2. LANDASAN TEORI 2.1 Nilai Pemanfaatan Lahan
Lahan adalah sumber daya alam yang mempunyai peranan penting dalam setiap aktivitas kehidupan manusia baik di bidang ekonomi maupun non ekonomi. Di bidang ekonomi khususnya produksi, lahan adalah faktor produksi yang sangat penting selain faktor manusia dan modal (Mubyarto, 1979; Northam, 1975). Di bidang non ekonomi lahan memiliki makna struktur penguasaan dan pemilikan lahan. Lahan merupakan tempat dimana terjadi pelbagai kegiatan dengan pelbagai manfaat yang akan menentukan tingkat kompetisi dan harga, terutama 1 daerah perkotaan dimana lahan adalah input lokal yang langka dan apabila terjadi kapitalisasi dari manfaat nilai lahan yang pemilikannya diberikan secara hibah maka dipastikan tidak cukup untuk memperbaiki manajemen sumberdaya alamnya (Turner, 1993; Husein, 1997). Kompetisi lahan yang terjadi didaerah perkotaan biasanya sangat kompleks, karena kelangkaan lahan memaksa penduduk memusatkan banyak kegiatannya dan setiap kegatan yang dilakukan dengan pelbagai cara yang akan mempengaruhi daerah sekitarnya. Agar nilai lahan tetap bisa dipertahankan manfaatnya, maka diperlukan perencanaan lahan yang baik yang disesuaikan dengan nilai fungsional lahan. Pemikiran dan tindakan untuk menyelamatkan nilai ekonomi lahan dilahirkan pada saat manusia sudah merusakkan atau merosotkan nilai lahan. Kompetisi pemanfaatan lahan makin meningkat di suatu kawasan dimana kegiatan penduduk cenderung makin meningkat pula. Lahan-lahan yang mempunyai nilai lebih seperti: Tingkat kesuburan yang tinggi, iklim yang menunjang tingkat kesuburan lahan serta lokasi yang dekat dengan akses pasar dan lokasi akan dipengaruhi oleh "locul external economics" yang pada umurnnya sangat diminati. Harga lahan merupakan ukuran
utarna bagi tingkat permintaan dan kompetisi untuk memperolehnya. Dengan tingkat kualitas lahan yang bervariasi, akses-akses yang dimiliki, maka lahan dikawasan perkotaan menjadi sasaran utama bagi migran untuk berusaha menempati dan memiliki lahan-lahan perkotaan tersebut, khususnya di kawasan pesisir yang masih terbuka dan hak kepemilikannya banyak yang belum jelas. Manusia berusaha sedemikian rupa untuk memanfaatkan lahan secara maksimal
(bukan optimal) sehingga menimbulkan banyak masalah pemanfaatan lahan. Permasalahan ini diakibatkan oleh sistem monokultur dan penanaman yang tidak sesuai dengan lahannya. Penderitaan manusia akibat erosi, longsor dan menurunnya unsur hara, membuat manusia mulai memunculkan suatu gerakan pelestarian lahan yang kini menjadi contoh terkenal dari suatu rencana pelestarian yang melibatkan penduduk setempat, universitas negeri, dan pemerintah. Partisipasi dari pelbagai stukeholder ini sangat diperlukan terlebih di tingkat pemerintahan lokal. 2.1.1 Sejarah Pemanfaatan Lahan
Dalam sejarah dunia tentang pemanfaatan lahan baik yang terjadi di Amerika, Jepang, Eropa dan Indonesia menunjukkan bahwa nilai lahan makin tinggi harga sewanya sesuai dengan kebutuhan lahan yang makin meningkat. Misalnya: lahan industri harga sewanya lebih tinggi, karena nilai hasil produksinya juga lebih tinggi. Dengan demikian proses urbanisasi dan industrialisasi inilah yang menjadi faktor penting untuk mendorong kenaikan sewa dan harga lahan. Dengan berkembangnya penduduk nilai lahan akan tens menaik dan tidak mungkin turun, karena lahan adalah merupakan satu-satunya faktor produksi yang tidak dapat dibuat oleh manusia (Mubyarto, 1979). 2.1.1.1 Sejarah Pemanfaatan Lahan di Amerika
Menurut Field (1994), isu pemanfaatan lahan di Amerika Serikat dimulai dari inisiatif pemerintah federal yang berkaitan dengan preservasi lahan basah di tingkat lokal. Isu preservasi lahan basah tersebut diakibatkan karena te~jadinya konversi lahan pertanian secara besar-besaran menjadi lahan untuk industri dan perumahan. Menurut Jackson (2001) isu yang mudah meledak saat ini adalah bahwa lahan pertanian sudah banyak yang menjal lahan perumahan terutarna di Wisconsin. Pembangunan perumahan sudah jelas menjadi isu paling besar dalam menentukan keputusan pembangunan lahan-lahan pertanian. Data tahun 1959 menunjukkan bahwa di Wisconsin terdapat 130.000 peternakan dimana kira-kira 80% adalah peternak susu sapi. Pada tahun 1997 diperkirakan jumlahnya mencapai separuhnya dan sepertiganya hanya bergerak sebagai peternak harian. Wisconsin telah kehllangan 80% dari peternak hariannya dalam kurun waktu
empat puluh tahun terakhir. Kuminoff (2001) mengajukan data-data perubahan konversi lahan pertanian di California, dimana diperkirakan 497.000 acre lahan pertanian terkena imbas urbanisasi sejak decade tahun 1988 sampai tahun 1998 atau sekitar 49.700 acre telah mengalami konversi. Dalam kaitan tersebut diperlukan penanganan kebijakan secara lokal termasuk isu-isu lingkungan tentang manajemen aliran sisa produksi dan konsumsi. Permasalahannya menjadi berbeda jika didaratan. Permukaan burni adalah tetap secara kuantitas, dan manusia menyebar dan sesuai dengan pola insentif yang beragam dan dengan darnpak yang berbeda. Kunci permasalahannya adalah lahan bagi suatu kegiatan untuk kepentingan manusia dan pemanfaatannya bagi kegiatan konservasi. Jika semua eksternalitas lingkungan memiliki dimensi spasial, maka dapat dilakukan pencegahan dari kerusakan sumberdaya lahan. Menurut Clawson (1968) bahwa sistem lahan di Amerika serikat dipengaruhi oleh sistem sosial yang berhubungan erat dengan era kolonisasi, era revolusi dan era kemerdekaan atau federal. Pada era kolonisasi kelompok kecil penjajah telah menguasai lahan di pesisir dimana mereka pertama kali mendarat. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa pada saat mereka mendarat lahan pesisir tidak berpenghuni. Para penjajah yang datang di lahan baru tersebut berasal dari Eropa, kemudian membentuk masyarakat baru dimana mereka telah meninggalkan masyarakat yang lama yang dianggap sudah tidak berkenan di hati mereka. Akibat dari kondisi ini, mereka saling berebut untuk menduduki atau memilila lahan pesisir yang tidak berpenghuni tersebut. Akibatnya timbul konflik untuk menentukan "ranking" siapa yang terlebih dahulu harm menempati lahan kosong tersebut. Pada saat itu muncul suatu pandangan bahwa yang langka bukan hanya lahannya tetapi juga manusianya yang mau datang ke lahan pesisir. Di sarnping itu terjah juga kelangkaan terhadap kapital termasuk proporsi antara tenaga kerja dan lahan. Serbuan untuk bertempat tinggal di barat misalnya dari Ohio ke California menghasilkan beberapa karakteristik bagi orang-orang Arnerika, dimana kepemilikan pribadi (private property) sangat kuat mewarnai jenis kepemilikan lahan di kawasan pesisir. Lahan di Amerika utara diklaim sebagai daerah orang yang berasal dari pelbagai orang Eropa. Implikasi dari kedatangan pelbagai macam orang Eropa tersebut, maka timbul senantiasa peperangan diikuti dengan perjanjian yang silih berganti. Hal ini selalu
terjadi di kawasan tersebut. Banyak raja-raja Eropa menarik garis batas yang dianggap menjadi kawasan mereka dan relatif kawasan tersebut mudah untuk dikendalikan terutama keterkaitannya dengan penduduk indian. Para raja-raja Eropa banyak menghadiahkan lahannya ke para permukim dengan pelbagai macam jalur. Misalnya Massachusetts, Rhode Island dan Connecticut dihlbahkan kepada perusahaaddeveloper yang akan membangun permukiman. Sedangkan New York setelah diambil dari Belanda dan Virginia dipertimbangkan sebagai kawasan koloni para raja-raja Eropa dan hak terhadap lahan pada umumnya berasal dari tangan pertama yaitu para raja. Pada era revolusi, para penjajah telah mencapai tingkat kemakrnuran ekonomi yang cukup tinggi sesuai standard pada masa itu. Namun jumlah populasinya masih kecil yaitu berkisar tidak lebih dari 3 juta penduduk. Namun jumlah penduduk semakin meningkat dengan cepat dan dengan cerdas pula diantisipasi tingkat perkembangannya yaitu pada hari dimana penjajah Inggns mempunyai lebih banyak penduduk daripada di negara Inggris sendiri. Sensus pertama pada tahun 1790 tercatat jumlah penduduk 4 juta orang, kemudian sensus kedua pada tahun 1800 jumlah penduduk sudah mencapai di atas 5 juta. Diperkirakan 90 persen dari jumlah penduduk adalah petani yang sangat erat sekali dengan tanah. Pada kawasan pesisir dimana terletak kota-kota yang dinilai kotanya relatif kecil dan relatif penduduknya tergolong klas yang makmur. Mereka tergolong para pedagang yang tinggal di rumah-rumah yang permanen dan bagus dan menikmati minuman anggur impor. Terjadinya spekulasi lahan dan perdagangan dengan penghasil pertanian merupakan sumber utama kemakmuran kota. Terjadinya revolusi Qakibatkan adanya kesenjangan kemakrnuran, sehingga munculnya revolusi yang melibatkan penduduk yang masih loyal dengan penjajah Inggris dan para pemukim yang ingin merdeka. Pada saat revolusi, para penduduk yang menginginkan kemerdekaan dibantu oleh penduduk dengan pendapatan tinggi yang pro dengan revolusi dan menjual tanahnya untuk kepentingan revolusi. Dengan revolusi tersebut diharapkan terjadi kebebasan dalam kepemilikan lahan tennasuk hibah kepada para prajurit militer yang ikut dalam pertempuran.
Pada era kemerdekaan yaitu pada abad ke sembilan belas, pembahasan mengenai penyelesaian lahan milik negara atau milik pemerintah federal menjadi fokus pembahasan utama baik secara politik maupun ekonomi. Hal tersebut juga menjadi elemen dasar dari kebudayaan bangsa. Debat di Konggres dan kampanye politik sering berfokus kepada issue lahan negara. Pada saat Amerika dideklarasikan pada tahun 1788, diperkirakan 150 juta are lahan suatu luasan yang sama dengan besarnya Texas atau Perancis dimililu oleh negara. Pada tahun 1850 luas lahan yang dimiliki oleh pemerintah meningkat menjadi 1.500 juta are. Pada gambar grafik dibawah ini terlihat perbandingan antara luas total area dan 48 negara federal yang luas wilayahnya mencakup 1.900 juta are. Tiga perempat dari total luas lahan tersebut adalah lahan milik pemerintah. 2.1.1.2 Sejarah Pemanfaatan Lahan di Jepang
Sejarah pemanfaatan lahan di Jepang dimulai pada saat dilakukan penyesuaian kembali lahan yang bersamaan dengan dimulainya proyek perencanaan kota pada tahun 1873. Penyesuaian pemanfaatan lahan dimulai secara besar-besaran akibat terjadinya kebakaran kota yang melanda kawasan Tsukiji, Kiban-cho dan kawasan Ginza Q Tokyo yang terjaQ pada bulan Pebruari 1873 (Dwianto, 2001). Penyebab utama terjadinya penyesuaian pemanfaatan lahan adalah bahwa Tokyo telah berkembang menjadi kota yang tidak jelas arahnya sehingga mudah sekali terjadi bencana kebakaran. Untuk itu Tokyo mulai melakukan pembangunan kembali dengan menggunakan bangunan yang tahan terhadap bencana seperti api, gempa selama hampir 30 tahun. Biaya yang telah dikeluarkan diperkirakan mencapai 50 juta yen untuk pembangunan sarana dan prasarana perkotaan. Undang-undang yang telah ditetapkan untuk mulai menyesuaikan pemanfaatan lahan dalarn konteks perencanaan kota ditetapkan pada tanggal 16 Agustus 1889. Selanjutnya Undang-undang tersebut direvisi pada tahun 1918 dan pada tahun berikutnya dibuat khusus undang-undang mengenai perencanaan kota. Undang-undang tersebut kemudian direvisi lagi pada bulan Desember 1923 disebabkan terjadi bencana gempa bumi "Kanto". Pada bulan September 1946 undang-undang tersebut direvisi kembali setelah terjadi perang dunia ke 2. Di samping ada undang-undang penyesuaian lahan yang lmulai sejak bulan Agustus 1889, disusun pula undang-undang untuk pengelolaan lahan dan
gedung dalam rangka perencanaan Kota Tokyo pada bulan Januari 1890 yang kemudian disempurnakan melalui undang-undang pembangunan kota pada tahun 19 19. Berdasarkan undang-undang tersebut disusun kembali undang-undang
tentang standar bangunan pada bulan Mei 1950. Undang-undang mengenai perbaikan lahan ditetapkan pada tahun 1898 dan selanjutnya disesuaikan pada bulan pebruari 1901 dan kemudian disempurnakan kembali pada bulan April 1910 yang selanjutnya disesuaikan kembali pada bulan Juni 1949. Gambar 1 di bawah ini menunjukkan sejarah perundang-undangan dan peraturan penyesuaian pemanfaatan lahan 1 Jepang (Dwianto,200 1). Regulation for Management of Land and Building in Tokyo Town Planning (Januaw 1890)
Former Arable Land Readiustment Law (Februaaw 1910). Later on abolished
Revis~onof the above law
City Planning Law (1919)
Urban Construction Law
Arable Land Readjustment Law (April 1910). Later on abolished
I
Special City Planning Law +
2
3 e
-
.3
Building Standard Law (Mav 1950)
(December 1923, for disaster damage reconstruction after Kanto Earthquake. The law was later on abolished) (September 1946, for war damage reconstruction. The law was later on abolished)
Land Re?djusment
+ I
Article 12 in City Planning Law
I
Land Adjustment Law (Mav 1954)
Gambar 1 Hukum dan Peraturan Proyek Penyesuaian Ulang Lahan Sumber : Toshi Seibi Kenkyukai (191 1) yang diacu dalam Dwianto (2001)
2.1.1.3 Sejarah Pemanfaatan Lahan di Eropa Sejarah pemanfaatan lahan di Eropa akan difokuskan kepada pembahasan mengenai latar belakang bangsa Anglo-Saxon yaitu Inggris. Bangsa Inggris menurut Richter (1993) dapat mewakili gambaran pemanfaatan lahan di Eropa yaitu dengan melihat hubungan antara kepemilikan lahan dengan para raja-raja di Inggns. Hubungan ini akan ditinjau khusus pada abad ke-9 dan ke-10 yaitu
1
berkisar antara tahun 1016 - 1035, karena pada masa itu ada peraturan hukurn untuk pertama kalinya dibuat oleh raja Edward sebelum invasi bangsa Norman ke Inggris. Peraturan hukum tersebut mencakup suatu sistem dalam bingkai feodalisme, dimana pada sistem kepemilikan lahan termasuk kewajibankewajiban yang menyertainya merupakan jawaban atas pertanyaan dimana sebenarnya kekuasaan yang ada di Inggris sebelum periode penaklukan oleh bangsa Norman. Dalam kaitan tersebut diperlukan pemahaman mengenai hirarki sosial di antara struktur kekuasaan di Inggns. Dalarn Garnbar 2 di bawah ini akan diperlihatkan struktur hubungan antara raja sampai dengan lapisan masyarakat paling bawah. r
EM
4
PE
r-
ROR
*
-
P 0 P E
K 1
N
4
1
4
G
B A
*
R 0
N
T KNI
i
Gf ITS s
N
4
I
L
PEA
SANT S
I Gambar 2 Struktur Sistem Feodal
Maitland (1921) menyebutkan bahwa sifat feodal bangsa Norman sangat dominan berpengaruh terhadap kepemilikan lahan bangsa Inggris dengan mengabaikan
kepemilikan
oleh
masyarakat.
Sistem
tersebut
sangat
memperhatikan kepemilikan lahan oleh para Baron. Pengaruh bangsa Norman ini
kedepan masih diakui dalam sistem Bangsa Angla Saxon. Struktur kepemilikan lahan tersebut terkait dengan sistem Feodalisme. Menurut Gabriel (1998) Feodalisme akan mencakup semua kondisi budaya dan politik dengan sistem ekonomi. Feodalisme Eropa Barat adalah budaya spesifik dan kondisi politik dimana para kaum bangsawan menempatkan posisinya sebagai "monopolis". Dengan demiluan feodalisme merupakan satu sistem politik yang bekerja untuk memelihara strata sosial. Dalam banyak hal, organisasi politik pada sistem feodalisme dipimpin oleh keluarga besar dengan sistem loyalitas politik dan aliansi. Sangat menarik hubungan antara negara feodal dengan pimpinan kerajaan. Feodalisme adalah satu hubungan kontraktual antara kelas atas yang dipimpin oleh seorang tuan tanah (land l o r 4 kepada orang-orang bawahannya setelah kembali untuk tugas militer. Feodalisme dicirikan oleh adanya kekuatan ekonomi dan kekuatan politik lokal yang dipegang oleh tuan tanah dan pengikutnya dengan berbasis kepada istana atau kerajaan yang masing-masing dicirikan oleh adanya distrik (wilayah-wilayah). Struktur ini membentuk satu hirarki piramid. Dengan demikian istilah feodalisme melibatkan suatu pembagian kekuasaan pemerintah yang meluas meliputi pelbagai wilayah di dalam istana. Feodalisme tidak mempengaruhi hubungan sosial ekonomi antara petani dan tuan tanahnya. Feodalisme di Inggns didorong oleh para bangsawan dimana raja pada tingkat yang paling atas mengatur semua kekuasaannya. Sejarah pemanfaatan lahan di masa feodalisme sangat terkait dengan hubungan antara struktur kekuasaan di atas yaitu raja yang mempunyai variasi yang berbeda di bangsa-bangsa Eropa. Sebagai contoh di Jerman, struktur pirarnida berakhir 1 tingkat raja yang paling bawah yaitu putra raja dengan kata lain raja-raja Jerman tidak pernah dapat mendorong pada tingkat sistem di atas yang telah dikembangkan di luar kerajaan. Di Eropa Barat (Perancis), raja menemui beberapa kesulitan dengan menggunakan posisinya untuk menjadi kekuasaan feodal. Perluasan sistem feodalisme tidak hams dilebih-lebihkan namun demikian banyak bagan di Eropa tidak pernah menggunakan sistem feodal. Kelembagaan feodalisme bervariasi dari wilayah ke wilayah dan secara urnurn bahwa hubungan
antara tuan tanah dengan para petani merupakan suatu sistem proteksi yang sifatnya timbal balik. Namun pada tahun 1000 SM lahan-lahan dikembalikan kepemilikannya oleh pemerintah dengan mempunyai yurisdiksi yang jelas. Pemanfaatan lahan pada sistem feodalisme sangat dipengaruhi oleh raja dan para bangsawan yang mempunyai otoritas penuh kepada lahan-lahan yang telah diberikan oleh raja, sehingga pengaruh sistem feodalisme terhadap status kepemilikan lahan sangat dominan. Feodalisme adalah sistem loyalitas dan proteksi pada pertengahan abad dlmana pada sistem tersebut dapat digambarkan sebagai suatu pirarnid. Raja berada pada bagian atas. Setiap orang mempunyai loyalitas dan melayani raja. Tingkatan di bawah raja ada yang disebut sebagai bangsawan yang mengontrol hampir semua lahan. Di bawah bangsawan ada para pembantu yang mempunyai loyalitas tinggi kepada para bangsawan yang berkuasa. Raja dan bangsawan memberikan lahan kepada bangsawan yang lebih rendah yang disebut dengan lahan yang dikuasai kaum feodal setelah kembali dari tugas militer. Budak belian berada pada posisi paling bawah dari bangunan piramida. Para budak tersebut bekerja pada lahan yang dimiliki oleh para bangsawan. Para budak ini diperlakukan dengan tidak baik dan kebebasan mereka sangat terkekang. Jika suatu saat para budak keluar dari sistem, maka ha1 tersebut disebut dengan pelanggaran perjanjian. Pelanggaran perjanjian berarti telah terjadi pengngkaran terhadap perjanjian. Pada saat para petani atau para pembantu gaga1 melaksanakan tugas dari para bangsawan, maka para bangsawan akan membawa ke pengadilan. Para bangsawan memiliki sebidang lahan yang diberikan oleh raja. Raja memberikan lahan kepada bangsawan dengan persyaratan bahwa bangsawan berjanji untuk menghasilkan para ksatria untuk berperang dan mendukung militer. Setiap bangsawan mempunyai penggilingan dan mendapatkan pendapatan pada saat petani membeli kepada bangsawan. Bangsawan mendapatkan uang dari hasil penggilingan dan sewaktu-waktu bangsawan yang memiliki lahan tersebut akan mengalihkan kepemilikannya kepada bangsawan lain dengan maksud untuk proteksi. Semua orang yang tinggal di lahan bangsawan mempunyai layolitas kepada bangsawan. Bangsawan yang mempunyai kedudukan lebih rendah disebut pembantu dan bangsawan tersebut sangat kuat, sehingga mereka sangat loyal
kepada bangsawan di atasnya. Baik raja maupun bangsawan memberikan kepada para pembantu sebidang lahan yang dikembalikan untuk pelayanan militer. Lahan-lahan tersebut adalah lahan yang dikuasai para bangsawan. Para pembantu yang kedudukannya di atas budak belian dapat dikatakan tidak begitu kaya. Para pembantu memberikan kepada para bangsawan ksatria untuk melindungi lahannya termasuk keselamatan para bangsawan itu sendiri. Para pembantu bangsawan berhutang kepada bangsawannya di bidang militer. Para pembantu harus menyediakan sejumlah ksatria setiap tahun. Para pembantu adalah tuan dari para ksatria. Sewaktu-waktu pembantu bangsawan memberikan hibah kepada para ksatrianya bagian dari lahannya. Kemudian para ksatria juga pada akhirnya dapat menjadi pembantu bangsawan. Kejadian ini disebut sub-sub feodal ("subinfeudation"). Setelah beberapa waktu ada banyak lapisan feodal yang saling berhubungan dan terpisah dengan para ksatria dan raja. Di antara lapisan feodal ada banyak perbedaan tingkat bangsawan. Masingmasing dari pembantu bangsawan mempunyai kedudukan lebih tinggi. Implikasi dari sistem ini memberikan warna kepada pertumbuhan kota-kota dan industri yang mengacu kepada sistem feodal. Para petani bekerja pada lahan-lahan bangsawan dan para petani disebut dengan budak belian. Para petani tersebut hams mengikuti bangsawannya secara lengkap dengan tidak ada kebebasan dan hams bekerja mengolah lahannya. Para budak belian dapat membeli kebebasannya dari majikannya atau mereka melarikan diri, tetapi pada akhirnya mereka akan tertangkap. Tugas para petani adalah membajak, memanen, memandikan domba dan mengangkut barangbarang. Hal-ha1 yang berkenaan dengan pertanian memerlukan banyak tenaga kerja dan banyak petani hams bekerja kepada lahan bangsawan. Para petani bukan bagian dari feodalisme. Kehidupan para bangsawan dihitung dari seberapa banyak petani yang dimiliki, sementara kehidupan para petani tergantung pada keselamatan yang diberikan oleh majikannya. Bangsawan mengatakan kepada para petani mengenai apa yang akan dikerjakan untuk setiap harinya. Pada saat kembali dari pekerjaannya, bangsawan memberikan kepada para petani sebuah gubuk yang berdekatan dengan lahan bangsawan. Petani menukar tenaganya untuk perlindungan dari majikannya.
Dengan demikian feodalisme adalah suatu organisasi yang menganut azas desentralisasi yang timbul pada saat kewenangan yang terpusat tidak dapat melakukan fungsinya dan tidak dapat mencegah munculnya kekuatan lokal. Pada saat masa isolasi dan kerusuhan di abad ke-9 dan ke-10, para pemimpin Eropa tidak lagi berupaya untuk melakukan perbaikan pada institusi romawi, namun menyesuaikan apapun yang akan dikerjakan. Hasilnya adalah bahwa Eropa berkembang secara relatif baru dan efektif dengan seperangkat kelembagaan, menyesuaikan dengan konlsi ekonomi yang sedang menurun, transportasi yang belurn memadai termasuk fasilitas komunikasinya, pemerintah pusat yang tidak efektif dan hambatan yang konstan dari penyerangan kaum barbar seperti bangsa Viking, Magyars dan Saracens. Kelembagaan yang paling terkenal adalah apa yang disebut dengan "Manorialism" (organisasi para petani), "Monasticism" (organisasi gereja) dan feodalisme (institusi aristokrat). Ciri ini akan mempengaruhi pemanfaatan lahan termasuk penggunaan nilai-nilai lahannya. Proses sistem feodal ini adalah satu dari banyak cara yang berbeda dari surplus tenaga kerja yang disediakan dan didistribusikan. Hal tersebut sama dengan sistem kapitalisme yang pelakunya berasal dari surplus tenaga kerja yang akan mewujudkan surplus barang dan jasa yang berbeda dengan orang-orang yang memiliki barang dan jasa. Proses klas feodal ini dibedakan dari proses klas kapitalis dengan kekurangan terletak pada pemilihan majikan pada waktu yang lalu. Pada feodalisme seperti yang sudah dijelaskan di atas mempunyai hak monopoli atas semua alat produksi yang diperlukan buruh untuk bekerja. Pengendalian hak monopoli ini memungkinkan raja-raja untuk menarik sewa secara monopoli dari semua tenaga kerja yang menghasilkan. Sebaliknya pada sistem kapitalisme para pekerja mempunyai pilihan untuk menentukan siapa yang menjadi majikannya. Pemilikan lahan pada sistem feodalisme pada bangsa Anglo Saxon ini dapat dicermati melalui metoda yang digunakan dalam penanganan lahan di bawah Undang-undang Inggris sebelum penaklukan oleh bangsa Norman. Pada prinsipnya bahwa pengelolaan semua lahan tergantung kepada raja yang memiliki semua lahan. Ada 2 (dua) konsep dalam pemilikan lahan ini yaitu konsep "Laenland' dan konsep "Bookland'. Menurut Abels (1988) bahwa konsep
"Laenland" adalah lahan yang diberikan oleh raja sebagai bantuan kepada para bangsawan (baron) atau kepada ksatria atau para serdadu militer yang dianggap mempunyai loyalitas dalam menjaga keselamatan raja. Dengan menghibahkan lahannya tersebut, Raja berharap dapat memelihara loyalitas bawahannya agar lebih "powerful/". Sistem kepemilikan lahan ini sangat ditentukan oleh faktor status perorangan yang telah ditentukan oleh Raja. Pada saat seseorang memperoleh lahan dari raja, maka raja mengharapkan memperoleh manfaat dari warga negara dari klas yang paling bawah dan bekerja pada lahan tersebut. Namun demikian, Raja hanya memperoleh kekuasaan terbatas, karena lahan yang
sudah dimiliki bergeser menjadi hibah. Hal yang sangat menarik dari "Laenland' ini adalah bahwa lahan tidak dapat dihibahkan secara turun temurun. Pada saat bawahan raja meninggal maka lahan yang dihibahkan tersebut akan kembali kepada raja. Namun demikian, kondisi tersebut tergantung kepada proses generasi yang akan datang. Apakah keturunan bawahan raja tersebut masih setia kepada raja. Dengan kata lain konsep "Laenland' adalah pemilikan lahan yang didasarkan semata-mata oleh kesetiaan kepada raja dan hak mewariskan di luar yang tidak dinegoisasikan. Jenis kedua dari sistem kepemilikan lahan adalah "bookland' yang merupakan format awal pada pemegang lahan di Anglo Saxon. Konsep "bookland" adalah bahwa setiap lahan yang dihibahkan kepada kepemilikan permanen dengan menggunakan catatan di buku, sebenarnya salah satu perubahan yang sangat besar dalam praktek pemerintahan Anglo Saxon dapat dilacak melalui "bookland" untuk mengetahui peningkatan penggunaan lahan yang tertulis. 2.1.1.4 Sejarah Pemanfaatan Lahan di Indonesia
Anwar (1995) menyatakan bahwa sejarah di Indonesia menunjukkan pemanfaatan lahan yang dimulai dari sebelum Republik Indonesia lahir, penduduk asli di daerah-daerah secara lokal dengan cara turun temurun mewarisi hak-hak @roper& right) untuk memungut atau memanfaatkan sumberdaya alam di sekitar lokasi tempat tinggalnya (baik sekitar hutan maupun perairan) yang dijamin oleh hak-hak ulayat (territorial use right) meskipun tidak tertulis, hak-hak tersebut diakui dan dihormati oleh masyarakatnya termasuk sumberdaya lahan. Mac
Andrews (1986) membagi periode kebijakan lahan di Indonesia menjadi periode pada masa kolonial, periode paska kemerdekaan yaitu pada tahun 1947 - 1960 dan periode pada saat diundangkannya UUPA tahun 1960. Pada periode penjajahan yang dimulai pada abad 17, terjadi konsolidasi kekuasaan perusahaan Kompeni pada abad 17 adalah langkah awal untuk memperkenalkan sistem wajib pajak dari penguasa lokal ke penguasa asing yang secara tidak langsung menyebabkan sangat kesulitan menarik pajak kepada petani individual, yang sering meninggalkan lahan yang sudah ditanami dan berpindah ke tempat lain. Tekanan untuk mengubah sistem tanam ini pada abad ke delapan belas, namun sampai kedatangan Raffles pada permulaan tahun abad ke sembilan belas yang dengan pengalaman sebelumnya dengan masalah-masalah lahan di India terutama di Madras. Raflles mengambil langkah awal untuk melakukan reformasi pada sistem tersebut. Raffles pada mulanya menghubungi komisi Mc Kenzie pada tahun 1811 untuk menguji latar belakang masalah agraria dan kemuQan merekomendasikan
pemerintah
kolonial
dengan
cara
terbaik
untuk
memaksimalkan penggunaan lahan. Setelah menemukan hasil pengujiannya mengenai lahan di Indonesia baik yang dimiliki oleh Pemerintah maupun Raja. Komisi menentukan lahan-lahan yang dapat dikenakan pajak untuk manfaat pemerintah kolonial. Hal ini yang mulai diperkenalkan oleh Raffles untuk mengenakan pajak dua perlima dari produk petani. Pajak tersebut sangat berpengaruh pada abad ke sembilan belas. Selama periode kolonial pemerintah sangat tergantung kepada para petani di pulau Jawa. Produksi yang dianggap potensial oleh pemerintah kolonial tidak hanya mencakup penanaman padi, tetapi juga tanaman untuk andalan ekspor. Di samping itu ada kebutuhan yang tetap dari pemerintah kolonial
mengenai buruh tani yang dipergunakan untuk meningkatkan produksi. kembalinya pemerintah Belanda, organisasi kolonial dari buruh setelah tahun 1830 diorganisasi dibawah sistem pananaman, dimana pada sistem ini disamping membayar sewa tanah atau pajak, petani diwajibkan juga membayar seperlima dari hasil lahannya dan petani diharuskan menanam tanaman ekspor. Sebagai bagian dari penanaman untuk tanaman ekspor yang hams menjadi kewajiban, mereka juga harus menyediakan tenaga buruh baik untuk kantor,
pekerjaan umum dan buruh untuk mengisi kebutuhan pedesaan. Sistem ini tidak menguntungkan yang menyebabkan waktu petani sangat sedikit sekali untuk mengurus pekerjaannya sendiri dan waktu para petani lebih banyak dihabiskan untuk menanam tanaman kewajiban yang telah ditentukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Hal ini menyebabkan terjadinya kelaparan seperti yang terjadi di Cirebon pada awal tahun 1840 an. Sistem tersebut membangkrutkan perusahaan perusahaan yang memiliki lahan yang sangat besar yang masih mengandalkan kepada kebutuhan buruh. Kebangkrutan tersebut dilakukan dengan mengklasifikasi kembali lahan yang statusnya warisan kepada keluarga individu petani kepada masyarakat atau lahan-lahan desa sehingga ha1 tersebut dibagi kepada sejumlah besar masyarakat. Hasil penting dari sistem ini dan kebutuhan untuk efisiensi yang lebih besar dibawah aturan kolonial pada abad sembilan belas adalah membentuk secara bertahap kampung-kampung Jawa ke dalam suatu entitas masyarakat Jawa yang lebih baik. Pada era setelah kemerdekaan di Indonesia dicirikan oleh sistem ganda ("dual system") dari undang-undang lahan yang dilaksanakan juga pada masa
kolonial. Kewarganegaraan pada dasarnya ditentukan oleh sistem undang-undang lahan yang menguasai kepemilikan dan pengendalian lahan. Untuk warganegara yang bukan orang Indonesia, lahan bersambung seperti zaman kolonial untuk disurvey, didaftar dan diberi penamaan didasarkan kepada prosedur undangundang sipil barat. Untuk orang indonesia lahan-lahan adat tetap diikuti, sedang untuk "landholdings" biasanya tidak untuk dilakukan survey, tidak tercatat dan tidak ada penanaman. Kepemilikan lahan dan "landholdings" di bawah hukum adat yang didasarkan kepada pengakuan masyarakat dari penentuan batas-batas lahan baik secara pengakuan 1isan maupun tertulis. Sangat sedikit sekali pengakuan tanah adat yang tertulis, sehingga sangat sedikit sekali bukti-bukti kepemilikan secara tertulis. Sebaliknya lahan yang di bawah undang-undang barat biasanya tertuang dalam peta kadastral yang sudah disurvey dan didokumentasikan dan mempunyai diskripsi legal, khusus dokumentasinya tertulis dan lengkap dengan pencatatan tennasuk nomor dan dokumen pengendalinya, serta bukti-bukti tertulis untuk
spesifik kepemilikan dan pencatatan setiap parcel lahan. Diperkirakan kurang lebih 5 persen lahan diseluruh Indonesia telah dilegendakan dengan sistem barat clan sisanya 95 persen lahan belum terlegendakan, namun diakui oleh kepemilikan adat dan pengendaliannya. Selanjutnya dengan masih kurangnya penglegendaan lahan, sangat tidak mungkin untuk menentukan jumlah lahan yang diklaim kepemilikannya dan ha1 tersebut dapat dikatakan sebagai tanah-tanah negara (state land).
Wiradi dan Makali (1983) menyatakan bahwa kepemilikan lahan di Indonesia tidak terlepas dari bentuk penguasaan lahan tradisional dan pelapisan masyarakat desa. Pemilikan lahan terkait erat dengan status sosial, baik bentukbentuk secara tradisional sebelum UUPA 1960, maupun sesudahnya. Disadari bahwa status sosial seseorang akan turut menentukan tingkah laku politiknya, tingkah laku budaya dan tingkah laku ekonominya. Ciri kepemilikan tanah didasarkan kepada hukum formal maupun yang berdasarkan hukum adat. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi konsep-konsep mengenai hak atas tanah menurut hukum adat dengan konsep-konsep mengenai hak atas tanah menurut hukum formal barat. Pengertian hak milik mutlak (eigendom, property) tidak dikenal sebelum adanya Undang-undang Agraria Kolonial 1870. Pada Undang-undang tersebut dikenal istilah hak perorangan turun tenurun, hak komunal, hak milik dan hak ulayat. Hak-hak ulayat ini sebenarnya secara lebih jelas telah diakui dan lebih rinci dalam UU Pokok Agraria tahun 1960. Tetapi kelihatannya, karena kesalahan interpretasi terhadap UUD 1945, terutama yang menyangkut daerah diambil alih oleh negara, yang oleh para penguasa pengambil keputusan di departemendepartemen atau Direktorat Jenderal diterjemahkan serta diartikan sebagai penguasaan oleh pemerintah pusat, sehingga merekalah yang merasa dan menganggap untuk mewakili negara. Kejadian pengambilan hak-hak dari masyarakat komunal daerah oleh pemerintah pusat sebenarnya bukanlah khas terjadi di Indonesia, melainkan terjadi juga di beberapa negara lain seperti di Asia. Sebagai akibatnya, maka hak-hak masyarakat lokal untuk memungut atau memanfaatkan sumberdaya alam yang bersangkutan menjadi hilang karena diambil alih oleh para pejabat/penguasa pusat. Kesalahan interpretasi ini sangat jelas terjadi dengan lahirnya UU Pokok
Kehutanan dan UU Pokok Perikanan yang sangat mengabaikan hak-hak ulayat (terrltorzul use rlght) dan kepentingan penduduk lokal yang diambil alih oleh penguasa di pusat. Padahal pihak yang sangat mengetahui cam-cara pengelolaan sumberdaya alam lokal atau regional termasuk pemanfaatan lahan yang mengarah kepada sistem yang berkelanjutan adalah penduduk lokal tersebut yang didasarkan atas pengetahuan mereka yang telah diwarisi oleh nenek moyang mereka beratusratus tahun yang lalu; dan atas kepentingan pemeliharaan sumberdaya yang bersangkutan, karena sumberdaya tersebut menjadi sumber pendapatan untuk mendukung kehidupan mereka. Tetapi para penguasa di pusat, sebenarnya lupa bahwa pemanfaatan sumberdaya alam yang sesuai dengan pasal 33 itu, juga ditujukan :
". .. ... ,
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat", termasuk
masyarakat rakyat komunal lokal untuk memungut dan memanfaatkan sumbersumberdaya alam di sekitar lokasi tempat tinggalnya. Tetapi ironisnya, setelah pemerintahan Orde Baru, justru Dirjen Departemen Kehutanan dan Dirjen Perikanan bersama Dewan Perwakilan Rakyat, telah menyetujui dan mengesahkan sebagai undang-undang, dengan lahirnya UU Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1976 dan UU Pokok Perikanan No. 9 tahun 1985; yang kelihatannya lebih mengantisipasi kehadiran para investor besar daripada memberikan manfaat sumberdaya kepada rakyat setempat yang memerlukan sumberdaya alam sebagai sumber pendapatan dan dukungan kehidupannya. Sebagai akibat dari tidak dihormatinya hak-hak ulayat masyarakat komunal tersebut, maka hak-hak mereka menjadi tidak menentu (uncertain property rlght) yang pada dasarnya akan mengarah kepada terjadinya kerusakan sumberdaya hutan maupun sumberdaya perairan (laut). Di lain pihak, penguasaan
dan pengelolaan sumberdaya alam yang lokasinya tersebar sangat luas Q wilayah nusantara ini, sangat sulit untuk melaksanakan pengendalian, karena biaya-biaya transaksi (biaya pemantauan, enforcement) dari klaim negara atas sumberdaya alam tersebut sangat mahal, sehingga tidak mungkin dapat diwujudkan. Dengan demikian, sumberdaya alam tersebut mengalami "akses terbuka" (open access resources) yang pada akhirnya akan mengalami degradasi, seperti yang diramalkan oleh Garret Hardin sebagai apa yang disebut "Tragedy of Commons/ Open Access Resources" (Suparmoko, 1994).
Contoh nilai tanah yang memiliki harga dalam liberalisasi pasar di Indonesia seperti yang dinyatakan oleh Husein (1997) bahwa dalam memasuki tahap penentuan harga tanah, bagi panitia pembebas untuk seterusnya, keberadaannya akan bener-benar diuji, sejauh mana pemihakan-pemihakan pada suatu kepentingan. Trik-trik penentuan harga tanah, dalam banyak kasus dalam praktiknya dilakukan setelah ada usulan untuk membebaskan dari si pemohon atau pengguna tanah. Sebelum itu hampir tidak diketahui dengan pasti seberapa besar nilai tambah dl daerah tersebut, meskipun seandainya harga tanah di pasar tanah dapat dimonitor per daerah. Penentuan harga tanah yang terburu-buru dan parsial, per daerah, serta belum mantapnya kerjasama secara sinergis - misalnya antara Dinas Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB) dengan instansi lain pengatur dan pengguna seperti BPN, Departemen Pertanian, dan Depdagri
-
membuat harga
tanah secara real dan potensial belum dapat ditentukan dengan tepat. Salah satu penyebab utama ketidakmampuan tersebut adalah nilai tanah yang sangat spekulatif dan subyektif yang mengandung unsur-unsur sosial-psikologis yang sangat dalam dan sulit dihtung. Dari penentuan harga tanah ini, selanjutnya akan ditentukan seberapa besar ganti rugi yang akan diberikan kepada tergusur. Melalui harga tanah ini maka bentuk dan sifat konflik pertanahan (kepentingan) yang akan timbul relatif mudah dipetakan, meskipun samar-samar. Harga tanah yang biasanya ditetapkan panitia pembebas itu hanyalah "nilai tanah dalam lingkup yang sempit, yaitu hanya harga fisik-ekonomis tanah saat itu, serta benda-benda fisik yang melekat di atasnya, seperti tumbuh-tumbuhan dan rumah. Padahal nilai hak atas tanah jauh lebih luas dari nilai fisik-ekonomis, karena yang dijadikan pertimbangan orang dalam menguasai tanah adalah sangat banyak dan mungkin sulit dlhitung. Hal ini dikarenakan adanya aspek-aspek lain yang memancar dari tanah itu yang dijadikan pertimbangan. Masalahnya adalah keberadaan aspek-aspek dimaksud sangat sulit dikalkulasikan dan dinilai dengan sejumlah uang. Lalu bagaimana panitia pembebas menentukan harga hak atas tanah. Memang secara formal sudah dijelaskan oleh beberapa peraturan mengenai bagaimana langkah-langkah yang hams dikerjakan. Seperti halnya yang tertuang dalam Surat Juklak Depdagn Cq. Ditjen Agraria, No. Ba. 8123718172, Tanggal 8 Agustus 1972 mengenai pengumpulan data harga tanah secara berkala dengan
mencatat harga tanah untuk berbagai jenis dan keperluan yang berlaku di masingmasing daerah. Harga tanah tersebut adalah harga pasaran, dalam arti harga yang benar-benar terjadi dalam jual beli (rata-rata) selama triwulan sebelumnya. Kemudian juga secara berkala tiap akhir triwulan melaporkan hasil pencatatannya kepada BPN setempat. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah penentuan harga-harga tanah yang selama ini banyak didasarkan pada harga jual tanah yang sempat dipantau oleh BPN dan Pinas PBB. Caranya dengan meminjam tangan pencatatan pajak yang dilakukan Dinas PBB dan peralihan tanah yang dicatatkan melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yaitu Camat, yang mendata jual beli tanah yang ada di wilayahnya. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah seberapa besar dan seberapa tinggi akurasi data-data tanah yang diperoleh lewat pencatatan tersebut. Karena kita hams menengok ke belakang bahwa sebagian besar tanah yang pendaftaran dan peralihannya dibuatkan akta otentik oleh PPAT, adalah tanahtanah yang ada di perkotaan, tanah yang ada di kawasan strategis dan pengembangan serta tanah-tanah untuk perurnahan yang diperkirakan tidak akan tergusur. Sementara itu tanah yang menjadi incaran investor adalah tanah-tanah yang ada di pinggiran kota, di pedesaan, tanah pertanian, tanah-tanah yang belum ada tanda buktinya berupa sertifikat dan tanah-tanah lain yang kurang jelas statusnya berdasarkan PP. No. 10 Tahun 1961 dan UU No. 51Prp11960. Kalaupun harga tanah itu didata melalui jual beli tanah yang ada di kelurahan, dengan akta di bawah tangan, namun biasanya harga tanahnya sudah dimanipulasi. Demikian pula kepala desa seringkali tidak melaporkan ha1 itu kepada instansi di atasnya, apalagi ke BPN. Demikian halnya dengan arsip-arsip mengenai jual beli itu seringkali jika telah menurnpuk akan dibuang, hilang, atau tidak diinventarisir. Jika penentuan harga tanah memakai kriteria obyek pajak. Maka pertamatama yang hams dicermati adalah tata cara penentuan harga obyek pajak yang kurang obyektif, sejalan dengan sifat dan nilai tanah yang subyektif dan spekulatif. Demikian juga pihak Dinas PBB yang masih belum mempunyai data akurat tentang harga tanah dan perkembangannya tiap tahun. Terbukti sampai saat ini Dinas PBB masih belum mampu mengenakan pajak progresif atau regresif atas sebidang tanah yang seharusnya dikenakan ketentuan itu. Bahkan seringkali
penentuan NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) didasarkan pada perhtungan secara pukul rata, berdasarkan nilai suatu kawasan daerah tertentu. Sehingga seringkali sangat memberatkan pihak-pihak yang belum mampu mengoptimalkan nilai tanahnya. Di sisi lain, tanah-tanah yang terancam digusur dikenakan pajak yang "kebetulan" sangat rendah, atau jauh di bawah manfaat riil dan potensial yang diperoleh pemiliknya. Namun kecilnya penentuan pajak tersebut, bukan karena nilai tanahnya yang rendah, tetapi ada faktor lain yang menentukannya, misalnya karena sarana dan prasarana pembangunan yang dihasilkan pemerintah belum benar-benar menyentuh pada daerah atau belum banyak dinikmati oleh mereka. Sehingga wajar saja bila mereka mendapatkan pajak yang rendah, berbeda dengan mereka yang menikmati hasil pembangunan secara langsung yang membuat tanahnya menjadi naik beratus-ratus kali lipat. Atau tanahnya berubah menjadi basis atau tambang kekayaan yang tidak habis dikeruk. Sehngga terlalu "nalf' jika ditanyakan mengapa di kawasan atau daerah seperti ini tidak pernah digusur, bahkan semakin mendapat fasilitas dan kemudahan karena alasan tujuan penggusuran adalah untuk mengoptimalkan nilai tanah. Mungkin yang berperan memberikan masukan nilai tanah adalah pihak aparat desa dan kecamatan, karena mereka ini yang terlibat langsung dan melihat sehari-hari "arus lalu lintas" tanah itu terjadi. Demikian juga kepada mereka ini sering dimintai oleh para pihak untuk menguatkan perjanjiannya. Jadi persoalan sebenarnya adalah bermuara pada penentuan ganti rugi hak atas tanah dalam arti yang luas. Karena persoalan mengenai ganti rugi dalam arti sempit yang meliputi tanaman, dan bangunan bagi lembaga yang terkait adalah relatif lebih mudah menentukan jumlahnya. Berbeda halnya dengan hak-hak dan kenikmatan yang memancar dari tanah. Nilai penggunaan lahan yang paling tinggi menurut Northam (1975) adalah pada lokasi terdekat yang mempunyai aksesibilitas maksimum dan pengguna lahan berkemampuan untuk membayar rente yang paling besar. Lokasi tersebut merupakan lokasi yang hams dibayar dengan harga tinggi. Tabel 1 berikut ini adalah tabel yang menunjukkan jenis lokasi yang mempunyai pelbagai nilai lahan dan penggunaan lahan.
Hirarki dari Penggunaan Lahan "Central Business Distric" dan Nilai Lahan
Tabel 1
Lokasi
Inti (Kantor)
Inti (retail)
Nilai Lahan (per kaki persegi) $50-$25
$25-$15
Penggunaan Lahan
Kantor multi-sewa pusat Kantor pemilik tunggal utama Retail bergengsi Keuangan Mixed use lainnya Pelayanan Pangan (makanan dan minuman) Retail besar (swalayan) Retail khusus dan gabungan Kantor sewa multi dan tunggal Hotel Hiburan Bank Pelayanan dan pendukung Apartemen mewah Retail kedua Pusat komersial lain Kantor kedua Perdagangan umum Apartemen kelas menengah Retail perumahan
2.1.2 Rente Lahan
Menurut Suparmoko (1994), lahan merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaruhi dalam arti dapat diperbaruhi kesuburannya. Pemanfaatan lahan untuk pelbagai macam pengunaan bertujuan untuk menghasilkan barang-barang pemuas kebutuhan manusia yang terus meningkat sebagai akibat dari penduduk yang terus bertambah dan ekonomi yang berkembang. Untuk mengejar pemenuhan alat-alat pemuas kebutuhan manusia yang terus berkembang clan untuk maksud mengejar perturnbuhan ekonomi yang tinggi, pemanfaatan lahan seringkali tidak rasional dan kurang bijaksana untuk jangka pendek, sehingga kurang mempertimbangkan kelestarian sumberdaya lahan tersebut Akibat pemanfaatan yang tidak rasional tersebut, lahan mengalami penurunan persediaan dan manusia semakin tergantung pada sumberdaya lahan yang rendah kualitasnya. Fauzi (2000) menyebutkan bahwa tekanan pembangunan ekonomi yang dilakukan dinegara-negara berkembang khususnya sering menimbulkan dilemma bagi kelestarian sumberdaya alam. Hal ini mengingat kebutuhan konsumsi untuk
masyarakat sering tidak ditunjang oleh pengelolaan yang baik dan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya alam, sehingga penurunan kualitas lingkungan sering dianggap sebagai biaya yang hams dibayar untuk suatu proses pembangunan ekonomi. Lahan yang dikelola oleh masyarakat sebagai "common property" dapat disebut dengan "open access". Dalam istilah ekonomi, lahan tersebut disebut "extensive economic margin" yang artinya bahwa pengetrapan tenaga kerja dan kapital per satuan lahan adalah sangat rendah dan jika lahan yang open access tersebut diperluas maka "economic returnm-nyajuga sama rendahnya. Menurut Mubyarto (1972) bahwa balas jasa (return to land) yang diterima oleh lahan dibandingkan dengan faktor-faktor produksi mempunyai kedudukan yang paling penting. Lahan sebagai faktor produksi seperti halnya modal dan tenaga kerja dapat dibuktikan dengan tinggi rendahnya balas jasa (return to land) yang sesuai dengan permintaan dan penawaran. Sebagai faktor produksi, lahan mendapat bagian dari hasil produksi karena jasanya dalam produksi itu. Pembayaran atas jasa produksi ini disebut sewa tanahllahan (rent). Menurut Suparmoko (1989) bahwa land rent secara sederhana dapat didefinisikan sebagai surplus ekonomi yaitu merupakan kelebihan nilai produksi total di atas biaya total. Surplus ekonomi dari sumberdaya lahan dapat dlihat dari surplus ekonomi karena kesuburan lahannya. Menurut Blair ( 199 1 ) menyatakan bahwa rent merupakan keuntungan bagi lahan. Pengertian rent dan lahan berbeda dari definisi ekonomi. Lahan merupakan faktor alam dari produksi dan oleh karena itu suplai Iahan tidak dipengaruhi oleh harga. Kuantitas lahan tidak dapat ditingkatkan sebagai respon dari harga yang meningkat atau menurun karena menurunnya harga. Lahan meliputi bahan bakar, sinar matahari, hujan clan semua faktor produksi sumberdaya alam. Para ahli ekonomi sangat berhati-hati dalam membedakan antara lahan dan property. Property terdiri dari lahan dan bangunan. Kent merupakan keuntungan bagi lahan dan ditentukan oleh hubungan antara supply dan demand terhadap lahan seperti pada Gambar 3 di bawah ini.
I
Jumlah Lahan
Gambar 3 Suplay dan demand lahan Sumber : Blair, J.P. (1991)
Meningkatnya harga lahan (rent) tidak diikuti dengan meningkatnya suplay. Dengan kata lain, lahan merupakan suplai yang tetap, sehingga perubahan dalam pennintaan akan mempengaruhi rent dan bukan kuantitas dari lahan tersebut. Suplai untuk jenis lahan tertentu, seperti lahan komersial, mungkin dapat ditingkatkan dengan tekanan pasar dan oleh keputusan politik, seperti perubahan zonasi. Meskipun demikian, penambahan lahan untuk tujuan tertentu akan lebih mahal dibandingkan dengan jenis penggunaan lahan lainnya. Perrnintaan akan lahan didasarkan atas kontribusi lahan terhadap keuntungan. Produk marjinal suatu unit lahan ekstra (MYi) merupakan output yang dihasilkan dari penggunaan suatu unit lahan ekstra dalam suatu proses produksi. Jika suatu pabrik menjual outputnya dalam suatu pasar yang kompetitif, maka akan menerima suatu harga yang konstan dari setiap unit ekstra yang dijual. Pertanian atau pabrik tidak akan mampu membayar lebih untuk penambahan lahan dibandingkan dengan nilai dari atribut output yang meningkat dari lahan tersebut. Mereka akan membayar sekecil mungkin untuk lahan ekstra. Jika terdapat kompetisi di antara produser, maka mereka akan menawar satu sama lain hingga rent lahan sama dengan kontribusi lahan terhadap keuntungan pabrik. Ketika suatu pabrik berjualan dalam suatu pasar yang kompetitif, harga produk tidak dipengaruhi oleh output dari pabrik. Dalam kasus ini, pennintaan akan lahan sama dengan nilai dari produk marjinal, V h P . Jika semua input non-lahan tetap
konstan, nilai dari produk marjinal dapat dinyatakan sebagai harga output dikali dengan produk marjinal dari unit lahan tambahan :
dimana :
VMPi
=
nilai produk marjinal dari unit lahan ke-i,
Po
=
net price dari output (setelah dikurangi biaya transportasi), dan
MI',
=
produk marjinal dari unit lahan ke-i,
Fungsi VMP menyatakan kuantitas dari penggunaan lahan dalam produksi yang meningkat karena produk marjinal dari lahan turun seperti yang dinyatakan pada hukum penurunan produktivitas marjinal. Ketika V W lebih besar dibandingkan dengan market rent untuk suatu unit lahan, pabrik akan menggunakan lebih lahan yang berakibat pada menurunnya MP dan VMP. VMP akan menurun hingga sama dengan rental rate. Jika suatu pabrik memilil kekuatan monopoli di dalam pasar output, maka V M dari lahan akan menurun lebih cepat dibandingkan dengan kasus produser yang kompetitif, karena harga produk akan menurun ketika output meningkat. Penurunan dalam produk marjinal lahan akan menyebabkan menurunnya VMP. Kemudian VMP lahan akan menurun karena dua alasan tersebut. David Ricardo seorang ahli ekonomi berkebangsaan Inggris dikenal sebagai salah seorang penulis terkemuka dalam soal sewa tanah dengan teorinya mengenai land rent deferensial, dimana ditunjukkan bahwa tinggi rendahnya land rent disebabkan oleh perbedaan kesuburan lahan, makin subur lahannya makin tinggi land renmya. Adapun land rent itu dapat naik atau turun mempunyai hubungan langsung dengan harga komoditi yang diproduksi oleh lahan. Meskipun teorinya dibuat untuk menjelaskan rent dari pertanian yang mengimplikasikan lahan pasar di perkotaan. Ricardo percaya bahwa keuntungan bagi lahan adalah sisa. Ketika tenaga kerja dan kapital memiliki suplai yang elastis, mereka dibayar dengan rate yang kompetitif. Apapun yang terjadi setelah membayar faktor-faktor produksi yang bergerak adalah sisa dari lahan yang selanjutnya disebut rent. Menurut Rachbini (2002) bahwa sewa (rent) merupakan bentuk pendapatan yang paling
mudah dibandingkan dengan upah dan laba, karena tidak perlu menghadapi risiko dan tidak perlu mengerahkan ketrampilan untuk memperolehnya. Dalam Blair (1991), Ricardo menyatakan bahwa beberapa tempat menerima rent yang berbeda karena perbedaan produktivitas. Produktivitas lahan ditandai dengan kesuburan dan kedekatannya dengan pasar (di pasar perkotaan, kedekatan dengan pasar lebih penting dari pada kesuburan). Lahan yang paling produktif menerima rent tertinggi karena memiliki sisa yang tertinggi, dan marjinal lahan dimana nilai tanaman sama dengan biaya sumberdaya non-lahan yang diperlukan untuk produksi dan transportasi dari output terhadap pasar tidak memperoleh rent. Ricardo percaya bahwa lahan yang paling produktif hams dipupuk dulu. Perkembangan ekonomi dan populasi bertambah karena harga dari hasil pertanian meningkat, yang menyebabkan lahan tambahan digunakan dalam produksi dan rent pada peningkatan produktivitas lahan. Pada Gambar 4 di bawah ini terlihat adanya perbedaan kualitas lokasi dari produsen yang menyebabkan adanya perbedaan dalam "land rent". Hal ini disebabkan rata-rata biaya produksi per unit sma, harga output yang diterima produsen didaerah pasar proporsional dengan harga jual output. Sedang pada lokasi 250 Km dari pasar harga yang diterima produsen lebih rendah. Untuk lokasi 500 Km, harga lahan lebih rendah lagi disebabkan adanya biaya transpor. Perbedaan harga yang diterima produsen tersebut, "land rent" tertinggi adalah lokasi dekat pasar dan semakin menurun bila semakin jauh dari pasar.
Gambar 4
Perbedaan "Land Rent" dari Tiga Luas Lahan yang Berbeda Kualitas Lokasi dan Jarak dari Pasar (Sumber: Suparmoko, 1989)
Menurut Hartwick, et al. (1986) bahwa antara lokasi dan nilai lahan sangat berkaitan erat. Hal ini berkaitan dengan harga setiap luas per acre lahan. Lahan bersifat heterogen, karena perbedaan sebidang lahan dipelbagai lokasi, sehingga mempunyai nilai yang berbeda. 2.2 Wilayah dan Lahan Pesisir 2.2.1 Definisi Wilayah Pesisir
Menurut Bengen (2000) menyatakan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut, batas di daratan meliputi daerahdaerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air dan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti : pasang surut, angin laut dan intrusi garam, sedangkan batas di laut ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh prosesproses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Untuk keperluan pengelolaan, penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif mudah, misalnya batas wilayah pesisir antara Sungai Brantas dan Sungai Bengawan Solo, atau batas wilayah pesisir Kabupaten Kupang adalah antara Tanjung Nasikonis dan Pulau Sabu, dm batas wilayah pesisir DKI Jakarta adalah antara Sungai Dadap di sebelah barat dan Tanjung Karawang di sebelah timur. Akan tetapi penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir yang tegak lurus terhadap garis pantai, sejauh ini belurn ada kesepakatan. Dengan perkataan lain, batas wilayah pesisir berbeda dari satu negara ke negara lain. Hal ini dimengerti, karena setiap negara memiliki karakteristik lingkungan, sumberdaya dan pemerintahan sendiri (khas). Pada Gambar 5 di bawah diperlihatkan beberapa alternatif (pilihan) dalam menentukan batas ke arah darat dan ke arah laut dari suatu wilayah pesisir. batasan ekstrim, suatu wilayah pesisir dapat meliputi suatu kawasan yang sangat luas mulai dari batas lautan (terluar) Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sampai daratan yang masih dipengaruhi oleh iklim laut. Batasan ekstrim lainnya, suatu wilayah pesisir hanya meliputi kawasan peralihan antara ekosistem laut dan daratan yang sangat sempit, yaitu dari garis rata-rata pasang tertinggi sampai
200 m ke arah darat dan ke arah laut meliputi garis pantai pada saat rata-rata pasang terendah. . . P r u : n m
Wil.lp111Pes~zir
&
..,
Progrdnl Pen:elnlaa
Ratas Lurdn dn Zon:l Ekonnm~ K!ds~k
Gambar 5
_
Tepl buran dP Pinpasan Iknua
I
Teritlxial Pan\ .h\ntlra
l'uridikrsi Prop~ml ardc Nqara Baaian &nJuRslll.~Nashrul
___)
@okarh~rrer
I
[ldn Garls P~sang 'iuN1
clrrnpk p n g daim!nllka nwsll, kTng,,,,h terhadap ~ v ~ l a ppsirir li
Batas program pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang berlaku sekarang dan masa akan datang (Sorensen dan Mc Creary, 1990 yang diacu dalam Dahuri, 2000).
Batas wilayah pesisir ke arah darat pada umumnya adalah jarak yang selalu berubah-ubah dari rata-rata pasang tinggi (mean high tide), dan batas ke
arah laut umumnya adalah sesuai dengan batas jurislksi propinsi. Untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat dari suatu wilayah pesisir dapat ditetapkan sebanyak dua macam, yaitu batas untuk wilayah perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation mne) atau pengelolaan keseharian (day-to-day management). Wilayah
perencanaan
sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan (hulu) apabila terdapat kegiatan manusia (pembangunan) yang dapat menimbulkan dampak secara nyata (significant) terhadap lingkungan dan sumberdaya di pesisir. Oleh karena itu,
batas wilayah pesisir ke arah darat untuk kepentingan perencanaan (planning zone) dapat sangat jauh ke arah hulu, misalnya Kota Bandung untuk kawasan pesisir DAS Citarum. Jika suatu program pengelolaan wilayah pesisir menetapkan dua batasan wilayah pengelolaannya (wilayah perencanaan dan wilayah pengaturan), maka wilayah perencanaan selalu lebih luas daripada wilayah pengaturan. Dalam pengelolaan wilayah sehari-hari, pemerintah (pihak pengelola) memiliki kewenangan penuh untuk mengeluarkan atau menolak izin kegiatan
pembangunan. Sementara itu, kewenangan semacam ini di luar batas wilayah pengaturan (regulation zone) sehingga menjadi tanggung jawab bersama antara instansi pengelolaan wilayah pesisir dapat berubah. Contohnya negara bagian California yang pada tahun 1972 menetapkan batas ke arah darat wilayah pesisirnya sejauh 1.000 m dari garis rata-rata pasang tinggi, kemudian sejak tahun 1977 batas tersebut menjadi batas arbitrer yang bergantung pada isu pengelolaan. Menurut Soegiarto (1976) dalam Dahuri (2000), definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Definisi wilayah pesisir di atas memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegatan pembangunan, secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan ekosistem pesisir. Untuk kepentingan pengelolaan, penetapan batas-batas fisik suatu wilayah pesisir secara kaku (rigid) kurang begitu penting. Akan lebih berarti, jika penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir didasarkan atas faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan (pemanfaatan) dan pengelolaan ekosistem pesisir dan lautan beserta segenap sumberdaya yang ada di dalamnya, serta tujuan dari pengelolaan itu sendiri.
2.2.2 Karakteristik Wilayah Pesisir Keunikan wilayah pesisir dan laut serta beragamnya sumberdaya yang ada, mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah tersebut untuk dikelola secara terpadu bukan secara sektoral. Hal ini dapat dijelaskan minimal dengan alasan sebagai berikut :
Yertarna, secara empiris, terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas. Dengan demikian perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir (mangrove, misalnya), cepat atau lambat akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Begitu pula halnya, jika pengelolaan kegiatan pembangunan (industri, pertanian, pemuluman dan lain-lain) di lahan atas suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak dilakukan secara arif (benvawasan lingkungan), maka dampak negatifnya akan merusak tatanan clan fungsi ekologis kawasan pesisir dan laut. Fenomena inilah yang kemungkinan besar merupakan faktor penyebab utama bagi kegagalan panen tambak udang yang pernah menimpa kawasan Pantai Utara Jawa. Karena untuk kehidupan dan perturnbuhan udang secara optimal diperlukan kualitas perairan yang baik. Kedua, dalam suatu kawasan pesisir (misa1nya:Kalianda
-
Bandar
Lampung) biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan. Terdapat keterkaitan langsung yang sangat kompleks antara proses-proses dan fungsi lingkungan dengan pengguna sumberdaya alam. Ketigu, dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat (orang) yang memiliki keterampiladkeahlian dan kesenangan @reference) bekerja yang berbeda misalnya sebagai petani, nelayan, petani tambak, petani rumput laut, pendamping pariwisata, industri dan kerajinan rumah tangga, dan sebagainya. Padahal sangat sukar atau hampir tidak mungkin untuk mengubah kesenangan bekerja atau profesi dari sekelompok orang yang sudah secara tradisi menekuni suatu bidang pekerjaan. Keempat, baik secara ekologis maupun ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur (single use) adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha. Contohnya, pembangunan tambak udang di Pantai Utara Jawa, yang sejak tahun 1982 mengkonversi hampir semua pesisir termasuk mangrove (sebagai kawasan
lindung) menjadi tambak udang. Sehingga pada akhir 1983 ketika Jepang menghentikan impor udang Indonesia selama sekitar 3 bulan, karena kematian kaisarnya (rakyat Jepang berkabung, tidak makan udang), mengakibatkan
penurunan harga udang secara drastis dari rata-rata Rp. 14.000,- per kg menjadi Rp. 7.000,- per kg, sehingga banyak petani tambak yang merugi dan frustasi. Kelima, kawasan pesisir pada urnunya merupakan sumberdaya milik bersama (common property resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open access). Padahal setiap pengguna sumberdaya pesisir biasanya berprinsip untuk memaksimalkan keuntungan. Oleh karenanya, wajar jika pencemaran, over eksploitasi sumberdaya alam dan konflik pemanfaatan ruang seringkali terjadi termasuk konflik pemanfaatan lahan di wilayah pesisir. 2.2.3 Lahan Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir dengan pelbagai sumberdayanya memiliki produktivitas yang tinggi dan mempunyai peran penting dalam pembangunan ekonomi. Peran penting ini diwujudkan dalam penyediaan lapangan pekerjaan, peningkatan Pendapatan Asli Daerah, peningkatan devisa dan perbaikan kesejahteraan penduduk pesisir (Dahuri, 2001). Potensi sumberdaya pesisir ini memiliki keunggulan komparatif karena wilayah pesisir khususnya di Indonesia memiliki kekayaan surnberdaya pesisir dan lautan tropis yang dapat diunggulkan dengan biaya produksi dan tenaga kerja yang relatif murah, sehingga dapat memperkuat kapasitas penawaran yang tinggi terhadap permintaan pasar. Mengingat potensi yang sangat menjanjikan di wilayah pesisir ini, maka wilayah pesisir ini dipergunakan untuk pelbagai kegiatan antara lain: kawasan permukiman dan rekreasi, kawasan industri dan perdagangan, perkantoran, kawasan pembuangan limbah (padat dan cair), kawasan untuk tumbuh dan berkembang biakan perikanan, sumber energi, kawasan militer dan kawasan untuk perlindungan alam. Pelbagai kegiatan tersebut memerlukan lahan yang sangat luas, sehingga sering terjadi pelanggaran pemanfaatan lahan. Pelanggaran pemanfaatan lahan berakibat kepada makin menurunnya kualitas lingkungan dan penurunan ini berdampak kepada kinerja perekonomian wilayah pesisir. Lahan wilayah pesisir tidak hanya dilihat dari segi pemanfaatannya saja, tetapi juga terkait dengan semua proses yang terjadi di wilayah pesisir. Perencanaan pemanfaatan lahan terkait dengan proses alokasi sumberdaya agar dapat dioptimalkan pemanfaatannya. Namun dalam proses pelaksanaannya lahan dapat menjaQ ancaman proses pembangunan dan sebaliknya dapat menjadi faktor
pendorong pembangunan. Lahan dapat menjadi ancaman, jika produktivitas lahan merosot, sehingga untuk memulihkan kepada kondisi awal memerlukan biaya yang tidak sedikit. Lahan akan menjadi faktor pendorong, jika memang lahan dapat dipelihara secara bijaksana sesuai dengan fungsinya. Yang menjadi persoalan adalah jika lahan yang sebenarnya mempunyai nilai produktivitas tinggi dan dimanfaatkan untuk yang bukan fungsinya. Untuk itu dalam penataan kawasan pesisir lahan merupakan faktor produksi yang menjadi bagian penting dan tidak dapat diabaikan dalam proses manajemen. 2.3 Kajian Literatur Tentang Pemanfaatan Lahan
Kajian literatur tentang konflik pemanfaatan lahan khusus di wilayah pesisir belum pernah penulis ketemukan. Kalaupun ada penulisan pemanfaatan lahan wilayah pesisir hanya merupakan bagian sebuah paragraf saja dan tidak mendalam sampai terinci mengenai pembahasan nilai pemanfaatan lahan. Untuk itu dalam rangka menggali lebih dalam ide pemanfaatan lahan ini akan diberikan beberapa uraian singkat mengenai pengalaman pemanfaatan lahan di daratan yang sebenarnya inti persoalannya tidak terlalu jauh dengan pemanfaatan lahan di wilayah pesisir. (1) Jackson, D. (1999) mengamati konflik pemanfaatan lahan pertanian dan
merumuskan suatu kebijakan publik yang dapat diimplementasikan sesuai dengan
kebutuhan
masyarakat
terrnasuk
didalamnya
keseimbangan
kepentingan antara swasta dan masyarakat. Pengamatan konflik yang dilakukannya secara khusus lebih ke arah penjelasan visi tentang bagaimana lahan pertanian di Wisconsin perlu dipertahankan. Hal ini mengingat hampir 50°h luas lahan pertanian berada di kawasan tersebut. Disamping itu petani di
kawasan ini menghasilkan US $ 4 - 5 milyar penghasilan penjualan kotor setiap tahunnya. Namun keberadaan lahan pertanian tersebut, terancam oleh pertumbuhan permukiman yang sangat pesat terutama di daerah pinggiran Winsconsin. Sehingga Smith menilai bahwa pembangunan permukiman merupakan issu paling besar yang mengancam keberadaan lahan pertanian. Jika proses pembangunan kawasan permukiman term berlanjut, maka dapat diprediksi bahwa 5 sampai 10 tahun ke depan akan terjadi krisis khususnya produk-produk pertanian. Untuk mengatasi masalah-masalah perubahan
pemanfaatan lahan dan konflik yang terjadi disarankan ada 2 (dua) ha1 pokok yaitu: (a) Pertama terkait dengan proses atau strategi melibatkan masyarakat petani dalam sebuah dialog khususnya berkaitan dengan rencana tata guna lahan. Masyarakat perlu difasilitasi dengan baik agar dapat mengetahui dan menjabarkan pemikiran-pemikirannya; (b) berkaitan dengan kebijakan khusus mengenai kebijakan khusus dan perangkat untuk meminimasi konflik, mengendalikan
pembangunan,
menghindari
"outcome"
yang
tidak
dikehendalu masyarakat.
(2) Bachriadi, D. (1999) menulis mengenai akar sengketa agraria dan penguasaan tanah serta sumber-sumber agraria di Indonesia yang terjadi pada saat ini. Dalam UUPA tahun 1960 hak-hak Rakyat atas tanah di Indonesia telah dijamin kepemilikannya secara khusus dalam U W A tersebut. Namun dalam kenyataannya, bahwa banyak sekali tanah dikuasai oleh sekelompok pengusaha besar dengan cara mudah dan tanpa birokrasi berbelit, sementara banyak para petani atau para pemukim mengalami penggusuran dari tanahtanah pertanian, kawasan permukiman. Hal ini berakibat kepada sebuah drama sengketa agraria yang sangat hebat, padahal kita mempunyai payung hukum. Ketimpangan penguasaan tanah terlihat dari adanya kosentrasi penguasaan tanah oleh perusahaan-perusahaan besar melalui konsesi-konsesi seperti Kuasa pertambangan, Hak Pengusahaan Hutan (HPH), HGU perkebunan. Pelbagai macam hak-hak tersebut merupakan bentuk kosentrasi penguasaan lahan di Indonesia. Bachriadi mencatat data yang berasal dari sensus perkebunan besar bahwa sampai dengan 1993 diperkirakan sekitar 3,80 juta hektar lahan perkebunan dikuasai oleh 1.206 perusahaan dan 2 1 koperasi. Jika diambil ratarata maka setiap perusahaan menguasai lebih kurang 3.097 Ha. Konsentrasi penguasaan lahan juga terjadi lewat transformasi lahan-lahan subur menjadi kawasan industri. Badan Pertanahan Nasional mencatat bahwa saat ini ada sejumlah 124 kawasan industri dengan luas areal keseluruhannya meliputi 53.650 Ha. Hal yang menarik dari proses perturnbuhan kawasan-kawasan industri selama ini adalah pemanfaatan lahannya mengkonversi lahan-lahan pertanian yang pada umumnya subur. Bachriadi mengamati bahwa lahan-lahan
pertanian di sepanjang garis pantai yang landai dari pulau besar, seperti pantai utara Pulau Jawa. Kawasan pantai ini dinilai merupakan daerah paling subur di Jawa dan sudah memiliki saluran irigasi teknis yang paling baik di seluruh Indonesia. Namun kawasan pantai utara ini juga memiliki keunggulan komparatif bagi pengembangan kawasan industri. Hal ini disebabkan karena konturnya lebih baik serta dekat dengan pantai dan pada kawasan ini terdapat banyak pelabuhan yang telah siap pakai. Akses untuk pelbagai fasilitas di kawasan ini mudah diperoleh seperti: transportasi dan komunikasi. Pada awalnya kawasan ini justru merupakan lumbung pangan khususnya beras bagi Indonesia. Namun saat ini menuju kepada kelangkaan kawasan pertanian, sehingga tingkat kehilangan pekerjaan di sektor pertanian di kawasan ini sangat besar. Proses konversi lahan di daerah pertanian subur menjadi kawasan industri, kawasan perumahan terus berjalan. Bachriadi juga mencatat, selain terjadi konversi lahan, banyak juga lahan yang sudah diijinkan untuk Qpakai kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan wisata dan rekreasi yang perolehannya dengan cara menggusur, ditelantarkan begitu saja. Banyak sekali lahan tidur di kawasan Jabodetabek. Menurut Pusat Studi properti Indonesia diperkirakan hingga bulan Desember tahun 1997 terdapat sekitar 87.500 Ha lahan yang ditelantarkan. Perkiraan sementara harga nilai lahan tersebut setara dengan Rp. 65 trilyun rupiah. Bachriadi mencoba menelaah persoalan konversi lahan secara kualitatif dengan melihat akar-akar ketimpangan penguasaan lahan dan sengketa lahan dan dirumuskan ada 3 (tiga) corak dan watak sengketa agraria & Indonesia yang berhubungan erat, yaitu: (1) proses ekspansi dan perluasan
skala akurnulasi modal baik modal domestik maupun modal internasional; (2) watak otoritarian pemerintahan Orde baru; (3) perubahan strategi dan orientasi pengembangan sumber-sumber agraria dari strategi agraria yang populis (membangun masyarakat populis) menjadi strategi agraria yang kapitalitik (mengintegrasikan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari perkembangan kapitalisme Internasional).
2.4 Konflik Pemanfaatan Lahan Konflik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki sasaransasaran yang tidak sejalan (Fisher, et al., 2000). Untuk memperjelas pemahaman mengenai konflik, maka menurut Miall (2000) pengertian konflik adalah aspek intrinsik dan tidak mungkin dihindarkan dalam perubahan sosial. Konflik adalah sebuah ekspressi heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial yang muncul bertentangan dengan hambatan yang diwariskan. Hal ini berarti bahwa terjadlnya konflik pemanfaatan lahan disatu kawasan pesisir akan mempunyai nilai konflik yang berbeda dengan kawasan pesisir lainnya. Sebagai contoh kawasan konflik dikawasan pesisir di Serang. Hal ini disebabkan karena karakteristik fisik yang berbeda, termasuk kondisi sosial budayanya, sehingga konfliknya berbeda-beda. Konflik penggunaan lahan pesisir merupakan bentuk hubungan antara stakeholder yang memiliki tujuan yang sama yaitu memanfaatkan sumberdaya pesisir secara pareto optimal untuk meningkatkan pendapatannya yang kadang kala tidak memperhatikan kepentingan orang lain. Artinya biaya sosial (social cost) yang ditimbulkan oleh biaya pribadi (przvate cost) tidak diperhatikan sehingga kondisi ini menyebabkan kegagalan pasar. Konflik juga dapat diartikan sebagai ketidaksetaraan distribusi akses terhadap sumberdaya dan pelbagai pengguna. Terminologi konflik mengandung pengertian adanya perbedaan persepsi tentang kondisi ideal yang diinginkan oleh lebih dari satu pihak. Menurut Anwar (2000) dan Fisher (2000) bahwa konflik pada urnumnya disebabkan oleh karena akar pennasalahan yang bersifat ganda dan biasanya merupakan kombinasi dari masalah dalam hubungan antara pihak-pihak yang bertikai yang mengarah kepada konflik tersembunyi, konflik semi terbuka dan konflik terbuka. Konflik dapat dikelompokkan dan dianalisis dengan menggunakan kriteria-kriteria sebagai berikut: (1) Konflik Data terjadi jika orang kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana, mendapat informasi yang salah, tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan, menterjemahkan informasi dengan cara yang berbeda atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda.
Beberapa konflik data mungkin tidak perlu terjadi karena ha1 ini disebabkan karena kurangnya komunikasi diantara 2 orang atau lebih yang konflik. (2) Konflik Kepentingan disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan
atau secara nyata memang tidak bersesuaian dengan yang dinginkan. Terjadi ketika satu atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak-pihak lain hams berkorban. Konflik yang berdasarkan kepentingan ini terjadi karena masalah yang mendasar (uang, sumberdaya, fisik, waktu), atau menyangkut masalah tata cara (sikap dalam menangani masalahnya) atau masalah psikologis (persepsi atau rasa percaya diri, mempertahankan keadilan, rasa hormat). (3) Konflik Hubungan Antar Manusia terjadi karena adanya emosi-emosi negatif
yang kuat, salah persepsi (stereo~pe),salah komunikasi atau tingkah laku negatif yang berulang (repetit~j).Masalah ini sering menghasilkan konflik yang realistik atau mungkin tidak perlu, karena konflik ini bisa terjadi bahkan ketika kondisi obyektif untuk terjadinya konflik seperti terbatasnya sumberdaya manusia atau tujuan bersama yang ekslusif, tidak ada. Masalah hubungan antar manusia seperti yang tersebut di atas, seringkali memicu terjadinya pertikaian dan menjurus kepada lingkaran-spiral dari suatu konflik destruktif yang tidak perlu. (4) Konflik Nilai disebabkan oleh sistem-sistem kepercayaan yang tidak
bersesuaian, mungkin ha1 itu hanya dirasakan atau memang sesungguhnya ada. Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya, menjelaskan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang adil dan tidak adil. Perbedaan nilai sebenarnya tidak harus menjadi penyebab terjadinya konflik. Oleh karena itu manusia dapat hidup saling berdampingan dan harmonis dengan sedikit perbedaan nilai. (5) Konflik struktural terjadi ketika kepentingan untuk melakukan akses dan
kontrol terhadap sumberdaya. Pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan urnum, biasanya lebih memiliki peluang untuk menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Di
sisi lain persoalan geografis dan faktor sejarah atau waktu sering kali dijadikan alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan hanya menguntungkan satu pihak tertentu. Menurut Mubyarto (2000) bahwa manusia tidak hanya bersemangat untuk "bersaing" tetapi juga "bekerjasama",
sehingga bukan hanya pengertian
"competitive advantage", tetapi juga perlu dianggap penting konsep "cooperative advantage" untuk mencapai efisiensi ekonomi.
Konflik pemanfaatan lahan kawasan pesisir ini akan ditinjau dari beberapa aspek yaitu aspek ekonomi, aspek ruang, aspek sosial, aspek Geopolitik untuk memberikan wacana bahwa konflik pemanfaatan lahan kawasan pesisir itu sangat kompleks dan bersifat menyeluruh. 2.4.1
Konflik Pemanfaatan Lahan Yang Berpengaruh Terhadap Aspek Ekonomi
Deininger (2000) menyatakan bahwa konflik lahan yang berpengaruh terhadap aspek ekonomi meliputi issue tentang efisiensi, dan distribusi. Pengalaman di Nicaragua menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki lahan kemudian mereka bertempat tinggal disuatu kawasan yang dianggap tidak berpenghuni, padahal kawasan tersebut lahannya dimiliki oleh para tuan tanah, maka konflik yang timbul adalah pasar yang tidak efisien dan akan berbahaya terhadap pendapatan kedua stakeholder termasuk issue mengenai equity. Pemanfaatan lahan pada wilayah pesisir menunjukkan pemanfaatan yang berbeda-beda. Menurut Blair (1991) bahwa tipologi pemanfaatan lahan untuk kawasan perkotaan adalah 10% untuk manufaktur, 5% untuk kegiatan perdagangan dan 35% digunakan untuk pelbagai pemanfaatan seperti gedung pemerintahan dan lahan kosong, sedang 30% hanya digunakan untuk pemukiman. Pemanfaatan lahan yang berbeda-beda tersebut ditinjau dari segi ekonomi akan menimbulkan pengaruh, mengingat terjadinya perubahan lahan ke arah yang tidak fungsional seperti lahan pertanian berubah menjadi lahan untuk industri atau untuk pemukiman. Cheshire (1995) dalam papernya yang berjudul The Welfare t.Jconomics of Land Use Regulation menyebutkan bahwa perubahan penggunaan
lahan berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan keseimbangan struktur pasar lahan didalam kota. Pendapatan yang eqivalen dengan biaya dari
pembatasan penggunaan lahan berpengaruh terhadap peningkatan harga lahan dan rumah. Dengan demikian pengaruh pemanfaatan lahan dikawasan pesisir yang ditelaah dari aspek ekonomi meliputi : (a) efisiensi pemanfaatan lahan dan (b) alokasi dan distribusi. 2.4.1.1 Efisiensi
Menurut McEachern (2000) bahwa yang dimaksud dengan effisiensi adalah suatu keadaan bila sumberdaya tidak dapat direalokasikan untuk meningkatkan produksi suatu barang tanpa menurunkan produksi barang yang lain. Effesiensi adalah kriteria utama untuk mengevaluasi perubahan. Effisiesi mengacu kepada kemampuan menggunakan sumberdaya untuk menghasilkan sesuatu nilai. Kalau sumberdaya digunakan untuk menghasilkan banyak barang dan pelayanan dengan menggunakan tingkat input yang sama maka karakteristik ekonomi akan lebih efisien. Efisiensi pemanfaatan lahan tergantung kepada sampai seberapa besar ongkos produksi yang dikeluarkan oleh pengguna lahan dalam meningkatkan produksinya. Makin sedikit biaya produksi yang dikeluarkan dan makin besar produktivitas yang dihasilkan maka akan terjadi efisiensi pemanfaatan lahan. Namun efisiensi ini dapat ditelaah dari pelbagai macam aspek. Salah satu yang dinyatakan oleh David Ricardo bahwa salah satu aspek yang perlu dianalisis adalah "rente lahan". Ricardo meyakini bahwa manfaat lahan dihitung dari rente yang dihasilkan dari hasil produksi lahan dikurangi dengan pengeluaran kemudian beberapa komponen pengeluaran untuk pemulihan dan pemeliharaan produktivitas lahan. Hal ini mengingat aspek produktivitas tenaga kerja dan buruh merupakan suplai yang "elastis", dimana variabel-variabel tersebut hams dibayar dengan harga yang kompetitif. Ricardo yakin bahwa lahan yang paling produktif adalah yang pertama kali dipupuk. Pembangunan ekonomi dan pertumbuhan penduduk menyebabkan harga pertanian meningkat dan ha1 ini menyebabkan penambahan lahan menyebabkan produksi dan rente pada lahan meningkat. Hal inilah yang menyebabkan berpengaruh pada efisiensi. Menurut Suparmoko (1989) bahwa efisiensi ekonomi sering disebut juga sebagai pareto optimal yaitu suatu kriteria yang sangat banyak digunakan untuk menilai kebijakan pemerintah hsamping dari segi distribusi. Efisiensi dikatakan ada apabila kebijakan pemerintah itu
memberikan pengaruh ekonomi yang lebih baik dalam bentuk kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi. Selanjutnya kebijakan itu dikatakan sudah efisien atau mencapai pareto optimum apabila dalam perekonomian itu tidak mungkin lagi untuk mengadakan alokasi faktor produksi yang menyebabkan disatu pihak ada yang dibuat lebih sejahtera, sedangkan dilain pihak ada yang menjadi lebih menderita.
2.4.1.2 Alokasi dan Distribusi Alokasi berhubungan dengan kegiatan dari fungsi pemerintah dalam menyediakan barang (Blair, 1991). Alokasi yang berhubungan dengan bagaimana lahan dapat ditingkatkan produksinya. Hoover, et al. (1985) menyebutkan bahwa alokasi suatu lahan didasarkan secara murni oleh maksimalisasi keuntungan (profit) individu, bahkan kalau kompetisi bekerja lebih efisien daripada
sebelumnya, maka ha1 tersebut tidak dapat menghasilkan pola sosial yang optimum dari penggunaan lahan, bahkan bukan dalam rangka maksimasi produk nasional bruto untuk dkaitkan dengan lcnteria kesejahteraan yang lebih komprehensif. Hak kepemilikan swasta merupakan kepentingan nyata bagaimana setiap individu menggunakan lahan seoptimal mungkin diserahkan dengan kebutuhan pasar. Hal inilah yang menjadi konflik kepentingan antara pemilik lahan yang sudah jelas kepemilikannya dengan pengguna lahan yang tidak jelas batas kepemilikannya. Hal ini menjadi makin jelas dengan penjelasan dari Chistaller yang dikutip oleh Northam (1975) bahwa proses aglomerasi akan mempengaruhi pola pemanfaatan lahan, dimana tingkat lokasi atau penyebaran sumberdaya dimana pusat kegiatan baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pemanfaatan lahan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ada bentuk perbedaan terjadinya sumberdaya lahan sebagai hasil dari distribusi lahan yang berbeda atau konsentrasi keruangan dari lahan yang dapat menyebabkan distorsi dari lahan yang selanjutnya berakibat pada distorsi pola pemukiman kota yang disebabkan karena lokalisasi sumberdaya lahan. Pada urnumnya untuk menilai apakah suatu kegiatan itu layak atau tidak, disamping dilihat dari sudut efisiensi juga dilihat dari sudut distribusi atau equity (keadilan) dari kenaikan hasil produksi. Masalah dstribusi dapat dpandang dalam kaitannya dengan distribusi antar anggota masyarakat pada saat ini dan yang akan
datang. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan lahan di kawasan pesisir yang perlu dipahami adalah bahwa persoalan pemanfaatan lahan oleh masyarakat saat ini tentu saja akan berpengaruh dengan generasi yang akan datang. Tingkat bunga yang positif akan dipunyai pula tingkat diskonto yang positif pula. Dalam kaitan tersebut program pemanfaatan lahan yang dipandang efisien oleh generasi saat ini akan berakibat berpengaruh kepada pemanfaatan lahan bagi generasi yang akan datang. Untuk itu maka pola pemanfaatan lahan khususnya di kawasan pesisir hams direncanakan sedemikian rupa agar lstribusinya dapat berorientasi kepada kesinambungan pemanfaatan lahan yang akan datang. Hal ini mengingat pemanfaatan lahan yang menyangkut kepada penyebarannya yang dalam implementasinya tidak sesuai dengan peruntukannya. Hal ini beralubat pada terjadinya kerusakan tanah. Menurut Budianto (1999), tanah kntis ditandai dengan kerusakan tanah yang terjadi karena penggunaan tanah (lahan tertutup) yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Soemanvoto (1975) yang diacu dalarn Budianto (1999) menyatakan bahwa masalah kritis, erosi dan banjir merupakan masalah demografi yang luas. Berdasarkan sudut pandang ekologi, pertambahan penduduk telah melampaui daya dukung lingkungan. Pengaruh distribusi ini akan berpengaruh kepada inefiensi, ketimpangan pendapatan, dan kesenjangan pertumbuhan antara daerah.
2.4.2 Konflik Pemanfaatan Lahan yang Berpengaruh Terhadap Aspek Ruang (Spasial) Budiharsono (2001) menyatakan bahwa aspek ruang merupakan ha1 yang sangat penting dalam pembangunan wilayah pesisir, dimana di dalamnya terdapat wilayah homogen, wilayah modal, wilayah administrasi dan wilayah perencanaan. Disebut wilayah homogen karena wilayah pesisir merupakan wilayah yang memproduksi ikan atau dapat disebut sebagai wilayah dengan tingkat pendapatan penduduknya yang tergolong dibawah garis kemiskinan. Wilayah nodal merupakan wilayah pesisir yang seringkali sebagai wilayah belakang, dan daerah perkotaan sebagai intinya. Bahkan seringkali wilayah pesisir dianggap sebagai halaman belakang yang merupakan tempat membuang segala macam limbah. Sebagai wilayah belakang, wilayah pesisir merupakan penyedia input bagi inti dan
merupakan pasar bagi barang jadi (output) dari inti. Sebagai wilayah administrasi, wilayah pesisir dapat berupa wilayah administrasi yang relatif kecil yaitu kecamatan atau desa namun juga dapat berupa kabupatenfkota. Sebagai wilayah perencanaan, batas wilayah pesisir lebih ditentukan dengan kriteria ekologis. Hal ini disebabkan batasan kriteria ekologis tersebut sering melewati batas-batas satuan wilayah administratif. Pengaruh konflik pemanfaatan lahan terhadap aspek ruang (spasial) dapat meliputi : (1) Pengaruh pada keberadaan kawasan konservasi yang makin lama makin
berkurang luasannya. Hal ini disebabkan sudah banyak terjadi perubahan fungsional lahan yang sebelumnya lahan untuk pertanian dijadikan industri atau untuk pusat perdagangan dan jasa-jasa.
(2) Kawasan terbangun makin lama malun bertambah luas, sedang kawasan tidak terbangun makin lama makin sempit sehingga akan mengurangi resapan sehingga volume aliran air permukaan menjadi bertambah besar yang pada akhirnya menjadi banjir. (3) Terjadinya pengelompokan pemukiman pada penduduk yang berpendapatan
rendah (low income group} akan meningkatkan pencemaran laut maupun pencemaran air permukaan dan air tanah akibat makin meningkatnya buangan domestik. Perencanaan ini akan mengakibatkan penurunan produktivitas perairan laut. (4) Terjadinya kawasan industri yang menempati lahan-lahan pesisir dapat
menyebabkan meningkatnya beban daya dukung lingkungan akibat buangan limbah industri yang tidak menggunakan "wastewater treatment" menjadi surnber pencemaran bagi biota laut. Menurut Sugiarti dkk. (2000) bahwa berdasarkan arahan Rencana Induk Kota (RIK) dan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kota Pasuruan, serta hukum dan peraturan dan perundang-undangan yang ada dikaitkan dengan kondisi nyata di lapangan, maka permasalahan utama yang terjadi dalam pemanfaatan ruang adalah konflik penggunaan lahanlpemanfaatan lahan dan alih fungsi (konservasi) lahan, penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang dan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Pengaruh konflik pemanfaatan ruang terhadap aspek spasial dari studi Sugiarti, et al. (2000) adalah : a) Persepsi yang berbeda antar stakeholder yang memanfaatkan lahan -
Pemerintah dan swasta beranggapan bahwa prioritas penggunaan lahan wilayah pesisir di Kelurahan Gudugrejo dan Desa Trajeng Kabupaten Pasuruan adalah industri dengan pertumbuhan aspek ekonomi.
- Masyarakat lebih dominan untuk kegiatan tambak dengan perkembangan aspek sosial, karena pengusahaan tambak merupakan tralsi dan kebiasaan turun temurun. b) Rencana Tata Ruang yang dibuat tahun 1994 sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan perkembangan wilayah, sehingga perlu dilakukan revisi rencana tata ruang. c) Penentuan prioritas kegiatan penggunaan lahan untuk industri, tambak dan permukiman ditentukan berdasarkan evaluasi kesesuaian peruntukannya dan sesuai arahan rencana tata ruang. d) Aspek ekonomi lebih dominan dalam penentuan prioritas kegiatan penggunaan lahan dibandingkan aspek lingkungan , sosial dan teknologi. 2.4.3
Konflik Pemanfaatan Lahan Yang Berpengaruh Terhadap Aspek Sosial
Pemanfaatan lahan yang mempengaruhi aspek sosial sering berhubungan dengan tingkat kemudahan (akses) untuk mencapai pusat-pusat kegiatan. Ada kecenderungan masyarakat yang tidak memiliki lahan menempati lahan-lahan yang bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah. Sebagai contoh di negaranegara berkembang masyarakat lebih banyak memilih bertempat tinggal di bantaran sungai, situ atau badan-badan air yang dekat dengan akses dibatasi oleh kendala sosial, politik dan geografis. Menurut Fraiser (1999) dari hasil studi yang dia lakukan di masyarakat Cabato Manabo di Philipina, menunjukkan bahwa masyarakat tradisional yang termarginalkan oleh sebuah perusahaan kayu yang meng"c1aim" lahan-lahan milik perusahaan, bahwa akses oleh masyarakat tradisional tetap diperlukan kepada lahan yang dianggap masyarakat lokal merupakan lahan warisan melalui sebuah bentuk persetujuan (agreement). Persetujuan tersebut hams juga memberikan
jaminan untuk mendapatkan keuntungan akibat hadirnya perusahaan kayu tersebut. Selain faktor jarak para individu berusaha mencari akses ke tempattempat kegiatan lainnya. Asong, et ul. (2000) menyebutkan bahwa di samping masyarakat pantai yang tidak mempunyai lahan dan bertempat tinggal di lahan-lahan ilegal, akses yang dituju oleh mereka di samping sumberdaya perikanan yang ada di sekitar pantai, mereka ingin meraih akses yang lainnya seperti penjual makanan, buruh pabrik, guru dan sebagai vendor. Pengaruh pemanfaatan lahan terhadap aspek sosial lain yang sangat berpengaruh meliputi: struktur geografis, umur, jenis kelarnin dan tingkat pendidikan akan mempengaruhi prospek pembangunan ekonomi. Namun banyak para ahli memperkirakan bahwa pada suatu periode akan terjadi kekurangan tenaga kerja yang diakibatkan oleh tingkat perturnbuhan angkatan kerja yang semakin menurun. Selanjutnya umur bayi akan meningkatkan produktivitas. Untuk faktor demografi, pendapatan diperkirakan standar biaya hidup tinggi dapat diprediksi. Beberapa aspek sosial yang akan terkena pengaruh dari pemanfaatan lahan adalah sebagai berikut : (1) Terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan masyarakat mengenai aspekaspek infrastruktur sosial seperti : puskesmas, pendidikan, tempat olah raga akibat jumlah lahan yang terbatas, sementara kebutuhan akan infrastruktur sosial tersebut makin meningkat. (2) Terjadi perpindahan mata pencaharian lahan yang dipakai untuk bercocok tanam dijadikan tempat yang tidak fungsional seperti kegiatan lain yang mengarah mendapatkan keuntungan yang seluas-luasnya sehingga terjadi "perbenturan"
kepentingan antara lahan yang dipertahankan karena
mempunyai nilai sosial tinggi dibandingkan dengan upaya mengejar efisiensi. (3) Terjadi benturan budaya lokal dan pendatang akibat pemiliklpengguna lahan
akan mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang ada. Apalagi banyak tanah negara tidak termanfaatkan secara lebih baik. Adanya kesepakatan antar pemilik dan non pemilik yang terkategorikan. (4) Terjadi banyak pelanggaran hukum akibat ketidakjelasan pemanfaatan lahan
yang ada, sehingga banyak sekali munculnya mafia tanah terhadap kaurn
Squatters yang ingin menempati lahan yang bukan miliknya dengan cara membayar sewa. Menurut Roger (1971) bahwa pemahaman identitas masyarakat sangat penting karena ha1 ini menyangkut pemahaman struktur masyarakat. Dimana dalam struktur masyarakat ini tergambar struktur komunikasi inter-personal. 2.4.4
Konflik Pemanfaatan Lahan Yang Berpengaruh Terhadap Aspek Geo-Politik Menurut Foundation for Middle East Peace (2002) bahwa persoalan
Palestina menjadi masalah internasional pada akhir perang dunia kedua pada waktu terjadi disintegrasi kerajaan Ottoman Turki. Palestina merupakan salah satu dari wilayah kerajaan Ottoman Turki yang diletakkan di bawah adrninistrasi kerajaan Inggris sebagai mandat dari Liga Bangsa-bangsa telah menjadi negara merdeka, kecuali Palestina. Hal ini disebabkan karena adanya "Ralfour Declaration" yang diterbitkan oleh Inggris bahwasanya Inggris mendukung sepenuhnya negara Palestina untuk orang-orang Yahudi. Pada tahun 1922 sampai 1947 pada waktu tahun-tahun mandat Palestina, imigran Yahudi dalam jumlah besar yang datang dari luar negeri terutama yang berasal dari Eropa Timur. Mereka pada tahun 1930-an melarikan diri dari kerajaan Nazi Jerman. Permohonan rakyat Palestina untuk merdeka dan perlawanannya kepada imigrasi Yahudi yang menimbulkan pemberontakan pada tahun 1937 diikuti oleh pelbagai kegiatan kekerasan dari para imigran Yahudi dengan penduduk asli Palestina yang terus berlangsung sampai perang dunia ke 11. lnggris mencoba untuk mengimplementasikan pelbagai macam formula untuk membawa kemerdekaan kepada lahan yang telah rusak dengan kekerasan. Pada 1947, Inggris sangat frustasi dan akhirnya membawa masalah ini kepada PBB. Konflik pemanfaatan lahan di Palestina ini merupakan konflik yang sampai dengan saat ini belum dapat terselesaikan dan berumur sangat tua yaitu kurang lebih berumur 85 tahun (1917
-
2002). Sejarah mencatat bahwa pada
awalnya orang-orang Palestina yang menempati lahan di wilayah Palestina, namun setelah melalui proses sekian lama, orang Israel ingin kembali ke tempat asalnya yang pada saat ituproperty right-nya dimiliki oleh orang Palestina.
Terjadinya pengakuan sepihak oleh orang-orang Israel dengan menduduki secara paksa tanah yang sudah diduduki oleh orang-orang Palestina secara turuntemurun. Pengakuan property rrght secara sepihak inilah yang menjadi pertempuran secara terus menerus sampai saat ini. Konflik lahan yang ditinjau dari aspek geopolitik akan berpengaruh pada ketidakjelasan hak-hak kepemilikan yang sangat sulit diberikan legalitasnya karena menyangkut persoalan sejarah. Hal ini berakibat kepada konflik terbuka secara turun-temurun dan tidak jelas kapan berakhirnya. Pengakuan kepemilikan hanya dapat ditegakkan dengan kekuatan militer, sehingga yang kuat clan unggul di bidang militer akan mempunyai otoritas menguasai lahan. 2.5 Konflik Pemanfaatan Lahan di Wilayah Pesisir
Karena lahan pesisir memiliki nilai ekonomi, maka banyak individu, masyarakat dan pemerintah menggunakan lahan pesisir secara tidak rasional seperti : wilayah konservasi diserobot untuk permukiman, wilayah reklamasi menjadi kumuh oleh para "Squatters", wilayah bantaran sungai di hilir pertemuan dengan laut dipakai untuk permukiman, wilayah rawa digunakan untuk olah raga air. Penggunaan lahan pesisir yang tidak rasional tersebut menimbulkan konflik antar stakeholder dalam wilayah, yaitu konflik antara lahan yang dipergunakan untuk industri dan lahan untuk konservasi hutan bakau, konflik lahan wilayah pesisir untuk tambak dan pemukiman, lahan di bantaran hilir sungai yang menurut aturan tidak boleh untuk permhman, turnbuh subur menjadi permukiman, lahan rawa yang sudah dijadikan wilayah permukiman penduduk yang berpendapatan rendah akan dipakai untuk olahraga air oleh pemerintah. Beberapa kemungkinan akibat konflik lahan yang terjadi di wilayah pesisir antara lain: (1) Pertumbuhan ekonomi wilayah pesisir yang distorsif dimana angka pengangguran semakin tinggi, daya beli masyarakat makin berkurang, daya produktivitas lahan makin menurun akibat terlalu banyaknya dilakukan kegiatan yang sangat berkelebihan (over exploited), harga kebutuhan baik primer maupun sekunder makin tinggi dan distribusi pendapatan yang makin tidak merata; (2) Meningkatnya angka kemiskinan di wilayah pesisir; (3) Kesenjangan pendapatan makin tinggi berakibat makin tajamnya golongan masyarakat yang
berpenghasilan tinggi dan berpenghasilan rendah; (4) Biaya yang diperlukan untuk pemulihan lingkungan yang rusak sangat tinggi. Keseluruhan akibat-akibat tersebut menyebabkan inefisiensi ekonomi yang pada gilirannya menyebabkan pendapatan rendah dan kesenjangan tinggi. Hal ini kemudian juga meningkatkan konflik selanjutnya sehingga konflik semakin tajam. Beberapa sebab terjadinya konflik di wilayah pesisir, antara lain : (1) batas-batas status tanah kepemilikan yang tidak jelas (seperti hak milik, hak
guna usaha, hak bangunan, hak pakai, hak membuka tanah clan hak memungut hasil hutan); (2) terjadi "transfer of ownership"; (3) eksklusivisme penggunaan lahan karena adanya "power of money"; (4) pemerintah daerah tidak konsisten menerapkan rencana tata ruang wilayah; dan (5) lemahnya penegakan hukum (law enforcement). Konflik penggunaan lahan tersebut mengarah kepada penurunan kualitas sumberdaya alam wilayah pesisir yang pada akhirnya berujung kepada inefisiensi ekonomi (harga lebih tinggi daripada biaya marginal), keputusan alokasi lahan yang tidak efektif terutama untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan akses bertempat tinggal dekat dengan pusat-pusat pertumbuhan di wilayah pesisir, penurunan distribusi pendapatan bagi pelaku ekonomi (individu, masyarakat dan pemerintah). Masalah penggunaan lahan wilayah pesisir Jakarta Utara yang tidak rasional menyebabkan terjadinya konflik antar stakeholder. Penggunaan lahan yang tidak rasional tersebut disebabkan karena laju perturnbuhan penduduk sangat cepat, sehingga memberikan tekanan kepada wilayah pesisir dan menimbulkan dilema bagi kelestarian sumberdaya alam. Konflik yang terjadi mengakibatkan penurunan kinerja ekonomi wilayah pesisir Jakarta Utara dan berdampak kepada inefisiensi ekonomi, misalokasi dan distribusi ekonomi yang tidak merata. Konflik lahan pesisir yang berakibat kepada penurunan kegiatan ekonomi wilayah perlu dilakukan kajian untuk dapat mengidentifikasi penyebab konflik, bentuk konflik, jenis konflik yang menjadi pemicu utama penurunan pertumbuhan ekonomi wilayah, sehingga dapat diformulasikan resolusi konflik penggunaan lahan yang optimal.
Pada dasarnya kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam yang terjadi di kawasan pesisir bersurnber dari : (I) Terus meningkatnya permintaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir akibat peningkatan jumlah penduduk danlatau peningkatan kualitas hidup penduduk; (2) Praktek-praktek pengelolaan yang tidak
berkelanjutan (un.sustainable
management practises). Atas dasar perilaku manusia (human behavior), kerusakan lingkungan pesisir bersumber dari : (1) Ketidaktahuan (rendahnya kesadaran) manusia akan implikasi kerusakan lingkungan baik terhadap ekosistem pesisir maupun terhadap dirinya sendiri; (2) Keterpaksaan karena kemiskinan absolut dan tidak ada alternatif mata pencaharian lain; Kerusakan lingkungan pesisir dapat juga disebabkan karena 3 jenis kegagalan yang saling berkaitan : (1) Kegagalan pasar dan hak kepemilikan (marketfailure andproperty rights);
(2) Kegagalan kebijakan ('policy failure);
(3) Kegagalan informasi (information failure). 2.6 Resolusi Konflik
Di dalam resolusi konflik akan didekati secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif dipergunakan 2 (dua) pendekatan yaitu: dengan NashEquilibrium yang dasar-dasarnya berasal dari Teori permainan. Implementasi dari Nash-Equilibrium ini diwujudkan dalam persamaan garis-garis regersi liniar untuk menentukan sebuah kawasan efisien atau tidak efisien pemanfaatan lahannya. Sedang pendekatan kuantitatif lainnya dengan menggunakan teori Optimasi melalui GAMS (Genaral Algebraic Model Sistem). Melalui GAMS ini akan muncul sebuah solusi optimal pemanfaatan lahan yang efisien. Mengingat dalam GAMS ini optimasinya adalah bebas nilai, maka optimasinya tidak memberikan solusi dari aspek sosial. Untuk itu maka aspek sosial secara kualitatif dibahas pada aspek instutusional.
Resolusi konflik yang ditawarkan dalam disertasi ini seperti yang disebutkan menggunakan "Game Theory". Perhitungan optimasi dengan menggunakan GAMS dan penyusunan alternatifnya berbasis kepada : a. Bahwa kebutuhan squatter, pemerintah dan swasta (baik individu maupun perusahaan) hams diakomodasikan memjuk kepada kompromi dan kolaborasi; b. Bahwa squatter memerlukan "survival needs" seperti sandang, pangan, papan, kesehatan dan keamanan yang hams menjadi bahan pemikiran utama dalam bernegosiasi dengan squatter baik oleh pemerintah maupun swasta; c. Untuk mewujudkan adanya saling kesepahaman antara squatter yang memanfaatkan lahan secara illegal dan pemerintah serta swasta sebagai pemilik lahan hams dapat menyediakan kompensasi (apakah dalam bentuk uang, penyediaan rumah susun, mencarikan lahan barn) dengan memberikan pengakuan dan penyelesaian yang tulus oleh pemilik lahan, bahwasanya squatter tersebut adalah masyarakat Indonesia yahg hams diselesaikan
masalahnya. 2.6.1 Teori Permainan (Game Theory) Game theory berkaitan dengan aksi dari individu-individu yang khawatir
bahwa kegiatan mereka akan mempengaruhi satu dengan yang lainnya (Rasmusen, 1989). Game theory tidak berguna ketika keputusan yang dibuat mengabaikan reaksi yang lainnya atau memperlakukan yang lain sebagai tekanan pasar. Menurut King (2001), game theory merupakan suatu pendekatan khusus dan interdisiplin yang berkaitan dengan studi perilaku manusia. Beberapa disiplin ilmu yang sering digunakan di dalam game theory adalah matematika, ekonomi dan ilmu sosial dan tingkah laku. Game theory diciptakan oleh seorang ahli matematika bernama John van Neumann. Bukunya yang terpenting berjudul "The Theory of Games and Economic Behavior7', yang berkolaborasi dengan seorang
ahli matematika ekonomi Oskar Morgenstern. Morgenstern membawa ide-ide dari ekonomi neoklasik, tetapi von Neumann sadar akan ha1 itu dan memberikan kontribusi lain bagi ekonomi neoklasik. Game theory telah menjadi suatu metafora ilmiah bagi interaksi manusia
secara luas yang hasilnya tergantung pada strategi interaktif dari dua orang atau
lebih, yang memililu motivasi yang bertentangan atau campuran. Beberapa ha1 yang dibahas di dalam game theory antara lain : 1) Apa artinya memilih sebuah strategi yang rasional ketika hasilnya tergantung pada strategi yang tidak lengkap informasinya? 2) Di dalam game theory ada pilihan yang memperbolehkan keuntungan timbal balik atau kerugian timbal balik yang rasional untuk bekerja sama dengan mencapai keuntungan timbal balik (atau menolak kerugian timbal balik) atau melakukan tindakan agresif rasional mencari keuntungan individu dengan mengabaikan keuntungan atau kerugian timbal balik? 3) Jika jawaban No. 2 adalah "kadang-kadang", dalam kondisi seperti apa agresi
bersifat rasional dan dalam kondisi apa terjadl kerjasama yang rasional? 4) Dalam ha1 tertentu, apakah hubungan yang berkelanjutan berbeda dengan orang lain dalam hubungan ini? 5) Dapatkah aturan moral tentang kerjasama muncul secara spontan dari interaksi orang-orang egois yang rasional? 6) Bagaimana perilaku manusia sesuai dengan perilaku yang "rasional" dalam
kasus ini? 7) Jika berbeda, pada arah yang bagaimana? Apakah orang-orang lebih
kooperatif dibandingkan yang masuk akal? Lebih agresif? atau keduanya? Kunci yang menghubungkan antara ekonomi neoklasik dengan game theory adalah rusionalitas. Ekonomi neoklasik didasarkan atas asumsi bahwa manusia sangat rasional dalam pilihan ekonominya. Asumsinya adalah bahwa masing-masing orang memaksimumkan penghargaan-keuntungan, pendapatan atau keuntungan subyektif
-
dari kondisi yang dihadapinya. Hipotesis ini
memberikan tujuan ganda dalam studi alokasi sumberdaya alam. Pertumu, membatasi kisaran kemungkinan sedikit banyaknya. Perilaku yang sangat rasional lebih dapat diprediksi dibandingkan dengan perilaku yang tidak rasional. Kedua, memberikan suatu knteria bagi evaluasi efisiensi dari suatu sistem ekonomi. Jika suatu sistem mengarah ke arah pengurangan penghargaan terhadap beberapa orang, tanpa menghasilkan kompensiasi lebih kepada yang lainnya (biaya lebih besar daripada keuntungan) maka telah terjadi sesuatu yang salah. Polusi,
eksploitasi berlebih pada sektor perikanan, dan sumberdaya yang tidak cukup dapat dijadikan sebagai salah satu contohnya. Dalam ekonomi neoklasik, individu yang rasional menghadapi suatu sistem institusi, termasuk property right, uang dan pasar yang kompetitif. Ini merupakan satu keadaan dimana seseorang melakukan pertimbangan dalam memaksimumkan keuntungannya. Implikasinya terhadap property right, suatu ekonomi uang dan pasar yang kompetitif secara ideal merupakan kebutuhan individu yang tidak mempertimbangkan interaksinya dengan kebutuhan individu orang lain. Dia hanya mempertimbangkan keadaannya sendiri dm konQsi pasar. Tetapi ha1 ini akan mengarah pada dua masalah. Pertama, membatasi cakupan dari teori. Dimana kompetisi dibatasi (tetapi tidak ada monopoli), atau property right tidak secara penuh digambarkan, teori ekonomi neoklasik konsensus tidak dapat digunakan, dan ekonomi neoklasik belurn pernah menghasilkan suatu perluasan teori yang secara umum dapat menyelesaikan masalah ini. Keputusan mengambil ekonomi uang dari luar juga menjadi masalah bagi ekonomi neoklasik. &me theory merupakan pendekatan matematis untuk merumuskan situasi persaingan dan konflik di antara stakeholder atas pelbagai kepentingan. Pendekatan ini dipergunakan untuk menganalisis proses pengambilan keputusan dari persaingan yang berbeda-beda dan melibatkan dua atau lebih dari suatu kelompok untuk suatu kepentingan yang semuanya terlibat dalam usaha untuk memenangkan permainan. Anggapan yang mendasari teori permainan ini adalah bahwa setiap permainan baik individu maupun kelompok mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan secara bebas dan rasional. Dengan demikian Game theory ini dimaksudkan untuk menghadapi suatu masalah yang memberikan suatu teori tentang perilaku strategis dan ekonomi, manakala orang saling berhubungan secara langsung, dibandingkan melalui pasar. Dalam game theory, "game" merupakan suatu kiasan untuk interaksi yang lebih serius dalam masyarakat. Menurut Anwar (200 1) bahwa bekerjasama (cooperation) diantara anggota masyarakat digambarkan dalam suatu model sederhana dari satu kali (one-shot) keadaan yang terjadi pada persoalan yang disebut Dilemma Narapidana (The Prisoner's Dilemma Game) yang digambarkan oleh keadaan terjadinya interaksi antara dua agents atau kelompok dimana kedua kelompok masing-masing
sebenarnya mempunyai kesempatan untuk memperoleh manfaatlkeuntungan (benefit) dari adanya kerjasama yang jujur antara mereka dengan saling menguntungkan. Namun jika salah satu atau kedua pihak yang berinteraksi masing-masing secara sendiri-sendiri mencoba untuk berlaku curang kepada pihak yang lainnya, maka yang terjadi akan merugikan pihak lainnya. Jika ada lembaga pengendali bagi adanya kecurangan atau ketidakjujuran, maka pertukaran jasa dan barang antar kelompok akan mempunyai potensi untuk saling menguntungkan bagi kedua belah pihak Pilihan rasional di dalam teori ekonomi neoklasik akan memaksimalkan penghargaan seseorang. Dari pandangan tersebut, ha1 ini merupakan masalah matematika: memilih aktivitas yang memaksimalkan penghargaan. Pilihan ekonomi yang rasional merupakan "solusi" bagi suatu permasalahan matematika. Dalam game theory, dimana suatu kasus menjadi lebih kompleks, hasilnya tidak tergantung hanya pada "kondisi pasar", tetapi juga secara langsung pada strategi yang dipilih oleh orang lain, tetapi kita dapat berpilur tentang pilihan strategi yang rasional sebagai masalah matematika yaitu memaksimalkan penghargaan dari suatu kelompok pembuat keputusan yang saling berinteraksi. Tabel 2 Konsekwensi Pahala (PayofJ)dari permainan Pertukaran (jasa)
I Pihak agen A
Jujur Tidak j ujur
Pihak agen B Tidak jujur Jujur T/2,T/2 - P, a
a, -P
-Y, - Y
Pada Tabel 2 di atas menyatakan tentang hasil-hasil pahala (pay o n yang diperoleh bagi kedua belah pihak yang bertukar jasaharang (exchange of goods) dari suatu pertikaran yang dilaksanakan sekali (tunggal) dan hasil payof -nya tergantung pada kombinasi dari strategi-strategi yang mereka pilih. Dari Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa angka pertama di dalam sel-sel matriks yang tesedia menunjukkan pahala yang dapat diperoleh bagi pemain A, sedangkan pahala yang kedua didapat oleh A untuk pilihan jika ia bermain tidak jujur. Jika keduanya saling bermain jujur, maka keuntungan bersih dari pertukaran (jasa, tenaga kerja atau barang) secara jujur adalah T , yang dapat dibagi sama rata kepada kedua
I
belah pihak A dan B sebesar Tl2. Tetapi jika salah satu pihak secara tersendiri mencoba berlaku curang (tidak jujur) kepada yang lainnya, maka dia akan memperoleh keuntungan pribadi yang diukur sebesar a, > Tl2. Kondisi ini akan menyebabkan keadaan menjadi rusak yang ditimpakan secara eksternal kepada pihak lainnya, dengan pahala yang diukur oleh -P < T. Dalam keadaan ini, akan terjadi kerugian sosial (social loss) yang dapat diukur sebesar T
-
(a -
P)
> 0.
masing-masing pemain dalam keadaan ini mempunyai suatu pilihan unuk tidak bertukaran (tak berinteraksi) atau "no-exchange option" yang akan menghasilkan pahala yang nilainya masing-masing hanya sebesar 0 yang akan diperoleh kedua belah pihak. Kemudian jika salah satu pihak berharap bahwa yang lainnya akan bermain tidak jujur, maka dia akan cenderung untuk tidak bekerjasama (tidak terjadi pertukaran). Keadaan inilah yang disebut suatu keadaan yang mencapai keseimbangan dari Nash (Nash equilibrium). Pada keadaan ini tidak ada insentif (tidak memberikan manfaat) bagi kedua belah pihak untuk merubah strateginya, apabila permainan dimainkan hanya dalam satu kali saja (one shot only game) dan dicirikan mereka dalarn situasi yang terisolasi, karena mereka saling tidak percaya satu dengan lainnya (mistrusting each other). Tetapi jika kedua belah pihak A dan B sering bertemu secara berulang-ulang untuk setiap waktu (misalnya setiap
minggu), maka ancaman terhadap penghentian terjadinya pertukaran Cjasaltenaga atau barang) yang menguntungkan mereka di masa depan b a g setiap pihak dapat dilakukan. Jika didalam setiap peristiwa, dimana pihak lainnya kemungkinan akan berbuat tidak jujur akan dapat dihindari, sehingga terjadinya tindakan saling curang mncurangi antara mereka tidak terjadi. Hal ini dapat dilakukan dengan syarat bahwa mereka tidak mendiskonto (no discounting for the future) keuntungan dikemudian hari dari kegiatan pertukaran yang nilainya tidak besar (yaitu mereka dapat bersabar) dan bahwa keuntungan yang diperoleh dari tindakan C (hanya sekali) berlaku curang itu tidak terlalu besar. Seandainya kita mengasumsi bahwa pertukaran dalam permainan tersebut dapat diulang-ulang (repetitive game) dan dilakukan pada setiap minggu dan kedua pemain mendiskonto satu unit utilitas yang tersedia setelah satu minggu oleh suatu faktor diskonto (6), dan andaikan juga bahwa masing-masing pihak mengadopsi strategi
berjaga-jaga (contingent strategy): dengan bermain jujur selama pihak lainnya juga bermain jujur. Namun jika pihak lainnya bermain tidak jujur minggu ini, maka permainan akan berubah kearah strategi untuk tidak bermain atau tidak melakukan untuk selamanya. Agar dapat dilihat profil keadaan apabila strategi semacam itu diambil, maka ha1 tersebut akan merupakan suatu keseimbangan Nash. Untuk itu perlu kita telaah dampak dari penyelewengan tidak jujur (curang) secara sepihak dari strategi ini untuk satu minggu. Misalkan bahwa seorang pemain bermain tidak jujur, sementara yang lainnya bermain jujur. Keuntungan (net benefit) yang diperoleh waktu ini untuk yang pertama bermain tidak jujur adalah a
-
T/2;
sementara dia menderita kerugian dengan memperoleh pahala 0 untuk selamanya, mulai dari periode berikutnya dan seterusnya sehingga nilai sekarang (present vulue) dari kecurangan tersebut akan menjadi :
Oleh karena itu jika semua pihak-pihak yang bertukar (agents) cukup sabar (yaitu dicirkan oleh faktor diskonto 6 yang besar) dan keuntungan satu kali dari berbuat bohong adalah 6 yang tidak terlalu besar relatif terhadap keuntungan dari bertukar secara jujur Tl2, sehingga 6 > (a
-
T/2)la, maka pemain tersebut
tidak akan beruntung dengan cara bermain tidak jujur. Keadaan ini merupakan suatu keadaan hukuman untuk tidak bertukar jasalbarang (yang sebenarnya menguntungkan) secara permanen. Strategi yang diuraikan di atas, tentunya menimbulkan biaya yang sangat tinggi yaitu setinggi biaya yang diderita oleh pihak yang terhukum yang diderita oleh para agents yang terhukum karena perbuatannya sendiri, meski jika strategi tidak jujur dipilih secara tidak sengaja oleh pihak yang bertukar. Andaikan bahwa pihak pemain yang bermain tidak jujur sekali akan dihukum untuk bermingguminggu T selanjutnya oleh mitra bermain yang bermain tidak jujur. Jika pemain pertama kebetulan bermain jujur dengan saling menguntungkan akan dihidupkan kembali pada waktu itu. Tetapi jika pada setiap waktu selama fase penghukuman pernah bermain tidak jujur lagi, maka fase hukurnan berikutnya akan mulai. Andaikan bahwa seseorang partner pemain bermain dengan pilahan tidak jujur dalam satu minggu sementara yang lainnya bermain jujur. Jika pihak laninnya
bersikeras untuk melakukan strategi yang dianggap sebagai hukuman, maka pembohong tidak akan hanya merugi dari pertukaran sebesar Tl2, tetapi dia juga akan menderita dari biaya hukuman sebesar $ dari periode berikutnya dan selanjutnya untuk T periode-periode yang lain. Nilai sekarang dari jumlah biayabiaya dari penyelewengan adalah S(l
-
ST)(T/2 + &)/(I- 6). Jika 6 dan T cukup
besar sehingga jumlah ini akan lebih besar dari keuntungan penyelewengan satu kali, yaitu a-Tl2, maka tidaklah akan menguntungkan untuk pemain dengan bermain memilih tidak jujur. Sebaliknya untuk nilai T yang lainnya tidak terlalu besar sehingga menimbulkan insentif yang sebanding bagi penyeleweng untuk menerima hukuman dengan cara bermain jujur sementara yang lain membalas terhadap lawannya. Keadaan ini dinyatakan oleh : - ( 6 + ...+ ST)$+ (ST+ 1 + S T + 2)T/2>O Kedua persyaratan ini secara simultan memenuhi beberapa nilai T yang positif jika 6 > (a - T/2)/a seperti sebelumnya. Sebaliknya jika pemain bermain strategi tidak jujur, maka respon terbaik dari partner bermainnya akan membalas untuk minggu-minggu T*, dimana T* merupakan maksimurn nilai T yang memenuhi persyaratan-persyaratan di atas (dengan menganggap bahwa hanya strategi-strategi murni yang diperbolehkan dipilih). Apabila pertukaran yang menguntungkan terjadi pada setiap minggu dalam mekanisme reputasi bilateral, para pemain akan saling mempercayai satu sama lain bahwa perbuatan berbohong tidak pernah terjadi, karena akan mengundang pembalasan yang meminta biaya tinggi oleh mitra lainnya; keadaan ini disebut sebagai saling percaya mempercayai (personal trust). Sekarang kita bayangkan bahwa kelompok tertentu dari pihak yang bertukar mengurnpulkan barang dm jasa yang dipertukarkan pada pasar lokal yang dibuka setiap minggu. Masing-masing pihak yang bertukar bertemu berpasangan dengan pihak lainnya setiap minggu dan mereka bermain permainan pertukaran yang sama, yang menurut Tabel 2 sebagai tahap permainan yang dispesifikasikan dalarn tabel tersebut. Jika dua pihak yang bertukar bertemu setiap minggu secara berulang-ulang, maka kepercayaan pribadi masing-masing dari mereka dapat mendukung kerjasama yang saling menguntungkan. Tetapi andaikata kedua belah pihak yang bertukar berubah secara random dan mitra
bertukarnya setiap minggu. Andaikata pula bahwa mereka bennain dengan menggunakan strategi jujur
selama pengalaman bertukar mereka telah
memuaskan, tetapi jika suatu kecurangan yang kebetulan terjadi dalam pasar lokal maka akan tersebar berita secara sangat cepat dan semua pihak yang bertukar akan berhenti pergi ke pasar lokal untuk selamanya (A tidak terjadi pilihan untuk bertukar). Kemudian struktur insentif bagi setiap pemain adalah sarna dengan keadaan solusi yang tidak bertukar secara permanen di dalam permainan bertukar dua orang yang berulang-ulang. Tetapi solusi ini merupakan sesuatu yang ekstrim dalam pengertian bahwa setiap penyelewengan dari bertukar jujur yang dilakukan oleh seseorang yang bertukar, meski jika karena kesalahan, akan mengarah kepada penutupan sama sekali keseluruhan pasar lokal dan karenanya akan menderita biaya kerugian yang tinggi pada semua pihak. Tetapi jika orang-orang yang curang dapat diidentifikasi secara benar dan diumumkan kepada semua pihak yang bertukar dipasar lokal, kemudian strategi hukuman terbatas yang telah diuraikan di atas sebelumnya dapat secara selektif dipakai kepada seseorang yang berbuat curang. Yaitu andaikan bahwa apabila orang yang bertukar bertemu secara random mereka dapat mengidentifikasi melalui rumor apakah pihak lainnya berbuat curang, dan apabila memang demikian, kemudian mereka dapat menolak untuk melakukan pertukaran secara jujur, dengan mitra tersebut dan meminta bahwa mitranya mau berrnain jujur (jika pemain lainnya mencoba berbuat curang sementara seseorang pemain dihukum, maka yang dihukum akan dimaafkan dan hanya pihak yang paling curang akhirnya dihukum). Hukuman secara selektif ini diperlukan inforrnasi yang tidak cukup untuk semua orang yang bertukar mengetahui bahwa berbuat curang telah terjadi tetapi perlu untuk diketahui siapa yang berbuat curang itu. Tetapi kelebihannya bahwa biayanya jauh berkurang yang dikenakan kepada pihak yang jujur untuk menghukum pihak-pihak yang curang apabila kecurangan terjadi. Sementara orang-orang yang curang berpotensi untuk mengalami hukuman yang tingkatannya sama seperti dibawah mekanisme kepercayaan pribadi. Dari uraian di atas nash equlibrium yang juga merupakan "Domtmnt Strategy Equilibrium" dimana setiap pemain memililu pilihan optimal yang sama
yang bebas terhadap pilihan pemain lain, walaupun strategi ini bersifat pareto
inefisien; dalam arti bahwa hasil (outcome) yang terjadi akan tidak memuaskan (mengecewakan) semua pihak-pihak yang terlibat didalarn permainan. Untuk mengatasi kekecewaan inilah maka agar mengarah kepada terjadinya keseimbangan baru yang lebih baik, permainan hams dilakukan berulang-ulang, (repetitive games). Jika mereka telah melakukan secara berulang-ulang, maka diharapkan mereka akan mengalami proses "belajar" (learning by doing) ke arah mana suatu kemantapan pengaturan baru (kelembagaan baru) akan terbentuk lebih baik dan menguntungkan. Sumber &in hasil yang tidak memuaskan bagi semua pihak-pihak yang berkonflik dalam Keseimbangan Nash yang digambarkan pada permainan. Dilema narapidana merupakan model dimana para agents saling terpisah dan karenanya mereka tidak saling percaya (mistrust each other). Di samping itu, masing-masing pihak (dari narapidana) itu terlalu mementingkan diri sendiri (sewsh), sehingga hasil keseimbangan tidak memuaskan semua pihak. Tetapi, jika masing-masing dapat mempercayai pihak yang lainnya meraka dapat membuat keputusan yang lebih baik. Untuk mencapai keadaan ini diperlukan adanya suatu kepemimpinan (leadershzp) yang piawai dan benvibawa sehingga tindakantindakan pilihannya akan menimbulkan harapan menfaat kepada semua pihakpihak yang terlibat di dalamnya. Keputusan yang lebih baik ini akan memuaskan semua pihak yang mengarah kepada terbentuknya keseimbangan kelembagaan baru yang lebih baik efisien dan berkelanjutan. Dengan demikian, jika permainan ini dilakukan secara berulang-ulang (Repeated Prisioner's Dilemma Games) dalam permainan berulang tersebut, masing-masing mengalami pembelajaran (learnmng process) secara evolutif yang jangka panjang pengalaman dari keseimbangan stochastic itu ternyata akan mengarah kepada keadaan kestabilan yang saling menguntungkan bagi semua pihak. 2.6.2 Teori Optimasi
Teori Optimasi berangkat dari perumusan seperangkat parameter yang diperlukan untuk melakukan optimasi. Amman et al. (2001) merumuskan seperangkat parameter yang diperlukan dalam menganalisis kebutuhan optimasi. Untuk itu perlu terlebih dahulu dirumuskan fungsi tujuan untuk masing-masing pelaku (stakeholder) dengan persamaan fungsi tujuan sebagai berikut:
Dimana "intertemporal revenue" masing-masing pelaku ditentukan berdasarkan persamaan:
Fungsi "revenue" diatas terdiri dari tiga bagian: a. Bagian pertama berhubungan dengan revenue yang berasal dari "lund sules". DS:, adalah jurnlah "land sold" oleh pelaku i ke pelaku j pa& waktu t. Harga
(ps), harga lahan (p) adalah harga tetap. b. Bagian kedua menunjuk kepada "leuse revenue", dimana dl:, adalah sejurnlah lahan yang disewa oleh pelaku i ke pelaku j pada waktu t. c. Bagian ketiga berhubungan dengan perolehan revenue dari kegiatan ekonomi oleh pelaku i dengan menggunakan sebidang lahannya. Tingkat degradasi lahan diukur dengan variabel Q
I , clan ~
q
1,
menunjuk kepada hasil per hektar
yang dapat dilakukan oleh pelaku i. Tingkat penggunaan lahan oleh pelaku i di lahan miliknya didefinisikan sebagai: dU1,t= dOl,t-
2 dl:$
dUIlt2 0
Kendala lain yang dihadapi adalah jurnlah lahan yang digunakan oleh pelaku i sama dengan total lahan yang dimiliki dikurangi atau ditambah semua lahan yang
disewa
secara
berturut-turut.
Konsekwensinya,
persamaan
keseimbangan dari "land sale" sama dengan
Disini, total lahan yang dijual hams sama dengan nol. Sesuai dengan ha1 tersebut keseimbangan persamaan lahan yang disewa adalah:
Berdasarkan model teori permainan (game theoretic model) tersebut di atas, maka dibuat resolusi konflik pemanfaatan lahan di kawasan pesisir dengan menggunakan konsep pemikiran seperti di atas dan dioperasionalkan dengan metode GAMS. 2.6.3 Kebijakan Publik Pemanfaatan Lahan
Dalam ekonomi kapitalis klasik, lahan dimiliki sacara pribadi. Kepentingan akan lahan dilindungi dan merupakan hak yang ada di bawah konsep
hukum sendiri dan property. Para pemilik lahan berhak atas lahan miliknya. Gangguan pelanggaran hukum dan sebagainya membatasi pilihan dari pemilik lahan yang mungkin akan mempengaruhi kesejahteraan para pemilik lahan lainnya, memberikan perlindungan bagi para pemilik lahan terhadap gangguan yang dialaminya. Sejak Revolusi Industri, pembangunan cenderung mengurangi efektifitas hukum dalam menyelesaikan konflik tentang penggunaan lahan. Inovasi industri dan teknologi telah meningkatkan kapasitas para pemilik lahan menyebabkan gangguan satu dengan para pemilik lahan yang lain dan dengan bukan para pemilik lahan. Dalarn usahanya untuk menghindari gangguan dalam kemajuan industri, interpretasi gangguan dan pelanggaran hukurn dari pengadilan menjadi dipersempit, sehingga menjadi tidak efektif untuk mengendalikan eksternalitas dalam masyarakat modem. Pada saat yang sama, bertambahnya kekayaan yang karena kemajuan teknologi disebabkan oleh meningkatnya permintaan akan sumberdaya untuk memuaskan konsumen. Tempat tinggal dari suatu keluarga menjadi biasa dan dengan meningkatnya kesejahteraan, keinginan akan lahan menjadi bertambah dari waktu ke waktu. Bertambahnya permintaan akan lahan untuk tujuan rekreasi dan estetik. Suatu konsep modem tentang "the good lfe" termasuk taman kota, tempat terbuka, lingkungan yang alami dan sungai-sungai. Karena alasan-alasan di atas, konsep kebijakan penggunaan lahan (landuse policy), perencanaan penggunaan lahan (land-use planning) dan pengendalian penggunaan lahan (land-use control) yang akan membatasi konsep kepemilikan
lahan secara pribadi yang menjadi menonjol dalam diskusi publik dan di dalam kegiatan-kegiatan birokrasi, legislasi dan pengadilan. Empat (4) ha1 yang dianggap sebagai masalah dalam penggunaan lahan, antara lain : (1) Penggunaan yang tidak sesuai Hal ini terjadi dimana keputusan penggunaan lahan dari para pemilik lahan akan menyebabkan external diseconomy bagi pemilik lahan yang lain. Banyak penggunaan lahan menyebabkan external diseconomy terhadap lahan pemukiman, seperti kebisingan atau pencemaran industri; lahan pertanian seperti peternakan babi yang menyebabkan kebisingan, bau dan aliran air yang tercemar; tempat-tempat komersial seperti kedai minum, bioskop dan pompa bensin, yang menciptakan kebisingan dan kemacetan, dan banyak fasilitas umum yang kotor, seperti bandara udara, penjara dan tempt pembuangan sampah. Penggunaan lahan untuk pemuluman juga menyebabkan external diseconomy terhadap tempt pemukiman lainnya; pemukiman rumah yang
kurnuh akan menurunkan nilai perurnahan yang lebih besar; tempat tinggal yang dihuni lebih dari keluarga akan menambah kerumitan dan masalah buangan limbah, yang selanjutnya akan mengurangi nilai perurnahan di dekatnya, mahal, rumah yang dihuni keluarga tunggal, lebih umurn lagi perumahan manapun yang tidak mampu mengendalikan kebisingan dan penampakannya dibandingkan tetangga nya. Terdapat konflik antara penggunaan lahan untuk industri dan perdagangan, diantara pengguna lahan untuk industri yang berbeda-beda, dan diantara pengguna lahan untuk perdagangan yang berbeda-beda. Teknologi tinggi, industri yang "bersih", seperti industri komunikasi dan pengolahan data, menjauh dari teknologi lama yang terdekat, industri yang "kotor", seperti pengolahaan baja dan pertambangan minyak. (2) Masalah keuangan publik di pinggiran kotaldesa Terdapat suatu kelas layanan yang disuplai kepada konsumen di seltar tempat tinggalnya. Meliputi gas dan listrik untuk perumahan, buangan kotoran dan air minum, pengumpulan sampah, transportasi m u m , dan transportasi sekolah
bagi anak-anak. Jenis layanan ini sering disediakan oleh sektor publik, atau oleh aparat publik. Biaya total untuk menyediakan layanan ini lebih rendah jika tempat tinggal penduduk padat. Sebaliknya, biaya total akan lebih tinggi jika penduduk tinggal pada suatu daerah yang luas. Pola yang terakhir disebut juga "urban sprawl". Masing-masing customer dikenakan biaya untuk semua layanan tersebut, pengembang perumahan atau pembeli tidak ada insentif bagi kontribusi pengembangan penduduk yang padat. Kenyataannya, insentif bekerja pada arah yang berlawanan. Lahan, yang jauh dengan daerah perkotaan biasanya tidak mahal. Pengembang bangunan pada suatu lahan dan para pembeli nunah menikmati keuntungan dari lahan yang murah, setidaknya keuntungan estetik tempat tinggal yang dikelilingi kegiatan pertanian. Pola "leupJi.og development" ini disebabkan oleh layanan dengan biaya yang lebih tinggi.
Tarnbahan biaya ini hanya untuk tingkat yang tidak signifikan oleh pengembang atau pembeli melalui harga biaya rata-rata. Jenis inefisiensi dalam finansial layanan publik dan sarana ini disebabkan karena biaya distribusi yang tidak merata, sehingga pemukiman yang dekat dengan pusat kota terkena dampak urban spruwl dan leapfrog development di pinggiran kotafdesa. Pola pembangunan yang terjadi dapat
membuat external diseconomy (yaitu penurunan kualitas estetik daerah pinggiran, atau oleh dampak buangan yang menyebabkan masalah polusi dan banjir) dan mengubah pertanian di pinggiran desalkota, yang disebabkan oleh pengubahan lahan dari penggunaan pertanian. (3) Perusakan estetika lingkungan
Beberapa jenis lahan dengan penggunaan yang berbeda, akan menimbulkan eksternalitas ekonomi, seperti timbulnya ketidaknyarnanan bagi orang lain yang ingin menikmati keindahan alam atau ingin mencari suasana yang
menyegarkan.
Sedangkan
pemilik
lahan
berorientasi
untuk
memanfaatkan sebesar-besarnya lahan bagi kesejahteraannya. Konflik kepentingan ini terjadi antara pemilik lahan dan pengguna lahan yang menginginkan estetika. Penggunan lahan yang bukan pemilik lahan menuntut
"public interest" terhadap pemilik lahan. Perubahan pemanfaatan lahan akan memunculkan keinginan publik untuk mempertahankan lahan tertentu untuk penggunaan estetik. Contoh yang jelas adalah pada keinginan masyarakat untuk mempertahan bangunan bersejarah, atau kawasan bersejarah yang memiliki arsitektur yang unik. Muncul tekanan untuk mempertahankan lahan yang alami dan lahan-lahan bantaran sungai yang mempunyai fenomena untuk diubah menjadi lahan yang dimanfaatkan untuk perdagangan, industri atau bahkan pertanian intensif. Lebih banyak yang ingin menjaga lahan untuk pertanian, sebagai contoh : daerah pertanian Pennsylvania Dutch yang berada di daerah Pennsylvania Selatan yang padat penduduknya, dan peternakan kuda di sekitar Lexington, Kentucky. Di banyak daerah perkotaan, ada keinginan untuk menjaga lahan pertanian yang berada di sekeliling kota, karena alasan lahan pertanian dan peternakan mencerminkan daya tarik budaya estetika bagi perumahan di kota. Namun karena kepentingan ekonomi lahan-lahan irigasi dikeringkan untuk dialihfungsikan menjadi lahan perdagangan. (4) Degradasi produktivitas biologi lahan Penduduk desa dan praktisi pertanian, termasuk petani, merasa bahwa fenomena urban sprawl merupakan bentuk pemborosan pemanfaatan lahan. Mereka berpendapat bahwa pada saat seseorang menyesali terjadinya konversi lahan primer menjadi perkotaan, maka dia akan masuk dalam sistem pemanfaatan lahan yang tidak dapat diperbaruhi (unrenewable resources). Dengan meningkatnya permintaaan akan makanan dan serat, maka nilai lahan primer untuk pertanian dan hutan akan meningkat dengan cepat. Ketika terjad konversi lahan pertanian clan hutan menjadi perkotaan, maka diperlukan kearifan dan tinjauan ke masa depan akan kota yang padat dan perumahan untuk mempertahankan produktivitas biologi dari lahan sebaik mungkin. Proses alam yang sedianya berjalan sebagaimana mustinya telah diintervensi oleh manusia sedemikian rupa, sehingga alam dipaksa untuk berproduksi diluar kemampuannya. Banyak lahan yang dimanfaatkan secara berkelebihan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah (norma) yang berlaku dialam sendiri.
Pendapat lain menyatakan bahwa manusia hendaknya jangan terlalu memaksa memanfaatkan lahan secara berkelebihan. Mereka berpendapat bahwa penggunaan lahan untuk pemukiman adalah logis dalam masalah ekonomi, seperti penggunaan lahan untuk pertanian, dimana keberadaan pasar telah membuktikan bahwa lahan menyediakan utilitas bagi masyarakat di perurnahan tersebut. Beberapa orang yang menentang gagasan penggunaan lahan jangka pendek untuk produksi makanan dan serat. Sebagai contoh, menurut Sterling Brubaker, pada tahun 1973 seluruh lahan untuk perkotaan dan transportasi diperkirakan hanya 2,3 % dari seluruh lahan di Amerika. Pada periode 1967-1975, tiga juta are tanah dialihkan setiap tahun menjadi kota, transportasi dan waduk. Dari tiga juta are tanah ini, seperempatnya merupakan lahan tanaman. Lahan untuk tanarnan beberapa kali lebih besar dibandingkan konversi lahan tanaman menjadi kota dan penggunaan lainnya, tetapi sebagian diimbangi kira-kira 1,3 juta are lahan menjadi lahan tanarnan setiap tahunnya. Brubaker berharap laju perubahan lahan menjadi kota akan berkurang di masa depan sebagai urbanisasi yang lengkap, pertumbuhan populasi yang lambat dan meningkatnya harga untuk energi akan memadatkan penduduk di pusat kota. Berdasarkan statistik di atas, menunjukkan bahwa Amerika tidak segera mengalami krrsis yang ditandai dengan konversi lahan tanaman menjadi kota dan penggunaan lainnya. Meskipun demikian, terdapat pola pengalihan lahan tanaman seperti yang lsebutkan l atas. Hal yang tidak diharapkan adalah jika seluruh lahan pertanian dan hutan utama dikoversi menjadi perkotaan. Hal itu merupakan sesuatu yang beralasan bagi para ahli ekonomi bahwa ha1 tersebut memiliki harga relatif, sesuai dengan perubahan yang terjadi, yang akan memberikan insentif yang besar. Selain pertanian tradisional dan industri kayu hutan, terdapat beberapa ha1 yang berkaitan dengan pemeliharaan produktivitas biologi lahan. Setelah berabad-abad terjadinya perkembangan industri dan pertanian, maka eksistensi habitat daratan, perairan dan kelautan menjadi barang langka. Untuk mempertahankan keanekaragaman ekologi, sangat penting untuk mempertahankan
habitat yang khas tersebut. Daratan basah memiliki peranan yang penting dalam drainase permukaan dan siklus air. Perairan estuari sangat penting untuk penyediaan produksi sumber makanan laut, namun menjad tertekan karena konversi lahan tersebut menjadi perkotaan, kawasan wisata (resort) dan pembangunan tempat rekreasi. Pemeliharaan lahan ini menjadi prioritas yang penting. Beberapa jenis lahan yang status lahannya merupakan milik umum. Menjumpai kendala terutama dalam rangka melindungi lahan tersebut, baik karena tekanan pembangunan maupun pemeliharaan. Beberapa dari lahan tersebut masih menjadi milik perseoranganlpribadi. Pemeliharaannya akan menyebabkan eksternalitas ekonomi. Jika tidak ada cara untuk menginternalisasi eksternalitas ekonomi tersebut, akan menyebabkan timbulnya opportunity cost yang penuh dari pemilik lahan tersebut. Dalam kaitan tersebut resolusi konflik yang ditawarkan adalah bagaimana meningkatkan kinerja ekonomi wilayah agar penduduk lokal dapat menikmati akses yang telah diberikan insentif oleh pemerintah yaitu dengan memperluas kesempatan kerja, pasar berjalan normal, meningkatkan kinerja kelembagaan baik pemerintah dan non pemerintah. Insentif tersebut dimaksudkan agar fungsi dapat berjalan sesuai mekanisme pasar. Untuk itu perhatian kepada aspek ruang termasuk kesesuaiannya, kemampuan masyarakat untuk membayar, estetika lingkungan dan peningkatan produktivitas lahan secara efisien dapat diwujudkan termasuk alokasi dan distribusinya. 2.6.3.1 Redistribusi Lahan Kepemilikan lahan baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun swasta mulai dipertimbangkan untuk direstribusi dalarn kaitannya dengan distribusi manfaat dan peningkatan produksi pangan. Hal ini untuk menghindari terjadinya konflik pemanfaatan lahan yang tidak rasional. Menurut Todaro (1984) bahwa redistribusi hak-hak kepemilikan dan atau penggunaan lahan dapat dilakukan dengan pelbagai rnacam cara yaitu pemindahan kepemilikan (transfer of ownership) kepenyewa lahan (seperti di Cuba,Ethiopia, Jepang dan Taiwan), pemindahan lahan, (transfer of land) dari sebidang lahan
yang luas yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang kepada para petani kecil (seperti di Mexico), sumbangan sebidang lahan yang luas kepada pemukim baru (seperti di Kenya) dan perbaikan infrastruktur clan irigasi dan pembangunan yang akan datang dari kepemilikan lahan milik swasta atau negara kepada koperasi petani (seperti di China dan Tanzania). Schrnid (1996) menyatakan bahwa redistribusi lahan akan lebih berdaya guna dan berhasil apabila mempunyai hak-hak kepemilikan (property right). Hak kepemilikan dapat diartikan sebagai himpunan dari kehendak atau keinginan di antara orang-orang yang mendefinisikan kesempatan, keterbukaan terhadap aktivitas tertentu, hak-hak dan tanggung jawab mereka. Hak kepemilikan juga dapat berarti hak yang berhubungan dengan penggunaan sumberdaya - hak untuk akses ke sumberdaya dan hak untuk mendapatkan manfaat dari penggunaan dan kewajiban membayar segala bentuk biaya penggunan sumberdaya (Kula, 1995). Hak kepemilikan ini dapat dtmiliki oleh perorangan (private property righl), maupun dimiliki oleh publik (public common property righf). Menurut Anwar (1995) bahwa penegasan hak-hak akses atau kepemilikan (property right) merupakan aspek fundamental dalam sistem ekonomi khususnya dalam ekonomi pertukaran (exchange economy). Hak-hak tersebut memberikan makna bahwa akses dalam bentuk hak-hak pemanfaatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang terhadap sumberdaya (uccess to resource) menjadi sangat penting. Hal ini berbeda dengan sifat barang-barang dan jasa swasta (private goads) yang pada urnumnya dapat dipilah-pilah dan transaksi pertukarannya dapat dilakukan dalarn suatu ekonomi pasar yang bersaing. Dengan demikian komoditas dan jasa sumberdaya alam seiring memperlihatkan sifat tidak terpilahkan dimana konsumsi sumberdaya alam yang dilakukan oleh seseorang tidak mengurangi konsumsi oleh orang-orang lainnya. Sifat khusus sumberdaya alam ini sering menyebabkan terjadinya kegagalan pasar (marketfailure).
2.6.3.2 Institusi Ekonomi Resolusi konflik yang berkenaan dengan institusional mencakup bagaimana pentingnya peran pemerintah dalam mengatur hak kepemilikan umum secara rasional. Suatu pertanyaan sentral untuk pengelolaan dan pemanfaatan
lahan
di
wilayah
pesisir
adalah
bagaimana
pemerintah
melakukan
pengorganisasian dan pengimplementasian program kepada masyarakat dan bagaimana interaksinya dengan perusahaan swasta dan masyarakat yang lebih luas (Kay and Alder, 1999). Isu pokok dalam mengorganisasi kelembagaan pemerintah secara lebih efektif dan efisien adalah menyampaikan program pemanfaatan lahan yang berfokus kepada kegiatan dari pelbagai sektor pemerintah secara lebih terpadu dengan merujuk kepada acuan Rencana Tata Ruang Wilayah atau kepada yang lebih terinci seperti Rencana Rinci Tata Ruang. Persoalan institusi yang paling besar dalam kelembagaan pemerintah adalah sangat banyaknya pembagian tugas pokok dan fungsi masing-masing kelembagaan yang ada dengan pelbagai macam tanggung jawab dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Konsep pembedaan (dzferentiutzon) adalah salah satu elemen pokok tentang bagaimana pelayanan sektor publik diorganisasi. Sebagai contoh pemerintah Indonesia tidak mempunyai organisasi yang mandiri dan bertanggung jawab terhadap pengelolaan pantai tetapi menggunakan kombinasi garis kelembagaan, mengkoordinasikan kelembagaan dan non-kelembagaan (LSM). Kelembagaan struktural mempunyai tanggung jawab secara legislasi untuk mengelola pelbagai macam sektor sumberdaya pantai atau sektor. Field (1994) menyatakan bahwa masyarakat membuat keputusan produksi, konsumsi dalam seperangkat kelembagaan ekonomi dan sosial tertentu. Struktur insentif kelembagaan ini menyebabkan masyarakat membuat keputusan dalam satu arah. Dalam pengorganisasian lembaga pemerintahan dan pengimplementasian managemen pemanfaatan lahan, issu yang berkembang adalah bukan bagaimana institusi dipersiapkan, tetapi apa yang akan dicapai melalui penyiapan kelembagaan yang memadai. Fokus perhatian ini adalah dari hasil kinerja (outcome) bahwa tidak ada cara yang terbaik untuk mengorganisasi pemerintahan dalam rangka mengelola lahan. Secara praktek, penyebaran perbedaan budaya, sosial, politik dan faktor administratif mengkonfirmasikan bahwa tentu saja tidak ada cara yang terbaik jika hanya melihat dalam satu aspek saja. Para perencana dalam mempersiapkan aspek administratif mengambil keuntungan dari aspek budaya, sosial dan faktor politik dalam batas-batas kewenangannya.