xvii
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminths Manusia merupakan hospes yang utama untuk beberapa nematoda usus. Sebagian besar dari nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan yang penting di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Infeksi cacing usus yang difokuskan dalam penelitian adalah cacing yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminths atau STH). Infeksi STH merupakan infeksi yang disebabkan oleh karena masuknya telur atau cacing ke dalam tubuh manusia yang ditularkan melalui tanah untuk kemudian berkembang biak menjadi cacing dewasa di dalam tubuh manusia. Infeksi ini tidak memberikan dampak luaran yang jelas sehingga seringkali diabaikan (neglected diseases). Antara cacing-cacing yang terpenting dalam kelompok soil transmitted helminths adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichiuris trichiura), dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) (WHO, 2009). Laporan WHO tahun 2009 mengatakan bahawa infeksi Ascaris lumbricoides mencapai 1 milyar orang, Trichuris trichiura 795 juta orang, dan cacing tambang (Ancylostama duodenale dan Necator americanus) 740 juta orang. 2.1.1. Ascaris lumbricoides Ascaris lumbricoides merupakan cacing usus yang terbesar, mampu membesar sehingga 35cm panjang dan 0,5cm garis tengah. Manusia merupakan satusatunya hospes definitif Ascaris lumbricoides. Ascaris lumbricoides hidup didalam usus dan telurnya terdapat pada feses orang yang terinfeksi. Ascaris tertular melalui route fecal-oral yaitu dengan cara tertelan telur yang infektif. Jika orang yang terinfeksi defekasi di luar atau feses orang yang terinfeksi digunakan sebagai pupuk, maka telur akan berada di tanah, lalu menjadi matang dan berada dalam bentuk infektif. Tanah gembur, kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar antara 25-30⁰ C merupakan hal-hal yang sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides menjadi bentuk infektif. Kemudian, infeksi bisa terjadi apabila jari atau tangan yang
Universitas Sumatera Utara
xviii
mengandungi tanah yang mengandung telur tadi dimasukkan ke dalam mulut atau terjadi akibat konsumsi sayuran atau buah yang tidak dibasuh, dibuang kulit atau tidak dimasak dengan cara yang benar (CDC 2010). Di Indonesia, prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak. Frekuensinya antara 60-90% (Gandahusada 1998). Telur Ascaris lumbricoides yang infektif bila tertelan manusia menetas menjadi larva di usus halus. Larva menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limpa kemudian terbawa oleh darah sampai ke jantung menuju paru-paru. Larva di paru-paru menembus dinding alveolus dan, masuk ke rongga alveolus dan naik ke trakea. Dari trakea larva menuju ke faring. Penderita akan batuk kareana adanya rangsangan larva ini. Larva di faring tertelan dan terbawa ke esofagus, terakhir sampai di usus halus dan menjadi cacing dewasa. Proses ini membutuhkan waktu kurang lebih 2 bulan (Onggowaluyo, 2002). 2.1.2. Trichuris trichiura Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing cambuk (Trichuris trichiura) adalah Trichuriasis (Gandahusada, 1998). Trichuriasis mempunyai distribusi yang global dan daerah yang sering terinfeksi adalah daerah tropis seperti di Asia Tenggara. Pada tahun 1990, diperkirakan 21% anak pra-sekolah dan 25% anak sekolah di dunia menderita Trichuriasis (Holland dan Kennedy, 2002). Cara penularannya sama seperti cara penularan cacing Ascaris lumbricoides yaitu melalui route fecal-oral. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000-10000 butir. Telur yang dibuahi akan keluar melalui tinja dan akan matang dalam waktu 3 sampai 6 minggu pada lingkungan yang sesuai; tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Hospes akan menelan telur matang secara kebetulan. Kemudian, larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa, cacing akan kembali ke lumen dan turun ke usus bagian distal dan masuk ke dalam kolon, terutama sekum. Cacing tersebut akan lengket pada usus besar dengan cara menembuskan bagian ujung anteriornya ke dalam membran mukosa usus dan akan
Universitas Sumatera Utara
xix
membentuk struktur tunnel-like pada bagian superfisial epithelium. Bagian posterior cacing tergantung secara bebas dalam lumen. Perkembangannya di dalam hospes memakan masa sampai 3 bulan (Zaman dan Mary, 2008). Tidak seperti pada infeksi Ascaris lumbricoides, cacing ini tidak mempunyai siklus pada paru (Gandahusada, 1998). 2.1.3. Hookworms Sejarah penamaan cacing tambang bermula di Eropah apabila cacing ini ditemukan pada pekerja pertambangan, yang belum mempunyai fasilitas sanitasi yang memadai (Gandahusada, 1998). Ada beberapa spesies hookworms yang penting dalam bidang medis, namun yang sering dijumpai di Indonesia ialah cacing Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Prevalensi di Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan, sekitar 40%. Distribusi cacing ini di seluruh daerah khatulistiwa dan di tempat lain dengan keadaan yang sesuai, misalnya di daerah pertambangan dan perkebunan. Hospes dari kedua cacing ini adalah manusia. Dan kedua cacing ini menyebabkan penyakit ankilostomiasis. Telur yang dihasilkan betinanya akan dikeluarkan bersama-sama tinja, 2-3 hari kemudian menetas dan keluar larva rhabditiform, selama 2 hari larva rhabditiform tumbuh menjadi larva filariform (infeksius) yang tahan terhadap perubahan iklim dan dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah lembab. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit. Infeksi Ancylostoma duodenale juga mungkin dengan menelan larva filariform (Onggowaluyo, 2002). Daur hidup kedua cacing tambang ini dimulai dari larva filariform menembus kulit manusia kemudian masuk ke kapiler darah dan berturut-turut menuju jantung kanan, paru-paru, bronkus, trakea, faring dan terakhir dalam usus halus sampai menjadi dewasa.
Universitas Sumatera Utara
xx
2.2. Cara Penularan Berdasarkan huraian di atas, jelas dapat dilihat cacing Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan hookworms dikelompokkan sebagai cacing yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminths) karena cara penularannya pada setiap orang sama yaitu melalui tanah. Adapun cara cacing ini menginfeksi manusia yakni dengan menembus kulit manusia oleh larva infektif (larva filariform matang) atau menelan telur cacing yang lengket pada makanan atau minuman yang tidak dimasak dengan matang. Secara gambaran epidemiologi, STH biasa terdapat di daerah beriklim tropis dan daerah beriklim sedang dan perbedaannya hanya terletak pada jenis spesies dan beratnya penyakit yang ditimbulkan. Faktor lingkungan seperti tanah, air, tempat pembuangan tinja tercemar oleh telur atau larva cacing serta ditambah dengan perilaku manusia yang tidak sehat akan dapat menimbulkan kejadian kecacingan (Soemirat, 2005). Kebersihan diri yang buruk merupakan cerminan dari kondisi lingkungan dan perilaku individu yang tidak sehat. Pengetahuan penduduk yang masih rendah dan kebersihan yang kurang baik mempunyai kemungkinan lebih besar terkena infeksi cacing. Usaha kesehatan pribadi (personal hygiene) adalah daya upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri meliputi memelihara kebersihan diri (mandi 2x/hari, cuci tangan sebelum dan sesudah makan), pakaian, rumah dan lingkungannya (BAB pada tempatnya), memakan makanan yang sehat dan bebas dari bibit penyakit, menghindari terjadinya kontak dengan sumber penyakit (kontak dengan tanah), dan melakukan pemeriksaan kesehatan. 2.3. Dampak Infeksi Sebagian besar daripada cacing ini menyebabkan dampak kesehatan masyarakat di Indonesia. Dampak dari cacing-cacing ini berbeda mengikut jenis. Pada askariasis, dapat terjadi pneumonitis dengan gejala batuk, dispnea, nyeri pada bagian substernal, demam dan kadang-kadang dapat ditemui sputum yang bercampur darah. Kumpulan gejala klinis ini disebut sebagai Loeffler’s syndrome (Muller, 2002). Pada infeksi Trichuris trichiura yang berat, satu gambaran klinis khas dapat dilihat
Universitas Sumatera Utara
xxi
yaitu anemia berat, diare bercampur darah, sakit perut, mual dan muntah, dehidrasi, dan berat badan turun (Brown, 1983). Pada infeksi cacing hookworms pula, akan timbulnya gejala rasa gatal pada tempat tembusnya larva memasuki kulit. Gejala klinik yang ditimbulkan adalah lemah, lesu, pucat, sesak nafas bila bekerja berat, tidak enak perut, perut buncit, anemia, dan malnutrisi. Ancylostoma duodenale dapat menyebabkan kehilangan darah 0.05-0.30ml per cacing dewasa, sementara Necator americanus 0.01-0.40ml (Pearson dan Gillespie, 2001). Infeksi cacing memberikan dampak yang besar terhadap sumber daya manusia. Kecacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestive), penyerapan (arbsorpsion), dan metabolisme makanan. Secara kumulatif, infeksi kecacingan dapat menimbulkan kerugian zat gizi berupa kalori dan protein. Selain dapat menghambat perkembangan fisik, kecerdasan dan produktifitas kerja, dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya. Dampak dari anak yang terinfeksi kecacingan akan kelihatan letih, lesu, malas makan, kurus. Hal tersebut dapat mengakibatkan IQ anak menurun atau anak menjadi kurang cerdas (Zulkoni, 2010). 2.4. Upaya Pencegahan Pencegahan primer cacing STH ini dapat dilakukan dengan memutuskan rantai daur hidup dengan cara berdefekasi di jamban, menjaga kebersihan, mandi dan cuci tangan secara teratur. Melakukan Penyuluhan kesehatan kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan yang baik dan higiene perorangan serta cara menghindari infeksi cacing seperti tidak membuang tinja di tanah, tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman, membiasakan mencuci tangan sebelum makan, membiasakan menggunting kuku secara teratur, membiasakan diri buang air besar di jamban, membiasakan diri membasuh tangan dengan sabun sehabis buang air besar, membiasakan diri memakai alas kaki bila keluar rumah, membiasakan diri mencuci semua makanan lalapan mentah dengan air yang bersih. Pencegahan sekunder cacing usus ini dapat dilakukan dengan memeriksakan diri secara teratur ke
Universitas Sumatera Utara
xxii
Puskesmas, Rumah Sakit serta menganjurkan makan obat cacing 6 bulan sekali khususnya masyarakat yang rentan terinfeksi cacing 2.5. Higiene Higiene yang belum memadai merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi kecacingan. Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya untuk mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan (Azwar 1996). Higiene adalah seluruh kondisi atau tindakan untuk meningkatkan kesehatan(Merriam 2009). Higiene merupakan ilmu yang berkaitan dengan pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan. Pengertian higiene juga mencakup usaha perawatan diri (personal hygiene). Menurut Depkes (2000) Faktor–faktor yang mempengaruhi personalhygiene adalah: 1. Body Image Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya. 2. Praktik Sosial Pada anak–anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene. 3. Status Sosial Ekonomi Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.
4. Pengetahuan Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
Universitas Sumatera Utara
xxiii
5. Budaya Pada sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan. 6. Kebiasaan Seseorang Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain – lain. 7. Kondisi Fisik atau Psikis Pada keadaan tertentu atau sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya. Menurut Hendrik L. Blum (Notoadmodjo, 1997), masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat komplek, yang saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Demikian pula pemecahan masalah kesehatannya sendiri, tetapi harus dilihat dari seluruh segi yang ada pengaruhnya terhadap masalah “sehat-sakit” atau kesehatan tersebut. Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi, baik individu, kelompok, maupun masyarakat, dikelompokkan menjadi empat berdasarkan urutan besarnya atau pengaruh terhadap kesehatan yaitu sebagai berikut: lingkungan yang mencakup lingkungan (fisik, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya), perilaku, pelayanan kesehatan, dan keturunan. Keempat faktor tersebut di samping berpengaruh langsung kepada kesehatan, juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Status kesehatan akan tercapai secara optimal, bila mana keempat faktor tersebut bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat, Keadaan higiene yang tidak baik seperti tangan dan kuku yang kotor, kebersihan diri dan penggunaan alas kaki hal ini dapat menimbulkan infeksi kecacingan. Usaha pencegahan penyakit cacingan antara lain adalah menjaga kebersihan badan, kebersihan lingkungan dengan baik, makanan dan minuman yang baik dan bersih, memakai alas kaki, membuang air besar di jamban, memelihara kebersihan diri dengan baik seperti memotong kuku dan mencuci tangan sebelum makan (Depkes RI 2001).
Universitas Sumatera Utara
xxiv
Kebiasaan mencuci tangan yang baik adalah dengan menggunakan sabun. Tangan perlu dicuci sebelum makan, setelah selesai menggunakan kamar kecil, selesai melakukan aktiviti yang melibatkan kotoran dan tanah. Anak-anak paling sering terserang penyakit cacingan karena biasanya jari-jari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut, atau makan nasi tanpa cuci tangan, namun demikian sesekali orang dewasa juga perutnya terdapat cacing (Oswari, 1991). Kuku sebaiknya selalu dipotong pendek untuk menghindari penularan cacing dari tangan ke mulut. Kekerapan memotong kuku yang baik adalah sekali seminggu atau sekali dalam dua minggu. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk Necator americanus 28-32 ⁰C sedangkan untuk Ancylostoma duodenale lebih kuat. Cara penularan kedua cacing tersebut adalah dengan larva infeksius menembus kulit manusia. Untuk menghindari infeksi, antara lain ialah memakai alas kaki (sandal atau sepatu).
Universitas Sumatera Utara