JUDUL
: Konservasi Sumber Daya Air Berbasis Lanskap Hutan
PELAKSANA
: Adi Kunarso, Tugabus A. Anugerah, Nur Arifatul Ulya, Efendi Agus Waluyo, Saripin, Johan P. Tampubolon
Ringkasan Pengelolaan sumberdaya alam perlu dilakukan dengan berorientasi ekosistem secara keseluruhan. Pendekatan semacam ini dapat dilakukan dengan menerapkan manajemen lansekap yang memandang hutan sebagai suatu kesatuan fungsi. Wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) memiliki peran yang esensial terhadap perlindungan kawasan di bawahnya, yaitu sebagai kawasan lindung dan daerah tangkapan air. Kondisi DAS di Indonesia saat ini pada umumnya dalam kondisi kritis akibat tataguna lahan yang tidak sesuai dengan fungsinya. Perubahan penggunaan lahan pada wilayah hulu DAS telah mempengaruhi kondisi hidrologi sehingga mengakibatkan persoalan sumberdaya air. Kerusakan sumberdaya lahan DAS menuntut usaha-usaha perbaikan untuk meningkatkan kembali kualitas lahannya. Untuk itu perencanaan penggunaan lahan yang memberikan hasil air (water yield) optimal, erosi lahan yang lebih kecil atau sama dengan erosi yang masih dapat ditoleransikan, dan pendapatan masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya penting untuk dilakukan. Tujuan akhir dari penelitian ini yaitu untuk mengoptimalkan penggunaan lahan pada suatu lansekap DAS guna menjamin ketersediaan sumberdaya air yang berkelanjutan. Sedangkan tujuan penelitian tahun 2015 yaitu: 1). Mendeliniasi batas DAS yang menjadi lokus penelitian 2). Mengidentifikasi karakteristik DAS (fisik dan sosial). 3). Menghitung nilai ekonomi air untuk kebutuhan rumah tangga. 4). Memasang ombrometer, peilskal dan suspended sampler untuk pengumpulan data hidrologi Kata kunci
: Tataguna lahan, konservasi sumberdaya air, nilai ekonomi, DAS
A. Latar belakang Tantangan pengelolaan hutan di Indonesia saat ini adalah untuk mempertahankan sekaligus melestarikan sumberdaya hutan yang tersisa, disamping mengoptimalkan berbagai fungsi yang ada sehingga keberadaan hutan mampu memenuhi kebutuhan yang semakin beragam serta memberikan peran yang lebih luas kepada masyarakat. Pengelolaan sumberdaya hutan perlu dilakukan dengan berorientasi ekosistem secara keseluruhan, yang memandang hutan sebagai suatu kesatuan fungsi, dan pengelolaannya tidak dapat dipisahkan dari tujuan untuk memenuhi kebutuhan yang beragam, baik yang bersifat ekologis, ekonomis maupun kebutuhan sosial. Wilayah hulu DAS memiliki peran yang esensial terhadap perlindungan kawasan di bawahnya, yaitu sebagai kawasan lindung maupun daerah tangkapan air. Namun demikian, akibat pertambahan jumlah penduduk, keberadaan hutan di sebagian besar DAS di Indonesia saat 1
ini semakin terdesak oleh alih guna hutan menjadi non hutan. Perubahan penggunaan lahan akan merubah tipe dan proporsi tutupan lahan yang selanjutnya mempengaruhi hidrologi suatu kawasan. Perubahan penggunaan lahan dengan memperluas permukaan kedap air menyebabkan berkurangnya infiltrasi, menurunkan pengisian air bawah tanah dan meningkatkan aliran permukaan. Peningkatan aliran permukaan secara langsung mempengaruhi peningkatan debit. Debit sebagai output dari proses hidrologi dapat dijadikan sebagai indikator untuk menilai kualitas penggunaan lahan suatu DAS. Debit yang sangat tinggi di musim hujan dan rendah di musim kemarau menunjukkan adanya kerusakan di DAS (Ardiansyah, et al.,2005). DAS Musi dengan luas mecapai 7.760.222, 863 Ha merupakan salah satu DAS yang memerlukan prioritas penanganan karena kondisinya yang kritis (BPDAS Musi, 2013). Beberapa permasalahan yang terjadi di DAS Musi secara umum antara lain: perambahan hutan dan illegal logging, penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, konversi hutan untuk keperluan lain (kebun kopi, karet, dan sawit) yang semakin meningkat, serta terjadinya pendangkalan dan pencemaran sungai (BPDAS Musi, 2013). Kerusakan sumberdaya lahan DAS seperti diuraiakan diatas menuntut usaha-usaha perbaikan untuk meningkatkan kembali kualitas lahannya. Untuk itu perencanaan penggunaan lahan yang memberikan hasil air (water yield) dan nilai ekonomi yang optimal penting untuk dilakukan. B. Rumusan Masalah Ekosistem hutan yang terletak di bagian hulu suatu DAS mempunyai peranan yang sangat penting sebagai perlindungan sistem tata air secara keseluruhan. Namun demikian, kondisi DAS di Indonesia saat ini pada umumnya dalam kondisi kritis ditunjukkan dengan sering terjadinya bencana banjir, kekeringan dan tanah longsor akibat alih guna lahan hutan menjadi non hutan (pertanian, permukiman, industry dan lain-lain). Alih guna lahan hutan menjadi non hutan berlangsung seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi dalam skala besar dapat mempengaruhi kondisi hidrologi sehingga mengakibatkan persoalan sumberdaya air seperti penurunan kapasitas infiltrasi tanah, meningkatkan aliran permukaan, mempercepat erosi tanah, perubahan karakteristik pasokan air, penurunan produktivitas lahan, dan percepatan degradasi lahan. DAS Musi merupakan salah satu DAS di Indonesia yang memerlukan prioritas penanganan karena kondisinya yang kritis. Oleh karena itu diperlukan upaya konservasi 2
sumberdaya air untuk mempertahankan kualitas dan kuantias air hulu DAS Musi agar tetap menghasilkan jasa lingkungan air yang berkelanjutan, melalui penyusunan skenario penggunaan lahan yang memberikan hasil air dan nilai ekonomi yang optimal.
C. Tujuan Tujuan akhir dari penelitian ini yaitu untuk merumuskan skenario penutupan lahan yang menghasilkan ketersediaan sumberdaya air yang berkelanjutan dan mengestimasi nilai ekonomi air. Adapun tujuan yang ingin dicapai pada tahun 2015 yaitu: 1. Mendeliniasi batas DAS yang menjadi lokus penelitian 2. Mengidentifikasi karakteristik DAS meliputi tutupan lahan, kondisi topografi dan tanah serta kondisi sosial ekonomi masyarakat. 3. Menghitung nilai ekonomi air untuk kebutuhan rumah tangga 4. Memasang ombrometer, peilskal dan suspended sampler untuk pengumpulan data hidrologi
D. Luaran Luaran dari penelitian ini berupa rekomendasi luas hutan tetap di hulu DAS Musi untuk mendapatkan jasa lingkungan air yang optimum. Adapun luaran yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2015 yaitu: 1. Batas DAS yang menjadi wilayah penelitian 2. Data karakteristik fisik dan sosial pada lokasi penelitian 3. Nilai ekonomi air untuk kebutuhan rumah tangga
III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di daerah hulu Sungai Musi yaitu di DAS Perapau. DAS Perapau secara administrasi pemerintahan termasuk dalam wilayah Kecamatan Semendo Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim. Sedangkan berdasarkan wilayah pengelolaan kawasan hutan termasuk dalam wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Ogan Ulu.
3
Gambar 1. Lokasi Penelitian B. Alat dan bahan Alat dan Bahan yang diperlukan pada penelitian ini antara lain: 1.
Citra satelit SPOT pada scenes sesuai wilayah kajian
2.
Peta digital administrasi kabupaten
3.
Peta Digital Elevation Model (DEM)
4.
Program ArcGIS ver 10.2
5.
Global Positioning System (GPS)
6.
Kuesioner
7.
Perlengkapan lapangan dan alat tulis
C. Ruang Lingkup Penelitian Wilayah penelitian merupakan DAS mikro/ Sub-sub DAS di hulu Sungai Musi. Penelitian yang dilakukan meliputi kajian hidrologi (hasil dan kualitas air), ekonomi (nilai ekonomi dan jasa lingkungan), serta kelembagaan (analisis peran para pihak pengguna jasa air).
4
D. Metode Pelaksanaan Penelitian 1. Deliniasi batas DAS Deliniasi DAS menggunakan sumber peta Digital Elevation Model (DEM) 30 meter yang diperoleh dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Proses delinasi DAS menggunakan program ArcGIS 10.2, dan melalui 4 (empat) tahapan proses analisis morfometri, yang secara berurutan yaitu: (1) Flow direction; (2) Flow accumulation; (3) Stream network; dan (4) Stream order. Berdasarkan data stream yang telah terbentuk, dengan memperhatikan orde sungai (stream order), deliniasi DAS dilakukan dengan menggunakan tool watershed. 2. Identifikasi karakteristik sub-sub DAS, meliputi; a. Kondisi tutupan lahan Informasi tutupan lahan diperoleh melalui interpretasi citra SPOT 6 liputan tahun 2014, yang diperoleh dari LAPAN. Interpretasi citra dilakukan secara visual dengan metode on screen digitize menggunakan software ArcGIS. b. Topografi, tanah, dan iklim; data dan informasi terkait diperoleh dari analisis terhadap sampel tanah dan data-data meliputi peta DEM, peta jenis tanah dan data iklim c. Kondisi sosial ekonomi; data yang digunakan dalam survey sosial ekonomi dan kelembagaan dalam kaitannya dengan sumberdaya air diperoleh dari masyarakat, instansi pemerintah terkait dan stakeholder lain yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya air di lokasi penelitian. Data yang bersumber dari instansi pemerintah, masyarakat maupun stakeholder lainnya diperoleh dengan cara wawancara, dan laporan-laporan. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif. 3. Penghitungan nilai ekonomi air untuk kebutuhan rumah tangga Nilai untuk kebutuhan rumah tangga ditaksir dengan metode kesediaan membayar (Wiilingness to Pay/WTP) (Bann, 1997; Setiawan, 2000; Widada, 2004; Ginoga dan Lugina, 2007; Nurfatriani dan Handoyo, 2007). Nilai ekonomi air untuk keperluan rumah tangga dalam hubungannya dengan hutan ditaksir dengan nilai kesediaan membayar responden agar bisa mengkonsumsi air untuk keperluan rumah tangga. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deliniasi Batas DAS Deliniasi batas DAS wilayah penelitian menggunakan sumber peta Digital Elevation Model (DEM) 30 meter yang diperoleh dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional 5
(LAPAN). Fokus area penelitian dibatasi pada outlet Sungai Perapau yang bermuara di Sungai Meo dan selanjutnya bergabung menjadi Sungai Enim. Lokasi ini dipilih berdasarkan pertimbangan adanya permasalahan alih fungsi lahan terutama untuk kebun (kopi, karet, campuran), yang diduga telah mempengaruhi kondisi hidrologi dan berdampak pada wilayah dibawahnya. Disisi lain, ketergantungan masyarakat terhadap sumber air dari Sungai Perapau dan anak-anak sungai-nya sangat tinggi, baik untuk keperluan sehari-hari maupun pengairan sawah. Proses delinasi DAS menggunakan perangkat lunak ArcGIS, dan melalui 4 (empat) tahapan proses analisis morfometri, yang secara berurutan yaitu: (1) Flow direction; (2) Flow accumulation; (3) Stream network; dan (4) Stream order. Luas DAS Perapau hasil deliniasi yang menjadi wilayah penelitian seluas 3923,54 hektar (Gambar 2).
Gambar 2. Hasil proses delineasi DAS
B. Karakteristik DAS Perapau 1. Tutupan Lahan Peta tutupan lahan di wilayah DAS Perapau diperoleh dari intepretasi citra SPOT 6 tahun 2014 (Gambar 10). Interpretasi citra dilakukan secara visual dengan metode on screen digitize. Metode ini termasuk interpretasi secara manual. Hasil dari metode ini adalah data klasifikasi tematik dalam format vector dan kodifikasi data (encoding) dapat secara langsung dilakukan. 6
Sehingga metode ini sering dikenal juga metode penafsiran interaktif. Kelebihan dari metode ini adalah penafsir dapat memperhitungkan konteks spasial wilayah pada saat penafsiran dengan melibatkan lebih dari satu elemen (unit lahan, bentuk lahan, local knowledge dll) yang tidak mungkin dapat dilakukan dengan metode klasifikasi digital secara langsung. Keuntungan kedua adalah metode ini cocok untuk daerah pada ekuator yang banyak tertutup awan (Arifin dan Hidayat, 2014).
Gambar 3. Klasifikasi tutupan lahan di DAS Perapau Tahun 2014 Tutupan lahan di wilayah studi didominasi oleh perkebunan (64,71%), yaitu berupa kebun karet, kopi, dan kebun campuran (durian, coklat, jengkol, petai) (Tabel 1). Di bagian selatan wilayah DAS Perapau, pada ketinggian 1000-1490 mdpl, terdapat hutan primer yang menjadi hulu Sungai Betung yang bermuara di Sungai Perapau. Hutan primer tersebut merupakan bagian dari Hutan Lindung (HL) Bukit Jambul Asahan. Sedangkan di bagian utara DAS, juga terdapat hutan primer yang menjadi bagian dari Suaka Margasatwa (SM) Isau-Isau
7
Pasemah, yang sekaligus merupakan hulu Sungai Perapau. Luas tutupan hutan saat ini diperkirakan sekitar 19.07% dari luas DAS Perapau. Tabel 1. Klasifikasi tutupan lahan DAS Perapau Tutupan Lahan Hutan primer Hutan sekunder Semak/ belukar Perkebunan Pertanian lahan kering Sawah Pemukiman Tanah terbuka Total
Luas (ha) 748,40 78,65 43,90 2539,00 23,74 256,84 17,05 215,97 3923.54
Persen (%) 19,07 2,00 1,12 64,71 0,60 6,55 0,43 5,50 100.00
Hasil tumpang susun peta tutupan lahan dengan peta kawasan hutan (SK No 866/MenhutII/2014), diketahui bahwa wilayah HL Bukit Jambul Asahan yang termasuk dalam wilayah DAS Perapau yaitu seluas 972,71 Ha, namun hampir setengah luasannya sudah beralih fungsi menjadi perkebunan (39,59%) (Tabel 2). Tabel 2. Tutupan lahan HL Bukit Jambul Asahan di wilayah DAS Perapau Tutupan Lahan Hutan primer Hutan sekunder Perkebunan Semak/ belukar Tanah terbuka Total
Luas (Ha) 526,09 40,26 385,10 3,52 17,74 972,71
Persen (%) 54,08 4,14 39,59 0,36 1,82 100,00
Kondisi yang sama juga terjadi di kawasan SM Isau-Isau Pasemah yang berada di DAS Perapau, yang hampir setengah luas hutannya telah berubah fungsi menjadi perkebunan (Tabel 3). Tabel 3. Tutupan lahan SM Isau-Isau Pasemah di wilayah DAS Perapau Tutupan lahan Hutan primer Hutan sekunder Perkebunan Pertanian lahan kering Tanah terbuka Total
Luas (ha) 222,34 6,25 175,42 0,72 10,99 415,73
Persen (%) 53,48 1,50 42,20 0,17 2,64 100,00
8
2. Satuan Lahan Satuan lahan di DAS Perapau didominasi oleh jenis tanah inceptisol yang berasal dari batuan gunung berapi (volcan). Jenis tanah yang lain entisol dan oxisol ditemukan dalam proporsi yang minor (sedikit). 3. Tanah dan Topografi Hasil analisis sampel tanah pada beberapa tutupan lahan di DAS Perapau disajikan pada Tabel 5. Secara umum kandungan C-Organik termasuk kategori tinggi, dengan kelas tekstur lempung berpasir. Tabel 4. Kandungan C-organik dan Tekstur tanah di lokasi penelitian Tutupan lahan Sawah Ladang Kebun campuran Karet Kopi Belukar Hutan Lindung
0-15 15-30 0-15 15-30 0-15 15-30 0-15 15-30 0-15 15-30 0-15 15-30 0-15 15-30
C-org (%) 2.80 1.42 2.04 2.23 3.73 3.14 3.45 1.94 4.03 3.92 3.48 3.03 4.60 4.11
sedang rendah sedang sedang tinggi tinggi tinggi rendah tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi
Tekstur (%) Pasir Debu 56.03 15.00 49.35 15.07 55.93 17.18 68.80 17.19 64.47 19.36 62.10 21.63 60.39 23.53 68.83 15.03 52.94 37.18 74.82 17.49 66.77 19.27 53.90 19.29 72.44 19.81 50.97 41.37
Liat 28.97 35.58 26.89 14.01 16.17 16.27 16.08 16.14 9.88 7.69 13.96 26.81 7.75 7.66
Kelas lempung liat berpasir liat berpasir lempung liat berpasir lempung berpasir lempung berpasir lempung berpasir lempung berpasir lempung berpasir lempung berpasir pasir berlempung lempung berpasir lempung liat berpasir pasir berlempung lempung berpasir
Sedangkan kondisi topografi cukup curam sampai curam (16-55%), dan berada pada di ketinggian 590 – 1.586 mdpl (Gambar 15).
9
Gambar 4. Kondisi topografi DAS Perapau 4. Kondisi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan a. Kondisi sosial ekonomi 1) Desa Tanah Abang Masyarakat Desa Tanah Abang memanfaatkan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (mandi, cuci, kakus, memasak) dan pertanian sawah. Sumber air yang digunakan oleh masyarakat di Desa Tanah Abang berasal dari Sungai Betung, Sungai Perapau, sumur dan sistem pengairan dari rumah ke rumah yang dibangun oleh program Water Sanitation for Low Income Community (WSLIC), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Air sungai pada umumnya dimanfaatkan masyarakat Desa tanah Abang untuk pengairan (irigasi) sawah. Sedangkan untuk kebutuhan rumah tangga, kebutuhan air dipenuhi dari air sumur dan WSLIC. Sumber air yang digunakan untuk „WSLIC‟ berasal dari mata air yang bernama “ayek hangat”, yang dialirkan ke „tugu‟, kemudian dari „tugu‟ dialirkan dari rumah ke rumah dengan menggunakan pipa dan selang.
10
Masyarakat Desa tanah Abang pada umumnya berprofesi sebagai petani. Pertanian yang diusahakan meliputi pertanian sawah (padi) dan kebun kopi. Sistem pertanian sawah di Desa Tanah Abang pada umumnya menggunakan varietas padi 2 kali panen setahun. Lamanya waktu 1 musim tanam adalah 4 bulan. Dalam sistem pertanian sawah, air digunakan untuk menggenangi sawah sepanjang musim tanam. Sawah dikeringkan ketika dilakukan pemupukan dan menjelang pemanenan. Pengairan tidak digunakan dalam pengusahaan kebun kopi oleh masyarakat. Masyarakat memanen kopi sekali tahun, dimana dalam satu musim panen dilakukan tiga periode pemetikan buah kopi. 2) Desa Perapau Masyarakat Desa Perapau memanfaatkan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (mandi, cuci, kakus, memasak) dan pertanian sawah. Sumber air yang digunakan oleh masyarakat di Desa Perapau berasal dari Sungai Perapau, sumur dan sistem pengairan dari rumah ke rumah yang dibangun oleh program Water Sanitation for Low Income Community (WSLIC), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Air sungai pada umumnya dimanfaatkan untuk pengairan (irigasi) sawah dan sebagian kebutuhan rumah tangga yang meliputi mandi, cuci dan kaus (MCK). Air sumur dan WSLIC digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sumber air dari WSLIC berasal dari mata air. Dari mata air air disalurkan menggunakan pipa ke bak-bak penampungan. Dari bak penampungan selanjutnya air dialirkan ke rumah-rumah dengan menggunakan selang. Masyarakat Desa Perapau, seperti halnya masyarakat Semendo pada umumnya, pada umumnya berprofesi sebagai petani. Pertanian yang diusahakan meliputi pertanian sawah (padi) dan kebun kopi. Sistem pertanian sawah di Perapau pada umumnya menggunakan varietas padi 2 kali panen setahun. Dalam sistem pertanian sawah, air digunakan untuk menggenangi sawah sepanjang musim tanam. Sawah dikeringkan ketika dilakukan pemupukan dan menjelang pemanenan. Pengairan tidak digunakan dalam pengusahaan kebun kopi oleh masyarakat. Masyarakat memanen kopi sekali tahun, dimana dalam satu musim panen dilakukan dengan tiga periode pemetikan buah kopi. 3) Desa Penyandingan Masyarakat di Desa Penyandingan memanfaatkan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (mandi, cuci, kakus, memasak) dan pertanian sawah. Sumber air yang digunakan oleh
11
masyarakat di Desa Penyandingan berasal dari Sungai Betung, Sungai Bulu Kapur, Sungai Malawan dan sistem pengairan dari rumah ke rumah (PAMSIMAS). Air sungai pada umumnya dimanfaatkan masyarakat Desa Penyandingan untuk pengairan (irigasi) sawah. Air untuk kebutuhan rumah tangga dipenuhi dari air sungai, PAMSIMAS dan sebagian kecil dari sumur. Sumber air PAMSIMAS di Desa Penyandingan adalah Sungai Bulu Kapur dan Sungai Malawan. Air dari Sungai Bulu Kapur dan Sungai Malawan dialirkan ke dalam bak penampungan dari fiber glass, selanjutnya air dialirkan ke rumah-rumah dengan menggunakan selang. Masyarakat Penyandingan sebagian besar berprofesi sebagai petani.
Pertanian yang
diusahakan meliputi pertanian sawah (padi) dan kebun kopi. Sistem pertanian sawah di Desa Penyandingan pada umumnya menggunakan varietas padi lokal yang panen satu kali setahun. Lamanya waktu 1 musim tanam adalah 5 bulan 10 malam. Dalam sistem pertanian sawah, air digunakan untuk menggenangi sawah sepanjang musim tanam.
Sawah dikeringkan ketika
dilakukan pemupukan (selama 2 sampai 3 hari) dan menjelang pemanenan.
Pengairan tidak
digunakan dalam pengusahaan kebun kopi oleh masyarakat. Masyarakat memanen kopi sekali tahun, dimana dalam satu musim panen dilakukan dengan tiga perode pemetikan buah kopi. 4) Desa Muara Danau Masyarakat di Desa Muara Danau memanfaatkan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (mandi, cuci, kakus, memasak) dan pertanian sawah. Sumber air yang digunakan oleh masyarakat di Desa Muara Danau berasal dari Sungai Betung Renik, Sungai Betung, dan sistem pengairan dari rumah ke rumah (PAMSIMAS). Air sungai pada umumnya dimanfaatkan masyarakat Desa Muara Danau untuk pengairan (irigasi) sawah maupun kebutuhan rumah tangga. Air sungai untuk pertanian sawah dialirkan melalui saluran irigasi. Sedangkan air sungai untuk kebutuhan mandi, cuci, kakus dan memasak dialirkan ke tempat pemandian umum. Air untuk kebutuhan rumah tangga juga dipenuhi dari PAMSIMAS. Sumber air untuk PAMSIMAS berasal dari Sungai Betung. Air dari Sungai Betung dialirkan ke dalam bak penampungan dari fiber glass, lalu dialirkan ke rumah-rumah menggunakan selang. Masyarakat Muara Danau sebagian besar berprofesi sebagai petani. Pertanian yang diusahakan meliputi pertanian sawah (padi) dan kebun kopi. Sistem pertanian sawah di Desa Muara Danau pada umumnya menggunakan varietas padi lokal yang panen satu kali setahun. 12
Lamanya waktu 1 musim tanam adalah 5 bulan 10 malam. Dalam sistem pertanian sawah, air digunakan untuk menggenangi sawah sepanjang musim tanam. Sawah dikeringkan ketika dilakukan pemupukan dan menjelang pemanenan. Pengairan tidak digunakan dalam pengusahaan kebun kopi oleh masyarakat. Masyarakat memanen kopi sekali tahun, dimana dalam satu musim panen dilakukan dengan tiga perode pemetikan buah kopi Hasil diskusi dengan masyarakat di desa-desa lokasi penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat merasakan adanya penurunan kualitas maupun kuantitas suplai air. Masyarakat juga menyadari bahwa tutupan lahan, terutama hutan mempunyai hubungan erat dengan konservasi sumberdaya air. b. Kelembagaan Pengelolaan Air Pengelolaan air untuk kepentingan bersama, terutama air untuk persawahan membentuk suatu kelembagaan adat yang mengatur penggunaan air. Informasi sejarah pengelolaan air dan kelembagaan desa yang mengatur penggunaan air diperoleh dari kegiatan FGD yang dilakukan di Desa Tanah Abang dan Muara Danau. 1) Desa Tanah Abang Pengaturan air untuk persawahan pada periode sebelum tahun 1970 diatur oleh kepala siring. Kepala siring merupakan : -
posisi yang diperoleh secara turun temurun
-
pemilik sawah yang letak sawahnya paling hulu dalam suatu hamparan sawah
-
orang yang bertugas mengkoordinir pembagian air dalam suatu hamparan sawah. Terdapat seorang kelapa siring dalam suatu hamparan sawah. Adapun di Desa Tanah
Abang terdapat 8 hamparan sawah (bahasa lokal: ataran), yaitu: air betung, padang kunyit, padang sepit, nanjungan, danau nipis, danau barang, danau buntak, dan dusun (di tepi dusun). Ataran padang sepit, padang kunyit merupakan hamparan sawah yang paling dekat dengan Talang Ampe. Posisi kepala siring di ataran nanjungan sudah tidak ada sejak tahun 1960-an awal. Hilangnya posisi kepala siring di ataran nanjungan karena debit air semakin kecil sehingga dianggap tidak perlu diatur lagi karena tidak ada yang bisa diatur lagi. Posisi kepala siring di Desa Tanah Abang secara umum sudah tidak ada pada tahun 1970. Pengaturan air dilakukan secara gotong royong oleh pemilik sawah. Apabila ada permasalahan pengairan, biasanya masyarakat melakukan gotong royong mulai dari bendungan, kemusian air dialirkan ke siring 13
dan diatur ke bidang sawah (bahasa lokal: tanggam). Masyarakat di Desa Tanah Abang dengan rentang usia sekitar 30 tahun bisa dinyatakan tidak lagi mengenal istilah kepala siring. 2) Desa Muara Danau Air untuk persawahan berasal dari Sungai Betung yang dialirkan ke siring. Lembaga pengelolaan air tidak ditunkan secara adat istiadat. Air dari sumber air di Bukit blai dialirkan ke 4 babakan (3 babakan di Desa Muara Danau dan 1 babakan di Desa Penyandingan). Air dari babakan dialirkan ke 3 siring di Desa Muara Danau. Lembaga pengelolaan air mulai dibentuk pada tahun 1966 karena terjadi konflik terkait pengaliran air dari siring ke sawah (tanggam). Pengelolaan air untuk persawahan mulai tahun 1966 dilakukan oleh datuk air. Terdapat 3 datuk air, sesuai dengan jumlah siring di Desa Muara Danau. Datuk siring dipilih dengan musyawarah. Datuk siring mengawasi dan memperbaiki tanggam, serta mengajak masyarakat pemilik sawah bergotong royong bila ada gangguan di siring. Datuk siring diberi imbalan 1 kaleng padi (7 kg) per bidang sawah. Jabatan datuk siring sudah tidak ada lagi pada tahun 1970an karena masyarakat sudah sadar akan pembagian air dan tidak terjadi perebutan/konflik air irigasi. Lembaga pengelolaan air dibentuk oleh pemerintah pada tahun 1997 dengan nama Pengurus Petani Pemakai Air (P3A). Lembaga ini tidak berfungsi lagi sejak ada jabatan pamong tani dalam struktur pemerintahan desa. Saat ini orang yang dulunya pengurus P3A masih difungsikan ketika ada permasalahan air.
C. Nilai Ekonomi Sumberdaya Air Nilai ekonomi sumberdaya air DAS Perapau ditaksir dengan menggunakan kesediaan membayar (willingness to pay) dari masyarakat pengguna air di DAS Perapau. Nilai kesediaan membayar ditaksir dengan menghitung biaya pengadaan air dari masyarakat di Sub DAS Perapau untuk mengkonsumsi air untuk kebutuhan rumah tangga maupun untuk budidaya. Air sungai di DAS Perapau dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Muara Danau, Penyandinga, Tanah Abang dan Desa Perapau. a. Karakteristik Responden Data nilai ekonomi air di DAS Perapau diperoleh dari wawancara kepada responden penelitian. Karakteristik responden disajikan pada Tabel 5. Responden mempunyai umur ratarata 38 tahun, 42 tahun, 46 tahun dan 45 tahun. Pendidikan formal yang ditempuh responden 14
sebagian besar adalah SMP. Jumlah anggota keluarga rata-rata adalah 4 orang dengan jumlah orang yang mampu bekerja adalah 2 orang. Tabel 5. Karakteristik Responden Penelitian di DAS Perapau No. 1. 2. 3. 4.
Karakteristik responden (Nilai rata-rata) Umur (tahun) Lamanya menempuh pendidikan formal (tahun) Jumlah anggota keluarga (orang) Jumlah anggota keluarga yang mampu bekerja (orang)
Muara Danau 38 9
Desa Penyandingan Tanah Abang 42 46 9 8
Perapau 45 9
4
4
4
4
2
2
2
2
Sumber : data primer diolah Responden penelitian di Desa Muara Danau hampir semuanya (29 orang) adalah petani pemilik lahan. Hanya 1 orang yang bekerja sebagai buruh tani upahan. Responden penelitian di Desa Penyandingan sebanyak 29 orang bekerja sebagai petani pemilik lahan, sedangkan 2 orang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Responden di Desa Tanah Abang sebayak 31 orang berprofesi sebagai petani pemilik lahan, 1 orang sebagai buruh tani dan 1 orang sebagai tenaga keamanan (security). Adapun responden di Desa Perapau semuanya (30 orang) berprofesi sebagai petani pemilik lahan. b. Penggunaan air oleh masyarakat di DAS Perapau a. Desa Muara Danau Masyarakat di Desa Muara Danau memanfaatkan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (mandi, cuci, kakus, memasak) dan pertanian sawah. Sumber air yang digunakan oleh masyarakat di Desa Muara Danau berasal dari Sungai Betung Renik, Sungai Betung, dan sistem pengairan dari rumah ke rumah (PAMSIMAS). Tabel 6. Sumber air responden penelitian di Desa Muara Danau No.
Sumber air
1. 2. 3. 4. 5.
Sungai Sumur PAMSIMAS, sumur PAMSIMAS, sungai Sungai, sumur
Jumlah responden (orang) 20 2 1 1 6
Sumber : data primer diolah Air sungai pada umumnya dimanfaatkan masyarakat Desa Muara Danau untuk pengairan (irigasi) sawah maupun kebutuhan rumah tangga. Air sungai untuk pertanian sawah dialirkan 15
melalui saluran irigasi. Sedangkan air sungai untuk kebutuhan mandi, cuci, kakus dan memasak dialirkan ke tempat pemandian umum. Air untuk kebutuhan rumah tangga juga dipenuhi dari PAMSIMAS. Sumber air untuk PAMSIMAS berasal dari Sungai Betung. Air dari Sungai Betung dialirkan ke dalam bak penampungan dari fiber glass, lalu dialirkan ke rumah-rumah menggunakan selang. Data mengenai sumber air responden penelitian di Desa Muara Danau disajikan pada Tabel 6. Data pada Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa sebaian besar responden penelitian (27 orang atau 90%) memanfaatkan sungai sebagai sumber air. Masyarakat yang menggunakan sungai sebagai sumber air satu-satunya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan budidaya sebanyak 20 orang (66,67%). Responden yang memanfaatkan sungai sebagai sumber air utama yang dikombinasi dengan PAMSIMAS dan sumur sebanyak 7 orang (2,33%). Hanya 3 orang responden yang tidak menjadikan sungai sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun budidaya. Besarnya responden yang menggunakan sungai sebagai sumber air utama bahkan satu-satunya menunjukkan bahwa air sungai Betung dan Betung Renik masih memenuhi syarat untuk dikonsumsi dan digunakan untuk budidaya, baik dilihat dari kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini diduga karena Desa Muara Danau berada di hulu Sub DAS Perapau, sehingga kuantitas dan kualitas air relatif terjaga bila dibandingkan di daerah hilir. Masyarakat Muara Danau sebagian besar berprofesi sebagai petani. Dari 29 responden yang berprofesi sebagai petani pemilik lahan, semuanya mengusahakan kopi dan terdapat 24 responden yang mempunyai sawah. Pertanian yang diusahakan meliputi pertanian sawah (padi) dan kebun kopi. Sistem pertanian sawah di Desa Muara Danau pada umumnya menggunakan varietas padi lokal yang panen satu kali setahun. Lamanya waktu 1 musim tanam adalah 5 bulan 10 malam. Dalam sistem pertanian sawah, air digunakan untuk menggenangi sawah sepanjang musim tanam. Sawah dikeringkan ketika dilakukan pemupukan dan menjelang pemanenan. Air untuk irigasi dawah berasal dari Sungai Betung yang dialirkan melalui saluran air (bahasa lokal: siring) untuk selanjutnya dialirkan ke pemandian umum dan sawah-sawah milik masyarakat Desa Muara Danau. Pengairan tidak digunakan dalam pengusahaan kebun kopi oleh masyarakat. Masyarakat memanen kopi sekali tahun, dimana dalam satu musim panen dilakukan dengan tiga periode pemetikan buah kopi.
16
b. Desa Penyandingan Masyarakat di Desa Penyandingan memanfaatkan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (mandi, cuci, kakus, memasak) dan pertanian sawah. Sumber air yang digunakan oleh masyarakat di Desa Penyandingan berasal dari Sungai Betung, Sungai Bulu Kapur, Sungai Malawan dan sistem pengairan dari rumah ke rumah (PAMSIMAS). Air sungai pada umumnya dimanfaatkan masyarakat Desa Penyandingan untuk pengairan (irigasi) sawah. Air untuk kebutuhan rumah tangga dipenuhi dari air sungai, PAMSIMAS dan sebagian kecil dari sumur. Sumber air PAMSIMAS di Desa Penyandingan adalah Sungai Bulu Kapur dan Sungai Malawan. Air dari Sungai Bulu Kapur dan Sungai Malawan dialirkan ke dalam bak penampungan dari fiber glass, selanjutnya air dialirkan ke rumah-rumah dengan menggunakan selang. Data mengenai sumber air responden penelitian di Desa Penyandingan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Sumber air responden penelitian di Desa Penyandingan No. 1. 2. 3.
Sumber air PAMSIMAS PAMSIMAS, sumur Sungai
Jumlah responden (orang) 9 14 8
Sumber : data primer diolah Responden penelitian di Desa Penyandingan sebagian besar memperoleh air bersih untuk kebutuhan rumah tangga dari jaringan air bersih PAMSIMAS (23 orang atau 74%). Hanya 8 orang responden (26%) responden yang memenuhi kebutuhan air untuk kebutuhan rumah tangga dari sungai secara langsung. Pada umumnya masyarakat yang memenuhi kebutuhan air langsung dari sungai merupakan reponden yang tinggal dekat dengan sungai. Sedangkan masyarakat yang tinggal jauh dari sungai memenuhi kebutuhan air untuk rumah tangga dari PAMSIMAS dan sumur. Kualitas air sungai yang mengaliri Desa Penyandingan secara umum masih layak untuk dikonsumsi. Keberadaan jaringan air bersih PAMSIMAS bertujuan untuk memudahkan masyarakat Desa Penyandingan yang memiliki tempat tinggal jauh dari sungai untuk memperoleh air bersih. Masyarakat Penyandingan sebagian besar berprofesi sebagai petani. Responden penelitian yang berprofesi sebagai petani pemilik lahan memiliki kebun kopi, dan terdapat 9 orang yang memiliki sawah. Pertanian yang diusahakan meliputi pertanian sawah (padi) dan kebun kopi. Sistem pertanian sawah di Desa Penyandingan pada umumnya menggunakan 17
varietas padi lokal yang panen satu kali setahun. Lamanya waktu 1 musim tanam adalah 5 bulan 10 malam. Dalam sistem pertanian sawah, air digunakan untuk menggenangi sawah sepanjang musim tanam. Sawah dikeringkan ketika dilakukan pemupukan (selama 2 sampai 3 hari) dan menjelang pemanenan. Pengairan tidak digunakan dalam pengusahaan kebun kopi oleh masyarakat. Masyarakat memanen kopi sekali tahun, dimana dalam satu musim panen dilakukan dengan tiga periode pemetikan buah kopi. c. Desa Tanah Abang Masyarakat Desa Tanah Abang memanfaatkan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (mandi, cuci, kakus, memasak) dan pertanian sawah. Sumber air yang digunakan oleh masyarakat di Desa Tanah Abang berasal dari Sungai Betung, Sungai Perapau, sumur dan sistem pengairan dari rumah ke rumah yang dibangun oleh program Water Sanitation for Low Income Community (WSLIC), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Air sungai pada umumnya dimanfaatkan masyarakat Desa tanah Abang untuk pengairan (irigasi) sawah. Sedangkan untuk kebutuhan rumah tangga, kebutuhan air dipenuhi dari air sumur dan WSLIC. Sumber air yang digunakan untuk „WSLIC‟ berasal dari mata air yang bernama “ayek hangat”, yang dialirkan ke „tugu‟, kemudian dari „tugu‟ dialirkan dari rumah ke rumah dengan menggunakan pipa dan selang. Data mengenai sumber air responden penelitian di Desa Tanah Abang disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Sumber air responden penelitian di Desa Tanah Abang No. 1.
Sumber air WSLIC
Jumlah responden (orang) 1
2.
WSLIC, Sumur
2
3.
WSLIC, sungai
1
4.
Sumur
25
5.
Sungai
4
Sumber : data primer diolah Responden penelitian di Desa Tanah Abang sebagian besar (25 orang atau 76%) murni menggunakan sumur sebagai sumber air bersih untuk kebutuhan rumah tangga. Hanya 4 orang yang menggunakan air sungai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sisanya menggunakan air bersih dari jaringan WSLIC, baik murni maupun dikombinasikan dengan sumur maupun sungai. Kondisi air Sungai Betung yang sudah kotor dan terpolusi menyebabkan masyarakat Desa Tanah Abang tidak lagi menggunakan air sungai untuk memenuhi kebutuhan rumah
18
tangga. Debit air yang sangat fluktuatif juga mengakibatkan minimnya penggunaan air dari Sungai Betung tidak diandalkan lagi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Masyarakat Desa tanah Abang pada umumnya berprofesi sebagai petani. Pertanian yang diusahakan meliputi pertanian sawah (padi) dan kebun kopi. Responden yang berprofesi sebagai petani pada umumnya memiliki kebun kopi. Terdapat 10 responden yang mempunyai sawah. Sistem pertanian sawah di Desa Tanah Abang pada umumnya menggunakan varietas padi 2 kali panen setahun. Lamanya waktu 1 musim tanam adalah 4 bulan. Dalam sistem pertanian sawah, air digunakan untuk menggenangi sawah sepanjang musim tanam. Sawah dikeringkan ketika dilakukan pemupukan dan menjelang pemanenan. Pengairan tidak digunakan dalam pengusahaan kebun kopi oleh masyarakat. Masyarakat memanen kopi sekali tahun, dimana dalam satu musim panen dilakukan tiga periode pemetikan buah kopi. d. Desa Perapau Masyarakat Desa Perapau memanfaatkan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (mandi, cuci, kakus, memasak) dan pertanian sawah. Sumber air yang digunakan oleh masyarakat di Desa Perapau berasal dari Sungai Perapau, sumur dan sistem pengairan dari rumah ke rumah yang dibangun oleh program Water Sanitation for Low Income Community (WSLIC), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Air sungai pada umumnya dimanfaatkan untuk pengairan (irigasi) sawah dan sebagian kebutuhan rumah tangga yang meliputi mandi, cuci dan kaus (MCK). Air sumur dan WSLIC digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sumber air dari WSLIC berasal dari mata air.
Dari mata air air disalurkan menggunakan pipa ke bak-bak penampungan.
Dari bak
penampungan selanjutnya air dialirkan ke rumah-rumah dengan menggunakan selang. Data mengenai sumber air responden penelitian di Desa Perapau disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Sumber air responden penelitian di Desa Perapau No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Sumber air WSLIC WSLIC, sungai WSLIC, sumur Sumur Sungai WSLIC, sumur, sungai Sungai, sumur
Jumlah responden (orang) 4 2 6 9 2 4 3
Sumber : data primer diolah
19
Sumber air rumah tangga dari responden penelitian di Desa Perapau lebih beragam dibandingkan 3 desa lainnya. Responden paling banyak menggunakan sumur sebagai sumber air untuk rumah tangga, baik sumur saja maupun sumur dikombinasikan dengan WSLIC maupun Sungai Betung. Meskipun Sungai Betung sudah kotor dan terpolusi dan debitnya menurun drastis saat musim kemarau, masyarakat yang tinggal di tepi sungai sebagian tetap memanfaatkan air sungai untuk mencuci dan kakus. Masyarakat Desa Perapau, seperti halnya masyarakat Semendo pada umumnya, pada umumnya berprofesi sebagai petani. Pertanian yang diusahakan meliputi pertanian sawah (padi) dan kebun kopi. Terdapat 16 responden di Desa Perapau yang memiliki sawah. Sistem pertanian sawah di Perapau pada umumnya menggunakan varietas padi 2 kali panen setahun. Dalam sistem pertanian sawah, air digunakan untuk menggenangi sawah sepanjang musim tanam. Sawah dikeringkan ketika dilakukan pemupukan dan menjelang pemanenan. Pengairan tidak digunakan dalam pengusahaan kebun kopi oleh masyarakat. Masyarakat memanen kopi sekali tahun, dimana dalam satu musim panen dilakukan dengan tiga periode pemetikan buah kopi. c. Nilai ekonomi air Tabel 10. Nilai air untuk keperluan rumah tangga di Sub DAS Perapau per tahun No 1 2 3
4
Komponen biaya pengadaan air Alat untuk mendapatkan air (Rp) Biaya penggunaan jaringan air bersih Nilai waktu untuk mendapatkan air rumah tangga (Rp) Biaya pengadaan air untuk keperluan rumah tangga per orang (Rp) Jumlah penduduk desa Nilai air untuk keperluan rumah tangga (Rp)
Muara Danau 1.427.367
Desa Penyandingan Tanah Abang 2.349.903 4.407.652
Perapau 5.010.083
23.667
56.774
5.455
0
6.850
1.947.442
4.479
1.258.885
1.457.883
4.354.119
4.417.585
6.268.969
1.070 1.559.934.944
1.057 4.602.303.732
1.256 5.548.487.084
469 2.920.146.344
Nilai ekonomi air didekati dengan nilai rata-rata biaya pengadaan air. Biaya pengadaan air ditaksir dengan menghitung semua biaya yang diperlukan untuk mendapatkan air, baik peralatan, biaya penggunaan jaringan air bersih maupun waktu yang digunakan untuk mendapatkan air. Dalam penelitian ini, perhitungan biaya pengadaan air meliputi biaya pengadaan air untuk rumah keperluan rumah tangga dan pertanian (sawah). Nilai waktu untuk mendapatkan air merupakan hasil perkalian antara waktu yang diperlukan untuk mendapatkan air 20
dengan upah harian di lokasi penelitian. Nilai air berdasarkan biaya pengadaan air untuk kebutuhan rumah tangga di Sub DAS Perapau disajikan pada Tabel 10. Biaya pengadaan air untuk keperluan rumah tangga terendah di Desa Muara Danau. Hal ini diduga terjadi karena masyarakat di Desa Muara Danau berada di hulu Sub DAS Perapau sehingga lebih mudah memperoleh air bersih, sehingga berkorelasi dengan rendahnya nilai alat yang digunakan untuk mendapatkan air maupun waktu yang dikorbankan untuk mendapatkan air. Biaya pengadaan air untuk rumah tangga tertinggi di Desa Perapau. Hal ini kemungkinan terjadi karena Desa Perapau berlokasi di hilir Sub DAS Perapau sehingga untuk mendapatkan air bersih diperlukan nilai peralatan yang lebih tinggi dan waktu untuk mendapatkan air yang lebih lama, sehingga biaya untuk mendapatkan air rumah tangga juga tergolong tinggi Air dari Sub DAS Perapau selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, juga digunakan untuk irigasi sawah. Seperti halnya penaksiran nilai ekonomi air untuk rumah tangga, nilai ekonomi air untuk budidaya didekati dengan nilai rata-rata biaya pengadaan air. Biaya pengadaan air untuk budidaya di lokasi penelitian ditaksir dengan menghitung waktu yang digunakan untuk menggunakan air irigasi. Nilai air untuk pertanian di Sub DAS Perapau disajikan pada Tabel 13. Tabel 11. Nilai air rata-rata untuk pertanian di Sub DAS Perapau Desa Uraian Nilai air rata-rata untuk pertanian
Muara Danau 5.495.000
Penyandingan 5.631.111
Tanah Abang 2.888.100
Perapau 6.142.500
per petani (Rp)
Nilai air rata-rata untuk pertanian tertinggi berada di desa Perapau. Hal ini diduga terjadi karena petani pemilik sawah di Desa Perapau rata-rata mengusahakan sawah dengan 2 kali panen setahun, sehingga memerlukan air dalam waktu lebih lama apabila dibandingkan dengan petani di Desa Muara Danau dan Penyandingan yang membudidayakan padi lokasi yang panen 1 kali setahun. Desa Tanah Abang merupakan Desa dengan nilai air rata-rata untuk pertanian terandah di sub DAS Perapau. Hal ini diduga terjadi karena pada saat dilakukan penelitian sawah di Desa Tanah Abang yang seharusnya membudidayakan panen 2 kali setahun, hanya bisa bertanam satu kali setahun karena sulitnya air. Akibatnya, waktu budidaya paling pendek dan air yang digunakan paling sedikit apabila dibandingkan dengan ketiga desa lainnya.
21
D. Pemasangan alat dan pengumpulan data hidrologi a. Pengukur curah hujan (Ombrometer) Alat pengukur curah hujan yang dipasang yaitu alat pengukur manual sebanyak 4 (empat) buah yang tersebar di wilayah DAS Perapau. Kepadatan jaringan pengukur hujan ini antara lain didasarkan pada variabilitas hujan dan tujuan penggunaan data hujan. Linsely et al (1982) merekomendasikan kepadatan minimum jaringan hujan untuk kajian hidro-meteorologis pada daerah pegunungan beriklim sedang dan zone tropis adalah satu buah stasiun untuk setiap 100 – 250 km2. Mengingat alat yang dipasang adalah tipe manual, hal lain yang perlu dipertimbangkan keberadaan tenaga pengamat, yang akan mencatat data hujan tiap kejadian hujan. b. Papan duga (Peilskal) dan sedimen sampler Dalam analisis hidrologi khususnya mengenai hidrograf aliran, ada dua data dasar yang diperlukan yaitu pengukuran tinggi muka air dan debit. Pengukuran debit sampai dengan saat ini belum dapat dilakukan secara otomoatis karena harus diukur secara langsung yaitu dengan bantuan alat pengukur kecepatan aliran sungai dan pengukur luas luas penampang aliran sungai. Dengan cara ini akan didapat debit sungai pada ketinggian muak air tertentu. Pengukuran tinggi muka air dilakukan di Stasiun Pengamat Arus Sungai (SPAS). Pada penelitian ini SPAS yang dipasang adalah SPAS tidak otomatik, menggunakan papan duga (peilskal) yang terbuat dari aluminium. Pengamatan tinggi muka air dibaca manual oleh pengamat pada jam tertentu. Nilai tinggi muka air harian diperoleh dari rata-rata hasil pembacaan dua kali pengamatan per hari. Pendugaan besarnya erosi diukur dari muatan suspensi yang terkandung oleh sejumlah air dari aliran sungai dalam satuan volume tertentu. Untuk meghitung debit suspensi, perlu dilakukan pengambilan sampel suspensi dengan alat yang disebut suspended sampler. Lokasi penempatan suspended sapler adalah sama dengan lokasi penempatan peilskal. c. Data Curah Hujan Sampai dengan bulan desember 2015, data curah hujan yang berhasil dikumpulkan setelah alat terpasang adalah besarnya curah hujan harian selama dua bulan yaitu bulan November dan Desember pada tiga stasiun pengamat. Rata-rata curah hujan harian tersebut disajikan pada Gambar 5.
22
Curah Hujan Harian Curah Hujan (mm)
60,00 50,00 40,00 30,00
muara danau
20,00
tanah abang
10,00
Mulak
0,00
0
1
2
Bulan
Gambar 5. Curah hujan harian bulan November dan Desember 2015
IV. KESIMPULAN 1. Tutupan lahan di DAS Perapau didominasi oleh perkebunan (64,71%) yang diusahakan oleh masyarakat, berupa kebun karet, kopi, dan kebun campuran (durian, coklat, jengkol, petai). Perubahan tutupan hutan menjadi perkebunan dimulai sejak tahun 1980-an, pada saat komuditas kopi mulai dikenal oleh masyarakat. Kondisi topografi cukup curam sampai curam (16-55%), dengan jenis tanah yang dominan yaitu inceptisol. 2. Masyarakat pada empat desa di DAS Perapau pada umumnya memanfaatkan air dari Sungai Betung dan Perapau untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (mandi, cuci, kakus, memasak) dan pertanian sawah. Namun demikian, dari hasil wawancara dan FGD, masyarakat mulai merasakan adanya penurunan kualitas dan kuantitas suplai air. Sedangkan lembaga pengelolaa air baik yang dibentuk secara adat maupun oleh pemerintah saat ini sudah tidak berjalan. 3. Nilai air untuk keperluan rumah tangga di masing-masing desa yaitu Muara Danau, Penyandingan, Tanah Abang, dan Perapau berturut-turut sebesar Rp. 1.559.934.944,-, Rp. 4.602.303.732, Rp. 5.548.487.084,-, dan Rp. 2.920.146.344,- sedangkan untuk pertanian sebesar Rp. 5.495.000,-, Rp. 5.631.111,-, Rp. 2.888.100,- dan Rp. 6.142.500,-
23
DAFTAR PUSTAKA Adimihardja., K. 1992. Kasepuhan yang Tumbuh di Atas yang Luruh – Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat. Penerbit Transito. Bandung. Afifah, K.N. 2013. Analisis Willingness to Pay Jasa Lingkungan Air untuk Konservasi di Taman Wisata Alam Kerandangan Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat. Tesis pada Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro. Semarang. Ardiansyah M., E. Suryani, S.D. Tarigan dan F. Agus. 2005. Optimasi Perencanaan Penggunaan Lahan dengan Bantuan SIG dan Soil and Water Assesment Tool: Suatu Stud di DAS Cijalupang, Jawa Barat.Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV ”Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa”.Surabaya Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press Bann, C.. 1998.The Economic Valuation of Tropical Forest Land Use Options: a Manual for Researchers. Economy and Environment Program for South East Asia. Singapore : Bishop, J.T. (Ed.).2003.Valuing Forests: A Review of Methods and Applications in Developing Countries.EEP. London. Darusman, D. 1993.Nilai Ekonomi Air untuk Pertanian dan Rumah Tangga: Studi Kasus di Sekitar Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango.Makalah disampaikan pada Simposium Nasional Permasalahan Air di Indonesia, Bandung, tanggal 28 dan 29 Juli 1993. Institut Teknologi Bandung. Bandung Ginoga, K. Wulan, Y.C., Djaenudin, D., dan Lugina, M. 2006. Nilai Ekonomi Air di Sub DAS Konto dan Sub DAS Cirasea. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 3 (1) : 95-109. Ginoga, K., dan Lugina, M.. 2007. “Metode Umum Kuantifikasi Nilai Ekonomi Sumberdaya Hutan (SDH)”. Info Sosial Ekonomi Vol. 7 (1) : 17–27. Gregersen, H. M. and Contreras, A. H.. 1979.Economic Analysis of Forestry Projects.FAO Forestry Paper 17.FAO. Rome. Hanley, N., Shogren, J.F. dan White, B. 2001.Introduction to Environmental Economics. Oxford University Press,. New York. Havid, E. dan D.S.A. Suroso, 2014. Valuasi Produksi Air dan Perlindungan Erosi Hulu Daerah Aliran sungai Tuntang Sebagai Dasar Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK. http://sappk.itb.ac.id/jpwk2/wpcontent/uploads/2014/04/Elza-Havid-130314.pdf
24
Hufschmidt, M.M, James, D.E., Meister,A.D., Bower, B.T. and Dixon, J.A. 1983.Environment, Natural System and Development – An Economic Valuation Guide. 3 ed.John Hopkins University Press. Baltimore. Purwanto, S. A Cahyono, U.H Murtiono, K. Ginoga. 2006. Kajian Nilai Ekonomi Hasil Air Dari Hutan Lindung Baturaden. Seminar Pengelolaan DAS Citatih. Bogor. Pindyct, R.S. and Rubinfeld, D.L. 2005. Microeconomics, Sixth Edition. New Jersey : Pearson Education International Mawardi, I., 2010. Kerusakan Daerah Aliran Sungai dan Penurunan Daya Dukung Sumberdaya Air di Pulau Jawa Serta Upaya Penanganannya. Jurnal Hidrosfer Indonesia. Jakarta. Munasinghe,M. 1992. Environmental Economics and Valuation in Development Decision Making. The World Bank Sector Policy and Research Staff. Environment Working Paper No.51. Washington DC: World Bank, 1992. p.15-16. Noordwijk N., F. Agus, D. Suprayogo, K. Hairiah, G. Pasya, B. Verbist dan Farida. 2004. Peranan Agroforestri dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologi Daerah Aliran Sungai. AGRIVITA VOL. 26 NO.1. Nurfatriani, F.dan Handoyo. 2007.Nilai Ekonomi Manfaat Hidrologis Hutan di DAS Brantas Hulu untuk Pemanfaatan Non Komersial. Info Sosial Ekonomi Vol. 7 (3) : 194-214. Nurfatriani, F. dan Nugroho, I.A. 2007.Manfaat Hidrologis Hutan di Hulu DAS Citarum sebagai Jasa Lingkungan Bernilai Ekonomis.Info Sosial EkonomiVol. 7 (3) : 175 – 194. Setiawan, A.. 2000. Nilai Ekonomi Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Propinsi Lampung. Tesis : Institut Pertanian Bogor. Singarimbun, M. dan Effendi, S. Eds. 2008. Metode Penelitian Survey. LP3ES. Jakarta. Ulya, N.A., Warsito, S.P., Andayani, W. dan Gunawan, T. 2014. Nilai Ekonomi Air untuk Rumah Tangga dan Transportasi – Studi Kasus di desa-desa sekitar hutan rawa gambut Merang. Jurnal Manusia dan Lingkungan Vol. 21, No.2, Juli 2014: 232-238. Wibowo, M. 2005. Analisis Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Debit Sungai. Jurnal Teknik Lingkungan. P3TL-BPPT.6(1):283-290. Widada. 2004. Nilai Manfaat Ekonomi dan Pemanfaatan Taman Nasional Gunung Halimun bagi Masyarakat. Disertasi : Institut Pertanian Bogor.
25