49
V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung diperairan tersebut. Parameter fisik dan
kimia yang diukur merupakan faktor penting bagi
perkembangan dan distribusi organisme diperairan tersebut. Untuk perairan ekosistem lamun yang terjadi secara ekstrim dapat menyebabkan distribusi organisme maupun biota-biota penghuni ekosistem lamun dan sejumlah jasad renik (plankton) menjadi berkurang, bahkan dapat mempengaruhi dinamika pantai. Parameter fisika kimia yang diukur di perairan ekosistem lamun Pulau Waidoba adalah : suhu, salinitas, kecepatan arus, kelarutan oksigen, dan PH air. Hasil pengukuran parameter kualitas perairan di 5 stasiun penelitian diperoleh distribusi suhu berkisar antara 29 – 320C, salinitas 27–300/ 00 , pH 7.8 – 8.2, kecepatan arus 0.8 – 0.10 m/det, oksigen terlarut antara 6.5 – 7.3 mg/l. Perbandingan hasil pengukuran parameter fisika kimia di perairan Pulau Waidoba Kabupaten Halmahera Selatan dengan Kepmen Negara dan Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 dan beberapa ahli adalah sebagai berikut: -
Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting dalam mengatur metabolisme
dan penyebaran organisme pada suatu ekosistem perairan. Faktor intesitas penyinaran cahaya matahari, kondisi atmosfir, cuaca maupun sirkulasi laut merupakan faktor yang mempengaruhi distribusi suhu ((Bowden, 1980). Suhu air laut merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan lamun dan ikan. Beberapa peneliti melaporkan adanya pengaruh nyata perubahan suhu terhadap kehidupan lamun, antara lain dapat mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun (Bulthuis, 1987). Hasil pengukuran suhu pada ke 5 lokasi penelitian berkisar antar 29-32 C. Hasil
pengukuran
ini masih dalam kondisi yang sangat
0
normal untuk
pertumbuhan ekosistem lamun karena menurut Berwick (1983), kisaran optimum untuk fotosintesis lamun yaitu antara 25-35
0
C pada saat cahaya penuh.
50
Sedangkan baku mutu air laut untuk biota laut khususnya lamun oleh Kepmen Negara dan Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 yaitu 28-30 0C, di bandingkan dengan hasil pengukuran pada ke 5 lokasi penelitian adalah tidak menujukkan fluktuasi yang besar. -
Salinitas Salinitas menunjukkan kandungan garam yang ada dalam air laut, dan
perbandingannya dengan total jumlah padatan terlarut (DO) yang ada di air laut dalam perbandingan berat. Salinitas air laut bervariasi sebanding dengan kedalaman (Mukhtasor, 2007). Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur. Lamun yang tua dapat menoleransi fluktuasi salinitas yan besar. Ditambahkan bahwa Thalassia hemprichii ditemukan hidup dari salinitas 35600/ 00 , namun dengan waktu toleransi yang singkat. Salinitas juga dapat berpengaruh terhadap biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar dan kecepatan pulih lamun (Walker, 1985). Dalam penelitian ini nilai salinitas pada ke 5 lokasi penelitian berkisar antara 27-300/ 00 . Sedangkan baku mutu air laut untuk biota laut khususnya lamun oleh Kepmen Negara dan Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 yaitu 33-340/ 00 , di bandingkan dengan hasil pengukuran pada ke 5 lokasi penelitian adalah di luar ambang batas. -
pH pH atau derajat keasaman digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman
atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. pH didefinisikan sebagai kologaritma aktivitas ion hidrgen (H+) yang terlarut. Skala pH bukanlah skala absolut, pH bersifat relatif terhadap sekumpulan larutan standar yang pH-nya ditentukan bedasarkan persetujuan internasional. Nilai derajat keasaman (pH) selama penelitian menunjukkan kisaran yang netral yaitu 7.8-8.2. Hasil pengukuran pH antar lokasi penelitian tidak menunjukkan fluktuasi yang besar. Kepmen Negara dan Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 menetapkan nilai ambang batas pH untuk biota laut yaitu 7-8.5 dan ke 5 lokasi masih berada dalam kisaran ini.
51 -
Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan senyawa kimia gas yang larut dalam air yang
mempunyai fungsi untuk keberlangsungan hidup dari biota aerobik yang hidup dalam air. Oksigen ini berasal dari difusi dari udara (proses aerasi) dan fotosintesis tumbuhan air di siang hari dan juga adanya oksidasi limbah (APHA, 1989). Hasil penelitian oksigen terlarut dari ke 5 lokasi penelitian berkisar antara 6.5-7.3 mg/l. Kisaran yang diperoleh dari hasil pengukuran ini masih berada di atas baku mutu untuk biota laut, yaitu >5 mg/l. Menurut Schmitz (1971) in Erina (2006) menggolongkan kualitas air di perairan mengalir menjadi lima golongan berdasarkan kandungan oksigen terlarut yaitu : Sangat baik
: kadar DO > 8 mg/l
Baik
: kadar DO = 6 mg/l
Kritis
: kadar DO = 4 mg/l
Buruk
: kadar DO = 2 mg/l
Sangat buruk
: kadar DO < mg/l
Membandingkan dengan hasil pengukuran oksigen terlarut pada lokasi penelitian masuk dalam kategori sangat baik. -
Kecepatan Arus Kecepatan arus berhubungan sekali dengan aliran nutrien, distribusi suhu
dan memberi pengaruh terhadap pencampuran gas atmosfir ke dalam air sehingga kandungan oksigen yang larut dalam air bertambah (Nybakken, 1997). Hasil pengukuran kecepatan arus pada ke 5 lokasi adalah 0.8-1.10 m/detik. Berdasarkan hasil pengukuran ini menggambarkan ada perbedaan yang mencolok masingmasing kecepatan arus di setiap lokasi. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan arus yang terjadi di pengaruhi oleh pasang surut perairan, angin dan densitas. Menurut Welch (1980) membedakan arus dalam 5 kategori yaitu arus sangat cepat (> 1 m/det), cepat (0.5-1 m/det), sedang (0.25-0.50) m/det), lambat (0.1-0.25 /det), dan sangat lambat (< 0.1 m/det). Dari hasil pengukuran maka nilai kecepatan arus dalam penelitian masuk dalam kategori sangat lambat dan sangat cepat.
52
5.2 Persentase Tutupan Lamun Analisis persentase tutupan lamun dapat dilihat pada Lampiran 8 dan ratarata hasilnya secara ringkas ditampilkan pada Gambar 8. Analisis persentase tutupan lamun
pada ke 5 (lima) stasiun dapat disimpulkan bahwa rata-rata
persentase untuk stasiun satu, hasil persentase tutupan lamun berkisar antara 5,99-39,75 %, stasiun dua persentase tutupan lamun berkisar antara 19,99-49,78 %, stasiun tiga persentase tutupan lamun berkisar antara 16,49-44,75 %, stasiun empat persentase tutupan lamun berkisar antara 7,86-35,37%, dan untuk stasiun lima persentase tutupan lamun berkisar antara 4,49-38,62%. 40 35 30 25 20
36,12
15 10
32,59
24,22
23,06
19,11
5 0 StasiunI
Stasiun II
Stasiun III
Stasiun IV
Stasiun V
Gambar 13 Rata-Rata Persentase Tutupan Lamun Berdasarkan gambar tersebut diatas menunjukkan bahwa rata-rata persentase tutupan lebih tinggi pada ke 5 (lima) stasiun terdapat pada stasiun dua dan stasiun tiga, dengan persentase tutupan rata-rata adalah 36,12% untuk stasiun dua dan 32,59% rata-rata persentase untuk stasiun tiga. Tingginya persentase tutupan lamun untuk stasiun dua disebabkan oleh wilayah ini agak terlindungi oleh pulau Ngute-Ngute dibagian Timur, adanya gugusan pulau-pulau kecil, perairan dangkal yang luas menyebabkan perairan lamun memiliki distribusi suhu, salinitas dan kecepatan arus yang baik untuk pertumbuhan lamun. Untuk stasiun tiga memilki karakteristik hampir sama dengan stasiun dua, sehingga persentase lamunnya juga tinggi. Selanjutnya untuk stasiun lima memilki tingkat persentase lamun yang paling rendah, kedudukannya terlindungi oleh Pulau
53
Tawabi pada bagian Utara, berbentuk teluk sehingga ditribusi parameter lingkungan juga baik untuk pertumbuhan lamun, akan tetapi karena jalur ini merupakaan jalur aktif perhubungan transportasi laut antara Kota Kecamatan dengan masyarakat Pulau Waidoba sehingga banyak
padang lamun yang
mengalami kerusakan, selain akibat proses penangkapan ikan. Selanjutnya pada stasiun satu dan stasiun empat persentase tutupan lamunnya juga rendah dengan nilai rata-rata untuk stasiun satu adalah 24,22%, dan stasiun empat 23,06%. Rendahnya persentase tutupan lamun pada kedua stasiun ini kemungkinan disebabkan oleh banyaknya aktivitas berupa penangkapan ikan dengan menggunakan jaring, bom, pengambilan biota-biota non ikan dan lain-lain meskipun daerah ini juga sangat baik untuk pertumbuhan lamun. 5.3 Jenis dan Penyebaran Ekosistem Lamun di Perairan Pulau Waidoba Lamun tumbuh subur terutama di daerah terbuka pasang surut dan perairan pantai atau goba yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil dan patahan karang mati dengan kedalaman sampai 4 meter. Pada perairan yang sangat jernih, beberapa spesies lamun bahkan ditemukan tumbuh sampai kedalaman 8-15 meter dan 40 meter (Den Hartong, 1970). Pertumbuhan lamun diduga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti kondisi fisiologis dan metabolism, serta faktor eksternal, seperti zat hara (nutrient) dan tingkat kesuburan perairan (Dahuri,2003) Ekosistem padang lamun Pulau Waidoba tersebar di pesisir Timur Pulau Waidoba, ekosistem ini juga ditemukan di wilayah-wilayah terdekat lainnya khususnya pada pesisir wilayah Pulau Kayoa. Penyebaran ekosistem lamun pada daerah penelitian seluas 240,2 ha, mulai dari kedalaman ± 0-5 meter. Struktur komunitasnya tersusun atas 7 jenis yaitu Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Cymodecea serrulata, Syringodium isoetifolium, Halophila minor, Halophila ovalis, Cymodecea rotundata. Habitat padang lamun tersebar cukup merata di antara pulau pulau terutama pada bagian Timur Pulau Kayoa. Masyarakat ternyata belum banyak yang mengenal lamun (seagrass). Akibatnya, perhatian terhadap ekosistem padang lamun masih sangat kurang dibandingkan terhadap ekosistem mangrove dan terumbu karang. Padahal,
54
lestarinya kawasan pesisir pantai bergantung pada pengelolaan yang sinergis dari ketiganya. Terlebih, padang lamun merupakan produsen primer organik tertinggi dibanding ekosistem laut dangkal lainnya.