Journal of Community Forestry Service, Vol I. No. 1 (46 - 57) Local Tradition of Dusun Bawakaraeng People in Forest Securing at Lengkese Subwatershed, Upstream Jeneberang Watershed
Kebiasaan Masyarakat Dusun Bawakaraeng dalam Pengamanan Hutan di Sub DAS Lengkese Das Jeneberang Hulu Usman Arsyad1, Sainudddin2 1
Laboratorium Pengelolaan DAS Fakultas Kehutanan UNHAS Alamat Rumah :Jl. Sunu No 109 A Kampus UNHAS Barayya Alamat surel:
[email protected] 2
Tim Layanan Kehutanan Masyarakat UNHAS Alamat Rumah : Jalan Pejuang Raya No. 18 B. Alamat surel:
[email protected]
Abstract This study aimed to assess local knowledge in forest management and the dynamics of contiguity between local and non-local wisdom. The study population is the people who live around the forest sub-catchment areas Lengkese, Manimbahoi Village, District Parigi, Gowa regency. Determination of the respondents conducted by multistage purposive sampling method (stratified sampling) based on the level of social status in the community with the sample selection was based on consideration of (purposeful) in accordance with the objectives of the study. Methods of data collection through observation and interview techniques. Interview technique is done using two methods: semi-structured interview (snow ball technique) and structured interviews. Primary data were collected in the form karaksteristik land use patterns, activities of the community in the forest, local moral values, and social structures of society. Secondary data in the form of the physical location, social and economic circumstances that obtained from the office of the Village Manimbahoi and climatological data obtained from Climatological Station Class I Maros.The results showed that there is a relationship of mutual dependence on forests in the subwatershed Lengkese. Forests for people Lengkese an integral part of their lives, both as a source of water for their daily needs, for irrigation, agriculture and used the results in the form of timber and non-timber forest products for economic purposes. In the use of forest resources, community Lengkese guided by the provisions of the ancestors, appasang (mandate). Based appasang, forest Lengkese divided into three sections, ie Kabbung Lompoa, Tinra Ballia and Koko. These three forms of forest can be maintained because there is still value their local wisdom to date. These values, functionally supportive government policies (non-local) even found indications of threats from outsiders who can fade the value of local wisdom in Lengkese. Key words: local tradition, securing forest
Journal of Community Forestry Service, Vol I. No. 1 (46 - 57) Local Tradition of Dusun Bawakaraeng People in Forest Securing at Lengkese Subwatershed, Upstream Jeneberang Watershed
I.
Pendahuluan
Secara umum Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang telah lama mengalami penurunan kualitas yang terlihat pada indikator ratio debit maksimum pada musim hujan (Q max) dan debit minimum (Q min) pada musim kemarau. Berdasarkan data debit Sungai Jeneberang dari Dinas Pengelolaaan Sumber Daya Air (2008), terdapat perbedaan yang sangat besar antara Q max dan Q min, yaitu masing-masing 406.00 m3/detik untuk Q max dan 0.50 m3/detik untuk Q min. Ratio antara Q max dan Q min berada pada angka 812. Angka ini jauh melampaui angka untuk kondisi suatu DAS yang sehat yaitu< 50 (Departemen Kehutanan, 2009). Dusun Bawakaraeng adalah salah satu dusun yang terletak di Sub DAS Lengkese DAS Jeneberang Hulu, tepatnya di kaki Gunung Bawakaraeng.Kawasan hutannya terjaga dengan baik karena adanya aturan-aturan masyarakat lokal yang dipatuhi dan dilaksanakan sampai sekarang.Masyarakat setempat sangat yakin bahwa aliran air sungai di dusun tersebut tidak pernah kering meskipun pada puncak musim kemarau, akibat dari hutan yang terjaga dengan baik menurut tradisi lokal tersebut.Kondisi tata air di Sub DAS Lengkese ini sangat berbeda dengan kondisi tata air di DAS Jeneberang.Secara umum keadaan topografi Sub DAS ini adalah dataran tinggi dan daerah perbukitan yang berada pada ketinggian sekitar 900 m dari permukaan laut.Sebagian besar wilayah penelitian berada pada kelerengan agak curam hingga sangat curam. Berdasarkan Peta Tanah dan Geologi Kabupataen Gowa jenis tanah yang mendominasi wilayah penelitian adalah Dystrandepts dan Dystopepts dengan jenius batuan Andesit, Basalt, Tefra, Tufit, Batu Lumpur, Batu Pasir, dan Aluvian muda berasal dari endapan sungai. Berdasarkan Peta Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan tahun 2009, kawasan hutan di Dusun Bawakaraeng merupakan kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi terbatas, dan areal penggunaan lain. Jenis-jenis vegetasi yang ada pada Sub DAS Lengkese DAS Jeneberang Hulu pada umumnya ialah Kopi arabika (Coffea arabica L), Kopi robusta (Coffea robusta), Kapuk randu (Ceiba petandra), Mahoni (Swietenia macrophylla), Jati putih (Gmelina arborea), Albisia (Albizia falcataria), Bambu (Bambusa Sp), Alpukat (Persea americana), Mangga (Mangifera indica), Nangka (Artocarpus heterophyllus), Jambu monyet (Anarcadium occidentale), Jambu biji (Psidium guajava), Santigi (Pemphis acidula), Gaharu (Aquilaria mduccensis), Kayu manis (Cynnamomun aromaticum), Pinus (Pinus merkusi), Lambiri dan rarang. Kawasan hutan lindung terletak di bagian hulu Sub DAS sedangkan kawasan hutan produksi biasa terletak di bagian hilir Sub DAS tersebut. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat lokal sebenarnya merupakan satu bentuk kearifan lokal dalam menjaga dan memelihara kawasan di Sub DAS Lengkese, yang selama ini belum pernah terpublikasi sehingga belum diketahui secara luas. Kebiasaan-kebiasaan apa saja yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat selama ini adalah merupakan hal yang sangat penting untuk diketahui. Dalam hubungan inilah maka penelitian ini dilaksanakan pada masyarakat petani yang bertempat tinggal di dan sekitar Dusun Bawakaraeng Desa Manimbahoi, Kecamatan Parigi, Kabupaten Gowa.
2
Journal of Community Forestry Service, Vol I. No. 1 (46 - 57) Local Tradition of Dusun Bawakaraeng People in Forest Securing at Lengkese Subwatershed, Upstream Jeneberang Watershed
II.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November - Desember 2011 di Sub DAS Lengkese.Dusun Bawakaraeng, Desa Manimbahoi, Keca-matan Parigi, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS, Kalkulator, Alat tulis menulis, seperangkat komputer dan software.Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah Peta Kawasan Hutan Kabupaten Gowa, Peta Rupa Bumi 1999, Peta DAS Jeneberang dan Peta Administrasi Kabupaten Gowa.Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat petani hutan yang bermukim di Dusun Bawakaraeng dan di sekitar hutan di Sub DAS Lengkese. Desa Manimbahoi, Kecamatan Parigi, Kabupaten Gowa. Penentuan responden dilakukan dengan metode secara bertingkat secara purposive (multi stage purposivesampling) berdasarkan tingkatan status sosial.Pemilihan sampel dilakukan dengan pertimbangan (purposive) sesuai dengan tujuan penelitian. Sampel yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini adalah : tokoh masyarakat seperti Kepala Kampong (Kepala Kampung), Imang (Imam kampung), Sandro (Dukun), Pinati, dan Panrita Balla dan juga diambil dari aparat desa dan masyarakat petani hutan lainnya. Data primer diperoleh dengan mengadakan observasi langsung di lapangan dan wawancara. Data yang dikumpulkan meliputi : (a) Identitas responden (nama, umur, tingkat pendidikan, status perkawinan, pekerjaan dan jumlah tanggungan keluarga), (b) karakteristik hutan dan (c) pranata sosial serta kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan hutan yang meliputi, pemanfaatan lahan hutan, pengamanan dan perlindungan hutan, sangsi adat baik fisik maupun sosial, kebiasaan-kebiasaan serta aturan masyarakat adat. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi yang terkait dengan lingkup penelitian. Data yang dikumpulkan seperti : Keadaan umum lokasi penelitian, untuk mengetahui kondisi umum lokasi penelitian meliputi letak geografis, tingkat pendidikan masyarakat, pendapatan serta pemanfaatan sumber daya hutan oleh masyarakat. Pengumpulan data dengan dilakukan melalui survey lapangan dan wawancara terhadap tokoh-tokoh adat, aparat desa dan masyarakat setempat untuk memperoleh informasi kebiasaan masyarakat lokal dalam menjaga dan mengamankan hutan.Wawancara dilakukan dengan dua teknik yaitu wawancara semi terstruktur dan wawancara terstruktur.Wawancara semi terstruktur lebih diarahkan pada pokok pembicaraan yang telah ditentukan terlebih dahulu.Pertanyaan yang lebih rinci dikembangkan selama wawancara berdasarkan hasil pembicaraan antara pewawancara dan yang diwawancarai dengan teknik snow ball. Wawancara terstruktur dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) untuk memperoleh informasi tentang kebiasaan-kebiasaan masyarakat lokal dalam memelihara dan mengamankan hutan dengan menggunakan beberapa pertanyaan yang mengeksplorasi (1) Nilai inti kearifan lokal pengamanan hutan, (2) Karakteristik kelembagaan lokal pengamanan hutan, (3) Deskripsi aktifitas pemanfaatan hutan oleh masyarakat lokal di Sub DAS Lengkese dan keterlibatan stakeholder.
3
Journal of Community Forestry Service, Vol I. No. 1 (46 - 57) Local Tradition of Dusun Bawakaraeng People in Forest Securing at Lengkese Subwatershed, Upstream Jeneberang Watershed
Metode Pengumpulan data juga didukung dengan interpretasi Peta Penutupan lahan, Peta Topografi, Peta Kawasan Hutan dan Peta administrasi dilakukan untuk memperolah data sekunder. Peta-Peta ini dioverlay di komputer dengan menggunakan Program Sistem Informasi Geografis (SIG). Dari hasil overlay peta-peta ini dapat diketahui Peta Kawasan Hutan dan luasnya di Sub DAS Lengkese. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif eksploratif yang didasarkan pada data primer dan data sekunder.Hasil analisis kemudian ditabulasikan dan diklasifikasikan sesuai dengan tujuan penelitian.
III. Pembahasan Interaksi Masyarakat dengan Hutan Dalam penelitian ini diketahui adanya interaksi yang kuat antara masyarakat di Dusun Bawakaraeng dengan hutan disekitarnya. Hal ini terjadi karena berpedoman kepada satu bentuk kearifan lokal berupa ketentuan leluhur yang disebutAppasang (amanah).Dalam pemanfaatan sumberdaya alam hutan, masyarakat Dusun Bawakaraeng sangat berpegang teguh kepada kearifan lokal Appasang tersebut. Interaksi yang kuat inilah yang menyebabkan masyarakat masih bisa mempertahankan kelestarian hutannya hingga saat ini. Masyarakat sangat yakin bahwa kehidupan mereka di lokasi ini sejak dahulu sangat tergantung kepada keberadaan hutan. Ketergantungan tersebut berupa ketersediaan air secara terus menerus karena mayoritas mata pencaharian masyarakat adalah bertani dan berkebun.Ketersediaan air sepanjang tahun sangat tergantung pada keberadaan dan kondisi hutannya.Oleh karena itu masyarakat di Dusun Bawakaraeng ini tetap berpegang teguh kepada kearifan lokal Appasang tersebut. Upaya pelestarian alam terutama hutan telah diupayakan oleh masyarakat sejak dari nenek moyang mereka. Berbagai aturan, larangan dan pantangan untuk melindungi daerah-daerah tertentu dan adanya tempat-tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat adalah merupakan upaya pelestarian sumberdaya alam terutama hutan serta keanekaragaman hayatinya. Bentuk interaksi masyarakat dengan hutan ini diatur berdasarkan konsep nilai lokal yang berkembang di masyarakat dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Bagi masyarakat Dusun Bawakaraeng, hutan merupakan karunia Tuhan yang tidak terhingga nilainya. Hutan dianggap telah memberi mereka perlindungan dan penghidupan sehari-hari sejak dari dulu hingga sekarang dan yang akan datang. Hutan bagi masyarakat Lengkese mempunyai fungsi ekonomi, ekologi dan fungsi sosial budaya. Secara ekonomi hutan merupakan sumber kehidupan baik langsung maupun tidak langsung.Secara umum hutan bagi masyarakat dimanfaatkan untuk mencari kayu bakar, sebagai sumber bahan bangunan, sumber pangan alami, penghasil sayursayuran, buah-buahan, tempat perlindungan satwa, sumber obat-obatan.Secara ekologi, hutan mempunyai fungsi sebagai tempat cadangan air, mempertahankan siklus curah hujan dan menciptakan iklim mikro di sekitarnya. Secara sosial budaya, hutan menyediakan kebutuhan untuk upacara adat.
4
Journal of Community Forestry Service, Vol I. No. 1 (46 - 57) Local Tradition of Dusun Bawakaraeng People in Forest Securing at Lengkese Subwatershed, Upstream Jeneberang Watershed
Berdasarkan statusnya, hutan pada Sub DAS Lengkese terdiri atas dua jenis hutan yaitu hutan negara dan hutan hak. Pada hutan negara yang merupakan kawasan hutan sesuai dengan tata guna hutan kesepakatan (TGHK), jenis tanaman yang teridentifikasi secara umum adalah santigi (Pemphis acidula), kapuk randu (Ceiba petandra), mahoni (Swietenia macrophylla), jati putih (Gmelina arborea), sengon (Paraserianthes falcataria), gaharu (Aquilaria malacensis), kayu manis (Cynnamomun aromaticum), dan pinus (Pinus merkusii). Selain itu, ditemukan juga alpukat (Persea scholaris), sukun (Arthocarpus communis), rambutan (Nephelium lappaceum), kopi arabika (Coffea arabica L), kopi robusta (Coffea robusta), mangga (Mangifera indica), dan bambu (Bambusa sp). Pada hutan hak dalam hal ini berupa hutan rakyat ditemukan tanaman kopi arabika (Coffea arabica L), kopi robusta (Coffea robusta), tebu (Saccharum officinarum), serta tanaman buah-buahan yaitu papaya (Carica papaya), nangka (Arthocarpus heterophylla), pisang (Musa spp).jambu monyet (Anarcadium occidentale), jambu biji (Psidium guajava), khusus untuk tanaman kehutanan yang ditemukan seperti mahoni (Swietenia macrophylla), jati putih (Gmelina arborea), sengon (Paraserianthes falcataria), gaharu (Aquilaria malacensis), gayu manis(Cynnamomun aromaticum), dan pinus (Pinus merkusii). Penerapan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Hutan Aktifitas masyarakat di Sub DAS Lengkese didominasi oleh kegiatan pertanian dan pemanfaatan kawasan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.Kegiatan yang dilakukan tersebut semuanya tidak terlepas dari aturan maupun kearifan lokal yang berkembang di masyarakat yang dititipkan oleh para leluhur mereka agar tetap menjaga kelestarian hutan. Hutan bagi masyarakat di Sub DAS Lengkese merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan mereka sehingga perlu diatur dan dilestarikan agar keseimbangan dalam kehidupan tetap lestari. Dalam hubungan ini maka masyarakat di Sub DAS Lengkese membagi hutan menjadi tiga bagain sesuai dengan peruntukannya yaitu Kabbung Lompoa, Tinra Ballia dan Koko. Hutan Kabbung Lompoa dan Tinra Ballia masuk ke dalam kawasan hutan (hutan negara) dengan fungsi pokok sebagai hutan lindung sedangkan koko tidak masuk dalam kawasan hutan (hutan hak). Bentuk-bentuk kearifan lokal yang ditemukan pada masyarakat di Sub DAS Lengkese dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Hutan di Sub DAS Lengkese
5
Journal of Community Forestry Service, Vol I. No. 1 (46 - 57) Local Tradition of Dusun Bawakaraeng People in Forest Securing at Lengkese Subwatershed, Upstream Jeneberang Watershed No .
Bentuk Hutan Menurut Kearifan Lokal di Lengkese
Kabbung Lompoa 1.
Menurut ketentuan leluhur mereka (Appasang)pada kawasan hutan ini dilarang dimanfaatkan kayunya namun diperbolehkan untuk mengambil hasil hutanbukan kayu seperti rotan dan bahan ramuan obat-abatan.
Tinra Ballia
Pada kawasan hutan ini dilarang menebang kayukecualiuntuk membangun untuk kepentingan umum seperti untuk membangun rumah ibadah (mesjid/mushala) akan tetapi pada kegiatan penebangan kayu ini harus digantikan dengan tanaman hutan yang baru dan khusus pengantin baru harus menanam kayu sebanyak 7 bibit di hutan.
Koko
Kawasan ini dimanfaatkan sebagai kawasan agroforestry. Masyarakat boleh menebang kayu di kawasan mereka masing-masing terutama untuk kebutuhan pembuatan rumah ataupun untuk dijual. Pada kawasan ini juga dimanfaatkan untuk tanah pertanian seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
2.
3.
Nilai Kearifan Lokal
Berdasarakan Tabel 1 terdapat beberapa model pembagian kawasan menurut konsep kearifan lokal masyarakat di Lengkese yaitu Kabbung Lompoa, Tinra Ballia, dan Koko.Kabbung Lompoa yaitu hutan yang terletak hulu sub DAS Lengkese, jauh dari perkampungan penduduk dan dari jangkuan manusia. Pada hutan ini tumbuh pohon-pohon besar, tempat hidup dan berlindungnya hewan-hewan dan juga dianggap tempat hidupnya makhluk-makhluk halus. Menurut ketentuan leluhur mereka (Appasang) pada kawasan hutan ini dilarang dimanfaatkan kayunya namun diperbolehkan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu seperti rotan dan bahan ramuan obat-abatan. Tinra Ballia yaitu hutan yang terletak di bagian bawah hulu.Kawasan ini merupakan zona pemanfaatan hasil hutan kayu secara ter batas.Pada kawasan hutan ini dilarang menebang kayu kecuali untuk membangun kepentingan umum seperti untuk membangun rumah ibadah (mesjid/mushala), membangun rumah baru bagi para pengantin baru.Dibolehkan juga menanaman kopi pada kawasan tersebut pada areal kosong. Izin pemanfaatan kayu ini diberikan setelah melalui musyawarah tokoh adat dalam hal ini Kapala Kampong, Imang, Sandro, Pinati dan Panrita Balla. Setelah diberikan izin pemanfaatan kayu kegiatan penebangan diatur dalam jumlah terbatas dan ditempat yang telah ditentukan. Jumlah kayu yang ditebang harus disesuaikan dengan kebutuhan pendirian bangunan dan dilarang menebang kayu di daerah pinggir sungai (sempadan sungai), di daerah lereng atau daerah curam, daerah sekitar mata air dan pelaksanaannya diawasi oleh pemangku adat. Khusus untuk pengantin baru harus mengganti kayu yang ditebang tersebut dengan menanam 7 bibit di hutan. Koko atau juga dikenal dengan hutan rakyat ini terletaknya dekat dengan pemukiman masyarakat. Kawasan ini dimanfaatkan sebagai kawasan agroforestry dan budidaya tanaman hutan, pertanian dan perkebunan.Masyarakat boleh menebang
6
Journal of Community Forestry Service, Vol I. No. 1 (46 - 57) Local Tradition of Dusun Bawakaraeng People in Forest Securing at Lengkese Subwatershed, Upstream Jeneberang Watershed
kayu di kawasan mereka masing-masing terutama untuk kebutuhan pembuatan rumah ataupun untuk dijual.Pada kawasan ini juga dimanfaatkan untuk tanah pertanian seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Kearifan lokal dalam bentuk larangan yang dimiliki oleh masyarakat di Sub Lengkese dalam mengelola hutan merupakan adat yang dipertahankan dengan tujuan untuk tetap menjaga fungsi lindung hutan, fungsi lindung hutan tersebut adalah sebagai sumber air dan menjaga keseimbangan ekosistem sub DAS Lengkese. Larangan-larangan tersebut yaitu menebang kayu di hutan dan memanfaatkan lahan sebagai hutan produksi, khususnya pada lokasi hutan Kabbung Lompoa.Larangan tersebut dipertahankan masyarakat hingga kini dengan tujuan untuk mempertahankan sumber irigasi dan sumber air sepanjang tahun guna memenuhi kebutuhan masyarakat sehari-hari. Masyarakat mempunyai peran penting dalam mengelola hutan secara lestari, seperti mengatur tata air dari hulu ke hilir sehingga air irigasi terbagi merata yang merupaka tugas dari Pinati. Apabila hutan tersebut terganggu dan berubah fungsinya maka sawah akan kering dan tidak dapat di gunakan sepanjang tahun yang pada akhirnya akan membuat masyarakat kehilangan mata pencaharian. Hutan Kabbung Lompoa merupakan hulu sungai yang memberikan pasokan air yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sehari-hari hingga sepanjang tahun dalam memandang fungsi hutan untuk kehidupan. Masyarakat di Sub Lengkese memiliki keyakinan yang tertuang dalam prinsip hidup mereka yaitu “punna ammanraki ki romang sikamma ammuno kalengta siagang ammuno cucungkta” yang berarti apabila merusak hutan di hulu maka akan berdampak pada anak dan cucu mereka. Berdasarkan observasi juga dapat diketahui beberapa bentuk aktifitas kearifan lokal masyarakat di Sub DAS Lengkese yang sampai sekarang masih dipertahankan oleh masyarakat seperti hutan Kabbung Lompoa, Tinra Ballia dan Koko. Bentukbentuk aktifitas kearifan lokal masyarakat pada masing-masing kawasan dapat dilihat pada Tabel2.
7
Journal of Community Forestry Service, Vol I. No. 1 (46 - 57) Local Tradition of Dusun Bawakaraeng People in Forest Securing at Lengkese Subwatershed, Upstream Jeneberang Watershed Tabel 2.Bentuk Aktifitas Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Kabbung Lompoa dan Tinra Ballia. Bentuk Hutan Bentuk Aktifitas Kearifan Menurut No. Fungsi untuk DAS Lokal Kearifan Lokal di Lengkese Pemungutan rotan, Mempertahankan sumber pengambilan lebah madu, dan pengairan sawah dan sumber pengambilan tanamanobatKabbung air untuk berbagai kebutuhan 1. obatan serta pengambilan air Lompoa masyarakat serta untuk bersih untuk air minum dan mencegah terjadinya banjir irigasi maupun tanah longsor. Pemungutan rotan, Menyediakan bahan baku pengambilan kayu bakar serta berupa kayu yang digunakan untuk keperluan bahan masyarakatuntuk membangun Tinra Ballia bangunan untuk kepentingan 2. infrastruktur desa pemanfaata umum, dan penanaman HHBK, dan untuk kegiatan tanaman MPTS konservasi lahan kritis pada DAS Budidaya tanaman hutan, kegiatan agroforestry, pengambilan kayu untuk Mendukung pemenuhan Koko bahan bakar dan kebutuhan ekonomi 3. keperluanbahanbangunan, masyarakat di Sub-Sub DAS penanaman seperti sayurLengkese sayuran dan buah –buahan serta MPTS
Berdasarkan Tabel 2 bentuk aktifitas kearifan lokal masyarakat di kawasan hutan bervariasi.Pada daerah Kabbung Lompoa aktifitas masyarakat yang ditemukanadalah berupa pemungutan rotan, pengambilan lebah madu, dan pengambilan tanaman obat-obatan.Kegiatan masyarakat di Kabbung Lompoa tersebut dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan air minum sehari-hari masyarakat dan keperluan irigasi di daerah persawahan. Pada kawasan Tinra Ballia aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat adalah pemungutan rotan, pengambilan kayu bakar serta untuk keperluan bahan bangunan untuk kepentingan umum, dan penanaman tanaman MPTS seperti sukun, kemiri, nangka, mangga, dan durian untuk diambil sebagai bahan pangan dan buah-buahan. Aktifitas masyarakat di dalam kawasan hutan sangat berpedoman pada kearifan lokal masyarakat setempat.Pada kawasan hutan Kabbung Lompoa hanya diperbolehkan melakukan aktifitas pengambilan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan masyarakat dilarang keras untuk melakukan penebangan pohon.Aktifitas masyarakat di Tinra Balli yang diperbolehkan menebang pohon untuk keperluan pembangunan infrastruktur Desa namun harus disepakati melalui rapat desa untuk ditentukan besar dan jenis kayu yang akan ditebang. Kayu yang ditebang harus digantikan dengan tanaman kehutanan yang baru. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan bahwa pemanfaatan kawasan pada hutan lindung adalah bentuk usaha menggunakan kawasan pada hutan lindung dengan tidak mengurangi fungsi utama. Pemanfaatan hutan pada hutan lindung dapat berupa: pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, atau pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemanfaatan kawasan meliputi: usaha budidaya tanaman obat (herba), usaha budidaya tanaman hias, usaha budidaya jamur, usaha budidaya perlebahan, usaha budidaya penangkaran satwa liar, atau usaha budidaya sarang burung walet. Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung antara lain berupa: usaha wisata alam, usaha olah raga tantangan, usaha pemanfaatan air, usaha perdagangan karbon (carbon trade), usaha penyelamatan hutan dan lingkungan. Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung antara lain berupa: pengambilan rotan, pengambilan madu, pengambilan buah dan aneka hasil hutan lainnya, atau perburuan satwa liar yang tidak dilindungi dan dilaksanakan secara tradisional. Secara de facto, kegiatan masyarakat di Kabbung Lompoa dan Tinra Ballia yang merupakan hutan lindung sudah mendukung kebijakan pemerintah. Meskipun pada daerah Tinra Ballia dilakukan kegiatan penebangan kayu untuk bahan bangunan untuk kepentingan umum yang secara yuridis menurut PP 34 Tahun 2004 itu tidak boleh dilakukan tetapi mengingat kegiatan tersebut tidak merubah fungi pokok hutan untuk pengaturan tata air maka hal tersebut masih dapat ditolerir karena masyarakat tetap mengganti pohon yang sudah ditebang dengan penanaman pohon yang baru sehingga kelestarian hutan di Sub DAS Lengkese tetapa terjaga. 8
Journal of Community Forestry Service, Vol I. No. 1 (46 - 57) Local Tradition of Dusun Bawakaraeng People in Forest Securing at Lengkese Subwatershed, Upstream Jeneberang Watershed
Kegiatan masyarakat di Koko umumnya dilakukan dengan polaagroforestry.Kegiatan ini meliputi budidaya tanaman hutan seperti mahoni, jati putih dan gaharu dengan menggunakan tanaman pertanian dan perkebunan sebagai tanaman sela. Selain itu, daerah ini digunakan sebagai lahan pertanian tanaman semusim dan penanaman kayu dari jenis MPTS maupun fast growing species. Pengambilan kayu untuk bahan bakar serta untuk keperluan bahan bangunan diarahkan pada kawasan ini. Aktifitas masyarakat di Koko sangat mendukung program hutan rakyat yang dicanangkan pemerintah. Pola pengelolaan hutan rakyat di Lengkese menggunakan pola swadaya dimana hutan rakyat yang dibangun oleh perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari perorangan itu sendiri. Dinamika Kearifan Lokal Nilai kearifan lokal di Sub DAS Lengkese tidak mengalami perubahan dan peluruhan kearifan lokal. Hal ini dikarenakan masyarakat masih memegang teguh amanah yang disampaikan oleh leluhur mereka dan nilai tersebut sudah menjadi landasan bagi kehidupan masyarakat Lengkese. Sekalipun demikian terdapat indikasi awal adanya modifikasi terhadap nilai-nilai baru yang masuk terutama pola penanaman pohon, penggunaan teknologi, dan penerimaan masyarakat terhadap gagasan pariwisata. Bentuk kearifan lokal dalam pengelolaan hutan di Sub DAS Lengkese tetap dipertahankan dan tetap efektif dalam mengatur kehidupan masyarakat dan alam. Adanya pergeseran pola agroforestry di koko dari pola agroforestry tanaman pertanian dan tanaman MPTS (multi purpose tree species) menjadi pola agroforestry pertanian dan tanaman MPTS dan tanaman fast growing species muncul akibat oleh faktor perpindahan atau masuknya penduduk lain ke Lengkese dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Adanya desakan kebutuhan kayu untuk bahan bangunan merupakan salah satu ancaman terhadap kelestarian kearifan lokal di Lengkese.Hal ini mulai nampak oleh adanya pihak dari luar yang berusaha mengambil kayu untuk kepentingan ekonomi di areal hutan Lengkese. Penebangan dan pencurian kayu di hutan ini umumnya dilakukan oleh orang dari luar daerah ini. Kearifan non lokal yang dibawah oleh pihak luar tersebut dianggap akan berdampak pada hancurnya kelestarian lingkungan. Namun untuk menghindari nilai non lokalyang bersifat negative ini, masyarakat telah memberikan sanksi adat berupa denda materi kepada pihak luar yang berusaha melanggar larangan tersebut.Oleh karena itu, ancaman terbesar nilai kearifan lokal di Lengkese yang selama ini berjalan dinamis adalah pergeseran paradigma nilai hutan dari yang berorientasi ekologi ke orientasi nilai ekonomi semata. Kearifan lokal masyarakat di Sub DAS Lengkese sampai saat masih dipertahankan dan ditaati.Masyarakat masih memegang teguh appasang (amanah) yang disampaikan oleh leluhur mereka sehingga menjadi landasan bagi kehidupan masyarakat Lengkese. Kearifan lokal di Lengekse diturunkan dari generasi ke generasi, yaitu dari generasi tua ke generasi muda sejak mereka kecil. Modal transfer of knowledge dilakukan dengan lisan/oral melalui ceritacerita yang disampaikan melalui Appasang. Pendekatan melalui keluarga menjadi bentuk sosialisasi yang efektif untuk kelestarian kearifan lokal di Sub DAS Lengekese dalam mengelolah hutan. Nilai kearifan lokal di Sub DAS Lengkese pada dasarnya sangat mendukung kebijakan pemerintah dalam mengelolah hutan. Keberadaan nilai nilai kearifan lokal ini turut andil dalam mendukung kebijakan pemerintah dalam mengurangi illegal logging. Kebijakan pemerintah tentang larangan menebang pohon pada hutan lindung dan kawasan hutan dalam rangka menjaga keseimbangan alam dan meminimalisir terjadinya bencana alam juga memperkuat eksistensi kearifan lokal masyarakat desa Manimbahoi. Oleh karena itu, kearifan lokal dan non lokal secara nyata yang saling mendukung dan saling koeksistensi. Kedua aturan ini memiliki tujuan yang sama yaitu melestariakan alam. Implikasi Nilai Kearifan Lokal terhadap Kelestarian DAS Lengkese Nilai kearifan lokal yang dijaga dan dipatuhi oleh masyarakat di sekitar Sub DAS Lengkese dalam menjaga hutan masih terpelihara dengan baik sampai sekarang. Ketersediaan air di Sub DAS ini masih tersedia sepanjang tahun bahkan puncak musim kemarau pun air masih melimpah dan dapat menyediakan air bagi masyarakat untuk keperluan sehari-hari. Hal ini membuktikan bahwa kondisi Sub DAS Lengkese masih sehat. Larangan menebang pohon oleh masyarakat pada Kabbun Lompoa yang terdapat pada bagian hulu Sub DAS Lengkese menyebabkan kemampuan air hutan dalam mengatur tata air berjalan dengan baik. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Dephut (2007) bahwa hutan memiliki kemampuan sebagai penahan air hujan yang jatuh di atasnya untuk disimpan di dalam bumi yang kemudian secara alami dialirkan sepanjang tahun melalui aliran bawah permukaan (sub surface flow). Meskipun demikian, hasil air (jumlah, mutu, kontinyuitas) dari kawasan hutan tidak hanya tergantung vegetasi hutannya tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor alam lainnya seperti jenis batuan (geologi, tanah, lereng dan iklim).
9
Journal of Community Forestry Service, Vol I. No. 1 (46 - 57) Local Tradition of Dusun Bawakaraeng People in Forest Securing at Lengkese Subwatershed, Upstream Jeneberang Watershed
Kelestarian hutan sebagai bentuk implikasi penerapan nilai kearifan lokal pada Sub DAS Lengkese menyebabkan hutan tersebut dapat menahan limpasan permukaan (surface run-off), sehingga banjir di musim penghujan berkurang dan kekeringan di musim kemarau dapat dihindari. Dephut (2007), menyatakan bahwa, semakin luas hutan dalam DAS maka semakin kecil banjir yang terjadi. Hutan merupakan salah unsur pengendali daur hidrologi, baik sebagai pengguna air untuk proses kehidupannya (tranpirasi) maupun sebagai sistem lingkungan yang mempengaruhi proses daur air seperti intersepsi, aliran batang (steam flow), curahan tajuk (through fall), limpasan (permukaan dan bawah permukaan), evaporasi, dan simpanan air dalam tanah. Ketersediaan air di Sub DAS Lengkese merupakan pasokan air yang sangat dibutuhkan untuk irigasi, pertanian, dan komsumsi rumah tangga di Sub DAS Lengkese. Nilai- nilai lokal dalam pengelolaan hutan di Sub DAS Lengkese yang secara turun temurun dipahami, dipatuhi masyarakat dan berimplikasi terhadap kelestarian hutan dan keseimbangan lingkungan di Lengkese. Hal ini dibuktikan penutupan lahan hutan yang cukup tinggi, dengan keragamanan flora dan fauna yang terdapat di hutan di Sub DAS Lengkese, ketersediaan air untuk pertanian dan kebutuhan hidup masyarakat tersedia sepanjang tahun. Lestari (20012) menemukan rata-rata ratio debit maksimum dan minimum 1 : 34, yang mengindikasikan kondisi Sub DAS tersebut sangat sehat. Kondisi ini tercipta karena ekosistem yang masih bagus.Masih ditemukan pohon-pohon berdiameter besar, tumbuhan pemanjat (liana) dan efipit. Juga masih ditemukan fauna khas Sulawesi seperti monyet (Macaca sp.),ayam hutan merah (Gallus gallus), pergam tutu(Ducula forsteni),cekakak sungai(Halcyon chloris), srigunting Sulawesi (Dicrurus montatus),bondol rawa(Lonchura mlacea),bondol taruk (Lonchura molucca),kepudang kuduk hitam(Oriolus chinensis).Hal ini menunjukkan bahwa kearifan lokal ini memberi arti penting bagi keterjaminan kelestarian hutan. Ukuran diameter batang pohon yang relatif besar dan ketinggian yang melebihi rata-rata memberikan peluang pula bagi sejumlah avifauna untuk berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa hutan yang diatur berdasarkan nilai kearifan lokal masih dalam kondisi alami. Disisi lain terdapatnya aturan lokal yang mengatur hutan Kabbung Lompoa dan Tinra Ballia merupakan modal sosial yang cukup bagi pelestarian jenis dan ekosistem. Dengan demikian wilayah tersebut paling stabil secara hidrologis peranan yang sangat besar bagi kualitas Sub DAS Lengkese. Semakin terbukanya isolasi masyarakat lokal di Sub DAS Lengkese terhadap pengaruh luar sangat memberikan dampak terhadap nilai kearifal lokal mereka. Oleh karena itu nilai-nilai yang selama ini dianggap sebagai suatu pola pemanfaatan sumberdaya yang arif dari sisi budaya lokal dan perspektif konservasi dan pola pemanfaatan berkelanjutan perlu dipertahakankan. Meskipun demikian perkembangan pengaruh dari luar dapat mempengaruhi nilai mereka sehingga dalam pengelolaan ini tidak semata-mata terlena dengan konteks kearifan lokal masa lalu tetapi perlu melakukan kajian dan evaluasi tentang pola-pola pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat lokal. Hal ini penting bukan saja bagi kelestarian sumberdaya alam hayati itu sendiri, tetapi juga untuk menjaga ketersediaan sumberdaya alam hayati bagi kesejahteraan masyarakat yang bermukim di sekitar hutan.
IV. Kesimpulan 1. 2.
Berdasarkan hasil penelitian dan hasil wawancara, maka ditarik kesimpulan sebagai berikut : Kelestarian hutan di Sub DAS Lengkese dapat dipertahankan oleh karena adanya kearifan lokal yang dikonsepsikan sebagaiappasang Kearifan lokal pada masyarakat di Dusun Bawakaraeng Sub DAS Lengkese berjalan dinamis karena saling mendukung dengan kebijakan pemerintah
V. Daftar Pustaka Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1999. Undang-undang Repoblik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta.
10