28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Evaluasi dataPerforman Ayam Dari hasil penelitian didapatkan rataan bobot badan ayam pada masing-masing kelompok perlakuan, data tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 pemberian ekstrak tanaman obat pada minggu pertama memberikan gambaran bobot badan ayam broiler yang tidak berbeda nyata antar perlakuan (p>0.05), tetapi berbeda nyata dengan kontrol (p<0.05). Ekstrak tanaman obat yang memiliki efek paling baik terhadap bobot badan pada minggu tersebut adalah temu ireng. Tabel 2 Rataan bobot badan ayam (gram) yang diberikan ekstrak tanaman obat dari minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-4
Perlakuan (P)
Bobot badan (gram) Perlakuan Minggu-1
Minggu-2
Minggu-3
Minggu-4
134.40a
448.75a
776.8ab
1143.2ab
141.90a
496.83a
871.50a
1252.2a
134.56a
456.45a
760.38ab
1113.7abc
125.18ab
452.68a
734.95ab
1
Adas
2
Temu ireng
3
Sirih merah
4
Sambiloto
5
Adas + temu ireng + sirih merah + sambiloto
128.78ab
437.33a
837.55ab
1092.75bc
6
Adas + temu ireng + sirih merah
128.58ab
461.33a
775.18abc
1132.7abc
7
Adas + temu ireng + sambiloto
126.80ab
423.95a
695.18cd
1013.6bc
8
Temu ireng + sirih merah + sambiloto
133.53ab
484.63a
850.63ab
1228.5ab
9
Adas + sirih merah + sambiloto
121.88ab
419.18a
754.7abc
1110.2abc
1099.18abc
109.78b 351.33b 653.80d 962.68d Kontrol (aquadestilata) Ket: Angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan 10
berbeda nyata (p<0.05)
28
29 Pada minggu ke-2 terjadi kecendrungan yang berbeda, beda nyata (p<0.05) terjadi antara kelompok kontrol dengan semua kelompok. Perlakuan yang memberikan efek paling baik dengan cara menghasilkan bobot badan tertinggi adalah temu ireng (perlakuan 2) pada Tabel 2.
1400 1200
Bobot badan (g)
1000 800
Minggu 1 Minggu 2
600
Minggu 3 400
Minggu 4
200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Perlakuan
Gambar 8 Grafik rataan bobot badan ayam (gram) yang diberikan ekstrak tanaman obat dari minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-4
Pada minggu ke-3 terjadi perbedaan yang signifikan (p<0.05) antara hampir semua kelompok perlakuan
kecuali perlakuan dengan menggunakan
kombinasi ekstrak adas, temu ireng dan sambiloto terhadap kontrol. Pada minggu ke-4, kelompok dengan menggunakan ekstrak tanaman temu ireng berbeda nyata dengan kelompok yang mendapatkan ekstrak adas, temu ireng, sirih merah dan sambiloto. Kelompok perlakuan lainnya berbeda nyata dengan kelompok kontrol kecuali pada kelompok yang menggunakan kombinasi ekstrak adas, temu ireng dan sambiloto . Berdasarkan Tabel
2
dapat terlihat bahwa perlakuan menggunakan
ekstrak temu ireng memberikan hasil yang terbaik terhadap performan ayam broiler berdasarkan capaian bobot badan tertinggi pada tiap minggunya, sehingga dapat disimpulkan bahwa temu ireng menjadi tanaman obat yang paling baik untuk meningkatkan bobot badan. Hal ini didukung oleh Limananti et al. (2003),
30 yang menyatakan bahwa temu ireng mengandung zat pahit (carpaine atau alkaloida pahit) yang dapat merangsang lambung agar berfungsi dengan baik sehingga akan timbul nafsu makan yang baik juga.
4.2. Gambaran Histopatologi hati dan Skor lesio histopatologi
Gambar 9 Gambaran histopatologi hati normal (perbesaran400x) Kelompok kontrol (P10)
Skor lesio histopatologi (Tabel 3) pada hati menggambarkan derajat keparahan yang terjadi (mulai dari normal sampai terjadinya nekrosa). Pada perlakuan dengan menggunakan ekstrak tanaman adas terdapat 25% bagian yang normal dan terjadi lesio dari tingkat ringan (55%) sampai sedang (20%) tetapi lesio masih bersifat reversibel.
Gambar 10 Gambaran histopatologi sel hepatosit ayam pada kelompok P7 dengan perbesaran 400x (degenerasi hidropik (
) , nekrosis hepatosit (
)
31 Estragol adalah salah satu bahan aktif dari adas. Senyawa kimia ini merupakan golongan terphenoid ether dan dengan efek toksik yang sangat kecil (relatif tidak toksik) menurut Cardoso et al.( 2004). Pemberian ekstrak dilakukan dengan cara dicekok (per oral), dengan demikian zat-zat atau senyawa kandungan tanaman tersebut mengalami proses biotransformasi di hati. Tetapi karena sifat bahan aktifnya yang relatif tidak toksik maka lesio yang terjadi pada hati tidak berat. Hasil persentase skoring lesio histoptologi hati tersebut disajikan pada Tabel 3 dibawah ini.
Tabel 3 Persentase skor lesio histopatologi organ hati ayam setelah pemberian ekstrak tanaman obat Persentase skor lesio histopatologi (%)
Kode Perlakuan
Jenis Perlakuan
(P)
Skor-1
Skor-2
Skor-3
(normal)
(ringan )
(sedang)
(berat)
1
Adas
25
55
20
0
2
Temu ireng
20
30
50
0
3
Sirih merah
0
70
10
20
4
Sambiloto
20
55
25
0
5 6 7 8
9 10 Ket :
Skor-0
Adas + temu ireng + sirih merah + 0 65 25 10 sambiloto Adas + temu ireng 25 35 30 10 + sirih merah Adas + temu ireng 0 30 70 0 + sambiloto Temu ireng + sirih merah + 0 80 20 0 sambiloto Adas + sirih merah + 0 50 50 0 sambiloto Kontrol 0 50 0 0 (aquadestilata) Skor 0 = Sel parenkim hati/sel hepatosit tersusun radial, vena centralis normal, segitiga kiernan normal; Skor 1 = Sel parenkim hati tidak beraturan/ terjadi oedema, dilatasi vena centralis; Skor 2 = Hiperemi, kongesti, degenerasi berbutir sampai degenerasi lemak ;Skor 3 = Nekrosa sel parenkim hati (inti piknosis, inti pereksis, inti lisis), sel parenkim hati lisis
.
32 Pemberian ekstrak tanaman temu ireng mengakibatkan terjadinya lesio yang bersifat reversibel
dengan tingkat ringan (30%) sampai sedang (50%).
Bahan aktif yang paling tinggi dari temu ireng adalah 1,8,8-trimethylfuro [3,4-c] bicycle. Bahan aktif ini belum diketahui efeknya secara spesifik. Tetapi hasil proses biotransformasi bahan-bahan aktif dari tumbuhan ini di hati mengakibatkan terjadinya lesio. Pada perlakuan ini masih terdapat sel yang normal sejumlah 20%. Saponin merupakan salah satu kandungan temu ireng yang dapat menetralkan dan membersihkan racun dalam tubuh (Setiawan 2009).
Tabel 4 Rataan skor lesio histopatologi organ hati ayam setelah pemberian ekstrak tanaman obat Nomor
Perlakuan
1
Adas
2
Temu Ireng
3
Sirih Merah
4
Sambiloto
5 6
Adas+temu ireng+sirih merah +sambiloto Adas+temu ireng+sirih merah
7
Adas+temu ireng+sambiloto
8
Temu ireng+sirih merah+sambiloto
9
Adas+sirih merah+sambiloto
10
Kontrol (aquadestilata)
Ulangan (slide)
Rataan Skor/slide
Rataan Skor/Perlakuan
I II I II I II I II I II I II I II I
1.1 1.0 1.3 1.3 1.3 1.7 0.7 0.9 1.4 1.5 1.4 1.1 1.6 1.9 1.3
1.05dc
II I II I II
1.1 1.5 1.5 0.5 0.5
1.3bc 1.5ab 0.8de 1.45ab 1.25bc 1.75a 1.15bc 1.5ab 0.5e
Ket: Angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Berdasarkan tabel 3, tanaman obat yang menjadi tanaman obat pilihan karena menimbulkan efek yang paling ringan terhadap hati adalah sambiloto (Andrographis paniculata) dengan skor lesio
hampir mendekati kelompok
kontrol (tidak berbeda nyata dengan kontrol (p>0.05)). Perlakuan dengan menggunakan kombinasi dari adas, temu ireng dan sambiloto mengakibatkan
33 terjadinya lesion yang paling berat pada organ hati dengan tingkat lesion berbeda nyata terhadap kelompok kontrol (p<0.05). Degenerasi hidropis merupakan perubahan yang bersifat sementara ditandai dengan kehadiran vakuol-vakuol di sitoplasma. Sel membutuhkan ATPase untuk mengaktifkan pompa sodium-potasium dalam pengaturan keluar dan masuknya ion. Infeksi akut sel akan menyebabkan air dan protein tetap berada pada sitoplasma. Pompa lapisan membran akan memindahkan ion air dengan cepat keluar dari sitosol dan masuk ke retikulum endoplasma. Hal ini akan mengakibatkan
pembengkakan
sel
yang disebut
degenerasi
hidropis.
Kebengkakan RE akan menghambat sintesa protein, sehingga ribosom terlepas dari rough endoplasmic reticulum (RER). Karena sel gagal memperoleh energi yang bersumber dari mekanisme aerobik, untuk sementara sel berusaha memperoleh energi dari sumber mekanisme anaerobik (glikolisis). Lesio pada hati dengan perlakuan menggunakan tanaman sirih merah yaitu lesion ringan (70%), sedang (10%) sampai berat (nekrosa) (20%) tidak ada yang normal. Zat kimia yang terkandung pada sirih terutama adalah minyak atsiri dan piperin.
Disamping itu, pada sirih merah mengandung flavonoid,
polevenolad, alkaloid dan tanin. Senyawa flavonoid dan polevenolad bersifat anti kanker, anti oksidan, anti diabetik, anti septik dan anti inflamasi. Menurut
Darmansjah
(2005), setiap senyawa kimia pada dasarnya
bersifat racun. Keracunan dapat terjadi akibat dosis yang berlebihan ataupun cara pemberian atau aplikasi yang kurang tepat. Sambiloto mengandung zat aktif yang dapat menimbulkan perubahan patologis hati. Zat tersebut antara lain saponin dan androgapholide (Efrizanti 2005 dan Marpaung 2004). Berdasarkan aspek toksikologi, sambiloto mempunyai dosis toksik akut (LD 50) sebesar 71.27 mg/10 g BB, pada manusia. Sambiloto dengan konsentrasi lebih tinggi dari 2.5 mg/ml bersifat toksik (Wibudi 2006). Pemberian androgapholide pada tikus atau kelinci secara oral sebanyak 1g/kg BB tidak menimbulkan gangguan pada hati dan ginjal (Anonim 2006). Berdasarkan tabel diatas (Tabel 3) lesio histopatologi hati pada perlakuan dengan menggunakan ekstrak sambiloto berupa oedema sel hepatosit dan dilatasi vena sentralis merupakan lesion paling ringan setelah kelompok control. Bahan aktif dari sambiloto bersifat iritan pada hati tetapi sangat ringan sehingga mengakibatkan terjadinya lesio histopatologi hati berupa oedema dan
34 dilatasi vena sentralis (Efrizanti 2005 dan Marpaung 2004). Lesio yang terjadi dari tingkat ringan (25%) sampai sedang ( 55%) tapi merupakan lesio yang paling ringan bila dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Kerusakan yang mungkin muncul akibat pengaruh zat aktif antara lain: dilatasi, kongesti, infiltrasi, akumulasi sel radang serta degenerasi. Tanda-tanda tersebut merupakan tanda lesio sel yang bersifat sementara (reversible) (Cheville 1999). Dilatasi merupakan reaksi lanjutan karena pembuluh darah kapiler pembawa darah dari arteri dan vena interlobularis menuju vena sentralis mengalami konstriksi singkat yang disebabkan masuknya rangsangan iritan (Spector dan Spector 1993). Kelainan lain yang dapat terjadi pada hati antara lain adalah kongesti. Kongesti adalah berkumpulnya darah di dalam pembuluh darah disertai adanya pelebaran pembuluh darah tersebut (Sudiono et al. 2003). Kongesti di hati dapat terjadi karena masuknya rangsang iritan yang menyebabkan konstriksi pada arterial dan diikuti dilatasi (Rukmono 1996). Gangguan metabolisme pada sel merupakan penyebab utama dari degenerasi. Hal ini terjadi karena intensitas rangsangan patologik dan jangka waktu paparan yang relatif lama sehingga menyebabkan sirkulasi cairan di hati menjadi tidak lancar. Pada perlakuan 3 (sirih merah), 5 (adas, temu ireng, sirih merah, sambiloto) dan 6 (Adas, temu ireng, sirih merah) terdapat lesio histopatologi hati berupa nekrosa. Menurut Lu FC (1995), hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan zat toksikan. Organ hati juga memiliki kadar enzim cukup tinggi yang mampu merubah zat toksik menjadi kurang toksik, tetapi dalam beberapa kasus senyawa racun diaktivasikan sehingga dapat menyebabkan terjadinya kerusakan dari organ hati itu sendiri. Pada keadaan ini akan terjadi kematian sel (apoptosis atau nekrosa). Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram, melibatkan satu atau sekelompok sel tanpa sel radang dan dapat terjadi pada kondisi normal (fisiologis) maupun abnormal (patologis). Nekrosa melibatkan sekelompok sel hingga pada sebagian jaringan dapat ditemukan sejumlah sel radang. Nekrosa dapat terjadi akibat bahan beracun, aktivitas mikroorganisme, defisiensi pakan dan kadang-kadang gangguan metabolisme termasuk hipoksia. Perubahan sel nekrosa terjadi pada inti dan sitoplasma. Jika nekrosa masih baru terjadi, sitoplasma sel akan lebih banyak
35 mengambil warna eosin, jika terjadi autolisis (kematian akibat enzimnya sendiri) sehingga sel lebih sedikit mengambil warna eosin. Selain itu dapat juga terjadi perubahan ukuran inti sel menjadi mengecil dan berwarna biru (piknosis) akibat penggumpalan kromatin inti atau warna inti terlihat tidak jelas atau tidak terjadi sama sekali seolah-olah menghilang (karyolisis) atau inti pecah menjadi bagian-bagian kecil (karyohexis) (Cheville 1999; Jubb et al. 1993). Lesio ini bisa terjadi karena efek dari bahan aktif kombinasi tanaman obat tersebut,
akibat dari pemberian dosis yang tidak tepat
ataupun korelasi dari ketiga bahan aktif (saponin) dari tanaman tersebut. Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat diterapkan pada peternakan-peternakan ayam, baik peternakan ayam broiler (pedaging) maupun layer (petelur). Sehingga residu dari bahan tambahan pakan yang berefek tidak baik bagi kesehatan orang yang akan mengkonsumsi ayam tersebut dapat dikurangi bahkan dihilangkan, sehingga dapat dihasilkan ternak organik yang sangat aman untuk dikonsumsi. Selain itu pemberian ekstrak herbal juga dapat menguntungkan peternak, karena bisa mendapatkan ayam dengan bobot badan (performan) yang baik dan sehat dengan efisiensi yang tinggi serta tingkat kematian akibat penyakit yang bersifat low phatogenic yang rendah tentunya diiringi dengan pemberian vaksin untuk mencegah terjangkitnya penyakit infeksius. Pemberian ekstrak herbal pada peternakan skala besar dapat dicampurkan dengan minuman atau makanan, tetapi karena kendala rasa dari herbal tersebut yang pahit maka perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk mencari bahanbahan yang dapat memperbaiki rasa agar tingkat konsumsi pakan ternak tersebut tidak berkurang.