PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM REHABILITASI HUTAN, LAHAN DAN KONSERVASI SUMBERDAYA AIR DI SUB DAS KEDUANG, DAERAH HULU DAS BENGAWAN SOLO
KUAT PUDJIANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan, Lahan dan Konservasi Sumberdaya Air di Sub DAS Keduang, Daerah Hulu DAS Bengawan Solo adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Pebruari 2009
Kuat Pudjianto NRP : P051064184
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM REHABILITASI HUTAN, LAHAN DAN KONSERVASI SUMBER DAYA AIR DI SUB DAS KEDUANG, DAERAH HULU DAS BENGAWAN SOLO
KUAT PUDJIANTO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
ABSTRACT KUAT PUDJIANTO. Community Participation in Land and Forest Rehabilitation, Water Resources Conservation in Sub Watershed Keduang, Upstream of Bengawan Solo Watershed. Under direction of SYAIFUL ANWAR and NURHENI WIJAYANTO In order to rehabilitate forest, land and critical watershed in Indonesia, the Government of Indonesia has implemented National Movement on Water Rescue Partnership. The programme is a refinement of National Movement on Land and Forest Rehabilitation which is assumed failed because of a centralized programme. The National Movement on Water Rescue Partnership is an interdepartment integrated program, and based on participatory approach involving communities and social institutions in every phases from planning, implementation and evaluation. One area of the programme is the Sub Watershed Keduang, which is the upstream of Bengawan Solo Wathershed. This study was aimed to identify the level of community participation, to analized factors affecting the level of community participation, and to develop alternatives of policy priority in order to improve community participation. The level of community participation is analized base on Arenstein’s theory, correlation analysis by Spearman Rank, and alternatives of policy priority by analytical hierarchy process. The results show that the level of community participation in planning and evaluation phases catagorized as low (nonparticipation), while in implementation phase categorized as moderate (tokenism). Analysis of factors affecting community participation suggest that planning and implementation phases correlated with internal factors. Among internal factors, education has the highest significant correlation with community participation in planning phase, while land area ownership has the highest and significant correlation with community participation in implementation phase. Among external factors, the role of assistanship has the highest and significant correlation with community participation in evaluation phase. In order to improve the community participation, alternatives of policy priority should include at least community education, community income and role of assistanship. The low level of education cause community do not have the courage in the decision making process. Low income was due to only rely on results from the narrow land that used to plan short-term. In addition to the trust the community to participate in assisting the officer determines the level of community participation.
Keywords : Community participation, forest and land rehabilitation, critical watershed, and Water Rescue Partnership.
RINGKASAN KUAT PUDJIANTO. Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan, Lahan dan Konservasi Sumberdaya Air di Sub DAS Keduang, Daerah Hulu DAS Bengawan Solo. Dibimbing oleh SYAIFUL ANWAR dan NURHENI WIJAYANTO. Kerusakan hutan dan lahan di daerah hulu DAS Bengawan Solo telah menyebabkan Sub DAS Keduang menjadi kritis, keseimbangan siklus hidrologi terganggu, erosi dan sedimentasi meningkat yang berimplikasi pada terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah telah melaksanakan program rehabilitasi hutan dan lahan melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL), namun program tersebut hasilnya belum seperti yang diharapkan, bahkan oleh berbagai pihak dianggap gagal. Hal ini disebabkan antara lain karena program GNRHL dalam pelaksanaannya masih dilakukan secara terpusat (top down) kurang melibatkan masyarakat, terutama pada saat perencanaan. Sejalan dengan program GNRHL tersebut, pemerintah melalui Gerakan Nasional Kemitraan Penghematan Air (GN-KPA) mengimplementasikan program rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air di Sub DAS Keduang sebagai komplementer program GNRHL. Program tersebut merupakan program terpadu antar departemen menggunakan pendekatan partisipatif dengan melibatkan masyarakat dan lembaga sosial setempat dari mulai tahap perencanaan, pelaksanaan sampai dengan tahap evaluasi. Dengan pendekatan partisipatif diharapkan masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif, sehingga implementasi program rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air dapat dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di masyarakat. Tingkat partisipasi masyarakat dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal masyarakat. Faktor internal merupakan karakteristik yang ada di dalam masyarakat, sedangkan faktor eksternal merupakan karakteristik yang ada di luar masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sampai seberapa jauh tingkat partisipasi masyarakat, faktor-faktor apa aja yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat, serta bagaimana menyusun alternatif kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi para penentu kebijakan (policy makers) dalam mengimplementasikan dan mengembangkan program rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air di Indonesia secara partisipatif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dalam bentuk survai dan korelasi yang bertujuan untuk mengungkapkan fakta-fakta tentang partisipasi masyarakat termasuk menganalisis hubungan aspek-aspek yang ada didalamnya serta penyusunan alternatif kebijakan sebagai umpan balik untuk memperbaiki pelaksanaan program selanjutnya. Untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat digunakan Teori Arenstein (1969) yang membagi tingkatan partisipasi masyarakat ke dalam 3 tingkatan, yaitu : (1) Non participation (partisipasi rendah) : masyarakat tidak atau kurang terlibat dalam kegiatan, meskipun terlibat namun tidak dapat memberikan masukan atau usulan-usulan, (2) Tokenism (partisipasi sedang) : masyarakat sudah
mulai terlibat, namun suara masyarakat tidak diperhitungkan karena kemampuan dan kedudukannya yang relatif rendah, dan (3) Citizen power (partisipasi tinggi) : masyarakat sudah terlibat secara aktif dan mempunyai kewenangan penuh di bidang kebijakan dan aspek pengelolaan pada seluruh tahapan kegiatan, baik tahap perencanaan, tahap pelaksanaan maupun tahap evaluasi. Tahap perencanaan meliputi kegiatan identifikasi masalah, penentuan lokasi, penentuan jenis tanaman, penentuan bangunan sivil teknis dan penentuan pembiayaan. Tahap pelaksanaan meliputi penyiapan lahan, penyiapan sarana rehabilitasi, pemeriksaan bibit tanaman, penanaman pohon, perawatan tanaman, pembuatan rorak, terasering, sumur resapan, chek dam dan pengamanan tebing. Tahap evaluasi meliputi kegiatan pemantauan, penilaian perkembangan tanaman dan kondisi bangunan sivil teknis. Faktor-faktor yang diduga dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri atas : umur, tingkat pendidikan, luas lahan, pendapatan dan persepsi. Faktor eksternal terdiri atas : intensitas sosialisasi program, ketersediaan sarana rehabilitasi, peran lembaga sosial dan peran pendamping. Penentuan faktor tersebut menggunakan konsepsi pemikiran Suparmoko (1997), Kartasasmita (1996) dan temuan penelitian sebelumnya, antara lain : Indrawati et al. (2003), Matrizal (2005), Gautama (2006) dan Muis (2007), yang menyatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat internal dan eksternal. Hubungan faktor internal dan faktor eksternal dengan tingkat partisipasi masyarakat diuji dengan metode korelasi spearman rank pada ά = 0,01, menggunakan komputer dengan software statistical program for social science (SPSS) versi 14. Penyusunan alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat dilakukan dengan cara analisis terhadap faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat menggunakan model analytic hierarchy process (Saaty dan Vargas, 1994). Data yang digunakan berupa persepsi dari 21 orang responden dari unsur pemerintah dan masyarakat yang dianggap mengerti permasalahan dan punya kepentingan terhadap program rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air di Sub DAS Keduang. Perhitungan bobot nilai alternatif kebijakan dari elemen-elemen partisipasi masyarakat diproses dengan komputer menggunakan software AHP. Berdasarkan teori Arenstein (1969) ditemukan bahwa partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air di Sub DAS Keduang pada tahap perencanaan dan tahap evaluasi masih tergolong rendah (non participation), sedangkan pada tahap pelaksanaan partisipasi masyarakat tegolong sedang (tokenism). Dari hasil uji korelasi spearman rank ditemukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan adalah : umur, tingkat pendidikan, luas lahan, pendapatan dan intensitas sosialisasi program/penyuluhan. Pada tahap pelaksanaan adalah : umur, tingkat pendidikan, luas lahan, pendapatan, intensitas sosialisasi program/penyuluhan, ketersediaan sarana rehabilitasi, dan peran lembaga sosial. Sedangkan pada tahap evaluasi adalah : intensitas sosialisasi program/penyuluhan, peran lembaga sosial dan peran pendamping. Diantara faktor-faktor tersebut yang paling mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan adalah tingkat pendidikan (0,788**),
pada tahap pelaksanaan adalah luas lahan (0,742**), dan pada tahap evaluasi adalah peran pendamping (0,743**). Hasil penilaian terhadap alternatif kebijakan peningkatan patisipasi masyarakat menggunakan model analytic hierarchy process menunjukan bahwa aktor pemerintah (0,7500) dalam partisipasi masyarakat lebih penting dibanding dengan aktor masyarakat (0,2500). Faktor pendukung yang menentukan tingkat partisipasi masyarakat adalah tingkat pendidikan (0,2724), peran pendamping (0,2362) dan pendapatan (0,1711), sedangkan alternatif kebijakan yang lebih mendukung partisipasi masyarakat adalah meningkatkan kapasitas anggota masyarakat (0,5164). Dari beberapa unsur kebijakan tersebut maka yang menjadi alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat dalam program kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air di Sub DAS Keduang adalah : meningkatkan kapasitas anggota masyarakat melalui sarana pendidikan, peran pendamping, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Tingkat partisipasi masyarakat merupakan salah satu tolok ukur dari keberhasilan program partisipatif. Tinggi rendahnya tingkat partisipasi masyarakat ditentukan oleh faktor internal dan eksternal masyarakat. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat merupakan salah satu penyebab masyarakat tidak memiliki keberanian untuk ikut dalam proses pengambilan keputusan, demikian juga rendahnya tingkat pendapatan dan luas lahan menyebabkan keterbatasan masyarakat untuk berpartisipasi, karena lahan sempit hanya dimanfaatkan untuk tanaman jangka pendek yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Disamping faktor-faktor internal tersebut, keberhasilan petugas pendamping dalam memberikan pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat, merupakan faktor eksternal yang menentukan tingkat partisipasi masyarakat.
.
Partisipasi Masyarakat Dalanl Rehabilitasi Hutan, Lahan dan Konservasi Sumber Daya .Air di Sub DAS Keduany. Daerah Hulu DAS Bengawar-1Solo
..s,: T e s ~ s:
\3ma
:
Kuat Pudjianto
\IPR
:
PO510641 84
Disetu-iili : Komisi Pemblmbing
Dr. Ir. Nurheni Wi-iayanto, MS Anygota
Ketua Program Stud1 Pengelolaan Sumber Dava Alan-1 dan Lingkunyan -1
,TV( J /Prof Dr I r Surjono H a d ~Sut~ahjo,MS
-
Tanggal Ujian : { '. ,
;
C r . ,
.
-
"r
'.. . ,d
-3-b-h.
Tanggal Lulus
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Titik Sumarti, MS.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Purwokerto pada tanggal 23 Juni 1958 dari ayah Moch. Oentoeng (Alm) dan Ida Murtiningroem. Penulis adalah anak pertama dari enam bersaudara. Tahun 1976 penulis lulus dari SMA Negeri Pekalongan, melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto mengambil jurusan Ekonomi Umum (Studi Pembangunan), lulus tahun 1983. Pada tahun 2007 penulis meneruskan ke Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL). Saat ini penulis bekerja di Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Budaya dan Peran Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pekerjaan Umum.
PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan segala rahmaan dan rahiim-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan, Lahan, dan Konservasi Sumber Daya Air di Sub DAS Keduang Daerah Hulu DAS Bengawan Solo”. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelas Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL). Penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc sebagai ketua komisi pembimbing, dan Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan serta pengarahan mulai dari penyusunan usulan penelitian sampai dengan penulisan tesis ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihakpihak yang telah memberikan banyak kesempatan, bantuan dan dorongan sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.
Ucapan terimakasih ini kami
sampaikan kepada : 1.
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
2.
Para Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya program Studi Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL) yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama masa pendidikan.
3.
Dr. Ir. Titik Sumarti, MS yang telah menguji dan memberikan masukan untuk perbaikan tesis ini.
4.
Pemerintah Kabupaten Wonogiri dan masyarakat di wilayah Sub DAS Keduang yang telah membantu dan memberikan jawaban atas semua pertanyaan yang diajukan penulis, dalam memperoleh informasi (data) yang berhubungan dengan tesis ini.
5.
Seluruh anggota keluarga, yang telah memberikan dorongan, semangat, dan doa kepada penulis selama masa pendidikan.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangannya. Untuk itu mohon saran dan kritik yang dapat bermanfaat bagi penyempurnaan
tesis ini.
Semoga semua pihak yang telah memberikan kesempatan, dorongan dan bantuan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.
Bogor, Pebruari 2009
Kuat Pudjianto
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR......................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xiii
I.
PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. 1.6.
Latar Belakang ................................................................................ Perumusan Masalah ....................................................................... Tujuan Penelitian ............................................................................ Kegunaan Penelitian ....................................................................... Kerangka Pemikiran........................................................................ Hipotesis ................................................................................
1 4 4 4 5 7
II. TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
9
2.1. Karakteristik DAS ........................................................................... 2.2. Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GNK-PA) ............................................................................. 2.3. Rehabilitasi Hutan dan Lahan ......................................................... 2.4. Partisipasi Masyarakat..................................................................... 2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Masyarakat ......................................................................................
9 12 15 18
III. METODE PENELITIAN ......................................................................
28
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... 3.2. Rancangan Penelitian ...................................................................... 3.2.1. Populasi dan Sampel ............................................................ 3.2.2. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ................................... 3.3. Variable Penelitian.......................................................................... 3.3.1. Partisipasi Masyarakat.......................................................... 3.3.2. Faktor –faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Masyarakat............................................................................ 3.4. Analisis Data ................................................................................... 3.4.1. Tingkat Partisipasi Masyarakat ............................................. 3.4.2. Hubungan Faktor Internal dan Eksternal dengan Tingkat Partisipatisi Masyarakat........................................................ 3.4.3. Peningkatan Partisipasi Masyarakat......................................
28 28 28 30 31 31
35 35
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .................................
38
4.1. 4.2. 4.3.
Letak dan Luas Wilayah Sub DAS Keduang ................................ Penggunaan Lahan ......................................................................... Potensi Erosi ..................................................................................
26
32 34 34
38 39 39
ix
4.4. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ............................................... 4.4.1. Jumlah dan Umur Penduduk ................................................. 4.4.2. Mata Pencaharian Pokok ...................................................... 4.4.3. Kelembagaan Sosial .............................................................
40 41 42 43
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................
45
5.1. Karakteristik Internal dan Eksternal Masyarakat ............................. 5.1.1. Karakteristik Internal ........................................................... 5.1.1.1. Umur ...................................................................... 5.1.1.2. Tingkat Pendidikan ................................................ 5.1.1.3. Luas Lahan .............................................................. 5.1.1.4. Pendapatan ............................................................. 5.1.1.5 Persepsi ................................................................... 5.1.2. Karakterisitk Eksternal.......................................................... 5.1.2.1. Intensitas Sosialisasi Program (Penyuluhan) .......... 5.1.2.2. Ketersediaan Sarana Rehabilitasi............................ 5.1.2.3. Peran Lembaga Sosial ............................................. 5.1.2.4. Peran Pendamping................................................... 5.2. Partisipasi Masyarakat ...................................................................... 5.2.1. Tahap Perencanaan ............................................................... 5.2.2. Tahap Pelaksanaan ................................................................ 5.2.3. Tahap Evaluasi ...................................................................... 5.3. Hubungan antara Faktor Internal dan Faktor Eksternal dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat ............................................ 5.4. Peningkatan Partisipasi Masyarakat.................................................. 5.5. Partisipasi Masyarakat sebagai Tolok Ukur Keberhasilan Program.
45 45 45 46 47 48 48 49 49 50 51 52 52 53 54 54
VI. KESIMPULAN DAN SARAN... ............................................................
64
6.1. Kesimpulan ....................................................................................... 6.2. Saran..................................................................................................
64 65
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
66
LAMPIRAN....................................................................................................
69
55 59 63
x
DAFTAR TABEL
Tabel
Teks
Halaman
1.
Program GN-KPA jangka pendek............................................................
14
2.
Program GN-KPA jangka menengah.......................................................
14
3.
Program GN-KPA jangka panjang...........................................................
15
4.
Lokasi penelitian ......................................................................................
28
5.
Jumlah dan sebaran sampel......................................................................
30
6.
Matrik pembandingan berpasang .............................................................
36
7.
Skala banding berpasang..........................................................................
37
8.
Luas masing-masing Sub DAS Bengawan Solo ......................................
38
9.
Luas penggunaan lahan per desa..............................................................
39
10. Jumlah daerah titik rawan erosi pada masing-masing desa .....................
40
11. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan golongan umur.................
41
12. Mata pencaharian pokok ..........................................................................
42
13. Distribusi jumlah petani yang terlibat dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan sumber daya air.............................................................
43
14. Kategori responden menurut umur ..........................................................
45
15. Kategori responden berdasarkan tingkat pendidikan ...............................
46
16. Katagori responden berdasarkan luas lahan.............................................
47
17. Kategori responden berdasarkan tingkat pendapatan...............................
48
18. Kategori responden berdasarkan persepsi................................................
49
19. Kategori karakterisitk eksternal berdasarkan intensitas sosialisasi program (penyuluhan).............................................................................
50
20. Kategori karakterisitk eksternal berdasarkan ketersediaan sarana rehabilitasi.....................................................................................
50
21. Kategori karakterisitk eksternal berdasarkan lembaga sosial ..................
51
22. Kategori karakterisitk eksternal berdasarkan peran pendamping ............
52
23. Tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi............ .............................................................
53
24. Hubungan antara faktor internal dan faktor eksternal dengan tingkat partisipasi masyarakat .....................................................
56
25. Alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat ..........
62
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Teks
Halaman
1. Kerangka pemikiran peningkatan partisipasi masyarakat dalam rehablitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air ............................
8
2. Delapan tingkatan partisipasi masyarakat menurut Arenstein ...................
22
3. Hirarki peningkatan partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang....................
61
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Teks
Halaman
1.
Peta lokasi penelitian ................................................................................
69
2.
Peta lokasi erosi Desa Setren ...................................................................
70
3.
Peta lokasi erosi Desa Sokoboyo .............................................................
71
4.
Peta lokasi erosi Desa Karang ..................................................................
72
5.
Peta lokasi erosi Desa Pandan ..................................................................
73
6.
Peta lokasi erosi Desa Watusumo ............................................................
74
7. Peta lokasi erosi Desa Sumberejo ............................................................
75
8.
Peta lokasi erosi Desa Pingkuk .................................................................
76
9.
Peta lokasi erosi Desa Sembukan .............................................................
77
10. Peta lokasi erosi Desa Gemawang ...........................................................
78
11. Daftar variabel, indikator, parameter pengukuran dan kategori ...............
79
12. Daftar responden, nilai variabel bebas (X1-1 s.d. X2-4) dan variabel terikat (Y1) ..................................................................................
81
12. Daftar responden, nilai variabel bebas (X1-1 s.d. X2-4) dan variabel terikat (Y2)...................................................................................
83
13. Daftar responden, nilai variabel bebas (X1-1 s.d. X2-4) dan variabel terikat (Y3) ..................................................................................
85
15. Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahap perencanaan ....................................................................................
87
16. Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahap pelaksanaan .....................................................................................
88
17. Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahap evaluasi ............................................................................................
89
18. Nilai banding berpasang (pairwise comparison) ...................................... .
90
xiii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kerusakan hutan dan lahan di Indonesia telah banyak menyebabkan kerusakan lingkungan. Salah satunya adalah kritisnya sejumlah daerah aliran sungai (DAS) yang semakin tahun semakin meningkat. Pada tahun 1984 jumlah DAS kritis 22 buah, meningkat menjadi 36 buah pada tahun 1992, dan 62 buah pada tahun 2005 (Ditjen Sumber Daya Air, Departemen PU, 2006). Dengan meningkatnya DAS kritis, keseimbangan siklus hidrologi menjadi terganggu, sehingga berkontribusi pada terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Sub DAS Keduang, di daerah hulu DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS kritis yang mengalami degradasi hutan dan lahan cukup serius. Hal ini ditandai dengan tingginya pasokan laju erosi tanah yang menyebabkan pendangkalan (sedimentasi) pada Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri. Aliran erosi dari 9 Sub DAS di sekitarnya yang terangkut menjadi sedimen di waduk mencapai 7.294 m3/ tahun, dimana Sub DAS Keduang merupakan pemasok terbesar mencapai 2.519 m3/ tahun (JICA, 2006). Upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi erosi tanah dan sedimentasi di waduk Gajah Mungkur adalah dengan cara pengerukan sedimen secara periodik di depan intake (pintu air) waduk dan pembuatan penampung sedimen dengan flushing gate.
Menurut Direktur Perum Jasa Tirta Bengawan Solo Sutioso
Budiharto dalam Tempo interaktif 23 Agustus 2007, sedimen yang masuk ke dalam waduk sekitar 5 juta ton kubik per tahun, sementara pengerukan hanya bisa mengurangi 0,10 persen. Cara ini selain memerlukan biaya yang relatif tinggi mencapai Rp. 20.000,-/ m3, juga tidak efektif karena laju erosi dan penumpukan sedimetasi akan terjadi terus menerus selama hutan dan lahan di daerah hulu DAS tidak direhabilitasi. Pengerukan sedimen sebenarnya hanya langkah temporer agar air waduk tetap bisa mengalir, namun yang terpenting adalah upaya perbaikan DAS di daerah hulu.
2
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yunus (2005) dalam studi valuasi ekonomi kerusakan DAS di Sub DAS Citanduy Hulu Jawa Barat menunjukkan bahwa kerusakan selama tiga tahun di daerah hilir sama dengan biaya rehabilitasi daerah hulu. Dengan kenyataan ini akan lebih ekonomis jika dilakukan rehabilitasi daerah hulu secara tuntas daripada melakukan pengerukan sedimen dan menderita segala dampak banjir di daerah hilir setiap tahun. Program rehabilitasi hutan dan lahan di wilayah DAS bukanlah hal yang baru di Indonesia. Pada tahun 2003 pemerintah telah melaksanakan program rehabilitasi hutan dan lahan melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Secara konsepsual program tersebut merupakan upaya strategis yang langsung menyentuh masyarakat (Departemen Kehutanan, 2007), namun di dalam pelaksanaannya program tersebut di beberapa daerah banyak mengalami kegagalan. Sejak tahun 2003 di Kalimantan Selatan sudah 29.000 hektar lahan kritis ditanami pohon proyek GNRHL, namun kurang lebih 11.600 hektar diantaranya (40 %) mati (Partono, 2006). Hal yang sama juga terjadi di Jawa Barat, menurut anggota Dewan Pakar Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Supardiono Sobirin dalam Word Press. com
tanggal 23 April 2008,
sedikitnya 19 juta pohon atau 59 % dari 32 juta pohon yang ditanam melalui GNRHL sepanjang tahun 2003 mati. Kematian itu mengakibatkan sedikitnya 19.000 hektar lahan dari 32.000 hektar lahan yang ditanami GNRHL tetap menjadi lahan kritis. Menurut Kepala Divisi Advokasi Kebijakan Eksekutif Daerah WALHI Sulawesi Tengah dalam siaran Pers tanggal 25 Desember 2004, menyatakan bahwa kendala yang menyebabkan kegagalan proyek GNRHL di beberapa daerah di Indonesia antara lain disebabkan oleh perencanaan yang tidak matang, pelaksanaan program tidak memperhatikan waktu penanaman dan tingkat penerimaan masyarakat atas program GNRHL ini sangat menentukan. Kegagalankegagalan tersebut merupakan bagian dari karakteristik kebijakan pemerintah bersifat top down yang kurang memperhatikan aspirasi masyarakat.
Pada
umumnya spesies yang digunakan dalam kegiatan GNRHL dipilih oleh instansi pemerintah dan jarang dilakukan konsultasi dengan masyarakat setempat (Nawir et al. 2008). Kondisi tersebut tidak dapat menimbulkan rasa memiliki (sence of
3
bellonging), menyebabkan apatisme dan tidak dapat meningkatkan kemampuan serta kesadaran masyarakat untuk mendukung pelaksanaan program yang diterapkan. Sejalan dengan pelaksanaan program GNRHL yang dianggap gagal tersebut, pada tanggal 28 April 2005 pemerintah mencanangkan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA) sebagai komplementer GNRHL untuk mengatasi DAS kritis yang semakin meningkat. Salah satu program jangka pendek GNKPA adalah rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang melalui konservasi vegetatif dan sipil teknis. Konservasi vegetatif dilakukan dengan cara penanaman tanaman keras yang bernilai ekonomi tinggi (rambutan, pete, sengon, mahoni, mangga, dll.) di lahan masyarakat, sedangkan konservasi sipil teknis berupa pembuatan rorak, terasering, sumur resapan, chek dam dan pengamanan tebing. Program tersebut merupakan program terpadu
antar
departemen
menggunakan
pendekatan
partisipatif dengan
melibatkan masyarakat dan lembaga sosial yang ada pada setiap tahapan, mulai dari tahap perencanaan pelaksanaan, sampai dengan tahap evaluasi. Adanya pendekatan partisipatif diharapkan masyarakat dapat berperan aktif, sehingga implementasi program GN-KPA dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang dapat berhasil dengan baik. Masyarakat di sekitar Sub DAS Keduang seperti halnya masyarakat lain yang tinggal di sekitar hulu DAS pada umumnya memiliki kondisi sosial ekonomi yang terbatas. Hal ini tercermin pada (a) buruknya infrastruktur rumah; (b) rendahnya tingkat pendidikan (74 % tidak tamat Sekolah Dasar) dan sempitnya kepemilikan lahan yang rata-rata hanya 0,3 ha. (Persepsi, 2006). Dengan keterbatasan kondisi sosial ekonomi tersebut maka kemampuan masyarakat dalam keterlibatan program rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air juga terbatas, sehingga dapat mempengaruhi tingkat partisipasi. Keberhasilan program partisipatif sangat ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat. Mitchell dan Setiawan (2000) mengatakan bahwa adanya partisipasi masyarakat yang tinggal di wilayah yang terkena kebijakan, program, atau proyek, dimungkinkan untuk : (1) merumuskan persoalan dengan lebih efektif, (2) mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah,
4
(3) merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima, dan (4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan dalam penerapan. Oleh karena itu, dalam konteks partisipasi masyarakat, maka program rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang perlu dikaji dan dikembangkan implementasinya. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dimuka, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut : (1)
Sampai seberapa jauh tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang.
(2)
Faktor-faktor
apakah
yang
mempengaruhi
tingkat
partisipasi
masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang. (3)
Bagaimanakah kebijakan yang tepat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang.
1.3. Tujuan Penelitian (1)
Mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang.
(2)
Mengkaji hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang.
(3)
Menyusun alternatif kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang.
1.4. Kegunaan Penelitian (1)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan disiplin ilmu Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan,
5
khususnya pada masalah partisipasi masyarakat dalam tindakan konservasi sumberdaya alam. (2)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pembuat Keputusan (decision makers) GN-KPA untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang.
(3)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengimplementasian programprogram pembangunan yang bersifat partisipatif.
1.5. Kerangka Pemikiran Program rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang disamping memerlukan penanganan serius dari para pembuat kebijakan, juga memerlukan partisipasi masyarakat yang tinggi. Tingkat partisipasi dalam setiap masyarakat tidak sama, tergantung sejauhmana keterlibatan mereka dalam pemecahan masalah yang dihadapi (Daniel et al., 2006). Masyarakat di Sub DAS Keduang adalah salah satu masyarakat yang memiliki kondisi sosial ekonomi yang terbatas. Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan mereka dalam keterlibatan kegiatan. Menurut Muis (2007), status sosial ekonomi (pekerjaan, pendidikan, pendapatan) berkaitan erat dengan tahapan partisipasi. Lapisan masyarakat yang berstatus sosial lebih tinggi biasanya lebih banyak terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan, kelas sosial menengah lebih banyak terlibat dalam proses pelaksanaan, sedangkan kelas sosial yang lebih rendah lebih banyak dalam proses pemanfaatan. Meskipun anggota masyarakat sudah mempunyai pengaruh, namun pengaruh tersebut tidak diperhitungkan karena kemampuan dan kedudukannya yang relatif lemah, sehingga kebijakankebijakan tertentu masih sering ditentukankan oleh para pembuat keputusan saja. Arenstein (1969) membagi tingkat partisipasi masyarakat ke dalam 8 (delapan) tingkatan partisipasi, yaitu: manipulation, therapy, informing, consultation, placation, partnership, delegated power, dan citizen control. Selanjutnya delapan tingkatan partisipasi tersebut dikelompokan ke dalam tiga tingkatan pembagian kekuasaan, yaitu : (1) non participation (Tingkatan
6
partisipasi rendah), (2) tokenism (Tingkatan partisipasi sedang) dan (3) Citizen power (Tingkatan partisipasi tinggi).
Pada tingkatan non participation,
masyarakat tidak mempunyai peran dalam proses kegiatan. Masyarakat hanya dijadikan sebagai simbol dan alat publikasi untuk kepentingan pihak pembuat kebijakan. Pada tingkatan tokenism, masyarakat sudah mulai terlibat, namun hanya sebatas menerima dan melaksanakan kegiatan yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan. Sedangkan pada tingkatan citizen control, masyarakat sudah berperan aktif dan mempunyai kewenangan penuh dalam pengambilan keputusan pada aspek perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Partisipasi dalam arti yang sesungguhnya memerlukan kesadaran akan minat dan kepentingan yang sama untuk menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapinya. Kesadaran dituntut tidak hanya ketelibatan dalam aspek kognitif dan praktis, tetapi juga diperlukan keterlibatan emosional (Adi, 2003). Aspek kognitif dan praktis berkaitan dengan faktor pengetahuan, kemampuan dan kesempatan, sedangkan keterlibatan emosional menyangkut faktor kemauan dari anggota masyarakat untuk ikut serta dalam suatu proses kegiatan. Menurut Trison (2005) tingkat partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan ciri-ciri atau karakter individu dari anggota masyarakat itu sendiri yang meliputi antara lain : umur, tingkat pendidikan, kepemilikan lahan, pendapatan dan persepsi. Sedangkan faktor eksternal merupakan kondisi yang ada di luar karakteristik individu anggota masyarakat yang meliputi antara lain : intensitas sosialisasi program (penyuluhan), ketersediaan sarana dan prasarana rehabilitasi, peran kelembagaan sosial serta peran pendamping. Penelitian yang dilakukan oleh Gerung (2004), Matrizal (2005) dan Muis (2007) tentang partisipasi masyarakat juga menunjukan bahwa faktor internal dan eksternal tersebut memiliki hubungan yang significan dengan tingkat partisipasi masyarakat. Faktor internal yang berkaitan dengan tingkat partisipasi masyarakat dapat berupa sumbangan tenaga, pemikiran, penyediaan lahan, perilaku dan kesepakatan-kesepakatan anggota masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan. Sedangkan faktor eksternal merupakan dukungan pemerintah yang berupa sosialisasi program dan penyuluhan, penyediaan sarana dan prasarana rehabilitasi
7
(dana, bibit dan pupuk), fasilitasi pembentukan lembaga serta pendampingan. Kedua faktor tersebut dapat berinteraksi menjadi suatu bentuk kegiatan yang bersifat partisipasi. Berdasarkan uraian tersebut, maka teori Arenstein (1969) dan hasil-hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya dijadikan sebagai landasan kerangka pikir untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat, mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dan menentukan alternatif kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang, daerah hulu DAS Bengawan Solo. Secara skematis kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1. 1.6. Hipotesis Berdasarkan latar belakang, permasalahan dan kerangka pikir yang telah dirumuskan dimuka, disusun hipotesis sebagai berikut : (1)
Tingkat partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air di Sub DAS Keduang masih tergolong pada tingkatan sedang (Tokenism).
(2) H1 :
Ada hubungan nyata antara faktor-faktor internal dan eksternal dengan
tingkat
partisipasi
masyarakat
dalam
kegiatan
rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang. Ho :
Tidak ada hubungan nyata antara faktor-faktor internal dan eksternal dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang.
Faktor internal: Umur Tingkat Pendidikan Luas lahan Pendapatan Persepsi
Teori Arenstein (1969)
Kerusakan hutan dan lahan menyebabkan DAS kritis : erosi tanah, sedimentasi, pencemaran air, banjir dan kekeringan
Implementasi program GN-KPA : Rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air
Partisipasi masyarakat : Perencanaan Pelaksanaan Evaluasi
Teori Arenstein (1969)
Uji corelasi
Tingkatan partisipasi a. Nonparticipation b. tokenism c. citizen power (Arenstein, 1969)
Uji corelasi
AHP
Alternatif prioritas kebijakan
Peningkatan partisipasi masyarakat
AHP
Faktor eksternal : Intensitas sosialisasi program / penyuluhan Ketersediaan sarana rehabilitasi Peran lembaga sosial Peran pendamping
8
Gambar 1 Kerangka pemikiran peningkatan partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air
9
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik DAS Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (catcment area) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam (Asdak, 2004). Menurut Asdak (2004), DAS dapat dibagi ke dalam tiga komponen, yaitu : daerah bagian hulu, daerah bagian tengah dan daerah bagian hilir. Ekosistem bagian hulu merupakan daerah tangkapan air utama dan pengatur air. Ekosistem bagian tengah merupakan pembagi dan pengatur air, sedangkan ekosistem bagian hilir
merupakan daerah pemakai air. Hubungan antara ekosistem tersebut
menjadikan DAS sebagai satu kesatuan fungsi hidrologis. Tidak ada ukuran yang baku bagi suatu DAS, namun secara umum dapat diketahui dari panjangnya anak sungai yang mengalir dari hulu ke hilir. Batas DAS juga tidak identik dengan batas wilayah administrasi. Wilayah DAS bisa meliputi berbagai wilayah administratif, misalnya antar desa, kecamatan, kabupaten, propinsi bahkan dapat meliputi antar negara yang mempunyai keterkaitan biogeofisik melalui daur hidrologi (Asdak, 2004) DAS mempunyai potensi sumberdaya alam yang dapat dijadikan faktor produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. DAS dapat dijadikan sebagai tempat dalam proses formulasi dan implementasi kegiatan masyarakat setempat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Potensi sumberdaya alam ini bersifat terbatas, oleh karena itu pemanfaatannya harus tidak melebihi daya dukungnya dengan memperhatikan kelestariannya agar dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada hakekatnya adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan
10
mereka (Soemarwoto, 2004). Dalam konteks DAS, pembangunan yang berkelanjutan menurut Asdak (2004) dapat dicapai apabila perangkat kebijakan yang akan diterapkan pada pengelolaan DAS telah mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut : (1)
Pengelolaan DAS dan konservasi tanah dan air merupakan “alat” untuk tercapainya pembangunan sumberdaya air dan tanah yang berkelanjutan.
(2)
Pengelolaan sumberdaya alam yang tidak memadai (pada skala DAS) telah menyebabkan degradasi tanah dan air, dan pada gilirannya, menurunkan tingkat kemakmuran rakyat pedesaan.
(3)
Penyebab utama tidak memadainya cara pengelolaan sumberdaya alam tersebut di atas seringkali berkaitan dengan kurangnya pemahaman keterkaitan biogeofisik antara daerah hulu-hilir DAS, sehingga produk kebijakan yang dihasilkan tidak atau kurang memadai untuk dijadikan landasan pengelolaan DAS.
(4)
Adanya ketidak-sesuaian antara batas alamiah (ekologi) dan batas administratif (politik) suatu DAS seringkali menjadi kendala bagi tercapainya usaha pengelolaan DAS yang komprehensif dan efektif. Tantangan kebijakan dalam pengelolaan DAS yang cukup mendesak adalah mengusahakan tercapainya keselarasan persepsi antara dua sisi pandang tersebut di atas.
(5)
Kebijakan pengelolaan DAS yang perlu dibuat dan dilaksanakan, antara lain, yang mendorong semua aktor yang terlibat dalam aktivitas pengelolaan sumberdaya alam pada skala DAS saling menyadari dampak apa yang akan ditimbulkan oleh aktivitas yang dilakukannya. Berdasakan hal tersebut, maka dapat dilakukan evaluasi dini terhadap gejala-gejala terjadinya degradasi lingkungan dan tindakan perbaikan yang diperlukan dapat segera dilaksanakan. Permasalahan yang sering dijumpai pada DAS adalah degradasi lahan, erosi,
sedimentasi, banjir, kekeringan, penurunan kuantitas dan kualitas air, serta pendangkalan sungai dan waduk. Permasalahan ini memerlukan penanganan yang serius dan harus dilakukan secara komprehensif. Upaya-upaya penanganan permasalah tersebut telah banyak dilakukan namun masih bersifat spasial, sebagai
11
contoh penanganan pendangkalan sungai dan waduk hanya ditangani dengan kegiatan pengerukan sedimen secara kontinyu, padahal kegiatan ini banyak menelan biaya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yunus (2005) dalam studi valuasi ekonomi kerusakan DAS di Sub DAS Citanduy Hulu Jawa Barat menunjukkan bahwa kerusakan selama tiga tahun di daerah hilir sama dengan biaya rehabilitasi daerah hulu, sehingga akan lebih ekonomis jika rehabilitasi daerah hulu dilakukan secara tuntas daripada melakukan pengerukan sedimen dan menderita segala dampak banjir di daerah hilir setiap tahun. Namun demikian di dalam pemilihan teknik rehabilitasi hutan dan lahan perlu diperhatikan sifat DAS yang mencakup tanah, iklim, sungai, bukit dan masyarakat yang ada didalamnya. Oleh karena itu pertimbangan memilih teknologi itu adalah tercapainya sasaran rehabilitasi hutan dan lahan dalam kerangka meningkatnya kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat petani di sekitarnya. Kerusakan hutan dan lahan di daerah hulu DAS menyebabkan erosi tanah. Proses erosi dimulai dari penghancuran agregat-agregat tanah akibat pukulan air hujan atau gesekan aliran air yang mempunyai energi lebih besar dari daya tahan tanah. Menurut Agus dan Widianto (2004) ada lima faktor penentu besarnya erosi, yaitu jumlah dan intensitas hujan (erosivitas hujan), kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas tanah), bentukan lahan (kemiringan dan panjang lereng), vegetasi penutup tanah, dan tingkat pengelolaan tanah. erosivitas hujan merupakan sifat alam yang hampir tidak mungkin dikelola. Erodibilitas tanah dapat diperbaiki dengan memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan kandungan bahan organik. Kemiringan dan panjang lereng, vegetasi, dan faktor pengelolaan tanah adalah faktor yang paling sering dikelola untuk mengurangi jumlah aliran permukaan serta menurunkan jumlah erosi. Pada dasarnya masalah erosi berkaitan dengan tingginya erosivitas hujan, sifat tanah yang mudah tererosi, bentukan lahan dengan lereng yang curam dan panjang, serta penggunaan lahan yang terlalu intensif dan tidak sesuai dengan kemampuan lahannya. Terjadinya erosi dapat disebabkan oleh kondisi alamiah dan karena aktivitas manusia. Erosi alamiah dapat terjadi karena proses pembentukan tanah secara alami untuk mempertahankan keseimbangan tanah,
12
sedang erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh terkelupasnya tanah bagian atas akibat cara bercocok tanam yang tidak mengindahkan kaidahkaidah konservasi tanah (Asdak, 2004). Tingginya laju erosi tanah dan sedimentasi antara lain disebabkan karena menurunnya fungsi hutan dan lahan. Hutan mempunyai efektifitas pengendalian erosi yang cukup tinggi apabila tanamannya mampu membentuk serasah pada permukaan tanah atau bila tajuknya tersebar sedemikian rupa mulai dari tajuk rendah sampai tajuk tinggi. Dengan demikian mempertahankan keberadaan vegetasi penutup tanah tersebut adalah cara yang paling efektif dan ekonomis dalam usaha mencegah terjadi dan meluasnya erosi permukaan tanah. Menurut Agus dan Widianto (2004) untuk mengatasi tingginya erosi dan sedimentasi teknik konservasi yang dapat dilakukan di wilayah DAS adalah dengan memperbaiki fungsi filter dari DAS. Peningkatan fungsi filter ini dapat ditempuh dengan penanaman rumput, belukar, dan pohon pohonan atau dengan membuat bangunan jebakan sedimen (sedimen trap). Apabila menggunakan metode vegetatif, maka penempatan tanaman di dalam suatu DAS menjadi penting. Penanaman tanaman permanen pada luasan sekitar 10% saja dari luas DAS, mungkin sudah sangat efektif dalam mengurangi sedimentasi ke sungai asalkan tanaman tersebut ditanam pada tempat yang benar-benar menjadi masalah, misalnya pada zone riparian (zone penyangga di kiri kanan sungai). 2.2. Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA) Meningkatnya bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan serta pencemaran kualitas air beberapa tahun terakhir mengindikasikan telah terjadinya gangguan pada keseimbangan siklus hidrologi pada daerah aliran sungai (DAS) yang berdampak pada kondisi krisis sumberdaya air. Hal ini disebabkan antara lain karena penciutan area dan kerusakan hutan serta kerusakan lahan DAS yang telah menimbulkan erosi dan sedimentasi, baik di saluran-saluran air, sungai, waduk, danau maupun di sepanjang pantai. Bertitik tolak dari fenomena tersebut pada tanggal 28 April 2005, Pemerintah c.q Presiden Republik Indonesia mencanangkan suatu gerakan yang disebut Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA). Gerakan ini merupakan wadah jaringan kemitraan dan keterpaduan tindak nyata dari berbagai
13
sektor, wilayah, para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya air dan merupakan gerakan bersama. GN-KPA bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan siklus hidrologi pada daerah aliran sungai (DAS), sehingga keandalan sumber-sumber air baik kuantitas maupun kualitas airnya dapat terkendali. Sasaran yang akan dicapai dari GN-KPA adalah merespon dekade air untuk kehidupan 2005-2015 dan tercapainya tujuan pembangunan yang mencakup pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, peningkatan pertumbuhan ekonomi-sosial-budaya bangsa dan perlindungan ekosistem (Tim GN-KPA, 2006). Sebagai langkah awal implementasi kegiatan GNK-PA telah ditentukan lokasi program terpadu jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang sebagaimana disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3. Sub DAS Keduang, daerah hulu DAS Bengawan Solo adalah merupakan salah satu Sub DAS kritis yang menjadi pilot project implementasi program jangka pendek GN-KPA dalam rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air berupa konservasi sipil teknis dan vegetatif di hutan dan lahan masyarakat dengan menekankan peran serta masyarakat sebagai bagian integral dari ekosistem hutan.
14
Tabel 1 Program GN - KPA jangka pendek tahun 2005-2007 No.
Nama DAS
Kegiatan
1.
DAS Ciliwung
Penataan ruang dan pengendalian daya rusak air
2.
DAS Citarum
Kualitas air dan konservasi
3.
DAS Cimanuk
Konservasi DAS hulu dalam pembangunan Waduk Jatigede
4.
DAS Citanduy
Pengendalian sedimentasi Segara Anakan dan konservasi
5.
DAS Cisadea-Cimandiri
Penyelamatan mata air dan air untuk rumah tangga
6.
DAS Asahan
Konservasi DAS
7.
DAS Sungai Ular
Penghematan air irigasi dan pengendalian banjir
8.
DAS Way Seputih
pengendalian sedimen dan konservasi hulu waduk Batu Tegi
9.
DAS Bengawan Solo
Rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air
10.
DAS Brantas
Pengendalian sedimen dan konservasi
11.
DAS Palung (NTB)
Penyediaan air baku dan konservasi
12.
DAS Benanain (NTT)
Pengelolaan air tanah dan embung
13.
DAS Manggar (Kaltim)
Konservasi dan illegal logging
14.
DAS Mahakam (Kaltim)
Air baku dan illegal logging
15.
DAS Jeneberang
Penyediaan air baku dan pengendalian sedimen
16.
DAS Walanae Cenranae
Konservasi DAS dan danau Tempe
17.
DAS Sambas (Kalbar)
Konservasi dan rehabilitasi hutan
18.
DAS Barito (Kalteng)
Konservasi DAS dan rehabilitasi hutan
19.
DAS Membramo (Papua)
Penataan ruang dan konservasi
20.
DAS Digul (Merauke)
Penyusunan pola pengelolaan sumberdaya air
21.
DAS Batanghari (Jambi)
penatan ruang, konservasi sumberdaya alam, penyelamatan hutan, perkebunan dan lahan
Sumber : GN – KPA, 2006
Tabel 2 Program GN - KPA jangka menengah tahun 2007-2009 No.
Nama DAS
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
DAS Ciujung Ciliman (Banten) DAS Jratun Seluna (Jawa Tengah) DAS Serayu Bogowonto (Jawa Tengah) DAS Krueng Aceh (NAD) DAS Indragiri (Riau) DAS Manna-Padang Guci Musi (Bengkulu) DAS Dodokan (NTB) DAS Kota Waringin (Kalteng) DAS Baubau-Wanca (Sultra) DAS Tondano (Sulut) DAS Tukad Unda (Bali)
Sumber : GN – KPA, 2006
Kegiatan -
15
Tabel 3 Program GN - KPA jangka panjang tahun 2009-2025 No 1.
Nama DAS
Kegiatan
DAS Krueng Peusangan (NAD)
-
2.
DAS Lau Renun (Sumut)
-
3.
DAS Nias, Kepulauan (Sumut)
-
4.
DAS Kampar (Riau)
-
5.
DAS Rokan (Riau)
-
6.
DAS Kuantan (Riau)
-
7.
DAS Kampar Kanan (Riau)
-
8.
DAS Cipunegara (Jabar)
-
9.
DAS Kali Garang (Jateng)
-
10.
DAS Kali Bodri (Jateng)
-
11.
DAS Bribin (DIY)
-
12.
DAS Pasiraman (Jatim)
-
13.
DAS Rejoso (Jatim)
-
14.
DAS Sampean (Jatim)
-
15.
DAS Noelmina (NTT)
-
16.
DAS Aisissa (NTT)
-
17.
DAS Kambaheru (NTT)
-
18.
DAS Lois (NTT)
-
19.
DAS Billa (Sulsel)
-
20.
DAS Saddang (Sulsel)
-
21.
DAS Lasolo (Sultra)
-
22.
DAS Poso (Sulteng)
-
23.
DAS Lamboru (Sulteng)
-
24.
DAS Limboto (Sulut)
-
25.
DAS Dumoga (Sulut)
-
26.
DAS Hatu Tengah (Maluku)
-
27.
DAS Baliem (Papua)
-
Sumber : GN – KPA, 2006
2.3. Rehabilitasi Hutan dan Lahan Hutan hujan tropis Indonesia yang menduduki posisi ketiga setelah Brazil dan Zaire yang pada saat ini sedang mengalami degradasi dikarenakan tingkat deforestasi yang sangat tinggi. Kerusakan hutan semakin lama semakin meningkat. Sebelum tahun 1997 tingkat kerusakan hutan sekitar 800.000-900.000 ha per tahun, meningkat menjadi 3,8 juta ha pada tahun 2003 (Siahaan, 2007).
16
Pemerintah cq. Departemen Kehutanan telah memberikan perhatian yang serius terhadap kerusakan hutan tersebut, antara lain dengan telah terbentuknya Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) yang berfungsi untuk memperbaiki kondisi hutan dan lahan yang mengalami degradasi. Selama lima tahun (2003-2007) pemerintah telah melaksanakan kegiatan gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan (GN-RHL) seluas 1.241.173 ha. (Departemen Kehutanan, 2007). Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Rehabilitasi Hutan dan Lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Rehabilitasi hutan dan lahan pada umumnya diselenggarakan dengan cara penerapan teknik konservasi secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan-lahan kritis dan lahan tidak produktif yang berada di wilayah hulu DAS. Namun demikian cara penerapan program rehabilitasi harus disesuaikan dengan lingkungan dimana program rehabilitasi tersebut dilaksanakan. Menurut Asdak (2004) metode rehabilitasi untuk lahan hutan biasanya menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut : 1.
Menghilangkan atau membatasi faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan sumberdaya hutan atau lahan hutan.
2.
Memperluas atau mempertahankan vegetasi, terutama pada lahan-lahan yang tidak atau kurang ditumbuhi vegetasi.
3.
Memisahkan aliran air (hujan) dari jalan hutan dengan cara membuat sistem drainase pada jalan tersebut.
4.
Menutup jalan-jalan hutan yang tidak direncanakan dengan baik atau tidak dilengkapi dengan saluran-saluran pembuangan air. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut maka untuk rehabilitasi hutan dan lahan
di wilayah DAS yang lebih sesuai adalah dengan menghilangkan atau membatasi faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan dan lahan disertai dengan memperluas
atau
mempertahankan
vegetasi
yang
ada.
Trison
(2005)
mengemukakan tiga pendekatan untuk mengatasi degradasi dan mempercepat proses pemulihan ekosistem (recovery). Pertama, adalah restorasi (restoration)
17
yang didefinisikan sebagai upaya untuk memulihkan kembali (recreate) ekosistem hutan aslinya melalui penanaman dengan jenis tanaman asli yang ada pada kawasan atau lahan tersebut sebelumnya. Kedua, melalui rehabilitasi yang diartikan sebagai penanaman hutan dengan jenis asli dan jenis exotic. Dalam hal ini tidak ada upaya untuk menata ulang ekosistem asli. Tujuannya hanya untuk mengembalikan hutan pada kondisi stabil dan produktif. Oleh karena itu ekosistem hutan yang terbentuk adalah campuran termasuk jenis asli. Ketiga, adalah reklamasi yang berarti penggunaan jenis-jenis exotic untuk menstabilkan dan meningkatkan produktivitas ekosistem hutan. Dalam hal ini tidak ada sama sekali upaya perbaikan biodiversitas asli dari areal yang terdegradasi. Permasalahan rehabilitasi hutan dan lahan dalam konteks DAS adalah degradasi lahan dan erosi. Pemilihan teknik rehabilitasi tergantung pada sifat DAS yang antara lain adalah sifat dan bentuk tanah serta masyarakat yang ada di dalamnya. Tanah yang berlereng curam mungkin tidak sesuai jika digunakan untuk tanaman semusim, karena disamping sistim pengolahan semusim dapat menyebabkan
tanah
menjadi
mudah
tererosi,
juga menyulitkan
dalam
pengelolaannya. Oleh karena itu jenis tanaman yang lebih cocok adalah jenis tanaman keras (tahunan). Rehabilitasi hutan dan lahan juga harus disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat, misalnya kepemilikan tanah, pengetahuan, penghasilan dan jumlah tenaga kerja. Sebagaimana dikatakan oleh Agus dan Widianto (2004) bahwa tindakan konservasi yang mudah diterima petani adalah tindakan yang memberi keuntungan jangka pendek dalam bentuk peningkatan hasil panen dan peningkatan pendapatan, terutama untuk petani yang status penguasaan lahannya tidak tetap. Kegiatan konservasi yang akan diterapkan seharusnya dipilih oleh petani dengan fasilitas penyuluh. Petani paling berhak mengambil keputusan untuk kegiatan yang akan dilakukan pada lahan mereka. Keberhasilan tindakan konservasi akan semakin mudah dicapai apabila masyarakat yang diharapkan berpartisipasi mengerti permasalahan yang akan dipecahkan dan manfaat dari tindakan tersebut.
18
2.4. Partisipasi Masyarakat Perubahan paradigma sistem pengelolaan kebijakan dari top down ke buttom up sudah banyak diterapkan. Dalam beberapa hal, masyarakat sudah mulai dipandang sebagai bagian integral dari pengelolaan suatu kebijakan. Masalah rehabilitasi hutan dan lahan merupakan salah satu kebijakan konservasi sumberdaya alam yang tidak bisa dilepaskan dari peran dan keberadaan masyarakat setempat. Dalam pasal 5 sampai dengan pasal 7 UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah diciptakan landasan hukum bagi eksistensi sosial dan partisipasi masyarakat. Demikian juga dalam pasal 67 sampai dengan pasal 70 UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, memberikan landasan hukum pengakuan masyarakat dalam konteks ekosistem hutan. Iklim ini menunjukkan begitu pentingnya peran masyarakat dalam pengelolaan kebijakan lingkungan hidup. Kekuatan, kemampuan dan keikutsertaan masyarakat dalam proses pengelolaan kebijakan itulah yang disebut dengan istilah partisipasi masyarakat. Menurut Adisasmita (2006), partisipasi berarti prakarsa, peran aktif dan keterlibatan semua pelaku pembangunan termasuk penyedia dan penerima pelayanan, serta lingkungan sosialnya dalam pengambilan keputusan, perumusan rencana, pelaksanaan kegiatan dan pemantauan pelaksanaan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Selanjutnya Adisasmita (2006) mendefinisikan partisipasi anggota masyarakat adalah keterlibatan anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementasi) program/ proyek pembangunan yang dikerjakan di dalam masyarakat lokal. Dalam konteks partisipasi masyarakat, definisi ini mengandung pengertian selain keterlibatannya, juga diperlukan adanya suatu prakarsa dan peran aktif dari masyarakat dalam pengambilan keputusan, baik pada tahap perencanaan maupun pada tahap pelaksanaan program. Seringkali partisipasi masyarakat hanya diukur dari jumlah kehadiran dalam suatu pertemuan. Mereka dikumpulkan hanya sebagai formalitas dalam program-program partisipasi tanpa adanya hak berpendapat dan keterlibatan secara aktif dalam setiap pengambilan keputusan. Oleh karena itu pelaksanaan program sering tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
19
Partisipasi sebagai strategi kebijakan dimaksudkan sebagai upaya atau tindakan dalam perumusan dan implementasi berbagai program pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat agar dapat terlaksana secara reliable, acceptable, implementable, dan workable (Adisasmita, 2006). Pengertian reliable adalah program-program yang dirumuskan meyakinkan dan terpercaya karena dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat. Acceptable artinya dapat diterima oleh masyarakat luas karena program yang akan diimplementasikan disusun dan dirumuskan oleh, dari dan untuk anggota masyarakat setempat secara bersama-sama. Implementable artinya program-program dapat diimplementasikan karena disusun oleh masyarakat berdasarkan potensi, kondisi dan kemampuan yang dimilikinya sehingga sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Workable atau dapat dikerjakan masyarakat setempat, artinya bilamana ada hambatan atau kekurangan dalam implementasinya, maka dapat diatasi dengan partisipasi anggota masyarakat setempat (Adisasmita, 2006). Menurut Baharsjah (1999) ada dua pengertian partisipasi masyarakat yang merupakan pusat dari proses pembangunan sosial. Pertama, partisipasi masyarakat sebagai tujuan sentral dari pembangunan sosial, yaitu terciptanya masyarakat yang aktif mengambil bagian dalam semua aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Pengertian ini juga mencakup pemacuan keterlibatan seluruh warga masyarakat untuk mengambil peran dan sekaligus menikmati hasil-hasilnya. Kedua, partisipasi lebih menitik beratkan pentingnya keikutsertaan masyarakat secara ekonomi, sosial, budaya atau politik. Pada saat ini program-program pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam banyak menggunakan pendekatan-pendekatan partisipatif. Hal ini dapat dilihat dalam produk-produk hukum yang telah mencantumkan hak, kewajiban, dan peran serta masyarakat, seperti UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ( Bab III, pasal 7), UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Bab IX, pasal 70) dan masih banyak lagi produk-produk hukum yang mensyaratkan keterlibatan masyarakat. Proses ini sangat berarti bagi pengelolaan lingkungan
dan
sumberdaya
alam
di
masa-masa
mendatang,
karena
memungkinkan dikembangkannya pendekatan partisipatif yang dapat merealisir
20
hak-hak masyarakat yang selama ini lebih banyak dikuasai oleh pemerintah dengan sistem kebijakan top down nya. Ada beberapa alasan yang diberikan dalam penyertaan peran masyarakat, sebagaimana dikatakan oleh Mitchell dan Setiawan (2000) bahwa melalui konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan terkena kebijakan, program, atau proyek, dimungkinkan untuk (1) merumuskan persoalan dengan lebih efektif, (2) mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah, (3) merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima, dan (4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan. Meskipun pendekatan partisipatif mungkin memerlukan waktu lebih lama pada tahap-tahap awal perencanaan dan analisis, di dalam proses selanjutnya, pendekatan ini akan mengurangi atau menghindari adanya pertentangan. Pengertian partisipatif menurut Daniel et al. (2006) adalah pengambilan bagian/ pengikutsertaan atau masyarakat terlibat langsung dalam setiap tahapan proses pembangunan mulai dari perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) sampai kepada monitoring dan evaluasi (controlling). Selanjutnya Daniel et al. (2006) mengatakan bahwa tingkat partisipasi dalam masyarakat tidak sama tergantung sejauh mana keterlibatan mereka dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Sebagai contoh : (1) masyarakat bertanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan dari program pemerintah; (2) anggota masyarakat ikut menghadiri pertemuan-pertemuan perencanaan, pelaksanaan, dan pengkajian ulang proyek namun sebatas pendengar semata; (3) anggota masyarakat terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan tentang cara melaksanakan sebuah proyek dan ikut menyediakan bantuan serta bahan-bahan yang dibutuhkan dalam proyek; (4) anggota masyarakat terlibat secara aktif dalam semua tahapan proses pengambilan keputusan, yang meliputi perencanaan sebuah program, pelaksanaan, pengawasan dan monitoring. Dari keempat contoh tersebut, tingkatan partisipasi masyarakat yang tinggi secara berturut-turut adalah pada contoh kasus No. 4, 3, 1 dan 2. Bentuk-bentuk pengambilan bagian atau pengikutsertaan keterlibatan langsung) masyarakat
21
dalam pembangunan pertanian dapat berupa : pengambilan keputusan bersama pada semua aktivitas, belajar bersama, bertanggung jawab bersama, menerima manfaat bersama, melakukan monitoring, dan evaluasi bersama-sama. Seperti halnya dengan Mitchell dan setiawan (2000), Daniel et al. (2006) juga mengatakan bahwa pendekatan partisipatif memberikan keuntungan, antara lain : orang-orang akan lebih energik, lebih komit, dan lebih bertanggung jawab bila mereka mengontrol lingkungan sendiri dibanding hal itu dilakukan oleh suatu ”kewenangan” dari luar. Komitmen dan tanggung jawab dalam berpartisipasi adalah (1) masyarakat lebih punya komitmen terhadap anggotanya daripada sistem pelayanan terhadap kliennya; (2) masyarakat lebih mengerti masalahmasalahnya daripada para profesional pelayanan; (3) masyarakat lebih fleksible dan kreatif daripada birokrasi besar; (4) masyarakat lebih mudah daripada profesional pelayanan; (5) masyarakat lebih efektif menguatkan standar sikap/ perilaku daripada birokrasi atau para profesional pelayanan; (6) lembaga-lembaga dan
para
profesional
menawarkan
pelayanan,
masyarakat
menawarkan
kepedulian; (7) sistem pelayanan berfokus pada apa yang kurang, masyarakat berfokus pada kapasitas. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh tentang kondisi partisipasi masyarakat adalah dengan memaparkan mekanisme, derajat, dan efektifitas partisipasi masyarakat. Mekanisme partisipasi merupakan media atau saluran yang dapat digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk menjalankan aktifitas partisipasinya. Sementara itu, derajat partisipasi merupakan upaya membandingkan mekanisme partisipasi yang berjalan tersebut dengan tangga partisipasi. Selanjutnya efektifitas partisipasi digunakan untuk menjelaskan apakah mekanisme dan aktivitas yang sudah berjalan telah mampu memuaskan stakeholders terhadap partisipasi masyarakat. Masyarakat petani pedesaan di sekitar DAS pada umumnya mempunyai karakteristik sosial ekonomi yang hampir sama, yaitu adanya keterbatasanketerbatasan,
seperti
penghasilan,
kepemilikan
tanah,
pendidikan
dan
keterampilan, namun pemahaman terhadap konsep partisipasi masing-masing masyarakat mungkin berbeda. Di dalam konsep partisipasi dibutuhkan pemahaman bahwa sesungguhnya partisipasi adalah merupakan pelimpahan hak-
22
hak kekuasaan kepada masyarakat dalam pengambilan suatu keputusan. Pemahaman inilah yang harus disikapi oleh masyarakat secara positif. Arenstein (1969) mengatakan bahwa partisipasi masyarakat adalah: “A categorical terms for citizen power. It is the redistribution of power that enables the have not citizens, presently excluded from the political and economic processes, to deliberately include in the future.” Definisi ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat sebenarnya merupakan suatu kategori istilah kekuasaan masyarakat. Partisipasi sesungguhnya adalah pendistribusian kembali kekuasaan dari kekangan proses politik dan ekonomi untuk kemudian bebas menentukan masa depannya. Berdasarkan hal tersebut Arenstein (1969) mengidentifikasi tingkatan partisipasi masyarakat menjadi delapan tangga/tingkatan (level), mulai dari tanpa partisipasi sampai dengan pendelegasian kewenangan untuk mengawasi. Delapan tingkatan partisipasi tersebut secara grafis disajikan pada Gambar 2.
8
Citizen Control
7
Delegated Power
6
Partnership
5
Placation
4
Consultation
3
Informing
2
Therapy
1
Manipulation
Citizen Power
Tokenism
Nonparticipation
Gambar 2 Delapan tingkatan partisipasi masyarakat menurut Arenstein (1969)
23
Pengertian dari masing-masing tingkatan partisipasi masyarakat menurut Arenstein (1969) adalah sebagai berikut : Pertama, partisipasi masyarakat pada tingkatan manipulasi (manipulation). Tingkat partisipasi ini merupakan tingkatan yang paling rendah karena masyarakat hanya dipakai namanya sebagai anggota dalam berbagai badan penasehat (advising board). Pada tingkatan ini, partisipasi masyarakat sebenarnya diselewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi oleh pihak penguasa dengan tujuan publik mengetahui bahwa masyarakat juga terlibat dalam proses pembangunan, bahkan sebagai badan penasehat. Kedua, partisipasi masyarakat pada tingkatan terapi (therapy). Tingkat partisipasi ini sebenarnya hanyalah kedok dengan melibatkan peran masyarakat dalam perencanaan. Para perencana atau perancang sebenarnya memperlakukan anggota masyarakat seperti dalam proses penyembuhan pasien penyakit jiwa dalam group therapy. Meskipun masyarakat terlibat dalam berbagai kegiatan, pada kenyataannya kegiatan tersebut lebih banyak untuk mengubah pola atau cara pikir masyarakat yang bersangkutan daripada mendapatkan masukan atau usulanusulan mereka. Ketiga, partisipasi masyarakat pada tingkatan pemberian informasi (informing). Pada tingkat ini pihak pelaksana pembangunan memberikan informasi kepada masyarakat tentang hak-haknya, tanggung jawabnya, dan berbagai pilihan yang dapat menjadi langkah pertama yang sangat penting dalam pelaksanaan peran masyarakat. Meskipun demikian, yang sering terjadi penekanannya lebih pada pemberian informasi satu arah dari pihak pemegang kuasa pelaksana pembangunan kepada masyarakat tanpa adanya kemungkinan untuk memberikan umpan balik atau kekuatan untuk negosiasi dari masyarakat. Dalam keadaan semacam itu, terutama bila informasi diberikan pada saat-saat terakhir perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mempengaruhi rencana program tersebut agar dapat menguntungkan mereka. Alat-alat yang sering dipergunakan untuk komunikasi satu arah adalah media berita, pamflet, poster, dan tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan. Pada tingkatan ini, tidak tercipta komunikasi dialogis atau komunikasi dua arah sehingga aspirasi dari bawah tidak tersalurkan dengan baik.
24
Keempat, partisipasi masyarakat pada tingkatan konsultasi (consultation). Pada tingkatan ini, pihak penyelenggara pembangunan menggali opini dan aspirasi setelah memberikan informasi kepada masyarakat. Akan tetapi, bila konsultasi dengan masyarakat tersebut disertai dengan cara-cara peran yang lain, cara ini tingkat keberhasilannya rendah, karena tidak adanya jaminan bahwa kepedulian dan ide masyarakat akan diperhatikan. Metode yang sering dipergunakan adalah attitude surveys atau survai tentang arah pikiran masyarakat, neighbourhood meeting atau pertemuan lingkungan masyarakat dan public hearing atau dengar pendapat dengan masyarakat. Kelima, partisipasi masyarakat pada tingkatan perujukan (placation). Pada tingkat ini, masyarakat mulai mempunyai beberapa pengaruh meskipun beberapa hal masih tetap ditentukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan. Dalam pelaksanaannya beberapa anggota masyarakat yang dianggap mampu dimasukkan sebagai anggota dalam badan-badan kerja sama pengembangan kelompok masyarakat yang anggota-anggota lainnya wakil-wakil dan berbagai instansi pemerintah. Dengan sistem ini usul-usul atau keinginan dari masyarakat terutama lapis bawah dapat diungkapkan. Namun demikian, seringkali suara dari masyarakat tersebut tidak diperhitungkan karena kemampuan dan kedudukannya yang relatif lebih rendah, atau jumlah mereka terlalu sedikit dibanding dengan anggota-anggota instansi pemerintah lain. Biasanya masyarakat pada tingkatan ini akan mengalami berbagai kekalahan dalam memperjuangkan keinginan dan aspirasi komunitasnya. Keenam, partisipasi masyarakat pada tingkat kemitraan (partnership). Pada tingkat ini, atas kesepakatan bersama, kekuasaan dalam berbagai hal dibagi antara pihak masyarakat dengan pihak pemegang kekuasaan. Dalam hal ini disepakati bersama untuk saling membagi tanggung jawab dalam perencanaan, pengendalian keputusan, penyusunan kebijaksanaan dan pemecahan berbagai masalah yang dihadapi. Setelah adanya kesepakatan tentang peraturan dasar tersebut, maka tidak dibenarkan adanya perubahan-perubahan yang dilakukan secara sepihak oleh pihak manapun. Pada tingkat ini posisi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan dalam penyelenggaraan pembangunan relatif egaliter (setara).
25
Ketujuh, partisipasi masyarakat pada tingkat pendelegasian kekuasaan (delegeted power). Pada tingkat ini, masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk membuat keputusan pada rencana atau program tertentu. Pada tahap ini, masyarakat mempunyai kewenangan untuk diperhitungkan bahwa programprogram yang akan dilaksanakan bermanfaat dari mereka. Untuk memecahkan perbedaan yang muncul, pemilik kekuasaan yang dalam hal ini adalah pemerintah harus mengadakan tawar-menawar dengan masyarakat dan tidak dapat memberikan tekanan-tekanan dari atas. Proses-proses pemberdayaan tampaknya semakin diaplikasikan pada tingkatan ini. Kedelapan, partisipasi peran masyarakat pada tingkat masyarakat yang mengontrol (citizen control). Pada tingkat ini, masyarakat memiliki kekuatan untuk mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Mereka mempunyai kewenangan penuh di bidang kebijaksanaan, aspekaspek pengelolaan dan dapat mengadakan negosiasi dengan pihak-pihak luar yang hendak melakukan perubahan. Dalam hal ini usaha bersama warga atau neighbourhood corporation dapat langsung berhubungan dengan sumber-sumber dana untuk mendapatkan bantuan atau pinjaman dana tanpa melewati pihak ketiga. Pada tingkat ini peran masyarakat dipandang tinggi karena mereka benarbenar memiliki posisi untuk melakukan bargaining dengan pihak kedua tanpa harus melalui apalagi meminta bantuan dari pihak ketiga. Selanjutnya Arenstein (1969) mengelompokkan delapan tingkatan partisipasi masyarakat menjadi tiga tingkatan menurut pembagian kekuasan, yaitu : (a)
Nonparticipation (tidak ada partisipasi / tingkatan partisipasi masyarakat rendah). Termasuk ke dalam kelompok ini adalah: manipulation dan therapy.
(b)
Tokenism ( tingkatan partisipasi masyarakat sedang). Termasuk dalam kelompok ini adalah : informing, consultation, dan placation.
(c)
Citizen power (tingkatan partisipasi masyarakat tinggi). Termasuk dalam kelompok ini adalah : partnership, delegated power, citizen control. Dari berbagai definisi dan konsep yang telah dikemukakan, nampaknya
semua mengarah kepada keterlibatan masyarakat di dalam proses pengambilan keputusan, bahkan menurut Arenstein (1969) tidak hanya terlibat saja namun
26
tingkatannya sampai dengan pendelegasian kekuasaan dan pengawasan. Satu hal yang perlu diingat bahwa efektif tidaknya program-program partisipasi masyarakat
ditentukan
oleh
kepercayaan,
komunikasi,
kesempatan
dan
fleksibilitas (Mitchell dan Setiawan, 2000). Upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh tentang kondisi partisipasi masyarakat adalah dengan memaparkan mekanisme, derajat, dan efektifitas partisipasi masyarakat. Mekanisme partisipasi merupakan media atau saluran yang dapat digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk menjalankan aktifitas partisipasinya. Sementara itu, derajat partisipasi merupakan upaya membandingkan mekanisme partisipasi yang berjalan tersebut dengan tangga partisipasi. Selanjutnya efektifitas partisipasi digunakan untuk menjelaskan apakah mekanisme dan aktivitas yang sudah berjalan telah mampu memuaskan stakeholders terhadap partisipasi masyarakat (Muluk, 2007). 2.5.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Masyarakat Untuk membangun partisipasi masyarakat perlu diperhatikan faktor-faktor
yang dapat menghambat dan mendorong keikut sertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Faktor-faktor penghambat tersebut dapat berasal dari dalam masyarakat maupun dari luar masyarakat. Dalam konteks konservasi, hambatan-hambatan tersebut oleh Suparmoko (1997) dibedakan menjadi hambatan fisik, hambatan ekonomi, hambatan kelembagaan dan hambatan teknologi. Hambatan fisik misalnya dalam hal pemanfaatan lahan di daerah lereng bukit maka harus dibuat teras terlebih dahulu, untuk itu diperlukan orang yang mempunyai kondisi fisik yang kuat. Hambatan ekonomi pada umumnya disebabkan karena kurangnya pendidikan, pengetahuan dan pendapatan, sehingga tidak memiliki akses permodalan. Hambatan kelembagaan karena mereka kurang memperhatikan manfaatnya, sedang hambatan teknologi adalah penyesuaian diri masyarakat dengan teknologi yang digunakan. Kartasasmita (1996) dalam bukunya pembangunan untuk rakyat menyatakan bahwa berbagai input seperti dana, prasarana dan sarana yang dialokasikan kepada masyarakat melalui berbagai program pembangunan harus ditempatkan sebagai rangsangan untuk memacu percepatan kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Proses ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas
27
masyarakat (capacity building) sebagai faktor pendorong meningkatkan kemampuan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Kurangnya dana, pendidikan, dan sumber-sumber lain, serta tingkat organisasi merupakan suatu ekspresi dari ketidak mampuan masyarakat untuk berpartisipasi (Mikkelsen, 2001). Beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Trison (2005), Gerung (2004), Matrizal (2005) dan Muis (2007) tentang partisipasi masyarakat, menujukan bahwa faktor umur, tingkat pendidikan, kepemilikan lahan, pendapatan, persepsi masyarakat, intensitas kegiatan sosialisasi program/ penyuluhan, ketersediaan sarana rehabilitasi, peran kelembagaan dan peran pendamping memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat partisipasi masyarakat. Konsepsi pemikiran tersebut menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor pendorong atau penghambat, baik yang berasal dari dalam masyarakat (faktor internal)
maupun yang ada di luar
masyarakat (faktor eksternal). Faktor internal dapat diujudkan dalam bentuk penyediaan tenaga, sumbangan pemikiran, penyediaan lahan, perilaku dan kesepakatan-kesepakatan anggota masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan. Sedangkan faktor eksternal dapat berupa dukungan pemerintah yang diujudkan dalam bentuk kegiatan sosialisasi program/ penyuluhan, penyediaan sarana dan prasarana rehabilitasi (dana, bibit dan pupuk), fasilitasi pembentukan lembaga sosial serta kegiatan pendampingan. Kedua faktor tersebut dapat berinteraksi menjadi suatu kegiatan yang bersifat partisipatif.
III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Sub DAS Keduang, daerah hulu DAS Bengawan Solo, dengan mengambil lokasi di sembilan Desa di Kabupaten Wonogiri yang menjadi project pilot implementasi program GN-KPA. Lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4 dan peta lokasi dapat dilihat pada Lampiran 1. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Desember 2008. Tabel 4 Lokasi penelitian No.
Nama Desa
Nama Kecamatan
1.
Desa Setren
Kecamatan Slogohimo
2.
Desa Sokoboyo
Kecamatan Slogohimo
3.
Desa Karang
Kecamatan Slogohimo
4.
Desa Pandan
Kecamatan Slogohimo
5.
Desa Watusomo
Kecamatan Slogohimo
6.
Desa Pingkuk
Kecamatan Jatiroto
7.
Desa Sumberejo
Kecamatan Jatisrono
8.
Desa Sembukan
Kecamatan Sidoharjo
9.
Desa Gemawang
Kecamatan Ngadirojo
3.2. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dalam bentuk survai, yaitu ”penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dengan menggunakan kuesioner dan wawancara sebagai alat pengumpulan data yang pokok” (Singarimbun dan Effendi, 1995). Melalui survai dijaring data (1) gambaran fenomena yang terjadi pada masyarakat berdasarkan fakta-fakta yang ada (deskriptif research); (2) hubungan antar variable melalui pengujian hipotesa (explanatory research); (3) pelaksanakan program sebagai umpan balik untuk memperbaiki pelaksanaan program selanjutnya (evaluatif research). 3.2.1. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota masyarakat petani di sembilan desa yang terlibat langsung dalam tindakan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air, termasuk anggota Kelompok Konservasi Tanah dan
29
Air (KKTA) yang sudah terbentuk di masing-masing desa. Jumlah anggota populasi dari sembilan desa tersebut adalah sebesar 1.653 orang petani. 3.2.1.1. Sampel untuk Identifikasi dan Uji Korelasi Untuk mengindentifikasi tingkat partisipasi masyarakat dan mengkaji hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat diambil sampel dari masing-masing desa secara acak proporsional (proportional random sampling). Dengan tingkat presisi sebesar 10%, maka berdasarkan rumus Taro Yamane dalam Riduwan (2006) : N n
= N.d + 1
Keterangan : n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi d = Presisi yang ditetapkan
didapatkan jumlah sampel sebesar 94 orang petani responden. Penetapan sampel dilakukan secara sistematik (systamatic random sampling), dimana hanya unsur pertama saja dari sampel yang dipilih secara acak, sedangkan unsur-unsur selanjutnya dipilih secara sistimatis menggunakan kerangka sampling.
Penetapan
sampel
secara
random
didasarkan
pada
pertimbangan bahwa ciri-ciri yang dikandung oleh Subjek penelitian dalam populasi relatif homogen (Arikunto, 2006). Ciri-ciri tersebut ditandai dengan : (1) Subjek penelitian dalam populasi terdiri dari para petani subsistence, (2) Subjek penelitian dalam populasi merupakan anggota masyarakat dengan budaya, cara hidup, dan organisasi sosial yang sama. 3.2.1.2. Sampel untuk Analisis Penentuan Alternatif Kebijakan Untuk menentukan alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat, diambil sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan memilih responden yang dianggap expert atau responden yang mengetahui secara mendalam mengenai permasalahan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang. Disamping itu responden juga mempunyai kemampuan dalam pembuatan kebijakan atau mampu memberi masukan kepada pengambil kebijakan. Jumlah sampel ditetapkan sebanyak 21 responden, terdiri
30
dari unsur pemerintah dan unsur masyarakat yang dianggap dapat mewakili. Sebaran penetapan sampel disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah dan sebaran sampel No.
Responden
Jumlah
Keterangan
(Orang)
1.
Petani
9
Masing-masing desa diambil 1 orang
2.
Ketua KKTA
9
Masing-masing desa diambil 1 orang
3.
Dinas PU
1
4.
Dinas Kehutanan
1
5.
Dinas Pertanian
1
Jumlah :
21
3.2.2. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif adalah data yang dinyatakan dalam bentuk kalimat, atau menunjukan perbedaan, rendah, sedang, tinggi. Data berjenjang ini ditransformasikan ke dalam data kuantitatif dengan memberikan simbol angka secara berjenjang, tingkatan rendah diberi angka 1, tingkatan sedang diberi angka 2, dan tingkatan tinggi diberi angka 3. Data kuantitatif adalah data yang dinyatakan dalam bentuk angka, baik yang berasal dari transformasi data kualitatif maupun dari asalnya sudah bersifat kuantitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah ( Nawawi, 2005 ) : (1)
Teknik observasi langsung, melalui pengamatan dan pencatatan fenomena yang terjadi secara langsung di tempat penelitian.
(2)
Teknik komunikasi langsung, melakukan kontak langsung secara lisan dengan pejabat/ petugas instansi-instasi terkait, para pakar dan anggota masyarakat petani yang menjadi responden untuk melakukan wawancara dengan menggunakan petunjuk wawancara (interview guide).
(3)
Teknik komunikasi tidak Langsung, menyampaikan pertanyaan tertulis berupa kuesioner kepada pejabat/ petugas instansi terkait, para pakar dan anggota masyarakat yang menjadi responden untuk dijawab secara tertulis.
(4)
Teknik dokumenter, menghimpun data dari buku-buku/ literatur, media massa, arsip-arsip, peraturan, dan Undang-undang yang berkaitan dengan
31
masalah penelitian. Data tersebut diperoleh dari perpustakaan, dan Instansi yang terkait seperti Kelurahan, Kecamatan, Pemerintah Daerah (Dinas PU, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan, Kantor Statistik dan Bappeda). 3.3.
Variabel Penelitian
3.3.1. Partisipasi Masyarakat (Y) Partisipasi masyarakat adalah tingkat keterlibatan anggota masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang. Partisipasi masyarakat dibagi ke dalam tiga tahap, yaitu : (1)
Tahap perencanaan (Y1) Ukuran atau indikator tingkat partisipasi masyarakat pada tahap
perencanaan meliputi kegiatan identifikasi masalah, penentuan lokasi,penentuan jenis tanaman, bangunan sipil, cara pelaksanaan kegiatan dan penetuan biaya yang dikatagorikan ke dalam :
Rendah ( nilai, < 9 )
Sedang ( nilai, 9 – 18 )
Tinggi ( nilai, >18 )
(2)
Tahap pelaksanaan ( Y2 ) Ukuran atau indikator tingkat partisipasi masyarakat pada tahap
pelaksanaan adalah keterlibatan responden dalam penyiapan lahan, pemeriksaan bibit tanaman, penanaman, pembersihan rumput/penyiangan, pemeliharaan tanama pembuatan bangunan sipil teknik, penyiapan sarana rehabilitasi dan penyediaan dana yang dikatagorikan ke dalam :
Rendah ( nilai, < 9 )
Sedang ( nilai, 9 – 18 )
Tinggi ( nilai, >18 )
(3)
Tahap evaluasi (Y3) Ukuran atau indikator tingkat partisipasi masyarakat pada tahap evaluasi
adalah pemantauan dan penilaian keberhasilan kegiatan, membantu memberikan informasi kepada tim evaluasi dan tim pendamping yang dikatagorikan ke dalam :
Rendah ( nilai, < 9 )
Sedang ( nilai, 9 – 18 )
Tinggi ( nilai, >18 )
32
3.3.2.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Masyarakat (X) Untuk mengkaji hubungan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat
partisipasi masyarakat digunakan variabel terikat (dependent variable) dan variabel bebas (independent variable). Variabel terikat adalah tingkat partisipasi masyarakat (Y), sedangkan variabel bebas adalah faktor-faktor yang diduga dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat (X), baik faktor internal maupun faktor eksternal. Variabel, indikator, parameter pengukuran dan kategori yang digunakan untuk menilai dan menguji hubungan faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada Lampiran 11. 3.3.2.1. Faktor Internal ( X-1 ) : Umur ( X1-1 )
(1).
Umur responden dinyatakan dalam tahun dan dibagi ke dalam 3 kelompok yang dikatagorikan ke dalam :
Rendah ( umur < 15 th )
Sedang ( umur 15 – 65 th )
Tinggi ( umur >65 th ) Tingkat pendidikan ( X1-2 )
(2).
Tingkat pendidikan adalah pendidikan formal terakhir dari responden yang
dikelompokan ke dalam: tidak tamat SD, Tamat SD, SLTP, SLTA,
Akademi dan Perguruan Tinggi yang dikatagorikan ke dalam :
Rendah ( nilai, 1 )
Sedang ( nilai, 2 )
Tinggi ( nilai, 3 )
(3).
Luas lahan ( X1-3 ) Luas lahan diukur dari luas lahan yang dimiliki atau digarap responden,
dinyatakan dalam ha dan dikatagorikan ke dalam :
Rendah ( luas < 0,3 ha )
Sedang ( luas 0,3 – 1.0 ha )
Tinggi ( luas >1,0 ha )
(4).
Pendapatan ( X1-4 ) Pendapatan adalah jumlah seluruh penghasilan rata-rata per bulan
responden yang dinyatakan dalam rupiah dan dikatagorikan ke dalam :
33
Rendah ( pendapatan < Rp. 500.000,- )
Sedang ( pendapatan Rp. 500.000,- - Rp. 1.000.000,- )
Tinggi ( pendapatan > Rp. 1.000.000,- )
(5).
Persepsi ( X1-5 ) Persepsi adalah pandangan dan penilaian responden terhadap program
kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air, yang dibagi ke dalam tahap perencanaan, tahap pelaksanaan dan tahap evaluasi.
Rendah ( nilai, < 3 )
Sedang ( nilai, 3 – 4 )
Tinggi ( nilai, >4 )
3.3.2.2. Faktor Eksternal ( X2 ) : (1).
Intensitas sosialisasi program / penyuluhan ( X2-1 ) Intensitas sosialisasi program diukur dari jumlah atau frekuensi kegiatan
sosialisasi yang diberikan kepada responden baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi yang dikatagorikan ke dalam :
Rendah ( nilai, < 3 )
Sedang ( nilai, 3 – 6 )
Tinggi ( nilai, >6 )
(2).
Ketersediaan sarana rehabilitasi ( X2-2 ) Ketersediaan sarana rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya
air antara lain : peralatan kerja, bahan/material bibit tanaman, pupuk dan dana yang dikategorikan ke dalam :
Rendah ( nilai, < 3 )
Sedang ( nilai, 3 – 4 )
Tinggi ( nilai, >4 )
(3).
Peran lembaga sosial ( X2-3 ) Lembaga sosial mempunyai peran yang penting dalam mendorong
partisipasi masyarakat. Peran lembaga sosial ini tercermin dalam dukungannya kepada masyarakat yang dikatagorikan ke dalam :
Rendah ( nilai, < 3 )
Sedang ( nilai, 3 – 4 )
Tinggi ( nilai, >4 )
34
(4).
Peran pendamping ( X2-4 ) Peran petugas pendamping menyangkut frekuensi kunjungan, tingkat
keterlibatan dalam kegiatan dan pembinaan. Pengelompokan didasarkan pada jawaban kuesioner yang dikatagorikan ke dalam :
Rendah ( nilai, < 3 )
Sedang ( nilai, 3 – 4 )
Tinggi ( nilai, >4 )
3.4.
Analisis Data
3.4.1. Tingkat Partisipasi Masyarakat Untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air digunakan konsep partisipasi dari Arenstein (1969) yang membagi ke dalam delapan tingkatan partisipasi dengan tiga kelompok tingkatan pembagian kekuasaan, yaitu : (1)
Nonparticipation (tingkatan partisipasi masyarakat rendah). Termasuk di dalam tingkatan ini adalah : (a) manipulation, dan (b) therapy.
(2)
Tokenism (tingkatan partisipasi masyarakat sedang). Termasuk di dalam tingkatan ini adalah : (a) informing, (b) consultation, dan (c) placation.
(3)
Citizen power (tingkatan partisipasi masyarakat tinggi). Termasuk di dalam tingkatan ini adalah : (a) partnership, (b) delegated power, dan (c) citizen control. Kedelapan kriteria tersebut digunakan untuk mengukur tingkat partisipasi
masyarakat pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air. Data dari hasil wawancara dan jawaban kuesioner ditransformasi kedalam data kuantitatif, kemudian dihitung jumlah dan prosentasenya dengan cara tabulasi yang disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi. Penentuan interval kelas pada masing-masing tingkatan partisipasi (rendah, sedang, tinggi) menggunakan rumus Nasir (1985) sebagai berikut :
k= R I Keterangan :
k = interval kelas I = jumlah interval kelas R = range
35
3.4.2. Hubungan Faktor Internal dan Eksternal Masyarakat denganTingkat Partisipasi Masyarakat Untuk mengkaji hubungan antar faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat digunakan analisis statistik dengan metode korelasi Spearman Rank. Metode ini digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan diantara variabel dengan partisipasi masyarakat menggunakan rumus sebagai berikut (Riduwan, 2006) :
Keterangan : rs = di = n =
koefisien korelasi peringkat adalah ukuran bagi hubungan antara variabel terikat X (tingkat partisipasi masyarakat) dan variabel bebas Y (faktor internal dan eksternal) selisih antara peringkat x dan y jumlah pasangan data
Proses data dilakukan dengan bantuan komputer menggunakan software statistical program for social science (SPSS) versi 14. 3.4.3. Peningkatan Partisipasi Masyarakat Untuk menentukan alternatif kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat digunakan model analytic hierarchy process (AHP). Model ini digunakan untuk menentukan alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat dengan menggunakan bentuk hirarki sesuai dengan tujuan, aktor, faktor pendukung dan alternatif kebijakan. Hirarki disusun untuk memahami masalah yang akan diuraikan ke dalam elemen-elemen yang bersangkutan, kemudian menyusun elemen-elemen tersebut secara hirarkis dan dengan bantuan komputer software AHP dilakukan penilaian atas elemen-elemen untuk menentukan keputusan yang akan diambil. Langkah-langkah dalam penyusunan model AHP adalah sebagai berikut (Saaty dan Vargas, 1994) :
36
(1)
Menyusun Hirarki Langkah awal dalam penyusunan hirarki ini adalah menentukan tujuan
utama, yaitu strategi peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air yang ditempatkan pada level puncak (fokus). Tingkatan berikutnya adalah aktor pendukung tujuan utama, yaitu pemerintah, dan masyarakat yang ditempatkan pada level ke dua. Pada level ketiga disusun kriteria-kriteria esensial yang berkaitan dengan tingkat partisipasi masyarakat. Selanjutnya pada level ke empat disusun alternatif prioritas kebijakan yang akan dipilih untuk menentukan strategi peningkatan partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang. (2)
Melakukan banding berpasang Untuk membuat pembandingan berpasang dibuat sebuah matriks. Dalam
matrik ini, pasangan-pasangan elemen dibandingkan dengan kriteria di tingkat lebih tinggi dengan memasukkan nilai-nilai kebalikannya serta memasukan bilangan 1 sepanjang diagonal utama matriks sebagaimana disajikan
dalam
Tabel 6. Untuk mengisi nilai-nilai dalam matriks banding berpasang digunakan bilangan yang menggambarkan relatif pentingnya suatu elemen di atas yang lainnya dengan skala banding berpasang sebagaimana disajikan pada Tabel 7. (3)
Menetapkan prioritas Dalam menetapkan prioritas digunakan komposisi secara hirarkis untuk
membobotkan vektor-vektor prioritas dengan bobot kriteria-kriteria, kemudian menjumlahkan semua prioritas terbobot dengan prioritas tingkat di bawahnya. Hasilnya adalah vektor prioritas menyeluruh untuk tingkat hirarki paling bawah. Tabel 6 Matrik pembandingan berpasang (pairwise comparison) C
A1
A1
1
A2
.
.
Aj
1
A2 . . Aj Sumber : Saaty dan Vargas, 1994
1 1 1
37
Tabel 7 Skala banding berpasang Intensitas pentingnya
Definisi
1.
Kedua elemen sama pentingnya
3.
Elemen yang satu sedikit lebih penting dibanding yang lainnya
5.
Elemen yang satu esensial atau sangat penting dibanding elemen yang lainnya
7.
Satu elemen jelas lebih penting dibanding elemen yang lainnya
9.
Satu elemen mutlak lebih penting dibanding elemen yang lainnya
2,4,6,8
Nilai-nilai antara di antara dua pertimbangan yang berdekatan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan
Kebalikan
aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikkannya bila dibandingkan dengan i.
Sumber : Saaty dan Vargas, 1994
(4)
Memeriksa konsistensi Memeriksa konsistensi dilakukan dengan cara mengalikan setiap indeks
konsistensi dengan prioritas kriteria bersangkutan dan menjumlahkan hasil kalinya. Pengukuran dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah mengukur konsistensi setiap matrik perbandingan dan tahap kedua mengukur konsistensi keseluruhan hirarki. Rasio konsistensi hirarki harus di bawah 10%.
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak dan luas wilayah Sub DAS Keduang Sub DAS Keduang daerah hulu DAS Bengawan Solo, secara administratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah, terletak antara 7032' - 8012' LS dan 11004' sampai 111018' BT (peta lokasi pada Lampiran 1). Daerah ini berada di atas jalur yang tidak stabil yaitu antara patahan shield Sunda dan Asia, dan dinding Sahul dari daratan Gondwana. Disamping Sub DAS Keduang, DAS Bengawan Solo memiliki enam Sub DAS lainnya, yaitu Sub DAS Tirtomoyo, Sub DAS Temon, Sub DAS Bengawan Solo Hulu, Sub DAS Alang, Sub DAS Wuryantoro dan sungai-sungai kecil lainnya yang mengalir masuk ke dalam Waduk Gajah Mungkur (Waduk Wonogiri). Dari ketujuh Sub DAS tersebut, Sub DAS Keduang memiliki wilayah terluas mencapai 426 km2 atau sebesar 33,8% dari seluruh wilayah DAS Bengawan Solo. Luas masing-masing Sub DAS disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Luas masing-masing Sub DAS Bengawan Solo No.
Sub DAS
luas (km2)
(%)
200
15,9
69
5,5
1.
Bengawan Solo Hulu
2.
Temon
3.
Alang-Unggahan
235
18,7
4.
Tirtomoyo / Wiroko
206
16,3
5.
Wuryantoro
73
5,8
6.
Keduang
426
33,8
7.
Lainnya
51
4,0
1.260
100,0
Jumlah :
Sumber : CDMP Study for Bengawan Solo River Basin, 2000
Sub DAS Keduang terletak dalam wilayah administratif Kecamatan Slogohimo, Jatiroto, Jatisrono, Sidoharjo dan Ngadirojo. Sub DAS Keduang merupakan salah satu Sub DAS dari daerah tangkapan Waduk Wonogiri dengan pola aliran utama berbentuk denritik di utara dan tralis di bagian selatan. Gradien
39
sungai utama sebesar 5,73 persen dan kemiringan rata-rata Sub DAS-nya sebesar 21,05 persen sedangkan bentuknya membulat. 4.2. Penggunaan Lahan Total luas lahan di lokasi penelitian (sembilan desa) adalah 5.643,8 ha dimana sebagian besar ( 53,7%) adalah lahan tanah kering dan 26,7% adalah hutan. Sisanya merupakan lahan sawah 11,8%, lahan tadah hujan 3,9% dan lainlain 3,9%. Luas penggunaan lahan masing-masing desa disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Luas penggunaan lahan per desa. Sawah No.
Tanah kering (ha)
Hutan
Lain-lain
Jumlah
(ha)
Tadah hujan (ha)
(ha)
(ha)
(ha)
516,0
97,7
1.000,2
Nama Desa
1.
Setren
64,7
-
323,8
2.
Sokoboyo
65,2
-
340,5
-
27,9
433,6
3.
Karang
69,6
-
213,2
-
18,4
301,2
4.
Pandan
114,6
-
252,4
45,9
13,1
426,0
5.
Watusumo
72,2
-
117,2
24,7
6,7
220,8
6.
Pingkuk
95,0
21,9
279,4
65,0
1,7
463,0
7.
Sumberejo
46,8
3,7
217,5
-
15,7
283,7
8.
Sembukan
8,0
153,0
569,5
503,0
39,5
1.273,0
9.
Gemawang
131,2
43,3
717,8
350,0
-
1.242,3
:
667,3
221,9
3.031,3
1.504,6
220,7
5.643,8
Persentase :
11,8%
3,9%
53,7%
26,7%
3,9%
100,0%
Total
Sumber : Diolah dari Monografi Desa, 2008.
4.3.
Potensi Erosi Sembilan desa yang tersebar di lima kecamatan terletak di wilayah Sub
DAS Keduang. Desa Setren, Sokoboyo, Karang, Pandan dan Watusomo terletak di bagian hulu Sub DAS Kedaung. Desa Sumberejo dan Pingkuk terletak di bagian tengah sedangkan desa Sembukan dan Gemawang terletak di bagian hilir. Desa-desa tersebut merupakan daerah perbukitan dengan jenis tanah hampir seluruhnya latosol merah yang kekuningan yang rawan erosi pada waktu musim hujan.
40
Hasil pemetaan yang dilakukan oleh LSM Persepsi dan JICA (2006), menunjukkan bahwa ke sembilan desa tersebut merupakan daerah rawan erosi tanah. Desa Setren, Desa Karang, dan Desa Sokoboyo yang terletak di daerah hulu Sub DAS Keduang memiliki 37 titik rawan erosi. Desa Pandan, Desa Watusumo, Desa Sumberejo dan Desa Pingkuk yang terletak di daerah tengah memiliki 45 titik rawan erosi. Sedangkan Desa Sembukan dan Desa Gemawang yang terletak di daerah hilir Sub DAS Keduang memiliki 37 titik rawan erosi. Tanah yang terkikis pada waktu hujan masuk ke dalam sungai keduang yang akhirnya masuk ke dalam waduk Gajah Mungkur menjadi sedimentasi. Titik-titik rawan erosi tersebut tersebar di masing-masing desa sebagaimana disajikan pada Tabel 10 dan peta lokasi erosi dapat dilihat pada Lampiran 1 sampai dengan 10. Tabel 10 Jumlah daerah titik rawan erosi pada masing-masing desa No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Daerah rawan erosi
Luas wilayah (ha)
Jumlah (titik)
Daerah Hulu Desa Setren Desa Sokoboyo Desa Karang Daerah Tengah Desa Pandan Desa Watusumo Sumberejo Desa Pingkuk Daerah Hilir Desa Sembukan Desa Gemawang
1.273,0 1.242,3
37 12 14 11 45 11 16 5 13 37 20 17
Jumlah :
5.643,8
119
1.002,2 433,6 301,2 426,0 220,8 283,7 463,0
Sumber : Persepsi dan JICA, 2007.
4.4. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kondisi sosial ekonomi masyarakat di lokasi penelitian pada umumnya masih terbatas. Hal ini tercermin antara lain dari tingkat pendidikannya yang pada umumnya masih rendah dan sebagian besar hidupnya menggantungkan pada usaha pertanian. Gambaran kondisi sosial ekonomi masyarakat tersebut adalah sebagai berikut :
41
4.4.1. Jumlah dan Umur Penduduk Jumlah penduduk dari sembilan desa 30.168 orang, terdiri dari laki-laki 14.939 orang dan perempuan 15.229 orang. Komposisi penduduk menurut jenis kelamin dan golongan umur di sembilan desa tersebut disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan golongan umur Golongan umur Laki - Laki
No. Desa
Perempuan
Jumlah
16Th
17-5Th
>56 Th
<16Th
7-55Th
>56 Th
Laki-laki
Perempuan
1.
Setren
491
891
182
486
895
185
1.564
1.566
2.
Sokoboyo
467
1.014
288
496
1.046
242
1.769
1.784
3.
Karang
447
1.099
262
372
997
437
1.808
1.806
4.
Pandan
622
769
324
649
726
346
1.715
1.721
5.
Watusumo
50
452
378
466
410
381
880
1.257
6.
Pingkuk
456
479
162
516
469
167
1.097
1.152
7.
Sumberejo
506
810
276
501
796
346
1.592
1.643
8.
Sembukan
742
865
667
701
980
346
2.274
2.027
9.
Gemawang
757
915
568
765
917
591
2.240
2.273
4.538
7.294
3.107
4.952
7.236
3.041
14.939
15.229
15,0%
24,2 %
10,3 %
16,5 %
24,0 %
10,0 %
49,5 %
50,5 %
Total
:
Persentase :
Sumber : Diolah dari Monografi Desa, 2008.
Tabel 11 menunjukkan bahwa jumlah penduduk terbesar menurut golongan umur adalah penduduk yang berumur antara 17-55 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Penduduk laki-laki yang berumur antara 17-55 tahun berjumlah 7.294 orang (24,2 %) dan perempuan 7.236 orang (24,0%). Penduduk laki-laki yang berumur kurang dari 16 tahun adalah sebesar 4.538 orang (15%) dan perempuan sebesar 4.952 orang (16,5%), sedangkan jumlah penduduk lakilaki yang berumur lebih dari 56 tahun adalah sebesar 3.107 orang (10,3%) dan perempuan sebesar 3.041 orang (10%).
42
4.4.2. Mata Pencaharian Pokok Mata pencaharian pokok penduduk yang berumur 10 tahun ke atas sebagian besar adalah Petani. Jumlah penduduk yang mempunyai mata pecaharian pokok petani (termasuk buruh tani) adalah sebesar 14.528 orang (64%), buruh bangunan dan industri sebesar 3.841 orang (17,0%), Pedagang sebesar 988 orang (4,4%), swasta sebesar 801 orang (3,5%) dan lain-lain sebesar 2.525 orang (11.1 %). Mata pencaharian pokok penduduk umur 10 tahun ke atas di sembilan desa disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Mata Pencaharian pokok penduduk umur 10 tahun ke atas Mata pencaharian pokok No.
Desa
1.
Petani
Swasta
Setren
1.610
70
25
55
43
1.803
2.
Sokoboyo
1.600
200
1.500
200
95
3.595
3.
Karang
1.850
4
55
18
58
1.985
4.
Pandan
1.383
178
539
85
639
2.824
5.
Watusumo
1.316
4
122
61
156
1.659
6.
Pingkuk
2.112
3
-
8
23
2.146
7.
Sumberejo
820
288
593
216
1.356
3.273
8.
Sembukan
850
29
520
300
130
1.829
9.
Gemawang
2.987
25
487
45
25
3.569
:
14.528
801
3.841
988
2.525
22.683
Persentase :
64,0%
3,5%
17,0%
4,4%
11,1%
100%
Total
Buruh
Pedagang
Lain-lain
Jumlah
Keterangan :
Petani Swasta Buruh Lain-lain Sumber
: Petani Sendiri dan Buruh Tani : Pengusaha besar, sedang dan kecil : Buruh Bangunan dan Buruh Industri : ABRI, PNS, Pensiunan dll. : Diolah dari Monografi Desa, 2008
Tabel 12 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk bermata pencaharian pokok petani, dengan usaha sampingan sebagai pedagang, pertukangan, dan peternakan. Dari jumlah seluruh petani yang ada, petani yang terlibat langsung dengan kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber
43
daya air adalah sebesar 1.653 orang yang tersebar di sembilan desa. Komposisi petani per desa disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Distribusi jumlah petani yang terlibat dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan sumber daya air No.
Desa
Jumlah (orang)
1.
Setren
172
2.
Sokoboyo
195
3.
Karang
198
4.
Pandan
188
5.
Watusumo
117
6.
Pingkuk
123
7.
Sumberejo
177
8.
Sembukan
236
9.
Gemawang
247
Total :
1.653
Sumber : KKTA, 2008.
4.4.3. Kelembagaan Sosial Lembaga sosial yang ada di sembilan desa pada saat ini antara lain kelompok tani, kelompok jati, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Lembaga-lembaga tersebut pada saat ini kurang aktif, namun beberapa lembaga masih dirasakan bermanfaat bagi masyarakat setempat. Lembaga yang masih aktif adalah kelompok jati dan LSM yang kegiatannya menampung program-program GNRHL. Kegiatan yang dilakukan oleh lembaga ini antara lain mengkoordinir pembelian pupuk dan benih secara bersama, membantu pembangunan desa, memberikan penyuluhan dan menyediakan pupuk organik. Lembaga-lembaga sosial yang lain pada umumnya hanya aktif pada saat ada kegiatan yang bersifat keproyekan. Kondisi ini menyebabkan fungsi sebagai wahana pemberdayaan masyarakat menjadi tidak optimal. Disamping lembaga-lembaga sosial yang ada, dalam rangka implementasi program GN-KPA telah dibentuk Kelompok Konservasi Tanah dan Air (KKTA) di sembilan desa sebagai wahana untuk melaksanakan kegiatan rehabilitasi hutan,
44
lahan dan konservasi sumberdaya air di Sub DAS Keduang. Sruktur organisasi KKTA terdiri dari ketua, bendahara, sekretaris, seksi konservasi, seksi kelembagaan dan seksi pengembangan usaha. KKTA merupakan forum diskusi masyarakat dalam pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air. Selama ini KKTA dianggap banyak membantu para petani dalam kegiatan pendistribusian bibit tanaman bantuan dari pemerintah, mengkoordinir dan membantu pelaksanaan penanaman pohon serta membantu mengawasi pemeliharaan pasca tanam. Keberadaan lembaga ini masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya untuk dibahas pada saat forum pertemuan dengan para penentu kebijakan. Oleh karena itu lembaga ini diharapkan dapat berperan aktif membantu masyarakat dalam mendukung kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air di Sub DAS Keduang agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.
Karakteristik Internal dan Eksternal Masyarakat Karakteristik internal dan ekstenal masyarakat merupakan faktor-faktor
yang diduga mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat, baik yang ada di dalam masyarakat (faktor internal) maupun yang ada di luar masyarakat (faktor eksternal). 5.1.1.
Karakteristik Internal
5.1.1.1. Umur Umur berkaitan dengan kemampuan fisik seseorang. Umur merupakan variabel yang sering digunakan untuk menganalisis produktivitas tenaga kerja, angkatan kerja dan proporsi dari penduduk berusia produktif dalam suatu kegiatan. Penduduk muda berumur dibawah 15 tahun dianggap sebagai penduduk yang belum produktif karena secara ekonomis masih tergantung pada orang tua atau orang lain yang menanggungnya. Penduduk berumur di atas 65 tahun juga dianggap tidak produktif lagi sesudah melewati masa pensiun. Penduduk berumur 15-65 tahun adalah penduduk usia kerja (lebih dari 10 tahun) yang dianggap sudah produktif (BPS, 2006). Atas dasar konsep ini maka umur penduduk dibagi ke dalam tiga kelompok yang dikategorikan ke dalam rendah (umur<15 th), sedang (umur 15-65 th) dan tinggi (umur>65 th). Umur responden berkisar antara 25 sampai dengan 72 tahun dimana sebagian besar (83,0%) tergolong sedang. Kategori responden menurut umur disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Kategori responden menurut umur Kategori
Umur ( th )
Jumlah (orang )
(%)
Rendah
( < 15 )
0
0,0
Sedang
( 15-65 )
78
83,0
Tinggi
( > 65 )
16
17,0
94
100,0
Total :
46
Tabel 14 menunjukkan bahwa tidak ada responden yang mempunyai umur di bawah 15 tahun. Sebagian besar responden (83,0%) berumur produktif antara 15-65 tahun, dan responden yang berumur di atas 65 tahun sebanyak 16 orang (17,0%). Adanya usia yang sebagian besar tergolong produktif tersebut, maka masyarakat di Sub DAS Keduang memiliki potensi besar untuk ikut terlibat dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air. 5.1.1.2. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan merupakan salah satu variabel sosial ekonomi yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang pada suatu kegiatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin luas ilmu pengetahuannya, sehingga cara berpikirnya juga akan lebih maju. Dalam penelitian ini, tingkat pendidikan responden dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Tingkat pendidikan yang dikategorikan rendah adalah tidak sekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD (nilai 1). Untuk kategori sedang adalah tamatan SLTP (nilai 2) dan untuk kategori tinggi adalah tamatan SLTA, Akademi dan Perguruan Tinggi (nilai 3). Kategori responden berdasarkan tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Kategori responden berdasarkan tingkat pendidikan Kategori
Tingkat pendidikan
Jumlah (orang )
(%)
Rendah
TS, TTSD dan TSD
75
79,7
Sedang
TSLTP
14
15,0
Tinggi
A dan PT
5
5,3
94
100,0
Total : Keterangan : TS : Tidak Sekolah TTSD : Tidak Tamat SD TSD : Tamat SD
TSLTP A PT
: Tamat SLTP : Akademi (D3) : Perguruan Tinggi
Tabel 15 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden pada umumnya tergolong rendah. Dari 94 responden, 75 orang (79,7%) tergolong berpendidikan rendah. Golongan ini terdiri dari mereka yang sama sekali tidak pernah sekolah, sekolah tetapi tidak sampai tamat sekolah dasar dan yang tamat
47
dari sekolah dasar. Responden yang pendidikannya tergolong sedang sebanyak 14 responden (15%) dan responden yang pendidikannya tergolong tinggi sebanyak 5 responden (5%). Rendahnya tingkat pendidikan tersebut dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat yang, khususnya kegiatan yang memerlukan pemikiran-pemikiran. 5.1.1.3. Luas Lahan Luas lahan yang dimiliki responden diduga dapat mempengaruhi tingkat partisipasi dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air di Sub DAS Keduang. Responden yang memiliki lahan sempit tidak mempunyai alternatif mengalokasikan lahannya untuk ditanami pohon-pohonan. Lahan yang sempit hanya dimanfaatkan untuk tanaman musiman jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam penelitian ini luas lahan responden dikategorikan kedalam tiga kategori, yaitu rendah (<0,3 hektar), sedang (0,3 – 1,0 hektar), dan tinggi
(>1 hektar).
Kategori responden berdasarkan luas lahan
disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Kategori responden berdasarkan luas lahan Kategori
Luas lahan ( ha )
Jumlah (orang)
(%)
Rendah
< 0,3
20
21,2
Sedang
0,3 – 1,0
53
56,4
Tinggi
> 1,0
21
22,4
94
100,0
Total :
Tabel 16 menunjukkan luas lahan responden yang tergolong rendah adalah sebesar 21,2%, yang tergolong sedang sebesar 56,4%, dan yang tergolong tinggi adalah sebesar 22,4%. Kepemilikan lahan responden berkisar antara 0,1-3,5 hektar yang sebagian besar diperuntukan untuk budidaya pangan sebagai sumber kehidupan bagi anggota keluarganya. Masyarakat yang memiliki lahan tergolong sempit dan sedang pada umumnya hanya memanfaatkan lahannya untuk tanaman jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga akan mengalami kesulitan jika lahannya ditanami dengan tanaman keras.
48
5.1.1.4. Pendapatan Pendapatan responden adalah pendapatan rata-rata perbulan, baik pendapatan yang berasal dari mata pencaharian pokok maupun sampingan. Tingkat pendapatan responden dikelompokan kedalam tiga kategori, yaitu rendah (pendapatan < Rp. 500.000,- per bulan), sedang (pendapatan Rp. 500.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,- per bulan), dan tinggi (pendapatan>Rp. 1.000.000,- per bulan). Tingkat pendapatan responden per bulan berkisar antara Rp. 40.000,sampai dengan Rp. 1.500.000,-. Kategori responden berdasarkan tingkat pendapatan disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Kategori responden berdasarkan tingkat pendapatan Kategori Rendah
Tingkat pendapatan ( Rp ) < 500.000.
Sedang
500.000 – 1.000.000
Tinggi
> 1.000.000
Total :
Jumlah (orang)
(%)
69
73,4
23
24,5
2
2,1
94
100,0
Tabel 17 menunjukkan bahwa sebagian besar (73,4%) tingkat pendapatan responden tergolong rendah , 24,5% tergolong sedang, dan 2,1% tergolong tinggi. Rendahnya tingkat pendapatan tersebut sebagai implikasi dari rendahnya tingkat pendidikan dan sempitnya kepemilikan lahan masyarakat. Tingkat pendidikan di lokasi penelitian yang sebagian besar hanya tamatan SD mengakibatkan masyarakat mengalami kesulitan untuk mengakses permodalan. Kondisi tersebut juga diperparah oleh lahan yang sempit, sehingga masyarakat tidak dapat mengembangkan pertaniannya akibatnya pendapatan mereka menjadi terbatas. 5.1.1.5. Persepsi Persepsi merupakan pandangan dan penilaian responden terhadap tujuan dan manfaat program rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air. Untuk mengetahui tingkat persepsi masyarakat diajukan pertanyaan-pertanyaan kepada responden mengenai pandangan atau penilaian terhadap tujuan dan manfaat dari kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air. Pengukuran tingkat persepsi masyarakat didasarkan pada pernyataan tidak setuju,
49
kurang setuju dan setuju dari responden terhadap program tersebut yang dikelompokkan kedalam tiga kategori, yaitu kategori rendah (nilai <3), kategori sedang (nilai 3-4), dan kategori tinggi (nilai >4). Kategori responden berdasarkan persepsi disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Kategori responden berdasarkan persepsi Kategori
Nilai
Jumlah (orang)
(%)
Rendah
(<3)
4
4,2
Sedang
(3–4)
40
42,6
Tinggi
(>4)
50
53,2
94
100,0
Total :
Tabel 18 menunjukkan bahwa tingkat persepsi masyarakat terhadap tujuan dan manfaat kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air cukup tinggi. Dari 94 responden, yang mempunyai persepsi tinggi sebesar 53,2%, yang mempunyai persepsi sedang sebesar 42,6%, dan yang mempunyai persepsi rendah adalah sebesar 4,2%. Tingginya persepsi masyarakat tersebut disebabkan karena pemahaman masyarakat sudah tinggi terhadap tujuan dan manfaat rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air. 5.1.2.
Karakteristik Eksternal
5.1.2.1. Intensitas Sosialisasi Program (penyuluhan) Intensitas sosialisasi program dan penyuluhan diukur dari jumlah atau frekuensi kegiatan-kegiatan sosialisasi dan penyuluhan yang diberikan kepada responden, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pada tahap evaluasi. Intensitas sosialisasi program dan penyuluhan dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu rendah (nilai <3), sedang (nilai antara 3-6), dan tinggi (nilai >6). Kategori karakteristik eksternal berdasarkan intensitas sosialisasi program (penyuluhan) disajikan pada Tabel 19.
50
Tabel. 19 Kategori karakteristik eksternal berdasarkan intensitas sosialisasi program (penyuluhan) Kategori
Nilai
Jumlah (orang)
(%)
Rendah
(<3)
14
14,9
Sedang
(3–6)
73
77,7
Tinggi
( >6 )
7
7,4
94
100,0
Total :
Tabel 19 menunjukkan bahwa tingkat intensitas sosialisasi program yang tergolong rendah adalah sebesar 14,9%, sedang sebesar 77,7%, dan tinggi sebesar 7,4%. Dari data tersebut tampak bahwa sosialisasi program (penyuluhan) yang dilaksanakan belum dilakukan secara optimal, karena selama kegiatan berlangsung kegiatan sosialisasi (penyuluhan) hanya dilakukan 3-5 kali. 5.1.2.2. Ketersediaan Sarana Rehabilitasi Ketersediaan sarana rehabilitasi merupakan komponen yang berkaitan dengan kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air. Sarana rehabilitasi dimaksud antara lain berupa peralatan kerja, bahan (material), bibit tanaman, pupuk dan dana. Sarana rehabilitasi tersebut dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu rendah (nilai <3), sedang (nilai 3-4), dan tinggi ( nilai >4). Kategori karakteristik eksternal berdasarkan ketersediaan sarana rehabilitasi disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Kategori karakteristik eksternal berdasarkan ketersediaan sarana rehabilitasi Kategori
Nilai
Jumlah (orang)
(%)
Rendah
(<3)
6
6,4
Sedang
(3–4)
73
77,7
Tinggi
(>4)
15
15,9
94
100,0
Total :
51
Tabel 20 menunjukkan bahwa 6,4% responden menyatakan ketersediaan sarana rehabilitasi masih tergolong rendah, 77,7% tergolong sedang dan 15,9% tergolong tinggi. Sarana rehablitasi disediakan oleh pemerintah melalui kantor dinas-dinas terkait. Untuk bibit tanaman dan pupuk disediakan oleh Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan dan Perun Jasa Tirta 1. Sedangkan sarana rehabilitasi sipil teknis disediakan oleh Balai Besar Bengawan Solo. Data tersebut menunjukkan bahwa sarana rehabilitasi belum tersedia sesuai dengan kebutuhan. Salah satu penyebab kurang tersedianya sarana rehablitasi ini karena keterlibatan anggaran pemerintah. 5.1.2.3. Peran Lembaga Sosial Kelembagaan sosial mempunyai peran yang penting dalam mendorong partisipasi masyarakat. Peran kelembagaan sosial ini berupa dukungan yang diaktualisasikan melalui kegiatan pertemuan-pertemuan pembahasan masalahmasalah perencanaan, pelaksanaan di lapangan dan evaluasi kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air. Dukungan kelembagaan sosial dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu rendah (nilai <3), sedang (nilai 3-4), dan tinggi (nilai >4). Kategori dukungan lembaga sosial dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Kategori karakteristik eksternal berdasarkan peran lembaga sosial Katagor
Nilai
Jumlah (orang)
(%)
Rendah
(<3)
2
2,1
Sedang
(3–4)
37
39,4
Tinggi
( >4 )
55
58,5
94
100,0
Total :
Tabel 21 menunjukkan bahwa kelembagaan sosial sangat mendukung kegiatan rehabilitasi hutan, lahan, dan konservasi sumber daya air. Dari 94 responden 58,5% menyatakan bahwa lembaga sosial (KKTA) sangat mendukung kegiatan, 39,4%, menyatakan cukup mendukung, dan 2,1% menyatakan tidak mendukung. Dukungan KKTA ini mulai dirasakan oleh masyarakat pada saat
52
pelaksanaan dan evaluasi karena pada saat perencanaan lembaga sosial ini baru dibentuk. 5.1.2.4. Peran Pendamping Pendampingan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh petugas-petugas pendamping dari lembaga sosial masyarakat yang dianggap mampu memberikan penjelasan dan bimbingan teknis pada kegiatan di lapangan. Penilaian terhadap peran petugas tersebut didasarkan pada intensitas kunjungan di lapangan dan keterlibatan mereka dalam menjalankan tugasnya. Peran petugas pendamping tersebut dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu rendah (nilai <3), sedang (nilai 3-4 ), dan tinggi (nilai >4). Kategori karakteristik eksternal berdasarkan peran petugas pendamping disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Kategori karakteristik eksternal berdasarkan peran pendamping Kategori
Nilai
Jumlah (orang)
(%)
Rendah
(<3)
18
19,2
Sedang
(3–4)
59
62,7
Tinggi
( >4 )
17
18,1
94
100,0
Total :
Tabel 22 menunjukkan bahwa sebagian besar (62,7%) responden menyatakan peran pendamping yang tergolong rendah sebesar 19,2%, tergolong rendah, dan 18,1% tergolong tinggi. Hal ini dapat diartikan bahwa peran petugas pemdamping dalam menjalankan tugasnya belum berjalan secara optimal, sehingga perlu ditingkatkan. 5.2.
Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat merupakan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan
rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air. Partisipasi masyarakat mencakup tiga tahap, yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan dan tahap evaluasi. Pengukuran tingkat partisipasi masyarakat, baik tahap perencanaan, tahap pelaksanaan maupun tahap evaluasi menggunakan teori Arenstein (1969) yang membagi tingkat partisipasi ke dalam delapan tingkatan, mulai dari tingkatan
53
terendah, yaitu manipulation, therapy, informing, consultation, placation, partnership, delegeted power dan citizen control. Selanjutnya kedelapan tingkatan tersebut dikelompokkan kedalam tiga kategori, yaitu rendah (nonparticipation), sedang (tokenism) dan tinggi (citizen power). Tingkat partisipasi masyarakat yang dalam kegiatan rehabilitasi hutan. Lahan dan konservasi sumber daya air, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi Partisipasi masyarakat Kategori
Nilai
Tahap perencanaan
Tahap pelaksanaan
Tahap evaluasi
Jumlah (orang)
%
Jumlah (orang)
%
Jumlah (orang)
%
Rendah
(<9)
51
54,2
16
17,1
75
79,7
Sedang
( 9 – 18 )
27
28,7
44
46,8
17
18,1
Tinggi
( >18 )
16
17,1
34
36,1
2
2,2
94
100,0
94
100,0
94
100,0
Jumlah ( n ) :
5.2.1. Tahap Perencanaan Pengukuran tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan mencakup kegiatan : identifikasi masalah, penentuan lokasi, penentuan jenis bibit tanaman, penentuan jenis bangunan sipil teknis, dan penentuan biaya. Tabel 23 menunjukan bahwa tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan secara umum masih tergolong rendah (54,2%).Tingkatan partisipasi ini menurut Arenstein (1969) masuk dalam kelompok tingkatan non participation. Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan tersebut disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan yang sebagian besar (79,7%) tidak sekolah, tidak tamat SD dan tamatan SD, sehingga berimplikasi terhadap rendahnya tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Waridin (2007) yang menyatakan bahwa partisipasi dalam dimensi-dimensi perencanaan pada umumnya masih rendah. Pada tingkatan partisipasi rendah masyarakat yang hanya
54
digunakan sebagai alat publikasi saja, meskipun masyarakat yang terlibat dalam kegiatan, namun pada kenyataannya masyarakat tidak pernah aktif memberikan masukan atau usulan-usulan dalam proses kegiatan perencanaan. Kegiatan perencanaan banyak dilakukan oleh pihak pemerintah sehingga lebih bersifat top down. 5.2.2. Tahap Pelaksanaan Pengukuran tingkat partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan meliputi kegiatan penyiapan lahan, pemeriksaan bibit tanaman, proses penanaman pohon, pembuatan bangunan sipil, penyediaan lahan, penyiapan sarana rehabilitasi dan penyediaan dana. Tabel 23 menunjukan bahwa tingkat partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan secara umum tergolong sedang (46,8%). Tingkatan partisipasi ini menurut Arenstein (1969) masuk dalam kelompok tingkatan partisipasi tokenism. Masyarakat sudah mulai diajak konsultasi dalam pelaksanaan kegiatan, dimasukan menjadi anggota dalam badan-badan kerja dan berbagi tanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan meskipun seringkali suara mereka tidak diperhitungkan karena kemampuan dan kedudukannya relatif rendah. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian partisipasi masyarakat yang dilakukan oleh Muis (2007) yang menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan pada umumnya tinggi. Perbedaan tingkat partisipasi tersebut disebabkan karena kondisi masyarakat berbeda, sebagaimana dikatakan oleh Daniel et al. (2006) bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap masyarakat tidak sama, tergantung sejauh mana kondisi dan keterlibatan mereka dalam pemecahan masalah yang dihadapi. 5.2.3. Tahap Evaluasi Pengukuran tingkat partisipasi masyarakat yang pada tahap evaluasi mencakup kegiatan : pemantauan dan penilaian terhadap keberhasilan kegiatan serta membantu kegiatan petugas/ tim evaluasi. Tingkat partisipasi masyarakat pada tahap evaluasi secara umum tergolong rendah (79,7%). Tingkatan partisipasi ini menurut Arenstein (1969) masuk dalam kelompok non participation. Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam
55
tahap evaluasi disebabkan karena masyarakat merasa tidak mempunyai kepentingan terhadap kegiatan evaluasi. Kegiatan evaluasi hanya dilakukan oleh pihak pemerintah sebagai laporan pertanggungjawaban pelaksanaan program. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gautama (2006) dalam dinamika partisipasi masyarakat di daerah aliran sungai yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam kegiatan evaluasi pada umumnya rendah. 5.3.
Hubungan antara Faktor Internal dan Eksternal dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat Faktor internal dan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang diduga
mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Faktor internal meliputi : umur, tingkat pendidikan, luas lahan, pendapatan dan persepsi masyarakat. Faktor eksternal meliputi : intensitas sosial program/ penyuluhan, ketersediaan sarana rehabilitasi, peran lembaga sosial dan peran pendamping. Hubungan antara faktor internal dan eksternal dengan tingkat partisipasi masyarakat pada setiap tahapan (perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi) digunakan uji korelasi spearman rank menggunakan komputer dengan software SPSS versi 14. Hasil uji korelasi (koefisien korelasi) pada tahap perencanaan, pelakasanaan dan evaluasi dapat dilihat pada Lampiran 15, 16 dan 17 yang disajikan pada Tabel 24. 5.3.1. Hubungan antara Umur dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman menunjukan bahwa nilai koefisien korelasi (keeratan hubungan) antara variabel umur dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan memiliki hubungan nyata, sedangkan tahap evaluasi memiliki hubungan sangat lemah. Tahap perencanaan nilai koefisien korelasinya sebesar 0,417**, tahap pelaksanaan sebesar 0,276** dan tahap evaluasi nilai koefisien korelasinya 0,013. Nilai koefisien korelasi tersebut menunjukkan bahwa variabel umur pada tahap perencanaan dan tahap pelaksanaan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat. Sedangkan pada tahap evaluasi umur tidak berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat. Sedangkan pada tahap evaluasi umur tidak
56
berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat, karena mempunyai korelasi yang tidak nyata dan sangat lemah. Tabel 24 Hubungan antara faktor internal dan faktor eksternal dengan tingkat partisipasi masyarakat Partisipasi masyarakat No.
Faktor
Tahap perencanaan (Y1)
Tahap pelaksanaan (Y2)
Tahap evaluasi (Y3)
Faktor Internal (X1) 1.
Umur (X1-1)
0,417**
0,276**
0,013
2.
Tingkat pendidikan (X1-2)
0,788**
0,550**
-0,138
3.
Luas lahan (X1-3)
0,524**
0,742**
-0,068
4.
Pendapatan (X1-4)
0,303**
0,371**
0,120
5.
Persepsi (X1-5)
0,045
0,069
0,032
0,330**
0,211*
0,413**
rehabilitasi (X2-2)
-0,048
0,283**
-0,170
3.
Peran lembaga sosial (X2-3)
0,074
0,234*
0,609**
4.
Peran pendamping (X2-4)
0,038
-0,055
0,743**
Faktor Eksternal (X2) 1.
Intensitas sosialisasi program/ penyuluhan (X2-1)
2.
Ketersediaan sarana
Keterangan : ** Berpengaruh nyata pada ά = 0,01 * Berpengaruh nyata pada ά = 0,05
5.3.2. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat Nilai koefisien korelasi antara tingkat pendidikan dengan tingat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan adalah sebesar
0,788**, pada tahap
pelaksanaan sebesar 0,550**, dan pada tahap evaluasi sebesar - 0,138. Nilai koefisien korelasi tersebut menunjukkan bahwa pada tahap perencanaan dan tahap pelaksanaan tingkat pendidikan mempunyai hubungan nyata yang cukup kuat dengan tingkat partisipasi, sedang pada tahap evaluasi memiliki hubungan yang negatif dan lemah. Hal ini berarti pada tahap perencanaan dan pelaksanaan tingkat pendidikan responden sangat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat.
57
Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat cenderung semakin tinggi pula tingkat partisipasinya. Sedangkan pada tahap evaluasi tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat, bahkan memiliki hubungan yang negatif (terbalik). 5.3.3. Hubungan
antara
Luas
Lahan
dengan
Tingkat
Partisipasi
Masyarakat Nilai koefisien korelasi antara luas lahan dengan tingat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan adalah sebesar 0,524**, pada tahap pelaksanaan sebesar 0,742**, dan pada tahap evaluasi sebesar - 0,068. Nilai koefisien korelasi tersebut menunjukkan bahwa pada tahap perencanaan dan pelaksanaan luas lahan yang dimiliki responden mempunyai hubungan nyata yang kuat dengan tingkat partisipasi, sedang pada tahap evaluasi memiliki hubungan yang negatif dan sangat lemah. Hal ini berarti pada tahap perencanaan dan pelaksanaan luas lahan sangat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Semakin luas lahan yang dimiliki masyarakat, cenderung semakin tinggi tingkat partisipasinya. Sedangkan pada tahap evaluasi luas lahan tidak berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat. 5.3.4. Hubungan antara Tingkat Pendapatan dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat Nilai koefisien korelasi antara tingkat pendapatan dengan tingat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan adalah sebesar 0,303**, tahap pelaksanaan sebesar 0,371**, dan tahap evaluasi sebesar 0,120.
Nilai koefisien korelasi
tersebut menunjukkan bahwa pada tahap perencanaan dan pelaksanaan tingkat pendapatan responden memiliki hubungan nyata dengan tingkat partisipasi, sedang pada tahap evaluasi memiliki hubungan yang lemah. Hal ini berarti pada tahap perencanaan dan pelaksanaan tingkat pendapatan dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Semakin tinggi pendapatan masyarakat cenderung semakin tinggi pula tingkat partisipasinya. Masyarakat yang mempunyai pendapatan tinggi tidak terlalu menggantungkan kehidupannya pada hasil hutan, sehingga kecenderungan mereka merusak hutan lebih kecil dibanding masyarakat yang berpendapatan rendah.
58
5.3.5. Hubungan antara Persepsi dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat Nilai koefisien korelasi antara persepsi dengan tingat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan adalah sebesar 0,045, tahap pelaksanaan sebesar 0,069, dan tahap evaluasi sebesar -0,032. Nilai koefisien korelasi tersebut menunjukkan bahwa pada setiap tahapan persepsi masyarakat memiliki hubungan yang nyata dan lemah. Hal ini berarti persepsi masyarakat tidak mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan maupun pada tahap evaluasi. 5.3.6. Hubungan antara Intensitas Sosialisasi Program (penyuluhan) dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat Nilai koefisien korelasi antara variabel intensitas sosialisasi program/ penyuluhan dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan adalah sebesar 0,330**, tahap pelaksanaan sebesar 0,211*, dan tahap evaluasi sebesar 0,413**. Nilai koefisien korelasi tersebut menunjukkan bahwa pada setiap tahapan intensitas sosialisasi program/ penyuluhan mempunyai hubungan nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat meskipun tidak terlalu kuat. Hal ini berarti semakin sering dilakukan sosialisasi program/ penyuluhan kepada masyarakat, tingkat partisipasi masyarakat cenderung semakin tinggi. 5.3.7. Hubungan antara Ketersediaan Sarana Rehabilitasi dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat Nilai koefisien korelasi antara ketersediaan sarana rehabilitasi dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan adalah sebesar 0,413**, tahap pelaksanaan sebesar 0,283**, dan tahap evaluasi sebesar -0,107. Nilai koefisien korelasi tersebut menunjukkan bahwa pada tahap perencanaan dan pelaksanaan sarana rehabilitasi memiliki hubungan nyata meskipun tidak terlalu kuat, sedangkan pada tahap evaluasi ketersediaan sarana rehabilitasi memiliki hubungan negatif dan lemah. Hal ini berarti semakin tersedianya sarana rehabilitasi pada saat perencanaan dan pelaksanaan, partisipasi masyarakat akan cenderung semakin meningkat, sedangkan pada tahap evaluasi, sarana rehabilitasi tidak mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat.
59
5.3.8. Hubungan antara Peran Lembaga Sosial (KKTA) dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat Nilai koefisien korelasi antara peran lembaga sosial (KKTA) dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan adalah sebesar 0,074, tahap pelaksanaan sebesar 0,234*, dan tahap evaluasi sebesar 0,609**. Nilai koefisien korelasi tersebut menunjukkan bahwa pada tahap perencanaan peran lembaga sosial (KKTA) memiliki hubungan yang sangat lemah, hal ini disebabkan karena lembaga tersebut baru terbentuk dan belum berfungsi sepenuhnya, namun pada tahap pelaksanaan peran lembaga sosial (KKTA) memiliki hubungan nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat, demikian pula pada tahap evaluasi, peran lembaga sosial (KKTA) ini memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat. Hal ini berarti semakin besar peran lembaga sosial (KKTA) pada tahap pelaksanaan dan evaluasi semakin tinggi pula tingkat partisipasi masyarakatnya. 5.3.9. Hubungan antara Peran Petugas Pendamping dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat Nilai koefisien korelasi antara peran petugas pendamping dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan adalah sebesar 0,038, tahap pelaksanaan sebesar - 0,055, dan tahap evaluasi sebesar 0,743**. Nilai koefisien korelasi tersebut menunjukkan bahwa pada tahap perencanaan dan tahap pelaksanaan peran petugas pendamping mempunyai hubungan yang sangat lemah, sebaliknya pada tahap evaluasi peran petugas pendamping memiliki hubungan yang cukup kuat dengan tingkat partisipasi masyarakat. Hal ini berarti semakin besar peran petugas pendamping pada tahap evaluasi semakin tinggi pula tingkat partisipasi masyarakatnya. Sedangkan pada tahap perencanaan dan pelaksanaan peran petugas pendamping tidak berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat. 5.4.
Peningkatan Partisipasi Masyarakat Hasil identifikasi dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
partisipasi masyarakat menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat masih tergolong rendah. Kurangnya partisipasi masyarakat tersebut disebabkan oleh
60
kurang optimalnya faktor-faktor pendukung, baik yang bersifat internal maupun ekternal. Oleh karena itu agar program rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air dapat berhasil dengan baik maka partisipasi masyarakat perlu ditingkatkan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menyusun alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat dengan menggunakan analisis model AHP. Aplikasi dari model AHP dalam menentukan alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat adalah dengan menyusun hirarki, melakukan banding berpasang (pairwise comparison) dan menetapkan prioritas. Secara skematis penyusunan hirarki disajikan pada Gambar 3. Tujuan utama penyusunan hirarki pada Gambar 3 adalah untuk menentukan alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat. Dalam hirarki tersebut ada dua aktor yang dianggap mempunyai keterkaitan penting, yaitu pemerintah dan masyarakat. Pemerintah berperan sebagai pencetus program sekaligus sebagai fasilitator dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air di Sub DAS Keduang, sedangkan masyarakat adalah sebagai pelaksana kegiatan. Faktor pendukung yang dipertimbangkan dalam menentukan alternatif prioritas kebijakan adalah umur, tingkat pendidikan, luas lahan, pendapatan dan persepsi masyarakat, intensitas sosialisasi program (penyuluhan), ketersediaan sarana rehabilitasi, peran lembaga sosial, dan peran petugas pendamping. Setelah semua kriteria faktor pendukung ditentukan disusun alternatif prioritas kebijakan yaitu meningkatkan kapasitas anggota masyarakat dan meningkatkan kapasitas dukungan pemerintah. Berdasarkan hasil focus group disscussion (FGD) dan isian kuesioner dari 21 responden yang dianggap expert dilakukan penilaian dan pembobotan terhadap elemen-elemen partisipasi masyarakat yang telah disusun secara berjenjang (hirarki) ke dalam matrik pembandingan berpasang (pairwise comparison) yang penilaiannya disajikan pada Lampiran 15. Selanjutnya data diproses dengan komputer menggunakan software AHP menghasilkan bobot nilai alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat pada Tabel 25.
sebagaimana disajikan
Level 1 Tujuan
Peningkatan partisipasi masyarakat
Level 2 Aktor
Level 3 Faktor Pendu kung
Level 4 Alternatif kebijakan
Masyarakat
Umur
Tingkat pendidikan
Luas lahan
Meningkatkan kapasitas anggota masyarakat
Pemerintah
Pendapatan
Persepsi
Intensitas sosiallisasi program
Ketersediaan sarana rehabilitasi
Peran lembaga sosial
Peran pendamping
Meningkatkan kapasitas dukungan pemerintah
61
Gambar 3 Hirarki peningkatan partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air
62
Tabel 25 Alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat Peningkatan partisipasi masyarakat Aktor : Masyarakat Pemerintah Faktor pendukung : Umur Tingkat Pendidikan Luas lahan Pendapatan Persepsi Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) Ketersediaan sarana rehabilitasi Peran lembaga sosial Alternatif : Meningkatkan kapasitas anggota masyarakat Meningkatkan kapasitas dukungan pemerintah
Bobot
Prioritas relatif
0,25 0,75
P2 P1
0,04 0,27 0,11 0,17 0,02 0,04 0,05 0,07
P2 P1 P4 P3 P5 P1 P4 P2
0,52 0,48
P1 P2
Hasil analisis AHP pada Tabel 25 menunjukkan bahwa bobot nilai pemerintah (0,75), lebih tinggi dibanding dengan masyarakat (0,25), sehingga pemerintah merupakan unsur prioritas dalam penyusunan
kebijakan. Faktor-
faktor pendukung yang memiliki keterkaitan tinggi dengan tingkat partisipasi masyarakat adalah faktor pendidikan (0,27), faktor peran pendamping (0,24), dan faktor pendapatan masyarakat (0,17). Bila dikaitkan dengan hasil uji korelasi, maka faktor pendidikan, faktor peran pendamping dan pendapatan memiliki hubungan yang signifikan dengan partisipasi masyarakat, sehingga secara berurutan ke tiga faktor pendukung tersebut menjadi prioritas unsur kebijakan. Bobot nilai alternatif kebijakan meningkatkan kapasitas anggota masyarakat (0,52), lebih tinggi jika dibanding dengan bobot nilai kebijakan meningkatkan kapasitas dukungan pemerintah (0,48), maka alternatif kebijakan meningkatkan kapasitas anggota masyarakat menjadi unsur prioritas utama dalam penyusunan kebijakan. Dengan demikian alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat adalah meningkatkan kapasitas anggota masyarakat melalui sarana pendidikan (P1), peran pendamping (P2), dan peningkatan pendapatan masyarakat (P3).
63
5.5.
Partisipasi Masyarakat sebagai Tolok Ukur Keberhasilan Program Tingkat partisipasi masyarakat dapat dijadikan sebagai salah satu tolok
ukur keberhasilan program rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air di Sub DAS Keduang. Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat kurang terlibat dalam proses pengambilan keputusan pada saat perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Pada saat perencanaan masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pemilihan dan pengadaan jenis bibit tanaman, demikian juga pada saat proses penanaman dan pemeliharaan pasca tanam mereka kurang diberikan penyuluhan mengenai tata cara menanam yang benar sehingga banyak tanaman yang mati. Berdasarkan laporan hasil evaluasi tim Puslitbang Sebranmas, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pekerjaan Umum dan Persepsi (2008), dari jumlah bibit yang ditanam di sembilan desa sebanyak 98.280 batang, kurang lebih 30.861 batang atau 27,23% mati dalam kurun waktu sekitar 5 bulan (Juli-Nopember 2008). Kematian tanaman ini disebabkan antara lain karena terlambatnya pengiriman bibit, penanaman bibit yang tidak tepat dan
cara
pemeliharaan pasca tanam yang salah. Ada beberapa kemungkinan yang dapat ditarik dari kondisi tersebut. Pertama, masyarakat di sekitar Sub DAS Keduang yang sebenarnya memiliki pola habitual dengan ekosistem hutan belum berperan secara aktif dalam kegiatan tersebut. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat menyebabkan mereka tidak mempunyai keberanian untuk memberikan saran atau usul kepada pemerintah dalam proses pengadaan bibit. Kedua, adanya keengganan masyarakat yang memiliki lahan sempit untuk ditanami tanaman keras karena hasilnya terlalu lama, sementara pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketiga, petugas pendamping kurang dapat meyakinkan masyarakat dalam memberikan pengertian tentang pentingnya konservasi, sehingga masyarakat tidak termotivasi untuk berpartisipasi. Keempat, masyarakat belum dipandang secara penuh sebagai bagian integral dari pengelolaan kebijakan, mereka hanya diperankan dalam kedudukannya sebagai obyek dalam kerangka pengambilan keputusan.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. (1)
Kesimpulan Implementasi program GN-KPA dalam rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi
sumberdaya air di Sub DAS Keduang belum merupakan program partisipatif. Hal ini ditunjukkan dari tingkat partisipasi masyarakat yang masih tergolong rendah pada tahap perencanaan dan tahap evaluasi. Tingkatan partisipasi tersebut berdasarkan Arenstein (1969) masuk dalam tingkatan nonparticipation. Pada tahap pelaksanaan, tingkat partisipasi masyarakat tergolong sedang (tokenism). (2)
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat pada tahap
perencanaan adalah umur, tingkat pendidikan, luas lahan, pendapatan dan intensitas sosialisasi program (penyuluhan). Pada tahap pelaksanaan adalah umur, tingkat pendidikan, luas lahan, pendapatan, intensitas sosialisasi program (penyuluhan), ketersediaan sarana rehabilitasi, dan peran lembaga sosial. Pada tahap evaluasi adalah intensitas sosialisasi program/penyuluhan, peran lembaga sosial dan peran pendamping. Diantara faktor-faktor tersebut yang paling mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan adalah tingkat pendidikan (0,788**), pada tahap pelaksanaan adalah faktor luas lahan (0,742**), dan pada tahap evaluasi adalah faktor peran pendamping (0,743**). (3)
Peran pemerintah dalam partisipasi masyarakat lebih penting dibanding
dengan peran masyarakat. Faktor pendukung yang menentukan tingkat partisipasi masyarakat adalah tingkat pendidikan (0,27), peran pendamping (0,24) dan pendapatan (0,17), sedangkan alternatif kebijakan yang lebih mendukung partisipasi masyarakat adalah meningkatkan kapasitas anggota masyarakat (0,52). Dengan demikian alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat adalah meningkatkan kapasitas anggota masyarakat melalui sarana pendidikan (P1), peran pendamping (P2), dan peningkatan pendapatan masyarakat (P3).
65
6.2.
Saran
(1)
Pemerintah perlu memberikan penyuluhan, pelatihan dan bimbingan kepada
masyarakat tentang rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air, sehingga masyarakat dapat berkontribusi dalam proses perencanaan kegiatan. Pada tahap pelaksanaan pemerintah perlu memberikan stimulan kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian sebagai kompensasi penyediaan lahan yang biasanya hanya dimanfaatkan untuk tanaman jangka pendek. Kegiatan di luar sektor pertanian tersebut antara lain berupa budidaya peternakan dan perikanan. Pada tahap evaluasi petugas pendamping perlu lebih aktif memberikan pelatihan dan saran teknis tentang tata cara evaluasi kegiatan, serta penyuluhan mengenai pentingnya evaluasi, sehingga masyarakat termotivasi untuk melakukan kegiatan evaluasi. (2)
Mengingat adanya keterbatasan kapasitas pemerintah, sebaiknya dalam
upaya-upaya rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air pemerintah menarik sektor swasta (dunia usaha), khususnya yang bergerak di bidang kehutanan untuk terlibat secara aktif memberikan dukungan sarana rehabilitasi sebagai rasa tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. (3)
Untuk pengembangan program rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi
sumberdaya air di masa mendatang, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai tingkat keberhasilan program fisik secara komperhensif, sehingga disamping permasalahan partisipasi masyarakat, permasalahan tehnis yang dapat menghambat keberhasilan program rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air dapat diantisipasi.
DAFTAR PUSTAKA Adi, I.R. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi. Edisi Revisi. Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Adisasmita, R. 2006. Membangun Desa Partisipatif. Cetakan Pertama. Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta. Agus, F. dan Widianto. [2004]. Petunjuk Praktis Konservasi Tanah Pertanian Lahan Kering. Diterbitkan oleh World Agroforestry Centre ICRAF Southeast Asia. Bogor. [Departemen Kehutanan]. 2007. Rencana dan Realisasi Kegiatan GN-RHL Tahun 2003 – 2007. Arenstein, S.R. 1969. A ladder of Citizen Participation. JAIP, 35 [4] : 216-224. Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi VI. Penerbit PT. Rineka Cipta. Jakarta. Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan Ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Baharsjah, J.S. 1999. Menuju Masyarakat Yang Berketahanan Sosial. Edisi pertama. Departemen Sosial. Jakarta. Daniel, M. Darmawati, Nieldalina. 2006. PRA [Participatory Rural Appraisal] Pendekatan Efektif Mendukung Penerapan Penyuluhan Partisipatif dalam Upaya Percepatan Pembangunan Pertanian. Cetakan Pertama. Penerbit PT. Bumi Aksara. Jakarta. [Ditjen Sumber Daya Air Dep.PU] Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan Umum. 2006. Konservasi Sumber Daya Air berbasis kearifan lokal untuk mengembalikan keseimbangan siklus hidrologi dan perlindungan ekosistem. [Makalah] disajikan dalam workshop Implementasi Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air [GN-KPA] Berbasis Kearifan Lokal yang diselenggarakan oleh Departemen PU pada tanggal 5 Juli 2006 di Jakarta. Gautama, I. 2006. Dinamika Partisipasi Masyarakat di Daerah Aliran Sungai (Sudi Kasus DAS Bila Walanae Hulu Danau Tempe. Jurnal Sains & Teknologi 6 [3] : 121-134. Gerung, T.S.L. 2004. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Kecamatan Likupang, Kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara. [Tesis] Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. [GN-KPA] Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air. 2006. Panduan Pelaksanaan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air, Jakarta. Indrawati, D.R. Evi, I. Haryanti, N. Yuliantoro, D. 2003. Partisipasi Masyarakat dalam Upaya Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah [RLKT]. Balai Penelitian Kehutanan Solo Departemen Kehutanan. Jurnal Pengelolaan DAS, IX [1] : 30-44.
67
Harahap, M.K. 2001. Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove : Studi Kasus di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat. [Tesis] Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. [JICA] Japan International Cooperation Agency. 2007. The Study on Countermeasures for Sedimentation in The Wonogiri Multipurpose Dam Reservoir in Republic of Indonesia. Jakarta. Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat. Cetakan pertama. Penerbit PT.Pustaka Cidesindo. Jakarta. Matrizal, I. 2005. Partisipasi Masyarakat dalam Program Kebersihan dan Pengelolaan Sampah Pemukiman di Kota Banda Aceh- Nanggroe Aceh Darussalam. [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. [Departemen Kehutanan]. 2007. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.22/Menhut-V/2007 tentang Pedoman Teknis Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/ Gerhan). Jakarta. Mitchell, B. dan Setiawan, B. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Cetakan pertama. Penerbit Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Muis, H. 2007. Pembangunan Partisipasi Masyarakat dalam Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan [GN-RHL]. [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Muluk, K.M.R. 2007. Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah. Cetakan Pertama. Penerbit Banyumedia Publishing. Malang. Nawawi, H. 2005. Metode Penelitian Bidang Sosial. Cetakan kesebelas. Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Nawir, A.A. Murniati. Rumboko, L. 2008. Rehabilitasi Hutan Indonesia : Akan Kemanakah Arahnya Setelah Lebih dari Tiga Dasawarsa ?. http://www.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/books/BNawir0801Ina.pdf [22 Juli 2008]. Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Cetakan kelima. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta. Partono, S. 2006. 1.800 Hektar Lahan Gagal Ditanami Proyek GNRHL. [dalam Laporan Wartawan Kompas Syaifullah, M]. KOMPAS. [cyber media]. http://www2.kompas.com/ver1/Nusantara/0611/20/162355.htm. [20 Nopember 2006] [Persepsi] Pengembangan Ekonomi dan Sosial. 2007. Pengembangan Konservasi Partisipatif melalui Penguatan Kelembagaan Masyarakat di DAS Solo. Klaten. [Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Budaya dan Peran Masyarakat bekerjasama dengan Persepsi]. 2008. Laporan Akhir Kegiatan Pendampingan dan Evaluasi Dalam Pelaksanaan Konservasi Partisipatif Daerah Aliran Sungai [DAS] Bengawan Solo. Wonogiri. Riduan. 2006. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Alfabeta. Bandung.
68
Saaty, T.L. and Vargas, L.G. 1994. The Analytic Hierarchy Process Series VII, RWS Publication Ellsworth Avenue 4922, Pittsburgh, PA 15213 USA. Siahaan, NHT. 2007. Hutan, Lingkungan dan Paradigma Pembangunan. Cetakan pertama. Penerbit Pancuran Alam. Jakarta. Singarimbun, M. dan Effendi, S. 1995. Metode Penelitian Survai. Cetakan Kedua. PT. Pustaka LP3ES. Jakarta. Soemarwoto, O. 2004. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Cetakan Kesepuluh. Djambatan. Jakarta. Suparmoko, M. 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan.Cetakan pertama. Penerbit BPFE-Yogyakarta. Yogyakarta. Trison, S. 2005. Pengembangan Partisipasi Masyarakat Dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta. Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Jakarta. Waridin. 2007. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Nelayan dalam Pembangunan Komunitas di TPI Asemdoyong, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi Pembangunan Balai Penelitian Pengembangan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Muhamadiyah Surakarta., 8 [1] : 85-95. Yunus, L. 2005. Evaluasi kerusakan Daerah Aliran Sungai [DAS] Citanduy Hulu dan Akibatnya di Hilir [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian
Lokasi Penelitian
69
Lampiran 11 Daftar variabel, indikator, parameter pengukuran dan kategori No.
Variabel
1.
Partisipasi masyarakat (Y)
2.
Faktor internal (X1)
Sub variabel
Indikator
Parameter pengukuran
Kategori
Perencanaan kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air (Y1)
• • • •
Identifikasi masalah Penentuan lokasi Penentuan jenis tanaman Penentuan jenis bangunan sipil tekniks • Penentuan biaya • Penentuan teknik pengerjaan
• • •
Nilai, < 9 Nilai, 9 - 18 Nilai, >9
Rendah Sedang Tinggi
Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air (Y2)
• • • • • • •
Penyiapan lahan Pmeriksaan bibit tanaman pembersihan rumput/penyiangan pemeliharaan tanaman Pembuatan bangunan sipil Penyediaan sarana rehabilitasi Penyediaan dana
• • •
Nilai, < 9 Nilai, 9 - 18 Nilai, >9
Rendah Sedang Tinggi
Evaluasi kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air (Y3)
• Pemantauan dan penilaian tanaman • Pemantau perkembangan tanaman • Pemberian informasi kepada petugas evaluasi
• • •
Nilai, < 9 Nilai, 9 - 18 Nilai, >9
Rendah Sedang Tinggi
Umur (XI.-1)
• Umur responden
• • •
< 15 tahun 15-65 tahun > 65 tahun
Rendah Sedang Tinggi
Tingkat pendidikan (XI-2)
• Tidak sekolah, SD atau yang sederajat • SLTP atau yang sederajat • SLTA, Akademi dan PT
•
Nilai, 1
Rendah
• •
Nilai, 2 Nilai, 3
Sedang Tinggi
• Kepemilikan lahan responden
• • •
< 0,3 hektar 0,3-1,0 hektar >1,0 hektar
Rendah Sedang Tinggi
Luas lahan (XI-3)
79
Lanjutan lampiran 11 No.
3.
Variabel
Faktor eksternal (X2)
Sub variabel
Indikator
Parameter pengukuran
Kategori
Pendapatan (XI.4)
•
Penghasilan rata-rata responden perbulan
• • •
< Rp. 500.000 Rp. 500.000-1.000.000 > Rp. 1.000.000
Rendah Sedang Tinggi
Persepsi (X1- 5)
• • •
Persepsi pada tahap perencanaan Persepsi pada tahap pelaksanaan Persepsi pada tahap evaluasi
• • •
Nilai, < 3 Nilai, 3 – 6 Nilai, > 6
Rendah Sedang Tinggi
Intensitas sosialisasi program (X2--1)
•
Frekwensi sosialisasi tahap perencanaan Frekwensi sosialisasi tahap pelaksanaan Frekwensi sosialisasi tahap evaluasi
• • •
Nilai, < 3 Nilai, 3 – 6 Nilai, > 6
Rendah Sedang Tinggi
• •
Ketersediaan sarana rehabilitasi (X2-2)
• • • • • • •
Bibit tanaman Pupuk Tenaga kerja Alat kerja Teknologi Bahan / material Dana
• • •
Nilai, < 3 Nilai, 3 – 4 Nilai > 4
Rendah Sedang Tinggi
Kelembagaan sosial (X2-3)
• • • •
Koordinasi Pemberian informasi Membantu distribusi bibit tanaman Pemeliharaan pasca tanam
• • •
Nilai, < 3 Nilai, 3 – 4 Nilai > 4
Rendah Sedang Tinggi
Peran petugas pendamping (X2-4)
• • •
Frekwensi kunjungan lapangan Keerlibatan petugas pendamping Aktivitas petugas pendamping
• • •
Nilai, < 3 Nilai, 3 – 4 Nilai > 4
Rendah Sedang Tinggi
80
70
Lampiran 2 Peta lokasi erosi Desa Setren
Sumber : Persepsi dan JICA, 2007.
71
Sumber : Persepsi dan JICA, 2007.
Lampiran 3 Peta lokasi erosi Desa Sokoboyo
72
Sumber : Persepsi dan JICA, 2007.
Lampiran 4 Peta lokasi erosi Desa Karang
73
Lampiran 5 Peta lokasi erosi Desa Pandan
Sumber : Persepsi dan JICA, 2007.
74
Sumber : Persepsi dan JICA, 2007.
Lampiran 6 Peta lokasi erosi Desa Pandan
75
Sumber : Persepsi dan JICA, 2007.
Lampiran 7 Peta lokasi erosi Desa Pingkuk
.
76
Sumber : Persepsi dan JICA, 2007.
Lampiran 8 Peta lokasi erosi Desa Sumberejo
77
Sumber : Persepsi dan JICA, 2007.
Lampiran 9 Peta lokasi erosi Desa Sembukan
78
Sumber : Persepsi dan JICA, 2007.
Lampiran 10 Peta lokasi erosi Desa Gemawang
79
90
Lampiran 18. Nilai banding berpasang (pairwise comparison) Level
:
Aktor Aktor
1
2
1
1
5
2
1/5
1
Keterangan : 1. Pemerintah 2. Masyarakat
Level Keterakaitan dengan
: :
Kriteria Masyarakat Kriteria
1
2
3
4
5
1
1
1/7
1/3
1/6
1/5
2
7
1
5
3
3
3
3
1/5
1
1/3
1/3
4
6
1/3
3
1
3
5
5
1/3
3
1/3
1
3 5 6 1 3
4 4 4 1/3 1
Keterangan : 1. Umur 2. Tingkat Pendidikan 3. Luas Lahan
Level Keterakaitan dengan
: :
4. Pendapatan 5. Persepsi
Kriteria Pemerintah Kriteria 1 2 3 4
1 1 3 1/5 1/4
2 1/3 1 1/6 1/4
Keterangan : 1. Intensitas Sosialisasi Program/Penyuluhan 2. Ketersediaan Sarana Rehabilitasi 3. Peran LembagaSosial 4. Peran Petugas Pendamping
91
Lanjutan lampiran 18. Nilai banding berpasang (pairwise comparison)
Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Intensitas sosialisasi program/penyuluhan Alternatif 1 2
1 1 1/9
2 9 1
1. Meningkatkan kapasitas dukungan pemerintah 2. Meningkatkan kapasitas anggota masyarakat
Level
: Alternatif
1 1 1/3
Alternatif 1 2
1 1 1/3
2 3 1
1. Meningkatkan kapasitas dukungan pemerintah 2. Meningkatkan Kapasitas Anggota Masyarakat
Level
Keterkaitan dengan : Peran lembaga sosial Alternatif 1 2
Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Ketersediaan sarana rehabilitasi
: Alternatif
Keterkaitan dengan : Peran petugas pendamping 2 3 1
Alternatif 1 2
1 1 1/7
2 7 1
1. Meningkatkan kapasitas dukungan pemerintah 2. Meningkatkan kapasitas anggota masyarakat
1. Meningkatkan kapasitas dukungan pemerintah 2. Meningkatkan kapasitas anggota masyarakat
Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Umur
Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Tingkat pendidikan
Alternatif 1 2
1 1 1/7
2 7 1
Alternatif 1 2
1 1 1/7
2 7 1
1. Meningkatkan kapasitas dukungan pemerintah 2. Meningkatkan kapasitas anggota masyarakat
1. Meningkatkan kapasitas dukungan pemerintah 2. Meningkatkan kapasitas anggota masyarakat
Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Luas lahan
Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Pendapatan
Alternatif 1 2
1 1 1/7
2 7 1
1. Meningkatkan kapasitas dukungan pemerintah 2. Meningkatkan kapasitas anggota masyarakat
Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Persepsi Alternatif 1 2
1 1 1/9
2 9 1
1. Meningkatkan kapasitas dukungan pemerintah 2.Meningkatkan kapasitas anggota masyarakat
Alternatif 1 2
1 1 1/7
2 7 1
1. Meningkatkan kapasitas dukungan pemerintah 2. Meningkatkan kapasitas anggota masyarakat
70
Lampiran 2 Peta lokasi erosi Desa Setren
Sumber : Persepsi dan JICA, 2007.
71
Sumber : Persepsi dan JICA, 2007.
Lampiran 3 Peta lokasi erosi Desa Sokoboyo
72
Sumber : Persepsi dan JICA, 2007.
Lampiran 4 Peta lokasi erosi Desa Karang
73
Lampiran 5 Peta lokasi erosi Desa Pandan
Sumber : Persepsi dan JICA, 2007.
74
Sumber : Persepsi dan JICA, 2007.
Lampiran 6 Peta lokasi erosi Desa Pandan
75
Sumber : Persepsi dan JICA, 2007.
Lampiran 7 Peta lokasi erosi Desa Pingkuk
.
76
Sumber : Persepsi dan JICA, 2007.
Lampiran 8 Peta lokasi erosi Desa Sumberejo
77
Sumber : Persepsi dan JICA, 2007.
Lampiran 9 Peta lokasi erosi Desa Sembukan
78
Sumber : Persepsi dan JICA, 2007.
Lampiran 10 Peta lokasi erosi Desa Gemawang
79
85
Lampiran 17
No. res. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53
Daftar responden, nilai variabel bebas (X1-1 s.d. X2-4) dan variabel terikat (Y3)
X1-1
X1-2
X1-3
66 64 35 72 32 45 54 32 40 37 35 57 54 29 42 39 69 64 70 27 32 47 25 40 62 29 49 72 56 55 56 60 46 55 48 33 40 72 63 28 50 50 20 56 26 38 44 40 45 42 20 50 25
2 2 3 2 2 2 3 2 2 2 3 2 1 1 1 2 2 2 3 2 2 1 1 2 2 2 1 2 2 2 2 3 1 2 2 1 1 2 3 2 3 2 2 3 3 3 1 2 2 2 3 3 3
0,3 0,1 0,3 0,2 0,5 0,5 1,0 0,3 0,5 0,4 0,5 0,2 0,1 0,1 0,6 0,2 0,7 0,2 0,8 0,1 0,4 0,2 0,5 0,3 0,3 0,8 0,2 0,3 0,7 0,0 0,5 0,5 0,5 0,0 1,5 0,5 0,0 0,0 1,2 0,5 2,5 2,4 2,5 2,1 3,0 3,5 0,4 3,0 3,2 2,0 3,2 3,5 2,5
X1-4 500 450 500 350 300 500 600 500 600 500 1000 400 700 200 400 300 200 400 300 300 300 200 150 500 500 400 50 200 450 400 560 1200 300 40 300 200 300 400 500 300 400 400 300 300 500 600 250 400 500 300 500 500 300
X1-5
X2-1
X2-2
X2-3
X2-4
Y3
5 5 5 5 5 6 6 4 5 3 5 3 2 0 3 3 2 3 5 0 3 2 3 3 4 3 0 2 6 6 5 5 3 3 3 6 6 5 6 5 2 4 6 3 3 3 4 6 0 2 4 3 3
6 6 7 6 7 6 6 3 4 4 4 6 6 5 4 4 5 2 3 7 2 7 6 6 7 3 6 7 5 5 8 6 6 6 7 3 4 7 6 6 6 6 5 7 6 6 5 6 6 7 8 5 6
6 5 6 6 2 6 5 4 2 2 4 5 5 2 3 6 6 6 6 5 4 5 2 2 6 6 3 6 5 6 5 6 5 5 3 4 3 5 4 4 6 6 6 4 6 6 3 6 6 3 6 6 6
6 5 5 5 3 6 5 2 4 2 3 6 6 3 3 6 6 5 5 5 2 4 2 4 5 5 4 3 3 3 3 5 4 3 3 2 2 3 5 3 5 4 5 2 2 5 2 5 5 2 4 4 4
2 4 3 5 3 2 4 3 2 3 3 6 2 3 3 2 3 2 3 2 6 3 5 1 3 1 2 2 3 6 4 4 3 5 6 2 3 2 4 3 2 2 6 3 3 3 3 4 0 3 4 3 5
15 19 0 10 0 0 0 0 8 0 4 0 7 0 7 0 4 0 0 4 0 0 0 0 0 0 7 0 0 0 0 0 13 12 16 0 0 0 0 0 0 0 0 8 0 7 0 0 0 0 10 0 0
86
Lanjutan lampiran 17 No. res.
X1-1
X1-2
X1-3
35 60 50 30 26 48 45 56 56 63 61 56 50 63 70 56 40 67 58 70 28 71 62 56 57 32 72 32 69 66 65 54 72 29 39 55 35 39 60 32 48
1 3 3 3 3 1 2 3 2 2 2 2 2 2 3 2 1 3 3 3 1 3 3 3 2 2 2 1 2 3 2 2 3 1 2 3 1 1 2 2 1
2,4 2,1 3,0 3,0 3,3 0,5 0,6 0,7 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,8 1,0 0,7 0,4 0,7 0,7 0,5 0,3 1,2 1,0 2,5 0,4 0,7 0,6 0,2 0,2 0,6 0,2 0,3 0,5 0,5 0,5 0,9 0,5 0,4 0,2 0,2 0,5
54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94
X1-4
300 400 1500 500 500 550 500 525 560 500 550 375 350 450 400 450 400 600 500 350 300 500 500 400 300 500 400 200 300 650 100 400 300 300 400 500 250 350 400 300 300
X1-5
X2-1
X2-2
X2-3
X2-4
Y3
3 3 6 2 3 6 4 5 4 4 6 3 4 3 3 3 3 5 5 5 3 3 3 6 4 5 5 6 3 3 4 6 6 3 4 5 2 4 6 3 4
4 7 6 6 6 4 4 7 7 6 6 7 4 4 4 7 7 8 6 6 0 8 6 5 6 3 6 0 4 7 7 3 8 4 6 4 4 3 8 6 5
6 5 6 6 6 3 3 5 5 5 5 6 4 5 5 5 3 6 5 5 1 6 5 6 5 4 6 2 6 6 6 6 5 2 3 5 4 5 5 5 3
2 5 5 5 4 2 2 2 2 2 4 4 5 5 5 5 2 6 6 5 2 6 5 3 3 2 3 2 3 4 4 5 6 3 3 5 2 4 5 5 6
0 5 3 2 3 6 2 6 6 5 3 1 3 2 4 1 3 2 5 0 3 5 1 0 0 1 3 3 1 2 3 4 1 3 0 1 0 2 3 1 3
0 0 0 10 0 10 10 0 0 0 16 0 0 0 0 0 23 0 10 0 0 0 0 0 0 13 0 0 0 5 0 10 0 0 0 0 0 10 0 0 10
Keterangan : X1-1 = X1-2 = X1-3 = X1-4 = X1-5 = X2-1 = X2-2 = X2-3 = X2-4 = Y3 =
Umur Tingkat pendidikan Luas lahan Pendapatan Persepsi Intensitas sosialisasi program/penyuluhan Ketersediaan sarana rehabilitasi Peran lembaga sosial Peran pendamping Partisipasi masyarakat pada tahap evaluasi