8 BAB 2 LANDASAN TEORI
Pada Bab 2 akan dibahas landasan teori dan variabel-variabel yang terkait dalam penelitian ini. Variabel - variabel tersebut adalah Motivasi dan Prestasi
2.1
Motivasi 2.1.1
Pengertian Motivasi Motivasi berasal dari kata latin movere, berarti menimbulkan
pergerakan. Motivasi didefiniskan sebagai kekuatan psikologis yang menggerakan seseorang kearah beberapa jenis tindakan (Haggard, 1994 dalam Dwiwandono, 2006). Berikut ini penjabaran beberapa pengertian motivasi: Motivasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan apa yang memberikan energi bagi seseorang dan apa yang mengarahkan kegiatanya (Gage & Berliner, 1992). Motivasi mengacu pada adanya kekuatan pendorong dan penarik dalam diri yang dapat menghasilkan perilaku yang
bersemangat
dan
mengarahkan
pada tujuan
tertentu
(Morgan, King, Weisz & Schopler, 1986). Menurut
Santrock,
(2008)
motivasi
adalah
mengapa
individu
bertingkah laku, berfikir, dan memiliki perasaan dengan cara yang mereka lakukan, dengan penekanan pada arah dari tingkah laku. Motivasi melibatkan proses yang memberikan energi, mengarahkan dan mempertahankan perilaku. Dengan demikian, perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang mengandung
energi,
memiliki
arah
dan
dapat
dipertahankan.
Dari
9 pernyataan diatas, motivasi menjelaskan perilaku sesorang yang meliputi keinginan (want), kebutuhan (need), hasrat (desire), tujuan (goal), dan penghindaran (avoid), sehingga motivasi dikatakan sebagai prediksi perilaku (prediction of behavior) (Morgan, King, Weisz & Schopler, 1986). Motivasi merupakan suatu proses, yang tidak dapat diamati secara langsung. Proses yang dapat diamati adalah perilaku individunya, seperti pemeliharaan tugas-tugas, usaha yang dilakukan, ketekunan, dan suatu perwujudan dari perasaan atau pikiran ke dalam wujud kata-kata (verbalization). Sebagai suatu proses, motivasi berasal dari pembelajaran bagaimana individu menghadapi sebuah kesulitan, menghadapi berbagai masalah, kegagalan-kegagalan, dan kemunduran, guna mengejar tujuan yang tertinggal dan dilakukan berulangkali. Motivasi mencakup aktivitas fisik dan mental, dimana dalam aktifitas fisik diperlukan suatu usaha dan ketekunan, sedangkan dalam aktifitas mental diperlukan tindakan kognisi sebagai perencanaan, pengulangan, organisasi, pembuatan keputusan, dan pemecahan masalah (Pintrich & Schunk, 1996). Motivasi memegang peran penting dalam dunia pendidikan dan proses belajar mengajar, karena motivasi mempengaruhi perilaku seseorang yang meliputi apa, kapan, dan bagaimana siswa belajar. Siswa yang termotivasi kuat memiliki banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar. Siswa tersebut menunjukan minat, perhatian, dan semangat dalam melakukan aktivitas belajar, berusaha untuk berhasil, menekuni tugas, dan menggunakan strategi-strategi belajar yang efektif (Pintrich & Schunk, 1996).
10 2.1.2
Perspektif Motivasi Beberapa perspektif yang dapat mempengaruhi munculnya motivasi
melibatkan empat perspektif yaitu perspektif Ilmu perilaku, humanistis, kognitif dan sosial (Santrock, 2009). 1. Perspektif Ilmu Perilaku Perspektif ilmu perilaku, menekankan pada pemberian penghargaan dan hukuman eksternal sebagai kunci dalam menentukan motivasi seseorang. Adanya Insentif adalah stimulus, baik kejadian positif atau negatif yang dapat memotivasi seseorang. Penggunaan insentif, menekankan bahwa insentif dapat menambah minat atau rangsangan serta mengarahkan perhatian seseorang pada perilaku yang tepat dan menjauhi perilaku yang tidak tepat (Emmer, Everison, & Worsham, 2006 dalam Santrock, 2009). Insentif dapat dilakukan dengan memberikan pengakuan kepada siswa,
Sebagai
contoh:
dengan
memamerkan
hasil
kerja
mereka,
memberikan mereka sertifikat prestasi, menempatkan mereka pada daftar nama kehormatan dan secara verbal menyebutkan pencapaian mereka. Insentif lainya dapat dengan mengizinkan mereka melakukan sesuatu yang istimewa yang mereka sukai, sebagai penghargaan atas kerja keras mereka yang baik. 2. Perspektif Humanistis Menekankan pada kebebasan untuk meraih nasib mereka sendiri. Perspektif ini diasosiasikan secara dekat dengan keyakinan bahwa kebutuhan dasar harus dipenuhi sebelum kebutuhan yang lebih tinggi dapat dipuaskan. Menurut hirarki kebutuhan Maslow, Kebutuhan individu harus dipuaskan dalam urutan berikut: 1. fisiologis: rasa lapar, haus, tidur 2. rasa
11 aman seperti perlindungan dari perang dan kriminal 3. cinta dan rasa memiliki seperti keamanan, afeksi, dan perhatian dari orang lain 4. harga diri seperti merasa senang terhadap diri sendri dan hirarki yang tertinggi yaitu 5. aktualisasi diri seperti mewujudkan potensi diri. Jadi, dalam pandangan Maslow siswa harus memuaskan kebutuhan mereka agar mereka dapat berprestasi (Maslow, 1971 dalam Santrock, 2009). 3. Perspektif Kognitif Menurut
perspektif
kognitif
mengenai
motivasi,
pemikiran
mengarahkan motivasi seseorang. Hal ini berfokus pada gagasan-gagasan pada motivasi internal siswa untuk berprestasi. Seperti contoh adanya persepsi mengenai penyebab keberhasilan atau kegagalan, khususnya persepsi bahwa usaha merupakan faktor penting dalam prestasi dan keyakinan bahwa mereka dapat mengontrol lingkungan secara efektif. Pespektif
kognitif
menekankan
pada
pentingnya
penetapan
tujuan,
perencanaan, dan pemantauan kamajuan menuju suatu sasaran (Lepper, Corpus, & Iyenger, 2005; Schunk & Zimmerman, 2006 dalam Santrock, 2009). 4. Perspektif Sosial Adanya kebutuhan akan afiliasi yang merupakan motif untuk terhubung secara aman dengan orang lain. Kebutuhan akan afiliasi tercermin dalam motivasi mereka untuk menghabiskan waktu bersama teman sebaya, sahabat, kasih sayang mereka kepada orang tua dan keinginan mereka untuk memiliki hubungan positif dengan guru mereka. Siswa yang berada di sekolah dengan hubungan interpersonal yang penuh perhatian dan dukungan, mempunyai sikap dan nilai akademis yang positif dan merasa
12 lebih puas terhadap sekolah (Baker, 1999; Stipek, 2002 dalam Santrock, 2009). Salah satu faktor penting dalam motivasi dan prestasi siswa adalah persepsi mereka tentang hubungan positif mereka dengan guru (McCombs & Quiat, 2001 dalam Santrock, 2009).
2.1.3
Jenis Motivasi Motivasi dibedakan atas dua jenis, yakni motivasi intrinsik dan
motivasi ekstrinsik (Winkel, 1996): a. Motivasi Intrinsik Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya melakukan suatu tindakan (Sprinthall & Sprinthall, 1990). Motivasi Intrinsik adalah motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi hal itu sendiri (sebuah tujuan untuk diri sendiri). Disebut sebagai motivasi intrinsik karena merupakan perasaan dari dalam yang sangat efektif, kompeten, menganggap dirinya mengetahui apa yang dia inginkan dan penentuan terhadap nasib diri sendiri (Morgan, Kinf, Weisz & Schopler, 1986). Individu yang termotivasi secara intrinsik, melakukan suatu aktivitas karena keinginannya sendiri, sehingga dari aktivitas tersebut ia akan memperoleh kepuasan (Pintrich & Schunk, 1996). Motivasi Intrinsik dapat terlihat saat seseorang bekerja dengan mudah karena adanya dorongan dari dalam diri sendiri untuk menyelesaikan tugas dengan baik, diluar konteks apakah ada imbalan atau nilai yang didapatkan atau tidak ada (Pintrich & Schunk, 1996). Individu dengan motivasi belajar intrinsik tidak membutuhkan hadiah atau
13 hukuman untuk membuat mereka belajar, karena aktivitas belajar itu sendiri sudah menyenangkan untuk mereka dan mereka menikmati akan tugasnya untuk belajar, sehingga mereka merasa sudah memperoleh pencapaian dari prestasinya (Woolfolk, 2005). Sumber motivasi intrinsik meliput faktor-faktor internal, seperti minat (interest), kebutuhan (needs), kenikmatan (enjoyment), dan rasa ingin tahu (curiosity). Individu yang termotivasi secara intrinsik, cenderung memilih tugas yang cukup sulit dan menantang karena mereka yakin mereka dapat mengerjakanya lebih baik (Woolfolk, 2005).
b. Motivasi Ekstrinsik Motivasi ekstrinsik (extrinsic motivation) adalah hal atau keadaan yang datang dari luar diri siswa yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar, seperti pujian dan hadiah, peraturan atau tata tertib sekolah, suri tauladan orang tua, guru, dan seterusnya (Sprinthall & Sprinthall, 1990). Motivasi ekstrinsik adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain (sebuah cara untuk mencapai suatu tujuan). Motivasi ekstrinsik seringkali dipengaruhi oleh insentif eksternal seperti pemberian penghargaan dan hukuman. Hamalik, (2005) menyatakan motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang disebabkan oleh faktor-faktor dari luar situasi belajar, seperti: angka, ijazah, tingkatan, hadiah dan medali. Sedangkan yang bersifat negatif ialah ejekan (ridicule) dan hukuman. Individu dengan motivasi belajar yang ekstrinsik, tidak terlalu tertarik pada aktivitas itu sendiri, melainkan hanya peduli pada apa yang dapat
14 diperoleh (imbalan/keuntungan) dari aktivitas itu (Woolfolk, 2005). Sehubungan dengan aktivitas yang dilakukan seseorang, motivasi ekstrinsik seringkali menjadi pengarahan tujuan (goal directed) dan prioritas suatu tujuan (goal oriented), karena individu yang bersangkutan terdorong oleh hal-hal di luar dirinya, seperti reward atau punishment (Pintrich & Schunk, 1996). Individu termotivasi melakukan suatu aktivitas demi alasan tertentu, karena motivasi intrinsik ini bersumber pada faktor-faktor eksternal, seperti imbalan, pujian (reward), tekanan sosial (social pressure), atau penghindaran diri dari hukuman (punishment) (Woolfolk, 2005). Seseorang dengan kecenderungan motivasi ekstrinsik, bukanlah semata-mata bentuk motivasi yang berasal dari luar diri siswa, misalnya dari orang tua, guru atau teman saja tetapi, motivasi ini berawal dari suatu kebutuhan yang dihayati oleh diri sendiri, walaupun bisa saja orang lain memegang peranan dalam menumbuhkan motivasi itu. Maka yang khas pada motivasi ekstrinsik bukanlah pada ada atau tidak adanya pengaruh dari luar, melainkan apakah kebutuhan yang ingin dipenuhi pada dasarnya hanya dapat dipenuhi melalui belajar atau sebetulnya juga dapat dipenuhi dengan cara lainya (Winkel, 1996). Bentuk dukungan dari luar seperti orang tua, guru dan teman sangat berpengaruh besar terhadap motivasi sesorang untuk berprestasi, telah ditemukan penelitian bahwa guru memiliki hubungan kuat dengan prestasi (r = 0,561, p = 0,035). Hal ini dikarenakan guru mengajarkan siswanya sehari-hari dan mereka menyiapkan bahan ajaran sebelum
15 mengajar di kelas sehingga secara tidak langsung guru berperan dalam pencapaian prestasi siswa. Hal ini juga diikuti oleh lingkungan pertemanan yang memiliki hubungan positif dengan prestasi siswa (r, =. 471 p = 0,045) dari data penelitian, siswa dapat membentuk kelompokkelompok diskusi dengan teman mereka, sehingga saling membantu dalam memecahkan masalah dalam belajar. Oleh karena itu, penelitian menunjukkan bahwa orang tua, guru, dan teman secara signifikan berkorelasi dengan prestasi siswa. (Yahaya N, Yahaya ,Ramli, Hasyim & Zakariya, 2010). Penjelasan diatas, memperlihatkan bahwa penelitian tersebut memiliki hubungan yang positif dan memperoleh nilai signifikansi yang baik. Motivasi ekstrinsik tetap diperlukan dalam dunia pendidikan ataupun sekolah, sebab pembelajaran di sekolah tidak semuanya menarik minat, atau sesuai dengan kebutuhan siswanya, sehingga dengan adanya pemberian motivasi secara eksternal dapat menjadikan alternatif untuk menarik minat siswa agar berkeinginan untuk belajar dan berprestasi. Dari penjelasan mengenai jenis motivasi diatas, pada penelitian ini peneliti memfokuskan pada teori motivasi dari Woolfolk, (2005). Woolfolk mengungkapkan bahwa motivasi intrinsik meliputi: minat (interest), kebutuhan (needs), kenikmatan (enjoyment), dan rasa ingin tahu
(curiosity).
Sementara
motivasi
ekstrinsik
meliputi:
imbalan
(insentive), pujian (reward), tekanan sosial (social pressure) atau penghindaran diri dari hukuman (punishment). Penjabaran dimensi motivasi adalah sebagai berikut:
16 Tabel 2.1.3.1: Dimensi Motivasi Intrinsik Dimensi
Definisi Minat adalah perasaan senang saat melakukan kegiatan yang dihadapi tanpa pengaruh dari
Minat (interest)
orang lain. Rasa senang tersebut timbul dari dalam diri sendiri. Kebutuhan adalah keinginan untuk mencapai sesuatu.
Kebutuhan (needs)
Serta
melakukan
atas
keinginan
mereka sendiri yang merupakan kebutuhan mereka. Kenikmatan adalah perasaan menikmati dan
Kenikmatan
bahagia yang mendalam. Ketika siswa merasa
(enjoyment)
tertantang
dan
merasa
bahwa
mereka
mempunyai keterampilan tingkat tinggi. Rasa ingin tahu adalah ketertarikan terhadap Rasa ingin tahu (curiosity)
suatu hal dalam lingkungan fisik yang menarik perhatian kita.
Tabel 2.1.3.2: Dimensi Motivasi Ekstrinsik Dimensi
Definisi Imbalan adalah pemberian pengakuan kepada sesorang baik berupa kehormatan, memamerkan
Imbalan (insentive)
hasil kerja yang baik, memberikan mereka sertifikat prestasi
dan
secara
verbal
menyebutkan
17 pencapaian mereka. Pujian adalah pemberian penghargaan secara verbal mengenai kemampuan seseorang yang Pujian (reward)
menguasai sesuatu. Serta adanya pengharapan dari kemampuan tersebut. Tekanan Sosial adalah adanya tekanan dalam diri yang bersumber dari lingkungan seperti orang tua, teman dan lain sebagainya.
Tekanan sosial (social pressure)
Penghindaran diri dari hukuman adalah bentuk reinforcement
negatif
yang
diberikan
dengan
atau Penghindaran
harapan agar siswa tersebut mau merubah diri dan
diri dari hukuman
berusaha memacu motivasi belajarnya. Bentuk
(punishment)
hukuman yang diberikan kepada siswa adalah hukuman yang bersifat mendidik seperti mencari artikel, mengarang dan lain sebagainya.
2.1.4
Hubungan Antara Motivasi Ekstrinsik Dengan Motivasi Intrinsik Dalam berbagai aspek, motivasi ekstrinsik dan intrinsik saling
berkaitan. Sehingga dapat saja saling memperkuat atau melemahkan (Wigfield 1992 dalam Santrock, 2009). Adapun hubungan antara motivasi ekstrinsik dengan intrinsik menurut Santrock, (2009) sebagai berikut: 1. Dalam motivasi ekstrinsik, ketika sebuah penghargaan yang diberikan kepada siswa yang menguasi suatu kemampuan, perasaan kompetensi siswa kemungkinan akan meningkat, sehingga dapat meningkatkan motivasi intrinsik siswa. Tetapi umpan balik negatif atau kritik yang membawa
18 informasi bahwa siswa tidak kompeten, dapat melemahkan motivasi intrinsik, khususnya jika mereka meragukan kemampuan mereka sendiri untuk menjadi kompeten dalam prestasi. 2. Penghargaan ekstrinsik dapat berguna mengubah perilaku, akan tetapi dalam sejumlah situasi, penghargaan juga dapat melemahkan pembelajaran. Dalam satu studi, siswa yang telah mempunyai minat yang kuat dalam seni dan tidak mengharapkan penghargaan, menghabiskan waktu lebih lama untuk dapat berkreasi dan mengekspresikan minat tersebut dibandingkan siswa yang juga telah mempunyai minat kuat dalam seni, tetapi mengetahui bahwa mereka akan diberi penghargaan untuk hasil karyanya. 3. Penghargaan nyata berupa bintang, emas atau uang yang diberikan secara tidak terduga sesuai pada kinerja dan terselesaikanya tugas dengan baik, dapat mempertahankan motivasi intrinsik.
2.1.5
Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi McClelland, (1996) dalam Woolfolk, (2005) menjelaskan mengenai
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap motivasi, yakni: 1. Harapan orang tua terhadap anaknya Orang tua yang mengharapkan anaknya berjuang guna mencapai sukses, akan memotivasi anak tersebut bertingkah laku yang mengarah pada pencapaian prestasi. 2. Pengalaman pada tahun-tahun pertama kehidupan Adanya perbedaan pengalaman masa lalu pada setiap orang, menyebabkan
terjadinya
variasi
terhadap
tinggi
rendah-nya
kecenderungan untuk berprestasi. Hal ini biasanya dipelajari pada
19 masa kanak-kanak awal, melalui interaksi dengan orang tua dan orang lain yang dianggap penting (significant others). 3. Latar belakang budaya tempat seseorang dibesarkan Bila dibesarkan pada budaya yang menekankan pada pentingnya keuletan, kerja keras, sikap inisiatif dan konpetitif, serta situasi yang selalu mendorong individu untuk memecahkan masalah secara mandiri tanpa ada rasa takut gagal. Maka dalam diri seseorang akan berkembang hasrat ber-prestasi yang tinggi. 4. Peniruan tingkah laku (modeling) Melalui pengamatan dalam belajar (observational learning), anak mengambil atau meniru berbagai karakteristik dari model, termasuk dalam kebutuhan berprestasi bila model tersebut memiliki motivasi dalam derajat tertentu.
2.2
Prestasi Kata
prestasi
berasal
dari
bahasa
Belanda
‘prestatie’,
yang
bila
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi prestasi yang berarti hasil usaha. Berikut ini beberapa definisi prestasi: Prestasi adalah perilaku yang berorientasi pada tugas yang memungkinkan kinerja individu untuk dievaluasi menurut beberapa kriteria internal maupun eksternal yang melibatkan individu dalam bersaing dengan orang lain dan memiliki standar keunggulan (Smith, 1969; Spence & Helmreich, 1983 dalam Morgan dkk, 1986). Prestasi adalah suatu keinginan untuk meraih keberhasilan dengan syarat tinggi (McClelland 1979, dalam Risdar Kahar, Hirmaningsih, & Mukhlis, 2008).
20 Prestasi adalah standart test untuk mengukur kecakapan atau pengetahuan bagi seseorang didalam satu atau lebih, baik dalam pekerjaan atau belajar. Dalam kamus populer prestasi ialah hasil sesuatu yang telah dicapai (Purwodarminto, 1994 dalam Risdar Kahar, Hirmaningsih, & Mukhlis, 2008). Jadi,
prestasi
merupakan
perilaku
dengan
tingkatan
tertentu
yang
berorientasi kepada tugas yang berupa keahlian individu dalam menghadapi berbagai persaingan, guna mencapai standar keunggulan. Selain itu pula, prestasi merupakan tingkat kemampuan aktual yang dapat diukur, baik berupa penguasaan ilmu pengetahuan, sikap, maupun keterampilan tertentu yang dicapai seseorang sebagai hasil pembelajaran disekolah (Gage & Berliner, 1992). Menurut (McClelland 1979 dalam Risdar Kahar, Hirmaningsih, & Mukhlis, 2008) pada dasarnya dalam diri setiap orang terdapat kebutuhan untuk melakukan perbuatan dalam memperoleh hasil yang sebaik-baiknya. Kebutuhan ini disebut kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement) dan mendorong individu untuk melakukan perbuatan sebaik mungkin. Dengan demikian, setiap manusia memiliki kualitas tingkatan motivasi berprestasi yang berbeda satu dengan yang lainya. Motivasi yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah motivasi berprestasi, dimana seseorang berjuang untuk mencapai sukses atau memilih suatu kegiatan yang berorientasi untuk tujuan sukses atau gagal (McClelland & Atkinson, 2003 dalam Risdar Kahar, Hirmaningsih, & Mukhlis, 2008). Motivasi berprestasi adalah suatu usaha untuk mencapai sukses, yang bertujuan untuk berhasil dalam kompetisi dengan suatu ukuran keunggulan (McClelland & Atkinson, 2003 dalam Risdar Kahar, Hirmaningsih, & Mukhlis, 2008). Menurut (Heckhausen, 2003 dalam Risdar Kahar, Hirmaningsih, & Mukhlis, 2008) motivasi berprestasi adalah suatu usaha untuk meningkatkan atau
21 mempertahankan kacakapan pribadi setinggi mungkin dalam segala aktivitas dan suatu ukuran keunggulan yang digunakan sebagai pembanding dan dapat diamati. Beberapa hal yang dapat diamati dari seseorang yang termotivasi untuk berprestasi seperti: 1) Memiliki keyakinan dan kepercayaan dalam menghadapi tugas yang berhubungan dengan prestasi. 2) Mempunyai sifat yang lebih berorientasi kedepan, dan lebih dapat menangguhkan
pemuasan
untuk
mendapatkan
penghargaan
(reward) pada waktu kemudian. 3) Memilih tugas yang kesukaranya sedang. 4) Tidak suka membuang-buang waktu. 5) Dalam mencari pasangan lebih suka memilih orang yang mempunyai kemampuan dari pada orang yang simpatik. 6) Lebih tangguh dalam mengerjakan suatu tugas.
Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan, maka penelitian dapat menyimpulkan bahwa motivasi berprestasi adalah usaha yang mendorong siswa untuk berhasil dalam meningkatkan dan mempertahankan kecakapan pribadi di segala bidang, termasuk bidang akademis dengan standard keunggulan.
2.2.1
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Suatu prestasi dapat muncul oleh beberapa proses yaitu intrinsic dan
extrinsic motivation, attribution, mastery motivation, self efficacy, goal setting, planning, self monitoring dan expectation (Santrock, 2008). Proses tersebut sangat berpengaruh terhadap pencapaian prestasi seseorang. Setiap siswa
22 mencapai suatu prestasi dikarenakan didukung oleh beberapa hal. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat dibagi menjadi dua golongan yakni, faktor internal; yang berasal dari dalam diri individu dan faktor eksternal; yang berasal dari luar diri individu. Menurut (Gage & Berliner, 1992) banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, namun peneliti membatasinya dalam prestasi siswa secara akademis yaitu: a. Faktor Internal (1) Intelegensi Intelegensi memiliki peranan yang besar terhadap tinggi rendahnya prestasi yang dicapai oleh siswa. Siswa dengan tingkat intelegensi tinggi lebih mudah untuk mempelajari sesuatu dibandingkan dengan tingkat intelegensi rendah. Namun, tidak selalu taraf intelegensi sejalan dengan keberhasilan prestasi. Adakalanya siswa dengan taraf intelegensi tinggi memiliki prestasi akademik yang rendah. Dengan demikian, keberhasilan dalam pendidikan tidak saja ditentukan oleh faktor intelegensi, namun juga ditentukan oleh faktor lain. (2) Bakat Khusus Bakat khusus merupakan kemampuan yang menonjol dalam bidang pembelajaran tertentu. Merupakan sesuatu yang dibentuk dalam kurun waktu yang cukup panjang dalam rentang kehidupan dan merupakan perpaduan dari taraf intelegensi secara umum, komponen intelegensi tertentu, pengaruh pendidikan dalam keluarga dan disekolah, serta minat dari individu itu sendiri. Gage & Berliner, (1992) menyatakan bahwa
23 bakat dapat dijadikan sebagai predikor perilaku dan prestasi belajar individu di masa mendatang. (3) Motivasi Motivasi belajar merupakan suatu keinginan dalam diri individu yang mendorong serta mengarahkannya untuk melakukan sesuatu kegiatan belajar demi tercapainya tujuan dan kesuksesan yang diinginkan. Motivasi merupakan salah satu faktor yang menentukan apakah seseorang
akan
mendapatkan
pengetahuan,
pemahaman,
serta
keterampilan yang diinginkan. (4) Sikap Sikap memegang peran dalam pengambilan keputusan dan tindakan. Siswa yang memandang bahwa sekolah atau bidang studi tertentu merupakan sesuatu yang sangat bermanfaat bagi dirinya, maka ia akan memiliki sikap positif. Sebaliknya, bila ia memandang semua itu sebagai sesuatu yang tidak berguna, maka ia akan memiliki sikap yang negatif. (5) Minat Minat sebagai suatu perasaan suka atau tidak suka terhadap suatu kegiatan. Bila seseorang siswa merasa tertarik pada suatu bidang atau pokok bahasan tertentu, maka ia akan senang mempelajari materi atau pembelajaran yang diberikan. (Winkel, 1988 dalam Gage & Berliner, 1992). (6) Kondisi Fisik Kondisi fisik dapat menentukan (mendukung atau menghambat) keberhasilan individu dalam belajar guna mencapai prestasi. Kondisi
24 kesehatan yang selalu mengganggu atau adanya gangguan pada alat indra, dapat mengganggu kegiatan belajar individu.
(7) Perhatian Bila seseorang anak perhatiannya tertuju pada apa yang diterangkan gurunya dengan baik, maka ia dapat memahami hampir semua konsep yang diterangkan. Sama halnya dengan mambaca buku di tengah keramaian. Bila perhatian kita tertuju dengan baik pada buku yang dibaca, maka kita dapat mengabaikan suara-suara yang ada.
b. Faktor Eksternal (1) Lingkungan Rumah Pola asuh orang tua, status sosial ekonomi orang tua, dan lingkungan sosial budaya, sangat menentukan dalam keberhasilan mencapai prestasi. (2) Lingkungan Tempat Proses Belajar Prasarana dan sarana yang dimiliki tempat proses pembelajaran, dalam hal ini biasanya sekolah atau rumah memegang peranan penting dalam
menentukan keberhasilan
belajar siswa.
Selain
itu
pula,
keterampilan dan semangat guru dan orang tua dalam mengajar dan membimbing turut menentukan prestasi belajar siswa (Cole & Chan, 1878 dalam Gage & Berliner, 1992). (3) Faktor Situasional Faktor
situasional
adalah
suatu
keadaan
yang
timbul
dan
mempengaruhi pelaksanaan proses pembelajaran, namun tidak menjadi
25 tanggung jawab langsung dari pendidik atau siswa (Winkel dalam Gage & Berliner, 1992). Keadaan yang termasuk dalam faktor situasional antara lain seperti keadaan politik ekonomi, sosial budaya, politik, keadaan musim dan iklim, alokasi waktu, dan sebaginya. Faktor-faktor ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
2.3
Remaja 2.3.1
Karakteristik Remaja Akhir Definisi tentang masa remaja memerlukan pertimbangan mengenai
usia dan pengaruh faktor sejarah. Remaja diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis dan sosial emosional (Santrock, 2003). Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 tahun sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18 tahun dan 22 tahun (Santrock, 2003). Banyak ahli perkembangan yang menggambarkan remaja sebagai masa remaja awal dan akhir. Masa remaja akhir menunjuk pada kira-kira setelah usia 15 tahun hingga 22 tahun. Minat pada karir, pacaran, dan eksploitasi identitas seringkali lebih nyata dalam masa remaja akhir ketimbang dalam masa remaja awal (Santrock, 2003). Remaja merupakan salah satu tahap dalam rentang kehidupan manusia. Remaja berada pada tahap identity versus identity confusion. Identity versus identity confusion adalah tahap perkembangan yang dialami individu selama masa remaja. Pada tahap ini, individu dihadapkan pada pertanyaan siapa mereka, mereka ini sebenarnya apa, dan kemana arah tujuan hidup mereka. Pada tahap ini banyak peran baru yang menyangkut
26 tanggung jawab, baik tanggung jawab pekerjaan, tugas sekolah, karir maupun asmara (Santrock, 2003). Pembentukan identitas tidak terjadi secara teratur. Pada batasan tertentu, pembentukan identitas meliputi komitmen terhadap suatu arah, ideologi, dan orientasi seksual. Selama bertahun-tahun keputusan yang diambil pada masa remaja, membentuk inti dari individu sebagai manusia yang disebut identitas (Santrock, 2003). Pada usia 11 hingga 18 tahun, remaja ada dalam tahap tentatif dari perkembangan karir, dimana mengarahkan pada tahap pengambilan keputusan yang realistis. Kemajuan remaja terlihat mulai dari mengevaluasi minat mereka (usia 11 hingga 12 tahun), lalu mengevaluasi kemampuan mereka (usia 13-14 tahun), sampai mengevaluasi nilai mereka (usia 15 hingga 16 tahun). Pemikiran telah berubah dari yang kurang subjektif hingga pilihan karir yang lebih realistik pada usia 17 dan 18 tahun (Ginzberg, 1991 dalam Santrock, 2009).
2.3.2
Hubungan Motivasi Dengan Prestasi Remaja Motivasi berprestasi adalah kebutuhan diri sendiri untuk berprestasi,
di luar keinginan untuk mendapatkan imbalan secara eksternal (McClelland, Atkinson, Clark & Lowell dalam Elliott, Kratochwill, Cook & Travers, 2000). Siswa yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi selalu berkeinginan mengerjakan
tugas-tugasnya,
mereka
yakin
bahwa
mereka
dapat
menyelesaikan dengan upaya yang keras dan keteguhan (Eccles dalam Elliott, Kratochwill, Cook & Travers, 2000 dalam Santrock, 2009).
27 Remaja adalah masa yang penting dalam hal prestasi (Henderson & Dweck dalam Santrock, 2003). Tekanan sosial dan akademis mendorong remaja kepada beragam peran yang mesti mereka bawakan. Peran yang menuntut tanggung jawab yang besar. Prestasi menjadi hal yang sangat penting bagi remaja karena remaja mulai menyadari bahwa pada saat inilah mereka dituntut untuk menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Mereka mulai melihat kesuksesan atau kegagalan masa kini untuk meramalkan keberhasilan di kehidupan mereka nanti sebagai orang dewasa. Dengan meningkatnya tekanan tersebut pada remaja, mereka seringkali memiliki ambisi pada bidang tertentu untuk menghadapi pencapaian prestasi dibidang lain, seperti ketika prestasi akademik justru menimbulkan penolakan sosial (Ishiyama & Chasbassol, 1993 dalam Santrock, 2003). Remaja dalam perkembanganya dituntut untuk berprestasi dimana kesuksesan dinilai penting. Individu untuk mencapai kesuksesan dituntut untuk bersaing, ingin menang, memiliki motivasi untuk melakukan yang terbaik dan mengusahakan apapun untuk mengatasi masalah dan tekun mengatasi rintangan. Kita dapat melihat dari berbagai “Potret Remaja” mengenai betapa pentingnya orientasi berprestasi pada remaja dari berbagai latar belakang yang berbeda (Santrock, 2008). Remaja bisa menyesuaikan diri dengan efektif atau tidak pada dunia akademis dan tekanan dari lingkungan, banyak ditentukan oleh faktor motivasi dan psikologis. Prestasi remaja tidak hanya ditentukan oleh kemampuan intelektual saja, tetapi juga kemampuan yang lain seperti contoh siswa yang cerdas, dipandang siswa yang lebih tekun dalam membuat tugas, lebih yakin dengan kemampuan mereka sendiri untuk dapat memecahkan
28 masalah dan menjadi siswa berprestasi, tetapi seringkali siswa cerdas juga memperlihatkan kecenderungan motivasi yang adaptif misalnya siswa yang cerdas memperlihatkan kecenderungan berprestasi yang kurang misalkan lebih mudah putus asa dan tidak yakin dengan kemampuan akademisnya sendiri, sehingga cenderung menjadi siswa yang berprestasi rendah (Santrock, 2008). Oleh karena itu, faktor motivasi dan pembentukan psikologis masa remaja merupakan hal yang saling berhubungan. Sehingga pada faktor ini merupakan suatu yang penting dalam hubungannya dengan pencapaian prestasi siswa.
2.4
Homeschooling Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menyebut homeschooling
adalah sekolah rumah, kadangkala juga diterjemahkan dengan istilah sekolah mandiri. Homeschooling merupakan salah satu alternatif dan buah dari pencarian sistem pendidikan alternatif yang paling sesuai untuk anak. Homeschooling termasuk model pendidikan yang digunakan sebagai alternatif institusi sekolah. (Sumardiono, 2007). Mendefinisikan mengenai apa yang dimaksud dengan homeschooling, tidak mudah untuk melakukannya karena tidak ada sebuah definisi tunggal mengenai homeschooling karena model pendidikan yang dikembangkan di dalam homeschooling sangat beragam dan bervariasi (Sumardiono, 2007). Pendidikan homeschooling sangat beragam dan bervariasi ditandai dengan beberapa metode pembelajaran di homeschooling. Menteri Pendidikan Nasional menyatakan, terdapat beberapa metode untuk pembelajaran
di
homeschooling
(Akuntono,
2011
dalam
Kompas,
2011).
Pembelajaran di homeschooling memiliki tiga metode yaitu pertama adalah
29 homeschooling tunggal atau komunitas. Pada metode ini, siswa belajar seperti pendidikan formal tetapi dengan dengan waktu belajar yang fleksibel. Kedua homeschooling majemuk atau tutorial, dimana para orang tua mengundang tenaga pengajar yang ahli untuk mengajarkan berbagai hal kepada anak-anaknya. Hal ini dilakukan karena orang tua tidak memiliki cukup waktu karena terlalu sibuk bekerja atau pun karena orang tua tidak merasa percaya diri dengan kemampuan mereka untuk mengajar anaknya di homeschooling. Ketiga, homeschooling asosiasi atau mandiri, dimana jenis ini memayungi dua jenis homeschooling lainnya. Para orang tua diberikan kebebasan untuk mengajarkan anaknya dan mereka (orangtua) juga diberikan advokasi untuk terjun langsung serta bertanggungjawab penuh atas pendidikan anaknya (Hughes, 2011 dalam Kompas, 2011). Masyarakat dan para orang tua masih merasa khawatir untuk menerapkan homeschooling kepada anak-anaknya dikarenakan ijazah seperti apa yang akan diperoleh anak mereka bila masuk dalam homeschooling. Menurut Mendiknas, para orang tua tidak perlu khawatir, anak-anak homeschooling dapat menggunakan jalur ujian paket A, B dan paket C untuk memperoleh ijazah guna melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dimungkinkan juga anak-anak homeschooling dapat ikut bergabung dengan pendidikan formal (Akuntono, 2011 dalam Kompas, 2011). Homeschooling memiliki persamaan-persamaan dengan sekolah lainnya, antara lain sama-sama bertujuan untuk mengantarkan anak-anak pada pencapaian terbaik dan merupakan sarana untuk mengantarkan anak-anak pada tujuan pendidikan (Sumardiono, 2007). Dilihat dari sistem pembelajaran, homeschooling dan sekolah memiliki perbedaan-perbedaan. Pada sistem sekolah, tanggung jawab pendidikan anak didelegasikan orang tua kepada guru dan sekolah, peran orang tua dan keluarga cukup minim karena sistem pendidikan dijalankan oleh sekolah dan
30 guru, di sekolah sistem yang ada sudah mapan, sistem di sekolah telah terstandarisasi untuk memenuhi kebutuhan anak, dan pada sekolah jadwal belajar telah ditentukan. Sedangkan pada homeschooling tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya di tangan orang tua, peran orang tua sangat vital untuk menentukan keberhasilan pendidikan anak, dibutuhkan komitmen dan kreativitas orang tua untuk melaksanakan
model
pembelajaran
homeschooling,
sistem
pembelajaran
disesuaikan dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga serta jadwal belajar dapat fleksible tergantung kesepakatan orang tua dan anak (Sumardiono, 2007). Melihat adanya kesamaan dan perbedaan antara homeschooling dan sekolah, dapat dilihat bahwa homeschooling dan sekolah memiliki kekurangan dan kelebihan. Kelebihan homeschooling adalah customized, sesuai dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga. Sedangkan kekurangan homeschooling adalah membutuhkan komitmen dan keterlibatan yang tinggi dari orang tua serta memiliki kompleksitas yang lebih tinggi karena orang tua bertanggung jawab atas semua proses pendidikan anak, anak homeschooling tidak terekspos dengan pergaulan yang heterogen secara sosial karena itu, ada resiko kurangnya kemampuan siswa bekerja dalam tim, organisasi, kepemimpinan, dan perlindungan orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi sosial dan masalah yang kompleks yang tidak dapat terprediksi (Sumardiono, 2007). Terlepas dari kekurangan maupun kelebihannya, homeschooling terus berkembang dengan berbagai alasan yaitu semakin banyak orang tua memilih anakanak mereka masuk homeschooling dikarenakan kekhawatiran tentang keamanan, tingginya biaya pendidikan swasta, dan keinginan orang tua untuk menanamkan nilai-nilai moral dan agama secara mandiri (Alam, 2011). Menurut Mendiknas, biaya homeschooling yang masih dapat dijangkau, serta anak menderita sakit ataupun
31 ada masalah-masalah tertentu yang membuat anak-anak memang harus menjalani pendidikan secara homeschooling (Kompas, 2011). Selain itu, dengan homeschooling orang tua dapat memperkuat ikatan antara anggota keluarga sehingga orang tua dapat melawan modernisasi dan dampak lingkungan yang negatif pada anak mereka, seperti pengaruh obat-obatan terlarang dan juga merokok. Selain alasan tersebut diatas, homeschooling diminati karena adanya kenangan yang tidak menyenangkan semenjak anak mereka sekolah di sekolah formal seperti dengan guru ataupun dengan teman (Mayberry dan Knowles, 1989 dalam Arai, 2000). Homeschooling diminati juga karena adanya penelitian yang mengatakan bahwa orang tua mengganggap sekolah hanyalah membuang buang waktu dan banyak dari orang tua juga memiliki pengalaman positif dari belajar di luar sekolah sehingga mereka ingin menerapkan pengalaman tersebut kepada anak-anak mereka (Knowles, 1991 dalam Arai, 2000).
2.5
Kerangka Befikir Dan Hipotesis 2.5.1
Kerangka Berfikir Kerangka berfikir adalah uraian pemikiran yang terstruktur dengan
benar. Kerangka berfikir peneliti dalam membuat penelitian ini bermula dari ketertarikan peneliti dalam dunia pendidikan. Pendidikan dianggap suatu hal yang penting bagi pencapaian seseorang baik dalam prestasi maupun pekerjaan. Indonesia juga mementingkan pendidikan, terbukti dengan dibutuhkannya sumber daya manusia yang berkualitas dengan standard kelulusan minimal sarjana. Tujuan pendidikan adalah mengembangkan kemampuan, meningkatkan mutu bangsa, menjadikan SDM berkualitas, terampil dan potensial. Pendidikan di Indonesia memiliki dua jenis yaitu
32 pendidikan formal dan pendidikan non formal. Pendidikan formal adalah pendidikan yang dilakukan didalam sekolah dengan pendidikan secara umum. Sedangkan pendidikan non formal adalah pendidikan yang dilakukan di luar sekolah. Salah satu sekolah non formal adalah homeschooling. Homeschooling merupakan model pendidikan alternatif selain sekolah. Model pendidikan ini memiliki beberapa keuntungan maupun kerugian. Salah satu keuntungan homeschooling adalah waktu belajar anak lebih fleksibel, kedekatan dengan keluarga, terhindar dari pengaruh buruk lingkungan negatif dan sebagainya. Homeschooling memfasilitasi siswa dengan jenjang sekolah dasar hingga sekolah menangah atas. Pada tahap sekolah menengah atas, siswa homeschooling berada pada tahap remaja. Tahap remaja merupakan tahap yang penting dalam pendidikan, karena remaja memiliki tuntutan lingkungan untuk dapat berprestasi lebih baik. Prestasi merupakan hal yang penting dalam dunia pendidikan. Prestasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain dipengaruhi oleh faktor: intrinsic dan extrinsic motivation, attribution, mastery motivation, self efficacy, goal setting, planning, self monitoring dan expectation (Santrock, 2008). Dari beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi, peneliti memfokuskan penelitian pada faktor motivasi. Menurut Woolfolk, (2005) motivasi terbagi menjadi 2 jenis yaitu motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Dari penjelasan diatas, maka akan diteliti hubungan antara motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik dengan prestasi siswa SMA homeschooling Windsor. Peneliti juga mencantumkan bagan kerangka berfikir dalam lampiran penelitian.
33 2.5.2
Hipotesis Agar dapat menjawab masalah penelitian, maka peneliti harus
menyusun suatu hipotesis. Hipotesis ini nantinya akan mengarahkan penelitian. Maka, dalam penelitian ini, peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut:
Ha 1
: Terdapat hubungan antara motivasi intrinsik dengan prestasi siswa SMA homeschooling Windsor.
Ha 2
: Terdapat hubungan antara motivasi ekstrinsik dengan prestasi siswa SMA homeschooling Windsor.
Ho 1
: Tidak terdapat hubungan antara motivasi intrinsik dengan prestasi siswa SMA homeschooling Windsor.
Ho 2
: Tidak terdapat hubungan antara motivasi ekstrinsik dengan prestasi siswa SMA homeschooling Windsor.