VI EVALUASI KEMITRAAN PT. SANG HYANG SERI DAN PETANI PENANGKAR BENIH PADI 6.1
Gambaran Kemitraan PT. Sang Hyang Seri dengan Petani Penangkar Benih Kemitraan antara PT. Sang Hyang Seri (PT. SHS) dengan petani
penangkar benih di sekitar lokasi perusahaan difokuskan pada beberapa desa di tiga kecamatan yang merupakan daerah binaan PT. SHS yaitu kecamatan Ciasem, kecamatan Blanakan dan kecamatan Patokbeusi. Empat desa di kecamatan tersebut yang menjadi lokasi lahan milik PT. SHS, yaitu desa Ciasem Girang, desa Gempol Sari, desa Rawa Mekar dan desa Pinang Sari menjadi desa kontrak HGU, dimana para petani di keempat desa tersebut diutamakan untuk menjadi petani mitra. Selain keempat desa tersebut, terdapat desa-desa di luar kontrak HGU yang merupakan desa penyangga, yaitu desa Tambak Jati, desa Sukahaji, desa Cilamaya Hilir, desa Blanakan, desa Ciasem Hilir, desa Rancamulya, dan desa Sukamandi Jaya. Lahan yang dimiliki oleh PT. SHS seluas 3.150,65 hektar merupakan tanah negara yang diberikan pada PT. SHS untuk dikelola terutama untuk menghasilkan benih berkualitas yang memenuhi kebutuhan benih bersertifikat nasional. Luasnya lahan yang harus dikelola oleh PT. SHS tidak sebanding dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki oleh PT. SHS. Keterbatasan SDM menjadi salah satu masalah, sehingga kemitraan dengan petani sekitar menjadi solusi yang paling tepat. Pada musim tanam 2010/2011 dari seluruh luas lahan PT. SHS, seluas 2.283,15 hektar disewakan untuk diolah petani mitra dan 867,50 hektar lahan digunakan untuk kegiatan swakelola, penelitian dan Trap Border System (TBS). Kegiatan swakelola meliputi penanaman padi inbrida, penanaman padi hibrida, dan penanaman benih sumber. Pada musim tanam 2010/2011 seluruh lahan kerjasama digunakan untuk menanam padi inbrida. Selain swakelola dan kerjasama dalam, untuk memenuhi target produksi, PT. SHS melakukan kerjasama luar dengan kelompok tani atau gapoktan, seperti di Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Indramayu. PT. SHS membeli gabah hasil panen dari kelompok tani tersebut,
dimana benih sumbernya berasal dari PT. SHS. Setiap musimnya
kontrak
kerjasama luar dapat berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan PT. SHS. Tabel 20. Pembagian Areal Lahan PT. SHS Cabang Khusus Sukamandi Musim Tanam 2010/2011 Areal
Swakelola (Ha)
Kerjasama (Ha)
Jumlah (Ha)
I. Areal Kebun 1. Padi Inbrida -
Inpari 1
199,60
113,03
312,63
-
Situbagendit
-
190,03
190,03
-
Ciherang
335,79
1.658,90
1.994,69
-
Inpago 3 SHS
128,29
-
128,29
-
Cigeulis
-
20,20
20,20
-
Inpara 3
-
46,54
46,54
-
Inpari 13
39,77
-
39,77
-
Mekongga
-
46,99
46,99
-
IR64
-
207,46
207,46
703,45
2.283,15
2.986,60
Sub Jumlah 2. Padi Hibrida -
SL-8SHS
5,97
-
5,97
-
Perb. Restorer
1,13
-
1,13
7,10
-
7.10
710,55
2.283,15
2.993,70
1. Benih Sumber
110,61
-
110,61
2. Penelitian
13,97
-
13,97
3. TBS
3,00
-
3,00
Jumlah Areal Lain-lain
156,95
-
156,95
Jumlah Areal PT. SHS
867,50
2.283,15
3.150,65
Sub Jumlah Jumlah Areal Kebun II. Areal Lain-lain
Sumber: PT. Sang Hyang Seri, 2011
73
Kemitraan yang berlangsung antara PT. SHS dengan petani mitra merupakan kemitraan inti plasma. Sebagai perusahaan inti, PT. SHS menyediakan lahan sewa untuk digarap oleh petani, memberikan bantuan modal biaya panen, pinjaman sarana produksi dan benih sumber, serta memberikan pembinaan dan pendampingan bagi petani mitra. Sedangkan para petani berhak mengelola lahan yang disediakan oleh PT. SHS dan berkewajiban untuk menyerahkan hasil panennya kepada PT. SHS sesuai kebutuhan dan permintaan PT. SHS. Pada awalnya, sewa lahan dilakukan dengan membayar uang sewa setiap musimnya. Namun kemudian sejak tahun 2003, sistem pembayaran tersebut berubah menjadi sistem bagi hasil karena banyaknya kejanggalan seperti penarikan biaya sewa oleh oknum diluar petugas. Bagi hasil yang dibebankan kepada petani sebesar 1.200 kg per hektar dan diambil ketika panen.
6.2
Mekanisme Pelaksanaan Kemitraan Pelaksanaan kemitraan antara PT. SHS dengan petani mitra ditandai
dengan penandatanganan Surat Perjanjian Kerjasama yang dapat diperbaharui setiap musimnya. Untuk memulai kemitraan, petani mengajukan surat permohonan usulan penggarapan. Pada surat tersebut terdapat jumlah lahan yang diminta oleh petani. PT. SHS memberikan syarat maksimal 2 hektar lahan untuk setiap petani. Selanjutnya PT. SHS melakukan evaluasi, apakah petani tersebut layak untuk menjadi petani mitra. Apabila petani tersebut telah layak, maka PT. SHS akan mengeluarkan surat pengabulan yang harus ditandatangani oleh kepala desa. Kemudian dilakukan penandatanganan Surat Perjanjian Kerjasama antara PT. SHS dengan petani mitra. Lahan kerjasama PT. SHS dibagi ke dalam lima wilayah, dimana setiap wilayah dipegang oleh supervisor. Tugas supervisor adalah mengawasi, mengontrol, serta memberi penyuluhan kepada petani. Daftar pembagian areal lahan untuk musim tanam 2010/2011 dapat dilihat pada Tabel 21.
74
Tabel 21. Pembagian Areal Lahan Kerjasama Musim Tanam 2010/2011 No 1
Supervisor Edi Rohendi
Blok S1-S13
142,86
B1-B23
184,68
B31
2,55
L2AB-L6
25,00
BLC
81,45
B2-B14
55,79
L1-L7
59,41
LK1-LK4
59,73
S21-S22B
13,50
Sub Jumlah 2
Sunarja, A.Md
624,97 LK5-LK25
114,65
LK6-LK10
15,71
LK27-LK51
147,14
LK40-LK46
46,99
L35-L45
105,37
S30-S31
12,32
S36-S40
51,75
L36-L52
87,38
Sub Jumlah 3
Rohali, A.Md
581,31 PSK
172,57
SKJB
206,47
Sub Jumlah 4
Sugianto Uwan
379,04 TGKB
Sub Jumlah 5
Aang Suharman, SP
Luas (Ha)
301,52 301,52
SKJT
92,00
TGKT
304,31
Sub Jumlah
396,31
Jumlah
2283,15
Sumber: PT. Sang Hyang Seri, 2011
75
Pelaksanaan budidaya penangkaran benih padi oleh petani mitra diawasi oleh PT. SHS. Setiap kegiatannya mulai dari tebar, tanam hingga panen harus berjalan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Selama satu musim tanam, PT. SHS melakukan roguing sebanyak 3 kali, yaitu ketika (i) masa vegetatif, yaitu satu bulan setelah tanam, (ii) masa berbunga penuh, yaitu dua setengan bulan setelah tanam, dan (iii) fase pemasakan, yaitu dua minggu sebelum panen. Biaya roguing ditanggung oleh petani mitra sebagai biaya operasional yang wajib dibayar setiap musimnya. Petani mitra menyerahkan hasil panen dengan Surat Pengantar Hasil (SPH). SPH diperoleh setelah hasil panen melalui uji laboratorium, untuk menentukan kadar air serta kotoran dari hasil panen tersebut. Satu SPH mewakili satu kendaraan, yang berisi nama petani mitra, lokasi penanaman, luas lahan, tanggal panen, total hasil panen bruto, total hasil panen netto setelah dikurangi berat karung dan hasil panen, kadar air dan kotoran, serta harga yang ditetapkan untuk hasil panen tersebut sesuai dengan hasil laboratorium. Penimbangan dilakukan dua kali, pertama oleh petani sendiri, kemudian oleh perusahaan. SPH ditandatangani oleh petani mitra, supervisor dan supir kendaraan. Pembayaran hasil panen dilakukan berdasarkan kesepakatan sebelumnya, minimal satu minggu setelah penyerahan hasil panen, tergantung dari kemampuan perusahaan. Lama pembayaran menunggu pencairan dana perusahaan.
6.3
Surat Perjanjian Kerjasama Surat Perjanjian Kerjasama (SPK) antara PT. SHS dengan petani
menetapkan luas areal lahan serta lokasi atau blok yang akan dikelola oleh petani selama satu musim, dengan beberapa persyaratan atau ketentuan mengenai kegiatan pembinaan dan pengawalan teknis, pembayaran benih, pembayaran bagi hasil, pembayaran biaya operasional, kepemilikan hasil panen dan penjualan hasil panen, pengelolaan areal lahan, serta sanksi bagi pelanggaran. SPK berisi poin umum seperti Nomor SPK, tanggal penandatangan SPK, serta data pihak-pihak yang bermitra. Dalam SPK, PT. SHS dinyatakan sebagai Pihak Pertama dan petani mitra sebagai Pihak Kedua. Kesepakatan yang tercantum di dalam SPK diantaranya: 76
1. PIHAK PERTAMA, wajib melakukan pembinaan dan pengawalan teknis produksi yang dilaksanakan oleh PIHAK KEDUA. 2. PIHAK KEDUA diwajibkan membayar benih pokok sebanyak 25 Kg / Ha / Musim kepada PIHAK PERTAMA. 3. PIHAK KEDUA diwajibkan membayar bagi hasil sebesar 1.200 Kg / Ha / Musim kepada PIHAK PERTAMA. 4. PIHAK KEDUA membayar biaya operasional kerjasama sebesar Rp. 130.000,-/ Ha / Musim yang terdiri dari : Biaya Roguing, Sanitasi, Materai dan PHT. 5. PIHAK KEDUA berhak atas semua hasil panen dan memasukkan/menjual kepada PIHAK PERTAMA apabila dibutuhkan setelah dipotong kewajiban bagi hasil. 6. PIHAK KEDUA diwajibkan mengelola areal dengan baik dan tidak dipindah tangankan kepada orang lain maupun dijual belikan. 7. PIHAK KEDUA diwajibkan mematuhi ataupun mentaati persyaratan dan ketentuan yang berlaku di PT. Sang Hyang Seri (Persero) yang tidak tertulis dalam kontrak ini dalam hal pemanfaatan lahan. 8. PIHAK KEDUA bersedia diberhentikan sebagai petani kerjasama apabila tidak mengikuti ataupun mentaati aturan dan ketentuan yang ada. Di dalam Surat Perjanjian Kerjasama tidak disebutkan bahwa petani mitra wajib menjual seluruh hasil panennya kepada PT. SHS. Petani menjual kepada perusahaan ketika dibutuhkan. Jumlah benih yang dibeli oleh PT. SHS tergantung dari kebutuhan benih PT. SHS. Setiap musimnya, PT. SHS menargetkan jumlah produksi. Namun untuk memenuhi target produksi tersebut, peraturan tersebut diperkuat oleh peraturan tidak tertulis bahwa petani tidak diperbolehkan untuk menjual benih selain pada PT. SHS, kecuali untuk konsumsi, dimana jumlah hasil panen mereka masih dapat memenuhi target PT. SHS. Peraturan tidak tertulis lainnya yang telah disepakati oleh kedua belah pihak adalah mengenai penetapan harga beli hasil panen, penetapan varietas, ketentuan luas lahan, penetapan tebar, tanam, panen, penyediaan sarana produksi, kerjasama pembasmian tikus, pembagian risiko budidaya, respon terhadap keluhan, pengangkutan hasil panen, serta jangka waktu pembayaran hasil panen. Dalam SPK, PT. SHS menerapkan 77
sanksi bahwa petani mitra akan diberhentikan apabila melanggar kesepakatan baik tertulis maupun tidak tertulis. Penerapan sanksi ini tidak serta merta dilakukan pada pelanggaran pertama. Sebelum diberhentikan, PT. SHS akan memberikan teguran terlebih dahulu kepada petani mitra. Apabila petani mitra tetap melakukan pelanggaran barulah kemudia diberhentikan sebagai petani mitra oleh PT. SHS.
6.4
Evaluasi Pelaksanaan Kemitraan Pelaksanaan kemitraan antara PT. SHS dengan petani mitra diatur dalam
suatu peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis. Peraturan tertulis terdapat dalam Kontrak Kerjasama yang berlaku untuk setiap musim. Peraturan tertulis maupun tidak tertulis mengatur hak dan kewajiban dari petani mitra maupun dari PT. SHS. Berdasarkan uraian hak dan kewajiban, dapat dievaluasi pelaksanaan kemitraan tersebut. Keenam belas poin kerjasama yang digunakan untuk mengevaluasi kemitraan ditentukan berdasarkan peraturan tertulis dan peraturan tidak tertulis. Poin-poin tersebut adalah pembinaan dan pengawalan teknis, pembayaran benih pokok, pembayaran bagi hasil, pembayaran biaya operasional, penjualan hasil panen, pengelolaan areal, sanksi terhadap pelanggaran aturan, ketentuan luas lahan garapan, penerapan jadwal tebar tanam panen, penyediaan sarana produksi, kegiatan pembasmian tikus, penerapan harga beli hasil panen oleh PT. SHS, pembagian risiko budidaya, respon terhadap keluhan, pengangkutan hasil panen dan pembayaran hasil panen. Secara ringkas, evaluasi pelaksanaan kemitraan dapat dilihat pada matriks evaluasi, dimana dapat terlihat beberapa peraturan yang tidak berjalan sesuai perjanjian yang telah disepakati (Lampiran 3). Pelaksanaan kemitraan antara PT. SHS dengan petani mitra dilihat dari kesepakatan baik tertulis maupun tidak tertulis adalah: A. Peraturan Tertulis. 1. Pembinaan dan Pengawalan Teknis. PT. SHS diwajibkan untuk melakukan pembinaan dan pengawalan teknis produksi. Pembinaan dan Pengawalan Teknis Produksi mewakili frekuensi kegiatan pembinaan serta pengawalan teknis yang dilakukan oleh PT. SHS serta menilai kualitas SDM yang dimiliki PT. SHS dalam memberikan 78
pembinaan dan pengawalan. Pembinaan dan pengawalan teknis dilakukan hampir setiap hari oleh PT. SHS. Hal ini cukup mudah dilakukan, karena lahan penangkaran benih padi merupakan milik PT. SHS dan berada di wilayah PT. SHS. Dari seluruh lahan milik PT. SHS dibagi menjadi lima wilayah, dimana setiap wilayah memiliki kepala wilayah atau supervisor. Kepala wilayah inilah yang berperan melakukan pembinaan dan pengawalan teknis. Petani di setiap wilayah pasti mengenal kepala wilayahnya, dan terjalin komunikasi yang baik, sehingga aliran informasi baik mengenai PT. SHS maupun mengenai budidaya dapat diterima oleh petani. Pelaksanaan poin kerjasama ini telah sesuai dengan kesepakatan kerjasama. 2. Pembayaran Benih Pokok. Pembayaran benih pokok diatur di dalam kontrak, dimana petani mitra diwajibkan membeli benih pokok 25 kg per hektar per musim dari PT. SHS. Harga benih pokok pada musim tanam 2010/2011 adalah Rp 7.500 per kg. Pembelian benih pokok ke PT. SHS dimaksudkan untuk menjaga kualitas benih yang dihasilkan. Jenis varietas yang ditanam ditentukan oleh perusahaan. Petani diwajibkan untuk menanam padi sesuai dengan varietas yang ditentukan oleh PT. SHS. Hal ini berdasarkan banyaknya kebutuhan dari varietas padi itu sendiri. Varietas yang ditanam oleh PT. SHS pada musim tanam 2010/2011 adalah Inpari 1, Situbagendit, Ciherang, Inpago 3 SHS, Cigeulis, Inpara 3, Inpari 13, Mekongga dan IR64. Varietas Inpago 3 SHS dan Inpari 13 hanya dibudidayakan pada kegiatan swakelola. Sejauh ini, petani mitra selalu mematuhi ketentuan tersebut sehingga pelaksanaan poin kerjasama ini telah sesuai dengan kesepakatan kerjasama. Walaupun sebenarnya banyak petani yang sudah mulai kurang menyukai varietas yang ditentukan oleh perusahaan. Beberapa petani menyatakan bahwa kini banyak varietas lokal yang lebih tinggi produktivitasnya. 3. Pembayaran Bagi Hasil. Sesuai dengan Surat Perjanjian Kerjasama (SPK), petani mitra diwajibkan untuk membayar bagi hasil sebesar 1.200 kg per hektar per musim sebagai 79
biaya sewa atas lahan yang digunakan. Pembayaran dilakukan ketika panen dengan pemotongan hasil panen. Sejauh ini dalam pelaksanaannya petani mematuhi kesepakatan kerjasama tersebut. Menurut petani bagi hasil sebesar 1.200 kg per hektar per musim tidak memberatkan. 4. Pembayaran Biaya Operasional. Pembayaran biaya operasional diatur di dalam SPK. Biaya operasional terdiri dari biaya roguing, sanitasi, materai dan PHT. Biaya yang dikenakan adalah sebesar Rp 130.000,00 per hektar per musim dan dibayar setelah panen. Menurut petani biaya ini sudah cukup bahkan termasuk murah, dan sejauh ini petani mematuhinya. Sehingga pelaksanaan poin kerjasama ini telah sesuai dengan kesepakatan kerjasama. 5. Penjualan Hasil Panen. Pada kontrak dinyatakan bahwa petani menjual dan memasukkan hasil panennya ke PT. SHS bila dibutuhkan. Hal ini dimaksudkan bahwa hasil panen yang dibeli oleh PT. SHS setiap musimnya tergantung dari kebutuhan PT. SHS. Setiap musimnya PT. SHS memiliki target produksi. Target inilah yang digunakan untuk menentukan berapa ton benih yang harus diserahkan petani mitra per hektarnya. Namun ditambahkan dalam peraturan tidak tertulis, bahwa petani diwajibkan menjual seluruh hasil panennya kepada PT. SHS karena kebutuhan benih yang tinggi. PT. SHS hanya mengizinkan petani mengambil hasil panen untuk konsumsi pribadi. Namun dalam pelaksanaannya banyak petani yang menjual sedikit hasil panennya ke tengkulak dengan alasan lebih cepat dalam pembayaran sehingga pelaksanaan poin kerjasama ini kurang sesuai dengan kesepakatan kerjasama. Selain itu, penjualan di luar PT. SHS tidak menggunakan rafaksi harga, sehingga harga yang didapat bisa lebih tinggi dibandingkan di PT. SHS. 6. Pengelolaan Areal Lahan. Pengelolaan areal lahan diatur di dalam SPK. Petani diwajibkan untuk mengelola lahan sebaik-baiknya dan tidak diperbolehkan memindah tangankan tanpa diketahui oleh PT. SHS dan melalui prosedur yang telah ditetapkan. Sejauh ini peraturan ini diikuti oleh petani sehingga 80
pelaksanaan poin kerjasama ini telah sesuai dengan kesepakatan kerjasama. Namun penggunaan pupuk kimia (anorganik) yang berlebihan oleh petani semakin menurunkan kualitas tanah. Kurangnya penggunaan pupuk organik semakin menyebabkan tanah menjadi tidak subur. 7. Sanksi Terhadap Pelanggaran Aturan. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum di dalam SPK, petani yang tidak mematuhi peraturan bersedia untuk diberhentikan dari kerjasamanya dengan PT. SHS. Namun sebelum diberhentikan, PT. SHS akan memberikan teguran terlebih dahulu. Sejauh ini, belum pernah ada petani mitra yang diberhentikan karena melanggar peraturan. B. Peraturan Tidak Tertulis 1. Ketentuan Luas Lahan Garapan. Sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh PT. SHS, maksimal luas lahan yang dapat disewa oleh petani adalah 2 hektar untuk setiap petani. Hal ini terutama karena luas lahan PT. SHS yang terbatas dan banyaknya petani yang berminat menjadi petani mitra. Peraturan ini pada dasarnya telah dipatuhi dan pelaksanaannya sesuai dengan kesepakatan kerjasama, namun terdapat beberapa petani yang tercatat menyewa lahan lebih dari 2 hektar. Menurut PT. SHS hal tersebut terjadi karena lokasi lahan yang tanggung dan biasanya berada di pinggir. 2. Penerapan Jadwal Tebar, Tanam, Panen. Penerapan kegiatan tebar, tanam, panen yang dilakukan oleh petani semuanya diatur oleh PT. SHS. Petani melaksanakannya sesuai jadwal yang telah ditetapkan oleh PT. SHS. Kelima wilayah memiliki waktu tebar, tanam dan panen yang berbeda. Hal ini bertujuan agar terjadi kontinuitas
persediaan
serta
untuk
mempermudah
dalam
panen,
pengangkutan, dan pengelolaan setelah panen. Kapasitas pabrik PT. SHS kurang lebih 80 hektar per hari. Petani tidak dapat menentukan waktu tebar, tanam dan panen sesuai keinginannya. Sejauh ini pelaksanaan poin kerjasama telah sesuai dengan kesepakatan kerjasama.
81
3. Penyediaan Sarana Produksi. PT. SHS menyediakan sarana produksi selain bibit seperti pupuk dan obatobatan dalam bentuk pinjaman. Namun menurut petani, pupuk dan obatobatan sering tidak tersedia ketika dibutuhkan. Selain itu, harganya lebih tinggi bila dibandingkan dengan harga di kios. Hal ini disebabkan karena pupuk dan obat-obatan yang disediakan oleh PT. SHS merupakan pupuk dan obat-obatan yang tidak bersubsidi. Petani mitra tidak membeli pupuk dan obat-obatan di PT. SHS. Para petani lebih memilih untuk membeli di kios. Pelaksanaan poin kerjasama ini kurang sesuai dengan kesepakatan kerjasama. 4. Kerjasama Pembasmian Tikus. Kerjasama pembasmian tikus atau yang dikenal dengan istilah gropyok tikus dilakukan oleh PT. SHS dengan petani karena banyak terdapat tikus di wilayah lahan PT. SHS. Gropyok tikus dilakukan dua kali dalam seminggu, yaitu pada hari rabu dan sabtu. Setiap petani wajib mengikuti kegitan gropyok tikus. Namun beberapa petani menyatakan jarang mengikuti gropyok tikus, terutama petani yang lahannya tidak diserang tikus sehingga pelaksanaan poin kerjasama ini kurang sesuai dengan kesepakatan kerjasama. 5. Penetapan Harga Beli Hasil Panen Oleh PT. SHS. PT. SHS melakukan penetapan harga berdasarkan survei pada tiga desa dan tiga varietas, yang sedang melaksanakan panen pada saat yang sama, kemudian diambil harga rata-rata. Hal ini dilakukan agar harga beli tidak berbeda jauh dengan harga di pasaran. Survei harga dilakukan seminggu sekali, sehingga harga benih berubah-ubah sesuai harga pasar. Apabila tidak ada pelaksanaan panen di desa sekitar, maka penetapan harga beli dilakukan dengan musyawarah, antara PT. SHS dengan perwakilan petani yang akan melaksanakan panen. Penetapan harga beli juga dipengaruhi oleh kadar air serta kotoran yang dikandung gabah hasil panen, dimana ketika musim kemarau kadar air normal yaitu 23 persen dan kadar kotoran 3 persen. Sedangkan pada musim hujan kadar air normal yaitu 25 persen dan kadar kotoran 5 persen. Kadar air serta kotoran ini membentuk rafaksi 82
harga. Petani merasa sedikit dirugikan dengan adanya rafaksi harga, namun hal ini dilakukan oleh PT. SHS untuk menjaga kualitas benih dan meningkatkan motivasi petani agar menghasilkan benih padi dengan kualitas yang bagus dan lebih memperhatikan kondisi benih ketika panen, agar kadar air dan kotoran sesuai dengan kriteria perusahaan. Pelaksanaan poin kerjasama ini telah sesuai dengan kesepakatan kerjasama. 6. Pembagian Risiko Budidaya. Pembagian risiko budidaya tidak diatur dalam peraturan tertulis. Namun PT. SHS menyatakan bahwa risiko yang bersifat kelalaian manusia ditanggung oleh petani, sedangkan risiko yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia, seperti bencana alam, iklim, cuaca dan serangan hama penyakit ditanggung bersama oleh petani mitra dan PT. SHS. Selama dua musim, yaitu pada musim tanam 2009/2010 dan musim tanam 2010, PT. SHS mengalami puso atau gagal panen karena serangan hama wereng. PT. SHS tidak membebankan sepenuhnya kepada petani. Pembayaran bagi hasil selama dua musim tidak perlu dilakukan, namun tetap dibayarkan pada musim selanjutnya. Pelaksanaan poin kerjasama ini telah sesuai dengan kesepakatan kerjasama. 7. Respon Terhadap Keluhan. Petani menyampaikan keluhannya kepada PT. SHS melalui kepala wilayah. Selanjutnya keluhan dilanjutkan ke bagian kebun, yaitu bagian yang bertanggung jawab terhadap kemitraan. Menurut petani, belum ada solusi nyata dari keluhan yang disampaikan, terutama mengenai keterlambatan waktu pembayaran hasil panen sehingga pelaksanaan poin kerjasama ini kurang sesuai dengan kesepakatan kerjasama. 8. Pengangkutan Hasil Panen. Pengangkutan hasil panen difasilitasi oleh PT. SHS dengan menyediakan truk. Namun biaya transportasi tetap ditanggung oleh petani, karena PT. SHS menerima hasil panen di perusahaan. Musim ini terdapat kendala, yaitu kurangnya jumlah truk pengangkut, sehingga banyak hasil panen yang terbengkalai dan dibiarkan saja di lahan hingga lebih dari tiga hari melewati jadwal sehingga tidak sesuai dengan kesepakatan kerjasama. 83
9. Pembayaran Hasil Panen PT. SHS tidak menyatakan secara pasti berapa lama jangka waktu pembayaran. Namun perusahaan menyatakan bahwa jangka waktu pembayaran maksimal kurang lebih satu bulan. Pada kenyataannya banyak petani yang mengeluhkan hal tersebut, karena pembayaran hasil panen bahkan pernah terjadi setelah musim tanam selanjutnya. Menurut PT. SHS pembayaran hasil panen menunggu pencairan dana. Pelaksanaan poin kerjasama ini tidak sesuai dengan kesepakatan kerjasama. Dari enam belas poin kerjasama terdapat enam poin yang pelaksanaannya belum sesuai dengan kesepakatan. Keenam poin tersebut adalah penjualan hasil panen, penyediaan sarana produksi, kegiatan pembasmian tikus, respon terhadap keluhan, pengangkutan hasil panen serta pembayaran hasil panen.
6.5
Kendala-kendala di Dalam Pelaksanaan Kemitraan Pelaksanaan kemitraan tidak selalu berjalan sesuai dengan kesepakatan
karena banyak kendala-kendala yang ditemui di lapangan. Uraian kendala-kendala yang dihadapi petani mitra berdasarkan pendekatan poin kerjasama pada evaluasi kemitraan dapat dilihat pada Lampiran 4. Kendala-kendala yang terjadi di dalam pelaksanaan kemitraan antara PT. SHS dengan petani mitra diantaranya: 1. Kurangnya pertemuan rutin untuk pembinaan. 2. Masih terdapat petani yang menjual hasil panennya selain ke PT. SHS, karena pembayarannya yang lebih cepat dibandingkan bila menjual ke PT. SHS. 3. Banyaknya penggunaan pupuk anorganik yang menurunkan kesuburan tanah. 4. Kurangnya ketersediaan sarana produksi ketika dibutuhkan oleh petani. Selain itu harga sarana produksi yang cukup tinggi, karena bukan merupakan sarana produksi yang bersubsidi. 5. Masih terdapat petani yang tidak mengikuti kegiatan pembasmian (gropyok) tikus 6. Masih terdapat petani yang merasa bahwa rafaksi harga merugikan. 84
7. Belum adanya solusi nyata dari keluhan petani seperti keterlambatan pembayaran hasil panen. 8. Kurangnya sarana pengangkutan hasil panen. 9. Keterlambatan pembayaran hasil panen oleh PT. SHS
6.6
Manfaat Kemitraan Petani bergabung ke dalam kemitraan terutama agar memperoleh manfaat
dari keberadaan kemitraan itu sendiri. Walaupun terdapat beberapa kendala di dalam pelaksanaan kesepakatan kerjasama, namun para petani masih merasakan manfaat dari kemitraan. Tabel 22. Manfaat Kemitraan PT. Sang Hyang Seri dengan Petani Mitra Manfaat Kemitraan 1. Modal a. Mendapatkan bantuan modal b. Tidak ada bantuan modal Jumlah 2. Kepastian Harga a. Harga tetap/stabil b. Harga berubah Jumlah 3. Pemasaran a. Mendapatkan jaminan pasar b. Tidak ada jaminan pasar Jumlah 4. Pendapatan a. Meningkatkan pendapatan b. Tidak ada pengaruh Jumlah 5. Pengetahuan a. Mendapatkan tambahan pengetahuan dan ketrampilan b. Tidak ada pengaruh Jumlah 6. Risiko a. Risiko usaha ditanggung bersama b. Tidak ada pengaruh Jumlah
Jawaban Responden
Persentase (%)
30 0 30
100 0 100
0 30 30
0 100 100
30 0 30
100 0 100
30 0 30
100 0 100
11
36,67
19 30
63,33 100
0 30 30
0 100 100
85
Berdasarkan jawaban responden, manfaat yang diperoleh petani dari pelaksanaan kemitraan, antara lain: 1. Mendapatkan Bantuan Modal Modal merupakan hal yang paling penting dalam pelaksanaan suatu usaha. Bantuan modal yang diberikan PT. SHS adalah bantuan biaya panen. 100 persen petani menyatakan dengan bergabung dalam kemitraan, mereka memperoleh bantuan modal panen. Bantuan pinjaman modal panen yang diberikan oleh PT. SHS sebesar Rp 1.500.000,00 per hektar per musim. 2. Mendapatkan Jaminan Pasar Salah satu manfaat yang dirasakan oleh seluruh petani adalah adanya jaminan pasar. 100 persen petani mitra menyatakan bahwa dengan bermitra
mereka
tidak
perlu
mengkhawatirkan
penjualan
hasil
produksinya, karena PT. SHS memberi jaminan pasar bagi petani mitra untuk menjual hasil produksinya. Karena adanya rafaksi harga, semua hasil panen akan tetap dibeli walaupun harganya mungkin lebih rendah. Selain itu, walaupun PT. SHS memiliki target, apabila petani ingin menjual seluruh hasil panennya, PT. SHS akan tetap membelinya. 3. Pendapatan Meningkat Meningkatnya pendapatan dirasakan oleh seluruh petani yang bermitra dengan PT. SHS. Sebanyak 100 persen petani mitra menyatakan walaupun banyak kendala serta permasalahan yang dihadapi, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dengan menjadi petani mitra pendapatan mereka meningkat. Bahkan beberapa petani yang dulunya hanya bekerja sebagai petani buruh, kini dengan bermitra dapat memiliki lahan sendiri secara sewa dan mengelola lahannya sendiri. Bila hasil produksi mereka memenuhi standar kualitas PT. SHS maka pendapatan mereka lebih tinggi, karena harga beli lebih tinggi dibandingkan harga dipasaran. 4. Mendapatkan tambahan pengetahuan dan ketrampilan bertani serta teknologi Sebanyak 36,67 persen petani mitra menyatakan bahwa dengan bergabung di dalam kemitraan PT. SHS mereka mendapatkan tambahan 86
pengetahuan dan ketrampilan bertani melalui pembinaan yang dilakukan perusahaan. Walaupun begitu 63,33 persen responden petani menyatakan bahwa mereka tidak mendapatkan tambahan pengetahuan dan ketrampilan karena merasa sudah lebih mengetahuinya. Diantara keenam manfaat kemitraan, dua di antaranya tidak dirasakan oleh seluruh petani, yaitu kepastian harga dan pembagian risiko usaha. PT. SHS dalam menetapkan harga beli melakukan survei pasar, sehingga harga berubah-ubah setiap
musimnya.
Penerapan
rafaksi
harga
menyebabkan
terjadinya
ketidakstabilan harga. Harga beli tergantung dari kualitas benih yang petani hasilkan. Sedangkan untuk pembagian risiko budidaya, PT. SHS menyerahkan seluruh risiko budidaya untuk ditanggung petani, apabila memang berasal dari kelalaian manusia. Apabila kegagalan budidaya diakibatkan oleh bencana alam, maka perusahaan akan meringakan beban petani dengan tidak membayar bagi hasil pada musim tersebut. Namun bagi hasil tersebut tetap menjadi hutang dan harus dibayarkan pada musim selanjutnya, sehingga petani tidak merasakan adanya pembagian risiko budidaya. Sedangkan manfaat kemitraan yang dirasakan PT. SHS terutama adalah pemenuhan kebutuhan bahan baku dan ketersediaan tenaga kerja.
87