan (iii) pengayaan simpanan karbon. Ketiga elemen tersebut 4
kemudian berkembang menjadi “REDD+”. Andil besar Indonesia tersebut perlu disertai dengan upaya pengembangan kebijakan dan perangkat aturan untuk mendukung pelaksanaan REDD di Indonesia. Kementerian Kehutanan telah mengeluarkan serangkaian peraturan menteri untuk mengatur perizinan, pedoman pengembangan tapak uji coba, dan pengembangan kebijakan terkait pembagian manfaat bagi semua pemangku kepentingan secara adil. Semenjak tahun 2008 telah dikeluarkan berbagai peraturan dan gagasan, antara lain: 1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.68/Menhut‐II/2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi hutan; 2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/Menhut‐II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD); 3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.36/Menhut‐II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung; 4. Keputusan Presiden Nomor 19 tahun 2010 tentang Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+; 5. Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia (REDDI): Readiness Strategy 2009‐2012; 6. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK 64/Menhut‐II/2010 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Hutan dan Perubahan Iklim, yang bertugas memberikan input kebijakan dan memfasilitasi proses penyiapan perangkat implementasi REDD+; dan
2
3
IFCA terbentuk sebelum ICCTF. IFCA didukung oleh World Bank, Inggris, Jerman dan Australia. Lihat
diakses pada tanggal 8 Maret 2010
FCCC/CP/2007/6/Add.1 (Decision 1/CP.13, paragraph b(iii))
4
Konsepsi kegiatan semacam REDD sudah mulai masuk ke dalam meja perundingan secara resmi pada COP 11 UNFCCC (2005) melalui inisiasi dari koalisi negara‐negara berhutan, dan terus berkembang. Pada awal kemunculannya (2005) skema ini masih dipandang sebagai kegiatan untuk pengurangan deforestasi semata (reducing emission from deforestation – RED). Namun pada keputusan COP 13 di Bali, disepakati bahwa aspek degradasi hutan juga perlu dimasukkan, sehingga menjadi REDD. Secara eksplisit, COP 13 belum memberikan istilah “REDD+”, namun esensi dari keputusan COP 13 kemudian menjelma menjadi REDD+ pada pertemuan COP 14 di Poznan (Carbon Planet White Paper “The History of REDD Policy, 4 December 2009).
10
7. Roadmap Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim dalam Perencanaan Pembangunan Nasional : Penanganan Perubahan Iklim Sektor Kehutanan. Kementerian Keuangan bersama dengan Kementerian Kehutanan juga telah mengeluarkan kebijakan anggaran pendukung yang disebut Dana Alokasi Khusus (DAK) Kehutanan yang dapat digunakan untuk menunjang program terkait dengan perubahan iklim. Pengembangan Strategi Nasional REDD+ dan pembangunan sistem implementasinya mendapat manfaat dari berbagai pembelajaran dari kegiatan‐kegiatan lapangan dan pengembangan kebijakan terkait REDD+ yang telah muncul lebih dulu. Sebelum pemerintah Republik Indonesia (RI) menyusun Strategi Nasional REDD+ ini, beberapa investor swasta dan lembaga bantuan bilateral (Australia, Inggris, Jepang, Jerman, Korea, dan Norwegia) dan multilateral (ITTO, UN‐REDD, World Bank) telah melakukan pengembangan kapasitas dan kegiatan uji coba REDD+ di lapangan. Proses ini merupakan pengalaman berharga untuk mengembangkan kebijakan yang mendukung sistem kelembagaan; sistem pemantauan, pelaporan dan verifikasi (MRV); dan aspek hukum dan sosial pada skala proyek serta relevansinya pada skala nasional. Sejauh ini terdapat sekitar 40 kegiatan uji coba REDD+ dengan situasi lapangan dan tantangan serta pola kemitraan yang berbeda (gambar 1.1). Secara resmi sebagian telah mendapatkan status tapak kegiatan uji coba (Demonstration Activities/DA). Proses pembelajaran dan pengembangan berbagai metodologi dan pendekatan implementasi dapat dijadikan pelajaran ketika proyek serupa hendak dikembangkan di tempat lain. Kegiatan pada tingkat sub nasional ini memberikan tantangan untuk melakukan agregasi pada tingkat nasional. Niat Indonesia untuk mempersiapkan dan melaksanakan REDD+ juga dapat terlihat dari jumlah dana yang diperoleh dari berbagai inisiasi proyek di tingkat nasional yang mencapai 5
lebih dari US$ 62.610.000. Jumlah tersebut menunjukan bahwa perhatian dunia internasional dan potensi Indonesia dalam konteks implementasi REDD+ sangat besar. Namun potensi besar tersebut juga perlu didukung dengan kejelasan visi, misi dan cakupan pelaksanaan REDD+ di Indonesia.
5
Angka estimasi ini diolah dari berbagai sumber, antara lain: Sarsito (2010), Executive Summary Strategic Plan of Berau Forest Carbon (2010) dan Indonesia Timber Market Report Vo. 15 No.15, 1st‐15th August 2010 hal.4.
11
Gambar 1.1. Lokasi kegiatan uji coba REDD+ di Indonesia, 2010
12
1.4. Struktur Dokumen Strategi Nasional REDD+ Setelah latar belakang dan maksud penyusunan dokumen ini diuraikan dalam Bab 1, sebagai pendukungnya Bab 2 menampilkan potret pemanfaatan lahan di dalam dan luar kawasan hutan, tren dan penyebab utama dari deforestasi dan degradasi hutan, tren emisi umum dan sektor penggunaan lahan di Indonesia, serta analisis potensi dan peluang pengembangan program REDD+. Bab 3 menjelaskan komitmen dan target penurunan emisi secara umum dan pembahasan yang lebih mendalam tentang komitmen Indonesia untuk melakukan pengaturan ulang tata ruang dan tata kelola hutan yang menjadi dua landasan utama arsitektur strategi nasional ini. Bab ini juga menguraikan visi, misi, tujuan, ruang lingkup, target dan potensi manfaat pengembangan REDD+. Bab ini memandatkan sinkronisasi pengembangan strategi dengan berbagai program lain terkait upaya pemerintah dalam penanganan perubahan iklim dan kebijakan pemanfaatan lahan. Bagian akhir bab ini menguraikan berbagai peluang untuk memastikan bahwa tujuan konservasi keanekaragaman hayati menjadi bagian dari pengembangan program/proyek REDD+ karena perannya yang sangat penting dalam dinamika ekosistem hutan, dan dalam memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Pengukuran keanekaragaman hayati secara nyata akan membuka peluang untuk mewujudkan nilai premium di atas harga karbon yang dihasilkan dan telah diverifikasi penurunannya. Bab 4 merupakan inti dari keseluruhan dokumen Strategi Nasional REDD+ ini dan memuat kerangka utama strategi yang terdiri dari 5 (lima) pilar utama, dan merinci arahan bagi pengembangan sistem yang diperlukan. Kelima pilar itu ialah (1) pengembangan kelembagaan tata kelola REDD+, instrumen pendanaan dan sistem MRV; (2) pengembangan hukum dan peraturan penunjang; (3) perencanaan program‐program strategis; (4) perubahan paradigma dan budaya kerja menuju partisipasi yang inklusif dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kaum rentan, dalam pengembangan kebijakan, program/proyek dan mekanisme/protokol pelaksanaannya; dan (5) pelibatan masyarakat secara efektif melalui implementasi proses Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan/Free Prior Informed Consent (PADIATAPA/FPIC ), pengembangan sistem pengaman (safeguard), dan mekanisme pembagian manfaat (benefit sharing) yang adil dan jujur. Kebutuhan pengembangan infrastruktur, penyiapan pra‐kondisi dan kondisi pemungkin (enabling condition), kapasitas kelembagaan dan profesional, dan perangkat lunak juga dijabarkan dalam bab ini. Bab 5 memberikan indikasi prioritas kegiatan yang perlu dilakukan oleh ketiga lembaga baru yang akan dibentuk (Badan Tata Kelola REDD+, Dana Kemitraan REDD+, dan Badan MRV REDD+) yang akan menjadi bagian dari rencana aksi untuk membangun berbagai perangkat kerja kelembagaan dan kapasitas yang diperlukan. Keseluruhan pengembangan sistem pendukung program REDD+ yang diamanatkan dalam Strategi Nasional ini akan memakan waktu 2‐3 tahun melalui tahap perancangan, inisiasi, pembentukan lembaga, penyiapan perangkat kerja, pembelajaran dan pengembangan kapasitas. Tahun 2014 ditargetkan sebagai tahun dimulainya implementasi penuh REDD+ di Indonesia. Uraian mengenai implementasi REDD+ di provinsi percontohan diuraikan pada bab ini sebagai gambaran mengenai permasalahan nyata yang dihadapi berikut indikasi pemecahannya.
13
BAB 2 PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
2.1. Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Lahan Gambut di Indonesia Kegiatan pemanfaatan lahan, alih guna lahan dan kehutanan (LULUCF) merupakan penyumbang terbesar dalam emisi GRK di Indonesia. Dari total emisi nasional pada tahun 2000 sebesar 1.378 juta tCO2‐e, 821 juta tCO2‐e (60%) diantaranya berasal dari sektor LULUCF (MoE 2010). Informasi ini menunjukkan bahwa Indonesia berpeluang besar untuk menurunkan emisi dalam sektor LULUCF. Emisi GRK dari sektor yang berbasis lahan tidak hanya berasal dari perubahan luas atau tutupan hutan (forest cover) yang disebabkan oleh deforestasi atau kemerosotan biomassa di atas permukaan (above ground), tetapi juga bersumber dari emisi oksidasi bahan organik di bawah permukaan (below ground) lahan gambut. Oksidasi tersebut terjadi karena proses pengeringan (drainase) dan kebakaran lahan gambut yang sudah mengering. Tabel 2.1 menunjukkan sumber‐ sumber emisi GRK berbasis lahan yang terkait dengan biomassa di atas dan di bawah permukaan. Tabel 2.1. Perkiraan laju deforestasi dan emisi GRK pada berbagai periode yang diperkirakan oleh berbagai pihak Laju Sumber Kegiatan Periode Deforestasi Emisi (juta ha/th) (juta tCO2e/th) MoFo (2010) Penggunaan, 1990‐1996 1,87 1729a a MoFo (2010) alihguna lahan, dan 1997‐2000 3,51 3247 a MoFo (2010) 999 kehutanan (LULUCF) 2001‐2003 1,08 MoFo (2010) 2004‐2006 1,17 1082a 689 MoE (2010) 2000‐2005 Kebakaran lahan 1997‐2006 1400 Hooijer et al (2006)* gambut 2000‐2006 903 BAPPENAS (2009) 2000‐2005 364 MoE (2010) Drainase lahan 1997‐2006 632 Hooijer et al (2006)* gambut *) Termasuk emisi dari Serawak, Malaysia a Dengan menggunakan asumsi kepadatan karbon 250 t/ha untuk biomassa di atas tanah Fluktuasi deforestasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari faktor‐faktor kebutuhan atas lahan pertanian dan infrastruktur, dorongan pasar yang muncul dari dinamika harga dan kesempatan di sektor pertanian (seperti coklat dan sawit) dan pertambangan (khususnya batubara). Krisis moneter tahun 1997 juga membawa dampak yang serius ketika hutan menjadi jaring pengaman (safety net) sosial (Sunderlin 1998).
14
Laju deforestasi dalam kurun waktu 15‐20 tahun terakhir terlihat pada Gambar 2.1. Meskipun secara spesifik tidak dimaksudkan untuk menggambarkan emisi GRK, tren ini menginformasikan gambaran umum tentang penyebab deforestasi. Puncak deforestasi di Indonesia terjadi pada akhir dekade 1990‐an. Hal ini dipicu oleh kebijakan yang mendorong proses alih‐guna lahan dalam skala besar pada periode tersebut (Murdiyarso et al. 2004). Bencana kebakaran hutan dan lahan gambut yang sangat luas dalam periode 1997‐98 telah menyumbang emisi yang sangat signifikan. Melalui kebijakan yang tepat dalam tata ruang dan perbaikan tata kelola lahan hutan dan gambut sebagai bagian dari strategi REDD+, Indonesia dapat menekan laju deforestasi jauh di bawah angka rata‐rata saat ini, yaitu sebesar 1,17 juta hektar pertahun.
Gambar 2.1. Tren deforestasi Indonesia, 1990‐2006 (MoFo, 2010) Dipahami bahwa deforestasi di Indonesia terjadi karena kegiatan‐kegiatan terencana untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan telah tertuang baik dalam rencana konversi hutan yang disetujui pemerintah melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW ), maupun kegiatan‐kegiatan yang tidak terencana seperti bencana alam (misalnya kebakaran hutan dan longsor), pencurian kayu, dan alih fungsi lahan hutan dan gambut secara liar untuk berbagai keperluan. Tabel 2.2 menyajikan berbagai tipologi deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi selama 30‐40 tahun terakhir.
15
Tabel 2.2. Tipologi kegiatan penyebab deforestasi dan degradasi hutan Deforestasi dan Degradasi Hutan Terencana
Kegiatan 1. Pemekaran Wilayah 2. Konversi hutan di kawasan hutan yang disetujui (RTRW) 3. Konversi hutan di APL 4. Izin Kuasa Pertambangan di kawasan hutan
Deforestasi
5. Izin Perkebunan di kawasan hutan Tidak Terencana 1. Perambahan 2. Kebakaran hutan 3. Klaim lahan yang berujung pada konversi Terencana
1. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di hutan alam (IUPHHK‐HA) 2. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK‐HTI) di hutan alam yang masih baik
Degradasi hutan
Tidak Terencana 1. Penebangan liar (pemanenan di luar jatah tebang tahunan/etat6). 2. Pembalakan liar 3. Kebakaran hutan kecil karena faktor alam 4. Kebakaran hutan kecil untuk pembukaan lahan
Sumber: BAPPENAS, 2010.
Dengan mempertimbangkan kegiatan‐kegiatan penyebab deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut di atas, strategi nasional ini memberi arahan penanganan bagi tata kelola faktor‐faktor yang terkait dengan kegiatan‐kegiatan penyebab tersebut sebagai kunci dari upaya pengurangan emisi dari sector LULUCF.
2.2 . Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia Deforestasi di Indonesia disebabkan oleh berbagai kegiatan terencana seperti pemekaran wilayah, konversi hutan di dalam areal yang disetujui (dalam RTRW), konversi hutan pada area penggunaan lain (APL), serta izin kuasa pertambangan dan perkebunan di kawasan hutan. Deforestasi juga terjadi akibat berbagai kegiatan yang tidak direncanakan seperti perambahan dan kebakaran hutan serta klaim lahan hutan yang berujung pada konversi. Adapun degradasi hutan yang terencana dapat terjadi akibat kegiatan pemegang IUPHHK Hutan Alam maupun IUPHHK Hutan Tanaman yang berlokasi di hutan alam yang masih baik. Degradasi hutan yang tidak terencana dapat berupa
6 Etat adalah jatah penebangan tahunan (JPT).
16
pemanenan di luar lokasi tebangan, pembalakan liar (illegal logging), kebakaran hutan kecil baik yang disebabkan oleh faktor alam maupun pembukaan lahan. Berdasarkan hasil identifikasi melalui analisis tulang ikan (fishbone) yang diperoleh dari konsultasi publik oleh BAPPENAS di tujuh wilayah, diketahui bahwa faktor penyebab deforestasi dan degradasi hutan yaitu: (i) perencanaan tata ruang tidak efektif dan tenurial yang lemah; (ii) manajemen hutan yang tidak efektif; dan (iii) tata kelola (governance) dan penegakan hukum yang lemah (Gambar 2.2.). TATA RUANG YANG LEMAH
MASALAH TENURIAL Konflik Lahan Tidak pernah selesai
Tidak Menerapkan Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Tidak adanya alternative mata pencaharian
Partisipasi Rendah Paradigma Pembangunan Belum Patuh Pada prinsip SD Lack of Leadership
UNIT MANAGEMEN HUTAN TIDAK EFEKTIF
Stok data dan Informasi lemah
Sistem Penguruhan Hutan lemah Kapasitas Individu Pekerja Kehutanan/Pengelolaan
Masyrakat Adat belum daiakui Batas kawasan tidak pernah mantap
Perencanaan Sektoral tdk Terpadu
Organisasi Pengelolaan Tidak Performe DEFORESTASI
Konversi Terencana (perkebunan dan pertanian, tambang, infrastruktur, dll) Konversi Tidak Terencana (perambahan, kebakaran), Illegal logging, Target Pertumbuhan Ekonomi Kesenjangan Supply & Demand Kayu & Oil Palm
Koordinasi yang lemah Ketidakadilan distribusi pendapatan dari sektor Hutan
Penagakan Hukum Lemah
DEGRADASI
Efektivitas dan Efisiensi Rendah Transparansi, Partispasi & akuntabilitas rendah Pengelolaan tidak bekerja di lapangan
GOVERNANCE
Dasar Hukum Lemah
DASAR DAN PENEGAKAN HUKUM LEMAH
Sumber: Diolah dari hasil konsultasi regional Bappenas tahun 2010
Gambar 2.2. Identifikasi penyebab deforestasi dan degradasi hutan dengan analisis tulang ikan (fishbone analysis) Perencanaan Tata Ruang yang tidak efektif dan tenurial yang lemah. Penyusunan RTRW bertujuan mengoptimalkan penggunaan ruang yang seimbang antara penggunaan ruang untuk peningkatan pertumbuhan daerah, kebutuhan pembangunan, dan daya dukung lingkungan (Siagian dan Komarudin 2009 dalam Bappenas, 2010). RTRW disusun sebagai pedoman bagi pemerintah provinsi dan kabupaten untuk pelaksanaan pembangunan jangka panjang sekaligus mewadahi kepentingan penggunaan ruang oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, swasta, dan masyarakat. Namun demikian, instrumen RTRW belum secara efektif mewadahi berbagai kebutuhan pembangunan secara berkelanjutan karena ketersediaan data dan informasi yang kurang akurat, dan perencanaan pembangunan sektor pengguna lahan yang tidak berkelanjutan dan tidak terpadu. Hal ini diperparah oleh masalah tenurial karena ketidakjelasan status dan batas kawasan hutan, kurangnya pengakuan hak masyarakat adat dan lokal lainnya, serta budaya produksi penduduk yang tidak berkelanjutan akibat terbatasnya sumber pendapatan masyarakat di sekitar hutan. Sebagai 17
akibatnya muncul berbagai masalah seperti konflik pengggunaan hutan dengan pertambangan dan pertanian, penerapan praktek budidaya pertanian yang tidak ramah lingkungan, serta terbatasnya produksi kayu untuk pembangunan. Konflik dan sengketa lahan sering berlangsung berkepanjangan karena berbagai masalah dalam pendekatan resolusi konflik dan penegakan hukum. Manajemen hutan yang kurang efektif. Pengelolaan hutan sesuai fungsinya yaitu hutan konservasi, lindung dan produksi telah dilakukan, namun belum cukup efektif akibat lemahnya organisasi pengelolaan hutan. Kawasan konservasi yang dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis Pemerintah masih belum didukung oleh dana, prasarana dan sarana serta jumlah dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai kebutuhan. Demikian pula halnya dengan pengelolaan hutan lindung, dimana seringkali dijumpai hutan lindung yang tidak dikelola oleh Pemerintah Daerah sebagai institusi yang berwenang. Sementara itu, pengelolaan hutan produksi dilakukan sepenuhnya oleh para pemegang izin dengan pengawasan yang sangat lemah oleh pemerintah. Akibatnya, Pemerintah pada tingkat nasional maupun daerah tidak mempunyai cukup informasi sebagai dasar pengambilan keputusan. Berbagai bentuk rekomendasi dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan perencanaan dan pemanfaatan hutan lebih bersifat administratif, dan kurang didasarkan pada kondisi sebenarnya di lapangan. Tata kelola (governance) dan penegakan hukum yang lemah turut mempengaruhi timbulnya deforestasi dan degradasi hutan. Di dalam proses perizinan, kurangnya koordinasi antar sejumlah pihak yang memiliki kewenangan mengakibatkan konflik penggunaan kawasan hutan. Hal ini juga memicu ketidakadilan dalam pemanfaatan dan penggunaan sumber daya hutan karena masih sangat terbatasnya pelibatan masyarakat lokal dalam proses pemberian izin pemanfaatan hutan. Secara langsung maupun tidak langsung hal tersebut menjadi penyebab terjadinya konflik di lapangan sehingga berkontribusi pada iklim usaha yang tidak kondusif. Dasar penegakan hukum, terutama terhadap keterlanjuran penggunaan kawasan hutan, tidak dapat menopang penyelesaian masalah tersebut akibat interpretasi yang tidak sinkron atas isi Undang‐ ndang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Akibatnya, peluang terjadinya deforestasi, baik yang direncanakan maupun tidak, tetap terbuka lebar. Penjabaran berbagai Undang‐Undang yang memanfaatkan sumber daya hutan dan lahan dalam bentuk Peraturan Pemerintah juga menimbulkan masalah ketidakselarasan dan ketidakjelasan hukum. Ketidakselarasan hukum secara horisontal terjadi antara peraturan di sektor kehutanan dengan peraturan di sektor pengguna lahan hutan seperti perkebunan dan pertambangan. Selanjutnya ketidakselarasan juga terjadi secara vertikal, yaitu antara peraturan di tingkat Pemerintah, dengan peraturan di tingkat Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Ketidakselarasan peraturan juga disebabkan oleh ketidaksejalanan peraturan tersebut dengan prinsip‐prinsip Hak Asasi Manusia dan Keadilan yang telah diakui dalam kesepakatan global dan juga telah ditandatangani oleh pihak Indonesia, seperti United Nation Declaration on the Right of Indigenous People (UNDRIP ), Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhaap Perempuan tahun
18
1979 (Convention on the elimination of all forms of discrimination aginst women/ CEDAW7), dan Covenant ECOSOC. Tata kelola yang lemah antara lain disebabkan oleh proses perencanaan yang belum mempertimbangan kepentingan dan kebutuhan masyarakat lokal, dimana hutan merupakan rumah dan mata pencaharian mereka. Pendekatan pengarusutamaan gender dalam siklus program, mengutamakan dialog dengan semua kelompok laki‐laki dan perempuan serta kelompok rentan, sehingga kebutuhan mereka dapat diakomodir dan menjadi arus utama dalam proses siklus program. Pemilahan kelompok laki‐laki dan perempuan didasari oleh kepentingan dan kebutuhan yang berbeda, yang diturunkan berdasarkan kepercayaan, pengalaman dalam peran, akses dan kesempatan, serta keahlian yang berbeda dalam siklus kehidupan. Dalam konteks penegakan hukum, terdapat kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap lembaga penegak hukum. Kelemahan penegakan hukum di sektor kehutanan terjadi baik sebelum maupun setelah terjadinya perkara. Pada saat sebelum adanya perkara, modus yang terjadi diawali dari proses perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, perizinan, sampai dengan saat eksploitasi sumber daya hutan (pemberian dan pelaksanaan izin). Pada saat setelah adanya perkara, hal ini dimulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai dengan pengambilan keputusan, yang juga rentan terhadap masalah penyalahgunaan kewenangan. Kelemahan penegakan hukum ini mengakibatkan sedikitnya jumlah tindak pidana kehutanan yang dihukum, dan mayoritas pelaku terpidana adalah para pelaku di lapangan. Penegakan hukum yang ada belum mampu menjangkau aktor intelektual dan/atau oknum pejabat yang melakukan penyalahgunaan kewenangan.
2.3. Skenario Business as Usual (BAU) dan Konsekuensinya Dengan skenario Business As Usual (BAU) diperkirakan bahwa emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia akan mencapai 2,95 GT (Giga ton) pada tahun 2020, atau hampir 40% lebih tinggi dari tingkat emisi di tahun 2005, dan 71% lebih tinggi dari tingkat emisi di tahun 2000 (Gambar 2.3.). Tren kenaikan emisi ini dapat dipahami sesuai dengan peningkatan usaha pembangunan ekonomi di semua sektor.
7 CEDAW, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, adalah perjanjian internasional penting yang menegaskan prinsip‐prinsip hak asasi manusia dan kesetaraan bagi perempuan di seluru untuk memasukkan prinsip kesetaraan laki‐laki dan perempuan dalam sistem hukum mereka , Menghapuskan semua hukum yang diskriminatif dan mengadopsi sesuai yang melarang diskriminasi terhadap perempuan; untuk membentuk pengadilan dan lembaga‐lembaga publik lainnya untuk menjamin perlindungan yang efektif bagi perempuan dari diskriminasi, dan untuk memastikan penghapusan segala tindakan diskriminasi terhadap perempuan oleh orang, organisasi atau perusahaan.
19
2,950 Agriculture Industry Wastes
2,120
Energy & transportation
1,720
2000
Forestry1 & peat
2005
2020
Sumber: Diolah dari Indonesia Second National Communication (MoE 2010)
Gambar 2.3. Profil emisi sektoral tahun 2000, 2005 dan 2020 dengan skenario BAU (dalam juta ton CO2e) Dalam analisis tren emisi berdasarkan skenario BAU, sektor pengguna lahan, yaitu sektor kehutanan, lahan gambut dan pertanian terus menjadi penyumbang utama bagi emisi GRK sampai dengan tahun 2020. Namun secara proporsional, terjadi penurunan porsi yang signifikan. Sektor kehutanan dan lahan gambut yang secara bersama‐sama menyebabkan lebih dari 70% emisi GRK di tahun 2005, porsinya menurun menjadi sedikit di atas 50% pada tahun 2020. Dalam periode ini, porsi kontribusi emisi sektor pengguna lahan secara keseluruhan menurun karena terjadi pergeseran ke sektor energi, yang dalam skenario BAU akan didominasi pertumbuhannya oleh pembangunan pembangkit tenaga listrik berbasis batubara. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan emisi di sektor energi, industri dan transportasi diperkirakan terjadi lebih cepat dari pertumbuhan emisi di sektor lain; bahkan lebih cepat dari pertumbuhan sektor industri dan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB ) Indonesia (World Bank 2010). Pertumbuhan sektor energi yang masih mengandalkan bahan bakar fosil, serta dominasi sektor kehutanan dan lahan gambut dalam tren emisi berdasarkan skenario BAU sampai dengan 2020 menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya kandungan karbon dalam perekonomian Indonesia dan makin tingginya kontribusi Indonesia pada perubahan iklim global. Kekhawatiran pertama didasarkan pada tren pengembangan produk‐produk industri di pasar internasional yang menuju pada produk dengan kandungan karbon yang rendah. Keterlambatan Indonesia dalam mengadopsi langkah‐langkah menuju ekonomi rendah karbon (low carbon economy) dapat mengurangi daya saing produk Indonesia di masa depan dan membatasi pengembangan pasar bagi produk tersebut. Kekhawatiran kedua, tingginya kontribusi Indonesia pada emisi GRK sebagai penyebab perubahan iklim secara global juga meningkatkan risiko Indonesia dalam mengatasi dampak dari perubahan iklim. Di samping sebagai penyumbang emisi yang signifikan, Indonesia adalah negara yang rentan terhadap berbagai dampak dari perubahan iklim. Pergeseran musim hujan dan panas serta meningkatnya intensitas hujan dan panas dalam musimnya 20
berpotensi menimbulkan penurunan produktivitas sektor pertanian, terutama pangan, sehingga memunculkan isu ketahanan pangan dalam jangka panjang. Hal yang sama juga meningkatkan risiko terjadinya bencana alam yang terkait dengan musim seperti banjir, longsor, dan kekeringan yang makin sering terjadi dan menimbulkan kerugian jiwa dan materi yang signifikan. Sebagai negara kepulauan yang penduduknya terkonsentrasi di dataran rendah, terutama wilayah Pantai Utara pulau Jawa, puluhan juta penduduk Indonesia rentan terhadap risiko tergenangnya sebagian lahan hidup dan usaha secara permanen (MoE 2010). Besarnya potensi emisi GRK Indonesia di masa depan berdasarkan skenario BAU, adanya potensi dampak negatif terhadap daya saing produk Indonesia di masa depan, dan meningkatnya risiko dampak fisik akibat perubahan iklim yang dipicu oleh emisi GRK, memberi dasar yang kuat bagi pemerintah RI untuk berkomitmen secara progresif dalam upaya penurunan emisi GRK dari Indonesia.
21
BAB 3 KOMITMEN INDONESIA DAN REDD+ Dari sudut pandang ekonomi, perubahan iklim terjadi karena pilihan model pembangunan yang gagal untuk mewujudkan keseimbangan antara kemampuan alam dengan tingkat produksi dan konsumsi karena mengabaikan eksternalitas atau dampak negatif yang tidak diperhitungkan. Sebagai hasilnya, akumulasi gas rumah kaca yang dipicu pola produksi dan konsumsi terus meningkat. Melalui berbagai pengaturan di bawah UNFCCC, dunia berusaha memperbaiki kegagalan ini dengan mewajibkan negara‐negara industri maju untuk menurunkan emisinya melalui berbagai kegiatan mitigasi dan alih teknologi serta bergerak menuju jalur pembangunan rendah karbon. Negara‐negara berkembang yang tidak memiliki kewajiban menurunkan emisi memperoleh berbagai bentuk dukungan pendanaan dan teknologi jika bersedia mengubah jalur pembangunan ekonominya menuju pembangunan rendah karbon. Bagi negara seperti Indonesia yang menjalankan pembangunan dengan prinsip “pro‐growth, pro‐job, pro‐poor dan pro‐environment”, berbagai kesempatan ini perlu dipertimbangkan dengan urgensi penurunan tingkat kemiskinan dan kebutuhan pertumbuhan ekonomi. Prinsip‐prinsip tersebut termaktub dalam Tujuan Pembangunan Millennium (MDGs)8 yang mencakup tiga aspek keterkaitan langsung dengan tujuan 1, 3 , 7 dan 8, yaitu memberantas kemiskinan dan kelaparan, kesetaraan gender, memulihkan kelestarian lingkungan hidup dan kemitraan global bagi pembangunan. Indonesia menjadi negara berkembang (Non‐Annex I) pertama yang menyatakan komitmen pengurangan emisi secara sukarela. Keputusan ini menjadi terobosan di tengah ketidakpastian negosiasi UNFCCC, sekaligus menjadi contoh nyata bahwa negara berkembang juga mampu berkontribusi mengurangi emisi sebagai upaya menanggulangi perubahan iklim global. Dalam upaya penurunan emisi tersebut, Indonesia akan melakukannya tanpa mengorbankan pembangunan di sektor lain serta kesejahteraan masyarakat. Pemerintah mentargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7% per tahun. REDD+ merupakan mekanisme insentif ekonomi yang diberikan kepada negara berkembang untuk mendorong pengelolaan hutan berkelanjutan untuk berkontribusi terhadap pengurangan emisi. Indonesia sebagai negara yang memiliki luas hutan 70% dari luas daratannya berpeluang besar untuk menerapkan REDD+. Dengan mekanisme REDD+, Indonesia bisa menjadi bagian dari garda terdepan dalam memberikan solusi bagi masalah perubahan iklim dunia.
8 Millenium Development Goals (MDG’s)= Tujuan Pembangunan Millennium.Tujuan Pembangunan Millennium adalah upaya untuk memenuhi hak‐hak dasar kebutuhan manusia melalui komitmen bersama antara 189 negara anggota PBB untuk melaksanakan 8 (delapan) tujuan pembangunan, yang diharapkan tercapai pada tahun 2015 yaitu : 1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, 2) mencapai pendidikan dasar untuk semua, 3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, 4) menurunkan angka kematian anak, 5) meningkatkan kesehatan ibu, 6) memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, 7) kelestarian lingkungan hidup 8) membangunkemitraan global dalam pembangunan.
22
Sebagai konsekuensi menjadi negara berkembang yang berada dalam masa transisi ke tingkat negara berpendapatan menengah, Indonesia menghadapi kompleksitas pengelolaan dan pemanfaatan lahan hutan dan gambut karena banyaknya sektor‐sektor ekonomi yang terlibat seperti kehutanan, pertanian, pertambangan, dan infrastruktur. Kompleksitas ini ditambah lagi dengan proses desentralisasi yang masih berlangsung dan tingginya biaya penurunan emisi. Namun pemerintah Indonesia telah menyampaikan komitmen untuk berkontribusi bagi usaha global untuk mengurangi laju mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan emisi.
3.1. Komitmen Pemerintah Indonesia Target penurunan emisi sebesar 26‐41% dari emisi berdasarkan skenario BAU tahun 2020 menjadi komitmen resmi pemerintah Indonesia melalui pendaftaran secara resmi sebagai Voluntary Emission Reduction kepada UNFCCC tanggal 31 Januari 2010. Selain komitmen pengurangan emisi, Presiden juga menyampaikan komitmen Indonesia untuk mewujudkan ekonomi rendah karbon sebagai bagian dari transisi menuju ekonomi hijau (Green Economy). Setelah komitmen ini disampaikan, pemerintah berusaha mengarusutamakan kebijakan perubahan iklim dengan memadukan target penurunan emisi 26% dan dokumen Roadmap sektoral perubahan iklim ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010‐2014 dan prioritas kerja pemerintah. Kebijakan penurunan emisi sebesar 26% dari BAU tahun 2020 ini dianggap sangat progresif oleh dunia dan memberikan peluang bagi pembenahan pembangunan nasional di semua sektor terkait yang selama ini menjadi tantangan Indonesia. Mengingat kehidupan masyarakat Indonesia bersinggungan erat dengan kondisi alam dan perekonomian yang berbasis sumber daya alam, di samping upaya‐upaya yang terfokus pada mitigasi, Indonesia perlu memprioritaskan pengembangan adaptasi berbasis ekosistem (ecosystem‐ based adaptation) yang selain meningkatkan ketahanan ekosistem (ecosystem resilience) juga memiliki manfaat mitigasi secara tidak langsung. Rehabilitasi hutan gambut atau hutan bakau yang rusak, misalnya, memberikan manfaat adaptasi dan mitigasi sekaligus, disamping dampak kenaikan produktivitas sumber‐sumber ekonomi yang akan muncul dari ekosistem yang menjadi lebih baik itu. Secara keseluruhan Indonesia memerlukan strategi adaptasi nasional yang bersifat melengkapi dan seimbang dengan strategi mitigasi. Keduanya perlu terintegrasi dengan prioritas pembangunan dan sumber pendanaan yang jelas. Dalam rangka menuju implementasi komitmen target penurunan emisi sebesar 26% dari emisi dengan skenario BAU pada tahun 2020, pemerintah telah menetapkan sejumlah sektor yang akan berkontribusi dalam mencapai target penurunan tersebut. Empat sektor utama yang diharapkan memberikan kontribusi terbesar adalah: kehutanan, pengelolaan lahan gambut, energi, dan pengelolaan sampah. Terkait hal tersebut, sektor kehutanan dan lahan gambut menyumbang emisi yang sangat besar, yang mencapai lebih dari separuh emisi Indonesia. Berdasarkan kategori sumber emisi pada sektor alih guna lahan dan kehutanan (Land Use Change and Forestry/LUCF), sumber utama emisi antara tahun 2000‐2004 berasal dari konversi hutan dan padang rumput (48‐65%), kebakaran pada lahan gambut (15‐32%), dan oksidasi lahan gambut (10‐25%)9.
9 Second National Communication (2010), hal II‐24.
23
Tiga sektor lain yang akan ikut berkontribusi adalah pertanian, transportasi dan industri. Meskipun ketika tulisan ini dibuat belum terdapat suatu rencana implementasi sektoral yang lengkap maupun Peraturan Presiden sebagai dasar hukum pelaksanaannya, berdasarkan informasi yang tersedia, target penurunan emisi 26% dari BAU akan mentransisikan tingkat emisi bersih (netto) Indonesia seperti diilustrasikan dalam gambar 3.1. di bawah ini. Dengan target ini emisi yang diharapkan terjadi berada 767 Mega Ton di bawah proyeksi emisi tahun 2020, jika pemerintah tidak mengambil langkah apapun. Gambar 3.1. Transisi tingkat emisi dengan skenario penurunan emisi 26‐41% di bawah BAU pada tahun 2020 Dengan komitmen penurunan emisi sektor kehutanan dan lahan tersebut, Presiden juga menyatakan bahwa pada tahun 2030, hutan Indonesia akan berubah dari net emitter menjadi net sink sector. REDD+ berpeluang besar untuk mewujudkan komitmen tersebut. Di samping itu, penerapan REDD+ di Indonesia dapat menjadi bagian dari upaya pelestarian keanekaragaman hayati yang berpotensi meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Upaya penurunan emisi dari sektor kehutanan perlu ditempatkan dalam konteks mentransisikan perekonomian Indonesia menjadi green economy yang bercirikan proses produksi rendah karbon. Sebagai hasilnya perekonomian Indonesia memiliki tingkat pelepasan emisi yang rendah dan secara dinamis didasarkan pada keunggulan kompetitif sumber daya ekonomi secara keseluruhan, yang mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Sumber daya alam yang terdapat di Indonesia merupakan suatu modal alami (natural capital) yang memiliki berbagai nilai dan manfaat baik di masa kini dan terlebih di masa yang akan datang. Nilai ekonomi dari modal alami tersebut bukan hanya dapat diperoleh dari ekstraksi atau pemanfaatan secara langsung atas sumber daya alam tersebut.
24
Nilai ekonomi dari jasa lingkungan (environmental services) hutan yang terdiri dari keanekaragaman hayati, fungsi hidrologi, keindahan bentang alam, dan jasa penyerbukan tanaman akan menjadi makin penting dan berharga di masa mendatang. Dalam bidang keanearagaman hayati, Indonesia memiliki potensi dan peluang yang signifikan dalam bidang pengembangan: (i) berbagai komoditas pangan utama (staple food) dan protein hewani; (ii) produk hortikultur; (iii) obat‐obatan; dan (iv) kosmetik. Pengembangan potensi jasa lingkungan di sektor kehutanan ini dapat dikaitkan langsung dengan inisiatif REDD+ yang pada intinya bertujuan untuk memastikan agar hutan alam Indonesia dikelola secara berkelanjutan. Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) berikutnya sebaiknya juga mempertimbangkan secara matang potensi modal alami ini.
3.2. REDD+ di Indonesia 3.2.1. Visi, Misi, Tujuan, dan Ruang Lingkup REDD+ Visi Pengelolaan sumber daya alam hutan dan lahan gambut10 yang berkelanjutan dan berkesinambungan sebagai aset nasional yang dapat dimanfaatkan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Misi Memastikan bahwa institusi, regulasi, proses dan praktek pengelolaan sumber daya hutan dan lahan mendukung pencapaian visi dari strategi nasional REDD+. Tujuan Dengan berbagai kompleksitas kondisi yang ada di Indonesia, terdapat tujuan jangka pendek, menengah dan jangka panjang dari pelaksanaan strategi REDD+ di Indonesia. Secara garis besar, tujuan jangka pendek (2011‐2013) pelaksanaan REDD+ adalah untuk memperbaiki kondisi tata kelola kehutanan secara keseluruhan agar dapat mencapai komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi sebesar 26 – 41% pada tahun 2020. Tujuan jangka menengah (2013‐2020) adalah untuk mempraktekkan mekanisme tata kelola dan pengelolaan hutan secara luas yang telah ditetapkan dan dikembangkan dalam tahap sebelumnya agar target‐target penurunan emisi tahun 2020 dapat dicapai. Sedangkan tujuan jangka panjangnya (2020‐2030) adalah mengubah peran hutan Indonesia dari net emitter sector menjadi net sink sector pada tahun 203011 dan keberlanjutan fungsi ekonomi dan pendukung jasa ekosistem lainnya dari hutan. Uraian lebih rinci dari setiap kelompok tujuan REDD+ di Indonesia disajikan pada tabel 3.1.
10 Sumber daya alam dalam pemahaman ini diartikan sebagai tanah, air, udara sebagaimana termaktub di dalam pasal 33 Undang undang Dasar 1945. 11 Pidato Presiden SBY pada pertemuan G 20, 29 September 2009 (paragraf 21).
25
Tabel 3.1. Tujuan Strategi Nasional REDD+ di Indonesia Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang (2011‐2013) (2013‐2020) (2020‐2030) Peningkatan dan penyempurnaan perencanaan terutama terkait dengan penataan ruang, penatagunaan lahan, dan proses perizinan pemanfaatan ruang pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Penurunan emisi GRK, Peningkatan nilai dan khususnya dari sektor keberlanjutan produksi kehutanan dan perubahan hutan (kayu dan non‐kayu) tata guna lahan melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan dan menciptakan sebuah pijakan bagi pengurangan emisi yang lebih substansial dengan investasi lebih lanjut.
Peningkatan kapasitas institusi dan sumber daya manusia maupun pendanaan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, khususnya dalam progam pengelolaan hutan secara lestari dan pelestarian kawasan lindung.
Pemeliharaan dan peningkatan simpanan karbon (carbon stock) melalui kegiatan konservasi hutan, pengelolaan hutan secara lestari, restorasi ekosistem dan rehabilitasi hutan.
Pemeliharaan fungsi hutan Indonesia sebagai penyerap dan penyimpan karbon (net sink sector)
Perbaikan sistem tata kelola serta reformasi birokrasi pada institusi kehutanan maupun sektor lain yang terkait kehutanan.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan peran serta dan keterlibatan masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan dalam pengelolaan kawasan hutan.
Pemeliharaan fungsi hutan sebagai sumber keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem lain pendukung kesejahteraan masyarakat
Peningkatan kepercayaan investor untuk melaksanakan kegiatan/usaha di Indonesia khususnya sektor yang berbasis penggunaan lahan.
Peningkatan pengelolaan sumberdaya alam hayati melalui pelestarian ekosistem yang bernilai tinggi, melindungi keanekaragaman hayati dan terjaganya fungsi daerah aliran sungai
26
Untuk dapat mencapai tujuan sebagaimana disebutkan di atas, maka implementasi REDD+ di Indonesia harus memenuhi prinsip efektivitas, efisiensi, keadilan dan kesetaraan gender12, transparansi dan akuntabilitas. Kelima unsur tersebut akan menjadi nilai utama pelaksanaan REDD+ di Indonesia serta dilaksanakan dengan mengedepankan inklusivitas untuk menjamin akuntabilitas dalam pelaksanaannya. Kelima prinsip tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Efektivitas: kegiatan REDD+ merupakan momentum untuk memperbaiki kondisi kehutanan di Indonesia secara utuh. Untuk mewujudkan hal tersebut maka diperlukan efektivitas yang dapat terukur baik dari segi penurunan emisi secara ril, maupun dari segi perbaikan tata kelola implementasi kegiatan dan pemerintahan, penyusunan kebijakan dan penegakan hukum. 2. Efisiensi: kegiatan REDD+ di Indonesia harus dipandang sebagai sebuah kegiatan jangka panjang yang mendatangkan keuntungan finansial, ekologis dan sosial namun tetap menjaga efisiensi dalam konteks pelaksanaan program. Secara umum hal ini diartikan sebagai pelaksanaan program yang mengedepankan perencanaan yang matang dan dapat menjawab berbagai tantangan. Hal ini juga berarti bahwa pelaksanaan REDD+ harus dilaksanakan dengan biaya yang efisien dan efektif dalam penggunaannya. 3. Keadilan dan kesetaraan gender: dalam melaksanakan REDD+, prinsip kesetaraan bagi semua orang dan mengedepankan perlindungan hak asasi manusia dalam pengelolaan hutan harus menjadi pegangan utama. Hal ini mencakup penghitungan dampak ekonomi sosial budaya dalam penerapan REDD+ di Indonesia. 4. Transparansi: transparansi akan memberikan pemahaman yang utuh kepada para pemangku kepentingan sehingga terdapat suatu keterlibatan yang didasari pada pemahaman yang utuh. Pada akhirnya penerapan REDD+ dapat menjadi akuntabel dan memenuhi aspek keadilan dalam konteks pengelolaan hutan. 5. Akuntabilitas: pelaksanaan REDD+ akan mampu untuk dipertanggungjawabkan secara utuh kepada seluruh masyarakat Indonesia maupun kepada masyarakat internasional, baik dari sisi pelaksanaan, pendanaan, maupun hasil yang diperoleh. Ruang lingkup Konsep pengurangan emisi dari deforestasi (Reducing Emission from Deforestation, RED) di negara berkembang yang diusulkan oleh Costa Rica dan Papua New Guinea pada COP11 di Montreal tahun 2005, memiliki tujuan yang serupa dengan upaya untuk menghindari deforestasi. Dua tahun kemudian, dalam COP 13 di Bali muncul konsep REDD yang memperhitungkan degradasi hutan sebagai sumber emisi yang kemudian menjadi pendorong terjadinya deforestasi. Selanjutnya menjelang COP 15 di Copenhagen muncul konsep REDD+ yang ikut memperhitungkan kegiatan konservasi hutan yang dapat memperbaiki jasa ekosistem, pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan simpanan karbon hutan. Proses global yang demikian cepat berubah memerlukan strategi yang tepat sehingga mekanisme REDD+ tetap menarik dalam konteks solusi pengurangan emisi gas rumah kaca. Perkembangan ini juga berimplikasi luas terhadap ruang lingkup atau cakupan sektor LULUCF dalam hal tipologi lahan yang akan dilibatkan.
12 Kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi yang adil dan setara dalam hubungan kerjasama antara perempuan dan laki‐laki.
27
Untuk mencapai berbagai tujuan REDD+ yang diuraikan di atas, program/proyek REDD+ di Indonesia akan mencakup seluruh komponen REDD+ yang terdiri dari: 1. Pengurangan deforestasi; 2. Pengurangan degradasi hutan; 3. Pemeliharaan simpanan karbon (carbon stock) melalui: a. kegiatan konservasi; b. pelaksanaan pengelolaan hutan lestari (sustainable management of forest); c. rehabilitasi/restorasi hutan; 4. Program/proyek REDD+ secara spesifik akan memuat upaya menghasilkan manfaat tambahan (co‐benefits) yang utama, yaitu: a. peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal; dan b. peningkatan kelestarian sumber keanekaragaman hayati, baik yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan kesejahteraan masyarakat. Dari sudut pandang sumber pendanaan, inisiatif REDD+ di Indonesia mencakup inisiatif yang dibiayai oleh semua sumber dana yang dapat dikategorikan sebagai berikut: 1.
Dana publik yang terdiri dari dana pemerintah pusat (APBN), dana pemerintah daerah (APBD), dana bantuan bilateral pemerintah negara sahabat, dana bantuan lembaga multilateral seperti UN/UNDP/UNEP, ILO, ADB, dan WB;
2.
Dana yang berasal dari luar sektor publik untuk investasi yang dilakukan organisasi non‐profit masyarakat sipil internasional yang bergerak dalam bidang konservasi hutan dan keanekaragaman hayati, dana yang berasal dari sektor korporasi dan lembaga keuangan komersial, dan dana yang berasal dari inisiatif kelompok masyarakat.
Dari segi output atau kinerja, inisiatif REDD+ mencakup seluruh output Verified Emissions Reduction/Certified Emmisions Reduction (VER/CER) yang dihasilkan dari program/proyek/kegiatan REDD+ yang mencakup: 1.
VER/CER yang ditujukan untuk kontribusi sukarela ke upaya mitigasi global;
2.
VER/CER yang ditujukan untuk pasar yang diatur dalam skema UNFCCC (compliance market); dan
3.
VER/CER yang ditujukan untuk pasar karbon sukarela (voluntary market).
Dengan fleksibilitas sumber pembiayaan dan fleksibilitas pasar pemanfaatan output/kinerja dari program/proyek/kegiatan REDD, Indonesia dapat mengoptimalkan pemanfaatan potensi VER/CER dari sektor LULUCF. Program/proyek/kegiatan dapat dibangun dan dimulai dengan sumber pembiayaan apapun dan dapat diputuskan pasarnya sesuai dengan perkembangan insentif yang tersedia di pasar karbon. Dengan fleksibilitas ini pula pemerintah dapat mencermati dan menyeimbangkan kesempatan dalam berkontribusi bagi mitigasi global yang dibiayai dengan APBN dengan kesempatan menciptakan pendapatan melalui kompensasi atas VER atau penjualan CER. Dari sudut pandang hukum, seperti yang telah ditetapkan dalam Undang‐undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan didefinisikan sebagai "suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan 28
berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan" (pasal 1(b)). Oleh karena itu dalam konteks ini hutan dipandang dari sisi satuan biofisik, bukan pada statusnya. Sedangkan dalam pasal 1(c) disebutkan bahwa kawasan hutan adalah "wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap". Dalam definisi ini, kehutanan dipandang sebagai kesatuan administratif. Dari kedua pemahaman tersebut, maka hutan dipahami sebagai satuan ekosistem dan juga sebagai kawasan (ruang) administratif, yang dilekatkan dengan status "kawasan hutan" melalui berbagai proses administrasi. Atas pemahaman hukum tersebut, penerapan REDD+ di Indonesia akan mencakup semua jenis hutan (baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan). Dengan kata lain, yang menjadi fokus dalam penerapan REDD+ di Indonesia adalah hutan dari sisi ekosistem, sehingga tidak terbatas pada batasan administrasi. Artinya, ruang lingkup REDD+ dalam konteks bentang alam dapat meliputi kawasan yang termasuk dalam kategori area penggunaan lain (APL), termasuk yang bergambut. Mengingat luasnya lahan gambut di Indonesia (hampir 22 juta ha) dengan beragam kedalaman, maka implementasi REDD+ perlu memberi prioritas yang tinggi pada ekosistem ini, khususnya yang berada dalam kawasan hutan. Dari studi Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA) laju deforestasi di hutan gambut terbesar dari tahun 2000‐2005 terjadi di area untuk penggunaan lain (APL) sebesar 36% diikuti oleh hutan produksi, HP (31%), Hutan Produksi untuk Konversi/HPK (15%), Hutan Lindung/HL (10%) dan Hutan Produksi Terbatas/HPT (8%) (IFCA 2008). Berdasarkan data yang ada saat ini, diperoleh kualitas biofisik tutupan hutan dan lahan gambut yang berada di tiap klasifikasi kawasan hutan dan APL (Gambar 3.2.), dimana ditemukan adanya kawasan hutan konservasi (HK) maupun hutan lindung (HL) yang sudah tidak memiliki tutupan hutan dan adanya wilayah dengan tutupan hutan primer di dalam kawasan APL. Data ini menjadi sangat penting dalam upaya konsolidasi tata ruang dan pemanfaatan lahan sebagai acuan bagi proses tata kelola kawasan yang lebih baik.
29
Jumlah (juta ha)
Tipe Lahan 19.7
29.9
60.5
20.3 Hutan Primer
12.7
22.2
Ada kawasan hutan konservasi dan lindung yang tak berpohon
1.8
2.9
2.4
0.4
4.7 2.6
1.0 4.2
1.8 0.5
5.4 1.2
17.1 Gambut di hutan primer Hutan Sekunder Gambut di hutan sekunder Gambut di non-hutan Non-hutan, non-gambut
22.3
0.9 1.1
12.9
55.1 3.6 0.5
187.4
8.0
7.4
2.8
36.6
6.4
12.4
4.6
64.2
12.1
2.3 2.1
34.0
55.1
6.7
0.5
Hutan Hutan Konservasi Lindung
Produksi
Konversi
Hutan Produksi
Kawasan Hutan
Area Penggunaan Lain (APL)
Sumber: Diolah dari peta tutupan hutan 2009 (Kemenhut, KLH), lahan gambut (Wetlands International, RePPProT)
Gambar 3.2. Kualitas tutupan hutan dan lahan gambut berdasarkan klasifikasi kawasan hutan dan area penggunaan lain Pada prinsipnya, perencanaan program dan target‐target REDD+ di Indonesia perlu memperhatikan seluruh klasifikasi penggunaan lahan hutan, lahan gambut dan APL dan kualitas vegetasi yang terdapat di atasnya. Informasi tentang distribusi luas lahan hutan dan APL menurut jenis lahan gambut dan non gambut yang dilengkapi dengan data tutupan vegetasi yang lebih detail, akan menjadi basis bagi perencanaan arah pemanfaatan lahan hutan dan APL di Indonesia untuk masa depan, termasuk untuk pengembangan program dan proyek REDD+. Dengan mencermati status kualitas tutupan hutan atau vegetasi di atas lahan hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi dan APL, maka dapat dijajaki peluang untuk melakukan reklasifikasi fungsi dan pertukaran peruntukan lahan, baik di dalam kawasan hutan sendiri antara berbagai fungsi/peruntukannya, maupun antara kawasan hutan dengan kawasan APL. Kawasan APL yang masih memiliki kualitas tutupan hutan yang baik, misalnya, dapat dipertukarkan dengan kawasan hutan alam yang dalam kondisi kritis. Target Emisi Jangka Menengah Sesuai dengan komitmen pemerintah dan potensi REDD+ yang ada, ditargetkan bahwa pada tahun 2020 emisi GRK sektor LULUCF akan turun minimum 26% di bawah emisi berdasarkan skenario BAU, atau turun setara dengan 680 Mega ton CO2e di bawah emisi BAU tahun 2020 yang diproyeksikan sebesar 2,95 Giga ton CO2e. Untuk investasi swasta yang berorientasi pada pasar karbon bebas, target dan capaiannya akan menyumbang bagi penurunan emisi LULUCF Indonesia di atas jumlah 30
tersebut. Penetapan target dan tonggak‐tonggak capaian jangka pendek antara 2014 sampai 2020 akan dirumuskan dalam rencana aksi dan program Badan REDD+ pada tingkat pusat dan daerah. Dengan visi, misi, tujuan, ruang lingkup dan target sebagaimana tersebut diatas, REDD+ dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari program pembangunan rendah karbon di Indonesia. REDD+ juga tidak hanya dipandang sebagai sebuah program jangka pendek. Lebih dari itu, REDD+ menjadi awal dari restrukturisasi dan revitalisasi sektor kehutanan Indonesia untuk keberlanjutan perannya dalam mendukung kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
3.2.2. Dampak dan Potensi REDD+ REDD+ sebagai suatu mekanisme yang baru akan memunculkan berbagai kemungkinan, baik potensi (positif) maupun dampak (negatif). Terlebih dengan berbagai tantangan atas pengelolaan hutan di Indonesia. Banyak harapan maupun kekhawatiran yang dirasakan berbagai pemangku kepentingan di sektor kehutanan. Namun demikian, REDD+ harus tetap dianggap sebagai momentum yang perlu untuk disikapi. Beberapa kekhawatiran yang berkembang mengenai REDD+, diantaranya adalah: 1. Menurunnya aspek produksi kehutanan, karena REDD+ berpotensi mengurangi jatah tebangan; 2. Masyarakat kehilangan aksesnya kepada hutan, karena REDD+ membatasi akses atas hutan (kegiatan konservasi); 3. Menurunnya pendapatan daerah dari industri sektor kehutanan (usaha berbasis kayu); 4. Terganggunya usaha di luar sektor kehutanan yang memiliki keterkaitan dengan kehutanan seperti pertambangan dan perkebunan (sawit); dan 5. Menurunnya investasi dari industri sektor kehutanan akibat penerapan REDD+; Berbagai tantangan dan kekhawatiran tersebut perlu diimbangi dengan pemahaman bahwa terdapat juga banyak peluang positif dalam pelaksanaan REDD+ dalam rangka pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang sesuai dengan prinsip keberlanjutan dan green economy. Peluang dari pelaksanaan REDD+ di Indonesia dapat berupa: 1. Momentum untuk melakukan pembenahan pengelolaan hutan secara lestari dan percepatan rehabilitasi/restorasi hutan; 2. Pembenahan tata ruang penggunaan hutan untuk berbagai kepentingan, termasuk keseimbangan penggunaan tangible dan intangible13 secara matang; 3. Pembenahan pendataan dan pengukuran serta berbagai instrumen untuk mendorong proses produksi kehutanan yang rendah karbon, baik kayu maupun non‐kayu , termasuk instrumen insentif untuk proses produksi yang rendah emisi karbon serta disinsentif untuk proses produksi yang beremisi tinggi; dan
13 Pemahaman terhadap pengertian tangible (materil) dan intangible (non materil), dapat dipahami sebagai nilai fungsi dari sumber daya alam (termasuk hutan) yang dapat dinilai dari sisi ekonomi (nilai jual). Terdapat beberapa bentuk potensi hutan yang bersifat intangible seperti jasa lingkungan, keanekaragaman hayati, penyerapan/penyimpanan karbon, sumber daya genetik dan kekayaan budaya. Adapun nilai hutan yang dikatakan tangible adalah produk hutan berbasis kayu dan berbagai produk ekstraktif lainnya.
31
4. Peningkatan kebijakan hukum di sektor kehutanan secara luas dan penegakan hukum yang lebih efektif. Sementara itu peluang untuk pembentukan green economy, selain penerapan proses produksi yang rendah emisi karbon dan lebih berkelanjutan, antara lain adalah: 1. Pengembangan mekanisme insentif dan disinsentif untuk mendorong pemanfaatan jasa lingkungan dari hutan. Selain jasa penyerapan dan penyimpanan karbon, jasa lingkungan dari hutan juga mencakup tata air, keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah, produksi oksigen, dan jasa ekowisata dari keindahan bentang alam. Seluruh jasa lingkungan tersebut hanya dapat terwujud apabila hutan alam lestari; 2. Pengembangan metode pengukuran dan penilaian (valuation) produk jasa lingkungan dari sektor kehutanan agar mekanisme insentif dan disinsentif dapat dilaksanakan secara obyektif, transparan dan berkeadilan gender; dan 3. Pengembangan produk teknologi ramah lingkungan yang dapat membuka peluang ekonomi baru, terutama untuk mengembangkan pemanfaatan sumber daya hutan secara maksimal dan berkelanjutan.
3.2.3. Rekonsiliasi dengan Program Lain Program nasional terkait dengan upaya‐upaya penanggulangan perubahan iklim dimulai dengan penyusunan dan penerbitan Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR). Dokumen ini merupakan pengejawantahan dari hasil‐hasil negosiasi di tingkat internasional melalui UNFCCC dan juga secara tidak langsung menerjemahkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional/ Daerah yang terkait perubahan iklim dan pengelolaan sumber daya alam. Secara umum, terkait upaya nasional dalam menjawab tantangan perubahan iklim, ICCSR diterjemahkan dalam Rencana Aksi Nasional penurunan emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK). Dokumen RAN GRK ini dimaksudkan untuk memberikan arahan langkah‐langkah konkrit untuk melaksanakan ICCSR. Khusus dalam konteks kehutanan, ICCSR diterjemahkan melalui penyusunan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN 2011‐2030). Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan perencanaan yang lebih konkrit dan terarah untuk sektor kehutanan (bukan hanya REDD+). RKTN juga mempertimbangkan berbagai program yang telah tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Khusus untuk kegiatan REDD+, RKTN kemudian mengartikulasikan berbagai kegiatan yang diperlukan untuk dapat mengimplementasikan REDD+ melalui Strategi Nasional REDD+ (Stranas REDD+). Secara bersamaan, Stranas REDD+ tidak dapat dipisahkan dengan RAN GRK karena juga merupakan pengejawantahan dari dokumen yang sama, yaitu ICCSR. Oleh karena itu, antara Stranas REDD+ dengan RAN GRK bersifat saling melengkapi. Cakupan Stranas masih bersifat umum terkait dengan implementasi REDD+ di Indonesia sehingga perlu untuk diperinci dalam tataran teknis kedalam dokumen Rencana Aksi Nasional REDD+ (RAN REDD+). Sebagai dokumen teknis, maka RAN REDD+ akan diadopsi ke dalam Rencana Kerja Pembangunan Nasional (RKPN). Hal ini diperlukan agar kebutuhan anggaran untuk implementasi REDD+ dapat terkonsolidasi dengan baik.
32
Pada tingkat daerah, hal yang serupa juga dilakukan. RAN GRK di terjemahkan melalui Rencana Aksi Daerah (RAD GRK), dimana keduanya masih bersifat umum terkait penanggulangan perubahan iklim di daerah. Sedangkan khusus untuk REDD+, RAD GRK akan menerjemahkannya ke dalam Rencana Aksi Daerah untuk REDD+ (RAD REDD+). Strategi Daerah (Strada) REDD+ tidak akan terlepas dari sisi substansi dari Stranas REDD+. Dengan demikian, apa yang direncanakan di tingkat nasional dapat terlaksana dengan baik di tingkat lapangan. Gambar 3.3. di bawah ini menjelaskan secara skematis keterkaitan antara berbagai program perencanaan dan REDD+ di tingkat pusat dan daerah.
Gambar 3.3. Skema Kaitan Strategi Nasional REDD+ dengan Program Nasional Lainnya Idealnya, setiap proses perencanaan strategis akan berujung pada proses penganggaran (budgeting). Dalam hal ini, maka akan terdapat dua sumber pendanaan yang akan menjadi sumber dana bagi pelaksanaan rencana aksi (di tingkat nasional maupun daerah). Sumber tersebut adalah APBN atau APBD dan sumber dana lain yang bersifat kontributif14. Mekanisme ini akan sangat sesuai dengan penerapan program REDD+ yang akan diimplementasikan di Indonesia pada tataran persiapan (readiness) hingga transisi. Dengan ini pelaksanaan REDD+ di Indonesia akan sarat dengan semangat kepemilikan nasional (national ownership). Secara konkrit, implementasi strategi nasional perlu diselaraskan dengan program‐program pembangunan yang sedang berjalan dalam hal pengembangan kebijakan, aktivitas‐aktivitas uji coba yang telah berjalan (demonstration activities) dan pengembangan sistem MRV, yang juga memasukkan indikator gender yang dapat mengukur manfaat dari kegiatan REDD+ ini. Selain itu,
14 Sumber pendanaan yang bersifat kontributif untuk tahap persiapan REDD+ didapatkan dari berbagai hibah FCPF, DFID, GIZ, NORAD, Netherland, AUSAID, USAID dan sumber pendanaan lain seperti kewajiban CSR dan pengembangan trust fund.
33
perlu dilakukan pengembangan mekanisme pengawasan berbasis partisipasi masyarakat, misalnya dalam bentuk suatu forum komunikasi. Dalam implementasinya, rekonsiliasi dengan program‐ program yang sudah berjalan juga perlu mendapat dukungan dari semua pihak yang melaksanakan pembangunan, termasuk lembaga internasional (donor), instansi pemerintah (nasional maupun daerah), dan masyarakat luas (termasuk LSM). Terkait dengan pengembangan mekanisme pendanaan terhadap jasa penyerapan dan penyimpanan karbon dari REDD+ di masa mendatang, maka diperlukan suatu persiapan yang matang untuk memberikan kejelasan mengenai mekanisme yang akan diterapkan oleh Indonesia terkait dengan perkembangan REDD+.15 Di tingkat pusat, Badan REDD+ dan Dana Kemitraan REDD+ (lihat bab 4) akan melakukan koordinasi dengan Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF ) untuk menghasilkan sinergi antara kegiatan penurunan emisi yang didukung oleh ketiga lembaga tersebut.
3.2.4. REDD+, Keanekaragaman Hayati dan Adaptasi Perubahan Iklim UNFCCC telah menyatakan bahwa program REDD+ hendaknya diimplementasikan supaya manfaat tambahan (co‐benefit) untuk keanekaragaman hayati dapat terwujud, selain untuk menurunkan emisi yang bisa diverifikasi. Konvensi Perserikatan Bangsa‐Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati (United Nations Framework Convention on Biological Diversity/UNCBD) melalui Aichi Biodiversity Target 2011‐2020 yang diadopsi oleh COP 16 pada tahun 2010, antara lain bertujuan untuk meningkatkan kontribusi keanekaragaman hayati untuk meningkatkan simpanan karbon melalui konservasi dan restorasi, termasuk restorasi minimum 15% dari ekosistem terdegradasi, sehingga terjadi peningkatan kontribusi terhadap mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Pada COP 16 di Cancun, pertimbangan untuk menjaga keanekaragaman hayati telah menjadi salah satu poin dalam lampiran terkait dengan kerangka pengaman (safeguards). Namun mekanisme untuk mencapai co‐benefit belum diartikulasikan dengan baik dalam kesepakatan UNFCCC. Pada skala global, simpanan karbon hutan dan keanekaragaman hayati berkorelasi positif (Strassburg et al. 2010). Namun demikian, pada skala sub‐nasional dimana REDD+ akan diimplementasikan, korelasi ini tidak selalu terpenuhi. Beberapa risiko yang bisa ditimbulkan adalah: 1.
Program REDD+ cenderung diterapkan pada ekosistem dengan simpanan karbon tinggi, walaupun banyak terdapat ekosistem dengan simpanan karbon rendah yang juga mendukung tingkat keanekaragaman hayati yang sama atau bahkan lebih tinggi (Miles dan Kapos 2008; Stickler et al. 2009; ATBC dan STE 2009);16
15 Kemungkinan akan kebutuhan pendekatan pasar dalam pelaksanaan REDD+ tidak dapat dihindari, jika memang pada akhirnya diperlukan, sehingga kesiapannya perlu untuk dipertimbangkan. Dalam konteks ini, persiapan pasar karbon di Indonesia bisa mempertimbangkan Partnership for Market Readiness (PMR) untuk mengantisipasi dukungan awal dari fasilitas pendanaan pembelian kredit karbon. 16 Sebagai contoh, hutan gambut dengan kerapatan karbon tinggi lebih menarik sebagai proyek REDD dibandingkan hutan dataran rendah dengan keanekaragaman hayati tinggi pada tanah mineral (Paoli dkk., 2010). Selain itu lahan agroforestri yang ramah terhadap margasatwa (Wildlife Friendly Farming) akan mengalami tekanan untuk berubah menjadi lahan pertanian intensif karena berkurangnya area disebabkan oleh implementasi REDD+ (Ghazoul et al, 2010).
34
2.
3.
Untuk meningkatkan simpanan dan serapan karbon, program REDD+ akan mengarah pada peningkatan penanaman spesies monokultur yang cepat tumbuh di areal dengan simpanan karbon yang relatif rendah yang kemungkinan memiliki tingkat keanekaragaman hayati tinggi. Konsekuensinya adalah tingkat keanekaragaman hayati justru turun meskipun simpanan karbon meningkat17 ; dan Pendekatan REDD+ yang hanya menekankan pada penurunan emisi dan peningkatan simpanan tidak mempertimbangkan fungsi ekologis, antara lain tingkat konektivitas antar sumber keanekaragaman hayati.18
Observasi ini sangat merekomendasikan perlunya mekanisme pengaturan untuk menjamin bahwa REDD+ menghasilkan co‐benefit keanekaragaman hayati yang nyata di Indonesia. Selain itu, usaha untuk membangun strategi konservasi keanekaragaman hayati yang bisa diimplementasikan harus diprioritaskan. Indonesia telah memiliki beberapa dokumen terkait konservasi sumber daya alam hayati. Tahun 1993 Indonesia mengeluarkan Biodiversity Action Plan for Indonesia (BAPI). Selanjutnya BAPI diperbaiki dan diganti oleh Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) pada tahun 2003 yang dilakukan dengan proses yang lebih terbuka dan inklusif. Terdapat sejumlah pelajaran penting yang perlu diambil dari penerapan BAPI maupun IBSAP. Kedua dokumen tersebut, tidak memiliki dasar hukum yang kuat sehingga tidak dapat menjadi acuan dalam penyusunan kebijakan maupun rencana aksi pembangunan. Selain itu kedua dokumen tersebut juga tidak memiliki keterukuran pencapaian sehingga pelaksanaannya tidak bisa terlihat secara nyata. Dengan uraian di atas, terdapat dua langkah yang akan dilakukan untuk membawa masuk keanekaragaman hayati dalam strategi REDD+ untuk Indonesia. Pertama, Indonesia akan menetapkan target terukur untuk konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia pada tingkat tapak (site) kegiatan REDD+, sub‐nasional dan nasional, dalam berkontribusi untuk mencapai Aichi Biodiversity Target serta akan merumuskan Stranas dan RAN untuk keanekaragaman hayati yang bersinergi dengan Stranas REDD+ dan RAN GRK. Kedua, Indonesia akan membangun mekanisme yang efektif dan fleksibel dalam mensinergikan implementasi REDD+ pada tingkat proyek maupun program di suatu area yang spesifik untuk mencapai target nasional keanekaragaman hayati maupun penurunan emisi GRK. Dalam konteks adaptasi, keberadaan kelompok rentan terkena dampak (seperti masyarakat di dalam dan sekitar hutan, anak‐anak, perempuan, lansia, dan masyarakat yang tinggal di sekitar pesisir laut) penting untuk menjadi pertimbangan. Upaya REDD+ sebagai bagian dari mitigasi tidak mungkin dilepaskan dari keperluan untuk melakukan adaptasi terhadap kelompok rentan tersebut.
17 Penggunaan hutan yang mengakibatkan penurunan stok karbon 40% berasosiasi dengan pengurangan tingkat keanekaragaman kurang dari 20% (Murdiyarso et al. 2002). Hutan yang sudah mengalami tebang pilih, dan seringkali diidentifikasi sebagai hutan terdegradasi, masih memiliki nilai keanekaragaman hayati dan fungsi ekologis tinggi (Edwards et al. 2010), sehingga dengan mengkonversikan menjadi HTI akan menyebabkan kehilangan habitat dan fungsi ekologi yang berdampak negative terhadap tingkat keanekaragaman hayati 18 Sebagai contoh, pada lanskap multifungsi, hutan sekunder dan agroforestri dengan pengelolaan yang tidak intensif, bisa berfungsi sebagai koridor penghubung antar sink dari keanekaragaman hayati; dengan dialih‐fungsikannya lahan‐ lahan ini untuk meningkatkan produktivitas silvikultur maupun pertanian/perkebunan, maka tingkat keanekaragaman hayati pada skala lanskap akan berkurang.
35
Peningkatan kualitas keanekaragaman hayati sebagai penerima manfaat tambahan dari REDD+, akan memberikan pengaruh besar terhadap dampak perubahan iklim yang berpotensi menimpa kelompok rentan tersebut. Aspek finansial yang akan menjadi bagian dari REDD+ juga dapat memberikan kontribusi kepada upaya adaptasi yang akan dilakukan, khususnya adaptasi berdasarkan ekosistem yang juga cenderung memiliki efek mitigasi. Dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi, salah satunya melalui penerapan REDD+, maka diperlukan strategi untuk dapat melaksanakan dan mencapai tujuan REDD+ di Indonesia secara efektif, efisien dan berkeadilan. Bab selanjutnya akan menjelaskan mengenai beberapa kegiatan strategis yang akan menjadi landasan penerapan REDD+ di Indonesia.
36
BAB 4 STRATEGI NASIONAL REDD+
4.1 Kerangka Strategi Kerangka Strategi REDD+ perlu mengaitkan antara kelembagaan dan program yang didukung oleh faktor‐faktor yang memungkinkan keberhasilannya (enabling conditions), termasuk kerangka hukum/peraturan dan tata kelola kegiatannya. Sistem kelembagaan dan pendanaan dalam tataran nasional akan mengalami evolusi sesuai dengan pemahaman dan kesiapan para pemangku kepentingan. Dalam fase persiapan (readiness), kerangka strategi REDD telah berkembang dengan dukungan dana publik, baik yang tersedia secara global maupun nasional. Selanjutnya dana swasta akan berangsur‐ angsur menggeser peran dana publik pada fase transisi sebelum mekanisme REDD+ dilaksanakan dengan berbasis kinerja. Agar tujuan pengurangan emisi GRK dan tujuan lainnya melalui skema REDD+ dapat dicapai secara efektif, implementasi kegiatan harus dilaksanakan secara lintas‐sektoral dan multi‐pihak dengan pendekatan bertahap atau phased approach (Angelsen et al. 2008). Hal ini harus ditempuh mengingat emisi GRK dari kegiatan yang berbasis lahan merupakan akumulasi dari kebijakan berbagai sektor sehingga masalah yang kompleks ini dapat ditangani secara menyeluruh. Oleh karena itu, skema Strategi Nasional REDD+ memerlukan pendekatan multi‐dimensi seperti yang digambarkan dalam Gambar 4.1. Kerangka strategi REDD+ dibangun untuk mencapai tujuan jangka panjang yang sudah diuraikan dalam Bab 3 dan dapat diringkas dalam empat kategori berikut: (i) menurunkan emisi GRK yang berasal dari sektor LULUCF; (ii) meningkatkan simpanan karbon; (iii) memastikan kelestarian keanekaragaman hayati; dan (iv) meningkatkan nilai dan keberlanjutan fungsi ekonomi hutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, kerangka strategi REDD+ membangun konsep kelembagaan dengan mempertimbangkan banyaknya lembaga dan pihak yang terkait. Untuk dapat beroperasi secara efektif dan efisien, kelembagaan REDD+ perlu memiliki kewenangan khusus di luar fungsi koordinasi. Kewenangan khusus yang dimaksud adalah kewenangan yang dapat meningkatkan sinergi lintas‐sektoral dan lintas‐wilayah, namun tetap memperhatikan kewenangan desentralisasi. Kekhususan wewenang ini sangat diperlukan agar koordinasi dan mobilisasi sumberdaya yang tersedia dapat dilakukan secara optimum dengan tata kelola yang efisien, transparan dan akuntabel. Kelembagaan REDD+ juga akan memastikan terjadinya keadilan, termasuk kesetaraan gender, atas hak dan tanggungjawab berbagai pihak yang timbul dari penerapan kebijakan dan tata cara pengelolaan lahan. Oleh karena itu lembaga ini akan diperlengkapi dengan sistem MRV yang baik, disertai dengan instrumen pendanaan yang transparan.
37
Kerangka strategi REDD+ juga mempertimbangkan perangkat hukum sebagai pilar penting agar secara maksimum dapat dimanfaatkan untuk mengurangi emisi berbasis lahan, serta memperbaiki tata kelola hutan dan lahan gambut agar tetap membawa manfaat ekonomis secara berkelanjutan. Namun disadari pula bahwa adanya peraturan yang tumpang‐tindih dan berpotensi menghambat perlu diselesaikan pada saat kegiatan REDD+ diimplementasikan, khususnya yang terkait dengan tata ruang dan hak atas lahan. 1
2 Kelembagaan dan proses
Kerangka hukum dan peraturan
▪ Badan Khusus REDD+ ▪ Instrumen dan Lembaga Pendanaan ▪ Sistem dan Lembaga MRV o Pemantauan o Pelaporan o Verifikasi
Meninjau hak-hak atas lahan dan mempercepat perencanaan tata ruang Meningkatkan penegakan hukum dan mencegah korupsi Menangguhkan ijin baru untuk hutan dan lahan gambut selama 2 tahun Memperbaiki data tutupan dan perijinan di hutan dan lahan gambut Penyelarasan sistem insentif
3 a
Programprogram strategis
b
c
4 Perubahan paradigma & budaya kerja 5
Pengelolaan lansekap yang berkelanjutan
Perenc. dan pengel. lansekap/ ekoregion/DAS multif ungsi Perluasan alternatif lapangan kerja secara berkelanjutan Akselerasi pembentukan organisasi dan operasional KPH Pengendalian & pencegahan kebakaran hutan & lahan
Sistem ekonomi pemanfaatan SDA secara lestari
▪ ▪ ▪ ▪
Memacu praktek pengelolaan hutan secara lestari Meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan Mewujudkan praktek pertambangan ramah lingkungan Mempromosikan industri hiilir dengan nilai tambah tinggi
Konservasi dan rehabilitasi
▪ Memantapkan fungsi kawasan lindung ▪ Mengendalikan konversi hutan dan lahan gambut ▪ Restorasi hutan dan rehabilitasi gambut
Penguatan tata kelola sektor kehutanan Pemberdayaan ekonomi lokal dengan prinsip berkelanjutan Kampanye nasional untuk aksi “Penyelamatan Hutan Indonesia” Melakukan interaksi dengan berbagai kelompok (pemerintah regional, sektor swasta,
Pelibatan para pihak
organisasi non pemerintah, masyarakat adat /lokal dan internasional)
Mengembangkan sistem pengaman (safeguards) sosial dan lingkungan Mengusahakan pembagian manfaat (benefit sharing) secara adil
Reduksi emisi
Simpanan karbon hutan meningkat
Keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan terpelihara
Pertumbuhan ekonomi 0
Gambar 4.1. Kerangka strategi REDD+ dengan lima pilar utama untuk mencapai tujuan yang lebih dari penurunan emisi semata Program‐program strategis yang akan dijalankan dalam kerangka REDD+ sangat terkait dengan sektor‐sektor dan para pihak yang beraktivitas dengan basis sumber daya hutan dan lahan, baik secara teknis (konservasi, usaha, rehabilitasi), maupun non teknis (perizinan, sosial dan ekonomi/keuangan). Disadari pula bahwa implementasi REDD+ juga dapat menimbulkan dampak yang terkait dengan lapangan kerja. Oleh karena itu pengembangan alternatif mata pencaharian dan sumber pendapatan masyarakat akan menjadi program strategis dalam implementasi REDD+. Peningkatan kepedulian masyarakat secara luas, pengembangan sikap hidup yang pro kelestarian lingkungan dan keberlanjutan sumber daya alam, serta penciptaan budaya kerja inklusif diartikan sebagai paradigma baru yang mendukung efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program‐program strategis. Oleh karena itu tidak hanya lembaga REDD+ saja yang harus memiliki staf yang handal dan mampu melaksanakan kekhususan wewenang di atas; mitra kerja di setiap sektor dan daerah juga perlu memiliki paradigma yang sama. Selain kemampuan teknis yang tinggi, mereka yang akan terlibat dalam implementasi REDD+ juga diperlengkapi dengan kemampuan bernegosiasi dengan berbagai kalangan di dalam maupun di luar negeri. Budaya yang peka terhadap kesenjangan gender,
38
terbuka terhadap pendapat pihak lain (inklusif dan kolaboratif), adaptif, dan transparan sangat diperlukan bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi program strategis. Pelibatan para pemangku kepentingan akan memastikan bahwa kegiatan REDD+ bersifat lintas sektoral, terjadi kerjasama pusat‐daerah, pemerintah‐masyarakat sipil baik dalam hal memperoleh hak maupun dalam menjalankan tanggung jawab. Pengembangan kelembagaan REDD+ dan proses pelembagaannya akan berlangsung secara bertahap sejak dibentuknya lembaga tersebut di tahun 2011. Proses pengembangannya akan berlangsung hingga tahun 2013 saat kelembagaan ini benar‐benar dapat beroperasi secara penuh dan membuktikan adanya pengurangan emisi yang diverifikasi oleh pihak independen. Proses penegakan hukum, penyelarasan peraturan yang menunjang tata ruang dan tata kelola hutan dan lahan gambut akan beriringan dengan proses pelembagaan REDD+ melalui kegiatan uji coba dan pengembangan REDD+ di provinsi percontohan. Pada saat yang bersamaan program‐program strategis yang mengarah ke pengelolaan lanskap secara berkelanjutan untuk kegiatan konservasi dan rehabilitasi juga berlangsung dalam koridor yang mengarah pada pembangunan ekonomi berkelanjutan. Pelibatan semua pihak sangat penting untuk meningkatkan kepemilikan (ownership) pihak‐pihak yang terkait.
4.2. Membangun Kelembagaan REDD+ Sistem kelembagaan REDD+ perlu dirancang dengan mengutamakan azas‐azas: (i) tata kelola yang baik (good governance); (ii) inklusif dengan memastikan partisipasi dari para pemangku kepentingan untuk efektivitas pencapaian pengurangan emisi; (iii) efisiensi biaya untuk mencapai tujuan (cost effectiveness ); dan (iv) akuntabilitas dari pelaksanaan seluruh urusan terkait REDD+ di Indonesia. Secara khusus, di samping keempat azas umum di atas, seluruh komponen dalam sistem kelembagaan REDD+ Indonesia akan dikembangkan dengan memastikan terpenuhinya prinsip‐ prinsip berikut: 1. Menghormati kedaulatan negara, hak konstitusional kelembagaan dan hak otonomi daerah yang dijamin dalam hukum perundang‐undangan yang berlaku: 2. Menentukan koridor kewenangan, aksi dan komunikasi secara jelas bagi setiap lembaga yang dibangun untuk dapat menjalankan fungsinya secara effektif tanpa mengambil alih atau mengecilkan fungsi lembaga lain; 3. Melibatkan semua pihak yang relevan dalam pengambilan keputusan terkait rancang‐bangun kelembagaan. Kerangka umum sistem kelembagaan REDD+ terdiri dari empat jenjang sebagai berikut: 1. Tata Kelola Tingkat Internasional Komponen Tata Kelola Tingkat Internasional (global governance level) diperlukan karena upaya penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia terkait erat dengan upaya global penurunan emisi GRK. Tingkat tata kelola ini diperlukan untuk: 39
a. Menampung aspirasi negara dan lembaga internasional yang menyalurkan dana untuk mendukung upaya REDD+ di Indonesia; b. Menyediakan mekanisme untuk memantau kredibilitas upaya‐upaya yang dilakukan Indonesia di mata dunia; dan c. Meningkatkan akses Indonesia terhadap sumber‐sumber pendanaan global untuk mendukung upaya penurunan emisi GRK. Penyelenggaraan tata kelola pada tingkat internasional ini dilakukan melalui mekanisme Kelompok Konsultasi Bersama (Joint Consultative Group/JCG). Presiden Republik Indonesia, Kepala Negara‐negara donor, dan perwakilan tingkat tinggi lembaga‐lembaga keuangan internasional bersama‐sama duduk di dalam JCG. Selain memberikan arahan umum tentang pelaksanaan REDD+ di Indonesia, JCG akan membentuk Kelompok Penilai Independen (Independent Review Group), yang beranggotakan individu‐individu yang bertanggung jawab melakukan penilaian kinerja lembaga tata kelola REDD+ tingkat nasional secara berkala dan melaporkan hasilnya kepada JCG. 2. Tata Kelola Tingkat Nasional Pada tingkat nasional akan dibentuk tiga lembaga, yaitu: a. Badan Tata Kelola REDD+ (REDD+ Governing Agency) yang disingkat dengan sebutan Badan REDD+ (REDD+ Agency), yang berfungsi sebagai governing body yang memayungi seluruh kegiatan REDD+ di Indonesia; b. Lembaga pendanaan REDD+ yang disebut Dana Kemitraan REDD+ Indonesia (Indonesian REDD+ Partnership Fund); dan c. Lembaga kordinasi pemantauan, pelaporan dan verifikasi yang disebut Lembaga MRV REDD+ Indonesia. 3. Tata Kelola Tingkat Sub Nasional Pemerintah di tingkat sub nasional yang memiliki program REDD+ yang signifikan dapat membentuk Badan REDD+ yang berfungsi untuk mengelola perencanaan dan mengkoordinasikan implementasi seluruh kegiatan terkait upaya REDD+ di wilayahnya. Dengan mengacu pada ketentuan Badan REDD+ di tingkat nasional, Badan REDD+ di tingkat sub nasional dapat mengkoordinasikan kegiatan yang terkait dengan persetujuan program/proyek, penyelenggaraan MRV dan memastikan efektifitas pendanaan REDD+. 4. Lembaga Pelaksana Program/Proyek/Kegiatan Lembaga pelaksana program/proyek/kegiatan REDD+ adalah lembaga yang setelah memenuhi aturan dan syarat tertentu, menjalankan dan mendaftarkan program/proyek/kegiatan REDD+ yang dijalankannya kepada Badan REDD+ Sub Nasional dan Badan REDD+ Nasional. Lembaga pelaksana program/proyek/kegiatan REDD+ dapat berupa badan usaha, organisasi masyarakat sipil, lembaga pemerintah daerah, dan kelompok masyarakat. Persyaratan pendaftaran program proyek/kegiatan dan lembaga pelaksananya akan dikembangkan di daerah dengan prinsip‐prinsip yang ditentukan oleh Badan REDD+ Nasional dan sejalan dengan aturan‐aturan dan kearifan di daerah. 40
4.2.1. Badan REDD+ Lembaga dengan sebutan Badan Tata Kelola REDD+ Indonesia (Indonesian REDD+ Governing Agency) yang disingkat sebagai Badan REDD+ (REDD+ Agency) akan dibentuk dengan tujuan: 1. Memayungi seluruh kegiatan REDD+ di Indonesia sebagai national governing dan coordinating body; 2. Menjadi katalis untuk mendorong percepatan perbaikan sistem tata kelola hutan, lahan gambut dan APL yang memungkinkan penurunan deforestasi dan degradasi hutan dalam upaya penurunan emisi GRK; 3. Memastikan pelayanan pembiayaan yang efektif dan distribusi manfaat yang adil bagi pihak‐ pihak yang menjalankan program/proyek/kegiatan REDD+ dengan pemenuhan persyaratan‐ integritas sistem pelaksanaan REDD+ (audit dan safeguards). Badan REDD+ perlu didirikan dengan instrumen hukum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐ Undang (PERPU ) dan berstatus Komisi Nasional atau sekurang‐kurangnya Unit Kerja Presiden. Mandat Badan REDD+ Badan REDD+ dibangun untuk memayungi upaya‐upaya mewujudkan tujuan/kepentingan nasional yang baru dan yang memerlukan sinergi lintas sektoral dan sinergi dalam hubungan kerja pusat‐ daerah. Diperlukan katalis dalam proses perbaikan tata kelola hutan, lahan gambut dan APL untuk memastikan efektifitas upaya penurunan deforestasi dan degradasi hutan agar target emisi yang menjadi komitmen nasional dapat dicapai. Oleh karena itulah mandat Badan REDD+ dikembangkan dalam format kordinasi tematik yang berorientasi pada pengefektifan fungsi‐fungsi koordinasi dan operasional yang sudah ada di Kementerian/Lembaga‐lembaga terkait atau sudah didesentralisasikan ke daerah, dan tidak ditujukan untuk mengambil alih pelaksanaan fungsi‐fungsi tersebut dari Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah. Mandat pelaksanaan bagi Badan REDD+ hanya diberikan terbatas untuk fungsi‐fungsi strategis yang baru dan memiliki dimensi lintas sektoral, namun pelaksanaannya diarahkan untuk dapat dilakukan secara terdesentralisasi. Untuk dapat mencapai tujuannya dengan efektif, Badan REDD+ memiliki mandat untuk: 1.
Menjalankan fungsi‐fungsi strategis terkait dengan pelaksanaan program REDD+ yang selama ini belum ada, yaitu: a. Menetapkan strategi, kebijakan dan program REDD+ Nasional. Badan REDD+ akan secara periodik melakukan kajian atas strategi, kebijakan dan program‐program terkait dengan REDD+; b. Membangun dan melakukan tata kelola sistem integrasi data dan peta, persetujuan dan registry untuk program/proyek REDD+ dan Verified Emission Reduction/Certified Emission Reduction (VER/CER), dan validasi informasi dari sistem MRV. Badan REDD+ akan mengembangkan protokol‐protokol yang diperlukan untuk konsolidasi data dan peta yang merupakan pra‐kondisi bagi implementasi program REDD+ yang kredibel, proses persetujuan dan registrasi proyek REDD+, serta pendaftaran VER/CER;
41
c. Memfasilitasi pembentukan lembaga dan sistem pelaksanaan MRV. Kepala Badan REDD+ akan duduk juga secara ex‐officio sebagai bagian dari steering board lembaga MRV yang dibentuk dan mengembangkan mekanisme validasi hasil‐hasil verifikasi yang akan dilakukan oleh pihak/lembaga independen yang memiliki kualifikasi untuk melakukan verifikasi. Sistem MRV Indonesia juga akan mengadopsi ukuran‐ukuran yang mencerminkan implementasi fiduciary (keuangan), serta pengaman social dan lingkungan (social and environmental safeguards) yang berperspektif gender. Khusus untuk environmental safeguard dan untuk keperluan membuat dasar penilaian bagi program manfaat tambahan (co‐benefit) dari REDD+, sistem MRV akan memuat indikator terkait dengan keanekaragaman hayati; d. Membangun lembaga dan sistem pengelolaan pendanaan REDD+ yang disebut “Dana Kemitraan REDD+ Indonesia”. Kepala Badan REDD+ akan duduk secara ex‐officio sebagai anggota steering board dari Dana Kemitraan REDD+ Indonesia. Steering board berfungsi menetapkan seluruh komponen sistem tata kelola pendanaan REDD+, dan memastikan bahwa pelaksanaan sistem integritas, melalui audit dan safeguards, dari program/proyek REDD+ dijalankan dengan benar; e. Membangun dan mengkoordinasikan pelaksanaan sistem integritas (safeguard dan audit) untuk bidang keuangan, sosial dan lingkungan hidup untuk pelaksanaan program/proyek REDD+. Jika diperlukan, Badan REDD+ dapat membentuk”Safeguard Steering Group” yang berada di luar Badan REDD+ dan secara independen memonitor pelaksanaan safeguard untuk program dan proyek REDD+. Safeguard Steering Group terdiri dari profesional yang relevan dan beberapa perwakilan para pihak, termasuk lembaga donor, masyarakat sipil, dan Badan REDD+. Sistem safeguard bagi REDD+ Indonesia akan dirancang dengan tujuan mengantisipasi risiko‐risiko yang terkait dengan pengelolaan aspek‐aspek fiduciary, serta dampak sosial dan lingkungan hidup dari kegiatan REDD+ yang dilakukan, dan merumuskan langkah‐langkah penanganan risiko yang diantisipasi tersebut untuk kemudian dijalankan sesuai dengan pelaksanaan proyek dan dinilai secara berkala. Perumusan dan penetapan standar‐standar safeguard dan sistem audit yang dilakukan bersama dengan pihak donor, lembaga‐lembaga keuangan internasional dan para pihak yang relevan akan menghasilkan sistem yang dapat diterima secara internasional dan dapat diimplementasikan di lapangan; f. Membangun/memfasilitasi sistem pengembangan kapasitas profesional dan kelembagaan terkait REDD+ di pusat dan daerah; dan g. Membangun rencana aksi, target dan program REDD+ nasional, memperkirakan kebutuhan investasi dan menyiapkan rencana/skema pendanaan bersama Badan REDD+ tingkat sub nasional. 2. Mengefektifkan fungsi‐fungsi kordinasi tematik antar kementerian/lembaga pemerintah dan antara pusat dengan daerah, dan melakukan trouble shooting/de‐bottlenecking terkait pelaksanaan program REDD: a. Melakukan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan dan program antar lembaga/sektor pemerintah pusat, dan antar pusat dengan daerah, terutama tetapi tidak terbatas pada hal‐hal terkait dengan penataan ruang dan perizinan pemanfaatan lahan; b. Mengkoordinasikan penegakan hukum untuk menangani kejahatan dalam bidang kehutanan, terutama tetapi tidak terbatas pada hal‐hal yang mencakup pembalakan liar (illegal logging), 42
pemanfaatan lahan, dan penggunaan api dalam pembukaan lahan. Fungsi ini bisa dikatakan serupa dengan fungsi yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun fungsi kordinasi penegakan hukum dalam kelembagaan REDD+ lebih difokuskan pada isu kejahatan kehutanan; c. Mendukung dan mengkoordinasikan dukungan bagi pelaksanaan provinsi percontohan. Badan REDD+ mendukung pelaksanaan REDD+ di provinsi percontohan dalam bentuk memfasilitasi penyediaan dana, penyiapan beberapa pra‐kondisi untuk pelaksanaan REDD+, pengembangan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia di daerah, dan perangkat operasional penyelenggaraan urusan terkait REDD+. Dengan intensitas yang lebih rendah Badan REDD+ juga mendukung pelaksanaan program REDD+ di 8 (delapan) provinsi berhutan lain yang memiliki potensi besar dalam pelaksanaan program REDD+; d. Mengkoordinasikan pelaksanaan moratorium atau penundaan pemberian izin baru pemanfaatan lahan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak dikeluarkannya kebijakan pemerintah. Dalam masa jeda pemberian izin baru, Badan REDD+ akan mengkoordinasikan proses konsolidasi informasi dan peta izin‐izin pemanfaatan lahan, pemanfaatan atau rasionalisasi lahan‐lahan berizin yang ditelantarkan, penataan ulang proses perizinan pemanfaatan lahan, dan proses penyelesaian konflik penguasaan lahan dan tumpang tindih alokasi penggunaan lahan; e. Mengkoordinasikan upaya‐upaya penyelarasan sistem insentif (re‐alignment of incentive system) untuk memastikan sinergi antar kebijakan/program pemerintah/pemerintah daerah terkait implementasi REDD+. Badan REDD+ akan mengkoordinasikan proses peninjauan ulang (review) dan jika diperlukan, revisi berbagai mekanisme transfer fiskal dari pusat ke daerah yang sekarang berlaku (Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Khusus Kehutanan dan Perubahan Iklim). Tujuan dari penyelarasan ini adalah agar pada tahap implementasi penuh REDD+, terdapat struktur insentif finansial yang koheren dan konsisten antara transfer fiskal ke daerah dan pembayaran untuk proyek implementasi REDD+. Badan REDD+ akan menginisiasi pembuatan kebijakan insentif dan de‐bottlenecking faktor‐faktor yang menghambat pemberian dan efektivitas insentif bagi: 1) Pemerintah Daerah yang mendukung perluasan dan pengelolaan hutan lindung serta kawasan konservasi; 2) Pengusaha hutan yang mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan lestari (PHL), Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), dan sistem lainnya; dan 3) Pemerintah Daerah yang berkomitmen menjadikan wilayahnya sebagai kabupaten konservasi dengan kriteria‐kriteria tertentu. 3. Menjalankan komunikasi dan pelibatan para pemangku kepentingan yang efektif dengan para pemangku kepentingan di dalam dan luar negeri a. Membangun sistem dan menjalankan program komunikasi yang efektif dengan pemangku kepentingan di dalam negeri; b. Mengkordinasikan pengembangan kebijakan dan positioning Indonesia terkait REDD+ untuk menghadapi forum‐forum internasional dan strategi dalam menjalankan international affairs; dan c. Memastikan komunikasi yang sistematis dan efektif dengan lembaga REDD+ daerah untuk mendukung pelaksanaan REDD+ di lapangan. 43
Agar terdapat format kordinasi tematik terkait REDD+ yang efektif, Badan REDD+ akan membangun dan menjalankan pola komunikasi khusus dengan dan antar lembaga yang terkait dengan urusan pengelolaan dan pemanfaatan lahan hutan, lahan gambut dan APL. Koordinasi dan komunikasi secara khusus akan dilakukan oleh Badan REDD+ dengan, tetapi tidak terbatas pada: i. Kementerian Kehutanan ii. Kementerian Dalam Negeri iii. Kementerian Pertanian iv. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral v. Kementerian Pekerjaan Umum vi. Kementerian Lingkungan Hidup vii. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi viii. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ix. Kementerian Keuangan x. Kementerian Luar Negeri xi. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional xii. Badan Pertanahan Nasional xiii. Dewan Nasional Perubahan Iklim xiv. Kepolisian Negara Republik Indonesia xv. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian xvi. Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan xvii. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat xviii. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan anak. xix. Unit Kerja Presiden untuk Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan (UKP4) Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah berdirinya Badan REDD+, kewenangan dan hubungan kelembagaan Badan REDD+ dengan format koordinasi tematik sudah dikomunikasikan dengan Kementrian/Lembaga (K/L) terkait dan dicapai kesepahaman bersama lintas K/L dan antara pusat dengan daerah mengenai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dan pelaksanaan kewenangan Badan REDD+. Presiden selaku Kepala Pemerintahan bertanggung jawab langsung untuk memastikan kesepahaman tersebut, dan untuk memastikan peran dan mandat lembaga baru dapat diterima dan dijalankan secara efektif lintas K/L dan lintas kewilayahan pusat daerah. Dalam hubungan kerjanya dengan Badan REDD+ Provinsi, Badan REDD+ Nasional mengkordinasikan implementasi berbagai kewenangan yang akan dilimpahkan ke daerah sesuai dengan kesiapan kapasitasnya yang antara lain mencakup, tapi tidak terbatas pada, bidang‐bidang berikut: 1. Kordinasi perencanaan kegiatan dan pengembangan pembiayaan REDD+ di daerah yang melibatkan juga stakeholders dari tingkat kabupaten; 2. Kordinasi pengembangan kriteria dan mekanisme lokal untuk persetujuan dan pendaftaran program/proyek/kegiatan dan status lembaga pelaksananya; 3. Kordinasi penerimaan hasil M (monitoring) dan R (reporting) yang disiapkan oleh lembaga pelaksana REDD+ dan kegiatan V (verifikasi) yang akan dilakukan oleh penilai independen yang terakreditasi; 4. Kordinasi penyelenggaraan audit financial dan implementasi safeguards yang teringtegrasi dengan pelaksanaan MRV;
44
5. Kordinasi penyelenggaraan pembuatan dan konsolidasi data, peta dan informasi lain terkait pengelolaan dan pemanfaatan lahan di daerah; dan 6. Kordinasi penyelenggaraan kegiatan pengembangan kapasitas profesional dan kelembagaan di daerah terkait dengan implementasi REDD+. Tata Kelola Badan REDD+ Secara struktural Badan REDD+ bertanggung jawab kepada Presiden RI dan akan dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN sesuai dengan dasar hukum pembentukannya, dari Dana Kemitraan REDD+, dan sumber dana lain yang bersifat kontributif. Secara tata kelola, Badan REDD+ memiliki governing council atau Dewan Pembina. Untuk menjalankan mandat kegiatan sehari‐hari, Badan REDD+ memiliki executing agency atau Badan Pelaksana. Integritas kelembagaan Badan REDD+ secara internal akan diawasi oleh Dewan Pengawas. Dewan Pembina dapat membentuk Komisi Penasihat yang terdiri dari wakil‐wakil pemerintah dan individu‐individu yang secara profesional memberikan masukan‐masukan strategis kepada Dewan Pembina dan Badan Pelaksana. Komposisi keanggotaan Dewan Pembina Badan REDD+ terdiri dari Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintah non Kementerian yang relevan, Ketua UKP4 mewakili kantor kepresidenan, perwakilan organisasi masyarakat adat/lokal, perwakilan organisasi masyarakat sipil, perwakilan industri kehutanan, perwakilan industri pengguna lahan APL, dan perwakilan akademisi. Dewan Pengawas terdiri dari Perwakilan Pemerintah (Badan Pemeriksa Keuangan), perwakilan organisasi masyarakat sipil, perwakilan organisasi masyarakat adat/lokal dan perwakilan industri. Dewan Pengawas memastikan dipatuhinya kaidah‐kaidah good governance dan safeguards secara keseluruhan berdasarkan hasil pemeriksaan reguler atas administrasi keuangan, implementasi safeguard dan akuntabilitas program. Badan Pelaksana terdiri dari para profesional dengan kualifikasi tertentu dan dipimpin oleh seorang Kepala.
4.2.2. Lembaga dan Instrumen Pendanaan Lembaga keuangan atau instrumen pendanaan “Dana Kemitraan REDD+ Indonesia” (Indonesian REDD+ Partnership Fund) dan sistem implementasinya dibangun dengan tujuan memfasilitasi penyelenggaraan program REDD+ di Indonesia secara permanen melalui pelayanan pembiayaan dan penyaluran dana yang melingkupi seluruh sumber, baik publik maupun privat, dari dalam dan luar negeri dan menjangkau penerima manfaat REDD+ sampai ke tingkat masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Dana Kemitraan REDD+ akan mulai bekerja dengan mengelola dana bantuan yang berasal dari pemerintah Norwegia yang akan dikembangkan dengan usaha‐usaha penambahan dana dari berbagai sumber di atas. Pengembangan lembaga dan instrumen keuangan khusus ini diperlukan untuk: 1.
Mendukung pengembangan berbagai program/proyek REDD+ sesuai dengan potensi reduksi emisi Indonesia dari sektor kehutanan dan pengelolaan lahan gambut; 45
2.
3.
Menyediakan mekanisme penyaluran dana yang kredibel secara internasional bagi calon donor dan investor yang tertarik untuk mendorong dan/atau mendapatkan manfaat dari program/proyek REDD+; dan Mendorong efisiensi pemanfaatan dana dan keadilan distribusi manfaat dari pengembangan program/proyek REDD+.
Sistem pendanaan REDD+ akan dibangun secara fleksibel dengan memungkinkan penerimaan dana publik dan swasta dari dalam dan luar negeri, tipe dana yang beragam baik untuk input, investasi ataupun untuk pembayaran output/kinerja, penyaluran yang memiliki beberapa jenis penerima seperti pihak pengembang proyek, masyarakat, pemerintah daerah dan Badan REDD+. Dana akan digunakan untuk tujuan mengurangi deforestasi dan degradasi dalam rangka penurunan emisi dan penyerapan karbon, dan menciptakan manfaat tambahan (co‐benefit) seperti kelestarian keanekaragaman hayati. Lembaga dan instrumen pendanaan akan dibangun dengan mengemukakan prinsip‐prinsip transparansi, accountability, good governance, professionality, timely, dan peningkatan bertahap peran lembaga keuangan domestik. Agar pendanaan program/proyek REDD+ dapat berkembang dan berhasil mendorong pengembangan VER/CER dari sektor kehutanan dan lahan gambut, sistem pendanaan akan dikembangkan dengan: 1. Memastikan bahwa mekanisme pengelolaannya menarik bagi sumber‐sumber dana yang berpotensi untuk menyalurkannya ke Indonesia. Perspektif marketing ini perlu untuk menarik berbagai dana dari yang bersifat menyediakan input program/proyek (input funds), pembayaran untuk hasil (output/performance‐based payment), sampai yang bertujuan investasi (investment funds); 2. Membangun rasa kepemilikan pemangku kepentingan dalam negeri agar dapat memanfaatkan dan mengembangkan dana secara bertanggung jawab. Rasa kepemilikan ini akan dibangun dengan mengembangkan mekanisme distribusi yang efektif sampai ke tingkat masyarakat yang berhak menerimanya (robust distribution channel), dan meningkatkan kapasitas dan kepercayaan kepada lembaga keuangan dan lembaga penyalur hibah yang ada di Indonesia; 3. Memaksimumkan efektifitas pencairan dana yang akan bertumpu pada fleksibilitas dari mekanisme pendanaan tanpa mengorbankan prinsip‐prinsip fiduciary, social and environmental safeguards; dan 4. Memastikan adanya mekanisme monitoring dan evaluasi yang transparan dan dapat diandalkan. Mandat Lembaga Pendanaan Lembaga pendanaan akan bekerja di bawah arahan Badan REDD+. Untuk dapat menjalankan perannya sebagai lembaga pendanaan REDD+ yang kredibel, Dana Kemitraan REDD+ mengemban mandat sebagai berikut: 1. Mengelola dana REDD+ secara independen, professional dan kredibel di luar sistem keuangan pemerintah (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/APBN) berdasarkan standar safeguard dan akuntabilitas yang diterima secara global. Untuk dana pendukung REDD+ yang berasal dari pemerintah RI dan disalurkan melalui Dana Kemitraan REDD+, setelah dikeluarkan dari kas negara dana akan dikelola di luar sistem pelaksanaan APBN (off‐treasury). Untuk dana publik lainnya yang bersifat bantuan dari pemerintah negara sahabat kepada pemerintah RI (G to G), misalnya 46
dana dari pemerintah Norwegia, pengelolaannya akan bersifat on‐budget, off‐treasury atau dicatat dalam APBN sebagai ‘dana lewat’, tetapi diterima langsung dan dikelola oleh Dana Kemitraan REDD+ di luar sistem perbendaharaan negara19. 2. Memobilisasi dana dari berbagai sumber publik dan privat di dalam dan luar negeri melalui program fund raising secara sistematis, terprogram dan profesional. Pengembangan dana juga akan dilakukan oleh Pengelola Dana (Fund Manager) dari pemanfaatan berbagai instrumen pasar uang dan modal, serta menerbitkan instrumen investasi masyarakat jika situasinya mendukung untuk itu. Dengan kredibilitas yang tinggi, Dana Kemitraan REDD+ akan memiliki akses yang luas terhadap sumber‐sumber dana nasional dan global. 3. Menyalurkan/menyediakan dana untuk: a. Mendukung pelaksanaan kegiatan REDD+ yang terkait secara langsung dengan pengembangan tapak proyek REDD+; b. Membayar kinerja pelaksanaan proyek atas dasar verifikasi penurunan emisi yang sudah dilakukan; c. Membiayai investasi kegiatan penyiapan pra‐kondisi (misalnya penuntasan tata ruang, pelaksanaan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu/SVLK di tingkat provinsi) atau pembangunan infrastruktur (misalnya large scale canal blocking) yang secara langsung berkontribusi pada usaha penurunan emisi dan/atau pelaksanaan proyek REDD+; d. Membayar kinerja Pemerintah Daerah atas capaian/kinerja dalam menyiapkan kondisi pemungkin (enabling condition) bagi tercapainya hasil dari upaya penurunan emisi di wilayah cakupan baik untuk kegiatan strategis maupun pembuatan kebijakan pendukung. Pembayaran ini dapat juga diberikan sebagai insentif atas terpenuhinya suatu tingkat kepatuhan tertentu terhadap kebijakan pusat, misalnya tercapainya pengesahan RTRW oleh parlemen; e. Mendukung kegiatan Badan REDD+ dalam menjalankan kegiatan administrasi sebagai REDD+ national governing body dan melaksanakan fungsi‐fungsi yang dimandatkan; f. Mendukung implementasi Strategi Nasional REDD+; g. Mewakili pemangku kepentingan dalam proses konsultasi terkait dengan tata kelola dari mekanisme pendanaan; h. Mendukung program/kegiatan pengembangan kapasitas SDM dan kelembagaan yang secara langsung mendukung kegiatan REDD+; dan i. Mengelola dana yang bersifat sebagai pendamping (matching fund) atas komitmen investasi REDD+ yang dilakukan pemerintah daerah atau investor swasta. 4. Memastikan adanya protokol fiduciary safeguards dan implementasinya pada tahap sebelum program/proyek REDD+ disetujui dan pemenuhan implementasi safeguards pada saat penilaian program/proyek sebelum menerima pencairan dana. 5. Menyelaraskan aturan‐aturan pelaksanaan pendanaan dan pembayaran terkait dengan pengembangan aturan‐aturan penyelenggaraan pasar karbon yang diharapkan muncul ketika Indonesia siap memasuki tahap implementasi penuh dari Strategi Nasional REDD+. Implementasi dari mandat Dana Kemitraan REDD+ di atas dalam melakukan pengembangan dana, pengelolaan dana, dan pencairan dana untuk pembayaran dapat digambarkan dalam skema berikut
19 Pendekatan ini tetap memberi peluang bagi pemerintah pusat untuk secara langsung menyalurkan dana pendukung REDD+ melalui APBN kepada pemerintah daerah yang menerima dan menggunakannya melalui mekanisme APBD.
47
(gambar 4.2). Skema ini mencerminkan sistem pengelolaan dana dari banyak sumber (multi‐ sources), dengan beberapa tujuan (multiple outlets/windows), dengan banyak tipe penerima (multi‐ recipients; swasta, masyarakat, pemerintah daerah) dan banyak manfaat (multi‐purpose; untuk input, untuk output/investasi, dan untuk keberhasilan membuat kebijakan atau inisiatif strategis), yang semuanya untuk mencapai tujuan REDD+.
2
3 1
1
Transfer fiskal dari APBN ke Pemda (APBD) dalam bentuk Bagi Hasil, DAU, DAK = insentif dalam pengelolaan hutan dan pemanfaatan lahan
2
APBN dapat menyumbang/ mendanai Dana Kemitraan REDD+
3
Dana Kemitraan REDD+ dapat memberikan reward dan/atau policy/program‐ based financing bagi Pemda untuk mendukung pelaksanaan REDD+
Gambar 4.2. Skema penerimaan dana dan pembayaran REDD+ Keputusan tentang program/proyek/kegiatan/kinerja yang akan menerima pembayaran dari Dana Kemitraan REDD+ diambil oleh Dewan Pengarah sebagai badan tertinggi di dalam struktur tata kelola lembaga pendanaan. Keputusan pembayaran atas program/proyek/ kegiatan/kinerja hanya dapat diambil setelah semua persyaratan integritasn ya terpenuhi yang dibuktikan dengan hasil audit dan pemenuhan persyaratan safeguards. Dewan Pengarah menunjuk Badan Pengelola Dana (Fund Manager) sebagai pelaksana yang secara profesional mengembangkan dan mengelola dana serta melakukan pencairan dana kepada pihak‐pihak yang berhak menerima pembayaran. Keanggotaan Dewan Pengarah Dana Kemitraan REDD+ Indonesia terdiri dari: Kepala Badan REDD+ sebagai ex‐officio mewakili struktur tata kelola, Wakil pemerintah, Wakil pemangku kepentingan daerah, Wakil lembaga keuangan Indonesia, Wakil masyarakat adat, Wakil organisasi masyarakat
48
sipil, Wakil lembaga‐lembaga donor secara kolektif (jika dirasakan perlu untuk menjamin transparansi dan kredibilitas lembaga serta untuk membina akses dengan sumber‐sumber dana). Jika diperlukan, wakil lembaga‐lembaga donor secara kolektif dapat diundang menjadi anggota Dewan Pengarah Dana Kemitraan. Keikutsertaan pihak internasional di dalam Dewan Pengarah ditujukan untuk mendapatkan kontribusinya dalam penyusunan mekanisme pengawalan integritas program REDD (fiduciary, sosial dan lingkungan hidup) dalam rancangan dan pengawasan, serta aksesnya terhadap dana‐dana pembangunan bilateral yang secara potensial dapat disalurkan untuk pengembangan REDD+ di Indonesia. Pada masa inisiasi, lembaga keuangan domestik akan menjalankan sebagian saja dari peran disbursement, development dan fund management. Transisi penambahan peran lembaga keuangan domestik akan dilakukan secara konkrit dan terukur setiap tahun, dengan target bahwa setelah empat tahun sejak berdirinya Dana Kemitraan REDD+, seluruh fungsi disbursement, development dan management dana akan dilakukan oleh lembaga keuangan domestik. Mekanisme Akuntabilitas Pengelolaan Dana Kemitraan REDD+ Untuk menjaga kredibilitas lembaga Dana Kemitraan REDD+, akan dibangun mekanisme pertanggunggugatan (accountability) yang memungkinkan lembaga ini beroperasi secara transparan. Terdapat beberapa lapisan proses pengawasan yang menurut rancangan kelembagaannya akan melekat dalam sistemnya, yaitu: 1. Secara internal, peninjauan/pengawasan berkala atas kinerja Fund Manager akan dilakukan oleh Dewan Pengarah; 2. Sebagai lembaga yang mengelola uang yang berasal dari sektor publik (baik dalam negeri maupun asing), Dana Kemitraan REDD+ akan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK ); 3. Sebagai lembaga yang mengelola keuangan dari sumber‐sumber internasional, Dana Kemitraan REDD+ akan diaudit oleh salah satu dari 5 (lima) perusahaan auditor internasional yang terbaik; dan 4. Hasil audit tersebut dapat digunakan secara struktural oleh Dewan Pengarah, Kelompok Penilai Mandiri (Independent Review Group) yang melapor kepada Kelompok Konsultasi Bersama (JCG), dan dibuka secara transparan kepada seluruh masyarakat dalam konteks laporan pertanggungjawaban publik.
4.2.3 Sistem Pemantauan, Pelaporan dan Verifikasi (MRV) Pemantauan, pelaporan dan verifikasi (monitoring, reporting and verification/MRV) atas pengurangan emisi GRK merupakan proses penting dalam kegiatan REDD+. Melalui proses ini efektivitas upaya dan efisiensi biaya pengurangan emisi akan terukur secara kuantitatif, dan pembagian manfaat akan terlaksana secara adil. Oleh karena itu sistem MRV harus dilaksanakan oleh sebuah lembaga yang independen, namun berkoordinasi dengan Badan REDD+ sebagai governing council dari keseluruhan inisiatif REDD+ di Indonesia. Hasil dari proses MRV adalah dasar pembayaran atas output/kinerja yang akan dilakukan oleh lembaga Dana Kemitraan REDD+. Pengembangan system MRV juga akan menggambarkan kinerja azas manfaat yang reponsif
49
terhadap gender20 sebagai salah satu bukti perubahan paradigm pembangunan nasional yang menempatkan manusia sebagai subjek dan agen perubahan. Tujuan Sistem MRV Badan MRV REDD+ Indonesia berfungsi sebagai clearing house yang mengumpulkan data dan informasi emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan, mengelompokkan, dan mendistribusikannya kepada pihak‐pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu Lembaga MRV akan memiliki sistem pencatatan (registry) pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan yang teratur, yang telah diverifikasi dan divalidasi oleh lembaga independen,. Sistem pencatatan ini bersifat transparan dan mudah diakses oleh publik. Untuk menjaga kualitas data dan hasil perhitungan pengurangan emisi, lembaga MRV harus memastikan bahwa metodologi pemantauan dan pengukuran cadangan karbon hutan dan perubahannya telah mengikuti kaidah ilmiah, misalnya seperti yang telah digariskan oleh Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC). Sistem MRV harus memenuhi prinsip‐prinsip dasar IPCC, yaitu: 1. Taat azas (consistent). Penetapan tingkat emisi rujukan (reference level/RL) menjadi tolok ukur pelaksanaan REDD+. Karena itu Lembaga MRV harus menjamin tersedianya metodologi yang konsisten dari waktu ke waktu dan berlaku di seluruh lokasi kegiatan REDD+; 2. Terbuka (transparent). Untuk menjamin kredibilitas, Lembaga MRV harus terbuka terhadap tuntutan publik dan proses verifikasi dari lembaga independen; 3. Lengkap (complete). Kelengkapan informasi cadangan karbon di semua komponen ekosistem, baik yang di atas tanah (batang, ranting, daun) dan di bawah tanah (akar), serta biomassa yang telah terurai sebagian atau seluruhnya (nekromassa, serasah, gambut); dan 4. Teliti (accurate). Ketelitian data merupakan unsur penting yang terkait dengan efektivitas penurunan emisi. Secara finansial, data yang teliti relatif lebih murah dibanding data yang tepat (precise). Prinsip‐prinsip tersebut harus dipegang teguh sehingga hasil laporan dapat diperbandingkan (comparable) dengan laporan dari waktu atau lokasi yang berbeda. Mandat Sistem MRV Secara nasional Lembaga MRV memiliki beberapa mandat, yaitu untuk: 1. Merumuskan standar nasional yang sesuai dengan protokol internasional dan cara terbaik (best practice) untuk mengukur perubahan cadangan karbon hutan; 2. Mengembangkan mekanisme koordinasi, harmonisasi dan validasi perhitungan karbon hutan dengan teknologi yang tersedia pada berbagai tingkatan secara transparan; 3. Mengelola data spasial dan non spasial serta informasi terkait sehingga dapat diakses oleh para pemangku kepentingan;
20 Responsif gender adalah memberikan perhatian yang konsisten dan sistematis terhadap perbedaan‐perbedaan antara perempuan dan laki‐laki dalam masyarakat dengan suatu pandangan yang ditujukan kepada kesetaraan dan keadilan.
50
4. Mengembangkan mekanisme pelaporan kepada lembaga‐lembaga nasional dan internasional yang relevan serta para pelaku pasar; 5. Mengembangkan sistem MRV non‐karbon untuk menilai kinerja pengaman sosial dan lingkungan, termasuk keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan lainnya; 6. Memberikan informasi kepada Pengelola Dana terkait hasil MRV untuk proses pembayarannya; 7. Membangun kapasitas pemantauan dan pelaporan (M+R) di jajaran pelaksana program/proyek/kegiatan REDD+ (untuk kebutuhan internal quality control upaya penurunan emisi); 8. Mengkoordinasikan komunitas profesi verifikasi dalam kaitannya dengan status akreditasi, standar operasional dan prosedur verifikasi independen yang akan dikomunikasikan dengan instrumen pendanaan; dan 9. Membangun kapasitas koordinasi penyelenggaraan MRV di Badan REDD+ Daerah. Langkah‐langkah Implementasi Sistem MRV Lembaga MRV akan memberdayakan sistem perhitungan karbon Indonesia (Indonesia National Carbon Accounting System/INCAS) yang merupakan jejaring simpul‐simpul informasi yang dihasilkan oleh berbagai lembaga pemerintah. Melalui jejaring ini lembaga MRV mendorong penyempurnaan kualitas dan aliran data, khususnya dalam rangka perbaikan faktor emisi (emission factors) dan data aktivitas (activity data) alih guna lahan. Penyempurnaan data dan informasi juga dilakukan dengan memanfaatkan sumber informasi lain yang tersedia di ranah publik dan dapat dipertanggungjawabkan kredibilitas ilmiahnya. Dengan demikian perhitungan emisi karbon dapat dilakukan dengan tingkat ketelitian yang makin baik dari Tier‐1 ke Tier‐2 dan dari Tier‐2 ke Tier‐3 menurut ketentuan IPCC. Upaya ini akan memiliki dampak positif, baik terhadap pengembangan kapasitas internal maupun dalam rangka peningkatan kepercayaan pasar. Melalui kerjasama dengan Tim Ahli yang dibentuk oleh Badan REDD+, Lembaga MRV menentukan Tingkat Rujukan (Reference Level/RL) dengan berbagai pendekatan, antara lain: 1. Emisi historis. Menggunakan informasi laju emisi dari beberapa periode (5‐10 tahunan) sebelum kegiatan REDD+ dimulai; 2. Emisi berbasis skenario. Menggunakan proyeksi emisi dengan model ekonomi yang mempertimbangkan permintaan komoditas pertanian atau produk lain yang berbasis sumber daya lahan serta faktor‐faktor demografi (penyebaran dan pertumbuhan penduduk); dan 3. Target emisi. Menentukan target emisi di waktu yang akan datang sehingga diperlukan upaya sejak dimulainya kegiatan REDD+ hingga waktu tersebut. Berdasarkan laju deforestasi dan emisi yang terdapat pada Tabel 2.1 dan Gambar 2.1, maka emisi historis Indonesia dari deforestasi (above ground biomass) pada periode 2000‐2005 berkisar antara 689‐1040 juta ton CO2e/th. Jika emisi akibat kebakaran dan drainase gambut pada periode yang sama diperhitungkan, maka emisi historis yang dapat dijadikan rujukan nasional berkisar antara 1.700‐2.040 juta ton CO2e/th dengan rata‐rata 1.870 juta ton CO2e/tahun. Target penurunan emisi melalui REDD+ selanjutnya didistribusikan secara proporsional ke tingkat sub nasional. 51
Lembaga MRV di tingkat nasional berkoordinasi dengan Badan REDD+ di tingkat sub nasional untuk membangun sistem MRV di tingkat sub nasional yang merupakan pencerminan dari lembaga MRV nasional. Langkah ini diperlukan untuk mempersiapkan prosedur agregasi data dan informasi dalam sistem MRV dengan pendekatan berjenjang (nested approach). Selanjutnya Lembaga MRV di kedua tingkat tersebut akan ional membangun Interim RL untuk tingkat sub nasional, dengan memanfaatkan berbagai inisiatif baik yang dilaksanakan oleh masyarakat, swasta maupun pemerintah sendiri. Rujukan sub nasional dapat dihitung dengan pendekatan yang sama namun disesuaikan dengan dinamika LULUCF dan kondisi ekosistem wilayah tersebut. Lembaga MRV perlu segera mengambil langkah strategis dalam tahap‐tahap sebagai berikut: 1. Pelembagaan. Setelah Badan REDD+ dibentuk, Lembaga MRV harus segera dibangun dengan mandat seperti diuraikan di atas. Kelengkapan personalia dengan SDM yang handal dan jaringan kerja yang efisien akan terwujud pada pertengahan 2011; 2. Rancang‐bangun sistem MRV. Menghubungkan simpul‐simpul informasi menjadi jaringan yang efektif perlu segera dilaksanakan dan diujicoba selama periode 2011‐2013; dan 3. Implementasi sistem. Dengan adanya provinsi percontohan, Lembaga MRV dapat segera mulai bekerja sama dengan pengembang, Badan REDD+ Daerah dan verifier independen. Untuk mendukung dimulainya tahap pembayaran kinerja REDD+ Indonesia pada tahun 2014, Lembaga MRV dan kelengkapan perangkat kerjanya akan dibangun dengan target: 1. Januari 2013, Indonesia siap melaksanakan MRV tier 2 pada tingkat tapak (project site) dan lanskap untuk kebutuhan agregasi sub‐nasional di provinsi percontohan; dan 2. Januari 2014, semua sistem siap mewujudkan VER dengan sistem MRV tier 3 di semua tapak proyek (project sites) dan MRV tier 2 pada tingkat landscape untuk agregasi sub‐nasional dan nasional, terutama di 9 (sembilan) provinsi berhutan yang diprioritaskan.
4.3. Mengkaji Ulang serta Memperkuat Kebijakan dan Peraturan Kebijakan dan peraturan‐perundangan sangat penting ditelaah karena berperan secara signifikan sebagai dasar maupun mekanisme untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya hutan maupun lahan gambut secara berkelanjutan. Pengendalian deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut sangat tergantung pada penyelesaian masalah penataan ruang, tenurial, pengelolaan hutan dan lahan gambut di tingkat tapak/lapangan, maupun pemantauan perizinan dan penegakan hukum. Penyelesaian berbagai masalah tersebut seringkali terkendala oleh adanya kebijakan maupun peraturan perundangan yang tidak lagi sejalan dengan kondisi di lapangan atau tidak sejalan dengan perkembangan tuntutan masyarakat. Disamping itu, untuk menyelesaikan masalah‐masalah tertentu, isi berbagai peraturan perundangan dapat bertentangan satu sama lain sehingga menimbulkan perbedaan interpretasi. Tantangan tersebut perlu dijawab dengan mewujudkan kerangka hukum yang berkesinambungan dengan konteks perubahan iklim (climate friendly legal framework/CFLF). Kerangka hukum tersebut akan memuat prinsip‐prinsip serta acuan pembuatan kebijakan maupun peraturan perundang‐ undangan pada sektor yang terkait perubahan iklim (termasuk hutan) agar dapat sejalan dengan kondisi perubahan iklim. Prinsip‐prinsip tersebut juga akan menjadi penyelaras terhadap semua 52
peraturan perundang‐undangan pengelolaan sumber daya alam yang saat ini berlaku. Kerangka tersebut didasari dan menjadi penerjemahan secara lebih terperinci dari ketentuan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam serta Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002. Kerangka yang disusun nantinya akan mendasari penilaian, penyelarasan, serta pelaksanaan berbagai strategi terkait dengan penguatan kebijakan. Sebagai landasan hukum penyelesaian berbagai permasalahan di atas, Presiden perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang (PERPU) untuk penyempurnaan Undang‐Undang Kehutanan serta Undang‐Undang Penataan Ruang. Dengan demikian, pelaksanaan REDD+ di Indonesia dan perbaikan tata kelola di sektor kehutanan dapat terlaksana dengan memiliki dasar hukum yang kuat dan jelas. Dalam jangka pendek, maksimal satu tahun semenjak dikeluarkan, PERPU tersebut akan diserahkan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan sebagai penyempurnaan Undang‐Undang Kehutanan serta Undang‐Undang Penataan Ruang. Selanjutnya, pembenahan keseluruhan peraturan dan kebijakan pengelolaan sumber daya alam akan dilakukan dengan menyelesaikan proses legislasi Rancangan Undang‐Undang (RUU) Pengelolaan Sumber Daya Alam yang telah menjadi salah satu RUU yang terdapat dalam Program Legislasi Nasional 2010‐2014. Dengan penguatan kebijakan tersebut, secara bersamaan akan dilakukan berbagai langkah untuk menyelesaikan berbagai isu mendasar yang akan dibahas pada sub bab dibawah ini.
4.3.1. Penataan dan Penggunaan Ruang Penyelesaian masalah penataan dan penggunaan ruang yang terkait dengan penguatan kerangka hukum dan peraturan perundangan dilaksanakan pada tingkat nasional maupun provinsi, melalui: 1.
Penguatan kewenangan dan fungsi Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) melalui revisi Keputusan Presiden 4 tahun 2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional. Penguatan fungsi tersebut dilakukan untuk sinkronisasi data dan informasi yang dipergunakan untuk penetapan tata ruang dan pelaksanaan pembangunan berbasis hutan dan lahan berdasarkan daya dukung dan daya tampungnya, termasuk aspek yuridis, biofisik, ekologi,
sosial ekonomi, dan budaya; 2.
Telaah perizinan dan kebijakan dan peraturan‐ perundangan dengan mengacu kepada prinsip yang telah disusun sebelumnya (CFLF), sebagai perangkat penelaah untuk upaya penyelesaian konflik penggunaan ruang, terutama untuk kepentingan sektor kehutanan, pertanian dan pertambangan serta pemukiman;
3.
Penyelarasan hasil dari penelaahan kebijakan dan peraturan sebelumnya, perencanaan dan klasifikasi daerah terkait dengan target penurunan emisi. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan target pencapaian pengurangan emisi dengan upaya pengurangan emisi, sehingga upaya yang dilakukan menjadi realistis dan terukur;
4.
Penindakan secara hukum (administratif, perdata maupun pidana) terkait dengan hasil telaah perizinan yang terbukti melanggar hukum, sesuai dengan ketentuan sanksi yang telah diatur 53
melalui Undang‐Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang‐Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang‐Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta peraturan lain yang terkait dengan pengelolaan lahan dan ruang; 5.
Percepatan pembentukan lembaga pengelola hutan dan lahan di tingkat tapak/lapangan (Kesatuan Pengelolaan Hutan/KPH) sebagai pelaksana pengelola sumber daya hutan serta penetapan kerangka hukum dan peraturan dalam pelaksanaan transisi dari kondisi tanpa KPH ke kondisi dengan keberadaan KPH, terutama terkait keberadaan perizinan kehutanan.
Penguatan BKPRN sebagaimana diuraikan di atas, akan difokuskan pada penguatan fungsinya sebagai pusat data dan memastikan terlaksananya sinkronisasi informasi dalam penataan ruang . Selain itu penguatan tersebut juga harus memberikan kewenangan untuk dapat melakukan penyelesaian dan melakukan upaya tindak lanjut atas semua stagnansi yang terjadi dalam proses penataan ruang. Penetapan protokol pengumpulan dan penggunaan data dan peta dibentuk untuk meningkatkan keseragaman penggunaan informasi dan peta bagi pengambilan keputusan semua sektor. Informasi penting yang akan dihimpun mencakup kondisi biofisik lahan seperti tutupan hutan dan kedalaman gambut, keberadaan masyarakat adat dan lokal lainnya, peta wilayah kelola adat, perkembangan penggunaan lahan, lahan kritis, penetapan kesesuaian lahan untuk berbagai penggunaan serta hutan dan lahan yang perlu dilindungi. Dengan menggunakan data dan peta yang sama, baik untuk penetapan penataan ruang maupun untuk penentuan lokasi izin pemanfaatan dan penggunaan hutan dan lahan, diharapkan tidak lagi dijumpai konflik terkait penggunaan ruang. Penataan ruang juga harus mempertimbangkan peta yang dibuat dengan inisiatif lokal (pemetaan partisipatif). Untuk menyelesaikan masalah penggunaan ruang di masa lalu, perlu dilakukan telaah perizinan dan terobosan kebijakan serta peraturan‐perundangan guna mencari solusi seadil‐adilnya tanpa mengorbankan hutan dan lahan yang potensial sebagai lokasi REDD+. Adanya tumpang tindih penggunaan ruang dengan skala luas memerlukan harmonisasi kebijakan dan peraturan yang terkait dengan penataan ruang. Untuk itu diperlukan perangkat penyelaras sebagai acuan dalam melakukan harmonisasi. Atas dasar itu perlu disusun prinsip‐prinsip CFLF yang merupakan terjemahan terperinci dari Ketetapan MPR No. IX/MPR tahun 2001, agar harmonisasi dapat terlaksana secara sistematis dan terukur. Untuk memastikan terwujudnya pola ruang yang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) maupun integrasi Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) berdasarkan Undang‐Undang Nomor 32 tahun 2009 perlu ditekankan. Pengkajian ulang atas berbagai perizinan yang telah dikeluarkan perlu dilakukan guna memberikan kepastian dan keselarasan atas penataan ruang dan KLHS yang disusun. Hal ini diperlukan untuk menyelesaikan konflik ruang yang terjadi selama ini, serta sebagai dasar penindakan atas perizinan yang terbukti melanggar ketentuan yang berlaku (berdasarkan hasil kaji ulang). Agar permasalahan penggunaan ruang tidak terulang lagi di masa mendatang, diperlukan unit manajemen hutan di tingkat tapak/lapangan. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang menjadi mandat dari Undang‐Undang Nomor 41 tahun 1999 jo Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, perlu untuk dipercepat. Pembentukan KPH akan 54
memberikan kepastian atas keberlanjutan pengelolaan hutan yang lestari. Percepatan pengembangan KPH juga harus dibarengi dengan pengakuan atas wilayah‐wilayah adat yang terdapat dalam kawasan KPH yang telah ditetapkan dengan menunjuk Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK).
4.3.2. Tenurial Keberadaan masyarakat adat dan lokal lainnya beserta budaya‐historis, sumber daya maupun adat‐ istiadat yang dianutnya adalah suatu fakta historis yang tidak dapat dinafikan dalam pelaksanaan pembangunan. Dalam hal ini, masalah tenurial adalah masalah pengakuan masyarakat adat dan lokal lainnya yang terkait dengan penetapan tata ruang, pelaksanaan tata batas kawasan hutan, serta belum efektifnya penyelesaian konflik penggunaan hutan dan lahan. Strategi penyelesaian masalah tenurial pada dasarnya menjalankan mandat UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara harus “mengakui dan menghormati kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum adat serta hak‐hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik”. Pelaksanaan amanat UUD tersebut belum berjalan sesuai yang diharapkan, terutama terkait dengan pengembangan investasi pemanfaatan sumber daya alam. Oleh karena itu strategi tersebut dijalankan melalui: 1. Menginstruksikan Kementrian Dalam Negeri bersama dengan Badan Pertanahan Nasional melalui Instruksi Presiden, untuk melaksanakan inventarisasi keberadaan masyarakat adat dan lokal lainnya termasuk adat‐istiadat, sumberdaya dan historis budaya maupun wilayah pemanfaatan sumberdaya alam. Inventarisasi akan mengakomodir peta partisipatif yang telah disusun serta dilakukan dengan prinsip inklusifitas dan pelibatan para pihak serta peka terhadap gender; 2. Mendukung BPN untuk memfasilitasi penyelesaian konflik tenurial yang kemungkinan terjadi, melalui mekanisme penyelesaian konflik yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang‐undangan di Indonesia (Undang‐Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif, Undang‐Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2000 tentang Lembaga Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2001 tentang Mediasi di Pengadilan); dan 3. Memastikan bahwa Pemberitahuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIA TAPA) digunakan dalam penetapan perizinan yang memanfaatkan sumber daya alam serta menyesuaikan isi undang‐undang yang terkait secara langsung dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak sesuai dengan pelaksanan PADIA TAPA.
4.3.3. Pengelolaan Hutan dan Lahan Gambut Pengelolaan hutan adalah kegiatan menyiapkan hutan untuk dapat dimanfaatkan dan/atau dilindungi (oleh pemegang izin) tanpa menimbulkan konflik dan dapat dimanfaatkan secara optimal sekaligus berkelanjutan. Sedangkan pengelolaan lahan gambut dimaksudkan untuk memberikan pengelolaan yang paling tepat untuk lahan gambut sehingga dapat berperan sesuai dengan fungsinya di dalam ekosistem. Sesuai dengan Undang‐Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengelolaan hutan dan lahan gambut (yang berada di dalam kawasan hutan) pada 55
dasarnya menjadi kewajiban pemerintah. Namun, belum ada ketentuan mengenai pengelolaan lahan gambut yang berada di luar kawasan hutan (APL). Mengingat bahwa pendekatan ekosistem diperlukan dalam pengelolaan kawasan gambut dan hal tersebut tidak dapat dipisahkan dengan pendekatan administratif (sektor), maka pengelolaan lahan gambut perlu ditangani oleh satu institusi. Penguatan pola pengelolaan hutan dan penyiapan institusi tunggal dalam pengelolaan lahan gambut menjadi suatu keharusan agar tujuan pengendalian deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut dapat diwujudkan. Upaya ini dapat ditempuh melalui: 1. Mengkaji ulang dan harmonisasi kebijakan serta peraturan terkait pengelolaan kehutanan untuk memperkuat model pengelolaan kawasan konservasi, serta mempercepat pengembangan keberadaan kesatuan pengelola hutan (KPH) pada kawasan hutan produksi dan lindung, sebagai unit manajemen; 2. Melakukan pengembangan pola pengelolaan kehutanan yang baik dan konsisten21 oleh
3.
4.
5.
6.
Kementrian Kehutanan berdasar hasil kajian kebijakan maupun peraturan terkait pengelolaan hutan. Pengembangan pola pengelolaan ini dilakukan dengan melibatkan Dewan Kehutanan Nasional (DKN) berdasarkan prinsip inklusifitas, efisiensi dan efektifitas, sebagai entitas multi pihak yang secara de facto diakui semua pemangku kepentingan kehutanan; Mengembangkan sistem perizinan yang transparan, akuntabel dan terintegrasi. Pembenahan sistem perizinan ini akan menjadi bagian dari pengembangan sistem pengelolaan kehutanan; Mengkaji ulang seluruh peraturan dan kebijakan terkait pengelolaan lahan gambut serta melakukan penyempurnaan pengaturan terkait pengelolaan lahan gambut. Kegiatan ini dilakukan oleh tim gabungan yang terdiri dari berbagai instansi pemerintah terkait, swasta, dan juga masyarakat. Tim juga akan menentukan instansi yang paling tepat dalam melakukan pengelolaan lahan gambut; Melakukan alih fungsi hutan dan lahan di luar kawasan hutan yang potensial sebagai lokasi REDD+ menjadi kawasan hutan tetap melalui mekanisme dan peraturan‐perundangan tertentu (land swap) berdasarkan prinsip keadilan dan keterbukaan; dan Melakukan telaah dan penyederhanaan peraturan serta kejelasan birokrasi maupun administrasi, agar terwujud efisiensi pelayanan publik dan iklim investasi yang kondusif, terutama bagi pengembangan usaha kecil dan menengah bagi masyarakat lokal.
Penguatan kebijakan dan peraturan melalui segenap kegiatan di atas akan memberikan perubahan mendasar dan berimplikasi pada kepastian hukum dan kejelasan interpretasi dalam implementasi kebijakan maupun peraturan perundangan. Kebijakan yang baik akan sulit dilaksanakan tanpa pola pengelolaan kehutanan yang baik. Pelibatan Dewan Kehutanan Nasional (DKN) dalam penguatan pola pengelolaan hutan merupakan pelaksanaan prinsip inklusifitas, efisiensi dan efektifitas. Penguatan kebijakan, peraturan perundangan dan model dalam pengelolaan kawasan hutan antara lain ditujukan untuk memberi peran dan manfaat secara nyata bagi Pemerintah Daerah, masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan, dan juga memberikan kepastian usaha.
56
Dalam konteks lahan gambut, maka pengkajian ulang, penyempurnaan kebijakan maupun peraturan perundangan serta penunjukan institusi pengelola gambut, akan memperjelas kepastian pemanfaatan dan konservasi lahan gambut, sehingga skema penurunan emisi dari lahan gambut akan menjadi jelas. Hal ini perlu dilakukan melalui pelibatan berbagai sektor, agar kepentingan semua pihak dapat terakomodasi dan tidak menjadi suatu pengambilalihan kewenangan. Land reclassification dan land swap pada dasarnya dilakukan untuk mengubah fungsi hutan dan lahan tersebut melalui insentif atau tukar menukar lokasi hutan dan lahan gambut dengan lahan lain. Berdasarkan data tutupan hutan pada Gambar 2.1. luas hutan produksi (HP) dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang tidak berhutan adalah 13,3 juta Ha. Kawasan hutan yang tidak berhutan tersebut dapat digunakan sebagai lahan pertanian dengan menukar luas hutan di APL dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) serta di lahan gambut dengan luasan 18,1 juta Ha. Memperkuat pengelolaan hutan dan lahan gambut juga perlu dilakukan melalui efisiensi pelayanan publik serta penyempurnaan system perizinan agar tercipta kepastian hukum dan mendorong pemegang izin untuk menjalankan usahanya secara berkelanjutan.
4.3.4. Pemantauan Hutan dan Penegakan Hukum Pemantauan hutan ditujukan untuk merespon secara cepat apabila terdapat kelemahan kebijakan dan peraturan sebagai penyebab menurunnya kinerja pengelolaan hutan. Di sisi lain hasil pemantauan hutan juga menjadi informasi penting dalam melakukan penegakan hukum terhadap obyek atau kegiatan tertentu yang masih lemah. Telaah dan penguatan kebijakan dan peraturan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemantauan hutan dan penegakan hukum dapat dilakukan melalui: 1. Peningkatan peran evaluasi kinerja pemegang izin oleh pihak ketiga, seperti dalam pelaksanaan sertifikasi pengelolaan hutan lestari (PHL) melalui telaah dan penyempurnaan peraturan untuk meningkatkan insentif bagi pihak yang berhasil memperoleh sertifikasi; 2. Penegakan hukum secara tegas dan konsisten (termasuk oknum aparat) terhadap pelanggaran‐pelanggaran yang dilakukan oleh pemegang izin pemanfaatan kayu dari hutan alam dan tanaman yang tidak melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan lestari dan kewajiban‐kewajiban lain sesuai dengan peraturan yang berlaku, serta pelaku tindak pidana kehutanan. Untuk kepentingan pencegahan pelanggaran hokum, perlu dilakukan kajian kebijakan dan peraturan yang terindikasi sebagai penyebab terjadinya pelanggaran, sebagaimana saat ini dilaksanakan melalui kerjasama KPK dan Kementerian Kehutanan; 3. Telaah kebijakan dan peraturan untuk mempercepat pelaksanaan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) dan pengelolaan hutan lestari (PHL), termasuk pelatihan bagi lembaga verifikasi dan auditor; 4. Penilaian secara independen (pihak ketiga) maupun internal (melalui Inspektorat Jendral Kementrian) dengan menggunakan kriteria dan indikator tata kelola kehutanan yang baik (good forest governance); 5. Pembentukan jaksa dan polisi lingkungan satu atap (One Roof Enforcement System / ORES) yang dipilih berdasarkan integritas dan pengetahuan yang memadai mengenai paradigma 57
pembangunan berkelanjutan, termasuk penerapannya pada sektor kehutanan dengan renumerasi yang sesuai sehingga mampu menjadi garda depan penerapan UU terkait untuk memberantas kejahatan kehutanan; 6. Pembentukan hakim khusus yang akan memutuskan perkara‐perkara lingkungan termasuk kehutanan (Green Bench) yang dipilih berdasarkan integritas dan pemahaman yang prima atas paradigma pembangunan berkelanjutan termasuk penerapannya pada sektor kehutanan dengan renumerasi yang sesuai, sehingga mampu memfasilitasi keadilan dan kepastian hukum di sektor pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan; 7. Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum secara umum agar memahami berbagai aturan serta metode penyelidikan dan penyidikan yang dapat digunakan untuk memberantas kejahatan kehutanan; dan 8. Pelaksanaan reformasi birokrasi di lembaga penegak hukum, terutama yang terkait dengan sektor kehutanan.
4.3.5. Penangguhan Izin Selama Dua Tahun Penangguhan pemberian izin baru (moratorium) pada hutan dan lahan gambut dimaksudkan untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan pembangunan ekonomi nasional serta upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang dilakukan melalui penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) dengan penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut. Untuk mengawali proses ini diperlukan waktu dua tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan. Selama kurun waktu penangguhan izin tersebut akan dilakukan langkah‐langkah di bawah ini: 1. Konsolidasi izin a.
b. c.
d. e. f.
Melakukan identifikasi spesifik atas potensi pengklasifikasian ulang atas pemanfaatan lahan (land reclassification) dan tukar fungsi lahan (land swapping) antara hutan rusak di kawasan hutan tetap dengan hutan yang masih dalam keadaan baik di hutan produksi untuk konversi dan di kawasan APL; Melakukan kaji ulang dan perbaikan tata kelola bagi izin‐izin yang telah dikeluarkan dan kebijakan yang mendasari penerbitan izin tersebut; Menyempurnakan kerangka hukum dan peraturan mengenai tata kelola bagi izin pinjam pakai, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK‐HA) dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK‐HT), izin pemanfaatan kayu, izin usaha pertambangan pada hutan dan lahan gambut yang ditetapkan dalam Peta Indikatif Moratorium (PIM); Menerbitkan landasan hukum untuk melakukan penyitaan atas semua hasil hutan yang berasal dari kejahatan kehutanan untuk dimanfaatkan bagi kegiatan sosial; Mengembangkan strategi untuk pemenuhan kebutuhan kayu domestik; dan Memastikan kejelasan dan penunjukan lembaga penanggungjawab pengelolaan lahan gambut dan menetapkan aturan pengelolaannya. 58
2. Penyelamatan wilayah hutan yang paling terancam a. Melakukan inventarisasi wilayah terdegradasi dan menyiapkan sistem basis data (database) terkait dengan kebutuhan MRV; b. Melaksanakan pembentukan KPH khususnya di wilayah‐wilayah yang tidak/belum terdapat pemegang izin; c. Melakukan klasifikasi dan pembagian ulang kawasan dan status hutan, serta melakukan delineasi dan mengharmonisasikan dengan RTRW; dan d. Mengedepankan praktek konservasi berbasis kearifan lokal. 3. Penyelesaian konflik a. b.
c. d.
e.
f.
g.
Menguatkan kebijakan dan peraturan yang memungkinkan penyelesaian berbagai konflik terkait kehutanan; Melaksanakan mekanisme penyelesaian konflik penggunaan lahan secara efektif, khususnya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, diikuti dengan penertiban lahan‐lahan terlantar; Melibatkan masyarakat dalam setiap proses perencanaan, penerapan, hingga evaluasi selama penundaan izin; Menyusun model alternatif penyelesaian konflik sumber daya alam yang berbasis pada pemenuhan ukuran hak‐hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam konvensi dan instrumen internasional HAM yang sudah diratifikasi dalam hukum nasional maupun instrumen hukum nasional yang sudah mengadopsi hak‐hak asasi manusia; Mengefektifkan peluang penyelesaian konflik berbasis kearifan tradisional, serta membentuk tim penyelesaian konflik yang terdiri dari berbagai sektor dan pihak‐pihak yang indipenden; Mengefektifkan berlakunya UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif, UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, PP No. 54/2000 tentang Lembaga Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1/2001 tentang Mediasi di Pengadilan; dan Membentuk peraturan yang mewajibkan institusi non pemerintah (termasuk KPH yang dikelola BUMN/D/S) untuk menyusun standar operasional prosedur (SOP) yang mengadopsi prinsip inklusifitas melalui PADIA TAPA dan standar‐standar Hak Asasi Manusia. Terdapat sejumlah ruang dalam proses penyusunan SOP tersebut bagi keterlibatan berbagai pemangku kepentingan dan tersedia mekanisme pengajuan komplain.
4.4. Meluncurkan Program‐program Strategis Berdasarkan komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi GRK dengan tanpa mengurangi target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan sebesar 7%, strategi nasional REDD+ dijabarkan menjadi tiga program strategis sebagai berikut: 1. Pengelolaan lanskap berkelanjutan; 2. Pelaksanaan sistem ekonomi pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari; dan 3. Konservasi dan rehabilitasi. 59
Ketiga program strategis di atas dapat merupakan program sektoral terutama sektor kehutanan, pertanian, pertambangan, serta program Pemerintah Daerah; atau dapat pula merupakan program terpadu dengan pendekatan lanskap; berlandaskan ekoregion dengan pengelolaan lahan multifungsi, sesuai dengan mandat UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pelaksanaan REDD+ dapat mencapai target pengurangan emisi, peningkatan cadangan karbon, pemeliharaan keanekaragaman hayati dan pembangunan ekonomi dalam jangka panjang dan pada skala nasional, apabila kondisi pemungkin (enabling conditions) bagi pelaksanaan ketiga program strategis di atas dapat diwujudkan. Berdasarkan kerangka strategi nasional REDD+ pada Gambar 4.1, kondisi pemungkin tersebut tidak terpisahkan dan menjadi bagian integral dari pelaksanaan program strategis REDD+. Demikian pula dalam pelaksanaan program strategis tersebut juga diperlukan program perubahan paradigma, budaya kerja serta pelibatan para pihak dalam semua pelaksanaan program. Karena kondisi pemungkin tersebut sebagian besar belum terwujud, dalam perumusan program strategis diperlukan pula upaya untuk merealisasikannya. Manfaat terciptanya kondisi pemungkin tersebut tidak terbatas bagi pelaksanaan program REDD+, melainkan dapat menunjang pelaksanaan pengelolaan SDA pada umumnya dan dapat dicapai dengan efektif apabila peran Badan REDD+ dalam melaksanakan koordinasi dan kerja sama lintas‐ sektor berhasil. Sinergi kebijakan, peraturan dan program antar sektor dan Pemerintah Daerah sangat penting dalam menentukan keberhasilan implementasi REDD+, sehingga terjadi pengurangan emisi secara permanen sebagai hasil dari pelaksanaan suatu program. Penguatan dan pengembangan dari inisiatif yang telah ada dan berjalan baik pada wilayah tertentu akan mempercepat pencapaian sasaran dan harus dihargai. Selain itu program baru yang akan dibangun hendaknya diselaraskan dengan inisiatif yang sudah berjalan. Terdapat tiga kelompok utama program strategis: (i) pengelolaan lanskap berkelanjutan yang berpijak pada lanskap sebagai satu wilayah kesatuan yang utuh dan terpadu dengan menyeimbangkan antara pembangunan dan lingkungan; (ii) produksi komoditi dan pemanfaatan SDA sektoral yang lestari, produktif dan rendah emisi; dan (iii) konservasi dan rehabilitasi hutan dan lahan gambut. Uraian penjabaran program strategis nasional REDD+ diuraikan di bawah ini.
4.4.1. Pengelolaan lanskap berkelanjutan Dalam strategi ini, pendekatan yang diambil adalah berbasis pada sistem pengelolaan lanskap yang memadukan beberapa sektor dan kepentingan dalam jangka panjang. Pembangunan secara terpadu di berbagai sektor, khususnya industri, kehutanan, agroforestri, pertanian dan pertambangan, menuju ekonomi hijau (green economy) yang menghasilkan emisi karbon rendah merupakan suatu tujuan. Kendala utama adalah lemahnya kapasitas masyarakat, kelangkaan alternatif pendapatan dan lemahnya produktivitas serta akses masyarakat terhadap pasar. Kendala utama dari luar adalah belum diakui, dilindungi dan didukungnya praktek, pengetahuan, dan teknologi lokal masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan. Dengan penghilangan kendala ini, kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi akan meningkat. 1. Perencanaan dan Pengelolaan lanskap/ekoregion/Daerah Alitan Sungai multifungsi Hal ini dapat dilakukan melalui: 60
a. Perencanaan terpadu penggunaan lahan dan pembangunan yang mengacu pada wilayah ekosistem dan wilayah administrasi secara inklusif, berdasarkan informasi dan data yang sahih dan sejalan dengan: i. Pembentukan kelembagaan terpadu dan lintas wilayah untuk pengelolaan data dan informasi spasial dan non‐spasial sebagai pusat dan penanggung jawab untuk pengumpulan, analisis, dan penyiapan rekomendasi perencanaan dan evaluasi tata ruang sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagai basis perencanaan pembangunan daerah dan nasional. ii. Penetapan komponen sosial‐budaya yang memberikan fasilitasi partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, serta memberikan peluang untuk mendapatkan ruang bagi beragam kebutuhan sosial budaya. iii. Pembangunan mekanisme dan proses keterlibatan pemangku kepentingan dalam penetapan rencana tata ruang wilayah mulai dari tingkat desa, kabupaten, provinsi, dan pusat dengan memperhatikan keseimbangan aspek pertumbuhan, pembangunan ekonomi, dan kesejahteraan serta daya dukung lingkungan. iv. Penyelarasan dengan program‐program terkait dari Kementrian Kehutanan dan Kementrian Lingkungan Hidup v. Pembuatan indikator keberhasilan yang terukur dalam proses monitoring dan evaluasi, yang merupakan bagian dalam siklus perencanaan. vi. Memadukan strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. b. Pengembangan kapasitas lokal dan meningkatkan 5 kapital yaitu: fisik, finansial, sumber daya alam, sosial dan manusia. c. Penguatan dan perluasan pengelolaan hutan berbasis kemasyarakatan dan agroforestri yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. d. Penyelarasan insentif antara Dana Alokasi Khusus (DAK) kehutanan, perubahan iklim, Dana Bagi Hasil (DBH) kehutanan, dan sumber‐sumber dana lain, dengan penghargaan untuk jasa lingkungan yang lebih luas di luar mitigasi perubahan iklim, seperti pemeliharaan Daerah Aliran Sungai dan keanekaragaman hayati melalui pengelolaan hutan berbasis kemasyarakatan dan praktek agroforestri baik dalam bentuk kompensasi finansial maupun dalam bentuk lainnya, misalnya hak pengelolaan bersama. 2. Perluasan alternatif lapangan kerja secara berkelanjutan (pengembangan ekonomi lokal) Pengelolaan hutan yang berkelanjutan tidak dapat mengabaikan peran masyarakat yang tinggal di dalam maupun di sekitar hutan. Seringkali masyarakat tersebut dipersalahkan atas deforestasi yang terjadi. Namun hal tersebut tidak terlepas dari minimnya pilihan atas sumber penghidupan mereka. Ketidakjelasan status kawasan kelola masyarakat menambah panjang kesulitan yang harus dihadapi masyarakat. Atas dasar itu, untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, maka perlu dilakukan upaya pemberdayaan ekonomi lokal dengan cara: a.
Menetapkan kawasan‐kawasan pusat kegiatan ekonomi di wilayah pedesaan dan memberikan izin bagi investasi yang patuh pada asas pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dalam kerangka konsep pembangunan ekonomi rendah karbon;
61
b.
c. d. e.
f.
g.
h. i.
j.
3.
Mendukung praktek agroforestri masyarakat dengan memberikan pengakuan terhadap model kelola dan hak tenurial, serta dengan program‐program penyediaan bibit unggul dan pelatihan teknis, dan lain lain; Mendorong migrasi sukarela dan tanpa paksaan dari kawasan dengan nilai konservasi hutan tinggi ke wilayah‐wilayah yang sudah dirancang untuk menjadi pusat kegiatan ekonomi; Menyiapkan program‐program pelatihan untuk tenaga teknis menengah sesuai dengan investasi yang akan ditanamkan; Penyediaan jaminan terhadap keberlanjutan dan kepastian berusaha masyarakat yang mengedepankan produktivitas sumber daya lokal dan mengedepankan prinsip‐prinsip keberlanjutan; Mendukung bekerjanya sistem ekonomi lokal berdasarkan kebutuhan masyarakat, termasuk kelompok perempuan, maupun mengikuti pola yang diwariskan secara turun temurun melalui berbagai upaya fasilitasi yang memadai dari negara; Perlindungan pasar (market protection) atas hasil produksi masyarakat dan komoditas yang dihasilkan oleh kelompok masyarakat. Perlindungan bisa berbentuk mekanisme insentif ekonomi (pengurangan pajak, kemudahan perizinan, dan sertifikasi); Pengembangan teknologi berbasis lokalitas yang tepat guna untuk meningkatkan produktivitas masyarakat; Mendukung indikator dan kriteria perlindungan suatu wilayah dengan konservasi tinggi dan memberi kerangka pengaman (safeguards) agar menghindari merosotnya mutu wilayah akibat alokasi peruntukan tertentu. Kriteria perlindungan dapat dilakukan dengan memfasilitasi model pengelolaan hutan masyarakat yang mendukung keberadaan konservasi bernilai tinggi, antara lain wana tani (agroforestry); Ekonomi lokal dikembangkan sebagai upaya perlindungan budaya masyarakat adat yang berbasis hutan, sehingga tidak terlepas dari penghormatan kepada hak tenurial. Promosi industri hilir dengan nilai tambah tinggi
Peningkatan nilai tambah dilakukan dengan: a. Investasi, yang diprioritaskan pada investasi lokal untuk membangun industri hilir; b. Berbasis pada sumber daya lokal dengan memperhatikan prinsip keberlanjutan sumber daya alam lokal; c. Mengembangkan teknologi lokal dan penerapan teknologi serapan tepat guna untuk meningkatkan nilai produksi masyarakat yang berasal dari hutan, wana tani dan pertanian; d. Membangun atau mengembangkan lembaga‐lembaga ekonomi di tingkat masyarakat lokal untuk memperkuat kegiatan ekonomi rakyat; dan e. Memfasilitasi masyarakat dengan membangun rantai tata niaga yang efisien serta memberikan dukungan bagi pengembangan ekonomi lokal. 4.
Akselerasi pembentukan unit pengelolaan kawasan hutan dan lahan
Hal ini dilakukan apabila unit pengelolaaan hutan dan lahan dalam suatu tapak belum ada. Diperlukan identifikasi para pihak sehingga unit yang terbentuk mewakili para pihak setempat yang relevan dan memiliki legitimasi, serta model kelembagaan yang sesuai dengan kondisi lokalistik berdasarkan karakter sosial budaya masyarakat setempat. Best practices yang ada dalam 62
pengelolaan hutan berbasis kemasyarakatan hendaknya dijadikan pembelajaran. Unit ini nantinya menjadi bagian yang dikoordinasi oleh Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) yang dirancang sebagai organisasi pengelolaan pada tingkat DAS yang selama ini belum ada. Di samping akan diketahuinya potensi sumber daya hutan, terbentuknya KPH juga akan memfasilitasi upaya pencegahan penggunaan kawasan hutan secara illegal maupun deteksi dini kebakaran hutan dan lahan. Meskipun perangkat peraturan untuk melakukan pembangunan KPH saat ini telah tersedia, namun pelaksanaan pembangunan KPH masih menghadapai hambatan. Untuk menanggulangi hambatan ini, sejumlah upaya yang dapat dilakukan adalah: a. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi pembangunan KPH yang telah berjalan sebagai input penyempurnaan kebijakan untuk mempercepat pembangunan KPH; b. Mengembangkan sistem pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia, dengan memberikan akses dan kesempatan terhadap kelompok perempuan, bagi pelaksanaan operasional KPH; c. Menjalankan sistem insentif bagi pemerintah daerah yang telah membangun KPH melalui penempatan investasi pemerintah dan swasta di dalam kawasan KPH yang telah dibangun; d. Meningkatkan sosialisasi dan pengembangan kapasitas pemerintah daerah agar termotivasi untuk berinisiatif membangun KPH; dan e. Mengembangkan sumber pendanaan pembangunan KPH diluar APBN/APBD. 5. Pengendalian dan pencegahan kebakaran Pengendalian kebakaran hutan harus dilakukan secara preventif maupun reaktif. Usaha preventif untuk mencegah kebakaran hutan mencakup berjalannya sistem pendeteksi kebakaran dan sistem early‐warning, sedangkan usaha reaktif menyangkut peningkatan kapasitas penanganan kebakaran. Peningkatan kewaspadaan publik mengenai biaya ekonomi dan sosial serta cara menanggulangi perlu diupayakan. Kebijakan nir pembakaran dalam penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, penanaman hutan produksi dan pembangunan infrastruktur harus ditegakkan. Program ini harus diikuti dengan sistem penalti bagi pelanggar. Inisiatif Pemerintah Daerah dalam merangkul masyarakat untuk melakukan kegiatan preventif pengendalian kebakaran hutan dan lahan perlu ditingkatkan serta dihargai dalam bentuk insentif. Apabila KPH sudah beroperasi, skema ini bisa dimasukkan dalam kerangka kegiatan pelaksanaan pengendalian dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Pencegahan pembakaran sisa tanaman dalam konversi hutan dan gambut, terutama untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit seluas 400.000 ha/tahun dan HTI, Hutan Tanaman Rakyat/Hutan Kemasyarakatan (HTR/HKm) seluas 500.000 ha/tahun, akan menurunkan emisi sebesar 20,42 Gt CO2e pada tahun 2020 dengan biaya $ 0,50 per ton (IFCA 2008).
4.4.2. Pelaksanaan sistem ekonomi pemanfaatan SDA secara berkelanjutan Strategi ini bertumpu pada cara‐cara terbaik (best practices) dari pengelolaan lahan pertanian, perkebunan, penebangan dan silvikultur serta pertambangan dengan prinsip meningkatkan produktivitas per unit luasan tanpa menambah emisi atau risiko kerusakan lingkungan lainnya serta tanpa mengurangi manfaat jangka panjang sehingga kebutuhan perluasan lahan dapat ditekan.
63
1.
Memacu Praktek Pengelolaan Hutan Lestari
Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) didorong untuk dilaksanakan oleh berbagai pihak baik dalam pemanfaatan hutan alam dan hutan tanaman skala besar maupun pada hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan desa serta hutan rakyat. Prinsip keseimbangan antara manfaat ekonomi, manfaat ekologi dan keadilan sosial menjadi dasar pelaksanaan PHL tersebut. Meskipun faktor penentu untuk mencapai PHL dari setiap jenis pemanfaatan hutan tersebut berbeda‐beda, namun memiliki kesamaan umum, yaitu: a. Terdapat kepastian kawasan hutan. Hal ini dapat dipercepat melalui pelaksanaan penataan hutan dalam rangka pelaksanaan KPH yang terdiri dari tata batas, inventarisasi hutan, pembagian ke dalam blok atau zona, pembagian petak dan anak petak, dan pemetaan; b. Terdapat praktek‐praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat berdasarkan kearifan lokal; c. Percepatan penyusunan rencana pengelolaan hutan jangka panjang dan rencana pengelolaan hutan jangka pendek di setiap KPH, guna memberi kepastian adanya peluang investasi dalam jangka panjang; d. Penerapan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK), dan sertifikasi PHL di hutan produksi yang dikelola oleh pemegang izin; e. Perlindungan hutan dari kebakaran, baik yang disebabkan oleh kegiatan manusia maupun oleh alam; dan f. Pembangunan mekanisme pemberian insentif kebijakan dalam rangka peningkatan kualitas pengelolaan hutan secara lestari melalui program sertifikasi. Implementasi pembalakan berdampak rendah (Reduced Impact Logging/RIL) pada area IUPHHK‐ HA/HPH seluas 25 juta hektar memberikan potensi penurunan emisi sebesar 43,5 GtCO2e sampai tahun 2020, dengan biaya $ 1,10 per ton (MoFo, 2010). Berdasarkan estimasi DNPI, PHL (Sustainable Forest Management/SFM) secara keseluruhan mempunyai potensi menurunkan emisi sebesar 118 Gt CO2e pada tahun 2020, dengan biaya relatif murah, yaitu $2/ton CO2e. Sertifikasi SFM juga berlaku untuk HTI dengan menjamin keberlangsungan suplai bahan mentah untuk industri pulp and paper yang memberikan kontribusi devisa sebesar $5 milyar/tahun dan menyerap tenaga kerja sebanyak 2 juta orang yang tinggal di sekitar hutan. 2.
Peningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan
Tingginya produktivitas lahan usaha pertanian dan perkebunan sangat menentukan kesejahteraan warga masyarakat di sekitar hutan dan kelestarian hutan. Layanan publik pada usaha pertanian tanaman pangan dapat mengikuti program dinas terkait. Peningkatan produksi perkebunan sawit rakyat yang merupakan bagian terbesar dari seluruh perkebunan sawit di Indonesia, memerlukan penanganan khusus. Menurut penilaian Komite Pengawas Persaingan Usaha/KPPU (2006) produktivitas minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) hasil perkebunan rakyat hanya mencapai 1,80 ton/ha, adapun perkebunan besar negara dapat mencapai 2,77 ton/ha. Perbedaan yang sangat mencolok ini menunjukkan diperlukannya usaha‐ usaha sebagai berikut: a. Intensifikasi perkebunan rakyat dan memfasilitasi akses pendanaan petani kepada perbankan dengan pemerintah sebagai penjamin; 64
b. Menetapkan quota perkebunan skala besar dengan menimbang persoalan lingkungan dan sosial yang menyertainya dan mempertimbangkan permintaan nasional; c. Memperbaiki struktur tata kelola perkebunan skala besar dan memfasilitasi masyarakat untuk mampu mengembangkan pertanian dengan tata kelola yang baik; d. Mendukung pembentukan struktur pendukung perkebunan rakyat (karet, kopi, kakao), termasuk diantaranya memberikan kepastian tenurial terhadap kawasan‐kawasan produktif masyarakat, relasi dengan pasar dan penyediaan pelayanan dan fasilitas publik yang memadai, antara lain listrik, jalan dan sumber‐sumber air bersih; dan e. Lembaga REDD+ yang akan dibentuk kemudian melakukan penilaian secara berkala terkait dengan kegiatan peningkatan produktivitas pertanian dan perkebunan. Khususnya untuk kelapa sawit, penerapan standar praktek Roundtable on Sustainable Palm Oil/RSPO ataupun Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO, yang sedang dalam proses penyusunan oleh Kementerian Pertanian, hendaknya dijadikan sistem insentif dan disinsentif. Selain itu untuk meningkatkan produktivitas kebun‐kebun rakyat lain bisa dilakukan: a. Fasilitasi akses pendanaan petani, termasuk kelompok petani perempuan, terhadap perbankan; b. Memberikan ruang lebih kepada pengembangan pertanian dan perkebunan rakyat dengan memberikan kepastian tenurial; dan c. Perbaikan infrastruktur pendukung perkebunan rakyat (kopi, karet, kakao, dll). 3.
Pengendalian kerusakan lahan dari pertambangan
Pertambangan biasanya dilakukan secara sangat terfokus sehingga area operasi biasanya tidak luas, akan tetapi proses eksplorasi pada umumnya mencakup area yang luasnya berlipat ganda daripada luas operasi. Dengan teknologi dan perencanaan eksplorasi yang lebih baik, kerusakan yang ditimbulkan selama proses ekplorasi bisa ditekan. Selain itu pembangunan pertambangan rendah emisi dapat dilakukan melalui: a. Penyempurnaan peraturan perundang‐undangan di bidang pertambangan, antara lain terkait larangan pemberian izin Kuasa Pertambangan (KP) di lahan gambut berketebalan lebih dari 3 m dan perlindungan terhadap lahan gambut di kawasan pertambangan, serta kewajiban pelaksanaan reklamasi dan pasca tambang; b. Penetapan pengaturan mengenai “zona larangan pertambangan” pada kawasan‐kawasan yang bernilai konservasi tinggi. Melalui penyempurnaan perencanaan pertambangan, antara lain eksplorasi dan eksploitasi dihindari pada kawasan hutan dan kawasan lain yang memiliki hutan dalam keadaan masih baik, perlindungan kawasan‐kawasan bernilai konservasi tinggi, dan penguatan sistem pemantauan; c. Peningkatan perizinan dan pengawasan pertambangan, antara lain pemberian izin KP di kawasan hutan melalui penetapan ambang batas emisi dan kewajiban peningkatan stok karbon pada areal bekas tambang, serta penaatan terhadap rencana peruntukan kawasan hutan dan lahan gambut yang telah ditetapkan dengan didukung oleh penegakan hukum;
65
d. Peningkatan reklamasi hutan bekas pertambangan melalui tindakan verifikasi lapangan pada areal bekas tambang dan melakukan penegakan hukum terhadap setiap pelaku pertambangan yang terbukti melanggar ketentuan reklamasi tersebut; dan e. Penerapan standar transparansi dalam sektor industri ekstraktif, khususnya terkait dengan pendapatan dari sektor pertambangan. Hal ini dilakukan melalu mekanisme yang ditetapkan oleh Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral serta disusun secara transparan dan akuntabel.
4.4.3. Konservasi dan Rehabilitasi 4.4.3.1. Konservasi Konservasi ditujukan untuk menghentikan/mengurangi deforestasi dan degradasi yang menyebabkan emisi dari cadangan karbon yang ada. Keanekaragaman hayati dan beberapa jasa ekosistem yang lain akan terjaga dengan program strategis yang terfokus pada konservasi. Wilayah cakupan adalah kawasan hutan maupun kawasan APL dengan lahan gambut atau tutupan hutan alam. Prioritas hendaknya ditujukan pada hutan dan lahan gambut dengan nilai konservasi tinggi (High Value Conservation Forest/HVCF). Peta revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang disetujui bersama dan telah merekonsiliasi antara kenyataan lapangan dengan kebijakan yang berlaku sebelumnya merupakan kondisi pemungkin yang utama. Konservasi pada hutan alam tidak terganggu seluas 45 juta hektar dan juga pada area hutan yang sudah pernah ditebang‐pilih dan masih dalam kualitas baik dalam kawasan HPH/KHTI sebesar 31,9 juta hektar akan menjaga cadangan karbon sebesar 465 GtCO2e pada tahun 2020 (MoFo 2010). Program strategis yang terfokus pada konservasi yaitu: 1. Pemantapan fungsi kawasan lindung Area hutan dan lahan gambut dengan cadangan karbon dan tingkat keanekaragaman hayati tinggi dilindungi dengan mengubah statusnya menjadi kawasan lindung. Diperlukan data akurat dan kesepakatan para pihak untuk mendelineasi area ini sebagai bagian dari proses perencanaan tata ruang. Untuk ini diperlukan analisa manfaat dan biaya ekonomis, sosial dan politik yang dilakukan pada masing‐masing area yang akan diubah statusnya. Mekanisme penetapan perencanaan tata ruang wilayah dapat digunakan untuk melaksanakan program ini. Sejalan dengan langkah di atas, diperlukan penguatan pengelolaan area hutan dan lahan gambut dalam kawasan lindung baik pada tingkat lapangan/tapak, KPH atau bentuk pengelolaan lainnya, maupun sumber daya manusia untuk menjamin tidak terjadinya emisi karbon dari kegiatan perambahan dan konversi. Untuk itu perlu dilakukan telaah dan penyempurnaan peraturan perundangan untuk mewujudkan dan memperkuat pengelolaan kawasan lindung tersebut. 2. Pengendalian konversi dan pembalakan hutan Di luar kawasan lindung, dimana deforestasi dan degradasi sudah dimulai, beberapa program strategis yang dapat dilakukan yaitu: 66
a. Perlindungan kawasan hutan bernilai konservasi tinggi pada kawasan hutan produksi; b. Perlindungan kawasan bernilai konservasi tinggi pada kawasan perkebunan; dan c. Revisi dan peninjauan ulang kebijakan pemberian izin usaha pada lahan gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter. Selain itu pada area yang tidak dibebani hak dimana deforestasi dan degradasi hutan belum dimulai, dapat dilakukan:
Penyempurnaan perencanaan pembangunan pertanian mencakup antara lain proyeksi perluasan usaha pertanian dan pemberian izin tidak pada kawasan hutan dan areal penggunaan lain yang memiliki tutupan hutan yang masih dalam keadaan baik (cadangan karbon di atas 35 ton/ha); dan Perbaikan perencanaan kawasan‐kawasan bernilai konservasi tinggi, seperti kawasan perkebunan dan lahan gambut, serta penguatan sistem pemantauan dan evaluasi pembangunan perkebunan kelapa sawit.
Pada area dimana konversi belum dimulai akan tetapi izin baru sudah diberikan, perlu diterapkan kebijakan tukar fungsi lahan (land swap) pada kawasan APL di tanah mineral dan pemberian insentif kepada pemegang konsesi perkebunan yang memindahkan kegiatan dari lahan berhutan alam dengan nilai konservasi tinggi ke area dengan hutan yang telah terdegradasi. Jika izin belum seluruhnya digunakan, maka seluruh atau sebagian izin dapat dicabut. Untuk area yang sudah diberikan izin dan tidak dioperasionalkan dalam jangka waktu yang sudah ditetapkan, baik pada HTI maupun kebun kelapa sawit, dilakukan pencabutan izin. Untuk melaksanakan program ini diperlukan terciptanya kondisi pemungkin (enabling condition), terutama penegakan hukum yang kuat selain RTRW. Selain itu, pembalakan liar juga bisa diberantas melalui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
4.4.3.2. Rehabilitasi Rehabilitasi ditujukan untuk mengurangi emisi dengan meningkatkan penyerapan dan cadangan karbon maupun penataan kembali lahan gambut yang telah terdegradasi. Wilayah cakupan utama adalah kawasan hutan dengan tutupan hutan alam atau lahan gambut yang telah terdegradasi serta kawasan APL dengan lahan gambut terdegradasi. Terlepas dari program strategis yang diusulkan, strategi ini tidak akan memberikan sumbangan terhadap mitigasi perubahan iklim dan ecosystem services yang lain apabila pada saat program dimulai berlaku salah satu dari tiga hal di bawah ini: 1. Cadangan karbon dari biomasa di atas permukaan tanah lebih tinggi dari 35 tC/ha; 2. Lahan gambut; dan 3. Merupakan ekosistem dengan nilai konservasi tinggi. Adanya pedoman teknis untuk penentuan hutan dan lahan terdegradasi merupakan enabling condition yang diperlukan oleh program rehabilitasi. Program penanaman bisa dilakukan dengan tujuan untuk peningkatan cadangan karbon semata ataupun untuk merestorasi ekosistem. Untuk tujuan kedua, co‐benefit dengan pemeliharaan keanekaragaman hayati dimungkinkan. 67
Reforestasi dan rehabilitasi dari hutan yang terdegradasi pada DAS kritis seluas 500,000 ha/tahun akan menurunkan emisi sebesar 0.37 GtCO2e pada tahun 2020 dengan biaya sebesar $5.5/ ton (MoFo 2010). Di luar program reforestasi, diidentifikasi sekitar 10 juta ha area dengan hutan terdegradasi dan area yang tidak berhutan, yang berpotensi tinggi untuk ditanami pohon. Apabila area ini dialokasikan untuk konservasi, sebanyak 148 Gtons CO2e emisi akan direduksi pada tahun 2020 dengan biaya antara $5‐6 per t CO2e. Penanaman spesies kayu dengan nilai ekonomis tinggi mempunyai potensi untuk mereduksi emisi. Namun demikian, akan terjadi pemanenan pada akhir periode rotasi (yang seringkali cukup pendek), sehingga cadangan karbon akan hilang dan potensi pengurangan emisi menjadi terbatas. 1. Penguatan pengelolaan dan rehabilitasi lahan gambut Program yang dapat dilakukan meliputi: a. Rehabilitasi hidrologi (misalnya bloking kanal) dan penerapan pengelolaan tata air yang baik; b. Penanaman kembali spesies lokal; c. Penerapan penggunaan amelioran dalam mengkonservasi tanah di lahan gambut di dalam hutan; d. Pengembangan pencegahan dan penanggulangan kebakaran gambut; e. Telaah keabsahan izin/konsesi terhadap seluruh kegiatan yang dilaksanakan di atas lahan gambut dan melakukan penegakan hukum terhadap izin‐izin yang tidak sah; dan f. Pelaksanaan inventarisasi lahan gambut yang ada di kawasan hutan, lahan gambut yang berhutan dan tidak berhutan, yang meliputi kondisi biofisik (termasuk ketebalan), sosial ekonomi yang lengkap, sahih, transparan dan akuntabel. Potensi pengurangan emisi yang bersumber dari restorasi dan rehabilitasi lahan gambut adalah sebesar 0,732 Gt CO2e pada tahun 2020 dengan biaya $5,5/ton (MoFo 2010). Menurut DNPI (2010), biaya penutupan saluran drainase cukup rendah, yaitu $1/ton CO2e. Meskipun demikian, biaya penanaman kembali cukup mahal, yaitu $3‐5/ton CO2e. Regenerasi alami mungkin masih bisa diharapkan untuk mengurangi biaya penanaman kembali. Estimasi pengurangan emisi adalah sebesar 83 Gt CO2e pada tahun 2020. 2. Aforestasi/reforestasi hutan dan lahan gambut Program ini bisa dikembangkan melalui pemberian insentif untuk: a. Peningkatan cadangan karbon di daerah yang terdegradasi dan lahan bekas bakar; b. Pelaksanaan penanaman pengayaan (enrichment planting) pada kawasan terdegradasi, terutama di dalam kawasan hutan; c. Peningkatan upaya rehabilitasi hutan mangrove secara transparan, akuntabel dan partisipatif, terutama di dalam kawasan hutan; d. Pelaksanaan reklamasi lahan bekas tambang secara transparan, akuntabel dan partisipatif, terutama di dalam kawasan hutan; e. Peningkatkan produktivitas hutan per luasan lahan tanpa menambahkan emisi dari pemupukan. Kegiatan bisa berupa penanaman pengayaan, penjarangan antar siklus, pemupukan, pemilihan bibit dan teknik pemuliaan yang baik. Biaya silvikultur intensif adalah
68
sekitar $10 per tCO2e, dan berpotensi mereduksi emisi sebesar 39 MtCO2e pada tahun 2020 (MoFo 2010); f. Pengembangan Hutan Kota yang meskipun dalam hal luasan dan besaran emisi yang bisa direduksi mungkin tidak signifikan, akan tetapi manfaat majemuk dalam bentuk co‐benefit cukup berperan dalam hal ecosystem services yang lain, seperti keanekaragaman hayati, kualitas lingkungan hidup dan regulasi air sebagai bagian dari adaptasi; dan g. Peningkatan cadangan karbon melalui pengelolaan agroforestry. Di Indonesia, luasan lahan dengan tutupan pepohonan dengan spesies majemuk adalah 15 juta ha pada tahun 2005 dengan rata‐rata kerapatan karbon yang cukup tinggi (>35 C/ha) (Ekadinata and Dewi, 2011). Sebagian besar dari luasan ini adalah agroforestry yang dikelola masyarakat lokal. Dengan komposisi pepohonan multi‐umur, multi‐strata dan multi‐species, co‐benefit yang dihasilkan dalam hal keanekaragaman hayati, manfaat ekonomis, regulasi air dan pencegahan longsor cukup besar. Peningkatan upaya reboisasi hutan di kawasan hutan terdeforestasi secara transparan, akuntabel, dan partisipatif, terutama di dalam kawasan hutan bisa dilakukan melalui program HTR, HTI, Hutan Desa, Hutan Kemasyrakatan, dan sebagainya. Aforestasi dan reforestasi hendaknya memperhatikan kebutuhan masyarakat setempat akan hasil hutan (kayu dan non‐kayu). Pengembangan perhutanan sosial melalui fasilitasi penetapan areal kerja dan pengelolaan hutan kemasyarakatan (HKm), fasilitasi pembangunan hutan rakyat kemitraan, dan fasilitasi penetapan areal kerja hutan desa diharapkan menjadi skema pemberian hak yang efektif dalam melindungi cadangan karbon. 3.
Restorasi Ekosistem
Bertujuan lebih luas dari pengurangan emisi, deforestasi dan degradasi, program ini berpotensi tinggi untuk bekontribusi terhadap REDD+ dan co‐benefit jasa ekosistem pada kawasan hutan. Mekanisme perizinan yang transparan serta evaluasi yang terukur terhadap program yang dilakukan merupakan elemen utama. Pelaksanaan restorasi ekosistem pada hutan lindung, kawasan konservasi, dan pada kawasan IUPHHK‐RE, khususnya pada kawasan yang kaya karbon, seperti lahan gambut, perlu dilakukan seefektif mungkin dengan merujuk pada best practices dan peraturan yang ada.
4.5. Perubahan Paradigma dan Budaya Kerja Mengingat tingginya emisi dari aktivitas penggunaan lahan, alih guna lahan dan kehutanan di Indonesia, maka diperlukan perubahan paradigma dan budaya kerja yang mendasar di sektor ini. Dalam konteks pembangunan ekonomi, pola sektoral yang ekslusif, ekspansif dan eksploitatif cenderung membawa sektor kehutanan Indonesia menjauh dari perwujudan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Demikian juga dengan tantangan akan kapasitas pada tingkat individu yang mencakup kompetensi (kemampuan, kualifikasi, dan pengetahuan), sikap dan perilaku (attitude), serta integritas (etos kerja dan motivasi), maupun jiwa kepemimpinan sumber daya manusia, yang memiliki tanggung jawab dalam organisasi sebagai ujung tombak pengelolaan hutan di lapangan. Membangun paradigma dan budaya kerja perlu disikapi sebagai tekad anak bangsa untuk kelestarian lingkungan dan kehidupan manusia Indonesia, bahkan dunia. Tekad ini bukan semata‐mata karena 69
adanya tekanan atau agenda internasional tetapi karena kesadaran yang tinggi sebagai warga dunia. Apabila paradigma dan budaya kerja atas pengelolaan hutan berkelanjutan dijadikan sebagai bagian dari kerangka strategis, maka sangatlah penting dan mendesak untuk membawa kembali para pihak yang berada di luar kerangka paradigma pengelolaan hutan berkelanjutan untuk masuk ke dalam kerangka tersebut. Untuk itu diperlukan prinsip sebagai acuan agar pengelolaan hutan berkelanjutan, penyusunan rencana, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan dapat dengan tepat mencapai sasaran. Dalam perubahan yang mendasar ini, prinsip yang harus menjadi acuan adalah: Peka terhadap peran gender. Dengan memperhatikan keseimbangan peran dan kebutuhan strategis 22 pria dan wanita; Inklusif. Tidak tertutup dan secara sengaja melibatkan pihak yang benar‐benar terkait; Kolaboratif, mendudukkan semua pihak pada tingkat yang sama sebagai mitra kerja; Adaptif. Secara cepat dan tepat mengantisipasi perubahan yang memang perlu; dan Transparan, dalam proses perencanaan, pembiayaaan, dan pengambilan keputusan Prinsip‐prinsip di atas secara individu maupun kolektif sangat penting untuk mendasari pelaksanaan kegiatan berikut ini.
4.5.1. Penguatan Tata Kelola Sektor Kehutanan Penguatan tata kelola sektor kehutanan akan menentukan keberhasilan dari program strategis yang diuraikan dalam sub Bab 4.4. Penguatan tata kelola ditujukan untuk memastikan bahwa setiap pengambilan keputusan dalam konteks pengelolaan hutan dan lahan gambut memenuhi prinsip‐ prnsip di atas sehingga menjamin bahwa pengambilan keputusan bebas dari konflik kepentingan dan didasari pada keberadaan informasi yang akurat. Penguatan akan dilakukan melalui: 1.
Peningkatan transparansi dalam: (a) proses pembuatan peraturan perundang‐undangan; (b) proses pengambilan kebijakan; serta (c) proses pemberian izin di sektor kehutanan. Upaya ini antara lain dilakukan dengan mengatur secara eksplisit peraturan perundang‐undangan mengenai mekanisme partisipasi yang bersifat operasional serta kewajiban akuntabilitas pengambil keputusan atas keputusan yang diambil dalam peraturan perundang‐undangan terkait;
2.
Peningkatan ruang transparansi dan partisipasi secara khusus pada kelompok yang potensial terkena dampak (potentially affected people) dengan fokus pada kelompok rentan seperti masyarakat adat, orang miskin, perempuan dan anak;
3.
Peningkatan kapasitas masyarakat terutama kelompok yang potensial terkena dampak, khususnya pada kelompok perempuan dank aum rentan untuk (a) memahami informasi yang ada; dan (b) dapat berpartisipasi secara efektif dalam proses pengambilan keputusan;
4.
Peningkatan pemahaman pengambil keputusan (decision makers) di tingkat nasional dan sub nasional akan peran penting pelibatan pemangku kepentingan, agar keputusan yang diambil lebih obyektif dan berkualitas karena didasarkan atas informasi yang memadai serta
22 Kebutuhan strategis mengacu kepada perubahan posisi perempuan atas hak yang sama antara laki dan perempuan.
70
meminimalisasi konflik kepentingan dalam pengambilan kebijakan; 5.
Dalam konteks mendorong transparansi dan memastikan adanya informasi yang akurat sebagai bahan untuk berpartisipasi, diperlukan adanya program untuk memastikan implementasi secara konsisten atas Undang‐Undangan Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, terutama pada instansi pemerintah di sektor terkait, yaitu kehutanan, pertanian, energi, pekerjaan umum, dan lain‐lain melalui upaya peningkatan kapasitas badan publik terkait untuk memenuhi kewajiban sesuai Undang‐undang tersebut; dan
6.
Penyediaan mekanisme resolusi konflik yang efektif untuk mewadahi berbagai perbedaan pandangan dan kepentingan dalam proses pelibatan pemangku kepentingan.
4.5.2. Kampanye Nasional untuk Aksi “Penyelamatan Hutan Indonesia” Untuk meningkatkan dukungan publik diperlukan kampanye sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat luas terhadap pentingnya hutan untuk menyangga kehidupan. Hutan Indonesia memiliki nilai ekologi dan ekonomi yang tinggi baik secara lokal, nasional maupun global sehingga harus dijaga dan dihargai. Perubahan paradigma masyarakat luas dari semua tingkatan sosial dan umur diperlukan untuk mengetahui nilai pentingnya keberadaan hutan sebagai penyeimbang kehidupan. Kampanye nasional penyelamatan hutan juga diperlukan untuk meningkatkan kesadaran bahwa perusakan hutan menjadi "musuh bersama", sebagaimana korupsi menjadi musuh bersama. Kegiatan ini akan dilakukan oleh lembaga REDD+ bekerja sama dengan pihak‐pihak yang memiliki keahlian di bidang komunikasi publik. Kampanye akan dilakukan tepat pada saat strategi nasional dan semua kegiatan terkait dengan program strategi nasional ini diumumkan dan disahkan. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah dimanfaatkannya momentum persiapan perbaikan hutan Indonesia oleh pihak‐pihak yang tidak bertanggung jawab. Kampanye dilakukan melalui : 1. Pembuatan perangkat informasi populer (popular information kit) yang akan menjadi bahan informasi di berbagai kalangan tentang pentingnya hutan dan mekanisme REDD+; 2. Kerjasama dengan media massa (cetak maupun elektronik) terkait dengan penyiaran informasi yang objektif dari berbagai perspektif (pemerintah, masyarakat, pengusaha, praktisi, dan perempuan) terkait dengan upaya penyelamatan hutan Indonesia dan mekanisme REDD+; 3. Menyelenggarakan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan melalui jalur formal dan non formal termasuk organisasi sosial, agama, perempuan dan pembinaan anak usia dini, dimana penyelamat hutan dan mekanisme REDD+ termasuk di dalamnya; dan 4. Membangun pusat data tentang kegiatan uji coba (demonstration activities) sebagai proses pembelajaran dimana praktek yang baik (best practices) dan kearifan lokal didokumentasikan dengan baik dan mudah diakses.
71
Boks 4.1. Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan: Investasi Pendidikan untuk Perubahan Perubahan yang terjadi di sekolah‐sekolah di sekitar hutan di beberapa daerah seperti di Kalimantan sangat menarik untuk dicermati. Sekolah telah mampu mengubah cara‐cara pembelajarannya. Tema‐tema lokal seperti hutan dan perubahan iklim yang diintegrasikan dalam mata pelajaran, penataan lingkungan sekolah, tata kelola sekolah yang semakin baik. Pelibatan masyarakat sekitar sebagai sumber dan bahan ajar, serta terlibat dalam berbagai kegiatan sekolah lebih menghidupkan suasana. Semua ini mereka nikmati setelah menerapkan model Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan. Model ini perlu disebarluaskan agar dapat diadopsi oleh sekolah lainnya, dan disesuaikan dengan kondisi yang berkembang di tempat tersebut. (PPB) memiliki tujuan agar setiap orang Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan mendapatkan pengetahuan dan merasa termotivasi untuk bekerja seiring dengan masa depan yang berkelanjutan. PPB mengajarkan perubahan cara pandang, cara berfikir dan bertindak yang menghasilkan berbagai solusi dan inovasi untuk masa depan yang berkelanjutan. Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan memiliki enam pilar, yaitu: 1) Pendidikan sepanjang hayat, PPB tidak hanya diajarkan pada anak‐anak usia sekolah di pendidikan formal, tetapi juga dapat diajarkan dalam berbagai tingkatan usia dalam pendidikan non‐formal, maupun non‐formal; 2) Berfokus kepada pembelajar, guru akan berperan sebagai fasilitator proses belajar yang mengajarkan cara belajar; 3) Pendekatan holistik, pendekatan yang seimbang anatara berbagai kepentingan sosial/budaya‐ ekonomi‐lingkungan; 4) Beragam metoda yang demokratis, memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk belajar menggunakan hak‐hak demokrasi, memilih, dan mengemukakan pendapat; diajarkan bagaimana menghargai pendapat dan 5) Perspektif yang berbeda, setiap pembelajar cara pandang setiap orang yang berbeda; dan 6) Berfikir mendalam, melihat sebuah masalah tidak dilihat permukaan saja tapi belajar untukmelihat dari berbagai sudut pandang untuk menghasilkan antisipasi, rencana, dan solusi‐ solusi di masa depan. Dengan keenam pilar ini, pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan, dapat membekali generasi yang siap bersaing dan menghadapi berbagai perubahan yang sangat cepat di masa depan, termasuk perubahan iklim.
4.5.3. Pengembangan Kegiatan Insentif melalui “Forest of The Year” Dorongan untuk dapat mengubah budaya kerja dapat dilakukan apabila terdapat "imbalan" (reward) yang disediakan. Imbalan tersebut tidak harus berbentuk uang. Pada aspek lingkungan hidup, dikenal adanya "Kalpataru" bagi para pihak yang dianggap berhasil berkontribusi nyata dalam 72
pelestarian lingkungan. Hal tersebut akan dilakukan juga pada sektor kehutanan dengan cara: 1. Menteri Kehutanan mengeluarkan Keputusan Menteri untuk menetapkan bahwa akan dilangsungkan program pemberian insentif secara tahunan melalui pemberian penghargaan (award); 2. Menyusun prinsip, kriteria dan indikator untuk melakukan penilaian dengan mekanisme yang transparan, akuntabel, dan independen. Penilaian akan dilakukan oleh tim penilai independen yang melibatkan Dewan Kehutanan Nasional sebagai wujud dari forum multi pihak yang diakui; dan 3. Melakukan penilaian dengan terbuka dan terukur sehingga dapat diawasi oleh masyarakat luas dan tidak disisipkan kepentingan dari objek penilaian.
4.6. Pelibatan Para Pihak Sebagai bagian dari prinsip inklusif dan kolaboratif, pelibatan masyarakat dan berbagai pemangku kepentingan menjadi sesuatu yang harus dilakukan dalam konteks pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Pelibatan ini dilakukan pada level horizontal dan vertikal antar instansi pemerintah dan secara horizontal antara pemerintah dengan aktor lain di luar pemerintahan, dengan melalui proses identifikasi pemangku kepentingan beserta peran, kepentingan dan kewenangannya. Dengan demikian, pelibatan berbagai pihak dalam hal ini mencakup pemerintah daerah, masyarakat di dalam dan sekitar hutan, masyarakat adat, masyarakat lokal, pihak swasta, akademisi dan organisasi masyarakat sipil. Dengan memperhatikan kondisi dan karakter lokal serta potensi kompleksitas akibat banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat dalam pelaksanaan REDD+, format pelibatan para pemangku kepentingan tersebut perlu dirancang sejak awal .
4.6.1. Interaksi dan Strategi Pelibatan Para Pihak Dalam pengelolaan hutan, interaksi dari masing‐masing pemangku kepentingan menjadi sangat penting. Pola interaksi dari masing‐masing pemangku kepentingan akan menentukan kualitas dari keputusan yang akan diambil. Upaya pengambilan keputusan dalam pengelolaan kehutanan secara kolaboratif pada dasarnya telah diupayakan semenjak tahun 1999 yang dituangkan di dalam Undang‐Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan melalui pengaturan keberadaan "forum pemerhati kehutanan" (pasal 70) yang bersifat multi pihak. Keberadaan lembaga tersebut saat ini diwadahi dalam Dewan Kehutanan Nasional (DKN). Sejalan dengan peran DKN yang sudah dijelaskan di bagian 4.3, untuk mendukung pelaksanaan kebijakan/program/proyek/kegiatan REDD+, DKN diharapkan berperan lebih aktif sebagai forum multi pihak yang memfasilitasi dialog dan pengembangan kebijakan/langkah‐langkah lebih lanjut terkait implementasi REDD. Badan REDD+ akan mengembangkan kemitraan strategis dengan DKN untuk memastikan bahwa pelibatan para pihak berjalan secara efektif dan kelompok‐kelompok masyarakat rentan mendapat perlakuan yang adil. Pelibatan peran masyarakat terkait REDD+ akan dilakukan dengan strategi berikut: 1. Identifikasi dan pemetaan para pemangku kepentingan yang mencakup pemahaman tentang pelaku dan pihak‐pihak yang terkena dampak, baik positif maupun negatif, termasuk 73
kelompok masyarakat yang rentan terhadap dampak program/proyek/kegiatan, kepentingannya terhadap program/proyek/kegiatan REDD+, tingkat pengaruh dan kewenangan, serta sumber legitimasi kepentingan dan pengaruhnya; 2. Peningkatan pemahaman, kesadaran, kesepahaman/kesepakatan dan dukungan para pihak terhadap pelaksanaan REDD+ melalui proses PADIATAPA dengan menerapkan strategi komunikasi yang efektif dan sesuai dengan karakter lokal; 3. Peningkatan peran pemangku kepentingan dalam perancangan dan pemecahan masalah, termasuk kelompok‐kelompok rentan seperti masyarakat adat, masyarakat miskin, dan perempuan. Peningkatan peran ini dapat dilakukan melalui: a. Kerja Sama Kontributif (Contributory Partnership), yaitu kerja sama yang sifatnya support sharing dimana kontributor menyepakati usulan dan memutuskan untuk menyalurkan dana pada program atau proyek REDD+. Berbagai pihak dapat menjadi kontributor, seperti pemerintah, swasta, atau lainnya; b. Pembangunan Kerja Sama Operasional (Operational Partnership), yaitu kerja sama yang sifatnya pembagian kerja (working sharing) dimana para pihak yang terdiri dari pemerintah, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat bersepakat bekerja sama dan bertukar sumber daya dalam pelaksanaan kegiatan REDD+; c. Pembangunan Kerja Sama Konsultatif (Consultative Partnership), yaitu kerja sama yang bersifat advisory, dimana pihak‐pihak tertentu yang dianggap berkompeten memberikan masukan kebijakan, strategi, rancangan, evaluasi dan penyesuaian untuk melancarkan pelaksanaan REDD+ di Indonesia; dan d. Pembangunan Kerja Sama Kolaboratif (Collaborative Partnership), yaitu kerja sama dalam proses pengambilan keputusan, dimana para pihak bekerja sama dalam perumusan kebijakan, perencanaan, implementasi, evaluasi dan penyesuaiaan pelaksanaan REDD+ dengan kewenangan, pemilikan, dan risiko yang dibagi bersama; dan 4. Penyiapan sistem pengaman (safeguard) yang bertujuan untuk memastikan adanya acuan dalam pelaksanaan penilaian risiko dan penyiapan langkah‐langkah penanggulangan terkait tata kelola, dampak pada hubungan dan posisi sosial bagi kelompok masyarakat rentan, dan dampak terhadap lingkungan hidup.
4.6.2. Pelaksanaan Prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA)23 PADIATAPA adalah hak masyarakat untuk memberikan Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan. Prinsip PADIATAPA telah diadopsi ke dalam kerangka aturan UNFCCC untuk pelaksanaan REDD+ berdasarkan kesepakatan di COP 16 di Cancun, Mexico, Desember 2010 (Annex 1 dari keputusan COP16 kesepakatan Cancun). Sebelum diadopsi oleh UNFCCC, PADIATAPA telah menjadi bagian dari aturan yang mengatur interaksi negara dengan masyarakat adat. Aturan ini dicantumkan dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia, dan Deklarasi
23 Sebagian materi ini di adopsi dari Panduan Perubahan Iklim dan Masyarakat Adat, Tetteba Foundation, Philippines, 2010 dan materi issue paper dan hasil‐hasil Dialogue on FPIC yang dimotori oleh The Forest Dialogue di Pekanbaru bulan Oktober 2010.
74
PBB tentang Hak‐hak Masyarakat Adat/DHMA (United NNations Declaration on Rights of Indigenous People/UNDRIP) yang juga telah diadopsi oleh pemerintah RI. Aturan ini juga dicantumkan di dalam Konvensi ILO Nomor 169, yang di Indonesia masih dalam proses ratifikasi. Undang‐Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak‐Hak Ekonomi, Sosial dan Kultural) dari ECOSOC juga dapat digunakan sebagai dasar implementasi PADIATAPA dalam program/proyek REDD+. Badan REDD+ akan menetapkan bahwa prinsip dan pelaksanaan PADIATAPA menjadi bagian pelaksanaan program dan proyek REDD+ di Indonesia, dan akan mengkoordinasikan pengembangan protokol pelaksanaannya bersama dengan pihak‐pihak yang relevan. PADIATAPA diterapkan dalam pelaksanaan program/proyek REDD+ di Indonesia dengan tujuan memastikan fairness dan accountability dari pelaksanaan program/proyek REDD+ bagi masyarakat adat/lokal yang kehidupan dan propertynya akan terkena pengaruh. Beberapa prinsip berikut menjadi dasar pengembangan protokol implementasi PADIATAPA dalam program/proyek REDD+: 1. Aplikasi PADIATAPA mencakup proses konsultasi dengan masyarakat adat dan masyarakat lokal yang relevan dengan keberadaan program/proyek REDD+ dan terkena dampak program/proyek REDD+. Konsultasi dimaksudkan untuk mendapatkan persetujuan dari masayarakat yang potensial terkena dampak; 2. Konsultasi untuk mendapatkan persetujuan masyarakat adat dan masyarakat lokal yang berpotensi terkena dampak program/proyek dilakukan tanpa paksaan, intimidasi atau manipulasi dan tekanan dalam bentuk apapun; 3. Konsultasi dengan masyarakat dilakukan dalam waktu yang cukup sebelum pengesahan izin apapun atau dimulainya kegiatan, dan dilakukan berdasarkan penghormatan yang ditunjukkan terhadap kepatuhan atas persyaratan‐persyaratan atau tata waktu yang diperlukan bagi proses konsultasi/konsensus berbasis adat maupun lokal; 4. Konsultasi dilakukan berdasarkan informasi yang lengkap, berimbang, jujur, tidak bias dan dapat dimengerti oleh masyarakat. Informasi mencakup penyampaian alternatif‐alternatif pilihan yang tersedia bagi masyarakat dan pelaksana program/proyek dan konsekuensi dari setiap alternatif pilihan tersebut. Hal ini bertujuan agar tercipta ruang keputusan yang cukup luas bagi kedua belah pihak berdasarkan berbagai kesempatan yang ada; 5. Konsultasi dilakukan dengan partisipasi penuh dan efektif dari masyarakat adat dan masyarakat lokal pada setiap tahap dari tindakan apapun yang dapat mempengaruhi mereka secara langsung ataupun tidak langsung. Partisipasi masyarakat adat dapat dilakukan melalui otoritas tradisional mereka atau sebuah organisasi perwakilan yang diputuskan berdasarkan sistem tradisional mereka sendiri; 6. Konsultasi ditujukan untuk mencapai kesepakatan yang luas (broad concensus) atau persetujuan dari masyarakat adat maupun lokal yang berpotensi terkena dampak. Persetujuan dapat bervariasi seperti: Persetujuan penuh, Persetujuan sebagian, Persetujuan sementara, Persetujuan bersyarat atau opsi lain. Persetujuan atau kesepakatan maupun opsi‐opsi dari masyarakat diputuskan sesuai dengan mekanisme hukum dan praktik‐praktik adat atau kebiasaan yang berlaku setempat; dan 75
7. Proses PADIATAPA mengawali proses konsultasi dan komunikasi yang berkesinambungan atau berkala antara masyarakat dan penyelenggara program/proyek REDD+. Karena itu, proses tersebut juga akan menyepakati protokol atau mekanisme konsultasi antara masyarakat dengan penyelenggara program/proyek REDD+. Selain itu juga disepakati mekanisme/protokol resolusi konflik dan mekanisme penyampaian keberatan terhadap informasi, proses dan berbagai tahapan program/proyek REDD+ .
4.6.3. Penerapan Kerangka Pengaman (Safeguards) Kerangka pengaman (safeguards) merupakan sebuah kriteria dan indikator yang tercakup di dalam kebijakan nasional untuk memastikan bahwa pelaksanaan REDD+ tidak menyimpang dari tujuan awalnya. Pada dasarnya sistem pengaman diterapkan dengan tujuan untuk mengidentifikasi risiko‐ risiko yang terkait dengan isu sosial, isu tata kelola keuangan dan isu dampak terhadap lingkungan hidup. Setelah evaluasi pengaman awal, pelaksana proyek/program menyusun langkah‐langkah mitigasi risiko yang diidentifikasi, dan menjalankannya bersamaan dengan pelaksanaan proyek/program. Pengaman bukan merupakan suatu hal yang baru karena saat ini hal tersebut telah termuat pada beberapa peraturan perundang‐undangan di Indonesia dan diterapkan dalam berbagai proyek pembangunan fisik. Dalam konteks implementasi REDD+, diperlukan beberapa hal spesifik yang harus dilakukan untuk menerapkan kerangka pengaman tersebut. Penyiapan sistem safeguards meliputi: 1.
Penyusunan prinsip, kriteria dan indikator kerangka pengaman
Penyusunan prinsip, kriteria dan indikator ditujukan untuk dapat memperoleh landasan hak bagi masyarakat dan kriteria lingkungan yang sesuai dengan karakter lokal yang perlu untuk diletakkan sebagai bagian dari kerangka pengaman. Penyusunan kriteria dan indikator ini setidaknya perlu memuat: a. Jenis‐jenis hak mendasar dari masyarakat untuk mendapatkan informasi yang mudah dipahami, berpartisipasi dan hak untuk mengajukan keberatan (sebagai bagian dari prinsip free and prior informed consent) atas keputusan publik yang berkaitan dengan proyek REDD+; b. Jaminan bahwa proyek atau program REDD+ melindungi dan mengakui hak masyarakat adat/lokal atas sumber daya alam yang tidak hanya berbasis pada bukti formal tetapi juga penguasaan dan klaim secara historis; c. Indikator yang menjamin pengakuan terhadap hak‐hak dasar masyarakat adat dan lokal untuk menyatakan keputusannya atas sebuah kegiatan REDD+ di wilayah mereka; d. Jenis‐jenis prinsip tata kelola pemerintahan dan tata administrasi yang baik (good governance), mencakup berbagai prinsip yang menjamin transparansi dan akuntabilitas publik dari pelaksana pengelolaan kehutanan; e. Indikator yang menjamin kesetaraan gender dan kaum rentan dalam berperan serta dalam pelaksanaan REDD+; f.
Indikator untuk memastikan bahwa sebelum kegiatan REDD+ dilaksanakan, terdapat suatu 76
mekanisme penyelesaian konflik apabila terdapat konflik dan untuk mengatasi apabila terjadi konflik di masa yang akan datang; g. Kriteria atas segala kemungkinan dampak maupun keuntungan yang akan ditimbulkan dari penerapan REDD+ termasuk jaminan atas penentuan pembagian manfaat yang akan timbul sebagai konsekuensi REDD+; h. Kriteria jaminan yang memastikan REDD+ tidak bertentangan dengan upaya penyelamatan keanekaragaman hayati dan standar lingkungan hidup yang berkelanjutan; dan i.
2.
Indikator yang menjamin adanya tindakan pemulihan bila terjadi pelanggaran atau pengabaian terhadap hak maupun standar lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Penyusunan prosedur penilaian dan pelaksanaan kerangka pengaman
Setelah melaksanakan penentuan prinsip, kriteria dan indikator dari kerangka pengaman, perlu melakukan penyusunan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) untuk memastikan bahwa prinsip, kriteria dan indikator yang telah di susun dapat dinilai dan diterapkan. Penyusunan juklak dan juknis dilakukan oleh lembaga REDD+ dengan memperhatikan nilai‐nilai lokal dan setidaknya perlu memuat: a. Prosedur dan sistem informasi dan mekanisme persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (termasuk mekanisme mengajukan keberatan) dalam proses persetujuan kegiatan REDD+; b. Prosedur dan sistem informasi yang menjamin pengakuan terhadap hak masyarakat atas tanah dan hutan yang tidak hanya mengacu pada bukti penguasaan formal tetapi juga penguasaan secara adat atau secara historis; c. Prosedur dan sistem due dilligence dan pengawasan internal maupun eksternal dalam hal pelaksanaan REDD+; d. Prosedur dan sistem untuk resolusi konflik dan pengajuan keberatan; e. Prosedur dan sistem penentuan pembagian manfaat yang timbul dari penerapan REDD+; f.
Prosedur penindaklanjutan apabila terjadi kerugian (materil maupun imateril) yang diterima oleh masyarakat akibat dari pelaksanaan REDD+; dan
g. Prosedur dan sistem penilaian keselamatan dan keberlanjutan lingkungan dalam wilayah yang akan menjadi areal penerapan REDD+. 3.
Penggabungan indikator‐indikator safeguards ke dalam instrumen MRV untuk peninjauan berkala. Upaya MRV terhadap safeguard setidak‐tidaknya perlu mencakup hal‐hal sebagai berikut: a. Akuntabilitas yang berkaitan dengan cara dan proses dalam pengumpulan data sosial dan lingkungan untuk menyusun kebijakan maupun dokumen proyek REDD+; b. Fakta dan data yang tersaji dalam laporan pelaksanaan kebijakan, program atau proyek REDD+ sampai tahap evaluasi; c. Pemenuhan safeguards dalam hal kebijakan sampai dengan implementasi kegiatan REDD+ 77
beserta proses dan cara pemenuhannya; dan d. Penilaian mengenai akuntabilitas hasil verifikasi dan distribusi manfaat terhadap kelompok laki‐laki dan perempuan dari pelaksanaan program/proyek REDD+. Kerangka Pengaman Keanekaragaman Hayati Adopsi ukuran‐ukuran keanekaragaman hayati di dalam proyek/program REDD+ akan dilakukan untuk memastikan bahwa upaya penurunan emisi dan peningkatan serta pemeliharaan stok karbon berjalan searah dengan upaya konservasi keanekaragaman hayati. Selain menjadi bagian dari dinamika ekosistem hutan tropis, keanekaragaman hayati cenderung menjadi bagian penting sebagai penyangga kehidupan masyarakat. Keanekaragaman hayati flora dan fauna di hutan adalah bagian dari sumber protein, karbohidrat, obat‐obatan dan kebudayaan masyarakat. Karena itu, perumusan sistem safeguard keanekaragaman hayati untuk REDD+ perlu dilakukan bersama para pemangku kepentingan, termasuk yang mewakili masyarakat hutan dan sejauh mungkin mendasarkannya pada pengetahuan mereka tentang manfaat sumber keanekaragaman hayati tersebut. Pengembangan sistem pengaman REDD+ untuk keanekaragaman hayati yang terkait dengan kepentingan masyarakat dapat dilakukan misalnya dengan mengadopsi pendekatan The Climate, Community and Biodiversity Standard (CCBS) yang sudah diterapkan di beberapa tempat. Penyelenggara proyek dapat menggunakan standard ini untuk memandu dan memastikan bahwa program/proyek REDD+: (a) konsisten dan menyumbang pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan atau green economy; (b) adanya manfaat bagi ekosistem dan keanekaragaman hayati; dan (c) adanya manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Selain menggunakan pendekatan kriteria dan indikator, CCBS didasarkan pada pendekatan independensi dan tranparansi. Penilaian atas program/proyek akan dilakukan pada dua tahap: 1. Validasi rancangan program/proyek untuk memastikan integritas dan efektifitas pelaksanaan program/proyek; dan 2. Verifikasi, yaitu evaluasi kesesuaian hasil‐hasil kinerja program/proyek dengan tujuan dan target‐target yang ingin dicapai sesuai dengan kriteria dan indikator. Hasil dari kedua proses ini akan disampaikan secara terbuka kepada stakeholders dan pihak otoritas yang terkait. Kerangka Pengaman Kelompok Masyarakat Rentan
Pengamanan kelompok rentan dampak secara khusus perlu mendapat perhatian khusus dalam pengembangan program/proyek/kegiatan REDD+. Masyarakat adat/asli/lokal yang tinggal di dalam dan sekitar hutan yang penghidupannya tergantung pada sumber daya hutan, kelompok perempuan yang sering harus menanggung dampak berbagai perubahan pada sumber pendapatan keluarga, dan kelompok masyarakat yang karena posisi sosial, ekonomi dan politiknya berada pada posisi lemah dalam mempertahankan hak‐haknya adalah contoh‐contoh kelompok masyarakat rentan yang perlu dipastikan dalam proses pelibatan masyarakat dan pelaksanaan kerangka pengaman.
78
Ukuran‐ukuran peningkatan kesejahteraan kelompok masyarakat rentan akan menjadi bagian dari kerangka pengaman pelaksanaan program/proyek/kegiatan REDD+.
4.6.4. Pembagian manfaat Strategi pembagian manfaat yang terkait dengan alokasi sumber daya hutan akan memastikan bahwa masyarakat yang kehidupannya berbasis pada sumber daya yang ada di hutan menerima manfaat dari program/proyek/kegiatan REDD+ selain penyelenggara proyek dan organisasi pemerintah dan pemerintah daerah yang relevan. Selain itu, kelompok masyarakat yang rentan seperti masyarakat adat, orang miskin dan kaum perempuan hendaknya mendapat perhatian khusus. Strategi pembagian manfaat yang adil akan didasarkan pada: 1. Kepemilikan hak atas sumber daya hutan. Dalam hal ini, setiap right holders atas kawasan/wilayah tapak dari program/proyek REDD berhak mendapatkan pembayaran; 2. Jasa yang diberikan oleh individu selain sebagai pekerja yang dibayar oleh penyelenggara program/proyek. Manfaat yang didasarkan pada pendekatan ‘service‐based’ ini dapat juga diberikan secara kolektif jika jasa itu diberikan secara kolektif pula oleh komunitas; dan 3. Komunitas yang berkontribusi bagi pencapaian VER/CER di wilayah keberadaannya dalam bentuk kepemilikan kolektif atas lahan dan/atau penyediaan jasa pemeliharaan hutan secara kolektif dimana komunitas tidak mendapat pembayaran sebagai pekerja. Langkah pertama menuju pembagian manfaat yang adil bagi masyarakat akan dimulai dengan memperjelas status hak penguasaan lahan yang sudah dijelaskan di dalam bagian 4.3. Tahap berikutnya adalah identifikasi opportunity cost atau potensi hilangnya pendapatan dari wilayah yang akan dijadikan tapak program/proyek REDD+. Pemetaan atas wilayah yang dikuasai oleh pemegang hak yang berbeda‐beda menjadi dasar bagi pembayaran manfaat berbasis hak (right‐based). Identifikasi pemangku kepentingan/masyarakat yang menyumbang kepada fungsi serapan karbon (carbon sequestration) dan penurunan emisi karbon dari wilayah tapak program/proyek REDD+ dilakukan untuk memastikan pembagian manfaat yang berbasis jasa (service‐based). Pemerintah Daerah adalah salah satu calon yang berpotensi mendapatkan pembagian manfaat dari program/proyek REDD+, jika VER/CER dapat terwujud karena kebijakan dan investasi sektor publik yang dilakukannya. Pelaksanaan pembayaran manfaat kepada pihak‐pihak yang berhak menerimanya dilakukan berdasarkan evaluasi kinerja yang diukur dalam bentuk VER/CER (result/performance‐based payment). Masyarakat akan menerima pembayaran secara individual dan/atau kolektif sesuai dengan perannya dalam kepemilikan sumber daya, penyediaan jasa selain jika berkerja sebagai staff program/proyek yang menerima gaji/honorarium, dan jika menjadi bagian dari sebuah komunitas yang berkontribusi pada capaian VER/CER yang dihasilkan program/proyek.
79
Manfaat awal dalam bentuk pembiayaan sebagian dari investasi pengembangan tapak program/proyek REDD+ dimungkinkan untuk mendorong investasi dari pihak swasta. Pembayaran atau penyediaan dana investasi akan dipastikan juga bagi anggota masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kaum rentan, yang diminta untuk mengembangkan mata pencarian alternatif, jika kegiatan ekonominya dibatasi di wilayah ekstraktif yang menjadi bagian dari tapak program/proyek REDD+.
80
BAB 5 RENCANA KERJA UNTUK PELAKSANAAN Dalam rangka pelaksanaan REDD+, penetapan provinsi percontohan dan penundaan izin baru dilaksanakan pada tahun 2011. Bersamaan dengan itu implementasi 5 pilar strategi akan dicanangkan dalam proses perencanaan nasional.
5.1. Fase‐fase Pelaksanaan Keseluruhan proses perencanaan, persiapan, pembentukan lembaga, perumusan tata kerja, kebijakan dan prosedur, sampai keseluruhan sistem siap menjalankan pembayaran pelaksanaan hasil verifikasi pengurangan emisi diperkirakan akan memerlukan waktu selama 3 tahun. Implementasi Strategi Nasional REDD+ dimulai tahun 2011 dan sudah akan menjalankan pembayaran untuk sistem pengurangan emisi yang telah diverifikasi pada tahun 2014. Waktu pelaksanaan berbagai komponen Strategi Nasional REDD+ tergantung pada kemampuan dan kondisi awal, serta waktu yang dibutuhkan untuk menyusun perencanaan dan koordinasi serta keterkaitan antar strategi. Pilar pertama dari Strategi Nasional REDD+ dilaksanakan dengan membangun lembaga yang kredibel dan efektif. Untuk tahun 2011, dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐undang (PERPU) akan dibangun Badan Tata kelola REDD+ (REDD+ Governing Agency) yang disingkat dengan sebutan Badan REDD+ (REDD+ Agency), Dana Kemitraan REDD+ Indonesia (Indonesian REDD+ Partnership Fund) dan Lembaga MRV REDD+. Ketiga lembaga tersebut diharapkan sudah berdiri pada bulan Juni 2011, dan berjalan untuk membangun berbagai mekanisme kerja yang diperlukan sambil meningkatkan kapasitasnya sampai akhir 2013. Januari 2014, ketiga lembaga tersebut diharapkan dapat berfungsi penuh. Segera setelah dibentuk, Badan REDD+ akan mengambil alih tanggung jawab Satuan Tugas REDD+ untuk pengembangan sistem pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Badan REDD+ akan membentuk kelengkapan perangkat organisasinya (Dewan Pembina/governing council, Dewan Pengawas, Sekretariat dengan staff yang direkrut dari kalangan profesional). Kepala UKP4 akan duduk sebagai Ketua Dewan Pembina mewakili Seketariat Kepresidenan. Untuk mendukung implementasi provinsi percontohan, pada tahun 2011 Badan REDD+ akan memfasilitasi pembentukan dan penguatan kapasitas Badan REDD+ provinsi Kalimantan Tengah. Berkaitan dengan kegiatan pada tingkat nasional, ketiga lembaga tersebut akan menjalankan program‐program strategis yang dibutuhkan oleh provinsi‐provinsi percontohan dalam tahun 2011‐ 2012, sekaligus untuk mengukur efisiensi pelaksanaan program oleh ketiga lembaga tersebut, dengan belajar dari pelaksanaan program di lapangan sebagai dasar peningkatan kinerjanya. Pada tahun 2011, Badan REDD+ juga menjalankan program yang sangat penting seperti konsultasi dan
81
komunikasi dengan pemangku kepentingan, pengembangan berbagai mekanisme dan protokol seperti PADIATAPA dan pembagian manfaat (benefit sharing). Dana Kemitraan REDD+ akan mulai bekerja dengan melengkapi berbagai perangkat pelaksanaan tugas dan fungsinya yang ditargetkan untuk selesai pada akhir tahun 2011. Pada bulan Januari tahun 2012, Dana Kemitraan REDD+ akan mulai mengambil alih pengelolaan dana tahap kedua dari bantuan pemerintah Norwegia. Sejalan dengan ini, pendanaan investasi atau pengembangan proyek REDD+ serta investasi pendukungnya yang dapat diprakarsai oleh Pemerintah Daerah atau Badan REDD+ akan mulai dilakukan. Selama tahun 2012 sampai akhir 2013, Dana Kemitraan REDD+ juga akan memfokuskan diri pada penyiapan kapasitas kelembagaan dan mulai melakukan kampanye pengembangan dana dan memastikan kesiapan pelaksanaan pembayaran berdasarkan kinerja yang akan dimulai pada awal tahun 2014. Pilar kedua dari Strategi Nasional REDD+ terfokus pada penguatan kerangka hukum dan peraturan, proses, kapasitas dan kelembagaan. Keberhasilan Strategi Nasional REDD+ sangat tergantung pada kemampuan pemerintah dalam menjalankan strategi ini secara efisien dan tepat waktu. Mulai paruh awal tahun 2011 dilaksanakan kajian, definisi, perancangan dan perencanaan pembentukan kebijakan dan regulasi, penyelarasan insentif serta kelembagaan. Hasil pekerjaan ini mulai diimplementasikan pada akhir paruh kedua tahun 2011. Pilar ketiga merupakan pelaksanaan program strategis yang secara langsung terkait dengan pengendalian emisi. Keberhasilan pelaksanaan pilar ini ditentukan oleh keberhasilan pelaksanaan pilar pertama dan kedua. Oleh karena itu, fokus pelaksanaan pilar ketiga ini pada tahun 2011 diarahkan untuk membantu pelaksaan REDD+ di provinsi contoh yang telah siap. Pada tahun 2012 dikembangkan provinsi percontohan kedua. Tujuh provinsi berhutan lainnya tetap mendapatkan dukungan parsial dari Badan REDD+ dan didorong untuk belajar dari dua provinsi percontohan. Program REDD+ akan dikembangan secara lebih sistematis pada tahun 2014 untuk seluruh Indonesia. Sebelum sampai pada pelaksanaan seluruh provinsi, Badan REDD+ juga membantu keahlian teknis dan sumber daya serta kebutuhan koordinasi terhadap proyek REDD+ dan mengambil pelajaran dari aktivitas ini. Pilar keempat perlu dilaksanakan sesegera mungkin agar masyarakat segera memahami kepentingan dan manfaat pelaksanaan program REDD+. Kampanye REDD+ melalui pendidikan dilaksanakan pada pertengahan tahun 2011 dan dengan memprioritaskan provinsi contoh. Hubungan dengan negara‐ negara yang sedang mengembangkan REDD+ dan pembelajaran, seperti dari Brazil, telah dilakukan oleh delegasi Indonesia melalui kunjungannya pada September 2010 dan Maret 2011. Badan REDD+ juga akan melakukan kampanye perubahan budaya kerja di lingkungan birokrasi pemerintahan terkait dengan proses‐proses perencanaan pembangunan sektoral dan daerah, dan mengefektifkan fungsi konsultasi publik pada setiap tahap yang diperlukan. Pilar kelima dilaksanakan bersamaan dengan seluruh pilar di atas. Pelibatan dan komunikasi dengan para pihak dilaksanakan sebagai proses dari pelaksanaan seluruh pilar pertama sampai keempat. Pelaksanaan pilar kelima ini sebagai wahana untuk mewujudkan pelaksanaan partisipasi yang efektif guna mendapat legitimasi oleh para pihak terhadap kebijakan REDD+ dan pelaksanaannya. Rincian pelaksanaan strategi nasional REDD+ disajikan dalam Tabel 5.1. 82
Tabel 5.1. Rincian Pelaksanaan Strategi Nasional REDD+
WAKTU PELAKSANAAN Strategi Nasional REDD+ KELEMBAGAAN DAN PROSES
FASE‐1 2010 ‐ 2011
FASE‐2 2011 ‐ 2013
2014 DAN SETELAHNYA
• Menyusun strategi REDD+ nasional.
• Mendirikan Badan REDD+.
• Implementasi penuh sistem REDD+.
• Merancang lembaga REDD+, instrumen pendanaan, dan kerangka MRV independen.
• Meluncurkan instrumen pendanaan.
• Melanjutkan program pengurangan emisi.
• Meluncurkan sistem MRV.
• Menyerahkan program untuk tinjauan dan verifikasi independen.
• Merancang cakupan moratorium. • Memilih provinsi percontohan.
• Meluncurkan program provinsi percontohan pertama dan kedua (2011 dan 2012).
• Menjalankan sistem MRV sesuai standard UNFCCC.
• Membangun kapasitas • Verifikasi untuk reference level dan perangkat kerja. UNFCCC.. • Menuntaskan prakondisi hukum dan legislasi.
KERANGKA HUKUM DAN PERATURAN
FASE‐3
• Melakukan pembayaran berdasarkan Verified Emissions Reductions (VER).
Meninjau kerangka hukum bagi hak‐hak atas lahan dan mempercepat pelaksanaan penataan ruang. Meningkatkan penegakan hukum dan mencegah korupsi. Tinjauan kerangka hukum dan penetapan insentif dan/atau disinsentif bagi sektor swasta.
Penetapan kerangka hukum untuk sinkronisasi data & peta untuk penetapan ruang dan perijinan. Telaah perijinan dan penyelesaian konflik penggunaan hutan dan lahan. Menangguhkan ijin baru untuk hutan dan lahan gambut selama 2 tahun.
PROGRAM‐PROGRAM STRATEGIS 1. Pengelolaan Lansekap Berkelanjutan
▪ Perencanaan dan pengelolaan lansekap/ ekoregion/DAS multifungsi. ▪ Perluasan alternatif lapangan kerja secara berkelanjutan. ▪ Akselerasi pembentukan organisasi dan operasional KPH. ▪ Pengendalian dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan. ▪ Penyelesaian tata ruang di provinsi contoh.
▪ Pemetaan dan penetapan wilayah adat dan masyarakat lokal lainnya.
▪ Pelaksanaan land swap.
83
WAKTU PELAKSANAAN Strategi Nasional REDD+
2. Sistem ekonomi pemanfaatan SDA secara lestari
FASE‐1 2010 ‐ 2011
FASE‐2 2011 ‐ 2013
FASE‐3 2014 DAN SETELAHNYA
▪ Penyelesaian Tata Ruang di 8 provinsi berhutan lainnya.
▪ Penyelesaian Tata Ruang di seluruh provinsi lain
▪ Mengidentifikasi secara spesifik dan menuntaskan persiapan land swap
▪ Perluasan alternatif lapangan kerja secara berkelanjutan (pengembangan ekonomi lokal). ▪ Memacu praktek pengelolaan hutan secara lestari. ▪ Meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan. ▪ Mewujudkan praktek pertambangan ramah lingkungan. ▪ Mempromosikan industri hilir dengan nilai tambah tinggi.
3. Konservasi dan Rehabilitasi
▪ Memantapkan fungsi kawasan lindung. ▪ Mengendalikan konversi hutan dan lahan gambut. ▪ Restorasi hutan dan rehabilitasi gambut.
PERUBAHAN PARADIGMA DAN BUDAYA KERJA PELIBATAN PARA PIHAK
▪ Kepastian keberadaan dan penguatan pengelola hutan lindung dan lahan gambut.
▪ Penguatan tata kelola sektor kehutanan. ▪ Kampanye nasional untuk aksi “Penyelamatan Hutan Indonesia”. ▪ Pengembangan kegiatan insentif “forest of the year” ▪ Melakukan interaksi dengan berbagai kelompok (pemerintah regional, sektor swasta, organisasi non pemerintah, masyarakat adat /lokal dan internasional). ▪ Mengembangkan sistem pengaman (safeguards) sosial dan lingkungan. ▪ Mengusahakan pembagian manfaat (benefit sharing) secara adil.
5.2. Sub Nasional 5.2.1. Provinsi Contoh Pada tahap awal implementasi REDD+ ditetapkan satu provinsi contoh yang akan melaksanakan REDD+ secara penuh. Tujuan penetapan provinsi contoh ini adalah untuk mengkonsentrasikan sumber daya dalam pelaksanaan REDD+ dan untuk memahami bentuk pelaksanaan REDD+ secara penuh yang nantinya akan diimplementasikan pada tingkat nasional. Dalam pelaksanaan pengembangan REDD+ di provinsi contoh ini, Lembaga REDD+ dan MRV akan mengikuti pelaksanaannya dari dekat untuk mengambil pelajaran guna meningkatkan peluang keberhasilan pada tingkat nasional. Pemilihan provinsi contoh didasarkan pada beberapa kriteria sebagai berikut: 1. Kondisi biofisik yang memenuhi pelaksanaan REDD+ (luas hutan dan lahan gambut, ancaman 84
deforestasi dan degradasi hutan); 2. Kondisi sosial ekonomi (nilai ekonomi sumberdaya hutan, ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan); 3. Ketersediaan data dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) terkait pelaksanaan REDD+; dan 4. Kondisi tata kelola terkait hubungan antara program ekonomi dengan REDD+ serta kepemerintahan yang efektif, efisien dan transparan. Kalimantan Tengah telah terpilih sebagai provinsi percontohan yang akan mendapat manfaat dalam bentuk bantuan keuangan dalam pelaksanaan REDD+, transfer pengetahuan, peningkatan kapasitas serta pembaruan data maupun kelembagaan. Proses adopsi Strategis Nasional REDD+ ini diharapkan menjadi inovasi bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di provinsi contoh (Kotak 5.1.).
Kotak 5.1. Implementasi Strategi Nasional REDD+ bagi Kalimantan Tengah Provinsi Kalimantan Tengah dengan luas 15,356 juta Ha mempunyai kekayaan alam berupa hutan, keaneka‐ragaman hayati, tambang, lahan pertanian melimpah. Provinsi dengan penduduk sekitar 2,2 juta jiwa ini sampai dengan naskah ini disusun, belum menetapkan penataan ruang berdasarkan UU No. 26/2007. Dengan kondisi tersebut, masalah tumpang tindih penggunaan kawasan hutan dan lahan gambut oleh izin‐izin kehutanan, pertambangan, perkebunan serta klaim masyarakat adat dan lokal lainnya belum diketahui kepastian arah penyelesaiannya. Perkembangan ekonomi Kalimantan Tengah, meskipun ditopang oleh kekayaan alamnya, namun masih terhambat persoalan kerangka hukum dan peraturan mengenai hak dan fungsi atas hutan dan lahan maupun keadilan distribusi manfaat sumberdaya alam bagi masyarakat. Tantangan Kalimantan Tengah sebagai provinsi contoh adalah mewujudkan visi dan misi pelaksanaan REDD+ melalui pelaksanaan program‐program strategis nasional yang dijabarkan lebih lanjut kedalam program rencana aksi daerah REDD+. Oleh karena itu ketepatan fungsi Komisariat Daerah (Komda) REDD+, penataan kelembagaan dan kebijakan serta kerangka hukum dan peraturan pengelolaan sumber daya alam (SDA) perlu dilakukan. Hal ini terkait kepastian hukum atas izin‐izin yang ditengarai tidak sesuai peruntukan lahan, efisiensi pelayanan publik bagi pengembangan ekonomi berbasis SDA, kepastian status kawasan lindung, serta hak atas SDA bagi masyarakat adat dan lokal lainnya di provinsi ini. Pembentukan Komda REDD+ di Kalimantan Tengah diharapkan dapat menjadi penyelaras dan pendorong pelaksanaan penguatan kelembagaan pemerintah provinsi, sehingga terjamin keberhasilan pelaksanaan program pengelolaan lanskap berkelanjutan, sistem ekonomi pemanfaatan SDA serta konservasi dan rehabilitasi SDA. 85
Terkait dengan provinsi Kalimantan Tengah sebagai provinsi contoh, beberapa hal berikut perlu menjadi perhatian: 1. Perlu pemahaman terhadap substansi Strategi Nasional REDD+ untuk dapat diadopsi sebagai Strategi Daerah REDD+ berdasarkan situasi dan permasalahan nyata di lapangan; 2. Strategi Daerah REDD+ akan disusun setelah Strategi Nasional REDD+ ditetapkan. Strategi Daerah REDD+ akan disinkronkan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan untuk program‐program tertentu dapat menjadi acuan penetapan kegiatan dan anggaran pembangunan daerah; 3. Pelaksanaan REDD+ di Kalimantan Tengah seharusnya membuka kesempatan lebih luas dalam memastikan hak dan akses bagi masyarakat adat dan lokal lainnya terhadap pemanfaatan sumber daya alam; 4. Keberhasilan pelaksanaan REDD+ Kalimantan Tengah sangat tergantung pada pencapaian kondisi pemungkin (enabling conditions), seperti penyelesaian konflik penggunaan lahan maupun keterlanjuran penggunaan kawasan hutan bagi pembangunan perkebunan dan tambang; dan
5. Pelaksanaan REDD+ menjadi wahana untuk meningkatkan keterpaduan semua sektor dengan memperhatikan kepentingan dan dukungan di tingkat lokal, nasional dan internasional. Untuk mewujudkan keberhasilan Kalimantan Tengah sebagai provinsi percontohan untuk REDD diperlukan langkah‐langkah berikut: 1. Penetapan dasar hukum penunjukan Kalimantan Tengah sebagai provinsi percontohan; 2. Pendirian dan pengembangan mekanisme kerja dan kapasitas Badan REDD+ Provinsi Kalimantan Tengah sebagai lembaga tata kelola dan kordinasi REDD+ pada tingkat daerah; 3. Pengembangan Strategi Daerah dan Rencana Aksi REDD+ Provinsi; 4. Integrasi Strategi dan Rencana Aksi REDD+ ke dalam RPJM/P tingkat provinsi; 5. Menjalankan penangguhan pemberian izin baru pemanfaatan lahan selama jangka waktu yang ditentukan; 6. Melakukan inventarisasi dan pemetaan lokasi seluruh izin penggunaan lahan; 7. Melakukan inventarisasi dan pemetaan lokasi seluruh wilayah kelola adat dan/atau masyarakat lokal; 8. Penuntasan Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah dan seluruh RTRW Kabupaten/Kota di dalam Provinsi Kalimantan Tengah; 9. Penerapan SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) untuk semua HPH/HPHTI dan industri berbasis kayu di Kalimantan Tengah paling lmbat akhir 2012; 10. Konsolidasi pembelajaran antar seluruh inisiatif/program/proyek uji coba REDD+ yang ada di Kalimantan Tengah untuk memastikan koherensi rancangan kegiatan dan tercakupnya seluruh tujuan proyek yang relevan sebagaimana diamanatkan dalam Strategi Nasional 86
REDD+. Konsolidasi ini ditujukan untuk melahirkan panduan terkait rancangan, pengukuran‐ pengukuran, safeguards dll, yang dapat digunakan untuk replikasi dan magnifikasi program; 11. Perhitungan dan Penetapan Tingkat Acuan Emisi (REL) provinsi dan sub provinsi; 12. Penyiapan penerapan perangkat MRV untuk seluruh proyek uji coba REDD+ di Kaliamntan Tengah dan untuk agregasi pada tingkat sub provinsi dan provinsi; 13. Identifikasi lahan‐lahan dan persiapan proses land swap; dan 14. Merancang dan menjalankan program pendidikan pembangunan kepedulian dan dukungan masyarakat untuk REDD+ secara luas melalui program pendidikan formal dan informal serta penggunaan media secara optimum.
5.2.2. Pengembangan Sub Nasional Dari pembelajaran provinsi percontohan maupun perkembangan kebijakan nasional pelaksanaan REDD+, provinsi lainnya perlu menetapkan strategi sub nasionalnya masing‐masing. Pada tingkat sub nasional, kelima pilar sebagai strategi pelaksanaan REDD+ perlu dijabarkan sejalan dengan karakteristik wilayah. Dalam jangka pendek, pemilihan berbagai program dan kegiatan perlu dikaitkan dengan kebutuhan penyelesaian kondisi pemungkin (enabling conditions) sekaligus menetapkan pengembangan ekonomi berbasis sumber daya alam yang dapat menopang kebutuhan masyarakat. Sedangkan dalam jangka panjang, perlu mengembangkan keseimbangan pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan sekaligus memperhatikan pelestarian fungsi lanskap bagi pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dalam konteks inilah hubungan kerjasama pembangunan antar tingkat sub nasional memegang peran sangat penting.
5.3. Dasar Hukum Strategi Nasional yang disusun saat ini, tentu tidak lepas dari sebuah landasan hukum yang telah ada di Indonesia saat ini. Dasar hukum penyusunan Strategi Nasional REDD+ ini adalah: 1. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam jo. Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002; 2. Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 4 ayat (1); 3. Undang‐Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok‐Pokok Agraria; 4. Undang‐Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change; 5. Undang‐Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 6. Undang‐Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; 87
7. Undang‐Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 8. Undang‐Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 9. Undang‐Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa‐bangsa tentang Perubahan Iklim; 10. Undang‐Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; 11. Undang‐Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; 12. Undang‐Undang Nomor 17 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Tahun 2005‐2025; 13. Undang‐Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang; 14. Undang‐Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika; 15. Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; 16. Undang‐Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan; 17. Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2000 tentang Lembaga Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan; 18. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 01/2001 tentang Mediasi di Pengadilan; 19. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar; 20. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; 21. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan; 22. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang; 23. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan; 24. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010‐2014; 25. Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang pembangunan yang berwawasan gender; dan 26. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 Tahun 2003 tentang Pedoman umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan di Daerah. Dalam dokumen strategi ini, terdapat 5 pilar yang menjadi prinsip dasar dalam pelaksanaan Strategi Nasional REDD+ ini, yaitu : 1) penyiapan kelembagaan; 2) kerangka legislatif dan regulasi; 3) penentuan program strategis; 4) perubahan paradigma dan budaya kerja; dan 5) pelibatan semua pemangku kepentingan sektor kehutanan dan lahan gambut (termasuk masyarakat adat). Untuk dapat membuat pilar tersebut dapat terlaksana, maka diperlukan suatu reformasi kerangka hukum yang kuat, jelas, dan harmonis terkait pengelolaan sumber daya hutan dan lahan gambut— mencakup sektor lain di luar sektor kehutanan—melalui: 88
1. Pengembangan kerangka hukum kehutanan yang berkesinambungan dengan perubahan iklim (climate friendly legal framework/CFLF) yang merupakan penerjemahan secara lebih terperinci dari Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002. Kerangka ini akan berfungsi sebagai penyelaras dalam melakukan pembaruan serta penyempurnaan kebijakan dan peraturan perundang‐undangan terkait pengelolaan hutan dan lahan gambut. Pengembangannya akan dilakukan oleh Lembaga REDD+ yang terbentuk; 2. Pelaksanaan pengkajian seluruh peraturan perundang‐undangan yang terkait dengan sumber daya hutan dengan menggunakan kerangka CFLF yang telah disusun sebelumnya. Pengkajian ini diharapkan mencakup aspek kelembagaan, koordinasi antar instansi, pengawasan dari implementasi, distribusi kewenangan dan reformasi birokrasi; 3. Penyempurnaan seluruh peraturan perundang‐undangan yang dianggap mendesak atas dasar pengkajian ulang yang dilakukan sebelumnya, dengan tujuan untuk menciptakan peraturan perundang‐undangan yang sejalan dengan semangat pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan; 4. Penyusunan peraturan khusus yang memberikan landasan hukum bagi pengelolaan lahan gambut di semua kawasan (hutan dan non kawasan hutan) termasuk landasan penunjukan yang berdasarkan pada kerangka hukum kehutanan dan iklim yang telah disusun; dan 5. Amandemen terhadap berbagai peraturan teknis penegakan hukum (hukum acara) dengan menginternalisasi berbagai model kejahatan yang terkait dengan kehutanan seperti pencucian uang, korupsi, lingkungan hidup; termasuk memungkinkan mekanisme pembuktian terbalik bagi para pelaku korupsi serta perlindungan saksi (justice collaborators) yang memadai.
89
BAB 6 PENUTUP Membangun kelembagaan REDD+ memerlukan proses keterlibatan oleh berbagai pemangku kepentingan di berbagai tingkat. Hal ini akan berlangsung secara bertahap untuk memastikan efektivitas MRV dan efisiensi instrumen pendanaan serta kesetaraan dalam pembagian manfaat. Pilihan arsitektur kelembagaan REDD+ harus dapat menyelaraskan strategi mitigasi secara nasional dan menata arah pertumbuhan ekonomi yang rendah karbon. Badan REDD+ di Indonesia diharapkan akan terbentuk pada tahun 2011 dan akan beroperasi penuh menjelang akhir tahun 2013. Keuntungan implementasi REDD+ secara bertahap adalah memberi kesempatan kepada semua pemangku kepentingan di Indonesia untuk melakukan penyesuaian dengan perkembangan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia. Oleh karena itu partisipasi multi pihak dan multi level sangat diperlukan sejak awal sebagai bagian dari strategi nasional. Meskipun memiliki tahapan yang sama, tidak semua aspek akan berkembang dengan tantangan yang sama. Aspek‐aspek hukum dan perizinan mungkin akan berjalan lebih lambat pada awalnya dibanding aspek‐aspek kelembagaan dan teknis lainnya. Oleh karena itu, Badan REDD+ akan memastikan terjadinya pertukaran informasi secara intensif, baik dengan pemangku kepentingan di dalam maupun di luar negeri. Reformasi kebijakan yang mendukung implementasi REDD+ hanya mungkin dilakukan dengan mengkaji ulang kerangka peraturan dan hukum ada. Dari sini dapat ditemukenali hambatan yang timbul, tindak reformasi yang diperlukan, dan penambahan peraturan yang mendesak. Bagi Indonesia, isu tata ruang dan hak atas lahan merupakan masalah yang kronis dan memerlukan penanganan segera agar mekanisme REDD+ dapat segera diimplementasikan. Segala bentuk peraturan dan perizinan yang memberi peluang korupsi perlu segera diidentifikasi dan dieliminasi. Program‐program strategis yang inklusif memerlukan budaya baru yang mengutamakan integritas sosial dan lingkungan, sementara kesempatan berusaha lebih terbuka luas bagi para pemangku kepentingan. Pelibatan masyarakat hanya dimungkinkan jika hak‐hak mereka jelas dan kewajibannya dapat dipertanggungjawabkan. Keuntungan karbon meskipun merupakan hasil yang dapat dipantau, dilaporkan dan diverifikasi bukanlah satu‐satunya tujuan dalam REDD+. Keutuhan fungsi ekosistem yang ditandai oleh tingginya nilai keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan lainnya merupakan co‐benefit dari implementasi REDD+. Pengalaman yang telah diperoleh dalam proses nasional maupun sub nasional melalui interaksi dengan komunitas global dan masyarakat lokal merupakan pelajaran berharga. Kegiatan uji coba di tingkat lokal dan percontohan di tingkat provinsi perlu dicermati sehingga kesalahan yang dijumpai tidak perlu diulang dan keberhasilan yang dicapai dapat dikembangkan.
90
Daftar Pustaka
Ahmad, Mubariq. 2010. Ekonomi Perubahan Iklim: Dari Kegagalan Ekonomi Pasar hingga Ekonomi Rendah Karbon, PRISMA, April 2010. Angelsen, A., ed. 2008. Moving ahead with REDD: issues, options and implications. Center for International Forestry Research, Bogor, Indonesia. Angelsen, A., ed. 2009. Realising REDD+: National strategy and policy options. Center for International Forestry Research, Bogor, Indonesia. ATBC and STE: Association for Tropical Biology and Conservation and the Society for Tropical Ecology: The Marburg Declaration. Marburg, Germany; 2009. BAPPENAS. 2009. Reducing carbon emissions from Indonesia’s peat lands Interim Report of a Multi‐ Disciplinary Study. 20p. BAPPENAS. 2010. Rancangan Strategi Nasional REDD+ versi 19 November 2010. DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim). 2010. Indonesia’s Greenhouse Gas Abatement Cost Curve. Ebeling J, dan Yasué M: Generating carbon finance through avoided deforestation and its potential to create climatic, conservation and human development benefits. Philosophical Transactions of the Royal Society of London, Series B 2008, 363:1917‐1924. Edwards, D.P., T.H. Larsen, T.D.S. Docherty, F.A. Ansell, W.W. Hsu, M.A. Derhé, K.C. Hamer, D.S.. Wilcove. Degraded lands worth protecting: the biological importance of Southeast Asia's repeatedly logged forests. Proc. R. Soc. B published online 4 August 2010. doi: 10.1098/rspb.2010.1062. Ekadinata A and Dewi S. 2011. Estimating losses in aboveground carbon stock from land‐use and land‐cover changes in Indonesia (1990, 2000, 2005). ALLREDDI Brief 03.Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre ‐ ICRAF, SEA Regional Office. 6 p. Ghazouli, J., Koh, Lian Pin and Butler, R.A., 2010. A REDD light for Wildlife‐friendly farming, Conservation Biology 24(3) :644‐645. Grainger A, Boucher DH, Frumhoff PC, Laurance WF, Lovejoy T, McNeely J, Niekisch M, Raven P, Sodhi NS, Venter O, Pimm SL: Biodiversity and REDD at Copenhagen. Current Biology 2009, 19:R974‐R976. Hooijer A, Silvius M, Wösten H. 2006. PEAT‐CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics Report Q3943. Indonesia Timber Market Report Vo. 15 No.15, 1st‐15th August 2010 hal.4. 91
IPCC. 2007. Climate Change 2007. Working Group I Contributions to the IPCC Fourth Assessment Report. Cambridge University Press, Cambridge. IUCN: IUCN Red List of Threatened Species, Version 2010. (http://www.iucn.redlist.org). Downloaded on 15 August 2010. IFCA (Indonesian Forest Climate Alliance). 2008. Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia. Forestry Research and Development Agency, Ministry of Forestry of Republic of Indonesia (FORDA‐MoF). Kementerian Kehutanan. 2010. Peta jalan (road map) sektor kehutanan Indonesia menuju tahun 2030 melalui implementasi Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) 2011‐2030., Jakarta Miles L, Kapos V: Reducing greenhouse gas emissions from deforestation and forest degradation: global land‐use implications. Science 2008, 320:1454‐1455. MoFo (Ministry of Forestry). 2008. Consolidation Report. Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia. Jakarta. MoFo (Ministry of Forestry). 2010. Strategi Nasional REDD+ Versi 4 November 2010. Jakarta. MoE (Ministry of Environment). 2010. Indonesia Second National Communication Under The United Nation Framework Convention On Climate Change. Jakarta. Murdiyarso, D., Van Noordwijk, M., Wasrin, U.R., Tomich, T.P., Gillison, A.N. 2002. Environmental benefits and sustainable land‐use options in the Jambi transect, Sumatra. J. Vegetation Science 13: 429‐438 Murdiyarso, D, Lebel, L, Gintings, AN, Tampubolon, SMH, Heil, A, Wasson, M. 2004. Policy responses to complex environmental problems: Insights from a science‐policy activity on transboundary haze from vegetation fires in Southeast Asia. J. Agric. Ecosystems and Environment. 104:47‐ 56. Paoli GD, Wells PL, Meijaard E, Struebig MJ, Marshall AJ, Obidzinski K, Tan A, Rafiastanto A, Yaap B, Slik JWF, Morel A, Perumal B, Wielaard N, Husson S and D’Arcy L. 2010. Biodiversity in the REDD. Carbon Balance and Management 5:7 (Available for download at www.cbmjournal.org). Sarsito. 2010, Executive Summary Strategic Plan of Berau Forest Carbon. Strassburg BBN, Kelly A, Balmford A, Davies RG, Gibbs HK, Lovett A, Miles L, Orme CDL, Price J, Turner RK, Rodrigues ASL. 2010. Global congruence of carbon storage and biodiversity in terrestrial ecosystems. Conservation Letters 3:98‐105. Stickler CM, Nepstad D, Coe MT, McGrath DG, Rodrigues HO, Walker WS, Soares‐Filho BS, Davidson EA. 2009. The potential ecological costs and cobenefits of REDD: a critical review and case study from the Amazon region. Global Change Biology 15:2803‐2824. Sunderlin WD. 1998. The Indonesian economic crisis implies immense changes in the forest sector. Working Paper. CIFOR, Bogor, Indonesia. 92
STERN, N. C. O.‐H. T. 2007. The Economics of Climate Change. The Stern Review, Cambridge, UK, Cambridge University Press. The World Bank. 2010. Low Carbon Economy Series. Jakarta.
93
Singkatan ADB
Asian Development Bank (Bank Pembangunan Asia)
APL
Area untuk Penggunaan Lain
APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
BAU
Business as Usual
Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional CCBS
Climate, Community, and Biodiversity Standard
CBD
Convention on Biological Diversity (Konvensi Keanekaragaman Hayati)
CER
Certified Emissions Reduction (pengurangan emisi tersertifikasi)
COP
Conference of Parties (Konferensi Para Pihak peratifikasi UNFCCC)
DA
Demonstration Activities (Kegiatan uji‐coba)
DAK
Dana Alokasi Khusus
DAU
Dana Alokasi Umum
G20
Kelompok Menteri Keuangan dan Bank Sentral dari 20 negara yang memiliki peran penting dalam perekonomian dunia
GRK
Gas Rumah Kaca
FORDA
Forestry Research and Development Agency (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan)
FPIC
Free and Prior Informed Consent (Pemberitahuan Awal Tanpa Paksaan, PADIATAPA)
HL
Hutan Lindung
HPK
Hutan produksi yang dapat dikonversi
HPT
Hutan Produksi Terbatas
HTI
Hutan Tanaman Industri
HKm
Hutan Kemasyarakatan
HTR
Hutan Tanaman Rakyat
IFCA
Indonesian Forest Climate Alliance
ILO
International Labour Organisation (Organisasi Buruh Internasional)
IPCC
Intergovernmental Panel on Climate Change (Panel antarpemerintah untuk perubahan iklim)
ISPO
Indonesian Sustainable Palm Oil 94
IUCN
International Union for Conservation of Nature
KP
Kuasa Pertambangan
KPH
Kesatuan Pengelolaan Hutan
LULUCF
Land‐use, Land‐use Change, and Forestry (Tata guna lahan, alih guna lahan, dan kehutanan)
MoE
Kementerian Lingkungan Hidup
MoFo
Kementerian Kehutanan
MRV
Monitoring, Reporting, and Verification (Pemantauan, Pelaporan, dan Verifikasi)
PADIATAPA Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (Free and Prior Informed Consent, FPIC) PBB
Persatuan Bangsa‐Bangsa
RAN
Rencana Aksi Nasional
REDD
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan)
REL
Tingkat referensi emisi (Reference Emissions Level)
RIL
Reduced‐Impact Logging
RL
Tingkat referensi (Referene Level)
RPJM
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RPJP
Rencana Pembangunan Jangka Panjang
RSPO
Roundtable on Sustainable Palm Oil
RTRW
Rencana Tata Ruang Wilayah
SFM
Sustainable Forest Management (Pengelolaan hutan secara lestari)
SVLK
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
Tier
TIngkatan
UNFCCC
United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka PBB untuk Perubahan Iklim)
UN‐REDD
United Nations Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (Inisiatif kerja sama antar negara untuk pengurangan emisis dari deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang )
UNDP
United Nations Development Program (Badan PBB untuk Program Pembangunan)
UNEP
United Nations Environment Program (Badan PBB untuk Program Lingkungan)
VER
Verified Emissions Reduction (pengurangan emisi terverifikasi)
WB
World Bank (Bank Dunia)
95
Definisi Adat: segala bentuk kebiasaan yang menjadi tingkah laku sehari‐hari seseorang atau sekelompok orang sehingga menjadi budaya yang sudah dilakukan selama berabad‐abad. Akuntabilitas: bentuk pertanggungjawaban yang menjelaskan kinerja seseorang atau badan hukum kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta pertanggungjawaban. BAU (Business as Usual): kegiatan yang dilakukan dengan cara dan perilaku sebagaimana biasanya dilakukan tanpa upaya melakukan intervensi agar terjadi perubahan ke arah yang lebih baik. Benefit sharing (pembagian manfaat): mekanisme pembagian manfaat dari suatu kegiatan yang melibatkan banyak pihak, sehingga pihak‐pihak yang terlibat mendapat pembagian manfaat yang adil sesuai dengan kontribusi, jerih payah dan pengorbanannya. Biomassa: bobot bahan organik kering atau basah dalam satuan ton atau Megagram (Mg). Cadangan karbon: jumlah karbon yang terdapat dalam pohon, tegakan hutan, ekosistem hutan dan lansekap bervegetasi lainnya dalam satuan ton/ha atau Mg/ha. CER (Certified Emission Reduction): satuan penurunan emisi atau penyerapan karbon atmosfer yang diperoleh dan telah disertifikasi melalui proyek Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM). Istilah CER dapat dijadikan satuan sementara ketika aturan dan tatacara pengurangan emisi melalui mekanisme REDD+ belum tersedia. Deforestasi: konversi dari lahan berhutan menjadi lahan tidak berhutan yang disebabkan langsung oleh kegiatan manusia manusia (Marrakesh Accord). Konversi hutan menjadi penggunaan lahan lain atau pengurangan tutupan tajuk pohon menjadi kurang dari ambang minimum 10% untuk jangka panjang dengan tinggi pohon minimum 5 m pada areal seluas minimum 0,5 ha (FAO) Degradasi hutan: merupakan perubahan susunan atau fungsi tegakan hutan atau kawasan hutan sehingga menurunkan kemampuannya untuk menyediakan barang dan jasa secara optimal (FAO) Berkurangnya cadangan karbon di hutan yang dipertahankan sebagai hutan (IPCC). Perubahan di dalam hutan yang berdampak negatif terhadap struktur atau fungsi tegakan atau lahan hutan sehingga menurunkan kemampuan hutan dalam menyediakan jasa/produk hutan termasuk penurunan cadangan karbon (Kemenhut) Hak Pengusahaan Hutan (HPH): izin untuk mengusahakan hutan di dalam kawasan hutan produksi yang meliputi kegiatan pemanenan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan, berdasarkan ketentuan–ketentuan yg berlaku serta berdasarkan azas kelestarian. Hasil Hutan: benda‐benda hayati, non hayati, dan turunannya serta jasa yang berasal dari hutan.
96
Hutan: lahan yang memiliki tutupan tajuk minimum 10%, ketinggian tegakan pohon minimum 5 meter, luas minimum 0,5 hektar, dan pertanian bukan merupakan penggunaan lahan dominan (FAO) Lahan yang memiliki tutupan tajuk minimum 10‐30%, ketinggian pohon minimum 2‐5 meter, dan luas minimum 0,1 hektar (UNFCCC) Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU 41/1999) Hutan Lindung (HL): hutan yang dipertahankan sebagai kawasan hutan yang fungsi pokok sebagai perlindungan system penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Hutan Produksi (HP): areal hutan yang dipertahankan sebagai kawasan hutan dan berfungsi untuk menghasilkan hasil hutan bagi kepentingan konsumsi masyarakat, industri dan ekspor. Hutan Produksi Terbatas (HPT): hutan yang hanya dapat dieksploitasi dengan cara tebang pilih. Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK): Kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan transmigrasi, permukiman pertanian dan perkebunan. Hutan Sekunder: kawasan hutan yang sudah dieksploitasi tampak pada foto udara dengan adanya jalan angkutan kayu. Hutan Tanaman: kawasan hutan tanaman baik yang sudah ditanami maupun yang belum (masih berupa lahan kosong). Kebocoran: besaran massa karbon yang dipindahkan dari suatu kawasan yang menerima perlakuan pengurangan emisi ke kawasan lain yang tidak menerima perlakuan yang sama. Kebocoran karbon juga disebut sebagai “perpindahan emisi”. Konferensi Para Pihak (COP): Lembaga pengambil keputusan tertinggi dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang bersidang sekali dalam setahun. LULUCF (land‐use, land‐use change and forestry): salah satu sektor penyumbang emisi di luar sektor energi , industri, limbah dan pertanian. Masayarakat adat (customary community): kelompok orang yang memiliki tradisi dan budaya tertentu yang diturunkan dari generasi ke generasi Masyarakat asli (indigenous community): kelompok etnis yang merupakan penduduk asli suatu wilayah. Masyarakat lokal: kelompok sosial yang mendiami suatu lokasi atau daerah tertentu yang sifatnya mengembara atau menetap, yang belum sepenuhnya terjangkau atau sebagian terjangkau oleh pelayanan pembangunan, dan umumnya terdiri dari suku masyarakat etnis asli setempat, berbicara bahasa setempat dan berbudaya lokal yang tertutup atau sebagian tertutup (belum/sudah ada pengaruh luar)
97
Masyarakat di sekitar hutan: masyarakat yang bermukim di desa terdekat dengan bagian tepi/luar hutan, yang memanfaatkan sumberdaya hutan untuk kegiatan budidaya pertanian/perladangan serta melakukan pemungutan hasil hutan untuk keperluan sehari‐hari. Mitigasi: tindakan untuk mengurangi emisi GRK dari sumbernya dan meningkatkan penyerapan GRK pada rosotnya. Mengurangi deforestasi dan degradasi hutan dapat mengurangi emisi, sedang kegiatan aforestasi dan reforestasi dapat meningkatkan penyerapan. MRV (Monitoring, Reporting and Verification): kegiatan pemantauan tingkat pengurangan emisi dalam sebah proyek REDD+ yang dilaporkan setelah menjalani verifikasi oleh pihak ketiga yang independen. Pasar karbon (carbon market): mekanisme transaksi atau jual‐beli “kredit karbon” yang dilakukan melalui mekanisme pasar sesuai permintaan dan penawaran pada tingkat harga tertentu . Pasar sukarela (voluntary market): mekanisme transaksi kredit karbon yang disepakati secara terbatas antara penjual dan pembeli tanpa melalui perantara atau mengikuti prosedur yang menentukan. Pasar wajib (compliance market): mekanisme transaksi kredit karbon yang diatur oleh lembaga internasional yang mengatur pencapaian target sebagai bagian yang mengkat secara hukum. Pembalakan berdampak rendah (reduced impact logging, RIL), adalah pemanenan kayu yang terencana dan seksama oleh pekerja terlatih untuk mengurangi dampak pembalakan yang membahayakan. Pengelolaan hutan secara lestari (sustainable forest management, SFM):cara mengelola hutan yang mempertimbangkan nilai sosial, ekonomi dan lingkungan hutan. REDD+ memasukkan SFM sebagai pendorong untuk mencapai tujuan pengurangan emisi. Perkebunan: kawasan perkebunan, baik yang sudah ditanami maupun yang belum (masih berupa lahan kosong). Untuk beberapa komoditi perkebunan dibagi dalam tiga kategori, perkebunan besar swasta, perkebunan besar negara, dan perkebunan rakyat. Pertambangan: kegiatan eksploitasi sumberdaya mineral yang dilakukan secara terbuka (open pit) – seperti ; batubara, timah tembaga dll.) atau secara tertutup seperti minyak, gas dll. REDD+: mekanisme global untuk memberikan insentif positif terhadap kegiatan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan peningkatan cadangan karbon hutan di negara berkembang. Sertifikasi: proses penilaian proyek REDD+ untuk membuktikan bahwa proyek telah memenuhi standar tertentu sesuai dengan tujuan proyek termasuk pengurangan emisi, pemberdayaan masyarkat, ganti‐rugi, penganan konflik, konservasi keanekaragaman hayati (misalnya kegiatan yang dilakukan CCBS, VCS). Silvikultur: praktik, ilmu dan seni memelihara hutan untuk diambil barang dan jasanya, termasuk hasil hutan kayu dan nonkayu. Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
98
Tier: tingkatan kecermatan metodologi yang menunjukkan ketelitian hasil perhitungan cadangan karbon dan perubahannya. Tier‐1 merupakan tingkat paling dasar dan menggunakan nilai terbaik yang tersedia secara global. Tier‐2 merupakan tingkat menengah dan menggunakan nilai nasional. Tier‐3 merupakan tingkat yang paling tinggi dari segi kecanggihan memperoleh data yang akan digunakan secara spesifik pada lokasi tertentu. Verifikasi: proses penilaian oleh pihak ketiga yang independen terhadap kegiatan pengurangan emisi dalam rangka mitigasi perubahan iklim VER: satuan pengurangan emisi GRK yang telah dibuktikan oleh auditor independen, tetapi belum menjalani prosedur sertifikasi sehingga hanya dapat diperdagangkan di pasar karbon sukarela
99