61
VII NILAI EKONOMI SUMBERDAYA EKOSISTEM LAMUN 7.1. Nilai Manfaat Langsung (Direct Use Value) Berdasarkan hasil analisis data diperoleh total nilai manfaat langsung perikanan tangkap (ikan) sebesar Rp 124.770.207.735 per tahun dengan jumlah populasi nelayan sebesar 675 nelayan. Nilai manfaat langsung dari usaha penangkapan ikan merupakan kelompok nelayan penangkap ikan yang menggunakan alat tangkap jaring. Selanjutnya nelayan penangkap biota-biota non ikan memberikan total nilai manfaat langsung sebesar Rp.116.283.834.050 pertahun dengan jumlah nelayan sebesar 1350 nelayan. Nilai manfaat langsung dari kelompok usaha penangkap biota-boita non ikan memberikan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok usaha perikanan tangkap (ikan) disebabkan oleh permintaan konsumen yang masih relatif sedikit. Tabel 8 Nilai Manfaat Langsung Perikanan Tangkap Ekosistem Lamun Manfaat Langsung Perikanan Tangkap
Nilai (Rp/thn)
Tangkapan Ikan
124.770.207.735
Biota Non ikan
116.283.834.050
Total
241.054.041.785
Sumber: Data Primer (Diolah), 2011.
Analisis data nilai manfaat langsung pemanfaatan sumberdaya perikanan menggunakan teknik surplus konsumen, dengan fungsi yang dibangun dari jumlah produksi (Kg/tahun), harga rata-rata hasil tangkapan (Rp/Kg), umur responden (tahun), tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, pendapatan usaha responden (Rp). 1. Tangkapan Ikan Kisaran harga sumberdaya ikan Rp 10,000 – 12,000 per kg untuk semua jenis ikan ekonomis penting (Lampiran 5). Ikan hasil tangkapan nelayan langsung dibeli oleh tengkulak (nelayan pengumpul) dan nelayan pengumpul menjual kembali ke luar daerah (Kota Ternate). Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 1) dapat dilihat bahwa tingkat harga (P), dan pendidikan (S) berbanding terbalik dengan fungsi permintaan. Sementara itu faktor umur (A) jumlah keluarga (F), dan pendapatan
62
(I) berbanding lurus dengan fungsi permintaan. Dari fungsi permintaan dapat terlihat bahwa variabel harga dan pendidikan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap fungsi permintaan. Hasil analisis regresi yang dilakukan menghasilkan persamaan sebagai berikut : 2,86 -1,07 ln P + 0,19 ln A – 0,29 ln S + 0,79 ln I + 0,32 ln KK Berdasarkan hasil analisis regresi di atas, maka dapat diketahui bahwa nilai adjusted R-Sq sebesar 0,73. Hal tersebut menunjukan bahwa variabel bebas yang digunakan dalam model yaitu harga, umur, pendidikan, pendapatan dan jumlah keluarga mampu menjelaskan keragaman variabel tidak bebas yaitu produksi hasil tangkapan ikan dalam satu tahun sebesar 73%. Variabel harga dan pendidikan menjadi variabel yang tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat produksi perikanan. Karena harga ikan di tingkat dasar (nelayan) terlalu rendah yaitu sekitar Rp 10.000 – 12.000 per kg, sedangkan pada tingkat konsumen kedua harga ikan menjadi Rp 18.000 – 22.000 per kg. Sehingga menjadi alasan kenapa bagi nelayan yang berpendidikan tinggi tidak melakukan penangkapan ikan. Berdasarkan fungsi tersebut kemudian dilakukan estimasi terhadap nilai ekonomi sumberdaya ikan dengan menghitung besarnya nilai surplus bagi konsumen (CS). Nilai total kesediaan membayar (U) sebesar Rp 198.506.963 per pelaku usaha perikanan. Sedangkan nilai yang dibayarkan oleh konsumen (PQ) adalah sebesar Rp 136.622.115. Sehingga dengan demikian dapat diketahui bahwa nilai CS adalah sebesar Rp 184.844.7528 per pelaku usaha perikanan. Total nilai manfaat langsung sumberdaya ikan sebesar Rp 124.770.207.735 per tahun dengan jumlah populasi nelayan sebanyak 675 orang 2. Tangkapan Biota Non Ikan Kisaran harga sumberdaya non ikan Rp 1750 – 25000 per kg (Lampiran 6). Harga biota non ikan ini terdiri dari harga kerang dan teripang. Biota non ikan dijual langsung kepada pengumpul kecil atau nelayan sendiri yang menjualnya langsung ke Kota Ternate. Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 2) dapat dilihat bahwa tingkat harga (P) berbanding terbalik dengan fungsi permintaan. Faktor umur (A) jumlah keluarga (F), pendidikan (S), dan pendapatan (I) berbanding lurus dengan
63
fungsi permintaan. Faktor harga ternyata memberikan pengaruh yang signifikan terhadap fungsi permintaan. Asumsi yang digunakan dalam membangun fungsi tersebut adalah terjadinya keseimbangan pasar dimana penawaran (supply) sama dengan permintaan (demand), sehingga hubungan antara permintaan dengan harga berbanding terbalik.
Dari fungsi di atas kemudian dilakukan estimasi terhadap nilai ekonomi sumberdaya non ikan dengan menghitung besarnya nilai surplus bagi konsumen (CS). Nilai total kesediaan membayar (U) sebesar Rp 888.572.474. per pelaku usaha perikanan. Sedangkan nilai yang dibayarkan oleh konsumen (PQ) adalah sebesar Rp 272.107.410. Sehingga dengan demikian dapat diketahui bahwa nilai CS adalah sebesar Rp 861.361.733. per pelaku usaha perikanan. Nilai manfaat langsung sumberdaya non ikan dengan jumlah populasi 1350 orang adalah Rp 116.283.834.050 per tahun. 7.2 Nilai Manfaat Tidak Langsung (Indirect Use Value) Nilai Asuhan Ikan (Nursery Ground) Nilai asuhan Ikan (nursery ground) merupakan fungsi biologi ekosistem lamun sebagai nilai manfaat tidak langsung. Ekosistem lamun akan di anggap memiliki nilai yang sangat tinggi ketika ketersediaannya semakin langka dan terbatas. Berdasarkan hal tersebut maka penilaian terhadap nilai manfaat tidak langsung (indirect use value) perlu dimasukkan kedalam perhitungan nilai ekonomi total (total economic value) Berdasarkan analisis yang dilakukan, diperoleh nilai manfaat tidak langsung dari ekosistem lamun Pulau Waidoba sebesar Rp. 4.323.600.000 per tahun. Nilai manfaat tidak langsung ini merupakan asumsi perkiraan penebaran bibit ikan pada pemeliharaan ikan baronang secara intensif di tambak (Kordi, 2010). Padat penebaran benih untuk ikan berukuran ± 13 cm atau 130-170 gr adalah sebesar 30,000 ekor/ha kemudian dikalikan dengan harga bibit ikan dan dibagi lagi dengan biaya investasi dikeluarkan 5 tahun sekali sesuai dengan umur tambak (Suparmoko et al, 2004). Selanjutnya dikalikan dengan luasan ekosistem
64
lamun di Pulau Waidoba Kecamatan Kayoa Selatan. Nilai asuhan ikan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Nilai Asuhan Ikan Ekosistem Lamun Benih Ikan
Baronang
Berat
Harga
Pembesaran Sistem Monokultur
Biaya Investasi 5 thn
Luasan
Nilai Ekonomi
(gr)
(Rp/gr)
Per Ha
90.000.000/5
(Ha)
(Rp/Ha/thn)
130170
3000
30.000
18.000.000
240.2
4.323.600.000/thn
Sumber: Kordi (2010), Suparmoko et al (2004), dan Data Primer 2011.
Nilai Karbon Luas padang lamun di Indonesia sekitar 30.000 km2 dan mampu menyerap karbon 56.3 juta ton/thn. Nilai karbon merupakan nilai guna tak langsung (indirect use value) karena nilainya sering diabaikan oleh masyarakat, berdasarkan hasil perhitungan nilai karbon per tahun pada ekosistem lamun Pulau Waidoba sebesar Rp.371.220.081. Berdasarkan hasil pengukuran luasan ekosistem lamun, Pulau Waidoba memiliki luasan sekitar 240.2 ha. Menurut Brown dan Peace (1994), Harga karbon yang telah di tetapkan oleh Bank Dunia (World Bank) yaitu sebesar US$.10 per ton (Rp.100.000/ton). Nilai karbon per tahun diperoleh dari hasil perkalian antara ekosistem lamun per hektar, serapan karbon per hektar, harga karbon per hektar dan faktor koreksi (90%). Faktor koreksi di masukkan agar tidak terjadi penilaian yang terlalu tinggi (over estimate). Nilai karbon ekosistem lamun Pulau Waidoba dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Nilai Karbon Ekosistem Lamun Jenis
Luasan
Serapan Karbon
Harga Karbon
Ekosistem
(Ha)
(Ton/ha)
(Rp/ton)
Lamun
240.2
18.77
9150
Faktor Koreksi
90%
Nilai Karbon (Rp/thn) 371.220.081
Sumber: Data Primer (Diolah), 2011*Harga Karbon sesuai standar Bank Dunia yaitu U$.10/ton
65
7.3 Nilai Bukan Manfaat (Non Use Value) Nilai bukan manfaat merupakan salah satu variabel dari nilai ekonomi total (total economic value). Nilai bukan manfaat dibagi menjadi tiga bagian yaitu nilai pilihan (option value), nilai warisan (bequest value) dan nilai keberadaan (existensi value). Penentuan nilai willingnes to pay (WTP untuk nilai bukan manfaat) di ekosistem lamun dengan menggunakan kuesioner. Untuk menjaring besaran nilai yang dimaksud responden diharapkan untuk menjawab pertanyaanpertanyaan atau kuisioner yang telah dirancang dengan menggunakan metoda pertanyaan terbuka. Berdasarkan hasil perhitungan nilai bukan manfaat (non use value) dapat disimpulkan bahwa responden memberi nilai yang lebih besar kepada nilai keberadaan sumberdaya ekosistem lamun dibandingkan dengan nilai pilihan atau nilai warisan. Untuk mengetahui hasil perhitungan nilai bukan manfaat (non use value) pada ekosistem lamun Pulau Waidoba adalah sebagai berikut. Nilai Pilihan (Option Value) Nilai Pilihan merupakan nilai sumberdaya alam yang tidak dapat dipasarkan (non market value) dan didasarkan pada survei seberapa besar biaya responden sedia bayarkan (willingnes to pay) terhadap pihak terkait (pemerintah) dalam rangka upaya melakukan rehabilitasi ekosistem lamun yang telah mengalami kerusakan, dimana proses rehabilitasi perlu dilakukan guna menunjang peningkatan sumberdaya perikanan. Adapun perhitungan nilai pilihan (option value) dalam penelitian ini menggunakan persamaan yang digunakan oleh Yaping, (1999). Hasilnya berupa model sebagai berikut :
Berdasarkan hasil analisis, nilai kesediaan membayar atas manfaat pilihan sumberdaya ekosistem lamun per responden adalah sebesar Rp 5.556 per tahun.
66
Penduduk masyarakat di Pulau Waidoba berjumlah 6078 orang. Jadi total nilai manfaat pilihan sumberdaya ekosistem lamun adalah sebesar Rp 33.766.994. Implikasi dari model tersebut, diketahui bahwa preferensi masyarakat di sekitar lokasi penelitian terhadap sumberdaya ekosistem lamun akan meningkat seiring dengan bertambahnya pendidikan, pendapatan, usia dan profesi masyarakat dalam mengelola sumberdaya tersebut. Model ini mengindikasikan bahwa variabel pendapatan lebih dominan dalam memberikan pertambahan nilai terhadap preferensi nilai pilihan sumberdaya ekosistem
lamun, yaitu setiap
penambahan pendapatan Rp 1000 per tahun akan menambah 1,148 rupiah dari nilai WTP (Nilai Pilihan) sumberdaya ekosistem lamun. Demikian pula pada faktor usia, pendidikan dan profesi. Setiap bertambahnya usia satu tahun akan menambah 1,32 rupiah nilai pilihan sumberdaya ekosistem lamun, dan tiap bertambahnya pendidikan satu tahun akan meningkatkan 9,77 rupiah dari nilai pilihan sumberdaya ekosistem lamun, demikian juga tiap bertambahnya profesi satu tahun akan meningkatkan 29,51 rupiah dari nilai pilihan sumberdaya ekosistem lamun. Upaya rehabilitasi melalui kegiatan restoking dan marine ranching merupakan salah satu pilihan yang sangat tepat untuk meningkatkan populasi biota padang lamun yang telah mengalami penurunan, hal ini sangat mempengaruhi responden dalam menentukan besaran nilai WTP, dengan harapan untuk mendapatkan manfaat lebih jika rehabilitasi sumberdaya dilakukan. Variabel pendapatan dalam memanfaatkan sumberdaya ekosistem lamun oleh responden sangat berpengaruh terhadap besarnya nilai pilihan pemanfaatan sumberdaya. Indikasi model dan hasil temuan di lapangan menyatakan bahwa responden yang memiliki tingkat pendapatan yang tinggi, cenderung menyadari pentingnya sumberdaya yang bagus dan terjaga demi untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar. Namun, keinginan akan sumberdaya yang baik tidak dibarengi oleh pemahaman tentang ekosistem yang baik pula, sehingga kerelaan untuk berpartisipasi merehabilitasi sumberdaya sangat besar. Nilai Keberadaan (Existensi Value) Berdasarkan hasil penelitian terhadap nilai keberadaan, responden yang berhasil diwawancarai berjumlah 45 orang. Responden ini berasal dari Kabupaten
67
dan Kota pada wilayah Provinsi Maluku Utara. Untuk mengetahui besaran kesediaan membayar (willingnes to pay) responden terhadap nilai keberadaan (existensi value), responden ditanyakan langsung tentang seberapa besar biaya yang sedia responden bayarkan untuk berpartisipasi dalam menjaga keberadaan ekosistem lamun. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, dihasilkan model pendugaan nilai keberadaan sumberdaya ekosistem lamun yaitu sebagai berikut :
Berdasarkan hasil analisis, nilai kesediaan membayar atas manfaat keberadaan ekosistem lamun per responden sebesar Rp 9.125 per tahun. Jumlah penduduk di Provinsi Maluku Utara tahun 2010 sebesar 1.035.500 jiwa. Jadi
total nilai
manfaat keberadaan ekosistem lamun adalah sebesar Rp 9.448.756.247 per tahun. Implikasi dari model tersebut, diketahui bahwa preferensi masyarakat di sekitar lokasi penelitian terhadap sumberdaya ekosistem lamun akan meningkat seiring dengan bertambahnya pendidikan dan pendapatan dalam mengelola sumberdaya ekosistem lamun. Model tersebut mengindikasikan bahwa faktor pendapatan secara positif lebih dominan dalam memberikan pertambahan nilai terhadap nilai keberadaan ekosistem lamun. Penambahan pendapatan Rp 1000 per tahun akan menambah 467,74 rupiah dari nilai WTP (nilai keberadaan) sumberdaya ekosistem lamun. Demikian pula pada faktor pendidikan, tiap bertambahnya lama pendidikan satu tahun akan meningkatkan18,20 rupiah dari nilai keberadaan sumberdaya ekosistem lamun. Namun faktor usia masyarakat dan profesi menunjukkan fenomena yang negatif, artinya lama hidup dan lama pekerjaan responden tidak menunjukkan perubahan positif yang linear dengan besaran nilai pilihan sumberdaya ekosistem lamun. Sehingga, nilai keberadaan dari sumberdaya ekosistem lamun oleh masyarakat secara efektif dapat ditingkatkan dengan melakukan peningkatan pendapatan dan peningkatan kualitas pendidikan bagi masyarakat.
68
Nilai Warisan (Bequet Value) Nilai warisan merupakan nilai sumberdaya alam yang tidak dapat di pasarkan (non market value) dan didasarkan pada survei dimana kesediaan membayar (willingnes to pay) diperoleh langsung dari responden. Kesediaan tersebut langsung diungkapkan oleh responden secara lisan. Perhitungan nilai willingnes to pay/ WTP untuk nilai warisan dalam penelitian ini menggunakan persamaan yang digunakan oleh Yaping, (1999). Hasilnya berupa model sebagai berikut;
Bedasarkan hasil analisis, nilai kesediaan membayar atas nilai warisan/ keberlanjutan ekosistem lamun per responden sebesar Rp 4,550 per tahun. Jumlah penduduk Kecamatan Kayoa secara keseluruhan adalah sebanyak 20.487 jiwa. Jadi nilai manfaat warisan ekosistem lamun adalah sebesar Rp.93.213.303 per tahun. Implikasi dari model tersebut, diketahui bahwa preferensi masyarakat di sekitar lokasi penelitian terhadap sumberdaya ekosistem lamun akan meningkat seiring dengan bertambahnya pendapatan, profesi dan pendidikan masyarakat dalam mengelola sumberdaya tersebut. Sedangkan faktor usia masyarakat setempat menunjukkan fenomena yang negatif, artinya lama hidup responden tidak
menunjukkan
perubahan
linear
dengan
besaran
nilai
warisan/keberlangsungan sumberdaya ekosistem lamun. Model tersebut mengindikasikan bahwa faktor profesi lebih dominan dalam
memberikan
pertambahan
nilai
terhadap
warisan/keberlanjutan sumberdaya ekosistem lamun.
preferensi
nilai
Indikasinya adalah tiap
bertambahnya profesi (pengalaman kerja) satu tahun akan menambah 165,96 rupiah dari nilai WTP (nilai warisan) sumberdaya ekosistem lamun. Demikian pula pada faktor pendidikan dan pendapatan, tiap bertambahnya lama pendidikan satu tahun akan meningkatkan 870,96 rupiah dari nilai warisan dan
tiap
pertambahan pendapatan Rp 1000 per tahun akan meningkatkan 33,88 rupiah dari nilai warisan/pelestarian. Selanjutnya untuk variabel usia pada masyarakat
69
setempat menunjukkan fenomena yang negatif, artinya lama hidup responden tidak menunjukkan perubahan yang bersifat linear dengan besaran nilai warisan sumberdaya ekosistem lamun. Secara umum nilai pilihan dilakukan dalam upaya memberikan masukan kepada responden perihal upaya rehabilitasi pada ekosistem lamun akibat adanya kerusakan sumberdaya tersebut. Hal ini diharapkan agar responden sebagai pemanfaat ekosistem lamun dapat terlibat dalam upaya rehabilitasi, melalui upaya kegiatan restoking dan marine ranching pada wilayah ekosistem lamun. Kemudian untuk nilai keberadaan dilakukan upaya menjaring informasi dengan mengisyaratkan arti keberadaan lingkungan sumber daya ekosistem lamun di mata responden. Responden diharapkan memberikan nilai atas keberadaan ekosistem lamun tanpa melibatkan hubungan keterkaitan antara responden dengan ekosistem lamun. Sedangkan pada nilai warisan sumberdaya, nilai tersebut dijaring dengan memberi input kepada responden perihal keberlanjutan sumberdaya ekosistem lamun tanpa melibatkan diri responden sebagai pemanfaat sumberdaya ekosistem lamun. Selanjutnya, responden diharapkan mampu membayangkan sebagai orang yang berada diluar sistem pemanfaatan sumberdaya ekosistem lamun, sekaligus dapat membayangkan dirinya sebagai orang yang memahami arti penting keberlanjutan lingkungan. 7.4 Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) Nilai ekonomi total (total economic value) yang terdapat pada ekosistem lamun Pulau Waidoba merupakan penjumlahan dari nilai manfaat (use value) dan nilai bukan manfaat (non use value). Nilai manfaat terdiri dari nilai manfaat langsung (direct use value) dan manfaat tidak langsung (inderect use value), sedangkan nilai bukan manfaat terdiri dari nilai pilihan (option value), nilai warisan (bequest value) dan nilai Keberadaan (existensi value). Nilai ekonomi total (total economic value) per tahun yang terdapat pada ekosistem lamun Pulau Waidoba yaitu sebesar Rp.255.324.598.410. Nilai ekonomi total pada ekosistem lamun Pulau Waidoba dapat dilihat pada Gambar 18.
70
Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) Rp. 255.324.598.410
Nilai Manfaat (Use Value)
Nilai Bukan Manfaat (Non Use Value)
Rp.245.748.861.866
Rp. 9.575.736.544
Nilai Manfaat Langsung (Direct Use Value) Rp. 241.054.041.785
Nilai Manfaat Tidak Langsung (Indirect Use Value) Rp. 4.694.820.081
Nilai Pilihan (Option value) Rp. 33.766.994
Nilai Keberadaan (Existensi Value) Rp 9.448.756..247
Nilai Warisan (Bequest Value) Rp. 93.213.303
Gambar 18 Nilai Ekonomi Total Ekosistem Lamun Pulau Waidoba 7.5 Implementasi Nilai Ekonomi Total nilai ekonomi ekosistem lamun yang diperoleh merupakan gambaran seberapa besar sumberdaya (lamun) mampu memberikan manfaat secara ekonomi (use value dan non use value). Berdasarkan nilai ekonomi total (total economic value) ekosistem lamun pulau Waidoba yang telah ditetapkan dalam penelitian ini yaitu sebesar Rp.255.324.598.410. Mengindikasikan bahwa wilayah ekosistem lamun Pulau Waidoba merupakan suatu ekosistem yang sangat penting dan strategis bagi kehidupan masyarakat di Pulau Waidoba dan sekitarnya. Nilai ekonomi total ekosistem lamun Pulau Waidoba tersebut jika dibandingkan dengan nilai ekonomi total pada ekosistem lamun di Kabupaten pesisir Selatan Sumatra Barat (Rp. 3.414.000.000.000) memang masih tergolong sangat kecil. Nilai ekonomi total ekosistem lamun Pulau Waidoba merupakan nilai riil sumberdaya ekosistem lamun yang ada saat ini, nilai ini belum mencangkup wilayah ekosistem lamun secara keseluruhan di Pulau Kayoa, tetapi hanya terdapat pada daerah lokasi penelitian. Kerusakan ekosistem lamun dan eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan menyebabkan nilai produksi nelayan pada ekosistem lamun semakin
71
menurun, ditambah dengan harga ikan maupun biota-biota non ikan yang sangat rendah tentunya sangat mempengaruhi nilai ekonomi total (total economic value) pada ekosistem lamun Pulau Waidoba Kecamatan Kayoa Selatan. Adanya nilai riil yang berasal dari nilai manfaat dan nilai bukan manfaat pada ekosistem lamun yang lumayan besar di Pulau Waidoba, maka output dari nilai tersebut kepada pihak terkait (instansi pemerintah) adalah bagaimana agar ekosistem lamun pulau Waidoba dapat dikelola dengan baik dan secepat mungkin, mengingat kondisi ekosistem lamun di daerah ini semakin terancam oleh berbagai aktivitas manusia. Dengan adanya pengelolaan yang baik maka akan berdampak pada peningkatan kualitas lingkungan maupun pada pelestarian sumberdaya alam, yang tentunya akan berdampak besar terhadap nilai ekonomi total suatu ekosistem wilayah pesisir.