Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 4, Nomor 2, Mei-Agustus 2016
Instrumen Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Studi Proses Perumusan dan Analisis Karakteristik Instrumen Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bojonegoro) Yovana Riken Keiky Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga
Abstract Conversion of agricultural land has become a serious threat to the sustainability of food self-sufficiency and food security. The activities of the conversion of agricultural land or commonly known as land conversion has become a phenomenon that is quite lively going on at the moment. One of the Government’s effort to protect the availability of agricultural land is by enacting UndangUndang Nomor 41 Tahun 2009 about Agricultural Land Protection of Sustainable Food. Policy formulation and the use of appropriate policy instruments necessary to the phenomenon over the function of agricultural lands in the area of food barns can be suppressed. This research uses qualitative research methods. Data were collected through observational methods, in-depth interviews with informants, and study the documents. Determination of informant purposive sampling technique was done because it is considered as the most parties who understand about the process of policy formulation and characteristics about Agricultural Land Protection of Sustainable Food in Bojonegoro. Based on the results of the study it can be concluded that the process of policy formulation for Agricultural Land Protection of Sustainable Food in Bojonegoro is done with through stages of problem identification, specify the policy alternatives, and choosing an alternative policy. Characteristics of policy instruments for Agricultural Land Protection of Sustainable Food in Bojonegoro which is exist nowadays shows a high government involvement, while the policy instrument is voluntary and market-oriented and involve community participation still insufficient.
Key words: Policy Formulation, Policy Instruments, Agricultural Land Protection of Sustainable Food
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara agraris. Indonesia memiliki luas daratan kurang lebih 190,9 juta Ha. Dari keseluruhan luas lahan tersebut, 37,1% telah dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya, seperti sawah, pertanian lahan kering, perkebunan, ladang dan penggunaan lainnya, sedangkan 62,9% lainnya adalah berupa hutan (Isa, 2006: 2-3). Daratan Indonesia yang begitu luas, didukung dengan lahan pertanian yang memiliki luas mencapai 39,5 juta Ha dari total seluruh luas daratan, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi negara yang dapat menghasilkan produksi pertanian pangan dalam jumlah besar. Seiring dengan berjalannya waktu, banyak petani yang mulai kehilangan lahan sawah akibat adanya alih fungsi lahan. Laju pertumbuhan penduduk yang pesat dan juga semakin meningkatnya kebutuhan pangan dan tempat tinggal menyebabkan terjadinya lahan pertanian semakin berkurang jumlahnya. Lahan pertanian yang semakin sedikit jumlahnya akan menyebabkan jumlah produksi pertanian semakin sedikit. Jumlah produksi pertanian yang semakin sedikit tentunya tidak akan bisa memenuhi kebutuhan pangan penduduk Indonesia yang semakin banyak, yaitu mencapai hampir 225 juta jiwa. Kegiatan alih fungsi lahan pertanian atau yang biasa disebut konversi lahan menjadi fenomena yang cukup marak terjadi saat ini. Menurut Direktorat 116
Pangan dan Pertanian (2006: iv), konversi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan. Intensitas alih fungsi lahan masih sulit dikendalikan, dan sebagian besar lahan sawah yang beralihfungsi tersebut justru memiliki kategori produktivitas tinggi hingga sangat tinggi. Lahan-lahan tersebut adalah lahan sawah beririgasi teknis atau semi teknis dan berlokasi di kawasan pertanian dimana tingkat aplikasi teknologi dan kelembagaan penunjang produksi padi telah maju. Pulau Jawa menjadi pulau yang disebut sebagai pusat pertanian mengalami konversi lahan pertanian yang paling besar. Luas Pulau Jawa adalah 7% dari daratan Republik Indonesia, tetapi dihuni oleh sekitar 60% penduduk di Indonesia. Lahan beririgasi teknis di Indonesia seluas 4,1 juta Ha, sedangkan 3,6 juta Ha atau 87,8% berada di Pulau Jawa. Hal tersebut menimbulkan persaingan pemanfaatan sumberdaya lahan dan air antar sektor sangatlah tinggi. Selain itu, kinerja dan etos kerja petani Jawa jauh lebih baik dan didukung oleh sumberdaya lahan di Pulau Jawa memiliki produktivitas lahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pulau-pulau selain Pulau Jawa dengan tingkat kesuburan tanah tinggi, baik dilihat dari sifat fisik dan kimianya, serta iklim yang lebih beragam (ppejawa.com/ekoregion/pertanian diakses pada 24 Juli 2016, pukul 11:01 WIB). Konversi lahan
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 4, Nomor 2, Mei-Agustus 2016
pertanian besar-besaran di Pulau Jawa dapat memungkinkan produktivitas pertanian semakin menurun karena disebabkan lahan pertanian yang semakin sempit. Jika konversi lahan pertanian tetap dilakukan tanpa adanya pengendalian, dalam jangka panjang Indonesia akan mengalami keadaan defisit pangan dan mengharuskan Indonesia untuk bergantung pada impor beras dari negara lain dan ketahanan pangan terancam. Sehubungan dengan dampak yang ditimbulkan begitu merugikan, pengendalian lahan pertanian merupakan salah satu kebijakan nasional yang strategis untuk tetap memelihara industri pertanian primer dalam kapasitas penyediaan pangan, dalam kaitannya untuk mencegah kerugian sosial ekonomi dalam jangka panjang mengingat sifat multi fungsi dari lahan pertanian (Direktorat Pangan dan Pertanian, 2006: iv). Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan disusun untuk mengendalikan konversi lahan yang sekarang marak terjadi. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mendorong ketersediaan lahan pertanian yang jumlahnya semakin sedikit. Peningkatan jumlah penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri mengakibatkan degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan yang telah mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan. Salah satu daerah di Jawa Timur yang termasuk sebagai penyangga pangan nasional adalah Kabupaten Bojonegoro. Sesuai dengan data di Dinas Pertanian, selama kurun waktu satu tahun yaitu pada tahun 2014-2015, seluas 184.525 meter persegi atau 18,45 Ha lahan pertanian telah beralih fungsi. Menurut sumber Beritajatim.com (09/02/2015), Dinas Pertanian Pemkab Bojonegoro belum memiliki data secara rinci terkait dengan lahan pertanian di Kabupaten Bojonegoro yang saat ini sudah beralih menjadi ladang minyak dan gas bumi maupun industri lainnya. Selain pengembangan lapangan migas, selama ini lahan produktif dipergunakan untuk kepentingan umum seperti rumah sakit, puskesmas, perkebunan, perumahan, hotel, office, toserba, gudang palawija, pembangunan pasar, SPBU, kantor pusat studi penelitian dan pengembangan pertanian, dan tempat pemrosesan akhir sampah. Pemerintah Kabupaten Bojonegoro memegang peranan yang sangat penting dalam mengatasi alih fungsi lahan pertanian pangan yang terjadi di Kabupaten Bojonegoro. Untuk itu diperlukan berbagai kebijakan untuk menghadapi permasalahan alih fungsi lahan pertanian. Pengendalian laju alih fungsi lahan pertanian telah diatur dalam UndangUndang Nomor 41 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah diharapkan adanya kesadaran dari pemerintah daerah terkait mengenai penyediaan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Pentingnya peran Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, serta Perda dalam mengawasi kegiatan alih fungsi lahan pertanian
bertujuan agar lahan pertanian produktif di Kabupaten Bojonegoro tetap tersedia dan laju alih fungsi lahan pertanian dapat dikurangi. Oleh karena itu, perlu dilakukan perumusan kebijakan yang sesuai dengan permasalahan alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bojonegoro untuk melindungi lahan pertanian dari konversi lahan. Perumusan kebijakan pengendalian alih fungsi lahan bertujuan untuk menetapkan lahan pertanian abadi untuk meningkatkan produktivitas komoditi pertanian di Kabupaten Bojonegoro. Berdasarkan dengan latar belakang masalah, maka penulis dapat merumuskan permasalahan yaitu bagaimana proses perumusan kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dan bagaimana karakteristik instrumen kebijakan yang digunakan kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bojonegoro. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan tentang bagaimana perumusan kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dan mendeskripsikan tentang bagaimana karakteristik instrumen kebijakan yang digunakan pada kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bojonegoro. Manfaat dari penelitian ini adalah secara akademis penelitian ini dapat dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dalam rangka penelitian dan pengembangan lebih lanjut dalam penerapan ilmu khususnya ilmu administrasi negara dalam hal perumusan kebijakan publik mengenai pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang telah diterapkan tersebut. Penelitian ini fokus meneliti tentang bagaimana dalam proses perumusan kebijakan dan karakteristik instrumen kebijakan yang digunakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bojonegoro, sehingga sampai saat ini dapat diketahui apa yang menyebabkan Kabupaten Bojonegoro belum mengesahkan dan menerapkan rancangan peraturan daerah mengenai LP2B. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan terhadap Dinas Pertanian khususnya serta jajaran Pemerintah Daerah Kabupaten Bojonegoro mengenai pentingnya masalah alih fungsi lahan di Bojonegoro yang semakin meningkat sehingga pemerintah harus bertindak tegas terhadap pelaku alih fungsi lahan pertanian agar kegiatan alih fungsi lahan pertanian di Bojonegoro dapat dikendalikan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Lokasi penelitian ditetapkan secara puposive di Kabupaten Bojonegoro yaitu di Sekretariat DPRD Kabupaten Bojonegoro, Dinas Pertanian Kabupaten Bojonegoro, Bappeda Kabupaten Bojonegoro, BPN Kabupaten Bojonegoro, dan Dinas Pengairan Kabupaten Bojonegoro. Teknik penentuan informan secara purposive karena banyak data dan informasi yang harus diperoleh dari berbagai pihak yang terkait dengan bagaimana karakteristik 117
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 4, Nomor 2, Mei-Agustus 2016
instrumen kebijakan yang digunakan dan proses perumusan kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bojonegoro. Teknik pengumpulan data menggunakan data primer dan data sekunder. Teknik pemeriksaan keabsahan data menggunakan teknik triangulasi sumber dan triangulasi teknik pengumpulan data. Teknik analisis data terdiri dari reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Kebijakan Publik Sebagai ilmuwan yang pertama kali mengembangkan studi mengenai kebijakan publik, Laswell menggagas suatu pendekatan yang disebut sebagai pendekatan proses (policy process approach). Pendekatan proses tersebut bertujuan agar ilmuwan dapat memperoleh pemahaman yang baik tentang apa sesungguhnya kebijakan publik, maka kebijakan publik harus diurai menjadi beberapa bagian sebagai tahapantahapan, yaitu: agenda setting, formulasi, legitimasi, implementasi, evaluasi, reformulasi, dan terminasi (Erwan dan Dyah, 2012:17). Anderson (Agustino, 2008: 8) telah mengartikan kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan masalah tertentu. Formulasi Kebijakan Formulasi kebijakan merupakan bagian dari tahapan yang paling penting dari proses kebijakan publik. Hal ini disebabkan untuk melakukan proses selanjutnya, yaitu implementasi dan evaluasi kebijakan hanya akan dapat dilakukan ketika proses perumusan kebijakan telah diselesaikan. Keberhasilan atau kegagalan dari implementasi suatu kebijakan dalam mencapai tujuannya juga bergantung pada tahapan formulasi kebijakan. Formulasi kebijakan sebagai suatu proses yang menurut Winarno (2011:94) dapat dipandang dalam 2 (dua) macam kegiatan. Kegiatan yang pertama adalah memutuskan secara umum apa yang harus dilakukan atau dengan kata lain perumusan kebijakan diarahkan untuk memperoleh kesepakatan tentang suatu alternatif kebijakan yang dipilih, suatu keputusan yang menyetujui adalah hasil dari proses seluruhnya. Sedangkan kegiatan selanjutnya diarahkan pada bagaimana keputusan-keputusan kebijakan itu dibuat, dalam hal ini suatu keputusan kebijakan mencakup tindakan oleh seseorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah atau menolak suatu alternatif kebijakan yang dipilih. Menurut Anderson perumusan kebijakan menyangkut upaya menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif disepakati untuk masalah-masalah yang dikembangkan dan siapa saja yang berpartisipasi. Formulasi kebijakan merupakan proses yang secara spesifik ditujukan untuk menyelesaikan persoalanpersoalan khusus (Winarno, 2011: 96). 118
Menurut Chief J.O Udoji, perumusan kebijakan merupakan keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntunan-tuntunan politik, penyaluran tuntunan-tuntunan tersebut ke dalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksisanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang akan dipilih, pengesahan dan pelaksanaan atau implementasi dari monitoring dan peninjauan kembali atau umpan balik (Wahab, 2008: 17). Proses Formulasi Kebijakan Pendekatan dalam proses formulasi kebijakan atau dapat disebut juga dengan perumusan kebijakan dapat dilihat dari dua persepsi. Proses perumusan kebijakan yang pertama dapat dilihat dengan menggunakan pendekatan problem oriented, yaitu proses perumusan kebijakan yang melihat suatu masalah sebagai sesuatu hal yang harus diselesaikan, khususnya oleh pemerintah. Sedangkan proses perumusan kebijakan yang kedua adalah dengan menggunakan pendekatan goal oriented, yaitu perumusan kebijakan yang berorientasi pada tujuan akhir atau dapat juga dikatakan sebagai perumusan kebijakan yang bersifat peramalan dengan tidak menggunakan masalah sebagai acuannya dan bersifat forcasting atau peramalan (Nugroho, 2004: 147). Perumusan kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian, atau yang biasa disebut dengan kebijakan mengenai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), cenderung menggunakan pendekatan problem approach dalam merumuskan kebijakan tersebut. Menurut Wahab (2008: 543), hal tersebut terlihat dari proses-proses yang dilalui dalam perumusan kebijakan tersebut sesuai dengan yang digambarkan oleh Carl Patton dan David Savicky. Berikut merupakan gambar proses perumusan kebijakan (Wahab, 2008: 543):
Gambar 1. Model Rasional Sederhana Patton-Savicky Model rasional sederhana yang dikemukakan oleh Patton-Savicky adalah model paling klasik yang dianut oleh aktor pengambil kebijakan. Hal pertama yang dilakukan dalam perumusan kebijakan adalah
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 4, Nomor 2, Mei-Agustus 2016
identifikasi permasalahan publik yang dihadapi dan menyusun agenda. Kedua adalah dilanjutkan dengan memilih kriteria untuk mengevaluasi permasalahan untuk menuju pada pilihan-pilihan pemecahan masalah yang disebut juga dengan alternatif-alternatif kebijakan. Ketiga adalah menilai seluruh alternatif kebijakan yang telah dipilih untuk menghasilkan satu alternatif terbaik yang kemudian dipilih sebagai keputusan atau kebijakan. Selanjutnya adalah implementasi kebijakan yang sesuai dengan prosedurprosedur teknik dasar yang perlu dilakukan agar kebijakan yang dibuat merupakan kebijakan kebijakan yang terbaik. Berdasarkan dari semua tahap yang harus dilalui tersebut, tahap yang memiliki urgenitas paling tinggi adalah tahap identifikasi masalah. Identifikasi masalah merupakan tahap yang paling awal untuk menemukan, mengetahui, dan memahami akar dari permasalahan. Dengan mengetahui dan memahami akar dari permasalahan, maka dapat ditemukan solusi yang sesuai untuk memecahkan masalah tersebut. Hal ini berarti solusi yang ditawarkan berupa kebijakan yang memiliki relvansi dengan masalah yang sedang muncul di masarakat. Dengan demikian kebijakan yang telah dikeluarkan akan menjadi tepat sasaran terhadap masalah yang strategis, tidak hanya masalah yang bersifat teknis saja. Instrumen Kebijakan Publik Howlett dan Ramesh (1995: 80), mengartikan policy instrument sebagai alat kebijakan atau instrumen yang diatur secara aktual guna mengimplementasikan kebijakan. Sedangkan Petter dan Nispen (1998: 17) dalam bukunya yang berjudul Public Policy Instrument, Evaluating the Tools of Public Administration, menyebutkan bahwa kesuksesan dari implementasi kebijakan publik dapat dilihat dari pemilihan instrumen yang tepat. Meskipun instrumen diartikan sebagai sebuah alat, tetapi keberhasilan dari penggunaan instrumen ini sangat tergantung dari para pelaksananya, sehingga instrumen akan menjadi variabel yang menentukan bekerjanya sistem implementasi. Menurut Hans A. de Brujin dan Hans A.M. Hufen, ada tiga kategori utama pada instrumen. Kategori pertama adalah kategori kepengaturan (hukum) yang bertujuan untuk menormalisasi perilaku para aktor sosial dan sangat bervariasi, sehingga pengklasifikasiannya bersifat sangat sulit. Kategori kedua adalah kategori perangsang finansial yang tidak bersifat memaksa, sehingga banyak sekali diterapkan kawasan-kawasan tertentu, misalnya dengan adanya subsidi. Kategori ketiga adalah kategori transfer informasi. Gagasan yang mendasari penggunaan instrumen ini adalah bahwa instrumen-instrumen yang mengandalkan diri pada kewenangan negara harus dihilangkan sedikit demi sedikit. Yang diterapkan bukan lagi pemaksaan, tetapi keyakinanlah yang harus menentukan arah kebijakan. Transfer informasi bersifat efektif hanya jika bersesuaian dengan kerangka acuan
kelompok target dan usaha memahami kerangka acuan kelompok target (Petter dan Nispen, 1998: 17). Karakteristik Instrumen Kebijakan Publik Howlett dan Ramesh (1995: 82), menjelaskan bahwa ada tiga jenis instrumen kebijakan, dimana berdasarkan taksonomi instrumen yang dilakukan, teradapat sepuluh jenis instrumen kebijakan yang dikelompokkan dalam tiga garis besar, yaitu: (1) Voluntary Instruments, (2) Mixed Instruments, (3) Compulsory Instruments. Instrumen kebijakan publik tersebut digambarkan melalui spektrum, bahwa semakin tinggi keterlibatan pemerintah dalam kebijakan tersebut maka pendekatan yang digunakan menggunakan instrumen wajib. Sebaliknya jika semakin rendah keterlibatan pemerintah dalam kebijakan tersebut maka diperlukan instrumen kebijakan yang bersifat sukarela. Berikut ini adalah gambar dari spektrum instrumen kebijakan (Howlett dan Ramesh, 1995: 82).
Karakteristik dari instrumen sukarela adalah intervensi dari pemerintah sangat kecil atau hampir tidak ada. Instrumen sukarela merupakan alat yang baik ketika pemerintah melakukan proses privatisasi. Pemerintah percaya bahwa suatu masalah publik dapat diselesaikan dengan baik oleh masyarakat atau pihak non pemerintah. Ada beberapa alasan digunakan instrumen sukarela yaitu efisiensi biaya, sesuai dengan norma-norma suatu komunitas, dan mendapat dukungan dari rumah tangga dan komunitas. Instrument campuran atau mixed instrument merupakan gabungan dari compulsory instrument yang berarti instrumen yang memiliki sifat memaksa dan voluntary instrument yang berarti instrumen yang berbasis kekeluargaan dan bersifat sukarela. Mixed Instrument atau kebijakan campuran ini membiarkan peran pemerintah terlibat pada tingkatan tertentu dalam membentuk keputusan aktor-aktor non pemerintah, dalam hal ini aktor tersebut adalah sektor swasta, sekaligus memberikan keputusan akhir pada aktor non pemerintah tersebut. Instrumen wajib atau sering juga disebut sebagai instrumen instruksi atau tindakan langsung pada sasaran baik individu maupun kelompok atau perusahaan. Pemerintah memiliki otoritas untuk memberikan instruksi kepada warga negara untuk melakukan tindakan tertentu, dan mengawasi perusahaan atau badan untuk mentaati hukum atau
119
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 4, Nomor 2, Mei-Agustus 2016
menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan oleh masyarakat. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan telah ditetapkan dalam UndangUndang Nomor 41 Tahun 2009. Untuk mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 dalam mewujudkan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kabupaten Bojonegoro juga menunjukkan komitmennya untuk ikut serta dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian dengan menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bojonegoro Tahun 20112031. Kebijakan yang mendukung perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah Keputusan Presiden (Keppres) yang terkait dengan pengendalian alih fungsi lahan, antara lain: (1) Keppres No.53/1989 tentang Kawasan Industri yang memuat ketentuan bahwa pembangunan kawasan industri tidak boleh mengurangi tanah pertanian atau tidak dilakukan di atas tanah yang mempunyai fungsi utama untuk melindungi sumberdaya alam dan warisan budaya; (2) Keppres No.33/1990 tentang Penggunaan Tanah bagi Pembangunan Kawasan Industri, dimana pencadangan tanah, pemberian izin lokasi, dan izin pembebasan tanah untuk pembangunan kawasan industri, tidak boleh berada di atas lahan pertanian, terutama lahan sawah beririgasi teknis; (3) Keppres No.55/1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum; dan (4) Keppres No.34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Pada upaya pengendalian alih fungsi lahan pertanian dan menekan dampak negatif alih fungsi lahan bagi kelangsungan pembangunan pertanian, pemerintah telah merumuskan dan menerbitkan berbagai peraturan perundangan, sekaligus mengakomodasi berbagai kepentingan antar sektor ekonomi. Tetapi implementasinya di daerah terkesan belum efektif sebagaimana terlihat dari alih fungsi lahan pertanian yang terjadi semakin banyak. Pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang belum efektif tersebut menurut Nasoetion (2003: 41-55) erat kaitannya dengan kondisi (1) koordinasi kebijakan; (2) pelaksanaan kebijakan; dan (3) konsistensi perencanaan. Selain itu, tidak efektifnya peraturan yang ada juga dipengaruhi oleh sistem administrasi lahan masih lemah dan lembaga yang terkait kurang kuat, serta implementasi tata ruang kurang menyentuh masyarakat. Dukungan instrumen kebijakan dari pemerintah daerah diperlukan untuk mengembangkan 120
kapasitas dan menjaga eksistensi sektor pertanian serta menstimulir petani dalam pelaksanaan LP2B. Pemberian instrumen kebijakan dari pemerintah dapat berupa insentif ekonomi, seperti bantuan sarana produksi, keringanan Pajak Bumi Bangunan, kemudahan dalam membuat sertifikat lahan, edukasi yang diberikan secara terpadu kepada petani. Proses Perumusan Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Perumusan kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian, atau yang biasa disebut dengan kebijakan mengenai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), cenderung menggunakan pendekatan problem approach dalam merumuskan kebijakan tersebut. Pendekatan problem approach merupakan proses perumusan kebijakan yang melihat suatu masalah sebagai sesuatu yang harus diselesaikan khususnya oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro. Menurut Wahab (2008: 543), hal tersebut terlihat dari proses-proses yang dilalui dalam perumusan kebijakan tersebut sesuai dengan yang digambarkan oleh Carl Patton dan David Savicky. Peneliti mengelompokkan proses formulasi kebijakan menjadi identifikasi masalah; menentukan, memilih, dan mengevaluasi kriteria alternatif kebijakan; memilih alternatif kebijakan terbaik; dan implementasi kebijakan. Pelaksanaan proses formulasi kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro pada Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan adalah sebagai berikut: 1. Identifikasi Masalah Proses awal dalam kegiatan perumusan kebijakan adalah melakukan identifikasi masalah. Kebijakan mengenai perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bojonegoro hingga saat ini masih dalam tahap pembahasan dan menunggu hasil evaluasi dari Gubernur. Hingga saat ini Kabupaten Bojonegoro telah sampai pada tahap menunggu hasil evaluasi dari Gubernur terkait dengan draft Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Draft Naskah Akademik tersebut yang nantinya disahkan menjadi Peraturan Daerah Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bojonegoro. Meskipun Undang-Undang Nomor 41 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sudah diterbitkan sejak tahun 2009, tetapi pada kenyataannya membutuhkan waktu lama untuk mempersiapkan peraturan daerah tersebut karena permasalahan alih fungsi lahan pertanian merupakan masalah yang kompleks. Alih fungsi lahan pertanian tidak bisa dihilangkan sama sekali tetapi laju alih fungsi lahan dapat ditekan. Pada tahun 2015, Bappeda Kabupaten Bojonegoro melakukan Identifikasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kegiatan tersebut bermaksud untuk mengidentifikasi dan melakukan pemetaan lahan pertanian yang dapat diusulkan untuk penetapan lahan
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 4, Nomor 2, Mei-Agustus 2016
pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bojonegoro. Kegiatan identifikasi lahan pertanian pangan berkelanjutan meliputi: a. Identifikasi Kondisi Wilayah Perencanaan Identifikasi kondisi wilayah perencanaan mencakup gambaran umum wilayah terutama data-data terkait pertanian seperti deliniasi lahan sawah, batas petak sawah, data luas sawah, jumlah produksi, produktivitas, indeks pertanaman, sumber air, jaringan irigasi di Kabupaten Bojonegoro. b. Identifikasi Lahan Pertanian Kabupaten Bojonegoro Identifikasi lahan pertanian dapat dilakukan dengan pencocokan data yang ada dengan data pendukung lainnya seperti pemutakhiran peta (map updating) dengan peta BIG, citra satelit, dan survey lapangan. c. Analisis Eksisting Lahan Pertanian Analisis kondisi eksisting lahan dilakukan sehingga dapat diperoleh karakteristik lahan pertanian sebagai Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B). Adapun analisis yang harus dilakukan: -Analisis kebutuhan dan ketersediaan pangan -Analisis kebutuhan LP2B -Analisis spasial untuk penentuan LP2B d. Rumusan Program Pembangunan Hasil kajian atau telaahan dampak digunakan untuk mendapatkan data informasi spasial karakteristik lahan sawah yang dapat diusulkan menjadi lahan pertanian berkelanjutan di Kabupaten Bojonegoro (Bappeda, 2015: I-5). Hasil yang diperoleh dari kegiatan identifikasi lahan pertanian pangan berkelanjutan tersebut adalah lahan pertanian yang direkomendasikan untuk menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan terdiri dari lahan basah dan lahan kering. Lahan basah seluas kurang lebih 43.926,42 Ha yang tersebar pada 14 kecamatan di Kabupaten Bojonegoro, yang ditetapkan sebagai kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah seluas kurang lebih 32.430,40 Ha. Lahan kering seluas kurang lebih 32.21 Ha yang tersebar pada 17 kecamatan di Kabupaten Bojonegoro, yang ditetapkan sebagai sebagai kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah seluas kurang lebih 33.333,57 Ha. 2. Menentukan Alternatif Kebijakan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dalam memilih alternatif kebijakan yang sesuai untuk mengendalikan alih fungsi lahan pertanian juga dilakukan kegiatan sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Sosialisasi terhadap Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dilakukan kepada masyarakat bertujuan untuk mengenalkan masyarakat bahwa kebijakan tersebut
bertujuan untuk melindungi lahan pertanian dan petani dari alih fungsi lahan. Selain itu, kebijakan tersebut mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam mewujudkan lahan pertanian pangan berkelanjutan. 3. Memilih Alternatif Kebijakan Pemilihan alternatif kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro terdapat pada Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Pemilihan alternatif kebijakan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dilakukan dengan cara melakukan penambahan cadangan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Dalam penambahan cadangan lahan pertanian pangan berkelanjutan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Pemerintah Daerah mengembangkan cadangan lahan pertanian pangan berkelanjutan terhadap lahan marginal, lahan terlantar, dan lahan di bawah tegakan tanaman tahunan; b. Pengembangan lahan pertanian pangan berkelanjutan terhadap lahan marginal terhadap: -Lahan pasir dan kapur/karst yang tidak dimanfaatkan untuk kepentingan pertambangan dan pariwisata -Lahan pasir dan kapur/karst yang belum dimanfaatkan oleh masyarakat atau di luar kawasan lindung geologi c. Pengembangan lahan pertanian pangan berkelanjutan terhadap lahan terlantar terhadap: -Tanah tersebut telah diberikan ha katas tanahnya, tetapi sebagian atau seluruhnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan tidak dimanfaatkan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian hak -Tanah tersebut selama tiga tahun atau lebih tidak dimanfaatkan sejak tanggal pemberian hak diterbitkan -Bekas galian bahan tambang yang telah direklamasi d. Pengembangan lahan pertanian pangan berkelanjutan pada lahan di bawah tegakan tanaman tahunan terhadap: -Lahan yang tanaman tahunannya belum menghasilkan -Lahan yang di sela-sela tanaman tahunannya terdapat ruang untuk ditanami tanaman pangan (Naskah Akademik Raperda LP2B, 2013: 109-110). Setelah semua proses pembentukan kebijakan telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, maka Pemerintah Kabupaten Bojonegoro melakukan implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan dilakukan setelah Rancangan Peraturan Daerah mengenai Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diusulkan kepada DPRD dan Bupati Kabupaten Bojonegoro dan telah resmi ditetapkan. 121
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 4, Nomor 2, Mei-Agustus 2016
Karakteristik Instrumen Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bojonegoro Pada dasarnya, dalam kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana yang telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009, telah menggunakan instrumen wajib, instrumen campuran, dan instrumen sukarela. Karakteristik instrumen kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bojonegoro yang selama ini ada masih menunjukkan keterlibatan pemerintah yang tinggi, sementara instrumen kebijakan yang bersifat sukarela dan berorientasi pada pasar dan melibatkan partisipasi masyarakat masih kurang diakomodasi. Instrumen kebijakan yang telah digunakan Kabupaten Bojonegoro adalah instrumen regulasi: (a) penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dalam Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2011 tentang RTRW dan (b) program optimalisasi lahan pertanian pangan berkelanjutan. Instrumen kebijakan campuran yang digunakan Kabupaten Bojonegoro adalah: (a) pelatihan dan pembinaan terhadap petani; (b) bantuan alat produksi pertanian dan dana PUAP; (c) mekanisme perizinan alih fungsi lahan; (d) bantuan keringanan Pajak Bumi dan Bangunan. Instrumen sukarela yang digunakan di Kabupaten Bojonegoro adalah dibentuknya HIPPA, kelompok tani, dan kontak tani. Sedangkan untuk instrumen pasar di Kabupaten Bojonegoro belum berjalan maksimal karena belum ada jaminan harga pasar terhadap penjualan bahan pangan pokok dan harga pasar terhadap bahan pangan masih dikendalikan oleh tengkulak. KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Proses perumusan kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bojonegoro dilakukan dengan melalui tahapan identifikasi masalah, menentukan alternatif kebijakan, dan memilih alternatif kebijakan. Identifikasi masalah lahan pertanian di Kabupaten Bojonegoro dilakukan dengan empat tahapan. Tahap pertama adalah identifikasi kondisi wilayah perencanaan yang bertujuan untuk mengenali kondisi wilayah perencanaan mencakup gambaran umum wilayah terutama data-data terkait pertanian seperti deliniasi lahan sawah, batas petak sawah, data luas sawah, jumlah produksi, produktivitas, indeks pertanaman, sumber air, jaringan irigasi di Kabupaten Bojonegoro. Tahap kedua adalah identifikasi lahan pertanian Kabupaten Bojonegoro dilakukan dengan pencocokan data yang ada dengan data pendukung. Tahap ketiga adalah melakukan analisis eksisting lahan pertanian yang bertujuan untuk mendapatkan karakteristik lahan pertanian sebagai Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), dan Lahan Cadangan 122
Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B). Analisis yang harus dilakukan adalah analisis kebutuhan dan ketersediaan pangan, analisis kebutuhan LP2B, dan analisis spasial untuk penentuan LP2B. Sehingga dari analisis tersebut, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dapat menetapkan luasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan seluas 65.763,97 Ha yang terdiri dari lahan basah dengan luas kurang lebih 32.430,4 Ha dan lahan kering dengan luas kurang lebih 33.333,57 Ha. Tahap keempat adalah melakukan rumusan program pembangunan yang bertujuan untuk mendapatkan data informasi spasial karakteristik lahan sawah yang dapat diusulkan menjadi lahan pertanian berkelanjutan di Kabupaten Bojonegoro. Menentukan alternatif kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat bertujuan untuk mengenalkan masyarakat bahwa kebijakan tersebut bertujuan untuk melindungi lahan pertanian dan petani dari alih fungsi lahan. Selain itu, kebijakan tersebut mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam mewujudkan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Selain itu, pemilihan alternatif kebijakan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dilakukan dengan cara melakukan penambahan cadangan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Pemerintah Daerah mengembangkan cadangan lahan pertanian pangan berkelanjutan terhadap lahan marginal, lahan terlantar, dan lahan di bawah tegakan tanaman tahunan. 2. Karakteristik instrumen Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang berasal dari pemerintah pusat atau pemerintah Kabupaten Bojonegoro masih cenderung menggunakan instrumen wajib dan instrumen campuran. Instrumen kebijakan sukarela yang berorientasi pada pasar keberadaannya masih sangat kurang dan belum berfungsi dengan baik. Karakteristik instrumen kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bojonegoro yang selama ini ada masih menunjukkan keterlibatan pemerintah yang tinggi, sementara instrumen kebijakan yang bersifat sukarela dan berorientasi pada pasar dan melibatkan partisipasi masyarakat khususnya kelompok tani masih kurang maksimal. Instrumen kebijakan yang telah digunakan Kabupaten Bojonegoro adalah instrumen regulasi: (a) penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dalam Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2011 tentang RTRW dan (b) program optimalisasi lahan pertanian pangan berkelanjutan. Instrumen kebijakan campuran yang digunakan Kabupaten Bojonegoro adalah: (a) pelatihan dan pembinaan terhadap petani; (b) bantuan alat produksi pertanian dan dana PUAP; (c) mekanisme perizinan alih fungsi lahan; (d) bantuan keringanan Pajak Bumi dan Bangunan. Instrumen sukarela
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 4, Nomor 2, Mei-Agustus 2016
yang digunakan di Kabupaten Bojonegoro adalah dibentuknya HIPPA, kelompok tani, dan kontak tani. Sedangkan untuk instrumen pasar di Kabupaten Bojonegoro belum berjalan maksimal karena belum ada jaminan harga pasar terhadap penjualan bahan pangan pokok dan harga pasar terhadap bahan pangan masih dikendalikan oleh tengkulak. 3. Karakteristik instrumen yang masih dalam proses penyusunan dan terdapat pada kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bojonegoro adalah a. Instrumen Wajib yang terdiri dari - Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada Peraturan Daerah Kabupaten Bojonegoro Nomor 26 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bojonegoro Tahun 2011-2031 dan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bojonegoro; - Kebijakan langsung yang terdapat dalam Rencana Peraturan Daerah tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah monitoring dan evaluasi yang meliputi perencanaan dan penetapan LP2B, pengembangan LP2B, pemanfaatan LP2B, pembinaan LP2B, dan pengendalian LP2B. b. Instrumen Campuran yang terdiri dari - Pembinaan dan pemberdayaan pemberdayaan petani kepada setiap orang yang terikat dengan pemanfaatan lahan pertanian pangan berkelanjutan; - Melakukan peningkatan kualitas benih dan/atau bibit melalui penyediaan bibit unggul, penyediaan kebun induk, dan pengembangan seed center (pusat perbenihan), pemberian insentif, kompensasi akibat gagal panen, dan jaminan akses permodalan kepada petani; - Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan. Pemberian Pajak Bumi dan Bangunan, dan tentang kompensasi yang harus dibayarkan oleh pihak yang melakukan alih fungsi lahan pertanian pada LP2B; - Pengaturan tata cara pengalihfungsian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan oleh SKPD terkait. c. Instrumen sukarela yang terdiri dari - Penguatan kelembagaan petani dan peran serta masyarakat dalam perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan; - Perlindungan petani, kelompok petani, koperasi petani, dan asosiasi petani berupa pemberian jaminan harga komoditi yang menguntungkan; - Pemasaran hasil pertanian pokok, pengutamaan hasil pertanian pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan daerah dan mendukung pangan nasional, pembentukan bank bagi
petani, dan pemberian fasilitas pemasaran hasil pertanian. 4. Karakteristik instrumen kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bojonegoro yang sudah ada dan digunakan di Kabupaten Bojonegoro adalah a. Instrumen Wajib yang terdiri dari - Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada Peraturan Daerah Kabupaten Bojonegoro Nomor 26 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bojonegoro Tahun 2011-2031; - Perusahaan publik berupa BULOG; - Kebijakan langsung berupa program seribu embung, normalisasi kali, dan program pembangunan pertanian tanaman pangan dan holtikultura yang fokus kepada pengelolaan tanaman terpadu kedelai. b. Instrumen Campuran yang terdiri dari - Informasi dan nasehat berupa pelatihan dan pembinaan terhadap petani. Dinas Pertanian Kabupaten Bojonegoro bekerjasama dengan PPL untuk memberikan pelatihan dan pembinaan kepada petani di Kabupaten Bojonegoro. Kegiatan pelatihan yang dikemas dalam bentuk SL-PTT dan GP-TT; - Subsidi berupa pemberian pupuk bersubsidi, pemberian benih/bibit padi bersubsidi, obatobatan pertanian bersubsidi, bantuan tractor atau pompa air, dan bantuan berupa PUAP sebesar Rp 100.000.000 dan besaran dana tersebut digunakan dan dibagi untuk lima kelompok tani; - Pengaturan hak milik berupa perizinan alih fungsi lahan pertanian sesuai dengan RTRW; - Instrumen pajak berupa bantuan keringanan Pajak Bumi dan Bangunan bagi pemilik lahan, petani penggarap, dan kelompok tani yang bersedia menjadikan lahannya sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Pemerintah Kabupaten Bojonegoro juga menerapkan pengenaan pajak yang tinggi, yang disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang bagi masyarakat, pengusaha dan swasta yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang atau pihak pemohon alih fungsi lahan. c. Instrumen Sukarela yang terdiri dari - Adanya organisasi sukarela berupa HIPPA, kelompok tani, dan kontak tani; - Instrumen pasar yang ada di Kabupaten Bojonegoro belum maksimal. Petani masih belum mampu dalam mengendalikan harga pasar karena harga pasar pertanian dikendalikan oleh tengkulak. BULOG dan kelompok tani seharusnya berperan penting dalam pengendalian harga pasar hasil panen. Tetapi kelompok tani tidak menjalin kerjasama dengan BULOG dan lebih memilih untuk 123
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 4, Nomor 2, Mei-Agustus 2016
mengelola hasil panen secara mandiri. Petani lebih memilih menjual hasil panen kepada tengkulak karena faktor kebutuhan. Setelah mengeluarkan biaya produksi untuk masa tanam, petani ingin secepatnya modal yang dikeluarkan kembali untuk biaya hidup. Contohnya saja Desa Ngraseh terdapat Gudang Komoditi yang berfungsi untuk menyimpan hasil panen para petani tetapi petani belum bersedia menitipkan hasil panennya karena petani mempunyai kebutuhan yang mendesak sehingga memilih untuk menjualnya sendiri atau dijual langsung pada saat panen kepada tengkulak meskipun dengan harga murah. Kelompok tani berharap kepada Pemerintah dapat memberikan bantuan dana pasca panen untuk menahan hasil panen dan dijual kembali pada saat harga pangan tinggi. Petani sangat mengharapkan pemerintah bersedia memberi jaminan harga pangan pada saat panen tiba agar petani bisa mendapatkan untung. 5. Kendala yang dihadapi Kabupaten Bojonegoro sehingga menyebabkan kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bojonegoro belum ditetapkan hingga saat ini adalah terganjal dengan status kepemilikan lahan pertanian perorangan dengan meminta persetujuan warga agar bersedia menjadikan lahan pertanian sebagai LP2B dan kawasan LP2B di Kabupaten Bojonegoro belum dideliniasi secara pasti. Petani yang sudah bersedia menjadikan lahan pertanian miliknya sebagai LP2B harus konsisten tidak melakukan alih fungsi dengan alasan apapun kecuali karena adanya bencana alam. Hal tersebut yang membuat petani untuk berpikir terlebih dahulu untuk menjadikan lahannya sebagai LP2B karena mereka tidak akan tahu jika dalam masa mendatang memiliki kebutuhan mendesak dan mengharuskan petani untuk menjual lahan pertaniannya. Pemilik lahan pertanian memiliki hak penuh atas kepemilikan lahan pertanian dan berhak menggunakan sebagai apa saja sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemilik lahan. Oleh karena itu perlu adanya upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro untuk melakukan pendekatan yang mendalam kepada pemilik lahan dan mempertimbangkan besaran insentif yang diberikan kepada petani agar kesejahteraan petani meningkat. Selain itu, evaluasi Gubernur terhadap Rancangan Peraturan Daerah tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan hingga saat ini masih belum selesai sehingga perda tersebut belum dapat disahkan dan masih akan dilakukan pembahasan.
DAFTAR PUSTAKA 124
Buku: Agustino, Leo. (2008). Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta. B. Guy Peter and Frans K.M van Nispen. (1998). Public Policy Instruments. Evaluating the Tools of Public Administration. UK: Edward Elgar Published. Howlett, M. & Ramesh, M. (1995). Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy Subsystems. New York: Oxford University Press. Isa, I. (2006). Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian (A Strategy to Control Agriculture Land Conversion). Jakarta: Badan Pertanahan Nasional. Moleong, Lexy J. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Moleong, Lexy J. (2012). Metode Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: Remaja Rosdakarya. Nugroho, D. (2006). Kebijakan Publik Untuk NegaraNegara Berkembang. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Nugroho, R. (2003). Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Nugroho, R. (2012). Public Policy for The Developing Countries. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Parson, Wayne. (2005). Public Policy Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana. Pratiwi, S. E. (2013). Formulasi Kebijakan Pemerintah Kabupaten Jombang Dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Skripsi. Surabaya: Universitas Airlangga. Purwanto, A. E. (2012). Implementasi Kebijakan Publik (Konsep dan Aplikasunya di Indonesia). Yogyakarta: Gava Media. Rinelda, C. M. (2015). Perumusan Model Instrumen Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) di Kabupaten Jombang. Tesis. Surabaya: Universitas Airlangga. Wahab, S. (2008). Analisis Kebijaksanaan: Dari Reformasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Winarno, Budi. (2011). Kebijakan Publik-Teori, Proses, dan Studi Kasus. Yogyakarta: Caps. Undang-Undang: Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penerapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Peraturan Nomor 25 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 4, Nomor 2, Mei-Agustus 2016
Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Bojonegoro Dokumen: Buku Profil Kabupaten Bojonegoro Tahun 2012 Identifikasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan oleh Bappeda Tahun 2015 Kabupaten Bojonegoro dalam Angka Tahun 2012 Kabupaten Bojonegoro dalam Angka Tahun 2013 Kabupaten Bojonegoro dalam Angka Tahun 2014 Kabupaten Bojonegoro dalam Angka Tahun 2015 Indonesia Policy Briefs - Ide-Ide Program 100 Hari. Bank Dunia. IPSK-LIPI, T. P.Penerapan Kebijakan Ketahanan Pangan Bagi Pencapaian Kedaulatan Pangan. Lampiran Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor:39 Tahun 2013 tentang RKPD Provinsi Jawa Timur Tahun 2014. LAKIP BAPPEDA Kabupaten Bojonegoro Tahun 2014 Laporan Grand Design Fasilitasi Penetapan LP2B Provinsi Jawa Timur Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Kabupaten Bojonegoro Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. (2006). Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
http://cybex.ipb.ac.id/index.php/artikel/detail/Topik/25 4 (diakses pada 21 April 2015 15:29 WIB. http://pusat-pkkp.bkp.pertanian.go.id/berita-210waspadai-potensi-krisis-pangan.html diakses pada 2 April 2015 20:41 WIB. http://pusat-pkkp.bkp.pertanian.go.id/berita-212berdayakan-petani-jamin-ketahanan-pangannasional.html diakses pada 1 April 2015 20:54 WIB. http://suarabanyuurip.com/kabar/baca/perda-lp2bmandeg-lahan-produktif-terancam diakses pada 3 April 2015 09:02 WIB. http://www.beritajatim.com/ekonomi/230893/data_alih _fungsi_lahan_pertanian_di_bojonegoro_kura ng_lengkap.html#.VRwHDPmUdaY diakses pada 1 April 2015 22:03 WIB.
Website: http://beritajatim.com/politik_pemerintahan/230118/m entan_dukung_bojonegoro_jadi_lumbung_pa ngan_negeri.html diakses pada 1 April 2015 21:41 WIB. http://bojonegorokab.bps.go.id diakses pada 1 April 2015 23:19 WIB. http://blokbojonegoro.com/read/article/2/20150302/sw asembada-pangan-perlu-perda-lahanpertanian-berkelanjutan.html diakses pada 1 April 2015 22:42 WIB.
125