4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Kualitas Air
Dicirikan dengan persen sintasan yang mencapai 100% untuk semua perlakuan, selama percobaan berlangsung parameter kualitas air berupa oksigen terlarut, total amonia nitrogen, temperatur, salinitas dan pH dalam kondisi baik. Siikavuopio et al. (2007) mengemukakan kualitas air yang buruk dalam pemeliharaan bulubabi berkontribusi terhadap tingginya kematian bulubabi. Berdasarkan karakteristiknya Tripneustes gratilla digolongkan dalam jenis ruderal (ruderal spesies), walaupun memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan upaya reproduktif yang besar, bulubabi yang tergolong dalam jenis ruderal diketahui sensitif terhadap penurunan kualitas air terutama naiknya level ammonia (Lawrence 2007). Pada percobaan ini kadar total amonia nitrogen (TAN) sebesar 0,02-0,095 mg L -1 masih jauh dari nilai kritis (Tabel 7). Siikavuopio et al. (2004) melaporkan Strongylocentrotus droebachiensis (jenis ruderal) mengalami kematian lebih dari 50% saat dipelihara selama 42 hari dalam air laut dengan kadar TAN 6,48 mg L-1. Suhu air selama percobaan berlangsung cukup rendah, yakni pada kisaran 23,30-26,24oC pada pagi-siang hari dan 24,99-25,84oC di malam harinya. Salinitas pada percobaan III sampai dengan hari ke 37 dapat dipertahankan pada kisaran 29,96-33,00 ppt pada pagi-siang hari dan 30,86-32,74 ppt pada malam hari. Pada hari ke 38 T. gratilla terekspose air laut dengan salinitas 22,80 ppt selama ± 3 jam (Tabel 7). Kondisi ini menyebabkan keragaan T. gratilla menurun, sehingga percobaan dihentikan pada hari tersebut. Di habitatnya T. gratilla dapat hidup pada kisaran suhu 20-30oC, di Kepulauan Bonin T. gratilla ditemukan hidup pada suhu 23,6-26,8oC, di Mauritius pada suhu 21,6-27,2oC dan di Madagaskar pada suhu 2632oC (Lawrence dan Agatsuma 2007). Kelompok bulubabi sendiri dikenal sebagai penghuni laut sejati dengan batasan toleransi salinitas 30-34 ppt (Aziz 1987).
Tabel 7 Monitor parameter kualitas air selama periode pemeliharaan T. gratilla Waktu Pengukuran Parameter Pagi-Siang Oksigen Terlarut (mg l-1)
Malam
4,37-6,24
4,62-6,13
0,02-0,095
-
Temperatur (oC)
23,30-26,24
24,99-25,84
Salinitas (ppt)
22,80-33,00
30,86-32,74
7,94-8,44
8,30-8,43
Total Amonia Nitrogen (TAN) (mg L-1)
pH
-
26 4.2 Hasil Pengujian Palatabilitas Makroalga Kering
Tanggap T. gratilla dalam bentuk konsumsi terhadap penambahan tiga jenis makroalga kering (Sargassum polycystum, Gracilaria lichenoides dan Ulva reticulata) dalam agar dengan taraf dosis berbeda (0, 10, 20, 30%) menunjukkan preferensi yang berbeda nyata (one way ANOVA, F=3,331, p<0,05). Secara umum penambahan U. reticulata kering dalam agar memberikan tanggap terbaik dibandingkan dengan penambahan kedua jenis makroalga lainnya. Uji lanjut mengungkapkan konsumsi antar perlakuan Basal dengan Basal+S. polycystum 30% dan Basal+U. reticulata 20% beda nyata, tetapi kedua perlakuan dengan penambahan makroalga tersebut tidak beda nyata dengan tujuh perlakuan lain (Tukey, p>0,05) (Gambar 10). Hasil percobaan ini mengindikasikan penambahan makroalga kering ke dalam pakan buatan dalam konsentrasi tertentu berpengaruh terhadap besar konsumsi agar oleh T. gratilla. Percobaan lebih lanjut memperkuat hasil pengujian sebelumnya bahwa penambahan U. reticulata kering sebesar 20% bobot agar merupakan perlakuan terbaik terhadap tanggap T. gratilla dalam bentuk konsumsi agar, dibandingkan dengan perlakuan lain (Tukey, p<0,05) (Gambar 11). Proses pengeringan makroalga dapat berdampak negatif terhadap palatabilitasnya bagi herbivora laut (Cronin dan Hay 1996). Dworjanyn et al. (2007) melaporkan juvenil T. gratilla mengkonsumsi U. lactuca lebih banyak dibandingkan S. linearifolium yang telah dikeringkan. Penelitian lain mencatat S. droebachiensis mengkonsumsi U. linza lebih banyak dibandingkan Palmaria palmata dan Laminaria saccharina (Daggett et al. 2005).
Konsumsi agar ind-1 (g bb)
1.00
b ab
0.80 0.60
ab
ab
ab
ab
ab
ab
a
0.40
0.75 0.80 0.74
0.74 0.63
0.59 0.61
0.20
b
0.45
0.54 0.57
0.00 Basal
Basal+S. polycystum
Basal+G. lichenoides
Basal+U. reticulata
Perlakuan
Gambar 10 Konsumsi agar T. gratilla selama 24 jam terhadap penambahan tiga jenis makroalga kering pada taraf dosis yang berbeda ‘0%’ ( ), ‘10%’ ( ), ‘20%’ ( ), ‘30%’ ( ) (n=20 ind wadah-1, rerata±simpangan baku). Kolom dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey)
27
Konsumsi agar ind-1 (g bb)
2.50 c
2.00 b
1.50 1.00
c a
bc
a
b
0.50
0.86
1.88
1.45 a
0.62
1.06 0.79
0.65
0.31
0.00 Hari ke-1
Hari ke-2
Waktu Pengamatan
Gambar 11 Konsumsi agar T. gratilla selama 24 jam pada perlakuan ‘Basal’ ( ), ‘S. polycystum’ ( ), ‘G. lichenoides’ ( ), ‘U. reticulata’ ( ) (taraf dosis 20%, n=5 ind wadah-1, rerata±simpangan baku). Kolom dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey)
Protein merupakan faktor yang penting pada diet bulubabi dan seringkali dilibatkan sebagai faktor yang menentukan dalam pemilihan makanan (Hammer et al. 2004, diacu dalam Dwarjanyn et al. 2007). Kandungan protein pada berbagai jenis makroalga fluktuatif bergantung pada konsentrasi nutrien nitrogen dalam air laut (Fujita 1985). Ketiga jenis makroalga yang digunakan dalam pengujian palatabilitas memiliki nilai energi dan kadar protein berbeda. U. reticulata memiliki kadar protein (10,38% berat basah) lebih tinggi dibandingkan S. polycystum dan G. lichenoides (8,60 dan 6,31% berat basah) (Gambar 12). Hasil pengujian dengan uji korelasi product moment Pearson menggambarkan hubungan yang lemah antara protein, energi dan rasio protein terhadap energi dari ketiga jenis makroalga dengan tingkat konsumsi agar (r=0,489, 0,495 dan 0,364). Hubungan tersebut diperkuat uji signifikansi dua sisi yang menyimpulkan tidak ada hubungan antara protein, energi dan rasio protein terhadap energi dengan tingkat konsumsi agar (p>0,025). Hal yang sama dilaporkan Dworjanyn et al. (2007) atas enam jenis makroalga dan lamun yang diuji pada juvenil T. gratilla. Fakta tersebut membuktikan bahwa preferensi T. gratilla tidak semata-mata hanya dipengaruhi nilai protein, energi dan rasio protein terhadap energi suatu bahan. Namun, ada faktor lain yang bertindak sebagai stimulan sehingga dapat mempengaruhi preferensi dan tanggap T. gratilla terhadap konsumsi agar. Hirarki preferensi yang digambarkan Steinberg dan van Altena (1992), menunjukkan bulubabi lebih memilih jenis makroalga tertentu ketika diberikan pilihan pakan alami. Faktanya, sebagai sumber makanan makroalga sangat bervariasi dalam morfologi, kualitas nutrisi, metabolit sekunder dan derajat pengapuran yang berpengaruh terhadap preferensi pemangsanya (Vadas 1977; Sakata et al. 1989; Duffy dan Hay 1990; Wright et al. 2005). Pengamatan di lapangan dan pengujian di laboratorium menunjukkan metabolit sekunder dapat
28
12.00
12.00
10.00
10.00
8.00 6.00 10.38
4.00
8.60 6.31
Energi (Mj kg-1)
Protein (% bb)
bertindak sebagai stimulan atau deteren yang kuat bagi bulubabi (Sakata et al. 1989; Steinberg dan van Altena 1992; Deal et al. 2003). Beberapa studi menunjukkan golongan monosakarida, polisakarida, asam amino, lipid, terpenoid dan fenol dapat bertindak sebagai stimulan bagi bulubabi (Klinger dan Lawrence 1984; Sakata et al. 1989; Steinberg dan van Altena 1992), tetapi di sisi lain dapat bertindak sebagai deteren (Steinberg dan van Altena 1992; Cronin dan Hay 1996; Deal et al. 2003).
8.00 6.00 4.00
2.00
2.00
0.00
0.00
10.97 7.42
8.26
Jenis Makroalga
Gambar 12 Kadar protein dan energi dari ketiga jenis makroalga yang digunakan dalam uji palatabilitas
Gliserolipid pada U. pertusa diketahui bertindak sebagai stimulan terhadap S. intermedius dan herbivora laut lainnya (Sakata et al. 1988a; 1988b; 1989; 1991). Di sisi lain, Deal et al. (2003) pertama kali membuktikan bahwa polar galaktolipid atau gliserolipid pada alga coklat Fucus vesiculosus bertindak sebagai deteren bagi bulubabi Arabica punctulata. Studi lain melaporkan herbivora laut asal Australia toleran terhadap alga coklat dengan kandungan fenol tinggi, kontras dengan herbivora laut asal Amerika Utara yang sangat tidak toleran terhadap kandungan fenol alga coklat. Studi yang sama menemukan meningkatnya kadar senyawa fenol (flurotannin) pada alga coklat Carpophyllum maschalocarpum akan meningkatkan konsumsi T. gratilla, tetapi senyawa non polar (terpena geranilaseton) yang diproduksi alga ini signifikan bertindak sebagai deteren bagi T. gratilla (Steinberg dan van Altena 1992). Senyawa lain, furanones metabolit sekunder yang umum diproduksi alga merah, pada konsentrasi tertentu bertindak sebagai deteren terhadap herbivora laut tetapi pada konsentrasi rendah tidak menghalangi macrograzer (bulubabi dan gastropoda) untuk mengkonsumsinya (Wright et al. 2004). Selain jenis senyawa, berbagai penelitian yang telah dilakukan di atas membuktikan bahwa jenis biota, derajat toleransi biota terhadap keberadaan suatu senyawa dan interaksi antar berbagai senyawa yang terkandung di dalam suatu bahan merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan dalam menentukan suatu senyawa bertindak sebagai sebagai stimulan atau deteren bagi bulubabi.
29 4.3 Hasil Pengujian Makroalga Kering sebagai Stimulan Pakan
Penambahan makroalga kering ke dalam pakan buatan terbukti meningkatkan palatabilitas pakan buatan. Hasil percobaan II menunjukkan ada perbedaan tanggap T. gratilla dalam bentuk konsumsi terhadap penambahan tiga jenis makroalga kering dalam pakan buatan dengan taraf dosis 5% (One Way ANOVA, F=10,008, p<0,05) (Gambar 13). Pola konsumsi serupa dengan tingkat konsumsi lebih besar dilaporkan Dworjanyn et al. (2007) yang menguji juvenil T. gratilla dengan pakan buatan yang mengandung S. linearifolium dan E. radiata. Bagaimanapun, terlalu cepat menyimpulkan S. linearifolium dan E. radiata bertindak lebih baik daripada S. polycystum, U. reticulata dan G. lichenoides yang penulis gunakan sebagai stimulan pakan. Berbeda dengan formulasi pakan yang digunakan dalam percobaan ini, Dworjanyn et al. (2007) menggunakan protein nabati dengan kadar protein yang lebih rendah (19-22%) serta menambahkan lesitin dalam formulasi pakannya. Fernandez dan Boudouresque (2000) melaporkan Paracentrotus lividus mengkonsumsi pakan nabati lebih banyak dibandingkan pakan hewani, sementara Lytechinus variegatus mengkonsumsi pakan rendah protein lebih banyak dibandingkan pakan tinggi protein (Hammer et al. 2006a; Hammer et al. 2006b; Cook dan Kelly 2007). Diketahui pula bahwa gliserolipid dalam lesitin kedelai bertindak sebagai stimulan pakan bagi S. intermedius (Sakata et al. 1989). 0.90
Total konsumsi pakan ind-1 (g bb)
0.80
b
b
b
0.76
0.75
0.75
S-5
G-5
U-5
0.70 0.60
a
0.50 0.40 0.30
0.55
0.20 0.10 0.00 Basal
Perlakuan
Gambar 13 Total konsumsi pakan buatan oleh T. gratilla selama 24 jam dari empat jenis perlakuan diet (dosis makroalga 5%) (n=21 ind perlakuan-1, rerata±simpangan baku). Kolom dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey)
Uji lanjut antar perlakuan diet pada percobaan II menunjukkan besar konsumsi perlakuan basal dengan tiga perlakuan diet lainnya oleh T. gratilla
30 berbeda nyata, tetapi antar ketiga perlakuan diet tersebut tidak menunjukkan perbedaan nyata (Tukey, p>0,05) (Gambar 13). Hasil percobaan ini mengindikasikan tanggap T. gratilla terhadap pakan saat pakan diberikan sebagai pakan tunggal juga dipengaruhi oleh ketersediaan pakan selain keberadaan senyawa yang bertindak sebagai stimulan atau deteren. Deteren tidak harus berarti mencegah penelanan, S. droebachiensis dan S. franciscanus mengkonsumsi Nereocystis leutkeana dan Agarum spp tetapi tidak mengkonsumsi Desmarestia viridis yang mengandung asam sulfur saat semua makroalga diberikan secara bersamaan di laboratorium. Ketika D. viridis diberikan sebagai pakan tunggal S. droebachiensis mulai mengkonsumsi makroalga tersebut setelah beberapa hari, akan tetapi giginya mengalami kerusakan setelah beberapa bulan (Irvine 1973 diacu dalam Lawrence et al. 2007). Sebagaimana disebutkan di atas, konsumsi pakan buatan oleh T. gratilla yang diberi diet pakan buatan yang mengandung makroalga kering dari tiga jenis yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan nyata. Oleh sebab itu, dalam menentukan jenis makroalga yang akan digunakan pada percobaan III didasarkan atas komposisi biokimia makroalga. Sebab, proses pemilihan dan penelanan pakan boleh jadi akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup, pertumbuhan dan reproduksi bulubabi. Hasil analisis proksimat terhadap ketiga jenis makroalga menunjukkan bahwa U. reticulata memiliki komposisi biokimia lebih baik dibandingkan dengan dua jenis makroalga lainnya. U. reticulata memiliki kandungan protein dan lipid yang lebih tinggi (masing-masing 13,12 dan 2,57 % berat kering) serta kadar abu yang lebih rendah (18,74 % berat kering) (Tabel 8). Dhargalkar (1986) melaporkan kandungan protein U. reticulata yang dipanen sepanjang tahun berkisar antara 10,9-19,8% berat kering, sedangkan kadar lipid berkisar dari 2-4%.
Tabel 8 Komposisi biokimia (% berat kering) makroalga kering yang digunakan sebagai stimulan pakan buatan pada percobaan II Komposisi biokimia (%)
Jenis Makroalga S. polycystum G. lichenoides U. reticulata
Abu 28.45 32.76 18.74
Protein 11.13 8.46 13.12
Lipid 1.97 1.61 2.57
Serat Kasar 22.22 7.89 8.56
BETN 36.23 49.28 57.01
Makroalga dengan kandungan protein dan lipid yang lebih tinggi dipilih sebab kedua komponen ini penting bagi pertumbuhan bulubabi. Protein penting bagi bulubabi sebab laju pertumbuhan dan reproduksi dari bulubabi sangat bergantung pada dietari protein daripada energi (Lowe dan Lawrence 1976). Protein disintesa di dalam usus menjadi mayor yolk glycoprotein (MYP) dan diakumulasi oleh gonad di dalam nutritive phagocytes (NP) digunakan sebagai energi untuk metabolisme ataupun digunakan sebagai energi untuk proses gametogenesis (Walker et al. 2007). Tinjauan yang dilakukan Kennedy et al. (2007) menyebutkan bahwa komponen lipid penting untuk pertumbuhan bulubabi sebab lipid dikonsentrasikan sebagai sumber energi (lipid dapat menyimpan lebih banyak energi per unit volume dibandingkan protein dan glikogen), lipid merupakan
31 komponen struktural penting untuk produksi membran seluler (misal, fosfolipid dan kolesterol) yang merupakan proses esensial untuk pertumbuhan somatik, lipid dapat diberikan sebagai vitamin, hormon dan pigmen (misal, karotenoid), dan lipid dapat diaktifkan sebagai prekursor bagi substansi esensial, seperti eikosanoid yang mana berfungsi dalam proses internal seperti osmoregulasi dan respon imun.
4.4 Hasil Pengujian Dosis Optimal Makroalga Kering sebagai Stimulan Pakan terhadap Konsumsi Pakan, Pertumbuhan dan Profil Gonad
4.4.1 Konsumsi Pakan Konsumsi pakan T. gratilla dalam percobaan III merupakan parameter yang menentukan nilai dari parameter-parameter lainnya. Tanggap T. gratilla terhadap perlakuan diet dalam percobaan ini tergambar dari besar konsumsi pakan individu1 hari-1 (g bb) dan total konsumsi pakan individu-1 (g bb). Tanpa bergantung pada jenis perlakuan diet, selama percobaan berlangsung konsumsi pakan harian T. gratilla cenderung mengalami kenaikan setiap harinya untuk semua perlakuan diet. Di antara perlakuan diet berupa pakan buatan yang diberikan, U-10 perlakuan yang memberikan tanggap konsumsi paling positif dibandingkan dengan perlakuan diet lainnya (Gambar 14A). Cook dan Kelly (2007) melaporkan P. miliaris mengkonsumsi biomassa makroalga (P. palmata) dua kali lebih banyak setelah hari ke 30. Konsumsi pakan yang lebih rendah di awal perlakuan diyakini dipengaruhi ukuran saluran pencernaan (faring, esofagus, lambung, usus, rektum) yang mengecil setelah dipuasakan. Frantzis (1992) diacu dalam Fernandez dan Boudouresque (2000) melaporkan bahwa laju penelanan atau konsumsi pakan bulubabi diatur oleh volume saluran pencernaan. Jauh sebelumnya, Lawrence et al. (1966) diacu dalam Hammer et al. (2006a) telah mengindikasikan hal tersebut saat mempelajari perubahan ukuran saluran pencernaan S. purpuratus saat musim tertentu dan saat kelaparan, di mana ukuran saluran pencernaan yang lebih kecil diyakini membatasi jumlah nutrien yang dapat disimpan. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa ukuran atau kapasitas saluran pencernaan tidak dipengaruhi oleh kualitas akan tetapi kuantitas pakan yang dikonsumsi. Hasil percobaan mengungkapkan bahwa frekuensi pemberian pakan mempengaruhi besar konsumsi pakan T. gratilla. Uji t sampel bebas (Independent sample t test) antara frekuensi pemberian pakan satu kali dengan dua kali sehari menunjukkan berbedaan yang nyata (t dengan equal variance assumed= 7,844, p<0,025). Frekuensi pemberian pakan dua kali sehari selama 13 hari (hari ke 26– 38) memberikan tanggap konsumsi harian yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian pakan satu kali sehari selama 24 hari (hari ke 1– 24) (0,75 dan 0,36 g bb individu-1 hari-1) (Gambar 14A). Selain perubahan kapasitas saluran pencernaan, konsistensi pakan di dalam air laut diyakini pula sebagai faktor yang menentukan tingkat konsumsi pakan. Setelah 12-16 jam pakan perlakuan mulai mengalami kehancuran. Bulubabi regularia sebagian besar makan dengan cara ‘grazing’ sehingga pakan buatan yang segera rusak setelah dicelupkan ke dalam air laut tidak dapat dikonsumsi dengan cepat sebagaimana pakan yang masih utuh.
32
Konsumsi pakan ind-1 hari-1 (g bb)
A
a
b
Frekuensi pemberian pakan (FP) =1 kali hari-1
FP =2 kali hari-1
1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 1
5
9
13
17
21
25
29
33
37
Hari Total konsumsi pakan ind-1 (g bb)
B
25.00
ab
b ab
20.00 a
15.00
10.00
20.50
22.01 16.56
13.96
5.00 0.00 Basal
U-10
U-20
U-30
Perlakuan
Gambar 14 (A) Konsumsi pakan harian ‘Basal’ (◊), ‘U-10’ (□), ‘U-20’ (Δ), ‘U-30’ (○) dan (B) total konsumsi pakan T. gratilla dari empat jenis perlakuan diet (n=21 ind perlakuan-1, rerata±simpangan baku). Kolom dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey)
Pernyataan di atas menunjukkan konsistensi pakan merupakan faktor penting dalam pengembangan pakan buatan bagi bulubabi. Oleh karena itu semua jenis perlakuan diet dalam percobaan ini menggunakan gelatin (‘bloom factors’ tidak diketahui) sebagai bahan pengikat untuk memperoleh konsistensi pakan yang baik. Pearce et al. (2002) melaporkan bahwa gelatin (bloom factors 175) merupakan bahan pengikat terbaik untuk mempertahankan konsistensi pakan bulubabi. Pengujian konsistensi pakan dalam percobaan ini memperlihatkan semakin meningkat dosis U. reticulata yang ditambahkan ke dalam pakan buatan, kemampuan pakan untuk mempertahankan formasinya di dalam air laut semakin berkurang. Pakan basal merupakan perlakuan dengan konsistensi pakan paling baik, sementara U-10 merupakan perlakuan diet dengan penambahan U. reticulata yang memiliki kemampuan mempertahankan formasi di dalam air laut lebih lama dibandingkan U-20 dan U-30 (Gambar 15).
33 Hasil uji one way ANOVA terhadap total konsumsi pakan dari semua perlakuan diet selama percobaan menggambarkan adanya perbedaan konsumsi pakan antar kelompok perlakuan diet (F= 4,945, p<0,05). Perlakuan U-10 merupakan perlakuan diet dengan konsumsi pakan terbesar (22,01 g bb individu-1). Meski hasil uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan U-10 dengan basal tidak berbeda nyata (Tukey, p>0,05) (Gambar 14B). Konsistensi pakan yang rendah pada perlakuan U-20 dan U-30 dalam percobaan ini diyakini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya konsumsi pakan T. gratilla yang diberi diet pakan tersebut dibandingkan perlakuan U-10 dan basal. Berbedaan jumlah konsumsi pakan selain dipengaruhi konsistensi pakan, diyakini dipengaruhi pula oleh keberadaan dan konsentrasi dari stimulan atau deteren dalam perlakuan pakan tersebut. Penambahan U. reticulata kering dengan dosis yang lebih besar tidak serta merta meningkatkan konsumsi. Selain menyebabkan konsistensi pakan menurun, penambahan U. reticulata dengan dosis terlalu besar potensial meningkatkan konsentrasi senyawa yang bertindak sebagai deteren dalam pakan perlakuan sehingga mempengaruhi proses penelanan makanan oleh T. gratilla. Nelson (2003) diacu dalam Daggett et al. (2005) melaporkan alga hijau U. obscura mengandung fenol dalam kadar yang relatif tinggi. Beberapa senyawa fenolik, misal flurotannin pada konsentrasi tertentu akan bertindak sebagai deteren terhadap T. gratilla (Steinberg dan van Altena 1992). Faktor lain yang diduga mengatur konsumsi pakan T. gratilla adalah perbedaan umur antar individu T. gratilla yang digunakan dalam percobaan. Hal serupa dilaporkan Cook dan Kelly (2007) yang menyakini variasi tingkat konsumsi P. lividus tidak semata dipengaruhi kandungan pakan perlakuan akan tetapi juga dikontrol oleh perbedaan umur antar individu P. lividus.
Gambar 15 Stabilitas pakan ‘utuh’ (■), ‘hancur’ (□) dari empat jenis perlakuan diet
34 T. gratilla yang bertindak sebagai kontrol negatif (MS) dalam percobaan III diberi pakan secara ad libitum berupa campuran makroalga segar dan lamun. Jumlah setiap jenis makroalga yang diberikan tidak sama, bergantung pada ketersediaan makroalga segar yang diperoleh dari pantai di perairan Teluk Ambon. Total makroalga segar dan lamun yang diberikan selama percobaan sebanyak 437,86 g bb individu-1. G. lichenoides dan Padina crasa merupakan jenis makroalga yang paling banyak diberikan (masing-masing 50,57 dan 32,30% dari total konsumsi individu-1) (Gambar 16). Kadar protein makroalga segar (alga coklat: 5-15%, alga merah: 10-30% dari berat kering (Burtin 2003)) diyakini berpengaruh terhadap jumlah konsumsi makroalga segar, sebab laju pertumbuhan dan reproduksi bulubabi sangat bergantung pada dietari protein daripada energi (Lowe dan Lawrence 1976). Konsekuensinya, bulubabi harus menelan dan mengolah pakan rendah protein dalam jumlah besar untuk memenuhi kecukupan protein yang diperlukan bagi pertumbuhannya (Miller dan Mann 1973).
Gambar 16 Komposisi pemberian pakan makroalga segar ‘Enhalus acaroides’ ( ), ‘G. lichenoides’ ( ), ‘P. australis’ ( ), ‘P. crasa’ ( ), ‘P. minor’ ( ) dan total konsumsi makroalga segar ( ) pada T. gratilla (n=21 ind perlakuan-1)
4.4.2 Sintasan dan Pertumbuhan Evaluasi terhadap sintasan dan pertumbuhan T. gratilla dewasa pada percobaan ini sulit dilakukan, terutama dikarenakan pendeknya durasi pemeliharaan. Pendeknya durasai pemeliharaan penyebabkan proses akumulasi nutrien yang dilakukan oleh T. gratilla belum maksimal, sehingga akumulasi nutrien yang diperoleh belum sempat dialokasikan untuk pertumbuhan. Selama periode pemeliharan, sintasan T. gratilla 100% pada semua jenis perlakuan diet. Penambahan bobot dan diameter cangkang antar individu bervariasi pada setiap perlakuan. Perlakuan U-10 merupakan perlakuan dengan laju pertumbuhan
35 diameter cangkang (LGR) dan laju pertumbuhan spesifik (SGR) yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan lain, walau uji lanjut menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antar perlakuan diet (Tukey, p>0,05) (Tabel 9). Beberapa perlakuan (U-30 dan MS) memiliki nilai LGR dan SGR dengan nilai standar deviasi yang besar (Tabel 9). Hal tersebut mengindikasikan terjadinya pertumbuhan negatif pada individu T. gratilla. Kondisi ini disebabkan karena kekurangan nutrisi yang dialami bulubabi ketika dipuasakan sebelum digunakan untuk pengujian. Pertumbuhan negatif seringkali ditemukan pada bulubabi yang kelaparan (Guillou et al. 2002; Cook dan Kelly 2007), sebab pada saat kelaparan terjadi mobilisasi cadangan nutrien dalam cangkang berupa proses reabsorpsi terhadap bahan organik (termasuk protein dan karbohidrat) yang digunakan untuk produksi atau pertumbuhan gonad (Lawrence dan Lane 1982, diacu dalam Hammer et al. 2006a; Cook dan Kelly 2007), pada percobaan ini diindikasikan dengan meningkatnya indek gonad (GI).
Tabel 9 Berat utuh (BU), diameter cangkang (DC), sintasan (SR), laju pertumbuhan linier (LGR) dan laju pertumbuhan spesifik (SGR) T. gratilla dari lima jenis perlakuan diet (n= 15, rerata±simpangan baku) Perlakuan Basal
U-10
U-20
U-30
MS
Awal BU (g) DC (mm)
112,38±1,77
113,76±0,84
113,37±0,49
114,79±1,02
113,49±0,66
66,27±1,76
67,23±0,10
66,48±0,31
67,17±0,97
66,64±1,04
Akhir BU (g)
120,08±2,53
125,45±5,29
120,48±2,27
121,44±5,09
123,16±12,63
67,34±0,54
69,13±1,12
68,10±1,00
68,19±1,48
68,10±1,24
100
100
100
100
100
LGR (mm hari-1)
0,03±0,03a
0,05±0,03a
0,04±0,02a
0,03±0,04a
0,04±0,01a
SGR (% hari-1)
0,17±0,06a
0,26±0,11a
0,16±0,06a
0,15±0,09a
0,21±0,27a
DC (mm) SR (%)
a
Angka-angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey)
4.4.3 Profil Gonad
4.4.3.1 Indek Gonad (GI) Perkembangan gonad seringkali digunakan sebagai indek dari kondisi nutrisi bulubabi, tidak hanya dikarenakan ketergantungan pertumbuhan gonad terhadap kualitas diet, tetapi juga dikarenakan bulubabi relatif cukup besar menginvestasikan nutrien dalam upaya reproduksi, ditandai saat matang gonad bagian dalam cangkang akan dilingkupi pundi-pundi gonad. Indek gonad (GI) T. gratilla di awal
36 perlakuan dan perlakuan MS pada percobaan ini signifikan lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan diet lainnya. GI pada perlakuan diet U-10 dan basal sebesar 5,02 dan 4,61% dari total berat utuh, signifikan lebih besar dibandingkan dengan gonad T. gratilla pada perlakuan diet U-20 dan U-30. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa GI pada perlakuan diet U-10 dan basal tidak bebeda nyata (Tukey, p>0,05), namun berbeda dengan perlakuan diet lainnya (Tukey, p<0,05) (Gambar 17). Beberapa penulis telah melaporkan produksi gonad bulubabi sangat baik ketika diberi pakan buatan (de Jong-Westman 1993; Lawrence et al. 1997; Fernandez dan Boudouresque 2000; Shpigel et al. 2005; Hammer et al. 2006b). Begitu pula dalam percobaan ini, T. gratilla yang diberi diet pakan buatan menghasilkan GI lebih tinggi dibandingkan T. gratilla yang diberi diet pakan makroalga segar. U-10 merupakan perlakuan dengan konsumsi pakan dan GI tertinggi dibandingkan dengan perlakuan diet lainnya. Ukuran gonad bulubabi terutama dipengaruhi oleh jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi, hal ini ditunjukkan oleh adanya perbedaan pertumbuhan somatik dan reproduksi bulubabi yang berhubuhan dengan pemenuhan nutrien (Vadas 1977). Percobaan III menggunakan level protein yang sama (±31%) untuk semua perlakuan dietnya (Basal, U-10, U-20 dan U-30). Oleh sebab itu besar konsumsi pakan oleh individu T. gratilla akan berdampak terhadap GI, dikarenakan jumlah pakan yang dikonsumsi berkorelasi positif dengan banyak protein yang dikonsumsi. Hammer et al. (2006b) melaporkan penambahan bobot gonad L. variegatus bergantung pada dietari protein dan lama periode pemberian diet. Bishop dan Watts (1994) diacu dalam Hammer (2006b) melaporkan setelah dipuasakan saluran pencernaan bulubabi harus mencapai ukuran tertentu (kompetensi saluran pencernaan) sebelum nutrien dapat dipindahkan ke gonad.
7.00
c c
Indek Gonad (%)
6.00 c
5.00 4.00
b
b
3.00 a
2.00
4.61
5.02
ab 3.02
1.00
4.16
2.91 1.56
1.25
0.00 Awal
Basal
U-10
U-20
U-30
MS
Alam
Perlakuan
Gambar 17 Indek gonad T. gratilla dari sampel awal (n=5 ind), lima jenis perlakuan diet (n=15 ind perlakuan-1) dan sampel alam (4 ind,rerata±simpangan baku). Kolom dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey)
37 4.4.3.2 Kandungan Lipid, Protein dan Kadar Air Gonad Analisis proksimat terhadap komposisi protein, lemak dan kadar air gonad T.gratilla menunjukkan bahwa di akhir percobaan gonad bulubabi mengalami kenaikan kadar air dan protein serta penurunan lemak untuk semua perlakuan diet. Di antara kelima perlakuan diet yang diberikan, perlakuan diet dengan penambahan makroalga kering memiliki kadar air, protein dan lemak lebih tinggi dari pada perlakuan diet basal. Penambahan dosis makroalga berkorelasi positif dengan kadar air gonad. U-30 perlakuan dengan kadar air dan lemak tertinggi (80, 95 dan 28,71%). Sementara, U-20 merupakan perlakuan dengan kadar protein tertinggi (55,02%) (Tabel 10).
Tabel 10 Protein, lipid (% berat kering) dan kadar air gonad T. gratilla dari sampel awal, lima jenis perlakuan diet dan sampel alam Parameter
Awal
Protein (% bk)
Perlakuan
Alam
Basal
U-10
U-20
U-30
MS
35,98
38,19
50,71
55,02
43,73
42,83
70,16
Lemak (% bk)
38,78
16,42
26,35
26,12
28,71
17,94
23,56
Kadar air (%)
77,49
78,50
79,47
79,48
80,95
78,87
80,26
Rendahnya kadar lipid di awal percobaan penulis yakini terjadi karena saat dipuasakan bulubabi memperoleh energi untuk proses metabolisme terutama dari perombakan cadangan glikogen yang tersimpan di dalam sel NP pada gonad melalui proses glikogenesis, yang mulanya diperuntukkan sebagai energi seluler siap pakai yang dibutuhkan untuk proses gametogenesis. Marsh dan Watts (2007) dalam tinjuannya perihal metabolisme karbohidrat menyebutkan bahwa kandungan karbohidrat pada telur ekinoid rendah, ini mengindikasikan bahwa karbohidrat yang terkadung di dalam sel NP tidak dialokasikan untuk perkembangan gamet, akan tetapi lebih diperuntukkan sebagai energi seluler siap pakai yang dibutuhkan untuk proses gametogenesis. Proses pengalokasian glikogen sebagai sumber energi untuk proses metabolisme oleh bulubabi saat dipuasakan melalui proses glikogenesis, terjadi pula pada mamalia yang dipuasakan. Berbeda dengan ikan yang terlebih dahulu merombak lemak dan protein melalui proses glukogenesis sebagai sumber energi saat dipuasakan. Hasil analisis proksimat di atas juga menunjukkan bahwa komposisi diet berpengaruh terhadap pertumbuhan dan komposisi biokimia gonad T. gratilla, sebab gonad bertindak sebagai organ utama untuk menyimpan nutrien pada bulubabi (Walker 1982). Nutrien berupa protein dan lipid dalam jumlah besar diakumulasi di dalam gonad terutama untuk perkembangan gonad (Giese et al. 1959). Protein yang diakumulasi di dalam gonad berupa mayor yolk protein (MYP) yang disintesis di dalam usus, coelomocytes, dan nutritive phagocytes (NPs) dan selanjutnya diakumulasi di NP (Walker et al. 2007). Berbeda dengan binatang ovipar lainnya, bulubabi jantan dan betina memproduksi MYP (Unuma et al. 2001, diacu dalam Walker et al. 2007). Perubahan kuantitatif MYP dan komponen lainnya
38 terjadi selama proses gametogenesis, ditunjukkan adanya hubungan terbalik antara ukuran sel gonad (NP) tempat cadangan nutrien disimpan dengan sel gametogenik (Walker et al. 2007). Dengan demikian dalam mengevaluasi status protein, lemak dan komponen lain yang terkandung dalam gonad harus mempertimbangkan pula kondisi reproduktif gonad bulubabi, sebab kedua hal tersebut sangat erat kaitannya.
4.4.3.3 Kondisi Reproduktif Gonad Analisis histologis gonad T. gratilla atas sampel awal dan lima perlakuan diet menunjukkan kondisi reproduktif gonad yang beragam, baik individu antar perlakuan diet yang berbeda ataupun individu dalam perlakuan diet yang sama. Secara umum kondisi reproduktif gonad T. gratilla betina dan jantan dalam percobaan ini, terbagi atas empat fase utama, yakni (I) inter-gametogenesis dan NP phagocytosis, (II) pre-gametogenesis dan NP renewal, (III) gametogenesis dan NP utilisation dan (IV) end of gametogenesis, NP exhaustion dan spawning. Berbeda dengan kondisi reproduktif gonad T. gratilla yang diperoleh dari alam yang hanya terdiri dari satu fase, yakni fase III (Gambar 18).
Gambar 18 Tahap siklus gametogenesis (1) ‘inter-gametogenesis dan NP phagocytosis’, (2) ‘pre-gametogenesis dan NP renewal’, (3) ‘gametogenesis dan NP utilization’, (4) ‘end of gametogenesis, NP exhaustion dan spawning’ dari T. gratilla (A) betina dan (B) jantan. Akronim: RC – reproductive cells; NP – nutritive phagocyte. Panah pada poin (1) - remnant reproductive cells. Perbesaran x 4
Tanpa membedakan individu jantan dan betina penafsiran hasil gambaran histologi memperlihatkan bahwa kondisi reproduktif gonad T. gratilla sedikit mengalami perubahan dibandingkan dengan sampel awal. Sebagian besar kondisi reproduktif T. gratilla setelah percobaan berada pada fase (II) dan (III). Penambahan terbesar jumlah T. gratilla pada fase (II) ditemukan pada perlakuan U-10 dan sedikit penambahan pada fase (III) ditemukan pada perlakuan U-20 dan
39 basal (Gambar 19). Hasil analisis proksimat menunjukkan terjadinya peningkatan kadar protein dan air diikuti menurunnya kadar lipid pada gonad T. gratilla di akhir percobaan untuk semua perlakuan diet (Basal, U-10, U-20, U-30 dan MS). Hal tersebut menunjukkan bahwa pada semua perlakuan mulai mengalami proses gametogenesis dan pemanfaatan NP (fase II), tetapi dalam waktu bersamaan juga masih mengakumulasi tambahan nutrien sebagaimana ditunjukkan oleh hasil analisis gambaran histologi gonad yang memperlihatkan beragamnya kondisi reproduktif gonad individu T. gratilla. Pada fase II, MYP dan lipid serta komponen lain mulai dialokasikan untuk pembentukan ovum dan sperma. Persediaan MYP bulubabi jantan sebagian besar digunakan pada akhir spermatogenesis. Sementara pada bulubabi betina sebagian dari persediaan MYP ditransfer dari ovum melalui endositosis dynamic-dependent mechanism (Brook dan Wessel 2003, 2004, diacu dalam Walker et al. 2007) dan berakhir dalam bentuk butiran kuning telur (yolk granules) (Ozaki et al. 1986, diacu dalam Walker et al. 2007).
Tingkat kematangan gonad (%)
100% 90% 80%
10 20
70%
10 30
10 20
10 30
10 20
60%
60
50% 40% 30%
10
70
60
70
40
20%
10%
100
50
20
20
U-20
U-30
30
0% Awal
Basal
U-10
MS
Alam
Perlakuan
Gambar 19 Kondisi reproduktif gonad T. gratilla ‘inter-gametogenesis dan NP phagocytosis’ ( ), ‘pre-gametogenesis and NP renewal’ ( ), ‘gametogenesis and NP utilisation’ ( ), ‘end of gametogenesis, NP exhaustion and spawning’ ( ) pada sampel awal (n=10 ind), lima jenis perlakuan diet (n=10 ind perlakuan-1) dan sampel alam (n=4 ind)
4.4.3.4 Diameter Telur Pada ekinodermata, ukuran dan kandungan kimia telur, sebagaimana halnya ukuran dan perkembangan larva diketahui bervariasi tidak hanya antar individu dari populasi yang berbeda tetapi juga antar individu dari populasi yang sama (George et al. 1990). Pada bulubabi, karena proses fertilisasi dan perkembangan larva terjadi secara eksternal, investasi nutrisi yang diwariskan induknya (maternal provisioning) dalam gamet akan selesai saat memijah. Oleh karena itu, jenis diet yang dikonsumsi potensial berdampak terhadap kualitas telur dan perkembangan larva (George et al. 1990).
40 Evaluasi terhadap kualitas telur ekinodermata seringkali berdasar atas ukuran dan komposisi biokimia telur. Hasil pengukuran diameter telur T. gratilla di akhir percobaan menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan diet dalam percobaan ini (one way ANOVA, F=12,905, p<0,05). Uji lanjut memperlihatkan bahwa U-10 menghasilkan telur dengan rerata diameter telur terbesar (82,86 µm) berbeda nyata dengan perlakuan diet lainnya (Tukey, p<0,05) (Gambar 20). Hal ini selaras dengan akumulasi nutrien oleh T. gratilla yang lebih besar pada perlakuan U-10 dibandingkan dengan perlakuan diet lainnya. Vaitilingon et al. (2005) melaporkan ukuran diameter telur T. gratilla berkisar 85-90 µm, bergantung pada temperatur, ketersediaan makanan dan lama pemeliharaan. 86.00
b a
Diameter Telur (ɥm)
84.00 a
a
82.00
a
80.00 82.66
78.00 80.21
76.00
79.36
79.48
U-20
U-30
78.58
74.00 Basal
U-10
MS
Perlakuan
Gambar 20 Diameter telur T. gratilla dari lima jenis perlakuan diet (n=2 ind perlakuan-1, 80 telur perlakuan-1, rerata±simpangan baku). Kolom dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey)
4.4.3.5 Warna Gonad Penilaian warna gonad memperlihatkan keberagaman warna gonad T. gratilla pada individu antar perlakuan diet yang berbeda ataupun individu dalam perlakuan diet yang sama. Hasil percobaan menunjukkan perbedaan perlakuan diet dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pigmentasi gonad. Kondisi tersebut tercermin dari komposisi kategori warna gonad antar perlakuan diet. U-10 memiliki komposisi warna gonad yang lebih homogen dibandingkan dengan perlakuan diet lainnya. Warna yang lebih homogen pada perlakuan ini sesuai dengan warna gonad yang diterima pasar (1215 U dan 134 U). Secara umum, T. gratilla yang diberi pakan buatan sebagai pengganti pakan alami menghasilkan warna gonad yang lebih pucat. Penambahan makroalga kering dalam pakan buatan dalam percobaan ini terbukti memperbaiki warna gonad, walaupun tidak sebaik warna gonad T. gratilla yang diberi pakan alami dan yang dipanen dari alam (134 U dan 129 U) (Gambar 21, 22). Shpigel et al. (2005) melaporkan bulubabi yang diberi diet pakan buatan
41 umumnya menghasilkan warna gonad yang lebih pucat apabila dibandingkan dengan warna gonad bulubabi yang diberi pakan alami. Diterima
Tidak diterima
Kategori Warna Gonad (%)
100% 90%
21
17
17
25
4 4 4
80% 70%
50
8 8
13
60%
8 8 4
21 8 8
10%
8
20 63
30% 20%
50
29
50% 40%
17
10
58
58
50
17
50
21
20
0% Awal
Basal
U-10
U-20
U-30
MS
Alam
Perlakuan
Gambar 21 Komposisi kategori warna gonad T. gratilla dari sampel awal (n=10 ind), lima jenis perlakuan diet (n=21 ind perlakuan-1) dan sampel dari alam (n=4 ind)
Gambar 22 Warna gonad T. gratilla. (A) Sampel awal dan lima jenis perlakuan diet, (B) Basal, (C) U-10, (D) U-20, (E) U-30, (F) MS
42 4.4.3.6 Karotenoid Total Makroalga Kering, Pakan Percobaan dan Gonad
Total karotenoid pada U. reticulata kering yang digunakan dalam percobaan ini sebesar 17,84 mg 100 g-1. Analisis kandungan karotenoid pada perlakuan diet jelas menunjukkan bahwa penambahan U. reticulata kering dalam pakan dapat meningkatkan kadar karotenoid pakan dan berkorelasi positif dengan kandungan karotenoid pada gonad. T. gratilla yang diberikan pakan campuran makroalga segar dan lamun menghasilkan gonad dengan kandungan karotenoid setara dengan gonad T. gratilla yang diperoleh dari alam (Tabel 11).
Tabel 11 Total karotenoid pada pakan dan gonad T. gratilla dari sampel awal, lima jenis perlakuan diet dan sampel awal Perlakuan diet Parameter
Awal
Alam Basal
U-10
U-20
U-30
MS
Total karotenoid pakan (mg 100g-1 bb)
-
5,13
5,88
7,20
8,15
-
Total karotenoid gonad (mg 100g-1 bb)
4,75
3,31
3,93
3,46
6,91
12,87
12,34
Makroalga secara umum kaya akan karotenoid. Kandungan karotenoid pada alga hijau mirip dengan yang terdapat pada tanaman tingkat tinggi, yaitu β-karoten, lutein, violaxanthin, antheraxanthin, zeaxanthin dan neoxanthin (Burtin 2003). Proses pengeringan diyakini menurunkan kandungan karotenoid U. reticulata. Shpigel et al. (2005) melaporkan kandungan karotenoid U. lactuca segar mencapai 2 mg g-1 (setara dengan 200 mg 100g-1). Penambahan U. reticulata kering dalam pakan dalam percobaan ini terbukti dapat meningkatkan kadar karotenoid pakan dan berkorelasi positif dengan kandungan karotenoid pada gonad. Shpigel et al. (2005) melaporkan jumlah karotenoid pada gonad berkorelasi positif dengan pewarnaan oranye pada gonad bulubabi. Sebagaimana hewan lainnya tidak mensintesa karotenoid secara de novo. Pigmentasi pada gonad bulubabi berasal dari karotenoid yang langsung terakumulasi dari pakan atau sebagian dimodifikasi melalui reaksi metabolis, yakni β-ekinenone diturunkan dari β-karoten melalui β-isocryptoxanthin (Griffiths dan Perrot 1976). Kemungkinan lain berasal dari jalur metabolik oksidatif, α-ekinenone diturunkan dari α-karoten melewati α-isocryptoxanthin (Tsushima 2007). Penelitian Tsushima et al. (1993) menunjukkan bahwa biokonservasi dari β, βkaroten menjadi β-ekinenone melalui β-isocryptoxantin pada bulubabi terutama terjadi di dalam viscera (dinding usus) dan menghasilkan β-ekinenone yang terinkorporasi ke dalam gonad (ovari dan testis). Oleh karena itu, kandungan total karotenoid gonad akan sangat dipengaruhi oleh ukuran gonad. Hasil percobaan menunjukkan perlakuan U-10 merupakan perlakuan dengan persentase GI terbesar dibandingkan dengan perlakuan lain (Gambar 17). Tidak mengejutkan apabila kandungan karotenoid gonad perlakuan U-10 lebih besar
43 dibandingkan U-20, walaupun konsentrasi karotenoid pakan pada perlakuan U-10 lebih rendah daripada U-20 (Tabel 11). Plank dan Lawrence (2002) menyebutkan bahwa kandungan total karotenoid berkorelasi positif dengan ukuran gonad L. variegatus. Namun saat konsentrasi total karotenoid dalam pakan perlakuan jauh lebih tinggi (U_30 dan MS), jumlah ketersediaan karotenoid dalam pakan lebih menentukan dibandingkan dengan ukuran gonad yang dicapai oleh masing-msing perlakuan pada waktu yang sama. Hasil percobaan pada tahap ini membuktikan bahwa pakan dengan palatabilitas tinggi akan meningkatkan konsumsi protein. Protein yang diakumulasi lebih dialokasikan bagi upaya reproduktif daripada pertumbuhan somatik. Ditunjukkan oleh LGR dan SGR yang tidak berbeda nyata di awal perlakuan, sementara profil gonad (GI, komposisi biokimia gonad, kondisi reproduktif, diameter telur serta warna dan kandungan karotenoid gonad) signifikan mengalami perubahan dibandingkan awal perlakuan.