7
BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap perkembangan khususnya pada tahapan dewasa muda, hubungan romantis, attachment dan tipe attachment. 2.1
Dewasa Muda
2.1.1
Definisi Dewasa Muda Dewasa muda merupakan salah satu tahapan dalam perkembangan kehidupan
manusia. Masa dewasa muda diawali dengan masa transisi dari masa remaja menuju masa dewasa yang melibatkan eksperimentasi dan eksplorasi yang disebut sebagai emerging adulthood (Arnett dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2005). Perkembangan dewasa dibagi menjadi tiga yaitu, dewasa muda (young adulthood) dengan usia berkisar antara 20 sampai 40 tahun. Dewasa menengah (middle adulthood) dengan usia berkisar antara 40 sampai 65 tahun dan dewasa akhir (late adulthood) dengan usia mulai 65 tahun ke atas (Papalia, Olds, & Feldman, 2005) Ada beberapa tugas perkembangan dewasa muda, yaitu (Turner & Helms dalam Dariyo, 2008): 1. Mencari dan memilih pasangan hidup 2. Belajar menyesuaikan diri dan hidup secara harmonis dengan pasangan 3. Mulai membentuk keluarga dan memulai peran baru sebagai orangtua 4. Membesarkan anak dan memenuhi kebutuhan mereka 5. Belajar menata rumah tangga dan memikul tanggung jawab
8
6. Mengembangkan karir atau melanjutkan pendidikan 7. Memenuhi tanggung jawab sebagai warga Negara 8. Menemukan kelompok sosial yang sesuai Dari tugas perkembangan diatas terlihat bahwa tugas terpenting dari dewasa muda adalah untuk membentuk hubungan intim yang dekat dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Erickson, dimana permasalahan utama individu yang berada dalam tahap perkembangan dewasa muda adalah intimacy versus isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk membuat komitmen pribadi maupun dengan orang lain. Jika tidak berhasil maka ia dapat mengalami isolasi dan tenggelam dalam dirinya sendiri (Papalia, Olds, & Feldman, 2005) Ada beberapa batasan usia dewasa muda yang dikemukakan oleh beberapa tokoh. Levinson (dalam Berk, 2007) membagi masa dewasa muda menjadi 4 sub periode dengan batasan usia 17 - 40 tahun, sebagai berikut : 1. Peralihan masa dewasa awal : 17 - 22 tahun 2. Memasuki masa dewasa : 22 - 28 tahun 3. Peralihan usia 30 tahun : 28 - 33 tahun 4. Puncak dari kehidupan dewasa muda : 33 - 40 tahun Namun dalam penelitian ini, akan digunakan rentang usia menurut Levinson dari 20-30 tahun. Hal ini dikarenakan, seseorang telah dianggap memasuki tahap peralihan masa dewasa.
9
2.2
Hubungan Romantis / Love Relationship Banyak sekali istilah yang dipakai untuk mendiskripsikan hubungan romantis.
Salah satunya definisi hubungan romantis oleh Acevedo & Aron (dalam Strong, Devault, & Cohen, 2011) Romantic love dikombinasikan dengan intimasi dan passion. Hal ini sama seperti pendekatan dengan teman dekat (romantic partner), tetapi romantic love lebih intensif baik secara fisik maupun emosional. Romantic love berkembang dari sebuah persahabatan (friendship) sehingga lama-kelamaan akan mempunyai intimasi dengan romantic partner. Menurut Sternberg (dalam Bird & Merville, 1994) hubungan romantis berbentuk Triangles yang saling berhubungan satu sama lain: Gairah (passion), Keintiman (intimacy) dan komitmen. Berdasarkan pernyataan tersebut, romantic love diartikan sebagai hubungan yang saling melibatkan ketergantungan yang kuat, sering bersama di dalam bermacam-macam aktifitas dan saling menyatukan pikiran dan perasaan dalam suatu periode waktu. Menurut Strong, Devault, & Cohen (2008), close relationship lebih dikenal love relationship atau hubungan romantis (romantic relationship) merupakan salah satu fondasi dari hubungan intim yang seseorang jalani di dalam perkembangan hidup seseorang. Hubungan romantis dideskripsikan sebagai kedekatan hubungan yang individu jalani di dalam berbagai macam hubungan di dalam kehidupan. Selain intimate relationship diekspresikan melalui kedekatan hubungan dengan keluarga dan teman, love relationship atau hubungan romantis dengan romantic partner.
10
Tahap-tahap di dalam proses dating atau hubungan romantis. Tahap-tahap tersebut dibagi menjadi 4 tahap sebagai berikut: 1. Single adalah beragam populasi termasuk tidak pernah menikah, pernah menikah namun terpisah karena kematian dan cerai (Bird & Melville, 1994). 2. Courtship adalah pertemuan antara dua orang yang khusus dirancang untuk berkembang menjadi komitmen perkawinan (Bird & Melville, 1994). Di Indonesia, Courtship lebih dikenal dengan istilah pacaran. 3. Engagement adalah seseorang sudah matang untuk menjadikan pasangannya sebagai calon pendamping hidupnya. Maka, biasanya dirinya memberi simbol seperti cincin dan membuat pesta untuk memberitahukan kepada orang lain bahwa mereka berdua akan segera menikah (Duvall & Miller dalam Asrianti, 1985). 4. Marriage adalah individu yang sudah mempunyai komitmen pernikahan untuk membentuk keluarga dengan orang yang dicintai (Bird & Melville, 1994).
2.3
Attachment
2.3.1
Definisi Attachment Bowlby adalah tokoh pertama
yang melakukan penelitian dan mengemukakan
teori mengenai attachment dan tetap menjadi dasar teori bagi penelitian-penelitian lanjutannya. Bowlby mengemukakan bahwa attachment adalah ikatan emosional yang dialami oleh anak ketika berinteraksi dengan figur tertentu, dimana anak menginginkan kedekatan dengan figur tersebut dalam situasi-situasi tertentu seperti ketika ketakutan dan kelelahan (Bowlby dalam Mikulincer & Shaver, 2007)
11
Hazan dan Shaver mengekplorasi ide Bowlby mengenai attachment. Menurut Hazan dan Shaver, ikatan emosional yang berkembang pada hubungan romantis di masa dewasa memiliki fungsi yang sama dengan ikatan emosional antara anak dengan pengasuhnya (Feeney & Noller, 1996).
2.3.2
Perkembangan Teori Attachment Bowlby mengungkapkan bahwa attachment merupakan perjalanan panjang setiap
individu mulai dari masa bayi sampai ia meninggal. Freud (dalam Santrock, 2000) mengatakan bahwa bayi memiliki ikatan emosi dengan seseorang atau suatu objek yang memberikan kenikmatan secara oral. Erikson (dalam Santrock, 2000) menyatakan bahwa tahun pertama kehidupan merupakan kunci dari pembentukan dalam perkembangan attachment. Bowlby (dalam Mikulincer & Shaver, 2007) juga menekankan pentingnya attachment pada tahun pertama kehidupan dan respon dari pengasuh. Bowlby (dalam Mikulincer & Shaver, 2007) juga menyatakan bahwa bayi dan pengasuhnya (caregiver) membentuk attachment. Bowlby (dalam Berk, 2006) menyatakan bahwa ada empat fase penting dalam perkembangan attachment pada diri seseorang. Fase tersebut ialah fase pre attachment, fase kedua ialah attahment in making, fase ketiga dikenal dengan sebutan clear cut attachment, dan fase keempat ialah goal corrected partnership Fase pre-attachment terjadi dari lahir sampai masa enam minggu pertama usia bayi. Pada fase ini, bayi melakukan interaksi dengan orang dewasa melalui genggaman, tangisan, senyuman dan tatapan. Bayi juga sudah mampu untuk mengenali senyum dan suara ibunya atau pengasuhnya (caregiver). Ia memang belum menunjukkan ikatan
12
attachment pada orang-orang di dekatnya. Hal ini juga terlihat melalui perilaku bayi yang tidak menghiraukan jika diasuh oleh orang yang tidak dikenalinya. Fase berikutnya, yaitu fase attachment in making. Bayi memasuki usia enam minggu sampai enam bulan. Pada fase ini bayi masih menunjukkan perilaku yang sama dengan perilaku pada fase sebelumnya. Namun, bayi hanya menunjukkan perilaku tersebut pada orang – orang tertentu saja. Pada usia ini bayi akan mengembangkan sense of trust Pada usia enam bulan sampai dua tahun, bayi memasuki fase clear cut attachment. Bayi mulai menunjukkan bentuk attachment, seperti marah atau protes bila pisah dari pengasuhnya. Pada akhir tahun pertama, bayi lebih dekat lagi dengan orang – orang yang sudah dikenalnya dan menurutnya dapat memberikan respon positif pada kebutuhannya, baik kebutuhan makan, kontak maupun perawatan fisik. Fase goal corrected partnership, berlangsung dari usia dua tahun sampai dewasa. Pada fase ini anak sudah menyadari bahwa ada hal lain yang harus dikerjakan oleh orang tua selain memelihara dan menyayangi mereka, sehingga anak tidak lagi terlalu tergantung pada pengasuh atau orang tuanya. Anak juga lebih memahami kegiatan pengasuh atau orang tuanya. Memasuki usia remaja, anak mulai menunjukkan ketertarikan pada lawan jenis. Selanjutnya, pada usia dewasa, individu tidak hanya merasakan adanya ketertarikan pada lawan jenis, tetapi juga memikirkan untuk membentuk keluarganya sendiri. Hubungan yang kuat antara tipe attachment dengan caregiver anak dan romantic love pada saat individu tersebut dewasa, sangat saling berhubungan antara keduanya. Hubungan yang kuat tersebut adalah di mana sosok attachment hadir dan bersikap
13
responsif, individu akan merasa aman. Jika sosok attachment tidak hadir, individu akan memberikan sinyal atau mendekat hingga perasaan aman tersebut dapat dirasakan kembali (Feeney & Noller, 1996). Morris (dalam Feeney & Noller, 1996) menyatakan bahwa pada masa dewasanya, pola attachment antara pengasuh (caregiver) dan anak akan menjadi prototipe untuk hubungan intim dengan seorang individu dalam kehidupan selanjutnya, dan terdapat juga hubungan yang kuat antara pola ambivalent attachment dan pemilihan pasangan hidup yang tidak bijaksana dan juga pernikahan yang disfungsional.
2.3.3
Perkembangan Teori Attachment Pada Masa Dewasa Setiap individu memiliki ikatan dengan orang lain, tetapi setiap individu memiliki
kualitas ikatan berbeda. Ada individu yang cepat untuk akrab atau dekat dengan orang baru, tidak malu untuk memulai suatu percakapan, jika memiliki pasangan akan merasa nyaman dan tenang dengan keberadaan pasangannya. Tetapi ada juga individu yang sulit untuk membina suatu hubungan dengan orang lain, baik berupa hubungan percintaan atau hubungan pertemanan. Individu seperti ini biasanya pemalu dan tidak pernah berani untuk mengekpresikan perasaannya. Ia juga biasanya merasa takut jika memiliki pasangan. Ia merasa pasangannya akan berlaku tidak jujur terhadap dirinya. Ainsworth (dalam Mikulincer & Shaver, 2007) melakukan penelitian yang disebut dengan strange situation. Strange Situation adalah meneliti kedekatan antara orang dewasa (ibu) dengan anaknya. Melalui penelitian ini didapatkan tiga jenis attachment yaitu secure attachment, avoidant attachment dan anxious/ambivalent attachment.
14
Penelitian akan teori attachment dalam konteks hubungan romantis dewasa pertama kali dilakukan oleh Hazan & Shaver (dalam Mikulincer & Shaver, 2007). Mereka mengatakan bahwa hubungan romantis merupakan proses attachment. Mereka menemukan tiga tipe attachment yang terdapat pada individu dewasa berdasarkan sejarah pengalaman pengasuhan individu di masa kecilnya dengan menggunakan selfreport. Pertama, secure attachment dimiliki oleh individu yang pada masa kanak-kanaknya memiliki hubungan yang akrab dengan kedua orang tua, ketika dewasa menjadi pribadi yang mudah bergaul, percaya diri, memiliki hubungan yang romantis dan penuh kasih dengan pasangannya. Kedua, avoidance attachment dimiliki oleh individu yang pada masa kanakkanaknya sering mendapat perlakuan yang dingin, tidak bersahabat, dan bahkan penolakan dari ibunya, ketika dewasa mereka takut akan keintiman dengan pasangan dan kesulitan menerima kekurangan pasangan. Ketiga, anxiety
attachment dimiliki oleh
individu yang pada masa kanak-kanaknya memiliki pengalaman dengan ayah yang dipandang kurang adil, ketika dewasa menjadi individu yang kurang percaya diri, mudah jatuh cinta, tetapi sulit menemukan cinta sejati, penuh rasa ingin memiliki pasangan, penuh rasa cemburu, penuh dengan hasrat seksual dan emosional. Perkembangan teori akan tiga tipe attachment Hazan & Shaver (dalam Mikulincer & Shaver,2007) yang dilakukan Bartholomew & Horowitz dengan menggunakan metode wawancara. Dalam penelitian Bartholomew & Horowitz, menemukan adanya perbedaan karakteristik individu yang tergolong memiliki tipe avoidant attachment. Individu yang diklasifikasikan ke dalam pola avoidant attachment ternyata tidak merasa tertekan dalam hubungan romantis dan tidak menganggap penting sebuah hubungan romantis. Hasil
15
penelitian ini berbeda dengan penelitian Hazan & Shaver yang menemukan bahwa individu dengan avoidant attachment merasa tertekan dalam hubungan romantis dan merasa tidak nyaman ketika berhubungan dekat dengan orang lain. Perbedaan hasil dari karakteristik individu dewasa yang diklasifikasikan dalam pola avoidant attachment ini yang akhirnya mendorong penelitian-penelitian selanjutnya untuk menggali lebih dalam akan pola-pola attachment pada individu dewasa. Penelitian selanjutnya akan tipe attachment pada hubungan romantis dewasa dilakukan oleh Bartholomew & Horowitz (dalam Mikulincer & Shaver, 2007). Mereka melanjutkan penyelidikan didasarkan oleh pandangan akan working models of attachment yang dikemukakan oleh Bowlby. Ia mengemukakan bahwa working models of attachment terdiri dari dua dimensi yang melandasi pola-pola attachment pada individu dewasa, yang terdiri dari: 1. Models of self yang menggambarkan penilaian akan seberapa berharganya diri sehingga memunculkan harapan bahwa orang lain akan memberi respon terhadap mereka secara positif. 2. Models of others yang menggambarkan penilaian seberapa orang lain dapat dipercaya dan diharapkan untuk memberikan dukungan dan perlindungan yang dibutuhkan. Bartholomew & Horowitz (dalam Mikulincer & Shaver, 2007) mengemukakan bahwa dua dimensi yaitu models of self dan models of others bersifat orthogonal atau tidak berhubungan satu sama lain, dan keduanya dapat didikotomisasi menjadi positif atau negatif. Kombinasi dari model of self dan models of others dapat dikombinasikan untuk menjelaskan empat pola attachment dalam hubungan romantis dewasa yang terbentuk.
16
Berikut gambaran kombinasi dua dimensi attachment (models of self dan models of others) dan empat pola attachment (dalam Feeney & Noller, 1996) pada bagan di bawah ini Gambar 2.1 Gambar Pola Attachment dewasa dan Working Models of Attachment High Avoidance
Dismissing Avoidant
Fearful Avoidant
Low Anxiety
High Anxety
Secure
Preoccupied
Low Avoidance
a. Secure Attachment Berdasarkan gambar 2.1, terlihat bahwa individu dengan secure attachment memiliki representasi mental akan diri (model of self) yang positif dan akan orang lain (model of others) yang juga positif. Individu ini juga memiliki tingkat ketergantungan terhadap pasangan atau teman dekat (dependency) yang rendah, disertai pula dengan tingkat menghindari kedekatan dengan orang lain (avoidance) yang rendah. Hal ini disebabkan kerena pada dasarnya individu ini memilki kecintaan terhadap dirinya sendiri,
17
menganggap bahwa dirinya pantas untuk mendapat perhatian dari orang lain dan juga memiliki harapan bahwa orang lain akan menerima dan memberikan perhatian terhadap ekspresi cintanya (Bartholomew & Horowitz, dalam Mikulincer & Shaver, 2007). Feeney & Noller (1996) juga mengatakan bahwa individu yang secure merasa nyaman akan kedekatan dengan pasangannya dan tidak memiliki kecemasan akan keberlangsungan hubungannya. b. Preoccupied Attachment Berdasarkan gambar 2.1, terlihat bahwa individu dengan preoccupied attachment memiliki model of self yang negatif dan model of others yang positif. Individu ini juga memiliki tingkat ketergantungan terhadap pasangan (dependency) yang tinggi, disertai pula dengan tingkat menghindari kedekatan dengan orang lain (avoidance) yang rendah. Hal ini disebabkan kerena pada dasarnya individu ini merasa dirinya tidak berharga dan cenderung berusaha secara keras dan terusterusan untuk dapat menerima keadan dirinya sendiri dengan cara mendapatkan pengakuan dan penilaian tinggi dari pasangan romantisnya, yang akhirnya membuat ia menjadi tergantung dengan pasangannya (Bartholomew & Horowitz, dalam Mikulincer & Shaver, 2007). Feeney & Noller (1996) mengatakan bahwa individu preoccupied ini merasa nyaman
akan
kedekatan
dengan
pasangannya
dan
sangat
mencemasi
akan
keberlangsungan hubungan dengan pasangannya. c. Avoidant-Fearful Attachment Berdasarkan gambar 2.1, terlihat bahwa individu dengan avoidant-fearful attachment memiliki model of self yang negatif dan model of others yang negatif. Individu ini juga memiliki tingkat ketergantungan terhadap pasangan (dependency) yang tinggi,
18
disertai pula dengan tingkat menghindari kedekatan dengan orang lain (avoidance) yang tinggi. Hal ini disebabkan kerena pada dasarnya individu ini menilai dirinya tidak pantas untuk dicintai, ia melihat tidak terdapatnya cinta dari orang lain, dan ia justru mengharapkan mendapatkan penolakan dari pasangan romantisnya. Dalam Feeney & Noller (1996) dikatakan bahwa individu dengan attachment ini sebenarnya sangat menginginkan keintiman tetapi ia memiliki ketakutan yang tinggi akan disakiti dan mendapat penolakan, sehingga ia tidak nyaman akan kedekatan memilih untuk menghindari hubungan intim yang memungkinkannya mengalami kehilangan dan penolakan.
d. Avoidant-Dismissing Attachment Berdasarkan gambar 2.1, terlihat bahwa individu dengan attachment avoidantdismissing memiliki model of self yang positif dan model of others yang negatif. Individu ini juga memiliki tingkat ketergantungan terhadap pasangan (dependency) yang rendah, disertai pula dengan tingkat menghindari kedekatan dengan orang lain (avoidance) yang tinggi. Hal ini disebabkan kerena pada dasarnya individu ini memiliki self esteem yang tinggi, tetapi ia sangat menjaga dirinya dari kekecewaan akan hubungan romantis dengan cara menghindari hubungan romantis, menjaga kualitas kemandirian dengan selalu mengandalkan dirinya sendiri sehingga tak mudah disakiti oleh orang lain. Feeney & Noller (1996) mengatakan bahwa individu dismissing ini merasa tidak nyaman akan kedekatan dengan pasangannya dan tidak mencemasi keberlangsungan hubungannya karena ia tidak terlalu menganggap penting arti hubungan.
19
Persamaan dari individu dengan avoidant-dismissing attachment dan avoidantfearful attachment adalah mereka sama-sama merasa tidak nyaman akan kedekatan hubungan dan cenderung menghindarinya. Perbedaan utama yang membedakan dua pola tersebut berasal dari penilaian mereka akan keberhargaan dirinya. Individu dengan avoidant-dismissing attachment menilai dirinya berharga dan individu ini berusaha mempertahankan harga dirinya dengan mengandalkan diri sendiri dan menjaga kemandirian diri. Hal ini membuat mereka tidak bergantung pada pasangan, tidak mencemaskan hubungan, menghindari kedekatan karena kurang menganggap penting suatu hubungan. Sedangkan individu dengan avoidant-fearful attachment menilai dirinya sendiri tidak berharga, sehingga mereka mencari harga dirinya dari penilaian positif orang lain terhadap dirinya. Hal ini membuat ia sangat tergantung dengan pasangan dan membuat mereka sangat mencemaskan hubungan karena di tengah kebergantungan itu mereka juga sangat takut ditinggalkan oleh pasangannya (Griffin & Bartholomew dalam Mikulincer & Shaver, 2006).
2. 4
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Attachment Ainsworth (dalam Feeney dan Noller, 1996) mengemukakan bahwa ada beberapa
hal yang akan mempengaruhi pembentukan attachment dalam diri seseorang. Faktor – faktor tersebut antara lain ialah pengalaman masa lalu, keturunan, dan jenis kelamin. a. Pengalaman masa lalu berkaitan dengan kehidupan seseorang sebelum seseorang memasuki usia dewasa. Perlakuan orang tua dan orang-orang di sekitar individu tersebut akan mempengaruhi dirinya dalam membangun attachment dalam dirinya. Kejadian yang ia alami sejak masih kecil sampai memasuki dewasa
20
muda, akan menjadi peristiwa yang dapat membentuk attachment pada diri seseorang. Perpisahan atau kehilangan orang–orang yang disayangi juga akan menjadi aspek yang dapat membentuk attachment pada diri seseorang. Maka dapat dikatakan bahwa perceraian orang tua juga akan mempengaruhi pembentukan attachment pada diri seseorang. b. Faktor keturunan. Gen memang belum dapat dipastikan sebagai pembawa sifat keturunan
dari
attachment.
Keturunan
dikatakan
dapat
mempengaruhi
pembentukan attachment karena cenderung anak untuk melakukan meniru orang tuanya. Anak akan meniru hal yang mereka lihat, tidak hanya yang dilakukan oleh orang tua tetapi oleh orang–orang di sekitarnya. Anak melihat dan melakukan hal tersebut berulang–ulang. Pada akhirnya anak akan meniru tidak hanya perilaku tetapi juga disertai emosi yang sama dengan figur yang ia contoh c. Jenis kelamin juga menjadi faktor yang membentuk attachment pada diri seseorang. Feeney dan Noller (1996) menyatakan bahwa wanita memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan pria. Di dalam hubungan percintaan, tingkat kecemasan ini akan mempengaruhi kualitas hubungan seseorang dengan pasangannya. Selain tiga faktor yang disebutkan oleh Ainsworth (dalam Feeney & Noller, 1996), Collins & Read (dalam Feeney & Noller, 1996) juga menyatakan bahwa attachment style dapat berubah secara signifikan karena terjadinya suatu peristiwa di dalam keluarga, seperti meninggalkan rumah, pernikahan, perceraian, atau meninggalnya pasangan.