2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Ekosistem Danau Danau merupakan perairan tergenang yang berada di permukaan tanah,
terbentuk akibat proses alami atau buatan. Danau memiliki berbagai macam fungsi, baik fungsi secara ekologis maupun yang berkaitan dengan kepentingan manusia (ekonomis). Danau, sebagai perairan tergenang, memiliki karakteristik antara lain berarus lambat, retention time relatif lama, memiliki stratifikasi lapisan secara vertikal, serta biota yang hidup tidak memiliki adaptasi khusus.
Komunitas
tumbuhan dan hewan tersebar di danau sesuai dengan kedalaman dan jaraknya dari tepi.
Rutner (1974) menjelaskan mengenai zonasi yang berperan dalam
membentuk struktur komunitas perifiton, yaitu: 1. Zona eulitoral, adalah daerah pinggiran yang masih mendapatkan percikan air. Daerah ini ditumbuhi perifiton yang mampu bertahan terhadap perubahan lingkungan yang cukup ekstrim. 2. Zona sublitoral atas, yaitu zona perairan yang masih dapat ditembus sinar matahari, perubahan suhu kecil dan tidak berarti. Zona ini memiliki komposisi perifiton yang paling kaya. 3. Zona sublitoral bawah, yaitu zona air yang kurang mendapat sinar matahari. Intensitas cahaya dan suhu menurun menurut wilayah termoklin, dengan kondisi demikian, jenis alga hijau secara kuantitatif menurun, namun masih layak bagi diatom, alga biru dan alga merah. 4. Zona air gelap, pada zona ini komunitas perifiton jenis alga autotrof semakin menghilang dan digantikan jenis-jenis heterotrof. Sebagian wilayah perairan Danau Lido dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai lahan budidaya Keramba Jaring Apung (KJA). Hasil budidaya tersebut dimanfaatkan untuk konsumsi warga, pasokan kebutuhan untuk rumah makan terapung, ataupun dijual ke pasar terdekat. Apabila pemanfaatan danau tidak memperhatikan daya dukung lingkungan (carrying capacity), maka dikhawatirkan kualitas perairan danau akan mengalami penurunan dan menimbulkan berbagai masalah (Ubaidillah and Maryanto 2003).
4 2.2.
Perifiton Perifiton secara harfiah merujuk kepada tumbuhan akuatik yang tumbuh
pada permukaan benda padat. Belakangan ini istilah perifiton telah diperluas meliputi mikroorganisme yang hidup pada atau menempel di permukaan benda padat yang terendam, umumnya di atas kedalaman yang masih memiliki cahaya. Istilah tersebut kemudian meliputi tidak hanya alga, namun bakteri, fungi, protozoa, rotifera, dan organisme mikro lainnya (Rickly.com 2004). Perifiton menurut Weitzel (1979) meliputi seluruh tumbuhan kecuali makrofita yang tumbuh pada materi tenggelam. Materi yang dimaksud adalah sedimen, batu, debris, dan organisme hidup. Komunitas perifiton umumnya terdiri atas alga mikroskopik yang bersifat sesil, terdiri atas satu sel maupun filamen, terutama kelompok diatom, kelompok konjugales, Cyanophyceae, Xanthophyceae, dan Chrysophyceae. Round (1964) in Wood (1967) menggunakan istilah perifiton untuk alga yang tumbuh di permukaan substrat buatan (bewuchs) atau substrat alami (aufwuchs). Pennak (1964) mengartikan perifiton sebagai aufwuchs, yaitu seluruh kelompok organisme umumnya mikroskopis yang hidup menempel pada benda atau pada permukaan tumbuhan air yang terendam; tidak menembus substrat; diam atau bergerak di permukaan substrat tersebut. Perifiton bersama dengan fitoplankton dan makrofita merupakan biota utama dalam mementukan produktivitas primer perairan. Komunitas perifiton berperan dalam menentukan produktivitas primer, baik pada perairan mengalir maupun tergenang, namun pada perairan tergenang peranan perifiton lebih rendah daripada fitoplankton. Sebaliknya, pada perairan mengalir peranan perifiton lebih besar kecuali untuk perairan yang keruh (Barnes and Mann 1982 in Supriyanti 2001).
Meskipun demikian, baik di perairan tergenang ataupun mengalir,
perifiton berperan sebagai sumber makanan bagi organisme lain (Odum 1971). Perkembangan perifiton dapat diartikan sebagai penambahan biomassa dalam satuan waktu, atau sebagai proses akumulasi. Akumulasi merupakan hasil kolonisasi dengan proses biologi yang menyertainya dan berinteraksi dengan faktor fisika dan kimia perairan (Kaufman 1980).
Perifiton di KJA mulai
5 berkembang setelah 2 minggu dan berkembang penuh setelah 3 minggu (Huchette et al. 1999). 2.3.
Faktor yang Berpengaruh terhadap Keberadaan Perifiton Produktivitas dan biomassa perifiton dikontrol oleh energi dan input atau
masukan nutrien. Faktor dasar yang mengontrol produktivitas fitoplankton dan perifiton adalah suhu, cahaya, ketersediaan makro-mikronutrien dan substrat. Pada daerah yang dalam biasanya cahaya menjadi faktor pembatas pertumbuhan perifiton (Welch 1980). 2.3.1. Substrat Keberadaan perifiton tidak terlepas dari adanya substrat tempat hidupnya. Perkembangan perifiton menuju kemantapan komunitasnya sangat ditentukan oleh kemantapan substrat. Berdasarkan substrat yang didiami, perifiton dapat dibedakan atas: 1. epipelik, mikroorganisme yang menempel pada permukaan sedimen; 2. epilitik, mikroorganisme yang menempel pada permukaan batuan; 3. epifitik, mikroorganisme yang menempel pada permukaan tumbuhan; 4. epizoik, mikroorganisme yang menempel pada permukaan hewan; 5. episamik, mikroorganisme yang hidup dan bergerak diantara butiran-butiran pasir; 6. epidendrik, mikroorganisme yang menempel pada permukaan batang kayu (Weitzel 1979). Substrat buatan merupakan benda yang secara sengaja dibuat untuk dijadikan media tumbuh suatu organisme, misalnya perifiton.
Disebutkan
keuntungan dari penggunaan substrat buatan dalam penelitian komunitas perifiton antara lain adalah mudah standarisasinya, karena substrat dari masing-masing organisme dapat disamakan di tiap-tiap stasiun pada waktu yang sama sehingga organisme disetiap lokasi mempunyai kesempatan yang sama untuk melekat dan tumbuh.
Selain itu ketepatan laju pertumbuhan dan laju akumulasinya dapat
ditentukan dan dibandingkan, pengumpulan datanya mudah, dan memungkinkan menjadikan perifiton sebagai petunjuk yang peka bagi kualitas air. Kerugian dalam menggunakan substrat buatan antara lain spesies yang hidup secara alami
6 mungkin tidak terambil; laju akumulasi pada hakekatnya bukan merupakan produktivitas karena pertumbuhannya dimulai pada tempat yang kosong (Welch 1980). Menurut Collins and Weber in Biggs (1988) dalam menggunakan substrat buatan ada tiga faktor yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. waktu pemaparan, yang akan mempengaruhi perluasan pertumbuhan 2. kecepatan arus, yang dapat menguntungkan beberapa taksa 3. musim. Waktu pemaparan merupakan faktor yang paling penting, karena dapat mengakibatkan fluktuasi yang besar terhadap biomassa yang tidak berhubungan dengan gangguan fisik atau kualitas air. Schwoerbel (1972) in Supriyanti (2001) menyatakan bahwa warna substrat tidak berpengaruh terhadap perifiton. Penempatan substrat di daerah yang sangat subur dan tercemar, letak lempengan horisontal tidak memberikan hasil yang baik, adanya sedimentasi yang intensif menyebabkan detritus dengan cepat menutupi gelas, sehingga pada daerah ini posisi vertikal lebih baik. Untuk daerah oligotrofik, posisi horisontal akan memberikan hasil yang baik. 2.3.2. Kualitas air Kondisi perairan sebagai tempat hidup perifiton terdiri atas komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi. Komponen abiotik pada perairan diantaranya adalah kualitas perairan yang akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan komunitas perifiton. a. Suhu Organisme diperairan umumnya memiliki toleransi yang sempit terhadap suhu. Perubahan suhu mengakibatkan perubahan pola sirkulasi dan stratifikasi yang jelas berpengaruh besar atas kehidupan organisme akuatik, suhu optimum pada perairan berkisar antara 30-35 oC (Odum 1971). Menurut (APHA 1995), suhu air dipengaruhi oleh substrat, kekeruhan, suhu, tanah dan air hujan, serta pertukaran panas udara dan permukaan air.
Organisme perairan yang hidup
secara alami di suatu perairan adalah jenis-jenis yang dapat menyesuaikan diri
7 dengan suhu air dan sifat kualitas atau kondisi air. Suhu berpengaruh terhadap kelarutan gas-gas dalam air, termasuk oksigen. Kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air juga memperlihatkan peningkatan dengan naiknya suhu perairan yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 °C akan meningkatkan meningkatkan konsumsi oksigen organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat (Haslam 1995). Suhu yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton adalah 20-30 °C (Ray and Rao 1964). Proses fotosintesis dan pertumbuhan sel alga maksimum terjadi pada kisaran suhu 25-40 °C (Reynolds 1990). b. Derajat keasaman (pH) Nilai pH didefinisikan sebagai logaritma dari perbandingan timbal balik antara ion hidrogen bebas. Nilai pH air alami ditentukan oleh besarnya interaksi ion H+ dari pelepasan H2CO3 dan dari ion OH- yang dihasilkan dari hidrolisis bikarbonat.
Oksidasi dari batu pyrit dan tanah
pada
badan sungai dapat
menghasilkan asam sulfur dan dapat menurunkan nilai pH perairan (Wetzel 1983). Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa parameter antara lain aktivitas biologi, suhu, kandungan oksigen, dan adanya ion-ion.
Dari hasil aktivitas biologi
dihasilkan CO2 yang merupakan hasil respirasi, CO2 inilah yang akan membentuk ion buffer atau penyangga untuk kisaran pH diperairan agar tetap stabil (Pescod, 1973).
Ray and Rao (1964) menyatakan pH optimum untuk perkembangan
diatom antara 8,0–9,0. Diatom mulai berkurang perkembangannya pada nilai pH antara 4,6–7,5, namun demikian pada kisaran pH tersebut masih didapatkan berbagai jenis diatom. c. Kecerahan Cahaya matahari sangat penting dalam proses fotosintesis pada perifiton autotrof. Sehingga keberadaan cahaya matahari merupakan faktor pembatas bagi perifiton. Setiap jenis perifiton membutuhkan suhu dan cahaya tertentu untuk pertumbuhan maksimumnya (Fogg 1965). Intensitas cahaya matahari dapat diukur dengan tingkat kecerahan perairan. Kecerahan suatu perairan mempengaruhi daya tembus cahaya yang memasuki perairan. Sering kali penetrasi cahaya terhalang oleh partikel-partikel kecil dalam air.
Apabila kekeruhan air disebabkan oleh jasad-jasad hidup, maka nilai
8 kecerahan merupakan indikasi produktivitas (Odum 1971).
Kecerahan
menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. d. Unsur hara Unsur hara yang terdapat dalam perairan memiliki pengaruh terhadap perkembangan komunitas perifiton. Nitrogen dan fosfor merupakan unsur hara perairan yang terdapat dalam bentuk senyawa seperti ammonia, nitrit, nitrat dan ortofosfat. d.1. Nitrogen Senyawa nitrogen ditemukan pada tumbuhan dan hewan sebagai penyusun protein dan klorofil.
Nitrogen adalah unsur penting bagi makhluk hidup
disamping karbon, hidrogen, dan oksigen. Nitrogen adalah komponen utama di dalam metabolisme protein. Nitrogen di perairan berada dalam bentuk senyawa anorganik seperti nitrit (NO2), nitrat (NO3), amonium (NH4), dan amonia (NH3) serta jumlahnya realatif sedikit
(Goldman and Horne 1983).
Kekurangan
nitrogen akan berakibat terbatasnya produksi protein dan materi-materi lain yang dibutuhkan untuk memproduksi sel-sel baru (Garcia and Garcia 1985). Nitrat (NO3) adalah bentuk utama
nitrogen di perairan alami dan
merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga.
Nitrat yang
merupakan sumber nitrogen bagi tumbuhan selanjutnya dikonversi menjadi protein. Nitrat juga merupakan zat hara penting bagi organisme autotrof dan diketahui sebagai faktor pembatas pertumbuhan (APHA 1995). Nitrat nitrogen bersifat mudah larut dan stabil.
Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi
sempurna senyawa nitrogen di perairan. Kadar amonia dan nitrat yang sesuai untuk pertumbuhan alga < 0,5 mg/l. d.2. Fosfor Fosfor yang berada dalam perairan umumnya ditemukan dalam bentuk senyawa organik dan anorganik. Senyawa anorganik berada dalam bentuk fosfat dan polifosfat, sedangkan yang berbentuk senyawa organik berupa gula fosfat dan hasil-hasil oksidasinya merupakan senyawa yang tidak mudah terurai.
9 Fosfor yang terdapat di air berasal dari dekomposisi organisme yang telah mati. Senyawa fosfat dapat berasal dari proses erosi tanah, buangan dari hewan dan pelapukan tumbuhan serta limbah industri, pertanian dan domestik (Kabul 2000 in Suharsanto 2003). Keberadaan fosfat di air dipengaruhi oleh proses biologi dan fisika, yaitu pemanfaatan fitoplankton maupun pergerakan massa air. Kandungan fosfat akan meningkat dengan meningkatnya kedalaman, hal ini seperti diutarakan oleh Smith (1936) in Suari (1999). Konsentrasi fosfor sering menjadi faktor pembatas di perairan alami. Fosfor merupakan unsur pembatas pertumbuhan yang umum pda perifiton meskipun fosfor ini dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit (Goldman and Horne 1983). Keberadaan fosfor yang berlebihan dan diikuti dengan keberadaan nitrogen dapat menstimulir peledakan pertumbuhan alga di perairan. Alga yang berlimpah ini dapat membentuk lapisan pada permukaan air yang selanjutnya dapat menghambat
penetrasi
cahaya
matahari
dan
oksigen
sehingga
kurang
menguntungkan bagi ekosistem perairan. Menurut Wardoyo (1975) in Suharsanto (2003) nilai kisaran ortofosfat yang baik bagi pertumbuhan perifiton adalah 0,011–0,1 mg/l, pada nilai kisaran tersebut perairannya tergolong subur. 2.4.
Komunitas Perifiton Komunitas perifiton terbentuk dari perifiton yang berkolonisasi pada suatu
media (substrat). Kolonisasi dapat diartikan sebagai suatu proses pertumbuhan dan perkembangan dari suatu populasi organisme pada suatu media hidup. Kolonisasi dapat terjadi bila segala kebutuhan hidup organisme terpenuhi atau bila terdapat kesempatan untuk mengisi relung yang belum termanfaatkan. Strukturisasi merupakan proses perkembangann koloni-koloni yang berhasil mengisi relung-relung yang tersedia pada media hidup. Dengan demikian proses ini menunjukkan kompleksitas dari komunitas pada media hidup tersebut (Pratiwi 2001). Komunitas yang terdiri dari berbagai populasi bersifat dinamis dalam interaksinya yang berarti dalam ekosistem mengalami perubahan sepanjang masa. Perkembangan ekosistem menuju kedewasaan dan keseimbangan dikenal sebagai suksesi ekologis atau suksesi.
Suksesi terjadi sebagai akibat dari modifikasi
10 lingkungan fisik dalam komunitas atau ekosistem. Proses suksesi berakhir dengan sebuah komunitas atau ekosistem klimaks atau telah tercapai keadaan seimbang (homeostatis) (bebas.vlsm.org 2008).