Prosedur Penetapan dan Penangguhan Upah Minimum Provinsi dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 12/G/2013/PTUN-PLG dan 62/G/2013/PTUN-JKT) Verdi Ferdiansyah dan Melania Kiswandari, S.H., ML.I. Program Paralel, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Skripsi ini membahas tentang prosedur penetapan dan penangguhan Upah Minimum Provinsi di Indonesia, khususnya di Sumatera Selatan dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analisis, dengan menerapkan studi kepustakaan dan wawancara untuk mengidentifikasi masalah. Berbagai persoalan/permasalahan dalam prosedur dan pelaksanaan juga dapat diketahui dengan menganalisis Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 12/G/2013/PTUN-PLG dan 62/G/PTUN-JKT/2013. Berkenaan dengan masalah tersebut terdapat lembaga yang terkait dengan penetapan dan penangguhan Upah Minimum Provinsi yaitu Gubernur dan Dewan Pengupahan Provinsi.
Determination and Postponement Procedure of Provincial Minimum Wage Associated with Act Number 13 Year 2003 Concerning Manpower (Case Study of the State Administrative Court Ruling Number 12/G/2013/PTUN-PLG and 62/G/PTUNJKT/2013) Abstract This thesis describes about the determination and postponement procedure of provincial minimum wage in Indonesia, especially in South Sumatera and Special Capital Region of Jakarta. The research method used is descriptive analysis method, by applying literature research and interviews to identify problems. Some problems in procedure and implementation also can be known by analyzing the State Administrative Court Ruling Number 12/G/2013/PTUN-PLG and 62/G/PTUN-JKT/2013. Relating to that, there are the institution dealing with determination and postponement procedure which are Governor and Provincial Remuneration Council.
Keywords: Provincial Minimum Wage, Governor, Provincial Remuneration Council
Prosedur penetapan..., Verdi Ferdiansyah, FH UI, 2014
Pendahuluan Upah merupakan faktor penting dan ciri khas dalam suatu hubungan kerja.1 Upah juga merupakan hal utama bagi para pekerja/buruh untuk memenuhi kebutuhan hidupnya karena subsidi riil pemerintah untuk menunjang kebutuhan pokok mereka, seperti makan, minum, tempat tinggal, transportasi, kesehatan, pendidikan dan lain-lain tidak tersedia cukup.2 Dengan demikian, bagi pekerja/buruh upah menjadi sangat berarti dan tidak kerap menjadi tuntutan jika hal-hal berkaitan dengan upah itu tidak diselesaikan secara tuntas dan proporsional.3 Di sisi lain, pengusaha menganggap bahwa upah yang terlalu tinggi menyebabkan biaya produksi naik sehingga akan memberatkan perusahaan. Kedua pandangan tersebut menyebabkan penetapan upah menimbulkan polemik. Selain itu, pekerja/buruh seringkali dianggap sebagai objek, faktor eksternal yang berkedudukan sama dengan pelanggan pemasok atau pembeli, yang berfungsi menunjang kelangsungan perusahaan, bukan faktor internal yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam perusahaan. Oleh karena itu, pengusaha kerap menekan pekerja/buruh untuk menerima syarat-syarat kerja yang ditetapkan perngusaha secara sepihak misalnya bekerja secara maksimal terkadang melebihi kemampuannya.4 Dengan demikian, menyebabkan pemerintah perlu menyeimbangkan posisi tawar pekerja/buruh terhadap pengusaha dengan melakukan pelaksanaan fungsi-fungsi pengaturan utamanya upah khususnya upah minimum yang merupakan jaring pengaman bagi kelangsungan hidup pekerja/buruh. Dunia ketenagakerjaan di Indonesia telah mengalami perjalanan sejarah yang cukup panjang. Pada era tahun 1970 sampai dengan 1980-an, sebenarnya Pemerintah Indonesia tidak
1
Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi, cet. 4, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2000), hal. 148. Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Perjanjian kerja menurut Aloysius Uwiyono adalah perjanjian yang dibuat antara pekerja/buruh dengan pengusaha dimana pekerja/buruh mengikatkan diri untuk bekerja pada pengusaha, di lain pihak pengusaha mengikatkan diri untuk mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah. Lihat Agusmidah (a), Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Dinamika dan Kajian Teori, cet. 1, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), hal. 45. 2
Wawancara dengan M. Rusdi, Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), pada
tanggal 14 Mei 2014. 3
Abdul Khakim, Aspek Hukum Pengupahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, cet.1,
(Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 3-4. 4
Asri Wijayanti (a), Menggugat Konsep Hubungan Kerja, cet.1, (Bandung: Lubuk Agung, 2011), hal. 3-4.
Prosedur penetapan..., Verdi Ferdiansyah, FH UI, 2014
campur tangan dalam penetapan upah.5 Namun, kenyataannya posisi tawar (bargaining position) pekerja/buruh di Indonesia masih sangat rendah sehingga pengusaha justru selalu menekan pekerja/buruh dengan upah yang sangat rendah. Sejalan dengan kondisi tersebut akhirnya muncul berbagai tekanan baik dari dalam maupun luar negeri terhadap nasib pekerja/buruh di tengah perekonomian Indonesia yang semakin terindustrialisasi. Bertolak dari sini, akhirnya Pemerintah Indonesia mengubah kebijakan yang menyangkut upah khususnya upah minimum. Sebelum tahun 1996, kebijakan penentuan upah minimum didasarkan pada kebutuhan fisik minimum (KFM) yang kemudian saat ini menjadi kebutuhan hidup layak (KHL). Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 89 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.6 Terhadap kebijakan upah tersebut tentu pemerintah tidak hanya memandang pentingnya upah dari segi peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh saja tetapi juga memperhatikan aspek-aspek lain misalnya aspek makro ekonomi dan kelangsungan usaha. Untuk itu dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-01/MEN/1999 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-226/MEN/2000 serta Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 13 tahun 2012 tentang Upah Minimum, diatur bahwa penetapan upah minimum mempertimbangkan beberapa aspek secara komprehensif misalnya nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL), produktivitas makro, pertumbuhan ekonomi, kondisi pasar kerja dan usaha yang paling tidak mampu (marginal). Perubahan sistem dari era sentralisasi menuju ke era otonomi juga menimbulkan pula pergeseran dinamika ketenagakerjaan di tanah air. Lembaga penetapan upah minimum yang sebelumnya ditetapkan oleh pemerintah pusat (Menteri Tenaga Kerja) saat ini telah beralih menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (Gubernur). Pada era sentralisasi, lembaga penetapan upah minimum di Indonesia dibentuk Dewan Penelitian Pengupahan Nasional (DPPN) dan Dewan Penelitian Pengupahan Daerah (DPPD). Prosedur penetapan upah minimum pada era sentralisasi antara lain7 penentuan nilai Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) dilakukan oleh DPPD melalui penelitian harga-harga pada pasar tradisional yang dilakukan sekali dalam sebulan untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta dan sekali dalam tiga bulan untuk wilayah provinsi lain. Kemudian, penyampaian hasil kajian KFM dan kesimpulannya 5
Khakim, op.cit., hal. 10.
6
Pasal 89 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur bahwa Upah
minimum diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak. 7
Tianggur Sinaga, Kebijakan Pengupahan di Indonesia, Jurnal Ketenagakerjaan Vol. 3-No. 2- Edisi Juli-
Desember 2008, hal. 34-35.
Prosedur penetapan..., Verdi Ferdiansyah, FH UI, 2014
mengenai upah minimum oleh DPPD kepada Gubernur untuk kemudian direkomendasikan kepada Menteri Tenaga Kerja. Kemudian, DPPN meneliti rekomendasi tersebut sebelum ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja menjadi ketentuan upah minimum. Namun, pada era itu terjadi beberapa permasalahan antara lain dari 18 unsur yang diangkat sebagai anggota DPPN dan DPPD, 15 diantaranya mewakili berbagai instansi pemerintah, satu unsur perguruan tinggi, satu unsur asosiasi pengusaha yaitu Apindo dan satu unsur serikat buruh yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia.8 Sehingga, unsur tripartit antara pemerintah, pekerja/buruh dan pengusaha menjadi tidak seimbang. Terkait mengenai serikat pekerja/buruh pada saat itu hanya SPSI. Ketika SPSI menjadi representasi buruh, satu hal yang hampir pasti terjadi dan itu menjadi kelebihan adalah deadlock tidak pernah terjadi dalam lembaga DPPD dan DPPN. Pada saat itu, dengan terlibatnya serikat pekerja/buruh tunggal, proses perundingan upah minimum nampaknya selalu lancar dan aman dalam arti tidak pernah menimbulkan gejolak yang berarti dalam ketenagakerjaan. Tidak pernah ada pemberitaan di media massa bahwa perundingan mengalami kemacetan berlarut-larut. Perundingan tripartit pada saat itu berjalan sangat “harmonis” karena dikendalikan dan didominasi oleh satu kekuatan yakni kepentingan modal yang diperjuangkan oleh pengusaha. Kepentingan ini diperkuat dengan implementasi kebijakan upah rendah yang diupayakan oleh pemerintah agar investasi modal dapat masuk ke Indonesia. Dalam praktiknya, dua kepentingan itu saling memperkuat dan berimplikasi pada posisi tawar buruh yang semakin lemah. Selain itu, keterlibatan serikat buruh tunggal pada saat itu hanya menjadi legitimasi dari kepentingan modal. Serikat buruh tunggal pada saat itu tidak pernah mewakili kepentingan buruh karena elit pengurusnya yang telah terkooptasi oleh kepentingan pengusaha. Pada era tersebut upah minimum jauh berada di bawah tingkat keseimbangan upah menunjukan bahwa upah minimum tidak mengikat bagi sebagian besar pekerja. Lebih lanjut, upah minimum di Indonesia relatif tidak dipaksakan dan digunakan hanya bertujuan yang bersifat simbolis.9 Inilah yang merupakan permasalahan dalam penetapan upah minimum di era sentralisasi. Sistem dan mekanisme tersebut berubah seiring dengan adanya otonomi daerah dan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Penetapan yang dilakukan oleh Menteri Tenaga Kerja berpindah menjadi kewenangan Gubernur. Kewenangan Gubernur dalam menetapkan upah 8
Popon Anarita, Kemampuan Negosiasi Serikat Buruh dalam Memperjuangkan Upah Minimum di Dalam
Institusi Dewan Pengupahan, Jurnal Analisis Sosial Vol. 1, Februari 2012, hal. 67-68. 9
Devanto Shasta Pratomo dan Putu Mahardika Adi Saputra, Kebijakan Upah Minimum untuk Perekonomian
yang Berkeadilan: Tinjauan UUD 1945, Journal of Indonesian Applied Economics Vol. 5-No. 2- Edisi Oktober 2011, hal. 278.
Prosedur penetapan..., Verdi Ferdiansyah, FH UI, 2014
minimum diatur dalam Pasal 89 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diatur bahwa upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi (Depeprov) dan atau Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota. Dengan adanya otonomi tersebut juga terjadi permasalahan yaitu adanya deadlock dalam perundingan dewan pengupahan dan gugat menggugat keputusan upah minimum. Situasi deadlock dalam perundingan tripartit khususnya dewan pengupahan dan gugat menggugat keputusan pemerintah mengenai besaran upah minimum sangat berkaitan dengan dibukanya iklim kebebasan berserikat melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang berimplikasi pada perubahan komposisi keterwakilan unsur tripartit khususnya keterlibatan lebih dari satu serikat pekerja/buruh di dalam lembaga tersebut. Terdapat relatif banyak kepentingan yang seringkali bertentangan antar anggota. Adanya perbedaan kepentingan antar pihak tersebut akhirnya turut berdampak pada sidang pleno pengusulan nilai KHL dewan pengupahan sehingga sidang tersebut deadlock hingga ada pihak yang tidak setuju/walk out. Usulan penetapan KHL pun terkadang tidak ditandatangani oleh serikat pekerja/buruh ataupun pihak pengusaha. Selain itu, permasalahan yang ada hingga saat ini adalah Dewan Pengupahan tidak otonom memutuskan tingkat upah minimum yang telah disepakati karena harus diajukan lagi ke pemerintah (dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja/ saat ini Gubernur). Menurut Adrian Sutedi, banyak faktor yang menyebabkan masalah kebijakan penetapan upah tersebut belum dapat dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan antara lain kondisi sosial politik yang kurang mendukung iklim investasi.10 Apalagi kentalnya politik perburuhan jika menjelang pemilihan umum kepala daerah dimana calon incumbent memanfaatkan peningkatan upah untuk meraup suara pekerja/buruh sehingga mekanisme penetapan upah minimum tidak dijalankan dengan benar. Bahkan setelah Upah Minimum Provinsi (UMP) ditetapkan Gubernur pun, ada pekerja/buruh yang mencoba untuk menegosiasikan ulang UMP. Bahkan, tanpa melibatkan dewan pengupahan, Gubernur dapat merubah besaran UMP. Oleh karena itu, tidak jarang pihak pengusaha mendaftarkan gugatan mengenai SK Penetapan UMP karena tidak sesuai mekanisme dan prosedur yang berlaku. Di sisi lain, terdapat masalah-masalah dalam desain upah minimum itu sendiri. Pada hakikatnya, UMP hanya untuk pekerja lajang dan masa kerja kurang dari satu tahun. Konsekuensinya pekerja/buruh yang baru diterima apabila ada yang sudah menikah pengusaha harus memberikan lebih dari itu. Namun, praktiknya, hanya sedikit pengusaha 10
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 146.
Prosedur penetapan..., Verdi Ferdiansyah, FH UI, 2014
yang menerapkan itu. Banyak pekerja yang masa kerja lebih dari satu tahun atau mereka sudah berkeluarga mendapat upah sama dengan UMP.11 Dampak terhadap penetapan upah minimum tersebut biasanya dialami oleh pekerja/buruh dan pengusaha. Pekerja/buruh menganggap bahwa besaran UMP yang ditetapkan Gubernur terlalu kecil sehingga tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka. Tak jarang, mereka melakukan usaha-usaha seperti mogok kerja atau unjuk rasa agar Gubernur meninjau ulang besaran upah minimum. Di sisi lain, banyak pengusaha yang menganggap UMP tersebut terlalu tinggi. Sehingga, kesulitan untuk membayarnya. Cara yang dapat pengusaha gunakan jika perusahaan tidak sanggup menerapkan kenaikan upah berbeda-beda mulai dari cara yang paling akomodatif hingga cara ekstrem pun dilakukan12 seperti merumahkan pekerja/buruh, mengurangi jumlah pekerja/buruh bahkan hingga menutup perusahaan. Namun, ada upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi beban pengusaha tersebut yaitu pengusaha dapat mengajukan permohonan penangguhan kepada Gubernur sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum. Setelah, Gubernur memeriksa dan memverivikasi maka Gubernur dapat menyetujui atau menolak penangguhan upah. Namun, di sisi lain pekerja/buruh terkadang juga tidak terima jika UMP itu ditangguhkan. Pada akhirnya, mereka menggugat SK Penetapan Persetujuan Penangguhan UMP. Biasanya para pekerja/buruh menganggap keputusan penangguhan UMP itu cacat hukum. Alasannya proses penangguhan dilakukan tanpa mematuhi peraturan padahal terdapat syarat yang wajib dipenuhi oleh perusahaan yang mengajukan penangguhan upah minimum. Bertitik tolak dari berbagai permasalah yang telah diuraikan di atas dan kenyaaan bahwa upah merupakan hal/faktor penting dalam mempertahankan dan meningkatkan kelangsungan hidup pekerja/buruh serta isu sensitif, politis dan terus berlangsung maka penulis tertarik mengkaji dan menulis tentang “Prosedur Penetapan dan Penangguhan Upah Minimum Provinsi Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Studi Kasus Putusan Nomor 12/G/2013/PTUN-PLG dan 62/G/2013/PTUN-JKT)”.
Tinjauan Teoritis
11
Asri Wijayanti (b), Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, ed.1, cet. 3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),
hal. 105. 12
FX Djoko Soedibjo, Rumus Sundulan DS Solusi Imbal Jasa Berbasis UMP/UMKK, cet. 1, (Jakarta:
Penerbit PPM, 2010), hal. 96.
Prosedur penetapan..., Verdi Ferdiansyah, FH UI, 2014
Tujuan utama hukum perburuhan adalah untuk melindungi kepentingan buruh/pekerja. Tujuan tersebut dilandasi oleh filosofi dasar bahwa buruh/pekerja selalu merupakan sub ordinat dari pengusaha karena itu hukum perburuhan dibentuk untuk menetralisir ketimpangan kedudukan antara buruh/pekerja dan pengusaha. Sehingga ketika UndangUndang tidak mampu menyeimbangkan sub ordinasi tersebut maka hal tersebut terjadi karena kegagalan secara substansi dan kepentingan di lapangan yang lebih berpihak kepada para pengusaha dibandingkan pekerja/buruh. Permasalahan imbalan kerja dapat dikatakan merupakan masalah sentral karena jelas merupakan hak dari buruh/pekerja atau pekerja yang melaksanakan pekerjaan atau tugas yang diemban untuk menerima dan kewajiban majikan atau pihak yang pekerjaan/tugas untuk memberikannya.13 Untuk mewujudkan tujuan utama hukum perburuhan harus diperhatikan azas-azas yang berlaku diantaranya adalah azas-azas hukum tentang pengupahan antara lain azas No Work No Pay. Pasal 1602b Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa “tiada upah yang harus dibayar untuk waktu, selama masa karyawan tidak melakukan pekerjaan yang dijanjikan”. Pada tiap perjanjian yang timbal balik, bila salah satu pihak tak melakukan kewajibannya maka walau apapun alasannya ia tentunya tidak dapat menuntut pihak lain yang menyerahkan prestasi imbalannya (No Work No Pay). Azas lainnya yaitu Equal Pay For Equal Job yang artinya besarnya imbalan seimbang dengan kualitas pekerjaan. Dalam praktiknya, upah yang dianggap layak atau wajar sering dilihat sangat penting bagi sebagian besar orang yang menjual tenaga kerja untuk mendapatkannya. Jika upah telah dirasakan relatif cukup atau layak maka upah akan tetap dianggap sebagai faktor yang paling dapat menurunkan kegairahan kerja dan menimbulkan keresahan.14 Azas selanjutnya yaitu hak menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhit pada saat hubungan kerja putus (Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah). Artinya hak menerima upah itu timbul pada saat adanya hubungan kerja. Pengusaha juga tidak boleh mengadakan diskriminasi upah bagi pekerja/buruh laki-laki dan wanita untuk jenis pekerjaan yang sama (Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah). Pengusaha pun dilarang membayar upah lebih rendah dari ketentuan upah minimum (Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Ketengakerjaan). Apabila pengusaha melakukan hal itu maka dapat dimaknai pelanggaran hak asasi manusia dan merupakan kejahatan yang dapat 13
A. Ridwan Halim, Sari Hukum Perburuhan Aktual, cet.I, (Jakarta: Pradiya Paramita, 1987), hal. 9.
14
A.S Ruky, Sistem dan Administrasi Penggajian untuk Perusahaan di Indonesia, (Bandung: Angkasa,
1987), hal. 5.
Prosedur penetapan..., Verdi Ferdiansyah, FH UI, 2014
dipidana. Konsep pengupahan di Indonesia dewasa ini terjadi pergeseran dari hak-hal yang bersifat keperdataan menjadi pelanggaran hak asasi yang bersifat pidana.15 Terkait mengenai komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap dengan formulasi upah pokok minimal 75% dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap (Pasal 94 Undang-Undang Ketenagakerjaan). Hal serupa juga dijumpai pada perdebatan seputar efektifitas dari kebijakan berupa upah minimum. Satu sisi beberapa pihak menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan solusi sosial bagi permasalahan kebutuhan buruh/pekerja namun di sisi lain beberapa pihak juga meragukan keefektifannya atau bahkan cenderung menyalahkan bahwa justru karena kebijakan inilah angka pengangguran tidak mengalami penurunan bahkan sebaliknya.
Metode Penelitian Pada penelitian ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif. Pendekatan secara yuridis normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, seringkali hukum sebagai apa yang dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.16 Penelitian ini tergolong jenis penelitian normatif17 yaitu penelitian terhadap ketentuan yang berkaitan dengan pengaturan dan penegakan hukum perburuhan secara umum dan masalah pengupahan secara khusus di Indonesia dengan melalui pendekatan deskriptif18 analitis yuridis. Pendekatan tersebut menggambarkan dan menganalisis temuan-temuan yang berkaitan dengan masalah pengupahan ditinjau dari aspek yuridis. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk melukiskan, menggambarkan, membahas dan menguraikan gejala atau peristiwa hukum dengan tepat dan jelas. Dipandang dari sudut bentuknya maka penelitian ini lebih menunjukan penelitian evaluatif dimana akan dinilai program-program yang dijalankan.19
15
Aloysius Uwiyono, et.al., Asas-Asas Hukum Perburuhan, cet.1, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hal. 98.
16
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT Raja Grafindo, 2004).
17
Penelitian normatif dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun tidak tertulis. Lihat, Sri Mamudji, et
al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 10. 18
Penelitian ini bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan atau gejala lainnya.
Lihat, Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3 (Jakarta:UI-Press, 1986), hal. 10. 19
Ibid.
Prosedur penetapan..., Verdi Ferdiansyah, FH UI, 2014
Hasil Penelitian Dalam proses penetapan UMP terdapat 2 (dua) pihak yang berwenang dan bertanggung jawab untuk melaksanakan yaitu Dewan Pengupahan Provinsi (Depeprov) dan Gubernur. Dewan pengupahan merupakan lembaga nonstruktural yang bersifat tripartit.20 Keanggotaan dewan pengupahan terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, perguruan tinggi dan pakar.21 Dewan pengupahan ini terbagi menjadi tiga yaitu Dewan Pengupahan Nasional (Depenas), Dewan Pengupahan Provinsi (Depeprov) dan Dewan Pengupahan Kota/Kabupateb (Depeko/Depekab). Keanggotaan Depenas diangkat dan diberhentikan oleh presiden, sedangkan keanggotaan Depeprov, Depekot dan Depekab diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur, Walikota dan Bupati.22 Lebih lanjut definisi Depeprov adalah suatu lembaga non struktural yang bersifat tripartit, dibentuk dan anggotanya diangkat oleh Gubernur dengan tugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur dalam rangka penetapan upah minimum dan penerapan sistem pengupahan di tingkat provinsi serta menyiapkan bahan perumusan pengembangan sistem pengupahan nasional.23 Jika melihat definisi tersebut ada beberapa unsur dasar mengenai Depeprov yaitu lembaga non struktural, keanggotaan dan tugas Depeprov. Lembaga non struktural di sini dimaksudkan adalah lembaga yang dibentuk untuk membantu tugas pemerintah daerah dalam melaksanakan tugasnya terutama untuk merespon, tuntutan atas penerapan good governance, melaksanakan fungsi khusus yang tidak dapat dilaksanakan secara reguler yang memerlukan penanganan secara independen di luar struktur pemerintahan dan berada dalam koordinasi dan fasilitasi perangkat daerah / Pemerintah Daerah dengan dukungan dana dari APBD dan sumber lainnya.24 Menurut tata kerja Depeprov baik Sumatera Sealatan maupun DKI Jakarta, Depeprov dipimpin oleh seorang ketua yang dalam 20
Presiden Republik Indonesia, Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Dewan Pengupahan,
Keppres Nomor 107 Tahun 2004, Ps. 1 angka 1. 21
Indonesia (a), Undang-Undang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No.39 Tahun 2003. TLN.
No. 4279, Ps. 98 ayat (2). 22
Ibid., Ps. 98 ayat (3).
23
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (c), Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan dan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, Permenakertrans No. 13 Tahun 2012, Ps. 1 angka 2. 24
Biro
Organisasi
Provinsi
Jogjakarta,
“Lembaga
Non
Struktural”
http://biroorganisasi.jogjaprov.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=122&Itemid=106, Diunduh 19 Juni 2014.
Prosedur penetapan..., Verdi Ferdiansyah, FH UI, 2014
melaksanakan tugas dan fungsinya bertanggung jawab kepada Gubernur. Artinya, Depeprov bertanggung jawab kepada Gubernur. Adapun anggota Depeprov berasal dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh dengan komposisi perbandingan 2:1:1.25 Sedangkan, keanggotaan Depeprov dari unsur peguruan tinggi dan pakar jumlahnya disesuaikan menurut kebutuhan. Keseluruhan anggota Depeprov harus berjumlah gasal.26 Anggota Depeprov diangkat untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.27 Untuk dapat diangkat menjadi anggota Depeprov, calon anggota harus memenuhi persyaratan yaitu Warga Negara Indonesia, berpendidikan paling rendah lulus Strata-1 (S-1) dan memiliki pengalaman atau pengetahuan bidang pengupahan dan pengembangan Sumber Daya Manusia.28 Penunjukan calon anggota Depeprov memiliki syarat yang berbeda-beda. Calon anggota Depeprov dari unsur Pemerintah diusulkan oleh Pimpinan Satuan Organisasi Perangkat Daerah Provinsi terkait kepada Gubernur. Sementara itu, calon anggota Depeprov dari unsur serikat pekerja/serikat buruh ditunjuk oleh Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang memenuhi syarat keterwakilan untuk duduk dalam kelembagaan ketenagakerjaan yang bersifat tripartit. Sementara itu, calon anggota Depeprov dari unsur organisasi pengusaha ditunjuk dan disepakati dari dan oleh organisasi pengusaha yang memenuhi syarat sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam perkembangan di Indonesia terdapat dua organisasi pengusaha yaitu Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Depeprov mempunyai beberapa tugas antara lain memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur dalam rangka penetapan UMP, UMK dan UMS, penerapan sistem pengupahan di tingkat Provinsi dan menyiapkan bahan perumusan pengembangan sistem pengupahan nasional. Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugasnya, Depeprov dibantu oleh Sekretariat. Sekretariat itu dibentuk oleh Gubernur.29 Selain itu, apabila dipandang perlu, Depeprov dapat membentuk Komisi untuk melaksanakan tugas tertentu. Keanggotaan Komisi berasal dari Anggota Depeprov.30
25
Presiden Republik Indonesia, op.cit., Ps. 23 ayat (2).
26
Ibid., Ps. 23 ayat (4).
27
Ibid.,Ps. 29.
28
Ibid., Ps. 28.
29
Presiden Republik Indonesia, op.cit., Ps. 25.
30
Ibid., Ps. 26.
Prosedur penetapan..., Verdi Ferdiansyah, FH UI, 2014
Selain Depeprov, ada pihak utama lain yang berwenang dan bertanggung jawab untuk melaksanakan penetapan UMP yaitu Gubernur. Gubernur sebagai pihak utama yang menentukan besaran Upah Minimum. Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2013 Gubernur memiliki tugas yaitu menetapkan upah minimum berdasarkan kebijakan pengupahan dan pengembangan sistem pengupahan nasional serta memperhatikan rekomendasi dewan pengupahan di daerahnya, menetapkan dan mengumumkan upah minimum provinsi yang dilakukan secara serentak di seluruh Indonesia setiap tanggal 1 November, menetapkan dan mengumumkan upah minimum kabupaten/kota setelah upah minimum provinsi ditetapkan, dalam hal kabupaten/kota yang bersangkutan menetapkan upah minimum, menetapkan tahapan pencapaian KHL di daerahnya masing-masing dengan mempertimbangkan kondisi kemampuan dunia usaha, mengalokasikan anggaran untuk kegiatan Dewan Pengupahan Provinsi dan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kebijakan penetapan upah minimum. Untuk pencapaian KHL tersebut, Gubernur menetapkan tahapan pencapaian KHL dalam bentuk road map (peta jalan) pencapaian KHL bagi perusahaan
industri
padat
karya
tertentu
dan
bagi
perusahaan
lainnya
dengan
mempertimbangkan kondisi kemampuan dunia usaha.31 Peta jalan pencapaian KHL tersebut disusun dengan langkah-langkah yaitu menentukan tahun pencapaian upah minimum sama dengan KHL, memprediksi nilai KHL sampai akhir tahun pencapaian, memprediksi besaran nilai upah minimum setiap tahun dan menetapkan prosentase pencapaian KHL dengan membandingkan prediksi besaran upah minimum dengan prediksi nilai KHL.32 Prosedur penetapan UMP terdiri dari beberapa tahap yaitu Pemberntukan tim survei oleh Depeprov, Pelaksanaan survei harga oleh tim survei, Pembahasan nilai KHL dalam sidang pleno Depeprov, Penyampaian rekomendasi/usulan KHL dari Depeprov kepada Gubernur dan terakhir Penetapan keputusan penetapan UMP oleh Gubernur. Selain itu, adalagi wewenang yang memungkinkan Gubernur untuk melakukan peninjauan terhadap besaran UMP. Peninjauan terhadap besarnya UMP dapat diadakan satu tahun sekali.33 Namun, prosedur ini belum ada petunjuk pelaksanaan/pedoman bagaimana ini dilakukan. Penulis memberikan
31
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (a), op.cit., Ps. 3 ayat (4).
32
Ibid., Ps. 4.
33
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (b), Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
tentang Perubahan Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 20 dan Pasal 21 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum, Kepmenakertrans No. KEP-226/MEN/2000, Ps. 4 ayat (7).
Prosedur penetapan..., Verdi Ferdiansyah, FH UI, 2014
pandangan bahwa ini harus segera dibuat petunjuk pelaksanaannya agar tidak menjadi suatu kewenangan luar biasa yang dapat disalahgunakan oleh Gubernur. Selain itu, berbicara tentang penangguhan, ada 4 (empat) lembaga yang berperan dalam penetapan penangguhan UMP yaitu Gubernur, Dewan Pengupahan, Pengusaha dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Gubernur mempunyai tugas untuk memberikan penolakan atau persetujuan penangguhan upah minimum. Selain itu ada, dewan pengupahan yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur untuk menolak atau menerima penangguhan UMP. Lembaga lain yaitu adanya pengusaha yang terlibat langsung mengajukan permohonan penangguhan. Lembaga yang tidak kalah penting adalah serikat pekerja/serikat buruh untuk melakukan kesepakatan tertulis dengan pengusaha jika menyetujui upah minimum. Kesepakatan tertulis dilakukan melalui perundingan secara mendalam, jujur dan terbuka. Terdapat beberapa tahap dalam penangguhan UMP yaitu pengajuan permohonan oleh pengusaha terhadap pelaksanaan UMP kepada Gubernur disertai syarat-syarat yang lengkap, penelitian permohonan penangguhan oleh Dinas Tenaga Kerja, pemberian saran dan pertimbangan oleh Depeprov terhadap penangguhan UMP dan terakhir penetapan oleh Gubernur berupa penolakan atau persetujuan penangguhan pelaksanaan upah minimum. Pembahasan Pertama adalah terkait prosedur penetapan UMP (Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 12/G/2013/PTUN-PLG). Pada hakikatnya, kewenangan penetapan upah minimum ada pada Pasal 89 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang mengatur bahwa upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memerhatikan rekomendasi Depeprov dan atau Bupati/Walikota. Selain itu, dalam Pasal 4 ayat (7) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-226/MEN/2000 tentang Perubahan Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 20 dan Pasal 21 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum diatur bahwa peninjauan terhadap besarnya UMP diadakan satu tahun sekali. Dalam
kasus
ini,
penetapan
Surat
Keputusan
Gubernur
Sumatera
Selatan
No.
107/KPTS/DISNAKERTRANS/2003 tanggal 22 Januari 2013 tentang Perubahan Atas Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 796/KPTS/DISNAKERTRANS/2012 tentang Upah Minimum Provinsi Sumatera Selatan (objek gugatan) diterbitkan secara sepihak tanpa melibatkan Depeprov Sumatera Selatan dalam hal ini pihak pengusaha yang berwenang untuk memberikan rekomendasi kepada Gubernur. Jika mengkaji lebih dalam ketentuan di atas
Prosedur penetapan..., Verdi Ferdiansyah, FH UI, 2014
maka terdapat masalah penting terkait pengertian rekomendasi. Rekomendasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah Saran yang menganjurkan (membenarkan, menguatkan).34 Rekomendasi yang diberikan Depeprov tidak mengikat penetapan. Rekomendasi hanya merupakan saran yang boleh diikuti dan boleh juga tidak oleh Gubernur. Wewenang penuh penetapan tetap ada di pihak Gubernur. Adapun terkait peninjauan besaran upah minimum provinsi35 sebagaimana terjadi dalam kasus penetapan Upah Minimum Provinsi pada sebelumnya dapat menjadi suatu polemik jika tidak jelasnya aturan mengenai hal tersebut. Kedua mengenai objek gugatan. Pemahaman tentang objek gugatan TUN merupakan hal yang penting dalam memahami sengketa TUN. Dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah terakhir oleh Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, unsur-unsur keputusan tata usaha negara yaitu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkrit, individual dan finalyang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum pedata. Dalam kasus ini terjadi perbedaan penafsiran mengenai unsur individual sehinga menimbulkan permasalahan apakah objek gugatan dapat menjadi KTUN yang dapat digugat. Terkait dengan masalah, tidak semua surat keputusan TUN dapat dijadikan sebagai objek gugatan. Oleh Undang-Undang Pengadilan Tata Usaha Negara diadakan pembatasan mengenai keputusan yang dapat dijadikan sebagai objek gugatan TUN. Salah satu pembatasan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 sebagaimana telah diubah terakhir oleh UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Unsur invidual dalam Undang-Undang tentang peradilan tata usaha negara erat kaitannya dengan pengecualian Keputusan Tata KTUN yang dapat digugat di pengadilan tata usaha negara. Tidak termasuk dalam pengertian KTUN adalah KTUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum. Pengaturan yang bersifat umum adalah pengaturan yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan yang ketentuaan belakunya mengikat semua orang. Selain itu, menurut Indroharto disebutkan bahwa beberapa KTUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum adalah norma konkret, rencana, peraturan kebijaksanaan atau keputusan bersama.36 Lebih lanjut, KTUN 34
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 4, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2012), hal. 1158. 35
Peninjauan terhadap besarnya upah minimum adalah tahap dimana dalam masa berlaku UMP yang telah
ditetapkan, Gubernur mempunyai kewenangan untuk merubah besaran UMP yang sedang berjalan. 36
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, cet. 4, (Jakarta:
Penertbit Pustaka Sinar Harapan, 1993), hal. 196.
Prosedur penetapan..., Verdi Ferdiansyah, FH UI, 2014
mengenai penetapan UMP Sumatera Selatan tahun 2013 tidak ditujukan langsung kepada perusahaan tertentu baik alamat maupun jenis perusahaannnya akan tetapi maksud dari objek sengketa tersebut sudah jelas ditujukan kepada pengusaha yang berada di wilayah Provinsi Sumatera Selatan yang mempekerjakan pekerja/buruh. Meskipun yang ditujukan kepada perusahaan-perusahaan yang berada di wilayah Sumatera Selatan, namun keputusan tersebut juga memberi hak dan kewajiban kepada pihak lain dalam hal ini kepada pekerja/buruh. Hakhak tersebut dapat dijadikan dasar hukum bagi pekerja apabila perusahaan melalaikan kewajibannya baik menyangkut besaran upah minium maupun mengenai standar jam kerja. Selain itu, UMP juga dijadikan patokan untuk membuat UMSP/UMSK. Jadi, objek sengketa bukan hanya mengikat perusahaan tetapi juga mengikat pemerintah dalam hal pembuatan UMSP dan atau UMSK. Di samping itu, sebetulnya terdapat isu lain yang juga merupakan masalah yaitu ketiga, terkait keanggotaan dewan pengupahan. Dalam Pasal 23 ayat (4) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan diatur bahwa jumlah keseluruhan anggota Depeprov berjumlah gasal. Namun, dalam susunan keanggotaan Depeprov Sumatera Selatan untuk periode 2012-2015 diangkat oleh Gubernur melalui
Surat
Keputusann
Nomor
202/KPTS/DISNAKERTRANS/2012
tentang
Pengangkatan Keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi Sumatera Selatan Periode 20122015, jumlah keanggotaan dewan pengupahan berjumlah 14 orang (genap). Komposisinya meliputi 3 orang perwakilan Dewan Pengurus Provinsi (DPP) Apindo, 3 orang perwakilan serikat pekerja/buruh (DPP K SPSI Provinsi Sumsel, Korwil K SBSI Sumsel dan Korwil F SPKP Sumsel), 1 orang pakar/perwakilan perguruan tinggi, dan 7 perwakilan Pemprov Sumatera Selatan. Seharusnya, jumlah keanggotaan dewan pengupahan ganjil karena tidak jarang dalam sidang pleno dewan pengupahan mengenai pengusulan nilai KHL dan UMP deadlock yang akhirnya menggunakan metode voting. Keempat, isu lain mengenai tim survei. Menurut Pasal 3 ayat (3) Permenakertrans Nomor 13 tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak diatur bahwa survei dilakukan oleh Dewan Pengupahan Provinsi atau Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota dengan membentuk tim yang keanggotaanya terdiri dari anggota Dewan Pengupahan unsur tripartit, unsur perguruan tinggi/pakar dengan mengikutsertakan BPS setempat. Namun, dalam Pasal 4 ayat (1) diatur bahwa dalam hal di Kabupaten/Kota belum terbentuk Dewan Pengupahan maka survei dilakukan oleh tim survei yang dibentuk oleh Bupati/Walikota. Tim tersebut keangotaanya secara tripartit dan dengan mengikutsertakan BPS setempat. Faktanya, Dewan Pengupahan Provinsi Sumatera Selatan hanya melakukan survei 1 kali dalam setahun yaitu pada bulan Juni 2012. Oleh karena keterbatasan anggaran, Dinas Tenaga Kerja Provinsi
Prosedur penetapan..., Verdi Ferdiansyah, FH UI, 2014
Sumatera Selatan selain bulan tersebut hanya menunggu hasil survei dari tim survei Kabupaten/Kota yang dibentuk oleh Disnaker Kabupaten/Kota. Selain itu, cukup banyak daerah dalam melakukan survei tidak melibatkan unsur tripartit.37 Hal lain yang dapat dianalisis, kelima adalah besaran mengenai penetapan Upah Minimum Provinsi Sumatera Selatan di bawah KHL. Merujuk pada Pasal 84 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan bahwa pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Jika dilihat, dari pasal tersebut eharusnya besaran setiap penetapan UMP harus di atas KHL. Apalagi jika Gubernur memperhatikan faktor lain seperti produktivitas makro, pertumbuhan ekonomi, kondisi pasar kerja dan usaha yang paling tidak mampu (marginal). Terkait dengan penangguhan UMP (Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 62/G/PTUN-JKT/2013), analisis Pertama adalah mengenai legal standing penggugat (serikat pekerja nasional). Pada hakikatnya Menurut Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah terakhir oleh Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa mengajukan gugatan harus ada unsur kepentingan penggugat yang dirugikan akibat timbulnya keputusan objek sengketa. Terkait dengan hal tersebut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Menurut Pasal 1 angka 17 UndangUndang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/ buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Oleh karena itu, serikat pekerja dapat mewakili pekerja di pengadilan. Kedua, terkait dengan masalah ketidakjelasan aturan mengenai tentang tenggang waktu kelengkapan berkas. Menurut Pasal 3 ayat (1) Kepmenakertrans Nomor: KEP.231/Men/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum menjelaskan bahwa permohonan pelaksanaan upah minimum diajukan oleh pengusaha kepada Gubernur melalui instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi paling lambat 10 hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum. Hal tersebut dikuatkan dengan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 42 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum Provinsi yaitu 37
Hal ini diketahui dari laporan hasil survei yang dilakukan oleh kabupaten/kota di Sumatera Selatan di mana
setiap bulan harus melapor kepada Disnakertrans Provinsi Sumatera Selatan. Dari laporan tersebut, tim survei yang tanda tangan hanya satu atau dua orang yang berasal dari perwakilan pemerintah saja.
Prosedur penetapan..., Verdi Ferdiansyah, FH UI, 2014
untuk mendapatkan penangguhan pelaksanaan upah minimum provinsi, pengusaha mengajukan permohonan tertulis kepada Gubernur melalui Kepala Dinas paling lambat 10 hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum. Pasal 6 ayat (1) Kepmenakertrans Nomor KEP.231/Men/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum mengatur bahwa penolakan atau persetujuan atas permohonan penangguhan yang diajukan oleh pengusaha diberikan dalam jangka waktu paling lama 1 bulan terhitung sejak diterimanya permohonan secara lengkap oleh Gubernur. Namun, mengenai kelengkapan berkas inilah tenggang waktunya belum diatur. Ketiga terkait dengan prasyarat mengajukan permohonan. Terkait dengan audit perusahaan. Sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) huruf b. permohonan penangguhan pelaksanaan upah minimum harus disertai dengan laporan keuangan perusahaan yang terdiri dari neraca, penghitungan rugi/laba beserta penjelasan-penjelasan untuk dua tahun berturut-turut. Lebih lanjut, dalam Pasal 4 ayat (2) diatur bahwa dalam hal perusahaan berbadan hukum laporan keuangan perusahaan harus sudah diaudit oleh akuntan publik. Faktanya,persyaratan administratif berupa hasil audit akuntan publik yang tidak dipenuhi pengusaha untuk mendapat izin penangguhan. Audit itu diperlukan guna membuktikan bahwa perusahaan yang bersangkutan mengalami kerugian dua tahun berturut-turut sehingga tidak mampu membayar UMP. Terkait dengan kesepakatan tertulis antara serikat pekerja/buruh dengan pengusaha. Syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata38 diatur bahwa 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suati perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Lebih lanjut dalam pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata39 yang tertera sebagai berikut tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian merupakan alasan untuk batalnya suatu perjanjian. Faktanya, Pengusaha menggunakan intimidasi kepada pekerja/buruh untuk menandatangani kesepatan penangguhan upah dengan ancaman akan di-PHK, perusahaan tutup, kontrak kerja tidak akan diperpanjang jika menolak untuk menandatangani kesepakatan. Cara intimidasi kepada pekerja/buruh ini dengan cara HRD memanggil pekerja/buruh satu-satu untuk menandatangani kesepakatan. Pengusaha menyodorkan bukti bahwa pekerja setuju dengan penangguhan, padahal itu terjadi karena dilakukan lewat intimidasi terhadap pekerja dengan ancaman pemecatan. Seharusnya kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/buruh atau pekerja/buruh 38
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh Subekti dan
Tjitrosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), Ps. 1320. 39
Ibid., Ps. 1321.
Prosedur penetapan..., Verdi Ferdiansyah, FH UI, 2014
perusahaan
yang
bersangkutan
tidak
sah
karena
tidak
memenuhi
syarat
sah
kesepakatan/perjanjian. Keempat terkait masalah objek penangguhan yang tidak tepat. Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan peraturan mengenai Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum. Artinya, dalam peraturan ini upah minimum dapat dilakukan baik untuk UMP maupun UMSP. Selain itu, khusus untuk DKI Jakarta diatur tentang tata cara penangguhan pelaksanaan Upah Minimum Provinsi. Faktanya, menurut Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 207 tahun 2012 kepada perusahaan yang termasuk dalam sektor unggulan di DKI Jakarta antara lain perusahaan yang bergerak di bidang bangunan dan pekerjaan umum; kimia, energi dan pertambangan; logam, elektronik dan mesin; otomotif; asuransi dan perbankan; makanan dan minuman; farmasi dan kesehatan; tekstil, sandang dan kulit; pariwisata; telekomunikasi dan retail diterapkan khusus UMSP. Perusahaan yang masuk dalam kelompok tersebut diwajibkan membayar upah minimum lebih tinggi dari UMP DKI Jakarta. Perusahaan yang terkena UMSP mengajukan penangguhan berdasarkan Keputusan Menteri tersebut. Namun, dalam objek gugatan, Gubernur membuat keputusan tentang persetujuan penangguhan UMP kepada perusahaan yang seharusnya terkena UMSP. Kelima, terkait masalah implementasi Upah Minimum di perusahaan menurut Pasal 14 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum diatur bahwa upah minimum hanya berlaku bagi pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari 1 tahun. Lebih lanjut dikuatkan dengan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak yang menyatakan bahwa KHL adalah standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan satu bulan. Dari dua pasal tersebut menunjukkan bahwa upah minimum tidak boleh diterapkan untuk pekerja/buruh yang sudah bekerja lebih dari satu tahun. Faktanya, perusahaan menyamaratakan pembayaran upah kepada pekerja/buruh tanpa membedakan masa kerja setiap pekerja/buruh. Seharusnya, perusahaan harus mempunyai struktur dan skala upah yang jelas sehingga dapat membedakan mana pekerja/buruh yang dapat terkena UMP mana yang tidak. Di samping itu, keenam, terdapat isu lain yaitu adanya keputusan dewan pengupahan yang merugikan pekerja/buruh. Pasal 3 Kepmenkertrans Nomor KEP. 231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanan Upah Minimum dimana harus ada kesepakatan tertulis serikat pekerja/buruh dengan pengusaha.Faktanya, Depeprov DKI Jakarta pada tanggal 20 Desember 2012 melaksanakan sidang dengan hasil yaitu apabila pengusaha dan serikat pekerja/buruh sepakat, maka permohonan penangguhan
Prosedur penetapan..., Verdi Ferdiansyah, FH UI, 2014
tersebut dikabulkan. Namun, apabila pengusaha dengan serikat pekerja/buruh tidak sepakat tetapi terdapat sekurang-kurangnya 70% pekerja yang menyetujui maka permohonan penangguhan dapat disetujui dengan besaran nilai upah pokok sebesar nilai KHL tahun 2012 yaitu sebesar Rp1.978.789,-. Kesimpulan Surat Keputusan Gubernur tentang penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) tidak termasuk dalam Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dapat menjadi objek gugatan dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena tidak memenuhi unsur individual. Dalam kasus penetapan, Majelis Hakim menolak gugatan dengan dasar bahwa Surat Keputusan Gubernur tersebut merupakan KTUN yang mengatur ketentuan umum dan tidak bersifat individual. Adapun berdasarkan lingkup perburuhan pengaturan mengenai penetapan UMP masih perlu ditinjau ulang, khususnya terkait penggunaan istilah rekomendasi dalam mekanisme pengajuan nominal/komponen nominal UMP (dari Depeprov kepada Gubernur) dan detail mekanisme peninjauan ulang besaran UMP. Istilah rekomendasi membuka peluang dilakukannya perubahan nominal/komponen nominal UMP yang telah disepakati oleh keterwakilan Tripartit dalam Depeprov oleh Gubernur, hal mana terjadi dalam kasus yang dianalisis dan dalam penerapan di lapangan, atas pertimbangan bahwa hasil kesepakatan tersebut hanya merupakan suatu rekomendasi. Selanjutnya, berdasarkan kasus yang sama, oleh karena detil mekanisme peninjauan ulang besaran UMP tidak diatur, dalam penerapannya kondisi tersebut menyebabkan Gubernur menerbitkan keputusan UMP hasil tinjau ulang tanpa melalui keterwakilan Tripartit di Depeprov. Surat Keputusan Gubernur tentang penangguhan UMP termasuk dalam KTUN yang dapat menjadi objek gugatan dalam PTUN karena memenuhi unsur konkrit, individual dan final yang berakibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dalam kasus penangguhan, oleh karena telah memenuhi unsur-unsur KTUN maka Majelis Hakim memeriksa pokok perkara. Adapun berdasarkan lingkup perburuhan pengaturan mengenai penangguhan UMP masih perlu ditinjau ulang juga, khususnya terkait batas waktu kelengkapan berkas dalam mekanisme pengajuan penangguhan UMP. Oleh karena belum diatur, dalam penerapannya kerap terjadi setelah pengajuan penangguhan pengusaha masih menyusulkan kelengkapan berkasnya berulangkali, sebagaimana terdapat dalam kasus yang dianalisis. Kondisi tersebut dapat menimbulkan potensi kerugian bagi pekerja/buruh dalam hal gubernur menyetujui penangguhan dengan menetapkan jumlah nominal tersendiri, antara UMP sebelumnya sampai pada di bawah UMP
Prosedur penetapan..., Verdi Ferdiansyah, FH UI, 2014
baru. Dalam penerapannya, sebagaimana juga terjadi pada kasus yang dianalisis, prasyarat adanya kesepakatan tertulis dari serikat pekerja/buruh atas penangguhan UMP yang diajukan pengusaha kepada Gubernur kerap diperoleh melalui cara-cara yang bertentangan dengan hukum seperti initimidasi. Kondisi tersebut menyebabkan secara administrasi prasyarat tersebut telah terpenuhi sehingga pengajuan penangguhan dapat diproses.
Saran Dari kesimpulan tersebut maka perlu dikembangkan wacana untuk meninjau ulang istilah rekomendasi dalam mekanisme penetapan Upah Minimum Provinsi sebagaimana diatur melalui Undang-Undang Ketenagakerjaan. Mengingat rekomendasi bersifat fakultatif padahal Upah Minimum Provinsi merupakan kesepakatan di level tripartit. Apalagi anggota dewan pengupahan telah memenuhi unsur tripartit ditambah unsur-unsur lain yang berkompeten. Istilah rekomendasi seyogyanya diganti dengan istilah keputusan tripartit (Depeprov) yang kemudian ditetapkan Gubernur. Serupa dengan saran di atas detail mengenai mekanisme peninjauan ulang besaran Upah Minimum Provinsi harus diatur secara jelas dan tegas sehingga peninjauan ulang Upah Minimum Provinsi tidak hanya dilakukan oleh pihak-pihak tertentu saja yang belum merepresentasikan perwakilan tripartit. Perlu pengaturan tegas dan jelas terkait batas waktu kelengkapan berkas sehingga ada kejelasan hukum dalam mengajukan permohonan penetapan UMP. Selanjutnya perlu juga diatur petunjuk teknis tentang penelitian berkas permohonan penangguhan Upah Minimum Provinsi khusunya kesepakatan tertulis. Apabila dari hasil verifikasi tersebut terdapat kecurigaan maka perlu pemanggilan SP/SB dan pengusaha oleh Dinas Tenaga Kerja untuk klarifikasi sehingga dampak negatif dari kondisi tersebut dapat diminimalisir.
Kepustakaan Agusmidah. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Dinamika dan Kajian Teori. Cet. 1. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010. Anarita, Popon. Kemampuan Negosiasi Serikat Buruh dalam Memperjuangkan Upah Minimum di Dalam Institusi Dewan Pengupahan. Jurnal Analisis Sosial Vol. 1, Februari 2012. Amirudin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT Raja Grafindo, 2004. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. 4. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012. Halim, A. Ridwan, Sari Hukum Perburuhan Aktual. Cet.I. Jakarta: Pradiya Paramita, 1987.
Prosedur penetapan..., Verdi Ferdiansyah, FH UI, 2014
Husni, Lalu. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi. Cet. 4. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2000. Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Cet. 4. Jakarta: Penertbit Pustaka Sinar Harapan, 1993. Khakim, Abdul. Aspek Hukum Pengupahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Cet.1. Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2006. Mamudji, Sri, et al.. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Pratomo, Devanto Shasta dan Putu Mahardika Adi Saputra. Kebijakan Upah Minimum untuk Perekonomian yang Berkeadilan: Tinjauan UUD 194. Journal of Indonesian Applied Economics Vol. 5-No. 2, 2011. Ruky, A.S. Sistem dan Administrasi Penggajian untuk Perusahaan di Indonesia. Bandung: Angkasa, 1987. Soedibjo, Djoko. Rumus Sundulan DS Solusi Imbal Jasa Berbasis UMP/UMK. Cet. 1, Jakarta: Penerbit PPM, 2010. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet 3. Jakarta:UI-Press, 1986. Sutedi, Adrian. Hukum Perburuhan. Cet. 2. Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Uwiyono, Aloysius, et.al.. Asas-Asas Hukum Perburuhan. Cet.1. Jakarta: Rajawali Pers, 2014. Wijayanti, Asri. Menggugat Konsep Hubungan Kerja. Cet.1. Bandung: Lubuk Agung, 2011. ____________. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Ed.1. Cet. 3. Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003. LN No.39 Tahun 2003, TLN. No. 4279. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Perubahan Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 20 dan Pasal 21 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum. Kepmenakertrans No. KEP-226/MEN/2000. _____________________________________. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan dan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Permenakertrans No. 13 Tahun 2012. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh Subekti dan Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 2006. Presiden Republik Indonesia. Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Dewan Pengupahan. Keppres Nomor 107 Tahun 2004. Internet Biro Organisasi Provinsi Jogjakarta, “Lembaga Non Struktural” `http://biroorganisasi.jogjaprov.go.id/index.php?option=com_content&view=article&i d=122&Itemid=106, Diunduh 19 Juni 2014. Wawancara Wawancara dengan M. Rusdi, Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), pada tanggal 14 Mei 2014.
Prosedur penetapan..., Verdi Ferdiansyah, FH UI, 2014