2 Tinjauan Pustaka 2.1 Tinjauan botani famili Fabaceae Fabaceae adalah famili tumbuhan ketiga terbesar (setelah Orchidaceae dan Asteraceae) yang termasuk dalam devisi Angiospermae atau tumbuhan berbunga. Famili ini terdiri atas 730 genus dan 19.400 spesies dengan genus terbesarnya adalah Astragalus (lebih dari 2000 spesies), Acacia (lebih dari 900 spesies), Indigofera (lebih dari 700 spesies), Crotalaria (600 spesies), Mimosa (500 spesies). Fabaceae dibagi menjadi 3 subfamili yaitu Mimosoideae, Caesalpinioideae dan Papilionoideae. Papilionoideae dan Mimosoideae termasuk dalam kelompok monophyletic sedangkan Cesalpinioideae adalah kelompok polyphyletic. (www.ildis.com) Papilionoideae adalah subfamily paling besar yang mencakup 2/3 genus maupun spesies yang terdapat dalam Fabaceae. Salah satu spesies yang terdapat dalam subfamily ini adalah tanaman kacang-kacangan yaitu Pisum sativum (kedelai) dan Aracis hypogea (kacang tanah). Salah satu kegunaan tanaman ini adalah untuk bahan makanan dengan kandungan protein yang tinggi. Di bidang pertanian, tanaman kacang-kacangan sering digunakan sebagai tanaman peralihan (antara musim tanam padi yang satu dengan musim tanam padi yang lain karena kemampuannya untuk menangkap nitrogen yang bebas di udara ke dalam tanah (fiksasi nitrogen) dengan bantuan bakteri Rhizobium. Subfamili Mimosoideae merupakan tanaman berbentuk pohon maupun semak belukar yang banyak tumbuh di daerah tropis maupun subtropis. Tumbuhan dalam subfamily banyak memiliki kegunaan ekonomi misalnya Acacia melanoxylon, yang menghasilkan kayu untuk berbagai keperluan bangunan dan Acacia senegal untuk permen karet arab. Seperti halnya Mimosoideae, tumbuhan dalam subfamily Caesalpinioideae tumbuh di daerah tropis maupun subtropis. Beberapa tumbuhan dari subfamili ini juga memiliki manfaat medis, salah satu contohnya yaitu Senna alexandrina yang memiliki aktivitas terhadap sistem syaraf pusat, pada otot halus dan efek diuretik. (Ingkaninan, et al., 2000)
2.2 Tinjauan botani genus Intsia Intsia adalah salah satu genus dari family Fabaceae dan termasuk dalam subfamili Caesalpinioideae. Terdapat 13 spesies dari genus Intsia yang tersebar di seluruh dunia dan 3 diantaranya terdapat di Indonesia yaitu I. bijuga, I. palembanica, I. acuminata. (Soerinegara, 1994). Intsia atau sering disebut merbau tumbuh di daerah tropis kepulauan Pasifik, bagian utara Australia, dan Afrika Timur. Di Indonesia sendiri, I. bijuga lebih sering dijumpai di wilayah Indonesia bagian timur (kepulauan pasifik sampai bagian timur Papua New Guinea) sedangkan I. palembanica lebih sering dijumpai di daerah Indonesia bagian barat.(Gambar 2.1). I. bijuga dan I. palembanica merupakan spesies Intsia yang paling terkenal.
Gambar 2.1 Daerah distribusi genus Intsia (warna hijau) Intsia merupakan pohon yang berukuran kecil hingga besar yang selalu hijau sepanjang tahun. Tingginya bisa mencapai 42-50 meter dan tidak bercabang hingga ketinggian 20-25 m. Diameter batang mencapai 160-250 cm dengan ketebalan kulit kayunya 0,5-1 cm. Daunnya berselang-seling, berlawanan, dan ketika usianya sudah cukup dewasa, daunnya menyebar membentuk kanopi. Pada dasarnya semua spesies Intsia memiliki karakteristik yang sama, yang membedakannya hanya pada jumlah daun per rachis dan bentuk daunnya. (Soerinegara, 1994) Genus ini ditemukan di hutan pesisir pantai dan di dataran rendah hutan hujan tropis sampai ketinggian 1000 m di atas permukaan laut. Sering juga ditemukan tumbuh di daerah di belakang mangrove. Pada awal masa pertumbuhan (0-3 bulan), Intsia lebih cepat tumbuh di tempat yang teduh dari pada di bawah kondisi sinar matahari penuh. Tetapi setelah itu, pertumbuhannya akan berkurang. Intsia dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah kecuali tanah gambut. (Soerinegara, 1994)
5
Genus Intsia menghasilkan kayu dengan kualitas sangat baik yaitu tahan pada berbagai cuaca, tahan rayap, kuat, serta tahan terhadap serangan ulat kayu. Oleh karena itu, kayu Intsia sering digunakan untuk keperluan konstruksi jembatan dan bahan bangunan, furnitur, bak truk, pagar, alat musik, bahan kerajinan dari kayu, serta bahan pewarna coklat dan kuning. Selain itu, kulit kayunya juga berguna sebagai obat tradisional. Sering digunakan sebagai obat diare, disentri, reumatik dan ganguan saluran urin. (Soerinegara, 1994)
2.3 Tinjauan botani Intsia bijuga Kunzte Taksonomi Intsia bijuga Kuntze Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Fabales
Famili
: Fabaceae
Subfamily
: Caesalpinioideae
Tribe
: Detariae
Genus
: Intsia
Spesies
: Intsia bijuga
I. bijuga memiliki nama daerah bermacam-macam misalnya di Indonesia dikenal dengan nama kayubesi atau merbau, ipil di Filipina, choyo di Pohnpei, vesi di Fiji dan lain-lain. Daerah persebarannya luas meliputi Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Papua New Guinea (PNG), Guam, Australia, New Celedonia, Kepulauan Solomon, Vanuatu, Fiji, Samoa, dan Toga. I.bijuga juga ditemukan di daerah Micronesia sampai Palau, Yap, Chuuk, Pohnpei, dan Kepulauan Marshall.(Thaman, 2006) Tumbuhan Intsia bijuga merupakan tumbuhan tingkat tinggi yang sempurna, dalam artian memiliki bagian-bagian tumbuhan yang jelas. I. bijuga merupakan pohon berukuran sedang yang hidup di daerah rendah seperti di hutan hujan tropis yang sering ditemukan di daerah perbatasan pantai rawa bakau atau di sepanjang sungai. Pohon I. bijuga dewasa biasanya memiliki ketinggian 7-25 m dengan daun yang membentuk kanopi, dan batangnya memiliki diameter antara 0,5-1 m. (Gambar 2.2 (a)) Berdasarkan bentuknya, I. bijuga dapat dibedakan menjadi tumbuhan jantan dan betina. Pada tumbuhan betina, Kayunya lebih tebal dengan warna yang lebih muda daripada tumbuhan jantan. Selain itu, tumbuhan betina lebih ringan dan lebih lunak. Oleh karena itu, tumbuhan betina sering digunakan untuk alat-alat rumah tangga karena lebih mudah dibentuk. (Heyne, 1987) 6
Spesies ini memiliki kulit kayu yang beralur sedangkan I. palembanica tidak memiliki kulit kayu bealur. Kulit kayu I. bijuga berwarna agak merah muda sampai merah kecoklatan, apabila rusak terkena cuaca menjadi berwarna abu-abu. Kulit bagian dalam berwarna coklat kemerahan sampai kuning kecoklatan, dengan sapwood berwarna putih dan kayunya berwarna coklat. (Gambar 2.2 (b)) Kayu I. bijuga diketahui mengandung 47% selulosa, 23% lignin, 17% pentosan, 0,9% abu, dan 0,2% silica. (Soerinegara, 1994). Kulit kayu I. bijuga digunakan sebagai obat diare dengan cara ditumbuk dan dikunyah dengan pinang yang tua atau dicampur dalam makanan. (Heyne, 1987) Pohon ini memiliki bunga biseksual yaitu satu pohon memiliki alat kelamin yang berbedabeda yaitu pohon jantan dan pohon betina. Daun bunganya berwarna putih, pink, ungu atau merah. Musim berbunga pohon ini berbeda-beda tergantung pada daerahnya. Di Papua New Guinea, pohon ini berkembang pada bulan Agustus, bulan Mei-Juni di Vanuatu dan bulan Oktober-Mei di Fiji. (Gambar 2.2 (c)) Pohonnya biasanya berbuah tiap bulan, paling banyak pada bulan Februari di PNG, bulan Desember-Januari di Vanuatu dan antara bulan April-Oktober di Fiji. Mempunyai buah yang tebal, keras, bentuknya bulat panjang seperti buah pada petai cina maupun petai, dengan panjang mencapai 30 cm lebar 10 cm. Gambar 2.2 (d) Perbedaannya dengan petai cina maupun petai adalah bijinya buah I. bijuga keras dengan tiap polong mengandung 2-8 biji bulat. Bijinya dapat dimakan dengan terlebih dulu dibembam dalam arang atau abu panas sampai kulitnya pecah. Kemudian direndam selama 3-4 hari dengan air garam dan direbus. (Heyne, 1987)
(b)
(d) (a)
(c)
Gambar 2.2 Bagian-bagian tumbuhan I. bijuga. (a) Pohon I. bijuga utuh, (b) bagian kayu dan kulit kayu, (c) bagian bunga, (d) bagian buah dan biji 7
2.4 Kandungan kimia famili Fabaceae Metabolit sekunder yang terdapat dalam tanaman ini sangat beragam, dari molekul yang sederhana sampai molekul yang rumit. Keberagaman metabolit sekunder yang terkandung dalam suatu tumbuhan menunjukkan adanya tingkat evolusi dari tumbuhan tersebut. Kandungan senyawa metabolit sekunder secara umum dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu senyawa fenolik dan non-fenolik. Kelompok terpenoid sebagai metabolit sekunder non-fenolik ditemukan dalam bentuk yang bervariasi misalnya diterpen dan triterpen glikosida (saponin). Diterpen yang telah ditemukan pada Fabaceae berupa senyawa furanoditerpen tipe cassane. Furanoditerpen merupakan metabolit sekunder yang diketahui aktif sebagai antimalaria yang dominan ditemukan pada genus Caesalpinia. (Gambar 2.3) Misalnya dari Caesalpinia crista diketahui mengandung norcaesalpinin E (1), caesalpinin C (2) dan caesalpinin D (3) yang aktif sebagai antimalaria dengan nilai IC50 masing-masing 0,09 μM; 0,76 μM dan 0,8 μM terhadap P. falciparum. (Linn, et al., 2005). O OAc CH3
O OAc CH3
H O
OH H3C CH3
(1)
AcO
OAc CH3
H
H
OH
O
CH2
H O
H O
OH H3C CH3
(2)
OH H3C CH3 OAc
(3)
Gambar 2.3 Senyawa diterpen yang diisolasi dari famili Fabaceae Senyawa triterpen sering ditemukan dalam bentuk saponin. (Gambar 2.4) Misalnya pada genus Astragalus ditemukan adanya triterpen glikosida jenis sikloartan misalnya dari Geditsia ditemukan gleditsiosida N, O, dan P (4-6), yaitu saponin yang terikat dengan monoterpen. Gleditsiosida N dan O terikat dengan dua unit monoterpen sedangkan Gleditsiosida P terikat dengan tiga unit monoterpen yang terasetilasi pada C3 dan C6 dari gugus glikosidanya. (Zhang, et al., 1999) sedangkan dari Astragalus kahiricus telah berhasil diisolasi kahirikosida II (7). (Radwan. et al., 2004)
8
(4) R1 = CH2OH
R2 = H
(5) R1 = CH3, 6 = S
R2 = H
(6) R1 = CH3, 6 = S
R2 = R3
(4-6)
CH2OH
OH
GluO OH
(7)
Gambar 2.4 Senyawa triterpen yang diisolasi dari famili Fabaceae
Senyawa fenolik yang dominan terdapat dalam famili ini adalah senyawa flavonoid. Selain flavonoid juga banyak ditemukan senyawa dari jenis dibenzooxepin dan stilben. Kecenderungan flavonoid yang dihasilkan dalam tiap genus dalam famili Fabaceae berbedabeda bergantung pada tingkat evolusinya. (Gambar 2.5) Misalnya dari Guibourtia coleosperma, senyawa flavonoid yang dihasilkan adalah flavonoid yang terikat dengan glikosida misalnya epikatecin-(4b → 8)-7-O-β-D-xylopiranosil-epikatecin (8) yang berupa dimer dan 2006)
7-O-β-D-xylopiranosil-epikatecin (9) yang berupa monomer.(Bekker, et al.,
sedangkan
pada
genus
Caesalpinia,
flavonoid
yang
dihasilkan
berupa
homoisoflavonoid misalnya bonducellin (10) yang diisolasi dari Caesalpinia pulcherima. (Zhao, et al., 2004). Berbeda dengan dua spesies sebelumnya, genus Milletia menghasilkan senyawa flavonoid berupa isoflavon yang terprenilasi. Milletia pachycarpa diketahui mengandung millewanins G (11), millewanins H (12) dan furowanin B (13). (Ito, et al., 9
2006). Adapun senyawa dibenzooxepin yang pernah diisolasi adalah bauhiniastatin 1-2 (1415) yang diisolasi pada Bauhinia purpurea. Bauhinisantin 1 (14) juga diketahui memiliki aktivitas sitotoksik yang tinggi terhadap sel murin leukemia P-388 dengan nilai IC50 0,65 μM. (Pettit, et al., 2006) OH HO
H AcO AcO
H
O
OH OAc
H
OH O
HO
H
O
OH
H
Glu
OH
H OAc H H H
OH
OH
H
H
O
O OH
OAc
OH
(8)
(9)
HO OH
O
O
OCH3
OH OH
O
OH
OH
O
OH
(10)
(11) OH
OH HO
O
O
O
OH OH
O
OH OH
OH
O
(12)
(13)
O
OH O
H3C
OH
OH
H3CO O
OH
H3CO
(14)
O
H3C
OH
(15)
Gambar 2.5 Senyawa fenolik yang diisolasi dari famili Fabaceae
10
2.5 Kandungan kimia genus Intsia Kandungan metabolit sekunder dari genus Intsia yang telah dilaporkan adalah senyawa kelompok fenolik dan nonfenolik. Senyawa fenolik dari genus Intsia yang telah dilaporkan adalah senyawa flavonoid dan stilben sedangkan senyawa non-fenolik yang telah berhasil diisolasi berupa senyawa terpenoid.
2.5.1. Flavonoid Flavonoid merupakan suatu kelompok senyawa yang sering ditemukan antara lain pada makanan sehari-hari. Senyawa kelompok ini merupakan zat berwarna merah, ungu, biru, dan kuning yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan. Sebanyak 2% dari seluruh karbon yang disintesis oleh tumbuhan dikonversi menjadi senyawa flavonoid dan turunannya. (Markham, 1982) Flavonoid memiliki kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon dengan pola C6C3-C6 dimana dua buah cincin benzene terikat pada suatu rantai propan. Kombinasi cara pengikatan cincin benzene pada rantai propan dapat menghasilkan tiga kelompok senyawa yaitu 1,3-diarilpropan (flavonoid); 1,2-diarilpropan (isoflavonoid) dan 1,1-diarilpropan (neoflavonoid). (Gambar 2.6). Jenis flavonoid dan isoflavonoid sering dijumpai sedangkan neoflavonoid jarang dijumpai. (Achmad, 1985). Di bawah ini adalah struktur kerangka dari ketiga jenis flavonoid.
(a)
(b) (c)
Gambar 2.6 Jenis-jenis flavonoid. (a) flavonoid, (b) isoflavonoid, (c) neoflavonoid Flavonoid disintesis melalui kombinasi dua jalur biosintesis yaitu jalur asetat malonat (cincin A) dan jalur shikimat (cincin B). Oleh karena itu, cincin A pada flavonoid memiliki ciri pola oksigenasi yang berselang seling seperti halnya senyawa poliketida yang dihasilkan dari jalur asetat malonat. (Gambar 2.7)
11
JALUR ASETAT MALONAT
JALUR SHIKIMAT
O H3 C
SCoA
O
CO2
HO
CH
H
HC
PO3H2
COOH
OH
CH2OH
O HOOC
SCoA
O H3 C
O H2 C
COOH SCoA
O
HO
O
OH OH
H3 C H2 C C
SCoA
Asam shikimat
COOH SCoA
O O
O
COOH
O B
OH
a
B
b
HO O
O
O
O
Calkon synthase
B
HO
O A
C
OH
O
Flavanon
Stilben synthase
B
HO
OH
HO
A
OH
O
Calkon
OH
Stilben
Gambar 2.7 Biosintesis flavonoid dan stilben Jalur asetat malonat dimulai dengan reaksi kondensasi antara tiga buah asam asetat membentuk triketida. Sedangkan jalur shikimat dimulai dari reaksi kondensasi antara eritrosa dengan fosfoenol piruvat menghasilkan asam shikimat. Selanjutnya, melalui beberapa tahap reaksi sekunder, asam shikimat dikonversi menjadi fenil propanoid. Fenil propanoid dan triketida yang dihasilkan dari masing-masing jalur kemudian bergabung dan menghasilkan flavonoid melalui mekanisme yang satu dan senyawa stilben melalui mekanisme yang lainya. Berikut ini adalah gambaran jalur biosintesis flavonoid dan stilben.
12
Adapun senyawa fenolik yang pernah dilaporkan terdapat dalam genus Intsia adalah senyawa flavonoid dan stilben. (Gambar 2.9) Senyawa flavonoid yang telah berhasil ditemukan dari batang I. bijuga adalah robinetinidol (16) dan fisetinidol (17) dari jenis katecin (flavan-3-ol); naringenin (18), eridiktiol (19) dan farrerol (20) dari jenis flavanon; dihidromirisetin (21) dari jenis flavanonol; robinetin (22), mirisetin (23), 7, 3’,5’-trihidroksi flavonol (24) dari jenis
flavonol sedangkan aromadendrin (25) ditemukan pada I.
palembanica. (Hillis, dan Yazaki, 1973), (Muslihat, 2006), (Wijaya, 2008).
2.5.2. Stilben Stilben adalah kelompok senyawa yang memiliki struktur 1,2-diariletena. Struktur kerangka stilben dapat dilihat pada Gambar 2.8
Gambar 2.8 Struktur kerangka stilben Jalur biosintesis stilben hampir sama seperti jalur biosintesis flavonoid, merupakan kombinasi jalur biosintesis yaitu jalur biosintesis asam malonat dan jalur biosintesis shikimat.(Gambar 2.7). Adapun senyawa stilben yang pernah ditemukan pada genus Intsia adalah
resveratrol
(26),
3,5,3’4’-tetrahidroksistilben
(27),
dan
3,
5,
3’,4’,
5’-
pentahidroksistilben (28).(Gambar 2.9)
13
OH
OH
OH HO
O
HO
OH OH
O
OH OH
OH HO
O
OH
O
(16)
(17) (18) OH
OH HO
CH3 HO
O
OH
OH
O
HO
OH
O
OH
HO OH
O
OH
CH3
(19)
O
(20)
OH
OH OH
O
O
(21)
OH
HO
OH
OH HO
OH
O
OH
HO
OH
O
OH OH
OH
O
OH
(22)
O
O
(23)
(24) OH
HO
O
OH
OH
OH H
HO
HO
H OH OH
OH
O
OH
(25)
(26)
(27) OH OH
HO
OH
OH
(28)
Gambar 2.9 Senyawa flavonoid dan stilben yang diisolasi dari genus Intsia 14
2.5.3. Terpenoid Senyawa terpenoid adalah senyawa organik bahan alam yang memiliki kerangka dasar lima buah atom karbon dan kelipatannya. Tiap unit lima karbon tersebut disebut unit isopren. (Gambar 2.10) Unit-unit isopren ini saling berikatan mengikuti kaidah isopren yakni berikatan dari kepala ke ekor. (Achmad, 1985).
Gambar 2.10 Kerangka isopren Senyawa terpenoid dikelompokkan berdasarkan jumlah unit isopren penyusun senyawa tersebut. Pada Tabel 2.1 dapat dilihat pengelompokan senyawa terpenoid. Tabel 2.1. Penggelompokan senyawa terpenoid Kelompok Terpenoid
Jumlah Karbon
Monoterpen
10
Seskuiterpen
15
Diterpen
20
Sesterterpen
25
Triterpen
30
Tetraterpen
40
Politerpen
> 40
Senyawa terpenoid dihasilkan dari jalur biosintesis asam mevalonat. Asam mevalonat disintesis dari asetil koenzim A. Tahap biosintesis dimulai dengan reaksi kondensasi antara dua molekul asetil koenzim
hingga membentuk asetoasetil koenzim A. Kemudian
asetoasetil koenzim A bereaksi dengan asetil CoA dan menghasilkan 3-hidroksi-3metilglutaril CoA (HMG-CoA). HMG-CoA kemudian direduksi menjadi asam mevalonat. Tahapan selanjutnya, asam mevalonat diubah menjadi isopren. Adapun gambaran mengenai biosintesis isopren dapat dilihat pada Gambar 2.11. (Mathews, 2000)
15
O
O + H3C
H3C
SCoA
SCoA
CH3 O
DMAPP
O
O H 3C
PP
SCoA O H3C
O HO
CH3
SCoA CH3
O
O
SCoA
OH
PP
IPP
HMG-CoA 2 NADPH + 2H+ CoA-SH + 2
O HO
CO2, Pi
NADP+
O
CH3 OH
HO
OH 3 ATP
3 ADP
asam mevalonat
CH3 OP
O
PP
3-fosfo-5pirofospat-mevalonat
Gambar 2.11 Biosintesis isopren Triterpen merupakan senyawa nonfenolik yang banyak dijumpai terdapat pada Fabaceae. Triterpen adalah senyawa yang mengandung 6 unit isopren dan disintesis melalui dua farnesil pirofosfat (FPP). FPP sendiri dihasilkan dari reaksi kondensasi antara tiga buah unit isopren. Pembentukan FPP dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.12. (Mathews, et al., 2000). Dua buah FPP akan saling bereaksi membentuk squalen dan melalui beberapa reaksi sekunder maka akan terbentuk triterpen. (Gambar 2.12)
16
CH3
CH3 O
PP
+
O
IPP
PP
DMAPP PPi
OPP
Geranil-PP
H 3C
O
PP
IPP
OPP
Farnesil-PP
Gambar 2.12 Pembentukan Farnesil pirofosfat (FPP) Senyawa terpenoid yang telah berhasil diisolasi dari genus Intsia adalah senyawa triterpen sederhana yaitu β- amirin (29) (Gambar 2.13), yang berhasil diisolasi dari kulit I. bijuga yang tumbuh di Australia.(Korytnyk, 1958)
HO
(29) Gambar 2.13. Senyawa terpenoid yang disolasi dari kulit I. bijuga
17