2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Gerombolan (Shoal) dan Kawanan (School) Ikan
Predator dan makanan adalah kunci dalam memahami gerombolan ikan. Kerjasama dalam menaklukkan predator dan mencari makan secara bersama-sama menggambarkan keseimbangan antara bergabung, bersaing, atau meninggalkan kelompok. Dalam kehidupan nyata, saat predator menghampiri gerombolan ikan yang sedang mencari makan, maka secara spontan gerombolan ikan tersebut akan bersikap waspada. Sekali terdeteksi oleh predator, gerombolan ikan akan mempertahankan diri daripada mencari makan (feeding) (Pitcher & Parrish, 1983).
Gerombolan ikan menunjukan adanya kesan koordinasi dan sekali-kali
terlihat mempunyai derajat sosial yang sama tanpa pemimpin yang saling bekerja sama melindungi spesies (Breder, 1954; Shaw, 1962; Radokov, 1973 diacu dalam Pitcher & Parrish, 1983). Dalam hal ini, gerombolan lebih memperhatikan kehomogenan dan kesinkronan. Tingkah laku gerombolan lebih banyak tertuju pada spekulasi fungsi (Shaw, 1978; Partridge, 1982a diacu dalam Pitcher & Parrish, 1983), sampai sekarang eksperimen kunci masih sedikit dilakukan. Pada gerombolan ikan, menghindari serangan sederhana dan serangan mendadak sama sekali tidak berhubungan dengan seleksi tingkah laku kelompok. Kelompok ikan yang tinggal bersama untuk alasan sosial disebut “gerombolan/shoal” (Pitcher & Parrish, 1983), analog dengan hal “kawan” untuk burung. Didefinisikan sebagai kelompok sosial ikan, gerombolan tidak mempunyai implikasi untuk struktur atau fungsi. Pitcher & Parrish (1983) menjelaskan bahwa sinkronisasi dan polarisasi kelompok renang disebut “school”. Schooling atau perkawanan ikan adalah salah satu tingkah laku pamer oleh ikan dalam gerombolan (Gambar 2.1) dan kawanan ikan mempunyai struktur yang dapat diukur dalam sinkronisasi dan polarisasi. Secara akustik, obyek yang terlihat pada echogram menggambarkan agregasi
organisme bukan secara individual, sehingga disebut ‘kawanan’.
Kawanan, akan terlihat pada peralatan survey akustik, echosounder ataupun sonar pada berbagai bentuk. Bentuk yang paling umum adalah jejak gema (echo trace) tunggal, kuat dan terputus-putus. Reid et al. (2000) menyebutkan bahwa pengertian ‘kawanan’ akan selalu menimbulkan debat antar ilmuan biologi tingkah laku, sehingga tidak mungkin untuk diputuskan. Definisi ‘kawanan’ untuk tujuan akustik ini mewakili kumpulan
yang terlihat pada echosounder. Definisi yang diberikan Kieser et al. (1993) diacu dalam Reid et al. (2000) adalah agregasi ikan multiple. Disertasi ini, merujuk pengertian schooling atau ‘kawanan ikan’ pada Gambar 2.1 bahwa, kawanan ikan memiliki kekhasan dalam polarisasi kelompok renang tertentu dan tingkah laku tertentu, sehingga terlihat sebagai suatu struktur khas yang dapat dijadikan sebagai suatu parameter terukur. T ingkah laku individu
Ger om bol an / S h oal Kr iter ia: hubungan K aw a s os ial n an / Kriteria: tingkah S laku ch ool s inkr onis as i renang
T aktik Anti pr edator
B A
E D
KE T E RANGAN: A. menghindar i vacuole/lubang yang mer upakan ancaman B . invas i dengan cepat C. polaris as i kompak D. kumpulan ter pencar E . melar ikan dir i dengan s embunyi
C
Mencar i makan Memij ah
Gambar 2.1 Diagram Venn hubungan definisi tingkah laku gerombolan dan kawanan ikan (Pitcher & Parrish, 1983) Berdasarkan diagram Venn pada Gambar 2.1, memijah dan mencari makan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap makhluk hidup sehingga ikan akan memijah atau mencari makan dapat dilakukan dalam bentuk kelompok (schooling, shoaling) atau individu. Ikan membentuk gerombol berdasarkan hubungan sosial baik itu mencari makan, memijah atau upaya mempertahankan diri dari predator. Gerombolan ikan biasanya juga akan membentuk kawanan ikan. Kawanan ikan terbentuk sebagai upaya untuk menunjukkan jati diri kelompok tertentu. Hal ini terlihat pada kesinkronan kelompok dengan tingkah laku dan kelompok renang tertentu. Tujuan pembentukan kelompok (shoaling, schooling) adalah sebagai upaya memudahkan mencari makan, mencari pasangan dalam memijah dan taktik untuk menghindar atau mempertahankan diri dari serangan predator. Ikan soliter (hidup secara individu) mempertahankan diri dari serangan predator dengan cara melarikan diri dan sembunyi. Taktik yang dilakukan oleh gerombolan
ikan
untuk
menghindari
serangan
predator
adalah
dengan
membentuk polarisasi kompak kemudian membentuk pencaran dan bergabung lagi sehingga menyulitkan predator untuk memangsa. Sementara kawanan ikan, taktik yang dilakukannya adalah dengan membentuk polarisasi kompak kemudian melakukan invasi dengan cepat dan yang terpenting tidak membiarkan adanya vacuoles yang merupakan ancaman masuknya predator dalam kawanan. 2.2 Identifikasi Hidroakustik Kawanan Ikan
Ikan dapat di identifikasi dengan 2 (dua) cara, yakni identifikasi ikan secara ex situ dan secara in situ. Identifikasi ikan secara ex situ atau secara taksonomi adalah suatu usaha untuk mengidentifikasi ikan dengan mengambil sampel ikan, dilihat ciri-ciri meristik dan morfometriknya (atau dilihat sampel DNA nya) serta mencocokkannya dengan kunci identifikasi dan taksonomi.
Identifikasi ikan
secara in situ atau secara hidroakustik adalah suatu usaha untuk mengenali atau mengidentifikasi kawanan ikan dengan gelombang suara yang ada pada suatu area tertentu, pada waktu tertentu tanpa menyentuh kawanan ikan tersebut. Kelebihan dan kekurangan identifikasi ikan tersebut tertera pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Identifikasi ikan secara in situ dan ex situ Identifikasi Ikan Ex situ (Taksonomi) Kelebihan
Spesies ikan dapat langsung diketahui secara akurat
Dapat dilakukan kapan saja dan tidak memerlukan peralatan khusus dalam penyimpanan sampel.
In situ (Hidroakustik)
Kekurangan
Membutuhkan waktu relatif lama dalam identifikasi ikan di areal tertentu (terutama di daerah tropis) Densitas ikan dapat diketahui dengan cara sampling
Kelebihan
Kekurangan
Dapat mengetahui densitas dan penyebaran spesies ikan yang diidentifikasi di suatu perairan
Tingkat keakuratan masih rendah
Dapat mengidentifikasi spesies tanpa menyentuh kawanan ikan
Identifikasi dengan DNA masih mahal
Harus dengan biologi
ditunjang sampling
Mahal biaya surveinya
Sebagaimana diungkapkan pada Tabel 2.1, salah satu kelemahan metode hidroakustik adalah dalam hal identifikasi ikan. Oleh karena itu Lu & Lee (1995) mengembangkan software EIPS (Echo-signal Image Processing System) untuk mengidentifikasi
spesies
ikan
dari
echogram
gerombolan
ikan,
dengan
menggunakan dual beam echosounder. Sistem pengolah sinyal akustik tersebut berisi program untuk transformasi citra digital, pengolahan citra digital, pengukuran dan komputasi deskriptor dan fungsi diskriminan untuk identifikasi
spesies.
Selain itu digunakan juga principal component analysis, clustering
analysis dan stepwise discriminant analysis dalam menentukan hubungan antara deskriptor.
Deskriptor akustik penting dalam
identifikasi spesies
yang
berhubungan dengan struktur eksternal gerombolan ikan (area, perimeter, tinggi, lebar, panjang aksis, sirkular, rektangular dan jumlah piksel) dan struktur internal gerombolan ikan (nilai rata-rata, standar deviasi, skewness, kurtosis dan amplitude sinyal).
Keakuratan identifikasi spesies menggunakan sistem ini
mencapai 98% untuk round scad, 97% untuk anchovy, 94% untuk skipjack, 91% untuk larval fish dan 67% untuk horse mackerel. Scalabrin et al. (1996) melakukan identifikasi akustik narrow-band gerombolan ikan monospesifik. Sinyal narrow-band backscatter mengandung informasi yang berbeda maka ekstraksi fitur yang benar, penting dalam keberhasilan identifikasi spesies gerombolan ikan. Data akustik yang digunakan untuk identifikasi spesies yaitu echogram, amplitude probability, density function dan fitur spektral.
Image processing digunakan untuk memperbaiki deskriptor
gerombolan ikan, namun hasilnya belum dapat mengidentifikasi spesies. Alasannya adalah: (1) penggunaan narrow-band echosounder pada perairan dangkal tidak sesuai untuk fitur alat, seperti lebar beam, durasi pulsa dan frekuensi. Echosounder tersebut umumnya beroperasi dengan single beam width (10o), sehingga mengakibatkan rendahnya angular resolution yang secara serius membahayakan pengukuran morfologi shoal; (2) Data yang digunakan mencakup periode waktu yang lama (5 tahun) dan musim yang berbeda. Konsekuensinya, kisaran yang luas dari kondisi lingkungan ditunjukkan dengan berubah-ubahnya pengamatan untuk horse mackerel. Spesies ini menunjukkan perbedaan tingkah laku, yang mungkin berhubungan dengan kondisi lingkungan dan kebiasaan makannya. Kisaran yang luas pada karakteristik akustik mengakibatkan perubahan struktur gerombolan ikan dan tumpang tindih spesies. LeFeuvre
et
al.
(2000)
mengembangkan
peralatan
analisis
untuk
mengidentifikasi cod (Gardus marhua) dan capelin (Mallotus villosus) dengan menggunakan echogram resolusi tinggi. Pendekatan teknik pengolahan citra digunakan untuk menilai dan menganalisis berbagai fitur akustik yang diterima. Selanjutnya mengembangkan model algoritma untuk membedakan antar spesies. Klasifikasi jarak Mahalanobis digunakan pada pengukuran jarak antar spesies. Implementasi peralatan analisis tersebut diuji dengan perangkat lunak “FASIT” (Fisheries Assessment and Species Identification Toolkit) menggunakan data echosounder digital 38 KHz. Pendekatan yang digunakannya ditekankan pada
pengembangan peralatan untuk ekstraksi fitur dan teknik klasifikasi pada situasi tertentu, dan tidak mengembangkan algoritma klasifikasi secara umum. Identifikasi spesies kawanan ikan pelagis di paparan benua perairan Afrika Selatan menggunakan deskriptor akustik dan informasi tambahan dilakukan oleh Lawson et al. (2001). Pengukuran deskriptor akustik ditekankan pada deskriptor morfometrik, energetik dan bathymetrik kawanan ikan anchovy (Engraulis capensis), sardine (Sardiops sagax) dan round herring (Etrumeus whiteheadi). Pengukuran
kawanan
ikan
diekstraksi
menggunakan
software
komersial
(echoview sonar data). Data akustik dikumpulkan dengan echosounder vertikal selama operasi trawl survei stok pelagis di paparan benua perairan Afrika Selatan pada bulan November 1997, 1998 dan 1999. Ketepatan identifikasi spesies yang diperoleh dalam studi ini mencapai 88.3% tergantung penggunaan variabel pada diskriminasi. Studi tersebut telah menunjukkan bahwa analisis langsung pada data akustik konvensional menghasilkan identifikasi spesies dengan keakuratan tinggi. Pencantuman variabel tambahan memperbaiki identifikasi spesies secara substansial. Gambar 2.2 adalah kawanan herring tunggal dari identifikasi survei dalam sistem pengolahan citra (Reid et al., 2000). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tersebut, ada beberapa hal yang dapat meningkatkan keakuratan identifikasi spesies kawanan ikan, yaitu: (1)
Penggunaan alat hidroakustik split beam echosounder menghasilkan identifikasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan dual beam ataupun single beam.
(2)
Penggunaan deskriptor akustik yang relevan disuatu perairan diperlukan dalam memperbaiki identifikasi spesies kawanan ikan.
(3)
Adanya faktor lingkungan yang menunjang seperti suhu, salinitas, lintang, bujur, musim dan sebagainya.
Permukaan laut
Kawanan Ikan
Dasar perairan
Gambar 2.2. Kawanan herring tunggal dari identifikasi survei akustik sistem pengolahan citra. Tabel sebelah kanan merupakan deskriptor yang dihitung pada kawanan herring (Reid et al., 2000).
2.3 Klasifikasi Hidroakustik Kawanan Ikan
Definisi klasifikasi menurut Ludwig (1988) adalah pengelompokan atau penggerombolan (cluster) dari suatu objek berdasarkan pada kemiripannya. Lagler et al. (1963) menambahkan bahwa organisme akuatik, termasuk ikan, dapat diklasifikasikan secara ekologi dengan cara yang berbeda-beda. Menurut toleransi lingkungan, dapat dikelompokkan dari toleransi sempit sampai ke lebar, seperti ‘steno’ dan ‘eury’. Klasifikasi suhu yaitu stenothermal dan eurythermal, salinitas yaitu stenohaline atau euryhaline dan seterusnya.
Contoh lain klasifikasi ikan, berdasarkan kategori basis lokasi dalam ekosistem akuatik seperti bentik (ikan dasar), pelagis (berenang bebas), atau planktonik (pergerakannya tergantung arus). Klasifikasi berdasarkan arah migrasi seperti migrasi vertikal dan horizontal.
Rose & Leggett (1988) telah berhasil melakukan klasifikasi kawanan ikan
cod, capelin dan mackerel dengan deskriptor akustik.
Quadratic Discriminant
Function digunakan untuk analisis klasifikasi kawanan ikan berdasarkan target strength, kedalaman, dan jarak off-bottom mencapai ketepatan 77%.
Sampel
bebas akustik kawanan cod dan capelin selama tahun 1985 yang berhasil diklasifikasikan mencapai ketepatan 93%, berdasarkan variabel SPT (Standarized Peak to Through distance), PP (Peak to Peak distance), koefisien variasi inversi, kedalaman dan jarak off-bottom.
Fisher (1936) diacu dalam Rose & Leggett
(1988) menyatakan bahwa teknik diskriminan cocok untuk klasifikasi taksonomi dari sinyal akustik. Richards et al. (1991) juga berhasil melakukan klasifikasi ikan rockfish (famili Scorpaenidae) di perairan sebelah barat laut Vancouver Island-Kanada. Berdasarkan integrasi echo, penggunaan Nearest Neighbour Analysis (NNA) mencapai ketepatan di atas 97%. Variabel yang digunakan adalah time of day, dispersion, log mean volume density dan mean off bottom distance.
Studi
tersebut tidak mempertimbangkan fitur berdasarkan kedalaman, karena klasifikasi agregasi ikan harus didasarkan pada karakteristik fitur dari distribusi echo ikan bukan pada lokasi secara geografi. Penelitian mengenai klasifikasi kawanan ikan secara hidroakustik masih jarang dilakukan bila dibandingkan dengan identifikasi kawanan ikan. Klasifikasi kawanan ikan merupakan kelanjutan dari identifikasi kawanan ikan. Titik berat pada klasifikasi kawanan ikan terletak pada pembuatan kelas-kelas yang dijadikan parameter. 2.4 Struktur Hidroakustik Kawanan Ikan
Freon et al. (1992) menyatakan bahwa strukutur kawanan ikan secara umum digambarkan dalam 3 parameter yaitu: 1) densitas rata-rata seluruh kawanan, 2) susunan ikan secara individu dalam struktur dan 3) bentuk eksternal kawanan.
Parameter-parameter tersebut dipengaruhi faktor internal (tingkat
kedewasaan spesies) dan eksternal. kelompok
yaitu:
1)
kondisi
Faktor eksternal dibagi menjadi dua
lingkungan
(temperatur,
intensitas
cahaya,
ketersediaan mangsa) dan 2) stimuli eksternal (stimuli visual yang datang dari predator alam atau kapal).
Struktur kawanan internal bersifat heterogen dan
struktur ini berubah ketika
ada kapal yang lewat di atas kawanan.
Struktur
kawanan tersebut mempengaruhi variabilitas densitas, khususnya untuk kawanan ikan pelagis.
Di lain pihak, heterogenitas struktur kawanan mengakibatkan
kesulitan dalam memperkirakan biomassa kawanan berdasarkan volume eksternal pada multibeam sonar dan perkiraan densitas yang menggunakan perhitungan visual atau model distribusi. Studi akustik yang dilakukan oleh Masse et al. (1996) mengenai struktur dan distribusi spasial kawanan ikan pelagis bertujuan menganalisis perkiraan jejak gema spesies spesifik yang diinginkan dan menguji pengaruh susunan spesies pada posisi vertikal, dan bentuk dari kawanan. Karakteristik yang diamati adalah ukuran (tinggi, vertical cross-section area), elongasi (panjang/tinggi), energi hambur balik (densitas) dan distribusi vertikal (kedalaman dasar, altitude school). Struktur kawanan yang dinyatakan dalam tipologi akustik dapat dilihat pada Gambar 2.3 (Reid et al., 2000).
Skema yang mewakili tipologi akustik ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (1)
Scattered fish. Dicirikan dengan sejumlah besar gema ikan tunggal yaitu ikan tidak beragregat dalam suatu struktur (tipe 1).
(2)
Fish in schools. Dicirikan dengan sejumlah diskret dan kawanan yang dapat diidentifikasi.
Informasi ini secara langsung bisa berasal dari database
kawanan yang digambarkan langsung (tipe 2). (3)
Fish in aggregation. Pada layar echogram ikan terbentuk dalam agregasi yang hilang. Agregasi ini digambarkan sebagai ‘clouds’ (tipe 3)
(4)
Fish in pelagic layer (tipe 4a). Ikan pada lapisan ini seringkali terlihat menyebar pada lapisan mid-water yang bersambungan sampai dengan beberapa mil.
Lapisan seperti ini sulit digambarkan menggunakan citra.
Ada beberapa yang terlihat seperti patahan-patahan kecil dalam lapisan.
Gambar 2.3 Tipologi akustik untuk aplikasi database ESDU (Reid et al., 2000).
Struktur seperti ini meskipun dapat dilihat sebagai suatu rangkaian dalam kawanan terpisah, sebaiknya dilihat sebagai lapisan struktur. Dalam hal ini echogram membentuk lapisan tipis dalam kolom air.
Sebuah lapisan,
meskipun terjadi patahan sebaiknya dilihat dalam bentuk 3D seperti diagram kue dengan sesekali terdapat lubang. (5)
Fish in demersal layer (tipe 4b). Memiliki kemiripan dengan tipe 4a tetapi lebih dekat dengan dasar laut. Argumen yang sama tentang kekontinuan spasial demersal seperti pada lapisan pelagis
2.5 Perkembangan Deskriptor Akustik
Deskriptor akustik adalah variabel atau peubah yang menggambarkan ciri atau sifat dari pantulan akustik. Deskriptor akustik pertama kali dikenalkan oleh Rose & Leggett (1988).
Penelitian yang dilakukan berupa klasifikasi sinyal
hidroakustik kawanan ikan berdasarkan spesies. Alat akuisisi data akustik yang digunakan adalah echosounder dual beam model Biosonics 105 (120kHz). Hasil analisis diskriminan kuadratik memaparkan bahwa deskriptor akustik dapat diklasifikasikan secara benar sebesar 93% adalah kawanan cod dan capelin. Tetapi akan berkurang tingkat akurasinya (77%) jika melibatkan nilai TS. Deskriptor akustik yang digunakan tertera pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Deskriptor akustik untuk klasifikasi (Rose & Leggett, 1988) No
Deskriptor Akustik
No
Deskriptor Akustik
[1].
Off Bottom distance (m)
[5].
Standar deviation voltage (V )
[2].
School depth (m)
[6].
Peak to Peak (m)
[3].
Maximum voltage (V )
[7].
SPT
[4].
2
2
2
Mean voltage (V )
Penelitian ini dilanjutkan oleh Richards et al. (1991) dengan klasifikasi kumpulan (assemblage) ikan berdasarkan survei integrasi gema menggunakan deskriptor akustik di dua lokasi yang berbeda di Kepulauan Vancouver Canada. Alat yang digunakan adalah BioSonic digital echo integrator.
Hasil Nearest-
neighbour analysis (NNA) menunjukkan bahwa kumpulan ikan rockfish dapat dibedakan berdasarkan kategori habitat sebesar 97%. Deskriptor akustik yang digunakannya untuk penelitian tertera pada Tabel 2.3. Tabel 2.3. Deskriptor akustik menurut Richards et al. (1991) No
Deskriptor Akustik
No Deskriptor Akustik
[1]. [2].
Off Bottom (D) Dispersi (N)
[3]. [4].
Time (T) Density mean volume (V)
Penelitian hidroakustik mengenai pola spasial plankton menggunakan echogram dilakukan di Perancis oleh Baussant et al. (1993). Metode deskriptor akustik yang digunakan adalah geometri (maksudnya morfometrik) dan statistik (maksudnya energetik). Alat yang digunakan adalah model BioSonic 102 (38kHz). Hasil analisis mutivariate menunjukkan bahwa terjadi korelasi negatif antara deskriptor akustik geometri dan statistik pada patches plankton. Deskriptor yang digunakan tertera pada Tabel 2.4. Tabel 2.4. Deskriptor akustik menurut Baussant et al. (1993) A. [1]. [2]. [3]. [4]. [5]. [6]. [7]. [8]. [9]. [10].
Geometry Area Perimeter External Hight External Width Internal Hight Internal Width Fractal Dimension Nearest Neighbour Distance Nearest Neighbour Angle Coefisien vertikal rugosity
B. [1]. [2]. [3]. [4]. [5]. [6]. [7]. [8]. [9].
Statistic Mean Intensity Maximum intensity Variance Coefisien variation Skewness Kurtosis Horizontal rugosity Vertikal rugosity Coefisien horizontal rugosity
Pada penelitian sebelumnya, Freon et al.,1992 mengamati langsung dengan melihat struktur kawanan, densitas rata-rata dan bentuk kawanan (plumelike, egg-shaped dan mill). Alat yang digunakan adalah SIMRAD EY-M sounder portable (70 kHz). Penelitian ini tidak menggunakan deskriptor akustik. Weill et al.,1993 mengembangkan software MOVIES B khusus untuk mendeteksi kawanan ikan. Software ini merupakan pengembangan dari INESMOVIES (Diner et al., 1989). Deskriptor yang digunakan tertera pada Tabel 2.5. Tabel 2.5. Deskriptor akustik menurut Diner et al. (1989) A. [1]. [2]. B. [3]. [4].
General ESDU (0.1 mil) Speed vessel (S) Acoustic Echosounder frequency (kHz) Number of sample above echo integrasi threshold (Sa) [5]. Number of ping (N) [6]. Number of total sample (St) C. Time and space position [7]. Year [8]. Day a year [9]. Time [10]. Quadrate geography [11]. Longitude [12]. Latitude
A. [1]. [2]. [3]. [4]. [5]. [6]. B. [7]. [8]. [9]. [10]. C. [11]. [12]. [13]. [14]. [15].
Morphology Height Length Perimeter Cross sectional Area Fractal Dimension Elongation Bathymetric Depth Bottom Shoal depth Shoal minimum altitude Shoal altitude index Energetic Deviation (Qd) Volume reverberation Index Energy backscatter Amplitude Mean value Amplitude sample maximum value
[16]. [17].
Amplitude standar deviation Amplitude coefisien variation
Di Afrika Selatan, Barange (1994) mengembangkan deskriptor akustik dengan pengenalan matriks.
Alat yang digunakan adalah split beam echo
sounder SIMRAD EK500 dengan frekuensi operasional 38 kHz. Pada penelitian ini,
Barange
menemukan
adanya
pengelompokan
(patchiness)
biologi
berdasarkan data hambur balik akustik. Hasilnya adalah pengelompokkan ikan horse mackerel dan zooplankton dapat diidentifikasi sebesar 54-78%. Deskriptor akustik yang digunakan tertera pada Tabel 2.6. Tabel 2.6. Deskriptor akustik menurut Barange (1994) A. [1]. [2]. [3]. [4]. [5]. B. [6]. [7].
Size and shapes Length Height Area Perimeter Fractal dimension Relational Nearest Neighbour Distance (NND) Nearest Neighbour Angle (NNA)
C. [8]. [9]. [10]. [11]. [12]. [13]. [14]. [15].
Feature internal patch Mean acoustic Intensity Variance acoustic intensity Maximum acoustic Intensity Minimum acoustic Intensity Skewness Kurtosis Horizontal roughness Vertikal roughness
Di Taiwan, Lu & Lee (1995) mengidentifikasi spesies gerombolan ikan menggunakan sistem pengolahan citra jejak sinyal (sinyal-echo image processing) dengan deskriptor akustik. Alat yang digunakan adalah dual beam echosounder. Hasilnya adalah gerombolan ikan pelagis (round scad, skip jack, horse mackerel dan larva ikan) dapat diidentifikasi sebesar 98%.
Deskriptor akustik yang
digunakan tertera pada Tabel 2.7. Tabel 2.7. Deskriptor akustik menurut Lu & Lee (1995) A [1]. [2]. [3]. [4]. [5]. [6]. [7]. [8]. [9]. [10].
External structure Cross section area Perimeter Hight Width Length Major axis angle Number of pixel Elongation Circularity Rectangularity
B. [11]. [12]. [13]. [14]. [15]. [16]. [17].
Internal structure Mean signal amplitudo Standar deviation signal amplitudo Skewness Kurtosis Integrated optical density Horizontal uniform optical density Vertikal uniform optical density
Scalabrin et al.,1996 mengidentifikasi gerombolan sardin dan anchovy di Teluk Biscay, Perancis menggunakan deskriptor akustik sebesar 98%, tetapi akan berkurang tingkat akurasinya jika melibatkan jarak yang luas berdasarkan ruang dan waktu. Deskriptor akustik yang digunakan tertera pada Tabel 2.8. Tabel 2.8. Deskriptor akustik menurut Scalabrin et al.(1996) No Deskriptor Akustik [1]. Nearest Neighbour Distance
No Deskriptor Akustik [4]. Shoal number density
[2]. Standar Deviation [3]. Mean
[5]. IAR (ratio area influence)
Deskriptor ini ditambahkan dari MOVIES-B, yaitu: No [1]. [2]. [3]. [4]. [5].
Deskriptor Akustik Area Bottom depth Shoal minimum depth Length Elongation
No [6]. [7]. [8]. [9].
Deskriptor Akustik Fractal dimension Scattering volume Average Amplitudo Amplitudo standar deviation
Masse et al.,1996 membuat kajian akustik dalam struktur dan distribusi spasial kawanan ikan pelagis. Alat yang digunakan adalah single beam echo sounder Ossian 1500 (38 kHz). Deskriptor yang digunakan berasal dari program INES-MOVIES sebagaimana tertera pada Tabel 2.9. Tabel 2.9. Deskriptor akustik menurut Masse et al. (1996) No [1]. [2]. [3].
Deskriptor Akustik Height Elongation Vertical cross area
No Deskriptor Akustik [4]. Back scattering energy [5]. Vertical distribution (bottom depth & acoustic school)
Selanjutnya Reid et al., 2000 membuat standar baku dalam menganalisis kawanan ikan berdasarkan hasil survei. Data diekstraksi menjadi 3 parameter utama yaitu, kawanan (school), ESDU dan bagian (region). Deskriptor akustik yang digunakan sebagai standar baku tertera pada Tabel 2.10. Tabel 2.10. Deskriptor akustik menurut Reid et al. (2000) [1].
[2].
[3].
School Parameter Position Morfometrik Energetic Environment Biological ESDU Position Energetic Hydrography Acoustic typology Seabed Region/Strata
= = = = =
Temporal, vertical and geographical Shape, height, width etc Total acoustic energy and internal school variation index Hidrography and physical (seabed substrat and topography) Species, age structure, others species etc
= = = = =
Date, time, vessel log, longitude, latitude Total echo integral from fish or plankton Sea surface temperature, and salinities (SST and SSS) Scattered fish, school fish, aggregation fish, pelagis layer etc Depth water, seabed topography, slope, substrat
Bahri & Freon (2000) membuat struktur spasial kawanan ikan pelagis menggunakan deskriptor akustik di dua lokasi yang berbeda Laut Mediterranean. Metode geostatistik (teknik variogram) digunakan untuk menganalisis struktur spasial.
Berdasarkan
teknik
variogram,
kawanan
ikan
pelagis
di
Laut
Mediterranean memiliki struktur. Deskriptor akustik yang digunakannya tertera pada Tabel 2.11.
Tabel 2.11. Deskriptor akustik menurut Bahri & Freon (2000) No [1]. [2]. [3]. [4]. [5]. [6]. [7].
Deskriptor Akustik Back scatter energy School Reverberation volume index Length Average hight Maximum hight Elongation Roughness school
No [8]. [9]. [10]. [11]. [12]. [13].
Deskriptor Akustik Perimeter Area Average depth Minimum Altitude Relatif Altitude Minimum depth
Pada perkembangan selanjutnya, LeFevre et al., 2000 mengembangkan perangkat lunak FASIT untuk mengidentifikasi bentuk, tekstur dan objek positif gerombolan ikan menggunakan deskriptor akustik. Hasilnya adalah gerombolan ikan (Cod, Capelin, Red Fish) dapat diidentifikasi sebesar 98%. Deskriptor akustik yang digunakan tertera pada Tabel 2.12. Tabel 2.12. Deskriptor akustik menurut LeFevre et al. (2000). No [1]. [2]. [3]. [4]. [5]. [6]. [7]. [8].
Deskriptor Akustik Area Perimeter Compactness Roughness Width Height Axis Elongation
No [9]. [10]. [11]. [12]. [13]. [14]. [15].
Deskriptor Akustik Mean Amplitude Maximum Amplitude Minimum Amplitude Amplitude Standard deviation Depth to the top of the object Depth to the centroid of the object Distance from the object to the seabed
SHAPES (SHoal Analysis and Patch Estimation System) untuk mencirikan kawanan sardin di Agulhas Bank Afrika Selatan diteliti oleh Coetzee
(2000).
Pada analisis echogram, ditekankan pada penggunaan scattering area sebagai variabel dalam menghitung scattering volume. Hasilnya adalah deskriptor akustik morfologi merupakan deskriptor akustik yang paling berperan dalam karakteristik kawanan ikan sardine. Deskriptor akustik yang digunakan tertera pada Tabel 2.13. Tabel 2.13. Deskriptor akustik menurut Coetzee (2000). A [1]. [2]. [3]. [4]. [5]. [6]. [7]. [8]. C [16]. [17].
Morphology Height (apparent) Length (apparent) Height (real) Length (real) Area Volume Perimeter Fractal dimension Correction data NND NNA
B [9]. [10]. [11]. [12]. [13]. [14]. [15].
Internal Energetic Mean echo intensity Standard deviation of echo intensity Coefficient of variation of echo intensity Coefficient of Horizontal roughness Coefficient of Vertical roughness Skewness Kurtosis
[18]. [19].
Number of cells Ping to discard
Lawson et al., 2001 mengidentifikasi spesies kawanan ikan pelagis di paparan benua perairan Afrika Selatan menggunakan deskriptor akustik dan informasi tambahan berupa data suhu dan salinitas. Hasilnya adalah kawanan ikan pelagis (anchovy, sardine, round herring) dapat diidentifikasi sebesar 88,3%. Deskriptor akustik yang digunakan tertera pada Tabel 2.14. Tabel 2.14. Deskriptor akustik menurut Lawson et al. (2001) A. Morphometric [1]. Height [2]. Length [3]. Perimeter [4]. Area
B. Energetic [5]. Mean acoustic energy [6]. Standard deviation of acoustic energy [7]. Skewness of acoustic energy [8]. Kurtosis of acoustic energy C. Bathymetric [9]. Mean school depth [10]. Altitude index
2.6 Perikanan Pelagis Di Perairan Selat Bali
Burhanudin & Preseno (1982) diacu dalam Wudianto (2001) menyatakan bahwa perairan Selat Bali diperkirakan memiliki luas mencapai 900 mil persegi dan dibatasi oleh daratan Pulau Jawa (di sebelah barat), daratan pulau Bali (di sebelah timur), Laut Jawa (Selat Madura) dengan lebar 1 mil (di sebelah utara) dan Samudera Hindia dengan lebar 28 mil (di sebelah selatan).
Usaha penangkapan di perairan Selat Bali terutama ditujukan untuk menangkap jenis ikan pelagis kecil seperti lemuru, tembang, dan layang. Alat tangkap yang umum digunakan oleh nelayan setempat yakni: pukat cincin, payang, jaring insang, rawai dasar, pancing, bagan, sero dan lainnya. Spesies kawanan ikan pelagis di perairan Selat Bali sebagian besar didominasi oleh jenis ikan lemuru (Sardinella lemuru) dengan kisaran 14-98%, selanjutnya tongkol (Auxis spp) dengan kisaran 0.5-56%, layang (Decapterus sp) dengan kisaran 0.1-61% dan ikan lainnya dengan kisaran 0.1-14% pada Tahun 1996-1998 (Wudianto, 2001). Lemuru merupakan jenis ikan pelagis kecil yang berdasarkan buku statistika perikanan Indonesia, terdiri dari beberapa jenis antara lain: Sardinella longiceps, S. aurita, S. leiogaster, S. clupeiodes, dan Amblygaster sirm. Perairan Selat Bali umumnya didominasi oleh Sardinella longiceps. Tahun-tahun terakhir ini sebutan S. longiceps jarang digunakan sebagai sebutan nama ilmiah lemuru yang tertangkap di perairan Selat Bali (Wudianto, 2001). Hasil revisi klasifikasi ikan lemuru yang dilakukan Wongratana, 1982 diacu dalam Merta, 1992 mengidentifikasikan jenis lemuru di perairan Selat Bali sebagai Sardinella lemuru Bleeker, 1853. Hasil revisi klasifikasi ikan lemuru di perairan selat Bali yang dilakukan oleh Wongratana,1982 adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Malacopterygii Famili : Clupeidae Subfamili : Clupeinae Genus : Sardinella Subgenus : Harengula Species : Sardinella lemuru Bleeker, 1983 Budihardjo et al., 1990 menyebutkan bahwa sekitar 80% produksi total ikan yang didaratkan di perairan Selat Bali adalah jenis ikan lemuru (Sardinella lemuru). Komposisi hasil tangkapan pada Gambar 2.4, menunjukkan bahwa spesies kawanan ikan pelagis kecil didominasi oleh lemuru. Produksi hasil tangkapan lemuru yang tinggi terjadi bulan Agustus sampai Desember.
Gambar 2.4. Rata-rata bulanan produksi ikan dari pukat cincin berdasarkan jenis ikan, Tahun 1996-1998 (Wudianto, 2001) Nelayan di perairan Selat Bali membedakan ukuran panjang ikan lemuru hasil tangkapan menjadi 4 penamaan, yaitu: sempenit (panjang maksimal 11 cm), protolan (15 cm), lemuru (18 cm) dan lemuru kucing (panjang minimal 19 cm) (Merta, 1992). 2.7 Pendugaan Kawanan Ikan Menggunakan Hidroakustik
Pendeteksian kawanan ikan dengan menggunakan peralatan hidroakustik dilakukan pertama kali oleh nelayan Norwegia sekitar tahun 1934. Selama Perang
Dunia II hidroakustik mengalami perkembangan yang luar biasa sebagai alat pendeteksi kapal selam. Setelah perang berakhir, pengetahuan tentang akustik diaplikasikan untuk pendeteksian ikan secara intensif, namun hasilnya belum terwujudkan secara kuantitatif. Nelayan saat itu hanya menterjemahkan echogram dari hasil echosounder ke dalam estimasi hasil tangkapan (Widodo, 1999). Setelah diketemukannya integrator gema (echo-integrator) secara digital yang mampu mengkuantifikasikan hasil mengamatan akustik maka hidroakustik dapat diaplikasikan untuk pendugaan stok ikan (Johanneson & Mitson, 1983). Di Indonesia pemanfaatan metode akustik untuk pengkajian stok sumberdaya ikan dimulai sejak tahun 1972 dengan menggunakan Kapal Penelitian Lemuru milik FAO bekerja sama dengan Lembaga Penelitian Perikanan Laut dan Ditjen Perikanan (Venema, 1996 diacu dalam Wudianto, 2001). Penggunaan metode akustik untuk pendugaan stok sumberdaya perikanan terdapat kelebihan dan kekurangannya. Thorne (1983) yang dikutip Wudianto (2001) mengungkapkan beberapa kelebihan metode akustik dibanding metode lainnya antara lain: (1) dengan metode akustik tidak tergantung pada ketersediaan data statistik perikanan seperti hasil tangkapan dan upaya penangkapan, (2) memiliki skala waktu yang lebih baik, (3) biaya operasional relatif rendah, (4) hasilnya memiliki ragam (variance) yang rendah atau ketelitian yang tinggi, dan (5) memiliki kemampuan untuk mengestimasi kelimpahan absolut ikan. Beberapa kekurangan pemanfaatan metode akustik antara lain: (1) lemah dalam memilahmilah ikan berdasarkan spesies, (2) kurang teliti digunakan untuk sampling ikan dekat permukaan dan dasar, (3) agak rumit dan komplek (4) diperlukan biaya awal yang tinggi, (5) diperlukan sampling biologi ikan dan (6) kemungkinan terjadi bias saat penentuan target strength dan kalibrasi. Menurut Scalabrin & Masse (1993) pendeteksian kawanan ikan secara akustik dapat digolongkan menjadi 2 cara jika dilihat dari prinsip kerjanya yaitu: (1) pengamatan dari atas (secara vertikal) dengan echosounder dan (2) pengamatan dari arah samping (secara mendatar) dengan sonar. Sesuai dengan keterbatasan jangkauan alat, kedua metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan echosounder yang prinsip kerjanya dari atas maka pengukuran terhadap panjang kawanan ikan hasilnya lebih teliti dibanding hasil pengukuran terhadap tingginya. Namun sebaliknya, jika penggunaan sonar hasil pengamatan tinggi kawanan ikan lebih akurat dibanding hasil pengamatan terhadap panjang kawanan. 2.7.1 Echosounder split beam system Echosounder split-beam memiliki transducer yang dibagi dalam 4 kuadran.
Arah target ditentukan dengan membandingkan sinyal yang
diterima masing-masing kuadran.
Transducer memiliki dua fungsi yaitu
pertama, mengubah energi listrik menjadi pulsa akustik yang ditransmisikan, kadang-kadang disebut dengan ping; kedua, ketika target memantulkan
ping, transducer mengubah echo akustik ke sinyal elektrik. Pulsa transmisi digunakan untuk seluruh transducer tetapi sinyal yang diterima oleh tiap kuadran diproses secara terpisah (MacLennan & Simmond, 1992). 2.7.2 Target strength dan densitas ikan Target strength (TS) merupakan kekuatan dari suatu objek atau target untuk
memantulkan
(Ehrenberg, 1983).
gelombang
suara
yang
datang
mengenainya
Dengan demikian target strength dapat dirumuskan
seperti berikut (Urick, 1983) TS = 10 log ó/4ð ..………………..……(2.1) Menurut MacLennan & Simmonds (1992), TS merupakan backscattering cross section (ó bs) dari target. Clay & Medwin (1979) yang dikutip MacLennan & Simmonds (1992) menyatakan ó bs lebih tepat digambarkan sebagai total dari cross section, yaitu merupakan total dari kuantitas sebesar 4ð, untuk memperjelas perbedaan dari satuan intensitas lain karena ó bs meliputi satu unit area. Backscattering cross section dapat juga digambarkan dalam satuan decibels (dB) sehingga nilai back scattering cross section adalah ó/4ð,
dimana acoustic cross-section (ó) merupakan luas bidang
penerima sejumlah energi dari target yang memantulkan gema.
Dengan
demikian persamaan TS dapat dituliskan sebagai berikut: TS = 10 log óbs ……………………..…...(2.2) Johanesson & Mitson (1983) menambahkan bahwa ikan tidak berbentuk seperti bola (spere) dan tidak kaku, sehingga pantulan gelombang suara yang mengenainya tidak teratur (anisotropic reflector).
Hal ini
menyebabkan TS ikan menjadi sangat kompleks untuk diketahui. Nilai TS ikan anchovy hidup dalam kurungan yang dilakukan oleh Iida et al., 1999 adalah: TS = 20 log L – 67.7………………..........……(2.3) Nilai TS untuk pendugaan stok ikan pelagis di Afrika Selatan adalah: TS (dB/kg) = -10.9 log L-20.9 .……….…............(2.4) Sedangkan nilai TS ikan sardin hasil penelitian Coetzee (2000) adalah
TS (dB/kg) = 14.9 log L-13.21 …...........………...(2.5) Menurut MacLenan & Simmonds (1992) diketahui bahwa rata-rata nilai TS dari jenis ikan lemuru (Clupea sp.) berkisar antara (45.6 - 47.6) dB hampir sama dengan ikan jenis herring. Rata-rata ukuran panjang yang dimiliki ikan lemuru, khusus perairan Selat Bali, berkisar antara 6-23 cm sepanjang tahun (Merta,1992). Metode echo integration (integrasi gema) digunakan untuk mengintegrasi densitas ikan, dimana gema dari target ganda menjadi overlap dan ikan tunggal sulit dipisahkan.
Integrasi gema berguna untuk
mengubah energi total dari gema ikan menjadi densitas ikan dalam satuan fish/m3 atau kg/m3. Pendugaan nilai densitas dihitung dari nilai SA yang merupakan nilai integrasi gema. Untuk mendapatkan nilai SA (Scattering area) didapat dari persamaan berikut
R2
R1
SA = 4πR 2 Sv.∂r (1852m / nm ) ……..………
∫
2
..………….…(2.6)
Untuk mendapatkan nilai Sv (Scattering volume) yang merupakan nilai dari intensitas suara yang mengenai target pada volume air tertentu (m3) didapat dari persamaan berikut ini:
Sv =
SA …………………………….(2.7) 2 4πR (1852m / nm ) ( R2 − R1 ) 2
dimana R = jarak referensi (1 m), R2-R1 = tinggi lapisan perairan yang dianalisis. Sehingga nilai densitas ikan berdasarkan areanya adalah :
ρA = dimana
SA ..........................................................(2.8) σ bs
ρA
= densitas ikan perluasan perairan pada kolom air tertentu
SA
= nilai back scattering area
σbs
= nilai back scattering cros section
Nilai σbs adalah sebagai berikut: σ bs = 10
TSi 10
.......................................(2.9)
Persamaan densitas untuk berat TS normal ikan herring (Clupea harengus) pada 38 kHz adalah:
SA Density g .m − 3 = 0.1TS / kg .18522.∆R 4π .10
(
) (
[
* 1000 ...............................(2.10)
)
]
Density( g.m −2 ) = 10 (log S A −76.34)−TS / kg *100 .............................................(2.11) Halldôrs s on dan R eynis s on (1983) diacu dalam Coetzee (2000).