VII. NILAI EKONOMI TOTAL KAWASAN TAHURA DJUANDA Abstrak Secara ekonomi keberadaan tahura akan memberikan manfaat dan keuntungan baik secara langsung maupun tidak langsung seperti efisiensi penggunaan sumberdaya, kemudahan dalam mempromosikan dan menjual produk wisata di pasar lokal, regional dan bahkan mancanegara melalui perbaikan kualitas lingkungan. Namun nilai ekonomi dari keberadaan tahura tersebut jarang dihitung, sehingga keberadaan daerah konservasi dianggap sebagai beban pembiyaan bagi pemerintah daerah dalam pemeliharaannya. Penelitian bertujuan untuk mengetahui nilai ekonomi total keberadaan Tahura Djuanda. Berdasarkan hasil dan pembahasan menunjukkan bahwa fenomena urban sprawl pada wilayah studi menunjukan bahwa ketidakmerataan perembetan areal kekotaan di semua bagian sisi-sisi luar dan pada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat di sepanjang jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat menjari (radial) dari pusat kota yaitu perembetan memanjang (ribbon sprawl). perembetan kegiatan perkotaan pada kuadran 2 adalah jenis perembetan yang tidak dipengaruhi dengan adanya jalan utama yang menghubungkan dengan sentra kegiatan, sehingga perembetan tersebut tersebar pada beberapa tempat dan disebut pola perembetan leapfrog sprawl. Nilai ekonomi total dari pemanfaatan kawasan Tahura Djuanda sebesar Rp. 7.248.163.074.446 pertahun . Nilai ini termasuk cukup besar jika dibandingkan dengan luas kawasan pengelolaan Tahura yaitu hanya sekitar 526,98 hektar dengan nilai Rp 13.754.152.101,- per ha. Keywords: total economic valuation, Tahura Djuanda, urban sprawl 7.1. Pendahuluan Tahura Djuanda mempunyai peran sebagai penyedia air untuk pertanian, air
bersih
untuk
masyarakat,
sebagai
energi
kinetik
potensial
untuk
menggerakkan turbin PLTA Bengkok dalam menghasilkan sumber energi listrik merupakan kawasan yang ditanami berbagai jenis vegetasi dan memiliki lapisan tanah yang subur dan meresapkan air dengan baik. Sehingga kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi yang harus dilindungi dan dilestarikan sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. Secara ekonomi Tahura Djuanda sangat diminati oleh wisatawan baik lokal maupun regional. Kawasan ini merupakan alternatif kedua setelah puncak. Keindahan alam yang dimiliki oleh tahura Djuanda diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi baik untuk pemerintah daerah maupun masyarakat sekitar. Ketersediaan sarana dan prasarana fisik yang baik sangat penting dalam mendukung pengelolaan Tahura Djuanda. Kondisi sarana prasarana fisik pengelolaan Tahura Djuanda saat ini merupakan indikator penting dari tingkat
114
kualitas dan intensitas pengelolaan Tahura Djuanda yang telah berjalan selama ini. Secara umum kondisi sarana prasarana yang ada kini cukup lengkap dan dalam kondisi terpelihara dengan baik. Tempat parkir yang dimiliki cukup luas dan pintu gerbang utama yang cukup baik. Antara pintu gerbang utama dengan plaza/patung terdapat jalur jalan aspal selebar 2,5 meter dan panjang 700 meter. Di dalam kawasan Tahura Djuanda terdapat fasilitas jalan cukup lebar yang menghubungkan ke Goa Jepang dan Goa Belanda. Kantor Balai Pengelolaan Tahura Djuanda terletak berdampingan dengan Pusat Informasi (Information Center) Tahura Djuanda yang memamerkan berbagai dokumentasi tentang Djuanda dan berbagai informasi dasar tentang Tahura Djuanda (musium). Pada kawasan koleksi tanaman juga telah dilengkapi dengan arena bermain anak. Setiap tempat konsentrasi pengunjung juga dilengkapi bangku wisata, kopel dan shelter serta toilet yang cukup bersih. Untuk
menjamin
kelestarian
dan
keberadaan
Tahura
Djuanda
pengendalian ruang sekitar kawasan sangat perlu dilakukan untuk mengurangi resiko dan dampak negatif terhadap pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Selanjutnya setiap stakeholder yang terlibat dalam penetapan kebijakan dan atau terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya sekitar kawasan tahura mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap nilai lindung atau konservasi dari kawasan tersebut. Sehingga manfaat ekologi, ekonomi dan sosial dari keberadaan tahura dapat dirasakan secara langsung baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Tata guna lahan di kawasan konservasi pada dasarnya merupakan permasalahan ekonomi, dimana semua keputusan tentang penggunaan lahan akan berakibat pada biaya dan manfaat ekonomi. Sementara standar yang menjadi indikator universal untuk menilai upaya organisasi dalam perlindungan lingkungan masih kurang tersedia. Selain alasan tersebut, dalam rangka perlindungan
lingkungan,
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
dan
pendapatan asli daerah serta memenangkan persaingan ekonomi dalam penjualan
produk
wisata,
pemerintah
daerah
setidaknya
dapat
memepertahankan keberadaan tahura dengan meningkatkan kinerja manajemen lingkungannya. Secara ekonomi keberadaan tahura akan memberikan manfaat dan keuntungan baik secara langsung maupun tidak langsung seperti efisiensi penggunaan sumberdaya, kemudahan dalam mempromosikan dan menjual
115
produk wisata di pasar lokal, regional dan bahkan mancanegara melalui perbaikan kualitas lingkungan. Namun nilai ekonomi dari keberadaan tahura tersebut jarang bahkan tidak pernah dihitung. Sehingga keberadaan daerah konservasi dianggap sebagai beban pembiyaan bagi pemerintah daerah dalam pemeliharaannya. Berkaitan dengan hal tersebut dilakukan penelitian mengenai valuasi ekonomi terhadap keberadaan Tahura Djuanda. Penelitian bertujuan untuk mengetahui nilai ekonomi total (Total Economic Value = TEV) dari keberadaan Tahura Djuanda di Kota Bandung Provinsi Jawa Barat. 7.2 Metode Analisis Nilai manfaat konservasi dari kawasan Tahura Djuanda dapat dinilai melalui Nilai Ekonomi Total (NET). Nilai ekonomi yang dihitung meliputi Nilai Penggunaan Langsung (NPL) dan Nilai Penggunaan Tak Langsung (NPTL), nilai pilihan dan nilai non penggunaan (NNP). Nilai Ekonomi Tahura Djuanda secara keseluruhan diformulasikan sebagai berikut: NT = [NPL+NTPL] + NNP NT = [{NE k } + {NAd + NAp + NP el + NP c }] +NP il + [NK eb] Dalam hal ini : NEk = Nilai Ekowisata NAd = Nilai Air Domestik NAp = Nilai Air Pertanian NPel = Nilai Pelestarian NPc = Nilai Penyerapan Carbon NPil = Nilai Pilihan NKeb = Nilai Keberadaan 1. Nilai Ekowisata Nilai wisata (rekreasi dan ilmiah) merupakan nilai yang diduga dengan menggunakan pendekatan biaya perjalanan (travel cost method). Travel cost method terdiri dari biaya transportasi dari tempat tinggalnya ke Tahura Djuanda dan seluruh pengeluaran selama diperjalanan dan di dalam Tahura Djuanda. Penentuan total nilai ekonomi wisata yang meliputi total kesediaan membayar dan nilai yang dibayarkan wisatawan yang berkunjung ke Tahura Djuanda dengan total jumlah penduduk di seluruh zona pengunjung dengan formula sebagai berikut :
116
Nilai Ekonomi Ekowisata = Jumlah kunjungan per tahun x biaya kunjungan per tahun
2. Nilai Air Domestik Konsumsi air domestik (rumah tangga) merupakan air untuk kebutuhan minum dan memasak, air untuk mandi dan mencuci, serta untuk kakus. Harga air domestik didasarkan pada pendekatan biaya pengadaan, yaitu korbanan yang harus dikeluarkan untuk dapat mengkonsumsi/menggunakan air tersebut. Untuk menentukan harga air berdasarkan pendekatan biaya pengadaan digunakan formula sebagai berikut: BPAdi HADi =
---------Kdi
dalam hal ini : HADi
= harga/biaya pengadaan air responden ke i (Rp/satuan)
BPAdi = biaya pengadaan air domestik ke i Kdi
= jumlah kebutuhan air domestik ke i
Total nilai ekonomi air domestik didasarkan pada konsumsi air domestik per kapita sehingga pengganda yang digunakan adalah jumlah penduduk di lokasi penelitian yang air domestiknya bersumber dari Tahura Djuanda. Untuk menentukan total nilai penggunaan air domestik digunakan rumus sebagai berikut : NAd
=
RNAd x P
dalam hal ini : NAd
= nilai air domestik (meliputi total kesediaan membayar, nilai yang dibayarkan dan surplus konsumen)
RNAd = rata-rata nilai air domestik (Rp/kapita/tahun) P
= jumlah penduduk di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda
Masyarakat desa di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda berada dalam daerah tangkapan Tahura Djuanda maka air domestik yang digunakan oleh masyarakat keberadaannya merupakan fungsi dari Tahura Ir. H. Djuanda. Oleh karena itu,
117
diasumsikan bahwa semua sumber air domestik yang digunakan masyarakat di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda bersumber dari Tahura Ir. H. Djuanda. 3. Nilai Air Pertanian (NAp ) Areal pertanian yang dihitung nilai airnya adalah kebun/tegalan yang sumber airnya berasal dari dan merupakan fungsi dari keberadaan Tahura Djuanda (bukan kebun/ladang tadah hujan). Penentuan harga air dilakukan dengan pendekatan biaya pengadaan dan metoda kontingensi. Harga ditentukan berdasarkan
pendekatan
biaya
pengadaan
yang
dilakukan
dengan
menggunakan formula sebagai berikut : BPi HApi = -------Li dalam hal ini : HApi
= harga/biaya pengadaan air kebun/tegalan responden ke i (Rp/ha/tahun)
BPi
= biaya untuk mengalirkan air kebun/tegalan responden ke i (Rp/tahun)
Li
= luas kebun/tegalan yang diairi responden ke i (ha)
Total nilai ekonomi air pertanian didasarkan pada luas panen (ha/tahun) sehingga pengganda yang digunakan adalah luas panen kebun/tegalan per tahun yang airnya bersumber dari Tahura Ir. H. Djuanda. Untuk menentukan total nilai penggunaan air pertanian digunakan rumus sebagai berikut : NAp
=
RNAp x LS
dalam hal ini : NAp
= nilai air pertanian (meliputi total kesediaan membayar, nilai yang dibayarkan dan surplus konsumen)
RNAp = rata-rata nilai air pertanian (Rp/ha/tahun) LS
= luas kebun/tegalan di sekitar Tahura Djuanda yang sumber airnya dari Tahura Ir. H. Djuanda
4. Nilai Penyerapan Karbon (NPc) Nilai karbon difokuskan pada hutan primer dan hutan sekunder sehingga dalam studi ini vegetasi kawasan Tahura Djuanda dikelompokkan kedalam hutan
118
primer dan hutan sekunder. Untuk nilai karbon digunakan pendekatan harga karbon yang berlaku di pasar internasional. Penentuan nilai karbon dihitung dengan rumus sebagai berikut : NPc)
=
({Lp x Kcp x} + {LS x Kcs}) x Hc
dalam hal ini : Npc
= nilai penyerapan karbon Tahura Djuanda (Rp)
Lp
= luas hutan primer Tahura Djuanda (hektar)
Ls
= luas hutan sekunder Tahura Djuanda (hektar)
Kcp
= kemampuan menyerap karbon hutan primer (ton/hektar)
Kcs
= kemampuan menyerap karbon hutan sekunder (ton/hektar)
Hc
= harga karbon (Rp per ton)
5. Nilai Pelestarian (Npel) Nilai pelestarian (flora, fauna, plasma nutfah, habitat, dan ekosistem) ditentukan melalui pendekatan kesediaan membayar (willingness to pay ) dari masyarakat untuk membiayai upaya pelestarian Tahura Djuanda dengan formula sebagai berikut :
Npel
S kesediaan responden untuk membayar (Rp) = ------------------------------------------------------------------ x JP S responden
dalam hal ini : Npel
= nilai pelestarian Tahura Djuanda
JP
= jumlah penduduk yang tercakup dalam wilayah penelitian
6. Nilai Pilihan (NPil ) Nilai pilihan diketahui dari kesediaan seseorang membayar untuk melindungi nilai/manfaat serta menjaga potensi sumberdaya alam yang terdapat dalam Tahura Djuanda untuk kepentingan pemanfaatan di masa yang akan datang. Nilai potensial dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut : S kesediaan responden untuk membayar (Rp) NPil = ---------------------------------------------------------------- x P S responden dalam hal ini : NPil
= nilai pilihan Tahura Djuanda
P
= proporsi populasi yang bersedia membayar nilai pilihan kali
119
jumlah penduduk 7. Nilai Keberadaan (NKeb ) Nilai keberadaan merupakan nilai yang dihitung berdasarkan kesediaan membayar untuk menjaga keberadaan Tahura Djuanda bagi kesenangannya. Penentuan nilai keberadaan menggunakan formula sebagai berikut : S kesediaan responden untuk membayar (Rp) NKeb = ---------------------------------------------------------------- x P S responden dalam hal ini : NKeb = nilai keberadaan Tahura. Djuanda P
= proporsi populasi yang bersedia membayar kali jumlahpenduduk
8. Analisis Persepsi Masyarakat Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap keberadaan Tahura Djuanda, kepada responden diajukan pertanyaan yang secara normatif merupakan kondisi paling ideal dari Tahura Djuanda meliputi : manfaat Tahura Djuanda bagi lingkungan dan masyarakat sekitar; keterlibatan (partisipasi) masyarakat dalam pengelolaan Tahura Djuanda. 7.3. Hasil dan Pembahasan Nilai Ekonomi Total Tahura Djuanda 7.3.1. Nilai Ekowisata Tahura Djuanda a. Karakteristik Pengunjung Pengunjung Tahura Djunda umumnya berasal dari Kota Bandung (82%), Jakarta (10%) dan dari kota lainnya (8%). Pengunjung yang datang merupakan wisata keluarga yang sudah beberapa kali berkunjung ke wilayah ini. Pengunjung yang datang dengan lebih dari tiga kali kunjungan mencapai 74%, sedangkan yang baru berkunjung kurang dari tiga kali sekitar 26% yaitu sekitar 16% yang baru pertama kali dan sekitar 10% yang sudah dua kali kunjungan. Para pengunjung yang datang ke Tahura Juanda merupakan tujuan utama untuk melakukan wisata. Distribusi pengunjung dapat dilihat pada Gambar 27.
120
Asal Pengunjung 8% 10%
82%
Bandung
Jakarta
Lainnya
Gambar 27. Distribusi Asal Pengunjung Tahura Djuanda Proporsi pengunjung Tahura Djuanda terbesar berasal dari Bandung, sedangkan proporsi pengunjung dari kota lain seperti Jakarta dan lainnya relatif kecil. Besarnya pengunjung dari Kota Bandung disebabkan karena letaknya yang strategis yaitu sekitar 7 km dari pusat Kota Bandung, aksesibilitas yang cukup tinggi, kawasan dapat ditempuh dari berbagai jalur jalan, baik melalui jalan Dago maupun melalui Cikutra, biayanya murah, serta kondisi alami Tahura Djuanda yang menawarkan pemandangan alam yang masih asri dengan keragaman flora dan fauna serta goa-goa peninggalan sejarah memberikan pengalaman dan petualangan yang sangat menarik dan jarang dijumpai. Tahura Djuanda bagi masyarakat Kota Bandung merupakan ruang terbuka hijau yang masih lestari dan merupakan tempat untuk berolahraga, menghirup udara segar dan wisata keluarga. Melihat besarnya potensi sumberdaya yang terkandung di kawasan Tahura Ir. Djuanda, dibutuhkan kebijakan-kebijakan dari pemerintah setempat dalam mengembangkan kawasan ini khususnya untuk tujuan wisata dalam konsep ekowisata. Ceballos-Lascurain, 1987 mendefenisikan ekowisata sebagai perjalanan ke tempat-tempat alami yang relatif belum terganggu dan terpolusi, dengan tujuan spesifik untuk belajar, mengagumi dan menikmati pemandangan alam dengan tumbuhan dan satwa liarnya serta budaya yang ada di tempat tersebut.
Sementara
itu
The
International
Ecotourism
Society
(2002),
mendefenisikan ekowisata sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab ke tempat-tempat yang alami yang mendukung upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) serta meningkatkan kesejahteraan
121
masyarakat setempat. Kondisi sosial ekonomi pengunjung sangat berpengaruh terhadap tercapainya tujuan ekowisata utamanya dalam pelestarian lingkungan. Tujuan konservasi lingkungan dalam ekowisata akan tercapai jika pengunjung memahami dan melakukan aktivitas-aktivitas yang tidak menimbulkan kerusakan dan mendukung tercapainya upaya konservasi. Berdasarkan hasil survey yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa umur pengunjung di Tahura Ir. Djuanda rata-rata berasal dari golongan muda dan tua. Pengunjung yang berumur antara 17 tahun sampai dengan 37 tahun sekitar 36%, (36%), pengunjung berusia 37 tahun sampai dengan 57 sekitar 56%, dan pengunjung yang berumur lebih dari 57 tahun sekitar 8%, Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata pengunjung yang datang ke Tahura Djuanda sebagian besar merupakan usia pekerja dan sudah berkeluarga. Dilihat dari tingkat pendidikan pengunjung, sekitar 74% berpendidikan Sarjana (S1, S2 dan S3) dan 18% tingkat pendidikannya Sekolah Menengah Atas (SMA), 6% tingkat pendidikannya
Sekolah
Menengah
Pertama
(SMP)
dan
2%
tingkat
pendidikannya hanya sampai Sekolah Dasar (SD). Ini menggambarkan bahwa pengunjung memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi. Tingkat pendapatan pengunjung bervariasi yaitu terdiri dari pengunjung yang berpendapatan rendah berkisar antara Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 2.500.000 termasuk pada golongan pengunjung yang berpendapatan rendah, sedang (menengah) berkisar antara Rp. 2.500.000 sampai dengan Rp. 4.500.000 dan lebih dari Rp. 4.500.000 per bulan termasuk pengunjung yang berpendapatan tinggi. Tingkat pendapatan pengunjung Tahura Ir.H.Djuanda yang tergolong berpendapatan rendah sekitar 39,13%, pengunjung dengan pendapatan
sedang
sekitar
34,78%
dan
pengunjung
dengan
tingkat
pendapatannya lebih tinggi sekitar 26,09%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pengunjung yang datang ke Tahura Djuanda adalah mereka yang tergolong masyarakat yang berpenghasilan rendah sampai sedang (menengah) dan mereka senang mengunjungi karena biaya yang harus dikeluarkan oleh pengunjung relatif lebih murah terutama untuk untuk tiket masuk kawasan yang hanya berkisar Rp. 8.500 per orang.
122
Kisaran Umur Pengunjung
Tingkat Pendidikan Pengunjung 2%
8%
6% 18%
36%
74%
56% Umur 17-37
Umur 37-57
SD
Umur > 57
4%
SMA
PT
Tingkat Pendapatan
Tingkat Pekerjaan 6%
SMP
16%
26% 39%
35%
74% PNS
Swasta
Dagang
Pelajar
Rp. 500000-1500000
Rp. 2500000-3500000
Rp. >4500000
Gambar 28. Distribusi pengunjung berdasarkan kelompok umur, tingkat pendidikan, pekerjaan dan pendapatan
Melihat karakterisktik pengunjung di kawasan Tahura Djuanda, dapat disimpulkan bahwa peningkatan pendapatan akan berpengaruh terhadap peningkatan jumlah kunjungan yang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, obyek yang ditawarkan serta kenyamanan pengunjung selama berada di Tahura Djuanda. Adapun karakteristik pengunjung berdasarkan kelompok umur, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Jika dilihat dari pekerjaan pengunjung dan tujuan kunjungannya, sebagian besar pengunjung berstatus sebagai wiraswasta (74%), pegawai negeri sipil (16%), pelajar (6%) dan pedagang makanan maupun cinderamata sebesar 4% dengan tujuan kunjungan menikmati pemandangan alam (rekreasi alam) sebesar (53%), jalan-jalan dan jogging (47%) .
123
Tujuan dan Aktivitas Pengunjung
Jumlah Kunjungan
0%
16%
47% 10%
53%
0%
0% Jala-jalan dan jogging
Berkemah
74%
Menikmati pemandangan alam
Pertama Kali
lain-lain
Dua Kali
Tiga Kali
Lebih dari Tiga Kali
Gambar 29 Distribusi pengunjung berdasarkan kepentingan dan jumlah kunjungan. Wisatawan Tahura Djunda dari tahun ketahun terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data Dinas Pariwisata Jawa Barat, Wisatawan kawasan wisata Tahura Djuanda pada tahun 2004 berjumlah 69.466 orang dan pada tahun 2007 sebanyak 93.045 orang. Pertumbuhan jumlah Wisatawan pertahun rata-rata-7 %.
Jumlah Kunjungan (Org/th)
100000 90000 80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 Pengunjung/Th
2004
2005
2006
2007
69466
66388
88737
93045
Tahun Kunjungan
Gambar 30. Kunjungan ke Tahura Dari Th 2004-2007 Berdasarkan penyebaran jumlah wisatawan perbulan dari tahun 2004 sampai 2005, dapat diketahui bahwa pada umumnya bulan Oktober adalah bulan terramai (rata-rata 11443 orang), diikuti oleh bulan Juni ( rata-rata 10097 orang) dan November (rata-rata 8313.75). Sedangkan bulan Februari dan September merupakan bulan tersepi. Ramainya kunjungan wisatawan kekawasan tersebut
124
pada umumnya dipengaruhi oleh aktivitas, misalnya bulan Oktober dan Juni merupakan bulan libur sekolah sehingga sehingga pada umumnya peluang masyarakat untuk berrekreasi atau berwisata lebih besar. Sedangkan pada bulan Februari (rata-rata 3.601 orang ) dan September (rata-rata 4.023 orang)
Jumlah Pengunjung (Org/bln)
merupakan bulan kunjungan yang rendah.
20000 18000 16000 14000 12000 10000 8000
2004 2005 2006
6000 4000 2000 0
2007
s De
v No
t Ok
p Se
s Ag
l Ju
n Ju
i Me
r Ap
r Ma
b Pe
Jan
Bulan Kunjungan
Gambar 31. Kunjungan per Bulan Th 2004-2007
b. Perhitungan Nilai Ekowisata Biaya perjalanan dari masing-masing pengunjung ke Tahura Djuanda berkisar antara Rp.12.750 sampai dengan Rp. 764.000 per orang tergantung dari jarak kota asal pengunjung ke Tahura Djuanda dan rata-rata biaya perjalanan secara keseluruhan sebesar Rp.245.553 per orang. Jika dibandingkan dengan kawasan wisata lainnya, maka biaya perjalanan ke kawasan wisata Tahura Ir. Djuanda tergolong masih rendah. Biaya perjalanan wisata yang dibutuhkan oleh pengunjung yang berasal dari luar Bandung untuk satu kali kunjungan berkisar antara Rp.34.000 sampai Rp. 764.000 atau rata-rata sebesar Rp. 401.500 per orang. Sedangkan biaya perjalanan wisata yang berasal dari dalam wilayah Bandung sendiri membutuhkan biaya yang lebih sedikit. Untuk satu kali kunjungan, mereka membutuhkan biaya berkisar antara Rp.12.750 sampai Rp.118.250 atau rata-rata sebesar Rp. 48.522 per orang. Distribusi biaya perjalanan menurut penggunaannya, mencakup biaya transportasi, konsumsi, penginapan, tiket dan lain-lain. Dalam ekowisata, total biaya perjalanan mencerminkan harga atau korbanan yang harus dikeluarkan seorang ekowisatawan untuk dapat menikmati kegiatan ekowisata di Tahura, sedangkan jumlah kunjungan mencerminkan
125
permintaan atau konsumsi. Tingkat kunjungan ke Tahura Djuanda masih didominasi oleh masyarakat Bandung disebabkan oleh masih kurangnya kegiatan promosi yang dilakukan oleh pihak pengelola Tahura Ir.H.Djuanda. Berdasarkan hasil survey yang telah dilakukan pengunjung pada umumnya memperoleh informasi hanya dari teman/keluarga sebesar 96% dan hanya 4% pengunjung memperoleh informasi dari media cetak dan organisasi tempat mereka bekerja. Penentuan nilai ekonomi ekowisata Tahura Djuanda didasarkan pada biaya perjalanan yang digunakan untuk satu kali kunjungan wisata dari semua pengunjung yang datang di kawasan Tahura Djuanda dalam satu tahun. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai ekowisata adalah sebesar Rp. 22.847.478.885 per tahun. Perolehan Nilai ekowisata sebesar Rp 22,85 milyar pertahun melalui pendugaan biaya perjalanan adalah berdasarkan premis bahwa kesediaan seseorang untuk membayar bagi barang atau jasa lingkungan tergambarkan dalam tindakan mereka. Bagi barang yang tidak mempunyai nilai pasar seperti kualitas lingkungan atau pemandangan tidak diperdagangkan secara langsung dipasar (Kroeger dan Manalo, 2006). Penggunaan biaya perjalanan menganalisis nilai yang diberikan oleh perorangan bagi sebuah jasa atau barang lingkungan tertentu dengan cara menghitung besarnya pengeluaran mereka pada barang atau jasa tersebut, umumnya pada suatu situs wisata tertentu (Englin dan Mendelson, 1991). Dari tujuan kunjungan ke Tahura adalah untuk jalan-jalan dan jogging sebesar 53% dan menikmati pemandangan sebesar 47% menunjukkan bahwa pengunjung datang karena kenyamanan dan keindahan kawasan Tahura. Dengan adanya peningkatan dan perbaikan fasilitas dan penataan serta ada paket alternatif lainnya dapat meningkatkan kunjungan ke Tahura. Mengingat dengan dibukanya akses jalan tol baru dari Jakarta ke Bandung telah meningkatkan jumlah kunjungan ke Kota Bandung terutama pada hari libur mingguan dan libur sekolah. Perlu dilakukan usaha promosi untuk menarik luberan wisatawan lokal tersebut untuk datang ke Tahura mengingat jaraknya yang sangat dekat dengan pusat Kota Bandung, sehingga dapat menaikkan nilai ekowisata bagi Tahura dan manfaat bagi penduduk desa sekitar. Sehingga perkembangan ekowisata Tahura dapat berkelanjutan. Dimana menurut Wright (1993)
ekowisata
berkelanjutan
harus
mampu
mengintegrasikan
dan
126
menselaraskan tiga tujuan, yaitu 1) tujan lingkungan, 2) tujuan ekonomi dan 3) tujuan sosial. Sehingga dalam perkembangan ekowisata Tahura Djuanda akan memberikan manfaat perkonomian dan kesejahteraan sosia bagi penduduk sekitar.
7.3.2. Nilai Ekonomi Air Pertanian a. Karakteristik Responden Dalam penelitian ini, air pertanian dibatasi pada air yang digunakan untuk pengairan air sawah, kebun atau ladang yang diairi dari aliran (mata air atau sungai) yang bersumber dari Tahura Djuanda. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa kontinuitas sumber air tersebut terjadi karena keberadaan ekosistem Tahura Djuanda. Pengairan sawah, kebun atau ladang dilakukan dengan membuat saluran air dari sumber air dengan menggunakan pompa penyedot air bermesin diesel, memasang pipa dan melalui selokan atau saluran irigasi yang dibuat secara bergotong royong bersifat semi permanen. Sumber air dapat berupa mata air atau bagian hulu dari sungai. Gambar 32 menunjukkan distribusi responden berdasarkan cara memperoleh air.
Sumber Air 40%
52%
8% Mata Air/Sungai
Sumur/Pompa
Sumber Air Lainnya
Gambar 32. Distribusi responden berdasarkan cara memperoleh air Responden umumnya bermata pencaharian dalam bidang pertanian, baik pertanian sawah irigasi maupun lahan kering. Air sawah bersumber dari mata air atau sungai (52%) dari daerah hulu yang dialirkan melalui saluran air. Jenis tanaman yang banyak ditanam masyarakat adalah cabe,kol, brokoli, kacang tanah, buncis, dan tomat.
127
Rata-rata luas lahan 0,37 Ha per Kepala Keluarga (KK) dengan pendapatan bervariasi antara Rp. 1.200.000 – Rp. 7.200.000 per musim dengan rata-rata Rp. 3.156.000,- per musim per KK. Responden merupakan kepala atau dianggap mewakili kepala rumah tangga. Usia mereka bervariasi yaitu antara 17 sampai dengan 76 tahun. Distribusi responden sebagian besar (60%) responden berada pada kelompok usia 17 sampai dengan 37 tahun yang merupakan kelompok usia produktif. Tingkat pendidikan masyarakat di sekitar Tahura umumnya masih rendah, sebagian besar hanya tamat SD (58%). Rendahnya tingkat pendidikan disebabkan antara lain oleh rendahnya pendapatan dan masih langkahnya sarana pendidikan, aksesibilitas tempat pendidikan dan daya jangkau masyarakatnya rendah. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan mereka sulit mencari lapangan kerja, khususnya sektor formal yang umumnya menurut pendidikan formal serta keterampilan tertentu. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap tingkat kemampuan menyerap informasi tentang kesehatan dan lingkungan. Pengetahuan ini akan berpengaruh terhadap persepsi mereka terhadap kualitas air dan perilakunya dalam memanfaatkan. Sumber air yang ada di dalam kawasan Tahura Djuanda adalah Sungai Cikapundung yang membentang sepanjang 15 km dan lebar rata-rata 8 meter dengan debit air sekitar 3.000 m3/detik. Sungai Cikapundung merupakan anak Sungai Citarum yang berhulu di Gunung Bukit Tunggul. Selain itu terdapat juga beberapa mata air yang bersumber dari kelompok Hutan Gunung Pulosari. Sebagian dari aliran sungai Cikapundung di dalam kawasan Tahura Djuanda ditampung pada dua kolam penampungan yang berjarak 2,5 km. Kolam pertama terletak di blok Bantar Awi, seluas ± 200 m2 dengan kedalaman 3,3 m, kolam kedua berada di Pakar dengan luas ± 8.935 m2 dan kedalaman 3,5 m (stilling pond, kolam pengendap sedimen) yang mempunyai kapasitas tampung 31.272 m 3. Kedua kolam tersebut diperuntukkan untuk memutar turbin pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang dibangun pada tahun 1923 oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang dikenal dengan nama PLTA Bengkok, yang merupakan PLTA tertua di Bandung. Selain untuk keperluan PLTA Bengkok, aliran Sungai Cikapundung juga digunakan sebagai sumber air minum oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Bandung. Sumber air yang dipergunakan oleh petani untuk mengairi sawah mereka berasal dari mata air atau sungai, sumur atau pompa dan sumber lainnya seperti
128
PAM desa yang dialirkan ke areal persawahan petani, namun dalam penghitungan nilai ekonomi air pertanian ini didasarkan terhadap biaya yang dikeluarkan terhadap akumulasi seluruh air yang digunakan tanpa membedakan sumber airnya.
Tabel 10. Biaya untuk mengairi lahan pertanian di Tahura Djuanda Jenis
Rata-rata Biaya yang
Pengeluaran
dikeluarkan per KK (Rp)
Penggunaan
Masa Pakai
Rata-rata Biaya yang di keluarkan per tahun (Rp)
26.250
3.454
Pengadaan
949722
7,6
Perawatan
86.667
11.404
Operasional
641.667
84.430 Jumlah Total :
124.964
224.252
Tidak ada harga dasar air untuk setiap penggunaan satu-satuan air (m3) dalam mengairi areal pertanian, sehingga diasumsikan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan air adalah merupakan refleksi dari harga air yang merupakan korbanan yang harus dikeluarkan untuk memperoleh air dalam mengairi lahan pertanian sehingga tanaman yang ditanam pada lahan pertanian yang diairi dapat produksi. Berdasarkan Tabel 9, maka nilai ekonomi air pertanian di kawasan Tahura Djuanda adalah : = Jumlah Kepala Keluarga Tani x Biaya pengadaan air Pertahun per/KK = 7.112 x Rp 224.252 = Rp. 1.594.960.963 Dengan demikian, nilai ekonomi air pertanian di sekitar kawasan Tahura Djuanda adalah : Rp. 1.594.960.963,,- per tahun 7.3.3. Nilai Ekonomi Air Domestik a. Karakteristik Responden Berdasarkan hasil survel 100 orang responden di lokasi penelitian, diperoleh karakteristik responden seperti umur responden yang berada pada skala 17– 37 tahun sebanyak 62%, responden dengan skala umur 37 – 57 tahun sebanyak 31%, dan responden dengan skala umur > 57 tahun 7%. Untuk tingkat pendidikan, terlihat bahwa pendidikan responden bervariasi mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai kepada perguruan tinggi. Responden dengan tingkat
129
pendidikan SD sebanyak 52%, SMP sebanyak 23%, SMA sebanyak 23%, dan perguruan tinggi hanya sekjitar 2 %. Dilihat dari tingkat pendidikan responden tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat yang bermukim di sekitar Tahura Djuanda masih tergolong rendah yaitu hanya dapat menempuh pendidikan SD sampai SMP (75%). Untuk lapangan pekerjaan, umumnya responden bekerja di sektor swasta dan hanya sebagian kecil yang menjadi pegawai negeri sipil. Hasil survey memperlihatkan bahwa yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil hanya sekitar 6% dan sisanya atau sekitar 94% bekerja di sektor swasta masing-masing sebagai petani sebanyak 29%, tukang ojek sebanyak 5%, buruh bangunan sebanyak 17%, dan sebagai karyawan swasta sebanyak 43%. Meskipun lapangan pekerjaaan masyarakat di sekitar Tahura Ir. Djuanda bervariasi tetapi tingkat pendapatan mereka tidak terlalu jauh berbeda antara lapangan pekerjaan yang satu dengan lapangan pekerjaan lainnya. Masyarakat yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil mendapatkan rata-rata pendapatan sebesar Rp 1.666.666. per bulan, petani sebesar Rp 2.003.125 per bulan, tukang ojek sebesar Rp 1.000.000 per bulan, buruh bangunan sebesar Rp 757.058 per bulan, dan karyawan swasta sebesar Rp. 1.046.250 per bulan. Dari sebaran pendapatan setiap lapangan pekerjaan tersebut, terlihat bahwa bekerja sebagai petani memberikan pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan lapangan pekerjaan lainnya. Ini menggambarkan bahwa bekerja sebagai petani cukup menjamin untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sepanjang pekerjaan tersebut digeluti dengan penuh kesungguhan dan kerja keras. Umur Responden
Tingkat Pendidikan 2%
7%
23% 31%
52%
62%
23% Umur 17 - < 37 tahun
Umur 37 - 57 tahun
SD
Umur > 57 tahun
SMA
PT
Pendapatan Responden (Rp)
Jenis Pekerjaan 17%
SMP
757,058.82
29%
2,003,125
1,000,000
5%
6% 1,046,250
43% Petani PNS
Swasta
Ojek
Buruh
Petani
1,666,666.70
PNS
Swasta
Ojek
Buruh
Gambar 33. Distribusi Umur, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan pendapatan responden di sekitar Tahura Djuanda.
130
Untuk pemanfaatan air, umumnnya masyarakat di sekitar Tahura Djuanda menggunakan mata air/sungai, PAM desa dan sumur gali atau pompa sebagai sumber air domestik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan hasil survey, sekitar 58% menggunakan mata air/sungai dan sekitar 37% menggunakan sumber air lainnya seperti penggunaan air yang diperoleh dari PAM desa dan sekitar 5% menggunakan sumur gali atau pompa. Distribusi jumlah masyarakat berdasarkan sumber air yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 36. Sumber Air Domestik
37%
58% 5% Mata Air/Sungai
Sumur/Pompa
Sumber Lainnya
Gambar 34. Distribusi Masyarakat Berdasarkan Sumber Air yang Digunakan Masyarakat desa di sekitar Tahura Djuanda terbiasa menggunakan sungai untuk berbagai kebutuhan hidupnya seperti untuk keperluan mandi, mencuci, buang air (kakus) sedangkan untuk minum menggunakan air yang bersumber dari mata air, PAM desa dan sumur gali atau pompa. Masyarakat di beberapa desa sekitar Tahura Djuanda biasanya menyediakan air untuk kebutuhan rumah tangga dengan membuat suatu jaringan penyaluran air yang bersumber dari mata air atau sungai baik secara individu maupun berkelompok. Pengambilan air dari sumbernya untuk kepentingan individu biasanya menggunakan ember, selang, dan memasang rangkaian pipa yang langsung dialirkan ke rumah. Pemasangan selang dan pipa dilakukan jika jarak antara rumah dengan sumber air tidak terlalu jauh dan jumlah orangnya tidak terlalu banyak. Setelah sampai di bak, air dapat langsung dimanfaatkan untuk kebutuhan cuci, mandi, buang air, minum dan memasak. Air yang dialirkan melalui selang atau pipa akan terus mengalir walaupun bak/penampungan air sudah penuh dan air banyak terbuang ke saluran pembuangan. Hal ini sudah menjadi hal yang biasa karena mereka beranggapan bahwa air yang mereka peroleh tidak dibayar
131
dan jumlahnya tersedia sepanjang tahun walaupun pada musim kemarau debit air yang mengalir berkurang. Pengambilan air secara berkelompok dilakukan dengan membangun instalasi penampungan air primer (utama) dan sekunder (Gambar 9). Dengan menggunakan pipa, air dari sumber air dialirkan melalui bak penampungan utama, dari bak penampungan utama dialirkan lagi ke bak penampungan sekunder yang berfungsi juga sebagai tempat permandian umum. Dari bak sekunder orang mengambil langsung dengan menggunakan ember atau mengalirkannya dengan selang. Mata air atau sungai menjadi penyedia air utama untuk memenuhi kebutuhan sarana mandi, mencuci dan kakus lebih dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi. Masyarakat hanya mengeluarkan biaya pengadaan alat tanpa membayar rekening air setiap bulan. Jika terjadi kerusakan pada saluran air, masyarakat akan bekerjasama dan biaya ditanggung bersama. Ratarata biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan pipa hanya Rp. 49.000 tergantung dari jarak sumber air dengan rumah penduduk.
Sumber air
Bak Utama (Primer)
Bak Kedua (Sekunder)
Bak Rumah Tangga
Pemanfaatan Langsung • Mandi • Mencuci • Masak
Saluran Pembuangan/Selokan
Sungai
Gambar 35. Sistem pengaliran air dari sumber air melalui bak primer dan bak sekunder sampai ke bak rumah tangga
132
Kendala yang dialami oleh masyarakat dalam memperoleh air terjadi pada musim kemarau, debit air berkurang dan jumlah air yang dapat dimanfaatkan sangat kecil. Oleh karena itu penduduk sekitar berharap kelestarian vegetasi di tahura tetap dijaga. Anggota masyarakat yang memiliki tingkat pendapatan dan pendidikan yang lebih tinggi lebih memilih menggunakan air yang berasal dari perusahaan air minum yang dikelola oleh desa. Rata-rata biaya penggunaan air yang dikeluarkan oleh masyarakat pengguna air yang dikelola oleh perusahaan air minum adalah berkisar antara Rp. 15000 – Rp. 30.000 setiap bulan Air domestik yang dimanfaatkan masyarakat desa di sekitar Tahura Ir. H. untuk berbagai kebutuhan hidupnya seperti untuk keperluan mandi, mencuci, buang air (kakus) dan minum. Air domestik tersebut bersumber dari mata air/sungai, PAM desa, dan sumur/pompa Air yang diperoleh dari PAM desa umumnya digunakan untuk keperluan air minum yang dialirkan ke masingmasing rumah penduduk. Pengaliran air ini tidak berlangsung setiap saat tetapi hanya dua jam atau lebih perhari. Sedangkan air untuk keperluan mandi, mencuci, dan buang air umumnya menggunakan air yang bersumber dari mata air atau sungai dan sumur atau pompa. Dari 7.112 kepala keluarga yang bermukim di sekitar Tahura Djuanda dengan jumlah anggota keluarga bekisar rata-rata 4 orang per KK, memerlukan air untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari sekitar 383,94 liter per Kepala Keluarga (KK) perhari atau 95,99 liter perorang per hari. Dengan demikian jumlah pemakaian air selama periode Januari–Desember 2008 sebesar 95,99 liter/orang dikali 365 hari hasilnya 35.034,53 liter/orang/tahun Jumlah penduduk yang bermukim di wilayah studi di sekitar Tahura Djuanda untuk tahun 2008 sebesar 35.562 jiwa. Dengan demikian kebutuhan air domestik
masyarakat
di
sekitar
Tahura
Djuanda
sebesar
35.034,53
liter/orang/tahun dikali 35.562 orang sama dengan 245.897.955,86 liter/tahun atau 1.245.897,96 m 3/tahun. Untuk menilai penggunaan air domestik, dapat dihitung berdasarkan biaya yang harus dikeluarkan Untuk menjadikan air baku. Dengan memberikan harga air sebesar Rp 1.000,-per meter kubik (m3), total penerimaan air dapat dihitung dari 1.245.897,96 m 3/tahun dikalikan Rp 1.000,- sama dengan Rp 1.245.897.955,86,- per tahun.
133
Untuk memperoleh air domestik, diperlukan biaya yang meliputi biaya pengadaan sarana dan biaya perawatan. Adapun rincian biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk memperoleh air seperti pada Tabel 10 berikut: Tabel 11. Rincian Biaya yang di Keluarkan Untuk Pengadaan Air Domestik No. A
Jenis Kegiatan
Biaya yang Dibutuhkan (Rp)/KK
Biaya Pengadaan Sarana 1.
Pompa dan motor
376.923,09
2.
Pengadaan ember
34.722,22
3.
Pipa
47.777,78
4.
Lainnya
B
414.166,70
Biaya Perawatan Biaya Total
96.298,70 969.883,49
Perlu diketahui bahwa batas waktu penyusutan alat adalah sepuluh (10) tahun. Dari 7.112,40 Kepala Keluarga di lokasi penelitian, maka berdasarkan perhitungan biaya pengadaan air untuk setiap kepala keluarga seperti pada Tabel 1 di atas dapat dihitung total biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk mengadaan air domestik sebagai berikut := 7.112,40 dikali Rp 969.883,49 dibagi 7,6 tahun sama dengan Rp. 689.819.933.43 per tahun. Dengan demikian, nilai ekonomi air domestik di sekitar kawasan Tahura Djuanda adalah Penerimaan total air domestik dikurangi Biaya total pengadaan air domestik sama dengan Rp 1.245.897.955,86 dikurangi Rp 689.819.933,43 hasilnya Rp 556.078.022,43 per tahun 7.3.4. Nilai Ekonomi Serapan Karbon Tahura Djuanda terletak di sebelah Utara kota Bandung berjarak ± 7 km dari pusat kota, secara geografis berada 107° 30’ BT dan 6° 52’ LS, dengan luas 526,98 ha. Bentuk kawasan Tahura Djuanda memanjang di sebelah kiri dan kanan Sungai Cikapundung. Tahura Djuanda merupakan hutan alam sekunder dan hutan tanaman dengan jenis Pinus (Pinus mekusii) yang terletak di Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung, DAS Citarum yang membentang mulai dari Curug Dago, Dago Pakar sampai Maribaya yang merupakan bagian dari kelompok hutan Gunung Pulosari.
134
Nilai ekonomi penyerapan karbon dapat dihitung berdasarkan besarnya kandungan karbon yang tersimpan di dalam vegetasi hutan yang dikonversikan dalam nilai finansial. Menurut Brown dan Peace (1994) dalam Widada (2004), hutan alam primer, hutan sekunder, dan hutan terbuka memiliki kemampuan menyimpan masing-masing karbon sebesar 283 ton per hektar, 194 ton per hektar, dan 115 ton per hektar. Setiap 1 ton karbon dapat dihargai dengan nilai finansial yang berkisar antara $1 US sampai $28 US (Soemarwoto (2001). Nilai pendugaan penyimpanan karbon berdasarkan jenis tutupan lahan oleh Scherr(2002) adalah: -
Primary forest Logged forest Shifting cultivation Complex agroforests Simple agroforestry Crops, pastures, grasslands
300 ton/ha 95-225 ton/ha 75 ton/ha 40-55 ton/ha 10-60 ton/ha <10 ton/ha
Untuk menentukan besarnya karbon yang terkandung dalam kawasan hutan, dapat digunakan faktor koreksi yang ditetapkan oleh Brown dan Peace sebesar 93% untuk hutan primer, sedangkan untuk hutan sekunder digunakan nilai dari nilai yang ditetapkan oleh Sherr (2002).
Dengan pertimbangan
kawasan Tahura Djuanda merupakan kawasan konservasi tetapi dalam mempertahankan fungsinya juga memiliki kawasan terbuka yang telah digunakan untuk kepentingan lainnya seperti kawasan ekowisata yang di dalamnya terdapat sarana jalan, bangunan, lapangan, dan sarana lainnya maka diasumsikan menggunakan nilai tengah dari hutan yang digunakan untuk logging sebesar 150 ton/ha. Berdasarkan asumsi ini, maka nilai ekonomi penyerapan karbon di kawasan tahura Djuanda dapat dihitung. Untuk menghindari penilaian yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, maka nilai finasial yang diambil adalah nilai tengah dari yang ditetapkan oleh Soemarwoto yaitu sebesar $19 US per ton. Sehingga dari perhitungn didapatkan nilai ekonomi serapan karbon di kawasan Tahura Djuanda adalah $1.501.950 USD ekivalen Rp 15,019,500,000,-
Nilai
ekonomi karbon tahura Djuanda sebesar 15 milyar per tahun mencerminkan nilai manfaat yang diberikan kepada dunia dalam usaha mengurangi emisi rumah kaca terutama CO2 dalam upaya mencegah pemanasan global. Kontribusi tersebut dipengaruhi oleh luas kawasan Tahura dan harga jual karbon dunia.
135
7.3.5 Nilai Hasil Oksigen Dalam menilai oksigen yang diproduksi oleh tanaman, dilakukan penilaian mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Diah Ivoniarty dari Ikatan Arsitek Lansekap Indonesia (IALI)
dalam menilai Ruang Terbuka Hijau Babakan
Siliwangi yang akan dirubah fungsinya oleh Pemkot Bandung menjadi bangunan komersil. Ivoniarty menyatakan ,bahwa satu hektar area yang dipenuhi pohon, perdu, semak, dan rumput akan menghasilkan kanopi seluas 5 hektar dan dalam tempo 12 jam, kanopi ini dapat menarik 1.800 kilogram carbon dioksida (CO2) dan melepaskan 1.200 kilogram oksigen (O2) yang setara dengan 1.560 liter O2, (Kompas, 2008) Dengan asumsi harga Oksigen mencapai Rp 25.000 per liter, maka nilai ekonomi oksigen yang dihasilkan dari lahan seluas satu hektar adalah Rp 39 juta per hari. Luas Babakan Siliwangi mencapai 3,8 hektar dan
lahan
efektif
Babakan Siliwangi seluas 3 hektar, maka dalam sehari mampu menghasilkan oksigen senilai Rp 117 juta dan dalam setahun Babakan Siliwangi menghasilkan oksigen senilai Rp 42,7 miliar. Untuk perhitungan nilai Oksigen yang dihasilkan Tahura dapat mengacu pada nilai tersebut karena Babakan Siliwangi merupakan salah satu ruang terbuka hijau yang terdapat di dago utara. Fungsi lahan tersebut sebagai RTH dan sebagai daerah resapan lokal untuk dialirkan ke sungai Cikapundung dan memiliki karakter hutan kota yang tidk jauh berbeda dengan kondidsi Tahura.. Dengan luas 526,92 ha
dan lahan efektif sebesar 500 ha maka nilai hasil
oksigen dari Tahura didapatkan Rp. 19.500.000.000 per hari dan dalam setahun Tahura menghasilkan Rp. 7.117.500.000.000 ,- setara Rp 7,1 trilyun dari nilai Oksigen yang dihasilkan.pertahun
7.3.6. Nilai Keberadaan (Existence Values) Adalah nilai yang diberikan oleh masyarakat, baik oleh penduduk sekitar maupun pengunjung terhadap Tahura atas manfaat yang diberikan seperti keindahan pemandangan Tahura, udara yang sejuk berlimpah dengan oksigen memberikan kesegaran jasmani, ketenangan suasana, sebagai sumber air bagi penduduk sekitar dan menjamin debit air Sungai Cikapundung bagi pembangkit listrik dan sumber air baku bagi PDAM koa Bandung dan adanya peninggalan bersejarah seperti Goa Belanda dan Goa Jepang, curug dago, curug Omas dan adanya patahan Lembang (lembang fault).
136
Mengingat lokasi Tahura Djuanda berada pada Lintas Wilayah Kabupaten dan Kota, yaitu terletak di Kabupaten Bandung (Kecamatan Cimenyan dan Kecamatan Lembang) dan Kota Bandung (Kecamatan Coblong, Kecamatan Cidadap), maka sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000, kewenangan pengelolaannya berada di Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dalam hal ini adalah Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. Dibawah Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya yang merupakan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat setingkat eseon III. Keberadaan Tahura sangant penting mengungat fungsinya sebagai daerah tangkapan air bagi kota Bandung. Nilai keberadaan Tahura Djuanda dihitung dengan metode Contingent Valuation Method (CVM).
Karena nilai penggunaaan tidak langsung tidak
mempunyai nilai pasar, dikarenakan transaksi pasar dari komponen penilaian sumberdaya alam hanya menggambarkan nilai minimum yang diberikan masyarakat pada penggunaan langsung (Kroeger dan Manalo, 2006) Dalam metode ini, setiap responden ditanyai kesediaannya untuk membayar untuk mempertahankan keberadaan Tahura Djuanda terutama mempertahankan
keberadaannya
karena
keindahan
yang
dimiliki
serta
menciptakan kenyamanan dan ketenangan. Pertanyaan disampaikan dalam bentuk kuisioner. Dari 150 kuisioner yang diedarkan, sekitar 128 responden yang mengisi kuisioner. Dari 128 responden yang ditanyai mengenai perlunya Tahura Djuanda untuk dipertahankan keindahan, kenyamanan dan ketenangan yang ada di kawasan Tahura, sekitar 96% menyatakan perlu dipertahankan, tidak ada yang menyatakan tidak perlu, dan 4 % yang menjawab ragu-ragu. Sedangkan kesediaan membayar untuk mempertahankan keberadaan Tahura Djuanda, sebanyak 85,33 % responden menyatakan bersedia membayar dan hanya 14,67% yang tidak bersedia membayar. Berkaitan dengan kesediaan membayar dengan nilai minimal Rp. 10.000 per tahun dan nilai maksimal Rp. 1.000.000,per tahun dengan rata-rata sebesar Rp. 134.922,- per tahun. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai keberadaan Tahura Djuanda sebesar Rp. 4.798.091.719 . per tahun. Nilai keberadaan sebesar Rp. 4,8 milyar merupakan nilai manfaat yang mencerminkan kenginan masyarakat untuk mempertahankan keberadaan Tahura Djuanda sehingga manfaat lingkungan
137
dengan adanya Tahura seperti kenyamanan udara, keindahan pemandangan dan fungsi lainnya tetap dapat dipertahankan. 7.3.7. Nilai Pilihan (Option Values) Nilai pilihan adalah potensi sumberdaya alam yang dapat memberikan keuntungan atau manfaat bagi masyarakat dimasa depan walaupun pada saat ini belum mempunyai nilai ekonomi. Walaupun seseorang tidak terlibat dalam penggunaan ekosistem tertentu atau spesies pada saat ini, dia dapat memberikan nilai untuk menjaga kemungkinan dari beberapa penggunaan dimasa datang (Prato, 1998; Freeman, 2003). Nilai pilihan Tahura Djuanda dihitung sama dengan dengan nilai keberadaan di atas yaitu menggunakan metode Contingent Valuation Method (CVM). Nilai pilihan Tahura Djuanda dihitung berdasarkan bagaimana manfaat sumberdaya alam yang terkandung dalam Tahura Djuanda dapat dipertahankan sehingga dapat dimanfaatkan untuk masa yang akan datang. Untuk mengumpulkan data berkaitan dengan nilai pilihan ini, disebarkan sebanyak 150 kuisioner kepada responden. Dari semua responden yang ditanyai, sekitar 95,33% menyatakan perlu dipertahankan manfaat yang terkandung di dalam kawasan Tahura Djuanda, 1,33 menyatakan tidak perlu, dan 3,34 menyatakan ragu-ragu. Berkaitan dengan kesediaan membayar agar manfaat SDA dalam Tahura Djuanda tetap dipertahankan, sekitar 81,33 menyatakan bersedia membayar dan 18,67 menyatakan tidak bersedia membayar. Berkaitan dengan kesediaan membayar dengan nilai minimal Rp. 10.000 per tahun dan nilai maksimal Rp. 1.000.000,per tahun dengan rata-rata sebesar Rp. 114.016,- per tahun Dari hasil perhitungan diperoleh nilai pilihan Tahura Djuanda sebesar Rp.3.826.618.197,-
per tahun. Walaupun nilai pilihan biasanya berkurang
sejalan dengan tempat yang potensial digunakan dimasa datang dan mungkin porsinya kecil dalam level pendapatan perkapita, nilai ini dapat dimasukkan dalam sebuah porsi yang tidak dapat diabaikan dalam nilai total ekonomi dari sebuah kawasan sumberdaya alam yang dilindungi (protected natural resources) yang dikenal luas baik dalam level lokal, regional maupun secara internasional Kroeger dan Manalo, 2006). Sebagai contoh, Barrick dan Beazley (1990) mengestimasi total nilai pilihan untuk mencegah pembangunan Minyak dan Gas alam di daerah Washakie Wilderness di Shoshone National Forest, Wyoming yang lokasinya bertetangga dengan bagian sebelah Selatan Yellowstone
138
National Park, kepada masyarakat di Amerika Serikat yang tidak tinggal di kawasan tersebut dengan total nilai pilihan sebesar $ 3,6 milyar . pada harga tahun 1983 (pada 1 $ sebesar Rp 2500,- nilai pilihan tersebut ekivalen Rp 9 trilliun pada harga tahun 1983, dan pada harga sekarang mencapai Rp 36 trilyun) 7.3.8. Nilai Kelestarian Kawasan Tahura mempunyai fungsi sebagai: Daerah tangkapan air bagi kawasan bawahannya (Metropolitan Bandung) yang menjamin ketersediaan air, memperkecil air larian,
kawasan hutan yang berfungsi lindung bagi plasma
nutfah, sebagai kawasan resapan air yang berfungsi mencegah erosi, mencegah banjir, menjaga kestabilan iklim mikro, kenyaman, keindahan pemandangan. Dengan pentingnya fungsi untuk melestarikan Tahura dan kondisi ini dimengerti oleh masyarakat sehingga bersedia untuk membayar untuk menjaganya. Nilai kelestarian Tahura Djuanda juga dihitung dengan metode Contingent Valuation Method (CVM). Nilai kelestarian Tahura Djuanda dihitung berdasarkan pentingnya dilestarikan kawasan Tahura Djuanda terutama untuk mempertahankan fungsinya sebagai kawasan konservasi air dan perlindungan flora dan fauna yang terkandung di dalamnya. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuisioner untuk 150 responden. Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 95,30% responden menyatakan kawasan Tahura Djuanda perlu dilestarikan untuk mempertahankan fungsinya sebagai kawasan konservasi dan perlindungan satwa di dalamnya dan 4,67% responden menyatakan ragu-ragu, Berkaitan dengan kesediaan membayar untuk melestarikan fungsi kawasan Tahura Djuanda, sekitar 88,67% menyatakan bersedia membayar dan 11,33% menyatakan tidak bersedia membayar. Adapun besar biaya yang bersedia dibayarkan untuk melestarikan kawasan Tahura Djuanda. Berkaitan dengan kesediaan membayar dengan nilai minimal Rp. 10.000 per tahun dan nilai maksimal Rp. 1.000.000,- per tahun dengan rata-rata sebesar Rp. 134.586,- per tahun. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai keestarian Tahura Djuanda sebesar Rp. 4.786.163.910,- per tahun 7.3.9 Nilai Keberadaan Untuk PLTA Bengkok Kelestarian Tahura juga berpengaruh terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bengkok yang letaknya bersebelahan dengan Tahura
139
Djuanda. PLTA adalah pembangkit listrik yang mengandalkan energi potensial dan kinetik air sebagai bahan baku untuk menggerakkan turbin sehingga menghasilkan energi listrik. Keberadaan PLTA merupakan upaya pemerintah melakukan penghematan energi dari sumber energi fosil, selain karena harganya mahal, bahan bakar fosil merupakan sumberdaya yang jumlahnya terbatas dan tidak dapat diperbaharui. Keberadaan PLTA Bengkok diharapkan dapat mewujudkan industri ketenagalistrikan yang efektif, efisien dan mandiri, memungkinkan tercapainya target PLN untuk menjaga kesinambungan, kualitas dan keandalan pasokan listrik dengan tingkat yang diharapkan oleh konsumer yang berada di Pulau Jawa dan Pulau Bali. Kegiatan operasi PLTA untuk menghasilkan energi listrik sangat tergantung pada volume dan debit air. Sementara volume dan debit air di PLTA sangat tergantung pada kelestarian Tahura Djuanda. Karena secara langsung maupun tidak langsung Tahura Djuanda merupakan daerah resapan atau konservasi air. Ketersediaan air dipengaruhi oleh banyaknya jumlah vegetasi, jenis, dan kerapatannya. Semakin lestari hutan di sekitar PLTA maka air yang diserap oleh tanah semakin banyak sehingga debit dan volume air dapat dipertahankan untuk menggerakkan turbin PLTA dalam menghasilkan energi listrik. Selain itu tingkat erosi, sedimentasi dan tanah longsor dapat dikurangi. Namun jika faktor lingkungan tidak dijaga, bisa jadi masa mendatang pembangkit berusia tua ini terganggu pengoperasiannya sehingga harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk perbaikan lingkungan. Hal ini menyebabkan perusahaan tidak efisien. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan pihak perusahaan yaitu PT. Indonesia Power sebagai pengelola PLTA Bengkok menjelaskan bahwa PLTA Bengkok mampu menghasilkan energi listrik sebesar 1,6 Mega Watt (1600 kw) dengan menggunakan sumberdaya air sebagai bahan baku. Bila keberadaan Tahuran tidak dipertahankan maka PLTA akan sepenuhnya menggunakan bahan bakar diesel untuk menggerakkan turbin. Dalam sebulan mesin beroperasi selama 24 hari karena sisanya adalah hari libur dan istirahat mesin dan dengan harga minyak diesel Rp. 4500,-. Dari perhitungan penggunaan diesel untuk menghasilkan energi listrik sebesar 1600 kw per jam selama satu tahun diperoleh nilai sebesar Rp. 68.208.800.000,-
140
Kondisi ini menggambarkan bahwa dengan keberadaan dan terjaganya kelestarian Tahura Djuanda sangat berpengaruh terhadap ketersediaan air PLTA sehingga dapat dilakukan penghematan Oleh karena itu kelestarian vegetasi tahura harus tetap terjaga sebagai daerah penyangga atau konservasi air bagi lingkungan sekitarnya. 7.3.10 Pemanfaatan Sebagai Air Baku oleh PDAM Kota Bandung Dalam keadaan normal, persediaan air baku mencapai 2.400 liter per detik dari kebutuhan sekitar 4.600 liter per detik, sehingga pada musim kemarau persediaannya bisa berkurang menjadi hanya 1.200 liter per detik. Upaya yang sedang dilakukan PDAM adalah mencari mata air untuk menambah persediaan air baku. Sejauh ini PDAM Kota Bandung memiliki tiga jenis upaya penyediaan air baku. Sumber pertama berasal dari air permukaan di beberapa sungai seperti Sungai Cisangkuy dengan persediaan 1.400 liter per detik, Sungai Cikapundung 840 liter per detik, serta Sungai Cibeureum sekitar 40 liter per detik. (PDAM Kota Bandung , 2006) Tahura merupakan sumber air bagi S ungai Cikapundung, sehingga keberadan Tahura sangat penting dalam penyediaan air bagi PDAM Bandung. Kontribusi dari yang berasal dari S Cikapundung sebesar 35%. Dengan tarif air PDAM Kota Bandung adalah Rp 2.014 per meter kubik. Adapun untuk niaga, tarifnya diatur khusus berdasarkan jumlah pemakaian. Untuk pemakaian di atas 30 meter kubik per bulan, pelanggan dikenai tarif Rp 6.900 per meter kubik. Penerimaan operasi PDAM berasal dari penerimaan air sebanyak 78%, yang terdiri dari penerimaan penjualan air dan penerimaan beban tetap. Sementara itu, penerimaan non air dan penerimaan air kotor hanya mewakili masing-masing 3% dan 19% dari penerimaan operasi total. Penerimaan non air terdiri dari penerimaan sambungan baru, denda, penyambungan kembali, dan sebagainya. Penerimaan air kotor berasal dari biaya pelayanan air kotor (30% dari
penerimaan
air).
Penerimaan
pada
tahun
2005
sebesar
Rp.
68,699,665,000,- ekivalen dengan Rp 68,7 milyar. Sehingga nilai pemanfaat air dari dari Tahura senilai 35% dari penerimaan tersebut yaitu Rp. 24,044,882,750,per tahun
141
7.3.10 Nilai Ekonomi Total Nilai ekonomi total kawasan Tahura Djuanda merupakan jumlah dari keseluruhan nilai guna langsung dan nilai guna tidak langsung dengan rumus seperti di bawah ini. NET = [NPL+NTPL] + NNP NT = [{NE k + NA d + NAp + + NP c }] + [{NP el + NP il + NK eb}] Keterangan : NET NPL NPTL NNP NEk NAp NAd NPc NPel NPil NKeb
= Nilai Ekonomi Total = Nilai Penggunaan Langsung = Nilai Penggunaan Tak Langsung = Nilai non penggunaan = Nilai Ekowisata = Nilai Air Pertanian = Nilai Air Domestik = Nilai Penyerapan Carbon = Nilai Pelestarian = Nilai Pilihan = Nilai Keberadaan
Tabel 12. Nilai ekonomi Total Kawasan Tahura Djuanda No.
Jenis Nilai Ekonomi
Nilai Ekonomi (Rp)
1
Nilai Ekowisata
2
Nilai Air pertanian
1.594.960.963
3
Nilai Air domestik
556.078.022
4
Nilai Penyerapan karbon
5
Nilai Hasil Oksigen
6
Nilai PLTA Bengkok
68.208.800.000
7
Nilai Pemanfaatan Air PDAM
24.044.882.750
8
Nilai Pelestarian
4.786.163.910
9
Nilai Keberadaan
4.798.091.719
Nilai Pilihan
3.826.618.197
10
22.847.478.885
TOTAL
15,019,500,000
7.117.500.000.000
7.248.163.074.446
Tabel 12 memperlihatkan nilai ekonomi total dari pemanfaatan kawasan Tahura Djuanda sebesar Rp. 7.248.163.074.446
Nilai ini termasuk cukup besar jika
dibandingkan dengan luas kawasan pengelolaan Tahura yaitu hanya sekitar 526,98 hektar dengan nilai Rp 13.754.152.101 per hektar .
142
Kemampuan Tahura untuk memproduksi Oksigen memberikan nilai yang terbesar yaitu Rp Rp. 7.248.163.074.446,- Dengan terjaganya keutuhan kawasan hutan akan dapat mempertahankan fungsi penyedia oksigen. Hal ini juga yang merupakan daya tarik bagi masyarakat yang melakukan jogging sepanjang Tahura
terutama
pada
pagi
hari,
karena
udara
sangat
segar
yang
menyenangkan. Nilai PLTA Bengkok per tahun atau Rp. 68.208.800.000 diikuti nilai pemanfaatan air oleh PDAM sebesar.Rp 24.044.882.750,- menunjukkan kelestarian tahura mampu memberikan manfaat bagi keberadaan PLTA Bengkok yang kegiatan operasinya sangat tergantung pada ketersediaan air, dimana debit air PLTA tergantung pada daerah resapan yang ada di sekitarnya yaitu Tahura Djuanda
dan ketersediaan air baku bagi PDAM kota Bandung. Manfaat
terjaganya kondisi air di kawasan Tahura dirasakan oleh masyarakat yang tinggal jauh dari Tahura yang menggunakan listrik dan air minum yang bila kondisi Tahura rusak maka kualitas perairan juga aka turun dan pada akhirnya PLTA dan PDAM tidak berfungsi dengan baik. Tingginya nilai pelestarian terhadap keberadaan tahura disebabkan adanya manfaat langsung yang dirasakan oleh masyarakat sekitar tahura terhadap kegiatan pertanian, Sedangkan nilai ekonomi ekowisata merupakan nilai kedua tertinggi, yaitu Rp. 22.847.478.885,-. Dan nilai penyerapan karbon sebesar Rp. 15,019,500,000,Nilai Ekowisata sebesar Rp. 22.847.478.885,- mencerminkan Kegiatan ekowisata di tahura relatif tinggi dan kontinyu hal ini disebabkan karena Tahura Djuanda merupakan salah satu kawasan wisata terdekat dengan pusat kota sehingga akses ke tahura sangat mudah dan untuk menikmati pemandangan dan suasana di dalam kawasan. Pengembangan ekowisata berkelanjutan dapat memberikan kontribusi bagi perlindungan kawasan dan disisi lain juga memberikan kontribusi ekonomi bagi pengelola dan daerah serta partisipasi masyarakat sekitar. Partisipasi masyarakat sekitar sangat penting karena dengan ikut serta dalam penyelenggaraan dan pengelolaan kawasan, merek akan mempunyai rasa tanggung jawab untuk menjaga kelestarian kawasan yang telah memberikan mereka kesejahteraan. Fennels (2001), berpendapat bahwa dengan adanya keadilan akan pemanfaatan kawasan juga dapat terjalin dengan baik sehingga proses pembangunan yang berkelanjutan akan tercapai.
143
Nilai pilihan sebesar Rp. 3.826.618.197,- Masih dapat dapat ditingkatkan lagi sesuai dengan hasil penelitian Barrick dan Beazley (1990) mengestimasi total nilai pilihan untuk mencegah pembangunan Minyak dan Gas alam di daerah Washakie Wilderness di Shoshone National Forest, Wyoming yang lokasinya bertetangga dengan bagian sebelah Selatan Yellowstone National Park, kepada masyarakat di Amerika Serikat yang tidak tinggal di kawasan tersebut dengan total nilai pilihan sebesar $ 3,6 milyar. Dengan cara melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang bertempat tinggal tidak hanya di sekitar Tahura tetapai juga kepada seluruh masyarakat baik yang tigggal di Kota Bandung, Kota Cimahi,
Kabupaten
Bandung
atau
Kabupaten
Bandung
Barat
yang
menggambarkan pentingnya peran Kawasan Tahura sebagai kawasan yang melindungi kawasan lain baik sebagai penjaga fungsi hidrologis seluruh kawasan dibawahnya, mencegah banjirm,mencegah erosi, menjaga kestablilan iklim mikro, menjaga keindahan dan masih banyak lagi. Sehingga bila masyarakat mengerti akan penting fungsi tersebu harus dilindungi dan dijaga maka akan merasa ikut untuk menjaga keberlangsungannya. Berdasarkan hasil penelitian Widada (2003), pada TNG Halimun komponen nilai ekonomi yang paling tinggi adalah penyerapan karbon, yaitu Rp. 429.775.200.000.
jauh lebih besar bila dibandingkan dengan
nilai ekonomi
Penyerapan Karbon hanya Rp15,019,500,000 tingginya perbedaan nilai ekonomi Penyerapan Karbon di TNG Halimun dengan Tahura Djuanda bisa dinilai sangat wajar karena TNG Halimun lebih luas, yaitu 40.000 ha, sedangkan Djuanda hanya 526,98 ha. Dengan luas 40.000 ha maka biomasa vegetasi jauh lebih besar dibanding biomassa vegetasi pada Tahura Djuanda, yang akan berfungsi sebagai penyerap karbon. Luasnya TNG Halimun tidak diikuti oleh nilai ekonomi ekowisata, yang hanya Rp. 31.6664,76/ha, sedangkan pada Tahura Djuanda nilai ekonomi ekowisata cukup tinggi yaitu Rp. 22.847.478.885/ha. Hal ini berarti bahwa wisatawan yang berkunjung ke TNG Halimun relatif lebih sedikit bila di bandinkan dengan Tahura Djuanda. Rendahnya jumlah wisatawan TNG Halimun sangat wajar karena fungsi utama dari TNG Halimun adalah sebagai kawasan konservasi dengan status Taman Nasional. Fungsi tersebut sangat berbeda dengan Tahura Djuanda yang memiliki fungsi utama sebagai Taman Wisata Alam. Bahruni (1993) melakukan penelitian tentang manfaat wisata alam kawasan konservasi dan peranannya terhadap pengembangan wilayah di
144
beberapa kawasan konservasi termasuk kawasan Tahura Djuanda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya kawasan dengan tingkat kunjungan tinggi juga memberikan manfaat yang tinggi yaitu: Taman Nasional Gunung Bromo Rp 2,5 milyar per tahun, hutan wisata Pangandaran Rp 1,5 milyar per tahun, Tahura Djuanda Rp300 juta per tahun, dan wana wisata Watu Ulo Rp 19 juta per tahun. Adanya tambahan pendapatan dari belanja pengunjung wisata alam menimbulkan dampak ganda ekonomi. Pertumbuhan ekonomi wilayah sebagai dampak wisata alam sebesar Rp 87,13 milyar di taman hutan wisata Pangandaran, Rp 26,64 milyar di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Rp 19,98 milyar di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Rp 5,29 milyar di Tahura Djuanda, Rp 2,91 milyar di wana wisata Watu Ulo, dan Rp 1,63 milyar di Taman Nasional Bunaken. Purwanto (2006) melakukan penelitian nilai ekonomi total Tahura Juanda. Sebanyak 500 pengunjung wana wisata Taman Hutan Raya Juanda telah diwawancarai, berkaitan dengan kesanggupan membayar untuk mengetahui kurva permintaan dari kawasan wisata tersebut. Studi ini dilakukan untuk mengetahui, menelaah dan menyajikan karakteristik objek wisata Taman Hutan Raya Juanda. Diharapkan dari studi ini dihasilkan suatu manfaat intangible rekreasi dari wana wisata yang dapat dilakukan untuk perumusan alokasi sumber daya alam dan alokasi pembangunan yang optimum. Metoda yang digunakan pada studi ini adalah menggunakan pendekatan "Travel Cost Method" atau yang dikenal dengan Metoda Biaya Perjalanan, yang prinsipnya menggunakan biaya perjalanan untuk menghitung nilai permintaan rekreasi suatu sumber daya alam yang tidak memiliki harga pasar. Dari hasil studi diperoleh indikasi bahwa semakin tinggi pendapatan rata-rata per kapita, maka permintaan rekreasi juga akan semakin besar, serta semakin tinggi biaya perjalanan akan menyebabkan berkurangnya jumlah permintaan. Berdasarkan analisis kurva permintaan diperoleh indikasi bahwa pada tingkat harga karcis yang berlaku sekarang Rp 700 maka diperoleh penerimaan sebesar Rp. 22.910.700. Penerimaan akan mencapai nilai optimum pada harga karcis sebesar Rp 6.000, yakni sebesar Rp. 206.963.800. Dengan tidak mengabaikan fungsi sosial dari wana wisata tersebut dan fungsi konservasi maka harga karcis yang masuk sebenarnya bisa ditetapkan tidak setinggi dimana penerimaan mencapai optimum. Diduga dengan harga karcis sebesar Rp. 3.000 maka fungsi wana wisata Taman Hutan Raya Juanda sebagai kawasan wisata,
145
konservasi dan mempunyai fungsi sosial terutama dari masyarakat sekitar dapat berjalan selaras. 7.4. Persepsi Masyarakat Dalam penelitian ini persepsi masyarakat terhadap tahura diketahui melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada responden yang secara normatif merupakan kondisi ideal dalam pengelolaan dan pelestarian tahura meliputi pentingnya keberadaan Tahura Djuanda; manfaat SDAL Tahura Djuanda bagi masyarakat; pentingnya partisipasi masyarakat dalam menjaga keamanan Kawasan Tahura Djuanda. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden yang tersebar di sekitar Kawasan Tahura Djuanda, persepsi masyarakat desa terhadap keberadaan Tahura Djuanda adalah 98,7% setuju jika keberadaan kawasan tetap dipertahankan, 0,67% tidak setuju dan 0,67% tidak tahu (Gambar 36).
Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Tahura
98.7
100 80
Setuju Tidak Setuju
60
Tidak Tahu
40
0.6667
20 0
Setuju
Tidak Setuju
0.6667
Tidak Tahu
Gambar 36. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan Tahura Djuanda Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Tahura Djuanda memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat di desa penyangga Kawasan Tahura Djuanda antara lain sebagai kawasan konservasi air (kesinambungan sumber air) dan ekowisata, penyedia lapangan kerja sehingga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djunda, menjamin ketersediaan udara segar, menjaga keindahan dan kelestarian sumberdaya hayati dan ekosistem yang ada di dalamnya, menyerap polusi, tempat menanam
146
rumput, tempat mencari kayu bakar, menyerap polusi, mencegah longsor dan erosi serta menambah Ruang Terbuka Hijau (RTH). Masyarakat desa penyangga Tahura Djuanda berharap agar pengelolaan Tahura Djuanda lebih meningkatkan keterlibatan masyarakat sekitar, sehingga Sedangkan untuk menjamin keberadaan dan kelestarian Tahura Djuanda Dinas Kehutan Propinsi Jawa Barat dalam hal ini Balai Pengelola Tahura Djuanda diharapkan meningkatkan kegiatan sosialisasi tentang pentingnya keberadaan Tahura
Djuanda
dan
pemberdayaan
masyarakat
sekitar
agar
mampu
memberikan manfaat baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Sehingga masyarakat sekitar Kawasan Tahura Djuanda merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap keberadaan Tahura Djuanda. Sedangkan dari segi pengunjung bahwa fasilitas di dalam Tahura Djuanda perlu ditingkatkan dan dipelihara dengan baik, karena sampai saat ini pengunjung merasakan bahwa kondisi di dalam Tahura Djuanda kurang terawat, sarana tempat pembuangan sampah sangat kurang, jalur jogging track masih dilalui oleh kendaraan bermotor sehingga tujuan mencari udara segar menjadi polusi dari asap sepeda motor. Walaupun hal ini sangat sederhana tetapi akan berpengaruh terhadap jumlah kunjungan ke Tahura Djuanda. Masyarakat sekitar kawasan Tahura Djuanda berpendapat bahwa air yang dimanfaatkan ada kaitannya dengan keberadaan Tahura Djuanda sebanyak 68% menjawab ya dan 32% menjawab tidak (Gambar 37). Keterkaitan Antara Keberadaan Tahura dengan Air yang Dimanfaatkan
32%
68% Ya
Tidak
Gambar 37 Persepsi masyarakat terhadap keterkaitan keberadaan Tahura Djuanda dengan air yang dimanfaatkan oleh masyarakat Persepsi tersebut relatif bervariasi karena sebagian masyarakat beranggapan bahwa jarak rumah dan Tahura sangat jauh sehingga air yang dimanfaatkan tidak ada kaitan dengan Tahura Djuanda. Sementara sebagian
147
masyarakat yang lain air yang dimanfaatkan bersumber dari mata air/sungai yang langsung berhubungan dengan Tahura Ir. H. Djunda. Tingkat persepsi masyarakat terhadap hak pemanfaatan kawasan Tahura Djuanda sebagai sumber air domestik dan industri adalah 59,33% menjawab masyarakat setempat berhak untuk memanfaatkan air yang bersumber dari Tahura, 38% menjawab semua orang, dan 2,67% menjawab hak pemerintah saja (Gambar 38).
Hak Pemanfaatan Kawasan Tahura Ir. H. Djuanda Sebagai Sumber Air Domestik dan Air Industri 60 50
59.33 38
40 30 20
2.67
10
0
0 Semua Orang
Pemerintah Masyarakat setempat
Ragu-ragu
Gambar 38 Hak pemanfaatan Tahura Djuanda sebagai sumber air domestik Sementara persepsi masyarakat terhadap pemanfaatan Kawasan Tahura Djuanda sebagai sumber air pertanian (irigasi) adalah hampir sama sebagian besar masyarakat (58%) menyatakan bahwa masyarakat setempat yang berhak memanfaatkan Tahura sebagai sumber air pertanian (irigasi), 38,67% menjawab semua orang dan 3,3% pemerintah yang berhak memanfaatkan Tahura Djuanda sebagai sumber air. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat mengharapkan dapat mengakses dan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di dalam Tahura Djuanda (mengambil kayu bakar, menanam rumput dan sayur-sayuran dan sumber air.
148
Hak Pemanfaatan Tahura sebagai Sumber Air Pertanian (Irigasi) 60 50
58
38.67
40 30 20 3.33
10
0
0 Semua Orang
Pemerintah
Masyarakat setempat
Ragu-ragu
Gambar 39. Hak pemanfaatan tahura sebagai sumber air pertanian Berdasarkan hasil penelitian dan survei ke lapangan hak pemanfaatan Tahura Djuanda (83%) menjawab bahwa semua orang berhak melakukan kegiatan ekowisata. Persepsi ini didasarkan pada pemahaman bahwa dengan adanya kegiatan ekowisata dapat memberikan pengaruh positif, yaitu mendorong terciptanya lapangan kerja sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan tersebut. Meningkatnya kunjungan wisatawan akan membuat pengelolaan Tahura Djuanda semakin menarik, kesejahteraan karyawan meningkat dan yang paling penting akan membantu menggerakkan perekonomian masyarakat kelas menengah dan bawah sekitar Tahura Djuanda. Karyawan akan memiliki dedikasi tinggi terhadap Tahura Djuanda, demikian pula masyarakat sekitar Tahura Djuanda akan
semakin
tergantung
kepada
keberadaan Tahura Djuanda sehingga mereka secara sadar akan bersedia menjaga kelestarian Tahura Djuanda. Hal ini menunjukkan masih adanya kesenjangan antara persepsi dan perilaku. Hak Pemanfaatan Tahura Ir. H. Djuanda Untuk Kegiatan Ekowisata 14%
0%
3%
83%
Semua Orang
Pemerintah
Masyarakat Setempat
Ragu-ragu
Gambar 40. Pemanfaatan Kawasan Tahura Djuanda untuk kegiatan ekowisata
149
Persepsi masyarakat terhadap pengaturan dan pengelolaan Tahura Djuanda adalah 37,97% dikelola oleh pemerintah, 35,44% dikelola oleh pemerintah dan masyarakat setempat, 14,56 % pemerintah dan swasta, 6,33% dikelola oleh masyarakat setempat dan 5,7% dikelola oleh semua orang. Tingginya persepsi masyarakat disebabkan masyarakat dapat dilibatkan dalam pengaturan dan pengelolaan Tahura Djuanda sehingga dapat memberikan manfaat baik secara ekonomi, sosial maupun konservasi sehingga menjadi penggerak pembangunan ekonomi
wilayahnya
secara
berimbang
(balanced
development)
antara
kebutuhan pelestarian lingkungan dan kepentingan semua pihak. Dari segi sosial diharapkan dengan partisipasi masyarakat mampu mengangkat derajat dan tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan Tahura Djuanda. Untuk tujuan konservasi keterlibatan masyarakat akan mampu memelihara, melindungi dan atau berkonstribusi untuk memperbaiki sumberdaya alam yang ada di Tahura Djuanda sehingga keberadaan dan keamanan Tahura dapat terjamin dan terhindar dari kerusakan seperti illegal logging dan perambahan lahan. Keterlibatan masyarakat dalam pengaturan dan pengelolaan Tahura Djuanda akan mempengaruhi pemahaman dan cara pandang masyarakat untuk lebih memiliki dan bertanggung jawab terhadap sumberdaya alam dan potensi yang ada di dalam dan sekitar Tahura Djuanda. Persepsi masyarakat terhadap kondisi pengelolaan Tahura Djuanda yaitu sebanyak 34% cukup baik, 32,67% menyatakan baik dan 27,33% kurang dan hanya 6% menyatakan sangat baik. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan yang ada sekarang belum optimal terutama dalam hal ketersediaan sarana dan prasarana, keterlibatan masyarakat, perawatan fasilitas yang ada di dalam dan di sekitar kawasan, vegetasi tanaman yang semakin berkurang, kurangnya promosi dan keterbatasan Sumberdaya Manusia.
150
Persepsi Masyarakat Terhadap Kondisi Pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda
32.67
35
34
30
27.33
25 20 15 10
6
5
0
0 Sangat Baik
Baik
Cukup Baik Kurang Baik Tidak baik
Gambar 41. Persepsi Masyarakat Terhadap Kondisi Pengelolaan Tahura Djuanda Pengembangan taman hutan memiliki sumbangan yang besar bagi pelestarian fungsi konservasi, pendidikan dan penelitian, kebudayaan serta pariwisata. Pengembangan taman hutan sebagai suatu kawasan pelestarian alam diharapkan dapat menjamin keberlangsungan pemeliharaan kawasan, meningkatkan
kesadaran
masyarakat
terhadap
pentingnya
perlindungan
kawasan alam, serta mengikutsertakan masyarakat di dalam menjaga kelestarian kawasan lindung. Studi terhadap perilaku pengunjung, dampak penggunaan kawasan konservasi, dan tingkat kepuasan pengunjung sangat diperlukan, untuk mendukung pengunjung dalam menemukan pengalaman alam yang menarik, menyenangkan dan mendidik sebagai upaya pencapaian tujuan dan fungsi, sekaligus meminimumkan dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari kegiatan pariwisata di suatu taman hutan. Pengembangan diarahkan pada prinsip pengembangan kawasan yang berkelanjutan dengan didasarkan pada aspek konservasi alam, penggalian kekayaan flora/fauna dan keindahan alam, serta aspek sejarah dan budaya. Arahan pengembangan yang diberikan bertujuan untuk tidak hanya memenuhi keinginan dan kebutuhan pengunjung yang sesuai dengan karakteristik taman hutan, terlebih lagi bertujuan untuk meningkatkan kualitas pengalaman yang didapatkan. Hal tersebut dapat dicapai dengan mengembangkan kegiatan rekreasi dan pembinaan cinta alam yang tidak terpisah dengan fungsi lainnya melalui perwujudan rekreasi edukatif. Kegiatan rekreasi edukatif diusahakan
151
dengan memasukkan unsur-unsur pelestarian alam, sejarah dan budaya dalam kegiatan rekreasi guna memberikan nilai tambah bagi kualitas pengalaman pengunjung di dalam kegiatan rekreasi di Taman Hutan Raya Djuanda. 7.5 Kesimpulan Nilai ekonomi total dari pemanfaatan kawasan Tahura Djuanda sebesar Rp. 7.248.163.074.446 per tahun. Nilai ini termasuk cukup besar jika dibandingkan dengan luas kawasan pengelolaan Tahura yaitu hanya sekitar 526,98 hektar dengan nilai Rp 13.754.152.101,- per ha. Nilai ekonomi ekowisata sebesar
yaitu Rp. 22.847.478.885,-. Kegiatan ekowisata paling baik dalam
mengembangkan
suatu
kawasan
dengan
fungsi
konservasi
dimana
pengembangan perlundungan kawasan dilakukan selaras dengan perekonomian kawasan sekitar dan manfaat bagi masyarakat sekitar. Pengembangan ekowisata
berkelanjutan dapat memberikan kontribusi bagi perlindungan
kawasan dan disisi lain juga memberikan kontribusi ekonomi bagi pengelola dan daerah serta partisipasi masyarakat sekitar. Partisipasi masyarakat sekitar sangat penting karena dengan ikut serta dalam penyelenggaraan dan pengelolaan kawasan, merek akan mempunyai rasa tanggung jawab
untuk
menjaga kelestarian kawasan yang telah memberikan mereka kesejahteraan Persepsi masyarakat terhadap keberadaan Tahura Djuanda memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat di desa penyangga Kawasan Tahura Djuanda antara lain sebagai kawasan konservasi air dan ekowisata, penyedia
lapangan
kerja
sehingga
mampu
meningkatkan
pendapatan
masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djunda, menjamin ketersediaan udara segar, menjaga keindahan dan kelestarian sumberdaya hayati dan ekosistem yang ada di dalamnya, menyerap polusi, tempat menanam rumput, tempat mencari kayu bakar, menyerap polusi, mencegah longsor dan erosi serta menambah Ruang Terbuka Hijau (RTH). Untuk menjamin keberadaan dan kelestarian Tahura Djuanda Dinas Kehutan Propinsi Jawa Barat dalam hal ini Balai Pengelola Tahura Djuanda diharapkan meningkatkan kegiatan sosialisasi tentang pentingnya keberadaan Tahura
Djuanda
dan
pemberdayaan
masyarakat
sekitar
agar
mampu
memberikan manfaat baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya, sehingga masyarakat sekitar Kawasan Tahura Djuanda merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap keberadaan Tahura Djuanda. Pengunjung bahwa fasilitas di
152
dalam Tahura Djuanda perlu ditingkatkan dan dipelihara dengan baik, karena sampai saat ini pengunjung merasakan bahwa kondisi di dalam Tahura Djuanda kurang terawat, sarana tempat pembuangan sampah sangat kurang, jalur jogging track masih dilalui oleh kendaraan bermotor sehingga tujuan mencari udara segar menjadi polusi dari asap sepeda motor.