V. PEMBAHASAN 5.1 Keberlanjutan Lanskap dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penilaian keberlanjutan masyarakat pada lokasi penelitian berdasarkan aspek ekologis, sosial dan spiritual menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan. Masyarakat dapat menggambarkan dengan cukup baik perlakuan masyarakat terhadap lingkungan, secara sosial kehidupan masyarakat berjalan dengan baik, dan secara spiritual masyarakat dapat menjunjung tinggi budaya yang dimiliki.
5.1.1 Aspek Ekologis Penilaian keberlanjutan masyarakat terkait dengan aspek ekologis memiliki nilai yang berbeda antar lokasi penelitian. Secara umum, lokasi penelitian Kampung Sindang Barang (RW 03, RW 04, RW 05) dan Dukuh Menteng (RW 08) menunjukkan awal yang baik ke arah keberlanjutan. Aspek ekologis dalam Penilaian Keberlanjutan Masyarakat memiliki tujuh parameter. Parameter pertama terkait dengan sense atau perasaan masyarakat mengenai lingkungan sekitar. Beberapa indikator untuk penilaian parameter ini adalah keterikatan masyarakat terhadap tempat tinggalnya, ukuran kepemilikan lahan dalam masyarakat, pengetahuan tentang biota asli, kondisi kesehatan lingkungan, aktivitas konservasi lingkungan, dan lain-lain. Kondisi yang diharapkan adalah masyarakat dapat hidup terikat dengan tempat mereka hidup, dan selaras dengan sistem ekologi. Berdasarkan parameter „sense‟/perasaan terhadap tempat, secara keseluruhan masyarakat menunjukkan awal yang baik ke arah keberlanjutan. Masyarakat lokasi penelitian Kampung Sindang Barang (RW 03, RW 04, RW 05) dan Dukuh Menteng (RW 08) sebagian besar didominasi oleh penduduk lokal beretnis Sunda. Pendatang yang saat ini mendiami lokasi proporsinya lebih sedikit dibandingkan penduduk lokal yang telah tinggal secara turun-temurun. Untuk pendatang biasanya berasal dari RW lain di Desa Pasireurih atau tetangga desa.
46
Masyarakat lokal sebagian besar memiliki hubungan yang cukup harmonis dengan tempat tinggal mereka. Penduduk kurang memperlakukan alam dengan baik. Faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap lingkungannya adalah karena masyarakat telah tinggal turun-temurun di kampung tersebut, sehingga ada rasa kewajiban untuk menjaga kelestarian kampung. Dilihat dari segi kepemilikan lahan, keempat lokasi penelitian memiliki persamaan. Sebagian besar masyarakat memiliki ukuran lahan antara 50-500 m2, hal ini merupakan ukuran ideal dalam ecovillage dengan pertimbangan bahwa luasan tersebut setiap keluarga dapat memenuhi kebutuhan yang paling mendasar yaitu papan. Diakui oleh tokoh masyarakat setempat bahwa telah terjadi penyempitan lahan milik masyarakat lokal karena meningkatnya kebutuhan hidup atau membagi-bagi lahan dalam warisan keluarga. Pengetahuan masyarakat mengenai satwa dan tumbuhan asli daerah berbeda satu dengan lainnya. Umumnya anggota masyarakat kurang mengetahui tumbuhan satwa dan tumbuhan asli di desanya. Pengetahuan masyarakat mengenai satwa dan tumbuhan asli berpengaruh upaya masyarakat dalam aktivitas konsevasi habitat asli daerah. Menurut kelompok masyarakat lokasi penelitian Dukuh Menteng pada tahun 1998 pernah diadakan program penanaman bambu di bantaran sungai Ciapus dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Masyarakat mulai menyadari pentingnya perlindungan habitat asli untuk kenyamanan manusia dan keberlanjutan bagi generasi yang akan datang. Peningkatan kedalaman humus tahunan pada lokasi penelitian berbeda-beda. Pada lokasi penelitian RW 03 peningkatan kedalaman humus berkurang, hal ini dirasakan dalam panen yang kurang memuaskan, pada RW 04 dirasakan tidak ada peningkatan kedalaman humus tahunan. Pada lokasi penelitian RW 05 dan RW 08 mengalami peningkatan kedalaman humus hanya dalam area produksi makanan saja, hal ini berkaitan dengan hasil panen yang meningkat tiap tahun. Keragaman spesies tanaman dalam masyarakat pada lokasi penelitian umumnya mengalami peningkatan. Masyarakat cukup intensif mengelola lahan pertanian di sekitar perkampungan dengan menanam tanaman sesuai dengan permintaan pasar. Namun keragaman satwa mulai mengalami penurunan pada
47
lokasi penelitian. Penurunan jenis satwa disebabkan oleh terjadinya perubahan tata guna lahan dan sehingga berpengaruh terhadap habitat asli satwa. Perubahan kualitas lingkungan umum terkait dengan kualitas tanah, air dan udara pada lokasi penelitian. Kualitas tanah di RW 05 dan 08 dirasa lebih baik dari tahun ke tahun. Peningkatan kualitas tanah dikarenakan mulai meningkatnya penggunaan pupuk organik. Pupuk organik memiliki beberapa keunggulan, yaitu memperbaiki struktur tanah, meningkatkan daya serap tanah terhadap air, menaikkan kondisi kehidupan di dalam tanah, serta dapat menjadi sumber zat makanan bagi tanaman (Lingga,1999). Perubahan kualitas lingkungan umum terkait dengan kualitas air dan udara pada seluruh lokasi penelitian tidak mengalami perubahan dibandingkan tahun sebelumnya. Tingkat gangguan lingkungan alami oleh masyarakat melalui polusi suara, cahaya dan sampah. Keseluruhan lokasi penelitian tidak mengalami gangguan polusi cahaya. Polusi suara lebih tinggi dirasakan pada lokasi penelitian RW 04 dan RW 05 karena sebagian besar cukup intensif menggunakan kendaraan bermotor dan dekat dengan jalan utama yang intensitasnya cukup tinggi. Berbeda dengan lokasi penelitian RW 03 dan RW 08 yang tidak terlalu dekat dengan jalan utama sehingga tidak terlalu bising. Pada malam hari intensitas polusi suara mulai berkurang. Menurut Manik (2003), pencemaran ini dapat menimbulkan dampak pada gangguan kesehatan manusia dan hujan asam. Tingkat gangguan lingkungan alami oleh masyarakat yang ditemui pada lokasi penelitian adalah sampah. Sampah banyak ditemukan di dalam perkampungan dan bantaran sungai, terutama limbah industri rumahan sepatusandal berupa sisa potongan bahan sepatu-sandal. Masyarakat banyak yang mengubur sampah organik yang dihasilkan oleh rumah tangga sedangkan sampah anorganik lebih sering dibakar. Pengelolaan sampah intensif dilakukan oleh masyarakat RW 08. Masyarakat memanfaatkan sampah organik untuk djadikan pupuk kompos. Skala produksi pupuk kompos di RW 08 masih kurang mencukupi kebutuhan para petani. Upaya konservasi saat ini kurang dilakukan di lokasi penelitian. Aktivitas masyarakat dalam merencanakan konservasi dan tingkat anggota masyarakat dalam konservai lingkungan tidak banyak dilakukan. Peran tokoh masyarakat
48
dalam menggerakkan masyarakat untuk aktif dalam konservasi lingkungan sangat berpengaruh dalam upaya pelestarian lingkungan dan menjaga keberlanjutan masyarakat. Aspek ekologis 2, terkait dengan ketersediaan produksi dan distribusi makanan. Dalam parameter ini diharapkan masyarakat mendapatkan makanan dari sumber-sumber wilayah setempat. Selain itu makanan yang tersedia bersifat organik, bebas dari zat pencemar serta memiliki gizi yang seimbang. Berdasarkan penilaian pada aspek kedua ini, lokasi penelitian Kampung Sindang Barang menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan. Sedangkan Dukuh Menteng menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan. Pada lokasi penelitian Kampung Sindang Barang dan Dukuh Menteng terdapat kemudahan dalam memproduksi berbagai jenis makanan. Hal ini dikarenakan Desa Pasireurih memiliki area kebun campuran (123.64 ha/39%) dan produksi sawah irigasi (97.32 ha/31%). Umumnya masyarakat menanam padi dan berbagai sayuran baik untuk dijual maupun untuk konsumsi rumah tangga. Pada lokasi penelitian RW 03 dan Dukuh Menteng makanan cukup tersedia dan dapat diakses dengan mudah. Menurut keterangan kelompok masyarakat produksi makanan dapat mencapai 30% dan jika terdapat kekurangan untuk makanan selingan dapat diakses dengan mudah di pasar terdekat di luar wilayah. Dalam produksi makanan, petani di Dukuh Menteng sudah banyak yang mulai beralih dari pertanian konvensional menuju ke pertanian organik. Di lokasi penelitian RW 04 dan RW 05 sebagian besar masyarakat membeli makanan di pasar terdekat di luar wilayah . Dalam mengelola kelebihan makanan, tiap lokasi penelitian memiliki cara yang berbeda. Umumnya kelebihan makanan biasanya didermakan atau kadang untuk makanan binatang peliharaan. Masyarakat pada lokasi penelitian umumnya tidak menggunakan rumah kaca/ kebun atap/ kebun jendela sepanjang tahun, karena sistem penanaman yang dilakukan oleh mayarakat adalah pertanian tradisional. Tanaman yang ditanam oleh masyarakat pada lahan pertanian sesuai dengan musim. Umumnya masyarakat lokasi penelitian menanam padi sebagai komoditi utama dan tidak menggunakan rumah kaca karena tanaman padi memerlukan sinar yang cukup
49
dari matahari. Penggunaan pestisida, herbisida serta pupuk kimia dalam pertanian dari lokasi penelitian merupakan hal yang biasa. Masyarakat saat ini menyadari bahwa penggunaan pupuk kimia dapat mengurangi kesuburan tanah dan harga pupuk kimia yang kian melambung tinggi menjadi pertimbangan bagi petani. Pelatihan dari Petugas Penyuluh Lapang (PPL) menambah pengetahuan petani dan mulai menggunakan pupuk organik dalam kegiatan pertanian. Pada lokasi Dukuh Menteng
beberapa
masyarakat
memiliki pengetahuan
mengenai
pemanfaatan tanaman-tanaman lokal untuk dijadikan fungisida. Penggunaan benih dalam produksi makanan memiliki persamaan pada lokasi penelitian, yaitu menggunakan benih yang dapat diserbukkan secara terbuka. Masyarakat awalnya membeli benih hibrida dari korporasi namun beralih pada benih padi sendiri. Aspek ekologis 3, terkait dengan infrastruktur, bangunan dan transportasi. Kondisi yang diharapkan adalah material dari struktur bangunan yang digunakan diperoleh dari wilayah setempat dan menggunakan bahan yang tidak beracun, serta memiliki rancangan yang ekologis. Pada lokasi penelitian menunjukkan persamaan nilai yaitu menunjukkan awal yang baik menuju keberlanjutan. Pada lokasi penelitian, kebutuhan akan perumahan sebagai tempat tinggal yang memadai dapat tersedia dan juga bisa diusahakan di tempat itu. Lokasi RW 03 dengan luasan ± 4,6 ha memiliki kepadatan rumah penduduk 66% sehingga lahan tidak terbangun yang ada menciptakan lingkungan yang nyaman, RW 04 memiliki kepadatan rumah penduduk 94% dari luasan ± 3,2 ha. RW 05 memiliki kepadatan rumah penduduk 92% dari luasan lahan ± 3.7 ha. RW 04 dan RW 05 memiliki kepadatan rumah penduduk yang tingggi sehingga menciptakan lingkungan yang kurang nyaman, namun disekitar Kampung Sindang Barang terdapat lahan tidak terbangun yang cukup luas sehingga menciptakan iklim mikro yang nyaman. Sedangkan pada Dukuh Menteng memiliki kepadatan rumah penduduk ± 86% dari luasan sekitar 4,5 ha. Untuk ketersediaan perumahan di kawasan Kampung Sindang Barang dan Dukuh Menteng, luasan lahan pertanian yang dapat dikembangkan masing-masing sekitar 7,5 ha dan 9 ha, namun hal ini perlu dikaji lebih dalam untuk menjamin tingkat keberlanjutan produksi makanan di wilayah ini. Menurut American Public Health Association dalam Frick dan
50
Mulyani (2006), secara garis besar rumah memiliki empat fungsi pokok sebagai tempat tinggal yang layak dan sehat bagi manusia, yaitu dapat memenuhi kebutuhan pokok jasmani, rohani, melindungi manusia dari penularan penyakit, serta melindungi manusia dari gangguan luar. Bangunan yang terdapat pada lokasi penelitian sebagian besar berupa bangunan permanen. Bahan-bahan yang digunakan dalam membangun rumah merupakan bahan-bahan yang tidak dapat didaur ulang dan mengandung bahan kimia yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Menurut pandangan tokoh masyarakat setempat rumah permanen menunjukkan identitas warga yang sukses sedangkan rumah panggung/ekologis merupakan citra orang yang miskin dan kumuh, sebelum tahun 70-an penduduk lokal pada umumnya menggunakan rumah panggung yang terbuat dari kayu. Adanya proses urbanisasi serta pengaruh perubahan sosial budaya dalam masyarakat cenderung memilih mengubah rumah panggung dengan bangunan permanen. Penciptaan iklim mikro ruang luar yang baik, dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan menanam tanaman di pekarangan rumah. Pada lokasi penelitian, masyarakat RW 03 dan RW 08 umumnya masih memiliki luasan lahan yang cukup untuk membangun rumah dan pekarangan sedangkan lokasi penelitian RW 04 dan RW 05 luasan lahan yang dimiliki hanya cukup untuk membangun rumah dan menyisakan sedikit ruang untuk pekarangan. Masyarakat menanam beberapa tanaman, baik untuk produksi maupun sebagai fungsi estetis. Masyarakat yang memiliki luasan pekarangan yang sempit umumnya menggunakan pot/ vertikultur sebagai media tanam. Menurut Soemarwoto dalam Frick dan Mulyani (2006), pekarangan memiliki fungsi ganda, yaitu fungsi hidro-orologi, fungsi pencagaran sumber daya gen, efek iklim mikro, fungsi sosial, fungsi produksi dan fungsi estetis. Rumah sebaiknya ditempatkan di antara lintasan matahari, karena akan menjaga ketersediaan cahaya dalam rumah. Pada lokasi penelitian umumnya atap rumah penduduk mengarah ke timur dan dan ke barat, sehingga apabila diamati dari atas terlihat adanya keteraturan. Menurut tokoh masyarakat hal ini merupakan adat turun temurun dan terdapat anggapan bahwa orientasi tersebut membawa kemudahan rezeki.
51
Pada lokasi penelitian terdapat bangunan yang dirancang untuk kebutuhan masyarakat kampung. Ruang bersama yang ada umumnya masjid dan balai desa Pasireurih. Masyarakat Kampung Sindang Barang menggunakan balai desa secara optimal dan kadang kegiatan dilakukan di masjid, untuk Dukuh Menteng yang jauh dari balai desa menggunakan masjid untuk berbagai kegiatan. Tingkat penyesuaian kembali pre-existing bangunan untuk keberlanjutan estetika masih jarang dilakukan. Setelah adanya revitalisasi kampung budaya di desa Pasireurih membangkitkan kembali masyarakat untuk menggunakan rumah panggung, namun masyarakat mengeluhkan biaya yang cukup mahal untuk membangun rumah panggung yang sebagian besar bahan bangunan terbuat dari kayu dan juga tingkat keamanan dari musibah kebakaran. Sehingga masyarakat masih memilih menggunakan rumah bangunan permanen. Pemerintah dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat
mengenai arsitektur ekologis,
mengoptimalkan kembali lahan masyarakat untuk fungsi penanaman jenis tanaman penghasil kayu untuk bangunan. Program bantuan perumahan yang diberikan pemerintah dapat diarahkan untuk membangun rumah ekologis dengan kualitas yang baik dan sehat. Hal ini juga dapat memperkuat karakter masyarakat Sunda serta meningkatkan kunjungan wisata budaya di Desa Pasireurih. Pola perkampungan yang mengelompok di tengah-tengah lahan pertanian dapat meminimalkan penggunaan kendaraan bermotor di dalam masyarakat. Di lokasi penelitian banyak ditemukan industri rumahan sepatu-sandal, kebutuhan penggunaan kendaraan bermotor roda dua cukup sering untuk mengangkut hasil produksi industri rumahan ke pasar. Aspek ekologis 4, terkait dengan pola konsumsi dan pengelolaan limbah padat. Melalui parameter ini, diharapkan masyarakat dapat memperkecil konsumsi dan mengetahui perlakuan terhadap limbah. Parameter ini dapat tercapai melalui kesederhanaan atau konsumsi yang diperkecil, penggunaan sumberdaya bersama, penggunaan fasilitas bersama, bekerjasama dalam pembelian, memperpendek jarak antara konsumen dengan produsen, pendaurulangan (recycle), penggunaan kembali (reuse), perbaikan (reduce), dan pengelolaan sampah. Lokasi penelitian Kampung Sindang Barang (RW 03, RW 04 dan RW 05) menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan, sedangkan
Dukuh Menteng/RW 08
52
menunjukkan awal yang baik menuju keberlanjutan. Hal ini disebabkan terutama oleh rendahnya penggunaan sumberdaya bersama, pembelian bersama serta minimnya upaya pendaurulangan, penggunaan kembali dan perbaikan yang dilakukan oleh masyarakat. Potensi yang perlu dipertahankan yaitu dalam hal kesederhanaan pola konsumsi dan penggunaan fasilitas bersama serta pengolahan sampah. Penggunaan sumber daya, fasilitas dan pembelian bersama untuk meminimalkan konsumsi dan limbah yang dihasilkan dalam masyarakat. Hanya lokasi Dukuh Menteng yang memiliki peralatan bersama, sedangkan masyarakat Kampung Sindang Barang belum memiliki peralatan bersama. Fasilitas yang digunakan secara bersama-sama seperti bangunan kantor desa, rumah ibadah, lapangan dan kamar mandi umum. Masyarakat jarang melakukan pendaurulangan. Namun sebagian masyarakat melakukan penggunaan kembali atau memperbaiki barang-barang yang rusak. Beberapa industri rumahan di RW 04 dan RW 05 telah mengumpulkan sisa-sisa bahan baku sepatu-sandal yang masih dapat dipakai kemudian menjualnya pada pengepul untuk didaur ulang. Untuk bahan sisa-sisa yang tidak dapat digunakan kembali biasanya dibakar. Penanganan limbah organik pada lokasi penelitian di kampung sindang barang masih belum mendapat informasi bagaimana mengolah limbah organik menjadi kompos, sedangkan pada lokasi penelitian Dukuh Menteng telah mengetahui informasi bagaimana mengolah limbah organik menjadi kompos. Kecenderungan masyarakat diakui oleh kelompok masyarakat setempat adalah kurangnya kesadaran dalam mengelola sampah. Biasanya masyarakat membuang sampah langsung ke sungai terdekat, sehingga mudah kita jumpai sampah-sampah yang tersangkut diantara bebatuan. Menurut Hadiwiyoto (1983) sampah dapat menimbulkan dampak positif dan negatif tergantung pengelolaanya. Dampak positif dari sampah yang terkelola dengan baik antara lain dapat dipakai untuk menimbun tanah, dapat digunakan sebagai pupuk untuk menyuburkan tanah dan mempercepat pertumbuhan tanaman, dapat digunakan untuk pakan ternak, dapat dimanfaatkan kembali setelah didaur ulang, dapat menjadi bahan baku tenaga listrik, dan membuka
53
lapangan pekerjaan dalam pengelolaan. Sedangkan dampak negatif dari sampah yang tidak dikelola dengan baik antara lain menyebabkan kondisi fisik dan kimia yang tidak normal, sumber penyakit bagi manusia, pencemaran dan secara estetika dapat mengganggu pemandangan. Aspek ekologis 5, terkait dengan air sebagai sumber, mutu dan pola penggunaan. Keempat lokasi penelitian menunjukkan awal yang baik menuju arah keberlanjutan. Dalam parameter ini, kondisi yang ideal yaitu tersedianya air yang bersih dan dapat diperbaharui. Masyarakat harus menyadari, menghormati, serta melindungi dan memelihara sumber air. Air merupakan salah satu elemen penting dalam kehidupan, untuk itu perlu dilakukan upaya untuk selalu menjaga ketersediaan air di masyarakat. Masyarakat pada lokasi penelitian menyadari pentingnya air dalam kehidupan mereka. Sumber dan persediaan air di kampung Sindang Barang melimpah, karena banyak terdapat sumber mata air. Air yang terdapat di Dukuh Menteng cukup melimpah jika dibandingkan dengan Kampung Sindang Barang, jika musim kemarau datang sumur milik masyarakat biasanya kurang dapat memenuhi kebutuhan akan air. Umumnya masyarakat menggunakan air untuk kebutuhan rumah tangga serta irigasi. Air yang ada di masyarakat umumnya secara alami bersih dan tanpa perlakuan sehingga tidak memerlukan penyaringan. Metode penyimpanan air dalam masyarakat dilakukan melalui bak-bak penampungan umum dan bak penampungan di rumah-rumah. Metode konservasi air yang banyak dilakukan oleh masyarakat relatif masih kurang dari yang diharapkan dalam hal xeriscaping dan penggunaan produk alami/ non-toksik dalam pembersihan, berkebun dan produk rumah tangga. Pada lokasi penelitian, masyarakat umumnya tidak menggunakan kran untuk membatasi penggunaan air, karena didapatkan langsung dari mata air yang melimpah. Masyarakat pada umumnya tidak memiliki luasan lahan yang cukup untuk membuat kolam-kolam yang dapat mengendapkan greywater, greywater langsung dibuang ke selokan tanpa diolah terlebih dahulu. Dalam melakukan penanaman, masyarakat tidak melakukan pemilihan jenis tanaman yang tahan terhadap kekeringan (xeriscaping) sebagai upaya penghematan air karena dianggap tidak perlu dan tidak sesuai dengan kondisi fisik lingkungannya yang
54
cenderung basah. Dalam kegiatan sehari-hari, masyarakat terbiasa menggunakan bahan kimia seperti detergent dan pupuk buatan untuk kegiatan pertanian. Masyarakat pada lokasi penelitian umumnya menghormati air, menyadari pentingnya air sebagai salah satu elemen penting. Sumber mata air yang dianggap suci digunakan masyarakat dalam upacara Seren Taun yang dilaksanakan setiap satu Muharram. Biasanya satu bulan sekali sumber mata air dibersihkan dari sampah-sampah. Aspek ekologis 6, dalam penilaian keberlanjutan masyarakat terkait dengan limbah cair dan pengelolaan polusi air. Parameter ini menyangkut sistem pengelolaan
limbah
yang
digunakan
masyarakat,
sanitasi,
pengetahuan
masyarakat tentang metode dan perlakuan limbah, efek limbah cair, kualitas air limbah, polusi dan sistem pembuangan zat beracun. Pada lokasi penelitian umumnya menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan. Hal ini terkait dengan rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai metode dan lokasi perlakuan
limbah
sehingga
mempengaruhi
perilaku
masyarakat
dalam
pengelolaan limbah cair tersebut. Masyarakat sedikit yang menggunakan kamar kecil dengan pembilasan rendah yang dapat mengurangi volume pembilasan. Hanya sebagian masyarakat memiliki toilet pribadi di setiap rumah dan beberapa masyarakat masih buang air kecil di sungai. Menurut kelompok masyarakat limbah cair yang terdapat di masyarakat secara keseluruhan tidak berpengaruh terhadap kesehatan manusia maupun produksi tanaman yang sedang diusahakan. Masyarakat Kampung Sindang Barang dan Dukuh Menteng kurang mendapatkan pengetahuan yang cukup untuk mengelola limbah cair. Sebagian besar masyarakat mengetahui metode dan lokasi perlakuan limbah yang dilakukan masyarakat secara sederhana melalui pengendapan di septictank. Walaupun kualitas air yang keluar dari masyarakat telah berkurang bila dibandingkan saat masuk, kelompok masyarakat sepakat bahwa polusi air tidak ditemukan di perkampungan. Sistem yang tepat untuk pembuangan zat beracun seperti cat, minyak dan baterai tidak ditemukan di masyarakat pada lokasi penelitian. Masyarakat belum mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh zat-zat beracun tersebut terutama
55
terhadap kesehatan manusia. Sistem pembuangan zat beracun di Indonesia belum terlihat jelas. UU No. 32 tahun 2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan limbah bahan berbahaya dan beracun, disingkat limbah B3, ada1ah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau
merusakkan lingkungan hidup,
dan/atau dapat
membahayakan
lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Manik (2003) menjelaskan limbah yang termasuk limbah B3, yaitu limbah yang memenuhi salah satu atau lebih karakteristik antara lain mudah meledak; mudah terbakar; bersifat reaktif; beracun; menyebabkan infeksi; bersifat korosif; dan limbah lain yang apabila diuji dengan metode toksikologi dapat diketahui termasuk dalam jenis limbah B3. Untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan dari zat beracun tersebut, sebaiknya masyarakat melakukan rangkaian kegiatan pengelolaan limbah beracun, seperti pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan di tempat yang khusus disediakan. Aspek ekologis 7, terkait dengan sumber energi dan penggunaanya. Masyarakat pada keempat lokasi penelitian telah menunjukkan suatu awal yang baik menuju keberlanjutan. Acuan kerangka ecovillage diharapkan masyarakat menggunakan energi yang dapat diperbaharui dan tidak beracun. Pada lokasi penelitian tidak ditemukan penggunaan energi dari sumber yang dapat diperbaharui ataupun dari luar masyarakat. Masyarakat kurang memiliki pengetahuan untuk memanfaatkan energi dari sumber-sumber yang dapat diperbaharui seperti matahari, angin, biomass ataupun geothermal. Dalam penerapan konservasi energi dalam konstruksi bangunan yang sederhana, masyarakat mengarahkan atap bangunan ke arah utara. Tingkat kesadaran masyarakat mengenai keterbatasan jumlah energi dari sumber energi yang tidak dapat diperbaharui masih rendah. Informasi mengenai penghematan energi cukup tersedia di masyarakat, namun belum terdapat program mengenai pemanfaatan energi dari sumber yang dapat diperbaharui.
56
Mengenai tingkat efisiensi penggunaan energi, masyarakat pada umumnya memiliki kecenderungan untuk menggunakan energi pada saat diperlukan saja, hal ini membuktikan adanya kesadaran masyarakat dalam konservasi energi. Masyarakat juga menggunakan metode non-elektris atau alami untuk aktivitas rumah tangga, seperti mencuci pakaian, pemeliharaan makanan dan sebagainya. Penggunaan lampu yang terdapat di masyarakat sebagian besar
berupa neon
kecil. Masyarakat mendapatkan kayu untuk memasak dari ranting-ranting kering, kayu hasil bongkaran rumah dan kayu sisa cetakan industri rumahan sepatu-sandal yang terdapat disekitar masyarakat. Masyarakat umumnya sedikit yang menggunakan alat pendingin untuk menjaga kualitas makanan, karena masyarakat pada umunya berpenghasilan rendah.
5.1.2 Aspek Sosial Penelitian aspek sosial dalam kerangka ecovillage yang dilakukan pada keempat lokasi penelitian secara umum menunjukkan kemajuan yang sempurna ke arah keberlanjutan. Lokasi RW 03 dan RW 04 seluruh indikator menunjukkan kemajuan yang sempurna ke arah keberlanjutan. Namun terdapat indikator yang terkait dengan indikator jaringan pencapaian jasa dan keberlanjutan ekonomi, pelayanan kesehatan dan keberlanjutan ekonomi lokal yang sehat yang menunjukkan suatu awal yang baik menuju ke arah keberlanjutan. Pada RW 05 dan Rw 08 nilai rendah terdapat pada aspek pelayanan kesehatan dan keberlanjutan ekonomi lokal, menunjukkan awal yang baik menuju ke arah keberlanjutan. Aspek
sosial
1,
merupakan
mengenai
keterbukaan,
kepercayaan,
keselamatan dan ruang bersama. Sebagian masyarakat memiliki tingkat pengertian yang tinggi terhadap sesama anggota masyarakat terutama dalam hal kepercayaan dan keselamatan. Menurut tokoh masyarakat, hal ini karena tingkat kekerabatan yang cukup tinggi di dalam masyarakat. Tingkat keamanan lingkungan masyarakat terhadap wanita dan juga anakanak juga dirasakan tinggi, hal ini terbukti dengan tingkat kejahatan dewasa maupun remaja dalam masyarakat sangat jarang, sesama masyarakat saling
57
mengetahui keadaan masing-masing dan saling mendukung apabila terjadi suatu masalah. Masyarakat memiliki ruang di dalam rumah untuk aktivitas berkumpul bersama. Untuk kegiatan bersama di luar rumah tersedia berupa lapangan yang terdapat di lokasi penelitian. Frekuensi pergaulan sosial antar masyarakat pada umumnya dilakukan sehari-hari, namun pergaulan sosial secara keseluruhan masyarakat dilakukan saat HUT Kemerdekaan, Hari Raya Idhul Fitri, Seren Taun, dll. Aspek sosial 2, mengenai komunikasi, yaitu mengenai aliran gagasan dan informasi. Pada lokasi penelitian berada pada tingkatan kemajuan yang sempurna menuju keberlanjutan. Pada dasarnya masyarakat saling bertukar informasi secara teratur dalam berbagai kesempatan, baik dalam diskusi sehari-hari maupun saat pertemuan rutin. Sistem komunikasi yang berjalan dengan baik di masyarakat berupa
pertemuan
langsung
dalam
bentuk
pengajian,
diskusi
dalam
penyelenggaraan kegiatan, pengumuman sosial, dsb. Pengumuman peristiwa sosial dan aktivitas kerja kelompok biasanya disampaikan melalui Ketua RW/RT atau tokoh masyarakat yang selanjutnya disampaikan kepada masyarakat baik secara langsung maupun kegiatan pengajian. Aksesbilitas komunikasi di dalam anggota masyarakat antara lain berupa pertemuan langsung, pelayanan pos regular, dan telepon. Untuk layanan akses internet belum menjangkau wilayah ini kecuali melalui akses telepon seluler. Aspek sosial 3, terkait dengan jaringan pencapaian dan jasa serta pertukaran sumber daya. Beberapa indikator yang mendukung aspek ini antara lain ketersediaan informasi mengenai masyarakat, sumbangan dan keterlibatan masyarakat dalam proyek jasa, ketersediaan kesempatan pelayanan untuk kaum muda dan hubungan serta pertukaran informasi dengan masyarakat atau organisasi lain yang berhubungan. Lokasi penelitian RW 03 dan RW 04 menunjukkan suatu awal yang baik ke arah menuju keberlanjutan, sedangkan RW 05 dan RW 08 menunjukkan kemajuan yang sempurna menuju keberlanjutan. Potensi yang dimiliki masyarakat pada lokasi penelitian kampung Sindang Barang dan Dukuh Menteng yaitu keaktifan yang tinggi dalam mendukung kegiatan baik di dalam masyarakat maupun di luar masyarakat. Masyarakat
58
terbuka untuk berbagi pengetahuan, pengalaman dan keterampilan dengan sesamanya atau siapapun yang membutuhkan misalnya dalam teknik pembuatan kerajinan sepatu-sandal, bercocok tanam dan ilmu agama. Sebagian besar penduduk memiliki kepandaian dalam membuat kerajinan sepatu-sandal dan kesenian Sunda, masyarakat juga terlibat dalam beberapa kegiatan skala nasional. Selain itu masyarakaat juga membangun hubungan dan selalu bertukar informasi dengan masyarakat ataupun organisasi lain. Dalam keterlibatan masyarakat dalam proyek jasa skala nasional atau internasional masih
sangat kecil. Adapun kegiatan skala nasional, menurut
kelompok masyarakat beberapa anggota masyarakat pernah mengikuti festival budaya tingkat nasional yang diadakan di Bali. Aspek
sosial
4,
mengenai
keberlanjutan
sosial,
terkait
dengan
keanekaragaman dan toleransi serta pengambilan keputusan dan resolusi konflik. Masyarakat pada lokasi penelitian memiliki persamaan dalam hal toleransi terhadap perbedaan di dalam masyarakat maupun di luar masyarakat. Masyarakat juga tidak mudah terpancing terhadap isu-isu yang sifatnya mengganggu ketentraman masyarakat apabila belum terbukti kebenarannya. Jika terdapat suatu masalah ataupun perbedaan, masyarakat terbiasa dengan cara bermusyawarah untuk mencapai hasil yang baik. Proses pengambilan keputusan hanya melibatkan orang dewasa dan remaja saja, sedangkan anak-anak jarang diilibatkan. Sebagian besar masyarakat setuju bahwa keputusan hasil musyawarah dapat berhasil dalam memecahkan situasi yang sulit, sehingga dapat digunakan oleh masyarakat. Aspek sosial 5 terkait dengan pendidikan. Lokasi penelitian menunjukkan awal yang baik menuju keberlanjutan. Kondisi ideal yang diharapkan dalam bidang pendidikan antara lain perkembangan dan kreativitas dihargai serta tersedianya peluang untuk mengajar dan belajar untuk semua kelompok umur melalui format pendidikan yang bervariasi. Di lokasi Dukuh Menteng memperlihatkan penghargaan masyarakat terhadap
pendidikan dan pembelajaran ditunjukkan dalam beberapa kegiatan
seperti adanya perkumpulan untuk pertukaran informasi berupa kelompok tani, konsultasi oleh masyarakat yang memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus,
59
meminta kontribusi dari masyarakat yang lebih tua. Peluang pendidikan tersedia bagi semua kelompok umur, baik pendidikan formal maupun informal. Peluang pendidikan yang tersedia terlihat dari adanya aktivitas belajar formal dan informal. Untuk sekolah formal, sebagian besar masyarakat menempuh pendidikan hanya sampai sekolah dasar. Pada lokasi penelitian kampung Sindang Barang terdapat kecenderungan masyarakat untuk meneruskan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Pendidikan informal yang intensif terdapat di lokasi Dukuh Menteng, kegiatan pendidikan agama intensif dilakukan, antusias masyarakat terhadap pendidikan agama juga tinggi sehingga masyarakat banyak yang memilih pendidikan ini untuk menambah pengetahuan. Aspek sosial 6, terkait dengan pelayanan kesehatan. Lokasi penelitian menunjukkan awal yang baik menuju keberlanjutan. Hal ini dikarenakan jasa pelayanan kesehatan yang terdapat di lokasi penelitian kurang lengkap, seperti perawatan keadaan darurat, perawatan mengenai gigi, manula dan dukungan terhadap orang cacat. Lokasi penelitian yang dekat dengan Kota Bogor memudahkan masyarakat mengakses pelayan tersebut. Pelayanan kesehatan dasar yang terdapat di wilayah lokasi penelitian adalah puskesmas pembantu. Pelayanan kesehatan lain di dalam masyarakat berupa penyembuhan secara tradisional, serta perawatan ibu hamil dan dukungan untuk orang yang meninggal. Kebutuhan akan kesehatan fisik, mental dan emosional dan spiritual digambarkan bernilai baik oleh tokoh masyarakat pada lokasi penelitian. Kematian yang terjadi di dalam masyarakat tidak berasal dari penyakit yang dapat dicegah. Masyarakat juga menginformasikan jarang ditemukannya penyakit serius di masyarakat. Aspek sosial 7 mengenai keberlanjutan ekonomi. Penilaian terhadap parameter ini menunjukkan awal yang baik menuju ke arah keberlanjutan pada keempat lokasi penelitian. Nilai pada aspek ini kurang memuaskan disebabkan tidak terdapat koperasi/ perbankan lokal yang mendukung kebutuhan modal dalam kegiatan perekonomian di wilayah tersebut. Koperasi industri rumahan sepatusandal pernah terbentuk namun karena sistem manajemen yang kurang baik sehingga koperasi tersebut bangkrut.
60
Masyarakat pada keempat lokasi penelitian memiliki dorongan kuat untuk menciptakan
usaha
yang
dapat
meningkatkan
ekonomi
lokal,
tidak
mengeksploitasi sumber daya manusia maupun sumber daya alam. Masyarakat pada lokasi penelitian umumnya jarang meninggalkan masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan dan menganggap bahwa pekerjaan mereka cukup berarti. Sebagian besar masyarakat di lokasi penelitian berprofesi sebagai pengrajin sepatu-sandal, sedangkan di lokasi Dukuh Menteng kegiatan bertani lebih kuat. Pada sore hari setelah pulang dari sawah atau kebun, mereka mempunyai kerja tambahan sebagai pengrajin sepatu-sandal. Petani yang mempunyai lahan sendiri sedikit, hal ini dikarenakan lahan mereka dijual untuk modal usaha sepatu-sandal, sehingga beberapa petani tergantung pada para pemilik lahan. Upah yang diberikan pada pengrajin sepatu-sandal relatif tinggi. berdasarkan hasil wawancara dengan kelompok masyarakat, upah untuk pengrajin sepatu-sandal, yakni berkisar antara 15.000-30.000 rupiah perkodi, sehari bisa mengerjakan hingga 2-4 kodi perorang. Dengan adanya Kampung Budaya Sindang Barang hasil revitalisasi, replikasi, imitasi dan periode setting kawasan Sunda tempo dulu akan membuka kesempatan masyarakat lokal untuk meningkatkan taraf hidupnya.
5.1.3 Aspek Spiritual Penilaian terhadap aspek spiritual dalam kerangka ecovillage mengacu pada aktivitas religi maupun seni yang berkembang di masyarakat. Berdasarkan parameter yang ada dalam penilaian keberlanjutan masyarakat, secara umum keempat lokasi penelitian menunjukkan kemajuan yang sempurna ke arah keberlanjutan. Aspek spiritual 1 terkait dengan keberlanjutan budaya. Indikator ini melihat sejauh mana budaya masyarakat yang berkembang dapat terus lestari. Masyarakat pada keempat lokasi penelitian menunjukkan kemajuan yang sempurna ke arah keberlanjutan. Aktivitas budaya yang sering dilakukan oleh masyarakat terlihat dalam berbagai perayaan yang terkait dengan siklus hidup manusia. Islam berpengaruh terhadap kebudayaan disetiap perayaan hari besar keagamaan. Hanya beberapa masyarakat yang mengetahui sejarah masyarakatnya, setelah adanya
61
upaya revitalisasi oleh tokoh masyarakat setempat masyarakat menjadi tahu sejarah desanya. Upaya pewarisan etnik atau budaya melalui upacara yang disebut dengan Pantun Bogor. Namun saat ini, penutur khusus Pantun Bogor sudah jarang ditemui, hal ini tentunya berpengaruh terhadap tingkat keberlanjuntannya. Aspek spiritual 2 mengenai nilai rasa seni dan kesenangan masyarakat. Dalam penilaian ini diharapkan kreativitas dan seni merupakan suatu ungkapan kesatuan dan hubungan timbal balik dengan alam semesta, dan dilestarikan melalui berbagai format ungkapan artistik, kehidupan seni, dan melalui pemeliharaan dan pertukaran nilai-nilai keindahan. Masyarakat pada lokasi penelitian umumnya menujukkan awal yang baik menuju keberlanjutan, namun dengan nilai yang kurang memuaskan. Hal ini disebabkan desain dan penampilan masyarakat kurang terlihat bahwa masyarakat mempunyai nilai atau seni dalam kehidupan sehari-harinya. Aktivitas kesenian yang berkembang pada lokasi penelitian berupa seni musik/gamelan dan tarian. Pada umumnya masyarakat memiliki cukup waktu untuk melakukan aktivitas yang bersifat kesenangan seperti olah raga, santai, hobi dan seni misalnya pada sore serta malam hari. Terdapat peluang bagi masyarakat yang ingin mengembangkan bakat seni Sunda di KBSB, di tempat tersebut anak-anak dan pemuda dapat berlatih kesenian Sunda tanpa dipungut biaya. Perayaan berkesenian dalam masyarakat biasanya dilakukan musiman atau tahunan. Perayaan tahunan seperti upacara Seren Taun yang dirayakan oleh warga Desa Pasireurih setiap tanggal 1 Muharram. Ungkapan dan pengalaman keindahan masyarakat
dalam
bentuk
seperti taman-taman rumah/pekarangan
tidak
berkembang, yang berkembang berupa upacara-upacara, arsitektur dan kerajinan sepatu-sandal. Aspek spiritual 3 mengenai aspek keberlanjutan spiritual. Masyarakat pada lokasi penelitian menunjukkan awal yang baik menuju keberlanjutan. Praktek spiritual dilakukan sesuai dengan ajaran agama yang dianut oleh masyarakat. Anggota masyarakat diberikan kebebasan dalam memilih kepercayaan dan perayaan ibadah tidak dibatasi. Pendalaman spiritual dilakukan dalam berbagai bentuk seperti melakukan ibadah bersama, diskusi keagamaan dan perayaan hari besar agama yang
62
melibatkan masyarakat. Intensifnya kegiatan keagamaan menjadikan anggota masyarakat berada pada tingkatan kesadaran beragama yang lebih dalam. Hal ini dapat menggambarkan keharmonisan masyarakat yang menyeluruh dalam aspek spiritual. Tersedia cukup ruang untuk menampung kegiatan spiritual masyarakat baik dalam rumah maupun ruang public seperti masjid dan musholla. Aspek spiritual 4 mengenai keterikatan masyarakat. Lokasi penelitian menunjukkan awal yang baik menuju keberlanjutan. Masyarakat perdesaan yang tinggal dalam satu kampong umumnya mempunyai keterikatan yang erat satu sama lain. Hal ini juga berkaitan dengan proses pembentukan kampong yang biasanya berkembang dari satu garis keturunan. Sebagian besar masyarakat setuju bahwa kualitas hidup yang dalam masyarakat dinilai cukup baik. Prinsip-prinsip moral seperti rasa hormat dan tanggung jawab terdapat dalam masyarakat. Usaha untuk memperkuat ikatan internal anggota masyarakat dilakukan dengan berbagai cara seperti mengikuti kepanitiaan/upacara dalam acara KBSB serta menghadiri pertemuan kampung. Aspek spiritual 5 terkait dengan gaya pegas masyarakat dalam menghadapi krisis yang terjadi dalam masyarakat. Pada keempat lokasi penelitian menunjukkan awal yang baik menuju keberlanjutan. Masyarakat berusaha saling bantu-membantu jika terjadi krisis. Hambatan yang dimiliki dalam masyarakat umumnya kurang memiliki keahlian eksternal selain bertani dan kerajinan sandal sepatu. Masyarakat tetap memperlihatkan ikatan dan dukungan yang erat antar anggota masyarakat. Aspek spiritual 6 terkait dengan hubungan antara masyarakat dengan segala unsur hidup di atas bumi. Pada keempat lokasi penelitian umumnya menunjukkan awal yang baik menuju keberlanjutan hanya RW 05 yang memerlukan tindakan untuk mencapai keberlanjutan. Sebagian besar anggota masyarakat menilai pentingnya interaksi sosial dan pengembangan pribadi. Komitmen bersama dalam masyarakat untuk mewujudkan Kampung Budaya Sindang Barang. Konsep keberlanjutan dalam masyarakat dapat diterima dalam bentuk menjaga hubungan baik dengan masyarakat lain. Aspek spiritual 7 terkait dengan aspek perdamaian dan kesadaran global. Lokasi penelitian umumnya menunjukkan kemajuan yang sempurna menuju
63
keberlanjutan. Dalam aspek ini kelompok masyarakat menilai masyarakatnya dalam menciptakan perdamaian dunia. Masyarakat sadar akan pentingnya perdamaian dan memiliki kesadaran untuk saling peduli.
5.2 Usulan Perbaikan Berdasarkan hasil pengamatan lapang dan penilaian terhadap keberlanjutan masyarakat pada keempat lokasi penelitian, maka dapat dirumuskan suatu rekomendasi. Rekomendasi diberikan dalam upaya pengelolaan ke arah suatu keberlanjutan, terutama pada parameter yang mempunyai nilai rendah. Rekomendasi yang dapat diajukan antara lain:
5.2.1 Aspek Ekologis 1. Karakter lanskap yang menonjol pada lokasi penelitian adalah lanskap pertanian. Menurut Soepardi (1983) untuk menjaga stabilitas tanah kelas II yang mendominasi wilayah Desa Pasireurih maka diperlukan beberapa upaya pengelolaan meliputi pembuatan teras (terracing), pola tanam secara strip (striping), pengelolaan tanah secara berkontur, rotasi tanaman yang meliputi rumput dan legume, dan sistem drainase yang ditumbuhi rumput. Selain itu, upaya pengelolaan yang digunakan pada lahan kelas I dapat digunakan pula pada lahan kelas II untuk hasil yang lebih optimal. 2. Dalam mendukung pengembalian habitat asli, dapat dilakukan dengan mengaktifkan kembali upaya konservasi di DAS Ciapus dan sumber-sumber mata air setempat, dengan melibatkan masyarakat lokal. Kerjasama antara masyarakat
dan pihak-pihak
terkait
dapat
menjadi
jembatan dalam
mewujudkan suatu kerberlanjutan. 3. Ketersediaan pangan dapat didukung dengan pemanfaatan pekarangan secara maksimal. Pekarangan dapat dimanfaatkan sedemikian rupa, sehingga fungsi produksi dalam pekarangan seperti buah-buahan, sayuran, ternak, dan sebagainya dapat terwujud. Keragaman inilah yang menciptakan kestabilan ekologis pada pekarangan. Pada lokasi Kampung Sindang Barang, pengelolaan diprioritaskan pada fungsi pekarangan sebagai fungsi perlindungan iklim, pemenuhan kebutuhan pangan dan ekonomi. Pada lokasi Dukuh Menteng yang
64
bersanding dengan KBSB prioritas pengelolaan pada fungsi pekarangan sebagai pemenuhan kebutuhan pangan, estetika, dan perlindungan terhadap iklim (Gambar 13).
Ketersediaan pangan Sawah
Kebun
Pekarangan
Estetika Perlindungan iklim mikro Gambar 13. Rekomendasi Pendukung ketersediaan Pangan
4. Rekomendasi untuk pengolahan limbah padat antara lain dengan pengolahan sampah langsung di sumber sampah. Dalam pengolahan sampah langsung di sumbernya dapat dilakukan dengan pemilahan antara sampah organik dan anorganik. Sampah organik dapat dijadikan makanan ternak, makanan ikan, atau kompos. Sampah non-organik biasanya dibakar, daur ulang atau ditimbun (Gambar 14). Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, diperlukan suatu sistem pengelolaan sampah yang lebih luas, misalnya tempat pembuangan dan pengolahan sampah untuk satu kampung.
Pengelolaan sampah langsung Sampah organik Kompos Pakan Ternak Ditimbun
Sampah non-organik Dibakar Didaur ulang Ditimbun
Gambar 14. Rekomendasi Pengelolaan Limbah Padat
65
5. Ketersediaan air bersih merupakan suatu hal yang penting. Untuk memenuhi ketersediaan air bersih dapat dilakukan dengan pembuatan jaringan pipa air bersih terutama di Dukuh Menteng. Dalam menjaga ketersediaan air bersih dapat dilakukan dengan pembuatan sumur resapan/biopori di pekarangan rumah. 6. Polusi air merupakan salah satu kendala dalam mencapai keberlanjutan. Polusi air disebabkan oleh limbah cair, limbah cair dapat dikategorikan menjadi dua yaitu grey water dan black water. Pengelolaan polusi air dapat dilakukan dengan sistem pengelolaan pembangunan setempat (on site sistem) maupun sistem pembuangan terpusat (off site sistem). Sistem pembuangan setempat merupakan sistem pembuangan limbah di dalam batas tanah yang dimiliki. Sistem pembuangan terpusat (off site sistem) merupakan sistem penyaluran limbah yang terkumpul dalam suatu tempat pembuangan yang aman dan sehat. Menurut Hindarko (2003) Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) tradisional (toilet) yang mengolah limbah langsung di tempat (on-site) dan menghasilkan (i) limpahan tangki septik, yang selanjutnya di masukkan ke dalam sumur resapan dan langsung meresap ke dalam air tanah, (ii) lumpur tinja, yang mengendap di dasar tangki septic, yang ada pada akhirnya harus dikeluarkan dengan Truk penyedot tinja, paling sedikit sekali dalam beberapa tahun. Lumpur ini tidak boleh dibuang ke sungai, karena kadar Biochemical Oxygen Demand (BOD) masih tinggi (>2000 mg/L), melainkan harus diolah dalam sistem Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT). Peraiaran yang memiliki nilai BOD lebih dari 10 mg/liter dianggap telah mengalami pencemaran. Jadi sebenarnya system on-site ini tidak seratus persen on-site, melainkan masih memerlukan pengolahan off-site untuk lumpurnya atau diolah menjadi kompos sehingga dapat dimanfaatkan oleh para petani organik (Gambar 15).
66
Pengelolaan limbah cair Off site system
On site system IPLT
Gambar 15. Rekomendasi Pengelolaan Limbah Cair
7. Upaya peningkatan sumber energi yang dapat diperbaharui untuk memenuhi dalam acuan kerangka ecovillage, masyarakat lokasi penelitian dapat mengintegrasikan Mandi Cuci Kakus (MCK) plus, yaitu lumpur tinja dari toilet diolah menjadi biogas yang disalurkan ke rumah-rumah penduduk untuk memasak atau dapat memanfaatkan limbah kotoran ternak menjadi biogas. Lumpur dari digester dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kompos oleh para petani (Gambar 16).
Gambar 16. Pengolahan biogas dengan MCK plus, (Sumber: www.indobiofuel.com)
5.2.2 Aspek Sosial-Ekonomi 1. Konsep kesehatan selama ini masih dikonotasikan oleh masyarakat sebagai “konsep sakit”. Apabila telah jatuh sakit, barulah kemudian memikirkan tentang “sehat”. Upaya peningkatan keberlanjutan pada kesehatan masyarakat yaitu dengan mensosialisasikan pendidikan kesehatan dasar, meningkatkan pelayanan dan fasilitas kesehatan dasar yang ada sehingga lebih lebih terjangkau oleh masyarakat, misalnya penambahan tenaga medis di Puskesmas
67
Pembantu Desa Pasireurih, jasa perawatan gigi dengan klinik keliling, memaksimalkan pelayanan Posyandu. Kesehatan menurut Moeloek (2003), bahwa dasar-dasar kesehatan adalah mencuci tangan sebelum makan, sikat gigi setiap hari, gizi yang baik, air bersih dengan sanitasi lingkungan yang baik dan udara bersih (langit biru/ green industry). 2. Karakter lanskap yang menonjol pada lokasi penelitian adalah lanskap pertanian. Upaya peningkatan keberlanjutan ekonomi dapat dilakukan dengan memberikan suatu penyuluhan dan pembinaan yang berkesinambungan agar masyarakat dapat meningkatkan keterampilannya dibidang pertanian, yakni dengan digalakkannya pertanian organik di Desa Pasireurih. Usaha peningkatan ekonomi juga dapat berasal dari optimalisasi fungsi pekarangan yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing. 3. Sistem yang mendukung kegiatan ekonomi masyarakat juga diperlukan, seperti koperasi petani/ industri rumahan sepatu-sandal sehingga masyarakat mendapat modal dan fasilitas yang memadai dalam usaha peningkatan ekonominya. Penyuluhan dan pembinaan pemanfaatan limbah hasil industri rumahan agar dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan industri yang ramah lingkungan. 4. Selain itu, dibidang pariwisata, penyuluhan dan pembinaan oleh pemerintah sehingga masyarakat dapat berinisiatif untuk menciptakan suatu lapangan usaha terutama usaha yang dapat mendukung kepariwisataan di KBSB.
5.2.3 Aspek Budaya/Spiritual Penghidupan kembali seni dan budaya yang ada di masyarakat dapat dilakukan, agar masyarakat dapat mengapresiasikan dirinya dan juga menjaga kelestarian seni-budaya yang dimiliki. Suryalaga (2004) merekomendasikan yang disebut dengan tarekah ilmiah, antara lain sebagai berikut : 1. Revitalization, yaitu upaya menghidupkan kembali seni budaya yang pernah ada dalam masyarakat. Upaya revitalisasi seni budaya yang sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat seperti Seren Taun, Parebut Seeng, Runjakeun, Majikeun Pare, Serbet Kasep, Rengkong dan Angklung Gubrak.
68
2. Reactualization, yaitu upaya mengaktualisasikan seni budaya sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman. Upaya yang diwujudkan yaitu mengadakan seminar mengenai kebudayaan khususnya Sunda Bogor, mengenalkan serta menanamkan cinta akan budaya leluhur terutama pada generasi muda, mengikuti dan mengadakan festival seni seperti Parebut Seeng, Renkong dan Angklung Gubrak. 3. Revition, yaitu upaya meluruskan seni budaya sesuai dengan tujuan. Dahulu tujuan upacara Seren Taun yaitu perwujudan rasa syukur kepada leluhur/Karuhun kemudian diganti sebagai rasa syukur kepada Allah SWT. 4. Restructurization, yaitu upaya memperbaiki struktur seni budaya sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman. Upaya yang dilakukan yaitu membangun Kampung Budaya Sindang Barang, yaitu sebagai tempat belajar kebudayaan Sunda Bogor. 5. Fill in, yaitu upaya mengisi seni budaya dengan kaidah-kaidah islami. Upaya yang dilakukan yaitu mengganti doa pada upacara Seren Taun yang meminta berkah kepada leluhur/Karuhun diganti dengan doa yang ditujukan kepada Tuhan Allah SWT. 6. Innovation, yaitu upaya memperbaiki seni budaya supaya lebih menarik. Terutama untuk menarik minat generasi muda untuk mempelajari kebudayaannya. Upaya menarik generasi muda yaitu promosi di sekolahsekolah, meggunakan dunia maya sebagai tempat promosi KBSB, dan merancang desain pakaian seni yang lebih menarik. 7. Creation, yaitu upaya menciptakan seni budaya Sunda-Islam yang baru. Upaya yang dapat dilakukan yaitu membuat tarian kontemporer yang memadukan seni tari Sunda. 8. Delete, yaitu upaya menghilangkan seni budaya yang tidak sesuai dengan akhlak Islam.