MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 021/PUU-IV/2006 PERIHAL PENGUJIAN UU NO. 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL TERHADAP UUD 1945
ACARA MENDENGAR KETERANGAN SAKSI DAN AHLI DARI PEMERINTAH SERTA SAKSI DARI PEMOHON (III)
JAKARTA
RABU, 10 JANUARI 2007
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR. 021/PUU-IV/2006 PERIHAL Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terhadap UUD 1945 PEMOHON 1. Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia 2. Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan PGRI 3. Komisi Pendidikan Konferensi Wali Gereja Indonesia ACARA Mendengar Keteranga Saksi dan Ahli dari Pemerintah serta Saksi dari Pemohon (III) Kamis, 12 Oktober 2006 Pukul 10.00 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 7, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Prof. Dr. H. M. LAICA MARZUKI, S.H. Prof. H.A.S. NATABAYA, S.H., LL.M. I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., M.H. Prof. H. ABDUL MUKTHIE FADJAR, S.H., M.S. MARUARAR SIAHAAN, S.H. Dr. HARJONO, S.H., M.C.L SOEDARSONO, S.H.
Ida Ria Tambunan, S.H.
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
1
HADIR: PEMOHON: 1. 2. 3. 4.
Thomas Wiyatno (BPPTS) Yunus (PGRI) Monsinieur Soedarso (Ketua Komdik KWI Palembang) Pengurus-pengurus yayasan (+ 100 yayasan)
Kuasa Hukum Pemohon: 1. 2. 3.
Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H. Leonard P. Simorangkir, S.H. Bakhtiar Sitanggang, S.H.
Ahli dari Pemohon: Harry Tjan Silalahi PEMERINTAH: 1. 2. 3. 4.
Prof. Dr. Ir. Doddy Nandika (sekjen Depdiknas) W. Cipto Setiadi (Direktur Harmonisasi Peraturan Perundangundangan Dep. Hukum dan HAM) Prof. Dr. Ir. Satrio Sumantri Brodjonegoro (Dirjen Dikti) Mualimin Abdi (Ka. Bag Litigasi Dept Hukum dan HAM)
Saksi dari Pemohon: 1.
Dr. Ir. Siswono Yudohusodo (Ketua Pengurus Pendidikan & pembinaan Universitas Pancasila)
Yayasan
Ahli dari Pemerintah: 1. 2.
Prof. Dr. Johanes Gunawan. Prof. Dr. Arifin. P Soeria Atmadja
Saksi dari Pemerintah: 1. 2.
Dr. Ir. Suharyadi, M.S. Djoko Soemadijo, S.H.
2
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.00 WIB
1.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik Saudara-Saudara Sidang Mahkamah Konstitusi untuk pemeriksaan lanjutan atas perkara ini dengan ini saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3 X
Asalamualaikum wr. wb.
Selamat pagi dan salam sajehtera untuk kita semua. Saudara-Saudara ini adalah Sidang Pleno lanjutan dalam rangka pemeriksaan, pembuktian perkara pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam sidang terdahulu kita sudah mendengarkan keterangan Ahli, Saksi yang diajukan oleh para Pemohon. Hari ini masih ada sisa yang belum kita dengar dan di samping itu juga masih ada kemungkinan untuk mengajukan pertanyaan kepada Ahli yang diajukan oleh Pemohon dan hari ini ada satu orang Ahli yang waktu itu belum hadir. Kemudian di samping itu yang lebih fokus untuk persidangan hari ini adalah keterangan Ahli yang diajukan oleh Pemerintah, tapi sebelum kita mulai saya ingin persilakan dulu pihak-pihak yang hadir untuk seperti biasa untuk memperkenalkan diri supaya kita mudah berkomunikasi dalam sidang ini. Kita mulai dari Pemohon dulu, silakan 2.
KUASA HUKUM PEMOHON : BAKHTIAR SITANGGANG, S.H. Selamat pagi kami dari Kuasa Pemohon Bahtiar Sitanggang, terima kasih.
3.
KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD. P. SIMORANGKIR, S.H. Selamat pagi Majelis yang terhormat, selamat tahun baru. Saya memperkenalkan diri Leonard Simorangkir salah satu Kuasa dari Pemohon.
4.
KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. ANDI M. ASRUN, S.H. M.H. Yang Mulia, saya Muhammad Asrun, Kuasa dari Pemohon.
3
5.
PEMOHON : THOMAS WIYATNO Yang mulia Ketua Majelis dan para Anggota Majelis yang sangat kami hormati, Saya Thomas Wiyatno dari Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta. Di sebelah kanan saya adalah Pak Yunus dari PGRI (Pemohon), sebelahnya monsinieur Soedarso dari Palembang yang kebetulan Ketua Komdik KWI. Kemudian di belakang kami pengurus-pengurus yayasan juga yang jumlahnya sekitar seratus pengurus yayasan yang datang dari Jawa Barat, Jawa Timur, Makasar, Palembang, Padang, Lampung, dan lain sebagainya, yang saya kira terlalu panjang jika saya sebutkan. Demikian Yang Mulia, terima kasih.
6.
KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD. P. SIMORANGKIR, S.H. Selain daripada itu Yang Mulia kami masih akan memperkenalkan Saksi fakta yang hari ini akan didengar oleh sidang ini, yaitu Bapak Dr. Ir. Siswono Yudho Husodo.
7.
SAKSI DARI PEMOHON : Dr. Ir. SISWONO YUDOHUSODO
Assalamualaikum wr.wb.
Salam sejahtera dan selamat pagi, Ketua dan seluruh Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi yang kami hormati. Nama saya Siswono Yudho Husodo, pagi ini hadir selaku Ketua Pengurus Yayasan Pendidikan dan Pembinaan Universitas Pancasila untuk menjadi Saksi di dalam permasalahan yang kita bicarakan pada hari ini. Terima kasih. 8.
KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD. P. SIMORANGKIR, S.H. Selain itu Ahli yang kami ajukan sudah hadir pada persidangan pada hari yang lalu tapi juga pada hari ini masih hadir, yaitu Bapak Harry Tjan Silalahi, cukup dari kami Pak Ketua.
9.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya, untuk mengecek saja karena Pak Harry Tjan sudah didengar keterangan dan sudah diambil sumpah dalam sidang yang lalu, tapi Pak Siswono belum. Nanti, karena untuk pengambilan sumpah, apakah bersedia disumpah menurut agama Islam atau berjanji? Atau bagaimana? Sumpah ya? Islam ya Pak? Oh, pecinya itu! Ya, baru pulang haji, selamat juga Pak. Baik kita teruskan selanjutnya, pihak Pemerintah.
4
10.
PEMERINTAH : W. CIPTO SETIADI (DIRETUR HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, DEPT HUKUM DAN HAM)
Assalamualaikum wr. wb.
Nama saya W. Cipto Setiadi Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan mewakili Dirjen Peraturan Perundang-undangan dari Pemerintah, terima kasih.
Wasalammu’alaikum wr. wb.
11.
PEMERINTAH DEPDIKNAS)
:
Prof.
Dr.
Ir.
DODY
NANDIKA
(SEKJEN
Asalamualaikum wr. wb.
Selamat pagi Yang Mulia, nama saya Nandika dari Depdiknas, mewakili Pemerintah. 12.
PEMERINTAH : Prof. Dr. Ir. BRODJONEGORO (DIRJEN DIKTI)
SATRIO
SUMANTRI
Asalamu’alaikum wr. wb.
Nama saya Satrio Soemantri Kuasa Hukum Pemerintah, saya sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi. 13.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, dari DPR ada tidak? Ok, silakan masih mau disampaikan apa lagi?
14.
PEMERINTAH : Prof. Dr. Ir. BRODJONEGORO (DIRJEN DIKTI)
SATRIO
SUMANTRI
Majelis yang terhormat, Saya ingin barangkali menghantarkan Saksi dan Ahli yang ingin kami sampaikan adalah Saksi dalam hal ini adalah Dr. Ir. Suharyadi M.S, kiranya nanti bisa memperkenalkan diri. Kemudian Saksi juga Bapak Djoko Sumadiyo, S.H. Kemudian sebagai Ahli Yang Mulia adalah Profesor Yohannes Gunawan sebelah kiri dan juga Profesor Arifin Surya Atmaja di sebelahnya, terima kasih. 15.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, supaya lengkap dua Ahli, dua Saksi ya? Akan diambil sumpah atau janji? Menurut yang Islam berapa? Tiga? Kemudian, yang Katolik sumpah juga ya? Baik, Saudara-Saudara sekalian saya persilakan petugas, mulai dari Ahli. Ahli dulu bisa bersamaan waktunya,
5
oh, Ahli sudah ya? Dari Pemohon sudah? Ahli dulu berapa orang, dua
orang? Silakan berdiri! Pak Laica, silakan. Dari Pemohon adalah Saksi, sedangkan dari Pemerintah dua Ahli beragama Islam, satu Ahli beragama Katolik kemudian, eh satu Saksi, dua Saksi ya? Satu Ahli yang Islam, satu Ahli yang Katolik, sekarang silakan yang Saksi dulu, silakan Saksi dulu yang Islam sekalian. 16.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. Dr. H. M LAICA MARZUKI, S.H.
Demi Allah saya bersumpah bahwa saya sebagai Saksi, akan menerangkan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. 17.
SAKSI DARI PEMOHON DAN PEMERINTAH : (Ir. SISWONO YUDOHUSODO, Dr. Ir. SUHARYADI, M.S., DJOKO SOEDIJO, S.H. )
Demi Allah saya bersumpah bahwa saya sebagai Saksi, akan menerangkan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. 18.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Sekarang saya persilakan Ahli Profesor Arifin.
19.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. Dr. H. M LAICA MARZUKI, S.H.
Demi Allah saya bersumpah bahwa saya sebagai Ahli, akan menerangkan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. 20.
AHLI DARI PEMERINTAH : Prof. Dr. ARIFIN. P. SOERIA ATMAJA
Demi Allah saya bersumpah bahwa saya sebagai Ahli, akan menerangkan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. 21.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Terakhir silakan Ahli, Pak Maru. Petugas sudah siap?
22.
HAKIM KONSTITUSI : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Ikuti Bapak Gunawan, tapi saya kira kita itu biasanya berjanji. Ikuti Pak!
Saya berjanji bahwa saya sebagai Ahli, akan memberikan keterangan sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya. 6
23.
AHLI DARI PEMERINTAH : Prof. Dr. JOHANES GUNAWAN
Saya berjanji bahwa saya sebagai Ahli, akan memberikan keterangan sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya. 24.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, Saudara-Saudara sekalian, Kita sudah ambil sumpah masing-masing, dua Ahli kemudian tiga orang Saksi. Satu Saksi yang diajukan oleh Pemohon. Untuk memudahkan kita dengarkan lebih dahulu keterangan yang akan diberikan oleh Ahli yang diajukan oleh Pemerintah, begitu ya? Nanti setelah itu keterangan Saksi, pada saat itulah nanti Saksi dari Pemohon juga akan diberikan kesempatan untuk memberikan keterangan. Nanti dalam tanya jawab saya persilakan pertanyaan datang dari Pemohon, kepada—baik Ahli, Saksi yang diajukan oleh Pemohon sendiri kalau Ahli sudah—maupun nanti mengajukan pertanyaan kepada Ahli dan Saksi yang diajukan oleh Pemerintah. Demikian juga Pemerintah kalau masih ada yang mau ditanyakan kepada Ahli dalam sidang terdahulu belum sempat silakan diajukan dalam sidang ini, begitu juga kepada Saksi yang diajukan oleh Pemohon, termasuk kalau nanti ada pertanyaan dari Majelis Hakim kami pun akan persilakan, sehingga nanti keterangan-keterangan bisa di-cross, begitu ya? Dan memang keterangan-keterangan ini kita perlukan sebagai pengantar, perlu saya ingatkan. Pertama dari para Saksi, hakikat keterangan yang diperlukan oleh Mahkamah ini dari para Saksi adalah kesaksiaNnya. Kesaksian adalah informasi, keterangan tentang fakta-fakta yang dialami sendiri, dilihat sendiri, atau didengar sendiri. Sehingga sifatnya faktual, sedangkan dari para Ahli yang diperlukan adalah informasi atau keterangan berdasarkan keahlian. Keahlian bisa diperoleh dari pendidikan, bisa juga dari pengalaman. Jadi kurang lebih keterangan para Ahli bisa lebih luas, sedangkan keterangan para Saksi hanya yang bersifat factual, tapi saya perlu ingatkan dalam tiga tahun di persidangan di Mahkamah ini seringkali susah itu dari pihak Saksi dan Ahli itu membedakan mana yang factual, kesaksian? Mana yang pendapat? Tapi sekiranya itu terjadi biarlah kami yang menilainya, sebab para Saksi, karena Saksi itu orang hebat-hebat semua, ya berpendapat juga dia, ya sudah biarlah. Tokh kami yang menilai. Jadi tolong nanti kalau ternyata yang kami nilai hanya faktafakta, ya mohon dimaklumi. Karena memang yang diperlukan dari Saudara Saksi adalah fakta bukan pendapat, bukan keahlian begitu kira-kira. Nah, saya persilakan lebih dahulu kepada Pemerintah mana yang duluan mau dimintai keterangan dari kedua Ahli dan keterangan
7
apa yang diharapkan sehingga nanti kita dapat diyakinkan. Jadi pada hakikatnya para Saksi dan Ahli ini diperlukan keterangannya untuk meyakinkan kami sembilan orang ini, mengenai subtansi perkara yang diuji dari perspektif Pemohon tentu dia ingin mendukung dalil-dalilnya, dari perspektif Pemerintah mungkin sekali sebaliknya dan saya anjurkan pada Saudara-Saudara Ahli, yakin saja kepada kebenaran ilmiah yang Anda yakini. Anda diajukan oleh Pemerintah atau diajukan oleh Pemohon tidak harus Anda lalu sama pendapatnya dengan yang mengajukan, kalau begitu nanti membela yang bayar, kita harus membela yang benar, bukan membela yang bayar. Saya kira begitu ya Pak. Silakan Pemerintah. 25.
PEMERINTAH DEPDIKNAS)
:
Prof.
Dr.
Ir.
DODY
NANDIKA
(SEKJEN
Terima kasih Majelis Hakim yang mulia, Saya ingin menanyakan kepada Ahli, satu orang Ahli yaitu Profesor Doktor Arifin. Dari keahlian yang Pak Arifin miliki dapatkah diungkapkan hakikat atau niatan utama mengapa satuan pendidikan itu harus atau perlu didorong menjadi badan hukum pendidikan? Apa sebenarnya filosofinya di balik itu? 26.
AHLI DARI PEMERINTAH : Prof. Dr. ARIFIN. P. SOERIA ATMAJA Baik, terima kasih. Hal yang menjadi niat utama dari Pemerintah untuk menetapkan atau mendudukkan suatu perguruan tinggi sebagai badan hukum adalah bahwa di dalam pergaulan masyarakat, badan hukum adalah merupakan subjek hukum sehingga dia dapat melakukan dan melaksanakan hak dan kewajiban hukumnya. Oleh karena itu sangat penting adanya perguruan tinggi didudukkan sebagai badan hukum, karena kalau tidak itu akan sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar kita yang tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap setiap perguruan tinggi yang ada di Indonesia.
27.
PEMERINTAH DEPDIKNAS)
:
Prof.
Dr.
Ir.
DODY
NANDIKA
(SEKJEN
Yang Mulia Ketua Majelis, Kami akan mengajukan pertanyaan kepada Ahli Profesor Doktor Johannes Gunawan. Pak Johannes Gunawan, sebagai Ahli dapatkah disampaikan bagaimana keterkaitan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dengan Undang-Undang Dasar 1945? Mohon dapat dijelaskan
8
untuk kemudian dapat diketahui makna dan niat dari Pemerintah di dalam melahirkan Undang-Undang Nomor 20 khususnya Pasal 53 ayat (1)? Saya persilakan Pak Johannes. 28.
AHLI DARI PEMERINTAH : Prof. Dr. JOHANES GUNAWAN Baik, terima kasih. Bapak Ketua Majelis yang saya hormati dan juga Bapak-Bapak Anggota Majelis yang saya hormati, Sebetulnya pertanyaan ini bisa menampung berbagai hal yang ingin saya sampaikan, karena itu apakah diperkenankan saya mempresentasikan dengan menggunakan power point Pak?
29.
KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan, silakan boleh.
30.
AHLI DARI PEMERINTAH : Prof. Dr. JOHANES GUNAWAN Terima kasih. Baik, Bapak Ketua Majelis serta anggota yang saya hormati, Perkenankanlah saya menyampaikan legal opinion atau pendapat hukum saya seperti yang tadi disampaikan oleh Bapak Ketua bahwa saya akan menyampaikan pandangan saya berdasarkan keahlian dan juga pengalaman yang miliki, karena kebetulan saya terlibat dalam penyusunan RUU BHP. Dengan demikian cukup banyak hal yang perlu dikupas di dalam kaitan dengan Pasal 53 UndangUndang Sisdiknas, tapi mungkin disampaikan terlebih dahulu bahwa kali ini saya tidak membela yang bayar, karena saya tidak dibayar oleh Diknas, terima kasih Pak. Jadi pertama saya kira kasus posisinya adalah bahwa Pemohon pada umumnya kalau saya singkat saja kasus posisinya telah dipaparkan sebelumnya, bahwa Pasal 53 yang terdiri dari empat ayat itu, terutama di sini yang dimasalahkan adalah Pasal 53 ayat (1) saja yang dinyatakan bertentangan dengan beberapa pasal di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen maupun sesudah amandemen. Intinya bahwa Pasal 53 itu ayat (1) khususnya, itu menafikan atau menghilangkan hak dari yayasan atau badan sosial yang sejenis untuk tidak eksis lagi dalam mengelola pendidikan. Jadi Pasal 53 itu menghilangkan hak dari yayasan atau badan sosial lainnya untuk menyelenggarakan pendidikan di Indonesia dan itu bertentangan dengan pasal-pasal di dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang pada hakikatnya semua pasal itu menyatakan bahwa semua orang bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, semua orang bebas untuk berserikat dan berkumpul, dan sebagainya. Kalau
9
pasal itu yang dianggap sebagai pasal yang dipertentangkan dengan Pasal 53 ayat (1). Sebelum itu perkenankanlah saya menyampaikan pemeriksaan hukum atau legal audit terlebih dahulu terhadap kasus ini, Bapak Ketua dan para Anggota Majelis yang saya hormati. Jadi yang dilanggar menurut apa yang saya baca di dalam permohonan adalah Pasal 27, “semua warga negara bersamaan kedudukannya”. Pasal 28A, “setiap orang berhak untuk hidup dan berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pasal 28C, “setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif”, Pasal 28D, “setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pasal 28G ayat (1), “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan seterusnya”. Saya kira ini sudah tadi saya kemukakan supaya dalam permohonan itu sangat jelas dikemukakan. Nah, yang melanggar pasal-pasal tadi di dalam permohonan disebutkan bahwa Pasal 53 ayat (1) jadi ada empat ayat tapi hanya Pasal 53 ayat (1) saja yang dikemukakan melanggar pasal-pasal di dalam Undang-Undang Dasar tadi, termasuk penjelasannya tentu saja, penjelasan dari Pasal 53 ayat (1) itu. Di sinilah barangkali yang Bapak Ketua pada sidang yang lalu mengemukakan inilah yang diadili jadi yang diadili adalah undang-undang khususnya Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Sisdiknas. Kalau kita lihat Pasal 53 Bapak Ketua serta Bapak-Bapak Anggota Majelis yang saya hormati, kalau kita melihat Pasal 53 ayat (1), Undang-Undang Sisdiknas itu tidak dijelaskan beberapa pengertian yang terdapat di dalamnya. Pertama, kalau kita melihat penjelasan dari Pasal 53 itu, itu masih terdapat beberapa istilah yang tidak jelas. Jadi kalau saya boleh kembali sebentar ini rumusan Pasal 53 jadi di situ disebutkan ada penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Ketika saya harus mencari arti dari kata “penyelenggara”, pertama tentu saya akan mencari di penjelasan resmi di undangundang tersebut, ternyata saya tidak memperolehnya, Bapak Ketua serta anggota-anggota Majelis yang saya hormati. Demikian juga mengapa di dalam Pasal 53 itu digunakan kata atau istilah dan/atau? Itu tentu ada maknanya tidak hanya sekedar dan, tidak sekedar atau saja. Kemudian juga tidak ditemukan istilah apa yang disebut badan hukum pendidikan? Jadi di dalam penjelasan resmi Undang-Undang Sisdiknas itu tidak dikemukakan mengenai ini. Dan tentu kalau kita mau menganalisis apakah Pasal 53 ayat (1) ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, kita harus tahu persis mengenai apa makna dari Pasal 53 ayat (1) ini? Sehingga bisa dikaji apakah dia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal-pasal yang tadi saya kemukakan atau tidak?
10
Untuk itu atau sebelum sampai ke sana Bapak Ketua serta anggota Majelis yang saya hormati, penjelasan Pasal 53 ayat (1) ini, hanya berbunyi demikian “badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan atau satuan pendidikan antara lain berbentuk BHMN”. Saya sendiri sebagai Ahli merasa bahwa badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum menurut hemat saya tidak tepat, karena landasan hukum biasanya adalah sebuah peraturan perundang-undangan bukan bentuk badan hukum. Tapi baiklah ini sudah menjadi undang-undang, kita pegang saja, kecuali nanti dimohonkan lagi di Mahkamah Konstitusi. Baik Ibu dan Bapak, Bapak Ketua serta Anggota Majelis yang saya hormati, di dalam Pasal 53 ayat (1) ini istilah yang tidak dijelaskan bisa saya klasifikasi, bisa saya golongkan. Hal yang pertama adalah mengenai kata “penyelenggara” tadi. Itu harus didefinisikan terlebih dahulu, apa itu yang dimaksud oleh si pembuat undang-undang dengan kata atau istilah penyelenggara? Dalam Pasal 53 ayat (1). Hal yang kedua apa maksud penggunaan istilah dan/atau? Dan yang ketiga, apa yang dimaksud dengan badan hukum pendidikan? Inilah yang di dalam Pasal 53 ayat (1) harus betul-betul disamakan persepsinya terlebih dahulu barulah kita bisa menilai ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Selama ini belum, maka tidak akan ada pandangan bahwa ini bertentangan atau tidak. Baik, sekarang kita ingin memberikan makna dari tiga hal ini apa istilah penyelenggara ini artinya? Apa maksud penggunaan istilah dan/atau? Dan apa yang disebut sebagai badan hukum pendidikan? Sebelum saya memberikan pandangan mengenai hal ini saya yakin Bapak Ketua serta para Anggota Majelis yang saya hormati juga semua hadirin yang ada di sini yang berlatar belakang pendidikan hukum, tentu mengetahui dan kalau suatu pasal atau suatu peraturan perundang-undangan tidak jelas, tidak lengkap, atau tidak ada maka kita tidak boleh menafsirkan sesuai dengan kehendak kita, karena apa? Saya kira di setiap fakultas hukum itu diajarkan apa yang disebut metode penemuan hukum, rechtsvinding. Jadi memang pada waktu diajarkan di fakultas hukum dulu bahwa rechtsvinding ini berdasarkan Pasal 22 algemene bepalingen kemudian ada di dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, kemudian direvisi lagi, itu sebetulnya untuk hakim. Tetapi menurut hemat saya dan sekarang saya mengajarkan demikian kepada mahasiswa seharusnya semua ahli hukum itu memegang teguh metode penemuan hukum atau rechtsvinding ini kalau pasal atau peraturan perundangan itu tidak jelas maknanya, seperti tadi apa kata “penyelenggara”? Tidak ada! Jadi harus ditafsirkan diketemukan hukumnya atau tidak jelas dan tidak lengkap. Dalam hal ini tidak bolehlah kita sebagai orang yang berkecimpung di dalam dunia hukum menurut hemat saya menemukan hukum dengan mohon maaf Pak Ketua dan Anggota Majelis dengan “seenak perut”
11
menafsirkan, ini agak sedikit vulgar istilah yang saya gunakan, tapi saya menilai bahwa itulah sebabnya mengapa di negara kita ini timbul masalah-masalah karena menafsirkannya itu karena menafsirkannya tidak dengan metode yang sudah dibekalkan kepada kita sebagai ahliahli hukum. Sekedar untuk menyamakan persepsi tidak bermaksud dengan mohon maaf sebesar-besarnya bahwa saya tidak bermaksud untuk menggurui, tetapi ingin menyamakan persepsi bahwa rechtsvinding atau penemuan hukum itu bagaimana? Paling tidak kedua klasifikasi yaitu pertama adalah mengenai apa yang disebut penafsiran hukum. Hal yang kedua mengenai konstruksi hukum, penafsiran hukum saya kira ada yang klasik ada lima mulai dari gramatikal, historis, sistematis, kemudian otentik dan sosiologis atau teleologis, dan sekarang mohon maaf ini saya sitir di negeri Belanda itu muncul yang keenam yaitu yang disebut antisipatoris. Jadi ada enam metode itu untuk menafsirkan kalau peraturan perundangan itu tidak jelas atau tidak lengkap atau tidak ada. Kemudian yang konstruksi hukum saya kira ada tiga mohon maaf sekali lagi untuk menyamakan persepsi saja yang pertama adalah argumentum et contrario, yang kedua adalah analogi, dan yang ketiga adalah rechtsverfijning atau penghalusan hukum. Itulah resep atau metode yang diberikan oleh guru-guru kita dulu kalau menemukan suatu peraturan perundangan yang tidak jelas dan tidak lengkap dan tidak ada. Nah, marilah kita sekarang di sini mendemonstrasikan bagaimana kita menemukan arti kata “penyelenggara” dan atau serta badan hukum pendidikan tadi manakala itu tidak ada di dalam undangundangnya sendiri. Baik, kita mulai saja Ibu dan Bapak dengan yang pertama, yaitu siapa atau apa dimaksud dengan “penyelenggara” di sini? Tadi sudah saya kemukakan di cari di dalam penjelasan resminya Undang-Undang Sisdiknas itu tidak ada, kalau tidak ada maka kita bisa melakukan dengan metode tadi yaitu motode rechtsvinding atau penemuan hukum, pertama penafsiran gramatikal saya gagal menemukan arti kata “penyelenggara” yang relevan dengan persoalan badan hukum pendidikan. Tetapi ketika saya menggunakan penafsiran yang kedua yaitu yang sistematis saya berhasil menemukan apa yang dimaksud dengan “penyelenggara” itu. Jadi bisa saya kemukakan Bapak Ketua serta Anggota Majelis yang saya hormati, ketika Undang-Undang Sisdiknas ini dirancang yaitu yang kemudian diundangkan 8 Juli 2003, pada saat itu maka masih berlaku apa yang disebut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 ini adalah mengatur mengenai pendidikan tinggi dan sampai sekarangpun karena belum diganti berdasarkan Undang-Undang Sisdiknas dia masih berlaku, berarti apa? Berarti ketika Undang-undang Sisdiknas khususnya Pasal 53 itu dirancang pembuat undang-undang pasti
12
memperhatikan apa yang pada saat itu berlaku sebagai sebuah sistem hukum nasional. Jadi PP Nomor 60 tahun 1999 itu sebagai salah satu sub sistem yang pada saat itu berlaku, demikian juga Undang-Undang Sisdiknas akan dimasukkan dalam sistem hukum nasional yang sama. Oleh karena itu perkenankan saya melihat PP Nomor 60 Tahun 1999 yang pasti akan mempengaruhi persepsi dari si pembuat Undang-Undang Sisdiknas pada saat itu khususnya dalam perumusan Pasal 53. Saya tunjukkan kepada Bapak Ketua serta Bapak-Bapak Anggota Majelis yang saya hormati, Jadi dengan menggunakan penafsiran sistematis dari Pasal 119 PP Nomor 60 Tahun 1999 itu menyatakan bahwa pendirian perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat, kalau boleh saya tegaskan di sini adalah perguruan tinggi swasta, selain memenuhi ketentuan sebagaimana diatur PP Nomor 60 harus pula memenuhi persyaratan bahwa penyelenggaranya berbentuk yayasan. Jadi penyelenggaranya berbentuk yayasan atau badan yang bersifat sosial. Jadi dari Pasal 119 PP Nomor 60 Tahun 1999 ini kita mengetahui bahwa yang dimaksud dengan kata “penyelenggara” pada saat Undang-Undang Sisdiknas itu disusun, itu adalah me-refer, menunjuk kepada apa yang disebut yayasan atau badan yang bersifat sosial, itu satu. Jadi mohon sekarang kita sudah mulai menemukan apa arti kata “penyelenggara” di dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Sisdiknas tadi menggunakan penafsiran sistematis. Berikutnya Bapak Ketua serta Anggota Majelis yang saya hormati. Pasal 122 PP Nomor 60 itu menyatakan bahwa pendirian universitas, institut, atau sekolah tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah, artinya PTN kalau boleh saya menggunakan istilah itu, perguruan tinggi negeri ditetapkan dengan keputusan presiden atas usul yang diajukan oleh menteri. Jadi menurut pasal ini yang saya beri warna kuning Bapak Ketua serta Anggota Majelis yang saya hormati, yang dimaksud dengan penyelenggara dalam konteks PTN itu adalah Pemerintah. Jadi dari Pasal 119 dan Pasal 122 ayat (1) kita bisa menyimpulkan bahwa yang dimaksud “penyelenggara” pada saat Undang-Undang Sisdiknas itu dibuat khususnya Pasal 53 ayat (1) itu adalah: 1. Dalam konteks PTS itu adalah yayasan atau badan sosial lainnya. 2. Dalam konteks PTN itu adalah Pemerintah, jadi penyelenggara itu kongkritnya atau yayasan atau Pemerintah. Itu adalah hasil penafsiran sistematis terhadap makna Pasal 53 khususnya istilah “penyelenggara”.
Kedua, apa maksud penggunaan istilah “dan/atau”? Di sini Bapak
Ketua dan Anggota Majelis yang saya hormati, saya berhasil cukup dengan menggunakan penafsiran gramatikal saja, tidak jauh penafsiran yang pertama. Kata “dan” dapat berarti bersama-sama atau kedua-
13
duanya. Jadi bersama-sama atau kedua-duanya. Sedangkan kata “atau” berarti salah satu. Itu menurut penafsiran gramatikal berdasarkan kamus bahasa Indonesia. Dengan demikian dari Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Sisdiknas yang menyatakan “penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal berbentuk badan hukum pendidikan” itu memunculkan karena akibat penggunaan kata “dan/atau” memunculkan empat macam kemungkinan. Jadi sekali lagi Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Sisdiknas itu “penyelenggara dan/atau”, “penyelenggara” sudah kita ketemukan tadi yaitu apakah yayasan atau Pemerintah dan atau satuan pendidikan formal, yang dimaksud satuan pendidikan formal adalah perguruan tingginya atau sekolahnya. Berdasarkan ini empat kemungkinan yang disimpulkan dari Pasal 53 ayat (1) tadi salah satu dari kata “dan/atau” kalau atau itu berarti salah satu, dalam hal ini penyelenggara berubah menjadi badan hukum pendidikan. Ini adalah salah satu kemungkinan akibat penggunaan kata “dan/atau” jadi baik atau penyelenggaranya menjadi badan hukum pendidikan sesuai perintah Pasal 53 ayat (1) tadi atau satuan pendidikannya menjadi badan hukum pendidikan, itu satu alternatif. Kedua, adalah salah satu, karena ada kata “atau”. Dalam hal ini satuan pendidikannya, jadi bukan penyelenggaranya tapi adalah satuan pendidikannya yang berubah menjadi badan hukum pendidikan. Sedangkan penyelenggaranya dalam hal ini adalah yayasan atau Pemerintah tetap dalam bentuknya semula, itu Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Sisdiknas dari kata “atau”. Ketiga, penyelenggara karena ada kata “dan”, bersama-sama dengan satuan pendidikan itu berubah badan hukum pendidikan . Keempat, adalah penyelenggara maupun satuan pendidikan masing-masing jadi badan hukum pendidikan. Jadi Bapak Ketua, Anggota Majelis yang saya hormati, Sebetulnya dari salah satu alternatif di sini sudah nyata sekali bahwa kalau kita menggunakan Pasal 53 ayat (1) kemungkinan kedua, yaitu salah satu menjadi badan hukum pendidikan, yaitu dalam hal ini adalah satuan pendidikannya, maka yayasannya itu tetap tidak berubah dalam bentuk yang semula. Itu dalam konteks PTS, tapi dalam konteks PTN maka Pemerintah tidak mungkin jadi diubah menjadi badan hukum pendidikan. Jadi satu-satunya kemungkinan bagi PTN adalah bahwa satuan pendidikannya yang menjadi badan hukum pendidikan. Jadi kalau digambarkan supaya mungkin untuk memperjelas, ini adalah alternatif pertama. Jadi ada penyelenggara dalam hal ini Pemerintah atau yayasan satuan pendidikan itu adalah sekolah atau perguruan tingginya. Alternatif pertama adalah penyelenggaranya menjadi BHP, karena penyelenggara dan/atau dalam bentuk badan hukum pendidikan, itu kata Pasal 53 ayat (1) jadi bisa penyelenggaranya menjadi BHP (Badan Hukum Pendidikan).
14
Kedua,
kemudian kalau dalam hal ini maka satuan pendidikannya adalah aparat dari BHP yang muncul. Alternatif kedua adalah bahwa penyelenggara dalam hal ini Pemerintah atau yayasan, satuan pendidikan adalah sekolah atau perguruan tinggi itu menjadi BHP bukan penyelenggaranya yang menjadi BHP tetapi adalah satuan pendidikannya, ini alternatif kedua. Dalam alternatif kedua ini jelas sekali bahwa yayasan apalagi Pemerintah itu tetap dalam bentuknya semula, ini Pasal 53. Jadi kemungkinan yang kedua ini, sebetulnya tidak ada Pasal 53 itu bermaksud untuk meniadakan yayasan, tidak ada maksud Pasal 53 ayat (1) untuk menghilangkan hak yayasan, untuk menyelenggarakan pendidikan. Ketiga, ini hampir tidak mungkin atau sebetulnya tidak ada artinya, karena sampai sekarang tidak ada satuan pendidikan yang berbadan hukum. Jadi kalau dua-duanya bersama-sama menjadi BHP, maka satuan pendidikannya juga harus bevoek en bekwaam untuk bertindak sebagai badan hukum, tapi dalam hal ini tidak, karena satuan pendidikannya sampai sekarang tidak ada yang berstatus sebagai badan hukum. Di swasta yang berbadan hukum adalah yayasannya, perguruan tingginya tidak. Di PTN yang berbadan hukum adalah negaranya yang kewenangannya dijalankan oleh Pemerintah. Perguruan tingginya dia tidak mempunyai status sebagai badan hukum tapi dia adalah aparat dari Pemerintah. Keempat, adalah masing-masing menjadi badan hukum pendidikan, ini juga tidak perlu sebetulnya alternatif ini dikemukakan. Jadi Bapak Ketua serta para Anggota Majelis yang saya hormati, jika penyelenggaranya adalah Pemerintah, maka satu-satunya kemungkinan dari empat kemungkinan tadi adalah perguruan tingginya saja yang menjadi badan hukum. Yang kedua, jika penyelenggaranya adalah yayasan, ini yang menjadi persoalan di dalam permohonan ini, jika penyelenggaranya yayasan maka yayasan alternatif pertama bisa berubah menjadi BHP. Karena ada kata “dan/atau” kata “atau” menyatakan bahwa yayasan atau badan bersifat sosial tidak berubah atau tetap dalam bentuk semula, kemudian yayasan atau badan yang bersifat sosial tadi mengubah perguruan tingginya atau mengubah satuan pendidikannya menjadi badan hukum, tapi yayasannya tetap, tidak ditiadakan, tidak dinafikan, dan sebagainya. Nah, jadi kemungkinan tiga di atas, kemungkinan yang dapat diabaikan seperti tadi yang sudah saya kemukakan, lalu sekarang apa yang dimaksud dengan badan hukum pendidikan? Ini persoalan kedua dari Pasal 53 ayat (1) tadi. Jadi penjelasan Pasal 53 ayat (1) menyatakan, “bahwa badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum”, namun demikian penjelasan resmi itu tidak memberikan jawaban tentang apa yang dimaksud dengan badan hukum pendidikan. Jadi ini sebagai untuk menyamakan persepsi juga bahwa di sistem hukum kita sekarang, yang ada itu adalah spesiesnya ada badan hukum yang namanya perseroan terbatas, koperasi,
15
yayasan, dan sebagainya. Tetapi kita belum memiliki sebagai negara yang disebut Undang-Undang tentang Badan Hukum, itu belum ada. Yang muncullah itu adalah justru anak-anaknya lebih dahulu, tetapi Undang-Undang tentang Badan Hukum sampai sekarang kita belum memilikinya. Cantolan satu-satunya dalam KUHPerdata adalah 1683, KUHPerdata yang mengatur mengenai hal ini. Seperti tadi kalau kita juga tidak jelas, tidak lengkap atau tidak ada baiklah kita masuk kembali kepada rechtsvinding tadi. Bagaimana? Apa arti dari badan hukum tersebut? Dengan gramatikal saya sudah berhasil menemukan apa yang disebut badan hukum, walaupun ada pendapat dari macam-macam Ahli seperti Profesor Subekti dan sebagainya. Tapi dari Black Law Dictionary kita menemukan yang disebut sebagai legal entity atau badan hukum adalah badan selain manusia yang dapat berfungsi secara hukum, dapat digugat atau menggugat, dan mengambil keputusan sebagai contoh yang sangat keras adalah apa yang disebut corporation atau perusahaan. Nah, ini adalah yang disebut sebagai legal entity atau badan hukum. Nah, sebagai badan hukum yang memiliki kemandirian, jadi kalau secara teoritik barangkali kita mengenal dulu waktu belajar di fakultas hukum, ada subjek hukum, ada orang atau sekarang di dalam peraturan perundang-undangan selama zaman Pak Habibie itu disebut orang perorangan. Kalau subjek hukum orang, ini orang perorangan, lalu ada badan hukum. Lah, badan hukum ini adalah kreasi atau ciptaan hukum yang mempunyai hak dan kewajiban sama dengan manusia sebagai subjek hukum. Nah, kalau dibentuk badan hukum maksudnya adalah bahwa badan hukum itu menjamin secara hukum, otonomi atau kemandirian dari badan hukum itu. Dan sekarang kita lihat, apakah Undang-Undang Sisdiknas itu memang memerintahkan otonomi itu? Kita temukan pasalnya. Di dalam Pasal 51 ayat (1) dan (2) kita menemukan bahwa pengelolaan satuan pendidikan dasar dan menengah dilakukan berdasarkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) kemudian di dalam penjelasannya Pasal 51 ayat (1) tadi itu dikemukakan bahwa bentuk otonomi MBS itu diartikan sebagai otonomi manajemen atau manajemen berbasis sekolah itu diartikan sebagai otonomi manajemen pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah. Kemudian di Pasal 51 ayat (2) untuk satuan pendidikan tinggi itu didasarkan pada prinsip otonomi. Jadi kalau kita mau melihat UndangUndang Sisdiknas memerintahkan agar otonomi itu bukan pada penyelenggaranya, tapi pada satuan pendidikannya itu perintah dari Pasal 51 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Sisdiknas. Oleh karena itu secara hukum bagaimana agar otonomi itu bisa diwujudkan? Otonomi artinya mandiri dapat mengelola organisasinya sendiri termasuk keuangan dan sebagainya, maka dia harus memiliki status sebagai badan hukum. Badan hukum yang menjamin secara hukum kemandirian dari satuan pendidikan tadi, itu disebut badan hukum
16
pendidikan. Itulah saya kira apa yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1). Jadi otonomi itu bukan diletakkan pada penyelenggaranya, tetapi diletakkan pada satuan pendidikannya. Perbedaannya antara Dikdasmen dengan Dikti, pendidikan dasar dan menengah, dengan Dikti perbedaannya adalah bahwa mengapa di dalam Dikdasmen disebut MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) karena yang diotonomikan itu adalah manejemennya sedangkan dalam perguruan tinggi yang diotonomikan adalah baik manajemennya maupun substansinya, karena sudah ada kebebasan ilmiah, kebebasan akademik, dan sebagainya. Maka patutlah dia diberikan otonomi pada perguruan tinggi secara utuh. Jadi kembali Bapak Ketua serta Bapak Anggota Majelis yang saya hormati, bahwa otonomi ini harus diwadahi secara hukum, apa wadahnya? Wadahnya adalah badan hukum, apa namanya? Namanya adalah badan hukum di bidang pendidikan atau disingkat Badan Hukum Pendidikan. Jadi kesimpulannya, izinkan saya menyimpulkan Bapak Ketua serta Bapak Anggota Majelis, jadi dari empat kemungkinan tadi itu kemungkinan kedua yaitu bahwa penyelenggaranya dalam hal ini adalah Pemerintah atau yayasan itu tetap dalam bentuk yang semula, ini Pasal 53 yang dimasalahkan dalam sidang ini, itu tetap kemudian satuan pendidikannya dalam hal ini kalau perguruan tingginya adalah perguruan tingginya itulah yang diubah menjadi Badan Hukum Pendidikan supaya otonom. Dari kesimpulan ini bisa saya kemukakan bahwa sebetulnya tidak ada Pasal 53 ayat (1) itu bermaksud bertujuan untuk menafikan atau menghilangkan hak yayasan karena tetap dilindungi eksistensinya. Oleh karena itu Bapak Ketua dan Anggota Majelis yang saya hormati, kalau Pasal 53 ayat (1) itu tetap mengakui melindungi adanya atau eksistensi dari Pemerintah atau yayasan kalau dalam konteks pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, maka sebetulnya tidak ada pertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang tadi disinggung pasal-pasalnya. Itu kesimpulan yang saya bisa sampaikan berdasarkan keahlian dan pengalaman saya, terima kasih Bapak Ketua serta Bapak Majelis yang saya hormati. 31.
PEMERINTAH : Prof. Dr. Ir. DODDY NANDIKA (SEKJEN DEPDIKNAS) Yang mulia Bapak Ketua, Kami sudah menyiapkan bahan tertulis jika memang diperlukan oleh Ketua dan Anggota Majelis.
32.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H Baik,
17
Apa sudah dua belas rangkap? Sudah ya! Masih ada tambahan lagi? Sementara itu petugas silakan diambil. 33.
KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD. P SIMORANGKIDR, S.H. Bapak Ketua, para anggota yang (...)
34.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H Tolong Pemohon diberi satu juga.
35.
KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD. P SIMORANGKIDR, S.H. Izin untuk memberikan sedikit tambahan kembali kepada Bapak Arifin sebagai Ahli, saya masih sedikit ini penasaran kenapa, mengapa satuan harus menjadi subjek hukum, harus begitu, kenapa? Apa tidak boleh kalau tidak? Silakan.
36.
AHLI DARI PEMERINTAH : Prof. Dr. ARIFIN. P. SOERIA ATMADJA Terima kasih, Yang terhormat Bapak Ketua dan Wakil Ketua dan hadirin sekalian. Saya sebenarnya sudah menyiapkan satu makalah mengenai legal opinion ini. Namun kiranya atas izin Ketua dan Wakil Ketua dan Anggota Sidang dapat saya bacakan pokok-pokoknya saja. Pokok-pokoknya adalah sebagai berikut: Bahwa dalam pergaulan masyarakat, manusia sebagai individu atau suatu perkumpulan hanya dapat melakukan perbuatan hukum sesama samanya apabila dia melupakan subjek hukum. Pada zaman perbudakan, budak sebagi makhluk tidak diperlakukan sebagai manusia yang dapat melakukan perbuatan hukum karena ia bukan subjek hukum, demikian pula perkumpulan bukan merupakan subjek hukum apabila dia dinyatakan secara tegas berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku sebagai subjek hukum meskipun para anggota, anggotanya secara individual masing-masing adalah subjek hukum. Tanpa kedudukan sebagai subjek hukum tidak mereka melakukan perbuatan hukum yang menghidupkannya pada kesejahteraan di depan hukum dalam mempertahankan hak dan kewajiban hukumnya yang oleh Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of State and Law dikatakan bahwa konsep legal person dikatakan sebagai pencerminan dari hukum positif yang erat kaitannya dengan konsep kewajiban hukum atau legal duty dan legal right, agar dia mampu melakukan kewajiban hukumnya dan mempertahankan hak dan pelaksanaan kewajiban hukumnya.
18
Oleh karena itu status hukum, status subjek hukum merupakan conditio sine qua non baik bagi manusia maupun perkumpulan atau perguruan tinggi karena tanpa kedudukan sebagai subjek hukum mustahil mereka dapat melakukan hubungan hukum dalam lalu lintas hukum. Mengingat mereka tidak mempunyai kemampuan hukum atau rechtsbekwaam yang dapat menimbulkan akibat hukum dimana dikatakan oleh Tom Klaar dalam bukunya inleiding rechtspersonen rechts sebagai berikut rechtspersonen moeten als rechtsubjecten functioneren jadi sangat jelas bahwa agar sesuatu perkumpulan dapat memutarkan hak dan kewajiban hukumnya dia harus menjadi subjek hukum dan untuk itu satu-satu cara ialah dengan menjadikannya perkumpulan itu sebagai pelayan hukum, bagaimana dengan status hukum perguruan tinggi masa lampau dan masa sekarang dan yang akan datang, jawabannya akan sangat menarik bilamana dikaitkan dengan pertanyaan. Apakah sebuah Perguruan tinggi di masa lampau dan pada saat ini merupakan subjek hukum, jawabannya jelas tidak kecuali Perguruan tinggi yang berstatus hukum BHMN atau Badan Hukum Negara dimana secara tegas dikatakan bahwa salah satu pasal peraturan Pemerintah pendiriannya bahwa universitas adalah satu badan hukum yang bersifat nirlaba. Demikian kedudukannya sebagai hukum jelas bahwa universitas berstatus BHMN adalah subjek hukum dimana sebagai akibat status hukumnya yang demikian ia merupakan subjek hukum dan mempunyai kemampuan hukum atau rechtsbekwaam dalam mempertahankan hak dan kewajibannya secara otonom dalam pergaulan masyarakat. Dan di dalam pengelolahan pertanggungjawaban keuangan otomatis tidak tunduk pada ketentuan anggaran pendapatan belanja negara, hal ini kesan bahwa BHMN melakukan kompensasi pendidikan sukar diterima akal sehat melihat umur BHMN yang baru seumur jagung tentunya belum dapat dinilai apalagi comercial venture yang akan berkiprah sebagai badan usaha yang menunjang Perguruan tinggi yang berjalan dengan baik. Bapak Ketua dan Wakil Ketua dan Majelis yang Terhormat kalau seandainya comercial venture sudah dapat berjalan secara komersial dan menguntungkan, bukan tidak mungkin atau tidak mustahil biaya pendidikan pada BHMN akan lebih murah dibanding Perguruan tinggi, swasta bukan bantuan-bantuan hukum yang dikelola oleh Yayasan. Bagaimana dia yang status hukum universitas swasta dan apakah ia merupakan subjek hukum, sampai saat ini pada umumnya jelas ia bukan merupakan subjek hukum karena ia bukan berbadan hukum sehingga universitas swasta yang bukan merupakan badan hukum itu secara yuridis ia tidak mempunyai kewenangan hukum rechtsonbekwaamheid dan tidak dapat melakukan perbuatan hukum serta dalam hubungan hukum, universitas swasta tersebut tidak dapat mempertahankan hak dan kewajiban hukumnya. Pada masa lalu dan
19
saat ini pun masih banyak bantuan hukum Yayasan yang berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 tentang Yayasan, secara diam-diam atau grijzelos bertindak untuk atas nama Perguruan tinggi dan melakukan perbuatan hukum untuk kepentingan Perguruan tinggi meskipun perguruan tinggi itu bukan subjek hukum yang sendirinya tidak mempunyai kemampuan hukum atau rechtsonbekwaamheid yang tidak berwenang memberikan kuasa dalam bentuk apapun ternyata…pernyataan maupun suatu kuasapun pada yayasan. Dengan demikian pada dasar konstruksi hukum, kedudukan Perguruan tinggi swasta yang bukan badan hukum dapat dikatakan dalam status hukum di bawah pengakuan atau onder…[sic!] sungguh tragis dan ironis bilamana sebuah Perguruan tinggi yang tidak berbadan hukum di negara merdeka dan berkedaulatan rakyat ini dan berfungsi meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang terumus dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, berada dalam status hukum di bawah pengampulan. Oleh karena itu diperlukan usaha mutlak membebaskan Perguruan tinggi dari di bawah pengampulan serta memberikan status Perguruan tinggi sebagai segi hukum melalui kedudukan subjek hukum yang otonom agar Ia mempunyai kemampuan dalam menilai hukum sebagai layaknya subjek hukum, dengan demikian menurut saya pemberian status badan hukum pada Perguruan tinggi adalah mutlak dan diperlukan dan ini merupakan keniscayaan. Agar Perguruan tinggi menjadi subjek hukum yang tidak mungkin dilakukan tanpa menjadikannya sebagai badan hukum, dalam kaitan kedudukan yayasan yang selama ini bertindak secara diam-diam atas nama Perguruan tinggi yang tidak berbadan hukum sebaiknya selain Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sikdiknas, sudah terbuka koridor hukum dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 tentang Yayasan. Khususnya Pasal 3 ayat (1), dimana dikatakan dalam penjelasannya; ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menegaskan yayasan tidak digunakan untuk wadah usaha dan Yayasan tidak dapat melakukan kegiatan usaha secara langsung tapi melalui badan usaha yang didirikannya atau melalui usaha lain dimana yayasan menyatakan kelalaiannya. Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tersebut diatas memberikan batasan kepada yayasan yang ingin mendirikan perguruan tinggi, tidak dapat melakukan kegiatan secara langsung akan tetapi harus dilakukan dengan mendirikan badan usaha terlebih dahulu dan pengertian badan usaha pada umumnya adalah badan yang berusaha cari keuntungan. Lalu timbul pertanyaan apakah wajar menurut penalaran yang sehat sebuah perguruan tinggi yang bertujuan mencari keuntungan? Jawabnya pasti tidak. Oleh karena itu perlu dicari jalan keluar agar perguruan tinggi diberikan status hukumnya sejajar dan sederajat
20
dengan yayasan sehingga tidak lagi dalam posisi status di bawah pengampuan dan bersamaan kedudukan dan atas tujuan di dalam hukum untuk segala warga negara jelas diamanatkan oleh Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Bapak Ketua, Wakil Ketua, dan Majelis yang terhormat, demikianlah pula sebaliknya apabila Perguruan tinggi baik yang didirikan oleh Pemerintah atau oleh masyarakat yang tidak berbadan hukum sehingga tidak dapat kedudukan yang sejajar dengan badan hukum lain seperti yayasan, wakaf, dan sebagainya, jelas hal ini bertentangan dengan Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 yang meamanatkan agar setiap orang atau subjek hukum berhak hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Selanjutnya berkaitan dengan bunyi Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, saya bertanya bagaimana mungkin suatu perguruan tinggi yang bukan merupakan subjek hukum atau tidak berbadan hukum berhak mengajukan dirinya atau memperjuangkan haknya secara kolektif atau membangun masyarakat, bangsa dan negara? Sedangkan kedudukannya tidak diakui karena bukan sebagai subjek hukum. sangat jelas kedudukan perguruan tinggi berbadan hukum yang dikelola oleh yayasan justru diskriminatif melanggar serta merugikan secara konstitusional sebagaimana itu diamanatkan Pasal 28 ayat (1), Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Dari uraian saya terdahulu sangat jelas bahwa status subjek hukum bagi perguruan tinggi merupakan condition sine qua non karena tanpa kedudukan sebagai subjek hukum perguruan tinggi tidak pasti tidak sejajar dan tidak sederajat di mata hukum dengan badan-badan hukum seperti yayasan, koperasi, dan sebagainya. Dan hal ini secara mencolok merupakan perlakukan yang diskriminatif, justru saya terangterangan menyingkirkan jiwa mulia Pasal 21 ayat (1),Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, mengatakan setiap orang berhak bebas dari perlakukan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan bimbingan terhadap perlakukan yang semacam itu. Selanjutnya apabila kita berpikir jernih dan ikhlas serta tulus hati ingin memastikan diri demi kemajuan pendidikan khususnya perguruan tinggi adalah sangat naif kalau kita kembali masih berpikir ala kolonial Belanda yang menempatkan perguruan tinggi tidak sebagai subjek hukum dan tidak mensejajarkan dengan badan hukum lain yang menilai perguruan tinggi sebagai sambilan atau sapi perah, mempertahankan esklusivisme dan menghindari transparansi. Secara jujur saya katakan bahwa intuisi akademik saya menyatakan bahwa satu-satunya cara meningkatkan kedudukan perguruan tinggi di mata hukum sehingga dapat berkiprah maksimal dalam meningkatkan keimanannya karena ketaqwaan serta akhlak yang mulia dan mencerdaskan kehidupan bangsa dalam alam demokrasi dalam
21
mendirikan perguruan tinggi sebagai subjek hukum dan mutatis mutandis sebagai badan hukum. Maksud tersebut di atas sangat jelas, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 53, telah memberikan solusi tepat yang mengatakan penyelenggaraan dan penyelenggara pendidikan formal didirikan oleh masyarakat dan berbentuk badan hukum pendidikan dan berprinsip nirlaba sebagaimana dilakukan oleh yayasan pada waktu ini. Dari uraian tersebut di atas tidak dapat dipungkiri bahwa badan hukum pendidikan merupakan keniscayaan, yang menunjang secara mendasar kesetaraan manfaat dalam dunia pendidikan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat dengan penuh kesadaran ingin membuktikan Bab XIII tentang pendidikan, Bab XIII tentang pendidikan Pasal 31 jo. Pasal 17 ayat (1) Pasal 28A, 28C ayat (1) bis Pasal 28G ayat (1) bis huruf 2 UUD 1945 jo. Pasal 63 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, agar apa yang diamanatkan UUD 1945 itu dilansir sesuai dengan makna dan filosofi yang terkandung di dalamnya. Adanya pro-kontra badan hukum pendidikan lebih disebabkan antara lain adanya kecenderungan tidak memahami secara mendasar makna yuris filosofis yang dijadikan landasan dari perguruan tinggi sebagai badan hukum, dimana sebagai subyek hukum memperoleh kesetaraan dimata hukum yang dalam setiap hubungan hukum memerlukan status subyek hukum. Sehingga badan hukum bagi perguruan tinggi merupakan conditio sine qua non atau adanya yayasan yang takut kehilangan mata pencaharian yang secara rutin diterima atau diperoleh perguruan tinggi sebagai mata pencaharian tetap bagi pengurus yayasan mempertahankan eksklusivisme yang menjunjung dengan anti transparansi dan otonomi perguruan tinggi. Demikianlah Bapak Ketua, apa yang saya sampaikan ini adalah pemikiran saya sebagai ahli. Terima kasih. 37.
KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD. P. SIMORANGKIR, S.H. Terima kasih Pak Arifin, terima kasih yang Mulia.
38.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Apa masih ada? Silakan.
39.
PEMERINTAH : W. CIPTO SETIADI (DIREKTUR HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, DEPT HUKUM DAN HAM) Untuk Prof. Johanes dan Prof. Arifin.
22
Tadi dikatakan penyelenggara atau satuan pendidikan wujudnya adalah badan hukum, hanya persoalannya adalah UU Sisdiknas tidak menyebutkan secara tegas di situ badan hukum pendidikan itu sebagai yang disingkat BHP. Apakah kalau demikian konsekuensinya badan hukum itu bisa badan hukum yang lain atau memang badan hukum pendidikan yang BHP, terima kasih. 40.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan.
41.
AHLI DARI PEMERINTAH : Prof. Dr. ARIFIN. P. SOERIA ATMAJA Kalau menurut pendapat saya adalah bahwa yang dimaksudkan dengan Badan Hukum Pendidikan itu adalah memang badan hukum pendidikan artinya bukan badan hukum yang lain. Karena badan hukum yang lain seperti yayasan itu bukan Badan Hukum Pendidikan. Demikian pula koperasi itu juga bukan Badan Hukum Pendidikan, saya kira itu yang bisa saya jawab.
42.
AHLI DARI PEMERINTAH : Prof. Dr. JOHANES GUNAWAN Baik, terima kasih Bapak Sucipto, jadi saya juga sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Arifin yaitu bahwa kalau disebut sebagai badan hukum pendidikan dengan huruf kecil itu memang berarti dia generic tapi kalau disebut badan hukum pendidikan dengan huruf besar maka sebagai ahli saya harus mengatakan itu adalah spesifik species dari genus tadi. Tapi di sini bisa saja tidak tertutup kemungkinan bahwa BHP itu adalah nama yang spesifik tadi itu tidak tertutup kemungkinan, terima kasih.
43.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Saudara Ahli sudah tahukan kemarin dalam keterangan dari DPR itu BHP hurufnya kecil yang disepakati? Setelah diketik menjadi besar hurufnya, sudah cukup?
44.
AHLI DARI PEMERINTAH : Prof. Dr. JOHANES GUNAWAN Sekalipun ada persoalan salah ketik dan sebagainya, Pasal 53 ayat (4) itu masih memerintahkan agar BHP itu tadi diatur dalam undang-undang tersendiri. Jadi dalam hal ini MK menurut hemat saya tidak bisa mengadili apakah nanti BHP itu banyak atau hanya satu BHP karena kita belum tahu bagaimana BHP itu nanti diatur dalam undang-
23
undang yang diperintahkan oleh Pasal 53 ayat (4) demikian, terima kasih. 45.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Kalaupun rancangannya sudah ada, rancangannya ya namanya juga baru rancangan, belum pasti seperti itu, kan belum tentu disetujui bersama, kecuali kalau sudah disetujui bersama, tinggal menunggu pengundangan dalam waktu tiga puluh hari itu secara materil sudah final, itu baru bisa dijadikan rujukan, kalau masih rancangan, ya belum bisa. Ok, cukup dari pemerintah. Sekarang dilanjutkan saja dua Saksi, supaya langsung saja, silakan.
46.
PEMERINTAH : Prof. Dr. Ir. DODDY NANDIKA (SEKJEN DEPDIKNAS) Yang Mulia Bapak Ketua dan anggota Majelis. Kepada dua orang saksi kepada Pak Suharyadi dan Pak Djoko. Sebagai saksi kami mohon untuk diungkapkan fakta yang ada selama ini tentang penyelenggaraan di perguruan tinggi swasta, saya persilakan.
47.
SAKSI DARI PEMERINTAH : Dr. Ir. SUHARYADI, M.S Bapak Ketua dan anggota MK yang saya muliakan.
Assalamu’alaikum wr. wb.
Sebagaimana Bapak Ketua Mahkamah tadi menyampaikan bahwa saksi fungsinya hanyalah menyampaikan keteranganketerangan yang faktual walaupun di sana-sini mungkin saja ada hal yang sifatnya mungkin agak ke arah hal yang sifatnya ahli tapi saya kira saya bukan ahli hukum jadi saya tidak akan berbicara masalah hukumnya. Saya ingin menyampaikan hal-hal yang faktual saja yang saya alami. Saya ingin menyampaikan ini bahwa saya sekarang sebagai Rektor Universitas Mercu Buana/universitas swasta, kemudian juga saya Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Seluruh Indonesia dan dari faktual yang saya alami adalah pada waktu Undang-Undang Nomor 16 tentang Yayasan tahun 2001 diterbitkan, teman-teman yayasan banyak sekali yang protes adanya undang-undang itu yayasan yang mengelola perguruan tinggi swasta, karena pasal-pasal di dalamnya dianggap teman-teman tidak cocok untuk mengelola Perguruan Tinggi. Pada waktu saya sebagai Sekretaris Jenderal Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta dan kita mengadakan seminar di berbagai daerah untuk memberikan masukan-masukan perubahan terhadap yayasan itu, sehingga salah satu saya kira dari usulan kita
24
maka UU Nomor 16 diperbaharui dengan UU Nomor 28 Tahun 2004. Tetapi saya kira dari pasal-pasal yang di dalam undang-undang yayasan perubahan itu pun saya kira memang sudah tidak cocok lagi di dalam hal pengelolaan pendidikan tinggi. Oleh karena itu sejak tahun 2001, sejak diundangkannya UU Yayasan Nomor 16 kami dari Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta itu mencoba untuk bagaimana kita bisa menemukan suatu badan hukum tersendiri yang mengelola pendidikan tinggi pada dasarnya karena kita dari asosiasi. Kemudian dalam berbagai pertemuan dengan pihak pemerintah Dirjen-Dirjen dan sebagainya maka salah satu hal yang saya kira kemudian dirumuskan dalam Pasal 53 UU Sisdiknas itu salah satunya memang upaya kita juga untuk bagaimana satuan pendidikan itu mempunyai badan hukum tersendiri yang namanya badan hukum pendidikan. Ini fakta-fakta yang kami jelaskan. Oleh karena itu memang menurut saya kedudukan yayasan sebelum adanya UU Nomor 16 Tahun 2001 dengan perubahannya Nomor 28 Tahun 2004 memang sangat berbeda. Yayasan sebelumnya memang tidak ada aturannya dalam bentuk UU karena belum ada pada waktu itu. Oleh karena itu pemikirannya memang harus berbeda setelah ada undang-undang itu, ini menurut saya sebagai saksi yang faktual kita mengalami. Apalagi tadi dijelaskan Prof. Arifin bahwa penjelasan Pasal 3 UU Nomor 6 Tahun 2001 dan kemudian dijelaskan pada penjelasan Pasal 3 pada UU Nomor 28 Tahun 2004 itu jelas-jelas yayasan tidak boleh menyelenggarakan kegiatan usaha sendiri, ini yang saya mohon untuk dimengerti bersama, supaya kita menjadi clear dalam masalah ini. Secara faktual (….) 48.
KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD. P. SIMORANGKIR, S.H. Ini menurut saya kata saksi bukan fakta lagi (…)
49.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Biar nanti kami beri nilai, nanti kan juga diberi Saudara kesempatan bertanya
50.
SAKSI DARI PEMERINTAH : Dr. Ir. SUHARYADI, M.S. Saya kira saya punya hak juga untuk menyampaikan pendapat saya. Karena ini pendapat saya sebagai saksi sekaligus saya menyampaikan hal faktual yang saya alami karena saya sebagai saksi yang disumpah tadi. Jadi yang saya sampaikan itu adalah hal-hal, fakta-fakta betul berdasarkan sumpah yang tadi saya sumpahkan, tidak ada karangan dalam hal ini. Kemudian dalam konteks penyelenggaraan pendidikan, saya kira saya juga harus mengacu kepada UU Sisdiknas. Pedoman kita dalam
25
penyelenggaraan pendidikan pastilah undang-undang yang berlaku pada waktu ini yaitu Undang-Undang Sisdiknas. Kalau kita mengacu pada Pasal 24, pendidikan tinggi itu adalah bersifat otonom, itu Pasal 24 ayat (2). Kemudian ditegaskan lagi pada Pasal 51 ayat (2) “pengawalan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu dan evaluasi yang transparan.” Dari Pasal 24 dan Pasal 51 inilah menurut saya muncullah Pasal 53, dimana satuan pendidikan walaupun tadi ada dan atau segala macam saya ingin bicara dari saya sebagai satuan pendidikan itu sebaiknya atau seharusnya berbadan hukum dalam bentuk badan hukum pendidikan. Karena apa? Selama ini memang perguruan tinggi itu bukan sebagai badan hukum, yang berbadan hukum adalah yayasannya. Dalam konteks dikatakan tadi, otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, transparansi mana mungkin satu perguruan tinggi bisa melaksnakan amanat undang-undang Pasal 51 ayat (2) kalau dia tidak berbadan hukum, tidak mungkin ini dalam hal-hal yang sifatnya faktual yang saya alami karena dia dibuka sebagai hukum yang bisa berbuat secara hukum, semuanya ditangani oleh yayasan, termasuk semuanya keuangan semuanya masuk ke yayasan dulu baru kemudian perguruan tingginya yang mengajukan kepada yayasan. Bagaimana kita bisa mengetahui transparansinya kalau yang masuk ke kita, kita pertanggungjawabkan, seharusnya seperti itu. Karena kita berbadan hukum memang tidak bisa melakukan itu, yayasan yang bisa. Oleh Karena itu di dalam konteks kita bagaimana kita bisa melaksanakan amanat UU Sisdiknas Pasal 51 ayat (2) dan sekaligus dalam implementasinya diatur dalam Pasal 53 ayat (1), (2), (3) maka menurut saya justru dengan nantinya satuan pendidikannya itu menjadi badan hukum pendidikan ini adalah satu terobosan, satu reformasi di bidang pendidikan. Kewenangan penuh diberikan kepada satuan pendidikan. Dan saya kira sudah saatnya yayasan memberikan kepercayaan penuh kepada satuan pendidikannya untuk mempunyai badan hukum sendiri. Yayasan juga tetap bisa mengawasi kok atas organ yayasan yang ada di dalamnya. Menurut saya tidak ada masalah asal tujuan kita bersama adalah memang dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan sifatnya adalah nirlaba. Pendidikan memang tidak boleh mencari keuntungan, harus nirlaba. Kalau prinsip itu dipegang, menurut saya tidak masalah. Jadi saya sebagai saksi sekaligus saya juga mengikuti berbagai organisasi di dalam proses ini. Kemudian yang ketiga, Bapak Ketua dan para anggota Mahkamah Konstitusi yang saya hormati, sekarang ini persaingan di kalangan perguruan swasta luar biasa, sangat berat, diberi otonomi penuh saja menghadapi persaingan itu saja sangat sulit, apalagi tidak punya otonomi, apalagi tidak mempunyai kekuasaan dalam bentuk badan hukum tersendiri yang segala hal yang dilakukan oleh pimpinan perguruan tingginya harus persetujuan yayasan, karena yayasannya berbadan hukum, menjadi lebih berat lagi. Inilah yang menurut saya
26
hal-hal yang sangat penting, yang sangat prinsipil mengapa dari awal saya sendiri sebagai Rektor Mercu Buana maupun sebagai Ketua Umum Asosiasi Perguruan Swasta ikut memperjuangkan agar satuan pendidikan inilah yang berbadan hukum dan badan hukumnya badan hukum pendidikan, ini pandangan saya sebagai Saksi yang saya kemukakan adalah hal-hal yang faktual, saya kira demikian, terima kasih.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
51.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, satu lagi, mungkin sama pertanyaannya tadi.
52.
SAKSI DARI PEMERINTAH :DJOKO SOEMADIJO, S.H. Yang saya muliakan Ketua dan anggota Majelis. Para hadirin yang saya hormati, izinkan saya menyampaikan pengalaman-pengalaman saya dalam konteks hal yang dibahas dalam persidangan. Saya secara pribadi mempunyai pengalaman yang unik karena yang dwifungsi ternyata tidak hanya ABRI, saya juga dwifungsi. Saya PNS yang sudah pensiun pada waktu saya menjadi PNS saya mendirikan beberapa perguruan tinggi swasta, jelasnya dwifungsinya di situ. Oleh karena itu pengalaman saya agak unik. Saya ingin menceritakan pengalaman saya ketika saya menjadi Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, dua priode. Pada waktu itu saya sebagai dekan mendirikan program notariat dan karena tidak ada aturan SPP-nya, maka saya menarik SPP berdasarkan insting dekan dan persetujuan rektor, ternyata di protes masyarakat, haknya apa? itu pungli, saya sampaikan kepada Pak Rektor “Pak Rektor ini bagaimana ini?” kemudian turunlah Irjen, BPKP turun, BPK juga turun, kasusnya sepele, uang SPP saya depositokan dan ternyata itu tidak boleh juga, jadi kesulitan saya sebagai Dekan Fakultas Hukum Negeri pada waktu itu, ini fakta, ini bukan pendapat saya Pak. Adalah kedudukan saya sama dengan kepala biro pada seperangkat birokrasi yang saya harus mengikuti ketentuan-ketentuan birokrasi yang sangat rigit, harus izinlah, harus berdasarkan masuk Selat Banten dulu dan sebagainya. Sebelum ada Undang-Undang berbendaharaan negara pada waktu itu, itu kesulitan. Sesudah ada UU Perbendaharaan juga sama saja, ketika saya berhenti tugas saya sebagai Dekan pada tahun 1993, saya lega sudah. Juga pada waktu masih dekan, saya mendapat kesempatan ke Universitas Leiden dalam rangka mengantarkan temanteman yang studi doktor dalam rangka science program saya mengantar ke sana, kemudian di antara saya yang mewakili rektor pada waktu itu dengan Rektor Laiden, siapa kita mengadakan perjanjian kontrak. ”Saya pulang, saya lapor rektor. Kita menjalankan
27
perjanjian dengan Leiden “oh tidak bisa” itu harus pemerintah, karena universitas itu bukan badan hukum, jadi kesulitannya, baik masalah keuangan, maupun masalah kerja sama dengan luar, itu ternyata rektor universitas negeri pada waktu itu. Apalagi dekannya, itu tidak bisa berbuat banyak. Nah, impian saya pada waktu itu, impian itu data juga ya Pak? Bukan pendapat. Impian saya pada waktu itu alangkah indahnya, alangkah bagusnya tahun 1993 universitas itu mempunyai status sebagai subjek hukum, sehingga peraturan perundangan yang diperlakukan pada universitas tidak se-rigid seperti administrasi perangkat administrasi negara. Surat juga, ketika kerjasama dengan Balitbangda, yaitu dalam riset, juga begitu. Ini bisa kontrak apa tidak? Pemda badan hukum, tapi urusan tidak bisa, sulit juga. Oke, itulah yang saya alami pada waktu itu ketika saya menjadi Dekan Fakultas Hukum. Oleh karena itu waktu saya mimpikan “wah ini kalau kita bisa mempunyai kewenangan otonom mengelola keuangan, mengelola sumber daya sendiri dan sebagainya. Itu saya kira lebih cepat majunya perguruan tinggi di Indonesia. Juga yang dialami teman-teman. Ada seorang teman rektor kepala sudah sekian belas tahun mau saya usulkan menjadi guru besar, termasuk saya, rektor kepala sudah 16 tahun waktu itu. Saya tidak mengusulkan diri saya menjadi rektor, menjadi guru besar. Teman saya itu mengatakan pada waktu itu tidak mau menjadi guru besar ya? Pak susah sekali mengurus guru besar kok masih presiden yang teken, pada waktu itu masih presiden Pak. Sekarang sudah menteri, itu agak mending. Jadi sulit sekali untuk guru besar. Oleh karena itu ketika saya berkunjung ke Malaysia, anak-anak muda umur 35 sudah guru besar, guru besar kita itu umur 57 guru besar suruh produktif, umur 58 stroke. Itu fakta itu, saya bisa menunjukkan, kenapa? Birokrasinya, saya itu sering dimarahi oleh Pak Dirjen “Pak Djoko ini terlalu keras ini” kenapa? Ngapain kok ngurusin pangkat saja kok yang harus presiden sama menteri, serahkan saja universitas yang menentukan rektor, ketawa dan sebagainya. Waktu itu keras sekali. Sekarang otonomi penyelenggaraan SDM, otonomi penelitian, otonomi penyelenggaraan keuangan, baru bisa impian saya pada waktu itu kalau universitas itu menjadi badan hukum. Baik, kemudian biasanya pensiunan PNS apalagi menjabat diincar oleh PTS. Saya dijadikan Rektor Universitas Narotama, Surabaya. Ketika saya mencoba sistem dan prosedur universitas, saya menginginkan berstandar internasional yaitu dengan ISO tahun 1991-2000 dan sudah kami capai, maka satu-satunya perguruan tinggi di wilayah timur standar sistem dan prosedur manajemen. Tetapi ketika ditanya manajemen oleh assesor-nya ketika ditanya keuangannya “loh kok keuangannya masih seperti yayasan?” Ya saya sebagai rektor saya tidak bisa apa-apa, lho ini bagaimana sistem, simpul-simpul diatur bagaimana ini? waduh itu sulitnya bukan main mendapatkan ISO pada waktu itu akhirnya beberapa trik bisa saya sampaikan akhirnya lolos juga hanya saja memang agak ada
28
hambatan. Kemudian juga ketika saya rektor dan staf dalam rangka kerjasama dengan luar negeri, saya pergi tidak jauh-jauh karena universitas swasta boro-boro kerjasama dengan luar negeri dengan biaya yang tinggi. Biayai dosen saja setengah mati, dilemanya adalah kata yayasan dijual mahal, tidak laku. Dijual murah ya seperti Saudara ini tidak punya uang. Ketika kami kerjasama dengan college university di Malaysia, di Johor, Kuito saya cari yang dekat-dekat saja. Ditawarkan kerjasama between lector, di sana namanya vice counselor itu juga begitu, kenapa tidak bisa kerjasama saya, saya bukan, saya minta universitas, bukan badan hukum. Ditertawakan itu Bapak Dirjen tadi. Bapak Ketua Majelis, ketawa itu, kami tidak bisa teken lho, bagaimana rektor kok tidak bisa teken perjanjian. Sebetulnya bisa, Cuma karena saya tidak mau tanggung jawab kalau ada gugatan apaapa. Oke, jadi saya menghadapi kesulitan juga didalam rangka kerjasama dengan luar negeri. Pernah saya didatangi oleh seorang mahasiswa, ”Pak Djoko itu enak, Pak Djoko, memimpin lembaga yang tidak badan hukum, kalau universitasnya pak joko itu malpractice terhadap saya, mahasiswa pada waktu itu, saya tidak bisa gugat Pak Djoko. Oleh karena itu barangkali, mohon maaf ini, ini pendapat atau bukan saya tidak tahu ini, kalau andai kata PTS, atau perguruan tinggi pada umumnya berbadan hukum, tanggung jawabnya judicial responsibility yang legal responsibility dari rektor itu lebih jelas dan lebih tegas daripada kalau sekedar sekarang ini adalah istilahnya Pak Arifin “pengampu” kalau istilah saya adalah kuasa dari yayasan, lebih jelas. saya bilang “silakan kalau mau menggugat yayasan yang badan hukum, wah tidak bisa Pak, kan yang mengerjakan pendidikan Bapak kok, itu yang saya alami betul itu. Kemudian bidang keuangan juga sudah saya ceritakan tadi, hambatannya ketika, kemudian bagaimanakah saya selaku rektor dan yayasan? Ini pengalaman saya, saya ini kembali lagi dwi fungsi. Saya selain Rektor Universitas Narotama, saya juga pengurus Yayasan Untag Surabaya, makanya saya pakai Pin IV Pak. Bapak Ketua dan anggota Majelis yang saya muliakan, alangkah sulitnya minta pengesahaan Departemen Hukum dan HAM untuk yayasan menjadi badan hukum itu hampir satu tahun Pak. Yayasan Untag untuk menjadi badan hukum yang semula kan badan hukumnya hukum adat, hukum tidak jelas, sesudah ada UU Nomor 16 baru jelas, dulu kan hukum adat. Yang namanya macam-macamlah cari cantolan dimana-mana, setelah ada cantolan bingung, UU Nomor 16 direvisi tetap bingung. Sekarang sesudah mau mengajukan sebagai badan hukum minta nomor istilahnya di daerah itu Pak, susah bukan main, dikembalikan lagi. Jadi nanti barangkali itu, saya memilih yayasan supaya kalau minta nomor dipercepat. Baik, jadi hubungan kami dengan yayasan, sekarang yayasannya masih belum berbadan hukum, saya kembali pada posisi di Untag. Kesulitan
29
saya, saya sebagai pengurus yayasan, yang kebetulan tahu pendidikan dan seumur hidup saya selama bekerja mulai asisten saya sudah menjadi guru SMA, umur 19 saya sudah menjadi guru SMA, menteri dan kemudian menjadi wakil dekan, itu saya sulit memberikan pengertian kepada teman-teman kolega anggota yayasan yang tidak tahu masalah pendidikan, ini penting, ini harus dana ini, wah ini tidak bisa. Itu pada waktu yayasan masih belum ada terstruktur seperti UU Nomor 16. Ada pembina, ada pengurus, ada yayasan. Itu sudah sulit. Saya membayangkan kalau Untag itu dapat izin nomor badan hukum selalu ada pembina, ada pengawas, ya itu nanti kata putusnya dimana saya tambah bingung. Oleh karena itu impian tahun 1993 dulu itu saya mau diberikan itu ya alangkah majunya Indonesia kalau perguruan tinggi, universitas itu berbentuk badan hukum. Hubungan antara yayasan sama rektorat universitas. Pada praktiknya saya yang saya lihat, ini fakta, ada dua model hubungan antara yayasan dengan universitas. Ini disebabkan oleh karena, mohon maaf ini, salahnya pemerintah, ketika swasta ingin mendirikan, bukan yang sekarang yang dulu Pak. Dulu itu setiap mendirikan perguruan tinggi selalu ditanya badan hukummu apa? Oleh karena itu PP Nomor 60 Tahun 1999 tadi yayasan dipakai sebagai cantolan sebagai badan hukum. Saya tidak mau mundur sejarah, tapi andaikata pada waktu itu kalau mendirikan perguruan tinggi ya sudah ya perguruan tinggi itu kemudian diakui sebagai badan hukum barangkali tidak ada kesulitan. Tapi ya sudah itu kan kecelakaan sejarah, masa kita mau menggugat sejarah. Mungkin sudah seperti itu, satu pola sekarang hubungannya hanya berdasarkan PP tadi, tidak jelas hubungannya kongkretnya bagaimana? Badan hukum yayasan, itupun tidak semuanya yayasan berbadan hukum. Yayasan dan rektor. Satu model yayasan very very powerful. Beli stip beli pensil saja harus minta persetujuan ketua umum yayasan, bukan, saya alami Pak. Karena saya di yayasan Untag itu begitu ya? Makanya saya namanya sosiolog, biasanya membuat model yang sangat ekstrim Pak, mohon maaf kalau tersinggung, mohon maaf. Kedua, model yang kedua, adalah rektor very powerful. Yayasan itu sekedar, you saja orang tua-tua duduk di situ stempel lima tahun sekali, menyetempel aku, aku yang kuasa. Itu yang terjadi dan yang saya alami di dua universitas yang ada saya di situ. Saya sebagai Rektor Universitas Narotama saya agak punya power, karena yayasan mendelegasikan secara penuh tadi kuasa tadi. Nah itu, tapi saya di Untag sebagai yayasan saya powerful, rektor saya cuma nguji, cuma ini saja, beli stip itu harus saya, ya otoriter memang, oleh karena itu saya mengadakan reformasi sekarang ya memang. Jadi itu memang ada Pak terjadi, tidak di tenaga saya, saya tidak menyebut namanya,ini pengalaman saya. Oleh karena itu ketika saya mempunyai kesempatan duduk sebagai pengurus APTISI mulai BMPTS, BMPTSI sampai APTISI daerah Jawa Timur dan kemudian di pusat dua priode saya menjadi
30
salah satu ketua, maka ide itulah yang saya perjuangkan, saya secara pribadi memperjuangkan agar universitas sebagai badan hukum. Pada waktu itu dicela habis-habisan kita dicela, tetapi itulah keyakinan kita, oleh karena itu jadilah UU Sisdiknas. Yang saya secara pibadi ikut sejak awal bersama-sama Balitbang Dikti Depdiknas, Balitbang Diknas, Pak Musa segala macam itu saya sampai berapa kali dikonsentrasi, saya atas delegasi teman-teman kan? Saya mewakili APTISI pada waktu itu. Poinnya harus masuk, poin yang mana yang masuk. Pergurun tinggi badan hukum sebagai badan hukum, itu harus masuk, itu perjuangan. Dan barangkali Bapak-bapak mengetahui bahwa Rancangan UndangUndang Sisdiknas tidak banyak undang-undang yang berasal dari usul inisiatif DPR. Itu oleh karena desakan kami pada waktu itu sangat kuat, jadi itulah ceritanya saya mengikuti sejak semula, saya bersama-sama Komisi VI pada waktu itu kalau tidak salah Komisi VI berkali-kali mendapat kesempatan berbicara di komisi maupun di fraksi dan saya menyampaikan bahwa calon Pasal 53 itu sangat penting. Bahwa setelah lahir terdapat defect-defect tertentu tapi idenya adalah seperti yang disampaikan oleh Profesor Arifin tadi, Profesor Yohanes tadi, Pak Suryadi tadi secara ide adalah Undang-Undang Sisdiknas yang salah satu dari tidak banyak rancangan undang-undang yang diajukan oleh Komisi VI dan Komisi VI itu konsepnya terus terang saja antara lain dari APTISI dan sebagian besar dari PGRI. Itulah yang bisa saya sampaikan dan izinkan saya mohon maaf juga menyampaikan satu kesimpulan, menurut saya ditaruh di pasal manapun juga terserah menurut undang-undang, perguruan tinggi sebagai badan hukum adalah mutlak diperlukan. Terima kasih, wassalammu’alaikum wr. wb. 53.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Walaikumsalam, cukup kira-kira dari Pemerintah? Silakan! 54.
PEMERINTAH : Prof. Dr. Ir. DODDY NANDIKA (SEKJEN DEPDIKNAS) Ingin menanyakan kepada baik Pak Suryadi maupun Pak Djoko yang saya kira berpengalaman dan tadi telah menyampaikan manfaatmanfaat kalau ditinjau dari hukum, sebaliknya Pak apakah ada tidak mudharat-nya atau negatifnya, negative impact kalau jadi BHP ada tidak mudharat-nya?
55.
SAKSI DARI PEMERINTAH :DJOKO SOEMADIJO, S.H. Menurut pendapat saya pribadi dari uraian saya maupun Pak Djoko tadi, saya kira justru kalau satuan pendidikan itu yang berbadan hukum, maka manfaatnya akan lebih besar, karena apa? Justru saya
31
kira kodrat manusialah, kalau dia diberi kewenangan penuh tapi tetap juga di dalam pengawasan memang tidak bisa melakukan apapun dengan semau-maunya, tetap ada aturan-aturan yang mengatur dia di dalam melaksanakan, tetapi kewenangan otoritas harus diberikan sepenuhnya dalam berbagai hal yang menyangkut penyelenggaraan pendidikan tinggi yang dia kelola, maka saya yakin justru kalau satuan pendidikan itu menjadi badan hukum tersendiri maka segala sesuatu ke depan akan bisa dilaksanakan dengan lebih baik, itu keyakinan saya. Terima kasih. 56.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Pak Djoko kira-kira sama lah ya?
57.
SAKSI DARI PEMERINTAH :DJOKO SOEMADIJO, S.H. Terjadi kerugian kalau nanti ditetapkan menjadi badan hukum padahal penyelesaian internal di antara universitas dengan yayasan itu tidak selesai, jadi kontra produktifnya di situ oleh karena itu saya selalu menyampaikan kepada teman-teman di Jawa Timur, cerdik-cerdiklah, pandai-pandailah supaya bangsa ini tidak lebih kacau, cerdik-cerdiklah mengatur diri sendiri agar supaya kalau nanti binatang yang namanya badan hukum pendidikan itu di universitas jadi kenyataan kita cerdik, jadi di situ mudharat-nya barangkali kalau itu tidak bisa menyelesaikan saya rasa ya begini, nanti lagi diajukan ke pengadilan perdata, wah nanti tidak selesai-selesai, reformasi ini tidak selesai-selesai. Terima kasih.
58.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya, baik jadi bisa kita lihat barangkali nanti mungkin ada unsur pendapat di situ tapi bisa juga menggambarkan fakta adanya aspirasi para rektor ini. Jadi dari Pemerintah cukup kira-kira ya! Nah, ini kebetulan Pemohon juga mengajukan Saksi kebetulan ketua yayasan, jadi kita beri kesempatan Pemohon untuk mengajukan pertanyaan kepada Saksi yang sudah disumpah tadi, kita dengar barangkali ada persamaan dengan pengalamannya para rektor atau aspirasinya rektor atau malah memang berbeda. Kita dengar silakan.
59.
KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD. P SIMORANGKIR, S.H Terima kasih Bapak Ketua yang terhormat, Kepada Bapak Dr. Ir. Siswono Yudhohusodo untuk selanjutnya kami akan memanggil dengan Saksi. Saudara Saksi dapatkah Saksi memberikan penjelasan tetang peran apa yang sudah pernah Saksi ikut
32
bersama-sama atau lakukan di dalam yayasan sebagai penyelenggara pendidikan? Silakan Saudara Saksi. 60.
SAKSI DARI PEMOHON : Dr. Ir. SISWONO YUDOHUSODO Yang saya hormati Ketua dan para Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi, Saudara Dirjen dan para pejabat yang mewakili Pemerintah, Saudara-Saudara yang mewakili Pemohon, rekan Saksi/Ahli maupun Saksi, hadirin yang saya muliakan,
Assalammu’alaikum wr. wb.
Salam sejahtera bagi hadirin sekalian dan selamat siang, Saya merasa memperoleh kebahagiaan dalam memenuhi undangan Pemohon untuk menjadi Saksi pada hari ini karena saya merasa kompetensi saya untuk menjadi Saksi cukup, karena saya terlibat langsung di dalam yayasan-yayasan yang membina universitas selama lebih dari tiga puluh lima tahun. Di awal tahun tujuh puluhan saya duduk sebagai pengurus Yayasan Universitas Trisakti, di akhir tahun tujuh puluhan saya duduk sebagai pengurus Yayasan Universitas Tarumanegara dan sejak tahun delapan puluh dua, duduk sebagai pengurus Yayasan Universitas Pancasila. Di ketiga yayasan itu saya terlibat dalam bidang yang menangani masalah pendanaan dan keuangan dan sejak tahun 2002 menjadi Ketua Yayasan Universitas Pancasila. Di samping itu di dunia pendidikan saya pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Penyantun Universitas Diponegoro dari tahun 1994 sampai 1998, menjadi anggota Dewan Penyantun Universitas Andalas di Padang dari tahun 1996 sampai 2000, menjadi anggota Dewan Penyantun Universitas Bengkulu dari tahun 1997 sampai 2002, sekarang saya juga masih menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Program Magister Management di LPPM di Jakarta dan menjadi anggota Majelis Wali Amanat Institut Pertanian Bogor. Saya mengikuti dari semula khususnya tiga universitas, Trisakti, Tarumanegara, dan Pancasila dan Majelis yang terhormat saya ingin menyatakan bahwa peranan yayasan di dalam melahirkan, membina, membesarkan universitas-universitas itu amat sangat besar. Adalah sangat tidak tepat kalau ada yang mau menafikan peranan mereka. Universitas Trisakti kelanjutan dari pada Universitas Res Publica yang tadinya di bawah naungan Baperki, di awalnya bukan saja menghadapi permasalahan finansial tetapi juga politis dan yayasan menangani dengan baik dan dari kondisinya yang semula dengan bangunan sementara, bertahap dengan upaya pengurus yayasan menjadi bentuknya yang sekarang ini menjadi sangat megah, di awalnya mobilisasi dana dari masyarakat juga dilakukan oleh yayasan.
33
Waktu di Tarumanegara sama juga diawalnya luar biasa peranan yayasan itu, di Universitas Pancasila yang gabungan dari Universitas Bung Karno dulu, yang dipimpin yayasannya oleh Ibu Rustiati Soebandrio bergabung dengan Universitas Pancasila waktu itu dipimpin yayasannya oleh (alm) Jenderal Abdul Haris Nasution juga menghadapi masalah politis yang luar biasa dan pengurus yayasan menanganinya dengan baik. Saya ingat betul di awalnya ini universitas ini merosot, mahasiswanya menurun, menggaji pegawaipun tidak bisa. Dengan upaya pengurus yayasan yang tidak kenal lelah akhirnya Universitas Pancasila berkembang, memperoleh hibah dari bekas lapangan Inggris di Jalan Mendut, lalu pengurus yayasan juga memberikan tanah sebelas hektar di Srengseng yang kalau dinilai sekarang nilai tanahnya saja tidak kurang dari tiga ratus miliar. Jadi sungguh sangat tidak tepat kalau tadi ada pandangan, Profesor Arifin menyatakan pengurus yayasan yang ingin mempertahankan pendapatan dari mahasiswa, saya kaget betul, saya mencurahkan segala-galanya, lho kok dibilang begini ya? Saya jadi malu, jangan-jangan perspektif orang luar terhadap diri saya seperti itu. Ketua dan Majelis Hakim yang terhormat, saya tidak bisa membayangkan kalau tidak ada yayasan pada waktu itu mungkin Universitas Pancasila sudah almarhum, karena memang merosot terus keadaannya. Sekarang pada waktu pembangunannya yayasan itu bukan hanya memberikan pikiran dan waktu tetapi juga dana, memobilisir dana dari masyarakat luas. Oleh karena itu saya berpendapat bahwa sepatutnyalah kalau negara, Pemerintah memberikan penghargaan pada yayasan-yayasan yang telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan jangan dengan sinisme melihat yayasan-yayasan itu. Dua ribu enam ratus perguruan tinggi swasta di Indonesia mayoritasnya didirikan dengan yayasan, apakah itu tidak punya arti? Universitas Pancasila sendiri sekarang memiliki lima fakultas sekitar sembilan ribu mahasiswa, alumninya lebih dari dua puluh sembilan ribu, karyawannya lima ratus dua belas, dosennya 891 orang dan kita juga perlu mencatat beberapa yayasan mendirikan perguruan tinggi yang karena kualitas yang bagus yang kemudian prosesnya menjadi perguruan tinggi negeri, tidak kurang dari Universitas Gadjah Mada didirikan oleh yayasan. Universitas Jambi, Universitas Bengkulu, Universitas Brawijaya. Jadi menurut hemat saya kalaupun ada diskusi menyangkut undang-undang ini pandangan pada yayasan memang tidak tepat kalau disampaikan dengan sinisme. Kita boleh merancang sesuatu yang lebih baik dan itu yang harus kita lakukan sebagai warga negara tapi marilah sama-sama kita menghargai, saya mengakui bahwa ada yayasan-yayasan yang profit motive yang secara komersil melakukan usahanya itu, tapi saya juga melihat negara ini mempunyai instrumen untuk menghukum itu melalui perpajakan, tapi tidak tepat untuk
34
menggeneralisirnya. Tadi salah seorang Saksi menyatakan bagaimana di Universitas Mercu Buana? Saya kenal betul dengan para pendiri dan yayasannya bagaimana di awalnya mereka mengeluarkan uang yang besar sekali, bagaimana di awalnya universitas tidak punya uang mengajukan kepada yayasan? Tapi tidak tepat pada waktu sekarang dia bisa berdiri dan bisa dapat uang sendiri, “eh yayasan kamu jangan ikut ngawasin kita!” Saya kira tidak tepat, jadi historis juga harus dilihat dan sekarang kita melihat mana yang lebih baik. Memang ada orang yang berpendapat habis manis sepah dibuang, tapi tidak tepat dengan dunia pendidikan, sekarang pun kita tahu jumlah mahasiswa universitas swasta jauh lebih besar dari perguruan tinggi negeri dan pernyataan Profesor Arifin yang menyatakan hanya dengan menjadikan satuan pendidikan saja berbadan hukum yang akan dapat membentuk manusia yang bertaqwa, beriman, berakhlak mulia. Saya artikan meniadakan prestasi yang selama ini sudah dilakukan dimana selama ini bukan itu yang jadi badan hukum. Jadi menurut hemat saya, pernyataan-pernyataan yang meniadakan peranan yayasan selama ini yang sudah sedemikian besar, tidak tepat. Sebagai pimpinan yayasan, saya ingin menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada Pemerintah yang selama ini sudah cukup banyak dan dengan cara yang baik terus memberikan dukungan kepada tumbuh berkembangnya kualitas dan mutu pendidikan di negara kita, khususnya di perguruan tinggi swasta dan selama ini instrumen yang dilakukan adalah antara lain; pertama adalah akreditasi yang ditetapkan untuk setiap jurusan dan program studi, dan sebagai ketua yayasan, setiap kali mau ada akreditasi, saya pun susah tidur, berdebar-debar, panggil rektor, panggil dekan, panggil dosen untuk meningkatkan kualitas. Tidak ada pikiran saya pada rektor untuk minta uang, itu tidak ada. Jadi jangan sampai dipikir, yayasan itu pemeras. Kita itu membina, dengan segala dedikasi. Instrumen yang lain, bantuan dosen dan guru dari PNS yang di tempatkan di beberapa PTS. Bapak Dirjen, hal ini bantuan yang luar biasa, saya sangat menghargai. Ketiga, adanya hibah bersaing, luar biasa. Setiap kali ada pengumuman, di kelas mengadakan hibah bersaing. Saya panggil rektor, dekan, bagaimana kita mau memenangkan, proposalnya saya ikut baca. Terima kasih tidak terhingga dan harapan saya sistem pembinaan ini dijalankan terus sekaligus reward and punishment ini kalau ada perguruan tinggi yang terlalu komersial, apalagi memeras, lakukan melalui instrumen-instrumen negara yang ada, yaitu perpajakan. Saya memandang bahwa yayasan selama ini telah dapat melakukan fungsinya dengan baik dan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Tadi pada waktu Pak Profesor Yohanes mengutarakan, di awalnya saya merasa bentuk badan hukum pendidikan bisa juga
35
yayasan. Ini solusi yang baik sekali, silakan. Nanti ke depan ada yang membentuk baru, badan hukum pendidikan bentuknya lain, silakan, tapi kalau sudah ada silakan. Tetapi begitu akhir kesimpulannya yayasan disisihkan, uraian di depan kenapa berbeda dengan kesimpulan? 61.
PEMERINTAH : Prof. Dr. Ir. DODDY NANDIKA (SEKJEN DEPDIKNAS) Keberatan Hakim, saya kira ini penilaian pada Ahli?
62.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Nanti, bisa ditanya, nanti bisa di-cross.
63.
SAKSI DARI PEMOHON : Dr. Ir. SISWONO YUDOHUSODO Sementara di dalam Undang-Undang tentang Yayasan cukup jelas, bahwa organ yayasan tidak diperbolehkan mengambil satupun dari usaha yayasan, tidak boleh itu, kalau ada boleh dikasih sanksi, tapi tidak usah semuanya. Ini seolah-olah ada kasus di beberapa yayasan dengan universitas lalu semua digeneralisir, ini yang membuat hemat saya jadi tidak tepat. Sementara instrumen negara untuk menindak yang nakal sudah ada kenapa yang tidak itu saja dilakukan? Saya membayangkan kalau dibentuk badan hukum pendidikan baru, saya membayangkan sebagai seorang praktisi betapa komplikasi baru akan muncul. Aset-aset itu sekarang milik yayasan dan undangundang tentang yayasan mengatur bagaimana kalau suatu yayasan itu melikuidir dirinya dan bagaimana kalau yayasan itu tidak menghibahkan aset itu kepada pendidikan yang ada itu? Betapa negara ini akan mendapat keruwetan di seluruh tanah air dari sekian banyak perguruan tinggi. Bapak Ketua dan Anggota Majelis yang kami hormati, Saya memandang bahwa pengurangan peran yayasan di dalam mengelola pendidikan telah merugikan hak konstitusi saya untuk mengabdi pada negara ini, mencerdaskan kehidupan bangsa, karena saya meyakini akan pendapat, “bangsa yang bodoh akan tetap menjadi bangsa yang miskin dan bangsa yang miskin akan tetap menjadi bangsa yang bodoh”. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
64.
KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD P. SIMORANGKIR, S.H. Terima kasih kepada Saudara Saksi, saya hendak menanyakan satu tambahan lagi, tapi sebelum itu kalau Saksi tadi menjelaskan
36
habis manis sepah dibuang, sekarang sudah banyak tukang pungut sampah plastik dan pencahariannya lebih besar, jadi itu bukan sesuatu yang salah, yang salah adalah kalau kacang lupa akan kulitnya karena kolesterol. Saudara Saksi, tadi Saudara Saksi menyampaikan apabila Pasal 53 ayat (1) ini terlaksana, walaupun tadi sudah agak mulai timbul persoalan sebenarnya tidak meniadakan yayasan, itu pendapatpendapat pribadi barangkali. Sekiranya yayasan tidak lagi secara langsung menyelenggarakan pendidikan, tadi Saksi menjelaskan kerugian. Sekarang saya akan menanyakan kepada Saksi kerugian yang diderita yayasan dalam kaitan historis daripada peranan yayasan di dalam membesarkan pendidikan sejak dari, barangkali nanti Saksi menjelaskan, sejak dari kapan ada yayasan? Silakan kerugian-kerugian apalagi selain daripada kerugian yang bersifat material? 65.
SAKSI DARI PEMOHON : Dr. Ir. SISWONO YUDOHUSODO Bapak Ketua dan Anggota Majelis yang kami hormati, Kalaupun hari ini pribadi saya harus meninggalkan yayasan itu, saya tidak pernah terpikir mengalami merasa kerugian materil sedikitpun karena segala sesuatu yang saya sumbangkan itu lillahi ta’ala tulus, untuk pendidikan. Tetapi yang membuat saya khawatir adalah apakah sistem baru itu akan menjadi lebih baik daripada sistem yang lama? Terus terang Bapak Ketua, hari ini pun saya sudah memproses dua ajakan untuk mendirikan yayasan, untuk mendirikan suatu perguruan tinggi di bidang teknologi maju, badan hukumnya yayasan. Belum ada organisasi pendidikannya, belum ada rektornya, mulainya darimana kalau badan hukum itu pendidikannya di situ? Memang yayasannya lahir dulu, membentuk segala sesuatunya, merekrut dosen, merekrut ini, proses pendidikannya berjalan belakangan. Dari lahir sampai berlangsungnya proses belajar mengajar itu bisa dua tahun bisa tiga tahun, pengadaan gedung dan lain-lain. Jadi penasihat hukum dari Pemohon, saya melihat komplikasi akan timbul di dalam pengalihan aset yayasan. Kalau saja yayasan yang semula mengelola universitas itu sesuai undang-undang yayasan, tidak melimpahkan asetnya kepada lembaga yang menjadi badan hukum baru karena hal itu diatur dalam undang-undang bagaimana aset suatu yayasan dipindahkan kalau dirinya melikuidasikan diri, melikuidir. Terima Kasih.
66.
KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD P. SIMORANGKIR, S.H. Baik, terima kasih Saudara Saksi, tapi rekan saya masih akan mengajukan pertanyaan?
37
67.
KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. ANDI M. ASRUN, S.H., M.H. Majelis Hakim yang mulia, Saudara Saksi, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya tanyakan, mohon maaf kalau pertanyaannya tidak etis, tapi saya ingin penegasan, apakah selama Saudara Saksi berkiprah di dalam yayasan pendidikan, apakah memang menjadi kewajiban atau suatu tuntutan bahwa pengurus yayasan itu harus digaji? Artinya mendapatkan makan dari mata pencaharian di dalam yayasan itu? Pertanyaan pertama mohon dijawab. Terima kasih.
68.
SAKSI DARI PEMOHON : Dr. Ir. SISWONO YUDOHUSODO Sejak hari pertama saya aktif selama tiga puluh lima tahun sampai hari ini, tidak pernah pengurus yayasan digaji, pengurus yayasan yang saya pimpin. Dan menyangkut otonomi di Universitas Pancasila, seluruh penerimaan dari mahasiwa yang dikelola oleh rektor, tidak olah yayasan. Itu fakta yang ada di lapangan. Kegiatan akademis otonomi rektor. Yayasan, saya mengangkat rektor tetapi atas hasil pemilihan yang dilakukan oleh senat universitas. Jadi bukan saya mengangkat rektor semau kita, senat universitas yang memilih. Rencana anggaran tahunan, saya menandatangani, dan baru bisa sah kalau saya sahkan, tapi setelah disahkan oleh senat universitas. Jadi jangan ada kesan bahwa ada yayasan sewenang-wenang, sama sekali tidak. Membina, melindungi, mengawasi, bahkan mungkin efektif mengawasi agar universitas bisa berjalan dengan baik. Jangan dikira kalau otonomi lepas sama sekali tanpa pengawasan bisa menjadi lebih baik, terima kasih.
69.
KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. ANDI M. ASRUN, S.H., M.H. Pertanyaan berikut Saudara Saksi, berdasarkan pengalaman Saudara Saksi berkiprah di dalam yayasan sebagai pengurus, bagaimana model kerja sama luar negeri misalnya, contoh antara universitas yang PTS itu dengan universitas negeri di luar negeri? Apakah yayasan yang berperan besar dalam melakukan kerjasama itu atau ada di tingkat rektorat misalnya? Atau dekan? Atau semacam itu? Mohon dijelaskan. Terima kasih.
70.
SAKSI DARI PEMOHON : Dr. Ir. SISWONO YUDOHUSODO Dengan bimbingan dari Diknas di Universitas Pancasila hubungan rektor dengan yayasan sangat harmonis. Ada kerjasama-
38
71.
kerjasama dengan luar, luar negeri maupun di dalam negeri yang dirintis oleh di rektorat. Bahkan rektorat mempunyai salah satu wakil rektor bidang kerjasama luar dan begitu dia menandatangani kerja sama, kalau tadi dikhawatirkan ini universitas badan hukum tidak bisa mengikat, perjanjian itu di bawahnya ketua yayasan ikut menandatangani dan tidak menghambat proses. Ada juga kerjasama yang yayasan yang merintis, mencari keluar, kemudian mengawinkan. Banyak sekali bantuan-bantuan dari pihak pengusaha-pengusaha di luar kepada Universitas Pancasila yang juga dirintis oleh yayasan. Jadi ada dua macam, yayasan bisa berperan, universitas bisa berperan. Bapak Ketua dan para Anggota Majelis yang kami hormati, sebenarnya dengan tidak mendikotomikan persoalan ini, bahkan justru bisa mensinergikan, menurut hemat saya malah justru bisa ikut membawa kemajuan. Ini bukan persoalan ini atau itu, tapi bisa bersama-sama juga bisa dan proses yang sekarang berlangsung kalaupun ada dispute di sana-sini mungkin lebih kepada manajemen internal. Saya kira demikian. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. ANDI M. ASRUN, S.H., M.H. Pertanyaan berikut Saudara Saksi, ini suatu pertanyaan yang sifatnya hipotetis ya! Apakah selama berkiprah di yayasan Saudara Saksi pernah mendengar katakanlah konflik antara pihak yayasan dengan pihak rektorat, atau segala macam atau dengan dosen, menyangkut kesejahteraan atau manajemen pengelolaan keuangan? Kira-kira jalan keluarnya bagaimana? Terima kasih.
72.
SAKSI DARI PEMOHON : Dr. Ir. SISWONO YUDOHUSODO Di universitas Pancasila pernah ada dispute antara rektor dan dekan, kalau suasana seperti itu justru yayasan menjadi penengah yang mendamaikan dan menyelesaikan. Dalam soal tuntutan kenaikan kesejahteraan, rektorat berbicara dengan yayasan dan dicarikan jalan keluar dan alhamdulillah kita telah melakukan program-program peningkatan kesejahteraan itu secara bertahap sesuai dengan kemampuan keuangan universitas dan yayasan.
73.
KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. ANDI M. ASRUN, S.H., M.H. Pertanyaan berikutnya Saudara Saksi, apakah ada otonomi atau katakanlah kebebasan untuk berkreasi, baik di tingkat rektorat maupun di tingkat dekanat untuk melakukan kerjasama yang sifatnya memberikan keuntungan material maupun keuntungan non material dalam keuntungan pendidikan, misalnya katakanlah kerjasama riset
39
antara pihak rektorat dengan Balitbang Diknas misalnya atau misalnya kerjasama antara fakultas hukum dengan katakanlah Mahkamah Agung untuk pengembangan hukum acara? Contoh-contoh semacam apakah ada pernah didengar masalah itu? 74.
SAKSI DARI PEMOHON : Dr. Ir. SISWONO YUDOHUSODO Saya melihat bahwa akhir-akhir ini dengan kebijakan Depdiknas itu kreativitas dan inisiatif unit-unit perguruan itu berkembang, dengan hibah kompetisi Pak Satrio di fakultas saya itu berlomba untuk mencari dan menurut saya itu positif dan yayasan sama sekali tidak menghambat kalau ada bahkan saya kasih selamat. Dan begitu Pak Dirjen ngirim surat tapi harus ada penyertaan uang dari universitas, kalau tidak ada yayasan bantu. Jadi saya kira perkembangan sudah cukup baik akhir-akhir ini bahwa kreativitas inisiatif, otonomi juga berkembang dan saya tidak melihat ada persoalan. Saya mendengar di beberapa tempat ada dispute seperti itu tapi kalau saya lihat barangkali lebih kepada aspek manajemen internal. Terima kasih.
75.
KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Saudara supaya tuntas sekarang pukul 12.00 WIB, misalnya kita lanjutkan setengah jam lagi tapi saya harus beri kesempatan kepada pemerintah mau mengajukan pertanyaan juga, jadi Pemerintah silakan termasuk kepada Pak Ahli yang diajukan oleh Pemerintah yang belum sempat ditanya dalam sidang yang lalu kalau mau ditanya silakan. Dan Saudara Pemohon silakan mempersiapkan diri kalau ada yang mau ditanya kepada Ahli. Tapi kalau bisa singkat saja, mungkin difokuskan kepada Ahli saja kalau bisa setengah jam ini selesai, silakan Pak ada yang mau ditanyakan?
76.
PEMERINTAH : BRODJONEGORO
Prof.
Dr.
Ir.
SATRIO
SUMANTRI
Yang Mulia Bapak Ketua dan anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Pertanyaan diajukan kepada Ahli dari Pemohon karena (...) 77.
KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. ANDI M. ASRUN, S.H., M.H. Ahli yang mana Pak? Tolong tunjukkan?
40
78.
KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Kalau Pak Hary Tjan statusnya sebagai Ahli, kalau Pak Siswono sebagai Saksi, terserah mau ditanya yang mana? Silakan.
79.
PEMERINTAH : BRODJONEGORO
Prof.
Dr.
Ir.
SATRIO
SUMANTRI
Kepada Ahli dari Pemohon. Saya mau bertanya kepada Ahli dari Pemohon karena yang dibahas adalah adanya ketidakadanya konsistenan antara Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 20 tahun 2003 dengan UUD 1945, mohon Ahli dari Pemohon dapat menunjukkan letak dari ketidakkonsistenan antara Undang-Undang Nomor 20 Pasal 53 tersebut dengan UUD 1945? Saya persilakan. 80.
KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. ANDI M. ASRUN, S.H., M.H. Mohon ditujukan kepada siapa? Karena Ahli banyak di sini.
81.
KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Pak Harry Tjan, silakan.
82.
AHLI DARI PEMOHON : HARI TJAN SILALAHI Saya kira Mas Siswono baru saja menjawab bahwa hak konstitusi saya terhambat kalau yayasan tidak boleh. Dan pada waktu sidang yang lalu Yang Mulia saya juga panjang lebar menerangkan bahkan keterangan saya itu semenjak sebelum kemerdekaan, bagaimana mungkin namanya dulu masih stichting, belum yayasan. Atau perkumpulan (vereniging) atau wakaf, itu bagaimana BapakBapak bangsa kita ini telah mengabdikan diri untuk turut mencerdaskan bangsa itu adalah hak historis, hak historis itu adalah derivasi dari hak eksistensi. Hak eksistensi terdapat di dalam salah satu pasal, saya sudah tidak sehapal Mas Yohannes Gunawan yang guru besar memberikan pelajarannya karena pernah belajar hukum, tapi saya sekarang lebih orang hukuman daripada ahli hukum. Jadi pasal-pasalnya tidak terlalu hapal, tapi saya kira itu terdapat di dalamnya itu saya punya dasar dari pemikiran ini dan ada lagi hak untuk berserikat dan juga kalau seorang yang telah melakukan serikat yayasan yang seperti saya jelaskan yayasan atau perkumpulan itu adalah persatuan gagasan dari manusia dan kalau dia tidak boleh berperanan lagi, maka itu ada suatu diskriminasi, itu saya punya pendapat Bapak Ketua.
41
Terima kasih. 83.
KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, masih ada lagi?
84.
PEMERINTAH : BRODJONEGORO
Prof.
Dr.
Ir.
SATRIO
SUMANTRI
Masih Yang Mulia Ketua dan Anggota. Secara eksplisit mohon dapat ditunjukkan adanya suatu larangan bagi yayasan untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pendidikan, dimana itu yang kemudian dijadikan perdebatan. Apakah Undang-Undang Nomor 20 Pasal 53 ini tidak konsisten dengan UUD 1945? Karena dari penjelasan yang telah disampaikan oleh kami, kami tampilkan seperti tidak ada penafikan sama sekali yang justru kita ingin pahami dari Ahli Pemohon adalah apa-apa yang memberatkan, sehingga adanya suatu pendapat bahwa Pasal 53 itu bertentangan dengan UUD 1945, saya persilakan. 85.
AHLI DARI PEMOHON : HARI TJAN SILALAHI Saya kira ahli Anda telah menjelaskan secara jelas pada bagian pertama seperti yang disitir oleh Saudara Siswono “wah galik-galik bagus”, galik-galik itu runtut bagus, cuma tadi yang memang rada degdegan itu kekuatan untuk mengadakan rechtsvinding barangkali dan ini tidak perlu di hakim boleh orang-orang begitu, semua boleh mengembangkan rechtsvinding dan telah diajarkan oleh Ahli Saudara. Ini bisa sewenang-wenang, Mahkamah Konstitusi bisa bubarkan saja kalau setiap orang boleh rechtsvinding, sebab dalam rechtsvinding akan terdapat ekspansion graptische [sic!]. Dan di situ tidak jarang akan ada kesewenangan perundang-undangan dan ini yang tergambar di dalam Pasal 53 ayat (1) yang kemudian tergambar Pemerintah mempersiapkan RUU ini, PHP ini. Jadi, waktu itu saya juga sudah bilang kalau memang bukan itu maksudnya sedangkan di dalam pasal ini terdapat rasa-rasa dubious yang akan menjadi mudharat, kenapa tidak dihapuskan saja Bapak Majelis diberikan ketentuan supaya tidak menjadi dubious bahwa yayasan juga masih mempunyai hak untuk timbul di situ. Tidak di interpretasikan secara lebih tadi rechtsvinding yang jalan ekspansion graptische [sic!] tadi itu. Itu saya punya catatan pertama yang pada waktu itu saya kemukakan dan seperti juga Pak Siswono tadi mengemukakan pada waktu bagian depan dijelaskan baik, tapi jump to conclusion, oleh karena itu sebaiknya yayasan tidak turut langsung. Inilah yang orang Belanda bilang daar commkt de up on de mond [sic!]. Ini yang terjadi di dalam pemikiran, kalau begini supaya jangan 42
mudharat-nya besar tadi Saksi Anda tadi juga sudah mengemukakan
bisa ramai Pak Siswono juga menentukan dari dua ribu tadi itu nanti bisa terjadi kacau balau yang tidak menjadi harapan kita bersama di dalam usaha pengajak. Ya, kalau begitu maksudnya dan itikadnya Saudara Dirjen, why not accomodate one word kata yayasan boleh, why not? Kenapa secara eksplisit justru mau dikesampingkan, tadi Saudara Siswono juga appeal, kenapa ini tidak ditampung sejak semula diberikan understanding bahwa itu akan tertampung atau disusun yang menampung itu sehingga dengan demikian semua merasa lega. Kekhawatiran yang dikemukakan tadi memang membuat terkejut saya, memang yayasan banyak yang nakal ada. Tetapi jangan menangkap tikus membakar rumah. Ini saya kira filsafat rekonsiliatif gotong royong itu yang menjadi inti dan saling pengertian. Saya tidak melihat apa yang menjadi kesulitan. Itu saya punya pemikiran yang sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh dua orang di samping saya, meskipun mungkin di beberapa yayasan rektorat terbelenggu atau terganggu, tapi yayasannya Mas Siswono tidak. Di yayasan yang kebetulan saya dirikan juga tidak, malah kebablasan karena ngebun-bun injing jejawah ponten terhadap pasal yang akan diprkarakan itu. Pemulung-pemulung pada tampil ini akan menjadi mudharat itu yang saya alami, Yayasan Trisakti saya mendirikan dan sejarah perjuangannya berat pada waktu itu. Itu gedung semua kita, bukan uang iuran yang cari sampai sekarang juga masih misalnya dan beberapa yayasan yang saya pimpin dan saya turut mendirikan memang satu sen pun tidak dapat. Kita larang anggota yayasan untuk terima uang. Oleh karena itu di situ tidak ada nilai tambah, tidak meerlaba tapi betul-betul neerlaba itu yang kita harapkan. Apakah tidak ada penyelewengan? Iya, kita manusia tapi etikatnya tidak, bismillah-nya tidak di situ, kita semua ini. Ada beberapa yang nakal, maafkanlah Allah kepada orang-orang seperti itu. Ampunilah, terima kasih. 86.
PEMERINTAH : BRODJONEGORO
Prof.
Dr.
Ir.
SATRIO
SUMANTRI
Yang terakhir Yang Mulia, Tadi telah disampaikan oleh Pemerintah bahwasanya dari penjelasan yang ada dan dibahas secara hukum tidak ada sama sekali niatan ataupun tindakan untuk menafikan yayasan telah diungkapkan dengan jelas di dalam penjelasan dari Ahli Termohon bahkan diberikan di sana suatu celah, bukan celah sebenarnya. Satu keniscayaan hal yang menjadi satu kenyataan bahwasanya tetap pada bentuk yayasan itu dengan skenario atau dengan pola yang telah digambarkan bahwasanya dengan badan hukum itupun dan Pasal 53 itupun maka yayasan tetap eksis seperti yang ada, jika tentunya apa yang telah ditetapkan dalam ketentuan tadi itu dapat diikuti. Kami akan akhiri saja
43
bahwasanya kami secara maksimal sudah mengupayakan untuk penjelasan dan menunjukkan bahwasanya Pasal 53 tersebut menurut hemat Pemerintah itu sejalan dengan UUD 1945. Terima kasih. 87.
KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, masih ada lagi?
88.
AHLI DARI PEMOHON : HARI TJAN SILALAHI Apakah saya boleh memberikan catatan? Terima kasih kalau demikian yang menjadi pemikiran Pemerintah dalam rancangan BPH tidak seperti yang setelah kami terima laporan dari orang yang telah mengadakan pembicaraan dengan Anda, itu satu. Kedua, peraturan yang ada inilah yang kadang-kadang berbahaya di dalam perumusan hukum yang disebut in gauda venenum [sic!], di ekor ada racunnya. Ini kalajengking, tidak di kepalanya tapi di ekor. Hal yang saya maksud begini, semua orang mempunyai hak sama, kecuali yang tidak diberi hak. Ini Rusia juga bilang begitu, semua agama adalah bebas kecuali yang diizinkan oleh Pemerintah, kecuali harus mendapat izin Pemerintah. Ini kita menjaga itu, in gauda venenum [sic!] dan banyak perumusan-perumusan yang menjurus ke situ. Oleh karena itu Anda kerja keras sekali sekarang ini karena pembuat undang-undang membuat barang-barang yang disebut in dubi is libertas [sic!], kebebasan di dalam keraguan dan tidak ada kepastian. Bapak Majelis yang terhormat ini mission sacred Anda pada waktu dulu kami mendukung adanya judicial review apakah itu di Mahkamah apakah di Mahkamah Konstitusi? Syukur ada Mahkamah Konstitusi yang sendiri khusus membicarakan ini sejarahnya, Anda tahu bahwa ini diperjuangkan sejak dulu. Sebab kalau di Mahkamah Agung repotnya urusan perceraian saja satu gudang, inilah syukur maka dari itu hindarkanlah dubious-dubious ini yang kita bekerja tanpa guna dan dari pembicaraan ini tadi jelas bahwa kalau ada lima yuris berpendapat, berbicara, ada sepuluh pendapat, tapi wisdom cuma ada satu, keadilan cuma satu. Terima kasih.
89.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H Baik, terima kasih.
44
90.
KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD P. SIMORANGKIR, S.H. Mohon maaf Pak Ketua, apakah boleh saya memberikan klarifikasi?
91.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H Baik, silakan. Atau barangkali ada pertanyaan dulu di sini? Sekaligus saja. Silakan. Kalau memang tidak ada yang mau ditanya ya sudah, tidak apaapa.
92.
KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. ANDI. M. ASRUN, S.H. M.H Tidak ada.
93.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H Jangan dipaksa.
94.
KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. ANDI. M. ASRUN, S.H. M.H Saya (...)
95.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H Kepada Ahli ya! Silakan.
96.
KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD. P SIMORANGKIDR, S.H. Bapak Ketua, sebelum sampai kepada giliran kami untuk mengajukan pertanyaan kepada Ahli dan Saksi Fakta apakah tidak sebaiknya istirahat dulu sehingga waktunya lumayan cukup bisa dipakai?
97.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H Apa masih banyak yang mau ditanya?
98.
KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. ANDI. M. ASRUN, S.H. M.H Ada beberapa pertanyaan yang akan diajukan.
45
99.
KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD. P SIMORANGKIDR, S.H. Tidak banyak Bapak Ketua, tetapi yang menjelaskan ini nanti adalah Ahli, sepertinya jawabanya yang panjang kalau pertanyaannya pendek.
100. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H Bagaimana kalau kita teruskan saja ini sampai jam satu? Nah, jadi setengah jam supaya kalau istirahat berarti masuk lagi. 101. KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD. P SIMORANGKIDR, S.H. Baik, Bapak Ketua! 102. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H Jadi setengah jam kita tambah ya! Kalau begitu saya persilakan, tapi sebelum itu saya akan beri kesempatan satu hakim mengajukan pertanyaan kepada Ahli yang diajukan oleh Pemerintah. Silakan. 103. HAKIM KONSTITUSI : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Terima kasih, Pak Ketua, Saya bertanya kepada Pak Gunawan dan Pak Arifin kalau saya simak dari paparannya yang menyatakan tidak ada sebenarnya pertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Tetapi persoalan yang ingin saya tanyakan, apakah pengaturan di dalam Pasal 53 itu menurut Ahli sebenarnya merupakan bagian dari hukum memaksa atau bagian daripada hukum mengatur saja. Oleh karena yang diatur ini juga termasuk adalah hubunganhubungan privat yang inisiatifnya diambil oleh masyarakat sendiri dan dalam Konstitusi dikatakan boleh mereka memiliki kebebasan, to organize themselves, the right to associate termasuk dalam hubungannya antara penyelenggara pendidikan dengan satuan pendidikan, apakah Anda melihat itu sebagai hukum memaksa atau hukum mengatur? Terima kasih. 104. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H Ada yang mau tanya lagi? Kalau boleh satu saja. Silakan.
46
105. HAKIM KONSTITUSI : Prof. H.A.S NATABAYA, S.H., LL.M Saya mau bertanya kepada Saksi dari Pemohon, Bapak Siswono. Saudara Saksi, undang-undang ini telah disahkan pada tanggal 22 Juni 2004 dan sampai sekarang ini tanggal 10 Januari 2007, sebagai seorang yang mengurus yayasan, apakah yayasan yang Bapak pimpin itu mengalami kerugian sampai dengan sekarang ini? Itu saja. 106. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H Baik, wah kok banyak yang mau tanya rupanya? Itu tandanya menarik rupanya ini, menarik para hakim sendiri. Baiklah kalau begitu saya kasih kesempatan juga kiri satu, kanan satu lagi. Pak Mukthie, silakan. Yang kiri Pak Laica, silakan. 107. HAKIM KONSTITUSI : Prof. ABDUL MUKHTIE FADJAR, S.H., M.S Terima kasih, Pak Ketua saya ingin bertanya kepada Profesor Johannes. Tadi dari tafsir yang Ahli kemukakan ada beberapa alternatif tentang badan hukum pendidikan ini. Menurut Ahli tafsir mana yang paling tidak, paling minimal, mengganggu hak-hak konstitusional yayasan-yayasan yang selama ini mengelola pendidikan? Sebab kalau mengunakan tafsir yang futuristik ini atau yang antisipatis, ini berarti terkait dengan gagasan yang ada dalam RUU BHP. Hal yang saya baca pada draft Juni tahun 2006, kalau yayasan-yayasan itu atau masyarakat, masyarakat di sini termasuk yayasan atau badan penyelenggara pendidikan yang sudah ada kalau sudah terbentuk BHP, maka automatically dia akan bubar, itu kalau futuristik. Meskipun masih merupakan RUU tapi ini kalau nanti menjadi satu legal policy setelah diundangkan dan betul seperti itu. Nah, ini bagaimana? Jadi kekhawatiran para Pemohon ini nampaknya mungkin juga dipicu oleh RUU yang mungkin pernah telah menjadi bahasan publiK ya? Ini sebagai ahli, tafsir mana yang paling meminimalisasikan kemungkinan-kemungkinan paling buruk yang akan dialami oleh yayasan? Terima kasih. 108. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H Silakan satu lagi kiri, Pak Laica?
47
109. HAKIM KONSTITUSI : Prof. H.M . LAICA MARZUKI, S.H. Saudara Ahli Prof. Johannes Gunawan, coba Saudara buka penjelasan Pasal 53 ayat (1). Di situ termaktub “badan hukum pendidikan”, huruf kecil itu, dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan atau satuan pendidikan antara lain, berbentuk badan hukum milik negara (BHMN). Saudara Ahli, berdasarkan gramatikal interprestasi, penafsiran gramatikal, wat betaken “antara lain” apa yang dimaksud dengan “antara lain”? “Antara lain” berbentuk badan hukum milik negara, apakah tidak berarti bahwa itu dimungkinkan adanya bentuk lain? Selain daripada bentuk hukum milik negara. Pembuat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional ini mengemukakan dalam penjelasannya itu “antara lain”. Terima kasih. 110. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H Baik saya persilakan dijawab dulu, baru setelah itu saya persilakan Pemohon bagian terakhir nanti. Silakan. 111. AHLI DARI PEMERINTAH : Prof. Dr. JOHANES GUNAWAN. Baik, terima kasih Bapak Ketua serta Anggota Majelis yang saya hormati. Pertama adalah mengenai pertanyaan bahwa apakah ini publik ataukah privat? Ketentuan ini memaksa atau optional (mengatur)? Begini Pak, jadi kalau kita lihat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ini, Undang-Undang Sisdiknas ini dia adalah merupakan hukum yang memaksa, Pak. Jadi ketika Pasal 53 menyatakan bahwa, Pasal 53 ayat (1) khususnya yang dipermasalahkan dalam sidang ini menyatakan bahwa penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal, jadi dibatasi itu satuan pendidikan formal, yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau masyarakat itu berbentuk badan hukum pendidikan maka ini adalah dwingen. Tapi ketika badan hukum pendidikan itu sudah berdiri maka dia berstatus sebagai badan hukum privat. Ini yang sering disalahartikan di dalam masyarakat terjadi apa yang disebut privatisasi, padahal berbeda sama sekali antara badan hukum privat dengan privatisasi. Ketika dia menjadi badan hukum privat maka terjadilah hubungan-hubungan privat kalau dia melakukan tindakan-tindakan hukum di mana analoginya sama dengan yayasan. Undang-Undang Yayasan Nomor 16 maupun Undang-Undang Yayasan Nomor 28 itu memerintahkan yayasan itu dibentuknya demikian-demikian, itu adalah dwingen, tapi kalu dia sudah menjadi yayasan, sudah disahkan oleh 48
Departemen Hukum dan HAM maka dia bergerak di dalam hukum privat. Jadi demikian juga mohon maaf ini kalau saya analogikan lagi saya seringkali memberikan konsultasi kepada pemerintah daerah khususnya. Pemerintah daerah sering mengadakan hubunganhubungan dengan swasta. Saya selalu mengatakan kalau pemerintah daerah mengadakan hubungan dengan swasta, apakah itu kontrak katering atau sebagainya, maka berlakulah di sana kaidah-kaidah hukum keperdataan, tidak berlaku lagi kaidah hukum tata negara, karena seringkali terjadi bahwa Pemerintah mengadakan hubungan dengan swasta lalu ketika {emerintah, mohon maaf ini kalau saya sebut pemerintah daerah saja mungkin ini mohon maaf bidangnya Prof Jimly, tapi saya bukan bidang ketatanegaraan, tapi sering kali terjadi bahwa misalnya suatu gedung sudah diberikan BOT tiga puluh tahun kepada swasta, tiba-tiba DPRD-nya ganti lima tahun, lalu DPRD mengatakan saya tidak mau dengan swasta ini, lalu terpaksa perjanjian itu dibatalkan. Nah, itu diberlakukanlah kaidah-kaidah yang dwingen terhadap hubungan-hubungan, relasi-relasi yang sebetulnya perdata. Jadi kembali saya tegaskan ini adalah hukum yang dwingen, publik, tapi begitu nanti BHP ini berdiri, dia berstatus badan hukum privat. 112. HAKIM KONSTITUSI : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Bisa saya potong sedikit, Pak? 113. AHLI DARI PEMERINTAH : Prof. Dr. JOHANES GUNAWAN. Silakan. 114. HAKIM KONSTITUSI : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Pasal 64 dikatakan begini, bahwa pendidikan yang diselenggarakan perwakilan negara asing menggunakan ketentuan yang berlaku di negaranya tapi atas persetujuan saja, tidak atas pengaturan, persetujuan. Jadi oleh karena itu saya melihat bahwa kebebasan untuk melakukan kontrak sekarang bagi yayasan dalam bentuk mengorganisasi bagaimana pendidikan akan dilakukan yang kelihatannya menurut Saudara tidak ada konfliknya dengan Konstitusi, tapi orang asing dengan persetujuan saja boleh, hanya kita setujui, tapi peraturannya peraturan mereka sendiri. Hal ini yang saya maksud apakah pendidikan itu diatur dalam ketentuan hukum memaksa juga terhadap ini? Termasuk terhadap hak berorganisasi sehingga tidak bisa lain bahwa yayasan harus membentuk badan hukum bagi satuan
49
pendidikan, tidak ada lagi hak mereka untuk mengatur tersendiri secara bebas. 115. AHLI DARI PEMERINTAH : Prof. Dr. JOHANES GUNAWAN. Jadi mohon maaf, kalau saya memahami benar pertanyaan Bapak, jadi kalau kita konsentrasi pada Undang-Undang Yayasan. Di dalam Undang-Undang Yayasan sudah disinggung oleh pembicara sebelumnya, yaitu bahwa menurut Pasal 3 yayasan tidak boleh secara langsung kegiatan usaha. Lalu kalau kita baca Pasal 8 dan terutama penjelasanya dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 di sana dikatakan bahwa kalau yayasan ingin menyelenggarakan pendidikan maka harus berbentuk badan usaha, penjelasan Pasal 8. Kalau berbentuk badan usaha, kita lihat Undang-Undang Wajib Daftar Perusahaan dan Undang-Undang Anti Monopoli, rumusan badan usaha adalah profit. Jadi dia adalah badan yang berusaha untuk mencari profit, profit making. Nah, di sinilah tadi mengapa beberapa orang sebelum atau sesudah saya yang berbicara menyatakan bahwa yayasan itu tidak cocok lagi karena kalau pendidikan itu diselenggarakan dengan badan usaha yang berusaha untuk mencari profit, dia akan bertentangan dengan Undang-Undang Sikdiknas yang menyatakan bahwa pendidikan itu harus neerlaba. Nah, oleh karena itu kalau saya memahami betul—mohon maaf ini pertanyaan Bapak— adalah bahwa yayasan pun saya anggap sebagai itu adalah perintah dari undang-undang, tapi ketika yayasan itu sudah menjadi yayasan, sudah menjadi badan hukum disahkan, maka dia adalah private entity bahwa dia adalah badan hukum privat dan berlakulah bagi yang bersangkutan yayasan tersebut ketentuan-ketentuan hukum keperdataan. Itu yang saya maksudkan dalam penjelasan tadi, lalu sekaligus saya mohon atas izin Bapak Ketua tadi bahwa sekaligus saya ingin mengklarifikasi Pak, bahwa tadi saya kemukakan (…) 116. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H Silakan. 117. AHLI DARI PEMERINTAH : Prof. Dr. JOHANES GUNAWAN. Terima kasih Bapak Ketua Majelis yang saya hormati, tadi saya kemukakan bahwa Pasal 53 itu dengan rechtsvinding, pertama perlu klarifikasi bahwa rechtsvinding itu sudah ada kaidahnya, sudah ada metodenya, tidak bisa dilakukan dengan ”seenak perut” kita, jadi tidak ada yang mengatakan bahwa rechtsvinding itu kemudian menjadi bisa seenaknya dari si Ahli ini tidak, tapi sudah dipelajari bagaimana rechtsvinding itu bahkan sekarang kalau di fakultas hukum yang 50
sekarang yang saya ketahui, itu dilatihkan bagaimana melakukan penafsiran gramatikal, gramatikal interpretasi itu bagaimana? Bagaimana melakukan penafsiran sistematis? Bagaimana di negeri Belanda itu melakukan penafsiran antisipatoris? Tadi sudah disinggung sedikit oleh Bapak Ketua Majelis, bahwa satu RUU kalau sudah sampai pada tahap terakhir itu bisa digunakan sebagai antisipasi terhadap penafsiran. Itu salah satu contoh di negeri Belanda bagaimana penafsiran antisipatoris itu berjalan. Jadi sebetulnya apa yang saya lakukan adalah tidak menurut selera saya, tetapi menurut kaidah-kaidah metode yang dipelajari dan itu sudah dibakukan, baik untuk hakim dan saya berharap—terus terang saja—bahwa itu juga dilakukan oleh setiap ahli hukum manakala peraturannya tidak jelas, tidak lengkap, atau tidak ada. Bukan saja monopoli hakim begitu, itulah bagaimana kita membawa negara dan bangsa ini ke arah yang lebih baik secara hukum, sebagai negara hukum. Oleh karena itu saya ingin mengklarifikasi, tadi saya kemukakan bahwa berdasarkan penafsiran tadi, rechtsvinding tadi, ada empat alternatif menurut Pasal 53 ayat (1), saya tidak melihat RUU BHP dan sebagainya, belum. Karena yang dimasalahkan di sini adalah bukan RUU BHP, tapi yang dimasalahkan di sini adalah Pasal 53 ayat (1). Di dalam Pasal 53 ayat (1) keluar empat alternatif, empat kemungkinan. Kemungkinan kedua yang saya kemukakan sebagai kesimpulan, mohon maaf Pak Sis sebagai kesimpulan adalah bahwa yayasannya tetap kemudian perguruan tingginya berubah menjadi BHP, siapa yang mendirikan BHP ini? Tentu saja Dia harus subjek hukum, siapa subjek hukumnya? Yayasan. Berdasarkan kesimpulan alternatif kedua ini dimana bahwa yayasan kemudian itu ditiadakan haknya, tetap eksistensinya dilindungi oleh Pasal 53 ayat (1), seperti Pak Dirjen kemukakan, kalau saya boleh sedikit walaupun ini sebetulnya tabu di dalam sidang ini. Kalau lihat RUU BHP sebetulnya tidak, tapi tadi sudah disinggung oleh salah satu Bapak anggota Majelis, boleh kita lihat RUU BHP. Empat kemungkinan ini tetap, tiga kemungkinan ini tetap ada, kemungkinan kedua tetap ada. Jadi sampai RUU BHP pun saya tidak melihat bahwa itu ada menghilangkan hak konstitusional dari yayasan. Bahkan kalau boleh saya singgung RUU BHP anggaran dasar dari BHP itu, itu diserahkan sepenuhnya kepada yayasan mau asetnya tidak dipindahkan dan sebagainya go head silakan. Dimana kemudian bahwa hak yayasan atau dicabut, dinafikan dan sebagainya, tidak ada. Kalau kita bicara RUU BHP, walaupun ini bukan domainnya belum menjadi undang-undang, saya hanya membatasi pada Pasal 53 ayat (1), saja dengan respending tadi. Sekaligus saya menjawab pertanyaan Bapak yang “saya mohon maaf tidak mengenal namanya”, ada 4 alternatif tadi, Pak Mukhtie Fadjar “mohon maaf Pak, saya kuper, kurang pergaulan”. Jadi Pak Mukhtie Fadjar dari 4 ini yang Bapak tanyakan adalah kalau saya tidak khilaf yang Bapak tanyakan adalah paling
51
mana alternatif yang paling sedikit mudharatnya bagi yayasan? Saya memilih yang kedua Pak, yaitu yayasan tetap dalam bentuknya semula. Yayasan tidak ditafsirkan silakan, bagaimana tata kelolanya antara yayasan dengan BHP, tidak diatur oleh pemerintah, tidak diatur oleh undang-undang, kalau boleh saya berbicara sedikit RUU BHP itu diatur di dalam anggaran dasar yang disusun oleh yayasan sendiri. 118. HAKIM KONSTITUSI : Prof. ABDUL MUKHTIE FADJAR, S.H. Baik. 119. AHLI DARI PEMERINTAH : Prof. Dr. JOHANES GUNAWAN Ya silakan pak 120. HAKIM KONSTITUSI : Prof. ABDUL MUKHTIE FADJAR, S.H. Karena merujuk, alternatif memang ada di dalam RUU 121. AHLI DARI PEMERINTAH : Prof. Dr. JOHANES GUNAWAN Betul 122. HAKIM KONSTITUSI : Prof. ABDUL MUKHTIE FADJAR, S.H. Tapi di dalam ketentuan peralihan di Pasal 40 ayat (2), jadi kalau sudah menjadi BHP, setelah BHP disahkan oleh menteri dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional ya? Penyelenggara dinyatakan bubar berdasarkan undang-undang ini setelah dilakukan likuidasi, ini apa artinya ini? 123. AHLI DARI PEMERINTAH : Prof. Dr. JOHANES GUNAWAN Baik, jadi patron-nya adalah empat alternatif Pak yang diatur dalam RUU BHP adalah tiga alternatif. Karena seperti hal yang saya kemukakan sebetulnya alternatif ketiga dan ke-empat itu tidak not mike stance, itu karena satuan pendidikannya tidak berstatus badan hukum. Jadi kalau dua-duanya jadi badan hukum, kemudian bersmasama menjadi badan hukum itu tidak mike stances , sebetulnya cukup satu saya kira. Nah, jadi itu ada empat milih Pak. Kalau pilihan jatuh pada yang pertama yaitu yayasannya berubah menjadi BHP di dalam RUU BHP, maka tentu sendiri, itu dengan sendiri yayasannya adalah bubar. Tapi kan masih ada alternatif yang berikutnya Pak. Alternatif pertama tidak perlu dipilih, kalau memang mau memeliharanya eksistensi dari yayasan. Silakan pilih alternatif kedua Pak, satuan pendidikannya menjadi BHP, perlu saya kemukakan Pak, saya adalah
52
anggota tim penyusun RUU BHP iitu, juga termasuk saya kira Pak Thomas disini yang kemudian jadi Pemohon, bahwa ketika kami menyusun RUU BHP itu, bahwa domain-nya Mahkamah Konstitusi, tetapi sebagai informasi. Kami sudah menimba, menampung semua aspirasi dari kurang lebih 2700 PTS barangkali di Indonesia, walaupun tidak satu persatu. Tetapi kami sudah menampung semua aspirasi tersebut. Dan akhirnya ketiga alternatif itulah yang keluar, salah satunya adalah melindungi eksistensi yayasan dan supaya kekhasan yayasan itu tetap ada, maka silakan atur di dalam anggaran dasar BHP. Dimana kerugian konstitusionalnya yang ada? kalau tadi Pak Siswoyo mengatakan “kami tidak mau bahwa kami yayasan seperti yang dikelola Pak Sis yang sangat ideal” silakan itu teruskan di dalam BHP, tidak ada keberatan. Jadi kembali kepada Pak yang Terhormat Bapak Mukhtie Fadjar bahwa ada tiga alternatif yang bisa dipilih Pak, bubarnya itu bukan satu-satunya, juga sekaligus saja Pak ini ingin mengemukakan siapa yang menhgatakan bahwa, ini kan begini Pak, Undang-Undang Yayasan memang hanya membatasi tiga saja, kalau yayasan itu ingin dibubarkan, tujuannya sudah tercapai, kemudian putusan pengadilan atau satu lagi adalah jangka waktu kalau tidak salah. Sekarang kami sudah bicarakan denagan Departemen Hukum dan HAM. RUU BHP itu, nanti menjadi undang-undang yang setara dengan Undang-Undang Yayasan. Boleh dong kami mengatur sebagai lex spesialis, lex spesialis tidak boleh lebih rendah, tapi kalau yang sama sejajar boleh kami mengatur itu, jadi itulah yang terjadi. Lalu amandemen UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 yaitu Undang-Undang Nomor 28 tentang Yayasan itu mengatakan bahwa, hasil likuidasi dari yayasan itu bisa diserahkan tidak saja pada yayasan yang sejenis, tapi pada badan hukum lain, saya bisa tunjukkan pasalnya di dalam amandemen Undang-Undang tentang Yayasan. Nah, ini adalah salah satu kemungkinan untuk dialihkan pada badan hukum pendidikan. Kemudian yang terakhir, supaya tidak terlampau lama nanti sudah di sindir terus oleh Bapak. Tadi kan sudah disebut bahwa kalau pertanyaan singkat ahli pasti jawabannya panjang katanya. Begini Pak Prof Laica yang saya hormati, penjelasan dari Pasal 53 antara lain disebutkan antara lain berbentuk BHMN. Apa arti kata dari antara lain. Baik Pak, kebetulan disebelah saya Prof Arifin adalah salah satu perancang dari PP tentang BHMN betul ya Pak? Nah, setelah kami berdiskusi dan berdebat Pak Prof Laica, bahwa ide tentang penamaan badan hukum milik negara, mana mungkin sesuatu badan hukum yang otonom yang mandiri merupakan separate legal entity itu dikatakan milik orang lain, itu tidak ada, karena dia adalah privat legal entity. Jadi tidak mungkin suatu badan hukum cukup dimiliki oleh dimiliki oleh badan hukum lain. Negara itu badan hukum, kemudian di sini adalah badan hukum yang namanya BHMN. Nah, karena itu kami menganggap konsep BHMN dan nanti mohon perancang Prof Arifin
53
memberikan penjelasan, bahwa konsep itu sebetulnya sudah tidak sesuai dengan teori atau kaidah-kaidah hukum. Karena itu di dalam, mohon maaf ini, saya terpaksa bicara soal RUU BHP. Di dalam RUU BHP, BHMN pun dipersilakan untuk menyesuaikan diri pada BHP dan ketika RUU BHP ini dirancang sebetulnya kalau saya boleh terus terang bahwa template itu adalah BHMN dengan segala macam modifikasi yang melihat untuk mempertimbangkan segala kekurangankekurangan dan kelebihan yang ada didalam konsep BHMN. Jadi saya mohon maaf, saya tidak menjelaskan antara lain, karena kalau saya menjelaskan kata antara lain berarti bahwa ada kemungkinan bahwa yang namanya badan hukum pendidikan itu berbentuk BHMN. Lalu ada BHP, lalu ada yang lain-lain dan sebagainya. Saya kira itu tidak konsisten dengan apa yang dicantumkan didalam Pasal 53 ayat (1). Jadi apakah pembuat undangundang yang berikutnya itu tidak seharusnya mengoreksi apa yang kekurangan yang ada didalam undang-undang yang sebelumnya, menurut saya iya. Harus dilakukan begitu Prof laica. Terima kasih. 124. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik. Saya persilakan Pemohon, pak Siswono belum ya? maaf. Pak Siswono, silakan. 125. SAKSI DARI PEMOHON : Dr. Ir. SISWONO YUDOHUSODO Ya singkat, sejak disahkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tersebut, kita belum mengalami kerugian apa-apa, belum mengalami. Dan di dalam pemahaman kita BHP itu tentunya antara lain bisa yayasan bisa perkumpulan, bisa wakaf dan lain-lain, itu yang kita pahami. Dan baru menjadi kekagetan waktu kita mendengar draft RUU mengenai BHP, yang sudah beredar luas di masyarakat dan ada berapa versi begitu, tapi keseluruhannya mengakibatkan kerugian. Dan sebagai tambahan informasi selama 10 tahun terakhir ini yayasanyayasan yang mengelola perguruan tinggi itu telah mengalami berkalikali perubahan-perubahan dan kami selalu patuh , samina wa athona mulai dari Undang-Undang Nomor 289 kemudian PP Nomor 60 Tahun 1999 kita ikuti. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yayasan tentang Sistem Pendidikan Nasional juga kita coba memahaminya, tapi sampai hari ini kerugian secara langsung belum, tapi oleh karena itu permohonan ini menjadi penting untuk tidak menimbulkan kerugian. Terima kasih.
54
126. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik. Sudah semakin jelas masalahnya begitu dan Saudara tidak usah ragu-ragu membahas apa yang ditanya mengenai RUU. Fokus memang kita menguji Undang-Undang Sisdiknas pasal yang dipersoalkan, cuma pasal ini menjadi masalah gara-gara ada RUU kan begitu kira-kira. Nah, jadi padahal RUU belum mengikat, itu baru akademik draf dan itu bahkan belum juga diproses menurut prosedur legislasi yang seharusnya, tetapi baik-baik saja begitu. Jadi kalau misalnya ada masalah di seputar itu, maka dalam kita memahami pasal yang semula yang tidak ada masalah itu, syukur-syukur nanti ketika RUU yang dibahas ini sudah ikut dipertimbangkan masalah yang timbul di Mahkamah Konstitusi. Baik, silakan Saudara Pemohon masih ada yang mau diajukan pertanyaan. 127. KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD P. SIMORANGKIR, S.H. Terima kasih Bapak Ketua, Sebelum kami mengajukan beberapa pertanyaan kepada ahli dan saksi, kami hendak mengklarifikasi dua hal dulu diluar daripada pertanyaan: Yang pertama, ini sangat menyejukkan kalau tadi dari Pemerintah seakan-akan memberikan jaminan bahwa yayasan itu tidak akan pernah dihilangkan haknya untuk menyelenggarakan pendidikan di kemudian hari. Jaminan yang lebih kuat lagi seprti datangnya dari Ahli Bapak Johanes Gunawan bahwa itu tidak ada di sana. Tetapi yang menjadi soal di sini, ini tetapinya. Seperti apakah jaminan yang bisa di berikan seakan akan bahwa pemerintah ataupun maaf dengan segala hormat pemerintah yang berketepatan yang menyampaikan tadi adalah Dirjen Dikti. Sekuat apa jaminan yang mampu dia berikan bahwa dia tidak ada termasuk juga Bapak Ahli bapak Johanes Gunawan seakanakan berani jamin bahwa itu tidak akan muncul, kemarin salah satu dari yang mewakili DPR menyatakan saya tidak tahu kapan itu kalimat itu berubah jadi huruf besar di situ saja sudah bisa terjadi sesuatu yang di luar kemampuan kita, itu yang pertama. Yang kedua, tidak hendak memasuki ruang daripada RUU BHP, sehingga kalaupun dari pemerintah ataupun dari ahli menyampaikan soal RUU adalah tujuan bahwa permohonan ini prematur karena belum diatur demikian, nanti kan masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain, itu iming-iming juga. Ini yang sangat penting khusus kepada Bapak Ahli Johanes Gunawan dengan segala hormat saya mengharap Bapak berkenan untuk menghidupkan power point-nya karena ada hal yang saya mau klarifikasi dengan Bapak soal Pemohon, kalau Bapak Berkenan bisa kita hidupkan kembali, saya mohon kepada Majelis.
55
128. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Apa yang dihidupkan? 129. KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD P. SIMORANGKIR, S.H.
Power Point. 130. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. ANDI. M. ASRUN, S.H. Mohon komputernya diperagakan kembali ada yang mau ditanya. 131. KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD P. SIMORANGKIR, S.H. Karena di sini hal sangat mendasar dan sensitif, ini saya hendak klarifikasi untuk terjadi salah pengertian. 132. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Apa perlu sekali itu? 133. KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD P. SIMORANGKIR, S.H. Perlu sekali, ini menyangkut hak asasi dan bisa. 134. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Tidak bisa ditanya lisannya? 135. KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD P. SIMORANGKIR, S.H. Baik, Saya tidak begitu ingat kalimatnya tetapi kira-kira dibuatkan di, yang pertama tadi adalah Pemohon sekelompok yayasan-yayasan, kemudian disebutkan lagi Pemohon dari Komdik PGI, maaf makanya saya tidak bisa ingat persis semua tapi saya bisa ingat ini sangat sensitif. 136. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Apa itu sudah masuk di tas itu? ya, sudahlah.
56
137. KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD P. SIMORANGKIR, S.H. Saya khusus kepada yang pertama ya. Ada dibuatkan kriteria tiga kelompok, saya hendak klarifikasi. Bagian pertama, bukan kelompok, sekelompok yayasan, karena yang pertama itu adalah Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi swasta Indonesia, jadi bukan sekelompok. Istilah sekelompok ini juga menjadi, bisa didengar orang. Kemudian dalam urutan berikutnya, ada beberapa yayasanyayasan yang menyatakan bahwa dia masuk di dalam bagian Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta. Ini hanya saya karena, ini karena ini sangat penting, ini mendasar, jadi judulnya itu jangan sampai menimbulkan hal yang menyimpang. Dimana Ahli Yohanes Gunawan itu tadi menyebutkan seluruhnya soal pendidikan hukum, sehingga kalau saya mengingat waktu dulu baru persiapan itu, tidak boleh salah dalam hal ini, apalagi menyangkut hak asasi orang. Mohon itu yang mau saya klarifikasi agar itu bisa diluruskan. Namun mengenai pertanyaan lebih lanjut, saya akan serahkan dulu kepada rekan saya. 138. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Langsung saja coba. 139. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. ANDI M. ASRUN, S.H., M.H. Saya kira yang penting utama tadi seperti diminta oleh rekan kami adalah klarifikasi dan saya minta Yang Mulia, Prof. Yohanes bisa mengklarifikasi seperti ini, baru saya ke pertanyaan. 140. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Sekalian saja dia bicara. 141. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. ANDI M. ASRUN, S.H., M.H. Baik, pertanyaan untuk Prof. Yohanes, di dalam penjelasan itu dikatakan, dipakai contoh karena antara lain adalah BHMN. Kalau dari segi metodologi hukum, BHMN ini adalah barang baru. Kalau menurut Prof. Yohanes, apakah efektif dan tepat sasaran memberikan contoh BHMN dibanding misalnya mengambil contoh lain, misalnya yayasan atau badan wakaf? Itu mohon dijawab pertanyaan pertama, terima kasih.
57
142. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan, satu saja pertanyaannya. Langsung saja, langsung saja pertanyaannya, biar menghemat waktu maksudnya. 143. KUASA HUKUM PEMOHON : Dr. ANDI M. ASRUN, S.H., M.H. Silakan. 144. KUASA HUKUM PEMOHON : BAKHTIAR SITANGGANG, S.H. Terima kasih Majelis, Ada satu untuk Prof. Gunawan, tolong dijelaskan supaya tidak salah tafsir orang, apa yang dimaksud dengan “menafsirkan seenak perut”? Kedua untuk Prof. Arifin, tolong dijelaskan apakah ada hasil penelitian Bapak bahwa yayasan itu menjadikan itu perguruan tinggi sebagai “sapi perahan”? Kalau itu hanya perkiraan, supaya dicabut, terima kasih. 145. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan. 146. KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD P. SIMORANGKIR, S.H. Kami lanjutkan pertanyaan kami. 147. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Masih ada? 148. KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD P. SIMORANGKIR, S.H. Masih ada Pak. Kepada Ahli Bapak Yohanes Gunawan, kalau Bapak menyinggung tadi soal pendidikan hukum, saya hendak menanyakan kepada Ahli, agar Ahli menjelaskan secara detail perbedaan badan hukum dengan badan hukum pendidikan? Termasuk ruang lingkup dari pada masing-masing, itu yang pertama. Yang kedua, Ahli tadi sudah menjelaskan bahwa di dalam Undang-undang Sisdiknas tentang Pasal 53 ayat (1), termasuk tentang penjelasannya tidak memberikan pengertian tentang berbagai hal, termasuk salah satu pengertian penyelenggaraan. Kemudian Ahli mencoba menafsirkan dengan mempergunakan PP yang mungkin pengertian saya secara sederhana, pengertian PP dibuat untuk
58
menjelaskan pengertian di dalam undang-undang sepertinya tidak punya, tidak tepat, dan relevansinya tidak ada. Namun kalau itu pun merupakan suatu penafsiran yang memang bisa diterima, saya hanya menyampaikan kembali sejauhmana penafsiran daripada Ahli yang dijelaskan di dalam sidang ini adalah penafsiran bersifat keahlian pribadinya? Akan mengikat penyusunan setiap rancangan undangundang yang terkait dengan masalah badan hukum pendidikan, termasuk mengenai peraturan-peraturan lanjutan lainnya. Itu kepada Bapak Ahli Yohanes Gunawan. Saya hendak menyampaikan dulu kepada fakta, Saksi fakta, tapi saya tidak hendak mengklarifikasi, sama saya dengan Pak Yohanes Gunawan ini, agak kuper, jadi kurang ingat nama Bapak yang dari Mercu Buana. Saya tidak ke sana karena Saksi fakta dari tadi yang menyebutkan dari Mercu Buana, mohon maaf, namanya tidak saya ingat. 149. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Pak Doktor Suharyadi. 150. KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD P. SIMORANGKIR, S.H. Kepada Bapak Suharyadi tidak saya tanyakan, karena apa yang dijelaskan tadi adalah keseluruhan menurut pengertian saya, sehingga secara hukum saya harus menghentikan pertanyaan, mengklarifikasi. Saya hanya kepada sampai soal adanya di dalam penyusunan rancangan Undang-Undang Sisdiknas. Kalau tidak salah tadi kira-kira diartikan, seluruh yang berkepentingan telah diminta pendapat dan ASP berusaha melakukan penekanan-penekanan sedemikian rupa sehingga ini terlaksana. Ini menjadi catatan juga, bahwa di dalam rancangan undang-undang apapun nanti rupanya ada tekanan-tekanan untuk melaksanakan suatu keinginan. Ini adalah bagian dari pada ditakutkan dari pada timbulnya yayasan menjadi bagian yang tidak boleh menyelenggarakan pendidikan di kemudian hari. Kalau disebutkan tadi rancangan Undang-Undang BHP tidak jelas binatang apa? Ya memang sudah jelas dinosaurus, tidak akan mungkin bermukim di tempat pemukiman. Itu yang menjadi pertanyaan. Kemudian kepada Bapak Ahli, Bapak Arifin yang terhormat, maaf saya, kalau Ahli berkenan bisa menyampaikan tentang keahlian yang Bapak Ahli miliki sekedar untuk seluruh ini wakil-wakil daripada yayasan itu mengerti, terima kasih banyak, itu dulu sementara Pak. 151. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, mudah-mudahan cukuplah, jangan sementara, nanti terakhir Saudara dapat kesempatan lagi bicara menyampaikan
59
kesimpulan kalau ini dianggap sudah selesai, pemeriksaannya, tapi kita lihat dulu perkembangan. Silakan dijawab dulu, mulai dari Pak Yohanes. 152. AHLI DARI PEMERINTAH : Prof. Dr. JOHANES GUNAWAN Terima kasih Bapak Ketua Majelis serta anggota yang saya hormati. Pertama adalah pertanyaan seperti apakah jaminan Pemerintah? Saya kira kalau jaminan Pemerintah sudah dikemukakan oleh Pak Dirjen Dikti tadi saya kira, namun memang perlu saya kemukakan, bahwa undang-undang atau RUU BHP itu akan lahir setelah bersamasama dengan DPR dan saya kira Pemerintah tidak bisa mengatasnamakan DPR dalam hal ini, itu saja jawaban saya. Lalu kedua adalah tadi peringatan-peringatan jangan menyebut sekelompok yayasan dan sebagainya, kalau itu dianggap salah, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Yang ketiga, contoh BHMN itu adalah barang baru. Yayasan, badan wakaf, dan sebagainya, itu adalah mohon maaf ini, kenapa tidak disebut yayasan? Dimasukkan di sana Pak, selain BHMN mengapa tidak juga dimasukkan yayasan? Kemudian tidak dimasukkan badan wakaf dan sebagainya? Seperti tadi saya kemukakan bahwa BHMN adalah contoh badan hukum untuk satuan pendidikannya, sedangkan yayasan adalah bukan satuan pendidikan, dia adalah penyelenggara. Jadi itu mohon juga dibedakan. Jadi contoh badan hukum tadi sudah dikemukakan oleh Profesor Arifin bahwa contoh satuan pendidikan yang berbadan hukum itu adalah BHMN, baru ada itu. Kemudian tolong dijelaskan apa yang dimaksud dengan menafsirkan “seenak perut”? Saya tadi sudah mohon maaf pada Bapak Ketua Majelis, bahwa istilah saya kalau Bapak Ketua Majelis masih ingat, istilah saya vulgar tadi. Jadi maksud saya seenak perut adalah bahwa sebetulnya untuk menafsirkan, bukan menafsirkan sebetulnya, untuk menemukan hukum. Itu sudah ada penafsiran hukum dan ada yang disebut konstruksi hukum, jadi gunakanlah itu. Kalau di luar ini itulah yang dimaksudkan sebagai seenak perut, walaupun itu mohon maaf istilahnya vulgar. Jadi saya mohon kalau itu sampai menyinggung perasaan. Yang berikutnya yang kelima adalah apa bedanya badan hukum dengan badan hukum pendidikan? Seperti tadi saya kemukakan bahwa badan hukum adalah generiknya. Jadi kita di Indonesia belum memiliki dalam sistem hukum kita undang-undang tentang badan hukum sebagai generik, sebagai genus-nya. Tetapi yang sekarang muncul adalah justru anak-anaknya terlebih dahulu, yaitu P.T., yayasan, dan sebagainya itu semua badan hukum, tetapi bagaimana induknya? Itu tidak ada. Jadi kalau saya mau menyatakan secara sederhana, badan hukum adalah legal entity yang umum, lalu ada yang spesifik. 60
Pembagiannya adalah ada bisa dibagi menjadi badan hukum publik, badan hukum privat. Yang privat ada yang profit, ada yang laba dan ada yang nirlaba. Itu saya kira skema itu sudah jelas sekali perbedaan antara badan hukum dengan badan hukum pendidikan. Kemudian yang terakhir, menafsirkan menggunakan PP. Saya paham apa yang dikemukakan oleh Saudara penasihat hukum atau istilahnya advokat, bahwa mana mungkin PP itu memberikan arti kepada sebuah undang-undang yang relatif lebih tinggi? Saya tidak mengatakan begitu tadi, ketika Undang-Undang Sisdiknas dirancang, itu PP 60, itu masih berlaku sampai dengan saat ini karena belum ada penggantinya menurut Undang-undang Sisdiknas. Jadi apa yang mau saya kemukakan bahwa pada saat Undang-undang Sisdiknas itu dirancang, pasti si pembuat undang-undang itu mengartikan penyelenggara itu seperti hukum yang pada saat itu berlaku, yaitu ada dimana? Yaitu di dalam PP 60 Tahun 1999. Lihatlah Pasal 119 dan Pasal 122, itu penafsiran sistematis namanya. Sistem, itu berarti bahwa ada ada suatu sistem hukum nasional, di dalamnya ada subsistem hukum perdata, ada subsistem ketatanegaraan, subsistem pidana, di dalam perdata masing-masing ini ada sub-sub sistemnya lagi, itu semuanya harus konsisten satu sama lain, termasuk antara PP dengan undang-undangnya. Jadi bukan penafsiran hierarkis bahwa kok undang-undang ikut pada PP, tidak demikian, begitu. Jadi saya kira Bapak Ketua Majelis yang saya hormati, begitulah penjelasan saya berdasarkan pengetahuan yang saya miliki. Segala kekurangan, kelemahan dan salah saya mohon dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya. Terima kasih, Pak. 153. KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD P. SIMORANGKIR, S.H. Bapak Ketua? 154. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan yang kedua. 155. AHLI DARI PEMERINTAH SOERIAATMADJA
:
Prof.
Dr.
ARIFIN
M.
Terima kasih Bapak Ketua dan para anggota yang saya hormati. Seperti apa yang yang dikemukakan oleh Pak Joko tadi, bahwa dalam pengelolaan suatu perguruan tinggi, itu ada yang ekstrim, ada yang tidak ekstrim. Yang ekstrim tadi seperti yang dikatakan oleh Pak Joko, bahwa yang dominan adalah yayasan, kemudian yang tidak ekstrim, yang ekstrim lain adalah perguruan tinggi yang dominan. Oleh karena itu saya berpendapat bahwa Pasal 53 ayat (1) ini adalah
61
merupakan sintesa dari kedua pola tersebut. Oleh karena itu tentunya hal ini akan merupakan suatu sarana bagi menyatukan, mensinergikan antara yayasan dan perguruan tinggi. Seperti apa yang dikatakan oleh Prof. Gunawan, itu bahwa memang perguruan tinggi ini adalah merupakan suatu badan hukum yang tentunya dengan statusnya sebagai badan hukum, dia akan menjadi subjek hukum. Kalau seandainya suatu yayasan mendirikan suatu perguruan tinggi, tentunya itu harus badan hukum dan seperti apa yang saya kemukakan tadi, bahwa tidak mungkin suatu subjek hukum itu memiliki subjek hukum lain, kecuali pada zaman perbudakan, dimana budak itu adalah milik dari subjek hukumnya. Karena itu dengan sendirinya kalau seandainya dipilih alternatif kedua, itu yayasan mendirikan suatu badan hukum, maka yayasan itu sendiri mempunyai kewenangan untuk mengurus pengguna aset dan sebagainya sepenuhnya kepada yayasan dan yayasan dalam hal ini bisa turut sepenuhnya melakukan pengorganisasian, pengelolaan dengan melalui wali amanat. Malah dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya, malah justru dapat dilakukan lebih dari 57 persen. Kemudian mengenai kata-kata saya mengatakan bahwa perguruan tinggi merupakan sapi perah. Saya tidak melakukan penelitian mengenai hal itu, namun dari informasi yang saya peroleh, yang banyak saya peroleh,3 itu demikian. Sehingga informasilah yang saya sampaikan pada hadirin sekalian. Dan malah justru yang lebih tragis lagi, bahwa ada uang-uang perguruan tinggi yang digunakan oleh pengurus yayasan yang bermain judi, itu sangat tragis sekali, sehingga kehilangan. Ini kan bukan tujuan lagi untuk menciptakan suatu pendidikan yang baik dan saya tidak perlu sebutkan, itu tidak sebutkan. Saya secara tegas saya mengetahui orang yang melalukan demikian. Oleh karena itu seperti yang dikatakan Pak Siswono tadi (...) 156. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Tidak, saya rasa tidak usah dialog, itu dijawab saja pertanyaannya, jadi kalau ada kasus-kasus sudahlah, itu belum bisa dilihat sebagai kecenderungan ilmiah, itu hanya kasus-kasus. 157. AHLI DARI PEMERINTAH SOERIAATMADJA
:
Prof.
Dr.
ARIFIN
M.
Saya dengar informasi saja, maka saya tidak pernah melakukan penelitian masalah ini, tapi hanya informasi yang saya peroleh yang menurut saya akurat. Kemudian mengenai keahlian saya ini adalah di bidang keuangan negara dan juga di bidang hukum, jangan lupa. Seperti apa yang dikemukakan oleh Prof. Yohanes, BHMN itu adalah memang ide dari saya sendiri. Pada saat itu perguruan tinggi negeri itu adalah
62
merupakan aparat dari Pemerintah, sehingga demikian dia tidak bisa mengelola keuangan sendiri, kecuali kalau dia menjadi badan hukum. Oleh karena itu diciptakanlah badan hukum itu dan dengan demikian keuangan dan pertanggungjawaban keuangan dari badan hukum itu sudah menjadi tanggung jawab badan hukum tersebut, yang namanya BHMN. Memang saya melakukan kekeliruan, yang menamakan BHMN itu sebagai badan hukum milik negara, sudah saya katakan tadi bahwa itu adalah suatu terminologi yang salah, karena tidak mungkin satu subjek hukum itu dimiliki oleh subjek hukum lainnya. Ini memang suatu kesalahan saya, namun demikian dengan adanya RUU tentang BHP ini atau Undang-Undang Sisdiknas ini, saya sangat berterima kasih agar kesalahan itu bisa diperbaiki oleh undang-undang yang akan datang. 158. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, cukup? 159. AHLI DARI PEMERINTAH : Prof. Dr. ARIFIN.M . SOERIA ATMADJA Cukup. 160. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan Pak Suharyadi, ada yang mau disampaikan tadi? Tidak ada? Pak Joko? Pak Siswono? Cukup? 161. KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD P. SIMORANGKIR, S.H. Kita masih ada kepada Ahli Bapak Yohanes Gunawan. Berarti yang Bapak jelaskan tadi sudah akan lahir suatu bentuk hukum baru yang khusus, yang akan mengelola, yang akan menyelenggarakan pendidikan? 162. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Yaitu yang akan diatur dalam undang-undang tentang (...) 163. KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD P. SIMORANGKIR, S.H. Sudah lahir satu badan hukum yang khusus, dalam rangka penyelenggaraan pendidikan.
63
164. AHLI DARI PEMERINTAH : Prof. Dr. JOHANES GUNAWAN Saya kira kalau sudah lahir belum Pak, karena menunggu undang-undangnya. Kalau dikatakan sudah lahir, itu belum. 165. KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD P. SIMORANGKIR, S.H. Iya, tadi Bapak sudah jelaskan, bahwa badan hukum, perbedaan badan hukum dengan badan hukum pendidikan, itu yang saya mau ambil. Kalau Bapak tadi berbicara tentang RUU daripada BHP, kalau nanti di BHP muncul itu binatang yang belum kita kenal itu, itu maaf karena itu sudah dipakai istilah. Kalau itu muncul, paling-paling, oh ya, tapi bukan kita yang mengatur, seperti yang keliru, seperti yang disampaikan oleh DPR ini. Kalau pun ada jaminan dari Pemerintah, maaf dengan tidak membuat bahwa kriteria suatu Dirjen Dikti itu bukan suatu tinggi tapi tidak pernah akan jaminan atas nama Pemerintah, bahkan pada sidang yang lalu, menteri pun menyatakan tidak bisa menjawab permohonan yang satu lagi, karena tidak mendapat mandat dari Presiden. Bahkan juga Presiden karena ini adalah rangka rancangan undang-undang, tidak juga berwenang mutlak mengatakan harus begini isi daripada undang-undang, ini khusus kepada Pak Yohanes. Kepada Bapak Ahli, Bapak Arifin, dengan segala hormat sebenarnya, maaf atas nama dari pada klien-klien kami ini, ada rasa tersinggung terhadap perkataan Bapak tadi, bahwa ada mata pencarian, ada penjudian. Maaf, tentu ada orang yang baik, ada orang yang jahat, ada pendeta yang jahat. Saya orang Kristen, saya mengatakan ada pendeta juga yang belum tentu baik, tetapi tidak bisa diklasifikasikan semua yayasan ini melakukan seperti yang Bapak maksud. Tetapi kalau Bapak berkeras mengatakan itu, itu adalah hak Bapak, kami hanya sekedar mengklarifikasi Bapak Arifin, terima kasih. 166. AHLI DARI PEMERINTAH : Prof. Dr. ARIFIN.M . SOERIA ATMADJA Sebentar, sebentar saya hanya membandingkan antara yang ekstrim tadi Pak, ada itu yang ekstrim Pak. 167. KUASA HUKUM PEMOHON : LEONARD P. SIMORANGKIR, S.H. Bagi kami sudah cukup Bapak Arifin. 168. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya saya kira sudah cukup ya, Pak Yohanes juga sudah cukup tadi jawabannya dan sebetulnya saya akan memberikan kesempatan
64
kepada Saudara Pemohon untuk menyampaikan kesimpulan, tapi kiranya cukup tertulis sajalah ya! Saudara pun tampaknya sudah lelah betul ini, iya bukan? Jadi sampaikan tertulis saja dan Pemerintah juga saya persilakan menyusun kesimpulan tertulis saja, kami beri kesempatan dalam waktu, berapa? Dua minggu, setuju? Dua minggu ya! Jadi dalam waktu dua minggu silakan menyampaikan kesimpulan setelah mendengar semua dan saya rasa ini cukup fair, Saksi, Ahli dari kedua pihak itu sudah kita dengar, ada pro dan kontra dan semua jalan pikiran sudah tersedia di sini. Kami pun belum punya pendirian apa-apa bersembilan ini, kami masih mencari, apa informasi ini dan sekarang kami anggap sudah cukup. Sehingga tiba gilirannya kami siap untuk mengadakan perdebatan internal. Sembilan hakim biasanya sembilan juga pendapatnya. Biarlah sembilan itu berdebat dulu untuk sampai nanti pada kesejatian yang seharusnya kita putuskan untuk menjadi solusi, begitu bukan? Dan saya kira Saudara-Saudara di antara yang sudah kita dengar, kita juga mencatat memang ada dilema selalu negara kita ini. Kalau kita mau mengadakan pembenahan, maka kita harus sungguh-sungguh mengadakan perubahan yang perlu radikal dan masif. Tapi di lain segi, kita juga mengerti bahwa setiap kebijakan yang harus kita ambil itu bersifat radikal dan masif itu, pasti menimbulkan masalah. Problemnya bagaimana kita mengatur supaya ada mekanisme smooth transition-nya. Itu mudah-mudahan saja RUU yang akan datang itu nanti akan menjadi solusi, tapi baik juga ada sikap kehati-hatian, antisipasi dari Saudara-Saudara Pemohon supaya jangan timbul masalah. Tokh semuanya kan bermaksud untuk baik ini, menata kembali kehidupan dunia pendidikan kita yang belum terlalu sukses menyumbang untuk tujuan kita bernegara setelah 61 tahun merdeka ini. Jadi saya rasa semua keterangan yang sudah kami dapatkan melalui sidang ini, kami sangat hargai, dan atas nama Mahkamah Konstitusi izinkan saya mengucapkan terima kasih kepada SaudaraSaudara semua, baik para Ahli, baik yang diajukan oleh Pemohon maupun Pemerintah. Demikian juga Bapak-bapak para Saksi, Anda telah memberi keterangan yang kami sangat perlukan untuk membuat keputusan. Sekali lagi kami ucapkan terima kasih dan kiranya kalau ada sangkut paut perasaan, ya kita lupakan sajalah, tokh kita ini di sini bukan seperti di pengadilan biasa yang sifatnya adversarial. Anda tidak berhadapan dengan Pemerintah, iya bukan? The devil is in the undangundang itu yang harus kita adili. Jadi ini menyangkut kepentingan umum, ya kepentingan kita semua. Jadi kalau ada salah-salah kata, ya sudahlah, keluar sini kita lupakan saja.
65
Saya kira demikian Saudara-Saudara sekalian, dengan ini sidang Mahkamah Konstitusi saya nyatakan ditutup.
Assalammu'alaikum, wr.wb.
KETUK PALU 3 X SIDANG DITUTUP PUKUL 13.20 WIB
66