3 METODE PENELITIAN
3.1
Kerangka Pendekatan Penelitian
Penelitian ini disusun dalam suatu perspektif metodologi pemodelan sistem dinamik. Hal ini karena kompleksitas permasalahan obyek penelitian di kawasan pesisir Taman Nasional Sembilang (TNS) dan frontier area (FA) relatif cukup tinggi. Terdapat tiga alasan digunakannya pendekatan pemodelan sistem dinamik, yaitu: (1) Mampu merepresentasikan korelasi dan dependensi antar variabel yang dikaji, (2) Mampu menggambarkan interaksi bagian-bagian sistem, (3) Mampu mensimulasikan perilaku sistem apabila dilakukan intervensi terhadap sistem tersebut. Kerangka pendekatan pemodelan sistem dinamik dilakukan dengan tujuan: (1) Mengidentifikasi berbagai elemen penyusun sistem; (2) Memahami prosesnya; serta (3) Memprediksi berbagai kemungkinan keluaran sistem yang terjadi akibat adanya distorsi di dalam sistem itu sendiri. Dengan demikian didapatkan berbagai aternatif pilihan skenario kebijakan yang menguntungkan secara optimal. Persoalan alternatif ini sesungguhnya merupakan persoalan “cost-benefit“ atau “cost-effectiveness” analysis, yang bermanfaat untuk mengevaluasi ataupun merancang berbagai kemungkinan yang akan terjadi di masa depan dalam suatu rumusan alternatif kebijakan. Perspektif metodologi pemodelan sistem dinamik ini daharapkan dapat mencapai tujuan-tujuan penelitian yaitu: (1) Menghitung tingkat potensi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir, (2) Menganalisis indikator penggerak potensi emisi karbon di kawasan pesisir, (3) Menghitung kecenderungan dua model skenario business as usual (model BAU) dan model skenario carbon crediting (model CC) terhadap fenomena laju emisi CO2 serta keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+, (4) Menganalisis implikasi kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dari kecenderungan dua model tersebut kaitannya dengan ekonomi wilayah, upaya mitigasi serta kontribusi pengelolaan sumberdaya pesisir terhadap penurunan GRK 26% pada tahun 2020. Dengan demikian, untuk mencapai tujuantujuan penelitian tersebut diperlukan berbagai teknik analisis (multilevel analysis). Beragam pendekatan teknik analisis (multilevel analysis) digunakan dalam konteks penelitian ini, yaitu Analisis Spasial dengan melakukan deliniasi tata guna lahan di luar kawasan (frontier area) dan di dalam kawasan TN Sembilang. Deliniasi tata guna lahan ini diperlukan untuk mendapatkan data historis pemanfaatan ruang (konversi lahan). Selanjutnya informasi ini digunakan sebagai basis data estimasi potensi emisi CO2 (carbon release) sebagai akibat adanya konversi lahan tersebut. Areal yang ditetapkan sebagai zona konservasi dapat digunakan sebagai basis data estimasi untuk menilai carbon offset dari kawasan TN Sembilang. Penilaiannya didasarkan pada teknik analisis allometric equation serta data hipotetis yang
68
memungkinkan untuk dijadikan dasar penilaian carbon stock pada berbagai tipe penutupan lahan. Hasil analisis berupa emisi CO2 dan carbon offset itu selanjutnya digunakan untuk mengestimasi perubahan emisi CO2 yang terhindarkan. Perubahan emisi CO2 yang terhindarkan berupa carbon stock ini dapat dijadikan dasar penilaian manfaat ekosistem sumberdaya alam berdasarkan Payment for Ecosystem Services (PES). PES di sini akan dikaitkan dengan skema REDD+. Payment for Ecosystem Services (PES) merupakan suatu skema dimana pihak yang memperoleh manfaat dari layanan ekosistem akan membayar pihak yang mengelola ekosistem tersebut agar layanannya tetap terjaga dan berkelanjutan. Pendekatan ini digunakan untuk mendapatkan nilai manfaat ekosistem serta harga pokok karbon dihitung berdasarkan teknik Allometric Equation dan Replacement Cost. Dengan teknik ini akan diketahui net carbon offset di masa depan serta perubahannya dalam biomassa hidup akibat konversi atau degradasi hutan di sekitar kawasan pesisir TN Sembilang. Data hasil analisis tata guna lahan, analisis potensi mangrove serta hasil analisis allometric selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar valuasi ekonomi sumberdaya dengan pendekatan Total Economic Value (TEV). Teknik analisis valuasi ekonomi ini merupakan suatu penilaian terhadap ekosistem suatu kawasan. Dalam konteks penelitian ini ada dua aspek yang dinilai, yaitu (1) nilai manfaat ekosistem, yaitu untuk mengkapitalisasi ekosistem TNS pada kondisi business as usual, (2) nilai manfaat alokasi penggunaan kawasan untuk alternatif lain, dengan tujuan mendapatkan pilihan terbaik pada pemanfaatan kawasan sumberdaya pesisir itu. Prinsip dasar valuasi ekonomi sumberdaya pada konteks penelitian ini akan dilakukan dengan pendekatan langsung, yaitu (1) berdasarkan nilai pasar, (2) berdasarkan pasar pengganti (surrogate market). Penilaian ekonomi berdasarkan nilai pasar dilakukan dengan menilai karbon atau suatu komoditas sumberdaya alam tersebut pada harga pasar tertentu untuk mendapatkan nilai gross. Sementara itu, penilaian berdasarkan teknik pasar pengganti digunakan untuk mencari pasar dimana faktor produksi diperjualbelikan dan mengamati manfaat atau biaya lingkungan yang menjadi bagian dari barang atau faktor produksi tersebut. Dengan demikian manfaat yang dinikmati dari lingkungan (contoh: peningkatan kualitas udara) dianggap sebagai atribut atau faktor dari suatu kegiatan manusia atau pekerjaan. Selanjutnya data-data tersebut dianalisis dengan pemodelan sistem dinamik pada berbagai skenario pengusahaan sumberdaya pesisir dengan bantuan software IThink dari High Performance System. Secara diagramatik, kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 16.
69
Citra Landsat TM Band 542
Peta tematik Peta RTR TNS Peta RUTR Analisis Spasial
Penafsiran Citra Landsat
Deliniasi Tata Guna Lahan (Frontier Area) Emisi CO2
(Cexpost) Basis data spasial dan tabular
Data tabular: sosial ekonomi, biofisik, ekosistem pesisir dan data lainnya
Kompilasi data Perubahan net C Terestrial
Data tabular
Faktor penggerak peningkatan emisi karbon
Deliniasi Tata Guna Lahan TN Sembilang
Keragaan TN Sembilang
Keragaan Masyarakat di Frontier Area
Visi dan Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan
Stakeholders
( CLC-D)
Payment for Ecosystem Services (PES)
Total Economic Value (TEV)
Pemodelan Sistem Dinamik
C Terestrial
(Cexante)
Potensi Sumberdaya TNS
Identifikasi Kebutuhan Stakeholder pada berbagai skenario business as usual dan carbon crediting
Keterangan: Cafter = Perubahan nilai karbon sesudah terjadinya konversi Cbefore = Perubahan nilai karbon sebelum terjadinya konversi
Gambar 16 Kerangka pendekatan penelitian
Simulasi Model
Model Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berkelanjutan Berbasis REDD+
70
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di wilayah Kabupaten Banyuasin dengan fokus
kajian pada kawasan Taman Nasional Sembilang (TNS) dan kawasan FA, yaitu suatu wilayah perbatasan yang sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan kawasan hutan konservasi.
Secara administratif berada pada wilayah pemerintahan
Kecamatan
Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Pronpinsi Sumatera Selatan. Secara geografis wilayah Kabupaten Banyuasin berada diantara 1°30’ - 3°6’ LS dan 104°00’ - 105°35’ BT. Sementara itu wilayah TNS berada pada posisi : 1°63’ - 2°48’ LS dan 104°11’ 104°94’ BT. Batas wilayah kerja TNS adalah sebagai berikut (lihat Gambar 17) :
Sebelah Utara
: Sungai Benu dan batas Provinsi Jambi
Sebelah Timur
: Selat Bangka
Sebelah Selatan : Sungai Banyuasin, Sungai Air Calik dan Karang Agung
Sebelah Barat
: Hutan Produksi wilayah ex HPH PT. Riwayat Musi Timber dan PT. Sukses Sumatera Timber dan kawasan transmigrasi Karang Agung Tengah dan Karang Agung Hilir.
Lokasi kajian yang diteliti yaitu di dalam dan di luar kawasan TNS yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Banyuasin. Hal ini dilakukan pertimbangan bahwa aktivitas pemanfaatan ruang di luar
dengan
kawasan TNS akan
berpengaruh secara ekologis terhadap eksistensi TNS itu sendiri. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi peluang terjadinya kebocoran karbon (carbon leakages) di luar kawasan TNS. Sebagai contoh, data awal menunjukkan bahwa ada indikasi kebiasaan masyarakat juga melakukan perambahan hutan di luar kawasan TNS. Kawasan ini terletak di sepanjang pesisir timur Kabupaten Banyuasin
dan
merupakan suatu ekosistem hutan mangrove. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 95/Kpts-II/2003, tanggal 19 Maret 2003 ditetapkan menjadi Taman Nasional Sembilang seluas 202.896,31 Ha. Sementara itu, berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sumatera Selatan luas TNS sekitar 205.750 hektar. Kawasan TNS sebelumnya adalah penggabungan dari kawasan Suaka Margasatwa Terusan Dalam (29.250 hektar), Hutan Produksi Terbatas (HPT) Terusan Dalam (45.500 hektar), Hutan Lindung Sungai Sembilang (113.173 hektar) dan perairan (sekitar 17.827 hektar) (Balai TNS 2007).
71
Gambar 17 Peta batas wilayah penelitian di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan
72
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Banyuasin dengan fokus kajian pada wilayah TN Sembilang. Waktu pengambilan data lapangan dilaksanakan pada Bulan Juli-Agustus 2010. Penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan FebruariMaret 2009. Penelitian pendahuluan dilakukan dengan tujuan untuk menyempurnakan rencana penelitian serta mendapatkan keadaan yang sebenarnya di lapangan guna keperluan penyusunan konstruksi model yang dibangun. 3.3
Metode Penelitian Penelitian dilakukan berdasarkan perspektif dinamika sistem dengan metode
deskriptif untuk mendapatkan gambaran mengenai situasi atau kejadian dengan pendekatan studi kasus dan ground survey pada skala plot (Nazir 2005; Hairiah et al. 2001). Metode studi kasus bertujuan untuk mendapatkan kerincian informasi tentang latar belakang isu dan permasalahan, interaksi antar sub sistem, faktor penggerak degradasi ekosistem pesisir, memprediksi serta mendapatkan makna dan implikasi berdasarkan tujuan penelitian. Sementara itu metode ground survey pada skala plot bertujuan untuk mendapatkan informasi kerincian tinggi (Tier-3) tentang data primer kandungan biomassa tegakan pohon pada berbagai tutupan lahan (IPCC GL 2006). Disain studi kasus dan ground survey dikembangkan dari allometric equation (Kusmana et al. 1992) dan analisis
alokasi ekonomi terbaik (the best economic
allocation) (Kusumastanto 2001), selanjutnya digabungkan dengan analisis spasial dan valuation of economic serta simulasi pendekatan system dynamic. Formulasi tersebut selanjutnya digunakan dengan prosedur SAVE DYNAMIC (Spatial, Allometric equation, Valuation of Economic) untuk menganalisis dua skenario business as usual (model BAU) dan skenario carbon crediting (model CC). 3.4
Jenis dan Sumber Data Jenis data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer
dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil observasi dan kedalaman pengamatan lapangan
serta hasil survei potensi mangrove dalam skala plot. Data
sekunder terdiri dari data kategori berupa kumpulan kebijakan publik di bidang pemanfaatan ruang dalam bentuk peraturan dan perundangan yang berlaku, serta data hasil penelitian sebelumnya (pihak lain) dan data-data sekunder lainnya yang relevan. Data yang diperlukan pada penelitian ini disusun berdasarkan tujuan-tujuan penelitian, jenis data dan informasi yang diperlukan serta sumber data. Secara ringkas disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Tujuan penelitian, jenis dan sumber data yang diperlukan
73
No 1
2
3
4
3.5
Tujuan Penelitian
Jenis Data
Menghitung tingkat potensi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir
Primer
Sekunder
Menganalisis indikator penggerak potensi emisi karbon di kawasan pesisir
Primer
Sekunder
Menghitung kecenderungan dua model skenario business as usual (Skenario BaU) dan model skenario carbon crediting (Skenario CC) terhadap fenomena laju emisi CO2 serta keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir Menganalisis implikasi kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+
Primer
Primer
Sekunder
Data dan Informasi yang Diperlukan
Sumber Data
Data historis tata guna lahan Data biomassa standing stock Data stok karbon Peta RBI dan peta-peta tematik: Tataguna Lahan, Perairan dll. skala 1:25.000 Peta Citra Satelit dan penafsirannya Peta penutupan lahan TNS
Ground check Hasil deliniasi Peta Citra Balai TNS dn Dishut Banyuasin Bakosurtanal
Pola tata guna lahan Tekanan penduduk terhadap lahan Dokumen kebijakan RTRW Provinsi Sumatera Selatan dan RTRW Kabuapaten Banyuasin Data demografi dan sosek Peraturan dan perundangan pamanfaatan ruang Dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan TNS Laju deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di TNS dan di FA Laju emisi CO2 di TNS dan FA Laju carbon offset di TNS dan di FA
Hasil deliniasi Peta Citra BAPPEDA Dinas Kehutanan Balai TNS
Tren laju emisi CO2 yang terhindarkan serta Net Carbon Offset di kawasan TNS Dokumen kebijakan RTRW Provinsi Sumatera Selatan dan RTRW Kabuapaten Banyuasin
Data hasil pemodelan BAPPEDA Dinas Kehutanan
Hasil deliniasi Peta Citra Data hasil analisis allometrik Data hasil pemodelan
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data biomassa untuk areal berhutan dilakukan dengan
pendekatan kerincian tinggi (Tier 2-3), yaitu suatu kombinasi metode remote sensing dan ground survey berupa jalur berpetak berdasarkan plot sampel (Tier 3) dengan data hipotetis untuk jenis yang sama di lokasi lain (Tier 2) (IPCC GL 2006; Wibowo 2010). Pada metode dengan Tier 3 ini, plot utama memiliki ukuran 5x40 m, digunakan untuk menginventarisasi dan mengukur pohon berdiamater 5-30 cm. Apabila terdapat pohon berdiamater lebih dari 30 cm, maka plot diperbesar menjadi 20x100 m (Hairiah et al.
74
2001). Demikian halnya untuk valuasi ekonomi digunakan data hipotetis yang digunakan pada kawasan konservasi mangrove di wilayah Sumatera dan Selat Malaka (Kusumastanto et al. 1998). Data-data sekunder yang diperlukan diinventarisasi
terutama dari instansi-
instansi terkait dengan penelitian, yaitu Bappeda, Dinas Kehutanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Balai TN Sembilang serta instansi lainnya. Metode pengumpulan data primer dan data sekunder secara ringkas disajikan pada Tabel 8 dan Ilustrasi bentuk jalur dan ukuran plot sampel disajikan pada Gambar 18. Tabel 8 Metode pengumpulan data No
Jenis Data
Data dan Informasi yang Diperlukan
Metode Pengumpulan Data
Primer
Sekunder
Data potensi mangrove dan biomassa Data historis deforestasi dan degradasi hutan di FA dan TNS Peta RBI dan peta-peta tematik: Tataguna Lahan, Perairan dll. skala 1:25.000 Peta Citra Satelit dan penafsirannya Peta penutupan lahan TNS
Menganalisis indikator penggerak potensi emisi karbon di kawasan pesisir
Primer
Sekunder
Ground check Deliniasi Peta Citra Inventarisasi dokumen pengelolaan di TNS, Bappeda dan Dishut. Beli di Bakosurtanal Deliniasi Peta Citra Inventarisasi data di BAPPEDA, Dinas Kehutanan dan Balai TNS
3
Menghitung kecenderungan dua model skenario BaU (business as Usual) dan skenario CC (carbon crediting)
Primer
4
Menganalisis implikasi kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+
Primer
Sekunder
1
2
Tujuan Penelitian
Menghitung tingkat potensi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir
Data historis deforestasi dan degradasi hutan di FA dan TNS Dokumen kebijakan RTRW Provinsi Sumatera Selatan dan RTRW Kabuapaten Banyuasin Data demografi dan sosek Peraturan dan perundangan pamanfaatan ruang Dokumen Rencana Pengelolaan Kawasan TNS Data historis deforestasi dan degradasi hutan di FA dan TNS Data emisi CO2 dan Data Carbon Offset Variabel-variabel penting yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan TNS di masa depan Skenario pada berbagai opsi untuk keberlanjutan pengelolaan masa depan Dokumen kebijakan RTRW Provinsi Sumatera Selatan dan RTRW Kabuapaten Banyuasin
Deliniasi Peta Citra Analisis allometrik Pemodelan sistem dinamik Pemodelan sistem dinamik Inventarisasi dok. di BAPPEDA, Dinas Kehutanan
75
Gambar 18
Ilustrasi bentuk jalur dan ukuran plot sampel di areal berhutan
Parameter utama yang diukur pada pohon adalah diameter setinggi dada yaitu 1,3 meter (DBH/Diameter Breast High). Parameter lainnya yang diukur pada masingmasing plot sampel adalah jumlah pohon, jenis pohon, dan tinggi pohon. Selanjutnya data-data tersebut digunakan untuk menduga stok biomassa dan stok karbon. Ilustrasi di bawah ini menggambarkan lay out sederhana yang menggambarkan plot sampel pengukuran karbon. Lokasi pengambilan sampel vegetasi (skala plot 5m x 40m) dilakukan pada areal hutan mangrove primer (Hmp) yaitu di Pulau Alanggantang (SPTN/Satuan Pengamanan Taman Nasional II Sembilang), hutan mangrove sekunder (Hms) di Pulau Betet (SPTN III Tanah Pilih), areal hutan kebun (Hk) Eucalyptus di PT. SHP (tahun tanam 2003), areal kebun Acacia mangium di PT. SHP (tahun tanam 2004), dan pada areal kebun Acacia crasicarpa di PT. SHP (tahun tanam 2004) di sebelah barat TN Sembilang. Sementara itu pengukuran pada areal semak belukar rawa (Br) pada skala plot 5 m x 5 m dilakukan di sekitar Karya Agung Ilir (SPTN I Sungsang).
3.6
Metode Analisis Data Metode analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan analisis
sistem dinamik dengan pemograman I-Think® Ver. 6.1 (HPS 1994). Metode multi analisis dilakukan dengan prosedur
“SAVE DYNAMIC”: Spatial (ESRI 2000),
Allometric equation (Kusmana 1997), Valuation of Economic, yang dilanjutkan dengan analisis alokasi ekonomi terbaik (the best economic allocation) (Kusumastanto 2001), serta simulasi pendekatan sistem dinamik dengan dua skenario business as usual (model BAU) dan skenario carbon crediting (model CC).
76
Reference emission level (REL) ditentukan berdasarkan data emisi historis dari deforestasi dan degradasi hutan Indonesia 2003-2006, serta kombinasi remote sensing (data spasial) dan ground survey (Wibowo 2010). Sementara itu prediksi perubahan tutupan hutan
masa depan ditentukan
berdasarkan gabungan data historis dan
pendekatan modeling dengan prediktor laju populasi. Pendugaan biomassa hutan menjadi karbon dilakukan dengan mengkonversi data inventarisasi hutan pada skala plot dengan persamaan alometrik pada tingkat kerincian yang tinggi (Tier 2-3) (Krisnawati 2010). Relevansi antara tujuan penelitian, teknik analisis serta hasil studi yang diharapkan (output) disajikan pada Tabel 9. Tabel 9
Relevansi antara tujuan penelitian, teknik analisis serta hasil penelitian yang diharapkan (output)
No
Tujuan Penelitian
Data dan Informasi yang Diperlukan
1
Menghitung tingkat potensi emisi dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir
Data historis tata guna
Analisis spasial
lahan Data biomassa standing stock Data stok karbon Data potensi mangrove
(ESRI 2000) Analisis Allometric equation (Busch et al. 2009, Kusmana 1997) Analisis vegetasi (Curtis and McIntosh 1951 in Kusmana 1997) Analisis spasial (ESRI 2000)
Data historis defores2
3
Menganalisis indikator penggerak emisi karbon di kawasan pesisir Menghitung kecenderungan dua model skenario BaU (business as Usual) dan skenario CC (carbon crediting)
tasi dan degradasi sumber daya pesisir Pola tata guna lahan Tekanan penduduk terhadap lahan
Laju deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di TNS dan FA Laju emisi CO2 di TNS dan FA Laju carbon offset di TNS dan di FA Data biaya pengelolaan TN Sembilang
Data hipotetik direct
4
Implikasi kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir terhadap ekonomi wilayah serta kontribusinya terhadap GRK 26% pada tahun 2020
use value, indirect use value, option value, existence value Tren laju emisi CO2 yang terhindarkan serta Net Carbon Offset di kawasan TNS
Teknik Analisis
Analisis spasial (ESRI 2000) Analisis rasio tekanan
penduduk terhadap lahan (SK Dirjen RLPS No. P.04/V-SET/2009 Simulasi pemodelan dinamik dengan menggunakan program IThink ver 6.0, High Performance System
Standar biaya pengelolaan TN Sembilang saat ini (Balai TNS)
Analisis valuasi ekonomi (Kusumastanto 2000a)
Simulasi pemodelan dinamik dengan menggunakan program IThink ver 6.1 (High Performance System 1994).
Hasil yang diharapkan (Output) Potensi emisi dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir Komposisi spesies tanaman Laju deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir Indikator penggerak potensi emisi karbon Tren laju emisi CO2 yang terhindarkan serta Net Carbon Offset di kawasan TNS Nilai akuntansi karbon Tingkat manfaat dari layanan ekosistem (Payment for Ecosystem Services, PES) Nilai eksisting akuntansi sumberdaya pesisir
Model kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan
77
3.6.1
Analisis Data Spasial Analisis data spasial digunakan untuk mencapai tujuan penelitian dan informasi
lain yang diperlukan sebagai berikut : 1) Menghitung tingkat potensi emisi dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir. Analisis spasial ini diperlukan untuk mendapatkan informasi perubahan penggunaan ruang pesisir di wilayah Kabupaten Banyuasin dan TN Sembilang selama kurun waktu 2003-2006 yaitu waktu referensi perubahan emisi pada studi ini. Selanjutnya data historis tata guna lahan ini digunakan untuk menganalisis dinamika potensi emisi dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir. 2) Menganalisis faktor penggerak potensi emisi karbon di kawasan pesisir. Data historis tata guna lahan yang dominan selanjutnya secara deskriptif digunakan sebagai analisis faktor penggerak potensi emisi karbon di wilayah tersebut. Analisis data spasial pada studi ini adalah menganalisis tren tata guna lahan yang dilakukan pada citra satelit TM Band 542 tahun 2003 dan 2006. Analisis ini digunakan sebagai pendukung untuk mendapatkan data keruangan secara time series, sehingga diperoleh informasi penutupan lahan di kawasan pesisir TNS dan sekitarnya (FA) secara historis. Data historis penutupan lahan ini
penting diperoleh untuk
mendapatkan informasi perubahan penggunaan lahan dari tahun ke tahun, baik yang terjadi secara alami maupun akibat antropogenik di dalam kawasan TNS dan di luar kawasan TNS.
Selanjutnya informasi data tersebut digunakan sebagai acuan data
historis emisi dari degradasi dan deforestasi hutan pada kawasan TNS dan sekitarnya. Tujuan analisis data spasial ini adalah untuk mendapatkan sejumlah informasi yang meliputi: (a) Perubahan penggunaan ruang pesisir di wilayah Kabupaten Banyuasin dan TN Sembilang selama kurun waktu 2003-2006 yaitu waktu referensi perubahan emisi pada studi ini, (b) Memprediksi potensi emisi karbon yang dihasilkan pada kurun waktu tersebut, guna kepentingan estimasi potensi karbon di masa datang. Analisis spasial ini dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan metode Arc/View, yaitu sistem informasi spasial berbasis komputer dengan melibatkan perangkat keras, perangkat lunak, mempunyai fungsi pokok untuk menyimpan, memperbaharui, menganalisis dan menyajikan kembali semua bentuk informasi spasial (ESRI 2000; Lynden & Mantel 2001). Salah satu kemampuan SIG adalah tersedianya teknik tumpang susun (overlay). Pada analisis overlay ini komponen keruangan seperti biofisik dan sosial ekonomi dapat dirumuskan berdasarkan ahli
78
terkait. Masing-masing komponen keruangan dijadikan peta tematik, kemudian dioverlay-kan untuk mendapatkan peta komposit. Sebelum melakukan klasifikasi tutupan lahan, proses persiapan dilakukan terlebih dahulu. Proses ini diawali dengan melakukan koreksi terhadap Citra Satelit 2003 dan 2006. Koreksi geometri citra dilakukan dengan menggunakan proyeksi WGS 84 – UTM 48S. Sementara itu untuk memperoleh hasil yang optimal, penajaman citra juga harus dilakukan. Semua proses tersebut dilakukan dengan menggunakan aplikasi software SIG. Di bawah ini adalah beberapa tahapan utama dalam analisis spasial sebagai berikut: Pemotongan Data. Citra satelit dengan resolusi pembesaran sampai 0,6 m cukup memudahkan identifikasi wilayah kajian. Untuk memperoleh wilayah kajian tersebut, citra satelit dipotong dengan menggunakan vector sebatas wilayah kajian masing masing lokasi. Proses Klasifikasi. Klasifikasi citra dilakukan untuk memberikan gambaran dari setiap penutupan wilayah kajian yang bertujuan untuk menghasilkan peta penutupan lahan.
Klasifikasi dilakukan secara manual (digitasi on screen) yaitu
menginterpretasikan kenampakan pada data citra satelit oleh interpreter. Peta citra yang beresolusi hingga 0,6 m lebih mempermudahkan intepreter dalam menentukan klasifikasi tutupan lahan di wilayah kajian. Validasi. Langkah selanjutnya adalah memvalidasi hasil klasifikasi tersebut dengan visual interpretation berdasarkan hasil survey lapangan. Validasi dilakukan dengan analisis dan dibantu ahli SIG dan operatornya melalui metode expert judgment. Dalam hal ini, ahli SIG dilibatkan secara langsung dari awal hingga akhir penelitian. Data hasil klasifikasi di-overlay-kan dengan data citra dan titik survey di lapangan. Analisis melalui expert judgment dilakukan untuk memvalidasi hasil klasifikasi awal untuk memperoleh hasil klasifikasi yang sesuai dengan data survey lapangan. Vektorisasi. Hasil klasifikasi merupakan data raster dengan beberapa kelompok warna berdasarkan jenis kelas penutupannya. Data raster tersebut di konversi menjadi vektor untuk diolah dengan software SIG. Software SIG yang digunakan adalah ArcView GIS. Analisis SIG berupa perhitungan area dilakukan untuk memperoleh luasan masing-masing klas. Berdasarkan tahapan analisis spasial tersebut dapat memberikan informasi historis luas penutupan lahan pada tahun 2003 dan 2006, baik pada areal penggunaan lain (APL), hutan lindung (HL), hutan produksi (HP), hutan produksi dapat dikonversi
79
(HPK) serta hutan suaka alam (HSA). Selain itu juga dapat memberikan informasi laju degradasi dan deforestasi secara terencana berdasarkan RTRW (planned deforestation) maupun secara tidak terencana (unplanned deforestation) tentang data-data luasan perambahan hutan, kebakaran hutan dan sebagainya. Selanjutnya hasil analisis spasial tata guna lahan dominan, secara deskriptif
dapat digunakan untuk analisis faktor
penggerak emisi karbon.
3.6.2
Analisis Potensi Vegetasi
Data vegetasi yang dikumpulkan terdiri dari data jumlah pohon, selanjutnya dihitung kerapatan jenis, kerapatan relatif suatu jenis, frekuensi jenis, potensi tegakan, dominansi jenis, indeks nilai penting dan indeks keanekaragaman jenis dengan rumusrumus sebagai berikut (Kusmana 1997) sebagai berikut : 1) Kerapatan suatu jenis (K) K
Individusuatujenis
................................................................................ (3.1)
Luaspetakcontok
2) Kerapatan Relatif suatu jenis (KR) KR
K suatu jenis .100% K seluruh jenis
.............................................................................. (3.2)
3) Frekuensi suatu jenis (F) F
4)
sub petak ditemukan suatu jenis Seluruh sub petak contoh
Frekuensi Relatif suatu jenis (FR) FR
5)
F suatu jenis .100% F seluruh jenis
Luas bidang dasar suatu jenis ...................................................................... (3.5) Luas petak contoh
Dominansi Relatif suatu jenis (DR) DR
7)
............................................................................. (3.4)
Dominansi suatu jenis (D) D
6)
............................................................ (3.3)
D suatu jenis .100% D seluruh jenis
...................................................................... (3.6)
Indeks Nilai Penting (INP) : NP = FR + KR + DR
………………………………………………………….. (3.7)
80
8)
Volume Kayu (V) :
1 V D 2 .T . f 4
....................................................................................... (3.8)
dengan :
D T f
3.6.3
: 3,14 : Diameter pohon (cm) : Tinggi pohon (m) : Faktor koreksi (0,7)
Analisis Fungsi Allometrik Analisis allometric equation diperlukan untuk mendapatkan data potensi emisi
karbon sebagai akibat deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi. Data hasil analisis potensi karbon yang dilepaskan (release) ini selanjutnya dilakukan komparasi dengan potensi emisi karbon yang diserap (sequest) oleh hutan mangrove di kawasan tersebut. Dengan demikian dapat diprediksi apakah di kawasan tersebut merupakan kawasan rosot karbon (carbon sink) ataukah kawasan pengemisi karbon (carbon source). Prosedur analisisnya adalah sebagai berikut: 3.6.3.1
Analisis Potensi Cadangan Karbon Tahapan analisis ini terdiri dari analisis pengukuran potensi biomassa, analisis
potensi karbon serta analisis perubahan potensi karbon pada waktu yang berbeda (stock difference method) akibat konversi dan degradasi (IPCC GL 2006; Wibowo 2010; Krisnawati 2010). Tahapannya adalah sebagai berikut: (1) Pendugaan potensi biomassa Analisis pendugaan biomassa tanaman mangrove permukaan (Wtop) digunakan teknik allometrik berdasarkan spesies tanaman (Kusmana et al. 1992; Komiyama et al. 2008). Formulasi umum adalah sebagai berikut : Wtop = a.DBH b ............................................................................................ (3.9) dengan: Wtop : Above ground biomass (kg) DBH : Diameter Breast High (diameter setinggi dada=1,3 meter) a : Koefisien konversi b : Koefisien allometrik Rhizophora spp. : a : 0,105 ; b : 2,68 Bruguiera gymnorrhiza: a : 0,186 ; b : 2,31 Xylocarpus sp. : a : 0,082 ; b : 2,59 Avicennia : a : 1,28 ; b : 1,17
81
(2) Pendugaan potensi karbon Metode analisis untuk menduga potensi cadangan karbon digunakan teknik analisis allometric equation
(Murdiyarso et al. 2004; Brown 1996; 1997) sebagai
berikut: C = 0,5.W .................................................................................................... (3.10) dengan: C : Cadangan Karbon (tC) W : Biomassa (kg) 0,5 : Koefisien kadar karbon pada tumbuhan (faktor konversi)
(3) Pendugaan perubahan potensi karbon Untuk menghitung perubahan carbon stock tersebut dapat diestimasi dengan formula sebagai berikut (CER Indonesia 2009): ∆CLC-D = ∆A.∆L C-D ...................................................................................... (3.11) ∆LC-D
= ∆Cexante – ∆Cexpost ..................................................................... (3.12)
dengan : ∆A : Perubahan luas lahan akibat konversi dan degradasi (ha) ∆LC-D : Perubahan nilai karbon akibat konversi dan degradasi (tC) ∆Cexante-∆Cexpost : Perubahan nilai karbon sebelum dan sesudah terjadinya konversi dan degradasi hutan (tC)
3.6.3.2 Analisis Potensi Emisi Karbon Untuk menduga potensi emisi CO2 (EC) dari degradasi dan deforestasi dihitung menggunakan data carbon stock dengan formulasi sebagai berikut (Busch et al. 2009): EC = 3,67.∆CLC-D
..................................................................................... (3.13)
dengan : EC : Emisi karbon (tCO2) 3,67 : Rasio atomic carbon dioxide terhadap carbon: 44/12 (tCO2e/ton C) ∆CLC-D : Perubahan carbon stock dalam biomassa hidup akibat konversi atau degradasi
3.6.3.3
Analisis Reduksi Emisi Karbon
Analisis reduksi emisi CO2 dilakukan dengan mereduksi antara net emisi karbon pada model baseline scenario (business as usual model) dengan net emisi karbon pada model REDD+ scenario (carbon crediting model). Formulasi reduksi emisi karbon adalah sebagai berikut (modifikasi dari VCS 2007):
82
ECREDD,t = ∆ECBSL - ∆ECP .......................................................................... (3.14) dengan : ECREDD,t : ∆CBSL : ∆ECP :
3.6.3.4
Total net reduksi emisi pada waktu ke-t (t CO2e) Net emisi karbon pada baseline scenario (business as usual model) (t CO2e) Net emisi karbon pada REDD+scenario (carbon creditingmodel) (t CO2e).
Asumsi Data
Dalam menghitung biomassa dan karbon di kawasan mangrove
sangatlah
kompleks karena merupakan suatu ekosistem. Selain terdapat 5 pool karbon : 1) biomassa di atas tanah (above ground biomass), 2) biomassa di bawah tanah (below ground biomass), 3) sisa-sisa kayu mati (necromass), 4) serasah (litter), dan 5) tanah (soil), juga komponen lain dalam ekosistem ini dapat menyumbang konsentrasi emisi CO2 terutama sejumlah hewan yang bernafas dengan paru-paru. Oleh karena
itu
metodologi fungsi allometrik pada penelitian ini digunakan hanya untuk menghitung pool karbon di atas tanah yaitu berupa tegakan pohon (standing stock). 3.6.4
Analisis Kependukan dan Tenaga Kerja
3.6.4.1
Analisis Tekanan Penduduk terhadap Lahan Masalah kependudukan baik kuantitas maupun kualitas penduduk mempunyai
pengaruh penting terhadap lingkungan. Salah satu permasalahan penduduk di wilayah kabupaten, khususnya di sekitar kawasan hutan dan TN Sembilang adalah tekanan penduduk (TP). Dengan meningkatnya jumlah penduduk akan berakibat pada permasalahan lapangan kerja, pendidikan, pangan bergizi, kesehatan, dan deforestasi dan degradasi lingkungan. Semakin besar jumlah penduduk, maka semakin besar pula kebutuhan terhadap sumberdaya alam, sehingga tekanan terhadap sumberdaya yang ada juga semakin meningkat. Dengan kualitas penduduk yang rendah, diprediksi dapat meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya alam sebanding dengan kenaikan jumlah penduduk. Jika kualitas penduduk dapat ditingkatkan, maka penggunaan sumberdaya dapat lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk. Tekanan penduduk terhadap lahan (TP), secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
f .Po.(1 r ) t TP z. ...................................................................................... (3.15) L dengan : z : Luas lahan minimal untuk hidup layak (ha org-1) f : Perbandingan jumlah petani terhadap populasi penduduk di kabupaten/ kecamatan (%) Po : Jumlah penduduk pada waktu t = 0 (orang) r : laju pertumbuhan penduduk per tahun (org th-1) t : Kerangka waktu perhitungan (th) L : Luas lahan pertanian di kabupaten/kecamatan (ha).
83
Penentuan luas lahan minimal untuk hidup layak (z) menggunakan proxy variable dengan melihat nilai garis kemiskinan Sajogyo yang diukur setara dengan beras 240 kg kapita-1 th-1. Untuk hidup layak pendekatannya adalah setara dengan beras 2x325 kg kapita-1 th-1 atau 650 kg kapita-1 th-1 (Perdirjen RLPS No. P.04/V-SET/2009). Selanjutnya penilaian TP sebagai dasar penentuan luas lahan minimal untuk hidup layak diperoleh dari konversi nilai pendapatan untuk hidup layak tersebut terhadap luas lahan yang harus diusahakan untuk kegiatan usaha taninya. Klasifikasi nilai tekanan penduduk terhadaplahan disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Klasifikasi nilai tekanan penduduk (TP) No
Nilai TP
Kelas
Skor
1
<1
Baik
1
2
1-2
Sedang
3
3
>2
Buruk
5
3.6.4.2
Analisis Pertumbuhan Penduduk dan Kesempatan Kerja Analisis data pada submodel penduduk dilakukan dengan mengkompilasi data-
data demografi yang ada. Beberapa fraksi yang mempengaruhi level maupun, konventer digunakan berdasarkan referensi mutakhir yang umum dipakai, sehingga diperoleh kecenderungan submodel penduduk yang logis. Pertumbuhan penduduk merupakan keseimbangan dinamis antara kekuatankekuatan yang menambah dan kekuatan-kekuatan yang mengurangi jumlah penduduk. Dalam penelitian ini data-data yang diperlukan diantaranya pertumbuhan penduduk, laju fertilitas, laju mortalitas, migrasi (inmigrasi dan outmigrasi), investasi per tenaga kerja sektor pertanian, serta peluang kesempatan kerja (Rusli 1996; LD-UI 1981 ). Pt Po 1 i ............................................................................................ (3.16) t
dengan : Pt Po i t
: : : :
Jumlah penduduk Kecamatan Banyuasin II pada tahun ke-t Jumlah penduduk pada tahun ke-0 Laju pertumbuhan penduduk Waktu (tahun ke-t)
Laju fertilitas diukur berdasarkan pembagian jumlah kejadian dengan penduduk yang menanggung resiko melahirkan (exposed to risk). Fertilitas dari suatu kelompok penduduk atau berbagai kelompok penduduk untuk jangka waktu satu tahun disebut current fertility (LD-UI 1981). Formulasi untuk laju natalitas adalah sebagai berikut :
84 CBR dengan:
Bt .k .................................................................................................... (3.17) Pt CBR Bt Pt k
: : : :
Crude Birth Rate (CBR) atau Angka Kelahiran Kasar jumlah kelahiran pada tahun ke-t jumlah penduduk pada pertengahan tahun ke-t bilangan konstanta, biasanya 1000.
Mortalitas atau kematian merupakan salah satu diantara tiga komponen demografi yang dapat mempengaruhi perubahan penduduk. Dua komponen lainnya adalah fertilitas dan migrasi. Data mortalitas ini sangat diperlukan untuk proyeksi penduduk guna perencanaan pembangunan. Formulasinya adalah sebagai berikut :
CDR
Dt .k ....................................................................................................(3.18) Pt
dengan : CDR : Dt : Pt : k :
Crude Death Rate (CDR) atau Angka Kematian Kasar jumlah kematian pada tahun ke-t jumlah penduduk pada pertengahan tahun ke-t bilangan konstanta, biasanya 1000.
Analisis migrasi secara regional sangat penting untuk ditelaah secara khusus mengingat adanya densitas (kepadatan) dan distribusi penduduk yang tidak merata, adanya faktor-faktor pendorong dan penarik bagi orang-orang untuk melakukan migrasi, adanya desentralisasi dalam pembangunan, dilain pihak komunikasi termasuk transportasi semakin lancar. Migrasi sering diartikan sebagai perpindahan permanen dari suatu daerah ke daerah lain. Ada beberapa jenis migrasi, tetapi untuk kebutuhan penelitian ini hanya dua jenis migrasi yang dibutuhkan, yaitu migrasi masuk (inmigration) dan migrasi ke luar (out-migration). Formulasinya adalah sebagai berikut :
m
Mt .k ...................................................................................................... (3.19) Pt
dengan:
mi
m : Angka mobilitas (banyaknya penduduk yang pindah secara lokal (mover) dalam jangka waktu tertentu M t : jumlah mover tahun ke-t P t : jumlah penduduk pertengahan tahun ke-t k : bilangan konstanta, biasanya 1000.
It .k ....................................................................................................... (3.20) Pt
dengan : mi It Pt k
: : : :
Angka migrasi masuk (inmigration) jumlah migrasi masuk (inmigration) tahun ke-t jumlah penduduk pertengahan tahun ke-t bilangan konstanta, biasanya 1000.
85 mo
Ot .k ...................................................................................................... (3.21) Pt
dengan: mo Ot Pt k
: : : :
Angka migrasi ke luar (Out migration) jumlah migrasi ke luar (Out migration) tahun ke-t jumlah penduduk pertengahan tahun ke-t bilangan konstanta, biasanya 1000.
Reit partisipasi angkatan kerja dapat dinyatakan sebagai jumlah penduduk yang tergolong angkatan kerja per 100 penduduk usia kerja. Jika usia kerja didefinisikan sebagai penduduk 15-64 tahun, maka formulasi Reit Partisipasi Angkatan Kerja (RPAK) adalah sebagai berikut : RPAK
JAK P(1564)
.100 ....................................................................................... (3.22)
RPAK : JAK : P(15-64) :
dengan:
Reit Partisipasi Angkatan Kerja (%) Jumlah Angkatan Kerja (jiwa) Penduduk berusia 15-64 tahun (jiwa)
Jumlah penduduk yang bekerja biasanya dipandang mencerminkan jumlah kesempatan kerja yang ada (Rusli 1996). Proyeksi kesempatan kerja pada penelitian ini dihitung berdasarkan penyerapan kerja langsung pada berbagai bidang yang akan dikembangkan. Sedangkan kesempatan kerja tidak langsung dihitung berdasarkan rasio antara kontribusi (share) pengusahaan TNS terhadap nilai investasi per tenaga kerja sektor pertanian yang berlaku di wilayah tersebut. Kontribusi pengusahaan TNS dapat dihitung berdasarkan jumlah pajak penghasilan yang dikeluarkan dalam setiap tahunnya.
Rata-rata investasi per tenaga kerja sektor pertanian formulasinya adalah
sebagai berikut: ITK sp
PDRB sp JAK
............................................................................................. (3.23)
dengan : ITKsp : Investasi per Tenaga Kerja sektor pertanian (Rp/TK) PDRBsp : Produk Domestik Regional Bruto sektor pertanian (Rp) JAK : Jumlah Angkatan Kerja (Jiwa)
KK
Sharex ................................................................................................ (3.24) InvTKst
dengan: KK : Peluang Kesempatan Kerja Share x : Kontribusi sektor x Inv TKsp : Investasi per Tenaga Kerja sektor pertanian
86
3.6.5
Analisis Valuasi Ekonomi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dalam Pemodelan Sistem Dinamik Analisis valuasi ekonomi pengelolaan sumberdaya pesisir dalam pemodelan
sistem dinamik yang dikembangkan dalam penelitian ini erat kaitannya dengan dasar penilaian untuk pengambilan keputusan suatu kebijakan. Dengan analisis valuasi ekonomi ini diharapkan dapat menghasilkan scientific evidence sebagai basis penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan. Analisis valuasi ekonomi yang disusun pada sub bab ini terdiri dari valuasi ekonomi penyerapan karbon (carbon sequestration), analisis valuasi ekonomi total (Total Economic Value; TEV) dan analisis biaya manfaat (Benefit-Cost Ratio; BCR), serta analisis alokasi nilai ekonomi terbaik (the best economic allocation) . 3.6.5.1
Analisis Valuasi Ekonomi Penyerapan Karbon (Carbon Sequestration) Pengembangan konsep metodologi valuasi fungsi penyerapan karbon (carbon
sequestration) di kawasan TN Sembilang didasarkan pada konsep nilai ekonomi serta berbagai metode penilaian. Konsep valuasi penyerapan karbon
ini muncul dan
didasarkan pada suatu fenomena jika karbon tidak dapat disimpan, maka CO2 akan dilepas ke atmosfir dan berefek perubahan iklim global. Dengan demikian nilai ekonomi penyerapan karbon ini dapat dikemas dalam konteks perubahan iklim global dan metode alternatif untuk mengurangi emisi GRK ke atmosfir. Dalam konteks perubahan iklim global serta tujuan studi ini, maka nilai karbon yang tersimpan dalam suatu ekosistem mangrove harus dapat diestimasi. Gunanya untuk mendapatkan kompensasi sebagai upaya menstabilkan perubahan iklim. Apabila perubahan iklim tidak dapat distabilkan, maka diprediksi dapat menimbulkan dampak : (1) Peningkatan temperatur; (2) Perubahan variabilitas curah hujan antar wilayah; (3) Peningkatan frekuensi kejadian ekstrim, seperti banjir dan kekeringan; serta (4) Kenaikan permukaan laut. Dalam valuasi ekonomi penyerapan karbon, Kulshresta et al. (2000) membagi berdasarkan dua kategori
kerugian: (1) Kerugian akibat perubahan iklim yang
dapat dinilai, diketahui dan diterima oleh masyarakat; (2) Kerugian tidak dapat diestimasi, meskipun ada keinginan publik untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang membahayakan. Dalam kategori pertama, ketika suatu dampak perubahan iklim terjadi, biasanya direspon dengan pola adaptasi atau dengan melakukan aktivitas yang lebih ramah lingkungan. Metode valuasi pola adaptasi ini dapat dilakukan dengan dua
87
cara, yaitu : (1) Metode menghindari kerusakan (Avoided Damages Method); (2) Keinginan masyarakat untuk membayar (willingness to pay) dengan menggunakan Contingent Valuation Method (CVM). Dalam studi ini, metode valuasi pola adaptasi relatif sulit untuk digunakan, karena prediksi penyerapan karbon tidak dilakukan dalam konteks ini. Namun demikian, dalam perspektif global, Azar and Sterner (1996) melakukan penilaian karbon dalam konsep ini sebesar US$ 348-790 USD tCO2-1. Berbeda dengan Nordhaus (1991) yang menilai hanya sekitar 5,3 USD tCO2-1 (Kulshresta et al. 2000). Dalam kategori kedua dimana kerugian tidak dapat diestimasi, meskipun ada keinginan publik untuk mereduksi efek perubahan iklim. Dampak perubahan ini biasanya direspon masyarakat melalui pola-pola mitigasi, yaitu suatu tindakan untuk mengurangi emisi GRK dan untuk meningkatkan penyimpanan karbon dalam rangka mengatasi perubahan iklim. Diantara berbagai metode yang dapat diaplikasikan dalam strategi mereduksi emisi adalah : (1) Metode biaya alternatif; (2) Metode basis pasar; (3) Metode biaya opportunitas sosial marginal. Berkaitan dengan penelitian ini, maka strategi yang digunakan adalah strategi
valuasi sekuestrasi. Metode yang dapat
digunakan dalam strategi ini adalah : (1) Metode penggantian biaya (Replacement Cost Method); dan (2) Metode biaya substitusi (Substitute Cost Method) (lihat Gambar 19). Analisis biaya pengelolaan TN Sembilang diperlukan untuk komparasi antara biaya dan manfaat dari ekosistem tersebut. Biaya pengelolaan sebagai harga pokok serta potensi penyerapan CO2 yang terhindarkan atau potensi net carbon offset, sesungguhnya merupakan suatu pendekatan untuk menilai Payment for Ecosystem Services (PES) dimana pihak yang memperoleh manfaat dari layanan ekosistem akan membayar pihak yang mengelola ekosistem tersebut (Smith & Applegate 2004). Dalam konteks penelitian ini PES dilakukan untuk mencari manfaat ekosistem sumberdaya yang dihitung berdasarkan potensi emisi CO2 yang terhindarkan (avoided emission) atau net carbon offset dan penggantian biaya (replacement cost) serta biayabiaya lainnya (transaction cost) sebagai biaya pokok (basic price) IUPJL TNS. Untuk selanjutnya nilai manfaat ekosistem dari net carbon offset tersebut dijadikan dasar penilaian pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+.
88
Nilai Karbon (dalam konteks perubahan iklim)
Adaptasi
Mitigasi
WTP
Avoided Damages Method
Alternative Cost Method
Valuasi reduksi emisi
Market Method
Retrofitting
Valuasi sekuestrasi karbon
Replacement Cost Method
Substitute Cost Method
Market Price Method
Afforestation/ Reforestation
Land Cover Changes
Emission Trading National&Int’l
Reduced Deforestation
Soil Carbon Sequestration
Sustainable/ Intensive Forest Management for Carbon Storage
Geological Storage
Alt. teknology Renewable teknology Marginal Social Opportunity Cost Method Constrained Industrial Activity Linked to Emissions
Management of Grasslands for Carbon Storage
Gambar 19 Taksonomi valuasi ekonomi penyerapan karbon (Dimodifikasi dari Kulshreshta et al. 2000)
3.6.5.2
Analisis Nilai Ekonomi Total dan Analisis Biaya-Manfaat Sumberdaya alam pesisir seperti mangrove memiliki peranan ekonomi yang
dapat dieksploitasi dan peranan ekologis yang dapat dikonservasi. Oleh karena itu perlu dinilai (valuasi) secara komprehensif. Krutila (1987) mengajukan suatu konsep nilai ekonomi total (total economic value), yang terdiri dari use value dan non-use value. Perman et al. (1996) mengklasifikasikan use value ke dalam current use value dan option value. Sementara itu Barton (1994) membaginya ke dalam direct use value, indirect use value dan option value. Teknik valuasi ekonomi ekosistem tersebut pada dasarnya merupakan derivative dari teknik yang lebih umum yang disebut Benefit-Cost Analysis. Proses penghitungannya dapat dilakukan melalui dua tahap, yaitu : (1) Identifikasi manfaat
89
atau fungsi ekosistem hutan mangrove, dan identifikasi biaya; (2) Analisis manfaat dan biaya pada sumberdaya tersebut. Dalam konteks penelitian pemodelan ini, biaya manfaat ekosistem menggunakan data hipotetis ekosistem mangrove yang relevan dan berada pada suatu wilayah ekologis daerah penelitian. Data biaya manfaat konservasi habitat di Selat Malaka yang digunakan Kusumastanto et al. (1998) secara rinci disajikan pada Tabel 11. Dalam identifikasi manfaat dan biaya, menghitung nilai ekonomi atas dasar manfaat langsung (use value) dan menilai manfaat tidak langsung (non use value). Penilaian terhadap non use value yaitu berupa nilai keberadaan (exsistence value), nilai pilihan (quasi option value) serta manfaat nilai fisik seperti pelindung pantai atau preservasi (bequest value). Tabel 11 Data hipotetis manfaat dan biaya ekosistem mangrove Biaya/ Manfaat Manfaat
Fungsi Ekosistem DUV : -Standing stock/kayu -Ikan -Wildlife IUV : Biodiversity OV : Nilai Fisik EV : Nilai Eksistensi Total Manfaat Investasi
Biaya
Nilai (USD ha-1 th-1) 165 1.522,24 8,22 15,00 726,26 2.516,40 4.953,12 190,39
Asumsi Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Per 5 tahun dan kenaikannya mengikuti proyeksi NFIA
DUV : -Standing Stock 108,57 -Ikan 681,95 -Wildlife 0,59 Total Biaya 981,50 Nilai Total Ekonomi 3.971,62 Keterangan: NFIA : Net Factor Income from Abroad, yaitu proporsi output negeri. NFIA 1980-1993: 3-5% th-1 (World Bank 1996). Sumber : Kusumastanto et al. (1998).
Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA Proyeksi NFIA
yang dimiliki sektor luar
Formulasi Total Economic Value (TEV) adalah sebagai berikut (Kusumastanto 2000): TEV = (DUV + IUV + OV) + (EV + BV) .....................................................(3.25) dengan: DUV : IUV
:
OV
:
Direct Use Value (nilai guna langsung), adalah output (barang dan jasa) yang terkandung di dalam suatu sumber daya yang secara langsung dapat dimanfaatkan Indirect Use Value (nilai guna tak langsung), adalah barang dan jasa yang ada karena keberadaan suatu sumber daya tidak secara langsung dapat diambil dari sumber daya alam tersebut; Option Value (nilai opsional), adalah potensi manfaat langsung atau tidak langsung dari sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan di waktu mendatang dengan asumsi sumber daya tersebut tidak mengalami kemusnahan atau kerusakan yang permanent.
90
EV
:
BV
:
Nilai ini merupakan kesanggupan individu untuk membayar atau mengeluarkan sejumlah uang agar dapat memanfaatkan potensi SDA di waktu mendatang; Existence Value (nilai keberadaan), adalah nilai keberadaan suatu sumber daya alam yang terlepas dari manfaat yang dapat diambil daripadanya; Nilai ini lebih berkaitan dengan nilai subyektif yang melihat adanya hak hidup pada setiap komponen sumber daya alam; Bequest Value (nilai pewarisan), adalah nilai yang berkaitan dengan perlindungan atau pengawetan (preservation) suatu sumber daya agar dapat diwariskan kepada generasi mendatang sehingga mereka dapat mengarnbil manfaat daripadanya sebagai manfaat yang telah diambil oleh generasi sebelumnya.
Dalam analisis manfaat dan biaya, penilaian ekonomi dikaji dan dihitung berdasarkan pengelolaan konservasi dimana sumberdaya yang dimiliki dikelola secara berkelanjutan, dengan mempertimbangkan tingkat suku bunga tertentu (interest rate) serta transaction cost yang relevan untuk pengelolaan ekosistem.
Dalam konteks
penelitian ini, program carbon crediting yang diusulkan adalah untuk kepentingan masyarakat secara luas, sehingga yang dipakai adalah the social opportunity cost of capital (SOCC), yaitu manfaat (benefit) yang hilang karena kapital digunakan untuk suatu program (the opportunity forgone). Hal ini bermakna bahwa manfaat yang hilang itu dapat diperoleh dengan memakai kapital
tersebut dalam penggunaan alternatif
paling menguntungkan yang belum terpenuhi. Untuk penilaian alternatif alokasi sumberdaya TN Sembilang, metode analisis yang digunakan adalah cost-benefit analysis untuk memaksimumkan kesejahteraan sosial dengan alokasi sumberdaya secara efisien.
Strategi alokasi sumberdaya
disesuaikan dengan potensi ekosistem tersebut serta market opportunity
yang
memungkinkan untuk diusulkan dalam skema REDD+. Kriteria yang digunakan untuk pendekatan ini adalah tolok ukur nilai kini bersih (Net Present Value, NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) dan Economic Internal Rate of Return (EIRR). Formulasi secara matematis adalah sebagai berikut (Kusumastanto 2003; Dixon & Hufschmidt 1986). NPV dengan: NPV : Bd : Cd : Be : Ce : M :
( Bd Cd ) ( Be Ce ) M ........................................................................ (3.26) (1 r ) t
Net Present Value Benefit dari kebijakan/program pembangunan Cost dari kebijakan/program pembangunan Benefit dari lingkungan pada kebijakan/program pembangunan tsb. Cost dari lingkungan pada kebijakan/program pembangunan tsb. Initial investment mitigasi untuk menghindari efek negatif dari kebijakan (dalam konteks penelitian ini adalah biaya carbon sequestration) t : 0,1,2,3,…n (n=25 th) kerangka waktu IUPJL pengelolaan TNS (Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009) r : Tingkat bunga (interest rate) dinamakan juga sebagai “the discount rate” atau “the discount faktor (DF)”. Kriteria kelayakan : NPV yang positif atau lebih besar dari nol.
91
Dengan menggunakan kerangka waktu IUPJL pengelolaan TNS selama 25 tahun, maka formulasi secara matematis adalah sebagai berikut : NPV
( B0 C 0 ) ( B1 C1 ) ( B2 C 2 ) ( B C t ) ........................................... (3.27) .... t 2 1 (1 r ) (1 r ) (1 r ) t
dengan: Bt : Benefit dalam periode waktu t Ct : Cost dalam periode waktu t .
Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) merupakan nilai komparasi antara present value dari net income yang positif (Bt – Ct > 0) dengan present total value dari net income negatif (net costs) (Bt – Ct < 0). Formulasi Net B/C adalah sebagai berikut: n
NetB / C t 1
Bt C t () ................................................................................... (3.28) Bt C t ()
dengan: Net B/C : Rasio biaya-manfaat suatu kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir (program/proyek) dalam hal ini IUPJL sumberdaya pesisir berbasis REDD+ t : Kerangka waktu (time frame) Kriteria kelayakan : B/C sama dengan atau lebih besar dari satu
Kriteria lainnya adalah tingkat investasi economic internal rate of return (EIRR), yaitu suatu tingkat bunga (discount rate) yang menunjukkan bahwa jumlah nilai sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah seluruh biaya investasi. Dengan perkataan lain EIRR merupakan suatu tingkat bunga dimana seluruh net cash flow sesudah di- present value sama jumlahnya dengan investment cost, project cost atau initial cost. Formulasi secara matematis adalah sebagai berikut : EIRR r ( r r )
NPV NPV NPV
................................................................ (3.29)
dengan: r+ : r: NPV+ : NPV- : EIRR :
interest rate yang menghasilkan NPV positif interest rate yang menghasilkan NPV negatif NPV pada interest rate r+ NPV pada interest rate rEconomic Internal Rate of Return, tingkat kemampuan pengembalian biaya program non komersial. Kriteria kelayakan : EIRR > r (interest rate atau the opportunity cost of capital/OCC).
3.6.5.3
Analisis Alokasi Ekonomi Terbaik (The Best Economic Allocation Analysis) Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, basis pengambilan keputusan
kebijakan alokasi sumberdaya akan lebih tepat jika didasarkan pada aliran ekonomi neoklasik dan paradigma ekonomi kelembagaan. Pandangan neoklasik menekankan pada masalah efisiensi pemanfaatan sumberdaya dimana kriteria pengambilan kebijakan
92
berdasarkan kriteria pareto optimum. Dalam hal ini alokasi pemanfaatan sumberdaya dapat
meningkatkan benefit kepada satu individu dan memberikan dampak pada
turunnya benefit kepada individu lainnya (Kusumastanto 2000). Oleh karena itu basis pengambilan keputusan diantara berbagai opsi pemanfaatan sumberdaya
harus
didasarkan pada aspek efisiensi optimum. Sementara itu aliran ekonomi kelembagaan berfokus pada kepentingan individu dan publik dimana satu sama lain tidak dapat saling terpisah. Hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik merupakan bagian dari pemikiran tentang kesejahteraan individu dan sosial, hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pada sisi lain pendekatan ekonomi kelembagaan mengutamakan pendefinisian property right dan rule of the game terhadap keseluruhan stakeholders. Sebagai akibatnya, pendekatan ini bukan saja menawarkan kelebihannya pada pendalaman memahami persoalan secara holistik, tetapi juga pada pencapaian tujuan-tujuan sosial. Atas dasar dua aliran pemikiran pengelolaan sumberdaya alam tersebut, selanjutnya Kusumastanto (2002) menyatakan
bahwa dalam pemanfaatan alokasi
ekonomi terbaik itu perlu disertai instrumen kebijakan yang saling komplementer dan integratif antar sektor, berdampak sistemik terhadap perekonomian, efektif secara ekonomi dan kelembagaan serta harus membangun kemandirian ekonomi rakyat. Oleh karena itu the best economic allocation pada pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove diusulkan pada opsi pemanfaatan rendah emisi CO2, memberikan keuntungan secara ekonomi dan mampu menyediakan lapangan kerja untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Terdapat dua opsi pemanfaatan kawasan TNS, yang terbagi pada dua skenario model BAU dan model CC adalah sebagai berikut: 1. Skenario model BAU : 1) Opsi Pemanfaatan : “Konservasi Mangrove” (KM) 2) Opsi Pemanfaatan: “Shrimp Sylvofishery (Sylfish) atau tambak udang. 2. Skenario model CC : 1) Opsi Pemanfaatan : “Mangrove Carbon Crediting” (MCC) 2) Opsi Pemanfaatan: “Shrimp Sylvofishery (Sylfish) atau tambak udang. Opsi pemanfaatan mangrove sustainable management pada skenario model carbon crediting, dirancang berbasis perdagangan karbon dengan mekanisme REDD+. Sementara itu, opsi pemanfaatan “Sylfish” (sylvofishery)
yaitu areal yang sudah
diokupasi masyarakat diusulkan tetap dipertahankan untuk tambak udang (shrimp sylvofishery). Tujuannya adalah untuk menghindari konflik dengan masyarakat
93
setempat. Namun demikian, dalam opsi pemanfaatan “Sylfish” ini
dilakukan
pengaturan pengurangan luasan secara berkala dalam setiap tahunnya. Selanjutnya
terhadap kedua opsi pemanfaatan tersebut dianalisis secara
komparatif berdasarkan kriteria-kriteria: -
Tingkat serapan karbon terestrial (carbon sink) dan emisi karbon yang dilepaskan (carbon source) serta reduksi emisi berdasarkan persamaan-persamaan (3.9), persamaan (3.10), persamaan (3.11), persamaan (3.12), persamaan (3.13) dan persamaan (3.14).
-
Tingkat penyerapan tenaga kerja sektor berdasarkan persamaan (3.22), persamaan (3.23) dan persamaan (3.24).
-
Tingkat NPV
berdasarkan persamaan (3.25), persamaan (3.26) dan persamaan
(3.27). 3.6.6 Pendekatan Sistem Dinamik Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa untuk mencari solusi terbaik dalam menganalisis dinamika ekosistem pesisir
yang kompleks
adalah dengan
pendekatan sistem dinamik. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi berbagai elemen penyusun sistem, memahami prosesnya serta memprediksi berbagai kemungkinan keluaran sistem pada jalur waktu (time path). Untuk memudahkan dalam penyusunan pemodelan sistem dinamik ini, maka diperlukan tahapan pendekatan sistem serta tahapan pemodelan. 3.6.6.1
Tahapan Pendekatan Sistem Dalam pelaksanaan metode pendekatan sistem diperlukan tahapan kerja yang
sistematis. Prosedur analisis sistem meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut : analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, validasi model dan implementasi.
Tahapan pendekatan sistem dinamik secara diagramatik
disajikan pada Gambar 20. a.
Analisis Kebutuhan. Dalam konteks penelitian ini, proses pentahapan pendekatan sistem dimulai
dengan penyusunan database hasil penelitian lapangan, selanjutnya data ini akan amerepresentasikan keragaan tata guna lahan di luar kawasan (FA) serta di dalam kawasan TNS (melalui analisis SIG) maupun keragaan masyarakat pesisir. Dalam keragaan tata guna lahan ini
terdapat pemangku kepentingan (stakeholder) yang
94
memiliki kepentingan terhadap sumberdaya alam, baik terhadap hutan lahan kering di FA maupun hutan mangrove di TNS.
Dua entitas ini merupakan satu kesatuan
komunitas (stakeholder) yang sama-sama berkepentingan terhadap kawasan pesisir TNS. Stakeholder tentunya memiliki serangkaian kebutuhan-kebutuhan serta berbagai pandangan terhadap sumberdaya alam. Oleh karena itu sejumlah kebutuhan tersebut perlu dieksplorasi secara obyektif. Kebutuhan para stakeholders ini pada umumnya adalah menyangkut area hutan, baik kebutuhan yang direncanakan (planed deforestation) seperti RUTR maupun yang tidak direncanakan (unplaned deforestation) seperti perambahan hutan.
Mulai
Analisis SIG
Data Base
Tata Guna Lahan di Frontier Area dan di TNS
Keragaan Masyarakat di Frontier Area
A Stakeholder Pemodelan Sistem
Validasi Model Analisis Kebutuhan No
Formulasi Permasalahan
Memuaskan
No
Yes
Identifikasi Sistem Implementasi
A
No
Memuaskan
Yes
Simulasi Model
Implikasi Kebijakan
Gambar 20 Tahapan pendekatan sistem dinamik
No
95
b.
Formulasi Permasalahan. Pada umumnya pengusahaan sumberdaya pesisir berhubungan dengan beragam
variasi dari aktivitas pembangunan, dampak lingkungan dan polusi serta problematika pengelolaan pesisir lainnya.
Secara dimensional hal ini akan sangat mempengaruhi
eksistensi sumberdaya pada masa kini dan pada masa yang akan datang. Atas dasar pemikiran itulah maka disusun suatu pendekatan paradigma pembangunan dengan menggunakan pemodelan sistem dinamik yang mendorong disusunnya penelitian ini dengan
suatu perumusan masalah sebagai berikut : Adanya konversi hutan lahan
kering di FA secara terencana (planned deforestation) berdasarkan kebijakan RUTR maupun secara tidak terencana (unplanned deforestation) seperti perambahan hutan untuk tambak dan pemanfaataan lainnya (di dalam kawasan TNS) maupun adanya illegal logging di luar kawasan TNS (FA). Kondisi hutan lahan kering dan hutan mangrove di kawasan ini telah mengalami deforestasi dan degradasi. Kecenderungan
deforestasi
dan
degradasi
sumberdaya
hutan
tersebut
diprediksi dapat menimbulkan potensi emisi CO2 di masa yang akan datang. Selain itu juga diprediksi terjadi pencemaran limbah domestik berbagai aktifitas di upland area serta
pendangkalan habitat teluk sekitar TNS akibat proses sedimentasi Sungai
Sembilang, serta beberapa sungai kecil: Benu, Ngirawang, Air Tawar, Solok Buntu serta Bakarendo. c.
Identifikasi Sistem. Konsep identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan sebab akibat antara
berbagai kebutuhan dan masalah yang harus dipecahkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Hal ini sering digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab-akibat
(causal-loop). Untuk ketepatan dalam mengidentifikasi sistem, diperlukan pembatasan sistem dari lingkungan sistem (fisik dan non-fisik/konseptual). Lingkungan sistem yaitu semua elemen-elemen yang mempengaruhi sistem secara tidak langsung dalam pencapaian tujuan, sedangkan batas sistem yaitu yang membatasi sistem dari lingkungannya. Dengan demikian, pembatasan sistem ini memerlukan simplifikasi diagram lingkar sebab akibat (causal loop) antar variabel yang akan dimodelkan. Diagram alir sebab akibat (causal-loop) disajikan pada Gambar 21. Setelah dilakukan identifikasi terhadap variabel-variabel yang terlibat, kemudian ditentukan hubungan yang logis antar variabel tersebut. Dari hubungan itu dapat ditentukan apakah hubungannya bersifat positif atau negatif. Dengan demikian dapat
96
dibangun hubungan umpan balik (causal loop) untuk semua variabel dalam pengusahaan sumberdaya pesisir yang membentuk rantai terbuka. Dalam hal ini penelitian
dilakukan di alam (lingkungan), sehingga dapat dikatakan membentuk
sebuah rantai terbuka, karena sumberdaya alam secara alamiah dapat merespon efek negatif dan membentuk pertahanan diri untuk proses pemulihan menuju keseimbangan alam berdasarkan mekanisme carrying capacity. + +
-
Hutan FA
-
+
In migrasi
-
Penduduk
-
-
-
Mangrove TNS
-
+
+ Income per kapita
Agric di FA Tambak
-
APL
Trans& settlement
-
PDRB
+ +
+ +
+
+
+
Def dan Deg SD Pesisir
-
IUPJL TNS
+
+
Pajak & retribusi
+
+ Emisi CO2
+
Carbon Crediting
Carbon Offset
+
+
Gambar 21 Simplifikasi diagram lingkar sebab-akibat (causal-loop) model dinamik pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan berbasis REDD+
Sementara itu, pembatasan secara fisik meliputi batas wilayah penelitian, sedangkan batas konseptual merupakan batas permasalahan yang difokuskan pada interaksi antar sub sistem utama. Terdapat tiga sub-sistem utama, yaitu (1) Sub-sistem Lingkungan, terdiri dari penggunaan area hutan di luar kawasan (FA)
maupun di
dalam kawasan TNS, (2) Sub-sistem Ekonomi, yaitu aktivitas konsesi pengelolaan TNS melalui IUPJL, (3)
Sub-sistem Sosial, yaitu
jumlah populasi penduduk yang
mempengaruhi tekanan terhadap penggunaan lahan, baik di FA maupun di dalam kawasan TNS. Ketiga variabel tersebut merupakan variabel pendukung (state variable)
97
dalam membangun model konseptual, berinteraksi satu sama lain dengan variabel lainnya (non-state variable) membentuk hubungan sebab akibat (causal loop) negatif maupun positif. Seluruh variabel yang berinteraksi ini membentuk suatu aliran yang dapat mempengaruhi net carbon offset. Sebagaimana disajikan pada gambar causal loop tersebut di atas menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk memerlukan lahan, baik untuk kebutuhan pangan (agriculture) maupun
settlement (transmigrasi dan pemukiman), sehingga dapat
mengurangi (negation) luas hutan
di FA (termasuk hutan pada APL) maupun luas
hutan di TNS. Demikian selanjutnya kecenderungan ini dapat meningkatkan deforestasi dan degradasi hutan yang dapat menyebabkan tingkat emisi CO2 di udara semakin tinggi. Tingkat emisi CO2 selanjutnya dapat mereduksi net carbon offset. Variabel net carbon offset merupakan jumlah emisi CO2 terhindarkan antara emisi CO2 yang dilepas ke udara dengan emisi CO2 yang dapat disekuestrasi oleh tanaman. Selanjutnya jumlah net carbon offset ini
merupakan komoditas yang
diperdagangkan, sehingga hal ini dapat mempengaruhi secara positif tingkat carbon crediting, yang selanjutnya dapat mempengaruhi pemegang konsesi IUPJL. Apabila konsesi IUPJL menguntungkan, maka hal ini dapat meningkatkan kualitas ekosistem TNS, maupun share terhadap ekonomi wilayah semakin tinggi melalui pajak dan retribusi. Selanjutnya hasil identifikasi sistem ini diinterpretasikan ke dalam konsep “kotak gelap” (black box) dan dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu : (1) peubah input, (2) peubah output, dan (3) parameter-parameter yang membatasi struktur sistem. Diagram input-ouput sistem pengelolaan sumberdaya pesisir TNS disajikan pada Gambar 22. Peubah input terdiri dari dua macam, yaitu yang berasal dari luar sistem (input eksogen) atau input lingkungan, dan
yang berasal dari dalam sistem (input endogen).
Input eksogen dalam hal ini adalah peraturan dan perundangan, kebijakan pemerintah, serta iklim mikro di kawasan pesisir TN Sembilang dan sekitarnya. Input endogen terdiri dari dua macam yaitu input yang terkendali dan input tidak terkendali. Input terkendali dapat divariasikan selama operasi untuk menghasilkan perilaku sistem sesuai dengan yang diharapkan. Variabel input terkendali dalam kasus ini terdiri dari konversi hutan yang direncanakan (planned deforestation), laju natalitas serta manajemen pengelolaan kawasan pesisir TNS. Sedangkan input tak terkendali terdiri dari variabel-variabel konversi hutan yang tidak direncanakan (unplanned deforestation), laju inmigrasi serta fluktuasi harga karbon di tingkat internasional.
98
INPUT LINGKUNGAN Peraturan & perundangan Kebijakan pemerintah Iklim mikro
INPUT TAK TERKENDALI
Konversi hutan yang tidak direncanakan (unplanned deforestation), perambahan, pemukiman liar Laju inmigrasi Fluktuasi harga karbon internasional
OUTPUT DIKEHENDAKI
Rencana tata ruang integratif Payment for Ecosystem Services tinggi Distribusi hasil PES pada masyarakat tinggi Net Carbon Offset tinggi
SISTEM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR BERKELANJUTAN BERBASIS REDD+
INPUT TERKENDALI
Konversi hutan yang direncanakan (planned deforestation) Laju natalitas Efisiensi pengelolaan kawasan TNS
OUTPUT TAK DIKEHENDAKI Deforestasi dan degradasi hutan Payment for Ecosystem Services rendah Distribusi hasil PES pada masy. rendah Emisi CO2 tinggi
PARAMETER RANCANG BANGUN Carrying capacity carbon offset thd tambak Keseimbangan biomassa dan emisi CO2 OCC terhadap kelayakan ekonomi
MANAJEMEN PENGENDALIAN SUMBERDAYA PESISIR
Gambar 22
Diagram input-output sistem pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan berbasis REDD+
Peubah output terdiri dari dua macam yaitu output yang dikehendaki dan output yang tidak dikehendaki. Output dikehendaki merupakan hasil dari adanya pemenuhan kebutuhan yang telah ditentukan secara spesifik pada tahap analisis kebutuhan, sedangkan output tidak dikehendaki merupakan hasil sampingan atau dampak yang ditimbulkan bersama-sama dengan output dikehendaki. Parameter rancangan sistem adalah parameter yang mempengaruhi input sampai proses transformasi menjadi output. Parameter rancangan sistem cenderung konstan, namun apabila terjadi perubahan kondisi lingkungan, dalam beberapa hal dapat diubah untuk memperbaiki kemampuan sistem agar tetap berjalan baik.
99
Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah; dan
(2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu
keputusan rasional. Setelah diketahui semua faktor penting yang ada serta struktur model kuantitatif telah dibuat, kemudian proses selanjutnya adalah penyusunan pemodelan sistem, validasi model, implementasi model serta simulasi model. Proses simulasi model merupakan suatu teknik penunjang keputusan. Proses simulasi ini merupakan aktivitas dimana pengkaji dapat menarik kesimpulankesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem, melalui penelaahan perilaku model yang selaras dimana hubungan sebab-akibatnya sama dengan sistem yang sebenarnya. Untuk mendapatkan kesimpulan atau implikasi kebijakan hasil yang optimal, maka proses simulasi dapat diintegrasikan dengan variabel lainnya yang dianggap penting dan menunjang keputusan dalam hal ini adalah hasil deliniasi tata guna lahan. 3.6.6.2
Tahapan Pemodelan Sistem Dinamik Pemodelan merupakan suatu gugus aktivitas pembuatan model. Secara umum
pemodelan didefinisikan sebagai suatu abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual (Eriyatno 2003).
Membangun model merupakan proses coba-coba yang dilakukan
secara berulang dengan tahapan pemodelan yang sistematis. Tahapan pemodelan meliputi : (1) Seleksi konsep, (2) Rekayasa model, (3) Implementasi komputer, (4) Validasi , (5) Analisis sensitivitas, (6) Aplikasi dan Simulasi model. Penjelasannya adalah sebagai berikut : (1) Tahap seleksi konsep, dimulai dengan menguraikan komponen-komponen yang akan mempengaruhi efektivitas sistem.
Seleksi konsep awal yang dibangun
terdiri dari tiga sub model global, yaitu : (1) Pemanfaatan sumberdaya alam di luar kawasan (FA) dan di dalam kawasan TNS (Lingkungan), (2) Aktivitas pengelolaan dan pengusahaan kawasan TNS (Ekonomi); serta (3) Keragaan populasi penduduk (Sosial). Elemen-elemen pembangun sistem diperoleh baik dari database melalui penelitian lapangan (data primer dan sekunder) maupun data dan informasi dari peneliti sendiri yang diyakini merupakan variabel yang mempengaruhi sistem pengelolaan sumberdaya pesisir. (2) Tahap rekayasa model, yaitu menetapkan jenis model abstrak yang diterapkan. Berdasarkan karakteristik wilayah penelitian serta kompleksitas permasalahan yang ada, diprediksi memiliki spektrum dampak cukup luas dan multidimensi. Oleh
100
karena itu jenis model yang dipilih adalah model simbolik, yaitu melakukan penyederhanaan (simplifikasi) permasalahan kedalam
persamaan-persamaan
matematik. (3) Tahap implementasi komputer, yaitu model abstrak diwujudkan pada berbagai bentuk persamaan matematik. Teknik dan bahasa komputer yang digunakan disini adalah perangkat lunak (software) I-Think Ver. 6.1 dari High Performance Systems (HPS 1994). (4) Tahap verifikasi dan validasi model, adalah suatu upaya penyimpulan dari model yang telah disusun merupakan representasi dari sistem aktual. Langkah ini merupakan proses secara berulang (iteratif) berupa pengujian berturut-turut sebagai proses penyempurnaan model. (5) Tahap Analisis sensitivitas, dilakukan untuk menentukan peubah keputusan yang relevan dan cukup penting guna ditelaah lebih lanjut pada aplikasi model. Variabel keputusan dapat berupa parameter rancang bangun atau input variabel keputusan. Tahap ini penting dilakukan untuk mereduksi variabel-variabel yang kurang penting, sehingga pemusatan studi lebih ditekankan pada variabel-variabel kunci. Hal ini dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari pengambilan keputusan. (6) Tahap aplikasi dan simulasi model, adalah proses akhir digunakannya model pada berbagai keperluan dalam penyusunan kebijakan. Tahapan pemodelan tersebut dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut : a.
Tahap Konstruksi Model Konstruksi model yang disusun terdiri dari : (1) Konstruksi model konseptual,
dan (2) Konstruksi model implementasi.
Konstruksi model konseptual merupakan
model secara global yang dibangun atas tiga sub model utama, yaitu (1) Pemanfaatan ruang di luar kawasan (FA) dan di dalam kawasan TNS (Sub-sistem Lingkungan), (2) Aktivitas pengelolaan dan pengusahaan kawasan TNS (Sub-sistem Ekonomi); serta (3) Keragaan populasi penduduk (Sub-sistem Sosial). Konstruksi model konseptual pada konteks penelitian ini merupakan pemodelan antara sistem lingkungan, penduduk serta aktivitas pengusahaan ekonomi yang diintegrasikan dengan data spasial. Konstruksi model implementasi adalah untuk mensimulasi hubungan antar subsistem terestrial (lingkungan), pengusahaan TNS (ekonomi), dan penduduk (sosial). Konstruksi model yang dikaji adalah mengkomparasi antara konstruksi model pengelolaan dengan cara saat ini (model business as usual; BAU) dimana kawasan TNS dikelola secara konservasi sedangkan pemanfaatan sumberdaya di FA untuk
101
pembangunan ekonomi, dibandingkan dengan konstruksi skenario model pengelolaan ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL) berbasis REDD+ (model carbon crediting). Pada simulasi model ini diharapkan dapat memprediksi potensi emisi CO2 terhindarkan (avoided emission) di masa yang akan datang pada dua skenario model tersebut. Kecenderungan output sistem yang dihasilkan dari
simulasi ini dapat
digunakan sebagai acuan dalam menyusun kebijakan pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan. b.
Tahap Verifikasi dan Validasi Model Aspek penting dalam pembuatan model adalah pemilihan kriteria kecocokan
validasi yang mencapai kesesuaian pertukaran atau imbal-balik (trade-off) antara tingkat kesesuaian sistem dan kompleksitas model. Oleh karena itu perlu verifikasi dan validasi model. Verifikasi adalah memeriksa sintesa sistem dengan logika atau analisis secara teoritik. Verifikasi dapat dibedakan berdasarkan tahapan pemodelannya, yaitu verifikasi model konseptual dan verifikasi logis. Verifikasi model konseptual adalah pengujian relevansi asumsi-asumsi dan teori-teori yang dipegang oleh pengambil keputusan dan analis dalam melakukan cara pandang (point of view) situasi masalah. Sementara itu, verifikasi logis merupakan tahap memeriksa, dilibatkan atau diabaikannya suatu variabel atau hubungan, sehingga aspek yang perlu diperhatikan dalam formulasi model adalah ukuran performansi sistem. Validasi merupakan
tahap akhir dalam pengembangan pemodelan untuk
memeriksa model dengan meninjau apakah output model sesuai dengan sistem nyata. Tahap validasi model dilakukan untuk menjawab dua hal berikut, yaitu 1) Apakah model konsisten terhadap realitas yang digambarkannya, 2) Apakah model konsisten dengan tujuan kegunaan dan hal yang dipermasalahkannya. Uji validasi model dilakukan dengan mengkomparasi antara data historis dengan data sistem yang sesungguhnya. Untuk menguji besaran dan sifat kesalahan dapat digunakan nilai aproksimasi persentase akar rata-rata kuadrat kesalahan atau RMSPEA (root mean square percent error approximation). Disebutkan bahwa RMSPEA merupakan uji validasi dengan mengukur akar rataan kuadrat persentase perbedaan antara nilai output model (ym) yang disimulasikan dengan nilai output sistem aktual (ys). Formulasinya adalah sebagai berikut (modifikasi dari Sterman 2000): n RMSPEA = 1 / n. y m y s / y s i 1
0.5
............................................................... (3.30)
102 dengan: RMSPEA :
Nilai aproksimasi persentase akar rata-rata kuadrat kesalahan
ym ys
: :
Nilai output model pada tahun ke-t Nilai output sistem aktual pada tahun ke-t
n
:
Jumlah pengamatan (t=1,2, ... n)
0,5
:
Bilangan akar kuadrat
Nilai kriteria= Batas penyimpangan (error) yang dapat ditoleransi secara statistika <10%
c.
Analisis Sensitivitas Pengujian analisis sensitivitas terhadap model bertujuan untuk menelaah tingkat
kepekaan variabel eksogen yang dapat mendeterminasi naik turunnya variabel endogen dalam model. Dengan uji sensitivitas ini diperoleh variabel mana saja yang memiliki kepekaan tinggi dan lebih realistik terhadap perilaku model. Beberapa variabel eksogen akan dilakukan uji kepekaan terhadap variabel endogen. Variabel eksogen dapat berupa parameter rancang bangun seperti tingkat opportunity cost of capital (OCC) terhadap kelayakan ekonomi yang diukur berdasarkan the net present value (NPV). Pada tingkat OCC tertentu, variabel endogen (NPV) akan merespon sampai pada batas yang dapat ditoleransi model dan masih dapat dikategorikan layak secara ekonomi. Variabel lain dapat juga dilakukan uji coba yang berasal dari input peubah keputusan yang terkendali dan yang tidak terkendali, misalnya dari input tak terkendali berupa fluktuasi harga karbon internasional terhadap kelancaran arus kas perusahaan (cash inflow). d.
Tahap Simulasi Model Simulasi model adalah suatu aktivitas dimana pengkaji dapat menarik
kesimpulan-kesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem, melalui penelaahan perilaku model yang selaras (Eriyatno 2003, Ruth dan Hannon 1997). Dalam hal ini hubungan sebab akibatnya sama atau seperti sistem yang sebenarnya. dilakukan secara komparatif pada dua bentuk pemodelan, yaitu
Simulasi model akan (1) Skenario model
business as usual (model BAU without REDD+), dan (2) Skenario model carbon crediting (model CC with REDD+). Skenario ini diharapkan dapat mengukur kecenderungan perbandingan antar model terhadap fenomena laju emisi CO2 yang terhindarkan (avoided emission). Selanjutnya jumlah emisi terhindarkan itu digunakan sebagai basis penilaian carbon crediting sumberdaya hutan mangrove berdasarkan prinsip payment for ecosystem services serta implikasi kebijakan dalam berkelanjutan di masa yang akan datang.
pengelolaan sumberdaya pesisir secara