TINJAUAN PUSTAKA Biologi Molekuler Xanthomonas axonopodis (campestris) pv. glycines
X. campesfris pv. glycines merupakan bakteri penyebab penyakit bisul baMeri pada tanaman kedelai (Moffet dan Croft, 1983). Sinonimnya adatah X. campesfris pv. phaseoli (Semangun, 1991). Selain itu, menurut Bradbury (1986) sinonim lainnya adalah Pseudomonas glycines Nakano 1919, Bacterium glycines (Nakano) Elliot 1930, Phytomonas phaseoli (Nakano) Magrou in Haudoroy, Bacterium phaseoli var. sojensis Hedges 1922, Phytomonas phaseolivar. sojensis (Hedges) Burkholder 1930, Pseudomonas phaseoli var. sojensis (Hedges) Stapp 1928, dan Xanthomonas phaseoli var. sojensis (Hedges) Starr dan Burkholder 1942. Berdasarkan hornologi DNA-DNA X. campestris pv. glycines diusulkan narnanya menjadi X. axonopodis pv. glycines (Vauterin et a/., 1995)
-
Sel X. axonopodis (campestris) pv. glycines (Xag) berukuran (0.5 0.9 x 1.4
-
2.3) pm, berbentuk batang, mempunyai satu flagelum polar, dan
bersifat Gram-negatif. Pada medium Beef Infusion Agar koloninya berwarna kuning pucat dan semakin lama akan menjadi kuning tua, berukuran kecil. dan sirkuler dengan tepian yang halus. Bakteri ini dapat mencairkan gelatin, menghasilkan asam dari sukrosa dan sangat cepat menghidrolisis pati, menghasilkan auksin, bakteriosin, dan eksopolisakarida dalam kultur ( Sinclair dan Beckman, 1989). Sebagai anggota dari genus Xanthomonas
maka bakteri ini bersifat oksidatif, tidak ferrnentatif dan aerobik obfigat (Briyant et a/., 1979). Sedangkan Lelliott dan Stead (1987) mendeskripsikan sifat-sifat patovar-patovar X. campestris sebagai berikut: Gram-negatif, reaksi oksidase negatif, katalase positif, pertumbuhan terharnbat oleh 0.02
- 0.1%
TZC (triphenyl tetrazolium chloride), koloni betwarna kuning madu pada medium kentang, dan rnelakukan respirasi aerobik. Temperatur optimum pertumbuhan bakteri ini adalah 30-33OC, temperatur maksimum 38OC dan minimum 10°C. Dengan demikian bakteri ini sangat sesuai untuk berkembang di daerah beriklim panas yang berbeda dengan lingkungan hidup P. syringae pv. glycines bakteri penyebab hawar daun kedelai, yang mempunyai temperatur optimum pada kisaran 24
- 26OC
(Kennedy dan Tachibana. 1973). Struktur genom Xag terdiri dari kromosom dan dilaporkan beberapa spesies Xanthomonas mengandung plasmid-plasmid yang bersifat kriptik (Kado, 1992). Sedangkan Rosana et a/. (1995) melaporkan bahwa Xag Bra mempunyai satu
kromosom sirkuler
dan
diduga
memiliki plasmid
endogenous. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilaporkan Widjaja (1996) bahwa Xag YR32 mempunyai satu kromosom sirkuler dengan ukuran sekitar 5020 kilo pasangan basa (kb) dan Sharma et al. (1994) melaporkan bahwa pada Xag yang diisolasi dari pertanaman kedelai di Maharashtra India memiliki dua buah plasmid kriptik masing-masing yang kecil berukuran 1.5 kilo pasangan basa (kb) dan yang besar berukuran kira-kira 25 kb.
Genom X. campesfris mengandung mol % (G+C) DNA-nya berkisar antara 63
- 71 (Tm) (Bradbury,
1984). Kandungan mol % (G + C) DNA
genom sangat penting untuk pemilihan enzim restriksi yang akan digunakan untuk memotong DNA genom tersebut. Rosana et a/. (1995) melaporkan untuk memotong jarang DNA genom X. campestris sebaiknya digunakan Asel dan Spel. X. campestris pv. campestris dengan X. campestiis pv. glycines yang menampilkan fenotipik sama telah dapat dibedakan dengan jelas dengan analisis DNA genom utuh menggunakan Pulsed-Field Gel Electrophoresis (PFGE) (Rosana et a/., 1995). Teknik PFGE dan ribotyping bahkan mampu membedakan galur-galur X. campestris di dalam satu patovar (pv. glycines) (Rukayadi. 1995; Wahidin. 1996). Studi Patogenisitas Molekuler Xanthomonas axonopodis (campestris) Berbagai penelitian telah dilakukan untuk rnengetahui patogenisitas bakteri X. axonopodis (campestris), namun masih banyak informasi yang dibutuhkan untuk menerangkan mekanismenya. Menurut Sigee (1993), kemampuan bakteri untuk menimbulkan suatu penyakit pada tanaman inangnya tergantung pada banyak aspek diantaranya aspek lingkungan, perkernbangan dan fisiologis inang dan patogen, serta ekspresi dari faktor patogenisitas bakteri tersebut. Akan tetapi, banyak studi fisiologis untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang terlibat dalam penyakit yang disebabkan oleh patovar-patovar X. axonopodis (campestris) pada umumnya masih belum jelas.
Analisis genetika molekuler telah menunjukkan bahwa gen-gen yang bertanggung jawab untuk proses patogenisitas terletak di dalam kromosom, walaupun ada bukti bahwa beberapa spesies Xanthomonas mengandung plasmid-plasmid yang bersifat kriptik (Kado, 1992; Sharma et a/., 1994). Kebanyakan penelitian yang
mendalam tentang genetika
molekuler
mekanisme patogenisitas X. axonopodis (campestris) (dalam ha1 ini pv. campestris) dilakukan di laboratorium Daniels (Barre're et a/., 1986; Daniels et a/., 1983, 1984, 1988; Dow et a/., 1987, 1989, 1990, 1995; Gough et a/., 1988; Osborn et a/., 1990; Rosato et a/., 1994; Tang et a/., 1987, 1991; Turner et a/., 1985; Wilson et a/., 1998). Dari studi tersebut antara lain mereka telah mengisolasi sekitar 10-kb kurnpulan gen-gen yang terlibat dalam proses patogenisitas, dan telah diidentifikasi bahwa gen-gen patogen di dalam potongan DNA tersebut mungkin terlibat dalam proses sekresi protein, yaitu dengan mengontrol translokasi protein melewati membran luar sel. Sedangkan Hu et a/. (1992) dan Chen et a/. (1996) telah berhasil mengisolasi dan mengkarakterisasi gen xpsD yang terlibat dalam proses sekresi enzim ekstraselular melewati membran luar sel mutan X. axonopodis (campestris) pv. campestris non-patogenik. Selain itu, telah diisolasi dan dikarakterisasi gen-gen yang terlibat dalam mekanisme patogenisitas X. axonopodis (campestris) patovar malvacearum (Gabriel et a/., 1986; Yang et a/. 1996; Huang et a/., 1997), pv. vesicatoria (Bonas et a/., 1989; Wengelnik dan Bonas, 1996; Fenselau dan Bonas, 1995; Brown et a/., 1995; Yu eta/., 1995; Goncalves dan Rosato, 1997) dan pv. oryzae (Kelemu dan Leach,
1990). Meskipun demikian mekanisme patogenisitas Xag penyebab penyakit bisul pada kedelai belum banyak diteliti. Fett et a/. (1987) melaporkan kemungkinan adanya peranan auksin dalam pembentukan penyakit bisul bakteri, namun nampaknya tidak mungkin kalau hormon tersebut memainkan peranan penting dalam pengembangan penyakit ini. Sebab, meskipun Xag menghasilkan asam indol asetat (IAA) dari triptofan, tetapi galur yang patogenik maupun non-patogenik juga memproduksi hormon tersebut secara in vitm (Fett et a/., 1987).
Hwang
et
a/.
(199213)
telah
berhasil
mengidentifikasi dan
mengkarakterisasi potongan DNA yang terdiri dari gen-gen yang terlibat dalam proses patogenisitas dari Xag 8ra dengan menggunakan mutagenesis kimiawi. Narnun belum jelas apakah potongan DNA tersebut merupakan satusatunya faktor penentu patogenisitas, karena hasil mutagenesis kimiawi sering kali bersifat pleiotrofik. Meskipun isolasi dan karakterisasi gen baru merupakan tahap awal dalam mempelajari mekanisme patogenisitas, namun sudah cukup banyak informasi yang bisa diperoleh dalam waktu yang relatif singkat dengan menggunakan pendekatan genetika molekuler (Gerhold dan Stacey, 1990). Oleh karena itu data yang rinci mengenai genetika molekuler Xag, termasuk sistem
genetiknya,
merupakan
ha1
yang
sangat
penting
untuk
mengungkapkan mekanisme patogenisitas yang kompleks ini. Saat ini di laboratorium kami dengan pendekatan genetika molekuler sedang dipelajari mengenai sistem genetik, dan faktor-faktor yang terlibat
dalam patogenisitas Xag (Mesak et a/.. 1994; Rosana eta/., 1995; Rukayadi, 1995; Wahidin, 1996; Widjaja, 1996; Rukayadi et a/., 1998). Untuk mernpelajari gen-gen yang terlibat dalarn patogenisitas bakteri ini, Mesak el at. (1994) berpendapat perlunya mencari galur non-patogenik baik secara alamiah maupun melalui mutagenesis. Melalui mutagenesis dalam ha1 ini mutagenesis transposon diharapkan diperoleh mutan-mutan yang dapat memberikan informasi tentang faktor-faktor yang terlibat dalam patogenisitas Xag, sehingga pada gilirannya pengendalian penyakit bisul bakteri dapat ditangani dengan lebih sistematis. Mutagenesis Transposon Salah satu penyebab kurang berhasilnya pemahaman mekanisme patogenisitas pada Xag diantaranya karena
belum tersedianya informasi
yang memadai mengenai organisasi struktur genom, peta fisik serta genetika yang lengkap dari bakteri tersebut. ldentifikasi dan lokalisasi gen-gen untuk melengkapi peta fisik dan genetika antara lain dapat dilakukan dengan mutagenesis transposon. Mutagenesis transposon merupakan mutagenesis hayati karena terjadinya penyisipan suatu segrnen DNA yang dapat pindah dari satu situs
ke situs lain dalam suatu genom (Snyder dan Champness, 1997). Penyisipan transposon dalam suatu gen mengakibatkan gen tidak dapat berfungsi penuh. Adanya penyisipan transposon dalam suatu gen dapat diamati dengan melihat perubahan fenotipe dan skizotipe mutannya dibandingkan
dengan tipe liarnya. Selain itu penanda antibiotik pada transposon juga dapat digunakan untuk penapisan mutan hasil mutagenesis transposon (Simon et a/., 1983). Sedangkan lokasi sisipan transposon dapat ditentukan dengan
analisis hibridisasi Southern menggunakan transposon yang bersangkutan sebagai pelacaknya (probe). Berbagai transposon dengan penanda antibiotik tertentu telah diisolasi dari alam ataupun dikonstruksi. Dalam penelitian ini digunakan transposon turunan Tn5 ( m i n i - ~ n ~dan ~m r n~i n i - ~ n ~ ~ p ~Tn4431, l ~ m ~ dan ) , Tn4351. Tn5. Sejauh ini transposon yang paling banyak dipakai untuk
percobaan-percobaan mutagenesis pada bakteri Gram-negatif non-E. coli adalah Tn5. Hal ini disebabkan karena selain Tn5 dapat digunakan pada kebanyakan bakteri Gram-negatif juga transposon tersebut menyisip secara acak, dan mutasi yang diakibatkannya pada umumnya karena terjadinya penyisipan oleh transposon itu sendiri (Simon, 1989). Frekuensi transposon Tn5 ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain : galur bakteri resipien, dan posisi Tn5 di dalam plasmid vektornya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan frekuensi transposisi yang maksimum harus dilakukan pengujian pendahuluan. Hasil pengujian ini akan menentukan jenis vektor dan turunan transposon yang akan dipakai pada pekerjaan mutagenesis utamanya (Simon, 1989). Berbagai jenis vektor dan turunan Tn5 telah tersedia untuk berbagai keperluan (Simon et a/., 1983: Hynes et a/., 1989; Herrero et a/., 1990; Lorenzo et a/., 1990).
Banyak transposon mini yang berasal dari Tn5 (mini-Tn5) telah dikonstruksi dan digunakan untuk mengbasilkan mutan sisipan, fusi in vivo dengan gen-gen pelapor dan introduksi potongan DNA asing ke dalam kromosom bakteri Gram-negatif dari kelompok Enferobacferiaceae dan bakteri tanah seperti Pseudomonas (Lorenzo ef a/., 1990). Transposon Tn5 sendiri telah terbukti mempunyai kemampuan melakukan tansposon mutagenesis pada berbagaijenis bakteri Gram-negatif (Berg eta/., 1984). Plasmid PUT merupakan vektor yang digunakan untuk semua miniTn5, plasmid ini merupakan turunan dari pGP704 dan mempunyai on (origin of replication) yang tergantung pada keberadaan protein K dari plasmid
R6K,
sehingga plasmid ini hanya bertahan pada bakteri yang memproduksi protein K , misalnya lisogeni Apirdari E. coli K-12
(Miller dan Makalanos, 1988 ; Kolter
et a/.,1978). Plasmid ini juga membawa on1 dari plasmid R P 4 sehingga dapat ditransfer ke resipien melalui konjugasi dari galur donor yang mengekspresikan fungsi-fungsi konjugasi RP-4 seperti E. coli SMlO (Apir) (Miller dan Makalanos, 1988). Plasmid PUT juga membawa tnp* (suatu mutan gen tnp) yang menyandikan transposase dari IS50R, yang kehilangan situs Notl (de Lorenzo ef a/., 4990). Transposon mini juga mengandung gen-gen penyandi resistensi terhadap antibiotik seperti kanamisin, kloramfenikol,
streptomisinlspektinomisin atau tetrasiklin sebagai penanda seleksi serta adanya situs Notl yang unik.
Tn5 telah digunakan untuk identifikasi dan lokalisasi gen-gen pada X. campestris pstovar: campestris (Poplawsky dan Chun,
1997; Shaw dan
Khan, 1993; Hu et at., 1992; Rosato et al., 1993; Hoette ef a/., 1990; MarschMoreno et a/., 1998). vesicatoria (Jones et a/., 1992). dan translucens (Waney, et a/., 1991; Kingsley et al., 1989). Sedangkan rnutagenesis transposon menggunakan Tn5 pada Xag belurn banyak dilakukan, bahkan mutagenesis transposon menggunakan ~ n 5 K mpada ~ Xag belurn ada laporan. Tn4431. Transposon Tn4431 terdapat pada pUCD623, rnengandung IuxCDABE dari Photobacterium fishen dengan penanda antibiotika tetrasiklin (Shaw et a/.. 1988; Ciwilleri and Lindow. 1994) juga dapat digunakan untuk rnutagenesis transposon pada bakteri Gram-negatif. Tn4431 telah digunakan untuk mutagenesis transposon pada X. campestris pv. oryzae (Watanabe et a/., 1993) dan X. campestris pv. campestris (Steinrnann et a/., 1993). Belum ada laporan rnutagenesis transposon pada Xag menggunakan Tn4431, rnaka dari itu dalarn penenlitian ini telah dicoba rnutagenesis transposon rnenggunakan Tn443f pada Xag YR32. Tn4351. Transposon Tn4351 diternukan pada plasmid konjugatif pBF4 (41 kb) yang diisolasi dari Bacteriodes fragilis (Shoemaker et a/.. 1985. 1986). Tn4351 mengandung gen resistensi pada eritrornisirn dan klindamisin yang diekspresikan di Bacteriodes spp. tetapi tidak diekspresikan di E. coli (Shoemaker et a/., 1985; Guiney eta!.,
1984). Akan tetapi terdapat satu gen
resistensi terhadap tetrasiklin yang terekspresikan jika ditumbuhkan pada E
coli secara aerobik, dan tidak terekspresikan pada Bacteriodes spp. dan
E.
coli jika ditumbuhkan secara anaerobik (Shoemaker et a/., 1985). Sama halnya dengan Tn4431. Tn4351 juga belum pernah diwba digunakan untuk mutagenesis transposon pada Xag. Pada penelitian ini telah diwba mutagenesis transposon pada Xag YR32 menggunakan Tn4351 pada plasmid rekornbinan pEP4351. Pemetaan Fisik dan Genetik DNA Genom Peta fisik menunjukkan jarak antara situs restriksi sepanjang DNA kromosom. Situs-situs ini berlaku sebagai penanda diantara fragrnen-fragmen DNA. Peta fisik memberi petunjuk yang nyata mengenai jarak antara situssitus restriksi. yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan jarak relatif antar gen seperti pada pautan genetik (Suwanto, 1992). Untuk mengkonstruksi peta fisik dapat dilakukan dengan cara memotong total DNA genom dengan enzim restriksi tertentu kemudian menyusun semua fragmen-fragmen hasil digesti total DNA genom. Selain itu fragmen-fragmen yang dihasilkan dapat digunakan untuk menentukan ukuran total kromosom atau genom, yaitu dengan menentukan ukuran dari masingmasing fragmen DNA seteiah dibandingkan dengan penanda ukuran molekuler yang kemudian dijumlahkan sernuanya (Cole dan Girons, 1994; Romling dan Tummler, 1994). Sejumlah teknik digunakan untuk mengkonstruksi peta fisik (Cole dan Girons. 1994; Romling dan Tummler, 1994; Krawiec dan Riley, 1990). Namun
pemilihan teknik yang paling baik untuk pemetaan fisik sangat ditentukan pada seberapa majunya sistem genetik dari mikroorganisme yang bersangkutan. Ketersediaan sistem genetik yang lengkap akan sangat menunjang terbentuknya peta fisik serta korelasi peta pautan genetik yang lengkap seperti Escherichia coli dan Salmonella typhyrnurium (Neidhardt et a/., 1987). Mengkonstruksi peta fisik genom berbeda dengan konstruksi plasmid. karena besarnya ukuran kromosom dibandingkan plasmid. Karena itu, untuk mengkonstruksi peta fisik suatu kromosom diperlukan sejumlah teknik khusus yaitu : (i) Prosedur isolasi sehingga diperoleh molekul DNA yang utuh serta penanganan khusus untuk menghindari gesekan mekanis atau degradasi DNA (Smith dan Cantor, 1987).
Hal ini dapat dilakukan dengan cara
pemurnian DNA-nya dilakukan in situ di dalam matrik agarosa (Schwartz dan Cantor, 1984); (ii) Distribusi dan jumlah fragmen DNA hasil digesti dengan enzim endonuklease restriksi yang memotong DNA genorn secara jarang sehingga mudah ditangani (Mc Clelland et al., 1987). Hal ini dapat dilakukan dengan cara memilih enzim restriksi berdasarkan persentase mol (G+C) DNA genorn, jumlah basa yang dikenali oleh enzim restriksi dan situs enzim restiksi yang memotong sekuen kodon awal atau kodon akhir (Smith dan Condemine, 1990); (iii) Piranti untuk pemisahan fragrnen DNA berukuran sangat besar seperti Pulsed-Field Gel Electrophoresis (PFGE) (Anand, 1986; Chu et
al..
1986; Schwartz dan Cantor.
1984). Penemuan dan
pengembangan yang cepat dari teknik PFGE telah rnemungkinkan kita
,
rnengkonstruksi peta fisik dari genorn bakteri yang berbeda yang mungkin belum mempunyai sistem genetika yang mernadai (Suwanto, 1994a; Holloway, 1993); dan (iv) Standar ukuran molekul yang dapat diandalkan (Carle dan Olson, 1985). Salah satu penanda ukuran molekul DNA yang digunakan dalam penelitian ini adalah DNA dari Rhodobacter sphaeroides 2.4.1 yang dipotong dengan Asel (Suwanto dan Kaplan, 1989a, 1989b). Sejumlah bakteri dilaporkan telah memiliki feta fisik dan genetik antara lain: Escherichia coli (Kohara et al., 1987), Anabaena (Brancroft et al., 1989), Myxococcus xanthus (Kuspa et al., 1989; Chen et a/., 1991), Rhodobacter sphaeroides (Suwanto dan Kapian, 1989a, 1989b), Pseudomonas aeruginosa (Ratnaninggsih et a/., 1990), Borrelia burgdorferi (Davidson et al., 1992), Rhizobium meliloti (Honeycutt et ab. 1993), Bradyrhizobium japonicum (Kundig et a/., 1993). Streptomyces lividans dan Streptomyces coelicolor (Leblond et a/.. 1993). dan Agrobacterium tumefaciens (Allardet-Servent et a/., 1993). Akan tetapi, sejauh pengetahuan penulis, peta fisik dan genetik Xag belurn ada. Widjaya et a/. (1996) telah berhasil mengkonstruksi peta fisik dan genetik kromosom Xag YR32 menggunakan enzim restriksi Pacl, Pmel, dan Swal. Enzim tersebut masing-masing memotong kromosom bakteri menjadi 3, 5, dan 5 potongan. Peta ini rnerupakan peta fisik dan genetik pertama, namun hasil konstruksi peta rnasih kasar sehingga lebih cocok sebagai peta makrorestriksi (macrorestriction map). Untuk mernperhalus peta tersebut dapat dilakukan dengan cara rnenambahkan situs Pacl (5'-TTAAT~TAA-3').
Pmel (5'-GTTTJAAAC-3'), dan Swal (5'-ATTT~AAAT-3') pada krornosom bakteri Xag dengan rnenyisipkan secara acak transposon khusus yang membawa situs-situs pengenalan enzim restriksi tersebut. Untuk itu perlu dilakukan konstruksi plasmid yang rnengandung situs Pacl dan Pmel dan dapat dipakai untuk mutagenesis transposon pada Xag.
Biokontrol Penyakit Tanaman Sejalan dengan penelitian-penelitian patogenisitas secara rnolekuler, saat ini pengendalian penyakit menggunakan agens biokontrol rnendapat perhatian serius. Biokontrol penyakit dapat diartikan sebagai pemakaian rnakhluk hidup yang secara langsung rnaupun tidak langsung dapat mengurangi pengaruh patogen serta rneningkatkan perturnbuhan dan ketahanan hidup inangnya. Keuntungan pengendalian biologi antara lain: lebih arnan, tidaK terakumulasi dalarn rantai rnakanan, adanya proses reproduksi sehingga dapat rnengurangi pernakaian yang berulang-ulang, dan dapat digunakan secara bersarna-sama dengan cara pengendalian yang telah ada (Suwanto, 1994b). Menurut Cook (Nigam dan Mukeji, 1988) ada tiga rnekanisrne kerja yang penting dalam pengendalian biologis pada patogen tanarnan, yaitu: (i) pengurangan populasi
patogen
rnelalui penggunaan rnikroorganisrne
antagonisme yang rnerusak inokulum dan mengurangi kebugaran atau keganasan inokulurn, (ii) periindungan pada perrnukaan tanaman dengan
mikroorganisrne yang hidup dalarn luka, pada daun atau dalarn rizosfer, yang berfungsi sebagai penghalang biologi melalui kornpetisi, antibiosis atau parasitisasi dan menggantikan patogen, (iii) pengadaan mikororganisme nonpatogenik atau agens dalam tanaman atau pada tempat yang terinfeksi untuk lebih rnenstirnulir resistensi tanaman terhadap patogen atau untuk mengisi tempat yang terinfeksi dan menggantikan patogen. Selama ini agens biokontrol penyakit bakteri kebanyakan dari kelompok Pseudomonas fluorescen (Howie dan Suslow. 1991; Wilson dan Lindow, 1993; Suwanto dan Tjahjono, 1998). Mekanisme penekanan oleh kelompok bakteri fluorescen terhadap patogen adalah adanya biosintesa antibiotik, produksi enzim hidrolitik, produksi siderofor, dan kompetisi nutrisi (Howie dan Suslow, 1991). Sekarang banyak dikembangkan agens biokontrol yang berasal dari galur-galur non-patogenik yang diisolasi dari habitat yang sama dengan galur patogeniknya (Knudsen dan Spurr, 1988). Bahkan galur non-patogenik yang isogenik yang dikonstruksi dari tipe liamya (patogennya) dilaporkan dapat rnenekan perkembangan penyakit tertentu (Lindow et a/., 1987; Cooksey, 1988; Hirano et a/., 1997). Dengan dernikian, galur non-patogenik yang isogenik yang dikonstruksi dari tipe liarnya mernpunyai potensi untuk dikembangkan sebagai agens biokontrol. Dalarn penelitian ini telah berhasil dikonstruksi galur non-patogenik yang isogenik dari Xag YR32 dengan mutagenesis transposon.
Konstruksi Galur Non-Patogenik yang lsogenik Telaah mengenai spesifikasi kompetisi dari bakteri-bakteri telah diperrnudah dengan pendekatan genetika molekuler yang memungkinkan untuk melakukan konstruksi galur yang benar-benar isogenik. Konstruksi galur non-patogenik yang isogenik dapat dilakukan dengan dua cara yaitu mutagenesis terarah dan mutagenesis transposon. Mutagenesis terarah (Lindow 1990). Untuk mengkonstruksi galur isogenik ice;
maka gen struktural ice' dari P syringae tipe liar dibuang
sebagian dengan menggunakan enzim restriksi Sall diikuti dengan penyambungan molekul DNA-nya. Sebagian molekul hasil ligasi ini berupa plasmid yang kehilangan satu atau beberapa fragmen internal Sall pada gen struktural ice. Plasmid dengan delesi internal pada gen struktural ice ini kemudian dimasukkan ke dalam
P. synngae tipe liar melalui konjugasi.
Karena plasmid yang dipakai tidak bereplikasi di dalam P. syringae (oleh karena itu disebut plasmid bunuh diri). maka seleksi antibiotika memaksa plasmid rekombinan ini berintegrasi dengan kromosom
P. syringae melalui
segmen DNA yang homologous. Bila galur merodiploid dengan tipe cis tersebut ditumbuhkan pada medium yang tidak mengandung antibiotik, dalam ha1 ini tetrasiklin, maka kejadian rekombinasi yang kedua terjadi. Dalam ha1 ini terjadi suatu rekornbinasi yang disebut double cross-over
yang
mengakibatkan pertukaran resiprok antara gen ice yang terdelesi dengan ice yang normal.
Analisis selanjutnya menunjukkan bahwa DNA genom P. syringae tidak menampilkan perubahan yang teramati pada bagian DNA lain kecuali pada gen struktural ice (Lindow, 1990).
Mutan ice- tidak menunjukkan
penampilan sel dan morfologi koloni yang berbeda dengan tetuanya yang ice'.
Demikian juga dalam ha1 ketahanan hidupnya pada permukaan daun, di
dalam tanah, dalam proses pembekuan dan pencairan serta kemampuannya untuk tumbuh pada tanaman sama. lnaktivasi fenotipe ice+ dengan delesi terarah ini nampaknya tidak penting untuk kemampuan adaptasi P. syringae dalam mengkolonisasi permukaan daun. Bila bakteri ice- diinokulasikan pada tanaman maka bakteri ice+sangat berkurang jumlahnya, sehingga meningkatkan ketahanan tanarnan terhadap terjadinya luka beku. Oleh karena itu, pendekatan semacam ini nampaknya bisa dilakukan untuk biokontrol bakteri patogen tanaman pada umumnya (Lindow,1990). Mutagenesis transposon. Galur non-patogenik dari P. syringae pv. tomato dan
P. syringae pv. syringae yang dikonstruksi dengan cara
mutagenesis transposon menggunakan Tn5, dilaporkan mampu mereduksi terjadinya infeksi pada tomat dan penyakit bintik coklat pada buncis (Cooksey, 1988; Lindow et a/., 1987). Untuk mengkonstruksi galur nonpatogenik yang isogenik dengan mutagenesis transposon rnemerlukan transposon yang dapat menyisip secara acak, keperluan ini dapat dipenuhi dengan menggunakan Tn5 atau turunannya. Mutagenesis dilakukan dengan
konjugasi antara plasmid rekombinan yang membawa transposon dengan bakteri patogenwa. Seleksi rnutan non-patogenik dapat dilakukan dengan penapisan nonpatogenik dengan uji patogenisibsnya (misalnya bioasai kotiledon untuk uji patogenisitas Xag pada kedelai). Mengkonstruksi galur non-patogenik yang isogenik dengan cara mutagenesis transposon narnpaknya lebih sederhana dan lebih cepat pelaksanaannya. Akan tetapi, karena Tn5 membawa gen-gen resistensi antibiotika kanarnisin, streptomisin, dan bleornisin rnaka pernakaian galur-galur tersebut untuk inokulasi di lapangan atau pemakaian praktisnya akan banyak menernui harnbatan, terutama dari segi ekologi mikroba. Harnbatan tersebut dapat dilakukan dengan rnengganti gen penyandi resistensi antibiotik dengan gen lain yang tidak rnengganggu sistem hidup mutan tersebut. Keuntungan lain menggunakan mutagenesis transposon, selain lebih sederhana dan cepat adalah mutan non-patogenik yang isogenik yang tidak mempunyai kernampuan menekan pertumbuhan populasi patogen tidak perlu direkayasa lebih lanjut, dengan kata lain kita dapat menyeleksi mutan non-patogenik yang isogenik lebih dini dibandingkan dengan mutagenesis terarah. Dalam penelitian ini telah berhasil dikonstruksi galur non-patogenik yang isogenik dengan mutagenesis transposon.
Gen inaZ Sebagai Gen Pelapor Bakteri filosfer (penghuni daun) seperti Pseudomonas syringae, Erwinia herbicola, P. fluorescen, P. viridflava, dan Xanthomonas campestris pv. franslucens dapat mengkatalisis pembentukan inti es (Lindow, 1983; Lindow, 1990). Sernua spesies bakteri tersebut urnurnnya mampu mengkatalisis pernbentukan es pada suhu di atas -lO°C, bahkan beberapa spesies diantaranya marnpu rnernbentuk inti kristal es pada suhu -1.5°C. Walaupun aktivitas pembentukan inti es pada bakteri terbatas pada spesies bakteri Gram-negatif, akan tetapi kehadiran spesies-spesies ini pada tanaman dan habitat alami yang lain membuat pembentukan inti es pada bakteri di alam merupakan suatu fenornena urnurn yang menarik (GurianSherman dan Lindow, 1993). Sekarang, aktivitas gen pembentukan inti es (ice+ atau inaZ) telah dikembangkan dan digunakan sebagai dasar dalarn sistem gen pelapor untuk analisis kebugaran, kompetisi, ekologi, dan tingkah laku bakteri filosfer. Penelitian mengenai identifikasi, karakterisasi, kloning, dan penggunaan gen pernbentuk inti kristal es kebanyakan dilakukan di laboratorium Lindow (Orser et a/., 1985; Lindow et a/., 1987, Rogers et a/., 1994; Lindow dan Andersen, 1996; Lindow, 1987,1993; Brandl dan Lindow, 1996,1998).
Penggunaan gen pelapor pembentuk inti kristal es mernpunyai kepekaan yang tinggi dan kurang dipengaruhi oleh komponen-kornponen dari lingkungan dibandingkan dengan gen pelapor lainnya. Sebagai contoh, gen pelapor gus dan lux yang dalarn aplikasinya mempunyai beberapa batasan
yaitu: emisi cahaya yang dihasilkan oleh lusiferase (produk gen lux), bergantung pada aktivitas metabolik yang tinggi dalam sel bakteri yang akan diukur aktivitas gennya. Selain itu, sejumlah besar sel yang mengandung fusi gen lux atau gus diperlukan untuk mendeteksi aktivitas gen pada tingkat transkripsi yang rendah (Lindow, 1991). Sistem gen pelapor pembentuk inti kristal es bahkan dapat digunakan untuk memaparkan gen-gen yang terlibat dalam patogenisitas tanaman rnaupun interaksi lain antara bakteri dengan tanaman. Selain dapat diekspresikan pada berbagai jenis bakteri Grarnnegatif, gen inaZ juga dapat diekspresikan pada tanaman (Baertlein et a/., 1992). Sejak tahun 1994 di Indonesia (di laboratoriurn Suwanto) telah dirnulai penggunaan gen inaZ untuk berbagai keperluan, diantaranya untuk menyeleksi dan menganalisis bakteri-bakteri filosfer yang berpotensi sebagai agens biokontrol Xag penyebab penyakit bisul bakteri pada kedelai (Mariani. 1995; Manuella et a/., 1996). Bahkan sekarang sedang dilakukan studi patogenisitas Vibrio spp. pada larva udang menggunakan inaZ sebagai gen pelapor. Pada penelitian ini juga digunakan gen inaZ pada pJL1703 (Loper & Lindow, 1994) untuk rnernpelajari kompetisi dan kebugaran hidup galur nonpatogenik yang isogenik pada Xag YR32.