WAFER SUPLEMEN LEGUMINOSA UNTUK MENINGKATKAN PERFORMA KAMBING PERANAKAN ETAWAH LEPAS SAPIH
BRILIAN DESCA DIANINGTYAS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Wafer Suplemen Leguminosa Untuk Meningkatkan Performa Kambing Etawah Lepas Sapih adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2016 Brilian Desca Dianingtyas NIM D251140051
RINGKASAN BRILIAN DESCA DIANINGTYAS. Wafer Suplemen Leguminosa Untuk Meningkatkan Performa Kambing Peranakan Etawah Lepas Sapih. Dibimbing oleh YULI RETNANI dan DWIERRA EVVYERNIE. Kambing Peranakan Etawah (PE) berpotensi dalam menyumbang kebutuhan susu nasional. Fase tumbuh kembang anak kambing lepas sapih merupakan fase awal yang menentukan tingkat keberhasilan produktivitas seekor ternak kambing sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan tumbuh kembang anak kambing lepas sapih pada fase ini, salah satunya melalui peningkatan kualitas pakan. Penyediaan pakan ternak ruminansia di tingkat peternak masih memiliki kualitas pakan yang rendah karena berkaitan dengan ketersediaan hijauan pakan sehingga perlu diberikan suplemen pakan yang berkualitas tinggi untuk meningkatkan produktivitasnya. Peningkatan kualitas pakan salah satunya dengan penggunaan leguminosa sebagai sumber protein tambahan bagi ternak. Leguminosa yang dapat dimanfaatkan sebagai alternatif hijauan pakan antara lain Indigofera zollingeriana, lamtoro dan kaliandra. Pemberian leguminosa dalam bentuk segar kurang efektif jika musim kemarau, voluminus, dan mudah busuk. Salah satu teknologi pengolahan pakan menjadi wafer diharapkan dapat meningkatkan nilai guna leguminosa sebagai suplemen bagi ternak kambing PE lepas sapih. Penelitian ini bertujuan untuk mengevalusi pemberian wafer suplemen leguminosa dalam meningkatkan performa kambing PE lepas sapih. Tahapan dalam penelitian ini meliputi: pembuatan wafer suplemen leguminosa, pengujian sifat fisik wafer suplemen leguminosa, pengujian secara in vivo wafer suplemen leguminosa ke kambing PE lepas sapih. Bahan yang digunakan dalam pembuatan wafer suplemen leguminosa meliputi: daun leguminosa (Indigofera zollingeriana, lamtoro dan kaliandra), molases, dan premix. Pengujian sifat fisik wafer suplemen leguminosa meliputi: kadar air, aktivitas air, dan kerapatan. Rancangan percobaan pada pengujian sifat fisik wafer suplemen leguminosa adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan wafer dan 3 ulangan. Pengujian secara in vivo menggunakan 16 kambing PE betina lepas sapih dengan bobot hidup awal rata-rata 13.10±0.91 kg dan pakan basal (rumput lapang, ampas tempe, dan konsentrat). Parameter pengujian secara in vivo meliputi: konsumsi pakan, kecernaan pakan, retensi nitrogen, pertambahan bobot badan harian (PBBH), efisiensi penggunaan pakan (EPP), serta income over feed cost (IOFC). Rancangan percobaan pada pengujian secara in vivo adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan sebagai berikut; P0 (ransum basal / kontrol), P1 (P0 + 13.79% wafer Indigofera zollingeriana), P2 (P0 + 15.66% wafer lamtoro), P3 (P0 + 14.12% wafer kaliandra). Hasil pengujian sifat fisik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara wafer Indigofera zollingeriana, wafer lamtoro, dan wafer kaliandra. Kadar air ketiga wafer tersebut berkisar antara 11.63–11.99%. Aktivitas air ketiga wafer tersebut berkisar antara 0.632–0.634. Kerapatan ketiga wafer tersebut berkisar antara 0.59–0.63 g cm-3. Berdasarkan hasil pengujian secara in vivo menunjukkan bahwa pemberian wafer suplemen leguminosa nyata (P<0.05) meningkatkan konsumsi bahan kering dan nutrien ransum (lemak kasar, protein kasar, BETN,
TDN), kecernaan bahan organik, PBBH, EPP, dan IOFC. Pemberian wafer lamtoro menunjukkan PBBH (66.18%), EPP (41.63%), dan IOFC (19.09%) tertinggi dibandingkan dengan kedua jenis leguminosa lainnya. Wafer Indigofera zollingeriana mampu meningkatkan PBBH (55.08% vs 32.62%) dan EPP (34.91% vs 11.30%) lebih tinggi dibandingkan wafer kaliandra. Kesimpulan dari penelitian ini adalah suplemen leguminosa dalam bentuk wafer dapat meningkatkan performa ternak kambing PE lepas sapih. Wafer lamtoro memberikan hasil terbaik dalam peningkatan pertambahan bobot badan harian, efisiensi penggunaan pakan, dan income over feed cost. Kata kunci: kambing Peranakan Etawah lepas sapih, performa, wafer leguminosa
SUMMARY BRILIAN DESCA DIANINGTYAS. Performance Improvement of Post-Weaning Etawah Crossbred Goats by Legumes Wafer Supplementation. Supervised by YULI RETNANI and DWIERRA EVVYERNIE. Etawah crossbread goat can also contribute to the fulfilment of the needs of the milk consumption of Indonesia society. Growing Phase of post weaning goat is the initial phase to determine the success rate of productivity of a goat. So it takes an effort to increase the Growing Phase of post weaning goat, one of them, namely through the quality improvement of feed. But that is often found on farms is the provision of fodder of ruminants at the level of the breeders still have low quality feed as it pertains to the availability of forage so that needs to be given high-quality feed supplement to increase productivity. the use of an additional source of protein as legumes for livestock can be used as one of the efforts to improve the quality of feed. Legumes which can be utilized as an alternative forage feed include Indigofera zollingeriana, Leucaena leucocephala and Calliandra calothyrsus. Giving legumes in fresh form are not only less effective especially in dry season but also voluminous and easily a foul. One of feed technology through the produce of wafers expected to improve legumes value as a supplement for post weaning Etawah Crossbred goats. The research had been conducted to evaluate the effect of feeding wafer supplement of legumes to increase perfomance of post weaning Etawah Crossbred goats. The stages of the study were: the produce of wafer supplement of legumes, physical analysis, and in vivo digestibility analysis on post-weaning Etawaf Crossbred goats. Materials used in the produce of wafers include: legumes leaf (Indigofera zollingeriana, Leucaena leucocephala and Calliandra calothyrsus), molasses, and lime. Physical characteristic of wafer supplement of legumes evaluation were: moisture content, density and water activity. The physical characteristic of wafer supplement of legumes was designed in completely randomized design with 3 treatments of wafer supplement and 3 replications. In vivo digestibility analysis using 16 heads of post weaning Etawah Crossbred goats with average body weight 13.10±0.91 kg and basal diet (grass, soybean husk and concentrated). In vivo digestibility evaluations were: feed intake, feed digestibility, N retention, average daily gain (ADG), feed efficiency, and income over feed cost (IOFC). The in vivo experimental was designed in a completely randomized block design with 4 treatments and 4 blocks as replication and significant differences were tested using Duncan test. The treatment were: P0 (basal diet / control), P1 (P0 + 13.79% Indigofera zollingeriana wafer), P2 (P0 + 15.66% Leucaena leucocephala wafer) and P3 (P0 + 14.12% Calliandra calothyrsus wafer). The results of physical characteristics showed that was not difference significantly between Indigofera zollingeriana wafer, Leucaena leucocephala wafer, and Calliandra calothyrsus wafer (P>0.05). Legumes wafer had moisture content among 11.63–11.99%, water activity among 0.632–0.634, and density among 0.59–0.63 g cm-3. The ANOVA showed that supplementation of legumes wafer increased significantly (P<0.05) for dry matter and nutrient intake (ether extract, crude protein, non nitrogen free extract, TDN), organic matter
digestibility, average daily gain (ADG), feed efficiency (FE), and income over feed cost (IOFC). The addition of Leucaena leucocephala wafer showed ADG (66.18%), FE (41.63%), dan IOFC (19.09%) higher than other treatments. Indigofera zollingeriana wafer could increase ADG (55.08% vs 32.62%) and FE (34.91% vs 11.30%) higher than Calliandra calothyrsus wafer. The conclusion showed that legumes wafer could increase post-weaning Etawah Crossbreed goats performance. Leucaena leucocephala wafer showed that the best result to increase average daily gain, feed efficiency, and income over feed cost. Keywords: post weaning Etawah Crossbred goats, performance, legumes wafer
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
WAFER SUPLEMEN LEGUMINOSA UNTUK MENINGKATKAN PERFORMA KAMBING PERANAKAN ETAWAH LEPAS SAPIH
BRILIAN DESCA DIANINGTYAS
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu dan Nutrisi Pakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis
: Dr Ir Didid Diapari, MSi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian adalah pakan, dengan judul Wafer Suplemen Leguminosa Untuk Meningkatkan Produktivitas Kambing Peranakan Etawah Lepas Sapih. Sebagian hasil penelitian ini telah diseminarkan pada seminar The 3rd Animal Production International Seminar and The 3rd ASEAN Regional Conference on Animal Production pada tanggal 19-21 Oktober 2016 di Kota Wisata Batu, Malang dengan judul Legumes Wafer for Improvement The Post-Weaning Etawah Crossbreed Goats Performance. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Yuli Retnani dan Ibu Dr Ir Dwierra Evvyernie selaku pembimbing. Penghargaan penulis sampaikan kepada mbak Yati, mas Dipa, Bapak Wardi dari Laboratorium Industri Pakan Fakultas Peternakan IPB, Bapak Sauqi beserta Mas Eko dari peternakan Cordero Farm di Ciapus Bogor, serta Ibu Endang dari Laboratorium PAU IPB, yang telah membantu selama penelitian berlangsung. Terima kasih penulis ucapkan kepada beasiswa kuliah Freshgraduate dari DIKTI serta beasiswa tesis dari Lembaga Pengelola Dana Keuangan (LPDP Batch 2 tahun 2016). Ungkapan terima kasih dan penghargaan tak terhingga disampaikan kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, seluruh keluarga serta seluruh teman-teman atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2016 Brilian Desca Dianingtyas
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian
1 1 3
2 METODE Waktu dan Tempat Bahan Alat Prosedur Analisis Data
3 3 3 5 5
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Wafer Suplemen Leguminosa Analisis In Vivo
9 9 11
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
16 16 16
DAFTAR PUSTAKA
16
LAMPIRAN
21
RIWAYAT HIDUP
29
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7
Komposisi wafer suplemen leguminosa Kandungan nutrien pakan basal Cordero Farm dan wafer suplemen leguminosa Komposisi ransum dan kandungan nutrien ransum perlakuan Sifat fisik wafer suplemen leguminosa Konsumsi bahan kering dan nutrien ransum (g ekor-1 hari-1) Kecernaan pakan (%) Retensi N, pertambahan bobot badan harian (g ekor-1), fisiensi penggunaan pakan (%), IOFC (Rp ekor-1 hari-1)
4 4 5 10 12 12 12 14
DAFTAR GAMBAR 1 2 3
Diagram proses pembuatan wafer Wafer suplemen leguminosa Hubungan kecernaan bahan organik dengan pertambahan bobot badan harian
6 11 15
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Hasil sidik ragam kadar air Hasil sidik ragam kerapatan Hasil sidik ragam kerapatan Hasil sidik ragam konsumsi bahan kering Hasil uji lanjut Duncan konsumsi bahan kering Hasil sidik ragam konsumsi bahan organik Hasil uji lanjut Duncan konsumsi bahan organik Hasil sidik ragam lemak kasar Hasil uji lanjut Duncan konsumsi lemak kasar Hasil sidik ragam protein kasar Hasil uji lanjut Duncan protein kasar Hasil sidik ragam konsumsi serat kasar Hasil sidik ragam BETN Hasil uji lanjut Duncan konsumsi BETN Hasil sidik ragam konsumsi TDN Hasil uji lanjut Duncan konsumsi TDN Hasil sidik ragam kecernaan bahan kering Hasil sidik ragam kecernaan bahan organik Hasil uji lanjut Duncan kecernaan bahan organik Hasil sidik ragam kecernaan protein kasar Hasil sidik ragam retensi N Hasil sidik ragam PBBH Hasil uji lanjut Duncan PBBH Hasil sidik ragam efisiensi penggunaan pakan Hasil uji lanjut Duncan efisiensi penggunaan pakan
21 21 21 22 22 22 22 23 23 23 23 24 24 24 25 25 25 26 26 26 27 27 27 28 28
26 Hasil sidik ragam IOFC 27 Hasil uji lanjut Duncan IOFC
28 28
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Konsumsi susu masyarakat Indonesia masih terbilang rendah sekitar 11.09 liter per kapita per tahun dibandingkan sejumlah negara di ASEAN yang sekitar 20 liter per kapita per tahun (Kemenperin 2014). Penyumbang terbesar dari konsumsi susu nasional adalah dari susu sapi. Ternak ruminansia kecil seperti kambing perah juga dapat memberikan kontribusi dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi susu masyarakat Indonesia. Salah satu kambing perah yang berpotensi sebagai penghasil susu adalah kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Etawah (asal India) dengan kambing Kacang, dengan penampilan meyerupai kambing Etawah namun berukuran lebih kecil. Kambing PE memiliki beberapa kelebihan antara lain mudah pemeliharaannya, reproduksinya lebih cepat dibandingkan sapi, bersifat prolifik (dapat melahirkan lebih dari 1 anak sekali kelahiran). Produksi susu kambing PE masih belum optimal hanya kurang dari 2 liter ekor-1 hari-1 (Ensminger 2001). Rata-rata umur lepas sapih anak kambing perah sekitar umur 4 bulan, padahal di negara maju rata-rata umur lepas sapih anak kambing perah sekitar umur 30-40 hari agar susu induk dapat dijual (Mohammadi et al. 2012). Fase tumbuh kembang anak kambing lepas sapih merupakan fase awal yang menentukan tingkat keberhasilan produktivitas seekor ternak kambing, baik sebagai calon indukan ataupun sebagai pejantan (Mathius et al. 2002). Mellado et al. (2011) menyebutkan bahwa periode pertumbuhan ini sangat berpengaruh pada produktivitas calon induk yaitu tingkat produksi susu yang dihasilkan sekaligus keuntungan yang diperoleh peternak. Ternak dalam fase tumbuh-kembang ini membutuhkan nutrien yang lebih banyak (Treacher 1979). Niezen et al. (1996) menambahkan bahwa pemenuhan kebutuhan akan protein dan energi pada periode umur 4-9 bulan sangat penting dalam menunjang pembentukan sel-sel alveoli dari kelenjar susu. Perkembangan sel alveoli yang optimum akan menghasilkan kambing perah yang memiliki produktivitas susu yang tinggi. Peningkatan tumbuh kembang anak kambing lepas sapih perlu diupayakan salah satunya melalui peningkatan kualitas pakan. Kendala yang sering dihadapi oleh peternak ruminansia adalah kecukupan nutrien bagi ternaknya yang akan mempengaruhi tinggi rendahnya produktivitas ternak. Salah satu nutrien yang menjadi faktor pembatas dalam pencapaian produktivitas ternak adalah protein. Produktivitas ternak ruminansia sangat ditentukan oleh ketersediaan hijauan yang berkualitas, tersedia sepanjang tahun, serta murah. Penyediaan pakan ternak ruminansia di tingkat peternak masih memiliki kualitas pakan yang rendah karena berkaitan dengan ketersediaan hijauan pakan sehingga perlu diberikan suplemen pakan yang berkualitas tinggi untuk meningkatkan produktivitasnya. Peningkatan kualitas pakan salah satunya dengan penggunaan leguminosa sebagai sumber protein tambahan bagi ternak. Leguminosa merupakan tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak sumber protein karena memiliki kandungan protein yang cukup tinggi. Leguminosa yang dapat dimanfaatkan sebagai alternatif hijauan pakan antara lain
2
Indigofera zollingeriana, lamtoro (Leucaena leucocephala) dan kaliandra (Caliandra calotyrsus). Indigofera zollingeriana merupakan tanaman leguminosa yang cocok dikembangkan di Indonesia karena toleran terhadap musim kering, genangan air, dan salinitas (Hassen et al. 2007). Indigofera zollingeriana berpeluang dalam pemenuhan kebutuhan ternak ruminansia terhadap penyediaan hijauan pakan. Hassen et al. (2008) menyebutkan bahwa produksi bahan kering (BK) total Indigofera zollingeriana adalah 21 ton/ha/tahun dan produksi bahan kering daun 5 ton/ha/tahun. Tepung daun Indigofera zollingeriana mengandung protein kasar (PK) 22.30-31.10%, NDF 18.90-50.40%, kecernaan in vitro bahan organik berkisar 55.80-71.70%, kandungan serat kasar sekitar 15.25%. Simanihuruk dan Sirait (2009) menyebutkan kandungan nutrient Indigofera zollingeriana yaitu PK 24.17%, SK 17.83%, LK 6.15%, Beta-N 38.65%, NDF 54.24%, ADF 44.69% dalam persen bahan kering. Indigofera zollingeriana memiliki kandungan mineral yang cukup untuk pertumbuhan ternak. Kandungan mineral yang terdapat di Indigofera sp. antara lain Ca 0.97-4.52%, P 0.19-0.33%, Mg 0.21-1.07%, Cu 915.30 ppm, Zn 27.20-50.20 ppm, dan Mn 137.40-281.30 ppm (Hassen et al. 2007). Indigofera zollingeriana juga diketahui memiliki kandungan senyawa sekunder yang dapat dioptimalkan sebagai alternatif hijauan. Bakasso et al. (2008) melaporkan kandung senyawa sekunder pada Indigofera zollingeriana antara lain triterpenoid, steroid, flavonoid, quinine, dan tannin. Lamtoro (Leucaena leucocephala) merupakan leguminosa yang digunakan sebagai alternatif hijauan pakan yang dapat membantu meningkatkan kualitas pakan yang rendah. Pemberian lamtoro mampu meningkatkan fermentasi dalam rumen serta penyerapan asam amino ke usus halus. Askar (1997) menyebutkan bahwa daun lamtoro memiliki kandungan protein kasar sekitar 25-32%. Lamtoro mengandung senyawa flavanoid dan alkaloid yang sering ditemukan pada daun, polong, dan biji (Hegarty 1986, Maria 1988). Senyawa sekunder utama yang sering ditemukan pada lamtoro adalah mimosin, namun jumlahnya relatif kecil yaitu sekitar 3-4% (Winugroho dan Widiawati 2009). Penggunaan daun lamtoro dalam ransum direkomendasikan tidak lebih dari 50% dari total ransum (Rohmatin 2010). Kandungan nutrien lamtoro yaitu protein kasar 34.57%, lemak 2.23%, serat kasar 16.77%, abu 4.85% Ca 0.47%, P 0.79% (Toruan dan Suhendi 1991). Kaliandra (Calliandra colothyrsus) merupakan salah satu leguminosa yang dapat diterapkan di peternakan domba. Daun kaliandra memiliki kandungan protein sekitar 20-39% (Tangendjaja et al. 1992). Tingginya kandungan protein dalam daun kaliandra tidak dapat dimanfaatkan secara keseluruhan oleh ternak karena adanya kandungan tanin atau senyawa polifenol yang secara alami berikatan dengan protein atau polimer lain seperti selulosa, hemiselulosa, dan pectin sehingga daun kaliandra segar memiliki nilai kecernaan yang rendah (Merkel et al. 1996). Daun kaliandra mengandung anti nutrisi tannin sebesar 11% sehingga dapat berpengaruh terhadap tingkat pemanfaatan pakan oleh ternak (Tangendjaja dan Wina 1998). Tanin dalam saluran pencernaan tidak hanya memberikan efek negatif tetapi mempunyai beberapa manfaat yang menguntungkan yaitu tanin membantu melindungi protein dari degradasi oleh mikroba rumen, sehingga dapat meningkatkan nilai by pass protein yang akan meningkatkan juga efesiensi pemanfaatan protein bagi induk semang (Barry dan
3
Manley 1984), sehingga penggunaan daun kaliandra sebagai hijauan pakan ternak harus dibatasi. Paterson et al. (2001) menyebutkan bahwa pemberian kaliandra pada ternak sebaiknya dibatasi paling banyak 30-40% dari total berat ransum yang diberikan, karena bila diberikan lebih banyak tidak akan dimanfaatkan seluruhnya. Tingkat suplementasi kaliandra paling baik 30% dari total hijauan yang diberikan, karena pemberian yang lebih banyak tidak memberikan pengaruh positif (Tangendjaja et al. 1992; Bulo et al. 1992). Hijauan sebagai pakan ternak ruminansia memiliki kelemahan yaitu ketersediaannya tergantung pada musim, mudah busuk, dan voluminus sehingga diperlukan teknologi pengolahan hijauan yang dapat diterapkan sepanjang tahun yaitu dengan pembuatan wafer. Wafer pakan merupakan salah satu hasil teknologi pengawetan pakan agar lebih tahan lama selama masa penyimpanan. Keuntungan pengolahan pakan bentuk wafer ini antara lain adalah meningkatkan daya simpan hijauan segar, memudahkan distribusi ke peternak, mudah dalam pemberiannya pada ternak, serta dapat digunakan sebagai stok pakan hijauan saat musim kemarau. Retnani et al. (2010a) menyatakan bahwa wafer yang tersusun atas bahan-bahan penguat, sumber mineral, vitamin dan protein merupakan suplemen pakan lengkap yang dapat meningkatkan produktivitas ternak. Oleh karena itu wafer suplemen pakan dapat digunakan sebagai salah satu teknologi pengolahan pakan untuk meningkatkan nilai guna pakan (Retnani et al. 2010b). Pemberian 15% wafer suplemen lamtoro dapat meningkatkan PBB domba lebih tinggi 102% dibandingkan tanpa diberikan wafer suplemen lamtoro (Argadiyasto 2015). Qomariyah (2015) menyebutkan pula bahwa terjadi peningkatan pertumbuhan anak kambing PE yang diberikan 15% wafer yang mengandung kaliandra. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pemberian wafer suplemen leguminosa terhadap performa kambing PE betina lepas sapih.
2 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2015 sampai Mei 2016. Pembuatan wafer suplemen legumeminosa dilaksanakan di Laboratorium Industri Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pengujian in vivo pada ternak kambing PE betina lepas sapih dilaksanakan di Peternakan Cordero Farm Kampung Sinar Wangi, Desa Sukajaya, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor serta untuk keperluan analisis parameter kimia dilakukan di Laboratorium Pusat Antar Universitas IPB. Bahan Ternak yang digunakan pada penelitian ini adalah kambing PE betina lepas sapih dengan bobot badan awal 13.10±0.91 kg sebanyak 16 ekor yang
4
dikandangkan di kandang individu. Pakan yang diberikan terdiri dari pakan basal yang sudah biasa digunakan di Peternakan Cordero Farm dengan rasio rumput : konsentrat : ampas tempe sebesar 35 : 32.5 : 32.5. Hasil proksimat kandungan nutrien pakan basal di Peternakan Cordero Farm disajikan pada Tabel 2. Wafer suplemen leguminosa tersusun atas daun Indigofera s zollingeriana, daun lamtoro, daun kaliandra, molases, dan premix (Tabel 1). Pemberian wafer suplemen leguminosa ditetapkan berdasarkan kekurangan kandungan nutrien pakan basal di peternakan Cordero Farm dari NRC (2007) dengan kebutuhan protein untuk kambing yang sedang tumbuh adalah 16.38% dan kesetaraan antara protein dan energi (total digestible nutrient/TDN). Pemberian wafer suplemen Indigofera zollingeriana, lamtoro, dan kaliandra masing-masing 13.79%, 15.66%, 14,12% dari konsumsi BK. Persentase wafer suplemen yang diberikan berdasarkan dari konsumsi BK BB-1 hari-1 dengan asumsi konsumsi BK 3.5% BB (Tabel 3). Tabel 1 Komposisi wafer suplemen leguminosa Komposisi Wafer Wafer Wafer Indigofera lamtoro kaliandra zollingeriana --------------------------%--------------------------Daun Indigofera zollingeriana 95 0 0 Daun lamtoro 0 95 0 Daun kaliandra 0 0 95 Molases 4 4 4 Premix 1 1 1 Tabel 2 Kandungan nutrien pakan basal Cordero Farm dan wafer suplemen leguminosa Kandungan nutrien (dalam % BK) Bahan Total Lemak Protein Serat Pakan Ekstrak Digestible Abu Kasar Kasar Kasar Tanpa N Nutrien** (LK) (PK) (SK) (BETN) (TDN) --------------------------------------%--------------------------------Rumput lapang 12.07 2.10 12.88 27.44 45.51 59.35 Konsentrat 9.18 8.08 12.96 18.46 51.31 68.70 Ampas tempe 4.27 4.44 15.76 32.61 42.92 66.20 Wafer Indigofera 6.67 2.47 25.53 15.43 49.89 76.53 zollingeriana Wafer lamtoro 9.73 3.17 22.48 15.79 48.83 72.12 Wafer kaliandra 10.24 6.90 24.92 11.40 46.54 78.91 *Hasil analisis Laboratorium Pusat Antar Universitas IPB (2016) **TDN menurut Wardeh (1981): TDN hijauan = 1.6899 + (1.3844 x PK) – (0.8279 x LK) + (0.3673 x SK) + (0.7526 x BETN), TDN konsentrat, ampas tempe, dan wafer suplemen leguminosa = 2.6407 + (0.6964 x PK) + (1.2159 x LK) – (0.1043 x SK) + (0.9194 x BETN)
5
Tabel 3 Komposisi ransum dan kandungan nutrien ransum perlakuan Ransum Komposisi ransum + wafer suplemen (%) P0 P1 P2 P3 Rumput lapang 35 35 35 35 Konsentrat 32.5 32.5 32.5 32.5 Ampas tempe 32.5 32.5 32.5 32.5 Wafer Indigofera zollingeriana 0 13.79 0 0 Wafer lamtoro 0 0 15.66 0 Wafer kaliandra 0 0 0 14.12 Nutrien Kandungan nutrien (%) Abu 8.10 9.02 9.62 9.54 Lemak kasar 4.88 5.22 5.37 5.85 Protein kasar 12.86 16.38 16.38 16.38 Serat kasar 26.10 28.23 28.57 27.71 Bahan Ekstrak Tanpa N 48.07 54.95 55.71 54.64 Total Digestible Nutrien 65.26 74.60 75.50 75.14 P0 = pakan basal Cordero Farm / kontrol, P1 = P0 + 13.79% wafer Indigofera zollingeriana, P2 = P0 + 15.66% wafer lamtoro, P3 = P0 + 14.12% wafer kaliandra
Alat Peralatan yang digunakan untuk pembuatan wafer suplemen leguminosa dan pengujian sifat fisik meliputi timbangan digital, sekop kecil, oven 60oC, mesin penggiling, mesin pencetak wafer, jangka sorong, aw meter. Peralatan pengujian secara in vivo meliputi kandang individu bentuk panggung sebanyak 16 kandang. Kandang dilengkapi peralatan pakan dan minum. Alat ukur dan timbangan yang digunakan antara lain: (1) timbangan digital merk Osuka untuk menimbang hijauan, wafer, campuran konsentrat dan feses (2) timbangan gantung merk WeiHeng kapasitas 40 kg dengan skala terkecil 10 g untuk menimbang bobot hidup ternak (3) gelas ukur 500 ml untuk mengukur volume urine. Prosedur Analisis Data Tahap awal penelitian ini adalah pembuatan wafer suplemen leguminosa kemudian akan dilakukan pengujian karakteristik fisik dari wafer suplemen leguminosa, pengujian in vivo pada kambing PE betina lepas sapih. Pembuatan wafer suplemen leguminosa Proses pembuatan wafer suplemen leguminosa disajikan pada Gambar 1. Daun leguminosa (Indigofera zollingeriana, lamtoro, kaliandra) dijemur dibawah sinar matahari selama 2-3 hari sampai kering. Daun leguminosa yang sudah kering digiling menggunakan mesin penggiling kemudian dicampur dengan bahan penyusun wafer lainnya. Setelah semua bahan penyusun wafer tercampur secara homogen, selanjutnya ditekan dan dipanaskan menggunakan mesin pencetak wafer selama 10 menit dengan suhu mesin wafer 100oC kemudian didinginkan. Diagram proses pembuatan wafer suplemen leguminosa disajikan pada Gambar 1.
6
Daun leguminosa (Indigofera zollingeriana, lamtoro, kaliandra)
Pengeringan di bawah sinar matahari (drying)
Penggilingan (grinding)
Pencampuran dengan bahan penyususn lainnya (mixing)
Molases dan premix
Penekanan dan pemanasan (pressing dan heating)
Pendinginan (cooling)
Wafer suplemen leguminosa Gambar 1 Diagram proses pembuatan wafer Pengujian fisik wafer suplemen leguminosa Kadar Air (AOAC 1999) 1. Kadar air diukur dengan metode pemanasan. Cawan alumunium ditimbang (x gram). Sampel sebanyak 5 gram (y gram) dimasukkan ke dalam cawan alumunium, kemudian dimasukkan ke dalam oven 105oC selama 24 jam. Setelah itu sampel dalam cawan alumunium ditimbang (z gram). Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus:
2. Aktivitas Air (aw) Aktivitas air diukur dengan menggunakan aw meter Tipe Novasiana Ms 1. Wafer suplemen leguminosa dihancurkan kemudian dimasukkan ke dalam wadah pengukuran hingga penuh mencapai batas garis teratas. Setiap data diukur sebanyak dua kali pengukuran dan diambil nilai rata-rata.
7
3. Kerapatan (Trisyulianti 1998) Nilai kerapatan wafer suplemen leguminosa dapat diperoleh dengan menggunakan rumus: Keterangan: K : kerapatan (g cm-3) W: bobot sampel wafer suplemen leguminosa (g) P : panjang sampel wafer suplemen leguminosa (cm) L : lebar sampel wafer suplemen leguminosa (cm) T : tebal wafer suplemen leguminosa (cm) Pengujian in vivo wafer suplemen leguminosa pada kambing PE betina lepas sapih Pemeliharaan Kambing PE betina lepas sapih dipelihara selama 10 minggu, dimana 2 minggu pertama sebagai masa adaptasi (preliminary period) dan 8 minggu berikutnya adalah masa perlakuan. Kambing PE betina lepas sapih diberi obat cacing terlebih dahulu sebelum dimulai penelitian. Kambing PE betina lepas sapih ditimbang bobot badannya untuk pengelompokan ternak berdasarkan bobot badannya. Penempatan ternak dan pemberian perlakuan dilakukan secara acak. Ransum perlakuan yang diberikan terdiri dari pakan basal yang sudah biasa digunakan di peternakan Cordero Farm dan diberikan wafer suplemen leguminosa. Pemberian pakan basal mengikuti kebiasaan peternakan Coredro Farm, sedangkan pemberian wafer suplemen leguminosa diberikan berdasarkan kekurangan kandungan nutrien pakan Cordero Farm dari NRC (2007) dengan kebutuhan protein untuk kambing sedang tumbuh adalah 16.38% (NRC 2007). Pemberian wafer Indigofera zollingeriana, lamtoro, dan kaliandra masing-masing 13.79%, 15.66%, 14.12% dari konsumsi BK. Persentase wafer suplemen yang diberikan berdasarkan dari konsumsi BK BB-1 hari-1 dengan asumsi konsumsi BK 3.5% BB. Kambing PE betina lepas sapih percobaan dipelihara dan diberi wafer suplemen leguminosa di pagi hari (07.00 WIB). Kemudian diberikan campuran konsentrat pada pagi hari (08.00 WIB) dan sore hari (16.00 WIB) diberi rumput. Penimbangan sisan pakan dilakukan pada pagi hari sebelum diberi wafer suplemen leguminosa. Penimbangan bobot badan kambing PE lepas sapih dilakukan setiap minggu selama pemeliharaan. Prosedur pengambilan sampel sisa pakan, feses, dan urin Pengambilan sampel sisa pakan, feses dan urin dilakukan selama 7 hari diakhir periode pemeliharaan. Sampel sisa pakan Sampel sisa pakan baik rumput maupun campuran konsentrat ditimbang sisanya kemudian diambil sampel sebesar 10% dan kemudian dimasukkan ke oven 60oC untuk analisis BK udara kemudian dikomposit sampai periode koleksi selesai. Selanjutnya diambil sampel untuk dianalisis BK, abu, PK, LK, SK.
8
Sampel feses Koleksi sampel feses dengan menggunakan koleksi total feses dalam satu hari (24 jam) selama 7 hari (Haris 1970). Cara mengoleksi feses tersebut adalah feses dikolesi selama 24 jam dan ditimbang untuk mengetahui berat totalnya. Feses yang telah ditimbang kemudian diaduk sampai rata dan diambil sampel sebesar 10% untuk dimasukkan ke oven 60oC untuk analisis BK udara. Feses yang telah dioven 60oC dikomposit sampai periode koleksi selesai. Selanjutnya diambil sampel untuk dianalisis kandungan BK, abu, PK, LK, SK. Sampel urin Pengambilan sampel urin dilakukan dengan menggunakan total koleksi urin dalam satu hari (24 jam) dan terpisah dengan feses. Cara mengoleksi urin pertama adalah tempat penampungan urin sebelumnya diisi dengan H2SO4 10% sebanyak 100 ml. Urin dikeluarkan dan disaring setelah 24 jam kemudian diukur volume. Urin yang telah diukur volumenya diambil sampel 10% dari total volume urin. Tempat urin diisi kembali dengan H2SO4 10% sebanyak 100 ml untuk penampungan selanjutnya. Sampel urin diaduk secara rata setelah 7 hari pengumpulan urin dan diambil 100 ml untuk dianalisa kandungan N. Parameter pengujian in vivo yang diamati meliputi: 1. Konsumsi pakan (g ekor-1 hari-1) Konsumsi pakan (g) = pemberian (g) – sisa (g) ) Konsumsi BK pakan = konsumsi pakan (g) x % BK pakan Konsumsi nutrient = konsumsi bahan kering(g) x % nutrien pakan 2. Kecernaan pakan
3. Retensi nitrogen Nilai retensi nitrogen digunakan untuk mengetahui apakah keseimbangan nitrogen bernilai positif atau negatif. Rumus retensi nitrogen sebagai berikut: Retensi nitrogen (RN) = NI – ( NF + NU ) Keterangan : RN: Retensi nitrogen (g) NI: konsumsi nitrogen (g) (konsumsi pakan x kandungan N dalam pakan) NF: nitrogen feses (g) NU: nitrogen urin (g) 4. Pertambahan bobot badan harian (PBBH) PBB didapatkan dengan penimbangan bobot badan ternak setiap dua minggu sekali selama penelitian berlangsung. Rumus perhitungan PBB adalah sebagai berikut:
9
5. Efisiensi penggunaan pakan Efisiensi penggunaan pakan merupakan perbandingan antara pertambahan bobot badan yang dihasilkan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Rumus perhitungan EPP adalah sebagai berikut:
6. Income Over Feed Cost (Simanihuruk et al. 2007) Keuntungan yang diperoleh oleh peternak selama memelihara ternak dapat dihitung menggunakan IOFC, yaitu berdasarkan harga beli, harga jual ternak, serta biaya pakan untuk ternak selama pemeliharaan. IOFC (Rp ekor-1 hari-1) = (Harga jual – Harga beli) – Biaya Pakan. Rancangan dan analisis data Rancangan percobaan yang digunakan dalam pengujian sifat fisik wafer suplemen leguminosa adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan yaitu perlakuan wafer Indigofera zollingeriana, wafer lamtoro, wafer kaliandra. Rancangan percobaan yang digunakan dalam pengujian in vivo wafer suplemen leguminosa pada kambing PE adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) 4 perlakuan dan 4 kelompok sebagai berikut: P0 = pakan basal Cordero Farm / kontrol P1 = P0 + 13.79% wafer Indigofera zollingeriana P2 = P0 + 15.66% wafer lamtoro P3 = P0 + 14.12% wafer kaliandra Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan sidik ragam. Perlakuan yang berbeda nyata diuji lanjut menggunakan Duncan (P<0.05).
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Wafer Suplemen Leguminosa Sifat fisik bermanfaat dalam menentukan kualitas pakan termasuk wafer suplemen leguminosa. Manfaat pengukuran sifat fisik diantaranya untuk mengetahui umur simpan suatu bahan pakan, pengangkutan, bahkan palatabilitasnya. Wafer suplemen leguminosa diuji kualitas fisiknya meliputi kadar air, aktivitas air, dan kerapatan. Wafer suplemen leguminosa ini memiliki bentuk persegi, padat, kompak, berwarna hijau kecoklatan serta memiliki aroma khas hijauan (Gambar 2). Wafer suplemen leguminosa mempunyai aroma yang berbeda-beda sesuai aroma khas masing-masing leguminosa yang digunakan. Hasil uji fisik wafer suplemen leguminosa disajikan pada Tabel 4.
10
Tabel 4 Sifat fisik wafer suplemen leguminosa Wafer Wafer Sifat Fisik Indigofera Lamtoro zollingeriana Kadar air (%) 11.63±0.49 11.99±0.59 Aktivitas air 0.632±0.001 0.634±0.001 Kerapatan (g cm-3) 0.63±0.06 0.61±0.01
Wafer Kaliandra 11.87±0.71 0.633±0.002 0.59±0.08
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa ketiga wafer suplemen leguminosa tidak terdapat perbedaan nyata (P>0.05) terhadap kadar air, aktivitas air, maupun kerapatan. Kadar air bahan merupakan pengukuran jumlah air total yang terkandung dalam bahan pakan, tanpa memperlihatkan kondisi atau derajat keterikatan air (Syarief dan Halid 1993). Kandungan air pada bahan dipengaruhi oleh jenis bahan, suhu dan kelembaban (Suadnyana 1998). Kadar air dari ketiga wafer suplemen leguminosa tersebut berada pada kondisi yang baik, yaitu dibawah 14% menurut SNI (2009). Trisyulianti et al. (2003) menambahkan bahwa aktivitas mikroorganisme dapat ditekan pada kadar air 12%-14%, sehingga bahan pakan tidak mudah berjamur dan busuk. Aktivitas air merupakan peubah yang penting dalam menentukan ketahanan simpan suatu pakan. Menurut Winarno (1997) suatu bahan yang akan disimpan sebaiknya memiliki aktivitas air dibawah 70%. Aktivitas air bahan pakan merupakan air bebas yang terkandung dalam bahan pakan yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya (Syarief dan Halid 1993). Aktivitas air erat hubungannya dengan pertumbuhan mikroorganisme. Aktivitas air dari ketiga wafer suplemen leguminosa memiliki nilai aw yang baik yaitu berkisar antara 0.632-0.634 sehingga tidak mudah untuk mikroorganisme berkembangbiak pada wafer tersebut. Menurut Winarno (1997) bahwa aw minimum untuk pertumbuhan bakteri adalah 0.9 dan untuk pertumbuhan khamir adalah 0.8-0.9. Kerapatan wafer akan menentukan kekompakan dan penampilan fisiknya yang berpengaruh dalam kapasitas ruang penyimpanan maupun transportasi. Pakan yang memiliki nilai kerapatan yang rendah cenderung tidak memerlukan tempat yang terlalu luas untuk disimpan sehingga kapasitas ruang penyimpanan dapat digunakan secara maksimum. Jayusmar et al. (2002) menyebutkan bahwa kerapatan wafer juga menentukan stabilitas dimensi dan penampilan fisik wafer. Kerapatan wafer suplemen leguminosa pada penelitian ini berkisar antara 0.590.63 g cm-3. Qomariyah (2015) menyebutkan bahwa kerapatan wafer mengandung daun kaliandra sebesar 0.69 g cm-3 sedangkan Retnani et al. (2010b) menyebutkan bahwa kerapatan wafer limbah sayuran pasar berkisar antara 0.56-0.88 g cm-3.
11
Wafer Indigofera zollingeriana
Wafer lamtoro
Wafer kaliandra
Gambar 2 Wafer suplemen leguminosa
Analisis In Vivo Konsumsi Pakan Konsumsi bahan kering dan nutrien ransum disajikan pada Tabel 5. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian ketiga wafer suplemen leguminosa terdapat perbedaan nyata (P<0.05) terhadap konsumsi bahan kering, bahan organik, lemak kasar, protein kasar, bahan ekstrak tanpa nitrogen, dan TDN. Kambing PE lepas sapih yang diberi wafer suplemen leguminosa memberikan nilai konsumsi bahan kering lebih tinggi dibandingkan kontrol. Kebutuhan bahan kering kambing dengan bobot badan 13 kg untuk hidup pokok menurut NRC adalah 444 g ekor-1 hari-1 dengan tingkat konsumsi 3.46% dari bobot badan. Konsumsi bahan kering kambing PE lepas sapih pada penelitian ini berkisar antara 661.40-792.77 g ekor-1 hari-1 maka konsumsi bahan kering sudah melebihi kebutuhan untuk hidup pokok, sehingga memungkinkan digunakan untuk pertumbuhan. Konsumsi bahan kering kambing dari beberapa penelitian menunjukkan nilai yang bervariasi, yaitu 434-560 g ekor-1 hari-1 (Suparjo et al. 2011), 556-603 g ekor-1 hari-1 (Lee et al. 2014), 248.6 g ekor-1 hari-1 (Bomprade et al. 2014). Perbedaan konsumsi bahan kering disebabkan oleh perbedaan kandungan nutrien yaitu protein (Negesse et al. 2001), status fisiologis, jenis kelamin ternak, serta bahan pakan penyususn ransum. Konsumsi bahan kering kambing yang diberi wafer suplemen leguminosa lebih tinggi diduga karena perbedaan total kandungan nutrien terutama pada proteinnya seiring pernyataan Negesse at al. (2001) yang menyebutkan bahwa perbedaan konsumsi bahan kering disebabkan oleh perbedaan kandungan nutrien yaitu protein. Konsumsi bahan kering akan berpengaruh terhadap pasokan nutrien yang dibutuhkan baik untuk hidup pokok maupun pertumbuhan ternak. Utomo dan Soejono (1999) menyebutkan bahwa banyak sedikitnya konsumsi nutrien tergantung pada jumlah bahan kering pakan yang dikonsumsi oleh ternak dan kandungan nutrien dalam pakan yang diberikan. Konsumsi protein kasar kambing PE lepas sapih yang diberi wafer suplemen leguminosa lebih tinggi dibandingkan dengan kambing PE lepas sapih tanpa diberi wafer suplemen leguminosa. Hal ini dikarenakan pemberian wafer suplemen leguminosa melengkapi kekurangan kebutuhan protein kambing sedang tumbuh. Konsumsi protein berkaitan erat dengan pertambahan bobot badan dimana protein digunakan sebagai pemenuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi (Suparjo et al. 2011).
12
Tabel 5 Konsumsi bahan kering dan nutrien ransum (g ekor-1 hari-1) Perlakuan Konsumsi P0 P1 P2 P3 BK 661.40±57.95a 770.72±36.62b 782.87±57.19b 792.77±87.64b BO 608.45±53.43a 710.19±33.26b 718.06±52.83b 727.23±81.24b LK 34.81±3.15a 37.48±1.60a 38.65±3.19a 43.75±5.11b PK 92.64±8.15a 119.94±5.05b 119.69±8.08b 122.87±12.49b SK 171.91±15.02 189.36±9.64 191.40±14.77 190.24±22.49 BETN 309.09±27.12a 363.41±16.99b 368.33±26.79b 370.37±41.14b TDN 395.06±34.54a 468.80±22.15b 474.40±34.03b 484.37±52.02b Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). BK: Bahan Kering, BO; Bahan Organik, LK: Lemak Kasar, PK: Protein Kasar, SK: Serat Kasar, BETN: Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen, TDN: Total Digestible Nutrient. P0 = pakan basal Cordero Farm / kontrol, P1 = P0 + 13.79% wafer Indigofera zollingeriana, P2 = P0 + 15.66% wafer lamtoro, P3 = P0 + 14.12% wafer
kaliandra Kecernaan Pakan Pengukuran jumlah nutrien yang dapat dicerna dapat dilakukan dengan mengetahui kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik. Nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik menunjukkan derajat cerna pakan pada alat pencernaan dan berapa besar sumbangan suatu pakan bagi ternak, disamping merupakan indikator kemampuan ternak untuk memanfaatkan suatu jenis pakan tertentu (Simanuhuruk et al. 2006). Hasil anailis sidik ragam menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering dan kecernaan protein kasar tidak menunjukkan perbedaan nyata pada tiap perlakuan namun kecernaan bahan organik menunjukkan perbedaan nyata pada tiap perlakuan (P<0.05). Kambing yang diberi wafer Indigofera zollingeriana dan wafer lamtoro menunjukkan nilai kecernaan bahan organik yang paling tinggi dibandingkan perlakuan lainnya, hal ini diduga disebabkan karena kandungan bahan organik yang dikonsumsi oleh kambing yang diberi wafer Indigofera zollingeriana dan wafer lamtoro lebih tinggi daripada lainnya sehingga konsumsi bahan organiknya juga semakin tinggi yang menyebabkan nilai kecernaannya semakin tinggi pula. Hal ini sesuai pernyataan McDonald et al. (2011) yang menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan antara lain kandungan pakan, komposisi ransum, proses pengolahan pakan, level pemberian pakan, serta faktor ternak. Faktor lain yang diduga menyebabkan perbedaan nilai kecernaan bahan organik adalah degradasi protein ransum. Degradasi protein pakan akan mempengaruh fermentasi di dalam rumen dan akan mempengaruhi efisiensi penyerapan nutrien pula (Gabler dan Heinrichs 2003). Pengoptimalan degradasi di dalam rumen dan sintesis protein mikroba akan dapat menekan ekskresi N yang hilang (Reynal dan Broderick 2003) dimana ekskresi N yang hilang dapat ditekan melalui keseimbangan rasio rumen degradable protein (RDP) dengan rumen undregadable protein (RUP) sehingga akan meningkatkan pemanfaatan N oleh mikroba rumen (Bach et al 2005). Penelitian mengenai RDP dan RUP masih sangat sedikit dilakukan khususnya pada leguminosa Indogofera zollingeriana, lamtoro dan kaliandra namun diduga kambing yang diberi wafer Indigofera zollingeriana dan lamtoro
13
memiliki imbangan RDP dan RUP yang lebih baik dibandingkan kambing yang diberi wafer kaliandra dan kontrol. Tabel 6 Kecernaan pakan (%) Kecernaan Bahan kering Bahan organik Protein kasar
Perlakuan P0 77.79±4.29 67.62±2.41a 66.24±0.68
P1 80.78±1.58 75.41±3.90b 71.59±2.66
P2 77.35±3.76 75.59±3.25b 68.76±4.82
P3 78.71±1.84 72.55±7.28ab 67.55±4.33
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). P0 = pakan basal Cordero Farm / kontrol, P1 = P0 + 13.79% wafer Indigofera zollingeriana, P2 = P0 + 15.66% wafer lamtoro, P3 = P0 + 14.12% wafer kaliandra
Retensi N, Pertambahan Bobot Badan Harian, Efisiensi Pakan, dan IOFC Tabel 7 menyajikan data hasil sidik ragam retensi N, pertambahan bobot badan harian, efisiensi pakan, serta IOFC. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kambing PE lepas sapih yang diberi dan tanpa diberi wafer suplemen leguminosa tidak terdapat perbedaan nyata (P>0.05) terhadap nilai retensi N. Retensi N pada penelitian ini memiliki nilai positif. Retensi nitrogen bernilai positif akan terjadi bila jumlah N yang dikonsumsi lebih besar daripada N yang dikeluarkan baik melalui feses maupun urin (McDonald et al. 2002). Qomariyah (2015) menyebutkan bahwa pemberian wafer yang mengandung daun kaliandra memperlihatkan air liur (saliva) lebih banyak disekitar mulut kambing dikarenakan bentuk wafer yang padat, kompak dan harum membuat kambing mensekresikan air liur (saliva) lebih banyak untuk membasahi dan melicinkan wafer. Ditambahkan oleh Bines dan Balch (1973) bahwa saliva yang masuk ke dalam rumen akan dapat mempertahankan pH rumen. Kondisi rumen yang netral membuat perkembangan mikroba rumen optimal dan pemanfaatan N pakan untuk sintesis protein mikroba rumen juga dapat optimal sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap retensi N dalam tubuh ternak. Pertambahan bobot badan harian merupakan ukuran kecepatan pertumbuhan serta sebagai cermin untuk mencerna makanan. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian wafer suplemen leguminosa mampu meningkatkan secara nyata (P<0.05) pertambahan bobot badan harian kambing PE lepas sapih. Pemberian wafer suplemen leguminosa baik wafer Indigofera zollingeriana, wafer lamtoro, dan wafer kaliandra menunjukkan pertambahan bobot badan harian kambing PE lepas sapih dari 32.62% sampai 66,18% lebih tinggi dibandingkan tanpa diberi wafer suplemen leguminosa. Kambing yang diberi wafer Indogofera zollingeriana dan lamtoro memiliki PBBH paling tinggi dibandingkan kambing yang diberi wafer kaliandra dan kontrol. Hal ini disebabkan tingkat konsumsi bahan kering, bahan organik, protein kasar dan kecernaan bahan organik yang lebih tinggi sehingga degradasi protein dan sintesis protein mikroba dalam rumen akan meningkatkan retensi N sehingga akan meningkatkan pula PBBH. Banyaknya bahan pakan yang dapat dikonsumsi oleh seekor ternak berhubungan dengan bobot badannya, semakin tinggi bobot badan ternak makan semakin tinggi pula kemampuan ternak dalam mengkonsumsi pakannya. Kambing PE lepas sapih yang diberi wafer kaliandra memiliki PBBH lebih rendah dibandingkan dengan
14
yang diberi wafer Indigofera zollingeriana dan wafer lamtoro. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kandungan lignin yang terdapat di wafer kaliandra lebih tinggi dibandingkan dengan wafer Indigofera zollingeriana dan wafer kaliandra. Tangendjaja et al. (1992) menyebutkan bahwa kandungan lignin daun kaliandra berkisar 10-11.9 % sedangkan Herdiwan et al. (2014) menyebutkan kandungan lignin daun Indigofera zollingeriana berkisar 3.765.20% dan kandungan lignin daun lamtoro adalah 5.8% (Rukmana 2005). Arora (1995) menyatakan bahwa hijauan dengan kandungan lignin yang tinggi mempunyai palatabilitas yang rendah dan konsumsi pakan yang lebih rendah daripada hijauan yang mengandung lignin rendah sehingga akan mempengaruhi produktivitas ternak yang mengkonsumsinya. Kuswandi dan Thalib (2005) menyebutkan bahwa pertumbuhan kambing PE lepas sapih yang diberi pakan konsentrat terbatas dan rumput gajah secara ad libitum memiliki pertambahan bobot badan harian sebesar 36.5 g hari-1. Pertambahan bobot badan harian kambing PE lepas sapih pada penelitian ini lebih tinggi berkisar antara 46.9978.09 g ekor-1. Tabel 7 Retensi N, pertambahan bobot badan harian (g ekor-1 hari-1), efisiensi penggunaan pakan, income over feed cost Perlakuan Parameter P0 P1 P2 P3 Retensi N 11.75±1.87 12.88±1.19 12.77±1.63 11.56±4.24 PBBH 46.99±16.62a 72.87±5.73b 78.09±16.96b 62.32±17.52ab EPP 6.99±1.82a 9.43±0.76b 9.90±1.44b 7.78±1.65ab IOFC 18288±2695a 20945±1173ab 21779±2367b 20910±2639ab Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). PBBH = pertambahan bobot badan harian, EPP = efisiensi penggunaan pakan, IOFC = income over feed cost. P0 = pakan basal Cordero Farm / kontrol, P1 = P0 + 13.79% wafer Indigofera zollingeriana, P2 = P0 + 15.66% wafer lamtoro, P3 = P0 + 14.12% wafer kaliandra.
Efisiensi penggunaan pakan (EPP) merupakan indikator untuk melihat penggunaan pakan dalam pemingkatkan pertambahan bobot badan harian setiap konsumsi bahan keringnya. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kambing PE lepas sapih yang diberi wafer suplemen leguminosa memiliki nilai EPP yang lebih tinggi (P<0.05). Hal ini dikarenakan kambing PE lepas sapih yang diberi maupun tanpa diberi wafer suplemen leguminosa memiliki konsumsi bahan kering yang relatif sama dengan pertambahan bobot badan harian lebih tinggi kambing PE lepas sapih yang diberi wafer suplemen leguminosa. Semakin tinggi nilai EPP menunjukkan bahwa semakin efisien pula pakan yang digunakan untuk meningkatkan pertambahan bobot badan harian. Nilai EEP ini dipengaruhi oleh konsumsi bahan keringnya. IOFC merupakan keuntungan yang diperoleh oleh peternak selama memelihara ternak dengan menganalisis pendapatan setelah dikurangi biaya pakan yang digunakan selama penelitian. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian ketiga wafer suplemen leguminosa dapat meningkatkan nilai IOFC secara nyata (P<0.05). Keuntungan yang didapatkan peternak dengan pemberian wafer suplemen leguminosa meningkat sampai 19.09% dibandingkan tanpa
15
menggunakan wafer suplemen leguminosa. Faktor yang mempengaruhi nilai IOFC meliputi pertambahan bobot badan harian yang dihasilkan, pakan yang dikonsumsi serta biaya pakan yang dikeluarkan. Pertumbuhan yang baik belum tentu menjamin keuntungan yang maksimum, namun pertumbuhan yang baik diikuti dengan efisiensi penggunaan pakan yang baik pula serta biaya pakan yang minimal dapat memaksimalkan keuntungan pula. Uji Korelasi Kecernaan Bahan Organik dengan Pertambahan Bobot Badan Harian Hasil uji korelasi antara kecernaan bahan organik dengan pertambahan bobot badan harian disajikan pada Gambar 3. Peningkatan nilai kecernaan bahan organik sejalan dengan pertambahan bobot badan harian yang mengikuti persamaan Y = 3.6409X – 199.96 dimana X merupakan nilai kecernaan bahan organik, Y merupakan pertambahan bobot badan harian, dengan tingkat keeratan hubungan R2 = 0.9734. Kecernaan bahan organik terdiri atas kecernaan nutrien yang ada pada pakan yang diberikan pada ternak yang mengindikasikan kemampuan ternak memanfaatkan pakan yang diberikan salah satunya dilihat dari pertambahan bobot badan harian. Sehingga peningkatan kecernaan bahan organik akan meningkatkan pertambahan bobot badan harian pada ternak.
PBBH (g ekor-1)
80 70 y = 3,6409x - 199,96 R² = 0,9734 60 50 40 67
69
71 73 Kecernaan Bahan Organik (%)
75
Gambar 3 Hubungan kecernaan bahan organik dengan pertambahan bobot badan harian Konsumsi bahan kering kambing yang diberi wafer suplemen leguminosa lebih tinggi diduga karena perbedaan total kandungan nutrien terutama pada proteinnya seiring pernyataan Negesse at al. (2001) yang menyebutkan bahwa perbedaan konsumsi bahan kering disebabkan oleh perbedaan kandungan nutrien yaitu protein. Konsumsi bahan kering akan berpengaruh terhadap pasokan nutrien yang dibutuhkan baik untuk hidup pokok maupun pertumbuhan ternak sehingga konsumsi bahan organik kambing yang diberi wafer suplemen leguminosa lebih tinggi daripada kontrol. Hal ini akan menyebabkan semakin tinggi pula kecernaan bahan organiknya. Tingginya kecernaan bahan organik akan mengoptimaknan
16
degradasi protein dalam rumen dan sintesis protein mikroba dalam rumen sehingga akan meningkatkan retensi N. Peningkatan retensi N mengindikasikan peningkatan PBBH pula.
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pemberian wafer suplemen leguminosa mampu meningkatkan performa kambing PE betina lepas sapih. Pemberian wafer Indigofera zollingeriana dan wafer lamtoro menunjukkan kecernaan bahan organik yang terbaik sehingga mempunyai pertambahan bobot badan harian kambing PE lepas sapih yang terbaik dibandingkan wafer kaliandra. Pemberian wafer lamtoro pada kambing PE lepas sapih mempunyai efisiensi pakan dan income over feed cost terbaik. Saran Oleh karena terdapat perbedaan kecernaan protein diantara ketiga jenis wafer suplemen leguminosa, disarankan agar dilakukan penelitian rumen undegradable protein (RUP) dan rumen degradable protein (RDP) untuk masingmasing leguminosa tesebut sebelum diujicobakan pemberiannya pada ternak laktasi.
DAFTAR PUSTAKA Arora SP. 1995. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia Cetakan Kedua. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1999. Official Methods of Analysis. Ed ke-16. Washington (US): AOAC International. Argadiyasto D. 2015. Pengolahan daun lamtor secara fisik dengan bentuk mash, pellet dan wafer sebagai suplemen pakan domba priangan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Askar S. 1997. Nilai gizi daun lamtoro dan pemanfaatannya sebagai pakan ternak ruminansia. Bogor (ID) : Balai Penelitian Ternak. Bach A, Calsamiglia S, Strem MD. 2005. Nitrogen merabolism in the rumen. J. Dairy Sci 88 E9-E21. Bakasso S, Lamien-Meda A, Lamien CE, Kiendrebeogo M, Millogo J, Quedraogo AG, Nacoulma OG. 2008. Polyphenol contents and antioxidant activities of five Indigofera species (Fabaceae) from Burkina Faso. Pak J. Bio Scie11(11) : 1429-1435. Barry TN, Manley TR. 1984. The role of condensed tannins in nutritional value of Lotus peduculatus for sheep 2. Quarantative digestion of carbohydrates and protein. Br. J. Nutr. 51:493.
17
Bines JA, Balch CC. 1973. Relative retentions of the nitrogen of urea and groundnut in isoenergenetic diets for growing heifers. Brit. J. Nutr 29(03):457466. Bompadre TFV, Neto OB, Mendonca AN, Souza SF, Oliveira D, Fernandes MHMR, Harter CJ, Almeida AK, Resende KT, Teixeira IAMA. 2014. Energy requirements in early life are similar for male and female goat kids. Asian Australas. J. Anim. Sci 27(12):1712-1720. Bulo D, Prabowo A, Sbrani M. 1992. Pemanfaatan daun kaliandra sebagai tambahan pakan kambing yang diberi rumput benggala. Prosiding Sarasehan Usaha Ternak Domba dan Kambing Menyongsong Era PJPT II. Hal 56-58. Ensminger ME. 2001. Sheep and Goat Science. 6th Edition. Danville, Illinois: Interstate Publisher, Inc. Gabler MT, Heinrichs Aj. 2003. Altering soluble and potentially rumen degradable protein for prepubertal holsteins heifers. J. Dairy Sci. 86: 21222130. Haris LE. 1970. Chemical and Biological Methods for Feed Analiysis. Gansville (US): University of Florida. Hassen A, Rethman NFG, Van Niekerk WA, Tjelele TJ. 2007. Influence of season/year and species on chemical composition and in vitro digestibility of five Indigofera accessions. J. Anim Feed Sci. and Tech. 136:312-322. Hassen A, Rethman NFG, Aostolides A, Van Niekerk WA. 2008. Forage production and potential nutritive value of 24 shrubby Indigofera accessions under field conditions in South Africa. Tropicai Grasslands 42: 96 -103. Hegarty MP. 1986. Toxic amino acid in foods of animals and human. Proc. Nutr. Soc. Aust. 11 : 73 - 81. Herdiawan I, Abdullah L, Sopandi D. 2014. Nutritional status of Indigofera zollingeriana forage at different level draught stress and cutting interval. JITV 19(2): 91-103. Jayusmar, Trisyulianti E, Jachja J. 2002. Pengaruh suhu dan tekanan pengempaan terhadap sifat fisik wafer ransum dari limbah pertanian sumber serat dan leguminosa untuk ternak ruminansia. Med. Pet 24:76-80. Kementerian Perindustrian. 2014. Konsumsi susu di Indonesia [Diunduh 10 Desember 2015]. Tersedia pada: http://www.kemenperin.go.id/artikel/8890/Konsumsi-Susu-Masih-11,09-Literper-Kapita . Kuswandi, Thalib A. 2005. Pertumbuhan kambing lepas sapih yang diberi konsentrat terbatas. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Indonesia. Hal: 590-595. Lee JJ, Soe J, Jung JK, Lee J, Lee JH, Soe S. 2014. Effect of β-mannanase supplementation on growth performance, nutrient digestibility, and nitrogen utilization of Korea native goat (Capra hircus coreanae). Livestock Scie. 169(0):83-87. Maria. 1988. Pemerikasaan pendahuluan kimia daun petai cina (Leucaena glauca Benth) [skripsi]. Bandung (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung.
18
Mathius IW, Gaga IB, Sutama IK. 2002. Kebutuhan kambing PE jantan muda akan energi dan protein kasar: konsumsi, kecernaan, ketersediaan dan pemanfaatan nutrient. JITV No 2 (7): 99-109. McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JDF, Morgan CA, Sinclair LA, Wilkinson RG. 2002. Animal nutrition. Sixth Edition. Harlow (UK): Prentice Hall. McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JDF, Morgan CA, Sinclair LA, Wilkinson RG. 2011. Animal nutrition. Seventh Edition. Harlow (UK): Prentice Hall. Mellado M, Meza-Herrera CA, Arevalo JR, Santiago-Miramontes MD, Rodriguez A, Luna-Orozco JR, Veliz-Deras FG. 2011. Relationship between litter birth weight and litter size in five goat genotypes. Anim. Prod. Sci 51:144-149. Merkel RC, Pond KR, Burn JC, Fisher DS. 1996. Condensed Tanin in Caliandra calothyrsus and their effect in feeding value. In: D.O Evans (ed). Proceedings of International Workshop in the Genus Calliandra . Forest, Farm and Community Tree Research Reports (Special Issue). Winrock International, Morrilton Arkansas USA. Hal 222-233. Mohammadi H, Shahrebabak MM, Shahrebabak HM. 2012. Genetic parameter estimates for growth traits and prolificacy in Raeini Cash-mere goats. Trop. Anim. Health Prod 44:1213-1220. [NRC] National Research Council. 2007. Nutrient Requirements of Small Ruminant. Washington DC (USA): National Academy Press. Negesse T, Rodehutscord M, Pfeffer E. 2001. The effect of dietary crude protein lev on intake, growth, proteim retention, and utilization of growing male Saanen kids. Small umin. Res. 39:243-351. Niezen JH, Grieve DG, Mcbride BW, Burton JH. 1996. Effect of plane nutrition before and after 200 kilograms of body weight on mammary development of prepubertal Holstein heifer. J Dairy Sci 79:1255. Paterson RT, Roothaert RL, Nyataa OZ, Akyeampong E, Hove. 2001. Experience with Calliandra calothyrsus as a feed for livestock in Africa. Proceeding of International Workshop in Lokakarya nasional tanaman Pakan Ternak .148 Qomariyah N. 2015. Pemberian wafer mengandung daun kaliandra (Calliandra calothyrsus) untuk meningkatkan pertumbuhan anak kambing Peranakan Etawah [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Retnani Y, Syananta FP, Herawati L, Widiarti W, Saenab A. 2010a. Pemanfaatan wafer limbah sayuran pasar untuk ternak domba. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Indonesia. Hal: 503-510. Retnani Y, Syananta FP, Herawati L, Widiarti W, Saenab A. 2010b. Physical characteristic and palatability of market vegetable waste wafer for sheep. J of Anim. Prod. 12 (1):29-33. Reynal SM, Broderick GA. 2003. Effects of feeding dairy cows protein supplements of varying ruminal degradability. J. Dairy Sci. 86: 835-843. Rohmatin. 2010. Pengaruh penggunaan lamtoro sebagai pakan ternak domba [skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret. Rukmana HR. 2005. Budi Daya Rumput Unggul Hijauan Makanan Ternak. Yogyakarta (ID): Kanisius.
19
Simanihuruk K, Wiryawan KG, Ginting SP. 2006. Pengaruh taraf kulit buah markisa (Passiflora edulis Sims f. edulis Deg) sebagai campuran pakan kambing kacang: konsumsi, kecernaan, retensi nitrogen. JITV. 11(2): 97-105. Simanihuruk K, Junjungan, Tarigan A. 2007. Pemanfaatan pelepah kelapa sawit sebagai pakan basal kambing Kacang fase pertumbuhan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Indonesia. Hal: 417-424. Simanihuruk K, Sirait J. 2009. Pemanfaatan leguminosa pohon Indigofera sp. sebagai pakan basal kambing Boerka fase pertumbuhan. Dalam: Sani Y, Natalia L, Brahmantiyo B, Puastuti W, Sartika T, Nurhayati, Anggraeni A, Matondang RH, Martindah E, Estuningsih SE, penyunting. Teknologi peternakan dan veteriner mendukung industrialisasi sistem pertanian untuk meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan peternak. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Indonesia. Hal: 449-. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2009. SNI Pakan Konsentrat Sapi Perah 3148.1:2009. Jakarta (ID): Badan Standarisasi Nasional. Suadnyana IW. 1998. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap perubahan sifat fisik pakan lokal sumber protein [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suparjo , Wiryawan KG, Laconi EB, Mangunwidjaja. 2011. Performa kambing yang diberi kulit buah kakao terfermentasi. Med. Pet. : 35-41. Syarief R, Halid H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Bogor (ID): Arcan. Tangendjaja B, Wina E, Ibrahim TM, Palmer B. 1992. Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan manfaatnya. Balai penelitian Ternak dan The Australian Centre for Institute Agricultural Research. Hal 13-42. Tangendjaja B, Wina E. 1998. Pengaruh transfer cairan rumen dari domba lokal ke domba merino terhadap mencerna kaliandra. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Hal 448-454. Toruan MN, Suhendi D. 1991. Potensi kultivar Leucaena diversifolia terseleksi sebagai pakan ternak. Menara Perkebunan 59 (4): 118-122. Treacher TT. 1979. The nutrition of lactating ewe. In The British Council (Ed). Management and Diseases of Sheep. London (UK). 241-256. Trisyulianti E. 1998. Pembuatan wafer rumput gajah untuk pakan ruminansia besar. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Institut Pertanian Bogor, Bogor, Institut Pertanian Bogor. Trisyulianti E, Suryahadi, Rakhma V. 2003. Pengaruh penggunaan molases dan tepung gaplek sebagai bahan perekat terhadap sifat fisik wafer ransum komplit. Media Peternakan 26:35-40. Winugoho M, Widiawati Y. 2009. Keseimbangan nitrogen pada domba yang diberi daun leguminosa sebagai pakan tunggal. J. Ilmu Peternakan. 13 (1) : 613. Utomo R, Soejono M. 1999. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Yogyakarta (ID): Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
20
Wardeh MF. 1981. Models for estimating energy and protein utilization for feed [disertasi]. Logan (US): Utah State University. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Winugroho M, Widiawati Y. 2009. Keseimbangan nitrogen pada domba yang diberi daun leguminosa sebagai pakan tunggal. Buletin Ilmu Peternakan dan Perikanan 13 (1) : 6-13.
21
Lampiran 1 Hasil sidik ragam kadar air Sumber Jenis Dearajat Kuadrat F hit Signifikansi Keragaman Keragaman Bebas Tengah (SK) (JK) (dB) Model koreksi .196a 2 .098 .270 .772 Intercept 1259.564 1 1259.564 3.473E3 .000 Perlakuan .196 2 .098 .270 .772 Kelompok 2.176 6 .363 Galat 1261.936 9 Total 2.372 8 Total koreksi .196a 2 .098 .270 .772 R Squared = .083 (Adjusted R Square = -.223) Lampiran 2 Hasil sidik ragam kerapatan Sumber Jenis Dearajat Kuadrat F hit Signifikansi Keragaman Keragaman Bebas Tengah (SK) (JK) (dB) Model koreksi 4.222E-6a 2 2.111E-6 1.727 .256 Intercept 3.609 1 3.609 2.953E6 .000 Perlakuan 4.222E-6 2 2.111E-6 1.727 .256 Kelompok 7.333E-6 6 1.222E-6 Galat 3.609 9 Total 1.156E-5 8 Total koreksi 4.222E-6a 2 2.111E-6 1.727 .256 R Squared = .365 (Adjusted R Square = .154) Lampiran 3 Hasil sidik ragam kerapatan Sumber Jenis Dearajat Kuadrat F hit Signifikansi Keragaman Keragaman Bebas Tengah (SK) (JK) (dB) Model koreksi .002a 2 .001 .265 .775 Intercept 3.350 1 3.350 944.169 .000 Perlakuan .002 2 .001 .265 .775 Kelompok .021 6 .004 Galat 3.373 9 Total .023 8 Total koreksi .002a 2 .001 .265 .775 R Squared = .081 (Adjusted R Square = -.225)
22
Lampiran 4 Hasil sidik ragam konsumsi bahan kering Sumber Jenis Dearajat Kuadrat F hit Signifikansi Keragaman Keragaman Bebas Tengah (SK) (JK) (dB) Model 68949.588a 6 11491.598 4.558 .021 koreksi Intercept 9046665.334 1 9046665.334 3.588E3 .000 Perlakuan 44696.044 3 14898.681 5.909 .016 Kelompok 24253.544 3 8084.515 3.206 .076 Galat 22692.816 9 2521.424 Total 9138307.738 16 Total 91642.404 15 koreksi R Squared = .752 (Adjusted R Square = .587) Lampiran 5 Hasil uji lanjut Duncan konsumsi bahan kering Perlakuan N Subset 1 1 4 ... 2 4 3 4 4 4 Sig. 1.000
2 ... ... ... .567
Lampiran 6 Hasil sidik ragam konsumsi bahan organik Sumber Jenis Dearajat Kuadrat F hit Signifikansi Keragaman Keragaman Bebas Tengah (SK) (JK) (dB) Model 6 57536.891a 9589.482 4.441 .023 koreksi Intercept 1 7639378.143 7639378.143 3.538E3 .000 Perlakuan 3 36911.338 12303.779 5.699 .018 Kelompok 3 20625.553 6875.184 3.184 .077 Galat 9 19431.832 2159.092 Total 16 7716346.866 Total 15 76968.723 koreksi R Squared = .748 (Adjusted R Square = .579) Lampiran 7 Hasil uji lanjut Duncan konsumsi bahan organik Perlakuan N Subset 1 2 1 4 6.0845E2 2 4 7.1019E2 3 4 7.1806E2 4 4 7.2724E2 Sig. 1.000 .632
23
Lampiran 8 Hasil sidik ragam konsumsi lemak kasar Sumber Jenis Dearajat Kuadrat F hit Signifikansi Keragaman Keragaman Bebas Tengah (SK) (JK) (dB) Model koreksi 240.322a 6 40.054 4.837 .018 Intercept 23925.902 1 23925.902 2.890E3 .000 Perlakuan 168.539 3 56.180 6.785 .011 Kelompok 71.783 3 23.928 2.890 .095 Galat 74.519 9 8.280 Total 24240.743 16 Total koreksi 314.841 15 R Squared = .763 (Adjusted R Square = .606) Lampiran 9 Hasil uji lanjut Duncan konsumsi lemak kasar Perlakuan N Subset 1 1 4 34.8100 2 4 37.4750 3 4 38.6450 4 4 Sig. .105
2
43.7500 1.000
Lampiran 10 Hasil sidik ragam konsumsi protein kasar Sumber Jenis Dearajat Kuadrat F hit Signifikansi Keragaman Keragaman Bebas Tengah (SK) (JK) (dB) Model 2894.513a 6 482.419 9.521 .002 koreksi Intercept 207150.144 1 207150.144 4.089E3 .000 Perlakuan 2410.628 3 803.543 15.859 .001 Kelompok 483.885 3 161.295 3.183 .077 Galat 455.998 9 50.666 Total 210500.655 16 Total koreksi 3350.511 15 R Squared = .864 (Adjusted R Square = .773) Lampiran 11 Hasil uji lanjut Duncan konsumsi protein kasar Perlakuan N Subset 1 1 4 92.6350 3 4 2 4 4 4 Sig. 1.000
2 1.1969E2 1.1994E2 1.2287E2 .560
24
Lampiran 12 Hasil sidik ragam konsumsi serat kasar Sumber Jenis Dearajat Kuadrat F hit Signifikansi Keragaman Keragaman Bebas Tengah (SK) (JK) (dB) Model 2646.130a 6 441.022 2.633 .093 koreksi Intercept 551922.697 1 551922.697 3.295E3 .000 Perlakuan 1026.366 3 342.122 2.042 .178 Kelompok 1619.764 3 539.921 3.223 .075 Galat 1507.545 9 167.505 Total 556076.372 16 Total koreksi 4153.675 15 R Squared = .637 (Adjusted R Square = .395) Lampiran 13 Hasil sidik ragam konsumsi BETN Sumber Jenis Dearajat Kuadrat F hit Signifikansi Keragaman Keragaman Bebas Tengah (SK) (JK) (dB) Model 15605.873a 6 2600.979 4.690 .020 koreksi Intercept 1991485.440 1 1991485.440 3.591E3 .000 Perlakuan 10291.990 3 3430.663 6.187 .014 Kelompok 5313.883 3 1771.294 3.194 .077 Galat 4990.708 9 554.523 Total 2012082.021 16 Total 20596.581 15 koreksi R Squared = .758 (Adjusted R Square = .596) Lampiran 14 Hasil uji lanjut Duncan konsumsi BETN Perlakuan N Subset 1 2 1 4 3.0909E2 2 4 3.6341E2 3 4 3.6833E2 4 4 3.7037E2 Sig. 1.000 .699
25
Lampiran 15 Hasil sidik ragam konsumsi TDN Sumber Jenis Dearajat Kuadrat F hit Signifikansi Keragaman Keragaman Bebas Tengah (SK) (JK) (dB) Model 28709.154a 6 4784.859 5.372 .013 koreksi Intercept 3321988.866 1 3321988.866 3.730E3 .000 Perlakuan 20080.862 3 6693.621 7.515 .008 Kelompok 8628.292 3 2876.097 3.229 .075 Galat 8016.158 9 890.684 Total 3358714.177 16 Total 45745.576 15 koreksi R Squared = .781 (Adjusted R Square = .636) Lampiran 16 Hasil uji lanjut Duncan konsumsi TDN Perlakuan N Subset 1 1 4 3.9506E2 2 4 3 4 4 4 Sig. 1.000
2 4.6880E2 4.7440E2 4.8437E2 .498
Lampiran 17 Hasil sidik ragam kecernaan bahan kering Sumber Jenis Dearajat Kuadrat F hit Signifikansi Keragaman Keragaman Bebas Tengah (SK) (JK) (dB) Model koreksi 55.576a 6 9.263 .952 .505 Intercept 98990.464 1 98990.464 1.017E4 .000 Perlakuan 27.846 3 9.282 .954 .455 Kelompok 27.730 3 9.243 .950 .457 Galat 87.594 9 9.733 Total 99133.633 16 Total koreksi 143.169 15 R Squared = .388 (Adjusted R Square = -.202)
26
Lampiran 18 Hasil sidik ragam kecernaan bahan organik Sumber Jenis Dearajat Kuadrat F hit Signifikansi Keragaman Keragaman Bebas Tengah (SK) (JK) (dB) Model koreksi 257.659a 6 42.943 2.379 .117 Intercept 84774.146 1 84774.146 4.697E3 .000 Perlakuan 165.865 3 55.288 3.064 .084 Kelompok 91.794 3 30.598 1.695 .237 Galat 162.427 9 18.047 Total 85194.231 16 Total koreksi 420.086 15 R Squared = .613 (Adjusted R Square = .356) Lampiran 19 Hasil uji lanjut Duncan kecernaan bahan organik Perlakuan N Subset 1 1 4 67.6200 4 4 72.5450 2 4 3 4 Sig. .136
2 72.5450 75.4075 75.5875 .358
Lampiran 20 Hasil sidik ragam kecernaan protein kasar Sumber Jenis Dearajat Kuadrat F hit Signifikansi Keragaman Keragaman Bebas Tengah (SK) (JK) (dB) Model koreksi 91.779a 6 15.296 1.156 .405 Intercept 75156.852 1 75156.852 5.680E3 .000 Perlakuan 62.366 3 20.789 1.571 .263 Kelompok 29.413 3 9.804 .741 .554 Galat 119.077 9 13.231 Total 75367.708 16 Total koreksi 210.856 15 R Squared = .435 (Adjusted R Square = .059)
27
Lampiran 21 Hasil sidik ragam retensi N Sumber Jenis Dearajat Kuadrat F hit Signifikansi Keragaman Keragaman Bebas Tengah (SK) (JK) (dB) Model koreksi 18.397a 6 3.066 .432 .840 Intercept 2396.592 1 2396.592 337.934 .000 Perlakuan 5.528 3 1.843 .260 .853 Kelompok 12.869 3 4.290 .605 .628 Galat 63.827 9 7.092 Total 2478.816 16 Total koreksi 82.224 15 R Squared = .224 (Adjusted R Square = -.294) Lampiran 22 Hasil sidik ragam PBBH Sumber Jenis Dearajat Kuadrat F hit Signifikansi Keragaman Keragaman Bebas Tengah (SK) (JK) (dB) Model koreksi 3078.832a 6 513.139 2.441 .111 Intercept 67733.966 1 67733.966 322.193 .000 Perlakuan 2260.327 3 753.442 3.584 .060 Kelompok 818.504 3 272.835 1.298 .334 Galat 1892.051 9 210.228 Total 72704.849 16 Total koreksi 4970.883 15 R Squared = .619 (Adjusted R Square = .366) Lampiran 23 Hasil uji lanjut Duncan PBBH Perlakuan N 1 4 2 3 Sig.
4 4 4 4
Subset 1 46.9825 62.3150
.169
2 62.3150 72.8725 78.0875 .175
28
Lampiran 24 Hasil sidik ragam efisiensi penggunaan pakan Sumber Jenis Dearajat Kuadrat F hit Signifikansi Keragaman Keragaman Bebas Tengah (SK) (JK) (dB) Model koreksi 27.885a 6 4.647 2.031 .163 Intercept 1162.981 1 1162.981 508.156 .000 Perlakuan 22.536 3 7.512 3.282 .072 Kelompok 5.348 3 1.783 .779 .535 Galat 20.598 9 2.289 Total 1211.463 16 Total koreksi 48.483 15 R Squared = .575 (Adjusted R Square = .292) Lampiran 25 Hasil uji lanjut Duncan efisiensi penggunaan pakan Perlakuan N Subset 1 2 1 4 6.9875 4 4 7.7825 7.7825 2 4 9.4275 3 4 9.9050 Sig. .057 .090 Lampiran 26 Hasil sidik ragam IOFC Sumber Jenis Dearajat Kuadrat F hit Signifikansi Keragaman Keragaman Bebas Tengah (SK) (JK) (dB) Model 6.412E7a 6 1.069E7 3.552 .044 koreksi Intercept 6.711E9 1 6.711E9 2.231E3 .000 Perlakuan 2.758E7 3 9194378.729 3.056 .084 Kelompok 3.654E7 3 1.218E7 4.048 .045 Galat 2.708E7 9 3008776.785 Total 6.802E9 16 Total koreksi 9.120E7 15 R Squared = .703 (Adjusted R Square = .505) Lampiran 27 Hasil uji lanjut Duncan IOFC Perlakuan N 1 4 2 3 Sig.
4 4 4 4
Subset 1 1.83E4 2.09E4 2.09E4 .068
2 2.09E4 2.09E4 2.18E4 .515
29
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kediri pada 3 Desember 1990. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Didik Prohantoro dan Ibu Tutik Rini Mujiati. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB), lulus pada tahun 2013. Pada tahun yang sama, penulis aktif menjadi asisten praktikum di laboratorium Industri Pakan Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan IPB. Penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi magister (S2) di Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2014 dengan disponsori oleh Beasiswa BPPDN Fresh Graduate periode 2014/2015 dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen DIKTI). Penulis juga mendapatkan beasiswa tesis pada tahun 2016 dengan disponsori oleh Beasiswa Tesis dari Lembaga Pengelola dana Pendidikan (LPDP). Selama perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi kegiatan mahasiswa pascasarjana. Penulis menjadi bendahara Himpunan Mahasiswa Pascasarjana (HIWACANA) Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan IPB pada tahun 2016.
30