Kebijakan otonomi daerah lahir dengan tujuan untuk menyelamatkan pemerintahan dan keutuhan negara, membebaskan pemerintah pusat dari beban yang tidak perlu, mendorong kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah dan masyarakat daerah dalam mengejar kesejahteraan, walau dalam perjalanannya mengalami distorsi pemahaman yang lumayan memprihatinkan. Karena itu dalam rangka otonomi daerah diperlukan kombinasi yang efektif antara visi yang jelas serta kepemimpinan yang kuat dari pemerintah pusat, dengan keleluasaan berprakarsa dan berkreasi dari pemerintah daerah ( Haris, 2005:9). Dengan otonomi ini pemerintah diharapkan bisa meningkatkan kemandirian dalam pengelolaan pembangunan daerah. 2.1.2. Sumber Pendapatan Daerah Jika dibandingkan dengan sektor bisnis, sumber pendapatan pemerintah daerah relatif terprediksi dan lebih stabil sebab pendapat tersebut diatur oleh undang-undang dan peraturan daerah yang bersifat mengikat dan dapat dipaksakan. Lain halnya dengan sektor bisnis yang sangat dipengaruhi oleh pasar yang penuh ketidakpastian sehingga pendapatan bersifat fluktuatif. Sementara itu, pemerintah daerah dengan hukum peraturan perundangan berhak memungut pajak daerah dan retribusi daerah. Bahkan pemerintah dapat memaksa wajib pajak untuk membayar pajak dan memberikan sanksi apabila tidak patuh pajak. Oleh karenanya pendapatan di pemerintah daerah relatif stabil. Meskipun demikian pemerintah daerah perlu melakukan manajemen pendapatan secara baik agar diperoleh pendapatan secara optimal.
10
Mahmudi (2010:16) menjelaskan bahwa Agar pemerintah daerah dapat melakukan pendapatan secara optimal, hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengenali sumber-sumber pendapatan daerah. Sumber pendapatan daerah pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua: pertama, sumber pendapatan yang saat ini ada dan sudah ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Kedua, sumber pendapatan dimasa datang yang masih potensial atau tersembunyi dan baru akan diperoleh apabila sudah dilakukan upaya-upaya tertentu. Selain mengenali sumber pendapatan, hal penting lainnya yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah adalah menciptakan sumber-sumber pendapatan baru. Sumber pendapatan baru ini bisa diperoleh misalnya melalui inovasi program ekonomi daerah, program kemitraan pemerintah daerah dengan pihak swasta, dan sebagainya. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah menetapkan bahwa penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah terdiri atas tiga kelompok sebagaimana dibawah ini : 1) Pendapatan Asli Daerah ( PAD), yaitu pendapatan yang diperoleh daerah dan dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, meliputi : a) Pajak daerah b) Retribusi daerah c) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan d) Lain-lain PAD yang sah 2) Dana Perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
11
3) Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Sumber penerimaan daerah yang kedua yaitu pembiayaan yang bersumber dari: 1) Sisa lebih perhitungan anggaran daerah 2) Penerimaan pinjaman daerah 3) Dana cadangan daerah 4) Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan 2.1.3. Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh dari sumbersumber pendapatan daerah dan dikelola sendiri oleh pemerintah daerah. Pendapatan Asli Daerah merupakan tulang punggung pembiayaan daerah, oleh karenanya kemampuan melaksanakan ekonomi diukur dari besarnya kontribusi yang diberikan oleh Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD, semakin besar kontribusi yang dapat diberikan oleh Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD berarti semakin kecil ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan pemerintah daerah. Pendapatan Asli Daerah hanya merupakan salah satu komponen sumber penerimaan keuangan negara disamping penerimaan lainnya berupa dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah juga sisa anggaran tahun sebelumnya dapat ditambahkan sebagai sumber pendanaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Keseluruhan bagian penerimaan tersebut setiap tahun tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai APBD, namun
12
proporsi PAD terhadap total penerimaan tetap merupakan indikasi derajat kemandirian keuangan suatu pemerintah daerah. PAD menurut Halim (2004:67) adalah “ semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah”. Upaya peningkatan PAD secara positif dalam pengertian bahwa keleluasaan oleh daerah harus dapat dimanfaatkan untuk dapat meningkatkan PAD untuk menggali sumber-sumber penerimaan baru tanpa membebani masyarakat dan tanpa menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Upaya peningkatan PAD tersebut harus dipandang sebagai perwujudan tanggung jawab pemerintah daerah meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Pendapatan asli daerah (La Mente, 2010:202) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi. Pemerintah daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan secara maksimal, namun tentu saja dalam koridor perundang-undangan yang berlaku khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan didaerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah. Menurut Mardiasmo (2002:132) “Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan , dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.”
13
Dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah pemerintah daerah dilarang : a. Menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. b. Menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan import/eksport. Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 26, klasifikasi Pendapatan Asli Daerah terdiri dari : Pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan alam yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang dipisahkan. Jenis pajak daerah dan retribusi daerah dirinci menurut obyek pendapatan sesuai dengan undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD, bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah, penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah, penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, pendapatan denda pajak, pendapatan denda retribusi, pendapatan hasil eksekusi atas jaminan, pendapatan dari pengembalian, fasilitas sosial dan fasilitas umum, pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, dan pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
14
2.1.4. Pajak Daerah 2.1.4.1. Defenisi Pajak Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya Ahmad Yani (2002:53) menyatakan bahwa Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan,
yang
digunakan
untuk
membiayai
penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan. Lebih lanjut Suparmoko (2002:56) menjelaskan bahwa pajak daerah mempunyai peran ganda yaitu sebagai sumber pendapatan daerah (budgetary) dan sebagai alat pengaturan (regulatory) alokasi dan distribusi kegiatan ekonomi dalam suatu daerah tertentu. Keberadaan pajak daerah harus ditentukan target yang diperoleh pada setiap tahunnya. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan realisasi penerimaan pajak daerah itu sendiri karena pajak daerah akan optimal sebagai kontribusi PAD apabila realisasinya dapat melebihi target yang telah ditetapkan. Dari pengertian pajak daerah tersebut diatas maka dapat diartikan bahwa pemungutan pajak daerah merupakan wewenang daerah yang diatur dalam
15
undang-undang tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan rumah tangga daerah itu sendiri. Kriteria pajak daerah yang telah ditetapkan undang-undang bagi kabupaten/ kota adalah : 1) Bersifat pajak dan bukan retribusi 2) Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wiliyah kabupaten atau kota yang bersangkutan 3) Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepetingan umum 4) Objek pajak bukan merupakan objek pajak provinsi / objek pajak pusat 5) Potensinya memadai 6) Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif 7) Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat 8) Menjaga kelestarian lingkungan 2.1.4.2. Jenis – Jenis Pajak Daerah Peraturan perundangan mengenai pajak daerah mengalami beberapa kali perubahan. Peraturan perundangan di bidang pajak daerah antara lain UndangUndang Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, UndangUndang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kemudian pada Tahun 2009 pemerintah pusat mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menggantikan UndangUndang Nomor 34 Tahun 2000. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, pajak daerah di Indonesia dibagi menjadi dua jenis yaitu pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota.
16
Pembagian ini dilakukan sesuai dengan kewenangan pengenaan dan pemungutan masing-masing jenis pajak daerah pada wilayah administrasi provinsi atau kabupaten/kota yang bersangkutan. Pada undang-undang Nomor 34 tahun 2000, terdapat 11 jenis pajak daerah yang terdiri atas 4 pajak provinsi dan 7 pajak kabupaten/kota. Sementara pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 terdapat 16 jenis pajak daerah yang terdiri dari 5 pajak provinsi dan 11 pajak kabupaten/kota. Perbedaan tersebut dijelaskan pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Perkembangan Peraturan Pajak Provinsi dan Kabupaten/Kota UU No. 34 Tahun 2000
UU No. 28 Tahun 2009
Pajak provinsi meliputi: 1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air 2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air 3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
Pajak Provinsi meliputi: 1. Pajak Kendaraan Bermotor 2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 4. Pajak Air Permukaan 5. Pajak Rokok
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pajak Kabupaten/Kota meliputi: 1. Pajak Hotel 2. Pajak Restoran Pajak Kabupaten/Kota meliputi: 3. Pajak Hiburan Pajak hotel 4. Pajak Reklame Pajak Restoran 5. Pajak Penerangan Jalan Pajak Hiburan 6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Pajak Reklame Batuan Pajak Penerangan Jalan 7. Pajak Parkir Pajak Pengambilan Bahan Galian 8. Pajak Air Tanah Golongan C 9. Pajak Sarang Burung Walet Pajak Parkir 10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan 11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Sumber: UU Nomor 34 Tahun 2000 dan UU Nomor 28 Tahun 2009. 17
2.1.4.3. Tarif Pajak Daerah Salah satu unsur penghitungan pajak yang akan menentukan besarnya pajak terutang yang harus dibayar oleh wajib pajak adalah tarif pajak sehingga penentuan besarnya tarif pajak yang diberlakukan pada setiap jenis pajak daerah memegang peranan penting. Penetapan tarif pajak provinsi berbeda dengan penetapan tarif pajak kabupaten/kota yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Dengan memperhatikan kondisi masing-masing daerah kabupaten/kota, tarif pajak untuk kabupaten/kota dapat ditetapkan tidak seragam. Hal ini antara lain dengan mempertimbangkan bahwa tarif yang berbeda untuk jenis-jenis pajak kabupaten/kota tidak akan mempengaruhi lokasi wajib pajak untuk melakukan kegiatan yang dikenakan pajak. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 mengatur tarif pajak yang paling tinggi yang dapat dipungut oleh daerah untuk setiap jenis pajak. Penetapan tarif paling tinggi tersebut bertujuan memberikan perlindungan kepada masyarakat dari penetapan tarif yang terlalu membebani sedangkan tarif yang paling rendah tidak ditetapkan untuk memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk mengatur sendiri besarnya tarif pajak yang sesuai dengan kondisi masyarakat di daerahnya, termasuk membebaskan pajak bagi masyarakat yang tidak mampu. Disamping itu, dalam penetapan tarif pajak juga dapat diadakan klasifikasi/penggolongan tarif berdasarkan kemampuan wajib pajak atau berdasarkan jenis objek pajak. Pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 telah ditentukan besaran tarif pajak yang dapat ditetapkan oleh pemerintah daerah untuk masing-masing
18
jenis pajak daerah. Tarif pajak yang diatur adalah tarif paling tinggi, sebagaimana dibawah ini. 1) Tarif Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) ditetapkan paling tinggi 10% dengan perincian: a. Tarif PKB untuk kendaraan bermotor pribadi kepemilikan pertama ditetapkan paling tinggi sebesar 2% b. Tarif PKB untuk kendaraan bermotor pribadi kepemilikan kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresif paling tinggi sebesar 10% c. Tarif PKB untuk kendaraan bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah/TNI/POLRI, pemerintah daerah, dan kendaraan lain yang ditetapkan paling tinggi sebesar 2% d. Tarif PKB untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan paling tinggi sebesar 0,2% 2) Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) ditetapkan paling tinggi 20% dengan perincian : a. Tarif BBNKB untuk penyerahan pertama ditetapkan paling tinggi sebesar 20% b. Tarif BBNKB untuk penyerahan kedua dan seterusnya ditetapkan paling tinggi sebesar 1% 3) Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) ditetapkan paling tinggi 10%
19
4) Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi 10% 5) Tarif Pajak Rokok ditetapkan paling tinggi 10% 6) Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi 10% 7) Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi 10% 8) Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi 35% 9) Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi 25% 10) Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi 10% 11) Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan paling tinggi sebesar 25% 12) Tarif Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi 30% 13) Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan paling tinggi sebesar 20% 14) Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan palin tinggi sebesar 10% 15) Tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pedesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi 0,3% 16) Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 5% Dalam rangka pemerataan pembangunan dan peningkatan kemampuan keuangan kabupaten/kota dalam membiayai fungsi pelayanan kepada masyarakat, pajak provinsi dibagihasilkan kepada kabupaten/kota, dengan proporsi pada tabel 2.2 berikut.
20
Tabel 2.2 Persentase Bagi Hasil Penerimaan Pajak Daerah
No. 1 2 3 4 5 No.
Jenis Pajak Provinsi Pajak Kendaraan Bermotor Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Pajak Air Permukaan Pajak Rokok Jenis Pajak Kab/Kota
1 Pajak Hotel 2 Pajak Restoran 3 Pajak Hiburan 4 Pajak Reklame 5 Pajak Penerangan Jalan 6 Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan 7 Pajak Parkir 8 Pajak Air Tanah 9 Pajak Sarang Burung Walet 10 PBB Pedesaan dan Perkotaan 11 Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Sumber: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
Provinsi 70% 70% 30% 50% 30%
Kab/Kota 30% 30% 70% 50% 70%
Kab/Kota
Desa
90% 90% 90% 90% 90% 90% 90% 90% 90% 90% 90%
10% 10% 10% 10% 10% 10% 10% 10% 10% 10% 10%
2.1.4.4. Dasar Pengenaan Pajak Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dengan tegas menetapkan dasar penegenaan pajak untuk setiap jenis pajak daerah. Dasar pengenaan pajak provinsi adalah sebagai berikut: 1) Pajak Kendaraan Bermotor dikenakan atas hasil perkalian dari dua unsur pokok nilai jual kendaraan bermotor dan bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor. 2) Bea balik nama kendaraan bermotor dikenakan atas nilai jual kendaraan bermotor.
21
3) Pajak bahan bakar kendaraan bermotor dikenakan atas nilai jual bahan bakar kendaraan bermotor sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai. 4) Pajak air permukaan dikenakan atas nilai perolehan air. 5) Pajak rokok dikenakan atas cukai yang ditetapkan oleh pemerintah pusat terhadap rokok. Dasar pengenaan pajak kabupaten/kota adalah sebagaimana disebut dibawah ini: 1) Pajak Hotel dikenakan atas jumlah pembayaran atau uang seharusnya dibayar kepada hotel. 2) Pajak Restoran dikenakan atas jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima restoran. 3) Pajak Hiburan dikenakan atas jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan. 4) Pajak Reklame dikenakan atas nilai sewa reklame. 5) Pajak Penerangan Jalan dikenakan atas nilai jual tenaga listrik. 6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan dikenakan atas nilai jual hasil pengambilan mineral bukan logam dan batuan. 7) Pajak Parkir dikenakan atas jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat parkir. 8) Pajak Air Tanah dikenakan atas nilai perolehan air tanah. 9) Pajak Sarang Burung Walet dikenakan atas nilai jual sarang burung walet. 10) PBB Pedesaan dan Perkotaan dikenakan atas nilai jual objek pajak
22
11) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dikenakan nilai perolehan objek pajak. 2.1.4.5. Sistem Pemungutan Pajak Daerah Ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Indonesia dengan jelas menentukan bahwa sistem perpajakan Indonesia adalah sistem self assesment. Penetapan sistem self assessment juga dianut dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Karena karakteristik setiap jenis pajak daerah tidak sama, sistem ini tidak dapat diberlakukan untuk semua jenis pajak daerah. Pemungutan pajak daerah saat ini menggunakan tiga sistem pemungutan pajak, sebagaimana tertera di bawah ini: 1) Dibayar sendiri oleh wajib pajak. Sistem ini merupakan perwujudan dari sistem self assessment, yaitu sistem pengenaan pajak yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar,
dan
melaporkan
sendiri
pajak
terutang
dengan
menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) 2) Ditetapkan oleh kepala daerah. Sistem ini merupakan perwujudan dari sistem official assessment, yaitu sistem pengenaan pajak yang dibayar oleh wajib pajak setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh kepala daerah melalui Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.
23
3) Dipungut oleh pemungut pajak. Sistem ini merupakan perwujudan dari sistem with holding, yaitu sistem pengenaan pajak yang dipungut oleh pemungut pajak pada sumbernya. Dalam
pelaksanaannya,
pemungutan
pajak
daerah
tidak
dapat
diborongkan. Artinya seluruh proses kegiatan pemungutan pajak tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Walaupun demikian, dimungkinkan adanya kerja sama dengan pihak ketiga dalam proses pemungutan pajak, antara lain pencetakan formulir
perpajakan,
pengiriman
surat-surat
kepada
wajib
pajak,
atau
penghimpunan data objek dan subjek pajak. Kegiatan yang tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan penghitungan besarnya pajak yang terutang, pengawasan penyetoran pajak, dan penagihan pajak. 2.1.5. Retribusi Daerah 2.1.5.1. Defenisi Retribusi Daerah Salah satu sumber penerimaan negara adalah retribusi. Berbeda dengan pajak, retribusi pada umumnya berhubungan dengan kontraprestasi langsung, dalam arti bahwa pembayar retribusi akan menerima imbalan secara langsung dari retribusi yang dibayarnya. Defenisi retribusi daerah menurut Darwin (2010:165) yaitu “pungutan sebagai pembayaran atas jasa atau perizinan tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.” Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk 24
kepentingan pribadi atau badan. Kamaroellah (2011:7) dalam jurnalnya menyatakan bahwa retribusi adalah iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dan jasa balik secara langsung dapat ditunjuk paksaan ini bersifat ekonomis, karena siapa saja yang tidak merasakan jasa balik dari pemerintah tidak dikenakan iuran ini. Kaho (2007:170) menyatakan bahwa retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas pemakaian jasa atau karena mendapatkan jasa pekerjaan, usaha atau milik daerah bagi yang berkepentingan atau karena jasa yang diberikan oleh daerah. Beberapa ciri yang melekat pada retribusi daerah yang saat ini dipungut di Indonesia adalah sebagai berikut: a) Retribusi merupakan pungutan yang dipungut berdasarkan undang-undang dan peraturan daerah yang berkenaan. b) Hasil penerimaan retribusi masuk ke kas pemerintah daerah c) Pihak yang membayar retribusi mendapatkan kontra prestasi secara langsung dari pemerintah daerah atas pembayaran yang dilakukannya. d) Retribusi terutang apabila ada jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang dinikmati oleh orang atau badan. e) Sanksi yang dikenakan pada retribusi adalah sanksi secara ekonomis, yaitu jika tidak membayar retribusi, tidak akan memperoleh jasa yang disediakan pemerintah daerah.
25
2.1.5.2. Golongan Retribusi Daerah Berdasarkan kelompok jasa yang menjadi objek retribusi daerah dapat dilakukan
penggolongan
retribusi
daerah.
Penggolongan
jenis
retribusi
dimaksudkan guna menetapkan kebijakan umum tentang prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi daerah. Sesuai Undang-Undang No.34 Tahun 2000 Pasal 18 Ayat 2 dan Undang-Undang No.28 Tahun 2009 Pasal 108 Ayat 2-4, retribusi daerah dibagi atas tiga golongan, sebagaimana disebut di bawah ini. 1) Retribusi Jasa Umum, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. 2) Retribusi Jasa Usaha, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. 3) Retribusi Perizinan Tertentu, yaitu retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian ijin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Golongan atau jenis-jenis retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu ditetapkan dengan peraturan pemerintah berdasarkan
26
kriteria tertentu. Penetapan jenis-jenis retribusi jasa umum, dan retribusi jasa usaha dengan peraturan pemerintah dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam penerapannya sehingga dapat memberikan kepastian bagi masyarakat dan disesuaikan dengan kebutuhan nyata daerah yang bersangkutan. Penetapan jenisjenis retribusi perizinan tertentu dengan peraturan pemerintah dilakukan karena perizinan tersebut, walaupun merupakan kewenangan pemerintah daerah, tetap memerlukan koordinasi dengan instansi-instansi teknis terkait. Jasa yang menjadi objek retribusi hanyalah jasa yang diselenggarakan pemerintah daerah secara langsung. Apabila ada jasa yang diselenggarakan oleh perangkat pemerintah daerah, tetapi tidak secara langsung, misalnya oleh BUMD, jasa tersebut tidak dikenakan retribusi. Sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Pasal 19, jasa yang disediakan oleh BUMD bukan merupakan objek retribusi, tetapi sebagai penerimaan BUMD sesuai dengan UU yang berlaku. Jenis-jenis retribusi jasa umum, retribusi jasa khusus, dan retribusi perizinan tertentu sebagaimana dimaksudkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah sebagaimana pada tabel 2.3.
27
Tabel 2.3 Jenis-Jenis Retribusi Daerah Retribusi Jasa Umum
Retribusi Jasa Khusus
1) Retribusi Pelayanan Kesehatan 2) Retribusi Pelayanan Persampahan/ Kebersihan 3) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil 4) Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat 5) Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum 6) Retribusi Pelayanan Pasar 7) Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor 8) Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran 9) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta 10) Retribusi Penyediaan dan atau Penyedotan Katkus 11) Retribusi Pengolahan Limbah Cair 12) Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang 13) Retribusi Pelayanan Pendidikan 14) Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
1) Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah 2) Retribusi Pasar Grosir dan atau Pertokoan 3) Retribusi Tempat Pelelangan 4) Retribusi Terminal 5) Retribusi Tempat Khusus Parkir 6) Retribusi Tempat Penginapan/ Pesanggrahan/ Villa 7) Retribusi Rumah Potong Hewan 8) Retribusi Pelayanan Kepelabuhan 9) Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga 10) Retribusi Penyebrangan di Air 11) Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah
1)
2)
3) 4) 5)
Retribusi Perizinan Tertentu Retribusi Izin Mendirikan Bangunan Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol Retribusi Ijin Gangguan Retribusi Ijin Trayek Rertribusi Izin Usaha Perikanan
Sumber: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. 2.1.5.3. Tarif Retribusi Daerah Tarif retribusi daerah adalah nilai rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi daerah yang terutang. Tarif
28
retribusi dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif retribusi. Contohnya pembedaan retribusi tempat rekreasi antara anak dan dewasa, retribusi parkir antara sepeda motor dan mobil dan retribusi sampah antara rumah tangga dan industri. Besarnya tarif dapat dinyatakan dalam rupiah per unit tingkat penggunaan jasa. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 155 ditetapkan bahwa tarif retribusi ditinjau kembali paling lama tiga tahun sekali. Peninjauan tarif retribusi dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian. Sesuai dengan pasal 21 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dan Pasal 8-10 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi daerah ditentukan sebagai berikut. 1) Tarif retribusi jasa umum ditetapkan berdasarkan kebijakan daerah dengan mempertimbangkan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan. 2) Tarif retribusi jasa usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak. Keuntungan yang layak adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. 3) Tarif retribusi perizinan tertentu ditetapkan berdasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Biaya penyelenggaraan izin yang bersangkutan meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di
29
lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut. 2.1.5.4. Pemungutan Retribusi Daerah Retribusi dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) atau dokumen lain yang dipersamakan. SKRD adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya pokok retribusi. Dokumen lain yang dipersamakan antara lain berupa karcis masuk, kupon, dan kartu langganan. Dalam hal wajib retribusi tertentu tidak membayar retribusi tepat pada waktunya atau kurang membayar, maka kepadanya dikenakan sangsi administrasi berupa bunga sebesar dua persen setiap bulan dari retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Retribusi Daerah (STRD). STRD merupakan surat untuk melakukan tagihan retribusi dan atau sanksi administrasi berupa bunga atau denda. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pada Pasal 161 menetapkan bahwa pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayananan yang bersangkutan. 2.1.6. Belanja Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Yuwono dkk (2005:108) menyatakan bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah atau kewajiban yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode 30
satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah. Belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Perlindungan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dimaksudkan diwujudkan dalam bentuk pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak, serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Belanja daerah harus mempertimbangkan analis standar belanja, standar harga, tolak ukur kinerja, dan standar pelayanan minimal yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan Pernyataan Nomor 2, belanja adalah semua pengeluaran dari rekening kas umum negara/daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah. Belanja diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi, organisasi dan fungsi. Klasifikasi ekonomi adalah pengelompokan belanja yang didasarkan pada jenis belanja untuk melaksanakan suatu aktivitas. Klasifikasi untuk pemerintah daerah terdiri dari belanja operasi, belanja modal, dan belanja tak terduga. Belanja operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari pemerintah daerah yang memberi manfaat jangka pendek yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, bunga, subsidi, hibah, dan bantuan sosial. Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja
31
modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan, dan aset tidak berwujud. Belanja lain-lain/tak terduga adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah daerah. Klasifikasi menurut organisasi yaitu klasifikasi berdasarkan unit organisasi pengguna anggaran. Klasifikasi belanja menurut organisasi di pemerintah daerah antara lain belanja Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Sekretariat Daerah pemerintah provinsi/kota/kabupaten, dinas pemerintah tingkat provinsi/kota/kabupaten, dan lembaga teknis daerah provinsi/kota/kabupaten. Sementara itu klasifikasi menurut fungsi adalah klasifikasi yang didasarkan pada fungsi-fungsi utama pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. 2.2. Penelitian Terdahulu Ester Afriani (2007) telah meneliti tentang “Pengaruh Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Terhadap Penerimaan Daerah Kabupaten Langkat”. Penelitian ini menyimpulkan bahwa hasil regresi berganda menunjukan bahwa secara bersama-sama terdapat pengaruh yang signifikan antara pajak daerah dan retribusi daerahterhadap penerimaan daerah. Tetapi dilihat dari rata-rata kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah kabupaten langkat sebesar 3,59% maka dari aspek kemampuan keuangan daerah, Kabupaten Langkat belum dapat menjalankan
32
otonomi secara konsekuen karena masih tergantung dari penerimaan lain diluar dari penerimaan dari PAD. Dian Mayasari (2004) melakukan penelitian untuk menguji pengaruh pajak daerah terhadap PAD, studi kasus Kabupaten dan Kota di Jawa Timur. Dari hasil penelitian tersebut diketahui nilai rata-rata kontribusi pajak daerah terhadap PAD yang memiliki nilai tertinggi adalah Kabupaten Tuban sebesar 58,96% dan nilai terendah adalah Kabupaten Sumenep 13,85%. Sedangkan untuk kota, nilai ratarata pajak daerah yang memiliki nilai tertinggi adalah Kota Surabaya sebesar 56,05% dan nilai terendah adalah Kota Blitar yaitu sebesar 21,17%. Moh. Riduansyah (2003) melakukan penelitian dengan mengangkat judul Kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah terhadap PAD dan APBD (studi kasus Pemerintah Daerah Kota Bogor). Dan hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap perolehan PAD dan APBD Pemerintahan Kota Bogor cukup signifikan dengan rata-rata kontribusi sebesar 27,78% per tahun. Kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap total perolehan penerimaan Pemda Bogor tercermin
dalam
APBD-nya,
dikaitkan
dengan
kemampuanya
untuk
melaksanakan otonomi daerah terlihat cukup baik. Komponen pajak daerahnya rata-rata pertahun memberikan kontribusi sebesar 7,81% dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 22,89% pertahunnya. Sedangkan pendapatan retribusi daerah memberikan kontribusi rata-rata pertahunnya 15,61% dengan rata-rata pertumbuhan pertahunnya sebesar 5,08% per tahun.
33
Tabel 2.4 Tinjauan Penelitian Terdahulu No. Peneliti 1 Ester Afriani (2007)
Judul Variabel Pengaruh Variabel pajak independen: daerah dan - pajak daerah retribusi - retribusi daerah daerah terhadap Variabel penerimaan dependen: Daerah - PAD Kabupaten Langkat 2 Dian Kontribusi Variabel Mayasari penerimaan independen: - pajak daerah (2004) pajak daerah terhadap Variabel PAD studi dependen: - PAD kasus Kabupaten dan Kota di Jawa Timur 3 Moh. Kontribusi Variabel Riduansyah pajak independen: (2003) daerah dan - pajak daerah retribusi - retribusi daerah daerah terhadap Variabel PAD dan dependen: APBD, - PAD studi kasus - APBD Pemerintah Daerah Kota Bogor Sumber: Hasil Olahan Data oleh Peneliti
Hasil Penelitian Pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten langkat berpengaruh terhadap penerimaan Daerah, baik secara simultan maupun parsial
Rata-rata kontribusi pajak daerah terhadap PAD yang memiliki nilai tertinggi adalah Kabupaten Tuban sebesar 58,96% dan nilai terendah adalah Kabupaten Sumenep sebesar 13,85%
Kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah terhadap PAD dan APBD Pemerintah Daerah Kota Bogor cukup signifikan dengan rata-rata kontribusi sebesar 27,78% pertahun.
2.3. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual adalah suatu model yang menerangkan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor-faktor yang penting yang telah diketahui
34
dalam suatu maslah tertentu. Berdasarkan uraian latar belakang masalah, tujuan teoritis, tinjauan penelitian terdahulu, maka peneliti membuat kerangka konseptual sebagai berikut:
OTONOMI DAERAH Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Undang-Undang No. 33 Tahun 2004
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Dana Perimbangan
Pajak Daerah
Retribusi Daerah
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah
Lain-lain PAD yang Sah
Laporan APBD
Analisa
Kesimpulan
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
35