MEMPERTIMBANGKAN PERUBAHAN KE ARAH BENTUK NEGARA PERSATUAN REPUBLIK INDONESIA Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. (Guru Besar Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia) Federasi, Konfederasi, dan Negara Kesatuan Akhir-akhir ini, kita menyaksikan makin luasnya jperdebatan dan diskusi mengenai kemungkinan Negara Kesatuan Republik Indonesia berubah menjadi Negara Federasi. Dalam literature hukum dan politik, dikenal tiga macam susunan organisasi negara (staten verbindungen), yaitu: Negara Kesatuan (Eenheidstaat atau Unitary), Negara Federasi (Bondstaat), dan Negara Konfederasi (Statenbond). Dalam Negara Kesatuan, kita bicara tentang (i) satu negara berdaulat dengan (ii) satu konstitusi, sedangkan dalam federasi ataupun konfederasi kita bicara tentang banyak negara, yang membutuhkan konstitusi ataupun 'konstitusi' sendiri-sendiri. Dalam konstitusi negara kesatuan, (iii) ditentukan batas-batas wewenang dan kekuasaan pemerintah daerah, sedangkan kekuasaan yang tidak diatur dianggap sebagai kekuasaan milik pusat (residupower). Sebaliknya, dalam konstitusi negara federal, yang diatur adalah batas-batas kewenangan pusat (federal). Sisanya (residu power) dianggap sebagai milik daerah (negara bagian). Sedangkan perbedaan antara federasi dengan konfederasi dapat dilihat dari segi letak kedaulatan negara dan kewenangannya dalam mengambil keputusan yang mengikat warganegara. Dalam negara kesatuan dan negara federasi, (i) kedaulatan terletak di negara federal, sedangkan dalam konfederasi terletak di negara-negara bagian. (ii) Keputusan pemerintah federal mengikat warganegara seperti halnya dalam negara kesatuan, sedangkan keputusan pemerintah konfederasi tidak mengikat warganegara. (iii) Negara bagian dalam federasi dapat juga disebut berdaulat sendirisendiri, tetapi kedaulatan dalam konteks hukum internasional, tetap terletak di pusat federasi, bukan di negara bagian. Di samping itu, ciri penting negara federasi adalah bahwa hubungan antara hubungan pusat (federal) dan daerah (negara bagian) masing-masing bersifat koordinatif independen, sedangkan dalam negara kesatuan dan konfederasi hubungan itu bersifat subordinatif dan'dependent'. Dalam negara kesatuan, pemerintah daerah lebih rendah dan bersifat 'derivatif' dari kekuasaan pusat, sedangkan dalam konfederasi, pemerintahan pusatlah yang lebih rendah dan 'derivatif' dari kekuasaan negara bagian. Untuk menjamin hubungan yang sederajat, maka dalam negara federasi selalu diadakan fungsi peradilan konstitusi (constitutional court) sehingga sengketa antara pusat dan daerah dapat diselesaikan. Dalam negara kesatuan dan konfederasi, fungsi peradilan seperti itu tidak dianggap penting. Demikian pula lembaga parlemen di dalam negara Federasi, biasanya selalu bersifat bikameral, terdiri dari dua kamar. Yang pertama mewakili aspirasi rakyat melalui pemilihan umum yang diikuti partai-partai politik seperti DPR, sedangkan yang kedua mewakili aspirasi daerah-daerah seperti Senat di Amerika Serikat. Keharusan mempraktekkan sistem bikameral seperti ini tidak terdapat dalam negara kesatuan. Karena itu, dimana-mana kita dapat menyaksikan ada negara kesatuan yang menerapkan sistem parlemen bikameral dengan dua lembaga parlemen, tetapi banyak juga yang menerapkan sistem unikameral yaitu hanya terdiri atas satu kamar parlemen saja. Perlu disadari bahwa proses terbentuknya banyak negara kesatuan, konfederasi, dan federasi kadang-kadang memang terkait satu sama lain. Bersamaan dengan pertumbuhan awal praktek-praktek hukum internasional sebelum abad ke-19, memang dapat disaksikan banyak negara-negara kecil di Eropa yang membentuk konfederasi satu sama lain. Tetapi, karena perkembangan keadaan, bersamaan dengan menguatnya peran pemerintah pusat, konfederasi-konfederasi itu lama-kelamaan berubah menjadi federasi, dan bahkan ada diantaranya berubah menjadi negara kesatuan. Itu sebabnya, dalam perdebatan di sidang-sidang BPUPKI pada tahun 1945, bentuk negara kesatuanlah yang dianggap sebagai tahap akhir perkembangan bentuk negara, dan menjadi salah satu pertimbangan penting sehingga bentuk negara kesatuan itu yang diidealkan sebagai bentuk negara Republik Indonesia. Di samping itu, adanya prinsip kekuasaan sisa atau 'residu power' yang dikembangkan sebagai teori yang membedakan antara ketiga bentuk negara kesatuan, federasi dan konfederasi seperti dikemukakan di atas, juga turut mempengaruhi pengertian seakan-akan proses terbentuknya ketiga bentuk negara tersebut harus bersifat kronologis. Sifat kronologis ini memang nampak jelas dalam bentuk negara konfederasi yang harus terbentuk setelah adanya negara-negara kesatuan yang masing-masing berdiri sendiri terlebih dahulu. Kasus terakhir yang dapat dijadikan contoh mengenai hal ini adalah pembentukan "Confederation of Independent States" di atas bekas negara-negara Uni Soviet. Setelah Uni Soviet dibubarkan, terbentuklah negara-negara merdeka yang berdiri sendiri-sendiri, baru kemudian dibentuk konfederasi. Akan tetapi, pembentukan negara federasi dan negara kesatuan tentu saja berbeda. Apalagi jika negara yang brsangkutan sama sekali merupakan negara baru, tentu saja tidak diperlukan mekanisme perubahan sama sekali. Jika misalnya suatu negara konfederasi akan diubah menjadi negara federasi, maka proses perubahannya cukup dilakukan melalui mekanisme konstitusi biasa yang memerlukan proses-proses politik dalam kerangka aturan-aturan
konstitusional yang berlaku di negara yang bersangkutan. Demikian pula apabila negara federasi akan diubah menjadi negara kesatuan ataupun sebaliknya, yang dibutuhkan adalah proses-proses politik yang bersifat konstitusional biasa. Republik Indonesia sendiri pun pernah mengalami perubahan seperti ini, yaitu pada tahun 1949 dari negara kesatuan berdasarkan UUD 1945 menjadi Republik Indonesia Serikat (federasi) dan berubah lagi menjadi negara kesatuan pada tahun 1950 berdasarkan UUDS 1950. Oleh karena itu, kita tidak perlu mengkhawatirkan seakan-akan perubahan dari negara kesatuan menjadi negara federasi mengharuskan dibubarkannya terlebih dahulu bangun negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945. Ini jelas merupakan kesalahan persepsi. Prinsip kekuasaan sisa seperti dikemukakan di atas memang cenderung bersifat kronologis dalam suatu negara yang sama sekali baru terbentuk, yaitu bahwa kekuasaan pusat ditentukan secara tegas dengan asumsi bahwa kekuasaan selebihnya merupakan kekuasaan negara bagian yang memang sudah ada lebih dahulu. Akan tetapi, dalam rangka perubahan bentuk negara yang sudah terbentuk, pembagian kekuasaan antara pusat dan dan daerah (bagian) itu dapat diadakan dalam waktu yang bersamaan, yaitu melalui perumusan amandemen terhadap materi konstitusi. Bahkan, dalam materi amandemen konstitusi tersebut dapat dirumuskan secara tegas apa saja yang menjadi kewenangan pusat dan apa saja yang menjadi daerah (bagian). Sedangkan hal-hal yang belum diatur, maka berdasarkan teori residu, dapat dianggap sebagai kewenangan negara bagian. Kalaupun di kemudian hari, terdapat perbedaan penafsiran mengenai hal ini, maka dalam konstitusi federal dimungkinkan untuk diatur adanya pengadilan konstitusi yang tersendiri menyelesaikan sengketa antara pusat dengan negara bagian seperti dikemukakan di atas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa adanya prinsip residu atau kekuasaan sisa tersebut di atas sebenarnya adalah dimaksudkan untuk memperlihatkan kuatnya kedudukan negara-negara bagian dalam berhadapan dengan pusat, bukan dalam arti hubungan kronologis seperti yang secara keliru dipahami banyak orang. Sedemikian kuatnya kedudukan daerah atau negara bagian itu, sehingga kita dapat mengatakan bahwa dalam prinsip federasi itu, hubungan antara pusat dan daerah lebih bersifat koordinatif dan seimbang. Hubungan yang seimbang ini dikukuhkan dalam rumusan konstitusi dengan menentukan secara tegas apa yang menjadi kewenangan pusat dan apa yang menjadi kewenangan daerah atau negara bagian. Dalam hal terjadi konflik kewenangan di antara keduanya, maka konstitusi juga menyediakan mekanisme penyelesaiannya melalui proses peradilan konstitusi. Sebenarnya, negara federasi seperti ini di seluruh dunia tidak lebih dari 20 buah jumlahnya. Akan tetapi, negara-negara federasi itu wajib menempati wilayah yang sangat luas, meliputi mayoritas permukaan bumi, dan dihuni oleh kira-kira 40 persen penduduk dunia. Enam negara berwilayah terbesar di dunia, yaitu Amerika Serikat, Australia, Brazil, Kanada, India, dan Uni Soviet yang sekarang berubah menjadi Konfederasi Negara-Negara Merdeka (CIS). Sedangkan Indonesia memilih bentuk negara kesatuan dan menjadi negara berwilayah besar dan berpenduduk besar dengan tingkat keragaman paling plural di atas muka bumi dengan susunan negara kesatuan. Ada pula sekitar 17 negara yang tidak secara resmi menganut sistem federal, tetapi menerapkan sistem otonomi daerah yang sangat kuat sehingga mendekati sistem federal, seperti misalnya United Kingdom of Great Britain dan Irlandia yang meliputi 4 negara dan 5 'self - governing islands'. Juga ada negara-negara kecil seperti Kerajaan Monaco yang bergantung kepada Perancis sebagai pemegang 'federal power'. Dengan perkataan lain, praktek mengenai bentukbentuk federasi itu di dunia cukup beragam, dan dapat saja dijadikan pelajaran bagi Indonesia yang sekarang tengah terlibat diskusi mengenai soal ini. Karena itu, jika misalnya Aceh, yang memang telah resmi mendapat status sebagai daerah otonomi khusus, secara bersengaja dijadikan 'pilot project' untuk sistem federasi, seperti yang diusulkan oleh Nurcholis Madjid, maka hal itu dapat saja diadakan pengaturan tersendir sehubungan dengan mopdel federalisme yang hendak dikembangkan di Indonesia. Artinya, proses perubahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi negara federasi itu, dapat saja dilakukan bertahap, tidak harus sekaligus. Bahkan, bilamana perlu, perubahan itu juga tidak harus untuk keseluruhan propinsi. Beberapa propinsi dan wilayah yang sudah siap, dapat saja didahulukan ataupun dikembangkan berdasarkan prinsip 'federal arrangement' seperti di Inggris, misalnya. Sedangkan yang lain tetap seperti biasa. Untuk kasus yang ringan seperti ini, boleh jadi, tidak perlu diadakan perubahan bentuk negara secara formal dari negara kesatuan menjadi negara federasi. Dengan begitu, bunyi Pasal 1 ayat I UUD 1945, yaitu "Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik", tetap dapat dipertahankan, dengan tambahan ayat dala pasal ini ataupun tambahan ayat atau pasal dalam Pasal 18 atau Bab VI tentang Pemerintahan Daerah, misalnya berbunyi: "Daerah-daerah yang bersifat khusus dapat diatur tersendiri sebagai negara bagian Republik Indonesia menurut ketentuan undang-undang". Gagasan Federalisme dalam Sejarah Indonesia Modern Sebelum Indonesia merdeka, catatan mengenai pengalaman bangsa Indonesia dengan bentuk negara federasi dan bahkan konfederasi sebenarnya dapat dilihat dalam sejarah beberapa kerajaan di masa lalu. Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan dapat kita sebut sebagai salah satu contoh. Ketika itu raja-raja kecil biasa mengadakan hubungan satu sama lain
dan membentuk semacam dewan raja-raja. Melalui dewan itu, mereka memilih seorang menjadi Raja besar untuk periode tertentu. Praktek semacam ini dapat kita hubungkan dengan konsep federasi dalam pengertian sekarang. Di zaman penjajahan (British Interregnum antara tahun 1811 - 1816), Hindia Belanda pernah dibagi menjadi 4 'negara bagian', yaitu daerah Jawa dan taklukannya, Bengkulu dan taklukannya, Pulau Penang dan taklukannya, dan Maluku dan sekitarnya. Keempat daerah ini diperlukan seakan-akan sebagai negara-negara bagisan dalam federasi yang ditaklukkan. Artinya, alam pikiran federalis memang sudah pernah dipraktekkan sejak masa awal pertumbuhan Indonesia masa lalu. Menjelang Indonesia merdeka, dalam rangka penyusunan Undang-undang Dasar 1945, gagasan mengenai bentuk negara federasi atau 'bondsstaat' yang kemudian dikenal dengan konsep negara serikat cukup hangat diperdebatkan di antara para anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tidak kurang, tokoh Mohammad Hatta, Kahar Muzakkar dan lain-lain sangat aktif mengembangkan pemikiran mengenai bentuk negara federasi itu. Namun, harus diakui bahwa semangat yang melandasi cara berpikir para pejuang kemerdekaan pada waktu itu, pada umumnya memang terpusat pada idealitas untuk mengkonsolidasikan dan mempersatukan semua potensi bangsa agar menjadi kekuatan nasional untuk menentang penjajahan sedemikian rupa, sehingga yang diidealkan adalah bentuk Negara Kesatuan, bukan Federasi. Ide Indonesia Serikat justru dikaitkan dengan upaya melestarikan sistem kesultanan-kesultanan dan kerajaan-kerajaan kecil yang berdiri sendiri-sendiri di berbagai bagian nusantara, yang tentu saja tidak populer. Untuk menjamin kekuatan nasional yang bersatu, semua pejuang kemerdekaan mengidealkan bentuk negara kesatuan yang dianggap paling menjamin cita-cita kesatuan dan persatuan. Karena itu, ketika para anggota BPUPKI mengadakan pemungutan suara secara terbuka mengenai pilihan bentuk negara ini, tinggal tersisa dua orang saja yang memilih federasi, sedangkan yang lainnya memilih negara kesatuan, termasuk 5 orang lainnya yang semula turut mempertimbangkan alternatif bentuk negara federasi ini. Namun demikian, ide federasi ini terus hidup dar iwaktu ke waktu. Pada tahun 1949, ketika Republik Indonesia berubah menjadi Republik Indonesia Serikat, ide federasi kembali muncul. Akan tetapi, pada masa ini, ide federasi berkaitan dan berkonotasi dipengaruhi oleh kepentingan Belanda yang ingin menamcapkkan pengaruhnya kembali di bumi Indonesia. Hal ini dapat diketahui bahwa ketika Konstitusi RIS diterima sebagai buah perundingan KMB pada tahun 1949, ide negara serikat atau federasi ini memang terkait erat dengan kepentingan Belanda. Ide federasi ketika itu, dikembangkan dari atas untuk kepentingan elite penjajah. Karena itu, sangat beralasan bahwa ide federasi itu dalam sejarah Indonesia merdeka tidaklah populer. Tetapi sekarang zaman sudah berubah, dan sangat memungkinkan untuk mempertimbangkan alasan-alasan yang lebih rasional dan objektif berdasarkan kepentingan kita sendiri sebgai sebuah bangsa yang berdaulat dan merdeka. Selama kurun waktu 54 tahun terakhir sejak kemerdekaan, timbul kesadaran umum di kalangan rakyat di seluruh daerah mengenai terjadinya ketidakadilan dalam pembagian sumber-sumber ekonomi dan kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah-daerah. Berkembangnya aspirasi untuk federalisme dewasa ini dapat dikatakan muncul benar-benar dari bawah, yaitu dari kesadaran masyarakat di daerah-daerah yang selama ini merasakan perlakuan tidak adil. Karena itu, fenomena perkembangan ide federalisme sekarang ini tentu harus dipahami sangat berbeda dari ide federalisme di masa Republik Indonesia Serikat ataupun di masa perjuangan kemerdekaan yang bersifat 'state centered' dan cenderung direkayasa dari atas. Memang harus diakui bahwa masalah mendesak kita dewasa ini sebenarnya adalah rehabilitasi ekonomi yang tidak mesti dikaitkan dengan keharusan mengubah susunan negara federasi. Uni Soviet mengubah susunan organisasi negaranya dari federai menjadi konfederasi yang lebih longgar, tetapi hasilnya sama sekali tidak menyelesaikan krisis ekonomi di negara bekas komunis itu. Bahkan ekonominya makin luluh lantak. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa pemberian otonomi yang luas, selain membutuhkan waktu dan penyesuaian yang bertahap, juga dapat pula melahirkan perasaan diperlakukan tidak adil lagi, berhubung adanya daerah yang telah disahkan sebagai daerah yang memperoleh otonomi khusus, yaitu Aceh dan Irian Jaya yang juga tetap bergolak karena tidak puas. Oleh karena itu, perwujudan ide negara federasi ini untuk menjamin kesatuan dan persatuan sebuah bangsa yang berpenduduk besar dan sangat mejemuk di satu-satunya wilayah benua maritim di dunia seperti Indonesia, haruslah dipertimbangkan sebagai pilihan yang sangat masuk akal. Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa perubahan bentuknegara itu tetap harus dikaitkan dengan jaminan keadilan yang luas untuk kepentingan daerah-daerah. Sebab, di antara negara-negara federasi sendiri juga terdapat keragaman yang luas dalam pola pembagian kekuasaan antara pusat dengan daerah. Demikian pula dalam negara kesatuan, dimanamana tidak selalu sama cara mereka membagi kekuasaan antara pusat dengan daerah. Semuanya tergantung pada kebutuhan setempat-setempat. Ada negara kesatuan yang sistem pemerintahannya sangat sentralistis, tetapi ada pula negara federasi yang menerapkan praktek yang sangat sentralistis, tetapi ada pula negara federasi yang menerapkan praktek yang sangat sentralistis seperti negara-negara komunis Uni Soviet, Cekoslovakia, dan Yugoslavia yang semuanya sudah 'almarhum'. Ada pula kelompok negara-negara yang pernah mengalami rezim otoriter seperti negara-
negara Amerika Latin, tetapi tetap bertahan dengan sistem federalisme. Kelompok Ketiga adalah negara-negara Eropah seperti Austria, Jerman, dan Swiss yang memang memiliki sejarah panjang yang berhasil membangun sebuah pemerintahan federal dari negara-negara kecil di dalamnya. Kelompok Keempat adalah negara-negara bekas koloni Inggris seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, India, dan Nigeria. Semuanya berbeda-beda, dan karena itu ada yang disebut oleh para ahli dengan 'quasi federal', bukan dalam arti yang 'letterlijk'. Di semua negara federasi, yang terpenting ialah pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah, baik dalam arti politik, administratif, maupun ekonomi. Yang selalu diidealkan adalah hubungan pusat-daerah yang bersifat seimbang. Tetapi dalam praktek, peran pemerintah federal cenderung terus menguat selama 30 tahun terakhir. Di Amerika Serikat misalnya yang dianggap sebagai negara federasi yang ideal, pemerintah pusat menerima 4/5 pendapatan dari pajak perorangan yang untuk ukuran ekonomi Amerika merupakan sumber pendapatan terbesar bagi negara. Sedangkan negara bagian, sebagian terbesar bergantung pada pajak penjualan. Akibatnya, anggaran pemerintah negara bagian selama 30 tahun terakhir terus bergantung ke pemerintah pusat. Demikian pula di Australia, sekitar 60 % pendapatan negara bagian berasal dari pemerintah federal. Artinya, kita harus tetap memperhatikan bahwa persoalan yang sebenarnya adalah bagaimana skala pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah yang lebih mencerminkan keadilan. Di negara federasi sekalipun, pola pembagian itu bisa saja tidak adil seperti yang dialami baik oleh negara-negara eks-komunis maupun negaranegara liberal. Sentralisme kekuasaan pusat juga bisa saja terjadi di negara kesatuan, tetapi di lingkungan negara kesatuan dapat pula terjadi keseimbangan kekuasaan antara pusat dan daerah. Jepang, misalnya, dengan jumlah penduduk tersesar ke-6 di dunia, bukanlah negara federasi. Tetapi, perekonomian di tiap-tiap 'prefecture' sangat maju dan berkembang, sehingga tidak dirasakan adanya kesenjangan antara pusat dan daerah seperti di negeri kita. Bangsa kita telah 54 tahun merdeka dan berdaulat, tetapi karena kecenderungan dalam sistem pengelolaan negara kita sangat sentralis, perasaan merdeka dan berdaulat itu kurang dirasakan di daerah-daerah. Sumber-sumber ekonomi di daerah semua dikuras oleh pemerintah pusat dengan pembagian yang dianggap tidak memperlihatkan keadilan. Partisipasi politik dari daerah tidak terbuka, dan kewenangan-kewenangan administatif di daerah sangat dibatasi. Memang sejak beberapa tahun terakhir telah muncul kesadaran mengenai ketidakadilan ini. Itu sebabnya sejak periode Kabinet Pembangunan VI, persiapan-persiapan untuk memberikan otonomi yang lebih luas ke daerah-daerah, terutama daerah tingkat II mulai dilakukan dengan sungguh-sungguh. Namun, semua ini dirasakan sangat lamban dan terlambat. Karena itu, apa yang sudah dihasilkan oleh pemerintah reformasi pembangunan untuk dipercepat, sehingga lahirlah Ketetapan MPR yang khusus sebagai hasil Sidang Istimewa pada bulan November 1998 dan keluarnya UU No. 22/ 1999 dan UU No. 25/ 1999, tetap saja terasa lambat. Karena itu, pilihan yang tersedia adalah perubahan negara kesatuan menjadi negara persatuan (federasi) dengan menetapkan kewenangan pusat hanya untuk mengurus soal-soal pertahanan negara (defence), sistem keuangan (moneter dan fiskal), peradilan kasasi, serta hubungan luar negeri (diplomasi), ditambah hal-hal lain yang perlu dikoordinasikan oleh pemerintah pusat. Perkembangan Tuntutan ke arah Federalisme Kita bersama-sama menyaksikan betapa gagasan perubahan bentuk negara Indonesia menjadi federasi, akhir-akhir ini kembali menghangat. Sebenarnya yang diperlukan oleh bangsa kita dewasa ini, bukanlah mengubah bentuk negara dari negara kesatuan menjadi negara federasi, tetapi jaminan yang pasti mengenai pembagian kewenangan yang adil antara pemerintah pusat dan daerah. Apalagi, perubahan bentuk negara merupakan masalah yang sangat mendasar, dan karena itu menurut saya tidaklah cukup hanya diserahkan kepada 700 anggota MPR untuk diputuskan melalui mekanisme amandemen berdasarkan Pasal 37 UUD 1945. Meskipun ditentukan bahwa kedaulatan rakyat itu dilakukan sepenuhnya oleh MPR, tetapi hak rakyat untuku ikut mengambil keputusan menyangkut hal-hal yang sangat penting tidak boleh dihapus begitu saja. Meskipun sudah diatur adanya siklus lima tahunan, sehingga setiap lima tahun rakyat dapat berpartisipasi melalui Pemilu untuk memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di DPR dan MPR, tetapi banyak hal yang bisa terjadi dalam kurun waktu lima tahun. Sekiranya ada hal-hal yang sanat mendasar dan memerlukan keikutsertaan seluruh rakyat secara langsung dalam mengambil keputusan, maka hal itu harus dilakukan melalui mekanisme referendum. Saya percaya bahwa persoalan bentuk negara itu disadari memang menyangkut keseluruhan aspek kehidupan kita bernegara yang penentuannya tidak boleh tidak haruslah melibatkan seluruh rakyat dan semua daerah Repulik Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu, dalam berbagai kesempatan, saya telah menyampaikan pandangan bahwa sebelum diadakan amandemen terhadap ketentuan Pasal 1 dan 18 UUD 1945, untuk perubahan yang sangat mendasar seperti ini, diperlukan referendum nasional untuk memilih antara federasi atau otonomi. Apabila diperlukan untuk menjamin keadilan, referendum nasional itu dapat diselenggarakan menurut sistem distrik, sehingga suara pulau Jawa dan luar Jawa dapat berimbang.
Tentu saja, usulan penyelenggaraan referendum nasional ini sedikit mengabaikan kedudukan lembaga MPR yang memang memiliki kewenangan formal untuk mengadakan amandemen konstitusi. Akan tetapi, harus disadari bahwa pro dan kontra mengenai bentuk negara federasi itu melibatkan emosi yang sangat mendalam. Perubahan bentuk menjadi federasi itu harus menjadi jalan pamungkas untuk mengatasi berbagai gejolak disintegrasi nasional dewasa ini, bukan malah sebaliknya meningkatkan suhu ke arah perpecahan. Namun, kita tidak dapat diabaikan bahwa akhir-akhir ini, aspirasi ke arah perubahan dari negara kesatuan ke negara federasi ini makin luas meningkat. Pernyataan tuntutan kemerdekaan ataupun pergolakan-pergolakan yang mencerminkan perasaan tidak puas terhadap pemeritah pusat dari berbagai daerah terus meluas dan meningkat. Dapat disebut, misalnya, rakyat di Aceh, Riau, Irian Jaya, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Irian Jaya sudah menyuarakan keinginan untuk 'merdeka'. Beberapa daerah lainnya di Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dan Maluku juga mulai merata aspirasi mengenai bentuk negara federasi sebagai jalan keluar terhadap isu kemerdekaan itu. Langkah antisipatif yang telah diambil pemerintah selama ini sebenarnya dapat dikatakan sudah tepat, yaitu dengan persetujuan DPR segera mengeluarkan peraturan perundang-undangan tentang otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, yaitu UU No. 22/ 1999 dan UU No. 25/ 1999. Akan tetapi, pelaksanaan operasional kedua UU ini tidak mudah dan membutuhkan waktu, sementara perkembangan tuntutan aspirasi masyarakat terus meningkat cepat sekali. Lebih-lebih pemerintahan baru yang sudah terbentuk sekarang di bawah kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, sekalipun terpilih secara demokratis dan dianggap memiliki legitimasi politik yang kuat, tidak serta merta berhasil membangun kepercayaan sebagai pemerintahan yang kompeten. Hal ini boleh jadi terkait dengan anatomi susunan kabinetnya yang lebih mengutamakan akomodasi politik yang luas dibandingkan dengan pertimbangan profesionalisme, kompetensi tekis dan efektifitas kerja. Lagi pula, tuntutan aspirasi yang berkembang itu juga telah direspons sedemikian akomodatifnya sehingga belum lagi prinsip 'otonomi luas' yang dijamin dalam UU No.22/ 1999 dan UU No. 25/ 1999 berhasil dilaksanakan, dalam Ketetapan MPR tentang GBHN hasil Sidang Umum MPR yang lalu telah mengesahkan istilah khusus untuk Aceh dan Irian Jaya, yaitu 'otonomi khusus' yang tentu saja derajatnya lebih khusus daripada 'otonomi luas' yang diberlakukan untuk daerah-daerah yang lain. Dengan adanya konsep 'otonomi khusus' ini, kita tidak dapat menjamin bahwa daerahdaerah lain tidak akan menuntut kekhususan yang sama seperti yang diperoleh oleh Aceh dan Irian Jaya. Padahal, kitapun sama-sama mengikuti dengan seksama betapa masyarakat Aceh sendiri terus bergolak, meskipun konsep otonomi khusus itu telah diputuskan dalam Sidang Umum MPR yang baru lalu. Memang benar bahwa konsep otonomi khusus ini masih harus diimplementasikan dulu secara konkrit, tetapi perkembangan aspirasi rakyat yang menginginkan merdeka juga perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh karena dapat mempengaruhi bukan saja sesama rakyat Aceh, tetapi juga rakyat di daerah-daerah lain diseluruh Indonesia. Selain Aceh, yang paling serius di antaranya adalah Irian Jaya. Jika yang terjadi di Riau, Kalimantan Timur dan lain-lain mungkin dapat disebut hanya mencerminkan sentimen perasaan diperlakukan tidak adil secara sosial ekonomi. Akan tetapi, di Irian Jaya, gambarannya jauh lebih serius. Karena, secara budaya masyarakat Irianmemang berbeda dari kebanyakan penduduk nusantara. Dengan penuh semangat para tokoh adat dan tokoh-tokoh mayarakat Irian sering menggambarkan dirinya sebagai bangsa Papua yang memang berbeda dari suku Melayu dan kebanyakan orang Indonesia lainnya. Ironisnya, dalam struktur kepemimpinan formal di daerah, justru masyarakat pendatanglah yang kebanyakan memegang posisiposisi kunci, sehingga sangat mudah dimengerti apabila aspirasi separatisme mudah sekali berkembang. Oleh karena itu, sekarang ini, sangatlah beralasan bagi kita untuku secara sungguh-sungguh mempertimbangkan kemungkinan perubahan bentuk negara kita dari negara kesatuan menjadi negara federasi yang saya usulkan disebut dengan istilah negara persatuan seperti pernah dikemukakan oleh para pendahulu kita di masa lalu. Hal ini penting untuk menjamin agar persatuan dan kesatuan bangsa kita dapat terus dipelihara, sementara prinsip keadilan dan demokrasi dapat terus ditegakkan secara sehat dan bermartabat. Konsep Negara Persatuan Kita biasa menggunakan istilah persatuan dan kesatuan dalam satu nafas. Padahal, ada perbedaan mendasar di antara keduanya. Persatuan mengandaikan adanya keragaman, sedangkan kesatuan menekankan kebulatan dan uniformitas. Penekanan pada konsep kesatuan dapat mengabaikan atau bahkan melupakan keragaman. Yang diidealkan adalah keseragaman. Sebenarnya, dalam perumusan UUD 1945, yang diidealkan bukanlah kesatuan, tetapi persatuan. Bahkan motto: Bhineka Tunggal Ika sudah menjadi falsafah dasar yang dikenal sejak zaman dahulu kala. Kalaupun ada istilah kesatuan, dalam Pasal 1 ayat 1 UUD 1945, itu justru bukan menunjuk kepada pengertian idealitas falsafah hidup, melainkan menyangkut bentuk susunan organisasi negara, yaitu bahwa "Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk republik."
Dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa: "..untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan seterusnya.., maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada"Persatuan Indonesia"..dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Dalam Penjelasan Umum berkenaan dengan Pokok-pokok Pikiran dalam Pembukaan UUD dinyatakan bahwa pernyataan tersebut di atas berkaitan dengan dianutnya aliran pengertian negara persatuan, yaitu negara yang melindungi dan melliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruhnya. Ide Persatuan Indonesia dalam wujud negara persatuan itu ditafsirkan oleh Soepomo sebagai konsep negara yang bersifat jalan tengah tidak liberal-kapitalis tetapi juga tidak komunis - marxis. Dalam konsep ini, baik menurut Soepomo maupun Soekarno, ide kedaulatan rakyat dipahami dalam konteks totalitas rakyat atau disebutnya dengan totaliter (totalitarianisme) yang pada sekitar taun 1945 tidak dipahaminya dalam konotasi negatif. Namun, tafsir demikian ini jelas bersifat anti-demokrasi, dan karena itu di alam demokrasi sekarang ini, tidak mungkin lagi dipertahankan. Pendapat lain berkaitan dengan ide negara persatuan ini adalah bahwa hal itu berkaitan dengan konsep negara kesatuan sesuai semangat yang berkembang menjelang Indonesia merdeka yang mengidealkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam wujud negara kesatuan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa dalam penjelasan terhadap pokokpokok pikiran Pembukaan UUD itu seharusnya berbunyi "pengertian negara kesatuan", bukan 'pengertian negara persatuan' seperti yang tertulis sekarang. Menurut pendapat saya, dua-duanya tidak tepat, karena ide Persatuan Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai sila ketiga Pancasila, tidaklah meunjuk kepada ide tentang bentuk negara ataupun berkenaan dengan konsep negara integralistik dan totalitarian. Ide persatuan Indonesia itu ide persatuan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia yang tidak terkait dengan pilihan bentuk negara. Untuk menjamin persatuan nasional itu, negara kita dapat saja berbentuk negara kesatuan ataupun federasi. Sedangkan ide kadaulatan rakyat, jelas dan tegas tidak dapat diidentikkan dengan ide totalitarianisme integralistik yang sudah tertolak karena diterimanya rumusan jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945. Memang dalam kenyataan, dapat diakui bahwa di tengah-tengah semangat untuk memelihara dan menjamin persatuan dan kesatuan bangsa kita, istilah federasi kadang-kadang diidentikkan dengan perpecahan. Akan tetapi, secara konseptual identifikasi semacam itu jelas keliru. Saya kira hal ini semata-mata hanya karena dipengaruhi citra konsep negara federasi itu dalam sejarah di masa lalu yang cenderung dikonotasikan dalam pengertian yang negatif seperti yang saya uraikan di atas. Oleh karena itu, untuk menghindarkan kesan negatif ini, di samping karena konsep persatuan itu memang sangat kita butuhkan sebagai bangsa yang sedang bergolak dewasa ini, maka sesuai dengan semangat dan jiwa sila ke-3 Pancasila, konsep negara federasi itu saya usulkan disebut sebagai konsep negara persatuan yang pernah dikemukakan oleh para tokoh bangsa kita di masa lalu. Dengan demikian, Negara Persatuan Republik Indonesia melalui suatu referendum nasional untuk memilih antara otonomi atau federasi. Dalam negara persatuan ini, negara-negara bagian dapat disebut sebagai 'negeri' yang dapat disesuaikan jumlahnya menurut jumlah propinsi yang ada sekarang ditambah dengan daerah-daerah yang memang sudah siap untuk dimekarkan sesuai rencana sebelumnya. Dalam UUD 1945 sebagai konstitusi negara persatuan ditentukan batas-batas kewenangan pemeintah pusat yaitu berkaitan dengan (a) pertahanan negara, (b) pengaturan dan pengelolaan sistem moneter dan fiskal, (c) hubungan luar negeri, (d) peradilan, dan (e) fungsi koordinasi mengenai hal-hal yang perlu dikoordinasikan antar negeri. Di samping itu, kewenangan pusat itu dapat pula ditambah, misalnya, serta (f) penyelenggaraan kebijaksanaan kesejahteraan sosial yang memungkinkan dilakukannya 'welfare policy' melalui 'affimative actions'. Selain itu, ditentukan pula adanya Dewan Perwakilan Daerah atau Dewan Utusan Daerah yang akan bekerja berdampingan dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam sistem bikameral. Pimpinan negeri-negeri tetap dapat disebut sebagai Gubernur, dengan menyiapkan proses pemilihan yang bersifat langsung untuku menentukan Gubernur baru ataupun mengukuhkan Gubernur yang ada sekarang sebagai Gubernur negeri-negeri yang bersangkutan. Semua ini dapat diatur dalam konstitusi negeri yang tersendiri, yang dapat disebut dengan istilah Peraturan Dasar Negeri. Namun, semua ini sebaiknya dilakukan dengan terlebih dahulu mengadakan amandemen terhadap Pasal 1 ayat 1 dan Pasal 18 UUD 1945 menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 37 UUD 1945. Apabila disepakati, bahkan sebelum amandemen itu, dapat pula diadakan referendum nasional seperti dikemukakan di atas. Memang nampaknya hal ini tidak mudah untuk diwujudkan. Bahkan, kalaupun nantinya mayoritas rakyat sudah menyetujui perubahan itu, dan MPR-pun telah mengesahkan amandemen terhadap UUD 1945 yang diperlukan untuk itu, pelaksanaannya di lapangan tetap memerlukan tahapan-tahapan yang rumit, sama rumitnya dengan pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya seperti yang ingin dilakukan dalam kerangka negara kesatuan yang ada sekarang. Namun yang berbeda adalah beban dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan pengalilhan dan desentralisasi
kewenangan atau urusan dalam sistem negara kesatuan berada di pundak pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah cenderung menunggu. Belum lagi, konsep desentralisasi dalam UU No. 22/ 1999 dan No. 25/ 1999 yang sudah disahkan mengarah ke daerah tingkat II, dan dapat menimbulkan masalah dengan peran aparat di tingkat I yang justru sangat diharapkan dukungan dan prakarsanya dalam menyuseskan agenda desentralisasi dan pemberian otonomi ke daerah tingkat II. Sedangkan dalam sistem federal, beban dan tanggung-jawab untuk membangun kesiapan sosial, ekonomi, dan politik di daerah berada di pundak masyarakat daerah sendiri. Hal ini tentu dapat mendorong prakarsa dan kegairahan kerja tersendiri bagi masyarakat di daerah-daerah untuk menyukseskan agenda persiapan sosial, ekonomi, dan politik di daerah masing-masing. Oleh karena itu, meskipun agenda perubahan dari bentuk Negara Kesatuan ke Negara Persatuan itu nampaknya tidak mudah, akan tetapi apabila kita memang menghendakinya, saya percaya langkah-langkah yang diperlukan untuk itu dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Inilah hal-hal yang menurut saya dapat dijadikan bahan perundingan oleh pemerintah dengan semua puhak yang ada di daerah-daerah yang dewasa ini sedang bergolak menuntut kemerdekaan ataupun menuntut keadilan seperti di Aceh, Riau, Irian Jaya, Kalimantan Timur, dan sebagainya. Semua ini perlu dikerjakan dengan cepat, dan jangan sampai terlambat sehingga memberi kesempatan kepada aspirasi untuk kemerdekaan yang muncul di berbagai daerah terus meningkat dan meluas tanpa dapat dihentikan lagi. Kesimpulan Wacana tentang perubahan dari bentuk negara kesatuan menjadi negara persatuan ini sesuatu yang masuk akal dan hendaknya terus dikembangkan secara terbuka. Baik Negara Kesatuan maupun Negara Persatuan sama-sama mengandung kelebihan dan kelemahan. Karena itu, yang pertama-tama harus mendapat perhatian adalah soal jaminan keadilan yang dapat tumbuh dan berkembang di dalam salah satu dari kedua bentuk negara itu, dan yang kedua adalah soal jaminan integrasi nasional untuk mengatasi gejala disintegrasi nasional yang merebak akhir-akhir ini. Gagasan otonomi yang seluas-luasnya, otonomi khusus, dan federasi sama-sama dapat diharapkan untuk menjawab ke persoalan di atas, tetapi yang mana yang paling baik untuk dipilij, seyogyanya dilihat dalam konteks kebutuhan bangsa kita dewasa ini, yang tengah menghadapi keadaan carut marut yang serius. Karena itu, janganlah ada yang bersikap mutlakmutlakan dan apalagi saling menakut-nakkuti, seakan-akan perahu republik pasti pecah jika negara kesatuan dirubah menjadi federasi ataupun jika dipertahankan mati-matian sebagai negara kesatuan. Biarlah pilihan-pilihan tersebut dimengerti dulu secara luas, baru kemudian orang siap untuk menetapkan pilihan rasional. Tentang bagaimana cara perubahan itu sendiri harus dilakukan, seperti dikemukakan di atas, di samping dapat dilakukan melalui amandemen berdasarkan Pasal 37 UUD 1945, juga perlu dipertimbangkan penyelenggaraan referendum nasional menurut sistem distrik, sehingga segenap rakyat Indonesia dan seluruh daerah dapat dilibatkan dalam mengambil keputusan. Mudah-mudahan hal ini dapat sekaligus meringankan beban bagi mereka yang menolak ide federasi, tetapi dapat menampung keinginan para federalis yang makin hari makin mendapat dukungan luas. Yang terpenting adalah bahwa pada akhirnya nanti, tuntutan perasaan akan keadilan di seluruh tanah air, dapat dipenuhi dengan sebaik-baiknya; dan kita sebagai bangsa dapat kembali bangkit menjadi bangsa yang maju dalam keadaan kokoh bersatu. Bahan-bahan Bacaan untuk Pendalaman 1.Arend Lijphart, Democracies: Patterns of Majorotarian and Consensus Government in Twenty- One Countries, Yale University Press, New Haven and London, 1984. 2.Jean Blondel, Comparative Government, Philip Allan, Great Britain, 1990. 3.Daniel J. Elazar, Federal System of The World: A Handbook of Federal, Confederal, and Autonomy Arrangements, Longman, Essex, 1991. 4.K.C. Wheare, Federal Government, Oxford University Press, London, 1963. 5.M. Burgess, Federalism and Federation, Croom Helm, London, 1986. 6.T. Feiner Gerster, Federalism and Decentralisation, Editions Universitaires, Fribourg, 1987. 7.W.S. Livingston, Federalism and Constitutional Change, Oxford University Press, Oxford, 1956. 8.St. Sularto dan T. Jakob Koekerits, Federasi untuk Indonesia, Penerbit KOMPAS, Jakarta, 1999. Disampaikan pada Simposium Hukum 2000 ILUNI-FH, “Masalah Keadilan Sosial dan Disintegrasi Bangsa,” Reog Room, Hotel Indonesia, 4 Maret 2000.