Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2015
Implementasi Kebijakan Pelayanan Pertanahan Indonesia Analisis Implementasi Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Larasita di Kabupaten Bangkalan Nur Kholis1 Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga
Abstract This research aims to address issues of policy implementation research about Indonesian land services on the analysis implementation Regulation of the chief BPN No. 18 of 2009 about Larasita in Bangkalan. This refers to the presence of service innovation in the field of land that has been implemented in Indonesia to realize the ideals of agrarian land sector. Implementation of the policy does not run in many areas, especially in Bangkalan. Increasing needs of land since the existence of Jembatan Suramadu makes people in Bangkalan aware about the essentialy asset legality and mobile service innovations. This research used a qualitative method with descriptive type. Selection of informants research conducted by purposive sampling technique. Meanwhile, data collection was done by observation, in-depth interviews and documentary studies. Data analysis was performed at the time of data collection and then reducing the data, present data, verification and draw conclusion of the study. In addition, this study also tested the validity of data obtained through the following methods to compare the information or data in various ways, of the truth of certain information through a variety of methods and sources of data acquisition, as well as comparing the information with the relevant theory. The results of this study indicate that the mobile service Larasita was opposed by individual head of the village or sub-district in Bangkalan.
Key words:Implementation,Policy, Land Reform
Pendahuluan Tanah merupakan komponen penting dalam kehidupan manusia serta menjadi faktor yang sangat strategis bagi kelangsungan hidup manusia.Pada awalnya tanah merupakan kepemilikian adat, yakni suatu kepemilikan oleh adat komunitas yang sudah mendiami dan menggunakan tanah tersebut secara adat istiadat dan secara berangsur-angsur berpindah tangan kepada individu dan badan usaha. Setelah negara Indonesia berdiri dengan konstitusi Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, kemudian tanah diatur dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyataka bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pada era reformasi dimana demokrasi dan hak asasi manusia semakin berkembang konflik di bidang pertanahan juga semakin kompleks dan meningkat. Bukan hanya karena ketersediaan tanah, namun banyak faktor yang dapat menyebabkan adanya konflik didalamnya, salah satu pemicu konflik ini adalah akibat rendahnya kompetensi publik tentang sistem dan kebijakan agraria. Disisi lain, buruknya integritas aparatur dalam tata kelola pertanahan. Untuk meningkatkan tertib hukum, administrasi, tata guna dan konservasi maka diperlukan adanya reformasi agraria.
Reformasi agraria secara operasional didefinisikan sebagai Asset Reform dan Access Reform. Asset reform melalui Land Reform (asset reform) merupakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah berdasarkan hukum dan peraturan perundang- undangan pertanahan; sedangkan access reform merupakan proses penyediaan akses bagi penerima manfaat (beneficiaries) terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik, seperti: partisipasi ekonomi-politik, permodalan, pemasaran, teknologi, pendampingan, peningkatan kapasitas dan kemampuan, yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan sumber daya tanahnya sebagai sumber penghidupan. Salah satu permasalahan pertanahan yang perlu mendapat perhatian adalah masih adanya masyarakat yang belum memiliki sertifikat, apabila hal ini tidak ditangani dengan serius pada akhirnya dapat mengganggu jalannya pembangunan, mengingat persediaan tanah yang semakin terbatas dan kebutuhan tanah untuk pembangunan yang semakin meningkat. Pemanfaatan lahan sebuah daerah akan semakin pesat seiring luas wilayah yang dimiliki dan sumber daya yang ada didalamnya. Masalah lain yang akan muncul adalah kurangnya pemahaman masyarakat terkait aturan-aturan hukum mengenai pertanahan, hal ini banyak ditandai dengan banyaknya warga masyarakat yang mengira bahwa pethok merupakan bukti kepemilikan yang sah. Padahal hal ini dapat berkibat
1
Kebijakan dan Manajemen Publik Volume 1, Nomor 1, Januari 2014
fatal seperti yang terjadi pada kasus lumpur lapindo, dimana penggantian lahan mengalami banyak kendala karena masyarakat tidak memiliki sertifikat atas tanah mereka. Masalah serius yang dapat menghambat pembangunan dalam hal pertanahan adalah pembebasan lahan untuk fasilitas umum maupun pengembangan daerah, seperti yang terjadi pada pembangunan daerah di sekitar Suramadu sisi Bangkalan Suramadu, Madura, dimana saat Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) selaku badan yang bertugas untuk membangun daerah di sekitar wilayah suramadu tidak dapat berkerja dengan maksimal selama 6 tahun karena kendala lahan. Hal ini dikarenakan banyak kendala teknis dilapangan, dimana satu lahan dikuasai oleh lebih dari satu orang dan harga yang dipatok oleh masyarakat saat akan dibeli untuk pembangunan tidak sesuai dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Luas lahan yang sudah terdata dan terbangun juga dapat menentukan laju pertumbuhan dan kebutuhan akan tanah di suatu daerah. Permintaan tanah yang besar tanpa adanya kepastian hukum akan tanah yang ada akan menimbulkan masalah dimasa yang akan datang. Lahan tidur yang tidak dilegalkan berpotensi menjadi komoditas dan sengketa seiring tumbuhnya pembangunan dan industri, sehingga untuk mengantisipasi hal ini diperlukan adanya undangundang yang mengatur tentang penggunaan lahan. Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan. BPN dahulu dikenal dengan sebutan Kantor Agraria. BPN diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Salah satu tugas BPN adalah melaksanakan sertifikasi tanah agar tanah yang digunakan dan dimiliki oleh perorangan maupun kelompok dan instansi menjadi status tanah yang dimiliki oleh perorangan maupun kelompok dan instansi menjadi status hak milik.Demi menunjang program sertifikasi tanah ini Badan Pertanahan Nasional mengimplementasikan Kebijakan Layanan Rakyat Sertifikasi Tanah (Larasita) yang mempunyai maksud dan tujuan untuk memudahkan masyarakat yang berada jauh dari pusat kota maupun di daerah terpencil dalam mengurus sertifikasi tanah dan menekan biaya transportasi serta biaya lainnya. Larasita lahir setelah adanya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2009 tentang Larasita (PERKA BPN RI No. 18 tahun 2009 tentang Larasita). Larasita menjalankan tugas pokok dan fungsi yang ada pada kantor pertanahan yang juga sesuai dengan sifatnya yang bergerak, pelaksanaan tugas pokok dan fungsi tersebut diperlukan pemberian atau pendelegasian kewenangan
yang diperlukan guna kelancaran pelaksanaan di lapangan. Larasita merupakan model layanan pertanahan bergerak, yang menggunakan motor, mobil, kapal atau perahu. Mobil yang ada dilengkapi dengan jaringan internet sehingga sistem layanan yang digunakan adalah sistem online. Artinya, data yang terinput di mobil Larasita langsung terhubung dengan Kantor Pertanahan dan BPN RI. Layanan Larasita yang dilakukan di Kabupaten Bangkalan yang dimulai sejak tahun 2010 pada awalnya berusaha untuk tetap melayani sesuai dengan prosedur dan Standar Operasional Pelayanan (SOP) yang berlaku. Namun beberapa tahun kemudian program ini menjadi kurang begitu populer dimata masyarakat Bangkalan. Data yang ada menunjukkan bahwa program ini berjalan pada awal diluncurkan namun mengalami kendala besar dan bahkan tidak dapat melaksanakan tugas sebagaimana semestinya pada tahun-tahun berikutnya. Tabel 1.1 Jumlah Pengguna Larasita di Kabupaten Bangkalan Kecamatan Kamal Labang Kwanyar Modung Blega Konang Galis Klampis Bangkalan Burneh Arosbaya Geger Kokop Sepulu Socah Tanah Merah Tanjung Bumi Tragah Total
Tahun 2012
Total
%
2
2
17%
2
2
17%
2
2
17%
2 3
2 3
17% 25%
1
1
8%
12
100%
2011
12
0
2013
0
Sumber : diolah dari data BPN Kabupaten Bangkalan Dari data diatas dapat dilihat bahwa pelayanan Larasita mendapatkan respon yang cukup baik oleh masyarakat pada awal program ini diluncurkan di Kabupaten Bangkalan, namun sejak tahun 2012 tidak ada anggota masyarakat yang melakukan kepengurusan sertifikat tanah melalui jaringan Larasita. Sejak tahun 2006 program ini diujicobakan di Karanganyar hingga pada tahun 2009 program ini digulirkan oleh pemerintahan pusat dan BPN pusat. Hingga tahun 2014 program ini berjalan, belum ditemukan adanya berita sebagaimana yang ditemui di masyarakat Madura khususnya di Kabupaten
2
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2015
Bangkalan terkait dengan pelayanan ini. Larasita yang seharusnya menjadi ujung tombak pelayanan BPN di daerah pelosok seharusnya mampu menjadikan program ini tumpuan dalam melaksanakan tugas dan pelayanan yang baik dengan menjemput bola kepada masyarakat, namun data yang ada menunjukkan bahwa program ini mengalami kendala besar dilapangan.
kebijakan. Kompleksitas ini dapat berasal dari faktor internal, eksternal, individu, maupun organisasional. masing-masing variabel ini saling berpengaruh satu sama lainnya.Mazmanian dan Sabatier, menyebutkan ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni: 1.
Kebijakan Publik 2. Kebijakan publik menurut para tokoh memiliki persamaan arti yakni keputusan pemerintah dalam memberikan tindakan ataupun tidak memberikan tindakan terhadap suatu masalah, baik yang terkait dengan beberapa orang dan kelompok maupun yang menyangkut masyarakat luas. Beberapa tokoh seperti James E. Anderson, merumuskan kebijakan publik sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi, maupun pemerintah) dan serangkaian aktor dalam suatu bidang tertentu. Thomas R Dye mendefinisikan kebijakan publik sebagai “is whatever government choose to do or not to do” ( apapaun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan). sehinggakebijakan publik adalah serangkaian aturan dan tindakan yang mengarah atau mempunyai maksud dan tujuan yang dilakukan oleh pemerintah dan mempunyai tujuan tertentu. Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Hal ini sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Riant Nugroho bahwa implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuan, tidak lebih dan tidak kurang. Tujuan kebijakan adalah melakukan intervensi terhadap permasalahan publik dan implementasi kebijakan sebenarnya adalah tindakan intervensi itu sendiri. Implementasi kebijakan dapat dilakukan dengan dua langkah, langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan tersebut. Menurut Mazmanian dan Sabatier dalam buku Implementacion and policy, yang menyatakan bahwa implementasi kebijakan adalah Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undangundang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan, lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang akan dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasi Implementasi kebijakan juga memiliki kompleksitas sendiri, hal ini tidak hanya disebabkan oleh beberapa faktor, namun semua saling terhubung dan terkait kepada keberhasilan implementasi sebuah
3.
Karakteristik dari masalah (tractability of the problems) Karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure implementation). Karakteristik lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation)
Sehingga implementasi kebijakan merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan dalam suatu keputusan kebijakan Pelayanan Publik Pelayanan publik (public service) adalah ujung tombak dari tugas birokrasi, mayoritas pelayanan publik dapat mencerminkan keadaan yang ada didalam negara tersebut. Sehingga pelayanan publik dapat menjadi tolak ukur apakah suatu daerah, pemerintahan dan negara baik dan cukup untuk masuk dalam kategori good governance atau tidak. Pelayanan publik adalah rangkaian kegiatan atau kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan kegiatan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang – undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang dan atau pelayanan administratif yang disediakan penyelenggara pelayanan (UU No.25 Tahun 2009 ayat 1). Hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. (keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2004). Secara umum pelayanan publik adalah segala kegiatan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan publik. Lembaga Administrasi Negara/LANmengartikan pelayanan publik sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah dan dilingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Beberapa kriteria pelayanan publik yang baik, antara lain : 1.
Kesederhanaan, yakni prosedur atau tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan
3
Kebijakan dan Manajemen Publik Volume 1, Nomor 1, Januari 2014
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Kejelasan dan kepastian, adanya kejelasan dan kepastian mengenai prosedur atau tata cara pelayanan, persyaratan pelayanan, unit kerja baik yang bekerja maupun yang bertanggung jawab, rincian biaya atau tarif dan tata cara pembayarannya, serta jadual penyelesaian pelayanan Keamanan, proses hasil pelayanan dapat memberikan keamanan, kenyamanan dan dapat memberikan kepastian hukum Keterbukaan, yakni hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan dan sebagainya harus terbuka dan dapat dipahami oleh masyarakat Efisien, hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan hendaknya bersifat efisien tanpa adanya pengulangan tahap sehingga tidak membebani terhadap masyarkat dan penyelenggara pelayanan serta dapat dilakukan semudah mungkin dengan hasil yang baik Ekonomis, pengenanaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan nilai barang atau jasa yang dilayani, kondisi dan kemampuan masyarakat serta ketentuan peraturan perundangan yang berlaku Keadilan yang merata, cakupan pelayanan diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diberlakukan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat Ketepatan waku, pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan Kuantitatif, yakni jumlah warga atau masyarakat yang meminta pelayanan menunjukkan adanya peningkatan, lama waktu pemberian pelayana sesuai dengan permintaan, penggunaan perangka modern untuk mempercepat dan mempermudah pelayanan, frekuensi keluhan dan pujian dari masyarakat penerima pelayanan terhadap pelayanan yang diberikan.
Sertifikat Tanah Sertifikat hak atas tanah adalah bukti kepemilikan seseorang atas suatu tanah beserta bangunannya. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 3 huruf a Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP Pendaftaran Tanah”): Pasal 4 ayat (1) PP Pendaftaran Tanah: Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah. Pasal 3 huruf a PP Pendaftaran Tanah: Pendaftaran tanah bertujuan: a. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah
dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan; Berdasarkan uraian pasal tersebut dapat kita lihat bahwa sertifikat hak atas tanah berguna sebagai alat bukti kepemilikan suatu hak atas tanah bagi pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Ini berarti bahwa sertifikat atas tanah diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak atas tanah tersebut (Pasal 31 ayat [1] PP Pendaftaran Tanah). Lebih lanjut dikatakan dalam Pasal 32 PP Pendaftaran Tanah bahwa sertifikat hak atas tanah merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Pemberian hak atas tanah ini dilakukan oleh Kantor Pertanahan, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, bergantung pada jenis dan luas tanah yang diajukan permintaan hak atas tanah (Pasal 3 – Pasal 13 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah (“Peraturan Kepala BPN No. 2/2013”). Sedangkan yang akan menandatangani buku tanah dan sertifikat hak atas tanah untuk pertama kali adalah Kepala Kantor Pertanahan dalam hal pendaftaran tanah secara sporadik (Pasal 18 Peraturan Kepala BPN No. 2/2013). Layanan Rakyat Sertifikat Tanha (Larasita) Larasita Larasita adalah program prioritas dari BPN yang merupakan kebijakan inovatif yang beranjak dari pemenuhan rasa keadilan yang diperlukan saat ini oleh masyarakat. Hal ini dibangun dan dikembangkan untuk menjalankan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945, Undang-Undang Pokok Agraria, serta seluruh peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan keagrariaan. Pengembangan Larasita sebagai mobile service sekaligus mengubah paradigma pelaksanaan tugas pokok dan fungsi BPN RI dari menunggu atau pasif menjadi aktif atau pro aktif, mendatangi masyarakat secara langsung. Larasita menjalankan tugas pokok dan fungsi yang ada pada kantor pertanahan. Hal ini sesuai dengan PERKBPN No. 18 Tahun 2009 tentang Larasita yang juga sesuai dengan sifatnya yang bergerak, pelaksanaan tugas pokok dan fungsi tersebut diperlukan pemberian atau pendelegasian kewenangan yang diperlukan guna kelancaran pelaksanaan di lapangan. Larasita menjadi mekanisme untuk:
Menyiapkan masyarakat dalam pelaksanaan pembaruan agraria nasional (reformasi agraria);
4
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2015
Melaksanakan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan; Melakukan pendeteksian awal atas tanah-tanah terlantar; Melakukan pendeteksian awal atas tanah-tanah yang diindikasikan bermasalah; Memfasilitasi penyelesaian tanah yang bermasalah yang mungkin diselesaikan di lapangan; Menyambungkan program BPN RI dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat; Meningkatkan legalisasi aset tanah masyarakat.
Tujuan dari Larasita menjadikan BPN mampu menyelenggarakan tugas-tugas pertanahan dimanapun target kegiatan berada. Pergerakan tersebut juga akan memberikan ruang interaksi antara aparat BPN RI dengan masyarakat sampai pada tingkat kecamatan, kelurahan/desa, dan tingkat komunitas masyarakat, di seluruh wilayah kerjanya, terutama pada lokasi yang jauh dari kantor pertanahan. Hal ini dikarenakan Larasita di lengkapi dengan sarana pendukung berupa mobil, motor, bahkan perahu atau kapal kecil untuk mencapai daerah yang termasuk jauh dan merupakan prioritas pelayanan Larasita.
2.
Faktor terkait variabel karakteristik kebijakan antara lain:
Kesimpulan Berdasarkan data yang telah disajikan, dianalisis dan interpretasikan dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan PERKPBN No. 18 Tahun 2009 tentang Larasita di Kabupaten Bangkalan melahirkan program konkret berupa mobile Larasita dimana program ini sebagai kantor pertanahan yang bergerak yang mampu menangani masalah pertanahan langsung dilokasi yang dekat dengan masyarakat tanpa mengharuskan pengguna layanan untuk pergi ke kantor pertanahan. Namun Implementasi kebijakan PERKBPN No. 18 Tahun 2009 tentang Larasita di Kabupaten Bangkalan tidak berjalan dengan baik akibat penolakan dari masyarakat khususnya perangkat desa atau kepala desa di Kabupaten Bangkalan. Terdapat tiga variabel yang pengaruhi implementasi kebijakan PERKBPN No. 18 tahun 2009 di Kabupaten Bangkalan yakni: 1.
Faktor terkait variabel karakteristik masalah PERKBPN No. 18 tahun 2009 berupa:
Kendala teknis berupa tidak berfungsinya sarana dan prasarana utama pelayanan real time yang berupa perangkat komputer dan jaringan internetnya guna melayani masyarakat secara langsung, beberapa kendala teknis kedua adalah kurangnya personil dalam mengimplementasikan kebijakan. Sedangkan Kendala sosial merupakan faktor penghambat terbesar yang menyebabkan kebijakan Larasita oleh BPN tersendat, hal ini dikarenakan sasaran kebijakan adalah warga
masyarakat yang berada di bawah kepemimpinan seorang kepala daerah atau kepala desa. hambatan ini datang dari penolakan oleh kepala desa terhadap pengimplementasian Larasita di daerah yang dipimpinnya, dengan hambatan seperti ini akan menyulitkan program untuk diimplementasikan dengan baik. Masalah ini menjadi tidak dapat dipecahkan manakala sistem sosial budaya dimana unstatutery law (hukum tidak tertulis) seorang pemimpin desa menjadi lebih ditaati oleh warga masyarakatnya. Tujuan transparasni pada program Larasita menimalisasi KKN baik yang berupa pelayanan maupun materi serta pemberantasan calo kepengurusan dokumen dan berkas dibidang pertanahan.
3.
Konsep dan desain program serta alokasi dana dan SDM berjalan dengan baik ditandai dengan pengalokasian dana khusus dalam operasionalnya dan pemilihan SDM yang tepat untuk menjalankan implementasi program. Mekanisme penentuan kelompok sasaran kurang mampu dalam mengevaluasi sehingga mekanisme penetuan kelompok sasaran tidak terdefinisikan dengan baik. Sehingga tujuan dan proses dari implementasi tidak dapat terlaksana dengan maksimal karena tidak adanya pembagian dan kejelasan dalam proses dan penetuan jalannya kebijakan. Implementator mampu mengetahui, mengerti dan menjalankan tugas dengan indikasi implementator sangat paham dengan tugas dilapangan Faktor terkait variabel karakteristik lingkungan kebijakan berupa:
Sosialisasi dan reaksi masyarakt terhadap implementasi kebijakan ini kurang baik yang diketahui dengan kekurang tahuan masyarakat akan adanya layanan ini. Faktor lingkungan menjadi faktor terbesar penghambat implementasi kebijakan, kondisi kebudayaan masyarakat sasaran kebijakan. Dimana tingkat kepatuhan terhadap kepemimpinan seseorang kepala desa dan aturan (unstatutery law) yang dibuatnya masih memiliki efek dipatuhi dengan kuat. Sehingga apabila perangkat desa tidak mengijinkan atau memberi restu maka masyarakat tidak akan mudah menerima dan bahkan tidak menerima program maupun kebijakan tersebut. Sehingga dengan data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa faktor di luar kebijakan
5
Kebijakan dan Manajemen Publik Volume 1, Nomor 1, Januari 2014
adalah karakteristik kepemimpinan daerah dalam memimpin daerah tertentu dan visi misi dan keputusan kepala daerah dalam pembangunan di daerah tersebut. Saran
Terkait variabel karakteristik masalah
2.
Melakukan pelatihan sistem administrasi komputerisasi minimal setiap 1 tahun sekali, sehingga diharapkan akan mampu mengatasi masalah taknis yang dapat timbul saat berada di lapangan. Pelatihan dan pendidikan pegawai juga dapat meningkatkan kemampuan pegawau dalam menghadapi masalah-masalah terkait pertanahan. Melakukan pendekatan secara lebih intensif kepada aparat desa atau kecamatan secara lebih intensif dan tetap melakukan sosialisasi secara berkala terhadap masyarakat Terkait variabel karakteristik kebijakan antara lain:
Faktor terkait variabel karakteristik lingkungan kebijakan yakni:
Agar kebijakan pertanahan Indonesia tentang implementasi peraturan kepala BPN RI No. 18 Tahun 2009 Tentang Larasita di Kabupaten Bangkalan berjalan dengan baik maka saran yang dapat diberikan antara lain degan cara kebijakan yang sudah berjalan dan mempunyai program nyata ini hendaknya disandingkan dengan beberapa program di bidang pertanahan lainnya, sehingga mampu meningkatkan pelayanan di bidang pertanahan. Sedangkan Penolakan dari masyarakat dapat dijadikan indikator bahwa program ini tidak dapat dilanjutkan dengan konsep yang sama, sehingga perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap program ini dan memperbaharui atau mengganti atau mengkombinasikan dengan program yang benar-benar dapat diterima oleh masyarakat di daerah Bangkalan. 1.
3.
Pembagian tugas dan peran petugas dalam Larasita disesuaikan dengan keahlian dan jam kerja dikantor, serta peningkatan honor atau intensif agar dapat memberikan pelayanan secara lebih maksimal. Membuat skala prioritas daerah-daerah yang akan dilaksanakan program Larasita sehingga daerah atau desa-desa lain setiap kecamatan akan mengetahui adanya kedatangan mobil pelayanan Larasita dan akan mempermudah masyarakat untuk mengetahui tentang Larasita dan syarat-syarat dalam kepengurusan tanah. Transparasi biaya dan pelayanan hendaknya dengan merinci syarat dan biaya yang dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga masyarakat tidak ragu dan cemas untuk mengurus dokumen pertanahan.
Melakukan sosialisasi melalui media radio lokal maupun media cetak lokal agar cakupan sosialisasi lebih luas. Melakukan sosialisasi jadwal Larasita di website pertanahan dan kantor pemerintah maupun papan informasi umum. sehingga semua kalangan masyarakat dapat tercangkup sosialisasi. Berkolaborasi dengan pemerintah daerah dalam sosialisasi program Larasita dan pemberdayaan program layanan mobile dengan tujuan pemberian layanan yang lebih baik dan pendorong pemerintah daerah dalam menciptakan pelayanan publik yang lebih baik seabagi upaya menciptakan good government dan good governance. Melakukan evaluasi program Larasita secara berkala sehingga kekurangan, saran dan hambatan yang ada dapat diatasi dan tidak terjadi berulang-ulang atau tidak terselesaikan. Evaluasi juga dapat memberikan gambaran target dan pencapaian yang akan ditentukan pada periode kerja selanjutnya. Daftar Pustaka
Agustino, Leo. 2006. Dasar – Dasar Kebijakan Publik. CV. Alfabeta. Bandung Bagong Suyanto, I. Basis Susilo, Ramlan Surbakti, Yan Yan Cahyana. 1995. Metode Penelitian Sosial. Airlangga University Press. Surabaya Bungin, Burhan. 2000. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya. Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Denhardt, Janet V, and Denhardt, Robert B. 2007, The New Public Service : Serving not Steering, M.E, Sharpe, Inc, New York. Idrus, Muhammad. 2009, Metode Penelitian Ilmu Sosial, Erlangga, Jakarta Islamy, M., Irfan. 2002. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Bumi Aksara. Jakarta. Keban, Y.T. 2008, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik konsep teori dan isu, Gava Media, Yogyakarta. Miles, M. & M. Huberman. 1994. Qualitative Data Analysis. Thousand Oaks, CA: Sage Moenir, H.A.S. 1990, Pendekatan Manusiawi Dan Organisasi Terhadap Pembinaan Kepegawaian, Gunung Agung, Jakarta. Morissan, dkk. 2012, Metode Penelitian Survei, Kencana, Jakarta Moleong, Lexy J. 2005. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung
6
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2015
Nawawi,
Hadari dan Nawawi, Martini. 1992. Instrumen penelitian bidang sosial. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Nugroho, Riant. 2004. Kebijakan Publik : Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Media Tama. Jakarta. ____________. 2008. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, ed. Agus Dwiyanto. Gadjah Mada University Press ,Yogyakarta. Satori, Djam’an dan Komariah, Aan. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Alfabeta. Bandung Setijaningrum, Erna. 2009. Inovasi pelayanan Publik. PT.Revka Petra Media. Surabaya Siagian, S. P. 2004. Manajemen Stratejik. PT. Bumi Aksara. Jakarta. __________. 2007. Fungsi-fungsi Manajerial. Cetakan kedua. Rajawali Pers. Jakarta. Supriyanto, S., Damayanti, N. A. 2007. Perencanaan dan Evaluasi. Airlangga University Press. Surabaya. Subarsono. AG. 2005. Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Widodo, Joko. 2008. Analisis Kebijakan Publik : Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik. Bayumedia Publising. Malang. Winarno, B. 2005. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Cetakan ketiga. Media Pressindo. Yogyakarta.
7