Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 2, Nomor 1, Januari 2014
Responsifitas Perencanaan Anggaran Yang Berperspektif Gender dalam Program Beasiswa Santri Berprestasi Kementerian Agama Republik Indonesia Zainuddin1 Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga
Abstract Gender Responsive Planning and Budgeting (PPRG) is the concrete step of gender mainstreaming mandated by Presidential Decree No. 9 of 2000 (Inpres nomor 9 tahun 2000). Gender Responsive intended to respond to the needs, aspirations, demands and life experiences of men and women which it was different into a particular policy strategy. This is a global commitments contained in the Millennium Development Goals (MDGs). This study aimed to describe and elaborate of planning and budgeting in Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI in gender perspective. The writer used descriptive qualitative method to conduct in-depth interviews, and relevant documents. The data obtained and analyzed by the model of categorization, attribution category and then interpreted theoretically. The results obtained show that the planning and budgeting of PBSB not equipped with a gender analysis or it can be a neutral. It could be happened because some requirements of gender responsive budget still not fulfilled yet. In addition, PBSB as a policy that is not accompanied by gender analysis was showed gender performance. It can be proven by the number of participants that was balanced between men and women. Therefore, PBSB was the category of policy that aimed as general policy objective. Keywords: gender responsive planning and budgeting (PPRG), PBSB, gender equity
Pendahuluan Gender merupakan konstruksi sosial tentang relasi laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan oleh sistem di mana keduanya berada (Nugroho, 2008:19). Oleh karenanya, konstruksi gender pada satu masyarakat dengan masyarakat yang lain pastilah memiliki perbedaan. Perbedaan ini yang kemudian menimbulkan sejumlah masalah yang merugikan salah satu kelompok gender terutama perempuan dengan adanya ketidak-adilan dan ketimpangan. Ketidakadilan dan ketimpangan gender akan membawa dampak pada sejumlah bidang kehidupan sosial lainnya. Diantaranya adalah masalah kesehatan, pendidikan, perekonomian dan bahkan cakupan mikro dalam keluarga. Dampak yang ditimbulkan dari relasi gender yang tidak adil dan tidak seimbang diantaranya adalah tingkat pendidikan perempuan yang lebih rendah dari pada laki-laki. Tercatat oleh BPS bahwa penduduk perempuan berumur 10 tahun ke atas dan 15 tahun ke atas yang mengalami buta huruf adalah dua kali lebih banyak dibandingkan dengan penduduk laki-laki. Dari 100 penduduk perempuan berumur 10 tahun ke atas dan 15 tahun ke atas, ada sebanyak 8 dan 9 orang yang buta huruf. Sedangkan penduduk laki-laki hanya 4 dan 5 orang yang buta huruf (Susenas 2010).Implikasi dari rendahnya pendidikan perempuan diantaranya adalah kurangnya kesadaran akan kesehatan mereka sehingga menimbulkan angka kematian ibu yang tinggi, terbatasnya perempuan dalam memperoleh pekerjaan, dan terbatasnya perempuan untuk memegang peranperan pada ranah publik.
Oleh karena itu, isu gender menjadi sangat penting untuk menciptakan pembangunan yang berkeadilan dan tentunya dapat mencapai kesejahteraan masyarakat yang didambakan.Millenium Development Goals (MDGs) telah mencantumkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai agenda global yang harus dicapai pada tahun 2015. Usaha untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender kemudian dirumuskan dalam kerangka kebijakan pengarusutamaan gender yang kemudian diterjemahkan ke dalam sejumlah tindakan nyata. Dalam konteks Indonesia, hal ini diterjemahkan ke dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender. Kemudian disusul dengan sejumlah kebijakan lainnya yang menjadikan pengarusuutamaan gender sebagai salah satu pilar dalam pembangunan nasional. Instruksi presiden ini juga mengamanatkan bahwa aspek gender harus disertakan dalam setiap bidang dan setiap tahapan dari kebijakan pemerintah. Ujung dari pengarusutamaan gender adalah diterapkannya perencanaan dan penganggaran responsif gender yang diharapkan menjadi instrumen untuk mencapai kebijakan yang responsif gender. Sehingga kebijakan-kebijakan ini dapat mengurangi kesenjangan dan ketidakadilan gender yang ada dalam masyarakat. Berkaitan dengan relasi gender yang tidak seimbang, masyarakat pesantren memiliki keunikan sendiri. Pesantren dianggap sebagai lembaga dengan sejumlah aktifitas keagamaan dan akademis yang memiliki potensi terjadi ketidakadilan dan ketimpangan gender.Hal ini terjadi karena sikap beberapa guru dan pengasuh yang cenderung
1
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 2, Nomor 1, Januari 2014
membedakan perangender laki-laki. Sikap ini terutama berasal dari serangkaian kegiatan dan pembiasaan di sekitar mereka tentang bagaimana perempuan dalam berperilaku maupun diperlakukan selama ini(Fitria dan Helmi, 2011). Namun meskipun demikian disinyalir bahwa sikap ini tidak menjadi mainstream karena nilai agama yang dipelajari justru adil gender. Sebagai lembaga pendidikan tertua di negeri ini, pesantren memiliki peran penting dalam masyarakat.Baik menyangkut fungsi utamanya sebagai lembaga pendidikan atau sebagai lembaga sosial yang memengaruhi kehidupan masyarakat.Namun kenyataan yang ada selama ini pesantren seolah tidak mendapatkan perhatian yang besar dari negara ini, terbukti dengan kebijakan dan program pemerintah sangat sedikit sekali yang mengarah pada pengambangan pesantren. Oleh karena itu pada tahun 2005 pemerintah melalui Kementerian Agama telah menggulirkan suatu kebijakan afirmasi terhadap santri pondok pesantren untuk memperluas akses memasuki perguruan tinggi negeri dan swasta yang berkualitas di Negeri ini.Kebijakan ini yang kemudian disebut dengan Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) yaitu program pembiayaan bagi santri pondok pesantren untuk menikmati pendidikan pada perguruan tinggi-perguruan tinggi negeri dan ternama di negeri ini. Seiring berjalannya waktu, PBSB telah banyak menyedot perhatian pesantren untuk berpartisipasi.Sehingga jumlah pendaftar selalu sangat besar pada tiap tahunnya, sedangkan kuota yang tersedia sangatlah terbatas yaitu sekitar 399 setiap tahunnya.Padahal jumlah santri pondok pesantren seluruh Indonesia mencapai 3.759.198 orang.Tentu ini perbandingan yang sangat jauh sekali. Dalam kaitannya isu gender dalam pesantren, pertanyaan yang muncul adalah seberapa jauh PBSB mampu mengakomodir kepentingan santri laki-laki dan perempuan dalam kerangka kebijakannya? Apakah perencanaan anggaran PBSB telah responsif gender?Mengingat bahwa masyarakat pesantren dalam beberapa studi dinyatakan sebagai masyarakat yang rawan terjadi ketimpangan gender. Karena hal ini akan berdampak pada pencapaian tujuan PBSB yaitu untuk memperluas akses santri masuk perguruan tinggi. Dalam terminologi gender mainstreaming perluasanakses ini harus mengakomodir kepentingan santri laki-laki dan perempuan. Sehingga keduanya memperoleh kesempatan yang sama, dan memperoleh perhatian yang sama besarnya.Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan
perencanaan anggaran pada Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) dalam perspektif responsifitasnya terhadap gender.Sehingga manfaat yang akan diperoleh secara praktis adalah dapat ikut serta memecahkan masalah dalam kebijakan-kebijakan yang terdapat permasalah relasi gender. Sedangkan secara akademis yaitu memperkaya khazanah keilmuan administrasi negara khusus dalam studi anggaran responsif gender sebagai fenomena ilmiah. Anggaran Responsif Gender Anggaran resonsif gender maksudnya adalah aggaran yang disusun dan disyahkan dalam proses analisis gender. Secara garis besar, anggaran responsif gender dapat didefinisikan sebagai usaha untuk memastikan dan menjamin agar anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah beserta kebijakan dan program yang mendasarinya dilaksanakan untuk menjawab kebutuhan setiap warga negara dari kelompok manapun, baik laki-laki maupun perempuan. Anggaran Responsif Gender (ARG)dapat juga didefinisikan sebagai anggaran yang merespon kebutuhan, permasalahan, aspirasi dan pengalaman perempuan dan laki-laki yang tujuannya untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender (FITRA, 2013). Secara lebih spesifik anggaran responsif gender berfokus pada analisis relasi laki-laki dan perempuan menyangkut akses, manfaat, control, dan partisipasi keduanya. Kementerian Keuangan telah merumuskan kebijakan ini dalam sejumlah peraturan menteri keuangan sebagai panduan operasional pelaksanaan pengarusutamaan gender dalam setiamlembaga negara. Diantaranya adalah PMK Nomor 112/PMK.02/2012 Tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga. Agar pengarusutamaan genderdengan melakukan perencanaan anggaran responsif gender dapat berjalan secara efektif, maka diperlukan beberapa syarat berikut ini: Kemauan politik Kerangka kerja kebijakan Struktur, mekanisme dan proses-proses kelembagaan; panduan; mekanisme evaluasi kerja. Sumber daya manusia yang sadar, peka, dan responsif gender. Dana yang cukup dan responsif gender Data terpilah menurut jenis kelamin, kuantitatif dan kualitatif berperspektif gender
2
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 2, Nomor 1, Januari 2014
Indicator gender untuk mengukur keberhasilan kebijakan, program, kegiatan pelayanan publik yang responsif gender. Kerangka konseptual gender sebagai pisau analisis. Alat untuk melakukan analisis gender terhadap kebijakan, program, kegiatan, dan pelayanan publik. (Siti Hidayati Amal, 2007;21). Untuk mengetahui apakah suatu anggaran sudah bisa dikatakan responsif gender atau bias gender atau bahkan buta gender, maka paling tidak dengan menjalankan langkah-langkah praktis analisis berikut ini: - Menggambarkan atau memetakan kondisi lakilaki dan perempuan, anak perempuan dan lakilaki menurut kelompok yang berbeda (situation). - Menelaah dan melihat apa ada kebijakan yang tersedia yang mempertimbangkan gender (policy). - Menetapkan anggaran untuk pembiayaan program dan proyek yang berdampak gender (budget). - Melihat hasil dan manfaat (outcome, benefit) dari program dan proyek yang dilaksanakan dari sisi manfaat untuk masyarakat. - Menguji dampak dari belanja atau pengeluaranpengeluaran yang telah diimplementasikan, misalnya apa program sesuai tujuan (impact) yang ditetapkan, apa terjadi perubahan peningkatan kesejahteraan masyarakat?. (Rinusu, 2007:104) Dengan demikian, dapat diketahui apakah suatu kebijakan/ program atau kebijakan telah memperhatikan aspek gender atau belum.Dengan berdaarkan analisis di atas, maka suatu kebijakan/ program atau kegiatan dapat dikategorikan ke dalam salah satu kategori kebijakan berdasarkan tujuan gendernya.Diantaranya adalah tujuan kebijakan umum (general policy objective), tujuan kebijakan yang digenderkan (engendered policy objective), tujuan kebijakan yang responsif gender (gender responsif policy objective), dan tujuan khusus untuk perempuan (women-specific policy objective) (Amal, 2007:20).Secara garis besar, tujuan kebijakan adakalanya merupakan tujuan kebijakan umum yang bermaksud memperbaiki kualitas keduanya antara perempuan dan laki-laki. Sedangkan tujuan kebijakan yang digenderkan adalah tujuan kebijakan umum juga yang tidak secara eksplisit menyebutkan langkah pengurangan ketidak seimbangan relasi gender dalam objek sasaran yang ingin dituju. Kemudian tujuan kebijakan responsif gender adalah kebijakan yang
selalu dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam beberapa aspek pembangunan, dan yang terahir adalah tujuan khusus untuk perempuan artinya adalah kebijakan yang memang ditujukan secara khusus untuk kesejahteraan perempuan, secara khusu kebijakan itu melakukan pemberdayaan untuk perempuan. Dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, maka penelitian ini diharapkan mampu menggali informasi dengan detail melalui wawancara mendalam dan studi data sekunder yang relevan pada Direktorat Pendidikan Diniyyah dan Pondok Pesantren (Direktorat PD Pontren) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama yang mengelola Program Beasiswa Santri Berprestasi.Pemilihan informan dilakukan dengan teknik purposive dengan menuju pada beberapa aparatur di lingkungan Direktorat PD Pontren dan Ditjen Pendis.Hasil dari pencarian data itu kemudian diolah dengan teknik triangulasi dan kategorisasi data.Agar data yang diperoleh dapat diperiksa keabsahannya dan kemudian dianalisis dan diinterpratasi secara teoritik untuk mendapatkan hasil penelitian ini. Responsifitas Perencanaan Anggaran Program Beasiswa Santri Berprestasi Dalam Perspektif Gender Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) adalah program afirmasi perluasan akses santri pondok pesantren terhadap perguruan tinggi negeri dan swasta ternama di negeri ini.Program ini digulirkan pertama kali oleh Direktorat Pendidikan Diniyyah dan Pondok Pesantren pada tahun 2005 dengan menggandeng 2 perguruan tinggi negeri saja yaitu UIN Syarif Hidayatullah dan Institut Pertanian Bogor.Peserta pada tahun pertama berjumlah 33 orang dengan jumlah laki-laki 15 orang sedangkan perempuan berjumlah 18 orang.Sampai pada tahun 2013 atau tahun ke 9 pelaksanaan PBSB, jumlah peserta mencapai 3050 orang yang tersebar di 17 Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta yang menjadi mitra dari Kementerian Agama dalam pelaksanaan program ini. Jumlah ini terdiri dari 1547 orang lakilaki dan 1503 orang perempuan. Dari total semuanya, yang telah menyelesaikan pendidikannya sebanyak 1526 orang, ada 67 orang yang tercatat berhenti akibat mengundurkan diri, drop out dan meninggal, sisanya 1457 orang masih sedang menempuh pendidikan baik strata 1 (S1) maupun pendidikan Profesi.
3
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 2, Nomor 1, Januari 2014
Jumlah peserta PBSB antara laki-laki dan perempuan masih seimbang, atau tidak ada perbedaan signifikan.Bahkan pada perguruan tinggi tertentu jumlah perempuan jauh lebih tinggi dari pada lakilaki.Hal ini terjadi pada Universitas Airlangga dengan jumlah perempuan sebanyak 184 sedangkan jumlah laki-laki hanya 79 orang.Demikian juga yang terjadi pada UIN Syarif Hidayatullah dengan jumlah perempuan sebanyak 207 orang sedangkan laki-laki berjumlah 114 orang. Jumlah laki-laki dan perempuan yang seimbang dan justru lebih banyak perempuan ini menunjukan adanya persamaan akses dan perlakuan yang sangat berkeadilan gender. Karena masyarakat pesantren yang dipersepsikan publik sebagai masyarakat yang memegang teguh prinsip patrilineal, ternyata partisipasi perempuan dalam pendidikan sama tingginya dengan partisipasi perempuan. Bahkan dalam beberapa hal perempuan lebih unggul.Hal ini diperkuat lagi dengan adanya data santri pondok pesantren dari kategori belajar pendidikan formal yang menjadi sasaran PBSB. Kategori belajar ini terdiri dari madrasah dan sekolah umum dengan jumlah 1.540.839 dan 395.732 kalau digabungkan sudah melebihi 50% jumlah santri keseluruhan. Jumlah itupun ternyata lebih banyak perempuan dari pada laki-laki. Pada kategori belajar madrasah, jumlah perempuan mencapai 50,86%, dan pada kategori sekolah umum sebanyak 52,21%. Data-data inilah yang ternyata menjadi acuan dari pihak pengelola PBSB untuk tidak menyertakan analisis gender dala dokumen PBSB. Artinya dalam konteks PBSB tidak diperlukan adanya afirmasi gender karena kesetaraan dan keadilan gender pada masyarakat sasaran telah tercapai. Namun untuk mengetahui lebih detail lagi terkait perencanaan anggaran PBSB, maka harus dilakukan analisis anggaran berperspektif gender dengan memperhatikan beberapa hal diantaranya syarat terlaksananya anggaran responsif gender dan beberapa poin yang harus dilakukan dalam proses perencanaan anggaran responsif gender. Kemudian suatu kebijakan/ program dapat dikategorikan ke dalam salah satu kategori kebijakan dengan tujuan gender tertentu. Berikut adalah syarat-syarat terlaksanya perencanaan anggaran responsif gender dalam konteks PBSB: 1. Kemauan politik: Terpenuhi dengan adanya kesepakatan bersama antara menteri agama dengan menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak nomor 2 tahun 2011.
2. Kerangka kerja kebijakan: belum terpenuhi. 3. Struktur, mekanisme dan proses kelembagaan: Terpenuhi dengan adanya pokja pengarusutamaan gender pada Ditjen Pendis yang dibentuk pada tahun 2013. Hanya saja belum berfungsi maksimal 4. SDM yang peka gender: masih minim. 5. Dana yang cukup dan responsif gender: Dana cukup besar. Karena Ditjen Pendis menyerap 79,96% dari total anggaran Kementerian Agama, namun memang belum diarahkan pada responsif gender secara maksimal. 6. Data pilah gender: tersedia data pilah gender secara kuantitatif yaitu jumlah santri laki-laki da perempuan. 7. Indicator gender: tidak ada. 8. Kerangka konseptual: tidak ada. Karena memang belum diterapkan secara penuh. 9. Alat analisis gender: sebenarnya sudah ada, yaitu gender analysis pathway (GAP), dan kemudian dinyatakan dalam bentuk gender budget statement (GBS). Dari 9 syarat ini sebenarnya sudah 5 syarat yang terpenuhi. Sehingga seharusnya syarat-syarat yang lain tinggal mengikuti saja. Akan tetapi syaratsyarat ini seolah memang belum dipentingkan karena dirasa tidak ada urgensi untuk melaksanakan perencanaan anggaran responsif gender pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dan sejumlah unit kerja di dalamnya yang salah satunya adalah Direktorat Pendidikan Diniyyah dan Pondok Pesantren. Kemudian, untuk mengetahui lebih jelas apakah suatu program telah melaksanakan perencanaan anggaran responsif gender atau belum paling tidak dapat kita lihat pada 5 hal utama sebagaimana yang disampaikan oleh Rinusu (2007:104), diantaranya adalah 1. Menggambarkan atau memetakan kondisi lakilaki dan perempuan, anak perempuan dan lakilaki menurut kelompok yang berbeda (situation): dalam konteks PBSB hal ini tidak dilakukan. Tidak ada pemetaan kondisi santri laki-laki dan perempuan. Semuanya dianggap sama, sehingga rekrutmennya berdasarkan ability untuk menyelesaikan dan lolos dalam mekanisme seleksi yang telah ditetapkan. 2. Menelaah dan melihat apa ada kebijakan yang tersedia yang mempertimbangkan gender (policy): dalam PBSB tidak ada 1 kegiatanpun yang mengarah langsung pada gender. Hanya saja pelaksanaannya diakui tetap memperhatikan jumlah laki-laki dan perempuan untuk sejumlah perlakuan yang spesifik gender.
4
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 2, Nomor 1, Januari 2014
3. Menetapkan anggaran untuk pembiayaan program dan proyek yang berdampak gender (budget): anggaran PBSB tidak ada yang secara khusus menuju pada kegiatan berdampak gender. Hal ini dapat kita lihat sebagai berikut: no 1
Komponen angaran Komponen Biaya Beasiswa Tetap meliputi: biaya penyetaraan kemampuan, biaya hidup, biaya penunjang
Rp. 12.000.000
2
Biaya Beasiswa Spesifik Pilihan Studi meliputi: biaya pendidikan, biaya pengembangan akademik awal program, biaya pendidikan profesi
12.000.000
3
Biaya Pengelolaan meliputi: rapat-rapat koordinasi, biaya seleksi, pengolahan data, pembinaan, dan lain-lain, dilaksanakan dalam bentuk kegiatan swakelola Total estimasi pembiayaan per 1 orang peserta
6.000.000
30.000.000
Sumber: grand desain PBSB 2005-2014 4. Melihat hasil dan manfaat (outcome, benefit) dari program dan proyek yang dilaksanakan dari sisi manfaat untuk masyarakat: dalam PBSB yang diutamakan adalah kebermanfaatan program terhadap pondok pesantren sebagai institusi. Bukan terhadap individu dengan kelompok gender tertentu. Namun dengan sendirinya manfaat terhadap pesantren secara praktis melalui santri-santri yang menjadi peserta PBSB. Sehingga secara tidak langsung kebermanfaatan terhadap individu juga terkena. Namun dengan jumlah peserta laki-laki dan perempuan yang seimbang, berarti dapat dikatakan kebermanfaatan yang diberikan seimbang dan adil. 5. Menguji dampak dari belanja atau pengeluaranpengeluaran yang telah diimplementasikan: hal ini dapat kita lihat dengan pencapaian tujuan PBSB yaitumemperluas akses santri pondok pesantren terhadap perguruan tinggi, mengembangkan sumberdaya manusia pesantren, dan memajukan pesantren melalui lulusan PBSB yang melaksanakan program penagbdian paska lulus minimal 3 tahun di pondok pesantren. Tentunya impact dari pencapaian tujuan ini adalah pada pesantren yang memperoleh SDM berkualitas sehingga dapat mengembangkan pendidikan pesantren. Dari ke-5 poin di atas, kita melihat bahwa hanya ada 2 poin yang bisa dikatakan sesuai dengan anggaran responsif gender.Yaitu pada poin ke 4 dan ke 5. Karena meskipun manfaat yang diperhatikan
adalah manfaat program terhadap pondok pesantren secara institusional, tapi dengan sendirinya program ini akan memberikan manfaat terlebih dahulu kepada individu baik laki-laki dan perempuan. Sehingga dampak yang terjadi adalah peningkatan kesejahteraan dan strata sosial santri, kemudian santri lulusan PBSB dapat memberikan dampak pada pondok pesantren melalui program pengabdian paska lulus. Tentunya hal ini akan membawa kemajuan dan peningkatan mutu bagi pendidikan yang ada di pondok pesantren. Kesimpulan Berdasarkan analisis di atas, PBSB dapat dikatakan belum memenuhi beberapa kriteria kebijakan/ program dengan anggaran responsif gender.Meskipun beberapa syarat telah terpenuhi, tapi dalam perencanaan anggaran PBSB belum menggunakan analisis gender dan segala instrumen yang ada seperti GAP dan GBS.Namun pada prakteknya PBSB telah menunjukan prestasi terkait kesetaraan dan keadilan gender.Hal ini terbukti dengan jumlah peserta PBSB yang seimbang antara laki-laki dan perempuan. Meskipun demikian seharusnya tetap ada analisis gender dalam kebijakan ini untuk mengantisipasi masalah dikemudian hari yang disebabkan karena relasi gender yang ada.Oleh karena itu, PBSB masuk dalam kategori kebijakan dengan tujuan gender umum atau general policy objective.Karena tujuan dari PBSB adalah untuk memperbaiki kehidupan kedua belah pihak laki-laki dan perempuan. Tanpa membedakan satu sama lain.
5
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 2, Nomor 1, Januari 2014
Daftar Pustaka Amal, S. H. (2007). Anggaran responsif gender: pendekatan baru dalam pemberdayaan perempuan. Dalam Anggaran responsfi gender konsep dan aplikasi (hal. 8). jakarta: Civic Education and Budget Transparency Advocation. Anselm Strauss, J. C. (2009). Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. (Kamdani, Penyunt., & I. M. Muhammad Shodiq, Penerj.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Carstensen, G. (n.d.). Initiation into Engineering:. International Journal of Gender, Science and Technology, 127-148. Circle Indonesia, IDEA Perkumpulan. (2013). Gender Budget Advokasi/ Advokasi Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender. Profesional Training Programe (hal. 1-7). Yogyakarta: Circle Indonesia. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI. (2013). Buku Analisis Statistik Pendidikan Islam Tahun Pelajaran 2011/2012. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI. Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren. (2014). Grand Desain Program Beasiswa Santri Berprestasi 2005-2014 Mengubah Takdir Bangsa 2025. Jakarta: Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI. Dwiyanto, A. (2008). Reformasi birokrasi publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Fermana, S. (2009). Kebijakan Publik Sebuah Tinjauan Filosofis. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Govermental Accounting Standart Broad. (2013). Accounting and Financial Reporting for Nonexchange. Statement of Govermental Accounting Standart Broad, 4-17. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, S. K. (2011). Efektivitas Implementasi Kebijakan. Jurnal Ilmu Administrasi Negara, 74-86. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2010). Panduan Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender Di Lingkungan Kementerian Keuangan. Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan Pusat Statistik. (2012). Pembangunan Manusia Berbasi Gender 2012. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Kunarjo. (2002). Perencanaan dan Pengendalian Program Pembangunan. Jakarta: UI Press.
Majchzak, A. (1987). Method For Policy Research. Beverly Hill California: Sage Publications. Malonda, B. F. (2009). Peranan Perempuan dan Pembangunan Di Indonesia. Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik, 206216. Maya Fitria, A. F. (2011). Keadilan Gender dan Hakhak Reproduksi. Jurnal Psikologi UGM, 116. Naqiyah, N. (2005). Otonomi Perempuan. Malang: Bayumedia Publishing. Noer, K. U. (2009). Diskursus Gender di Pondok Pesantren:. Masyarakat Kebudayaan dan Politik, 86-94. Nugroho, R. (2008). Gender dan Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nugroho, R. (2008). Gender dan Strategi Pengarusutamaannya Di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nugroho, R. D. (2012). Public Policy: Teori Kebijakan, Analisis Kebijakan, Proses Kebijakan, Perumusan, Implementasi, Evaluasi, Revisi, Risk Management dalam Kebijakan Publik, Kebijakan Sebagai The Fifth Estate Metode Penelitian Kebijakan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Nugroho, R. D. (2013). Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan evaluasi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Stefanus Supriyanto, N. A. (2007). perencanaan dan evaluasi. Surabaya: Airlangga University Press. Sugiyono. (2012). Metode Penelitian AdministrasiDilengkapi Dengan Metode R&D. Bandung: Alfabeta. Sumarsono, S. (2010). Manajemen Keuangan Pemerintahan. Yogyakarta: Graha Ilmu. United Nation. (2013). The Millennium Development Goals Report 2013. New York: United Nation. United Nation Development Programe. (2011). Gender Equality and UNDP. New York: http://www.undp.org/women. Widodo, J. (2001). Good Governance Telaah dari Dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi. Surabaya: Insan Cendekia.
6