KELAYAKAN DAN STRATEGI IMPLEMENTASI PROGRAM HUTAN DESA DI DESA TANJUNG AUR II KABUPATEN BENGKULU SELATAN
DESMANTORO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kelayakan dan Strategi Implementasi Program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II Kabupaten Bengkulu Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor,
November 2015 Desmantoro NIM P052130511
RINGKASAN DESMANTORO. Kelayakan dan Strategi Implementasi Program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II Kabupaten Bengkulu Selatan. Dibimbing oleh NURHENI WIJAYANTO dan LETI SUNDAWATI. Implementasi program perhutanan sosial Hutan Desa membutuhkan kajian terhadap kelayakan prasyarat program (areal kerja, lembaga pengelola, dan dukungan stakeholder) dan strategi khusus yang berbasis kondisi prasyarat program. Guna mengkaji kelayakan program Hutan Desa dan menyusun strategi implementasi program tersebut di Desa Tanjung Aur II, Kabupaten Bengkulu Selatan dilakukan penelitian yang bertujuan untuk 1) mengidentifikasi kondisi biogeofisik kawasan hutan yang terkait dengan persyaratan areal kerja; 2) menganalisis kondisi sosekbud masyarakat yang terkait dengan persyaratan kelembagaan; 3) menganalisis dukungan stakeholder yang terkait dengan fasilitasi dan pendampingan; dan 4) memformulasikan strategi yang sesuai bagi implementasi program Hutan Desa di wilayah Desa Tanjung Aur II. Penelitian dilakukan di wilayah Desa Tanjung Aur II, Kecamatan Pino Raya, Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu sejak bulan Februari hingga Juli 2015. Penelitian menggunakan metode survei dan kajian kualitatif. Variabel penelitian terdiri dari variabel biogeofisik kawasan hutan, sosekbud masyarakat yang berinteraksi dengan hutan negara, dan dukungan stakeholder. Responden/informan penelitian terdiri dari 47 orang perambah hutan negara (snowball dengan kuota kontrol), 15 orang stakeholder/informan kunci (snowball dengan kuota kontrol), dan 7 orang responden pakar (purposif). Data-data dianalisis dengan menggunakan analisis spasial, analisis deskriptif kualitatif, analisis modal sosial, analisis stakeholder, analisis faktor internal dan eksternal, analisis SWOT, dan analisis QSPM. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa: 1) Secara biogeofisik, areal hutan negara di Desa Tanjung Aur II memenuhi persyaratan dan layak diusulkan sebagai areal kerja Hutan Desa; 2) Kondisi sosekbud masyarakat di wilayah Desa Tanjung Aur II memungkinkan untuk membentuk lembaga pengelola Hutan Desa, melalui kolaborasi masyarakat perambah hutan negara dan perwakilan masyarakat Desa Tanjung Aur II; 3) Stakeholder siap memberikan dukungan fasilitasi dan pendampingan sesuai kapasitas dan kapabilitasnya masing-masing. Stakeholder kunci dalam implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II adalah BPDAS Ketahun, Dishut Provinsi Bengkulu, Dishut ESDM Kabupaten Bengkulu Selatan, LSM Ulayat, dan Aparatur Desa Tanjung Aur II; 4) Strategi implementasi program Hutan Desa yang sesuai bagi Desa Tanjung Aur II adalah strategi kompetitif atau diversifikasi (strategi S-T), dengan startegi prioritas utama adalah mencari dan meminta dukungan dari stakeholder terkait ataupun pihak-pihak lainnya yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk melakukan fasilitasi dan pendampingan. Kata kunci: Hutan Desa, strategi, implementasi, prioritas.
SUMMARY DESMANTORO. Feasibility and Implementation Strategy of village forest Program at Tanjung Aur II Village, South Bengkulu Regency. Supervised by NURHENI WIJAYANTO and LETI SUNDAWATI. Implementation of social forestry program of village forest requires a feasibility study of the program prerequisite (area of operation, management institution, and stakeholder support) and specific strategies based on program prerequisite condition. In order to assess the village forest program and develop strategy for its implementation at Tanjung Aur II Village, South Bengkulu District a research has been done with the aims to 1) identify bio-geophysical conditions of forests associated with the requirements of the work area; 2) analyze the conditions of sosio-economic-cultural society associated with institutional requirements; 3) analyze the support of stakeholders associated with the facilitation and mentoring; and 4) formulate appropriate strategies for the implementation of village forest program at Tanjung Aur II. This study was conducted at Tanjung Aur II Village, Pino Raya Subdistrict, South Bengkulu Regency, Bengkulu Province from February to July 2015. The study used a survey method and qualitative studies. The research variables consisted of forest bio geophysical variables, sosio-economic-cultural society who interacted with state forests, and stakeholder support. Respondents/informants consisted of 47 state forest encroachers (snowball with quota controll), 15 stakeholders/key informants (snowball with quota controll), and 7 expert respondent (purposive). Data is analyzed using spatial analysis, qualitative descriptive analysis, analysis of social capital, stakeholders analysis, analysis of internal and external factors, SWOT analysis, and QSPM analysis. The research results revealed that: 1) the biogeophysical conditions of state forest areas in the village of Tanjung Aur II was compliant and suitable to be proposed as village forest working area; 2) conditions of socio-economic-cultural communities in Tanjung Aur II allowed to form village forest management institution, through collaboration between state forest encroachers and the villager representatives of Tanjung Aur II; 3) stakeholders were ready to provide support facilitation and assistance according to their capacitiy and capabilities. Key stakeholder for the implementation of the village forest program in Tanjung Aur II were BPDAS Ketahun, Dishut Provinsi Bengkulu, Dishut ESDM Bengkulu Selatan, NGOs Ulayat, and officials of Tanjung Aur II Village; 4) the implementation strategy of village forest program that suitable for Tanjung Aur II was a competitive strategy or diversification (S-T strategy), with the main strategy priority is seeking and asking for support from relevant stakeholders or other parties who had the capacity and capability to undertake facilitation and assistance. Keywords: village forest, strategies, implementation, priority.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KELAYAKAN DAN STRATEGI IMPLEMENTASI PROGRAM HUTAN DESA DI DESA TANJUNG AUR II KABUPATEN BENGKULU SELATAN
DESMANTORO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, MScFTrop
Judul Tesis : Kelayakan dan Strategi Implementasi Program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II Kabupaten Bengkulu Selatan Nama : Desmantoro NIM : P052130511
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Ketua
Dr Ir Leti Sundawati, MScFTrop Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 4 November 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis yang berjudul Kelayakan dan Strategi Implementasi Program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II Kabupaten Bengkulu Selatan dapat diselesaikan dengan baik. Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang tiada terhingga kepada: 1. Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS dan Dr Ir Leti Sundawati, MScFTrop selaku komisi pembimbing atas semua arahan, bimbingan, dan kebaikannya kepada penulis. 2. Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, MScFTrop selaku penguji luar komisi dan Dr Ir Lailan Syaufina, MSc selaku pimpinan sidang ujian tesis atas saran dan masukan bagi penulis dan perbaikan karya ilmiah ini. 3. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan, Kementerian Kehutanan selaku pemberi beasiswa pendidikan pascasarjana bagi penulis. 4. Dosen dan staf Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascsarjana IPB atas semua dukungan dan bantuannya selama penulis melaksanakan studi. 5. Aparatur dan masyarakat desa, serta masyarakat penggarap lahan hutan negara di wilayah Desa Tanjung Aur II atas semua bantuan dan kerjasama selama pelaksanaan penelitian. 6. BPDAS Ketahun, Dinas Kehutanan ESDM Kabupaten Bengkulu Selatan, Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu, PT Jatropha Solutions, LSM Ulayat, DPRD Bengkulu Selatan, Bappeda Kabupaten Bengkulu Selatan, dan Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu atas semua bantuan dan kerjasama selama pelaksanaan penelitian. 7. Sahabat-sahabat seperjuangan (PSL IPB 2013) atas kekompakan, kebersamaan, persahabatan, dan sharing pengetahuannya. 8. Orang tua dan saudara-saudaraku: Ayahanda Dulana Ra'it (alm) dan Ibunda Zuhaibaniah, Ayahanda Kustomo dan Ibunda Sutarmi, Mas Yoyo & Wa Elpi, Jemi & Liza, Yadi & Isty, Yuda & Uut, dan Kresno Bri Hutomo; keluarga kecilku tercinta: isteriku Kristina Paskana, S.S.T., M.Kes. dan putriku Asha Ardhiona Bunga Silvana, atas semua dukungan, doa, cinta, kasih sayang, semangat dan kebaikan yang tiada henti kepada penulis. 9. Pihak-pihak lainnya yang telah membantu pelaksanaan studi, penelitian, dan penulisan karya ilmiah ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu atas semua bantuannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor,
November 2015 Desmantoro
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv 1 PENDAHULUAN Latar Belakang ....................................................................................... Rumusan Masalah .................................................................................. Kerangka Pemikiran dan Ruang Lingkup Penelitian ............................. Tujuan Penelitian ................................................................................... Manfaat Penelitian .................................................................................
1 3 4 5 6
2 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. Alat dan Bahan........................................................................................ Rancangan dan Metode Penelitian .......................................................... Penentuan Responden dan Informan....................................................... Metode Analisis Data..............................................................................
7 7 7 7 9
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Desa Tanjung Aur II ................................................. Biogeofisik Kawasan Hutan.................................................................... Sosekbud Masyarakat yang Berinteraksi dengan Hutan......................... Dukungan Stakeholder ........................................................................... Strategi Implementasi Hutan Desa..........................................................
15 19 24 34 43
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ................................................................................................ Saran........................................................................................................
54 54
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... LAMPIRAN ..................................................................................................... DAFTAR RIWAYAT HIDUP .........................................................................
55 60 61
DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Rincian tahapan penelitian ....................................................................... Matrik posisi stakeholder berdasarkan kekuatan, kepentingan dan pengaruh ............................................................................................. Matrik penilaian bobot faktor strategis internal ....................................... Matrik penilaian bobot faktor strategis eksternal ..................................... Matrik internal factor evaluation ............................................................. Matrik external factor evaluation ............................................................ Matrik analisis SWOT ............................................................................. Matrik analisis QSPM .............................................................................. Penggunaan lahan di wilayah Desa Tanjung Aur II ................................. Luas kawasan hutan negara di wilayah Desa Tanjung Aur II................... Tutupan lahan hutan negara di wilayah Desa Tanjung Aur II .................. Hasil identifikasi kelayakan calon areal kerja Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II ................................................................................. Perambah hutan negara di wilayah Desa Tanjung Aur II ......................... Kelas umur dan tingkat pendidikan responden ........................................ Tingkat kepercayaan masyarakat ............................................................. Tingkat pengetahuan dan penerapan norma/aturan setempat .................. Tingkat kerjasama dan jaringan ............................................................... Akumulasi modal sosial masyarakat penggarap lahan hutan negara di Desa Tanjung Aur II ................................................................. Penilaian tingkat kepentingan stakeholder .............................................. Penilaian tingkat pengaruh stakeholder .................................................... Penilaian tingkat kekuatan stakeholder ................................................... Matrik posisi stakeholder berdasarkan kekuatan, kepentingan, dan pengaruh (hasil analisis stakeholder) ................................................. Potensi dukungan stakeholder dalam implementasi Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II ............................................................................. Hasil evaluasi faktor internal ................................................................... Hasil evaluasi faktor eksternal ................................................................. Matrik S-T strategi implementasi hutan desa di Desa Tanjung Aur II ....................................................................................................... Prioritas strategi implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II ..........................................................................................
8 11 12 12 13 13 14 14 16 19 19 22 25 26 27 28 29 29 34 36 40 41 43 44 46 49 51
DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4 5 6 7
Pohon masalah penelitian ......................................................................... Kerangka pemikiran dan ruang lingkup penelitian ................................... Nomogram Harry King ........................................................................... Model interaktif analisis data kualitatif (Miles dan Huberman 1994) ...... Peta sketsa wilayah administrasi Desa Tanjung Aur II ............................. Peta penggunaan lahan Desa Tanjung Aur II ........................................... Klasifikasi penduduk Desa Tanjung Aur II berdasarkan tingkat pendidikan ................................................................................................. 8 Peta tutupan lahan hutan negara di wilayah Desa Tanjung Aur II ........... 9 Peta rencana areal kerja Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II ................... 10 Kuadran strategi implementasi program Hutan Desa................................
4 5 9 10 15 17 17 20 23 48
DAFTAR LAMPIRAN
1
Matrik SWOT strategi implementasi Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II..............................................................................
60
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan, khususnya hutan negara di Indonesia memiliki setidaknya tiga persoalan utama, yaitu persoalan ekologi, ekonomi, dan sosial yang saling berkaitan. Ditjen Planologi (2013) mencatat angka deforestasi sebesar 30.6 juta hektar (27.7%) dari 110.4 juta hektar kawasan hutan tetap di Indonesia. Laju kerusakan hutan menurut Sumargo et al. (2011) adalah sebesar 1.51 juta hektar per tahun. Tingginya angka deforestasi umumnya disebabkan oleh konversi kawasan hutan menjadi areal non-kehutanan, perladangan dan perambahan hutan, serta terjadinya illegal logging. Kondisi ekonomi masyarakat yang berada di sekitar hutan merupakan faktor yang turut menentukan luasnya garapan masyarakat di dalam kawasan hutan (Subarna 2011). Jutaan masyarakat lokal kehidupannya tergantung dari sumberdaya hutan (Kartodihardjo et al. 2013). Berdasarkan data BPS (2013), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2013 mencapai 28.07 juta orang (11.37%) dari 246.88 juta jiwa penduduk. Sebanyak 17.74 juta penduduk miskin berada di pedesaan dengan lapangan usaha atau pekerjaan utama di sektor pertanian. Hakim et al. (2010) mengungkapkan bahwa sebagian besar penduduk miskin di pedesaan tersebut tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Masyarakat ini mengalami dua tipe kemiskinan, yakni kemiskinan struktural dan kemiskinan natural. Hutan merupakan suatu ekosistem sosial politik yang merupakan arena bagi berbagai kepentingan sumberdaya alam (Cahyono 2012). Kompleksitas kepentingan banyak pihak, termasuk masyarakat dapat memicu lahirnya konflik sosial antarpihak yang berkepentingan dalam penguasaan hutan. Konflik penguasaan hutan tidak hanya menimbulkan kerusakan sumberdaya alam, tetapi juga merusak relasi antarmanusia dan hancurnya tatanan sosial (Maring 2013). Permasalahan ini tidak dapat diatasi dengan meniadakan komponen yang dianggap mengancam (masyarakat), tetapi dapat diantisipasi dengan cara memperbaiki dan membangun hutan bersama-sama (pemerintah dan masyarakat) agar hutan menjadi tetap lestari dan bermanfaat (Sumanto 2009). Kerusakan hutan tidak mungkin dapat dihentikan tanpa dibangunnya kondisi yang memungkinkan tumbuhnya kepedulian masyarakat terhadap hutan. Keterlibatan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan merupakan sebuah mainstream, sehingga alternatif yang dapat dipilih oleh pemerintah adalah dengan menggulirkan kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (Kartodihardjo 2007). Kebijakan ini dimanifestasikan dalam bentuk programprogram perhutanan sosial. Perhutanan sosial merupakan konsep yang telah diterima dan diakui sebagai salah satu pendekatan yang baik dalam rangka mencapai kelestarian hutan dan memberikan berbagai manfaat positif bagi masyarakat, termasuk juga masyarakat di luar wilayah program (BorriniFeyerabend 2003; Nurrochmat 2005; Brunner et al. 2011; Lacuna-Richman 2012).
2
Salah satu program perhutanan sosial yang digagas oleh pemerintah adalah Hutan Desa. Hutan Desa didefinisikan sebagai hutan negara yang belum dibebani izin/hak, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa (Dephutbun 1999; Dephut 2007; Wiyono dan Santoso 2009). Dalam Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.89/Menhut-II/2014 tentang Hutan Desa, disebutkan bahwa penyelenggaraan hutan desa dimaksudkan untuk memberikan akses kepada masyarakat desa melalui lembaga desa dalam memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari serta bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Sahide (2011) menyebutkan bahwa desa dan hutan memiliki ikatan historikal yang kuat. Pengembangan desa tidak terlepas dari pembukaan wilayah hutan. Berdasarkan hasil identifikasi Dephut dan BPS (2009), terdapat 9,103 desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Implementasi program Hutan Desa merupakan salah satu bentuk nyata program pembangunan desa berbasis pendayagunaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia lokal sebagaimana yang menjadi prioritas pembangunan nasional. Undang Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa mengamanatkan bahwa pembangunan desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Desa menyebutkan bahwa dalam rangka pembangunan desa, pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pemerintah desa melakukan upaya pemberdayaan masyarakat desa salah satunya dengan mengembangkan program dan kegiatan pembangunan desa secara berkelanjutan dengan mendayagunakan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada di desa. Implementasi program Hutan Desa merupakan salah satu bentuk nyata program pembangunan desa yang berbasis pendayagunaan SDM dan SDA desa setempat. Pengalaman implementasi program Hutan Desa seperti di Kabupaten Bantaeng (Desa Labbo, Desa Pattaneteang dan Kelurahan Campaga) membuktikan bahwa nilai ekonomi dari jasa lingkungan hutan desa dan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dapat diandalkan untuk mendorong pembangunan ekonomi di tingkat lokal. Nilai-nilai inilah yang menjadi contoh penting untuk menjawab keraguan berbagai pihak akan dampak dan manfaat nyata dari Hutan Desa. Nilai-nilai ini dapat dicapai setidaknya dengan melakukan pengelolaan pada tiga aspek, yaitu kelola tenurial, kelola kelembagaan, dan kelola usaha/ penghidupan dengan dukungan fasilitasi berbagai pihak (Supratman dan Sahide 2013). Implementasi program Hutan Desa belum berjalan efektif yang tercermin dari tidak tercapainya target nasional penetapan areal kerja Hutan Desa periode 2010 – 2014 sebesar 500,000 hektar (Kemitraan 2011; Prasetyo 2013). Sejak tahun 2008 hingga akhir tahun 2014 baru 397 desa yang mengusulkan penetapan areal kerja Hutan Desa, 223 desa telah mendapatkan penetapan dengan luas total ± 318,024 hektar, dan 32 desa di antaranya sudah mendapatkan hak pengelolaan Hutan Desa (Dit BPS Kemenhut 2015). Program Hutan Desa dapat diimplementasikan apabila memenuhi persyaratan biogeofisik (areal kerja),
3
sosekbud (lembaga pengelola), dan dukungan stakeholder (fasilitasi dan pendampingan). Secara umum, persyaratan tersebut dapat dikelompokkan menjadi persyaratan biogeofisik, persyaratan sosekbud masyarakat target, dan persyaratan dukungan stakeholder. Implementasi program ini pun memerlukan strategi yang baik untuk menunjang keberhasilan program. Strategi merupakan arah dan cakupan organisasi dalam jangka panjang, yang mencapai keunggulan dalam lingkungan yang berubah melalui konfigurasi sumberdaya dan kompetensi dengan tujuan memenuhi harapan stakeholder (Johnson et al. 2009). Strategi yang baik disusun berdasarkan hasil kajian kondisi riil yang ada dan spesifik pada rencana lokasi implementasi program tersebut. Desa Tanjung Aur II di Kecamatan Pino Raya, Kabupaten Bengkulu Selatan merupakan salah satu potret nyata desa hutan yang belum tersentuh program perhutanan sosial, termasuk program Hutan Desa. Sebagian besar wilayah Desa Tanjung Aur II merupakan kawasan hutan negara yang memiliki fungsi strategis sebagai pengatur sistem tata air dan penyangga bagi wilayah-wilayah lainnya dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Pino. Sebagian areal hutan negara ini dirambah dan dikonversi menjadi lahan pertanian atau perkebunan oleh masyarakat. Berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh instansi yang membidangi kehutanan di Kabupaten Bengkulu Selatan menyebabkan upaya-upaya perlindungan dan pengamanan kawasan hutan dari ancaman perambahan cukup sulit untuk dilaksanakan secara intensif. Ancaman perambahan ini sangat mungkin akan meluas, mengingat 58.6% penduduk usia kerja yang bekerja di Kabupaten Bengkulu Selatan lapangan pekerjaan utamanya adalah di sektor pertanian dan membutuhkan lahan untuk aktifitas budidaya (BPS Kab. BS 2013). Kondisi ini memerlukan penanganan yang cepat dan tepat, salah satunya adalah dengan mengimplementasikan program perhutanan sosial Hutan Desa. Melalui program ini, masyarakat perambah dan masyarakat desa digugah kesadarannya dan diminta partisipasinya untuk bersama-sama dengan stakeholder terkait membangun dan melindungi hutan agar tetap lestari dan bermanfaat. Dalam rangka implementasi program ini di Desa Tanjung Aur II, perlu dilakukan kajian mengenai kelayakan kondisi prasyarat implementasi program tersebut. Berdasarkan kondisi prasyarat implementasi program yang ada, selanjutnya perlu dikaji dan disusun strategi implementasi yang sesuai. Dengan serangkaian kajian dan penyusunan strategi ini diharapkan implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II dapat berjalan lancar dan mencapai keberhasilan. Rumusan Masalah Tuntutan pemenuhan ekonomi dan keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, serta tingginya kebutuhan lahan untuk aktifitas bertani atau berkebun merupakan faktor utama terjadinya perambahan hutan negara di pedesaan, termasuk di Desa Tanjung Aur II. Aktifitas perambahan ini merupakan ancaman serius bagi kelestarian hutan negara di wilayah desa tersebut dan berpotensi menimbulkan konflik vertikal dan horisontal terkait pemanfaatan sumberdaya hutan negara secara ilegal. Persoalan ini memerlukan penyelesaian yang dapat memberikan manfaat (win-win solutions) bagi semua pihak terkait. Salah satu alternatif solusinya adalah dengan mengimplementasikan program perhutanan sosial Hutan Desa.
4
Hutan Desa merupakan program perhutanan sosial yang dirasa akan efektif dalam mengurai permasalahan pokok kehutanan di pedesaan, termasuk di Desa Tanjung Aur II. Hal ini dilandasi argumentasi, yaitu: 1) Desa dan hutan memiliki ikatan historikal yang kuat; 2) Hutan Desa memiliki kejelasan batasan lokus dan organisasi pengelola; 3) Pembangunan wilayah desa berbasis SDA dan SDM lokal merupakan prioritas pembangunan nasional; 4) Beberapa pengalaman implementasi program Hutan Desa di daerah lain memperlihatkan hasil yang positif. Guna mengetahui apakah program Hutan Desa dapat diimplementasikan di Desa Tanjung Aur II diperlukan penelitian mengenai kelayakan implementasi program ditinjau dari kondisi prasyarat program tersebut. Prasyarat implementasi program Hutan Des meliputi ketersediaan areal kerja (biogeofisik), keberadaan lembaga pengelola (sosekbud), serta adanya fasilitasi dan pendampingan (dukungan stakeholder). Berdasarkan kondisi prasyarat program, selanjutnya disusun strategi implementasi yang sesuai untuk diterapkan di wilayah Desa Tanjung Aur II. Dengan bekal pengetahuan dan pemahaman terhadap kondisi prasyarat program serta strategi implementasi yang baik diharapkan program Hutan Desa dapat diimplementasikan dengan baik di Desa Tanjung Aur II. Rumusan permasalahan penelitian sebagaimana diilustrasikan dalam pohon masalah pada Gambar 1.
Gambar 1 Pohon masalah penelitian Pertanyaan penelitian yang terkait dengan kajian kelayakan dan strategi implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II, yaitu: a. Apakah kondisi biogeofisik kawasan hutan di Desa Tanjung Aur II memenuhi persyaratan areal kerja Hutan Desa? b. Apakah kondisi sosekbud masyarakat di Desa Tanjung Aur II memungkinkan untuk membentuk lembaga pengelola Hutan Desa? c. Bagaimana potensi dukungan fasilitasi dan pendampingan stakeholder terhadap implementasi program Hutan Desa di wilayah Desa Tanjung Aur II? d. Bagaimana strategi yang sesuai bagi implementasi program Hutan Desa di wilayah Desa Tanjung Aur II?
5
Kerangka Pemikiran dan Ruang Lingkup Penelitian Program Hutan Desa merupakan salah satu skema perhutanan sosial yang dapat menjadi solusi alternatif bagi permasalahan pengelolaan sumberdaya hutan negara di Desa Tanjung Aur II. Persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam implementasi program Hutan Desa adalah ketersedian areal kerja, lembaga pengelola, serta dukungan fasilitasi dan pendampingan. Ketiga persyaratan ini perlu dikaji terlebih dahulu dengan mengidentifikasi serta menganalisis kondisi biogeofisik, sosekbud, dan dukungan stakeholder terkait. Dari hasil analisis tersebut akan diketahui kelayakan program ini untuk diimplementasikan di Desa Tanjung Aur II. Langkah selanjutnya adalah merumuskan strategi yang sesuai bagi implementasi program Hutan Desa di wilayah Desa Tanjung Aur II. Dengan adanya strategi implementasi yang baik, diharapkan program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II dapat terlaksana dengan baik. Program Hutan Desa yang dapat diimplementasikan dengan baik akan mampu menjamin kelestarian hutan, meningkatkan kesejahteraan, dan mencegah terjadinya konflik pemanfaatan sumberdaya hutan. Kerangka pemikiran dan ruang lingkup penelitian sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 2.
Gambar 2 Kerangka pemikiran dan ruang lingkup penelitian
6
Tujuan Penelitian 1) 2) 3) 4)
Berdasarkan uraian permasalahan di awal, penelitian ini bertujuan untuk: Mengidentifikasi kondisi biogeofisik kawasan hutan di Desa Tanjung Aur II yang terkait dengan persyaratan areal kerja Hutan Desa. Menganalisis kondisi sosekbud masyarakat di Desa Tanjung Aur II yang terkait dengan persyaratan kelembagaan Hutan Desa. Menganalisis dukungan stakeholder yang terkait dengan fasilitasi dan pendampingan dalam implementasi program Hutan Desa. Memformulasikan strategi yang sesuai bagi implementasi program Hutan Desa di wilayah Desa Tanjung Aur II. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain: 1) Sebagai sumber informasi ilmiah bagi pemerintah pusat dan daerah, dan stakeholder lainnya dalam melaksanakan dan mengembangkan program Hutan Desa, khususnya di wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan. 2) Sebagai acuan bagi masyarakat Desa Tanjung Aur II dalam menyusun usulan implementasi program Hutan Desa.
7
2 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di Desa Tanjung Aur II, Kecamatan Pino Raya, Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu. Posisi geografis lokasi penelitian terletak di koordinat 1020 551 1211 - 1030 21 1111 BT dan 40 91 2911 - 40 191 2411 LS. Penelitian dilaksanakan selama 6 (enam) bulan, mulai bulan Februari 2015 hingga bulan Juli 2015.
Alat dan Bahan Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian antara lain: handycam/recorder, Global Positioning System, software pemetaan (arcGIS 9.3 dan Google Earth Pro), kuisioner, dan panduan wawancara. Bahan penelitian terdiri dari data spasial (administrasi, kawasan hutan, jaringan sungai dan DAS, jaringan jalan, perijinan lahan dan hutan, dan citra satelit), data statistik, profil desa, data kuisioner, dan hasil wawancara.
Rancangan dan Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survei dan kajian kualitatif (Singarimbun 2006; Sugiyono 2009; Sugiyono 2013). Variabel penelitian, data, metode pengumpulan dan analisis data sebagaimana tertera dalam rincian tahapan penelitian (Tabel 1).
Penentuan Responden dan Informan Responden/informan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) responden masyarakat; (2) responden stakeholder/key informan; dan (3) responden ahli (expert). Responden kategori pertama ditujukan untuk menggali dan mendapatkan data variabel sosekbud masyarakat. Responden/informan kelompok kedua ditujukan untuk menggali dan mendapatkan data variabel dukungan stakeholder dan data pendukung lainnya. Responden kelompok ketiga ditujukan untuk diminta pendapatnya dalam penyusunan strategi dan prioritas strategi. Penarikan responden/informan penelitian menggunakan metode non probability sampling secara snowball dengan quota controll untuk memilih responden/informan kelompok pertama dan kedua, dan secara purposive untuk kelompok responden pakar. Populasi penelitian kelompok pertama adalah seluruh kepala keluarga (KK) yang berinteraksi langsung dengan hutan negara di wilayah Desa Tanjung Aur II yang berjumlah ± 169 KK. Jumlah responden sebanyak 47 orang KK (27.8%) ditentukan dengan menggunakan nomogram Harry King (Gambar 3) pada taraf kepercayaan 90%.
8
Tabel 1 Rincian tahapan penelitian No. 1
2
3
4
Tahapan/tujuan penelitian Mengkaji kondisi biogeofisik kawasan hutan yang terkait dengan persyaratan areal kerja Hutan Desa.
Variabel penelitian Biogeofisik
Mengkaji kondisi sosekbud masyarakat Desa Tanjung Aur II yang terkait dengan persyaratan kelembagaan Hutan Desa.
Sosekbud
Mengkaji dukungan stakeholder yang terkait dengan fasilitasi dan pendampingan dalam implementasi program Hutan Desa.
Dukungan Stakeholder
Menyusun strategi implementasi program Hutan Desa
Biogeofisik, Sosekbud, dan Dukungan Stakeholder
Data/informasi yang dikumpulkan Peta: administrasi; kawasan hutan; tutupan lahan; kelerengan; jalan; sungai; DAS; lahan kritis; RTRW; perizinan; sebaran kegiatan PS Data/Informasi: Potensi pemanfaatan hutan (kawasan, jasling, kayu, HHBK) Data/Informasi: kependudukan; pendapatan; kesejahteraan; kelembagaan; interaksi masyarakat dengan hutan; modal sosial; konflik; persepsi terhadap hutan Desa Data/Informasi: Kepentingan; pengaruh; dan kekuatan stakeholder terkait
Data/Informasi: Faktor internal (kekuatan dan kelemahan) Faktor eksternal (peluang dan ancaman)
Metode pengumpulan data Dokumentasi
Triangulasi (Sugiyono 2009; 2010; Ikbar 2012) Triangulasi (Sugiyono 2009; 2010; Ikbar 2012)
Angket dan wawancara
Angket dan wawancara
Sumber data
Metode analisis data
Bappeda Kab. BS; BPS Kab. BS; BPDAS Ketahun; Dishut ESDM Kab. BS
Overlay (Prasetyo 2011)
Responden/ informan dan Hasil Observasi Lapangan BPS Kab. BS; Kantor Desa; Responden/ informan
Deskriptif Kualitatif (Miles dan Huberman 1994) Deskriptif Kualitatif (Miles dan Huberman 1994) Analisis Modal Sosial (Grootaert et al. 2004)
Responden/ informan
Responden/ Informan dan Hasil Pengumpulan Data sebelumnya
Luaran -
-
-
-
Analisis kategori gabungan (Reed et al. 2009; Silverstein et al. 2009; Febriani 2012)
-
IFE, EFE, SWOT, dan QSPM (Rangkuti 1997; Adisasmita 2006; David 2009)
-
-
Data/informasi biogeofisik desa dan kawasan hutan Desa Tanjung Aur II Peta rencana calon areal kerja Hutan Desa Tanjung Aur II
Data/informasi sosekbud masyarakat Desa Tanjung Aur II Potensi kelembagaan calon pengelola Hutan Desa Tanjung Aur II Data/informasi stakeholder terkait Potensi dukungan fasilitasi dan pendampingan dari stakeholder terkait Strategi Implementasi Program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II
9
Responden kelompok kedua disebut juga informan kunci (key informan), terdiri dari orang atau individu bagian dari stakeholder yang memahami dan/atau terkait dengan rencana implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II. Jumlah responden sebanyak 15 orang, yang terdiri dari: BPDAS Ketahun (2 orang); Dishut Provinsi Bengkulu (2 orang); Dishut ESDM Kabupaten Bengkulu Selatan (2 orang); BAPPEDA Kabupaten Bengkulu Selatan (2 orang); Anggota Komisi II DPRD Kabupaten Bengkulu Selatan (1 orang); PT Jatropha Solutions (1 orang); LSM Ulayat Bengkulu (1 orang); Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu (1 orang), Aparatur Desa Tanjung Aur II (3 orang). Responden kelompok ketiga, responden pakar (expert respondent) dipilih secara purposive dari responden stakeholder/key informan. Jumlah responden sebanyak 7 orang yang terdiri dari: BPDAS Ketahun (2 orang); Dishut Provinsi Bengkulu (1 orang); Dishut ESDM Kabupaten Bengkulu Selatan (1 orang); LSM Ulayat Bengkulu (1 orang); dan Aparatur Desa Tanjung Aur II (2 orang).
Gambar 3 Nomogram Harry King (Sugiyono 2009) Metode Analisis Data Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu: analisis komponen biogefisik, analisis komponen sosekbud, analisis stakeholder, analisis faktor internal dan eksternal, analisis alternatif strategi, dan analisis prioritas strategi. Analisis data menggunakan metode analisis yang relevan dengan komponen data yang dianalisis.
10
a). Analisis Komponen Biogeofisik Data-data yang terkait dengan biogeofisik dan mengandung informasi keruangan (spasial) dianalisis dengan metode overlay (tumpang susun) yang biasa digunakan dalam analisis spasial (Prasetyo 2011). Data-data yang berisi informasi spasial baik data primer (hasil observasi dan pengambilan data langsung di lapangan menggunakan GPS) maupun data sekunder (data spasial administrasi wilayah, kawasan hutan, jaringan sungai dan DAS, jaringan jalan, perijinan lahan dan hutan, olahan citra aster GDEM, bing maps, dan google earth) dijadikan input (masukan). Selanjutnya, data-data tersebut diproses menggunakan teknik overlay (tumpang susun) dan diolah dengan fitur-fitur editing yang sesuai menggunakan software ArcGIS 9.3 yang dilengkapi extension tools yang diperlukan. Setelah itu, dilakukan proses layout sehingga dihasilkan peta-peta tematik yang berisikan data dan informasi spasial yang bermanfaat dalam penentuan Areal Kerja Hutan Desa. Data-data komponen biogeofisik non spasial lainnya dianalisis secara deskriptif. b). Analisis Komponen Sosekbud Data-data komponen sosekbud masyarakat, termasuk juga persepsi dianalisis secara deskriptif kualitatif. Data dideskripsikan dalam bentuk tabel, grafik, dan gambar yang kemudian dianalisis secara kualitatif. Metode analisis deskriptif kualitatif yang dipakai adalah metode Miles dan Huberman (1994). Menurut metode ini, analisis data dilakukan dengan melakukan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan melalui penggambaran atau verifikasi. Model analisis ini sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 4. Data collection
Data display
Data reduction Conclusions: Drawing/verification
Gambar 4 Model interaktif analisis data kualitatif (Miles dan Huberman 1994) Modal sosial masyarakat penggarap lahan hutan negara yang menjadi salah satu komponen sosekbud dianalisis dengan menggunakan metode Social Capital Integrated Questionnaire (SC-IQ) yang dikembangkan oleh Grootaert et al. (2004). Model ini kemudian dimodifikasi dan disesuaikan dengan kondisi lokasi dan tujuan penelitian. Modal sosial yang diukur meliputi (1) tingkat kepercayaan, (2) tingkat pengetahuan dan penerapan norma/aturan setempat, dan (3) kerjasama dan jaringan.
11
c). Analisis Stakeholder Analisis stakeholder menggunakan metode analisis kategori kombinasi (Febriani 2012) dengan mengklasifikasikan stakeholder berdasarkan: (1) kepentingan, (2) pengaruh dan (3) kekuatan mereka dalam implementasi program Hutan Desa. Metode ini dikembangkan dari metode analisis kategori berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh (Reed et al. 2009) dan analisis kategori berdasarkan tingkat kekuatan dan pengaruh (Silverstein et al. 2009). Kombinasi dari dua analisis kategori tersebut menghasilkan sebuah matrik sebagaimana diilustrasikan pada Tabel 2. Tabel 2 Matrik posisi stakeholder berdasarkan kekuatan, kepentingan dan pengaruh Tingkat kepentingan stakeholder
Tingkat pengaruh stakeholder Tingkat kekuatan stakeholder
Pengaruh rendah
Pengaruh tinggi
Kekuatan rendah Kepentingan rendah Kekuatan tinggi Kekuatan rendah Kepentingan tinggi Kekuatan tinggi
d). Analisis Faktor Internal dan Faktor Eksternal Analisis faktor internal dilakukan untuk mengetahui faktor kekuatan yang dapat dimanfaatkan dan faktor kelemahan yang harus diatasi. Faktorfaktor ini dianalisis dengan menggunakan Matrik Internal Factor Evaluation (IFE). Analisis faktor eksternal dilakukan untuk mengetahui faktor peluang dan ancaman yang mungkin ada. Faktor-faktor eksternal dianalisis menggunakan Matrik Eksternal Factor Evaluation (EFE) (Rangkuti 1997; David 2009). Langkah-langkah penyusunan Matrik IFE dan EFE adalah sebagai berikut: (a) Identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal Langkah ini diawali dengan perumusan variabel unsur-unsur kekuatan dan variabel unsur-unsur kelemahan yang ada di dalam wilayah penelitian dan masyarakat target. Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi faktor-faktor eksternal dengan merumuskan variabel unsur-unsur peluang dan berbagai ancaman yang ada. Hasil identifikasi dari masing-masing kemudian diberikan bobot dan skor peringkat (rating). (b) Penentuan bobot setiap variabel Penentuan bobot dilakukan dengan mengajukan identifikasi faktor strategis internal dan eksternal kepada responden atau informan terpilih (purposive). Pembobotan menggunakan metode perbandingan berpasangan (paired comparison) (David 2009). Untuk menentukan bobot setiap variabel digunakan skor 1, 2, dan 3. Skor yang digunakan untuk pengisian kolom adalah: (1) skor 1 = jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal,
12
(2) skor 2 = Jika indikator horizontal sama penting daripada indikator vertikal, dan (3) skor 3 = Jika indikator horizontal lebih penting dari pada indikator vertikal. Bobot setiap variabel diperoleh dengan membagi nilai setiap variabel terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus (David 2009): x (1) i n i xi i 1
Keterangan :
αi xi i n
= Bobot variabel ke-i = Nilai variabel ke - i = 1, 2, 3, …..n = Jumlah variabel
Variabel berbobot 0 (nol) berarti variabel tersebut bukan merupakan faktor yang penting. Sedangkan variabel dengan bobot 1 (satu) merupakan variabel yang sangat penting atau paling berpengaruh. Total bobot yang diberikan akan sama dengan 1.0. Nilai-nilai bobot ini kemudian ditempatkan pada kolom bobot Matrik IFE dan EFE. Bentuk penilaian bobot faktor strategis internal dan eksternal dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 3 Matrik penilaian bobot faktor strategis internal Faktor strategis internal
A
B
C
D
...
Total
Bobot
A B C D ... Total Sumber : David (2009) Tabel 4 Matrik penilaian bobot faktor strategis eksternal Faktor strategis eksternal
A
A B C D ... Total Sumber : David (2009)
B
C
D
...
Total
Bobot
13
(c) Penentuan skor peringkat (rating) Setiap variabel akan diberikan skor peringkat (rating) dengan skala 1 sampai 4. Pada Matrik IFE, skala 1 = sangat lemah, skala 2 = sedang, skala 3 = kuat, dan skala 4 = sangat kuat. Sedangkan pada Matrik EFE, penentuan skor peringkat adalah skala 1 = dibawah rata-rata, skala 2 = rata-rata, skala 3 = diatas rata-rata, dan skala 4 = sangat bagus. (d) Menghitung skor pembobotan Skor pembobotan diperoleh dengan mengalikan bobot tiap-tiap variabel dengan skala peringkatnya. Hasil perkalian antara bobot dan rating menghasilkan skor pembobotan untuk masing-masing faktor sebagai unsur SWOT. (e) Menghitung total skor pembobotan Total skor pembobotan diperoleh dengan menjumlahkan secara vertikal semua skor pembobotan. Nilai total skor pembobotan akan berkisar antara 1 sampai dengan 4. Nilai total ini menunjukkan bagaimana responden atau informan bereaksi terhadap faktor-faktor strategis internal dan eksternalnya. Matrik Internal Factor Evaluation (IFE) dan Matrik External Factor Evaluation (EFE) sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 5 dan Tabel 6. Tabel 5 Matrik internal factor evaluation Faktor internal Bobot Rating Kekuatan 1. 2. 3. dst Kelemahan 1. 2. 3. dst Total Sumber: Rangkuti (1997); David (2009)
Total skor
Tabel 6 Matrik external factor evaluation Faktor eksternal Bobot Peluang 1. 2. 3. dst Ancaman 1. 2. 3. dst Total Sumber: Rangkuti (1997); David (2009)
Rating
Total skor
14
e). Analisis Alternatif Strategi Penyusunan strategi pembangunan pedesaan dapat menggunakan metode analisis SWOT (Strengths,Weaknesses, Opportunities, Threats) (Adisasmita 2006). Analisis SWOT dilakukan dengan menyusun kemungkinan-kemungkinan kombinasi faktor internal dengan faktor eksternal dalam sebuah matrik. Matrik SWOT menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategi sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 7. Tabel 7 Matrik analisis SWOT Faktor eksternal Faktor internal
Kelemahan
Kekuatan
Strategi Strategi Kelemahan-Peluang Kekuatan-Peluang Strategi Strategi Ancaman Kelemahan-Ancaman Kekuatan-Ancaman Sumber: (Rangkuti 1997; Adisasmita 2006; David 2009) Peluang
f)
Analisis Prioritas Strategi Penentuan prioritas strategi menggunakan metode analisis Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) atau matrik perencanaan stratejik kuantitatif (David 2009). Analisis QSPM dilakukan dengan membuat Matrik QSP (Tabel 8) dengan input faktor-faktor internal dan eksternal dan pilihan alternatif strategi yang sebelumnya telah ditentukan dengan menggunakan analisis SWOT. Bobot pada masing-masing faktor dikalikan dengan skor daya tarik (Attractiveness Score) sehingga diperoleh total skor daya tarik (Total Attractiveness Score). Besar kecilnya TAS menentukan urutan prioritas strategi. Alternatif strategi dengan nilai TAS tertinggi adalah strategi yang paling diprioritaskan untuk direkomendasikan dalam implementasi program Hutan Desa. Tabel 8 Matrik analisis QSPM Faktor kunci I. Faktor internal A. Kekuatan 1. ................ 2. ................ B. Kekuatan 1. ................ 2. ................ II. Faktor eksternal A. Peluang 1. ................ 2. ................ B. Ancaman 1. ................ 2. ................ Total Skor Sumber: David (2009)
Bobot
Alternatif strategi I AS TAS
Alternatif strategi II AS TAS
Alternatif strategi III AS TAS
15
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Desa Tanjung Aur II Kondisi Geografis dan Fisik Desa Tanjung Aur II Desa Tanjung Aur II merupakan salah satu desa yang terletak di hulu DAS Pino. Secara definitif batas wilayah administratif belum ditentukan, sehingga untuk sementara mengacu kepada peta sketsa wilayah desa (Gambar 5) yang mempedomani peta sketsa wilayah administrasi yang dibuat oleh BPS (2010). Secara geografis, posisi desa berada antara 1020 551 1211 - 1030 21 1111 BT dan 40 91 2911 - 40 191 2411 LS, dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah utara dengan Kabupaten Seluma dan Provinsi Sumatera Selatan Sebelah timur dengan Desa Kayu Ajaran, Lubuk Tapi, Keban Jati, Talang Tinggi, dan Simpang Pino Kecamatan Ulu Manna Sebelah selatan dengan Desa Merambung Kecamatan Ulu Manna Sebelah barat dengan Desa Karang Cayo Kecamatan Pino Raya
Gambar 5 Peta sketsa wilayah administrasi Desa Tanjung Aur II Luas wilayah desa berdasarkan peta sketsa wilayah desa ± 8,331.49 ha. Wilayah desa terdiri dari kawasan hutan negara ± 5,551.69 ha (66.6%) dan bukan kawasan hutan negara ± 2,779.80 ha (33.4%). Berdasarkan kondisi topografinya, desa ini termasuk kategori desa berbukit-bukit, dengan kelerengan agak curam hingga curam. Berdasarkan elevasinya, Desa Tanjung Aur II berada di ketinggian 50 sampai 1,250 mdpl. Desa Tanjung Aur II memiliki tipe iklim A berdasarkan klasifikasi Schmidt-Ferguson dengan curah hujan 2,500 hingga 4,000 mm, jumlah hari hujan 179 sampai 272 hari, suhu udara 22 hingga 31 oC dan kelembaban udara 64.8 sampai 98.7% (SMPK Manna 2015).
16
Berdasarkan orbitasinya, Desa Tanjung Aur II memiliki jarak ke ibukota kecamatan ± 23 km dan jarak ke ibukota kabupaten ± 25 km. Waktu tempuh yang diperlukan untuk mencapai ibukota kecamatan dan kabupaten berkisar 30 sampai 45 menit dengan menggunakan kendaran bermotor. Infrastruktur jalan relatif baik dengan kondisi jalan utama beraspal, jalan desa berupa jalan setapak beton, jalan sirtu, dan jalan tanah. Sarana transportasi utama yang umum digunakan adalah sepeda motor dan mobil. Untuk sarana komunikasi jarak jauh, masyarakat desa menggunakan telepon genggam (handphone) dengan operator Telkomsel. Penerangan di rumah-rumah penduduk menggunakan energi listrik PLN (269 KK), tenaga surya (64 KK), dan lampu minyak (48 KK). Jaringan listrik PLN baru terpasang di Desa Tanjung Aur II pada akhir tahun 2013. Dari sisi penggunaan lahan (land use), sebagian besar lahan desa dimanfaatkan untuk aktifitas bertani atau berkebun. Gambaran penggunaan lahan di Desa Tanjung Aur II sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 9 dan Gambar 6. Tabel 9 Penggunaan lahan di wilayah Desa Tanjung Aur II Penggunaan lahan Luas (ha) Hutan Lindung (Hutan Negara) 4,661.00 Hutan Produksi Terbatas (Hutan Negara) 890.69 Perkebunan Swasta (HGU Kelapa Sawit) 734.27 Perkebunan dan Hutan Rakyat 1,857.18 Sawah 66.29 Permukiman 9.45 Jaringan Jalan (tidak termasuk di Hutan Negara) 32.84 Jaringan Sungai/Tubuh Air (tidak termasuk di Hutan Negara) 79.76 Jumlah (ha) 8,331.49 Sumber: Hasil interpretasi citra satelit google earth, bing maps dan observasi lapangan Kondisi Sosekbud Masyarakat Desa Tanjung Aur II Kependudukan Pemukiman di Desa Tanjung Aur II didiami 381 KK dengan jumlah penduduk sebanyak 1,334 jiwa, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 698 jiwa dan perempuan sebanyak 636 jiwa. Suku bangsa/etnis yang mendiami desa ini adalah Suku Serawai (1,167 jiwa) dan Suku Jawa (167 jiwa). Seluruh penduduk desa memeluk agama Islam. Berdasarkan kelas umurnya, masyarakat Desa Tanjung Aur II didominasi oleh penduduk usia produktif (18 hingga 55 tahun), yaitu sebanyak 752 jiwa atau 56.37% dari jumlah penduduk desa. Dilihat dari tingkat pendidikan, penduduk Desa Tanjung Aur II didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar (SD). Klasifikasi penduduk Desa Tanjung Aur II berdasarkan pendidikan terakhir yang ditamatkan sebagaimana ditampilkan dalam grafik (Gambar 7).
17
Gambar 6 Peta penggunaan lahan Desa Tanjung Aur II 300 249 255
250 200 150
136 135 114
100
72
62
118 106
Laki-Laki
69
Perempuan
50 0
1
9
8
0
Gambar 7 Klasifikasi penduduk Desa Tanjung Aur II berdasarkan tingkat pendidikan
18
Kelembagaan Desa Tanjung Aur II memiliki pranata kelembagaan dalam bentuk lembaga pemerintahan dan lembaga kemasyarakatan. Desa ini dipimpin oleh seorang kepala desa yang dibantu oleh perangkat desa seperti sekretaris desa, kepala urusan, kepala dusun, dan ketua rukun tetangga. Dalam menyampaikan aspirasi, desa memiliki Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Lembaga kemasyarakatan yang ada di Desa Tanjung Aur II antara lain: Karang Taruna, PKK, Kelompok Tani, Kelompok Pengajian, dan Kelompok Seni Dendang. Untuk kelembagaan ekonominya, desa memiliki Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) yang berusaha di bidang penyewaan tenda dan kursi. Kepengurusan BUMDES sementara masih dirangkap oleh perangkat desa. Ekonomi Ditinjau dari mata pencaharian utama penduduknya, Desa Tanjung Aur II merupakan desa agraris atau desa agrobisnis. Desa agraris merupakan desa yang mata pencaharian utama penduduknya adalah di bidang pertanian dan perkebunan (Wikipedia 2015). Desa agrobisnis merupakan desa yang kegiatan ekonomi utamanya meliputi suplai input pertanian, penyimpanan, pengolahan sederhana, dan distribusi komoditi berupa hasil tanaman palawija, holtikultura, pangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan (Adisasmita 2006). Sebanyak 711 orang (53.30%) penduduk Desa Tanjung Aur II berprofesi sebagai petani, 564 orang (42.28%) belum/tidak bekerja, dan 59 orang (4.42%) memiliki pekerjaan selain petani. Komoditi yang dibudidayakan yaitu padi, kakao, durian, karet, kelapa sawit, dan kopi. Berdasarkan sensus, tingkat pendapatan keluarga di Desa Tanjung Aur II bervariasi mulai Rp5 100 000 per tahun hingga Rp390 320 000 per tahun. Pendapatan ditentukan oleh jenis pekerjaan, jumlah anggota keluarga yang bekerja, luas, jenis, dan produktifitas lahan pertanian yang diusahakan. Pratomo dan Saputra (2011) mengemukakan bahwa batas kewajaran penghasilan atau pendapatan minimum pekerja di Indonesia dapat dinilai dan diukur dengan kebutuhan hidup minimum (KHM) atau yang saat ini disebut dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Perhitungan KHL berpedoman pada Permennakertrans No. 13 tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian KHL (Kemennakertrans 2012). Nilai KHL kepala keluarga di Desa Tanjung Aur II berada di angka Rp12 470 000 per tahun dengan kisaran KHL keluarga Rp12 470 000 hingga Rp71 870 000 per tahun. Sebanyak 212 KK penduduk Desa Tanjung Aur II (55.64%) belum mampu memenuhi KHL sebagaimana mestinya. Dari tingkat kesejahteraan penduduk, sebanyak 212 KK penduduk desa (55.64%) termasuk kategori keluarga pra sejahtera, sebanyak 49 KK (12.86%) termasuk kategori Keluarga Sejahtera 1, dan sebanyak 120 KK (31.50%) termasuk kategori Keluarga Sejahtera 2. Pengukuran tingkat kesejahteraan ini mengggunakan indikator kelebihan pendapatan rerata pendapatan terhadap KHL. Apabila KK memiliki kelebihan rerata pendapatan mencapai 30% KHL, maka KK tersebut dikategorikan Keluarga Sejahtera 1. Keluarga yang memiliki kelebihan rerata pendapatan lebih dari 30% KHL termasuk kategori Keluarga Sejahtera 2.
19
Interaksi Masyarakat dengan Hutan Negara Berdasarkan hasil pendataan, diketahui bahwa secara umum masyarakat Desa Tanjung Aur II memiliki interaksi dengan hutan. Interaksi tersebut dalam bentuk pemanfaatan lahan hutan sebagai lahan untuk bertani/berkebun, pemungutan hasil hutan kayu dan non kayu, serta untuk aktifitas berburu atau menangkap ikan. Namun, hutan yang dimaksud oleh masyarakat desa ini bukanlah hutan negara, melainkan hutan-hutan yang berada di sekitar wilayah permukiman di dalam atau di luar wilayah Desa Tanjung Aur II. Pemanfaatan kawasan hutan negara di wilayah Desa Tanjung Aur II umumnya dilakukan oleh warga yang berasal dari luar desa setempat. Biogeofisik Kawasan Hutan Kondisi Fisik dan Geografis Kawasan Hutan Berdasarkan hasil tumpang susun (overlay) peta sketsa administrasi wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan (BPS 2010) dengan peta penunjukkan kawasan hutan Provinsi Bengkulu beserta perubahannya (Kemenhut 2011), diketahui bahwa di Desa Tanjung Aur II terdapat kawasan hutan negara dengan fungsi lindung dan fungsi produksi. Luas kawasan hutan negara dalam wilayah Desa Tanjung Aur II ditunjukkan dalam Tabel 10. Tabel 10 Luas kawasan hutan negara di wilayah Desa Tanjung Aur II Hutan negara berdasarkan Fungsi Luas (ha) Hutan Lindung (HL) 4,661.00 Hutan Produksi Terbatas (HPT) 890.69 Jumlah (ha) 5,551.69 Hasil observasi lapangan dan interpretasi citra satelit memperlihatkan bahwa tutupan lahan hutan negara di wilayah Desa Tanjung Aur II terdiri dari hutan primer campuran, hutan sekunder campuran, kebun campuran, dan tubuh air. Data luasan dan sebaran masing-masing tutupan lahan kawasan hutan ditunjukkan dalam Tabel 11 dan Gambar 8. Tabel 11 Tutupan lahan hutan negara di wilayah Desa Tanjung Aur II Jenis tutupan lahan Luas (ha) Hutan primer campuran 5,036.95 Hutan sekunder campuran 48.17 Kebun campuran 428.97 Sungai/tubuh air 37.59 Jumlah (ha) 5,551.69 Kawasan hutan negara di wilayah Desa Tanjung Aur II secara umum berada dalam kelas kelerengan agak curam (16 sampai 25%) hingga curam (25 sampai 40%) dengan ketinggian berkisar 100 sampai 1,250 mdpl. Aksesibilitas menuju lokasi hutan negara ditempuh melalui jalur darat berupa jalan tanah yang sebagiannya telah diperkeras serta menyeberangi dua sungai, yaitu Sungai Air Pino dan Sungai Air Keruhan. Perjalanan menuju lokasi dapat ditempuh dengan mengendarai mobil, sepeda motor, atau berjalan kaki. Jika mengendarai sepeda motor, maka untuk menyeberangi sungai Air Pino harus menaiki rakit penyeberangan. Jarak tempuh dari pemukiman desa terdekat ± 9.5 km dengan waktu tempuh 20 hingga 30 menit mengendarai sepeda motor.
20
Gambar 8 Peta tutupan lahan hutan negara di wilayah Desa Tanjung Aur II Perizinan dan Pemanfaatan Kawasan Berdasarkan hasil overlay peta-peta perijinan penggunaan lahan dan hutan di Kabupaten Bengkulu Selatan, kawasan hutan negara di wilayah Desa Tanjung Aur II, baik di dalam kawasan HL maupun di dalam kawasan HPT belum dibebani izin atau hak kelola. Hanya saja dalam kenyataannya di areal hutan negara tersebut terdapat aktifitas pemanfaatan kawasan berupa kegiatan budidaya pertanian/perkebunan secara ilegal (perambahan). Berdasarkan hasil inventarisasi lapangan yang dilakukan oleh peneliti bekerjasama dengan Dinas Kehutanan dan ESDM Kabupaten Bengkulu Selatan, terdata sebanyak 169 KK yang melakukan aktifitas perambahan kawasan. Kawasan hutan negara yang dirambah tersebut dikonversi menjadi ladang/kebun dengan komoditi utama berupa kopi. Selain kopi, para petani perambah juga menanam karet, jengkol, durian, petai, pinang, cengkeh, nangka, jambu, sengon, pala, lada, cempedak, kakao, rambutan, dan sawit. Pemanfaatan lahan hutan negara untuk aktifitas bertani atau berkebun sangat umum dijumpai di Indonesia. Komoditi yang ditanam bervariasi seperti padi, sayur-sayuran, kopi, karet, kakao, kemiri, pohon penghasil buah, dan jenis-jenis lainnya (Jusuf dan Abdullah 2007; Jusuf dan Rauf 2011; Premono dan Lestari 2013). Berdasarkan Permenhut P.89/Menhut-II/2014 tentang Hutan Desa, salah satu kegiatan pemanfaatan yang dapat dilakukan di dalam kawasan hutan baik hutan lindung maupun hutan produksi adalah pemanfaatan kawasan atau lahan. Pemanfaatan kawasan atau lahan yang diperbolehkan adalah budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, penangkaran satwa liar, rehabilitasi satwa, budidaya sarang burung walet, dan budidaya hijauan makanan ternak.
21
Aktifitas bertani atau berkebun di atas lahan hutan negara dengan komoditi tanaman yang dibudidayakan masyarakat perambah tidak sesuai dengan peraturan mengenai Hutan Desa. Kondisi ini sama seperti yang ada di beberapa wilayah desa lainnya di Indonesia, salah satunya di Desa Bonto Maranu, Kecamatan Ulu Ere, Kabupaten Bantaeng sebagaimana yang diteliti Jusuf dan Rauf (2011). Meski tidak sesuai dengan aturan yang ada, aktifitas seperti berkebun dan berladang dapat menjadi pendukung pengelolaan hutan tergantung komoditas apa yang ditanam. Aktifitas yang dilakukan masyarakat di Desa Bonto Marannu seperti berkebun dan berladang dalam satu lahan dalam kawasan hutan dapat berdampak baik bagi hutan. Secara teknis konservasi, adanya variasi antara tanaman semusim di antara tegakan tanaman tahunan, akan meningkatkan penutupan lahan secara sempurna. Komposisi penutupan ini secara efektif akan menekan laju erosi dan sedimen dan mengurangi evaporasi sehingga cadangan air tanah akan tersedia lebih banyak. Untuk itu dalam pengelolaan lahan hutan negara ini disarankan untuk menggunakan sistem agroforestri. Selain untuk aktifitas bertani/berkebun, kawasan hutan negara di wilayah Desa Tanjung Aur II juga dimanfaatkan untuk aktifitas pemungutan hasil hutan kayu dan non kayu secara terbatas. Pemungutan kayu dilakukan oleh para petani perambah untuk keperluan membangun pondok kebun dan kayu bakar untuk memasak. Pemanfaatan hasil hutan kayu untuk kayu bangunan dan kayu bakar ini sama seperti yang umumnya dilakukan di daerah lain, seperti yang diteliti oleh Jusuf dan Abdullah (2007). Kayu untuk bahan bangunan diperoleh dengan menebang pohon jenis-jenis tertentu menggunakan gergaji rantai (chainsaw). Kayu bakar diperoleh dengan mengambil bagian-bagian tertentu dari pohon seperti ranting atau cabang dengan cara memotong, menebang, atau memungut. Masyarakat mengumpulkan kayu bakar dalam jumlah yang cukup banyak di musim kemarau untuk persediaan di musim penghujan. Hasil hutan bukan kayu yang dipungut oleh petani perambah berupa buahbuahan, rotan, umbut rotan, dan madu hutan. Namun pemungutan ini dilakukan secara terbatas dan hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga petani itu sendiri atau tidak dikomersilkan. Bentuk pemanfaatan kawasan hutan negara lainnya yang juga dilakukan oleh masyarakat petani perambah adalah berburu dan menangkap ikan secara terbatas. Perburuan umumnya dilakukan terhadap hewan yang menjadi hama atau pengganggu tanaman yang mereka tanam seperti babi dan rusa. Perburuan baru dilakukan apabila hewan tersebut sudah masuk ke areal kebun dan mengganggu tanaman yang ada. Aktifitas menangkap ikan dengan alat tangkap berupa pancing dan bubu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan protein (lauk) hewani keluarga petani perambah. Kegiatan menangkap ikan ini dilakukan di sungai-sungai di dalam atau sekitar hutan negara. Kegiatan ini tidak memiliki jadwal rutin dan hanya dilakukan saat keluarga petani perambah membutuhkan lauk ikan. Kelayakan dan Potensi Calon Areal Kerja Hutan Desa Dari hasil observasi lapangan dan wawancara dengan responden/informan diketahui bahwa kawasan hutan negara di wilayah Desa Tanjung Aur II memiliki potensi dan layak untuk diusulkan sebagai calon areal kerja Hutan Desa. Hasil identifikasi kelayakan variabel biogeofisik calon areal kerja Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II ditampilkan dalam Tabel 12.
22
Tabel 12
No.
Hasil identifikasi kelayakan calon areal kerja Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II
Variabel biogeofisik
Ketentuan Permenhut P.89/Menhut-II/2014 dan Perdirjen RLPS P.03/VSet/2009 Hutan negara Lindung/produksi
1. 2.
Status hutan Fungsi hutan
3. 4.
Perizinan Letak hutan
Tidak dibebani izin Dalam wilayah administrasi desa setempat
5.
Vegetasi dan penutupan lahan
Berhutan/tidak, hutan alam/tanaman
6.
Topografi
7.
Potensi pemanfaatan kawasan hutan lindung
Disesuaikan dengan tujuan pemanfaatan Kawasan: Budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, lebah, satwa liar, rehabilitasi satwa, dan hijauan makanan ternak Jasa lingkungan: Jasa aliran air, air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, penyerapan/ penyimpanan karbon Pemungutan HHBK: Rotan, madu, getah, buah, jamur, sarang walet
8.
Potensi pemanfaatan kawasan hutan produksi
Kawasan: Budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, lebah, penangkaran satwa, budidaya sarang burung walet Jasa lingkungan: Jasa aliran air, air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, penyerapan/ penyimpanan karbon Pemanfaatan hasil hutan kayu: Dilakukan pada areal pemanfaatan dan mengikuti aturan mengenai IUPHHK
Kondisi riil
Identifikasi kelayakan dan rekomendasi
Hutan negara Hutan lindung dan hutan produksi terbatas Tidak dibebani izin Dalam wilayah administrasi desa setempat Hutan primer campuran, hutan sekunder campuran, kebun campuran Agak curam - curam
Layak Layak
Kawasan: Budidaya tanaman tahunan kopi, karet, jengkol, dsb (beberapa menerapkan pola agroforestri sederhana) Jasa lingkungan: Pemanfaatan jasa aliran air dan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga petani, berburu dan menangkap ikan
Kurang sesuai, perlu dilakukan penyesuaian regulasi dan praktik budidaya Layak, perlu dioptimalkan dan dilakukan penyesuaian regulasi dan praktik pemanfaatan
Pemungutan HHBK: Rotan, madu, getah, buah, jamur, pakis sayur, tanaman obat, kulit kayu untuk konsumsi rumah tangga petani
Layak, perlu dioptimalkan dan dilakukan penyesuaian regulasi dan praktik pemanfaatan Kurang sesuai, perlu dilakukan penyesuaian regulasi dan praktik budidaya Layak, perlu dioptimalkan, dan dilakukan penyesuaian regulasi dan praktik pemanfaatan
Kawasan: Budidaya tanaman tahunan kopi, karet, jengkol, dsb (beberapa menerapkan pola agroforestri sederhana) Jasa lingkungan: Pemanfaatan jasa aliran air dan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga petani, berburu dan menangkap ikan Pemanfaatan hasil hutan kayu: Belum dilakukan, hanya sebatas pemungutan
Layak Layak Layak
Layak
Layak dan perlu dioptimalkan
23
Tabel 12 No. 8.
Hasil identifikasi kelayakan calon areal kerja Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II (lanjutan)
Variabel Biogeofisik Potensi pemanfaatan kawasan hutan produksi
Ketentuan Permenhut P.89/Menhut-II/2014 dan Perdirjen RLPS P.03/VSet/2009 Pemanfaatan HHBK (alam/tanaman): Rotan, sagu, nipah, bambu, getah, kulit kayu, daun, buah/biji, gaharu Pemungutan hasil hutan kayu: Maksimum 50 m3 per tahun per lembaga desa dan dimanfaatkan untuk pembangunan fasilitas umum Pemungutan HHBK: Rotan, madu, getah, buah/biji, daun, gaharu, kulit kayu, tanaman obat, umbi-umbian (maksimum 20 ton per tahun per lembaga desa)
Kondisi Riil
Identifikasi Kelayakan dan Rekomendasi
Pemanfaatan HHBK (alam/tanaman): Belum dilakukan, hanya sebatas pemungutan
Layak dan perlu dioptimalkan
Pemungutan hasil hutan kayu: Untuk bangunan pondok dan kayu bakar rumah tangga petani
Tidak sesuai dan perlu dilakukan pembinaan
Pemungutan HHBK: Rotan, madu, getah, buah, jamur, pakis sayur, tanaman obat, kulit kayu untuk konsumsi rumah tangga petani
Layak dan perlu dioptimalkan
Kawasan hutan negara di Desa Tanjung Aur II, baik HL maupun HPT, secara keseluruhan layak untuk diusulkan sebagai calon areal kerja Hutan Desa. Kawasan hutan yang tutupannya masih berupa hutan primer dapat dijadikan areal perlindungan, sedangkan kawasan hutan berupa kebun dan hutan sekunder dapat dijadikan areal pemanfaatan. Rencana areal kerja Hutan Desa sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 9.
Gambar 9 Peta rencana areal kerja Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II
24
Sumberdaya utama yang dapat dimanfaatkan adalah lahan, terutama lahanlahan hutan negara yang telah digarap oleh petani perambah. Hasil penelitian Gautama (2007) menyebutkan bahwa luas lahan merupakan salah satu faktor produksi yang penting yang mempengaruhi kegiatan usaha tani. Ukuran luas lahan yang dikelola turut menentukan tinggi rendahnya pendapatan yang diperoleh. Pemanfaatan lahan hutan untuk budidaya tanaman pertanian atau perkebunan dapat dioptimalkan dengan menggunakan sistem agroforestri secara intensif. Penerapan sistem agroforestri merupakan salah satu solusi untuk mengurangi tekanan terhadap hutan dan mengatasi masalah kebutuhan lahan pertanian atau perkebunan. Hasil penelitian Premono dan Lestari (2013) di Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah menunjukkan bahwa pola penanaman dengan sistem agroforestri yang dikembangkan oleh masyarakat layak secara finansial. Kawasan hutan negara di Desa Tanjung Aur II, baik yang sudah dibuka menjadi kebun maupun yang memiliki tutupan hutan yang masih bagus dapat dikelola lebih lanjut untuk aktifitas wisata alam seperti camping, off-road, dan hiking. Pemanfaatan jasa lingkungan seperti air bersih dan udara bersih pun cukup potensial untuk dilakukan di kawasan hutan negara di wilayah Desa Tanjung Aur II ini. Dari sisi potensi kayunya, kawasan hutan negara di wilayah Desa Tanjung Aur II, khususnya kawasan HPT memiliki potensi tegakan kayu yang dapat dimanfaatkan secara terbatas. Jenis-jenis kayu yang terdapat di areal HPT tersebut antara lain Kruing, Meranti, Kayu Balam, Kayu Lulus, Pulai, Jelutung Bukit, Kayu Hitam, Kayu Terap, Durian, dll. Untuk potensi hasil hutan bukan kayu, di areal HPT terdapat beberapa jenis rotan, pohon penghasil buah dan getah, serta pohon tempat lebah bersarang.
Sosekbud Masyarakat yang Berinteraksi Dengan Hutan Kondisi Sosial Kegiatan inventarisasi yang dilakukan oleh Dishut ESDM Bengkulu Selatan bersama peneliti berhasil mendata 169 KK yang melakukan aktifitas perambahan di kawasan hutan negara Desa Tanjung Aur II. Aktifitas perambahan telah berlangsung sejak tahun 2006 dengan luas garapan per KK berkisar 1 hingga 6 hektar. Hampir keseluruhan KK petani perambah tersebut adalah masyarakat dari luar Desa Tanjung Aur II. Asal daerah, luas total garapan, dan jumlah KK petani perambah ditunjukkan dalam Tabel 13. Dari 169 KK perambah dipilih secara aksidental sebanyak 47 orang KK sebagai responden penelitian. Kelas umur dan tingkat pendidikan responden ditunjukkan dalam Tabel 14. Berdasarkan keterangan dari responden/informan petani perambah yang ditemui di lokasi, tuntutan pemenuhan kebutuhan ekonomi menjadi motivasi mereka melakukan aktifitas bertani/berkebun di hutan negara tersebut. Ketidakmampuan untuk membeli lahan di daerah asal domisili, membuat mereka terpaksa membuka hutan di daerah yang jauh dari domisili mereka. Hasil penelitian Subarna (2011) menunjukkan bahwa ada hubungan yang nyata antara luas areal perambahan dengan tekanan ekonomi.
25
Tabel 13 Perambah hutan negara di wilayah Desa Tanjung Aur II Daerah asal domisili perambah No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43
Kabupaten
Kecamatan
Desa/Kelurahan
Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Bengkulu Selatan Seluma Seluma Seluma Seluma Seluma Seluma Seluma
Air Nipis Bunga Mas Kedurang Kedurang Kota Manna Kota Manna Kota Manna Kota Manna Manna Manna Manna Manna Manna Manna Manna Manna Manna Pino Pino Pino Pino Pino Raya Pino Raya Pino Raya Pino Raya Pino Raya Pino Raya Seginim Semidang Alas Semidang Alas Maras Ulu Manna Ulu Manna Ulu Manna Ulu Manna Ulu Manna Ulu Manna Semidang Alas Maras Semidang Alas Maras Semidang Alas Semidang Alas Maras Sukaraja Semidang Alas Maras Semidang Alas Jumlah
Arisan Tinggi Kuripan Pajar Bulan Tanjung Alam Gelumbang Kota Medan Padang Kapuk Ibul Gunung Sakti Jeranglah Rendah Jeranglah Tinggi Kayu Kunyit Ketaping Kota Padang Lubuk Sirih Ulu Padang Manis Talang Padang Beriang Beringin Datar Gedung Agung Masat Kembang Seri Nanjungan Pagar Gading Serang Bulan Tanjung Aur II Tungkal I Durian Seginim Maras Jauh Maras Tengah Batu Kuning Kayu Ajaran Lubuk Tapi Merambung Simpang Pino Talang Tinggi Gunung Bantan Gunung Kembang Gunung Mesir Jambat Akar Niur Padang Bakung Tebat Gunung
Sumber:
Jumlah perambah (KK) 1 1 12 1 1 3 2 10 2 2 2 2 4 4 1 7 1 2 1 1 6 1 1 3 9 3 1 1 11 11 1 1 2 7 25 1 1 1 1 17 3 1 1 169
Total luas garapan (ha) 2 2 38 6 2 10.5 3 19 6 3.5 4 4.5 8 10.5 2 16 2 4 2 2 12 2 2 6 15 11 3 2 23 24 1 3 3 10 52.5 2 2 2 3 36 5 2 3 371.5
Hasil inventarisasi perambah hutan Tahun 2015 (kerjasama peneliti dan Dishut ESDM Kabupaten Bengkulu Selatan)
26
Tabel 14 Kelas umur dan tingkat pendidikan responden Pendidikan terakhir yang ditamatkan Kelas umur No. (tahun) SD SMP SMA S-1 1 16 - 25 2 2 2 26 - 35 2 9 5 3 36 - 45 2 6 1 4 46 - 55 8 3 1 5 56 - 65 1 3 1 Jumlah (orang) 15 23 8
Jumlah (orang) 1 1
4 16 9 13 5 47
Selain membuka sendiri, sebagian perambah juga membeli kebun ini dari perambah terdahulu yang membuka lahan hutan tersebut. Masyarakat perambah, baik yang membuka lahan sendiri ataupun membeli ini kurang memiliki pemahaman mengenai status dan fungsi hutan. Mereka berpendapat bahwa lokasi hutan di mana saja yang belum dibuka dapat digarap oleh masyarakat. Ketidakjelasan batas kawasan hutan negara juga menjadi penyebab masyarakat ini berani membuka dan menggarap lahan hutan yang mereka anggap tidak bertuan. Masyarakat ini baru menyadari bahwa aktifitas mereka membuka dan menggarap lahan di lokasi hutan negara tersebut merupakan pelanggaran hukum setelah aparat Dishut ESDM Bengkulu Selatan melakukan patroli penertiban. Upaya-upaya penertiban yang dilakukan kurang membuahkan hasil karena para perambah memilih tetap bertahan menggarap lahan hutan negara walaupun berstatus melanggar hukum/ilegal. Para perambah tidak bersedia meninggalkan kebun-kebun yang merupakan sumber penghidupan utama mereka. Bahkan beberapa di antara mereka siap mempertaruhkan nyawanya bila lahan yang mereka garap akan diambil secara paksa oleh pihak manapun. Pemerintah daerah sendiri tidak mampu menjamin kehidupan para petani perambah ini apabila mereka dipaksa untuk menghentikan aktifitas penggarapan lahan hutan negara. Sedangkan, pembiaran terhadap aktifitas perambahan ini juga bukan merupakan tindakan yang dibenarkan secara hukum. Kondisi dilematis ini memerlukan sebuah penyelesaian yang dapat mengakomodir kepentingan kedua pihak. Implementasi program perhutanan sosial Hutan Desa secara baik dan benar diharapkan dapat menjadi solusi atas persoalan sosial, ekonomi, dan ekologi di kawasan hutan negara di Desa Tanjung Aur II ini. Modal Sosial Putnam (1993) menyatakan bahwa modal sosial merupakan fitur organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dalam melakukan fasilitasi dan koordinasi sebuah tindakan untuk mencapai keuntungan bersama. Lebih lanjut dijelaskan bahwa modal sosial dapat menutupi kekurangan modal fisik dan modal lainnya yang dimiliki masingmasing anggota sebuah komunitas. Dalam menyusun sebuah perencanaan atau strategi, modal sosial ini harus diukur atau dinilai terlebih dahulu. Hasil penelitian (Tabel 15) menunjukkan modal sosial dalam bentuk kepercayaan masyarakat penggarap lahan hutan negara di Desa Tanjung Aur II termasuk dalam kategori tinggi dengan total nilai 755. Seluruh masyarakat penggarap lahan hutan negara di Desa Tanjung Aur II percaya kepada aparatur
27
Desa Tanjung Aur II saat ini. Mayoritas masyarakat mempercayai warga lainnya, baik yang berasal dari desa yang sama ataupun warga dari desa lainnya (78.72% dan 95.74%). Tabel 15 Tingkat kepercayaan masyarakat No. 1. 2.
Indikator Kepercayaan antar sesama warga desa setempat Kepercayaan terhadap orang lain yang bukan warga desa setempat Kepercayaan terhadap aparatur desa setempat Kepercayaan terhadap aparatur negara (PNS/TNI/Polri) selain aparatur desa setempat Kepercayaan terhadap LSM
Tinggi n % 37 78.72
Kategori Sedang n % 10 21.28
n
Rendah % 0 0.00
45
95.74
2
4.26
0
0.00
47
100.00
0
0.00
0
0.00
31
65.96
16
34.04
0
0.00
15
31.91
25
53.19
7
14.89
Kepercayaan terhadap pihak 23 48.94 24 51.06 swasta Jumlah n 198 77 Jumlah n x skor 594 154 Jumlah kumulatif 755 Kategori Tinggi Keterangan: Skor 0 – 282 = Rendah, 283 – 564 = Sedang, 565 – 846 = Tinggi.
0
0.00
3. 4.
5. 6.
7 7
Kepercayaan terhadap aparatur negara seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di luar Aparatur Desa Tanjung Aur II masih termasuk kategori tinggi (65.96%). Sedangkan kepercayaan terhadap lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pihak swasta berada dalam kategori sedang (53.19% dan 51.06%). Kurang percayanya masyarakat penggarap lahan hutan negara ini terhadap LSM dan pihak swasta dikarenakan mereka belum memiliki pengalaman bekerjasama dengan kedua pihak tersebut. Menurut sebagian besar responden, umumnya LSM dan pihak swasta hanya akan memanfaatkan masyarakat untuk keuntungan mereka semata. Hal ini juga yang mendasari kurangnya kepercayaan responden penelitian terhadap kedua pihak ini. Berbeda dengan tingkat kepercayaan, modal sosial dalam bentuk pengetahuan dan penerapan norma/aturan setempat, khususnya yang terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam termasuk kategori rendah (Tabel 16). Tidak ada responden yang mengetahui norma atau aturan yang terkait dengan pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya hutan yang berlaku di Desa Tanjung Aur II. Berdasarkan hasil wawancara dengan perangkat desa, diketahui bahwa memang tidak ada norma atau aturan lokal yang mengatur mengenai pemanfaatan/pengelolaan sumberdaya hutan di Desa Tanjung Aur II. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan yang ada saat ini hanya berdasarkan pengetahuan dan kesadaran individu masyarakat semata. Namun, ke depannya perangkat desa menginginkan adanya norma atau aturan yang disepakati bersama oleh seluruh warga desa mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di wilayah Desa Tanjung Aur II.
28
Tabel 16 Tingkat pengetahuan dan penerapan norma/aturan setempat No. 1.
Indikator
Tinggi n % 0 0.00
Kategori Sedang n % 0 0.00
Pengetahuan warga terhadap norma/aturan setempat yang terkait pengelolaan/pemanfaatan SDA 2. Perwujudan/bentuk tekstual 0 0.00 0 0.00 norma/aturan 3. Mekanisme pembuatan/penetapan 0 0.00 0 0.00 norma/aturan 4. Tingkat kepatuhan warga terhadap 0 0.00 0 0.00 norma/aturan 5. Pengenaan sanksi terhadap 0 0.00 0 0.00 pelanggaran norma/aturan Jumlah n 0 0 Jumlah n x skor 0 0 Jumlah kumulatif 235 Kategori Rendah Keterangan: Skor 0 – 235 = Rendah, 236 – 470 = Sedang, 471 – 705 = Tinggi.
Rendah n % 47 100.00
47
100.00
47
100.00
47
100.00
47
100.00
235 235
Norma atau aturan merupakan entitas yang penting bagi masyarakat. Norma adalah entitas khusus yang membentuk modal sosial. Nilai sebagai sesuatu ide yang telah turun-temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok suatu masyarakat. Norma sosial juga akan sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk perilaku yang tumbuh dalam masyarakat (Putri dan Hidayat 2011). Keberadaan norma atau aturan pengelolaan sumberdaya hutan dalam Hutan Desa sangat penting untuk mengontrol perilaku masyarakat di dalam maupun di luar lembaga pengelola yang berdampak pada kelestarian sumberdaya Hutan Desa tersebut. Secara keseluruhan, modal sosial dalam wujud kerjasama dan jaringan berada pada kategori tinggi, dengan nilai 1,197 (Tabel 17). Seluruh responden menyatakan suka bekerjasama dan sama-sama mendapatkan keuntungan dari kerjasama dengan sesama warga, dengan warga dari luar desa, dan badan usaha (non bank/koperasi/rentenir) di dalam atau di luar Desa Tanjung Aur II. Badan usaha yang dimaksud di sini adalah tokeh (tengkulak) atau pedagang pengumpul tempat mereka menjual hasil panen. Preferensi kerjasama dan manfaat kerjasama dengan lembaga keuangan seperti bank, koperasi, dan rentenir berada pada level sedang (63.83% dan 89.36%). Mayoritas responden belum pernah bekerjasama dengan lembaga keuangan seperti bank, koperasi, dan rentenir. Sebagian besar responden juga beranggapan bahwa kerjasama dengan lembaga tersebut hanya akan menguntungkan lembaga keuangan itu saja. Jejaring usaha dan politik masyarakat penggarap lahan hutan negara di Desa Tanjung Aur II berada pada level sedang dan rendah. Jaringan usaha masyarakat adalah tokeh atau pedagang pengumpul tempat mereka menjual hasil panen. Tokeh-tokeh ini berada di Desa Talang Tinggi dan Desa Lubuk Tapi yang berbatasan langsung dengan Desa Tanjung Aur II. Untuk jaringan politik, seluruh responden menyatakan tidak memiliki jaringan politik sama sekali.
29
Tabel 17 Tingkat kerjasama dan jaringan No. 1.
Indikator
Tinggi n % 47 100.00
Kategori Sedang n % 0 0.00
Preferensi kerjasama dengan sesama warga 2. Manfaat/keuntungan kerjasama 47 100.00 0 0.00 dengan sesama warga 3. Preferensi kerjasama dengan 47 100.00 0 0.00 warga dari luar desa 4. Manfaat/keuntungan kerjasama 47 100.00 0 0.00 dengan warga dari luar desa 5. Preferensi kerjasama dengan 17 36.17 30 63.83 lembaga keuangan (bank/koperasi/rentenir/lainnya) 6. Manfaat/keuntungan kerjasama 5 10.64 42 89.36 dengan lembaga keuangan (bank/koperasi/rentenir/lainnya) 7. Preferensi kerjasama dengan badan 47 100.00 0 0.00 usaha lainnya di dalam/di luar desa 8. Manfaat/keuntungan kerjasama 47 100.00 0 0.00 dengan badan usaha lainnya di dalam/di luar desa 9. Relasi/jaringan usaha yang 0 0.00 47 100.00 dimiliki 10. Relasi/jaringan politik yang 0 0.00 0 0.00 dimiliki Jumlah n 304 119 Jumlah n x skor 912 238 Jumlah kumulatif 1,197 Kategori Tinggi Keterangan: Skor 0 – 470 = Rendah, 471 – 940 = Sedang, 941 – 1,410 = Tinggi.
n
Rendah % 0 0.00 0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
47
100.00
47 47
Walaupun tingkat pengetahuan dan penerapan norma/aturan setempat termasuk kategori rendah, secara keseluruhan masyarakat penggarap lahan hutan negara di Desa Tanjung Aur II memiliki modal sosial yang tinggi. Akumulasi modal sosial tersebut sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 18. Tabel 18
Akumulasi modal sosial masyarakat penggarap lahan hutan negara di Desa Tanjung Aur II No. Modal sosial Nilai Kategori 1. Tingkat kepercayaan masyarakat 755 Tinggi 2. Tingkat pengetahuan dan penerapan 237 Rendah norma/aturan setempat 3. Tingkat kerjasama dan jaringan 1,197 Tinggi Total 2,187 Tinggi
Keterangan: Total Skor 0 – 987 = Rendah, 988 – 1.974 = Sedang, 1,975 – 2,961 = Tinggi
Modal sosial merupakan salah satu faktor penting yang dapat mendukung keberhasilan implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II. Hasil penelitian Muspida (2007) menunjukkan bahwa pembangunan hutan kemiri di Kabupaten Maros merupakan wujud dari keterkaitan modal sosial masyarakat dalam bentuk saling percaya (mutual trust) dan jaringan (networking) yang secara bersama-sama melahirkan tindakan terkoordinasi membangun hutan kemiri di
30
kabupaten tersebut. Kepercayaan dan persatuan (kerjasama dan jaringan) masyarakat berperan positif dalam pencapaian tujuan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Modal sosial yang lemah akan mengundang munculnya pertentangan nilai, menonjolnya rasa saling tidak percaya, dan berkurangnya kepekaaan anggota kelompok masyarakat. Unsur kepercayaan sangat penting untuk membentuk para anggota kelompok masyarakat bersikap lebih peka terhadap anggota lainnya (Putri dan Hidayat 2011; Kamarni 2012; Suandi 2014) Modal sosial masyarakat yang kuat harus dikelola dengan baik dan diarahkan kepada kegiatan yang bersifat positif. Hal ini dapat menjadi salah satu kekuatan dalam implementasi Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II. Modal sosial yang kuat dalam bentuk aturan, kepercayaan, dan hubungan sosial memiliki fungsi yang efektif dalam menjaga kelestarian hutan. Semakin kuat modal sosial yang dimiliki masyarakat akan semakin berpengaruh positif bagi kelestarian hutan (Suhardjito dan Saputro 2008; Ekawati dan Nurrochmat 2014). Ekonomi Berdasarkan data dari responden, rerata tingkat pendapatan kepala keluarga petani penggarap lahan hutan negara di Desa Tanjung Aur II berkisar Rp9 000 000 sampai Rp78 175 000 per tahun. Pendapatan tersebut sepenuhnya bersumber dari usaha tani/kebun di lahan hutan negara. Angka KHL keluarga berkisar Rp12 470 000 hingga Rp71 870 000 per tahun. Sebanyak 22 KK responden (46.81%) belum mampu memenuhi KHL sebagaimana mestinya. Dari aspek kesejahteraannya, keluarga petani penggarap lahan hutan negara di Desa Tanjung Aur II dikategorikan menjadi 3 (tiga), yaitu Keluarga Pra Sejahtera, Keluarga Sejahtera 1, dan Keluarga Sejahtera 2. Kesejahteraan yang dimaksud di sini adalah kesejahteraan inti, yaitu kemampuan pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga. Cahyat et al. (2007) menjelaskan bahwa kesejahteraan inti terdiri dari kebutuhan dasar yang bersifat material (kebendaan) maupun bukan material, yang mencakup aspek gizi dan kesehatan, pengetahuan, dan kekayaan materi. Sebanyak 22 KK responden (46.81%) termasuk kategori Keluarga Pra Sejahtera dengan asumsi rerata pendapatan kepala keluarga selama setahun belum mampu memenuhi KHL keluarganya. Sebanyak 10 KK responden (21.28%) termasuk kategori Keluarga Sejahtera 1 dengan asumsi rerata pendapatan kepala keluarga selama setahun telah memenuhi KHL keluarganya dan memiliki kelebihan mencapai hingga 30%. Sebanyak 15 KK responden (31.91%) termasuk kategori Keluarga Sejahtera 2 dengan asumsi rerata pendapatan kepala keluarga selama setahun telah memenuhi KHL keluarganya dan memiliki kelebihan lebih dari 30%. Hasil panen/produksi yang bersumber dari lahan hutan negara yang digarap dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dimaksudkan bahwa hasil panen dapat dinikmati/dikonsumsi langsung oleh keluarga tanpa harus melalui proses pemasaran terlebih dahulu seperti buah-buahan dan sayuran. Sedangkan secara tidak langsung, hasil panen/produksi dijual dan diuangkan terlebih dahulu, misalnya buah kopi, getah karet, dan buah durian. Uang hasil penjualan tersebut selanjutnya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan keluarga lainnya.
31
Pemasaran hasil-hasil panen/produksi melalui tokeh (tengkulak) atau pedagang pengumpul di luar Desa Tanjung Aur II yang berdomisili di Desa Talang Tinggi dan Desa Lubuk Tapi Kecamatan Ulu Manna. Masyarakat memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan para tokeh. Untuk memenuhi berbagai keperluan yang bersifat mendesak, umumnya para petani perambah ini meminjam uang kepada tokeh tempat mereka menjual hasil panennya. Pinjaman uang tersebut dilunasi setelah mereka memanen hasil kebunnya dan menjualnya kepada tokeh yang meminjamkan uang kepada mereka. Berdasarkan pengalaman dari para responden, sebagian besar petani perambah mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Rendahnya kemampuan mereka dalam penyediaan bibit dan pengelolaan lahan yang baik menyebabkan produktifitas hasil kebunnya masih rendah. Sebagai contoh, dalam 1 tahun untuk 2,000 batang kopi hanya mampu menghasilkan ± 400 sampai 600 kg biji kopi kering. Menurut Hulupi dan Martini (2013), kopi jenis Robusta apabila dikelola secara optimal, dapat menghasilkan 0.7 sampai 1.5 kg biji kopi kering setiap panen. Dengan asumsi jumlah batang 2,000 per hektar dan periode panen 1 kali setahun, maka seharusnya dapat dihasilkan 1,400 sampai 3,000 kg biji kopi kering per hektar per tahunnya. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu berupa buah-buahan dan getah-getahan juga masih belum optimal. Tanaman-tanaman serbaguna seperti durian, jengkol, dan petai yang mereka tanam atau ada di lahan yang mereka garap sebagian besar belum/tidak berproduksi. Keterbatasan sumberdaya yang dimiliki menjadi hal utama yang menyebabkan kurangnya pemeliharaan tanaman oleh petani perambah hutan negara ini. Pengetahuan, Persepsi, dan Opini terhadap Hutan Desa Secara keseluruhan, masyarakat penggarap lahan hutan negara di Desa Tanjung Aur II tingkat pengetahuannya terhadap program Hutan Desa masih rendah. Mereka baru mendapatkan informasi mengenai program Hutan Desa dari peneliti. Sosialisasi ataupun penyampaian informasi melalui media lainnya oleh pihak pihak yang berwenang belum pernah mereka dapatkan. Meskipun tingkat pengetahuan dan pemahamannya masih rendah, namun masyarakat penggarap lahan hutan negara ini memiliki persepsi yang baik terhadap program Hutan Desa. Penjelasan dan diskusi bersama peneliti mengenai program ini telah memberikan keyakinan kepada masyarakat penggarap lahan hutan negara bahwa program Hutan Desa ini bermanfaat dan penting bagi mereka dan Desa Tanjung Aur II. Masyarakat juga meyakini bahwa program Hutan Desa dapat diimplementasikan di Desa Tanjung Aur II dengan dukungan dari semua pihak yang terkait. Dari sisi internal, masyarakat penggarap lahan hutan negara sangat mendukung dan berharap program ini dapat diimplementasikan. Mereka beranggapan implementasi program Hutan Desa dapat menjadi solusi bagi mereka untuk mendapatkan legalitas hak kelola hutan negara di wilayah Desa Tanjung Aur II. Para petani ini menyatakan kesiapan untuk bekerjasama dengan berbagai pihak terkait (stakeholder) dalam rangka implementasi program Hutan Desa. Masyarakat ini pun siap untuk membentuk dan berpartisipasi aktif dalam Lembaga Pengelola Hutan Desa dengan bimbingan dan pendampingan dari fasilitator. Yang utama, kelompok masyarakat ini menyatakan siap mematuhi
32
semua ketentuan yang ada dalam pengelolaan Hutan Desa dan siap untuk menerima konsekuensi hukum dan moral jika mereka tidak mematuhi ketentuan tersebut. Masyarakat petani perambah ini menginginkan agar hak-hak dalam pengelolaan Hutan Desa dapat diperoleh secara optimal bagi peningkatan taraf hidup mereka dan memberikan kontribusi positif bagi Desa Tanjung Aur II. Dari daftar keinginan atas hak kelola tersebut, yang paling penting dan menjadi kebutuhan mendesak adalah hak kelola lahan hutan negara. Hak kelola lahan hutan negara ini yang akan menghapus status atau stigma negatif mereka sebagai perambah hutan negara. Masyarakat penggarap lahan hutan negara ini menyatakan bahwa tidak ada hambatan dari sisi internal mereka terhadap rencana implementasi program Hutan Desa. Begitupun juga dari pihak-pihak lainnya, asalkan program ini dapat dijelaskan dengan baik sisi kemanfataannya bagi masyarakat penggarap lahan hutan negara, masyarakat Desa Tanjung Aur II, dan pihak-pihak lainnya. Implementasi program ini membutuhkan keberadaan tenaga fasilitator yang dekat dengan masyarakat, memiliki kemampuan teknis, manajerial, dan jaringan. Fasilitator ini harus siap untuk terjun langsung ke lapangan mendampingi masyarakat dalam proses inisiasi dan penguatan kelembagaan, penyampaian usulan, pelaksanaan program, hingga evaluasi dan pelaporan. Kelembagaan dan Potensi Calon Lembaga Pengelola Hutan Desa Pada awalnya, masyarakat perambah atau petani penggarap lahan hutan negara tanpa izin ini belum memiliki pranata kelembagaan yang secara khusus mewadahi komunitas dan aspirasinya. Namun, responden menyatakan bahwa semua petani penggarap lahan hutan negara ini menganggap satu sama lainnya sebagai keluarga. Mereka terhubung ikatan emosional rasa senasib dan sepenanggungan. Ikatan emosional inilah yang membuat mereka mau saling membantu dan peduli satu sama lain. Pengalaman organisasi yang dimiliki masyarakat penggarap lahan hutan negara ini pun sangat minim. Dari 47 orang responden, hanya 5 orang yang pernah mengikuti organisasi kemasyarakatan. Organisasi kemasyarakatan yang pernah diikuti dalam bentuk Kelompok Tani Ternak (3 orang), Kelompok Tani Padi (1 orang), dan Karang Taruna (1 orang). Dari 5 orang tersebut, saat ini hanya 1 orang yang masih berstatus sebagai pengurus/anggota aktif. Saat pelaksanaan pendataan petani perambah oleh Dishut ESDM Bengkulu Selatan dan peneliti, masyarakat penggarap lahan hutan negara ini mulai diarahkan untuk membentuk kelompok/komunitas. Tindak lanjut atas saran tersebut, terbentuklah 4 kelembagaan kelompok masyarakat penggarap lahan hutan negara. Pengelompokan dilakukan berdasarkan lokasi kebun (talang) dan/atau daerah asal perambah. Kelompok yang terbentuk yaitu: Kelompok Talang Air Benang Putih, Kelompok Talang Air Ragi, Kelompok Talang Air Karapan, dan Kelompok Talang Kedurang Maras. Masingmasing kelompok menunjuk seorang koordinator. Koordinator ini berfungsi sebagai pemimpin komunitas serta penghubung antar kelompok dan penghubung kelompok dengan pihak Desa Tanjung Aur II dan Dishut ESDM Bengkulu Selatan. Kelompok-kelompok inilah yang akan dipersiapkan lebih lanjut untuk menjadi Lembaga Pengelola Hutan Desa. Tentunya dalam pelaksanaannya, tetap harus berkolaborasi dengan perangkat dan perwakilan masyarakat Desa Tanjung Aur II.
33
Anantanyu (2011) menjelaskan bahwa peranan kelembagaan pertanian, termasuk di dalamnya kelembagaan petani, sangat menentukan keberhasilan pembangunan pertanian (termasuk kehutanan). Kelembagaan petani di pedesaan berkontribusi dalam akselerasi pengembangan sosial ekonomi petani; aksesibilitas pada informasi pertanian; aksesibilitas pada modal, infrastruktur, dan pasar; dan adopsi inovasi pertanian. Di samping itu, keberadaan kelembagaan petani akan memudahkan bagi pemerintah dan pemangku kepentingan yang lain dalam memfasilitasi dan memberikan penguatan pada petani. Kelembagaan lokal yang kuat merupakan syarat utama untuk keberlanjutan program, tidak terkecuali Hutan Desa. Penguatan kelembagaan dan aktor lokal merupakan tugas utama fasilitator untuk mencapai keberhasilan inisiasi dan pengembangan program Hutan Desa. Lembaga dan aktor lokal adalah penduduk setempat yang akan terus berada di desa tersebut dan diharapkan akan mengawal keseharian dan keberlanjutan program, tidak seperti fasilitator yang bisa jadi merupakan orang dari luar desa (Sahide 2011). Kajian sosekbud masyarakat Desa Tanjung Aur II dan masyarakat penggarap lahan hutan negara di wilayah Desa Tanjung Aur II menunjukkan bahwa kelembagaan calon pengelola Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II belum terbentuk. Dalam Permenhut P.89/Menhut-II/2014 disebutkan bahwa lembaga pengelola Hutan Desa yang selanjutnya disebut lembaga desa adalah lembaga kemasyarakatan desa yang ditetapkan dengan Peraturan Desa yang bertugas untuk mengelola Hutan Desa yang secara fungsional berada dalam organisasi desa dan bertanggung jawab kepada Kepala Desa. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai indikator dan kriteria lembaga pengelola Hutan Desa tersebut. Lembaga pengelola Hutan Desa idealnya adalah BUMDES yang beranggotakan masyarakat desa setempat. Akan tetapi, kondisi ini sulit terpenuhi dikarenakan BUMDES yang ada saat ini bergerak di bidang penyewaan tenda dan kursi dan belum berfungsi dengan baik. Keanggotaan BUMDES saat ini masih dirangkap oleh aparatur desa. Anggota lembaga pengelola Hutan Desa sebaiknya merupakan warga desa setempat yang berinteraksi langsung dengan hutan negara. Namun, kondisi ini pun sulit terpenuhi karena hanya 3 KK saja masyarakat Desa Tanjung Aur II berinteraksi langsung dengan kawasan hutan negara di desa tersebut. Masyarakat yang menggarap lahan hutan negara didominasi oleh warga dari luar Desa Tanjung Aur II. Kelembagaan pengelola Hutan Desa yang paling mungkin dibentuk adalah kelembagaan kolaborasi antara masyarakat penggarap lahan hutan negara dan perwakilan masyarakat Desa Tanjung Aur II. Kolaborasi merupakan salah satu bentuk pengorganisasian dan model kerjasama antar organisasi (Raharja 2010). Suporahardjo et al. (2005) menyatakan bahwa kolaborasi merupakan pendekatan pengorganisasian umum yang memiliki manfaat dan tingkat keberhasilan yang tinggi walaupun tidak mudah dalam pelaksanaannya. Membangun kolaborasi dimulai dengan membangun kesepahaman antar pihak (Winara dan Mukhtar 2011). Pihak yang dimaksud di sini adalah warga penggarap lahan hutan negara dan perwakilan warga Desa Tanjung Aur II. Tadjudin (2000) menyatakan bahwa kelembagaan kolaborasi yang dibangun akan sukses apabila ditopang oleh beberapa pilar antara lain dukungan sosial budaya, pemaduan kelembagaan, dukungan administratif, dukungan keuangan, dan reduksi konflik. Suporahardjo et al. (2005) menyebutkan bahwa dalam
34
membangun kolaborasi perlu mengakomodir berbagai kepentingan yang terkait dengan hak, tanggung jawab, aturan dan pendapatan. Pengelolaan Hutan Desa memerlukan kelembagaan yang kuat, yang mampu dibangun dengan dukungan semua stakeholder terkait. Keberadaan fasilitator yang mampu menjembatani proses pembentukan dan penguatan kapasitas kelembagaan pengelola Hutan Desa pun mutlak diperlukan. Instansi pemerintah pusat dan daerah dapat melaksanakan peran fasilitasinya dengan menunjuk fasilitator yang mampu mendampingi dan memfasilitasi pembangunan dan penguatan lembaga desa. Selain penyediaan SDM fasilitator, dukungan pembiayaan, sarana dan prasarana pun mutlak difasilitasi.
Dukungan Stakeholder Analisis pemangku kepentingan (stakeholder) dalam penelitian ini ditujukan untuk mengetahui posisi masing-masing stakeholder dalam implementasi program Hutan Desa. Pemetaan kepentingan, kekuatan dan pengaruh stakeholder bermanfaat dalam menilai kapasitas dan peranan masing-masing stakeholder di dalam implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II. Kepentingan Stakeholder Grindle (1980) dalam Febriani (2012) menjelaskan bahwa dukungan yang diberikan oleh stakeholder tergantung kepada tingkat kepentingan dan keuntungan yang diharapkan oleh stakeholder. Tingkat kepentingan stakeholder dapat dilihat berdasarkan persepsi mereka terhadap program dan bagaimana cara mereka menyikapi program ini. Selain persepsi, tingkat kepentingan stakeholder dalam implementasi program Hutan Desa dapat dilihat dari motivasi keterlibatan dan bentuk dukungan yang diberikan dalam implementasi program. Tabel 19 menunjukkan penilaian terhadap tingkat kepentingan masingmasing stakeholder. Tabel 19 Penilaian tingkat kepentingan stakeholder No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Stakeholder BPDAS Ketahun Dishut Prov. Bengkulu Dishut ESDM Kab. BS Bappeda Kab. BS DPRD Kab. BS PT Jatropha Solutions LSM Ulayat Universitas Bengkulu Aparatur Desa Tj. Aur II
Keterangan:
Hasil penilaian P1
P2
P3
Total nilai
15 15 15 15 14 15 15 14 14
14.5 13 13.5 11.5 14 13 15 13 13.3
11 10 8 5 5 5 5 5 5
40.5 38 36.5 31.5 33 33 35 32 32.3
Kategori Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
P1 : Persepsi stakeholder mengenai ketepatan implementasi program HD P2 : Motivasi keterlibatan stakeholder dalam implementasi program HD P3 : Bentuk dukungan stakeholder terhadap implementasi program HD Skor ≤ 30 (rendah), skor > 30 (tinggi)
35
Tabel 19 menunjukkan bahwa semua stakeholder memiliki kepentingan yang tinggi terhadap implementasi program Hutan Desa. BPDAS Ketahun, Dishut Provinsi Bengkulu, Dishut ESDM Bengkulu Selatan, dan LSM Ulayat merupakan stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan yang lebih tinggi daripada kelima stakeholder lainnya. Hal ini berkaitan dengan tugas dan fungsi stakeholder di bidang kehutanan dan pemberdayaan masyarakat. Stakeholder lainnya, yaitu PT Jatropha Solutions memiliki kepentingan yang cukup tinggi dalam implementasi program Hutan Desa. Hal ini terkait dengan keberadaan areal hak guna usaha (HGU) mereka yang berbatasan langsung dengan areal hutan negara (HPT) di wilayah Desa Tanjung Aur II. Partisipasi mereka nantinya dalam implementasi program Hutan Desa ini dapat menjadi wujud pelaksanaan program pertanggungjawaban sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR). Dengan bantuan mereka kepada masyarakat, khususnya para petani penggarap lahan hutan negara di sekitar areal HGU perusahaan, maka akan tercipta hubungan yang harmonis antara perusahaan dan masyarakat. Hal ini akan berimplikasi terhadap keamanan dan kenyamanan berusaha bagi perusahaan di Desa Tanjung Aur II. DPRD Kabupaten Bengkulu Selatan juga memiliki kepentingan yang cukup tinggi terhadap implementasi program Hutan Desa. Stakeholder ini berharap apabila implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II ini berhasil dan memberikan manfaat sesuai yang diharapkan, maka program ini dapat ditularkan juga ke desa-desa lainnya yang memenuhi persyaratan. Ikut andilnya wakil rakyat di dalam implementasi program Hutan Desa akan memberikan stigma positif bagi anggota dewan di mata masyarakat desa. Masyarakat akan merasa bahwa aspirasi mereka diperjuangkan oleh wakil rakyat di DPRD. Aparatur Desa Tanjung Aur II dalam implementasi program Hutan Desa memiliki kepentingan untuk mensejahterahkan masyarakat dan melindungi sumberdaya hutan yang ada di wilayah desanya. Peningkatan kesejahteraan masyarakat dan terkelolanya hutan negara di wilayah desa dapat menjadi indikator keberhasilan perangkat desa memimpin desanya. Bagi Bappeda Bengkulu Selatan dan Universitas Bengkulu, kepentingan mereka terlibat dalam implementasi Hutan Desa didasari keinginan untuk memberikan kontribusi positif bagi pembangunan daerah. Kedua stakeholder ini juga sependapat bahwa keberhasilan program ini akan memberikan citra positif bagi seluruh stakeholder sesuai dengan peran aktifnya masing-masing. Keberhasilan program juga akan menjadi bukti keberhasilan kerjasama antara stakeholder dengan masyarakat. Walaupun secara keseluruhan stakeholder memiliki kepentingan yang tinggi, namun tidak semua stakeholder telah mempersiapkan bentuk dukungan yang nyata terhadap rencana implementasi program Hutan Desa. Dari keseluruhan stakeholder, hanya BPDAS Ketahun dan Dishut Provinsi Bengkulu yang sudah memasukkan implementasi program Hutan Desa dalam dokumen perencanaan kegiatan dan keuangan selama 4 hingga 6 tahun terakhir. Dishut ESDM Bengkulu Selatan baru memasukkan implementasi program Hutan Desa dalam dokumen perencanaan kegiatan dan keuangan selama 1 hingga 3 tahun terakhir. Program ini pun belum dapat ditindaklanjuti karena tidak tersedianya anggaran dan belum dianggap sebagai program prioritas daerah. Stakeholder lainnya sama sekali
36
belum pernah memasukkan implementasi program Hutan Desa dalam dokumen perencanaan kegiatan dan keuangannya. Stakeholder yang sering melakukan penyampaian informasi mengenai program Hutan Desa kepada masyarakat adalah BPDAS Ketahun. Penyampaian informasi dilakukan melalui sosialisasi, penyuluhan, ataupun menggunakan media cetak (surat kabar, leaflet) dan elektronik (radio dan televisi). Intensitas penyampaian informasi disesuaikan dengan ketersediaan anggaran dalam DIPA instansi tersebut. Dishut Provinsi Bengkulu dan Dishut ESDM Bengkulu Selatan juga pernah menyampaikan informasi mengenai Hutan Desa kepada masyarakat, namun dengan intensitas yang lebih jarang. Kedua instansi ini pernah menyampaikan informasi mengenai Hutan Desa melalui media TV lokal dan kegiatan penyuluhan/sosialisasi peraturan perundangan bidang kehutanan. Stakeholder lainnya belum pernah sama sekali meyampaikan informasi mengenai program Hutan Desa kepada masyarakat. Dukungan stakeholder dalam bentuk penyiapan sumberdaya manusia untuk fasilitator/pendamping kegiatan Hutan Desa melalui pendidikan dan pelatihan sama sekali belum pernah dilakukan. Begitu juga strategi khusus implementasi program Hutan Desa di wilayah yang menjadi kewenangan masing-masing stakeholder sama sekali belum disusun. Pengaruh Stakeholder Seluruh stakeholder memiliki tingkat kepentingan yang tinggi terhadap implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II, namun tidak semuanya memiliki pengaruh yang besar dalam mensukseskan implementasi program tersebut. Pengaruh stakeholder terhadap implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Penilaian tingkat pengaruh stakeholder No.
Stakeholder
Hasil penilaian P1
P2
P3
P4
P5
Total nilai
Kategori
1.
BPDAS Ketahun
3
3
2.5
3
3
14.5
Tinggi
2.
Dishut Prov. Bengkulu
3
3
3
3
3
15
Tinggi
3.
Dishut ESDM Kab. BS
4.
Bappeda Kab. BS
5.
3
3
3
3
2.5
14.5
Tinggi
1.5
1.5
1.5
1
2.5
8
Rendah
DPRD Kab. BS
1
3
3
3
3
13
Tinggi
6.
PT Jatropha Solutions
3
2
3
1
2
11
Tinggi
7.
LSM Ulayat
1
3
3
3
2
12
Tinggi
8.
Universitas Bengkulu
2
2
2
2
1
9
Rendah
9. Aparatur Desa Tj. Aur II 3 2 3 1.7 3 12.7 Tinggi Keterangan: P1 : Tingkat keterlibatan/partisipasi stakeholder dalam implementasi HD P2 : Hubungan stakeholder dengan pihak lainnya yang terkait dengan HD P3 : Pengaruh stakeholder dalam pengambilan keputusan terkait HD P4 : Pengaruh stakeholder dalam memotivasi peran aktif pihak lainnya untuk memfasilitasi dan melakukan pendampingan HD P5 : Pengaruh stakeholder dalam pembiayaan fasilitasi/pendampingan HD Skor ≤ 10 (rendah), skor > 10 (tinggi)
37
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bappeda Kabupaten Bengkulu Selatan dan Universitas Bengkulu memiliki pengaruh yang rendah dalam implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II. Pihak Bappeda Kabupaten Bengkulu Selatan memiliki tingkat keterlibatan yang rendah dalam implementasi program Hutan Desa. Terkait dengan program Hutan Desa, stakeholder ini tidak atau belum pernah berkomunikasi dan bekerjasama dengan stakeholder lainnya. Dalam hal pengambilan keputusan terkait implementasi dan memotivasi peran aktif pihak lainnya untuk memfasilitasi dan melakukan pendampingan program Hutan Desa, pengaruh Bappeda Kabupaten Bengkulu Selatan pun termasuk kategori rendah. Sedangkan dalam penganggaran biaya pelaksanaan fasilitasi dan pendampingan program Hutan Desa, pengaruh stakeholder ini termasuk kategori tinggi. Hal ini dimungkinkan mengingat Bappeda merupakan salah satu instansi di daerah yang memiliki kewenangan menyusun rencana anggaran pendapatan dan belanja daerah (RAPBD). Sejauh ini, Universitas Bengkulu memiliki tingkat keterlibatan yang termasuk kategori sedang dalam implementasi program Hutan Desa di wilayah Provinsi Bengkulu. Stakeholder ini relatif jarang berkomunikasi dan bekerjasama dengan stakeholder lainnya dalam implementasi program Hutan Desa, terkecuali dengan BPDAS Ketahun dan Dishut Provinsi Bengkulu. Dalam hal pengambilan keputusan terkait implementasi dan memotivasi peran aktif pihak lainnya untuk memfasilitasi dan melakukan pendampingan program Hutan Desa, pengaruh Universitas Bengkulu termasuk kategori sedang. Sedangkan dalam penganggaran biaya pelaksanaan fasilitasi dan pendampingan program Hutan Desa, pengaruh stakeholder ini termasuk kategori rendah. BPDAS Ketahun, Dishut Provinsi Bengkulu, dan Dishut ESDM Bengkulu Selatan memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi dalam implementasi program Hutan Desa. Ini sesuai dengan logical framework peraturan Menteri Kehutanan yang mengatur tentang Hutan Desa. BPDAS Ketahun selaku UPT Kementerian Kehutanan banyak berperan dalam proses penetapan areal kerja Hutan Desa, Dishut Provinsi banyak berperan dalam proses penetapan hak pengelolaan Hutan Desa, dan Dishut Kabupaten akan lebih banyak berperan dalam proses pengusulan areal kerja dan proses izin usaha pemanfaatan Hutan Desa. Dalam rangkaian proses-proses tersebut, stakeholder ini selalu berkomunikasi dan bekerjasama dengan stakeholder lainnya. Dalam proses pengambilan keputusan terkait implementasi dan memotivasi peran aktif pihak lainnya untuk memfasilitasi dan melakukan pendampingan program Hutan Desa, pengaruh ketiga stakeholder ini termasuk kategori tinggi. Dalam hal penganggaran biaya pelaksanaan fasilitasi dan pendampingan program Hutan Desa, ketiga stakeholder ini pun memiiki pengaruh yang tinggi. Stakeholder ini dapat mengusulkan biaya fasilitasi dan pendampingan program Hutan Desa dalam dokumen kegiatan dan anggaran mereka. Stakeholder yang memiliki pengaruh yang tinggi namun tingkat keterlibatannya rendah dalam implementasi program Hutan Desa secara langsung adalah DPRD Kabupaten Bengkulu Selatan. Stakeholder ini memiliki hubungan yang baik dengan pihak lainnya yang terkait dengan implementasi program Hutan Desa, khususnya di lingkup wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan. DPRD memiliki pengaruh yang besar dalam pengambilan keputusan terkait implementasi program, memotivasi peran aktif pihak lainnya untuk memfasilitasi dan
38
melakukan pendampingan program, serta penganggaran biaya pelaksanaan fasilitasi dan pendampingan program Hutan Desa. Pengaruh yang besar ini dimungkinkan terkait dengan fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan yang melekat atau menjadi kewenangan DPRD. Perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Jatropha Solutions memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi dalam implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II. Akses utama yang paling mudah dilewati untuk menuju lokasi hutan negara di Desa Tanjung Aur II adalah melalui jalan yang dibuat oleh perusahaan ini. Stakeholder ini pun siap berperan aktif dan membantu proses implementasi Hutan Desa di wilayah Desa Tanjung Aur II. Namun, perusahaan ini jarang berkomunikasi dan bekerjasama dengan stakeholder lainnya selain dengan perangkat Desa Tanjung Aur II. Dalam pengambilan keputusan terkait implementasi program, perusahaan memiliki pengaruh yang besar. Dengan kekuatan finansialnya, diyakini perusahaan dapat mempengaruhi keputusan sebagian masyarakat penggarap lahan hutan negara terhadap implementasi program Hutan Desa. Namun, dalam hal memotivasi peran aktif pihak lainnya untuk memfasilitasi dan melakukan pendampingan program, stakeholder ini memiliki tingkat pengaruh yang rendah. Untuk penganggaran biaya pelaksanaan fasilitasi dan pendampingan program Hutan Desa, perusahaan memiliki pengaruh sedang berupa kemampuan untuk menganggarkan dalam program CSR. LSM Ulayat memiliki pengaruh yang tinggi dalam implementasi program Hutan Desa walaupun stakeholder ini belum pernah terlibat secara langsung dalam proses implementasi program Hutan Desa sebelumnya. Stakeholder ini memiliki hubungan yang baik dengan semua stakeholder yang terkait dengan implementasi program Hutan Desa, di lingkup Provinsi Bengkulu maupun di wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan. Lembaga ini memiliki pengaruh yang besar dalam pengambilan keputusan terkait implementasi program serta memotivasi peran aktif pihak lainnya untuk memfasilitasi dan melakukan pendampingan program. Kedekatan, kemampuan, serta pengalaman dalam pemberdayaan dan advokasi masyarakat menjadikan lembaga ini mampu mempengaruhi perangkat desa dan masyarakat dalam mengambil keputusan terkait implementasi program. Lembaga ini memiliki pengaruh kategori sedang dalam hal penganggaran biaya pelaksanaan fasilitasi dan pendampingan program Hutan Desa. Biaya fasilitasi dan pendampingan program dapat dianggarkan melalui usulan kepada pihak sponsor atau lembaga donor. Perangkat Desa Tanjung Aur II selaku stakeholder yang paling mengenal biogeofisik desa, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di desanya memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi dalam implementasi program Hutan Desa ini. Peran aktif pihak ini sangat berpengaruh dalam keberhasilan implementasi program. Pihak ini yang akan terlibat secara penuh dalam setiap proses implementasi program bersama-sama dengan lembaga pengelola Hutan Desa. Komunikasi dan kerjasama antara perangkat Desa Tanjung Aur II dengan stakeholder lainnya terjalin cukup baik. Perangkat Desa Tanjung Aur II memiliki pengaruh yang besar dalam pengambilan keputusan terkait implementasi program, namun memiliki tingkat pengaruh sedang dalam memotivasi peran aktif pihak lainnya untuk memfasilitasi dan melakukan pendampingan program. Dalam hal penganggaran biaya pelaksanaan fasilitasi dan pendampingan program Hutan Desa, perangkat desa memiliki pengaruh yang besar. Mereka dapat mengalokasikan anggaran tersebut di dalam rencana kegiatan dan keuangan desa dalam bentuk RPJMDes dan Rencana Tahunan Desa.
39
Kekuatan Stakeholder Pengaruh stakeholder tergantung pada kekuatan yang dimiliki stakeholder tersebut. Berdasarkan taksonomi kekuatan French dan Raven (Yukl 2010), terdapat lima kategori kekuatan, yaitu: reward power, coercive power, legitimate power, expert power dan referent power. Reward power adalah kekuatan dimana orang yang ditargetkan menjadi patuh agar dapat memperoleh imbalan (reward) yang diyakini dimiliki oleh stakeholder. Sedangkan coercive power merupakan kekuatan dimana orang yang ditargetkan menjadi patuh agar dapat menghindari hukuman yang diyakini dimiliki oleh stakeholder. Kekuatan legitimasi (legitimate power) merupakan kekuatan dimana orang yang ditargetkan menjadi patuh karena percaya bahwa stakeholder mempunyai hak untuk meminta dan orang yang ditargetkan mempunyai kewajiban untuk mematuhinya. Expert power adalah kekuatan dimana orang yang ditargetkan menjadi patuh karena percaya bahwa stakeholder mempunyai pengetahuan mengenai cara terbaik untuk melakukan sesuatu. Referent power adalah kekuatan yang menyebabkan orang yang ditargetkan menjadi patuh karena ia mengagumi stakeholder dan ingin memperoleh penerimaan dari stakeholder tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti mengembangkan klasifikasi kekuatan stakeholder tersebut menjadi tujuh indikator, yaitu: 1) pengetahuan dan pemahaman mengenai peraturan Hutan Desa; 2) pengalaman melakukan fasilitasi dan pendampingan program Hutan Desa/Perhutanan Sosial/pemberdayaan masyarakat lainnya; 3) SDM yang dapat melaksanakan fasilitasi dan pendampingan program Hutan Desa; 4) sumberdaya finansial (dana) yang dianggarkan untuk pelaksanaan kegiatan fasilitasi dan pendampingan program Hutan Desa; 5) kemampuan untuk memberikan penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) terhadap pelaksana/pengelola Hutan Desa; 6) kemampuan untuk memerintah/menetapkan hak dan kewajiban dalam pengelolaan Hutan Desa; serta 7) kedekatan dengan kelompok masyarakat target (masyarakat Desa Tanjung Aur II). Penilaian potensi kekuatan stakeholder dalam implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II ditunjukkan dalam Tabel 21. Tabel 21 menunjukkan bahwa stakeholder yang memiliki potensi kekuatan yang besar dalam implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II adalah BPDAS Ketahun, Dishut Provinsi Bengkulu, Dishut ESDM Kabupaten Bengkulu Selatan, LSM Ulayat, dan Aparatur Desa. BPDAS Ketahun sebagai UPT Kemenhut yang terbiasa menangani kegiatan perhutanan sosial memiliki kekuatan terbesar. Stakeholder ini memiliki semua potensi kekuatan untuk implementasi program, namun stakeholder ini belum mengenal dan belum berinteraksi dengan kelompok masyarakat target di Desa Tanjung Aur II. Dishut Provinsi Bengkulu juga memiliki potensi kekuatan yang hampir sama dengan BPDAS Ketahun. Hanya saja, selain belum mengenal dan berinteraksi dengan masyarakat target, stakeholder ini juga kekuatan finansialnya termasuk kategori sedang. Saat ini dana fasilitasi program Hutan Desa yang bisa dianggarkan Dishut Provinsi Bengkulu sangat terbatas dan bersumber dari dana dekonsentrasi.
40
Dishut ESDM Kabupaten Bengkulu Selatan selaku leading sector kehutanan di tingkat kabupaten memiliki potensi kekuatan yang besar dalam implementasi program Hutan Desa. Stakeholder ini memang belum pernah melakukan fasilitasi program Hutan Desa, tetapi mereka memiliki pengalaman fasilitasi program perhutanan sosial lainnya seperti HKm, HTR, dan Hutan Rakyat. Stakeholder ini memiliki sumberdaya manusia berlatar belakang pendidikan sarjana kehutanan atau pertanian yang cukup memadai. Hanya saja sumberdaya manusia tersebut belum pernah mendapatkan pelatihan sebagai fasilitator Hutan Desa. Kedekatan dengan masyarakat target, kekuatan coercive dan legitimate juga dimiliki oleh stakeholder ini terkait dengan relationship dan kewenangan (authority) yang mereka miliki selaku instansi yang berkedudukan di daerah. Kelemahan stakeholder ini adalah dalam hal pembiayaan pelaksanaan kegiatan fasilitasi dan pendampingan program Hutan Desa. Hingga saat ini Dishut ESDM Kabupaten Bengkulu Selatan belum mampu menganggarkan biaya tersebut dengan alasan keterbatasan dana APBD. Tabel 21 Penilaian tingkat kekuatan stakeholder No.
Stakeholder
Hasil penilaian P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
Total nilai
Kategori
1.
BPDAS Ketahun
3
3
3
3
2.5
2.5
1
18
Tinggi
2.
Dishut Prov. Bengkulu
3
2.5
2.5
2
2.5
2.5
1
16
Tinggi
3.
Dishut ESDM Kab. BS
3
2
2
1
2.5
3
2.5
16
Tinggi
4.
Bappeda Kab. BS
2
1
1
1
1
1
1
8
Rendah
5.
DPRD Kab. BS
2
1
1
1
1
1
1
8
Rendah
6.
PT Jatropha Solutions
2
1
1
1
1
1
3
10
Rendah
7.
LSM Ulayat
2
3
3
1
2
2
3
16
Tinggi
8.
Universitas Bengkulu
3
2
3
1
1
1
2
13
Rendah
9. Aparatur Desa Tj. Aur II 2 2 1 1 3 3 3 15 Tinggi Keterangan: P1 : Pengetahuan dan pemahaman mengenai peraturan HD P2 : Pengalaman melakukan fasilitasi dan pendampingan program P3 : SDM yang dapat melaksanakan fasilitasi dan pendampingan program HD P4 : Biaya yang dianggarkan untuk pelaksanaan kegiatan fasilitasi dan pendampingan program HD P5 : Kemampuan untuk memberikan penghargaan dan sanksi terhadap pelaksana/pengelola HD P6 : Kemampuan untuk memerintah/menetapkan hak dan kewajiban dalam pengelolaan HD P7 : Kedekatan dengan kelompok masyarakat target Skor ≤ 14 (rendah), skor > 14 (tinggi)
Kelemahan dalam hal pembiayaan fasilitasi dan pendampingan program juga dimiliki oleh LSM Ulayat dan Perangkat Desa Tanjung Aur II. Namun kedua stakeholder ini sebenarnya memiliki peluang untuk mendapatkan biaya tersebut. LSM Ulayat dapat mengajukan biaya fasilitasi dan pendampingan kepada lembaga donor/sponsor, asalkan pogram Hutan Desa masuk di dalam program kerja mereka. Hingga saat wawancara dengan peneliti, pimpinan lembaga ini menjelaskan bahwa mereka sama sekali belum terlibat atau dilibatkan dalam fasilitasi Hutan Desa di Provinsi Bengkulu. Namun, jika diperlukan pihak LSM Ulayat sangat bersedia untuk terlibat atau dilibatkan.
41
Kelemahan dari sisi finansial untuk fasilitasi program Hutan Desa yang dimiliki oleh Aparatur Desa Tanjung Aur II dapat teratasi dengan memasukkan program Hutan Desa ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). Perangkat desa belum memasukkan program ini ke dalam RPJMDes karena informasi mengenai program Hutan Desa baru mereka dapatkan dari peneliti dan pemahaman mereka masih terbatas. Bila sudah ada kepastian bahwa program Hutan Desa dapat diimplementasikan, maka program akan segera disisipkan dalam perubahan RPJMDes. Selain keterbatasan pembiayaan, kelemahan lainnya yang dimiliki perangkat desa adalah keterbatasan SDM yang mampu untuk menjadi fasilitator/pendamping program Hutan Desa. Untuk itu diperlukan warga desa yang memiliki pengetahuan, kesanggupan, dan dedikasi untuk mendukung keberhasilan program Hutan Desa ini. Tentunya ini bisa didapatkan melalui proses seleksi, pendidikan, dan pelatihan yang cukup dari pemerintah dan pihak terkait lainnya. Bappeda Kabupaten Bengkulu Selatan, DPRD Bengkulu Selatan, PT Jatropha Solutions, dan Universitas Bengkulu merupakan stakeholder dengan kategori tingkat kekuatan rendah. Hanya stakeholder Universitas Bengkulu yang memiliki kemampuan pengetahuan dan pemahaman mengenai program, pernah mendampingi program, dan memiliki SDM yang siap menjadi fasilitator. Dari keempat stakeholder ini, hanya PT Jatropha Solutions yang sangat mengenal dan berinteraksi cukup lama dengan kelompok masyarakat target. Hal ini dimungkinkan karena posisi areal HGU mereka berdekatan dengan lokasi masyarakat target. Posisi Stakeholder Berdasarkan Kepentingan, Pengaruh, dan Kekuatan, serta Potensi Dukungannya Posisi stakeholder berdasarkan tingkat kepentingan, kekuatan dan pengaruh yang dimilikinya ditentukan dengan menggunakan analisis kategori gabungan yang diadopsi dari Reed et al. (2009), Silverstein et al. (2009), dan Febriani (2012). Hasil analisis kategori gabungan sebagaimana ditunjukkan dalam matrik pada Tabel 22. Tabel 22 Matrik posisi stakeholder berdasarkan kekuatan, kepentingan, dan pengaruh (hasil analisis stakeholder) Tingkat kepentingan stakeholder
Tingkat pengaruh stakeholder Tingkat kekuatan stakeholder
Pengaruh rendah
Pengaruh tinggi
Kekuatan rendah
-
-
Kekuatan tinggi
-
-
Kekuatan rendah
Bappeda Kab BS Universitas Bengkulu
DPRD Kab BS PT Jatropha Solutions
-
BPDAS Ketahun Dishut Prov Bengkulu Dishut ESDM Kab BS LSM Ulayat Aparatur Desa Tj Aur II
Kepentingan rendah
Kepentingan tinggi Kekuatan tinggi
42
Dari matrik di atas terlihat bahwa terdapat tiga kelompok stakeholder di dalam rencana implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II yang diilustrasikan dengan warna. Ketiga kelompok stakeholder tersebut, yaitu: 1) Kelompok Hijau, yaitu stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan, pengaruh dan kekuatan yang tinggi. Stakeholder pada kelompok ini merupakan stakeholder kunci yang berpengaruh besar bagi keberhasilan implementasi program Hutan Desa. 2) Kelompok Kuning, yaitu kelompok yang memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi, namun memiliki tingkat kekuatan yang rendah. Kelompok ini merupakan kelompok pendukung yang harus dilibatkan dalam implementasi program Hutan Desa. 3) Kelompok Oranye, yaitu stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan yang tinggi namun pengaruh dan kekuatannya rendah. Stakeholder ini merupakan kelompok komplementer atau pelengkap. Jika diperlukan dukungan tambahan, maka stakeholder ini dapat diajak untuk terlibat dalam implementasi program Hutan Desa. Ada lima stakeholder yang akan menjadi penentu keberhasilan implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II, yaitu: BPDAS Ketahun, Dishut Provinsi Bengkulu, Dishut ESDM Kabupaten Bengkulu Selatan, LSM Ulayat, dan Aparatur Desa Tj Aur II. Kelima stakeholder ini harus berkolaborasi dan mengoptimalkan perannya satu sama lain. Jusuf dan Rauf (2011) menyatakan implementasi Hutan Desa dapat berhasil bila dilakukan dengan model pengelolaan kolaboratif melalui keterlibatan berbagai stakeholder yang berkepentingan baik pemerintah, masyarakat, perguruan tinggi maupun organisasi non pemerintah. Sesuai alur proses implementasi program di dalam peraturan mengenai Hutan Desa, kolaborasi ini dapat dibangun sejak proses penentuan calon areal kerja Hutan Desa dan fasilitasi pembentukan lembaga desa. Guna kelancaran pelaksanaan fasiltasi program, stakeholder kunci seyogyanya melibatkan pihak legislatif untuk mendukung penganggaran fasilitasi program dan menjadikan program Hutan Desa sebagai salah satu prioritas pembangunan daerah. Keberadaan PT Jatropha Solutions dengan dukungan sarana prasarana yang dimilikinya harus dimanfaatkan juga dengan baik oleh stakeholder kunci untuk kelancaran fasilitasi program. Untuk semakin memperlancar fasilitasi program, stakeholder pelengkap seperti Bappeda Kabupaten Bengkulu Selatan dan Universitas Bengkulu dapat juga dilibatkan oleh stakeholder kunci sesuai kapasitasnya masing-masing. Potensi dukungan yang mungkin disediakan/ difasilitasi oleh masing-masing stakeholder kunci, pendukung, dan pelengkap sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 23. Dalam Permenhut P.89/Menhut-II/2014 fasilitasi didefinisikan sebagai upaya penyediaan kemudahan dalam memberikan hak pengelolaan Hutan Desa dengan cara pengembangan kelembagaan, pengembangan usaha, bimbingan teknologi, pendidikan dan latihan, serta akses terhadap pasar. Tujuan fasilitasi adalah untuk meningkatkan kemampuan desa dan lembaga desa dalam penyelenggaraan Hutan Desa. Bentuk fasilitasi dapat berupa pelaksanaan pendidikan dan pelatihan, pembentukan dan pengembangan kelembagaan, pengusulan areal kerja, bimbingan penataan batas areal kerja, bimbingan penyusunan rencana kerja, pengembangan usaha, bimbingan teknologi, serta akses
43
terhadap pasar dan modal. Fasilitasi dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah sesuai kewenangannya. Perguruan tinggi/LPPM, LSM/NGO, lembaga keuangan, koperasi, BUMN/BUMD/BUMS dapat membantu pelaksanaan fasilitasi setelah berkoordinasi dengan instansi pemerintah terkait sesuai kewenangannya. Tabel 23 Potensi dukungan stakeholder dalam implementasi Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II No. Stakeholder Potensi dukungan 1. BPDAS Ketahun Pelaksanaan diklat, pembentukan dan pengembangan kelembagaan, pengusulan areal kerja, bimbingan teknis, pengembangan usaha, akses pasar dan modal, fasilitasi anggaran 2. Dinas Kehutanan Provinsi Pelaksanaan diklat, pembentukan dan Bengkulu pengembangan kelembagaan, pengusulan HPHD, bimbingan teknis, pengembangan usaha, akses pasar dan modal, fasilitasi anggaran 3. Dinas Kehutanan ESDM Pelaksanaan diklat, pembentukan dan Kabupaten Bengkulu Selatan pengembangan kelembagaan, pengusulan areal kerja, HPHD, IUPHHKHD, bimbingan teknis, pengembangan usaha, akses pasar dan modal, fasilitasi anggaran 4. LSM Ulayat Pembentukan dan pengembangan kelembagaan, pengusulan areal kerja, bimbingan teknis, pengembangan usaha, akses pasar dan modal, fasilitasi anggaran 5. Aparatur Desa Tanjung Aur II Pembentukan dan pengembangan kelembagaan, pengusulan areal kerja, HPHD, IUPHHKHD, fasilitasi anggaran, sarana dan prasarana 6. DPRD Kab BS Fasilitasi anggaran, pengembangan usaha, akses pasar dan modal 7. PT Jatropha Solutions Pengembangan usaha, akses pasar dan modal, sarana dan prasarana 8. Bappeda Kabupaten Fasilitasi anggaran Bengkulu Selatan 9. Universitas Bengkulu Bimbingan teknologi, pengembangan usaha, akses pasar dan modal
Strategi Implementasi Hutan Desa Faktor Internal dan Eksternal Implementasi Program Hutan Desa Implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II dapat dipengaruhi berbagai faktor, baik yang berasal dari dalam desa (internal) maupun dari lingkungan di luar atau sekitar desa (eksternal). Identifikasi faktor internal dan eksternal dilakukan terhadap hasil kajian biogeofisik, kajian sosekbud, dan analisis stakeholder. Faktor-faktor internal dan eksternal yang berhasil diidentifikasi didiskusikan bersama stakeholder terpilih dan dilakukan penilaian.
44
Faktor Internal Faktor internal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) yang bersumber atau terdapat di dalam lingkungan internal desa/masyarakat di dalam wilayah Desa Tanjung Aur II. Berdasarkan hasil diskusi bersama stakeholder terpilih, diketahui faktor internal yang diduga akan berpengaruh terhadap implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II, sebagai berikut: a. Kekuatan (strengths) Keberadaan lahan hutan negara (HL dan HPT) dengan luas yang memadai dalam wilayah desa Masyarakat memiliki modal sosial yang kuat dalam bentuk kepercayaan (trust) terhadap sesama, pemerintah, dan pihak lain Dukungan aparatur desa, tokoh masyarakat, dan masyarakat penggarap lahan hutan negara b. Kelemahan (weaknesses) Batas wilayah administrasi desa belum definitif Komoditi utama yang dibudidayakan di lahan hutan negara bukan tanaman kehutanan (pohon penghasil kayu) Rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap program Hutan Desa Tidak ada norma/aturan dalam pengelolaan sumberdaya alam (termasuk hutan) yang berlaku secara khusus di desa setempat Setiap faktor kekuatan dan kelemahan selanjutnya dinilai dengan meminta bantuan stakeholder terpilih. Hasil penilaian bobot dan peringkat masing-masing faktor sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 24. Tabel 24 Hasil evaluasi faktor internal Faktor internal Kekuatan/Strengths (S) a. Keberadaan hutan negara (HL dan HPT) dengan luas yang memadai dalam wilayah desa b. Masyarakat desa memiliki modal sosial yang kuat dalam bentuk kepercayaan (trust) terhadap sesama, pemerintah, dan pihak lain c. Dukungan aparatur desa, tokoh masyarakat, dan masyarakat penggarap lahan hutan negara Jumlah Kelemahan/Weaknesses (W) d. Batas wilayah administrasi desa belum definitif e. Komoditi utama yang dibudidayakan di lahan hutan negara bukan tanaman kehutanan (pohon penghasil kayu) f. Rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap program Hutan Desa g. Tidak ada norma/aturan dalam pengelolaan sumberdaya alam (termasuk hutan) yang berlaku secara khusus di desa setempat Jumlah Kecenderungan terhadap faktor internal
Bobot
Rating
Total skor
0.173
4
0.694
0.152
3
0.455
0.182
4
0.729
0,507
1.878
0.165 0.103
3 2
0.494 0.207
0.122
2
0.245
0.102
1
0.102
0,493 1,000
1.048 0.830
45
Hasil penilaian menunjukkan bahwa faktor kekuatan yang memiliki nilai tertinggi adalah dukungan yang bersumber dari aparatur desa, tokoh masyarakat, dan masyarakat penggarap lahan hutan negara (0.729). Dukungan ini adalah hal terpenting yang harus ada di dalam implementasi program Hutan Desa. Tanpa ada dukungan ini, rencana implementasi program Hutan Desa tidak dapat ditindaklanjuti. Keberadaan hutan negara dengan luas yang mencukupi di dalam wilayah desa (0.694) menjadi faktor berikutnya yang berpengaruh kuat dalam implementasi program Hutan Desa. Hutan negara inilah yang nantinya akan diusulkan sebagai calon areal kerja Hutan Desa. Modal sosial dalam bentuk kepercayaan terhadap sesama, pemerintah, dan pihak lain juga menjadi kekuatan utama dalam implementasi program Hutan Desa walaupun nilai peubahnya paling kecil (0.455). Kepercayaan sangat penting dalam implementasi program ini, terutama kepercayaan masyarakat calon lembaga desa terhadap stakeholder yang akan membantu memfasilitasi proses implementasi program Hutan Desa. Peubah yang memiliki nilai pengaruh terbesar dari sisi kelemahan adalah batas wilayah administrasi desa yang belum definitif (0.494). Kepastian batas wilayah Desa Tanjung Aur II dengan desa-desa lain di sekitarnya sangat penting karena juga akan berkaitan dengan batas areal kerja Hutan Desa yang akan diusulkan. Saat ini batas antar wilayah desa masih bersifat sementara dan belum ada ketetapan secara tertulis. Rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap program Hutan Desa menjadi faktor kelemahan yang memiliki pengaruh terbesar kedua (0.245) dalam implementasi program Hutan Desa. Pengetahuan dan pemahaman yang cukup terhadap seluk-beluk program mutlak diperlukan bagi kelancaran proses implementasi program. Pengaruh terbesar ketiga di sisi kelemahan adalah jenis komoditi utama yang dibudidayakan di lahan hutan negara bukan jenis pohon penghasil kayu (0.207). Komoditi utama yang saat ini dibudidayakan oleh masyarakat penggarap lahan hutan negara adalah tanaman kopi. Dalam implementasi program Hutan Desa, seharusnya budidaya tanaman kehutanan (pohon penghasil kayu dan MPTS) lebih dominan. Peubah yang memiliki pengaruh terkecil di sisi kelemahan adalah tidak adanya norma/aturan dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang berlaku secara khusus di desa setempat (0.102). Norma atau aturan dalam bentuk tertulis ataupun lisan penting keberadaannya bagi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan. Dalam pengelolaan Hutan Desa, norma atau aturan ini akan dituangkan di dalam Peraturan Desa. Total nilai faktor internal kekuatan dalam rencana implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II adalah sebesar 1.878 sedangkan total nilai faktor internal kelemahan adalah sebesar 1.048. Kecenderungan terhadap faktor internal adalah 0.830. David (2009) menyatakan bahwa apabila kecenderungan faktor internal nilainya di bawah skor rata-rata 2.500, maka berarti faktor kekuatan yang ada belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk mengatasi kelemahan yang ada. Faktor Eksternal Faktor eksternal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peluang (opportunities) dan ancaman (threats) yang bersumber dari lingkungan di luar atau sekitar masyarakat/wilayah Desa Tanjung Aur II. Faktor eksternal berupa peluang dan ancaman yang diidentifikasi dan diduga akan berpengaruh terhadap implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II, antara lain:
46
a. Peluang (opportunities) Kemudahan aksesibilitas menuju kawasan hutan negara Ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap lahan hutan negara sebagai lahan usaha pertanian/perkebunan Penerapan pola agroforestri oleh masyarakat penggarap lahan hutan negara Dukungan stakeholder lainnya sesuai kapasitas dan peranannya masingmasing b. Ancaman (threats) Peningkatan perambahan kawasan hutan negara oleh masyarakat dari luar desa setempat Terbatasnya dana fasilitasi program yang dianggarkan oleh stakeholder terkait Terbatasnya sumberdaya manusia yang dimiliki stakeholder terkait yang dapat memfasilitasi Hutan Desa Koordinasi antar stakeholder terkait kurang berjalan baik Identifikasi dan penilaian faktor eksternal peluang dan ancaman ini dilakukan melalui diskusi dengan stakeholder terpilih. Hasil penilaian bobot dan peringkat masing-masing faktor eksternal ditunjukkan dalam Tabel 25. Tabel 25 Hasil evaluasi faktor eksternal Faktor eksternal Peluang/Opportunity (O) a. Kemudahan aksesibilitas menuju kawasan hutan negara b. Ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap lahan hutan negara sebagai lahan usaha pertanian/perkebunan c. Penerapan pola agroforestri oleh masyarakat penggarap lahan hutan negara d. Dukungan stakeholder lainnya sesuai kapasitas dan peranannya masing-masing Jumlah Ancaman/Threats (T) e. Peningkatan perambahan kawasan hutan negara oleh masyarakat dari luar desa setempat f. Terbatasnya dana fasilitasi program yang dianggarkan oleh stakeholder terkait g. Terbatasnya sumberdaya manusia yang dimiliki stakeholder terkait yang dapat memfasilitasi Hutan Desa h. Koordinasi antar stakeholder terkait kurang berjalan baik Jumlah Kecenderungan terhadap faktor eksternal
Bobot
Rating
Total skor
0.123
4
0.491
0.127
4
0.509
0.090
2
0.181
0.129
4
0.518
0.470
1.699
0.136
4
0.545
0.129
4
0.518
0.132
3
0.395
0.133
4
0.531
0.530 1.000
1.989 -0.290
Kemudahan aksesibilitas menuju kawasan hutan negara menjadi peluang terbesar ketiga (0.491) yang dapat dimanfaatkan dalam menunjang keberhasilan implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II. Dengan kemudahan akses ini diharapkan akan mempermudah proses verifikasi, monitoring, dan evaluasi oleh berbagai stakeholder terkait. Kemudahan akses ini juga akan bermanfaat dalam pengembangan program ke depan, termasuk dalam hal promosi, pengembangan wisata alam, dan pemasaran hasil-hasil Hutan Desa. Namun
47
kemudahan akses ini bila tidak dikelola dan diawasi dengan baik juga akan membawa dampak negatif bagi kelestarian hutan negara. Faktor eksternal berupa peluang yang memiliki nilai terkecil adalah penerapan pola agroforestri oleh masyarakat penggarap lahan hutan negara (0.181). Dengan adanya pola-pola agroforestri sederhana yang telah diterapkan oleh petani penggarap lahan hutan negara akan memudahkan proses pengembangan budidaya tanaman pohon penghasil kayu dan MPTS secara lebih intensif di areal kerja Hutan Desa. Tentunya perlu dilakukan kajian terlebih dahulu mengenai jenis-jenis tanaman yang memiliki nilai ekonomis dan nilai konservasi tinggi. Dari sisi ancaman, peubah yang memiliki nilai ancaman terbesar adalah peningkatan perambahan kawasan hutan negara oleh masyarakat dari luar desa setempat (0.545). Kondisi ini dimungkinkan bila melihat pola perambahan yang terjadi di hutan negara di wilayah Desa Tanjung Aur II. Hampir keseluruhan petani penggarap lahan hutan negara bukan merupakan penduduk desa setempat. Tentunya faktor ini perlu mendapatkan perhatian yang serius agar ancaman ini tidak menjadi kenyataan. Selanjutnya, ancaman terbesar kedua adalah koordinasi antar stakeholder terkait kurang berjalan baik (0.531). Koordinasi sangat menentukan kelancaran proses suatu program atau kegiatan. Di sinilah diperlukan peran pihak yang dapat menjalin simpul koordinasi antar stakeholder. Terjalinnya koordinasi yang baik akan menghasilkan sinergi dan kelancaran dalam proses implementasi program Hutan Desa ini. Ancaman terbesar ketiga bagi keberhasilan implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II adalah terbatasnya dana fasilitasi program yang dianggarkan oleh stakeholder terkait (0.518). Ancaman ini muncul karena tidak semua stakeholder memiliki kemampuan finansial yang memadai dalam rangka implementasi program, terutama stakeholder di tingkat desa dan kabupaten. Untuk itu, stakeholder yang memiliki kemampuan anggaran yang besar seperti BPDAS Ketahun harus lebih banyak berperan. Sharing pembiayaan perlu dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih anggaran antar stakeholder pada kegiatan yang sama. Upaya-upaya menjaring donatur atau sponsor perlu juga dilakukan dalam implementasi program Hutan Desa ini. Terbatasnya sumberdaya manusia yang dimiliki stakeholder terkait yang dapat memfasilitasi Hutan Desa merupakan ancaman yang dianggap memiliki nilai pengaruh terkecil (0.395) bagi keberhasilan implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II. Walaupun kecil, namun ancaman ini dapat berdampak besar bagi keberhasilan implementasi program. Keberadaan fasilitator/pendamping yang handal merupakan syarat mutlak keberhasilan program Hutan Desa. Saat ini, di Provinsi Bengkulu belum ada SDM yang sudah mendapat pendidikan dan pelatihan khusus sebagai fasilitator/pendamping Hutan Desa. Untuk itu, keberadaan petugas fasilitator/pendamping ini perlu dipersiapkan segera. Total nilai faktor peluang dan ancaman dalam rencana implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II ini secara berurutan adalah sebesar 1.699 dan 1.989. Kecenderungan terhadap faktor eksternal adalah -0.290. Kecenderungan faktor eksternal yang bernilai negatif ini berarti bahwa faktor ancaman perlu mendapatkan perhatian dan penanganan yang ekstra dengan memanfaatkan semua peluang dan kekuatan yang ada.
48
Strategi Implementasi Program Hutan Desa Penyusunan strategi dilakukan melalui proses pemaduan (integration) faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) menggunakan matrik SWOT. Pemaduan ini bertujuan untuk mencari alternatif strategi terbaik yang mungkin diterapkan dalam implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II. Matrik SWOT strategi implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II sebagaimana ditunjukkan dalam Lampiran 1. Dari hasil pemaduan didapatkan empat kelompok alternatif strategi yang dapat diterapkan dalam rangka implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II, yaitu: a) Strategi S-O (Strenghts-Opportunities/Kekuatan-Peluang) Strategi ini disebut juga strategi agresif. Penerapan strategi melalui pemanfaatan seluruh kekuatan internal yang dimiliki desa dan masyarakat untuk memanfaatkan peluang eksternal yang ada. b) Strategi W-O (Weaknesses-Opportunities/Kelemahan-Peluang) Stategi W-O merupakan strategi konservatif. Penerapan strategi melalui pemanfaatan seluruh peluang eksternal untuk mengatasi kelemahan internal yang ada. c) Strategi S-T (Strenghts-Threats/Kekuatan-Ancaman) Strategi S-T adalah strategi kompetitif atau diversifikasi. Aplikasinya dengan memanfaatkan seluruh kekuatan internal untuk menghindari atau mengurangi ancaman eksternal. d) Strategi W-T (Weaknesses-Threats/Kelemahan-Ancaman) Strategi ini merupakan strategi defensif. Strategi ini dipakai dengan meminimalkan kelemahan internal untuk menghindari atau mengurangi ancaman eksternal. Kelompok strategi yang akan diterapkan dalam implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II ditentukan oleh hasil kecenderungan faktor internal dan eksternal yang digambarkan pada sumbu x dan y. Pertemuan sumbu x (0.830) dan y (-0.290) tersebut menggambarkan area kuadran strategi yang akan dipakai, yaitu kuadran II. Berdasarkan Gambar 10, strategi yang dapat diterapkan dalam implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II adalah strategi kompetitif atau diversifikasi. Y III (Strategi Perbaikan)
I (Strategi Agresif) X (X 0.830 Y -0.290)
IV (Strategi Defensif)
II (Strategi Diversifikasi)
Gambar 10 Kuadran strategi implementasi program Hutan Desa
49
Sebagaimana hasil kecenderungan faktor internal dan eksternal pada Gambar 10, maka strategi yang dipilih adalah strategi S-T (strenghtsthreats/kekuatan-ancaman) yang disebut juga strategi kompetitif atau diversifikasi. Dalam aplikasi strategi diversifikasi, seluruh kekuatan internal yang dimiliki dimanfaatkan untuk menghindari atau mengurangi ancaman eksternal yang ada. Strategi diversifikasi yang dapat diterapkan dalam implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 26. Tabel 26 Matrik S-T strategi implementasi hutan desa di Desa Tanjung Aur II Kekuatan/strengths (S) 1. Keberadaan lahan hutan negara (HL dan HPT) dengan luas yang memadai dalam Faktor internal wilayah desa 2. Masyarakat memiliki modal sosial yang kuat dalam bentuk kepercayaan (trust) terhadap sesama, pemerintah, dan pihak lain Faktor eksternal 3. Dukungan aparatur desa, tokoh masyarakat, dan masyarakat penggarap lahan hutan negara Ancaman/threats (T) Strategi S-T 1. Peningkatan perambahan 1. Membentuk lembaga pengelola hutan desa kawasan hutan negara oleh yang beranggotakan masyarakat desa dan masyarakat dari luar desa masyarakat luar desa yang menggarap lahan setempat hutan negara di Desa Tanjung Aur II (S1, S2, 2. Terbatasnya dana fasilitasi S3, T1). program yang dianggarkan oleh 2. Menetapkan kewajiban lembaga pengelola stakeholder terkait untuk memberikan kontribusi/kompensasi ke 3. Terbatasnya sumberdaya kas desa/kas lembaga desa yang sebagiannya manusia yang dimiliki dipergunakan untuk mendukung pembiayaan stakeholder terkait yang dapat fasilitasi program secara mandiri (S2, S3, memfasilitasi Hutan Desa T2). 4. Koordinasi antar stakeholder 3. Menetapkan kewajiban lembaga pengelola terkait kurang berjalan baik untuk mencegah dan melindungi kawasan hutan negara yang termasuk dalam areal kerja hutan desa dan areal di sekitarnya dari berbagai ancaman perambahan dan perusakan hutan (S1, S2, S3, T1, T2). 4. Mencari dan meminta dukungan dari stakeholder terkait ataupun pihak-pihak lainnya yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk melakukan fasilitasi dan pendampingan (S2, S3, T3, T4). 5. Memasukkan rencana implementasi dan pengembangan Hutan Desa ke dalam RPJMDes dan Rencana Tahunan Desa Tanjung Aur II (S1, S2, S3, T1, T2).
50
Prioritas Strategi Implementasi Program Hutan Desa Penentuan prioritas strategi dilakukan dengan menggunakan analisis Quntitative Strategic Planning Matrix/QSPM (David 2009). Urutan prioritas strategi didapatkan dengan menjumlahkan hasil perkalian bobot dengan nilai ketertarikan (attractiveness score/AS) yang ditentukan stakeholder terpilih untuk setiap strategi terhadap faktor-faktor internal dan eksternal. Hasil analisis QSPM ditunjukkan dalam Tabel 27. Matrik QSPM menunjukkan bahwa strategi prioritas pertama adalah “mencari dan meminta dukungan dari stakeholder terkait ataupun pihak-pihak lainnya yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk melakukan fasilitasi dan pendampingan”, dengan total nilai ketertarikan (total attractiveness score/TAS) 5.395. Strategi ini menjadi prioritas utama untuk dilakukan karena masyarakat desa dan masyarakat penggarap lahan hutan negara di Desa Tanjung Aur II memiliki banyak keterbatasan untuk dapat menindaklanjuti rencana implementasi program Hutan Desa. Tanpa ada bantuan fasilitasi dan pendampingan dari pihakpihak terkait implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II sulit untuk dilaksanakan. Dwiprabowo et al. (2013) dan Ruhimat (2013) menyatakan bahwa implementasi suatu kebijakan atau program dapat berjalan efektif apabila dirumuskan berdasarkan masalah yang tepat dan pelaku serta sasaran memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menjalankannya. Keberhasilan suatu kebijakan atau program sangat ditentukan oleh pelaksanaan peran masing-masing pemangku kepentingan (Dwiprabowo et al. 2013; Magdalena 2013). Kehadiran dan peran aktif fasilitator/pendamping sejak awal rencana implementasi program merupakan hal penting yang mendukung keberhasilan implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II. Magdalena (2013) menyatakan bahwa tantangan perlindungan dan pengelolaan hutan di Indonesia seringkali datang dari masyarakat lokal di dalam dan di sekitar hutan. Untuk itu pemahaman fasilitator/pendamping terhadap kelompok masyarakat sasaran mutlak diperlukan. Melihat beberapa kasus implementasi program perhutanan sosial lainnya, yaitu HKm yang diteliti oleh Dwiprabowo et al. (2013), masyarakat pelaku umumnya tidak mampu bila harus menyusun sendiri dokumen usulan dan rencana program. Untuk itu masyarakat memerlukan bantuan pendamping maupun pelaksana kebijakan. Strategi berikutnya yang harus dijalankan adalah “menetapkan kewajiban lembaga pengelola untuk mencegah dan melindungi kawasan hutan negara yang termasuk dalam areal kerja Hutan Desa dan areal di sekitarnya dari berbagai ancaman perambahan dan perusakan hutan”. Ini merupakan strategi prioritas kedua dengan TAS 5.073. Fasilitator/pendamping harus betul-betul menekankan kepada masyarakat target yang akan ditetapkan sebagai lembaga pengelola Hutan Desa mengenai kewajiban utama mereka untuk mencegah dan melindungi kawasan hutan negara dari berbagai ancaman perambahan dan perusakan hutan. Ekawati (2013) berdasarkan hasil kajiannya menyatakan bahwa peran masyarakat perlu diperkuat, terutama dalam perlindungan dan pengamanan hutan, karena masyarakat adalah unsur utama dalam pengelolaan hutan.
51
Tabel 27 Prioritas strategi implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II Strategi Faktor kunci
Bobot
1
2
3
4
5
AS
TAS
AS
TAS
AS
TAS
AS
TAS
AS
TAS
0.173
2
0.347
1
0.173
4
0.694
1
0.173
2
0.347
0.152
4
0.606
3
0.455
3
0.455
4
0.606
4
0.606
0.182
4
0.729
4
0.729
4
0.729
4
0.729
4
0.729
Kelemahan/Weaknesses (W) d. Batas wilayah administrasi desa belum definitif
0.165
2
0.329
1
0.165
2
0.329
1
0.165
3
0.494
e.
0.103
1
0.103
1
0.103
2
0.207
1
0.103
1
0.103
0.122
1
0.122
1
0.122
2
0.245
3
0.367
2
0.245
0.102
1
0.102
1
0.102
4
0.408
2
0.204
1
0.102
0.123
1
0.123
1
0.123
2
0.246
2
0.246
1
0.123
0.127
3
0.382
4
0.509
3
0.382
2
0.254
2
0.254
0.090
2
0.181
1
0.090
2
0.181
2
0.181
1
0.090
0.129
3
0.388
1
0.129
2
0.259
4
0.518
2
0.259
0.136
4
0.545
2
0.272
4
0.545
2
0.272
3
0.408
0.129
1
0.129
4
0.518
1
0.129
4
0.518
4
0.518
0.132
1
0.132
2
0.263
1
0.132
4
0.527
1
0.132
0.133
1
0.133
1
0.133
1
0.133
4
0.531
1
0.133
Faktor internal Kekuatan/Strengths (S) a. Keberadaan lahan hutan negara (HL dan HPT) dengan luas yang memadai dalam wilayah desa b. Masyarakat desa memiliki modal sosial yang kuat dalam bentuk kepercayaan (trust) terhadap sesama, pemerintah, dan pihak lain c. Dukungan aparatur desa, tokoh masyarakat, dan masyarakat penggarap lahan hutan negara
Komoditi utama yang dibudidayakan di lahan hutan negara bukan tanaman kehutanan (pohon penghasil kayu) f. Rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap program Hutan Desa g. Tidak ada norma/aturan dalam pengelolaan sumberdaya alam (termasuk hutan) yang berlaku secara khusus di desa setempat Faktor eksternal Peluang/Opportunities (O) a. Kemudahan aksesibilitas menuju kawasan hutan negara b. Ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap lahan hutan negara sebagai lahan usaha pertanian/perkebunan c. Penerapan pola agroforestri oleh masyarakat penggarap lahan hutan negara d. Dukungan stakeholder lainnya sesuai kapasitas dan peranannya masing-masing Ancaman/Threats (T) e. Peningkatan perambahan kawasan hutan negara oleh masyarakat dari luar desa setempat f. Terbatasnya dana fasilitasi program yang dianggarkan oleh stakeholder terkait g. Terbatasnya sumberdaya manusia yang dimiliki stakeholder terkait yang dapat memfasilitasi Hutan Desa h. Koordinasi antar stakeholder terkait kurang berjalan baik Total skor ketertarikan
4.352
3.888
5.073
5.395
4.544
Prioritas strategi terpilih
IV
V
II
I
III
52
Lembaga pengelola Hutan Desa harus mampu mencegah terjadinya perluasan perambahan, perusakan hutan, ataupun aktifitas ilegal lainnya yang dilakukan oleh masyarakat internal lembaga desa ataupun pihak-pihak dari luar. Upaya pencegahan dan pengendalian ini dilakukan dengan membentuk divisi pengamanan dan perlindungan hutan dalam lembaga pengelola Hutan Desa, serta membuat jaringan komunikasi yang menghubungkan lembaga desa, aparatur desa, Dishut ESDM Bengkulu Selatan, serta pihak berwenang lainnya seperti POLRES Bengkulu Selatan, KODIM 0408 Bengkulu Selatan, dan BKSDA Provinsi Bengkulu. Strategi prioritas ketiga yang selanjutnya diterapkan adalah “memasukkan rencana implementasi dan pengembangan Hutan Desa ke dalam RPJMDes dan Rencana Tahunan Desa Tanjung Aur II”. Strategi ini memiliki nilai TAS 4.544. Keterbatasan dana fasilitasi dan pendampingan program yang dianggarkan oleh stakeholder terkait mengharuskan desa mencari sumber-sumber pembiayaan secara mandiri. Salah satunya adalah dengan memasukkan program Hutan Desa ke dalam dokumen rencana pembangunan dan anggaran desa, seperti RPJMDes dan Rencana Tahunan Desa. Hal ini dimungkinkan karena di dalam peraturan Hutan Desa disebutkan bahwa pembiayaan penyelenggaraan Hutan Desa salah satunya dapat bersumber dari anggaran/keuangan desa (Kemenhut 2014). Setelah tersedia fasilitator/pendamping, terjalin komunikasi dengan masyarakat target, dan ada kejelasan sumber pembiayaan, langkah berikutnya adalah mulai membentuk format calon lembaga pengelola Hutan Desa. Ini tertuang dalam strategi prioritas keempat “membentuk lembaga pengelola hutan desa yang beranggotakan masyarakat desa dan masyarakat luar desa yang menggarap lahan hutan negara di Desa Tanjung Aur II” dengan TAS 4.352. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.89/Menhut-II/2014 tentang Hutan Desa, Lembaga Desa Pengelola Hutan Desa yang selanjutnya disebut Lembaga Desa adalah lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dengan Peraturan Desa yang bertugas untuk mengelola Hutan Desa yang secara fungsional berada dalam organisasi desa dan bertanggung jawab kepada Kepala Desa. Jika mengacu kepada mekanisme yang telah diatur di dalam peraturan terdahulu (P.49/MenhutII/2008), Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) merupakan salah satu lembaga kemasyarakatan yang dapat memperoleh hak pengelolaan hutan desa. BUMDES yang telah mendapatkan hak pengelolaan hutan desa akan menyusun rencana pengelolaan hutan desa serta menfasilitasi masyarakat desa mengelola unit-unit usaha kehutanan di dalam areal kerja Hutan Desa (Jusuf dan Rauf 2011). BUMDES yang ada di Desa Tanjung Aur II saat ini bergerak di bidang penyewaan tenda dan kursi dan hanya beranggotakan masyarakat desa setempat. Terkait dengan implementasi Hutan Desa, maka perlu dibentuk kelembagaan pengelola yang secara khusus menangani Hutan Desa. Lembaga Pengelola Hutan Desa tersebut harus beranggotakan masyarakat desa dan masyarakat luar desa yang menggarap lahan hutan negara di Desa Tanjung Aur II yang tergabung dalam kelompok-kelompok talang (kebun). Hal ini penting, karena kelompok masyarakat inilah yang telah berinteraksi dan mendapatkan manfaat secara langsung dari areal hutan negara tersebut. Masyarakat ini membutuhkan legalitas hak kelola atas lahan hutan negara yang telah mereka garap. Untuk mendapatkan legalitas ini, masyarakat siap berperan aktif dan mengikuti semua ketentuan dalam penyelenggaraan program Hutan Desa.
53
Selain masyarakat penggarap lahan hutan negara yang tergabung dalam kelompok-kelompok talang (kebun), beberapa tokoh atau perwakilan masyarakat Desa Tanjung Aur II dapat dimasukkan dalam kepengurusan lembaga pengelola Hutan Desa. Perwakilan masyarakat desa ini dapat difungsikan sebagai pengawas dan penghubung lembaga dengan masyarakat Desa Tanjung Aur II. Bukan hal yang tidak mungkin bila ingin melibatkan lebih banyak masyarakat lainnya yang tidak berinteraksi langsung dengan hutan negara. Akan tetapi, selain tidak tepat sasaran, ada kekhawatiran lain bahwa masyarakat tersebut hanya ingin mendapatkan pengakuan hak kelola saja tanpa mau melakukan kewajibannya. Untuk itulah, keanggotaan lembaga pengelola Hutan Desa ini dibatasi hanya bagi penggarap lahan hutan negara di Desa Tanjung Aur II dan beberapa perwakilan masyarakat desa. Secara struktural, lembaga pengelola Hutan Desa ini tetap berada di bawah koordinasi Aparatur Desa Tanjung Aur II. Strategi selanjutnya yang dapat diterapkan dalam implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II adalah “menetapkan kewajiban lembaga pengelola untuk memberikan kontribusi atau kompensasi ke kas desa atau kas lembaga desa yang sebagiannya dipergunakan untuk mendukung pembiayaan fasilitasi program secara mandiri”. Strategi prioritas kelima ini memiliki TAS 3.888. Keterbatasan dana fasilitasi dan pendampingan program yang dianggarkan oleh stakeholder kembali menjadi alasan yang mengharuskan desa/lembaga desa kreatif mencari sumber-sumber pembiayaan secara mandiri. Salah satunya adalah dengan menetapkan kewajiban iuran bagi semua anggota lembaga pengelola Hutan Desa dengan besaran yang disepakati dan tidak memberatkan. Salah satu skema yang mungkin dapat diterapkan adalah menetapkan iuran wajib tahunan per luas areal garapan. Besarnya iuran ditentukan secara rasional dan tidak memberatkan anggota lembaga desa, misalkan uang yang setara 5 kg biji kopi kering perhektar pertahun. Besaran iuran, waktu pembayaran, mekanisme dan kepada siapa iuran dibayarkan ditetapkan melalui Peraturan Desa dan dikelola secara transparan dan akuntabel. Berdasarkan pengalaman masyarakat Desa Setulang, Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Timur sebagaimana yang diteliti Magdalena (2013), transparansi dan akuntabilitas merupakan salah satu komponen penting dalam mewujudkan tata kelola hutan yang baik. Ketidakterbukaan dan kurangnya akuntabilitas pengelolaan dana pengelolaan hutan akan merugikan pengelola dan masyarakat yang terlibat.
54
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Kondisi biogeofisik areal hutan negara di Desa Tanjung Aur II memenuhi persyaratan dan layak diusulkan sebagai areal kerja Hutan Desa. 2. Kondisi sosekbud masyarakat di wilayah Desa Tanjung Aur II memungkinkan untuk membentuk lembaga pengelola Hutan Desa, melalui kolaborasi masyarakat penggarap lahan hutan negara dan perwakilan masyarakat Desa Tanjung Aur II. 3. Stakeholder siap memberikan dukungan fasilitasi dan pendampingan sesuai kapasitas dan kapabilitasnya masing-masing. Stakeholder kunci dalam implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II adalah BPDAS Ketahun, Dishut Provinsi Bengkulu, Dishut ESDM Kabupaten Bengkulu Selatan, LSM Ulayat, dan Aparatur Desa Tanjung Aur II. Stakeholder pendukung adalah DPRD Kabupaten Bengkulu Selatan dan PT Jatropha Solutions. Sedangkan Bappeda Kabupaten Bengkulu Selatan dan Universitas Bengkulu merupakan stakeholder pelengkap. 4. Strategi implementasi program Hutan Desa yang sesuai untuk Desa Tanjung Aur II adalah strategi kompetitif atau diversifikasi (strategi S-T), dengan prioritas utama mencari dan meminta dukungan dari stakeholder terkait ataupun pihak-pihak lainnya yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk melakukan fasilitasi dan pendampingan.
Saran 1.
2.
3.
4.
Berdasarkan hasil kajian, peneliti menyarankan agar: BPDAS Ketahun, Dishut Provinsi Bengkulu, dan Dishut ESDM Kabupaten Bengkulu Selatan dapat segera memfasilitasi penyelenggaran pendidikan dan pelatihan fasilitator Hutan Desa dan segera menginisiasi proses fasilitasi dan pendampingan calon lembaga pengelola Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II dengan melibatkan peran serta aparatur desa dan LSM Ulayat. Pemerintah desa dan calon lembaga pengelola Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II dengan didampingi stakeholder terkait dan fasilitator Hutan Desa segera membuat usulan penetapan areal kerja Hutan Desa. Seluruh stakeholder terkait dapat berperan aktif dalam pelaksanaan implementasi program Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II dan melaksanakan implementasi program berdasarkan strategi yang telah disusun. Pemerintah pusat dapat mengakomodir pemanfaatan lahan hutan untuk aktifitas budidaya tanaman tahunan dengan penerapan pola agroforestri yang sesuai dan memasukkannya sebagai salah satu bentuk pemanfaatan kawasan dalam peraturan mengenai Hutan Desa.
55
DAFTAR PUSTAKA Adisasmita R. 2006. Membangun desa partisipatif. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. Anantanyu S. 2011. Kelembagaan petani: peran dan strategi pengembangan kapasitasnya. J SEPA. 7(2):102-109. [Bappeda Kab BS] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bengkulu Selatan. 2014. Peta rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan 2011 - 2031 [Peta]. Manna (ID): Bappeda Kab BS. Borrini-Feyerabend G. 2003. Governance of protected areas - innovation in the air. J Policy Matter Issue. 12(9):92-101. [BPDAS Ketahun] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Ketahun. 2014. Data spasial DAS dan jaringan sungai di wilayah kerja BPDAS Ketahun [Data]. Bengkulu (ID): Tidak dipublikasikan. [BPS Kab. BS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkulu Selatan. 2013. Bengkulu Selatan dalam angka 2013. Manna (ID): BPS Kab. BS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Data spasial sketsa wilayah administrasi desa dan kelurahan di Provinsi Bengkulu [Data]. Jakarta (ID): Forum GIS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Profil kemiskinan di Indonesia, Maret 2013. Berita Resmi Statistik. No. 47/07/Th.XVI, 2013 Jul 1. Brunner J, Seymour F, Badenoch N. 2011. Forest problems and law enforcement in southeast asia: the role of local communities [Internet]. Diunduh 5 Februari 2015. Tersedia pada: http://www.mekonginfo.org/assets/midocs/ 0001561-environment-forest-problems-and-law-enforcement-in-southeastasia-the-role-of-local-communities.pdf. Cahyat A, Gönner C, Haug M. 2007. Mengkaji kemiskinan dan kesejahteraan rumah tangga: sebuah panduan dengan contoh dari Kutai Barat, Indonesia. Bogor (ID): CIFOR. Cahyono E. 2012. Konflik kawasan konservasi dan kemiskinan struktural. J Politika. 8(1):7-41. [CIFOR] Center for International Forestry Research. 2003. Perhutanan sosial. Warta Kebijakan. No. 9, 2003 Feb. David F. R. 2009. Manajemen strategis konsep. Edisi ke-12. Sunardi D, penerjemah; Wuriarti P, editor. Jakarta (ID): Salemba Empat. Terjemahan dari: Strategic Management. 12th ed. [Dephut dan BPS] Departemen Kehutanan, Badan Pusat Statistik. 2009. Identifikasi desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan 2009. Jakarta (ID): Dephut dan BPS. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2007. Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Jakarta (ID): Dephut. [Dephutbun] Kementerian Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Undang Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta (ID): Dephutbun. [Dishut ESDM Kab BS] Dinas Kehutanan dan Energi Sumberdaya Mineral Kabupaten Bengkulu Selatan. 2014. Data spasial sebaran kegiatan HTR dan HKm di wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan [Data]. Manna (ID): Tidak dipublikasikan.
56
[Dit BPS Kemenhut] Direktorat Bina Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan. 2015. Basis data hutan desa per 2 januari 2015 [Data]. Jakarta (ID): Tidak dipublikasikan. [Ditjen Planologi] Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan. 2013. Statistik bidang planologi kehutanan tahun 2012. Jakarta (ID): Ditjen Planologi Kemenhut. Dwiprabowo H, Mulyaningrum, Suwarno E. 2013. Organisasi belajar dan implementasi kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm). J Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 10(2):85-98. Ekawati S. 2013. Evaluasi implementasi kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan produksi. J Analisis Kebijakan Kehutanan. 10(3):187-202. Ekawati S, Nurrochmat DR. 2014. Hubungan modal sosial dengan pemanfaatan dan kelestarian hutan lindung. J Analisis Kebijakan Kehutanan. 11(1):4053. Febriani D. 2012. Evaluasi Proses Implementasi Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat Di Kabupaten Sarolangun Jambi [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Gautama I. 2007. Studi sosial ekonomi masyarakat pada sistem agroforestry di Desa Lasiwala Kabupaten Sidrap. J Hutan dan Masyarakat. 2(3):319-328. Grootaert C, Narayan D, Jones VN, Woolcock M. 2004. Measuring social capital: An Integrated Questionnaire. Washington D.C. (USA): The World Bank. Hakim I, Irawanti S, Murniati, Sumarhani, Widiarti A, Effendi R, Muslich M, Rulliaty S. 2010. Social forestry: menuju restorasi pembangunan kehutanan berkelanjutan. Anwar S, Hakim I, editor. Bogor (ID): Puspijak Kemenhut. Hulupi R, Martini E. 2013. Pedoman budidaya dan pemeliharaan tanaman kopi di kebun campur. Bogor (ID): ICRAF. Ikbar Y. 2012. Metode penelitian sosial kualitatif: panduan membuat tugas akhir/karya ilmiah. Bandung (ID): PT Refika Aditama. Johnson G, Scholes K, Whittington R. 2009. Fundamentals of strategy. London (UK): Prentice Hall, Financial Times. Junaidi E, Maryani R. 2013. Pengaruh dinamika spasial sosial ekonomi pada suatu lanskap daerah aliran sungai (DAS) tehadap keberadaan lanskap hutan (studi kasus DAS Citanduy Hulu dan DAS Ciseel, Jawa Barat). J Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 10(2):122-139. Jusuf Y, Abdullah N. 2007. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan hutan di Desa Borisallo Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. J Hutan dan Masyarakat. 2(1):127-135. Jusuf Y, Rauf F. 2011. Studi pengusulan Hutan Desa di Desa Bonto Marannu Kecamatan Ulu Ere Kabupaten Bantaeng. J Hutan dan Masyarakat. 6(2):79-91. Kamarni N. 2012. Analisis modal sosial sebagai salah satu upaya dalam pengentasan kemiskinan (studi kasus: rumah tangga miskin di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang). J Manajemen dan Kewirausahaan. 3(3):36-52.
57
Kartodihardjo H, Safitri MA, Hardjanto, Soedomo S, Awang SA, Khan A, Nugroho B, Adiwibowo S, Shohibuddin M, Ekawati S, et al. 2013. Kembali ke jalan yang lurus: kritik penggunaan ilmu dan praktek kehutanan Indonesia. Kartodiharjo H, editor. Yogyakarta (ID): FORCI DEV co. Tanah Air Beta. Kartodihardjo H. 2007. Di balik kerusakan hutan dan bencana alam: masalah transformasi kebijakan kehutanan. Jakarta (ID): YKHI. [Kemendagri] Kementerian Dalam Negeri. 2014. Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Jakarta (ID): Kemendagri. [Kemendagri] Kementerian Dalam Negeri. 2014. Undang Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Jakarta (ID): Kemendagri. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011. Keputusan Menteri Kehutanan nomor SK.643/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan menjadi Bukan Kawasan Hutan Seluas ± 2.192 hektar, Perubahan Antar Fungsi Kawasan Hutan Seluas ± 31.013 hektar, dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan menjadi Kawasan Hutan Seluas ± 101 hektar di Provinsi Bengkulu. Jakarta (ID): Kemenhut. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2014. Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.89/Menhut-II/2014 tentang Hutan Desa. Jakarta (ID): Kemenhut. [Kemennakertrans] Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2012. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Jakarta (ID): Kemennakertrans. Kemitraan. 2011. Mendorong percepatan program Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa. Partnership Policy Paper. No. 4/2011. Lacuna-Richman C. 2012. Growing from seed: an introduction to social forestry. Finland: Springer. World Forests 11, DOI 10.1007/978-94-007-2317-7_1. Magdalena. 2013. Peran hukum adat dalam pengelolaan dan perlindungan hutan di Desa Sesaot, Nusa Tenggara Barat dan Desa Setulang, Kalimantan Timur. J Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 10(2):110-121. Maring P. 2013. Transformasi konflik menuju kolaborasi: kasus resolusi konflik penguasaan hutan. J Insani. 14(1):51-60. Miles MB, Huberman AM. 1994. An expanded sourcebook qualitative data analysis 2nd ed. California (USA): SAGE Publications Inc. Muspida. 2007. Keterkaitan modal sosial dalam pengelolaan hutan kemiri rakyat di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. J Hutan dan Masyarakat. 2(3):290302. Nurrochmat DR. 2005. Strategi pengelolaan hutan, upaya menyelamatkan rimba yang tersisa. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar. Prasetyo A. 2011. Modul dasar sistem informasi geografis. Bogor (ID): Lab. Analisis Lingkungan dan Permodelan Spasial Dep. KSHE, Fahutan IPB. Prasetyo AB. 2013. Serba-serbi Hutan Desa [Internet]. Diunduh 17 Agustus 2015. Tersedia pada: http://bp2sdmk.dephut.go.id/emagazine/index.php/teknis/1serba-serbi-hutan-desa.html. Pratomo DS, Saputra PMA. 2011. Kebijakan upah minimum untuk perekonomian yang berkeadilan: tinjauan UUD 1945. J of Indonesian Applied Economics. 2(5):269-285.
58
Premono BT, Lestari S. 2013. Analisis finansial agroforestri kayu bawang (Dysoxilum mollissimum Blume) dan kebutuhan lahan minimum di Provinsi Bengkulu. J Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 10(4):211-223. [PT JS] Perseroan Terbatas Jatropha Solutions. 2015. Data spasial hak guna usaha (HGU) PT Jatropha Solutions di wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan [Data]. Manna (ID): Tidak dipublikasikan. Putnam RD. 1993. Making democracy work: civic traditions in modern Italy. New Jersey (UK): Princeton University Press. Putri IF, Hidayat H. 2011. Analisis persepsi modal sosial (social capital) dan hubungannya dengan eksistensi kelompok tani (kasus pada kelompok tani wanita “Sri Sejati 2”, Desa Junrejo, Kecamatan Junrejo, Kota Batu). J Wacana. 14(1):11-17. Raharja S. J. 2010. Pendekatan kolaboratif dalam pengelolaan daerah aliran sungai Citarum. J Bumi Lestari. 10(2):222-235. Rangkuti F. 1997. Analisis SWOT: teknik membedah kasus bisnis, cara perhitungan bobot, rating, dan OCAI. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama. Reed MS, Graves A, Dandy N, Posthumus H, Hubacek K, Morris J, Prell C, Quin CH, Stringer LC. 2009. Whos’s in and why? a tipology of stakeholder analysis methods for natural resources management. J Environmental Management 90(2009):1933-1949. Ruhimat IS. 2013. Model peningkatan partisipasi masyarakat dalam implementasi kebijakan kesatuan pengelolaan hutan: studi kasus di KPH Model Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. J Analisis Kebijakan Kehutanan. 10(3):255-267. Sahide MAK. 2011. Membangun hutan desa: 10 tips bagi fasilitator. Santosa A, editor. Bogor (ID): FKKM dan Ford Foundation. Sidiyasa K, Zakaria, Iwan R. 2006. Hutan Desa Setulang dan Sengayan Malinau, Kalimantan Timur: potensi dan identifikasi langkah-langkah perlindungan dalam rangka pengelolaannya secara lestari. Bogor (ID): CIFOR. Silverstein D, Samuel P, De Carlo N. 2009. The innovator’s toolkit: 50+techniques for predictable and sustainable organic growth. New Jersey (USA): John Wiley and Sons Inc. Singarimbun M, Effendi S, Hagul P, Manning C, Singarimbun I, Ancok D, Mantra IB, Kasto, Handayani T, Tukiran, et al. 2006. Metode penelitian survei. Singarimbun M, Effendi S, editor. Jakarta (ID): LP3ES. [SMPK Manna] Stasiun Meteorologi Pertanian Khusus Manna. 2015. Data pemantauan iklim dan cuaca di wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan [Data]. Manna (ID): Tidak dipublikasikan. Suandi. 2014. Hubungan modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi keluarga di daerah perdesaan Jambi. J Komunitas Research and Learning in Sociology and Antropology. 6(1):38-46. Subarna. 2011. Faktor yang mempengaruhi masyarakat menggarap lahan di hutan lindung: studi kasus di Kabupaten Garut Jawa Barat. J Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 8(4): 265 – 275.
59
Sugiyono. 2009. Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R & D. Bandung (ID): CV. Alfabeta. Sugiyono. 2010. Metode penelitian kualitatif. Bandung (ID): CV. Alfabeta. Sugiyono. 2013. Metode penelitian kombinasi (mixed methods). Bandung (ID): CV. Alfabeta. Suhardjito D, Saputro G. 2008. Modal sosial dalam pengelolaan sumberdaya hutan pada masyarakat Kasepuhan Banten Kidul. J Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 5(4):317-335. Sumanto SE. 2009. Kebijakan pengembangan perhutanan sosial dalam perspektif resolusi konflik. J Analisis Kebijakan Kehutanan. 6(1):13-25. Sumargo W, Nanggara SG, Nainggolan FA, Apriani I. 2011. Potret keadaan hutan Indonesia periode tahun 2000 - 2009. Jakarta (ID): FWI. Suporahardjo, Ramirez R, Daniels SE, Walker GB, Grimble R, Chan M, Meyers J, Berkes F, Austin JE, Fisher RJ, et al. 2005. Manajemen kolaborasi: memahami pluralisme membangun konsensus. Suporahardjo, editor. Bogor (ID): Pustaka Latin. Supratman, Sahide MAK. 2013. Hutan desa dan pembangunan sosial ekonomi masyarakat desa di Kabupaten Bantaeng. Sakti DK, editor. Jakarta (ID): Dit BPS Kemenhut dan Kemitraan. Tadjudin D. 2000. Manajemen kolaborasi. Bogor (ID): Pustaka Latin. Wikipedia. 2015. Desa [Internet]. Diunduh 6 Juli 2015. Tersedia pada: https://id.wikipedia.org/wiki/Desa. Winara A, Mukhtar AS. 2011. Potensi kolaborasi dalam pengelolaan Taman Nasional Teluk Cenderawasih di Papua. J penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 8(3):217-226. Wiyono EB, Santoso H. 2009. Hutan desa: kebijakan dan mekanisme kelembagaan. Jakarta (ID): WG Pemberdayaan Dephut RI. Yukl G. 2010. Leadership in organizations. 7th ed. New Jersey (USA): Pearson Prentice Hall.
60
Lampiran 1 Matrik SWOT Strategi Implementasi Hutan Desa di Desa Tanjung Aur II
Faktor Internal Faktor Eksternal Peluang/opportunities (O) 1. Kemudahan aksesibilitas menuju kawasan hutan negara 2. Ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap lahan hutan negara sebagai lahan usaha pertanian/perkebunan 3. Penerapan pola agroforestri oleh masyarakat penggarap lahan hutan negara 4. Dukungan stakeholder lainnya sesuai kapasitas dan peranannya masing-masing
Ancaman/threats (T) 1. Peningkatan perambahan kawasan hutan negara oleh masyarakat dari luar desa setempat 2. Terbatasnya dana fasilitasi program yang dianggarkan oleh stakeholder terkait 3. Terbatasnya sumberdaya manusia yang dimiliki stakeholder terkait yang dapat memfasilitasi Hutan Desa 4. Koordinasi antar stakeholder terkait kurang berjalan baik
Kelemahan/weaknesses (W) 1. Batas wilayah administrasi desa belum definitif 2. Komoditi utama yang dibudidayakan di lahan hutan negara bukan tanaman kehutanan (pohon penghasil kayu) 3. Rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap program Hutan Desa 4. Tidak ada norma atau aturan dalam pengelolaan sumberdaya alam (termasuk hutan) yang berlaku secara khusus di desa setempat Strategi W-O 1. Mengupayakan percepatan pemetaan dan penetapan batas definitif wilayah Desa Tanjung Aur II melalui kegiatan pemetaan partisipatif dengan meminta bantuan stakeholder terkait (W1, O4). 2. Mengupayakan budidaya tanaman tahunan menjadi salah satu bentuk pemanfaatan kawasan dalam regulasi Hutan Desa (W2, O2, O3). 3. Mengakomodir bentuk pemanfaatan lahan yang sudah ada saat ini dan mengembangkan pola agroforestri secara intensif (W2, O2, O3). 4. Meminta stakeholder terkait untuk melakukan sosialisasi mengenai program Hutan Desa dan peraturan perundangundangan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan (W3, W4, O1, O4). Strategi W-T 1. Membuat kesepakatan dengan desa yang bersebelahan mengenai batas-batas wilayah desa (W1, T1) 2. Meminta pihak terkait untuk melakukan sosialisasi mengenai program Hutan Desa kepada masyarakat desa dan masyarakat penggarap lahan hutan (W3, W4, T1, T2, T3, T4). 3. Meminta stakeholder terkait untuk meningkatkan koordinasi dan mengoptimalkan fasilitasi program hingga ke desa (W3, T2, T3, T4). 4. Stakeholder terkait harus meningkatkan kapasitas SDM melalui pendidikan dan pelatihan mengenai Hutan Desa untuk Fasilitator, Pendamping, dan Lembaga Pengelola Hutan Desa (W3, W4, T3, T4). 5. Membiarkan pola budidaya yang telah ada dan diterapkan oleh penggarap lahan hutan negara saat ini (W2, T1)
Kekuatan/strengths (S) 1. Keberadaan lahan hutan negara (HL dan HPT) dengan luas yang memadai dalam wilayah desa 2. Masyarakat memiliki modal sosial yang kuat dalam bentuk kepercayaan (trust) terhadap sesama, pemerintah, dan pihak lain 3. Dukungan aparatur desa, tokoh masyarakat, dan masyarakat penggarap lahan hutan negara
Strategi S-O 1. Mengusulkan implementasi program Hutan Desa menjadi bagian rencana prioritas pembangunan daerah di bidang kehutanan (S1, S2, S3, O1, O2, O4) 2. Memasukkan rencana implementasi dan pengembangan Hutan Desa ke dalam RPJMDes Tanjung Aur II (S1, S2, S3, O1, O2). 3. Membentuk lembaga pengelola hutan desa yang beranggotakan masyarakat desa dan masyarakat luar desa yang menggarap lahan hutan negara di Desa Tanjung Aur II (S1, S2, S3, O1, O2, O3, O4). 4. Meminta bantuan kepada stakeholder terkait sesuai kapasitas dan perannya masing-masing (fasilitasi, pendampingan, dan anggaran) (S2, S3, O4). 5. Mengoptimalkan pemanfaatan lahan hutan negara dengan penerapan agroforestri intensif (S1, O4) Strategi S-T 1. Membentuk lembaga pengelola hutan desa yang beranggotakan masyarakat desa dan masyarakat luar desa yang menggarap lahan hutan negara di Desa Tanjung Aur II (S1, S2, S3, T1). 2. Menetapkan kewajiban lembaga pengelola untuk memberikan kontribusi/kompensasi ke kas desa/kas lembaga desa yang sebagiannya dipergunakan untuk mendukung pembiayaan fasilitasi program secara mandiri (S2, S3, T2). 3. Menetapkan kewajiban lembaga pengelola untuk mencegah dan melindungi kawasan hutan negara yang termasuk dalam areal kerja hutan desa dan areal di sekitarnya dari berbagai ancaman perambahan dan perusakan hutan (S1, S2, S3, T1, T2). 4. Mencari dan meminta dukungan dari stakeholder terkait ataupun pihak-pihak lainnya yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk melakukan fasilitasi dan pendampingan (S2, S3, T3, T4). 5. Memasukkan rencana implementasi dan pengembangan Hutan Desa ke dalam RPJMDes dan Rencana Tahunan Desa Tanjung Aur II (S1, S2, S3, T1, T2).
61
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Manna, Bengkulu Selatan pada tanggal 15 Desember 1983. Penulis merupakan putra pertama dari Ayahanda Dulana Ra'it (alm) dan Ibunda Zuhaibaniah. Penulis menikah dengan Kristina Paskana, S.S.T., M.Kes. dan dikaruniai seorang putri yang diberi nama Asha Ardhiona Bunga Silvana. Pendidikan dasar diselesaikan penulis di SDN 2 Manna. Pendidikan menengah pertama ditempuh penulis di SMPN 1 Manna dan pendidikan menengah atas di SMUN 5 Manna. Pada tahun 2002, penulis melanjutkan studi di Program Studi Budidaya Hutan, Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu dan meraih gelar sarjana pada tahun 2006 dengan predikat cum laude. Pada tahun 2013, penulis mendapatkan beasiswa tugas belajar dalam negeri dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan, Kementerian Kehutanan sebagai karyasiswa program magister (S2) pada program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pendidikan program magister ini ditempuh selama 2 tahun 3 bulan dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,81. Penulis pernah bekerja sebagai karyawan divisi administrasi dan akunting CV Jaya Makmur Bengkulu (2005 - 2006) dan karyawan divisi collecting and remedial PT Federal International Finance Tbk Bengkulu (2007). Penulis mengawali karir sebagai pegawai negeri sipil di Departemen Kehutanan pada tahun 2008. Jabatan terakhir penulis sebelum menjadi karyasiswa adalah sebagai Pejabat Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan Muda di Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kahayan (UPT Ditjen BPDASPS Kemenhut), Kalimantan Tengah.