VI EVALUASI STRATEGI PROMOSI KESEHATAN BERDASARKAN TEMPAT PELAKSANAAN DI DESA JEBED SELATAN 6.1 Tahap Input Pada identifikasi tahap ini yang menjadi masukan (input) adalah adanya kebijakan : a. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1193/MENKES/SK/X/2004 tentang Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan b. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1114/MENKES/SK/VIII/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah c. Kebijakan “Kabupaten Pemalang Sehat 2010”
6.2 Tahap Proses 6.2.1 Evaluasi Berdasarkan Tanggapan Pelaksana Program Belum memuaskannya capaian program Promosi Kesehatan di Kabupaten Pemalang berdampak juga pada capaian di Desa Jebed Selatan. Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi strategi Promosi Kesehatan berdasarkan tempat pelaksanaan yang ada di Desa Jebed Selatan. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1114/Menkes/SK/VIII/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah, dinyatakan bahwa penanggung jawab dan pelaksana dari semua kegiatan Promosi Kesehatan adalah Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota. Pada sub-bab ini di lakukan evaluasi berdasarkan tanggapan dari pelaksana program. Responden yang dipilih untuk wawancara mendalam adalah salah seorang pejabat eselon IV yang berkompeten dalam program Promosi Kesehatan dan petugas Puskesmas Jebed sebagai pelaksana program Promosi Kesehatan di Desa Jebed Selatan. Berikut informasi yang telah teridentifikasi pada implementasi Promosi Kesehatan tingkat Kabupaten berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan salah seorang pejabat eselon IV di Dinas Kesehatan. 1. Faktor pemudah; dalam konteks Promosi Kesehatan, konsep Green yang digunakan
untuk
mengidentifikasi
faktor-faktor
terwujudnya program Promosi Kesehatan adalah :
yang
mempermudah
60
a) Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang Promosi Kesehatan, masih minimnya tenaga kesehatan (segi jumlah) dan belum memenuhi syarat (segi kualifikasi pendidikan). Bahwa untuk setingkat Dinas Kesehatan Kabupaten dibutuhkan minimal satu orang dengan kualifikasi pendidikan S2 Kesehatan Masyarakat spesialisasi Penyuluh Kesehatan Masyarakat (PKM) dan minimal dua orang dari S1 Kesehatan Masyarakat dan minimal tiga orang dari D3 Kesehatan (dari bidang promosi kesehatan). Untuk setingkat Puskesmas dan Rumah Sakit dibutuhkan minimal satu orang dari S1 Kesehatan Masyarakat dan minimal dua orang dari D3 Kesehatan (bidang promosi kesehatan). Kondisinya di Kabupaten Pemalang sendiri hanya ada satu orang dengan pendidikan S2 Kesehatan; hanya saja jurusannya bukan Penyuluh Kesehatan Masyarakat sehingga belum tepat apabila ditempatkan sebagai Penyuluh Kesehatan Masyarakat. Sementara dari semua PNS (10 orang) yang kualifikasi pendidikannya S1 Kesehatan Masyarakat tidak satupun yang menjabat sebagai tenaga fungsional Penyuluh Kesehatan Masyarakat. Berdasarkan informasi yang didapat, memperjelas kenapa capaian program Promosi Kesehatan belum menggembirakan sehingga berdampak pada penyampaian pesan-pesan kesehatan dan pada kemampuan menganalisis permasalahan yang kaitannya dengan Promosi Kesehatan. b) Jaringan, jaringan di bidang Promosi Kesehatan antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten/ Kota belum menunjukkan kekuatan yang solid. Dari informasi yang didapat, selalu ada perbedaan pemahaman dan komunikasi antara Pusat dan Daerah. Sebagai contoh dari Pusat memberikan pedoman pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah, akan tetapi kondisi tiap daerah berbeda-beda sehingga menyebabkan pedoman tersebut tidak bisa diterapkan di daerah yang kemudian berdampak pada tidak berhasilnya capaian Promosi Kesehatan. Kondisi seperti itu yang terjadi di Kabupaten Pemalang. 2. Faktor pemungkin; dalam konteks promosi kesehatan, konsep Green yang digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mendukung terwujudnya keberhasilan program Promosi Kesehatan, adalah :
61
a) Sistem informasi, belum berkembangnya sistem informasi perilaku sehat sehingga berdampak pada pelaksanaan program Promosi Kesehatan yang sepenuhnya belum berdasarkan fakta di lapangan. Sistem informasi tersebut dapat mendukung keberhasilan program Promosi Kesehatan apabila ke depan dapat dikembangkan sesuai data di lapangan. 3. Faktor penguat, faktor penguat disini adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh daerah setempat. Kebijakan yang terkait dengan keberhasilan Promosi Kesehatan adalah Struktur Organisasi Daerah. Di Kabupaten Pemalang unit Promosi Kesehatan melekat di masing-masing Bidang (eselon III). Kebijakan tersebut berdampak pada pelaksanaan program Promosi Kesehatan yang tidak terintegrasikan dengan baik karena Promosi Kesehatan harus dilaksanakan secara terpadu dan terintegrasi bukan masing-masing Bidang berjalan sendirisendiri.
Berikut informasi yang telah teridentifikasi pada implementasi strategi Promosi Kesehatan berdasarkan tempat pelaksanaannya (institusi pendidikan, institusi kesehatan, tempat kerja, rumah tangga dan tempat umum) di Desa Jebed Selatan dari hasil wawancara mendalam dengan petugas Puskesmas Jebed sebagai pelaksana program Promosi Kesehatan di Desa Jebed Selatan. 1. Implementasi di Institusi Pendidikan (sekolah) a. Strategi Advokasi Esensi dari strategi advokasi adalah pendekatan kepada pembuat keputusan (Kepala Sekolah) sehingga mau mendukung program kesehatan yang kita inginkan. Dari hasil wawancara dengan staf Puskesmas Jebed yang bertugas sebagai penyuluh kesehatan masyarakat, bahwa di Desa Jebed Selatan hanya ada 2 (dua) buah Sekolah Dasar. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi strategi advokasi di institusi pendidikan tersebut : a) Faktor pemudah, faktor tersebut adalah pengetahuan dan sikap dari pembuat keputusan (Kepala Sekolah). Pengetahuan dan sikap Kepala Sekolah tentang kesehatan sudah baik dan mereka sangat mendukung masuknya promosi kesehatan di sekolah mereka.
62
b) Faktor penguat, kebijakan dari Kepala Sekolah yang mendukung program Promosi Kesehatan adalah dengan adanya kegiatan “Jumat Sehat” dan “Jumat Bersih”. Jadi setiap hari Jumat kegiatan belajar mengajar ditiadakan dan diganti dengan kegiatan senam bersama, dilanjut membersihkan lingkungan sekolah dan kelas kemudian anakanak murid dikumpulkan untuk diberikan pengarahan dari petugas Puskesmas dan diberikan makanan tambahan. b. Strategi Bina Suasana Kegiatan
yang
dilaksanakan
pada
strategi
ini
adalah
untuk
mensosialisasikan program-program kesehatan agar masyarakat mau menerima dan berpartisipasi terhadap program tersebut. Dalam konteks institusi pendidikan (sekolah) tujuannya adalah supaya Guru dan anak murid mau mempraktekkan perilaku bersih dan sehat di sekolah yang kemudian juga dilaksanakan di rumahnya masing-masing. Pada strategi advokasi, Kepala Sekolah telah membuat kebijakan “Jumat Sehat” dan “Jumat Bersih” . Dalam kebijakan tersebut, petugas Puskesmas telah melaksanakan kegiatan, antara lain : ∼ Sosialisasi “Kampanye Cuci Tangan dengan Sabun” ∼ Sosialisasi Kebersihan Gigi dan Mulut ∼ Sosialisasi Kebersihan Tangan dan Rambut ∼ Sosialisasi Sanitasi Lingkungan Sekolah ∼ Sosialisasi Makanan Bergizi ∼ Pemberian makanan tambahan (bubur, susu dan lain sebagainya) Semua kegiatan tersebut telah dilaksanakan oleh petugas Puskesmas, akan tetapi dari petugas Puskesmas ada hambatan yang membuat kegiatan tersebut tidak berkelanjutan. Hambatan tersebut terletak pada: a) Faktor pemungkin, faktor tersebut adalah sarana dan prasarana, yang menjadi kendala dalam mewujudkan perilaku bersih dan sehat. Kondisi tiga unit kelas dari enam unit kelas yang ada sangat memprihatinkan. Kondisi lantainya sangat berdebu, walaupun sudah disapu. Kondisi WC dan kamar mandi yang tidak ada airnya sehingga
63
menjadi jorok dan bau, serta dana operasional yang tidak mendukung kegiatan sosialisasi tersebut. c. Strategi Pemberdayaan Strategi ini adalah proses pemberian informasi secara terus-menerus dan berkesinambungan
mengikuti perkembangan sasaran, serta proses
membantu sasaran, agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek knowledge), dari tahu menjadi mau (sikap/ attitude) dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice). Sasaran utama dari pemberdayaan adalah individu, keluarga serta kelompok masyarakat. Yang menjadi hambatan pada strategi ini adalah : a) Faktor pemudah, hambatannya pada sikap pasrah (nrimo) dengan kondisi sarana dan prasarana (kondisi unit kelas dan WC/ Kamar mandi murid dan guru) yang sangat memprihatinkan dan tidak adanya ide kreatif dari para guru/ Kepala Sekolah untuk memperbaiki kondisi tersebut. 2. Implementasi di Institusi Kesehatan (Puskesmas dan Posyandu) Secara umum, implementasi pada institusi kesehatan seperti Puskesmas tidak mengalami kendala yang sangat berarti dan institusi kesehatan adalah tempat yang
paling
efektif
dalam
mengkampanyekan
promosi
kesehatan.
Permasalahan muncul pada pelaksanaan kegiatan Posyandu. a. Strategi Advokasi Pada kegiatan Posyandu yang di advokasi adalah ibu rumah tangga, dengan tujuan supaya ibu membawa anaknya dan ibu mengetahui perkembangan anaknya. Yang menjadi hambatan dalam mengadvokasi terletak pada faktor : a) Faktor pemudah, kepedulian dan tingkat pengetahuan ibu dalam membawa anaknya ke Posyandu masih rendah. Dari informasi yang didapat bagi keluarga yang mata pencahariannya sebagai buruh tani untuk pergi ke Posyandu menjadi kendala, karena waktu yang bersamaan dengan rutinitas di sawah.
64
b. Strategi Bina Suasana Hambatan yang muncul dalam strategi ini adalah : a) Faktor pemungkin, faktor tersebut adalah sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana juga tidak mendukung selama kegiatan Posyandu. Lokasi Posyandu tiap bulannya harus berganti-ganti karena tidak ada lokasi yang tetap dan permanen. Selain itu, makanan tambahan yang diberikan kepada bayi tergantung dari dana yang terkumpul, apabila dananya banyak diberikan bubur, bila dananya sedikit tidak diberikan makanan tambahan. c. Strategi Pemberdayaan Dalam strategi ini yang menjadi kendala adalah : a) Faktor penguat, faktor tersebut adalah pengetahuan dari kader kesehatan sebagai pelaksana kegiatan Posyandu. Seharusnya dalam kegiatan Posyandu ada meja ke 5 (lima) yang berfungsi untuk memberikan penjelasan kepada ibu-ibu apabila perkembangan anaknya tidak sesuai dengan KMS (Kartu Menuju Sehat). Akan tetapi karena keterbatasan pengetahuan kader kesehatan meja ke 5 (lima) tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Petugas Puskesmas yang seharusnya bisa melaksanakan tugas tersebut terpaksa tidak bisa karena sibuk dengan kegiatan imunisasi. 3. Implementasi di Tempat Kerja. a. Strategi Advokasi Karena 80 % wilayah Desa Jebed Selatan adalah sawah dan mata pencaharian penduduknya mayoritas petani dan buruh tani, maka promosi kesehatan ditujukan ke tempat kerja petani dan buruh tani. Informasi yang didapat dari petugas Puskesmas, strategi advokasi ditujukan kepada petani dan buruh tani. Hambatan yang terjadi pada pelaksanaan advokasi di tempat kerja adalah : a) Faktor pemudah, pada faktor ini adalah hambatan yang paling besar menurut petugas Puskesmas. Hambatan tersebut adalah tingkat pengetahuan dari petani dan buruh tani akan kesehatan masih rendah
65
sehingga dalam menyampaikan advokasi ini diperlukan kesabaran dan ketekunan. b. Strategi Bina Suasana Kegiatan yang dilaksanakan dalam strategi ini adalah Penyuluhan Penjual dan Petani Pestisida dalam rangka Peningkatan Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya. Tujuan dalam penyuluhan tersebut supaya petani mengetahui dampak dari penggunaan pestisida bagi tubuh manusia. Penyuluhan tersebut sudah dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Pemalang pada tahun 2007, akan tetapi yang menjadi kendala adalah tidak adanya pengawasan. Hal tersebut juga diakui oleh petugas Puskesmas, yang mengatakan bahwa dari Dinas tidak memberikan arahan supaya dilakukan pengawasan kepada para petani tersebut. Menurut Pengkaji masalah yang muncul terletak pada faktor penguat, yaitu tidak adanya komitmen dari pemberi penyuluhan dalam melakukan pengawasan. c. Strategi Pemberdayaan Dalam memberdayakan para petani agar dapat mewujudkan perilaku bersih dan sehat membutuhkan kesabaran dan keuletan, hal tersebut dikarenakan : a) Faktor pemudah, rendahnya tingkat pendidikan para petani dan buruh tani yang membuat mereka susah memahami apa yang telah disampaikan oleh petugas kesehatan b) Faktor
pemungkin,
minimnya
sarana
dan
prasarana
dalam
memberdayakan para petani dan buruh tani, selain itu mencari waktu para petani dan buruh tani yang sangat susah.
4. Implementasi di Rumah Tangga a. Strategi Advokasi Strategi advokasi yang dilakukan pada tingkat rumah tangga ditujukan kepada orang tua (Ayah dan Ibu). Kendala dalam mengadvokasi terletak pada : a) Faktor pemudah, pada Peta Sosial telah dijelaskan bahwa tingkat pendidikan masyarakat di Desa Jebed Selatan yang terbanyak adalah
66
SLTP ke bawah (58,5 %), sehingga memerlukan kesabaran dan ketekunan dari petugas Puskesmas dalam mengadvokasi mereka. b) Faktor pemungkin, faktor yang menghambat adalah sarana dan prasarana sanitasi dasar (jamban dan SPAL) di dalam rumah tangga. Untuk air bersih tidak menjadi kendala akan tetapi yang menjadi kendala adalah jamban dan SPALnya. Tidak adanya jamban yang sehat dan saluran pembuangan air limbah menjadi hambatan tersendiri dalam mempraktekkan perilaku hidup bersih dan sehat. b. Strategi Bina Suasana Kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan pada strategi bina suasana adalah : ∼ Penyuluhan Kesehatan Ibu dan Anak (Khususnya Pertolongan Persalinan dan Penggunaan ASI Eksklusif) ∼ Penyuluhan Sanitasi (Sanitasi jamban, air bersih dan SPAL) ∼ Penyuluhan “Mencuci tangan dengan sabun” ∼ Penyuluhan Gizi Keluarga (termasuk Gangguan Anak Kekurangan Yodium) ∼ Sosialisasi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM) ∼ Sosialisasi Pengembangan Desa Siaga. Hambatan yang muncul adalah waktu penyuluhan yang bersamaan dengan rutinitas ibu rumah tangga ketika membantu suaminya bekerja di sawah dan tingkat pemahaman masyarakat dalam menerima informasi yang telah diberikan. c. Strategi Pemberdayaan Pada strategi ini yang menjadi kendala bagi petugas Puskesmas adalah jumlah tenaga Puskesmas yang sedikit sedangkan wilayah kerjanya sangat banyak dan luas. Sebagai informasi bahwa Puskesmas Jebed wilayah kerjanya mencapai 5 (lima) desa dan jumlah petugasnya yang memenuhi kriteria hanya 1 (satu). Faktor dana operasional juga menjadi kendala bagi petugas Puskesmas dikarenakan jarak desanya saling berjauhan dengan letak Puskesmas. Dua hambatan tersebut yang membuat petugas
67
Puskesmas tidak bisa melaksanakan program Promosi Kesehatan dengan maksimal. 5. Implementasi di Tempat Umum Tempat umum disini adalah pasar, terminal dan stasiun. Desa Jebed Selatan sendiri tidak memiliki tempat umum yang disebutkan diatas, oleh karena itu tidak ada implementasi program Promosi Kesehatan di tempat pelaksanaan tersebut.
6.2.2 Evaluasi Berdasarkan Tanggapan Responden Selain tanggapan dari petugas Puskesmas Jebed, dalam mengevaluasi implementasi strategi Promosi Kesehatan di lima tempat pelaksanaan diperlukan juga tanggapan dari masyarakat Desa Jebed Selatan, maka perlu memilih responden untuk dilakukan wawancara mendalam. Responden yang terpilih sama dengan responden pada pengkajian PHBS tingkat rumah tangga dalam Peta Sosial (PL I). Dari hasil wawancara mendalam tersebut, ternyata baik buruknya implementasi strategi Promosi Kesehatan di lima tempat pelaksanaan mempunyai pengaruh yang besar terhadap terwujudnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di tingkat rumah tangga. Untuk lebih jelasnya, hasil wawancara mendalam dapat dilihat sebagai berikut : 1. Implementasi di Tempat Kerja Pembangunan Kesehatan adalah bagian dari Pembangunan Nasional yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang termasuk masyarakat pekerja (formal dan informal) agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, dengan pertimbangan seorang pekerja yang sehat dan produktif dapat meningkatkan ekonomi keluarga sehingga dapat mengurangi tingkat kemiskinan. Berbicara tentang tempat kerja berarti berbicara juga tentang mata pencaharian. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa Desa Jebed Selatan mayoritas penduduk mata pencahariannya adalah buruh tani dan petani. Dari 50 responden yang mata pencahariannya sebagai buruh tani dan petani sebesar 60 % atau 30 responden. Untuk lebih rinci seperti ditunjukkan pada Tabel 9.
68
Tabel 9 Komposisi Mata Pencaharian Responden No. 1 2 3 4 5
Mata Pencaharian Buruh Tani Petani Kepala Dusun Tukang Kayu Buruh Pabrik Jumlah
Jumlah Responden 26 4 5 6 9 50
Persentase 52 % 8% 10 % 12 % 18 % 100 %
Sumber : Pengkaji, diolah, 2008
Dari hasil wawancara di lapangan, responden yang mata pencahariannya sebagai petani tergolong sebagai petani yang mempunyai lahan dan lahan tersebut digarap sendiri. Rata-rata lahan yang dimiliki dari empat petani adalah seperempat hektar. Berbicara tentang sektor pertanian, sudah pasti berbicara juga tentang penggunaan pestisida. Tingkat kesehatan petani sangat dipengaruhi oleh dampak dari penggunaan pestisida tersebut. Sangat perlu untuk mengkaji tingkat pemahaman petani terhadap pestisida sampai dampak terburuk apabila tubuh manusia terkontaminasi oleh pestisida. Dari hasil wawancara mendalam dengan Kepala Keluarga yang bekerja sebagai petani, 83,3 % atau 25 responden sudah memahami prosedur pemakaian pestisida mulai dari memberikan takaran sampai dengan penyemprotan dan sisanya 16,7 % atau 5 (lima) responden lebih baik menyewa orang lain untuk melakukan penakaran sampai penyemprotan. Alasan kelima responden tersebut sangat bervariasi, mulai dari takut salah dalam memberikan takaran, takut akan bahaya pestisida, lebih murah menyewa orang lain sampai tidak mempunyai alat penyemprot. Kutipan hasil wawancara kepada Bapak Trs., adalah berikut ini : “Kulo sampun 15 tahun bertani, tapi ngantos sakniki kulo mboten nate nyemprot hama tiyambak, kulo luwih becik nyemo tiyang, masalahe luwih murah daripada kulo tumbas alat semprote tur kulo wedi mbokan salah nakar” (“Saya sudah 15 tahun bertani, tetapi sampai dengan sekarang saya tidak pernah melakukan penyemprotan hama sendiri, saya lebih baik menyewa orang lain karena lebih murah daripada saya harus membeli alat semprot sendiri dan saya takut barangkali salah melakukan penakaran”)
69
Ironisnya dari 25 responden yang sudah melakukan prosedur dengan benar, hanya 20 % atau 5 (lima) responden yang menggunakan sarung tangan dan masker dalam melakukan penyemprotan dan sisanya 20 responden melakukan dengan telanjang tangan dan hidung. Dampak yang dapat terjadi apabila dalam melakukan penyemprotan tidak menggunakan sarung tangan dan masker bisa terjadi keracunan pestisida. Karena jalan masuk pestisida bisa melalui kulit/ mata (dermal) dan pernafasan (inhalasi) yang dapat merusak hidung dan tenggorokan. Dampak terberat dari keracunan pestisida adalah gangguan reproduksi, kanker, kerusakan syaraf sampai dengan perubahan genetik. (Pusat Promkes Depkes RI 2005). Pada
tahun
2007,
Dinas
Kesehatan
Kabupaten
Pemalang
pernah
menyelenggarakan Penyuluhan Penjual dan Petani Pestisida dalam rangka Peningkatan Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya. Penyuluhan yang diselenggarakan di Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Pemalang dihadiri oleh perwakilan kelompok tani di Kecamatan Pemalang, Taman dan Petarukan. Dari Desa Jebed Selatan diwakili lima orang (Ketua Kelompok Tani). Dari hasil penyuluhan tersebut kemudian diinformasikan kepada petani lainnya. Hanya saja tidak adanya pengawasan atau monitoring dari pihak Dinas Kesehatan (minimal petugas dari Puskesmas Jebed) sehingga membuat para petani di Desa Jebed Selatan menjadi apatis. Bahkan dari hasil wawancara dengan responden di dapat informasi bahwa selama ini mereka tidak pernah mendapatkan keluhan apapun dari penggunaan pestisida tersebut. Hampir semua responden yang bekerja sebagai petani menjawab hal yang sama. Seperti kutipan wawancara dengan Bpk Rtm. yang secara kebetulan menjadi Ketua Kelompok Tani, berikut ini : “Selama ini teman-teman sudah menjadi masa bodoh terhadap dampak pestisida bagi kesehatannya, bahkan mereka merasa sehat-sehat saja. Saya sendiri sudah selalu mengatakan bahwa dampak tersebut tidak dirasakan sekarang tetapi akan dirasakan beberapa tahun kemudian. Jadi memang secara keseluruhan teman-teman yang bekerja sebagai petani masih rendah sekali pengetahuannya terhadap dampak dari pestisida, terutama tentang kesehatan. Saya berharap pihak Dinas Kesehatan dapat menindak lanjuti hasil dari penyuluhan tersebut yaitu dengan melakukan pengawasan, mungkin bisa melalui petugas Puskesmas, jangan hanya penyuluhan saja dan setelah itu selesai. Mungkin bisa dengan melakukan kerjasama antar Dinas, yaitu antara
70
Dinas Pertanian dan Dinas Kesehatan sehingga Bapak-Bapak dari penyuluh pertanian juga bisa melakukan pengawasan.” Dari hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa dengan rendahnya pengetahuan petani akan bahaya pestisida bagi tubuh manusia dan tidak adanya pengawasan atau monitoring dari Dinas Kesehatan, sangat berpengaruh terhadap perilaku hidup sehat seorang petani. Kondisi yang sama juga dirasakan oleh responden yang bekerja sebagai buruh kayu. Perilaku hidup sehat tidak bisa terwujud karena rendahnya pengetahuan buruh kayu akan dampak dari serbuk kayu dan bisingnya alat pemotong kayu, padahal dampaknya sangat membahayakan fungsi paru-paru dan mengakibatkan gangguan pendengaran bagi buruh kayu. Hal tersebut disebabkan belum adanya sosialisasi yang sengaja diberikan oleh petugas Puskesmas tentang gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh serbuk kayu dan bisingnya alat pemotong kayu. Dari hasil wawancara dengan responden yang bekerja sebagai buruh kayu yang berjumlah enam orang dapat diketahui informasi bahwa jawaban dari responden semuanya sama, yaitu belum pernah ada petugas Puskesmas yang secara sengaja memberikan sosialisasi tentang dampak dari serbuk kayu dan bisingnya alat pemotong kayu bagi kesehatan buruh kayu. Hanya saja secara tidak sengaja dari petugas Puskesmas memberikan anjuran untuk memakai masker dan penutup hidung ketika bekerja tetapi tidak memberikan penjelasan lebih dalam apa yang terjadi nantinya. Ketidaksengajaan tersebut terjadi ketika tempat responden bekerja sedang dilakukan peninjauan oleh tim dari Kabupaten terkait pengajuan Ijin Gangguan (HO) dan petugas Puskesmas masuk dalam anggota tim tersebut. Yang disesalkan oleh responden adalah tidak adanya penjelasan informasi yang lebih mendalam tentang dampak yang ditimbulkan, seolah-olah anjuran tersebut hanya formalitas saja ketika dilakukan peninjauan. Penyesalan responden dapat dilihat dari kutipan wawancara dengan Bpk Whn berikut ini : “Sakderenge saking petugas Puskesmas mboten nate ngaturi sosialisasi Pak ? Nanging kulo nate ditegur petugas Puskesmas amargo mboten ngangge masker kaleh tutupe kuping. Pas kulo ditegur kebetulan enten peninjauan masalah Ijin Gangguan. Mungkin nek mboten enten
71
peninjauan, kulo mboten ditegur ? terus ngantos sakniki kulo mboten ngertos dampake lan kulo mboten enten masalah kaleh kesehatan kulo ?” (“Sebelumnya dari petugas Puskesmas belum pernah memberikan sosialisasi Pak ? Tapi saya pernah ditegur petugas Puskesmas karena tidak memakai masker dan tutup telinga. Ketika saya ditegur kebetulan ada peninjauan masalah Ijin Gangguan. Mungkin kalau tidak ada peninjauan, saya tidak ditegur ? terus sampai sekarang saya juga belum tahu dampaknya dan saya juga tidak ada masalah dengan kesehatan saya ?”) Apabila menengok peristiwa-peristiwa di Indonesia terkait K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja), bahwa buruh sama sekali tidak mempunyai kekuatan di hadapan pihak perusahaan. Posisi buruh selalu saja sebagai korban, mulai dari pembayaran honor yang terlambat, PHK sampai dengan kecelakaan kerja. Hal tersebut juga dirasakan oleh sembilan responden yang bekerja sebagai buruh pabrik tekstil. Dari hasil wawancara dengan responden di dapat informasi bahwa tidak adanya pengawasan (monitoring dan evaluasi) dari Dinas terkait (Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan) setelah memberikan penyuluhan tentang K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) dan tidak adanya komitmen dari pihak perusahaan tentang pelaksanaan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). Terkait pemberian penyuluhan tentang K3, dari sembilan responden memberikan jawaban yang sama bahwa penyuluhan pernah dilaksanakan di tempat kerja mereka bahkan pernah juga ada mahasiswa yang melakukan penelitian tentang K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja); hanya saja tidak ada tindak lanjut dari pihak perusahaan. Berdasarkan informasi yang diterima dari responden, penyuluhan tersebut hanya sebatas formalitas saja. Hal tersebut dikarenakan tidak ada upaya pengawasan dari Dinas terkait. Ekploitasi tenaga masih saja dirasakan oleh buruh pabrik, dengan posisi berdiri buruh pabrik harus bekerja selama delapan jam dan waktu istirahat hanya setengah jam dengan makanan seadanya tanpa suplemen tambahan. Tidak adanya upaya promotif dan upaya preventif yang dilakukan oleh poliklinik pabrik, yang dilakukan masih saja upaya kuratif (mengobati) yaitu apabila ada buruh yang pingsan atau pusing kepalanya hanya diberikan obat dan istirahat sebentar lalu bekerja lagi. Dengan kondisi seperti itu, seolah-olah dari pihak perusahaan tidak menanggapi anjuran yang diberikan oleh Dinas terkait,
72
yaitu mulai memberikan pelayanan kesehatan yang paripurna (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif). Berikut kutipan wawancara dari salah satu responden (Bpk. Wwn) : “Kalo berbicara tentang K3 buruh selalu menjadi sasaran utama tetapi dari pihak perusahaan sama sekali tidak ada perhatian, contoh waktu istirahat hanya diberikan setengah jam, padahal kita harus berdiri selama 12 jam terus kita juga tidak diberi alat pelindung telinga padahal kondisi pabrik sangat bising dan tidak adanya makanan tambahan atau suplemen untuk buruh. Poster tentang K3 hanya sebagai penghias aja Pak ?” Dari implementasi Promosi Kesehatan di tempat kerja dapat disimpulkan bahwa penyuluhan tentang Promosi Kesehatan seperti dampak pestisida, dampak serbuk kayu dan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) pernah dilakukan. Akan tetapi tidak ada upaya pengawasan melalui monitoring dan evaluasi dari Dinas terkait sehingga pola kerja lama yang tidak memperhatikan aspek kesehatan bisa dilakukan kembali. Kondisi seperti itu seharusnya tidak terjadi karena nantinya akan menghambat perwujudan perilaku sehat sehingga bisa berdampak negatif pada perwujudan perilaku sehat di tingkat rumah tangga. Apabila seorang Kepala Keluarga tidak mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan selama bekerja dan ketika kembali ke rumah tidak ada manfaat yang bisa diberikan atau di informasikan kepada isteri dan anak-anaknya, sehingga tidak ada pengaruh yang besar dari implementasi Promosi Kesehatan di tempat kerja terhadap Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di tingkat rumah tangga.
2. Implementasi di Institusi Pendidikan (Sekolah) Pada dasarnya kesehatan itu dibentuk dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kehidupan sehari-hari tersebut dihabiskan waktunya di dalam rumah (bagi keluarga), di sekolah (bagi anak sekolah) dan di tempat kerja (bagi orang dewasa). Perlu adanya upaya kesehatan sekolah. Upaya kesehatan sekolah merupakan kombinasi dari pendidikan dan kesehatan yang tujuannya untuk menumbuhkan dan membentuk perilaku hidup sehat di tingkat sekolah. Promosi Kesehatan di sekolah pada prinsipnya untuk menciptakan sekolah sebagai komunitas yang mampu meningkatkan kesehatannya.
73
Dari 50 responden dalam hal ini adalah Kepala Keluarga (KK), ada 44 % atau 22 KK yang anggota keluarganya tidak bisa diwawancara dikarenakan anaknya sudah bekerja, tidak menamatkan sekolahnya dan memang tidak bersekolah karena faktor biaya. Sedangkan
56 % atau 28 KK yang bisa di
wawancara karena anaknya masih sekolah. Jumlah responden yang anaknya masih sekolah seperti ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 10 Komposisi Jumlah Tingkat Pendidikan Anggota Responden 9
7
12
SD
SLTP
SLTA
Sumber : Pengkaji, hasil wawancara, 2008. Dari hasil wawancara dengan responden dapat diinformasikan bahwa secara umum kondisi kebersihan lingkungan sekolah (SD, SLTP maupun SLTA) sudah baik. Hanya saja untuk tingkat SD masih ada beberapa keluhan dari responden bahwa kondisi kelas yang sangat berdebu dan banyak nyamuknya. Yang cukup membanggakan bahwa untuk tingkat SD, semua gurunya sangat aktif menanamkan kebiasaan hidup sehat bagi para murid, seperti mengajari wajib cuci tangan sebelum makan, mengajari cara gosok gigi yang benar dan setiap seminggu sekali memeriksa kebersihan kuku, gigi, rambut, telinga dan hidung. Hal tersebut dikarenakan Guru SD yang ada di Desa Jebed Selatan sudah pernah diberikan pelatihan dari petugas Puskesmas Jebed tentang pendidikan kesehatan. Berkaitan dengan kondisi sebagian kelas yang lantainya tidak bertegel sehingga sangat berdebu, memang diakui oleh salah satu responden yang kebetulan mengajar di SD tersebut (ibu Rtn), seperti kutipan wawancara berikut ini : “Kami guru di SD X memang menyadari dan mengakui sebagian kondisi kelas sangat memprihatinkan, tetapi mau bagaimana lagi Pak ? Kita harus menunggu anggaran tahun 2009 untuk bisa merehab lantai tersebut untuk dikeramik. Oleh karena itu Kami bersepakat untuk memberikan pendidikan kesehatan dahulu agar para murid dapat
74
melakukannya di rumah atau bahkan bisa mengajari Bapak dan Ibunya hehehe.....” Kondisi sebaliknya dirasakan oleh responden yang menduduki tingkat SLTP dan SLTA. Menurut mereka pendidikan kesehatan sangat jarang diberikan oleh para Guru, seperti kutipan wawancara berikut ini dengan Sdr. Dd : “Di tempat saya sekolah (SMU X) memang tidak pernah ada guru yang memberikan arahan tentang kesehatan, palingan hanya guru BP yang selalu menegur apabila rambut saya sudah panjang dan menegur teman-teman yang ketahuan merokok tanpa memberikan pengetahuan tentang dampak dari merokok ? Kebetulan di sekolah ada UKS tapi fungsinya hanya untuk tempat membolos karena yang menjaga bukan guru BP dan tidak ada dokter jaga melainkan yang menjaga hanya seorang tenaga kontrak saja” Tanggapan dari Sdr. Dd. di atas sangat bertolak belakang dengan situasi yang dialami oleh Sdri. Stw yang sekolahnya (SLTA) termasuk sekolah unggulan di Kabupaten Pemalang yang mengatakan bahwa : “Kebetulan baru bulan lalu ada apel siaga anti narkoba dari Badan Narkotika Kabupaten, yang Inspektur Upacara adalah Bapak Wakil Bupati Kabupaten Pemalang selaku Ketua BNK Pemalang. Jadi tujuannya supaya anak sekolah jangan sampai menggunakan narkoba sekalipun hanya coba-coba karena nantinya akan berhadapan dengan hukum dan kematian. Setelah ada apel siaga tersebut di setiap kelas telah ditempel poster yang isinya bahaya narkoba dari jenisnya sampai akibatnya. Untuk UKS memang di jaga oleh dokter jaga tapi seminggu sekali pas hari Sabtu. Dokter jaga tersebut memang memberikan waktu untuk konseling tetapi waktunya sangat terbatas karena berbenturan dengan jam pelajaran. Selain itu yang sangat disesalkan ada beberapa Guru laki-laki tidak bisa dijadikan contoh karena merokok di depan murid-muridnya pada waktu mengajar” Menurut Pengkaji kondisi yang berbeda tersebut lebih disebabkan oleh status dan kualitas sekolah itu sendiri, yang satu sekolah swasta dan yang satunya sekolah negeri yang bertaraf Internasional. Tetapi semua dikembalikan oleh kreativitas dan inovasi dari petugas Puskesmas yang wilayahnya mempunyai institusi pendidikan (sekolah). Seperti yang terjadi di Puskesmas X yang telah menempatkan dokter PTT di sekolah-sekolah yang masuk wilayah kerja secara bergantian.
75
Dari hasil wawancara terkait implementasi Promosi Kesehatan di sekolah, dapat disimpulkan bahwa sudah ada upaya dari petugas Puskesmas dalam memberikan pelatihan kepada Guru SD di Desa Jebed Selatan dalam menjalankan Promosi Kesehatan di sekolahnya masing-masing. Selain itu juga ada upaya dari Badan Narkotika Kabupaten Pemalang dengan memberikan penjelasan kepada anak sekolah tentang bahaya narkoba di sekolah. Hanya saja kegiatan tersebut belum bisa menjangkau sekolah (negeri dan swasta) di Kabupaten Pemalang secara keseluruhan. Karena Guru mempunyai peran yang sangat penting dalam implementasi Promosi Kesehatan di sekolah, maka perlu ada komitmen dan motivasi dari Guru dalam memberikan pendidikan kesehatan kepada muridmuridnya dan sekaligus menjadi perilaku contoh bagi murid-muridnya dalam hal kesehatan (seperti tidak merokok dan berpakaian bersih rapi).
3. Implementasi di Tempat Umum Secara umum yang dimaksud dengan tempat umum adalah tempat dimana orang-orang berkumpul pada waktu tertentu, seperti terminal, stasiun, pasar atau pusat perbelanjaan. Akan tetapi, untuk wilayah Desa Jebed Selatan tidak mempunyai fasilitas tempat umum tersebut, sehingga pertanyaan ditujukan ketika responden sedang memanfaatkan fasilitas tempat umum tersebut. Berdasarkan hasil wawancara, hampir sebagian besar responden berpendapat negatif dengan kondisi tempat-tempat umum yang selama ini selalu dimanfaatkan. Responden merasa sangat tidak nyaman dengan kondisi tempat umum yang selama ini ada. Alasan yang selalu dikatakan responden adalah jorok, kotor dan bau apabila berada di pasar dan terminal. Responden juga berpendapat bagaimanapun upaya yang dilakukan oleh pemerintah agar bisa membuat nyaman tempat tersebut tidak akan berhasil karena orang-orang yang berada di tempat tersebut tidak bisa mendukung, seperti kutipan wawancara dengan Pak Krt berikut ini : “Saya selalu berada di terminal apabila saya berangkat kerja, saya pribadi sebenarnya merasa tidak nyaman dengan kondisi terminal yang kotor apalagi kalo musim hujan. Sebenarnya percuma saja terminal itu dibuat nyaman karena orang-orang sekitar yang tidak mendukung.”
76
Apabila terminal dibandingkan dengan tempat perbelanjaan kondisinya sangat berbeda jauh. Tetapi masih tetap saja tempat umum tersebut belum bisa memberikan pengaruh yang besar dalam mewujudkan perilaku sehat. Sebagai contoh di tempat perbelanjaan yang ada di Kabupaten Pemalang tidak ada poster atau pamflet yang memberikan informasi tentang pendidikan kesehatan. Berikut kutipan tanggapan dari responden (Bpk. Znd) : “Boro-boro terminal atau pasar mas? di Moro aja gak ada poster yang memberikan informasi tentang kesehatan.” Melihat hasil wawancara diatas, Pengkaji menyimpulkan bahwa belum ada pengaruh yang besar dari implementasi Promosi Kesehatan dalam mewujudkan perilaku sehat bagi masyarakat disebabkan lingkungan sekitar belum bisa diajak partisipasi untuk mendukung terwujudnya lingkungan yang bersih dan sehat. Hal tersebut dikarenakan belum ada upaya serius dalam mempromosikan hidup bersih dan sehat di tempat tersebut.
4. Implementasi di Institusi Kesehatan Promosi kesehatan bukan hanya diperlukan dalam pelayanan promotif dan preventif saja, melainkan diperlukan juga pada pelayanan kuratif dan rehabilitatif seperti rumah sakit, Puskesmas dan praktek dokter. Perbedaannya hanya terletak pada sasarannya saja. Pada pelayanan promotif dan preventif sasarannya hanya orang sehat, maka pada pelayanan kuratif dan rehabilitatif sasaran utamanya adalah orang sakit (pasien), orang yang sehat dan keluarga pasien. Dilihat dari faktor psikologis, orang yang sedang sakit dan keluarganya dalam kondisi yang tidak enak/ sakit, khawatir, cemas, bingung dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, mereka sangat memerlukan bantuan bukan saja pengobatan tetapi bantuan lain seperti informasi, nasihat, dan petunjuk dari petugas kesehatan (perawat, bidan dan dokter) berkaitan dengan masalah atau penyakit yang mereka alami. Dari hasil wawancara, hampir semua responden menanggapi positif implementasi Promosi Kesehatan di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, Puskesmas dan tempat praktek dokter). Dalam kondisi sehat atau sakit, sebagai
77
pasien atau penjenguk, para responden merasa mendapatkan manfaat yang lebih dari informasi yang diberikan melalui tenaga kesehatan (perawat, bidan dan dokter) atau bahkan melalui poster kesehatan dan audio visual (cuplikan iklan kesehatan atau film kesehatan). Manfaat yang didapat adalah menjadi mengenal dan mengetahui penyakit mulai dari mengenal gejala, cara penularannya, pencegahannya sampai dengan pengobatannya. Permasalahan muncul karena ketidaknyamanan apabila masih ada orang yang merokok di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, Puskesmas dan tempat praktek dokter) padahal sudah ada larangan dilarang merokok. Melihat tanggapan responden yang positif, Pengkaji menyimpulkan bahwa implementasi Promosi Kesehatan di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, Puskesmas dan tempat praktek dokter) adalah yang paling efektif dalam memberikan informasi atau pengetahuan tentang kesehatan sehingga dapat mewujudkan perilaku hidup sehat bagi individu dan masyarakat. Jadi menurut Pengkaji, masyarakat harus diberikan shock therapy atau contoh terlebih dahulu sehingga masyarakat menjadi sadar. Seperti contoh jangan hanya diberikan penjelasan ataupun informasi melalui penyuluhan atau sosialisasi tetapi juga perlu diperlihatkan contohnya (orang yang sudah sakit).
5. Implementasi di Rumah Tangga Sebagaimana telah diketahui bahwa keluarga adalah tempat persemaian manusia sebagai anggota masyarakat, bila persemaian itu jelek maka akan berpengaruh pada masyarakat. Agar masing-masing keluarga menjadi tempat yang kondusif untuk menumbuhkan perilaku sehat maka peran Promosi Kesehatan sangat dibutuhkan. Di dalam keluarga peran seorang ibu rumah tangga dalam meletakkan dasar perilaku sehat pada anak sangat penting. Oleh karena itu, sangat efektif apabila petugas Puskesmas atau bidan desa memberikan penyuluhan kepada ibu rumah tangga tentang pendidikan kesehatan. Berdasarkan hasil wawancara yang pertanyaannya ditujukan ke ibu rumah tangga, diperoleh informasi bahwa penyuluhan tentang pendidikan kesehatan sudah pernah didapat dalam berbagai acara mulai dari Posyandu, arisan PKK sampai dengan acara pengajian. Dalam acara tersebut pendidikan kesehatan
78
memang sengaja diberikan kepada ibu rumah tangga dengan tujuan supaya ibuibu rumah tangga dapat mempraktekkannya sendiri di rumah. Permasalahan muncul ketika sudah berada di lingkungan rumah, dengan kegiatan rutinitas ibu rumah tangga yang banyak mulai dari mengurus anak, suami sampai mengurus rumah menjadikan informasi kesehatan yang diperoleh terabaikan dengan sendirinya. Alasan kenapa ibu rumah tangga belum bisa mempraktekkan perilaku hidup sehat karena terbentur dengan rutinitas di rumah yang sudah terlalu banyak bahkan ada ibu rumah tangga harus membantu suaminya di sawah. Alasan tersebut hampir 80 % dijawab oleh responden dan sisanya menjawab supaya ada pemantauan dari petugas kesehatan, bidan atau kader kesehatan. Permintaan dilakukannya pemantauan karena belum pernah ada petugas Puskesmas yang memantau langsung kegiatan di rumah dan mereka berharap bukan hanya melihat dan mendengar saja tetapi mereka ingin mempraktekkan perilaku hidup sehat dengan adanya pendamping, seperti kutipan wawancara yang memberikan alasan dan latar belakang pekerjaan suami yang berbeda, berikut ini : Kutipan wawancara dari Ibu Rtnh. yang suaminya bekerja sebagai petani : “Penyuluhan kados niku sering kulo rungoake, tapi kulo mpun katah kegiatan kulo ngurus keluarga dereng mbantu teng saben, dados bingung bade nglakokake” (“Penyuluhan seperti itu sering saya dengarkan, tetapi saya sudah banyak kegiatan untuk mengurus keluarga belum membantu di sawah, jadi bingung untuk melakukannya”) Kutipan wawancara dari Ibu Wj. yang suaminya bekerja sebagai buruh kayu : “Saya memang sibuk mengurus keluarga, tetapi saya ingin mempraktekkan perilaku hidup sehat itu bingung, bingungnya karena saya harus mulai dari mana ? Saya pribadi berharap selalu ada pemantauan atau pendamping agar bisa lebih mengarahkan. Karena setelah adanya pemberian informasi baru, dari petugas Puskesmas sendiri tidak ada tindak lanjutnya dengan cara memantau kerumahrumah. Mungkin kalo langsung di datangi kita akan senang dan juga malu kalo belum dipraktekkan” Kutipan wawancara dengan Ibu Ndrh. yang pekerjaannya sama dengan suaminya sebagai buruh pabrik : “Saya sudah pernah mendapatkan informasi tersebut tapi kalo melihat kondisi keluarga saya, bagaimana saya dapat mempraktekkan perilaku hidup sehat dan bagaimana saya mengajarkan ke anak-anak saya.
79
Sepulang dari kerja saya pasti capek begitu pula suami saya dan bahkan ketika saya pulang anak-anak sudah berangkat sekolah. Pokoknya susah dan saya berharap ada cara lain mungkin Bapak bisa memberikan solusinya hehe...” Dari hasil wawancara yang ditujukan ke ibu-ibu rumah tangga dapat diambil kesimpulan bahwa secara keseluruhan upaya yang dilakukan oleh petugas Puskesmas, bidan desa dan kader kesehatan sudah dapat memunculkan semangat ibu-ibu rumah tangga untuk mempraktekkan perilaku hidup sehat. Hanya saja permasalahan muncul disebabkan oleh kegiatan rutinitas rumah tangga dan pekerjaan yang sudah begitu padat. Harapan mayoritas ibu-ibu rumah tangga supaya adanya kunjungan rutin dari petugas Puskesmas atau kader kesehatan ke setiap rumah.
6.3 Tahap Output Setelah menggali informasi dari pelaksana program dan dari responden terkait implementasi strategi Promosi Kesehatan berdasarkan tempat pelaksanaan pada tahap proses. Langkah selanjutnya pada tahap ini adalah mengidentifikasi sikap dan perilaku kesehatan dari petugas Puskesmas dan dari masyarakat Desa Jebed Selatan dalam implementasi strategi Promosi Kesehatan berdasarkan tempat pelaksanaan.
6.3.1 Sikap dan Perilaku Masyarakat Desa Jebed Selatan Berdasarkan Tanggapan dari Petugas Puskesmas Jebed Masalah yang berdampak pada rendahnya sikap dan perilaku masyarakat Desa Jebed Selatan selama implementasi strategi Promosi Kesehatan berdasarkan tempat pelaksanaan, antara lain : I. Implementasi pada Institusi Pendidikan (Sekolah) Sikap dan perilaku yang telah teridentifikasi : a. Sikap pasrah (nrimo) dengan kondisi sarana dan prasarana sekolah. b. Tidak adanya motivasi dari para guru/ Kepala Sekolah untuk memperbaiki kondisi tersebut.
80
II. Implementasi pada Institusi Kesehatan Sikap dan perilaku yang telah teridentifikasi : Masih rendahnya tingkat kepedulian dan pengetahuan ibu dalam membawa anaknya ke Posyandu. III. Implementasi pada Tempat Kerja Sikap dan perilaku yang telah teridentifikasi : Masih rendah Tingkat pengetahuan dari petani dan buruh tani akan kesehatan IV. Implementasi pada Rumah Tangga Sikap dan perilaku yang telah teridentifikasi : a. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di Desa Jebed Selatan (SLTP ke bawah sebesar 58,5 %) b. Rutinitas ibu rumah tangga ketika membantu suaminya bekerja di sawah c. Jumlah tenaga Puskesmas yang sedikit sehingga tidak bisa menjangkau semua rumah penduduk. d. Minimnya dana operasional sehingga berpengaruh pada pelaksanaannya.
Selain masalah diatas, masalah sarana dan prasarana juga menjadi hambatan masyarakat Desa Jebed Selatan dalam mengembangkan sikap dan perilaku yang mendukung terwujudnya perilaku sehat.
6.3.2 Sikap dan Perilaku Petugas Puskesmas Jebed Selatan Berdasarkan Tanggapan dari Masyarakat Desa Jebed Masalah yang berdampak pada rendahnya sikap dan perilaku dari Petugas Puskesmas selama implementasi strategi Promosi Kesehatan berdasarkan tempat pelaksanaan, antara lain : I. Implementasi pada Institusi Pendidikan (Sekolah) Sikap dan perilaku yang telah teridentifikasi : Masih rendahnya kreativitas dan inovasi dari petugas Puskesmas dalam memberikan penyuluhan tentang perilaku hidup sehat di sekolah. II. Implementasi pada Institusi Kesehatan Bahwa implementasi Promosi Kesehatan di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, Puskesmas dan tempat praktek dokter) adalah yang paling
81
efektif dalam memberikan informasi atau pengetahuan tentang kesehatan sehingga dapat mewujudkan perilaku hidup sehat bagi individu dan masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada masalah dalam implementasi Promosi Kesehatan pada institusi kesehatan. III. Implementasi pada Rumah Tangga Sikap dan perilaku yang telah teridentifikasi : Kurangnya perhatian dan tanggung jawab dari petugas Puskesmas, Bidan Desa dan Kader Kesehatan yang diwujudkan melalui kunjungan rutin ke rumah warga. IV. Implementasi pada Tempat Kerja Sikap dan perilaku yang telah teridentifikasi : a. Tidak adanya pengawasan atau monitoring dari Dinas Kesehatan kepada para petani terkait dampak pestisida. b. Belum adanya pengawasan (monitoring dan evaluasi) dari Dinas terkait (Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan) setelah memberikan penyuluhan tentang K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) kepada karyawan dan pengusaha di tempat kerja mereka. V. Implementasi pada Tempat Umum Sikap dan perilaku yang telah teridentifikasi : 1. Belum ada upaya serius dari Dinas terkait dalam mempromosikan hidup bersih dan sehat ditempat tersebut.