187
VII. PENGARUH KEBIJAKAN TERHADAP ALOKASI SUMBERDAYA AIR, STOK AIR TANAH, NILAI KINI BENEFIT SOSIAL DAN NILAI EKONOMI AIR
7.1 Konsumsi Sumberdaya Air. 7.1.1 Konsumsi Air Tahunan dan Kumulatif Konsumsi air permukan terdiri dari konsumsi air untuk sektor urban services, sektor pertanian, sektor industri dan sektor pariwisata, serta alokasi air untuk aliran lingkungan (environmental flows). Besarnya alokasi sumberdaya air pada masingmasing sektor ditentukan oleh nilai air yang dapat diciptakan oleh setiap sektor, permintaan konsumen akan barang dan jasa yang dihasilkan oleh setiap sektor, dan kendala hidrologis yang dihadapi. Gambar 9 memberi gambaran pola tingkat konsumsi/alokasi total sumberdaya air pada kondisi optimal dari ketiga skenario kebijakan: status quo, swasembada pangan dan pembatasan ekstraksi air tanah total.
Pada awal periode,
tahun 2010, konsumsi air permukaan kebijakan swasembada pangan adalah tertinggi, diikuti kebijakan status quo dan kebijakan pembatasan ekstraksi air tanah total, namun memiliki kecenderungan menurun dengan tajam (increasing rate), hingga pada tahun 2015 konsumsinya berada di bawah konsumsi pada kebijakan status quo tetapi sedikit di atas konsumsi pada kebijakan pembatasan ekstraksi air tanah total. Setelah tahun tersebut penurunan konsumsinya tidak signifikan (kurva sangat landai). Pada awal periode jumlah konsumsinya mencapai 2 879.5475 juta m3, terus menurun sepanjang tahun hingga mencapai 1 739.1024 juta m3 pada tahun 2024, dan sedikit meningkat kembali menjadi 2 141.5035 juta m3 pada tahun berikutnya.
188
KONSUMSI AIR PERMUKAAN (JUTA M3)
3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 STQ
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2193.5 2174.8 2154.8 2133.4 2110.6 2086.2 2060.1 2032.2 2002.5 1970.7 1935.2 1896.0 1837.8 1776.9 1730.7 1668.9
SWBD 2879.5 2770.0 2675.9 2401.6 2157.6 1994.2 1886.6 1822.9 1814.0 1803.2 1790.4 1774.9 1756.1 1747.4 1739.1 2141.5 APQ
1863.1 1855.2 1846.8 1837.9 1828.3 1818.1 1807.2 1795.6 1783.1 1769.9 1755.7 1740.5 1724.3 1707.1 1688.6 1668.9
Gambar 9. Tingkat Konsumsi Air Permukaan Pada Kebijakan Status Quo, Swasembada Beras, dan Pembatasan Total Ekstraksi Air Tanah (dalam juta m3). Asumsi: Discount Rate 6% dan Pertumbuhan Ekonomi Riil
189
Konsumsi air permukaan kebijakan status quo dan kebijakan pembatasan total ekstraksi air tanah memliki pola yang identik, masing-masing sebesar 2 193.5074 juta m3 dan 1 863.1017 juta m3 pada awal periode (2010), sedikit mengalami penurunan dengan laju terus menurun (decreasing at decreasing rate) sepanjang tahun (kurva sangat landai). Total konsumsi air permukaan pada kebijakan status quo, swasembada, dan pembatasan ekstraksi air tanah secara berturutan mencapai 31.76465 milyar m3, 33.15561 milyar m3, dan 28.491054 milyar m3 selama kurun waktu 16 tahun, dengan rata-rata konsumsi berturutan mencapai 1.98529 milyar m3, 2.07223 milyar m3, dan 1.78069 milyar m3 per tahun . Selain untuk pengguna sektor ekonomi, air juga dialirkan ke perairan untuk menjaga kelestarian fisik dan fungsi lingkungan hidup. Pada pemodelan alokasi sumberdaya air ini, jumlahnya ditentukan sebesar 20% dari potensi air permukaan yang ada. Jumlahnya mencapai 583.4 juta m3 per tahun yang terdistribusi sebesar 233.4 juta m3 per tahun untuk SSWS Dodokan, 40.6 juta m3 per tahun untuk SSWS Jelateng, 106.4 juta m3 per tahun untuk SSWS Menanga, dan 203.0 juta m3 per tahun untuk SSWS Putih. Penurunan 4% (dari 10% ke 6%) maupun peningkatan 8% (dari 10% ke 18%) discount rate tidak cukup mempengaruhi total konsumsi air permukaan pada skenario kebijakan status quo dengan tingkat pertumbuhan ekonomi riil (Gambar 10). Terlihat bahwa konsumsi pada ketiga skenario discount rate berada pada level yang sama dengan kecenderungan menurun dengan tingkat penurunan yang sama (kurva berhimpitan).
2500 2000 1500 DR_6%
1000
DR_10% 500
DR_18% 2025
2024
2023
2022
2021
2020
2019
2018
2017
2016
2015
2014
2013
2012
2011
0 2010
KONSUMSI AIR PERMUKAAN
190
KONSUMSI AIR PERMUKAAN (JUTA M3)
Gambar 10. Pengaruh Discount Rate Terhadap Konsumsi Air Permukaan. Asumsi: Skenario Kebijakan Status Quo, Pertumbuhan Ekonomi Riil
ECG_RIIL ECG_2%
2500 2000 1500 1000 500 0 2008
Gambar 11.
2010
2012
2014
2016
2018
2020
2022
2024
TAHUN 2026
Pengaruh Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Konsumsi Air Permukaan. Asumsi: Kebijakan Status Quo, Discount Rate 6%.
Tingkat pertumbuhan ekonomi mempengaruhi tingkat aktivitas ekonomi setiap sektor sehingga juga mempengaruhi tingkat konsumsi sumberdaya air. Gambar 11 menunjukkan pengaruh tingkat pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat konsumsi air permukaan. Perbedaan pertumbuhan ekonomi berkisar 3% (bervariasi menurut SSWS) hanya menyebabkan sedikit perbedaan tingkat konsumsi air
191
permukaan, dimana tingkat pertumbuhan ekonomi rendah justru meningkatkan konsumsi air permukaan. Gambar 12 memberi gambaran pola konsumsi tahunan total air tanah ketiga kebijakan.
Terlihat bahwa total konsumsi air tanah
memiliki magnitute yang
berbeda, sama-sama memliki kecenderungan menurun, namun penurunan yang berbeda.
dengan tingkat
Tingkat konsumsi air pada skenario kebijakan
swasembada paling tinggi dibandingkan kebijakan lainnya, mencapai 7.4 milyar m3 pada tahun 2010, jumlahnya kemudian cenderung menurun dengan tingkat penurunan yang semakin makin meningkat (decreasing at increasing rate) hingga tahun 2017, penurunan konsumsinya, kemudian, relatif sangat kecil (kurva relatif flat) dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dan di akhir periode (tahun 2015) konsumsinya hanya mencapai 902.12 juta m3. Rendahnya konsumsi ini tidak berarti penghematan penggunaan, atau menurunnya skala kegiatan ekonomi, tetapi disebabkan stok air tanah memang sudah berada pada kondisi kritis. Tingkat konsumsi air tanah pada kebijakan status quo jauh lebih kecil dibandingkan pada skenario kebijakan swasembada, jumlahnya hanya mencapai 2.811.6 juta m3 per tahun. Konsumsi air kebijakan status quo juga memiliki kecenderungan menurun secara gradual dengan tingkat penurunan yang semakin menurun (decreasing at decreasing rate), hingga pada tahun 2025 mendekati tingkat recharge-nya. Berbeda dengan dua kebijakan lainnya, tingkat konsumsi air pada skenario pembatasan total ekstraksi air tanah jauh dibawah tingkat konsumsi pada skenario kebijakan lainnya, hanya mencapai 1 264.8 juta m3 pada tahun 2010, jumlahnya terus menurun dengan penurunan relatif kecil pada setiap tahunnya (ditunjukkan oleh trend kurva yang relatif datar). Konsumsi ketiga jenis kebijakan cenderung konfergen di akhir periode (2025).
192
KONSUMSI AIR TANAH (JUTA M3)
8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 STQ
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2811.6 2752.6 2689.6 2622.2 2550.3 2473.3 2391.1 2303.2 2209.2 2108.8 1988.0 1847.5 1550.7 1244.7 1088.3 880.87
SWBD 7422.4 7161.2 6874.9 4989.1 3317.7 2263.3 1629.3 1297.6 1262.1 1224.2 1183.9 1141.0 1095.5 1045.4 991.84 902.12 APQ
1264.8 1249.3 1232.8 1215.1 1196.2 1176.0 1154.5 1131.5 1106.9 1080.6 1052.6 1022.6 990.61 956.42 919.89 880.87
Gambar 12. Konsumsi Air Tanah Pada Kebijakan Status Quo, Swasembada, dan Pembatasan Total Ekstraksi Air Tanah, Tahun 2010 – 2011. Asumsi: Discount Rate 6%, Pertumbuhan Ekonomi Riil.
193
Seperti halnya pada konsumsi air permukaan, perbedaan 4% pada discount rate sedikit berpengaruh terhadap tingkat konsumsi (Gambar 13), dimana semakin tinggi discount rate yang digunakan semakin tinggi tingkat konsumsinya. Hal ini dikarenakan semakin tinggi discount rate semakin rendah nilai sumberdaya, sehingga untuk memaksimumkan nilai sekarang dari net sosial benefit adalah
KONSUMSI AIR TANAH (JUTA M3)
dengan meningkatkan tingkat konsumsi/ekstraksi sumberdaya air tanah.
3000 2500 2000 DR_6
1500
DR_10
1000
DR_18
500 0 2005
2010
2015
TAHUN
2020
2025
2030
Gambar 13. Pengaruh Discount Rate Terhadap Konsumsi Air Tanah Asumsi : Skenario Kebijakan Status Quo, Pertumbuhan Ekonomi Riil
Pengaruh pertumbuhan ekonomi (Gambar 14) terhadap pola ekstraksi air tanah selama horison waktu 16 tahun juga memilki kecenderungan yang sama dengan pengaruhnya terhadap ekstraksi air permukaan. Ketika sumberdaya masih berada pada tingkat ketersediaan yang tinggi, tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi mendorong tingkat ekstraksi yang tinggi pula, sehingga dengan cepat sumberdaya mengalami deplesi. Meningkatnya tingkat kelangkaan relatif terhadap permintaan menyebabkan kompetisi antar pengguna semakin tinggi, mendorong harga terus meningkat, sehingga pengguna cenderung mengurangi tingkat ekstraksi sumberdaya dengan jalan meningkatkan efisiensi dalam penggunaan. Tingkat
194
ekstraksi air tanah pada pertumbuhan ekonomi riil mencapai 2.81 milyar m3 per tahun, lebih rendah dibandingkan tingkat ekstraksi pada tingkat pertumbuhan ekonomi 2% dimana jumlahnya hanya mencapai 2.83 milyar m3 per tahun.
3000 2500 2000 1500
ECG_RIIL ECG_2%
1000 500 0 2005
2010
2015
2020
2025
2030
Gambar 14. Pengaruh Tingkat Pertumbuhan Ekonomi terhadap Konsumsi Air Tanah. Asumsi: Kebijakan Status Quo, Discount Rate 6%
Tingkat ekstraksi air tanah pada tingkat pertumbuhan riil mengalami penurunan sepanjang tahun dengan laju penurunan yang semakin menurun, sehingga mendekati tingkat rechargenya pada akhir periode (tahun 2025).
7.1.2 Konsumsi Air Pada Level Sektor Produksi Besarnya konsumsi air pada level sektor produksi ditentukan oleh besarnya nilai air yang dihasilkan oleh masing-masing sektor, kecuali jika diatur khusus dalam kendala. Alokasi sumberdaya air setiap sektor pengguna pada kebijakan status quo, swasembada pangan, dan pembatasan ekstraksi air tanah total dengan asumsi tingkat discount rate 6% dan pertumbuhan ekonomi riil disajikan pada Tabel 47.
195
Tabel 47.
Distribusi dan Proporsi Total Konsumsi Air Permukaan Menurut Kebijakan dan Sektor Pengguna di Pulau Lombok, Tahun 2010-2025.
SEKTOR PENGGUNA
URBAN SERVICE
PERTANIAN
INDUSTRI
PARIWISATA
ALIRAN LINGK.
SISA ALOKASI Jumlah
KUOTA EKSTRAKSI AIR TANAH Juta m3 (%) 622.7632
STATUS QUO Juta m3 (%)
SWASEMBADA Juta m3 (%)
623.1328
623.1328
(1.34)
(1.34)
(1.34)
25 093.1705
23 884.7294
25 647.4708
(53.76)
(51.18)
(54.95)
7.0030
9.9501
10.1026
(0.02)
(0.02)
(0.02)
6 041.3480
8 637.7984
2 210.3470
(12.94)
(18.51)
(4.735)
9 334.4000
9 334.4000
9 334.4000
(20.00)
(20.00)
(20.00)
5 572.9400
4 181.9900
8 846.5460
(11.94)
(8.96)
(18.95)
46 672.0000 (100.00)
46 672.0000 (100.00)
46 672.0000 (100.00)
Tabel 47 menunjukkan bahwa sektor pertanian mengkonsumsi air tertinggi pada seluruh jenis kebijakan, berkisar antara 23.8–25.6 milyar m3 (51.18% 54.95%) selama kurun waktu 16 tahun, atau rata-rata sebesar 1.5–1.6 milyar m3 per tahun. Konsumsi air sektor pariwisata menduduki urutan kedua, distribusi air mencapai 2.210 milyar m3 selama kurun waktu 16 tahun, atau 0.5–1 milyar m3 per tahun. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa perekonomian propinsi Nusa Tenggara Barat sangat tergantung pada dua sektor ini. Seperti halnya pada konsumsi air permukaan pada level sektor produksi, besarnya konsumsi air tanah pada level sektor produksi ditentukan oleh besarnya nilai air yang dihasilkan oleh masing-masing sektor, kecuali jika diatur khusus dalam kendala.
Alokasi sumberdaya air tanah setiap sektor pengguna pada
kebijakan status quo, swasembada beras, dan pembatasan total ekstraksi air tanah
196
dengan asumsi tingkat discount rate 6% dan pertumbuhan ekonomi riil disajikan pada Tabel 48. Tabel 48. Distribusi dan Proporsi Total Konsumsi Air Tanah Menurut Kebijakan dan Sektor Pengguna di Pulau Lombok, Tahun 2010-2025. SEKTOR PENGGUNA URBAN SERVICE PERTANIAN INDUSTRI PARIWISATA Jumlah
STATUS QUO Juta m3 (%)
SWASEMBADA Juta m3 (%)
5 845.9518 (17.43) 3 497.7627 (10.43) 3.6128 (0.02) 24 165.3906 (72.03) 33 540.6043 (100)
5 845.9518 (13.35) 3 404.5656 (7.77) 0.6659 (0.1) 34 551.1934 (78.84) 43 823.4946 (100)
KUOTA EKSTRAKSI AIR TANAH Juta m3 (%) 5 845.9520 (33.16) 2 943.4620 (16.66) 0.5131 (0.1) 8 841.3890 (50) 17 681.1400 (100)
Berbeda dengan konsumsi air permukaan yang didominasi oleh penggunaan sektor pertanian, penggunaan air tanah didominasi oleh sektor pariwisata (50%78.8%), terutama untuk penggunaan di perhotelan, kemudian berikutnya adalah untuk urban service (13.35% -33.16%) terutama sebagai bahan baku air minum kemasan. Sektor pertanian hanya mengkonsumsi 7.8%-16.7%, untuk mengairi lahan-lahan yang tidak tersedia jaringan irigasi air permukaan.
7.1.3 Alokasi Sumberdaya Air pada Level Rumahtangga dan Individu Secara umum alokasi sumberdaya air pada setiap jenis kebutuhan mengalami penurunan seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini dikarenakan makin meningkatnya jumlah pengguna dan makin meningkatnya index permitaan seiring dengan makin tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi, sementara ketersediaan sumberdaya relatif tidak berubah. Gambar 15 memberi gambaran alokasi/distribusi
197
30
25
KONSUMSI AIR PDAM (M3/BLN)
20
15
10
5
0 Dodokan
2010 29.72
2011 28.30
2012 26.96
2013 25.67
2014 24.45
2015 23.28
2016 22.18
2017 21.12
2018 20.11
2019 19.16
2020 18.24
2021 17.37
2022 16.55
2023 15.76
2024 15.01
2025 14.29
Jelateng
15.19
14.33
13.52
12.75
12.03
11.35
10.71
10.10
9.531
8.992
8.483
8.002
7.549
7.122
6.719
6.339
Menanga 27.59
25.93
24.37
22.91
21.53
20.23
19.02
17.87
16.80
15.79
14.84
13.94
13.10
12.32
11.57
10.88
Putih
26.45
25.11
23.84
22.63
21.48
20.39
19.36
18.38
17.44
16.56
15.72
14.92
14.17
13.45
12.77
27.86
Gambar 15. Konsumsi Air PDAM pada Level Rumahtangga di 4 Wilayah SSWS Pulau Lombok, Tahun 2010-2025
198
sumberdaya air optimal untuk penggunaan domestik (urban services) selama horizon waktu 2010-2025 untuk 4 wilayah SSWS. Secara umum alokasi air untuk kebutuhan domestik rumahtangga wilayah dodokan lebih tinggi dari SSWS lainnya, kecuali untuk air sumur. Pada awal periode, alokasi optimal air PDAM untuk rumahtangga di SSWS Dodokan (sebagai contoh) sebesar 29.7 m3 per bulan atau setara dengan 7.86 m3 per kapita per bulan. Jumlah ini masih sedikit lebih besar dari konsumsi rata-rata riil pada saat ini yang hanya mencapai 6.79 m3 per kapita per bulan. Konsumsi air PDAM di wilayah SSWS Menanga dan Putih relatif sama dan jumlahnya sedikit di bawah tingkat konsumsi rumahtangga di wilayah SSWS Dodokan. Konsumsi air PDAM wilayah SSWS hanya berkisar 50% dari konsumsi rumahtangga SSWS Dodokan. Konsumsi air sumur (Gambar 16) sebaliknya, pemenuhan kebutuhan air wilayah SSWS Jelateng sangat tergantung pada pemenuhan dari sumber air tanah. Tingkat konsumsinya memiliki kecenderungan semakin meningkat, dari 28.5 m3 per rumahtangga per bulan pada tahun 2010 menjadi 31.4 m3 per rumahtangga/bulan pada tahun 2025. Meningkatnya penggunaan air sumur dikarenakan pada masa mendatang pemenuhan kebutuhan air PDAM secara relatif semakin berkurang dan peningkatan kapasitas memerlukan investasi yang relatif besar, sehingga air sumur menjadi alternatif yang lebih murah dan mudah. Kebutuhan air sumur ketiga SSWS lainnya relatif sama berkisar 22 – 25 m3 per bulan. Alokasi kepada perusahaan air minum kemasan membuat perusahaan mampu menyediakan layanan air minum kemasan baik dalam bentuk galon, botol maupun gelas sebesar 71 liter per rumahtangga per bulan atau setara dengan 18.8 liter per kapita di wilayah SSWS Dodokan (Gambar 17). Tingkat alokasi ini masih
Konsumsi Air Simur (m3/RT/Bulan)
199
35 30 25 20 15 10 5 0
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
Dodokan 24.48
24.72
24.94
25.14
25.32
25.49
25.64
25.78
25.91
26.02
26.13
26.22
26.31
26.38
26.45
26.51
Jelateng
28.72
29.01
29.28
29.53
29.76
29.97
30.18
30.36
30.54
30.70
30.85
30.98
31.11
31.23
31.34
31.44
Menanga 25.65
25.71
25.76
25.80
25.85
25.89
25.93
25.96
26.00
26.03
26.06
26.09
26.11
26.14
26.16
26.18
Putih
22.67
22.87
23.04
23.21
23.36
23.50
23.63
23.75
23.86
23.96
24.06
24.14
24.22
24.29
24.36
22.47
Gambar 16. Konsumsi Air Sumur pada Level Rumahtangga di 4 Wilayah SSWS Pulau Lombok, Tahun 2010-2025
Konsumsi air minum kemasan liter/Rt/bln
200
70 60 50 40 30 20 10 0 Dodokan
2010 60.2
2011 56.1
2012 52.3
2013 48.7
2014 45.4
2015 42.2
2016 39.3
2017 36.5
2018 34
2019 31.6
2020 29.3
2021 27.2
2022 25.2
2023 23.4
2024 21.7
2025 20.1
Jelateng
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
Menanga
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
Putih
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
Gambar 17. Konsumsi Air Minum dalam Kemasan pada Level Rumahtangga di 4 Wilayah SSWS Pulau Lombok, Tahun 2010-2025
201
lebih tinggi dari konsumsi riil tahun 2010 yakni sebesar 10.18 liter per kapita per bulan, namun di akhir periode (2025) alokasinya hanya mencapai 24 liter per rumahtangga atau 6.3 liter per kapita per bulan. Konsumsi air minum kemasan di wilayah SSWS Jelateng, Menanga dan Putih masih sangat kecil, rata-rata hanya mencapai 6 liter per rumahtangga per bulan.
Rendahnya tingkat konsumsi air
minum kemasan di 3 wilayah ini disebabkan wilayah ini perekonomiannya belum sebaik wilayah SSWS Dodokan, ibu rumahtangga masih banyak yang bekerja di rumah (bukan wanita karir) sehingga pemenuhan kebutuhan air minumnya masih banyak dipenauhi dari sumber air sumur dan air PDAM. Tabel 49. Alokasi Air Permukaan (Surface Water) untuk Sektor Pertanian, Industri, dan Pariwisata di Pulau Lombok, Tahun 2010 – 2025 ALOKASI AIR PERMUKAAN TAHUN
SEKTOR PERTANIAN
SEKTOR INDUSTRI Ind. Ind. Non Pangan Pangan (M3/RT*) (M3/RT*)
SEKTOR PARIWISATA Rmh. Hotel Makan (M3/hr) (M3/kjg)
Padi (M3/ha)
Jagung (M3/ha)
Kedelai (M3/ha)
Kc. Tanah (M3/ha)
2010
8 619.100
563.649
60.840
265.324
0.048
0.001
0.001
0.042
2011
8 486.646
559.653
60.120
262.457
0.046
0.001
0.001
0.042
2012
8 356.224
555.686
59.409
259.620
0.044
0.001
0.001
0.042
2013
8 227.805
551.747
58.705
256.814
0.042
0.001
0.001
0.042
2014
8 101.357
547.836
58.011
254.039
0.040
0.001
0.001
0.042
2015
7 976.850
543.953
57.324
251.294
0.038
0.001
0.001
0.042
2016
7 854.254
540.098
56.645
248.578
0.036
0.001
0.001
0.042
2017
7 733.540
536.270
55.975
245.892
0.034
0.001
0.001
0.042
2018
7 614.679
532.470
55.313
243.235
0.032
0.001
0.001
0.042
2019
7 497.643
528.696
54.658
240.607
0.031
0.001
0.001
0.042
2020
7 382.403
524.949
54.011
238.007
0.029
0.001
0.001
0.042
2021
7 268.933
521.229
53.372
235.436
0.028
0.001
0.001
0.042
2022
7 157.204
517.536
52.741
232.892
0.026
0.001
0.001
0.042
2023
7 047.191
513.869
52.117
230.376
0.025
0.001
0.001
0.042
2024
6 938.866
510.228
51.500
227.887
0.024
0.001
0.001
0.042
2025 6 968.358 468.526 Keterangan: RT = Rumahtangga Kjg = Kunjungan
44.650
200.058
0.022
0.001
0.001
0.038
202
Pemenuhan kebutuhan air untuk sektor pertanian, industri dan pariwisata juga mengalami penurunan seiring dengan waktu.
Tabel 49 dan 50 memberi
ilustrasi alokasi air permukaan dan air tanah pada setiap sektor.
Pemenuhan
kebutuhan irigasi optimal air permukaan usahatani padi sebesar 8 619 m3 per hektar selama masa pertanaman (umur padi diasumsikan 86 hari), sedikit lebih rendah dibandingkan alokasi yang selama ini dilakukan Dinas Kimpraswil, yakni sebesar 8 910 m3 per hektar. Tabel 50. Alokasi Air Tanah (Ground Water) untuk Sektor Pertanian, Industri, dan Pariwisata di Pulau Lombok, Tahun 2010 – 2025 ALOKASI AIR TANAH SEKTOR PERTANIAN TAHUN Padi (M3/ha)
Jagung (M3/ha)
Kedelai (M3/ha)
SEKTOR INDUSTRI Kc Tanah (M3/ha)
Ind. Pangan (M3/RT*)
Ind. Non Pangan (M3/RT*)
SEKTOR PARIWISATA Rumah Hotel Makan (M3/hr) (M3/Kjg)
2010
322.985
805.793
110.662
458.007
0.048
0.001
0.491
0.001
2011
317.507
798.783
109.055
451.935
0.046
0.001
0.491
0.001
2012
312.118
791.828
107.470
445.937
0.044
0.001
0.491
0.001
2013
306.819
784.926
105.907
440.014
0.041
0.001
0.491
0.001
2014
301.606
778.079
104.365
434.164
0.039
0.001
0.491
0.001
2015
296.480
771.285
102.844
428.387
0.037
0.001
0.490
0.001
2016
291.438
764.545
101.344
422.681
0.035
0.001
0.490
0.001
2017
286.479
757.857
99.865
417.046
0.033
0.001
0.490
0.001
2018
281.601
751.221
98.406
411.481
0.031
0.001
0.489
0.001
2019
276.805
744.637
96.966
405.985
0.029
0.001
0.489
0.001
2020
272.087
738.105
95.547
400.558
0.027
0.001
0.489
0.001
2021
267.447
731.624
94.147
395.198
0.025
0.001
0.489
0.001
2022
262.884
725.194
92.766
389.905
0.023
0.001
0.489
0.001
2023
258.396
718.815
91.404
384.678
0.021
0.001
0.489
0.001
2024
253.982
712.486
90.061
379.516
0.019
0.001
0.488
0.001
2025 113.075 710.119 Keterangan: RT = Rumahtangga Kjg = Kunjungan
83.098
373.694
0.017
0.001
0.437
0.001
Meningkatnya kompetisi telah menurunkan alokasi air irigasi sebesar 19.2% selama kurun waktu 16 tahun atau rata-rata 1.2% per tahun. Alokasi air untuk tanaman palawija juga mengalami penurunan, alokasinya jauh lebih kecil dari
203
usahatani padi, karena selain memang palawija lebih sedikit memerlukan air, tanaman ini memanfaatkan sisa kelembaban tanah usahatani padi. Irigasi air tanah menunjukkan tren yang sama, pada level alokasi yang jauh lebih rendah disebabkan masih minimnya infrastruktur irigasi air pompa. Industri pangan memperoleh alokasi sebesar 48 liter per bulan per rumahtangga konsumen industri pangan.
Dalam penelitian ini industri pangan
diwakili oleh industri tahu dan tempe, dimana untuk menghasilkan 1 kg tahu atau tempe diperlukan air sebesar 12 liter, sehingga air yang dialokasikan mampu memenuhi 4 kg atau sekitar 1.1 kg per kapita per bulan tahu dan tempe. Kemampuan penyediaan pangan ini akan terus menurun hingga 50% pada tahun 2025. Industri non pangan diwakili oleh usaha batu bata, genteng dan gerabah. Level aktivitas industri non pangan sebesar 0 liter, berarti bahwa sektor ini tidak dirokemendasikan untuk dilaksanakan, hal ini dikarenakan nilai air yang dihasilkan dari kegiatan ini sangat rendah dibandingkan kegiatan ekonomi lainnya. Alokasi air untuk Sektor Pariwisata menunjukkan bahwa perhotelan lebih menguntungkan dengan menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan airnya, sedang rumah makan menggunakan air permukaan (air PDAM). Hal ini selain dikarenakan oleh besarnya biaya yang dikeluarkan untuk ekstraksi 1 m3 air tanah (Rp 1643) jauh lebih kecil dibandingkan harga air PDAM (Rp 5 000 untuk pemakaian > 30 m3), juga karena dengan menggunakan air tanah pasokan air untuk kebutuhan hotel lebih pasti dan dapat dikontrol secara langsung oleh pihak manajemen hotel. Penggunaan air optimal setiap tamu per hari atau 1 kali datang sebesar 0.49 m3 untuk hotel, dan 42 liter untuk rumah makan. Meskipun jumlah penggunaan air menurun, namun tidak signifikan jumlahnya.
204
7.2 Stok Akhir Air Tanah Stok akhir air tanah (Ground Water Remaining Stock) pada setiap tahunnya dipengaruhi oleh tingkat ketersediaan awal (initial level of stock), tingkat pengisian kembali (recharge) dan tingkat penggunaan (extraction rate) sumberdaya air. Tingkat ketersedian awal dan recharge dalam model ini ditetapkan (predermined parameters), sehingga besarnya stok akhir sumberdaya air pada setiap tahunnya ditentukan oleh tingkat penggunaannya. Penggunaan sumberdaya air pada saat ini terus mengalami peningkatan melebihi ketersediaan/potensi air permukaan, dari tahun ke tahun penggunaan air tanah
mengalami
peningkatan
melebihi
tingkat
rechargenya,
sehingga
ketersediaannya di alam semakin menurun dengan tingkat penurunan makin meningkat di awal periode. Gambar 18 memberi gambaran tentang perubahan stok air tanah pada skenario kebijakan status quo, swasembada pangan, dan pembatasan total ekstraksi air tanah. Pada Tahun 2010 ketersediaan air tanah sebesar 12 397.59 juta m3, dan pada tahun 2025 mencapai batas kelangkaan (depleted), sehingga total penggunaan pada tahun-tahun berikutnya diasumsikan konstan pada tingkat rechargenya (dalam model ini stok air tanah diset untuk tidak boleh kurang dari 100 juta m3). Variasi besarnya stok air tanah sepanjang horison waktu pada kombinasi skenario kebijakan, discount rate dan tingkat pertumbuhan ekonomi disajikan pada lampiran 9. Gambar 18 juga menunjukkan bahwa jika alokasi sumberdaya air terus dilakukan pada kebijakan swasembada, maka stok air akan tanah terus berkurang
205
14000
Stok Air Tanah (juta m3)
12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 STQ
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
12397. 11297. 10217. 9158.4 8122.6 7111.4 6126.5 5169.6 4242.8 3348.1 2487.8 1671.7 909.13 438.32 213.12
SWBD 12397. 9265.1 6308.7 3530.1 1705.3 717.89 254.20 APQ
2017 100
100
100
100
100
100
100
100
2025 100 100
12397. 12397. 12397. 12397. 12397. 12397. 12397. 12397. 12397. 12397. 12397. 12397. 12397. 12397. 12397. 12397.
Gambar 18. Kondisi Stok Air Tanah Pada Kebijakan Status Quo, Swasembada Beras, dan Kuota A gregat Air Tanah di Pulau Lombok, Tahun 2010 – 2025 (Asumsi: Tingkat Discount Rate 6% dan Pertumbuhan Ekonomi Riil).
206
(mengalami deplesi) dengan tingkat penurunan lebih tinggi dibandingkan dua kebijakan lainnya. Pada tahun 2025 ekstraksi air tanah kedua kebijakan tersebut (status quo dan swasembada) mencapai tingkat batas minimalnya.
Kebijakan
pembatasan pengambilan air tanah secara total (agregate pumping quota), karena tingkat ekstraksi dibatasi tidak boleh melebihi tingkat rechargenya, maka ketersediaannya tidak mengalami penurunan. Tabel 51. Penurun Stok Air Tanah Tahunan Pada Tiga Tingkat Discount Rate di Pulau Lombok, Tahun 2010-2025 (Asumsi: Kebijakan Status Quo, Pertumbuhan Ekonomi Riil) TAHUN 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
6% 12 397.59 11 297.31 10 217.12 9 158.42 8 122.68 7 111.49 6 126.55 5 169.68 4 242.80 3 348.17 2 487.85 1 671.71 909.14 438.32 213.13 100.00
% Penurunan -8.87 -9.56 -10.36 -11.30 -12.45 -13.85 -15.62 -17.93 -21.09 -25.69 -32.80 -45.62 -51.78 -51.38 -53.08
DISCOUNT RATE % 10% Penurunan 12 397.59 11 296.47 -8.88 10 215.63 -9.57 9 156.41 -10.37 8 120.26 -11.32 7 108.74 -12.46 6 123.54 -13.86 5 166.45 -15.63 4 239.42 -17.94 3 344.51 -21.11 2 483.93 -25.73 1 660.23 -33.16 883.22 -46.80 355.57 -59.74 174.06 -51.05 100.00 -42.55
18% 12 397.59 11 282.46 10 196.05 9 133.51 8 095.19 7 082.20 6 095.99 5 138.21 4 210.69 3 315.46 2 454.67 1 630.67 846.15 235.68 100.00 100.00
% Penurunan -8.99 -9.63 -10.42 -11.37 -12.51 -13.93 -15.71 -18.05 -21.26 -25.96 -33.57 -48.11 -72.15 -57.57 0.00
Stok air tanah pada seluruh skenario kebijakan bervariasi menurut tingkat discount rate yang digunakan. Tabel 51 menunjukkan perubahan kondisi stok air tanah dari tahun ke tahun pada skenario kebijakan sataus quo di bawah berbagai tingkat discount rate yaitu 6%, 10% dan 18%
dan pada tingkat pertumbuhan
ekonomi riil. Tabel tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat discount
207
rate yang digunakan, semakin rendah stok dan persentase penurunan air tanah pada setiap tahunnya. Hal ini disebabkan semakin tinggi tingkat discount rate, pengguna semakin terdorong untuk mengkonsumsi/menggunakan sumberdaya air pada masa sekarang, karena penggunaan pada masa mendatang akan semakin memiliki nilai benefit yang semakin kecil. Penurunan air tanah tahunan berkisar antara 8.87%53.08% pada tingkat discount rate 6%, 8.88%-59.74% pada tingkat discount rate 10% dan 8.99% -72.15% pada tingkat discount rate 18%. Persentasse penurunan stok air tanah pada ketiga tingkat discount rate menunujukkan bahwa stok air tanah menurun dengan laju penurunan semakin besar seiring dengan bertambahnya waktu, kecuali pada tahun 2023 dan 2024 pada tingkat discount rate 10% dan 18% menunjukkan tingkat penurunan yang menurun. Penggunaan discount rate sebesar 18% menghasilkan tingkat stok lebih rendah hingga 42.55% (rata-rata 5.45%) dibandingkan dengan tingkat discount rate 10%, sedangkan penggunaan discount rate 6% menghasilkan tingkat stok air tanah lebih tinggi hingga 23.27% (rata-rata 3.12%). Penggunaan discount rate yang berbeda juga mempengaruhi tahun pada saat kapan sumberdaya mengalami deplesi. Pada kebijakan status quo, deplesi air tanah terjadi pada tahun yang sama yaitu tahun 2025 pada tingkat discount rate 6% dan 10%, namun pada tingkat discount rate 18% terjadi 1 tahun lebih awal. Pada kebijakan swasembada, deplesi stok air tanah terjadi jauh lebih awal dibandingkan pada kondisi status quo, yaitu terjadi pada tahun 2017, 2016 dan 2015 pada tingkat discount rate 6%, 10% dan 18%.
Sedang pada
kebijakan aggregate pumping quota, stok air tanah tetap sepanjang tahun, pada tingkat stok awalnya. Sama halnya pada penggunaan discount rate, tingkat pertumbuhan ekonomi juga berpengaruh terhadap keragaan stok air tanah sepanjang horizon waktu. Tabel
208
52 menunjukkan bahwa jumlah stok air tanah pada tingkat pertumbuhan ekonomi 2% lebih tinggi dibandingkan pada pertumbuhan ekonomi riil. Stok air tanah pada kedua tingkat pertumbuhan ekonomi memiliki kecenderungan menurun dengan laju semakin meningkat, kecuali setelah tahun 2023 memiliki kecenderungan menurun dengan laju semakin menurun. Persentase penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi riil sepanjang tahun lebih rendah dibandingkan pada tingkat pertumbuhan ekonomi 2%. Penggunaan tingkat pertumbuhan ekonomi 2% menghasilkan stok air tanah hingga
72.61%
(rata-rata17.79%)
lebih
rendah
dibandingkan
penggunaan
pertumbuhan ekonomi riil. Tabel 52. Penurun Stok Air Tanah Tahunan Pada Dua Tingkat Pertumbuhan Ekonomi di Pulau Lombok, Tahun 2010-2025 (Asumsi: Kebijakan Status Quo, Pertumbuhan Ekonomi Riil) PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
RIIL Jumlah Stok (Juta M3) 12 397.590 11 296.474 10 215.633 9 156.409 8 120.255 7 108.738 6 123.536 5 166.454 4 239.423 3 344.512 2 483.933 1 660.229 883.222 355.565 174.063 100.000
2%
% Penurunan -8.88 -9.57 -10.37 -11.32 -12.46 -13.86 -15.63 -17.94 -21.11 -25.73 -33.16 -46.80 -59.74 -51.05 -42.55
Jumlah Stok (Juta M3) 12 397.590 11 287.787 10 188.293 9 099.443 8 021.592 6 955.114 5 900.402 4 857.866 3 827.934 2 811.208 1 809.622 916.937 365.075 100 100 100
% Penurunan -8.95 -9.74 -10.69 -11.85 -13.30 -15.16 -17.67 -21.20 -26.56 -35.63 -49.33 -60.19 -72.61 0.00 0.00
209
7.3 Nilai Kini Total Benefit Sosial Netto Benefit bersih dari penggunaan sumberdaya air pada kegiatan produksi dan konsumsi dihitung dari besarnya consumer surplus dan producer surplus dan nilai produk marginal khusus untuk sektor pertanian. Nilai sekarang total dari benefit sosial bersih (netto) model optimasi sumberdaya air di Pualau Lombok disajikan pada Table 53. Nilai tersebut bervariasi untuk setiap skenario kebijakan, masingmasing dipengaruhi oleh discount rate dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Selama horison waktu 16 tahun, pada kondisi pertumbuhan ekonomi riil (kondisi pada saat penelitian dilakukan
yaitu 5.3% untuk SSWS Dodokan, 4.8% untuk SSWS
Jelateng, 5.2% untuk SSWS Menanga, dan 5.1% untuk SSWS Putih) nilai benefit sosial untuk kondisi status quo, swasembada dan kebijakan kuota ekstraksi air tanah (pumping quota) secara berturut mencapai Rp 4.3046-Rp 10.1279 trilyun, Rp 5.3750- Rp 12.0352 trilyun, dan Rp 2.3362–Rp 7.2419 trilyun. Table 53. Nilai Fungsi Tujuan untuk 3 Kategori Model dengan Skenario Discount Rate dan Pertumbuhan Ekonomi. (dalam trilyun rupiah)
NO
SKENARIO
PERTUMBUHAN EKONOMI RIIL 6% 10% 18% DISCOUNT RATE
PERTUMBUHAN EKONOMI 2% 6% 10% 18% DISCOUNT RATE
1
STATUS QUO
10.1279
6.9106
4.3036
10.8101
7.2511 4.4496
2
SWASEMBADA
11.2411
7.9465
5.3750
12.0352
8.3065 5.5038
3
QUOTA AIR TANAH
6.6792
4.1161
2.3362
7.2419
4.3545 2.4081
XXX
XXX
XXX
DEVIASI TERHADAP KEBIJAKAN STATUS QUO (%) 1 STATUS QUO XXX XXX 2
SWASEMBADA
3
QUOTA AIR TANAH
XXX
11.33
14.56
23.70
10.99
14.990
24.9
-33.01
-39.95
-45.88
-34.05
-40.438
-45.7
Secara umum skenario swasembada, seperti yang diharapkan, memiliki nilai total benefit bersih lebih besar dibandingkan dengan kedua skenario lainnya, status quo di urutan kedua, dan kebijakan pembatasan ekstraksi air tanah pada urutan
210
terakhir. Urutan tersebut konsisten baik pada tingkat discount rate yang berbeda, maupun untuk tingkat pertumbuhan ekonomi yang berbeda. Kebijakan pembatasan ekstraksi air tanah secara total, atau hanya mengijinkan ekstraksi tidak melebihi tingkat recharge sumberdaya telah menurunkan skala kegiatan ekonomi, sehingga sebagai konsekuensinya benefit yang dihasilkan juga mengalami penurunan, namun disisi lain kebijakan ini dapat menjamin kelestarian sumberdaya.
Kebijakan
swasembada pangan meningkatkan nilai total benefit bersih dengan kisaran kenaikan antara 11% hingga 25%. Kebijakan swasembada pangan yang dicapai dengan intensifikasi maupun ekstensifikasi telah meningkatkan skala kegiatan dan penggunaan sumberdaya air, sehingga nilai benefit yang dihasilkan juga meningkat. Kebijakan pembatasan ekstraksi air tanah sebaliknya menurunkan penggunaan air dan skala kegiatan produktif sehingga total nilai benefit mengalami penurunan dengan kisaran penurunan sebesar 33% hingga 45.88% dibandingkan kondisi status quo. Nilai riil total benefit sosial pada setiap tahun tidak dipengaruhi oleh tingkat discount rate yang digunakan, namun dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan ekonomi. Nilai tahunan benefit sosial pada ketiga kebijakan dan variasi nilai discount rate dan pertumbuhan ekonomi secara lengkap disajikan pada lampiran 8. Perubahan tingkat pertumbuhan ekonomi dan discount rate berpengaruh terhadap besarnya present value dari nilai sosial benefit. Secara umum semakin rendah tingkat discount rate, akan semakin tinggi net present value (NPV) nilai total benefit sosial.
Nilai tersebut dapat berubah (meningkat atau menurun) dengan
perubahan discount rate 10% (sebagai dasar) menjadi 6% atau 18%. Tabel 54 menunjukkan bahwa penurunan discount rate dari 10% menjadi 6% telah meningkatkan nilai total benefit sosial berkisar 41.46% hingga 62.67% untuk
211
skenario tingkat pertumbuhan ekonomi 0%, 44.89% hingga 66.31% untuk pertumbuhan ekonomi rill. Peningkatan discount rate berpengaruh berlawanan, peningkatan dari 10% menjadi 18% telah menurunkan nilai benefit sosial dengan kisaran 32.36% hingga 43.24% untuk skenario tingkat pertumbuhan ekonomi riil, dan 33.74% hingga 44.7% untuk pertumbuhan ekonomi 2%. Hal ini menunjukkan bahwa nilai fungsi tujuan sangat sensitif terhadap perubahan discount rate. Pertumbuhan ekonomi juga berpengaruh terhadap besarnya net present value dari nilai total benefit sosial. Pertumbuhan ekonomi seharusnya berpengaruh positif terhadap nilai fungsi tujuan, seperti dalam temuan Syaukat (2000), namun dalam penelitian ini justru sebaliknya, penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi meningkatkan nilai fungsi tujuan, sebaliknya peningkatan pertubuhan ekonomi menurunkan nilai fungsi tujuan. Tabel 54. Pengaruh Perubahan Discount Rate dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Nilai Benefit Pertumb. Ekonomi Riil Skenario Kebijakan
6%
10%
Pertumb. Ekonomi 2% 18%
5%
Real Discount Rate
10%
18%
Real Discount Rate
Pengaruh Perubahan Discount Rate: Dasar Discount Rate 10% Status Quo
46.56
XXXX
-37.72
49.08
XXXX
-38.64
Swasembada
41.46
XXXX
-32.36
44.89
XXXX
-33.74
Quota Air Tanah
62.27
XXXX
-43.24
66.31
XXXX
-44.70
Pengaruh Perubahan Pertumbuhan Ekonomi: Dasar Pertumbuhan Ekonomi Riil Status Quo
XXXX
XXXX
XXXX
6.74
4.93
3.39
Swasembada
XXXX
XXXX
XXXX
7.06
4.53
2.39
Quota Air Tanah
XXXX
XXXX
XXXX
8.42
5.79
3.07
212
Tabel 54 memperlihatkan bahwa penurunan pertumbuhan ekonomi dari pertumbuhan riil (5.3%, 4.8%, 5.2%, dan 5.1% berturut-turut untuk SSWS Dodokan, jelateng, Menanga, dan Putih) menjadi 2% meningkatkan net present value fungsi tujuan dengan kisaran 2.39% hingga 8.42%.
Kemungkinan penjelasan fakta ini
adalah bahwa pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan akan menggeser kurva permintaan ke atas (move upward).
Peningkatan
permintaan ini akan mendorong peningkatan produksi sehingga juga akan meningkatkan permintaan (derived demand) produsen akan input, termasuk air. Penggunaan air dalam jumlah besar akan meningkatkan kelangkaan sumberdaya sehingga akan meningkatkan harga input air yang pada akhirnya akan meningkatkan biaya produksi.
Kelangkaan sumberdaya ini akan menggeser kurva penawaran
barang-barang dan jasa (supply curve) ke atas, sehingga ada kemungkinan besarnya net surplus (consumer dan producer surplus) pada keseimbangan pasar yang baru lebih kecil dibandingkan pada keseimbangan pasar sebelumnya.
7.4 Nilai Sumberdaya Air Nilai sumberdaya air ditentukan oleh besarnya marginal cost dan marginal user cost. Marginal cost adalah biaya yang diperlukan untuk memproduksi atau mengkonsumsi tambahan satu unit air. Marginal cost penggunaan air permukaan maupun air tanah pada pengguna yang berbeda memiliki magnitude dan karakteristik berbeda (estimasi fungsi marginal cost dapat dilihat pada sub bab 6.2). Marginal cost berbagai sektor pengguna dapat dilihat pada Gambar 19. Marginal cost dari air PDAM merupakan tambahan biaya yang diperlukan untuk menaikkan kapasitas produksi air PDAM sebesar 1 m3. Biaya marginal tersebut terdiri dari biaya air baku, biaya pengolahan, biaya distribusi, biaya umum,
213
10000 9000
Rupiah per m3
8000 7000 6000 5000
PDAM
4000
sumur
3000
R. MAKAN
2000 1000 2025
2024
2023
2022
2021
2020
2019
2018
2017
2016
2015
2014
2013
2012
2011
2010
0
350000 300000 Rupiah per m3
250000 200000 AMK
150000
HOTEL 100000 50000
2025
2024
2023
2022
2021
2020
2019
2018
2017
2016
2015
2014
2013
2012
2011
2010
0
Gambar 19. Biaya Marginal Seluruh Sektor Pengguna selama Horison Waktu Tahun 2010-2025. dan biaya penyusutan kapital. Biaya marginal dari penggunaan air sumur hanya berupa penambahan biaya listrik dan nilai waktu ibu rumahtangga yang dikorbankan untuk tambahan ekstraksi 1 m3 air sumur. Biaya marginal air minum kemasan merupakan tambahan biaya untu menaikkan kapasitas produksi 1 satuan, terdiri dari biaya air baku, biaya pengolah, biaya pengemasan, biaya distribusi, biaya pemasaran, dan biaya manajemen (biaya umum). Biaya marginal sektor pertanian
214
pada penelitian ini tidak terobservasi, namun karena pada kondisi optimal biaya marginal sama dengan nilai marginal produk, maka untuk menghitung nilai air dari sektor pertanian digunakan nilai marginal produknya. Sama halnya dengan sektor ekonomi di atas, biaya marginal untuk sektor industri dan pariwisata juga dihitung dengan cara yang sama. Marginal cost air minum kemasan tertinggi dibandingkan penggunaan air pada sektor lainnya, sedang biaya marginal terendah adalah biaya penggunaan air untuk usahatani jagung.
Besarnya biaya marginal dari yang tertinggi hingga
terendah secara berturutan adalah: air minum kemasan sebesar Rp 312 383 per m3, perhotelan sebesar Rp 55 306 per m3, rumah makan sebesar Rp 8 875 per m3, usahatani padi sebesar Rp 2 713 per m3, penggunaan air sumur sebesar Rp 280 per m3, dan usahatani jagung hanya sebesar Rp 30 per m3. Nilai air tanah digambarkan oleh besarnya Marginal user cost, merupakan biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat pada waktu mendatang karena sumberdaya air yang ada digunakan pada saat ini. Besarnya marginal user cost merupakan manfaat yang hilang (benefit forgone) karena sumberdaya digunakan pada saat ini. Besarnya marginal user cost pada model optimasi dapat dilihat dari shadow value pada output hasil optimasi (output GAMS) dimana besarnya juga menunjukkan tingkat kelangkaan sumberdaya. Dalam penelitian ini marginal user cost
air
permukaan
tidak
dihitung
karena
model
yang
disusun
tidak
memperhitungkan air permukaan yang disimpan. Jumlah air permukaan diasumsikan habis terpakai pada setiap tahunnya atau mengalir ke perairan umum jika tidak digunakan, sehingga tidak memiliki kegunaan pada masa mendatang. Marginal user cost dari penggunaan air Gambar 20.
tanah pada ketiga skenario kebijakan disajikan pada
215
450 400
MARGINAL USER COST (RP)
350 300 250 200 150 100 50 0
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
STQ
104.94
111.23
117.91
124.98
132.48
140.43
148.85
157.79
167.25
177.29
187.93
199.20
211.16
223.82
237.25
SWBD
238.5
252.81
267.97
284.05
301.10
319.16
338.31
357.02
361.54
365.33
372.06
380.30
390.32
404.70
426.58
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
APQ
Gambar 20. Marginal User Cost Sumberdaya Air Tanah Pada kebijakan Ststus Quo, Swasembada Pangan, dan Pembatasan Ekstraksi Air Tanah Total Selama Horison Waktu 2010-2025 (Asumsi: Discount Rate 6%, dn Pertumbuhan Ekonomi Riil)
216
Gambar 20 memperlihatkan bahwa marginal user cost air tanah pada kebijakan swasembada pangan memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan pada kebijakan lainnya. Hal ini dikarenakan ekstraksi air tanah dan besarnya marginal benefit dari pengguna air tanah yang dominan pada kebijakan swasembada pangan lebih tinggi dibandingkan pada kebijakan lainnya. Marginal User cost pada kebijakan pembatasan total ekstraksi air tanah memiliki nilai sama dengan nol, hal ini dikarenakan cadangan sumberdaya air dalam aquifer air tanah tidak digunakan sehingga tidak terjadi benefit forgone. Tingkat discount rate yang digunakan mempengaruhi ekatraksi dan stok air tanah, oleh karenanya juga mempengaruhi besarnya marginal user cost dari stok air tanah. Gambar 21 memberi gambaran bahwa semakin rendah tingkat discount rate yang digunakan, semakin tinggi nilai marginal user cost stok air tanah, dan sebaliknya. Pengaruh perubahan disount rate
dari 10% ke 18% lebih tinggi
dibanding dari 6% ke 10%. Tingkat pertumbuhan ekonomi juga berpengaruh terhadap besarnya marginal user cost stok air tanah. Gambar 22 memberi gambaran bahwa semakin rendah tingkat pertumbuhan ekonomi semakin rendah juga besarnya marginal user cost. hal ini dikarenakan semakin rendahnya pertumbuhan ekonomi semakin rendah tingkat penggunaan/ekstraksi air tanah, sehingga semakin besar stok dan makin rendah tingkat kelangkaannya, dan oleh karenanya benefit forgone generasi mendatang juga semakin kecil karena sumberdaya masih relatif banyak tersedia.
217
250
MARGINAL USER COST (RP)
200
150
100
50
0
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
DR_6%
104.94 111.23 117.91 124.98 132.48 140.43 148.85 157.79 167.25 177.29 187.93 199.20 211.16 223.82 237.25
DR_10%
100.7
106.74 113.14 119.93 127.13 134.75 142.84 151.41 160.50 170.13 180.33 191.15 202.62 214.78 227.67
DR_18%
40.28
42.696 45.258 47.974 50.852 53.903 57.137 60.566 64.200 68.052 72.135 76.463 81.051 85.914 88.672
Gambar 21. Pengaruh Discount Rate Terhadap Marginal User Cost Stok Air Tanah Selama Horison Waktu 2010-2025 (Asumsi: Kebijakan Status Quo, Pertumbuhan Ekonomi Riil)
218
450 400 350
Marginal User Cost
300 250 200 150 100 50 0
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
EGR_Riil 104.94 111.23 117.91 124.98 132.48 140.43 148.85 157.79 167.25 177.29 187.93 199.20 211.16 223.82 237.25 EGR_2% 177.02 187.64
198.9
210.83 223.48 236.89 251.10 266.17 282.14 299.07 317.01 336.03 356.19 377.57 390.63
Gambar 22. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Marginal User Cost Stok Air Tanah Selama Horison Waktu 2010-2025 (Asumsi: Kebijakan Status Quo, Discount Rate 6%)