MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NO. 3/PUU-V/2007 PERIHAL PENGUJIAN UU NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA TERHADAP UUD 1945
ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (I)
JAKARTA
SELASA, 06 FEBRUARI 2007
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NO. 3/PUU-V/2007 PERIHAL Pengujian UU Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap UUD 1945
PEMOHON Scott Anthony Rush
ACARA Pemeriksaan Pendahuluan (I) Selasa, 06 Februari 2007 WIB, Pukul 10.00 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 7, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Prof. Abdul Mukhtie Fadjar, S.H., M.S 2) H. Achmad Roestandi, S.H. 3) Dr. Harjono, S.H., M.C.L Cholidin Nasir, S.H.
Ketua Anggota Anggota Panitera Pengganti
1
HADIR: Kuasa Hukum Pemohon : o o o o o o
Deny Kailimang, S.H., M.H. Harry Ponto, S.H., LL.M. J. Robert Khuana, S.H. Viktor Yaved Nano, S.H., M.H., M.A. Drs. I Ketut Ngastawa, S.H. Benny Pontoh, S.H.
2
SIDANG DIBUKA PUKUL 09.55 WIB
1.
KETUA : Prof. ABDUL MUKHTIE FADJAR, S.H., M.S. Sidang Panel untuk Perkara Nomor 3/PUU-V/2007, dengan ini saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 1X
Assalamu’alaikum wr. wb.
Selamat pagi dan salam sejahtera. Saudara Kuasa Pemohon untuk mengawali persidangan pada pagi hari ini saya persilakan terlebih dahulu untuk memperkenalkan diri siapasiapa yang hadir dalam forum ini? Silakan. 2.
KUASA HUKUM PEMOHON : HARRY PONTO, S.H., LL.M. Selamat pagi Yang Mulia Majelis Hakim, Perkenankan kami para Kuasa Hukum dari Scott Anthony Rush, dari sebelah kanan saya adalah Benny Ponto dan kemudian sebelah kiri saya Pak Denny Kailimang dan dari setelah Pak Denny adalah Pak Robert Khuana dan kemudian adalah Victor Yaved Neno dan selanjutnya adalah I Ketut Ngastawa serta saya sendiri Harry Ponto, terima kasih.
3.
KETUA : Prof. ABDUL MUKTHIE FADJAR, S.H., M.S. Baik, sidang pertama untuk perkara ini merupakan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dan sesuai dengan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, berfungsi untuk memeriksa kelengkapan-kelengkapan permohonan dan juga kejelasan dari permohonan. Nah, kelengkapan permohonan termasuk di dalamnya adalah surat kuasa yang saya kira sudah ada dan juga buktibukti awal dari permohonan. Kemudian mengenai kejelasan permohonan terutama yang nanti perlu dijelaskan oleh Pemohon berkaitan dengan tiga hal di dalam perkara pengujian undang-undang. Itu pertama yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah untuk memeriksa perkara ini, kemudian mengenai kedudukan hukum atau legal standing Pemohon, kemudian dan yang ketiga tentu mengenai pokok permohonan. Untuk itu Saudara Kuasa Pemohon saya persilakan untuk menjelaskan secara singkat tentang hal-hal tersebut di atas, silakan.
3
4.
KUASA HUKUM PEMOHON : HARRY PONTO, S.H., LL.M. Terima kasih, Perkenankan kami menjelaskan secara singkat permohonan menguji Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945. Kami Kuasa Hukum di sini mewakili Scott Anthony Rush yang sekarang ini berada di Lembaga Permasyarakatan Kerobokan Bali. Yang bersangkutan adalah warga negara Australia dan lebih tepatnya pada permohonan ini yang diajukan untuk permohonan menguji adalah Pasal 80, 81, dan 82 dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, khususnya sepanjang mengenai hukuman pidana mati. Mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan Pasal 24C ayat (1), perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara 1945, di situ disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan selanjutnya pada Pasal 24C ayat (1), perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf A Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Memang ada Pasal 50 dari Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang membatasi bahwa undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi ketentuan ini telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 066/PUU-II/2004 dan mengenai kedudukan hukum atau legal standing dari Pemohon sebagai pihak yang berkepentingan, kami ingin mengelaborasi sedikit bahwa Pasal 51 ayat (1) huruf A dari Undang-Undang Mahkamah Konstitusi memang menyebutkan bahwa yang dapat menjadi Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang menganggap hak atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Namun demikian kami perlu juga menyampaikan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 kita, berlaku bukan hanya terhadap warga negara Indonesia tetapi terhadap setiap orang yang berada di wilayah Indonesia karena itu setiap orang harus tunduk ketentuan perundang-undangannya yang berlaku di Indonesia yang tentunya bersumber dari Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini Pemohon adalah telah dijatuhi hukuman pidana mati oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusannya Nomor 1782/K/PIT/2006, tanggal 31 Agustus 2006. Jadi dalam hal ini yang bersangkutan diadili di dalam yurisdiksi Indonesia dan berdasarkan
4
hukum Indonesia yang tentunya sekali lagi bersumber dari UndangUndang Dasar 1945, karena itu siapapun yang diadili berdasarkan hukum Indonesia tentunya berhak mengajukan upaya hukum apapun yang tersedia tanpa ada diskriminasi ataupun diskualifikasi. Kalau menyangkut memperjuangkan hak untuk hidup kami berpendirian atau berkeyakinan bahwa tidak seorangpun atau pihak manapun yang dapat membatasinya, karena itu pula pembatasan seperti tersebut dalam Pasal 51 ayat (1) huruf A Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mestinya tidak boleh diberlakukan terhadap Pemohon. Selanjutnya kami mengutip Pasal 28D ayat (1), perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa, ”setiap orang berhak atas pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, dan juga kami juga ingin merujuk pada International Covenant on Civil and Political Rights yang sudah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Pasal 16 dari ICCPR ini menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum dan Pasal 26 ICCPR juga menyebutkan bahwa semua orang sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Diskriminasi yang dimaksud di sini adalah termasuk seperti kesukuan, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik dan lainnya, asal-usul kebangsaan, atau sosial. Nah, dari ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 jo. Pasal 16 dan Pasal 26 ICCPR jelas subjeknya adalah setiap orang atau semua orang yang berarti juga siapa saja bukan hanya warga negara Indonesia. Dengan demikian kami minta agar atau kami mohon agar hak Pemohon untuk mengajukan permohonan ini dapat diterima dan tidaklah dibatasi oleh Pasal 51 ayat (1) huruf A dari Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Kami juga merujuk pada Pasal 3 huruf A dari Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam perkara pengujian undang-undang yang di situ disebutkan bahwa Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 adalah perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kempentingan yang sama. Kami mengetahui bahwa sudah ada permohonan terdahulu yang dilakukan oleh dua warga negara Indonesia dan dua warga negara asing yang kalau tidak salah dimasukkan pada tanggal 17 Januari 2007. Berdasarkan itu kami juga mohon dipertimbangkan agar permohonan ini dapat dianggap sebagai permohonan oleh kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama. Yang terakhir adalah mengenai materi pengujian dari UndangUndang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Jadi sekali lagi yang kami mohonkan adalah sehubungan dengan Pasal 80 ayat (1) huruf A, ayat (2) huruf A, ayat (3) huruf A, Pasal 81 ayat (3) huruf A, Pasal 82 ayat (1) huruf A, ayat (2) huruf A, dan ayat (3) huruf A dalam Undang-Undang Narkotika sepanjang yang mengenai ancaman hukuman pidana mati yang menurut Pemohon adalah bertentangan dengan hak
5
konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28A dari Undang-Undang Dasar 1945, menentukan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal 28I ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 kemudian menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Dan kami juga merujuk bahwa penjatuhan hukuman mati sangat kontras dengan Konstitusi Indonesia yang mengakui adanya hak hidup, yaitu yang dimaksud dalam Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) perubahan kedua dari Undang-Undang Dasar 1945. apalagi Indonesia telah pula menjadi peserta dalam International Covenant On Civil and Political Rights, sebagaimana disebutkan tadi dimana ICCPR ini sudah diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, pada bagian ketiga Pasal 6 ayat (1) ICCPR menyatakan bahwa setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya dan mendapatkan perlindungan hukum serta tiada yang dapat mencabut hak tersebut. Nah, dengan demikian hukuman mati memang masih diatur dalam sejumlah undang-undang sebagai salah satu hukuman pidana pokok dalam hal ini adalah Undang-Undang Narkotika. Namun secara mutatis mutandis ketika perubahan Undang-Undang Dasar 1945 mengakui hak untuk hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi atau non derogable rights secara legal hukuman mati sudah tidak dapat lagi diberlakukan di Indonesia. Apalagi kalau dalam hal ini mohon juga menjadi perhatian bahwa Pemohon ketika pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada Pemohon pada waktu itu baru berusia dua puluh tahun dan mohon juga menjadi catatan bahwa kenapa permohonan ini diajukan bahwa eksekusi pidana mati tidak bisa diperbaiki atau irrevocable tidak bisa diubah kalau ada kesalahan, padahal sebagaimana kita ketahui dalam satu sistem peradilan yang paling bersih sekalipun jelas terdapat kemungkinan bahwa eksekusi hukuman mati terhadap orang yang salah itu mungkin saja terjadi. Pasal 6 ayat (2) ICCPR memang menyatakan bahwa di negaranegara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang tergolong sebagai most serious crime atau paling serius, tetapi berdasarkan rekomendasi dari Komisi Hak Asasi Manusia, kejahatan seperti halnya obat-obat terlarang itu tidak termasuk dalam most serious crime. Kami juga mohon untuk dipertimbangkan perkembangan di dunia internasional belakangan ini dimana pelanggaran HAM berat atau gross violation of human rights, masyarakat international sudah menyadari kesalahan mereka dalam menerapkan hukuman mati bagi pelaku kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Nurenberg
6
pascaperang dunia kedua. Karena itu ketika terjadi kekejaman yang sama di bekas Yugoslavia dan Rwanda, dua mahkamah yang dibentuk dengan resolusi Dewan Keamanan PBB, yaitu International Tribunal for the former Yugoslavia dan juga International Tribunal for Rwanda tidak lagi memasukkan hukuman mati sebagai pidana maksimum dalam statuta-nya. Semangat untuk menghapus hukuman mati juga terlihat saat pembentukan International Criminal Court dengan diadopsinya The Rome Statute of International Criminal Court pada 17 Juli 1998 di Roma. ICC yang mulai berlaku sejak 1 Juli 2002 mengatur kewenangan mengadili kejahatan yang paling serius yang dilakukan individu yang terdiri dari empat jenis yaitu; pemusnahan etnis atau suku bangsa, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi. Pada keempat kategori kejahatan ini ancaman hukuman mati sama sekali tidak dimasukan dalam statuta dari International Criminal Court (ICC). Kami pikir itu adalah summary dari permohonan yang diajukan, terima kasih. 5.
KETUA : Prof. ABDUL MUKTHIE FADJAR, S.H., M.S. Dari Kuasa Hukum yang lain ada tambahan? Baik, jadi sesuai dengan fungsi pemeriksaan pendahuluan, kita belum akan memeriksa materi permohonannya, tetapi ada hal-hal yang nanti perlu diperkuat khususnya berkaitan dengan Pemohon dan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, itu entry point-nya adalah pertama, berkaitan dengan kewenangan, ya kewenangan tadi sudah dijelaskan Pasal 50 yang bisa menjadi penghalang untuk pengujian undang-undang ini yang diundangkan pada tahun 1997 saya kira sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah. Kemudian yang kedua, entry point-nya adalah berkaitan dengan kedudukan hukum Pemohon. Jadi Pemohon ini satu orang ya? Hanya satu orang warga negara asing, tetapi memang Saudara sudah menjelaskan alasan-alasan mengapa warga negara asing menurut dalil Kuasa Pemohon adalah mempunyai hak untuk mengajukan upaya hukum apapun di dalam perkara yang dihadapinya. Hanya karena Pemohon ini perorangan, jadi ini perlu dipahami bahwa Pasal 51, Pemohon yang dapat mengujikan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang pertama adalah perorangan warga negara Indonesia. Tentu Pemohon, dalam hal ini Pemohon Prinsipal telah menggunakan seluruh upaya hukum untuk kasus yang dihadapinya, yaitu dalam terkait dengan Undang-Undang Narkotika. Nah, tetapi sekarang persoalannya kedua adalah persoalan menguji sebuah atau suatu undang-undang yang satu undang-undang itu tentunya adalah cerminan dari legal policy dari suatu negara, tentu nanti perlu ada tambahan argumentasi, apakah seorang warga negara asing dapat
7
memeprsoalkan suatu kebijakan hukum yang ada di suatu negara? Tentu mutatis mutandis juga kalau itu warga negara Indonesia dapatkah mempersoalkan undang-undang yang berlaku di suatu negara? Ini nanti perlu tambahan argumentasi, karena secara terang benderang Pasal 51 ayat (1) sudah menentukan itu perorangan warga negara Indonesia. Nah, kemudian tadi menyinggung perkara yang lain, karena ada perkara yang lain, Kuasa Pemohon lalu mengelompokkan dirinya dalam kelompok orang. Padahal ini dua perkara yang meskipun substansinya sama tapi dua perkara yang berbeda yang diajukan oleh orang yang berbeda. Ini tentu akan lain halnya kalau Pemohon ini bergabung dengan Pemohon yang pertama dalam Perkara Nomor 1. Kalau bergabung baru menjadi kelompok orang, kalau sendirian belum bisa dikatakan kelompok. Penjelasan Pasal 51 huruf a menyatakan, yang dimaksud dengan perorangan ini untuk menjelaskan perorangan warga negara Indonesia tentu saja, termasuk tentu saja Peraturan Mahkamah Konstitusi. Tapi kita tentu belum secara apriori untuk apakah Pemohon mempunyai legal standing atau tidak, tetapi yang diperlukan adalah tentu tambahan-tambahan argumentasi yang menyebabkan seorang warga negara asing bisa mempersoalkan suatu legal policy yang dibuat oleh suatu negara, termasuk tadi Anda tidak bisa mengategorikan sebagai kelompok orang, karena perkaranya berbeda, kecuali Anda mempertimbangkan untuk bergabung dengan Pemohon Nomor 1, di sana sudah ada dua warga negara Indonesia, ada dua warga negara asing yang juga untuk dua warga negara asing, Majelis sudah menyarankan untuk memperkuat dalil-dalil untuk berkaitan dengan itu. Termasuk kemungkinan yang berlaku di negara-negara lain. Sejauh ini upaya hukum kalau ada, misalnya seorang TKI dihukum mati di Arab Saudi misalnya, itu tidak mempersoalkan hukum yang di sana tetapi adalah pada pelaksanaan. Ini nanti yang perlu dipertimbangkan, tapi saya ingin memberikan kesempatan pada hakim yang lain untuk memberikan saran atau nasihat sesuai dengan fungsi pemeriksaan pendahuluan. Kami silakan, Dr. Harjono. 6.
HAKIM KONSTITUSI : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L. Terima kasih kepada Pak ketua sidang. Saudara Pemohon, Saudara tadi sudah dinasihati beberapa hal terutama yang berkaitan dengan status Pemohon pada kuasa hukumnya. Apa yang disampaikan oleh Pak hakim ketua tadi seharusnya Anda uraikan, Anda jelaskan. Karena Anda bermaksud untuk meyakinkan hakim terhadap dalil-dalil Anda. Oleh karena itu saya tidak banyak menyampaikan nasihat, hanya kira-kira apa yang Anda tulis ini yang harus Anda kembangkan untuk memperkuat pada permohonan kuasa hukum agar suapaya perkara ini bisa diperiksa berikutnya, tetapi itu adalah usaha untuk meyakinkan hakim.
8
Angka tujuh, karena Anda menulis dengan angka-angka ya? Halamannya tidak adanya angka saja, oh ya halaman tiga. Saya memusatkan kepada kalimat Anda yang bagian akhir angka tujuh itu. Di situ ada tertulis seperti ini, “sejalan dengan prinsip hukum tersebut padahal yang sebelumnya karena Pemohon dihukum dengan pidana mati oleh pengadilan di Indonesia dan berdasarkan hukum di Indonesia Pemohon tentu berhak mengajukan segala upaya hukum yang tersedia termasuk mengajukan permohonan ini”. Ini Anda pertama bicara tentang diadili, lalu upaya hukum yang tersedia, lalu kemudian termasuk mengajukan permohonan ini. Tentu itukan beda ya? Upaya hukum di dalam persidangan peradilan pidana, lalu kenapa meloncat termasuk mengajukan permohonan ini? Ini tentunya Anda perlu suatu dasar nasionalitas yang lebih kuat, saya tidak mengatakan bahwa ini tidak, tetapi anda perlu melengkapi. Ini dua hal yang beda apakah upaya hukum yang tersedia di dalam hukum pidana juga secara otomatis, kemudian memasukkan dalam permohonan ini adalah judicial review? Berikutnya, kalau menyangkut memperjuangkan hak untuk hidup, tidak seorangpun atau tidak atau pihak manapun yang dapat membatasinya termasuk oleh hakim. Kalau pernyataannya seperti itu apalagi kalau diteruskan dengan kalimat, “karena itu pula pembatasan tersebut dalam Pasal 51 huruf (a) Mahkamah Konstitusi tidak boleh diperlakukan terhadap Pemohon”. Mohon secara jeli, secara teliti! Kita sudah lama, tentu Anda sudah lama berjuang berkecimpung di dalam persoalan hukum, apakah persoalan hukum itu menyangkut boleh dan tidak boleh? Bukankah menyangkut sah dan tidak sah? Bertentangan dan tidak bertentangan dengan hukum? Oleh karena itu kalau Anda mengatakan tidak boleh diperlakukan terhadap Pemohon, yang membolehkan siapa yang tidak membolehkan siapa? Oleh karena itu mohon spesifik saja, maksudnya tentunya kalau hukum itu bukan masalah boleh dan tidak boleh. Kalau tidak boleh kenapa ? Bertentangan dengan hukum kalau boleh kenapa? Tidak dilarang oleh hukum, seperti itu. Jadi jangan boleh dan tidak bolehnya. Karena itu kembangkan di sini, karena menyangkut Pasal 51 dan Pasal 51 tersebut secara eksplisit jelas disebut warga negara. Anda bisa pertama, menafsirkan, meskipun bunyinya warga negara, tetapi bisa ditafsirkan bahwa termasuk warga negara itu kemungkinan lain di dalamnya adalah tidak menutup kemungkinan untuk orang asing. Kedua, kalau memang bahwa Anda lihat sebagai pasal yang menghalangi, Anda bisa mempermasalahkan Pasal 51 secara hukum, bahwa ketentuan Pasal 51 itulah yang menghalangi orang asing, Anda bisa mengatakan bahwa Undang-Undang Dasar tidak melarang itu orang asing untuk melakukan permohonan uji undang-undang. Saya kira di situ Anda bisa menambah alasan-alasan, tidak hanya dengan hanya dua kalimat di bawah angka tujuh itu saja, karena ini menjadi eksplisit. Boleh tidak boleh itu apa? Siapa yang membolehkan? Siapa yang tidak membolehkan? Ini saya kira suatu kepentingan agar supaya permohonan
9
Anda lebih eksplisit dan hakim bisa mempertimbangkan aspek-aspek hukumnya secara lengkap di permohonan saya, inilah nasihat saya pada Anda, kalau mau memperbaiki. Saya kira itu Pak ketua, Terima kasih. 7.
KETUA : Prof. ABDUL MUKTHIE FADJAR, S.H., M.S. Bapak Roestandi, silakan.
8.
HAKIM KONSTITUSI : H. ACHMAD ROESTANDI, S.H. Terima kasih, Pak Ketua. barangkali apa yang didalilkan itu seharusnya mendukung kira-kira harapan Anda itu. Tadi dikemukakan bahwa dengan mengutip PMK, Anda mengatakan bahwa perorangan di situ adalah termasuk juga perorangan yang bukan warga negara. Padahal kalau dilihat Pasal 51 itu di sini disebutkan yang dimaksud dengan perorangan. Jadi yang tidak disebutkan, yang tidak dimaksudkan perorangan warga negara. Jadi warga negaranya tidak diterangkan, jadi warga negara tetap berlaku. Yang diterangkan itu adalah perorangan, perorangan termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama. Kelompok orang di sini adalah kelompok orang warga negara, karena warga negara tidak diterangkan di sini, berarti masih berlaku di sana. Itu barangkali bisa dipertimbangkan nanti untuk dijelaskan, kalau perlu ya jangan sampai justru melemahkan dalil Anda sendiri. Kedua, mengenai masalah petitum, petitum-nya di sini menyatakan Pasal 80 antara lain, ayat (1) huruf a menyangkut kata-kata pidana mati, padahal dari seluruh pasal-pasal itu ini adalah pidana mati itu merupakan alternatif. Jadi Anda hanya menulis sampai pidana matinya, saya rasa sampai “atau” barangkali karena nanti kalau dibaca, diputuskan dihapuskannya hukuman mati “atau”-nya akan tetap terbaca. Coba dibaca Pasal 80, “hukuman mati atau” jadi nanti “atau”-nya tidak dimasukkan di sini berarti hukuman matinya tidak ada, jadi “dijatuhi atau”, ya jadi itu kurang enak, disempurnakanlah itu lebih baik barangkali, walaupun esensinya hukuman mati tetapi yang diminta itu adalah pernyataan tidak berlaku itu terhadap kata-kata ini, bukan esensi. Itu saja barangkali, kalau seluruhannya saya kira sudah cukup jelas begitu, tinggal tadi tambahan-tambahan yang disampaikan oleh para hakim yang terdahulu. Terima kasih, Pak Ketua.
Pertama,
9.
KETUA : Prof. ABDUL MUKTHIE FADJAR, S.H., M.S. Silakan, Kuasa Pemohon kalau merespon beberapa hal yang kami sampaikan.
10
10.
KUASA HUKUM PEMOHON : VICTOR YAVED NANO, S.H., M.H., M.A. Terima kasih Majelis Hakim yang mulia, Kami merespon apa yang disarankan kepada kami selaku Pemohon, Kuasa Hukum daripada Pemohon, yakni dalam permohonan kami, kami juga menyebutkan bahwa ada perkara lain yang juga menyangkut perorangan mengajukan hal yang sama. Oleh karena itu dapat Majelis mempertimbangkan agar kalau dapat digabungkan antara perkara kami dengan perkara yang telah diajukan agar disidangkan secara bersama-sama, karena tentu di sini kita melihat bahwa menyangkut materi permohonan yang sama. Demikian respon kami pada apa yang telah disampaikan kepada kami. Terima kasih.
11.
KETUA : Prof. ABDUL MUKTHIE FADJAR, S.H., M.S. Masih ada yang lain?
12.
KUASA HUKUM PEMOHON : DENNY KAILIMANG, S.H., M.H. Terima kasih Majelis, Bahwa nasihat-nasihat ini kami akan memperbaiki atau menambah dalam permohonan kami dalam waktu empat belas hari, terima kasih.
13.
KETUA : Prof. ABDUL MUKTHIE FADJAR, S.H., M.S. Ya jadi, masih ada lagi? Cukup ya? Jadi penggabungan memang ada dua kemungkinan, yang pertama itu karena ada orang mendalilkan kelompok orang itu. Kalau mau menjadi kelompok orang bergabung dengan Pemohon yang pertama, itu penggabungannya juga ya. Itu artinya perkara itu menjadi satu, tapi penggabungan juga atas penetapan Mahkamah bahwa kami dalam pemeriksaan, bahwa kami dalam pemeriksaan karena perkaranya sudah menyangkut materi yang sama, undang-undang yang sama dan itu sudah sering kami lakukan, bahkan dulu ada sampai lima perkara menyangkut Undang-Undang Sumber Daya Air itu lima Pemohon, pemeriksaannya kami jadikan satu, karena masing-masing ingin tetap eksis sebagai Pemohon, berdiri sendiri. Jadi itu nanti itu tentu kewenangan dari Mahkamah untuk menetapkan. Kami memang sudah memberitahukan kepada Pemohon yang pertama, Perkara Nomor 1 bahwa ada kemungkinan perkara ini akan digabung dengan perkara lain yang serupa, tapi juga silakan dalam waktu empat belas hari ini, pertama tentu memperbaiki, kalau mau memperbaiki tentunya hal-hal yang disarankan oleh Majelis, saran dan
11
nasihat. Jadi Anda bisa juga tidak memperbaiki karena merasa cukup baik, ya boleh saja. Kemudian yang kedua mempertimbangkan ingin bergabung karena kebetulan di sana ada empat orang dan ada warga negara Indonesia, tapi itu juga tidak menjadi keharusan kalau mau tetap eksis sebagai Pemohon atau terpisah, ya silakan. Jadi waktunya empat belas hari sejak hari ini dan itu paling lama, paling lambat. Kalau tokh nanti akan digabung supaya bisa bersama-sama tentu lebih cepat lebih baik, karena terlalu banyak yang harus diperbaiki. Termasuk Saudara-saudara sekalian, karena Pemohon yang pertama sudah menyiapkan selain alat bukti tulis adalah Ahli baik dari dalam maupun dari luar. Kalau Saudara Pemohon berkehendak untuk mengajukan Ahli, alat bukti tulis sudah ada di sini, kalau mau mengajukan Ahli silakan mengajukan nama-nama Ahli, termasuk curriculum vitae-nya ke Panitera Mahkamah, baik Ahli dari dalam atau luar. Itu nanti disertakan, sekaligus bersama-sama perbaikan permohonan yaitu pengajuan nama-nama yang ditampilkan sebagai Ahli di dalam perkara ini. Baik, sudah bisa ditangkap? Sudah jelas ya? Sebelum kami mengakhiri persidangan, barangkali ada yang ingin disampaikan? Saudara Pemohon? 14.
KUASA HUKUM PEMOHON : DENNY KAILIMANG, S.H., M.H. Terima kasih, hanya tadi dikatakan Ahli kapan itu sidangnya? Supaya kita bisa ini juga mempersiapkan waktunya kira-kira. Apakah setelah dua minggu atau sebelum dua minggu ini?
15.
KETUA : Prof. ABDUL MUKTHIE FADJAR, S.H., M.S. Biasanya kronologi persidangan di Mahkamah setelah persidangan panel ada kemungkinan diperiksa lagi oleh panel perbaikanperbaikannya, tapi bisa juga tidak. Artinya bisa langsung Pleno dan Pleno biasanya akan mendengarkan keterangan pembentuk undang-undang, yaitu Pemerintah dan DPR dan juga keterangan Ahli, jadi untuk pembuktian termasuk memeriksa bukti-bukti tertulis, keterangan Ahli dan Saksi. Jadi kalau dua minggu lagi, ini paling lambat. Tentu persidangan paling cepat juga dua minggu setelah perbaikan. Jadi setelah ada perbaikan empat belas hari, ada kemungkinan juga Ahli sudah ditampilkan pada saat itu. Oleh karena itu Ahli harus dihubungi dulu, termasuk kesediaan waktunya tentu saja, kita akan melihat nanti. Jadi yang penting Saudara mengajukan dulu siapa Ahli dan kapan kesediaannya, nanti kami juga akan menggabungkan dengan ahli-ahli yang lain. Tentu tidak selalu bahwa misalnya digabung nanti perkara ini, ahli dari perkara yang pertama belum tentu waktunya sama dengan yang kedua karena ada persoalan waktu yang tidak selalu bisa dikompromikan. Dr. Harjono silakan, kalau ada tambahan?
12
16.
HAKIM KONSTITUSI : Dr. HARJONO, S.H., M.C.L. Jadi Saudara Pemohon, ini menyangkut masalah teknis. Jadi nanti kalau Anda mau mengajukan perbaikan lalu melampirkan ahli-ahli itu, hanya saja ini ada perkara yang sama persis, sebetulnya tidak hanya atas inisiatif Mahkamah. Kalau Anda sebelumnya sudah bisa ketemu lalu kemudian mengkompromikan, yang dikompromikan bisa satu nomor saja, bisa dua nomor tetap, tapi kemudian untuk dimohonkan diperiksa secara bersama-sama. Di kesempatan itu Anda bisa sama-sama berkoordinasi dengan Pemohon sebelumnya, siapa tahu bahwa Ahli dia mau Anda perlukan. Kalau seperti itu Anda tidak perlu ahli atau anda punya ahli sendiri untuk ditampilkan. Persoalan ini karena menyangkut banyak orang oleh karena itu jauh-jauh hari juga Anda sudah bisa punya catatan tentang kesanggupan masing-masing ahli itu untuk tampil di sini. Itu Anda sampaikan kepada Panitera termasuk juga kalau Anda sudah koordinasi dengan Pemohon pertama, karena Pemohon pertama juga di dalam permohonannya kalau mungkin dilakukan suatu teleconference kalau ahlinya ada di luar negeri. Itu masih permohonan dan kita belum putuskan, tapi itulah yang Anda bisa lakukan dengan Pemohon pertama, kemungkinan pemeriksaan digabung sekaligus nomornya jadi satu ataukah tetap dua nomor tetapi pemeriksaannya yang digabung untuk kepentingan bersama? Saya kira jelas ya! Saya kira itu yang bisa dilakukan.
17.
KETUA : Prof. ABDUL MUKTHIE FADJAR, S.H., M.S. Sebelum kami akhiri, masih ada yang ingin disampaikan? Cukup? Baik Saudara Kuasa Hukum Pemohon dengan ini persidangan pemeriksaan pendahuluan untuk perkara ini, Perkara Nomor 3/PUUV/2007 dengan ini saya nyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 10.41 WIB
13