Edisi April 2015
BIRO HUKUM SEKRETARIAT JENDERAL Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5 Jakarta Pusat Telp. (021) 23528444 Fax. (021) 23528454 Email :
[email protected] Sekjen/BJ/36/IV/2015
Dari Redaksi
P
uji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang berkat rahmat dan karuniaNya kami dapat menyelesaikan Jurnal Jendela Informasi Hukum di Bidang Perdagangan untuk Edisi April 2015. Jurnal Jendela Informasi Hukum di Bidang Perdagangan ini membahas mengenai aturan-aturan beserta koridor baik dalam kegiatan perdagangan domestik maupun internasional yang dibuat berdasarkan tulisan Ilmiah yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini dikarenakan penulis artikel Jurnal Jendela Informasi Hukum di Bidang Perdagangan ini ikut terlibat dalam pembahasan materi yang ditulis dan dimuat sebagai isi dari Jurnal pada setiap penerbitannya, sehingga mengetahui dan menguasai materi bahasan yang dimuat pada Jurnal Jendela Informasi Hukum di Bidang Perdagangan.
Susunan Redaksi PENANGGUNG JAWAB Yuni Hadiati, SH
REDAKTUR Maryam Sumartini, SmHk Kartika Puspitasari, SH Sara Lingkan Mangindaan, SH Armiyati
PENYUNTING /EDITOR Aminah Indra Wijaya Saumin DESAIN GRAFIS Sosi Pola FOTOGRAFER Sudarmi SEKRETARIAT Yuliana Aristya Kusuma Alim Sarwoto ALAMAT M.I. Ridwan Rais No. 5 , Jakarta Pusat Telp. (021) 23528444; Fax. (021) 23528454
EMAIL
[email protected]
Adapun Jurnal Jendela Informasi Hukum di Bidang Perdagangan di edisi April 2015 ini memuat materi bahasan mulai dari perdagangan elektronik yang sudah mulai marak belakangan ini, kebijakan produk penjualan, tinjauan perdagangan luar negeri, pandangan mengenai sistem bisnis penjualan, hingga peraturan dan ketentuan dasar mengenai barang. Keberadaan Jurnal ini sejak Penerbitan pertama nya di tahun 2012 hingga sampai Edisi April 2015 keberlangsungannya berkat kerjasama dan bantuan beberapa pihak, higga bisa berlangsung terus menerus sampai saat ini. Oleh karena itu Redaksi mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang selama ini sejak penerbitan pertama telah bekerja sama dan membantu terselesaikannya Jurnal ini. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam Jurnal Jendela Informasi Hukum di Bidang Perdagangan ini, oleh karena itu kami mengajak pembaca untuk memberikan kritik dan saran membangun untuk perbaikan Jurnal ini kedepan. Kami akan terus berbenah diri agar Jurnal yang kita cintai sesuai dengan harapan para pembaca sekalian. Harapan kami semoga Jurnal Jendela Informasi Hukum di Bidang Perdagangan ini memberikan manfaat bagi pembaca dan memberikan sumbangsih informasi dalam koridor hukum bidang perdagangan. Selamat membaca...... Jakarta,
April 2015
Daftar Isi
Antisipasi Hukum Atas Riuh Sedapnya Perdagangan Melalui Elektronik .......................................................................... 4 Oleh : Djunari Inggit Waskito, SH, LL.M Selayang Pandang Kebijakan Minuman Beralkohol Di Indonesia .................................................................................... 8 drh. Doni Adria Novri Perdagangan Pakaian Bekas Dari Luar Negeri: Sebuah Tinjauan Yuridis ................................................................ 12 Oleh : Didit Akhdiat Suryo Penipuan Skema Piramida dalam Sistem Bisnis Penjualan Langsung .......................................................................................... 17 Oleh : Adhi Santoso Handaru Mukti
Redaksi menerima artikel, berita yang terkait dengan “Informasi Hukum Bidang Perdagangan” dan disertai identitas penulis/pengirim. Kritik dan saran kami harapkan demi kelengkapan dan kesempurnaan majalah kami.
Garis Besar Pengaturan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 77/M-Dag/Per/10/2014 Tentang Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules Of Origin Of Indonesia) ........................ 22 Oleh Lina Rachmatia Ketentuan Dasar Perubahan Klasifikasi Tarif, Identifikasi Barang Dalam Ketentuan Asal Barang (ROO) Dalam Asean-Australia New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA) .................................................................................... 25 Oleh Drh. LinaRachmatia
nama produk, Tariff Finder akan menampilkan kode HS yang memuat nama produk tersebut. Eksportir kemudian dapat memilih kode yang sesuai dengan barang mereka. Tariff Finder juga dapat menampilkan tingkat tarif yang berlaku di setiap Negara dan membantu menemukan PSR yang berlaku bagi setiap lini tarif. Tidak ada hirarki yang menentukan apakah suatu tingkat perubahan tertentu mewakili tingkat transformasi substansial yang lebih kecil atau lebih besar daripada yang lain. Tingkat perubahan yang menjadi persyaratan ditentukan dari bagaimana barang dan inputnya diklasifikasikan di dalam HS. Dengan demikian mungkin saja ketentuan perubahan pada bab tarif (CC) memiliki tingkat transformasi yang serupa dengan perubahan pada sub judul tarif (CTSH), bergantung dari letak klasifikasi barang di dalam HS. Konsep CTC berlaku di tahap akhir produksi barang yang mengandung material non-asal. Ketentuan CTC mensyaratkan bahwa semua material non-asal yang digunakan di dalam produksi suatu barang memiliki klasifikasi HS yang berbeda dengan barang final dimana material tersebut digabungkan. Oleh karena itu, ROO mengenai CTC hanya relevan atau berlaku kepada barang yang mengandung material non-asal. Konsep CTC adalah suatu material non-asal yang digunakan di dalam produksi suatu barang dan tidak boleh memiliki klasifikasi HS yang sama dengan barang akhir dimana material itu digabungkan. Material non-asal harus melalui perubahan klasifikasi tarif di dalam teritori suatu pihak atau negara anggota AANZFTA pengekspor agar dapat dianggap sebagai barang asal dari Negara pengekspor. Persyaratan CTC hanya berlaku terhadap material nonasal. Pada ROO AANZFTA, jika kode HS suatu barang tidak terdaftar di dalam Annex PSR, maka Article 4 (Goods Not Wholly Produced or Obtained) dari Chapter 3 (Rules of Origin) mengarahkan penerapan ‘Ketentuan Umum’ kepada barang tersebut.
material non-asal yang digunakan di dalam produksi suatu barang memiliki klasifikasi di tingkat judul HS yang berbeda dengan barang final dimana material tersebut digabungkan. Ketentuan CTC pada tingkat judul mensyaratkan semua material non-asal yang digunakan di dalam produksi suatu barang memiliki klasifikasi HS yang berbeda di tingkat judul dengan barang final dimana material tersebut digabungkan.
08
04
Contoh– Perubahan Judul Tarif (CTH) Mesin penerima pesan telepon (HS 8519.50) diproduksi di Singapura menggunakan stasion basis telepone (HS 8517.63) yang diimpor dari Cina dan material asal dari Singapura. ROO untuk barang di 8519.50 adalah “CTH”.material non-asal berasal dari judul HS (HS 8517) yang berbeda dengan barang final (HS 8519). Dengan demikian, ketentuan perubahan judul tarif sudah terpenuhi dan mesin penerima pesan telepon dianggap sebagai barang asal. Telephone base stations dari Cina(HS 8517.63)
Material asal dari Singapore
12
Telephone answering machine (HS 8519.50)
CTH berarti jika pabrikan di suatu pihak atau negara anggota AANZFTA membuat suatu barang menggunakan material non-asal, barang tersebut akan memenuhi kriteria keasalan jika terjadi perubahan kode HS di tingkat judul dari barang akhir dibandingkan dengan material yang digunakan untuk membuatnya, yaitu jika judul HS barang akhir berbeda dengan judul HS material.
25
17
Berikut adalah suatu contoh dari Perubahan Judul Tarif dari suatu barang dalam kerangka perjanjian AANZFTA yang dapat menjelaskan bagaimana perubahan judul tarif dapat menentukan suatu keasalan barang.
Ketentuan Umum memberikan pilihan dari salah satu ROO di bawah ini:3 1. 40% RVC;
22
2. Perubahan Klasifikasi Tarif (CTC) di tingkat judul, yaitu Perubahan Judul Tarif (CTH). Annex PSR juga mencantumkan ketentuan CTC di berbagai tingkat, termasuk pada tingkat CTH. Ketentuan CTC pada tingkat judul tarif mensyaratkan semua 3 AANZFTA, Chapter 3, Article 4: 1. For the purposes of Article 2.1(b) (Originating Goods), except for those goods covered under Paragraph 2, a good shall be treated as an originating good if: (a) the good has a regional value content of not less than 40 per cent of FOB calculated using the formulae as described in Article 5 (Calculation of Regional Value Content), and the final process of production is performed within a Party; or (b) all non-originating materials used in the production of the good have undergone a change in tariff classification at the four-digit level (i.e. a change in tariff heading) of the HS Code in a Party, Page. 19.
30
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
3
Antisipasi Hukum Atas Riuh Sedapnya
Perdagangan Melalui Elektronik Oleh : Djunari Inggit Waskito, SH, LL.M
besar barang dihilangkan pada saat FTA diberlakukan atau di tahun-tahun awal implementasi. Vietnam serta 3 (tiga) negara ASEAN yang baru berkembang (Myanmar, Kambodia, Laos) diberikan periode transisi yang lebih lama, dan tingkat eliminasi yang lebih rendah, karena mengenali status mereka sebagai anggota ASEAN terbaru dan perekonomiannya yang baru berkembang. Tidak semua barang yang diimpor ke para pihak atau negara anggota AANZFTA memenuhi kualifikasi untuk mendapatkan tarif preferensi. Berikut adalah tabel proses bertahap dalam pemberlakuannya bagi seluruh negara anggota AANZFTA.
Persentase Lini Tarif yang Bebas tarif
Pendahuluan Perlu furniture, kamera, peralatan dapur, barang elektronika baru ataupun bekas dari merek A sampai dengan Z dengan spesifikasi teknis, warna dan variasi harga tertentu? juga ingin mencari layanan jasa yang ditawarkan tapi malas ikut berdesakan dalam kepadatan lalu lintas di kota besar? Buka saja website manapun, maka akan muncul berbagai iklan barang dan jasa yang ditawarkan secara “on line”. Perlu waktu sedikit untuk perbandingan harga barang dan jasa yang dtawarkan, selanjutnya tinggal pilih, bayar dan barang ataupun jasa yang dipesan dapat diterima dalam maksimal beberapa hari tertentu ke depan. Itulah fakta sebagian transaksi perdagangan barang dan jasa masa sekarang dan sangat besar kemungkinan bahwa perdagangan melalui elektronik akan 4
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
semakin meningkat nilai maupun frekwensinya. Perdagangan melalui elektronik mulai dikenal seiring dengan pertumbuhan teknologi informasi yang sangat pesat. Di luar negeri, sistem perdagangan melalui elektronik dikenal dengan terminologi “E-Commerce” dan karena semakin banyak negara yang terbiasa menggunakan sistem ini, salah satu organisasi yang ada dalam organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa yaitu UNCITRAL atau United Nation Conference on International Trade Law menyusun dan akhirnya menerbitkan “model law” mengenai e-commerce tersebut pada tahun 1996 dan dilengkapi pada tahun 1998. Dari tulisan Saudara Nur Arianto, pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan yang mengutip analisa Lembaga Riset Mark Plus Insight, Indonesia merupakan salah satu
pengguna internet terbesar di dunia. Tahun 2013 yang lalu, pengguna internet di Indonesia sudah mencapai sekitar 74.57 juta dari total penduduk Indonesia. Menurut laporan E-Marketer yang juga dikutip Saudara Nur Arianto, nilai transaksi e-commerce di Indonesia di tahun 2013 diperkirakan sudah mencapai US $ 1.8 milliar atau sekitar Rp 18 trilliun. Seiring dengan semakin majunya teknologi dan mudahnya akses penduduk Indonesia ke internet, nilai transaksi e-commerce akan semakin menggurita dan akan membawa dampak positif dalam kecepatan putaran uang dan kegiatan ekonomi maupun imbas negatif dari sisi perpajakan maupun konten barang dan jasa yang ditawarkan. Sistem perdagangan melalui elektronik terdiri dari berbagai sub sistem, bisa peralatan elektronik
yaitu RVC (40) dan CTH ROO. Didalam ROO dikenal Perubahan Bab Tarif (Change in Tariff Chapter – CC) dan Perubahan dalan Sub Judul Tarif (Change in Tariff Subheading – CTSH). Untuk memenuhi ROO CTC, suatu material non-asal yang digunakan dalam produksi suatu barang harus memiliki klasifikasi HS yang berbeda dengan barang final dimana material itu digabungkan. Ketentuan CTC ditetapkan sedemikan rupa untuk memastikan terjadinya transformasi substansial dari material non-asal di dalam Suatu pihak atau negara anggota AANZFTA. Konsep material non-asal khususnya sangat penting di dalam penentuan asal barang karena hanya material
2
Negara
2005 Base Tariffs (%)
2010 (%)
2013 (%)
Eliminasi Tarif Final (%)
Tahun tercapainya
Australia
47.6
96.4
96.5
100
2020
Brunei
68
75.7
90
98.9
2020
Myanmar
3.7
3.6
3.6
85.2
2024
Cambodia
4.7
4.7
4.7
88
2024
Indonesia
21.2
58
85
93.2
2025
Laos
0
0
0
88
2023
Malaysia
57.7
67.7
90.9
96.3
2020
New Zealand
58.6
84.7
90.3
100
2020
Philippines
3.9
60.3
91
94.6
2020
Singapore
99.9
100
100
100
2009
Thailand
7.1
73
87.2
99
2020
Viet Nam
29.3
29
29
89.8
2020
Untuk mengurangi atau menghilangkan hambatan nontarif, AANZFTA menetapkan prosedur yang mengijinkan para pihak atau negara anggota untuk mengajukan permohonan agar hambatan non-tarif tertentu dikaji oleh AANZFTA Trade in Goods Committee dengan tujuan mengurangi atau menghilangkan dampak negatif dari hambatan tersebut terhadap perdagangan. Hal ini merupakan ketentuan yang penting bagi bisnis, karena hambatan non-tarif dapat mengurangi atau membalikkan keuntungan yang didapatkan dari ketentuan akses pasar lain. Pelaku bisnis yang melihat adanya hambatan non-tarif di pihak atau negara anggota AANZFTA yang mempengaruhi bisnis mereka dapat memajukan masalah ini ke pemerintah mereka. Jika layak, Pemerintah yang bersangkutan dapat mengajukan masalah tersebut ke Trade in Goods Committee. AANZFTA memiliki “Ketentuan Umum” yang terdiri atas dua ketentuan alternatif yang kedudukannya sama,
non-asal yang harus ditransformasikan dan memenuhi persyaratan dari ROO CTC. ROO CTC hanya berlaku terhadap material non-asal yang digunakan untuk memproduksi barang yang diperdagangkan. Cara yang wajar untuk mengukur tingkat transformasi material non-asal di dalam suatu pihak atau negara anggota adalah dengan membandingkan klasifikasi tarif material non-asal yang digunakan di dalam produksi dengan klasifikasi tarif barang final yang diekspor. Jika kedua kode HS cukup “jauh” (sebagaimana ditentukan dalam ROO), dalam pengertian kode HS ini berlaku pada barang yang berbeda secara substansial, maka barang yang dihasilkan dari proses produksi tersebut memenuhi kriteria keasalan. Website AANZFTA yang dibuat oleh ASEAN Secretariat memuat AANZFTA Tariff Finder. Tariff Finder membantu eksportir, pedagang, dan pihak lain untuk menntukan kode HS barang mereka. Dengan hanya mengetik
2 Ibid, Hlm. 1-5.
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
29
KETENTUAN DASAR PERUBAHAN KLASIFIKASI TARIF, IDENTIFIKASI BARANG DALAM KETENTUAN ASAL BARANG (ROO) DALAM ASEAN-AUSTRALIA NEW ZEALAND FREE TRADE AGREEMENT (AANZFTA) Oleh : Lina Rachmatia Pada saat FTA berjalan, yaitu ketika FTA diberlakukan, tarif mungkin dihilangkan, atau secara bertahap dikurangi sampai 0 (nol) atau sampai jumlah tertentu selama jangka waktu yang ditentukan. Perlakuan prefensi didapatkan dari perbedaan antara tarif nonpreferensi yang berlaku normal bagi barang dan tingkat tarif yang ditetapkan di bawah FTA (tarif preferensi hanya berlaku bagi suatu pihak atau negara anggota FTA). Untuk sejumlah barang, tingkat tarif umum yang diberlakukan suatu negara, disebut sebagai tarif Most Favoured Nation (MFN) sudah mencapai 0. Di dalam kasus ini, tarif FTA dan MFN adalah sama, sehingga tidak ada pilihan. Namun demikian, tarif FTA tunduk kepada komitmen yang secara hukum mengikat, yang berarti tarif FTA tidak bisa dinaikkan. Perdagangan barang dalam AANZFTA harus memenuhi ketentuan minimal sebagai berikut: a) menentukan kawasan perdagangan bebas yang mendapat keuntungan dari akses pasar preferensi; b) menetapkan sistem ROO untuk menentukan apakah suatu barang dapat menerima tarif preferensi; c) menentukan lini tarif dimana tarif dihilangkan ketika perjanjian diberlakukan; d) mengatur jadwal penurunan tarif menuju elimimasi bertahap;
28
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
e) menuliskan pendekatan bagi suatu pihak atau negara anggota dalam penggunaan pemulihan perdagangan; f)
mencantumkan garis besar prosedur yang harus diikuti oleh Otoritas Pabean ketika menangani barang yang diimpor dari kawasan perdagangan bebas;1
AANZFTA menetapkan komitmen pengurangan tarif yang progresif atau, untuk sebagian besar barang, atau eliminasi tarif. Tarif ini hanya berlaku bagi barang-barang yang diekspor atau diimpor dari para pihak atau negara anggota AANZFTA yang memenuhi ROO AANZFTA. AANZFTA menciptakan peluang baru bagi para eksportir barang asal AANZFTA melalui pengurangan dan eliminasi tarif. Australia, New Zealand, negara ASEAN yang lebih maju, serta Viet Nam akan menghilangkan tarif di sekitar 90-100 lini tarif, dimana tarif sebagian 1
ASEAN Secretariat, AusAid, and Ministry of Foreign Affairs and Trade, ASEAN-Australia New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA) Modul 1 (modul terjemahan Indonesia), Jakarta: ASEC and AANZFTA, 2013. Hlm. 4.
penunjang seperti “software” dan “hardware”, teknologi informasi, para pihak dalam perdagangan dan hukum yang mengatur perdagangan melalui elektronik. Seberapa jauh Indonesia sudah mempersiapkan sub sistem hukum perdagangan melalui elektronik sehingga para pihak yang terlibat dalam perdagangan melalui elektronik tersebut terlindungi? Sudah ada usaha dan bahkan kan hasil yang dibuat oleh eksekutif utif dan legislatif yaitu dengan gan diterbitkannya Undang-undang ang Nomor 11 Tahun 2008 tentang tang Informasi dan Transaksi Elektronik onik (selanjutnya disebut dengan UU ITE) serta Undang-undang Nomor omor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan ngan yang salah satu bab dan pasal asal di dalamnya mengatur mengenai enai perdagangan melalui elektronik onik yaitu Bab VIII tentang Perdagangan ngan Melalui Sistem Elektronika dan hanya diatur dalam 2 pasal, yaitu Pasal 65 dan 66. Dengan adanya dua undang-undang dang yang mengatur hal yang sama tentu entu mengundang pertanyaan, apakah akah dua undang-undang tersebut ebut memang berbeda satu sama lain ain apakah kedua undang-undang ng tersebut bersifat tumpang g tindih? Atau apakah justru u kedua undang-undang tersebut saling melengkapi? Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut, harus kita sepakati dulu u bahwa Undang-undang apapun pun dan mengatur apapun, maka aka undang-undang tersebut adalah alah milik nasional dan berlaku secara nasional, bukan milik instansi atau kementerian tertentu walaupun memang diinisiasi oleh instansi yang berbeda. Mengingat bahwa UU ITE yang sudah mengatur cukup rinci mengenai informasi dan transaksi elektronik masih juga memerintahkan peraturan pelaksana dan Undang-undang Perdagangan juga mengamanatkan penyusunan peraturan pemerintah tentang perdagangan melalui elektronik, maka tulisan di bawah ini dimaksudkan untuk memberi masukan untuk dianalisa lebih lanjut, kira-kira cakupan dan hal apa saja yang akan menjadi materi pengaturan Peraturan Pemerintah tentang Perdagangan Melalui Elektronik yang saat ini
sedang disusun oleh Kementerian Perdagangan.
Perkembangan UU ITE sebenarnya sudah banyak mengatur mengenai teknologi informasi dan transaksi melalui elektronik dan jika peraturan pelaksanannya sudah terbit sesuai yang diperintahkan UU ITE, maka boleh d i b i l a n g
kebijaksanaan mengenai teknologi informasi sudah cukup lengkap. Dikatakan cukup lengkap berarti belum bisa dikatakan lengkap. Hal-hal apa saja yang sudah diatur dalam transaksi elektronik dan yang belum diatur dalam UU ITE? Kita mulai dengan hal-hal yang sudah diatur dalam UU ITE yaitu antara lain : I.
Umum
a. Informasi elektronik merupakan bukti yang sah, kecuali dokumen atau surat yang menurut Undangundang harus dalam bentuk tertulis atau yang wajib dalam bentuk akta notarial. Sebelum UU ITE ini berlaku, bukti yang sah selalu diandalkan dalam bentuk
tertulis formal, maka setelah UU ITE berlaku hasil cetakan informasi elektronik dalam bentuk foto, gambar, tanda, angka, suara maupun surat dapat diterima sebagai bukti sah di depan pengadilan. Selain itu, melakukan transaksi melalui elektronik adalah merupakan suatu perbuatan hukum sehingga memiliki konsekwensi, tanggung jawab dan akibat hukum bagi pelakunya. b. Bersifat ekstra teritorial karena menurut Pasal 2, UU ITE berlaku untuk setiap orang
yang melakukan perbuatan hukum berdasar UndangUndang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. c. Beban pembuktian terletak pada orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, yaitu yang bersangkutan harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
5
II. Khusus
perlindungan hak pribadi yang didasarkan pada prinsip pendaftar pertama dan wajib berdasar pada
a. Waktu pengiriman dan penerimaan informasi elektronik yang dibedakan jika menggunakan satu atau au dua atau lebih sistem informasi si b. Kewajiban bagi pelaku aku usaha untuk menyediakan an informasi yang lengkap dan an benar berkaitan dengan an syarat kontrak, produsen, sen, dan produk yang ditawarkan. kan.
terbatas pada “international data messages”. b. Materi “model law” tidak bermaksud menganulir apa yang sudah diatur diatu dalam Undangundang Perlindungan Konsu Konsumen c. Mengatur pe perdagangan barang da dan jasa, termasuk di antaranya peng pengangkutan barang dan jasa ja
c. Walaupun tidak wajib, setiap pelaku usaha ha yang menyelenggarakan an Transaksi Elektronik dapat at disertifikasi oleh Lembaga ga Sertifikasi Keandalan. d. Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah
iktikad b a i k , t i d a k melanggar prinsip persaingan usaha secara sehat, dan tidak melanggar hak orang lain.
e. Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik atau privat f.
Kontrak elektronik mengatur mengenai pilihan hukum yang berlaku tapi apabila dalam kontrak elektronik tidak diatur maka berlaku asas Hukum Perdata Internasional. Para pihak juga berhak menetapkan forum pengadilan, arbitrase atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif dan jika tidak disepakati para pihak, maka berlaku asas Hukum Perdata Internasional
g. Waktu terjadinya kesepakatan dan diperbolehkannya para pihak menggunakan kuasa h. Nama domain, hak kekayaan d a n intelektual
i.
Tercatat ada 23 perbuatan yang dilarang berdasar UU ITE
j.
Penyelesaian sengketa, sanksi pidana dan penyidik
Substansi E-Commerce Yang Disusun UNCITRAL Sebagai salah satu badan yang bernaung dalam organisasi PBB, UNCITRAL sudah mempersiapkan konsep atau sistem perdagangan melalui elektronik yang diterbitkan pada tahun 1996 dan ditambah dengan penyempurnaan kecil pada tahun 1998 sehingga menjadi me suatu “model” yang bisa diacu oleh o negara manapun manakala negara tersebut ingin membuat Undang-undang Undan yang mengatur “E-Commerce”. “E-Com Dalam UNCITRAL “Model Law on E-Commerce” tersebu tersebut diatur hal-hal sebagai berikut : Umum a. Ruang lingkup lin yang “disarankan” dalam “model “ law” ini adalah “e-Commerce” “e-Comm yang
6
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
d. Kekuatan leg legal terhadap “data me messages” yaitu ba bahwa informasi tida tidak bisa ditolak hanya karena alasan bahwa informasi inform tersebut masih dalam bentuk data elektronik dan sebaliknya, informasi tidak bisa ditolak hanya karena belum dalam bentuk data elektronik. e. Jika informasi harus dalam bentuk tertulis, maka informasi yang ada dalam data elektronik memenuhi syarat tersebut apabila informasi dapat diakses atau digunakan untuk jangka waktu ke depan, artinya jika informasi yang ada dalam data elektronik hanya dapat diakses sesaat saja atau waktu tertentu saja, maka informasi yang tercantum dalam data elektronik tidak memenuhi persyaratan “tertulis”.
Khusus a. Tanda tangan elektronik b. Syarat keaslian bagi informasi yang ada dalam data elektronik c. Penyimpanan informasi yang ada dalam data elektronik d. Terbentuknya dan sahnya suatu kontrak melalui elektonik e. Karakteristik informasi yang ada dalam data elektronik f. Pengakuan telah diterimanya informasi atau penawaran dari salah satu pihak g. Waktu dan tempat terjadinya kata sepakat mengenai informasi dalam data elektronik h. Pengangkutan barang i.
f.
Barang-barang dari hasil memancing atau menangkap di laut dan barang-barang lain yang diambil dari laut oleh kapal berbendera Indonesia baik di dalam atau di luar teritorial Indonesia;
g. Barang-barang yang langsung diolah di kapal berbendera Indonesia baik di dalam atau di luar teritorial Indonesia yang diproduksi menggunakan bahan baku sebagaimana dimaksud pada huruf f;
j.
Barang-barang yang diproduksi di Indonesia dengan menggunakan bahan baku dari barang sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf i yang seluruhnya berasal dari Indonesia.
Jadi Surat Keterangan Asal (SKA) dapat diterbitkan apabila kriteria asal barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 (tigabelas) Permendag Nomor 7/PER/M-DAG/10/2014) dan syarat administrasi sesuai Permendag Nomor 59/M-DAG/PER/12/2010 dalam Pasal 4 (empat) telah terpenuhi.
h. Barang-barang yang diambil dari dasar laut atau lapisan bawah tanah di bawah dasar laut di luar teritorial Indonesia, dengan ketentuan bahwa Indonesia memiliki hak untuk mengeksploitasi dasar laut atau lapisan bawah tanah tersebut; i.
Sisa dan limbah yang dihasilkan dari operasional pabrikasi atau pengolahan atau dari konsumsi di Indonesia dan hanya cocok untuk dibuang atau untuk pemanfaatan kembali sebagai bahan baku; dan
Dokumen pengangkutan barang
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
27
KRITERIA ASAL BARANG Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules of Origin of Indonesia) Preferensi dan Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules of Origin of Indonesia) Non Preferensi harus memilki kriteria asal barang. Kriteria asal barang digunakan untuk mendeteksi atau mengetahui secara rinci dengan data-data dalam penelusuran asal barang, baik dalam ROO Preferensi maupun ROO Non Preferensi. Dalam Permendag Nomor 77/M-DAG/ PER/10/2014, pengaturan tentang Kriteria ROO jelas diatur dalam Pasal 5 (lima) sampai dengan Pasal 13 (tiga belas). Adapun kriteria asal barang ROO Preferensi dan ROO Non Preferensi dimaksud terdiri dari kriteria sebagai berikut: (1) kriteria asal barang (origin criteria), terdiri dari kriteria asal barang (origin criteria) sebagai berikut (Pasal 7 (tujuh):
Karena bersifat pedoman belaka, “UNCITRAL model law on electronic commerce” juga tidak mengharuskan bahwa apa yang diatur dalam model law harus dianut dalam hukum positif di suatu negara yang akan mengatur e-commerce, melainkan sekedar panduan belaka. Namun demikian, jika diamanati, hampir semua yang tercantum dalam “model law” sudah diatur dalam UU ITE. Hanya beberapa yang belum diatur, misalnya dokumen ekspor dan impor serta pengangkutan barang. Hal lain yang perlu diatur adalah apakah barang yang diperdagangkan melalui elektronik bebas dari pajak atau tetap dibebani pajak yang berlaku. Untuk menghindari terjadinya tumpang tindih peraturan, maka hal-hal apa saja yang belum diatur dalam UU ITE dan peraturan pelaksananya, itulah yang secara ideal akan diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan perdagangan melalui sistem elektronik.
a. wholly obtained; (Pasal 6 dan Pasal 8)
Pengaturan E Commerce Di Forum WTO
b. kandungan nilai tambah; (Pasal 6 dan Pasal 9)
Liberalisasi perdagangan di forum WTO berjalan sangat lambat, termasuk di dalamnya adalah pembahasan isu E-Commerce. Pentingnya E-Commerce untuk
c. perubahan klasifikasi tarif (change in tariff classification); (Pasal 6 dan Pasal 10) dan d. proses khusus (spesific process). (Pasal 6 dan Pasal 11) (2) kriteria pengiriman (consignment (Pasal 6 dan Pasal 12) dan
b. Barang pertanian dan kehutanan yang dipanen atau dikumpulkan di Indonesia; c. Binatang hidup yang lahir dan dibesarkan di Indonesia; d. Barang-barang yang dihasilkan dari binatang hidup di Indonesia; e. Barang yang didapat dari hasil berburu atau memancing/perikanan tangkap di teritorial Indonesia;
26
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
serangkaian perangkat dan pros edur elektronik. Selanjutnya dalam Pasal 65 diatur antara lain :
b. Data tersebut pada huruf a di atas adalah mencakup identitas dan legalitas pelaku usaha, persyaratan teknis barang/jasa yang ditawarkan, harga dan cara pembayaran dan cara penyerahan barang
(3) ketentuan mengenai proses penerbitan SKA (procedural provision), akan diatur lebih lanjut dalam peraturan tersendiri, pada saat penuilis membuat tulisan ini masih didasarkan pada Permendag Nomor 59/M-DAG/PER/12/2010.
a. Barang tambang dan substansi lain yang timbul secara alami yang diambil dari teritorial Indonesia;
Dalam Pasal 1 Undang-undang Perdagangan, E-Commerce diterminologikan sebagai “Perdagangan Melalui Sistem Elektronika” yang diartikan sebagai perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui
a. Kewajiban pelaku usaha yaitu menyediakan data/ informasi secara lengkap dan benar dan mematuhi UU ITE
criteria;
Barang yang memenuhi kriteria wholly obtained sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 (delapan) hanya Barang yang seutuhnya diperoleh dari sumber yang ada di Indonesia atau Barang yang diproduksi di Indonesia dengan menggunakan bahan baku yang seutuhnya diperoleh dari sumber yang ada di Indonesia, seperti barang sebagaimana berikut:
Pengaturan dalam Undangundang Perdagangan
c. Penyelesaian sengketa. d. Sanksi administratif berupa pencabutan ijin.
Kesimpulan dibahas di WTO dimulai tahun 1998 dan selanjutnya hanya dicantumkan di para 34 Doha Development Agenda agar “General Council” WTO melanjutkan program pengembangan e-commerce, mengklarifikasi atas isu yang muncul dalam e-commerce dan tetap mempertahankan praktik yang sampai sekarang tetap berjalan yaitu tidak menerapkan bea masuk atas barang/jasa yang dikirim melalui elektronik. Isu dalam E-Commerce dibahas di 4 (empat) komisi yaitu Komisi Perdagangan Barang, Komisi Perdagangan Jasa, Komisi TRIPs dan Komisi Perdagangan dan Pembangunan. Adapun isu yang dibahas adalah klasifikasi mengenai isi pengiriman (barang dan jasa) melalui elektronik; isu pembangunan; implikasi fiskal; kaitan e-commerce dengan sistem perdagangan tradisional; penerapan bea masuk atas pengiriman barang/jasa melalui elektronik; persaingan usaha dan jurisdiksi serta hukum yang berlaku.
Mengingat UU ITE sudah cukup rinci mengatur hal-hal yang terkait dengan informasi termasuk transaksi melalui elektronik dan UU Perdagangan yang mengamanatkan terbitnya Peraturan Pemerintah yang akan mengatur perdagangan melalui sistem elektronika, maka perlu penyusunan ekstra hati-hati atas konsep peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan Undangundang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Unsur kehati-hatian sangat perlu karena tidak ada satupun di Indonesia yang menghendaki terjadinya tumpang tindih antara UU ITE dengan UU Perdagangan. UU ITE mengenal sanksi pidana sedangkan untuk perdagangan melalui sistem elektronika di UU Perdagangan hanya mengenal sanksi administratif, namun semuanya itu bisa diatasi jika peraturan pelaksana kedua undangundang tersebut bersifat melengkapi. Dalam penyusunan peraturan pemerintah melalui sistem elektronika tidak salah dan tidak akan menjadi beban terlalu berat jika perumus RPP tersebut memperhatikan UU ITE dan mempelajari “model law on E-Commerce” yang sudah dirumuskan dan diformulasikan oleh banyak ahli hukum dari berbagai negara. Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
7
Selayang Pandang Kebijakan
Minuman Beralkohol Di Indonesia
‘’Perubahan ketentuan pengaturan Minuman Beralkohol dari Keputusan Presiden No 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol menjadi Peraturan Presiden No 74 Tahun 2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol”
Oleh : Doni Adria Novri
M
inuman Beralkohol merupakan Minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol yang diproses dari bahan pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau melalui fermentasi tanpa destilasi. Secara umum Minuman beralkohol dan konsumsinya bukan merupakan bagian dari tradisi maupun kebiasaan dari sebagian besar masyarakat indonesia, berdasarkan ajaran agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, meminum minuman yang memabukan memiliki hukum yang haram sehingga bagi umat islam dilarang minuman beralkohol. Dari pertimbangan kesehetan minuman beralkohol berpontensi merugikan kesehatan seperti gangguan mental organik, kerusakan saraf dan daya ingat, odema otak, sirosis hati, gangguan jantung, gastrinitas dan paranoid. Dari sudut pandang sosial banyak orang yang mabuk dikarenakan meminum minuman beralkohol kehilangan kontrol atas dirinya sehingga berpontensi mengganggu ketertiban keamanan dan terkadang menjurus kepada tindakan pidana. Akan tetapi di sebagian daerah tertentu di Indonesia terdapat masyarakat dengan beberbagai macam budaya dan adat istiadat yang memandang meminum minuman beralkohol merupakan bagian dari adat istiadat. Minuman beralkohol dalam adat istiadat digunakan sebagai bagian dari upacara dan ritual dalam adat budaya, kebiasaan turun temurun atau bahkan menjadi minuman utama untuk menjaga kesehatan. Dalam sektor pariwisata
8
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
Minuman beralkohol merupakan salah satu komoditi mendukung sektor pariwisara terutama untuk wisatawan mancanegara. Perbedaan sikap dan cara pandang masyarakat Indonesia terhadap minuman beralkohol membuat kedudukan komoditi ini menjadi memperoleh perlakuan yang sedikit berbeda dibandingkan komoditi lain, oleh sebab itu Pemerintah kemudian mengambil sikap untuk mengatur komoditi ini secara langsung. Penulis sebagai seorang yuris dan drafter peraturan perundang-undangan yang terlibat secara langsung pada pengaturan Komoditi minuman beralkohol dari tahun 2013 sampai dengan saat ini merasa perlu membuat suatu tulisan yang dapat memberikan informasi terkait dengan Kebijakan Perdagangan Minuman Beralkohol. Minuman Beralkohol pertama kali diatur secara khusus hampir 18 tahun yang lalu yakni dalam Keputusan Presiden No 3 Tahun 1997 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol,
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
25
dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang didasarkan kepada Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1995 tentang izin usaha industri. Pengaturan berkenaan dengan produksi ini adalah salah satu bentuk upaya pemerintah dalam rangka melakukan pengendalian terhadap minuman beralkohol, dengan kewajiban adanya izin usaha industri yang diterbitkan oleh menteri perindustrian dan perdagangan maka pembuatan minuman beralkohol di Indonesia menjadi tidak bebas sehingga akan memudahkan melakukan pengawasan terhadap produsen produsen yang memproduksi minuman beralkohol ini.
bea masuk yang diberikan oleh suatu negara atau sekelompok negara berdasarkan ketentuan dalam perjanjian internasional yang telah disepakati atau berdasarkan penetapan sepihak dari suatu negara atau sekelompok negara tujuan ekspor. Sedangkan ROO Non Preferensi hanya digunakan untuk memenuhi permintaan dari suatu negara, importir dan/atau eksportir terhadap barang ekspor Indonesia dengan tidak memperoleh fasilitas pengurangan atau pembebasan tarif bea masuk.
9. Instansi Penerbit SKA yang selanjutnya disebut IPSKA adalah instansi/badan/ lembaga yang ditetapkan oleh Menteri dan diberi kewenangan untuk menerbitkan SKA. Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules of Origin of Indonesia) yang diatur dalam Pasal 2 (dua) Peraturan Menteri ini meliputi Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules of Origin of Indonesia) Preferensi dan Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules of Origin of Indonesia) Non Preferensi.
ROO PREFERENSI Dalam Pasal 3 (tiga) ayat 1 (satu) ROO Preferensi hanya digunakan untuk memperoleh fasilitas pengurangan atau pembebasan tarif
24
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
Berdasarkan Permendag Nomor 77/M-DAG/PER/10/2014 sebagaimana diterangkan dalam Pasal 4 ayat 2 (dua) dan Pasal 7 (tujuh), ROO Preferensi didasarkan pada Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules of Origin of Indonesia) yang diatur dalam perjanjian internasional yang telah disepakati dan Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules of Origin of Indonesia) Preferensi yang ditetapkan oleh negara pemberi preferensi.
ROO NON PREFERENSI Berdasarkan Permendag No. 77/M-DAG/PER/10/2014 sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 (tiga) ayat 2 (dua) menerangkan bahwa ROO Non Preferensi hanya digunakan untuk memenuhi permintaan dari suatu negara, importir dan/atau eksportir terhadap barang ekspor Indonesia dengan tidak memperoleh fasilitas pengurangan atau pembebasan tarif bea masuk. Jadi secara garis besar bahwa ROO Non Preferensi itu didasarkan pada perjanjian internasional dan permintaan di negara tujuan ekspor sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 (tujuh) Permendag Nomor 77/M-DAG/PER/10/2014.
Keputusan ini dilatar belakangi pertimbangan bahwa dalam upaya menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban kehidupan masyarakat produksi, penjualan penyajian minuman beralkohol harus diawasi dan dikendalikan. Peraturan ini memiliki 10 pasal yang terdiri atas 6 bab yakni ketentuan umum, Produksi, Golongan dan Standar Mutu, Pengedaran dan Penjualan, Pajak, Bea Masuk dan Cukai Serta Ketentuan Penutup. Keputusan Presiden No 3 Tahun 1997 mendefinisikan Minuman Beralkohol sebagai “Minuman yang mengandung ethanol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi , baik dengan cara memberikan perlakukan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak maupun yang diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan ethanol atau dengan cara pengenceran minuman mengandung ethanol” . Definisi yang diberikan Keputusan Presiden No 3 Tahun 1997 ini memiliki cakupan yang cukup luas dimana dapat dinterprestasikan menjadi dua pengertian pertama bahwa minuman beralkohol diproduksi melalui hasil proses bahan pertanian melalui fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi dengan memberikan perlakuan tertentu terlebih dahulu maupun tidak, memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak atau menambahkan bahan lain atau tidak yang diproses dengan cara mencampur konsetrat dengan ethanol. Serta pengertian yang kedua adalah pengenceran minuman mengandung ethanol yang dapat dinterprestasikan bahwa yang kedua ini adalah proses pencampuran (mixing) minuman atau bahan pangan dengan minuman yang mengandung alkohol seperti pembuatan cocktail, mojito atau percampuran lainnya yang umum di Bar dan cafe. Dalam pengaturan terkait dengan produksi Keputusan Presiden No 3 Tahun 1997 menetapkan bahwa produksi atau pembuatan Minuman beralkohol hanya dapat dilakukan apabila terdapat adanya izin
Selain melakukan pembatasan dari segi produksi dengan perlunya izin industri bagi produsen Minuman Beralkohol Pemerintah dalam upaya mempermudah pengawasan membagi Minuman Beralkohol menjadi beberapa golongan dan harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Kesehatan. Minuman Beralkohol berdasarkan pada Keputusan Presiden No 3 Tahun 1997 dibagi berdasarkan 3 golongan yakni: • Minuman Beralkohol golongan A yakni Minuman Beralkohol dengan kadar ethanol mulai dari 1% (satu persen) sampai dengan 5 % (lima persen); •
Minuman Beralkohol golongan B yakni Minuman Beralkohol dengan kadar ethanol mulai dari 5% (lima persen) sampai dengan 20% (dua puluh persen)
•
Minuman Beralkohol golongan C yakni Minuman Beralkohol dengan kadar ethanol mulai dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 55% (lima puluh lima persen). Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
9
Minuman Beralkohol berdasarkan kepada Keputusan Presiden No 3 Tahun 1997 dilarang diperjual belikan selain di Hotel, Bar, Restoran dan ditempat tertentu lainnya yang ditetapkan bupati/walikotamadya, kepala daerah tingkat II dan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota DKI Jakarta,sekalipun kepala daerah berdasarkan peraturan ini diberikan kewenangan untuk menentukan tempat tertentu yang dapat menjual Minuman Beralkohol tempat tertentu yang ditetapkan tersebut tidak boleh berdekatan dengan tempat peribadatan suatu agama, sekolah, rumah sakit. Dalam Keputusan Presiden ini Minuman Beralkohol Golongan A dan Golongan B ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan yang mana Produksi, Distribusi dan Penjualannya memiliki perlakukan khusus. Pada tahun 2012 keputusan ini diajukan uji materiil terhadap Undang-Undang no 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang No 7 Tahun 1996 Tentang Pangan kepada Mahkamah Agung oleh Front Pembela Islam. Pada bulan september 2013 Mahkamah Agung memutuskan mengabulkan permohonan uji materiil Front Pembela Islam terhadap Keputusan Presiden 10
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
No 3 Tahun 1997 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, sehingga Keputusan Presiden ini dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga presiden harus mencabut Keputusan Presiden ini. Adapun pertimbangan Keputusan Mahkamah Agung adalah sebagian dari peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar penerbitan objek permohonan Hak Uji Materiil telah diubah dan dinyatakan tidak berlaku atau dicabut dengan peraturan perundangundangan yang baru sehingga karena peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai dasar penerbitan Keputusan Presiden No 3 Tahun 1997 telah diubah dan dinyatakan dicabut dengan peraturan perundang undangan yang baru, maka Keputusan Presiden No 3 Tahun 1997 kehilangan dasar hukum kekuatan berlakunya. Dicabutnya Keputusan Presiden No 3 Tahun 1997 menyebabkan hilangnya dasar hukum pengaturan bagi kebijakan perdagangan minuman beralkohol yakni Peraturan Menteri Perdagangan No 43 Tahun 2009 Jo Peraturan Menteri Perdagangan No. 54 Tahun 2012 tentang Pengadaan, Peredaran, Penjualan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Hilangnya dasar hukum bagi Permendag ini menyebabkan adanya kekosongan hukum terhadap komoditi Minuman Beralkohol, menanggapi hal ini Kementerian Perdagangan pada saat itu mengambil insiatif untuk merumuskan peraturan pengganti dari Keputusan Presiden No 3 Tahun 1997, perumusan peraturan pengganti dianggap perlu untuk mengatur kembali pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran dan penjualan minuman beralkohol sehingga dapat memberikan perlindungan serta menjaga kesegaran, ketertiban dan ketentraman masyarakat dari dampak buruk terhadap penyalah gunaan Minuman Beralkohol.
SUBSTANSI DAN PENGATURAN Sebelum kita beranjak pada pembahasan substansi Permendag Nomor 77/M-DAG/PER/10/2014 tentang Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules Of Origin Of Indonesia), ada baiknya mengetahui istilah yang nantinya sering menjadi substansi pembahasan didalamnya. Semua definisi tersebut berada dalam Pasal 1 (satu), yaitu: 1. Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules of Origin of Indonesia) adalah peraturan perundang-undangan dan ketentuan administratif yang bersifat umum yang diterapkan untuk menentukan asal barang Indonesia. 2. Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules of Origin of Indonesia) Preferensi adalah ketentuan mengenai asal barang Indonesia yang digunakan untuk memperoleh fasilitas pengurangan atau pembebasan tarif bea masuk di negara tujuan ekspor. 3. Ketentuan Asal Barang (Rules of Origin) Non Preferensi adalah ketentuan mengenai asal barang Indonesia dengan tidak memperoleh fasilitas pengurangan atau pembebasan tarif bea masuk di negara tujuan ekspor. 4. Eksportir adalah orang perseorangan atau lembaga atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang melakukan ekspor.
5. Barang adalah barang mentah, barang setengah jadi, atau barang jadi. 6. Barang asal Indonesia (Indonesia originating goods) adalah Barang yang berasal dari Indonesia yang telah memenuhi Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules of Origin of Indonesia). 7. Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) yang selanjutnya disingkat SKA adalah dokumen yang membuktikan bahwa barang ekspor Indonesia telah memenuhi Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules of Origin of Indonesia). 8. Sistem elektronik SKA yang selanjutnya disebut e-SKA adalah sistem pengajuan dan penerbitan SKA secara elektronik.
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
23
GARIS BESAR PENGATURAN PERATURAN
MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 77/M-DAG/PER/10/2014 TENTANG KETENTUAN ASAL BARANG INDONESIA (RULES OF ORIGIN OF INDONESIA) Oleh : Lina Rachmatia
Pada saat itu Kementerian Perdagangan bersama dengan Kementerian Perindustrian, Kementerian Pariwisata, BPOM, Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian melakukan pembahasan secara intens, pembahasan tersebut juga melibatkan pemangku kepentingan dalam rangka menyerap aspirasi dari pemangku kepentingan mengenai hal-hal apa yang diatur dalam peraturan pengganti Keppres no 3 tahun 1997. Setelah dilakukan pembahasan dan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangna yang ada, pada tanggal 6 Desember 2014 Presiden Republik Indonesia menetapkan peraturan pengganti Keputusan Presiden No 3 Tahun 1997 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol yakni Peraturan Presiden No 74 Tahun 2013 Tentang Pengendalian dan Pengawasan MInuman Beralkohol.
fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi”, tidak hanya menyempurnakan definisi dari Minuman Beralkohol Peraturan Presiden No 74 Tahun 2014 dalam upaya menyempurnakan pengaturan terhadap minuman beralkohol juga memberikan definisi terhadap apa yang dimaksud dengan Minuman Beralkohol tradisional, yakni “Minuman Beralkohol yang dibuat secara tradisional dan turun temurun yang dikemas secara sederhana dan pembuatannya dilakukan sewaktu waktu, serta dipergunakan untuk kebutuhan adat istiadat atau upacara keagamaan. ”
Pada saat Peraturan Pengganti Keputusan Presiden No 3 Tahun 1997 dirancangan definisi Minuman Beralkohol
Golongan Minuman Beralkohol pada Peraturan Presiden No 74 Tahun 2013 mengalami sedikit perubahan dibandingkan dari Keppres No 3 Tahun 1997 dimana golongan A dimulai dari 0% (nol persen) sampai dengan 5 % (lima persen) sedangkan golongan B dan C tetap seperti pengaturan pada keppres 3 Tahun 1997 yakni 5% (lima persen) sampai dengan 20% (dua puluh persen),
yang diberikan oleh Keputusan Presiden tersebut dirasakan sudah tidak sesuai lagi sehingga pada Peraturan Presiden No 74 Tahun 2013 definisi minuman beralkohol dilakukan penyempurnaan menjadi ‘’Minuman Beralkohol adalah Minuman yang mengandung Etil Alkohol atau Ethanol (C2H5OH) yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara
golongan C mulai dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 55% (lima puluh lima persen). Berbeda dengan Keputusan Presiden No 3 tahun 1997 yang hanya menetapkan golongan B dan golongan C sebagai barang dalam pengawasan, Peraturan Presiden No 74 Tahun 2013 mengatur minuman beralkohol golongan A, golongan B dan golongan C menjadi barang dalam pengawasan
LATAR BELAKANG PENERBITANNYA
S
eperti telah diketahui sebelumnya bahwa dalam pelaksanaan ekspor diperlukan Surat Keterangan Asal. Surat Keterangan Asal atau sering disebut SKA adalah dokumen pendukung ekspor untuk membuktikan barang ekspor Indonesia telah memenuhi Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules of Origin of Indonesia). Pengaturan ketentuan asal barang Indonesia hingga tahun 2014 belum ada payung hukumnya. Pengaturan yang menjadi dasar pengaturan mengenai ketentuan asal barang Indonesia (Rules of Origin) selama ini hanya berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564). Oleh karena itu sebagai langkah langkah harmonisasi pengaturan hukum di Indonesia pemerintah Indonesia merasa perlu untuk dapat menerbitkan Peraturan yang mengatur tentang ketentuan asal barang ekspor Indonesia. Hal itu sesuai dengan amanat dari
22
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
peraturan per Undang-Undangan sebagaimana berikut: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564); 3. Keputusan Presiden Nomor 58 Tahun 1971 tentang Penetapan Pejabat yang Berwenang Mengeluarkan Surat Keterangan Asal; 4. Peraturan Menteri Pedagangan Nomor 13/M-DAG/ PER/3/2012 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor.
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
11
dimana pengawasannya meliputi pengadaaan minuman asal impor dan produksi dalam negeri serta peredaran dan penjualannya.
yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang bagi Minuman Beralkohol asal Impor dan produksi dalam negeri hal ini dimaksudkan untuk melakukan pembatasan terhadap Minuman Beralkohol dan dalam upaya melakukan perlindungan terhadap konsumen di Indonesia, selain hal tersebut terdapat juga ketentuan kewajiban untuk mencantumkan label sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pangan. Pencantuman label ini juga memiliki maksud sebagai upaya melakukan pembatasan dan pengendalian terhadap Minuman Beralkohol yang beredar sehingga tidak merugikan konsumen yang kelak akan meminum Minuman tersebut. Penjualan Minuman Beralkohol golongan A, Golongan B dan Golongan C pada Peraturan Presiden ini dapat dilakukan di: • Hotel, bar dan restoran yang yang memenuhi persayaratan dan izin dari instansi yang berwenang di bidang kepariwisataan.
Tidak jauh berbeda dengan Keputusan Presiden No 3 Tahun 1997, Peraturan Presiden No 74 Tahun 2014 mengatur bahwa Produksi Minuman Beralkohol hanya dapat diproduksi oleh produsen yang telah memiliki izin usaha industri dari instansi yang terkait dan Minuman beralkohol hanya dapat diedarkan setelah memperoleh izin edar dari instansi yang berwenang serta impor Minuman Beralkohol dan perdagangannya hanya dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki izin dari Kementerian Perdagangan. Salah satu substansi baru yang diatur didalam Peraturan Presiden No 74 Tahun 2014 adalah adanya ketentuan mengenai standar mutu produksi dan standar keamanan pangan
12
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
•
Toko Bebas Bea, dan
•
Tempat tertentu yang ditetapkan bupati/walikota dan gubernur untuk Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang tidak berdekatan dengan tempat peribadatan, lembaga pendidikan dan rumah sakit.
Mengingat kondisi Indonesia yang berbeda pada saat pemberlakuan Keputusan Presiden No 3 Tahun 1997 masih terpusat, dengan saat Pemberlakuan Peraturan Presiden No 74 Tahun 2013 yang telah menganut otonomi daerah, Peraturan Presiden No 74 Tahun 2014 berdasarkan pertimbangan perbedaan karakterikstik daerah memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk melakukan pembatasan terhadap tempat-tempat penjualan minuman beralkohol dan Pemerintah daerah dapat melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap produksi, peredaran dan penjualan Minuman Beralkohol tradisional untuk kebutuhan adat istiadat dan upacara keagamaan. Dengan adanya Peraturan Presiden No 74 Tahun 2014 yang mulai berlaku pada tanggal 6 Desember tahun 2013, pengaturan keberadaan Minuman Beralkohol sebagai komoditi yang diawasi menjadi jelas dan memiliki dasar hukum. Dengan adanya dasar hukum yang jelas sebagai barang dalam pengawasan maka instansi yang terkait dengan komoditi ini dapat mengatur lebih lanjut mengenai produksi, pengadaan asal impor, peredaran dan penjualan dari komoditi ini agar kemudian tidak ada kerugian yang ditimbulkan kepada masyarakat Indonesia
If it’s too good to be true, then it probably is Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
21
No
Good Multi Level marketing
1
Sudah dimasyarakatkan dan diterima hampir di seluruh Ilegal dan dilarang menurut Undang-Undang (Pasal 9 dunia Undang-Undang Perdagangan)
2
Perusahaan memegang ijin usaha penjualan langsung – Perusahaan tidak memiliki SIUPL atau ijin usaha lain Surat ijin Usaha Perdagangan Langsung (SIUPL) dll yang diperlukan
3
Semua Mitra usaha memiliki peluang yang sama untuk Hanya menguntungkan bagi orang-orang yang pertama berpenghasilan tinggi atau lebih dulu bergabung sebagai anggota, atas kerugian yang mendaftar belakang
4
Anggota memperoleh keuntungan berdasarkan volume Keuntungan anggota ditentukan dari seberapa banyak penjualan produk ybs merekrut orang lain yang menyetor sejumlah uang sampai terbentuk satu format Piramida
5
Seorang anggota hanya mendapatkan satu keanggotaan Setiap orang boleh menjadi anggota berkali-kali (membeli dan tidak boleh lebih beberapa KAVLING)
6
Biaya pendaftaran wajar sesuai dengan nilai starter kit Biaya pendaftaran anggota sangat tinggi, sehingga yang diperoleh mendorong anggota untuk merekrut anggota baru agar mendapat keuntungan
7
Setiap Mitra Usaha dilarang menumpuk barang (Inventory Setiap anggota untuk mencapai target penjualan Loading) barang harus disalurkan/ dijual kepada dianjurkan menjadi anggota baru berkali-kali dan menimbun produk sebanyak-banyaknya tanpa perlu konsumen akhir disalurkan/ dijual ke konsumen akhir
8
Perusahaan menjalankan Program pembinaan mitra Tidak ada program pembinaan karena yang diperlukan usaha hanya rekruting saja
9
Program pemasaran (Marketing Plan) sederhana dan Program pemasaran membingungkan, anggota biasanya transparan dari perusahaan sampai dengan kepada selalu diyakinkan atas kelegalan bisnisnya dengan tujuan saling memperdaya anggota lain untuk menutupi tujuan konsumen akhir. skema piramida
10
Produk yang dijual berkualitas dan dipasarkan dengan asal-usul dan informasi yang benar, jelas, dan jujur, dengan kegunaan/khasiat yang masuk akal dan biasanya memiliki sertifikasi dari badan resmi (Label Kemendag, BPOM, dll)
11
Perusahaan memberi kompensasi berupa ganti rugi Perusahaan tidak memberi kompensasi/ jaminan atas dan/atau penggantian hingga pembelian kembali atas peredaran produknya menyebabkan barang yang tidak produknya apabila produk tidak berhasil terjual atau terjual ke konsumen banyak ditimbun oleh anggota kegunaanya tidak sesuai dengan yang diinformasikan
Melindungi Investasi bisnis dari Skema Piramida Dalam rangka menertibkan lalu lintas perdagangan langsung Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan telah melakukan upaya sosialisasi dan pengawasan terhadap praktek direct selling ilegal salah satunya adalah dengan menjalin kerjasama dengan asosiasi pelaku usaha seperti APLI (Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia). Selain memberikan bimbingan kepada anggota asosiasi dan konsumen terkait proses bisnis penjualan langsung yang baik APLI juga diberikan tugas untuk memberikan masukan kepada Pemerintah terkait marketing plan mencurigakan yang dilakukan oleh Perusahaan Penjualan Langsung yang beroperasi di Indonesia. Umumnya promotor skema piramida adalah ahli psikologi kelompok. Pada acara perekrutan anggota baru, mereka menciptakan suasana hingar-bingar dan antusias dimana terjadi tekanan kelompok serta janji-janji kemudahan memperoleh uang, sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi seseorang akan hilangnya suatu peluang bisnis yang
20
Ilegal MLM - Pyramid Scheme
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
PERDAGANGAN PAKAIAN BEKAS DARI LUAR NEGERI:
SEBUAH TINJAUAN YURIDIS Oleh : Didit Akhdiat Suryo
Produk dipromosikan secara berlebihan dengan kegunaan/ khasiat diluar nalar logika umum, produk masih diragukan kegunaan/kualitasnya dan biasanya tanpa disertai sertifikasi dari badan resmi (menggunakan sertifikasi palsu)
menguntungkan dengan usaha yang kecil. Pertimbanganpertimbangan serta pertanyaan calon anggota diabaikan. Sulit sekali bertahan untuk tidak tergoda kecuali peserta benar-benar yakin bahwa konsep ini menjebak mereka. Masyarakat sebagai calon konsumen dan calon distributor harus meningkatkan kewaspadaan dan teliti sebelum membeli produk dan bergabung ke perusahaan penjualan langsung untuk menghindari terjebak dalam perusahaan MLM ilegal. Selain itu, masyarakat harus berhati-hati dan meningkatkan rasa curiga terhadap model investasi yang dapat mendatangkan untung yang besar dalam jangka waktu yang singkat agar tidak terjebak didalam bisnis money game. Dalam situsnya APLI menerangkan beberapa poin untuk mengidentifikasi perusahaan penjualan langsung yang berindikasi menjalankan praktek piramida, oleh karena itu sebelum anda memutuskan untuk berinventasi dalam suatu bisnis multi level luangkanlah sedikit waktu untuk mengidentifikasi model bisnis penjualan langsung seperti yang diterangkan dalam gambar sebagai berikut.
ABSTRAKSI
PENDAHULUAN
Artikel ini menganalisis ketentuan hukum di Indonesia terkait degan perdagangan pakaian bekas yang berasal dari luar negeri yang berasal dari penyelundupan (impor) sampai dengan penjualan ke konsumen di Indonesia. Pertama, kajian akan dilakukan terhadap ketentuan yuridis importasi pakaian bekas dengan menggunakan dasar hukum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan) dan Peraturan Menteri yang mengatur di bidang perdagangan. Kedua, pembahasan dilakukan terkait dengan importasi pakaian bekas dari sudut pandang hukum kepabeanan dengan menggunakan UndangUndang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Ketiga, analisis hukum dilakukan terkait dengan ketentuan pidana dalam perdagangan pakaian bekas dilakukan di dalam negeri dengan menggunakan dasar hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Keempat dan terakhir, fenomena pakaian bekas ini akan dikaji dari perspektif hukum perlindungan konsumen.
Sampai saat ini, perdagangan pakaian bekas yang berasal dari luar negeri nampaknya menjadi sebuah kegiatan bisnis menguntungkan dan menggiurkan berbagai pihak. Hal tersebut didasarkan pada besarnya keuntungan yang didapat oleh penjual,1 sedangkan bagi konsumen khususnya yang berpendapatan menengah kebawah, harga yang relatif murah dan model yang beragam menjadi alasan yang masuk akal.2 Kegiatan bisnis tersebut nampaknya tidak lepas dari perhatian Kementerian Perdagangan yang dalam salah satu Siaran Pers tanggal 4 Februari 2015 menyatakan bahwa pakaian bekas yang beredar di pasar yang ditengarai berasal dari luar negeri mengandung berbagai bakteri dan jamur yang berbahaya bagi kesehatan.3 Selain hal itu, menurut 1 ‘Menangguk Untung dari Baju Bekas Impor’, Kompas (online), (21 April 2015)
. 2 Feby Dwi Sutianto, ‘Klaim Pedagang Pakaian Bekas Impor: Pembeli dari Kalangan Atas Hingga Artis’, Detik.com (online), (21 April 2015) . 3 Kementerian Perdagangan, ‘Siaran pers: Pakaian Bekas Mengandung Ribuan Bakteri, Kemendag Intensifkan Publikasi Kepada Konsumen’, (4 Februari 2015) .
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
13
Selanjutnya ayat (2) dan (4) mengecualikan ketentuan pada ayat (1) dengan menyebutkan bahwa Kementerian Perdagangan di beri kewenangan untuk menentukan barang yang dapat diimpor dalam keadaan tidak baru melalui penerbitan Peraturan Menteri. Selain hal tersebut, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 54 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor, juga telah mengatur ketentuan yang serupa dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), (2) dan (4). Dengan kata lain, pakaian bekas bukan merupakan salah satu barang bekas yang dapat di impor karena tidak ada Peraturan Menteri Perdagangan yang mengecualikan pakaian bekas sebagai barang yang boleh di Impor.
Menteri Perdagangan bahwa “Industri garmen dalam negeri pasti akan kena imbas dari masuknya pakaian bekas secara ilegal ini. Bisa dibayangkan kalau industri garmen dalam negeri sampai tutup gara-gara beredarnya pakaian bekas dengan harga murah ini, berapa tenaga kerja yang akan dirugikan,”.4 Uraian tersebut menggambarkan bahwa perdagangan pakaian bekas menjadi pro dan kontra di masyarakat. Di satu sisi memberikan keuntungan bagi beberapa pihak khususnya pedagang dan/atau sebagian konsumennya, namun di sisi lain bisnis tersebut juga menimbulkan efek negatif jika dilihat dari sisi kepentingan produsen pakaian dalam negeri ataupun kemungkinan bagi kesehatan konsumen. Nampaknya pemerintah mengambil posisi cenderung untuk mendorong dan mengefektifkan pelarangan penjualan pakaian bekas yang berasal dari luar negeri (penyelundupan).5 Sehubungan dengan hal tersebut, menarik untuk di kaji apakah transaksi perdagangan yang dilakukan dalam hal ini apakah impor sampai dengan penjulan kepada konsumen bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
MENURUT UU KEPABEANAN
Impor pakaian bekas dilarang oleh peraturan perundangundangan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, ayat (1) yang menyatakan bahwa pada prinsipnya barang wajib di Impor dalam keadaan baru.
Terkait dengan pakaian bekas yang berasal dari luar negeri, sebagaimana dijelaskan di atas secara hukum sudah tidak dimungkinkan melalui mekanisme impor. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa pakaian bekas berasal dari luar negeri merupakan hasil dari penyelundupan dari pelabuhan tidak resmi yang kurang mendapatkan pengawasan dari pihak Bea dan Cukai.6 Menurut catatan dari Dirjen Bea dan Cukai kasus penyelundupan pakaian bekas dari luar negeri mengalami peningkatan 100% dari 11 kasus pada tahun 2013 menjadi 22 kasus pada tahun 2014.7 Adapun dari kasus tersebut, Kepulauan Riau menjadi tempat yang paling sering terjadi kasus yaitu 6 kali pada tahun 2013 dan 12 kasus pada tahun 2014, sedangkan sisanya sebagian besar terjadi di pesisir pantai Sumatera khususnya bagian Timur.8 Terhadap penyelundupan pakaian bekas tersebut dapat dikenakan
4 Hendri Kremer, ‘Kemendag Dukung Pemberantasan Penyelundup’, Media Indonesia (online), 10 April 2015 5 Dewi Rachmat Kusuma,’Mulai 2016, Perdagangan Pakaian Bekas Impor Dilarang’, Detik.com (10 April 2015) .
6 Dedy Maryanto, ‘Jalur Masuk dan Penyebaran Baju Bekas Impor’, varia. id (online), 10 April 2015 . 7 Wiji Nurhayat, ‘Kasus Penyelundupan Pakaian Bekas Impor Melonjak 100%’, 10 April 2015, detik.com (online) . 8 Ibid.
IMPOR PAKAIAN PERDAGANGAN
14
Terhadap importir yang melakukan pelanggaran melakukan impor barang bekas baik sebelum atau sesudah diberlakukan UU Perdagangan dapat dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan izin yang terkait dibidang impor, hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan dalam Pasal 12 Permendag Nomor 54 Tahun 2009. Adapun untuk importir yang melakukan impor pakaian bekas yang dilakukan setelah UU Perdagangan berlaku dapat dijerat dengan perbuatan pidana sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 111 UU Perdagangan dengan dipidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak lima miliar rupiah. Berdasarkan hal tersebut, Kemudian timbul pertanyaan dari mana pakaian bekas tersebut berasal? Jika dilihat dari tempat memperolehnya, secara garis besar ada dua cara pakaian bekas tersebut berasal, yaitu luar negeri dan domestic. Namun demikian, dalam artikel ini akan dibahas pakaian bekas yang berasal dari luar negeri khususnya terkait dengan penyelundupan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Kepabeanan karena tidak ada aturan yang melarang perdagangan untuk pakaian bekas yang berasal dari dalam negeri.
BEKAS
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
MENURUT
UU
jika disertai dengan kerja keras, bisa menjadi sumber penghasilan yang cukup signifikan.
3. Tingkat pertumbuhan usaha yang tinggi Perusahaan MLM yang ideal memiliki manajemen mitra usaha dan sistem pemasaran yang baik, serta dapat berkembang dengan tingkat pertumbuhan 20%, 50%, bahkan lebih dari 100% setiap bulan. Namun demikian di Indonesia saat ini telah berkembang MLM ilegal menggunakan skema Piramida. Skema piramida ini secara sepintas mirip Multi Level Marketing dan cukup banyak orang telah melibatkan diri sebagai anggota, lebih tepat disebut bahwa sistem ini berkedok Multi Level Marketing. Pengertian dari MLM ilegal tersebut tidak disebutkan secara langsung di dalam Permendag RI No. 32 Tahun 2008, akan tetapi dengan menggunakan istilah pemasaran jaringan terlarang kita dapat mengetahuinya. Pemasaran jaringan terlarang menurut Pasal 1 angka 12 Permendag RI No. 32 Tahun 2008 adalah kegiatan usaha dengan nama atau istilah apa pun dimana keikutsertaan mitra usaha berdasarkan pertimbangan adanya peluang untuk memperoleh imbalan yang berasal atau didapatkan terutama dari hasil partisipasi orang lain yang bergabung kemudian atau sesudah bergabungnya mitra usaha tersebut, dan bukan dari hasil kegiatan penjualan barang dan/atau jasa. Dalam direct selling tradisional, distributor/ mitra usaha membeli barang dari supplier dengan harga grosir, kemudian selisih dari penjualan barang harga retail dengan harga grosir menjadi keuntungan bagi distributor. Namun dalam kasus sistem piramida, produk perusahaan (yang benar-benar dijual ke publik) hanya terjual dalam jumlah yang kecil atau bahkan sebenarnya tidak ada produk yang terjual sama sekali. Dalam kasus ini penjualan produk hanya digunakan sebagai kamuflase untuk menjalankan sistem piramida. Keuntungan besar yang dijanjikan kepada mitra usaha tidak berasal dari penjualan langsung produk namun dari komisi yang didapat dari perekrutan dan penjualan yang dilakukan oleh anggota baru, adanya produk yang dijual hanya digunakan untuk menutupi skema perputaran uang “money game”. Dalam prakteknya 40%-50% dari uang pendaftaran atau pembelian produk oleh anggota baru secara sistematis menjadi komisi bagi anggota yang mendaftar terlebih dahulu sehingga menyebabkan anggota yang berada di level teratas “top upline” menerima keuntungan yang besar dari hasil komisi
setiap pembelian/ pendaftaran anggota-anggota baru dibawahnya meskipun dia tidak melakukan penjualan produk sama sekali. Dalam MLM ilegal produk dijadikan sebagai kedok untuk menutupi niat tidak baik perusahaan dalam menghimpun dan mengolah dana masyarakat secara ilegal, padahal perusahaan yang oleh Undang-Undang diperbolehkan menghimpun dan mengelola dana-dana masyarakat hanyalah yang bergerak dibidang perbankan, pasar modal, dan asuransi. Skema piramida adalah kegiatan perdagangan yang ilegal sebagaimana dilarang dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan yang menyebutkan: “Pelaku Usaha Distribusi dilarang menerapkan sistem skema piramida dalam mendistribusikan Barang.” Skema piramida sangat merugikan, sebagian besar orang yang terjebak dalam praktek ini mengalami kerugian uang dalam jumlah yang besar bahkan tidak sedikit korban mengalami krisis keungan.
Bagaimana mengidentifikasi skema piramida? Sistem pemasaran MLM memiliki perbedaan yang jelas dengan skema piramida. Apabila besarnya profit yang diterima oleh mitra usaha berasal dari penjualan produk yang dia jual ke publik maka perusahaan tersebut menerapkan sistem MLM yang legal. Namun apabila besarnya profit yang diterima tergantung dari banyaknya member yang berhasil dia rekrut dan produk yang dijual ke member baru tersebut, maka kemungkinan besar perusahaan tersebut menggunakan skema piramida. Secara umum perbedaan sistem MLM yang baik dengan skema piramida berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah sebagai berikut:
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
19
PENIPUAN SKEMA PIRAMIDA
DALAM SISTEM BISNIS PENJUALAN LANGSUNG Oleh : Adhi Santoso Handaru Mukti
P
embangunan dan perkembangan perekonomian pada umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi, baik produk luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan kebutuhan barang dan/ atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Salah satu cara yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam memenuhi kebutuhan konsumen dan sekaligus mengembangkan sistem pemasaran perusahaan adalah dengan menggunakan sistem penjualan langsung/ direct selling. Pengertian Sistem penjualan langsung/direct selling menurut Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor : 32/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan dengan Sistem Penjualan Langsung Pasal 1 ayat 1 adalah metode penjualan barang dan/atau jasa tertentu melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh mitra usaha yang bekerja atas dasar komisi dan/ atau bonus berdasarkan hasil penjualan kepada konsumen di luar lokasi eceran tetap.
Perusahaan Direct selling dalam mengembangkan bisnis selalu melibatkan mitra usaha selaku distributor maupun anggota jaringan. Pengertian distributor atau mitra usaha menurut Permendag No.32/MDAG/PER/8/2008 berdasarkan Pasal 1 yaitu : Anggota mandiri jaringan pemasaran atau penjualan yang berbentuk badan usaha atau perseorangan dan bukan merupakan bagian dari struktur organisasi perusahaan yang memasarkan atau menjual barang dan/atau jasa kepada konsumen akhir secara langsung dengan mendapatkan imbalan berupa komisi dan/atau bonus atas penjualan. Mitra usaha dalam direct selling memegang peran yang penting karena selain berperan dalam pengembangan usaha dan promosi melalui mouth to mouth marketing, mitra usaha juga memiliki andil dalam pengembangan jaringan mitra usaha/ anggota dan sebagai konsumen akhir yang membeli dan menggunakan produk perusahaan untuk pribadi.
18
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penyelundupan pakaian bekas merupakan perbuatan melawan hukum atau dengan kata lain pakaian bekas hasil penyelundupan tersebut merupakan barang illegal. Kemudian timbul permasalahan hukum yaitu terkait dengan perdagangan barang illegal dalam hal ini terkait dengan pedagang yang membeli pakaian bekas dari penyelundup dan kemudian menjual pakaian bekas hasil penyelundupan tersebut kepada konsumen di Indonesia.
Berbeda dengan sistem penjualan biasa, sistem penjualan langsung memiliki beberapa kelebihan yang menyebabkan banyak perusahaan baru menggunakan sistem ini dalam mengembangkan bisnisnya:
1. Biaya overhead yang rendah Dalam dunia penjualan langsung, baik di Indonesia maupun di tingkat internasional, dikenal 3 sistem pemasaran, yaitu sistem konvensional atau Single Level Marketing, sistem Limited Level dan sistem Multi Level atau Multi Level Marketing (MLM). Definisi MLM/ Pemasaran Berjenjang secara hukum dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Perdagangan RI No.73/MPP/ Kep/3/2000 tentang Kegiatan Usaha Penjualan Berjenjang adalah suatu cara atau metode penjualan secara berjenjang kepada konsumen melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh perorangan atau badan usaha yang memperkenalkan barang dan/ atau jasa tertentu kepada sejumlah perorangan atau badan usaha lainnya secara berturut-turut yang bekerja berdasarkan komisi atau iuran keanggotaan yang wajar. Tidak seperti perusahaan retail, pemasaran dengan MLM tidak perlu mengalokasikan dana yang besar dalam advertising untuk menarik customer. Sebagai penggantinya, dana dialihkan untuk memberikan komisi bagi distributor untuk memasarkan produk ke customer tanpa melewati jalur distribusi yang rumit dan nyaris tidak mengandalkan promosi.
2. Tim sales dan marketing yang termotivasi. Berbeda dengan metode pemasaran retail, perusahaan MLM yang baik meletakkan etika bisnis sebagai panglima. Keyakinan bahwa jiwa perusahaan bukan pada ilmu pemasaran tetapi lebih kepada etika bisnis, nilai-nilai, dan motivasi yang menjadi motor penggerak bisnis dengan prinsip mouth to mouth marketing. Prinsip tersebut dapat menciptakan tim marketing yang solid dan lebih dekat dengan konsumen. Bagi jaringan mitra usaha MLM, MLM bisa memberikan kesempatan untuk mempunyai sumber penghasilan tambahan yang,
Tindak Pidana Penyelundupan disebutkan dalam Pasal 102 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, dimana telah diatur delik pidana atau tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penyelundupan. Adapun ancaman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Selain hal tersebut, Penyelundupan juga dapat dilakukan dengan melakukan pemalsuan dokumen barang sehingga seolah-olah telah terjadi pengiriman barang antar pulau.9 Atau dengan kata lain, pakaian bekas yang merupakan hasil penyelundupan dari luar negeri dikirimkan kembali ke pelabuhan-pelabuhan lainnya dengan dengan cara memalsukan dokumen. Sebagai contoh, kasus penyelundupan pakaian bekas sebayak 34 kontainer yang digagalkan oleh Dirjen Bea dan Cukai Jawa Timur dimana dokumen barang menyebutkan asal barang berasal dari Sulawesi menuju Meratus Prapat Kurung, Surabaya padahal pakaian bekas tersebut setelah diteliti berasal dari luar negeri .10 Terkait dengan permasalah tersebut, pihak yang memalsukan dokumen juga dapat dijerat menggunakan ketentuan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 dengan pidana penjara minimal dua tahun dan pidana penjara paling lama delapan tahun dan/atau pidana denda minimal seratus juta rupiah dan maksimal lima miliar rupiah. 9 Dedy Maryanto di atas no 6. 10 Nurul Arifin, ‘Bea Cukai Gagalkan Penyelundupan Baju Bekas Senilai Rp3 Milliar’, okezone.com (online), 10 April 2015 .
PERDAGANGAN PAKAIAN BEKAS MENURUT KUHP Pada dasarnya ketentuan tentang pembelian barang hasil kejahatan dalam hal ini pakaian bekas hasil penyelundupan dapat di kenakan tindak pidana penadahan sebagaimana diatur dalam Pasal 480 dan 481 KUHP. Ketentuan Pasal 480 KUHP menjatuhkan pidana penjara maksimal selama 4 tahun dan denda maksimal sembilan ratus rupiah dalam hal membeli atau dengan tujuan mencari untung menjual suatu barang yang ‘diketahui atau sepatutnya harus diduga’ bahwa barang tersebut merupakan hasil dari kejahatan. Berdasarkan rumusan delik tersebut, terdapat unsur penting yang harus dibuktikan yaitu barang tersebut diketahui atau sepatutnya harus diduga hasil dari kejahatan. Unsur tersebut bermakna bahwa pedagang tidak perlu tahu dengan pasti bahwa pakaian bekas berasal dari penggelapan tapi sudah cukup apabila pedagang tersebut mengira atau mencurigai bahwa pakaian bekas yang dibelinya dari penyelundup.11 Berikutnya, dalam hal penadahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 480 dilakukan oleh pedagang sebagai kebiasaan, maka dapat dijerat dengan pasal 481 dengan ancaman pidana penjara maksimal tujuh tahun.
MENURUT UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Dari persepektif perlindungan konsumen, bahwa tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang secara khusus melarang pedagang untuk menjual barang bekas baik yang berasal dari hasil kejahatan. Namun demikian, dalam rangka untuk melindungi konsumen, Pasal 8 ayat (2) UUPK mengatur larangan bagi pedagang untuk menjual barang rusak, cacat atau bekas dan tercemar tanpa 11 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (Politea, 1991) 314. Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
15
REFERENSI: Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
memberikan informasi yang jelas dan lengkap mengenai kondisi barang dimaksud. Rumusan delik Pasal 8 ayat (2) bersifat formal atau pemenuhan unsur-unsur delik sebagai sebuah perbuatan pidana telah terpenuhi ketika perbuatan pedagang tersebut bertentangan dengan larangan atau perintah tanpa memperhatikan pada akibat atau kerugian yang mungkin timbul.12 Dengan kata lain, pedagang dapat dijerat melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen Pasal 8 ayat (2) apabila tidak memberikan informasi kepada konsumen mengenai pakaian bekas (hasil penyelundupan dari luar negeri) dan kemungkinan tercemar dalam hal ini mengandung bakteri yang berbahaya bagi kesehatan. Untuk membuktikan pakaian bekas tersebut mengandung bakteri, dapat dibuktikan dengan penelitian di laboratorium. Dengan demikian, karena rumusan delik bersifat formil, kerugian konsumen atau penyakit yang diderita oleh konsumen akibat pakaian bekas tersebut tidak perlu di buktikan. Berdasarkan analisis tersebut di atas dapat di simpulkan bahwa terhadap importir, penyelundup dan pedagang pakaian bekas yang berasal dari penyelundupan dari luar negeri dapat dikenakan sanksi yang bersifat administratif maupun pidana sebagaimana diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan. Bagi importir yang mengimpor pakaian bekas dapat dikenakan sanksi administratif maupun pidana sebagaimana diatur dalam UU Perdagangan dan peraturan menteri. Selain hal tersebut bagi pihak yang melakukan penyelundupan pakaian bekas dapat dipidana berdasarkan undang UU Kepabeanan. Selanjutnya, bagi pedagang pakaian bekas dapat dipidana dengan menggunakan ketentuan dalam KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dengan demikian, apabila peraturan perundangundangan telah cukup mengatur ketentuan perdagangan pakaian bekas dari tahap impor sampai perdagangan 12 D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan PHJ. Sutorus diedit J.E. Sahetaphy, Hukum Pidana (Liberty,1995) 31.
16
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 54 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor. Soesilo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (Politea, 1991).
kepada konsumen, selanjutnya penting untuk dikaji secara mendalam tentang penegakan hukum peraturan dimaksud. Namun demikian, agar permasalahan penyelundupan dan perdagangan pakaian bekas dari luar negeri tidak semakin meluas berkembang di Indonesia dan menimbulkan dampak yang buruk bagi konsumen maupun produsen pakaian di dalam negeri, secara umum berpendapat bahwa penting kiranya instansi terkait meningkatkan koordinasi baik dalam pencegahan maupun penegakan hukumnya. Dalam hal pencegahan penyelundupan, pihak dari Bea dan Cukai dapat lebih meningkatkan pengawasan kesesuaian dokumen dan barang yang dikirim. Selain hal tersebut, pihak Bea dan Cukai bersama-sama dengan Kepolisian juga dapat bekerja sama dengan meningkatkan patroli ke pelabuhan yang dapat dijadikan jalur penyelundupan. Terkait dengan penegakan hukum di UU Perdagangan maupun UU Perlindungan Konsumen kepolisian juga dapat bekerja sama dengan pihak Kementerian Perdagangan. Lebih lanjut, kesadaran konsumen tentang bahaya pemakaian pakaian bekas hasil penyelundupan dari luar negeri juga harus terus ditingkatkan.
Schaffmeister, D., Keijzer, N., dan Sutorus, PHJ. diedit Sahetaphy, J.E., Hukum Pidana (Liberty,1995). Menangguk Untung dari Baju Bekas Impor’, Kompas (online), (21 April 2015) . Sutianto, Feby Dwi, ‘Klaim Pedagang Pakaian Bekas Impor: Pembeli dari Kalangan Atas Hingga Artis’, Detik.com (online), (21 April 2015) . Kementerian Perdagangan, ‘Siaran pers: Pakaian Bekas Mengandung Ribuan Bakteri, Kemendag Intensifkan Publikasi Kepada Konsumen’, (4 Februari 2015) . Kremer, Hendri, ‘Kemendag Dukung Pemberantasan Penyelundup’, Media Indonesia
(online), 10 April 2015 Kusuma, Dewi Rachmat,’Mulai 2016, Perdagangan Pakaian Bekas Impor Dilarang’, Detik.com (10 April 2015) . Maryanto, Dedy, ‘Jalur Masuk dan Penyebaran Baju Bekas Impor’, varia.id (online), 10 April 2015 . Nurhayat, Wiji, ‘Kasus Penyelundupan Pakaian Bekas Impor Melonjak 100%’, 10 April 2015, detik.com (online) . Arifin, Nurul, ‘Bea Cukai Gagalkan Penyelundupan Baju Bekas Senilai Rp3 Milliar’, okezone.com (online), 10 April 2015 .
Jendela Informasi Hukum Edisi April 2015
17