71
BAB IV MOBILITAS SOSIAL MASYARAKAT SEKITAR KAWASAN WISATA TAHURA IR. H. DJUANDA (1985-2007)
Bab ini merupakan uraian analisis dari hasil penelitian di Tahura Ir. H. Djuanda untuk memberikan gambaran umum mengenai masyarakat sekitar kawasan Tahura Ir. H. Djuanda yaitu tentang “Kawasan Wisata Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda 1985-2007 (Suatu Kajian Tentang Mobilitas Sosial Masyarakat Sekitarnya)” sesuai dengan fakta-fakta dari sumber tertulis berupa buku-buku, dokumen dan arsip-arsip yang relevan dengan kajian yang peneliti lakukan. Peneliti juga melakukan teknik wawancara terhadap para pelaku atau narasumber yang benar-benar mengetahui dan mengalami peristiwa yang peneliti kaji. Pembahasan pada bab ini dikembangkan menjadi tiga sub bab, yaitu pertama, Gambaran umum Tahura Ir. H. Djuanda, yang dapat dilihat dari kondisi geografi dan lingkungan fisik, kondisi demografi. Kedua, sejarah dan perkembangan kawasan Tahura Ir. H. Djuanda (1985-2007). Ketiga, dampak keberadaan Tahura Ir. H. Djuanda terhadap mobilitas
sosial masyarakat
sekitarnya (1985-2007).
A. Gambaran Umum Tahura Ir. H. Djuanda 1. Kondisi Geografi dan Lingkungan Fisik Taman Hutan Raya Ir. H. merupakan suatu kawasan hutan lindung yang secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bandung dan Kota
72
Bandung. Kota Bandung secara geografis berada antara 107o36’ BT dan 6o55’ LS dengan batas-batas sebelah Utara, Selatan, Timur, dan Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung. Berdasarkan Hasil Registrasi Penduduk 2002 di Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung, wilayah Kota Bandung terbagi dalam 26 kecamatan, yaitu Kecamatan Andir, Arcamanik, Astanaanyar, Babakanciparay, Bandung Kidul, Bandung Kulon, Bandung Wetan, Batununggal, Bojongloa Kaler, Bojongloa Kidul, Cibeunying Kaler, Cibeunying Kidul, Cibiru, Cicadas, Cicendo, Cidadap, Coblong, Kiaracondong, Lengkong, Margacinta, Rancasari, Regol, Sukajadi, Sukasari, Sumur Bandung, dan Ujungberung. Kabupaten Bandung secara geografis berada antara 6°41`-7°19` LS; 107°22`-108°5` BT dengan batas-batas wilayahnya yaitu berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Sumedang di utara, Kabupaten Garut di timur dan selatan, serta Kabupaten Cianjur di barat dan selatan. Kabupaten Bandung terdiri atas 43 kecamatan , yaitu Kecamatan Arjasari, Baleendah, Banjaran, Batujajar, Bojongsoang, Cicalengka, Cikalong Wetan, Cikancung, Cileungkrang, Cileunyi, Cililin, Cimaung, Cimenyan, Ciparay, Cipatat, Cipeundeuy, Cipongkor, Cisarua, Ciwidey, Dayeuhkolot, Gununghalu, Ibun, Kertasari, Ketapang, Lembang, Majalaya, Margaasih, Margahayu, Nagreg, Ngamprah, Pacet, Padalarang, Pameungpeuk, Pangalengan, Parongpong, Paseh, Pasirjambu, Rancabali, Rancaekek, Rongga, Sindangkerta, Solokan Jaya, dan Soreang.
73
Gambar 4.1 Peta Kabupaten Bandung
Sumber: BPS Kabupaten Bandung Luas areal kawasan hutan berdasarkan Hasil Rekonstruksi Tata Batas Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda pada tahun 2003 luasnya adalah 527,03 ha termasuk DAS Citarum dan Sub DAS Cikapundung yang terdiri dari: a. Blok Curug Dago seluas +/- 3,10 ha (secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong Kota Bandung) b. Blok Pakar seluas +/- 530,70 ha (secara administratif termasuk wilayah Desa Ciburial, Kec amatan Cimenyan, Kabupaten Bandung). c. Blok Maribaya seluas +/- 17,20 Ha (secara administratif termasuk wilayah Desa Mekarsari, Langensari, Wangunharja, dan Cibodas, Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung) Pada umumnya kondisi lapangan Tahura Ir. H. Djuanda miring, dengan kelerengan (slope) agak curam sampai dengan terjal, dengan ketinggian +/- 770 m
74
dpl sampai dengan +/- 1350 m di atas permukaan laut. Adapun unsur tanah yang terkandung di areal ini didominasi andosol dan sebagian kecil gramosol yang peka terhadap erosi. Sedangkan, kondisi iklim menurut klasifikasi Schmidt Ferguson termasuk Type B, kelembaban nisbi udara berkisar antara 70% (siang hari) dan 90% (malam dan pagi hari), suhu berkisar antara 2200C-2400C (di lembah) dan berkisar 1800C-2200C (di puncak). Curah hujan rata-rata pertahun 2.5004.500mm/tahun. Gambar 4.2 Peta Tahura Ir. H. Djuanda
Sumber: Balai Pengelola Tahura Ir. H. Djuanda. (2006). Peta Lampiran Rencana Pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda Di Kecamatan Lembang, Kecamatan Cimenyan, dan Kecamatan Coblong Kabupaten Bandung dan Kota Bandung Provinsi Jawa Barat. Bandung: Balai Pengelola Tahura Ir. H. Djuanda.
75
2. Kondisi Demografi Tahura Ir. H. Djuanda berada pada lintas Kabupaten Bandung dan Kota Bandung. Wilayah yang termasuk Kabupaten Bandung, yaitu pertama, Desa Ciburial
Kecamatan
Cimenyan.
Kedua,
Desa
Mekarsari,
Langensari,
Wangunharja, dan Cibodas Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung. Adapun yang termasuk Kota Bandung hanya Kelurahan Dago yang termasuk wilayah administrastif Kecamatan Coblong. Berdasarkan letak kawasan ini yang berbatasan langsung dengan Kota Bandung dan sarana transportasi yang demikian lancar menyebabkan luas pemukiman di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda menjadi bertambah. Pertambahan luas pemukiman dikarenakan adanya pertambahan jumlah penduduk, baik penduduk asli maupun penduduk pendatang. Wilayah ini juga merupakan salah satu tempat yang memiliki pemandangan yang indah, sehingga banyak didirikan resort, restoran, dan villa. Jumlah penduduk Kota Bandung tahun 2002 adalah sebanyak 1.868.542 jiwa. Pertumbuhan penduduk rata-rata dari tahun 1997 sampai tahun 2002 adalah 1,65% (BPS Kota Bandung. Hasil Registrasi Penduduk Tahun 2002). Sedangkan jumlah penduduk Kabupaten Bandung pada tahun 2002 mencapai 3,9 juta jiwa yang terdiri dari 1.976.473 laki-laki dan 1.924.455 perempuan. Hal ini berarti mengalami peningkatan sebesar 3,5% (BPS Kab. Bandung. Kabupaten Bandung Dalam Angka Tahun 2002 ). Pertumbuhan jumlah penduduk di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda dari tahun 1998 sampai 2006 yaitu rata-rata perkembangan 0,19 %. Pada tabel berikut ini
76
akan diuraikan mengenai jumlah penduduk di sekitar Kawasan Tahura Ir. H. Djuanda pada kurun waktu 1998-2006: Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Tahun 1998-2006 Tahun
1998
1999
2003
2004
2006
Ciburial
8.538
8.538
10.214
10.221
10.239
Cibodas
7.770
7.945
8.562
8.569
8.569
Langensari
8.907
7.726
8.472
8.457
8.458
Mekarwangi
3.973
4.975
4.625
4.641
4.653
Wangunharja
5.546
5.255
6.042
6.379
6.109
Dago
24.636
25.332
32.988
33.082
33.541
Jumlah
59.370
59.771
70.903
71.349
71.569
Sumber: Kecamatan Lembang. 1998-2006. Arsip Laporan Penduduk Kecamatan Lembang. Bandung: Kantor Kecamatan Lembang. Pemerintahan Desa Ciburial.1997-2007. Profil Desa Ciburial. Bandung: Kantor Desa Ciburial. Data yang disajikan pada tabel di atas tidak berurutan berdasarkan tahun kajian yaitu dari tahun 1985-2007 karena keterbatasan sumber. Adapun jumlah penduduk yang bertempat tinggal di sekitar kawasan Tahura Ir. H. Djuanda yang tercantum dalam tabel diatas merupakan jumlah secara keseluruhan penduduk yang termasuk ke dalam orang-orang produktif (produktif dalam bekerja) dan penduduk tidak produktif seperti anak-anak dan manula. Berdasarkan data penduduk pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa jumlah penduduk di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda mengalami peningkatan setiap tahunnya. pada tahun 1998 jumlah penduduk adalah sebesar 59.370 jiwa,
77
kemudian pada tahun 1999 mengalami peningkatan sebesar 0,18% yaitu mencapai 59.771 jiwa dan pada tahun 2006 meningkat sebesar 0,21% yaitu mencapai 71.569 jiwa. Peningkatan jumlah penduduk ini disebabkan karena adanya pertambahan angka kelahiran dan bertambahnya jumlah pendatang yang menetap di daerah sekitar Tahura Ir. H. Djuanda. Upaya untuk menjaga dan melestarikan kawasan hutan akan terhambat dengan meningkatnya jumlah penduduk di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda. Hal ini dikarenakan kebutuhan untuk tempat tinggal akan bertambah. Dengan demikian, diperlukan kerjasama berbagai pihak untuk mendirikan rumah susun. Peningkatan jumlah penduduk ini mengakibatkan peningkatan kebutuhan lapangan pekerjaan. Oleh karena itu sebagian masyarakat ada yang mencari nafkah di kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda. Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dengan demikian pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Keberhasilan pembangunan mensyaratkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Adapun kualitas SDM yang tinggi hanya dapat dicapai melalui pendidikan. Peningkatan SDM lebih diutamakan oleh pemerintah. Melalui pemberian kesempatan kepada semua lapisan masyarakat untuk mengecap pendidikan.
78
Berdasarkan hal tersebut, pemerintah berusaha menyediakan sarana dan prasarana pendukung pendidikan dengan memperbanyak pembangunan sekolahsekolah di daerah. Dengan demikian, pemerintah berharap kualitas SDM akan meningkat sehingga peluang masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan akan lebih besar. Berikut ini merupakan data sekolah tahun 1996-2006: Tabel 4.2 Perkembangan Jumlah Sekolah dan Murid Semu a Jenjang Sekolah di Kecamatan Coblong, Cimenyan, dan Lembang Tahun 1993-2006 Tahun 1993
1998
1999
2000
2006
Kecamatan 1. Coblong 2. Cimenyan 3. Lembang Jumlah 1. Coblong 2. Cimenyan 3. Lembang Jumlah 1. Coblong 2. Cimenyan 3. Lembang Jumlah 1. Coblong 2. Cimenyan 3. Lembang Jumlah 1. Coblong 2. Cimenyan 3. Lembang Jumlah
Jumlah Sekolah SD SMP SMA 75 11 15 51 2 71 7 4 197 20 19 71 14 14 50 2 1 71 7 4 192 23 19 70 14 14 50 4 1 72 7 4 192 25 19 70 14 14 51 4 1 70 7 4 191 25 19 45 14 16 49 7 1 66 8 5 160 29 22
Jumlah Murid SD SMP SMA 11.181 2.079 8.979 9.105 616 17.416 3.671 1.275 37.702 6.366 10.254 10.414 5.134 9.051 8.010 1.104 63 15.724 4.308 1.693 26.939 10.546 10.807 922 5.381 9.240 8.443 1.106 52 15.996 4.618 1.673 25.361 11.105 10.965 10.374 5.381 9.240 8.935 486 53 17.607 3.911 1.605 36.916 9.778 10.898 10.117 5.013 8.138 9.598 1.480 65 17.616 5.501 1.685 37.331 10.662 9.888
Ket: (-) tidak ada Sumber: Badan Pusat Statistik Kab. Bandung. Bandung Dalam Angka Tahun 1993-2006. Bandung: BPS Kab. Bandung. Badan Pusat Statistik Kota Bandung. Bandung Dalam Angka Tahun 1993-2006. Bandung: BPS Kota Bandung
79
Berdasarkan tabel di atas peneliti menggunakan data jumlah sekolah dan siswa yang ada di Kecamatan Coblong, Cimenyan, dan Lembang karena data khusus mengenai sekolah yang ada di setiap desa tidak dapat peneliti temukan. Namun tabel di atas memperlihatkan terjadinya fluktuasi jumlah sekolah dan murid pada kurun waktu 1993-2006. Hal ini disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu pertama, terdapat beberapa sekolah baik SD, SMP, dan SMA yang ditutup karena mengalami kekurangan jumlah siswa. Adapun faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi diantaranya faktor ekonomi penduduk. Sebagian besar penduduk di sekitar kawasan Tahura Ir. H. Djuanda bermata pencaharian sebagai petani yang terkategorikan penduduk miskin, sehingga mereka tidak mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Selain ekonomi, faktor jarak juga mempengaruhi berkurangnya jumlah sekolah dan murid yang ada di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda. Sebagian besar sekolah berada di kota Bandung atau di ibu kota kecamatan dengan jarak tempuh yang cukup jauh disebabkan tidak tersedianya sarana transportasi yang memadai dari rumah siswa ke sekolah. Kedua, adanya penggabungan sekolah karena beberapa sekolah terutama yang berada di daerah-daerah kecamatan kekurangan jumlah siswa dan guru. Tujuan dari penggabungan ini yaitu untuk mengefisienkan dan mengefektifkan sekolah yang berkenaan dengan biaya. Tabel di atas juga memperlihatkan bahwa pembangunan sarana sekolah di daerah tidak merata, khususnya untuk sekolah lanjutan, seperti SMP dan SMA. Jumlah sekolah di Kecamatan Cimenyan pada tahun 1993 yaitu dua buah SMP
80
dan tidak memiliki SMA. Sedangkan di Kecamatan Coblong dan Lembang sarana sekolah untuk SMP dan SMA sudah lebih banyak dari Kecamatan Cimenyan. Jumlah sekolah lanjutan di Kecamatan Lembang pada tahun 1993 yaitu tujuh buah SMP dan empat SMA. Sekolah Lanjutan sangat penting bagi masyarakat yang berada di daerah, khususnya daerah terpencil. Namun sebagian masyarakat lebih memilih untuk tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Seperti yang terjadi di Kecamatan Cimenyan, jumlah murid SMA pada tahun 1999 hanya 52 orang, sedangkan di Kecamatan Lembang dan Coblong sudah melebihi angka seribu orang. Faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, yaitu pertama, pembangunan sarana pendidikan, khususnya SMA di setiap daerah tidak merata, khususnya untuk sekolah lanjutan seperti Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Kedua, faktor kemiskinan mengakibatkan sebagian masyarakat lebih memilih bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya daripada melanjutkan pendidikan ke SMP atau SMA apalagi perguruan tinggi. Ketiga, faktor jarak tempuh antara sekolah dengan tempat tinggal karena lokasi sekolah lanjutan SMP dan SMA biasanya berada di kota kecamatan dan Kota Bandung. Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan lapangan pekerjaan sangat diperlukan dan meningkat setiap tahunnya. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, semakin tinggi tingkat pendidikan dan kemampuan seseorang, maka semakin lebih baik pula pekerjaan yang didapatkan, begitu pula sebaliknya,
81
dengan tingkat pendidikan yang rendah, maka pekerjaan yang didapat sama dengan tingkat pendidikannya. Mata pencaharian atau pekerjaan penduduk sekitar kawasan Tahura Ir. H. Djuanda, sebagian besar sebagai petani yaitu sebesar 8.336 jiwa. Sebagian lain bekerja sebagai karyawan swasta, Pegawai Negeri Sipil (PNS), wiraswasta, buruh, pertukangan, pensiunan, dan jasa (Kantor Kecamatan Lembang dan Kantor Desa Ciburial, 2004. Profil Desa Ciburial, Cibodas, Langensari, Mekarwangi, dan Wangunharja). Alternatif untuk memperoleh penghasilan bagi sebagian masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yang berpendidikan rendah dan tidak mempunyai banyak keahlian adalah bekerja di Kawasan Tahura Ir. H. Djuanda. Mereka bekerja sebagai penyewa senter, tukang parkir, berjualan, pemandu wisata, tukang ojeg, dan petugas kebersihan Tahura Ir. H. Djuanda. Mereka tidak memerlukan status pendidikan yang tinggi, akan tetapi mereka hanya perlu keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan pekerjaan tersebut. Stratifikasi sosial merupakan satu kondisi yang hampir selalu ada dalam setiap
masyarakat
di
seluruh
dunia.
Secara
umum
konsep
tersebut
menggambarkan keadaan suatu masyarakat yang memiliki pembedaan kedudukan secara hierarkis didalamnya. Pelapisan sosial tersebut ada yang tampak tegas dengan berbagai norma yang mengaturnya, ada juga yang samar-samar, namun dapat dirasakan oleh anggota masyarakatnya. Gambaran mengenai hal tersebut juga terjadi pada masyarakat di sekitar kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda.
82
Kehidupan masyarakat di sekitar kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda memang tidak menggambarkan adanya pelapisan sosial yang tegas, seperti layaknya masyarakat yang berkasta, namun bukan berarti tidak ada pelapisan sosial di sana. Sebagai buktinya, mereka masih membedakan kalau seseorang itu dapat dikatakan sebagai orang biasa dan orang terhormat. Kondisi tersebut menggambarkan adanya gejala penempatan status seseorang ke dalam kedudukan yang tinggi dan yang lebih rendah dari itu. Dengan kata lain, pelapisan sosial yang terdapat pada kehidupan masyarakat sekitar kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda tampak samar. Meskipun demikian mereka dapat merasakan perbedaan tersebut. Adanya kedudukan yang tinggi dan yang lebih rendah dalam kehidupan masyarakat di sekitar kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda membuat masyarakat membedakan sikap dan perilakunya terhadap kedua kedudukan tersebut. Pada umumnya, mereka yang menempati kedudukan tinggi senantiasa lebih dihormati dan disegani oleh mereka yang dianggap memiliki kedudukan lebih rendah. Akan tetapi, apabila individu yang memiliki banyak harta dan berpendidikan tinggi tidak dapat memberikan teladan dan manfaat bagi masyarakat sekitarnya, maka individu tersebut tidak akan terlalu dihormati oleh masyarakat sekitar. Aktualisasi penghormatan bisa berupa perilaku, sikap, dan penggunaan bahasa yang lebih sopan; menyapa lebih dulu kalau bertemu, senantiasa diundang dalam setiap acara kemasyarakatan dan lain-lain.
83
Meskipun pelapisan sosial pada masyarakat ini tampak samar, tetap saja dapat ditelusuri dasarnya. Tolak ukur yang menjadi dasar dalam pelapisan tersebut tentu saja status yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan. Stratifikasi sosial masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda terbagi menjadi tiga, yaitu
jalma beunghar, jalma cukup, jalma miskin. Hal ini sama
seperti yang dipaparkan Ekadjati (1995) mengenai stratifikasi sosial dalam masyarakat desa terbagi menjadi pertama, jalma beunghar, jalma jegud atau jalma sugih merupakan kelompok pertama dalam masyarakat yang semakin lama kekayaannya semakin banyak. Kedua, jalma cukup yaitu kelompok menengah, dimana masyarakat yang tingkat kekayaannya tidak menonjol, kaya sekali tidak, namun miskin pun tidak. Ketiga, jalma miskin, jalma masakat, jalma malarat atau jalma leutik yaitu kelompok masyarakat yang semakin lama kekayaannya berkurang bahkan tidak sedikit yang habis dan terbelit hutang. Ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda ke dalam suatu lapisan, yaitu: a. Ukuran kekayaan, misalnya bentuk rumah, mobil pribadi, kepemilikan tanah. b. Ukuran kekuasaan. Barang siapa yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar, menempati lapisan atasan. c. Ukuran kehormatan. Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan/atau kekuasaan. Orang yang paling
84
disegani dan dihormati, mendapat tempat yang teratas. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa. d. Ukuran ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sebagai ukuran, dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Samiati Alisjahbana (1995) dalam Ekadjati (1995: 185) juga memaparkan bahwa kriteria bagi pelapisan sosial masyarakat desa di wilayah Priangan didasarkan pada: 1) 2) 3) 4) 5)
Pemilikan tanah yang berkaitan dengan pelaksanaan tanam paksa Pemilik tanah luas, tanah sempit, dan penyewa tanah. Pendidikan Kedudukan dalam pemerintahan desa Agama
Hubungan sosial masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda terjalin secara harmonis. Masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda merupakan suatu masyarakat yang homogen dengan hubungan sosial yang lebih bersifat intim dan awet (Hasil Wawancara 6 Desember 2008). Seperti yang diungkapkan Pitirim A. Sorokin dan Carle C. Zimmerman (dalam T.L. Smith dan P. E. Zop, 1970) mengemukakan bahwa “… sebagian besar dari hubungan yang ada di kalangan masyarakat pedesaan lebih bersifat permanen, kuat, dan awet …” (Raharjo, 1999: 44). Masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda juga sering melaksanakan gotong royong. Kegiatan yang dilakukan antara lain aktivitas tolong menolong antara tetangga yang tinggal berdekatan, aktivitas antara kaum kerabat (dan kadang-kadang beberapa tetangga yang paling dekat) untuk menyelenggarakan pesta, aktivitas spontan tanpa pamrih dan permintaan untuk membantu secara spontan pada waktu seorang penduduk desa mengalami kematian atau bencana,
85
serta pengerahan tenaga bayaran untuk suatu proyek yang bermanfaat untuk umum, misalnya pembangunan masjid dan pembangunan kantor desa.
B. Perkembangan Tahura Ir. H. Djuanda Pemaparan mengenai perkembangan Tahura Ir. H. Djuanda dibagi ke dalam dua sub-bab pembahasan, pertama membahas kondisi perbukitan Dago Pakar dimulai dari masa Prasejarah, Pendudukan Belanda, Pendudukan Jepang, Perang Kemeredekaan RI (1945-1949), dan perkembangannya sampai pada tahun 1985. Kedua, membahas perkembangan Tahura Ir. H. Djuanda dari tahun 19852007. 1. Perkembangan Awal Tahura Ir. H. Djuanda Bentang alam spesifik kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda merupakan sebagian daerah Cekungan Bandung yang sangat khas keberadaan rupa buminya dibanding daerah lainnya. Cekungan Bandung ini terjadi karena adanya gejolak alam dengan periode tertentu dalam era pembentukan alam semesta ini. Pada permulaan Periode Plestosen (satu juta tahun yang lalu) daerah Priangan memiliki sebuah gunung yang sangat besar dengan dasar piramidanya +/- 20 Km2 dan ketinggiannya variable antara 3.000 m dpl sampai dengan 5.000 m dpl yang bernama Gunung Sunda. Gunung tersebut pada periode Helosen (sebelas ribu tahun yang lalu) mengalami erupsi/meletus yang pertama kalinya sehingga membentuk telaga besar Situ Hyang atau Danau Bandung serta muncul anak gunung yang diberi nama oleh orang-orang daerah tersebut dengan nama Gunung Tangkuban Perahu. Pada kurun waktu Periode Purba (4000 – 3000 tahun lalu)
86
Situ Hyang atau Danau Purba mengalami penyusutan air melewati Aliran Sungai Cikapundung dan Citarum dengan pintu alirannya terdapat di Sanghyang Tikoro. Susutnya air di kaldera Situ Hyang menyebabkan terbentuknya Dataran Tinggi Bandung yang membentang dari Cicalengka (di sebelah Timur) sampai dengan Padalarang (di sebelah Barat) sejauh +/- 50 Km dan batas sebelah Utaranya Bukit Dago sampai dengan Soreang (sebelah Selatan) sejauh +/- 30 Km. Dataran Tinggi Bandung yang terbentuk secara geologi akibat adanya endapan batuan gunung api yang sudah lapuk juga menyebabkan pendangkalan danau purba sehingga menjadi kering. Dataran tinggi yang berada di sebelah utara yaitu bukit Dago atau Dago Pakar ternyata menjadi salah satu pemukiman yang memadai bagi manusia prasejarah. Soewarno (2004: 9) memaparkan bahwa: ...dari beberapa lokasi di kawasan pegunungan Bandung Utara, rupanya hanya di daerah Dago Pakar yang paling memadai, sebab pencapaiannya dari tepi danau topografi medannya landai, dan lagi dekat alur Sungai Cikapundung. Demikian pula tepi danau yang terdekat terletak di Jalan Dipenogoro sekarang, sedang muara Sungai Cikapundung ini tidak terlalu jauh letaknya. Analisis ini dilakukan berdasarkan interpretasi peta topografi dan endapan danau yang membentuk struktur yang disebut kipas aluvium. Melalui kedua lokasi inilah kemungkinan para nelayan prasejarah mencari ikan di danau dan juga menyebranginya untuk menjelajah alam mencari sumber daya lainnya. Hal ini didasarkan pada berbagai piranti kebutuhan hidup yang terbuat dari beberapa bentuk dan jenis batuan untuk pembuatan piranti prasejarah seperti kapak, pisau, mata anak panah, dan sebagainya. Tersebarnya batuan hasil kegiatan gunung api yang disebut batu pasir tufaan (Batu pasir yang mudah diresapi bisa memelihara kelembaban lapisan tanah, sedangkan tufa atau abu gunung api menjadi penyubur tanah) di bukit Dago menyebabkan tanahnya sangat subur untuk pertanian dan bentangan pegunungan dari barat sampai ke timur di kawasan ini merupakan “tangki air raksasa alamiah”
87
untuk cadangan air di musim kemarau. Tataan alam yang penuh fasilitas alam inilah yang menjadi daya tarik manusia prasejarah untuk memanfaatkan kawasan ini untuk dijadikan sebagai tempat bermukim, bermasyarakat, serta mengembangkan kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya. Kegiatan manusia prasejarah masih dilakukan dengan cara yang sangat sederhana, karena keterbatasan
kemampuan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi.
Manusia
prasejarah hanya meninggalkan piranti sejarah berupa artefak. Berikut adalah daftar artefak yang ditemukan di Bukit Dago, yaitu: Tabel 4.3 Daftar Artefak di Bukit Dago KO 380 Jenis Artefak
Keterangan Obsidian Melimpah Batu Asah/Poles pecahan kapak batu terpoles Ada Bentuk Cetakan/Coran Logam Melimpah Serpihan/pecahan tembikar Melimpah Keramik setempat Ada Guci-guci Melimpah Manik-manik gelas dan kenergi Melimpah Siang besi Ada Keramik Cina/Hindu abad ke-9 sampai 12 Ada Keramik Cina/Hindu abad ke-9 sampai 12 Ada Keramik Cina/Hindu abad ke-13 sampai 14 Ada Keramik Cina/Hindu abad ke-15 sampai 16 Ada Keramik Cina/Hindu abad ke-17 sampai 18 Ada Sumber: Prof. Dr. R. P. Koesoemadinata dalam Suganda, 2007: 36 Perbukitan Pakar pernah menjadi tempat yang sangat menarik untuk strategi militer, karena lokasinya yang terlindungi dan begitu dekat dengan pusat Kota Bandung yang memiliki berbagai fasilitas militer. Daerah ini pernah digunakan oleh kegiatan militer Belanda dan Jepang. Pada masa pendudukan Belanda, kawasan Tahura Ir. H. Djuanda merupakan kawasan Hutan Lindung Gunung Pulosari berdasarkan proses Verbal
88
tanggal 27 September 1922 yang dikelola oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui Bosche Wezen. Pada awal tahun 1941 tentara militer Hindia Belanda membangun jaringan gua di dalam perbukitan batu pasir Tufaan. Pada mulanya, gua ini digunakan untuk terowongan PLTA Bengkok, kemudian pada suasana Perang Dunia II berfungsi sebagai pusat Stasiun Radio Telekomunikasi Militer Hindia Belanda. Pendirian stasion radio ini dikarenakan stasion radio di Gunung Malabar tidak mungkin untuk dilindungi dan dipertahan dari serangan udara karena tempatnya yang terbuka dari udara. Stasion radio dan telekomunikasi ini belum terpakai secara optimal, tapi pernah digunakan Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda Letnan Jenderal Ter Poorten melalui Laksamada Mayda Helfrich untuk berhubungan dengan Panglima Armada Sekutu Laksamana Muda Karel Doorman agar mencegah masuknya Angkatan Laut Kerajaan Jepang yang mengangkut pasukan mendarat di Pulau Jawa. Namun usaha ini gagal dan seluruh pasukan pendarat berhasil mendarat dengan selamat di bawah komando Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Pada tanggal 10 Maret 1942 dengan resmi angkatan perang Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Bala Tentara Jepang dengan upacara sederhana di Balai Kota Bandung. Penyerahan tanpa syarat ini mengakibatkan semua instalasi militer Hindia Belanda dikuasai seluruhnya oleh Jepang. Dengan berkuasanya Jepang, maka tentara Jepang membangun jaringan gua tambahan untuk kepentingan pertahanan di Pakar, tidak jauh dari Gua Belanda. Pembangunan ini dilakukan oleh para tenaga kerja secara paksa yang pada saat itu disebut “Romusha” atau “nala karya”. Selama pendudukan Jepang di Indonesia,
89
daerah Pakar yang sekarang ini menjadi Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda digunakan untuk kepentingan pertahanan militer Jepang dan tertutup bagi masyarakat. Gua Jepang digunakan sebagai tempat radio komunikasi Tentara Jepang dan sebagai tempat pertahanan, sedangkan Gua Belanda digunakan sebagai gudang Mesiu. Pada masa Kemerdekaan RI (1945-1949), Pakar dan daerah di sekitarnya dijadikan lintasan para pejuang gerilya yang masuk ke kota Bandung dari arah utara pada malam hari. Daerah ini menjadi sangat strategis sebagai jalur lintasan pejuang gerilya karena daerah ini sepi dan masih penuh dengan semak belukar serta patroli tentara Belanda dilakukan pada siang hari. Di sekitar daerah ini juga sudah ada perkampungan penduduk yang juga dipenuhi oleh semak belukar. Penduduk di perkampungan itu membantu para pejuang gerilya dengan menjadi petunjuk jalan, informan, penyedia tempat untuk berkumpul, pemberi bekal makanan dan tugas logistik lainnya. Sejak Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 kawasan Tahura Ir. H. Djuanda secara resmi menjadi kawasan hutan milik negara yang dikelola oleh pemerintah Republik Indonesia melalui Jawatan kehutanan. Pada tahun 1960 Bapak Mashudi (Gubernur Jawa Barat) dan Ir. Sambas Wirakusumah (Adm. Bandung Utara) serta dukungan dari Bapak Ismail Saleh (Menkeh RI) dan Bapak Soejarwo (Menhut RI) merintis untuk melaksanakan pembangunan agar terjaga dari perambahan tanah kehutanan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab. Pada tahun 1963 bersamaan dengan meninggalnya Ir. H. Djuanda, hutan lindung tersebut diabadikan namanya menjadi Kebun Raya Rekreasi Ir. H.
90
Djuanda oleh Bapak Mashudi. Nama Ir. H. Djuanda diambil untuk menghargai dan mengabadikan
pahlawan nasional dari Tatar Sunda yang diharapkan
semangat nasionalismenya akan menjadi suri tauladan bagi generasi yang akan datang. Pada tahun ini juga jalan Dago dinamakan jalan Ir. H. Djuanda. Pembangunan Kebun Raya Rekreasi Ir. H. Djuanda dilakukan dengan mengadakan kerjasama dengan Botanical Garden Bogor, dengan penanaman koleksi tanaman yang terdapat di Bogor serta penanaman jenis tumbuhan kayu asing berasal dari luar negeri di lahan seluas 30 ha yang terletak di sekitar Plaza dan Gua Jepang. Pada 23 Agustus 1965 Bapak Mashudi meresmikan Kebun Raya Rekreasi Ir. H. Djuanda menjadi Kebun Raya Hutan Rekreasi Ir. H. Djuanda sebagai Embrio Tahura seluas +/- 30 ha dan dikelola oleh Jawatan Kehutanan Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1978-1985 terjadi pergantian pengelola. Dinas Kehutanan (2007: 5) memaparkan bahwa: Pada tahun 1978 dari Jawatan Kehutanan Provinsi Jawa Barat diserahkan ke Unit III Perum Perhutani Jawa Barat. Pada 6 Agustus 1980 dengan SK Mentan diserahkan dari Perum Perhutani ke Dirjen PHPA, Balai KSDA 1 Jabar bersama Curug Dago (SK. Mentan No. 575/kpts/UM/8/1980) seluas 590 ha. Dengan SK. MENHUT tanggal 12 November 1984 beralih dari Taman Wisata Arboretum Nasional dengan nama Tahura Ir. H. Djuanda. Berdasarkan Kepres No. 3/1985 tanggal 14 Januari 1985 ditetapkan sebagai Tahura Ir. H. Djuanda seluas 590 ha dan pengelolaanya diserahkan kepada Perum Perhutani yang dibina oleh Dirjen PHPA berdasarkan SK. Menhut No. 192/kpts-2/1985, tanggal 30 Juli 1985 sampai dengan tahun 2003. Tahura Ir. H. Djuanda diserahkan ke Pemprov Jabar cq. Dinas Kehutanan Jabar melalui UPTD Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya berdasarkan SK. Menhut No. 107/kpts-II/2003 tanggal 24 Maret 2003.
91
2. Perkembangan Kawasan Wisata Tahura Ir. Djuanda (1985-2007) Presiden Soeharto pada 14 Januari 1985 meresmikan TWA Curug Dago sebagai Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Peresmian ini diharapkan berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan, satwa asli atau bukan asli. Keunikan dan keindahan panorama alamnya dapat dimanfaatkan secara lestari untuk konservasi, koleksi, edukasi, rekreasi serta secara tidak langsung dapat meningkatkan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya dan PAD Provinsi Jawa Barat. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya memaparkan bahwa: “Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai fungsi sebagai koleksi tumbuhan dan satwa, baik jenis asli maupun bukan asli untuk dimanfaatkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, penelitian, pendidikan, budidaya, pariwisata, dan rekreasi” (Dinas Kehutanan, 2007: 02). Berkembangnya suatu daerah menjadi tempat wisata, sehingga menarik wisatawan untuk berkunjung dapat dilihat dari aksesbilitas, hal-hal yang dapat dilihat dan dinikmati, wisatawan dapat beraktivitas dan membeli makanan atau cinderamata, serta tempat tinggal sementara. Maryani (1991: 11) juga menambahkan bahwa berkembangnya suatu daerah untuk menjadi suatu daerah wisata agar dapat menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan dapat dilihat dari: 1. 2. 3. 4. 5.
How to arrive Something to see Something to do Something to buy How to stay
92
Berdasarkan pendapat di atas, maka pemaparan selanjutnya akan dipaparkan mengenai objek daya tarik wisata, sarana dan prasarana, dan pengelolaan kawasan wisata.
a. Objek Daya Tarik Wisata Objek dan daya tarik wisata merupakan dasar bagi kepariwisataan. Objek dan daya tarik wisata adalah suatu bentuk dasar aktivitas dan fasilitas yang saling berhubungan, yang dapat menarik minat wisatawan atau pengunjung untuk datang ke suatu daerah tertentu. Tahura Ir. H. Djuanda merupakan suatu kawasan yang bisa dijadikan tempat untuk berwisata. Objek daya tarik wisata di Tahura Ir. H. Djuanda yaitu: 1) Plaza Monumen Ir. H. Djuanda, sesuai dengan salah satu tujuan dan pembangunan
Taman
Hutan
Raya
ialah
untuk
menghormati
perjuangan Ir. H. Djuanda, maka di Tahura Ir. H. Djuanda terdapat patung Ir. H. Djuanda yang terletak pada suatu pelataran/plaza yang relatif Iebih tinggi dari tempat sekitarnya. 2) Kolam Pakar merupakan kolam buatan dengan luas 115 Ha berfungsi sebagai tempat penarnpungan air dan Sungai untuk PLTA Bengkok. 3) Curug Dago merupakan sebuah pemandangan alam ekosistem hutan dan perkampungan pada kiri kanan aliran sungai Cikapundung, terdapat air terjun sungai Cikapundung setinggi ± 15 M. Tempat istirahat yang sejuk dibawah pohon-pohon hutan. Terletak dekat
93
terminal Dago berjarak ± 1 Km ke arah barat, hanya dapat dicapai dengan jalan kaki. 4) Prasasti Thailand merupakan batu prasasti berbahasa dan beraksara Thailand peninggalan Raja Thaland Chulalongkorn II (Rama V) untuk monjelaskan kunjungan peziarahannya ke Bandung beserta rombongan pada 1896 M. 5) Goa Belanda merupakan goa peninggalan Belanda yang memiliki nilai historis. Dibangun pada awal tahun 1941, dahulu digunakan untuk terowongan PLTA Bengkok, kemudian pada suasana perang kemerdekaan berfunngsi sebagai pusat Stasiun Radio Telekomunikasi Militer Hindia Belanda. OIeh Jepang digunakan sebagai gudang mesiu. Dipakai sebagai penyelusuran goa, karena memiliki nilai historis dan dapat dimasuki dengan aman. 6) Goa Jepang merupakan goa tambahan yang dibangun oleh tentara Jepang pada tahun 1942 untuk kepentingan pertahanan, setelah sebelumnya Pemerintah Sipil Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang. Pembangunan Goa ini dilakukan oleh tenaga kerja pribumi secara paksa yang dikenal dengan “romusha”. Tempat radio komunikasi Tentara Jepang tempo dulu. Saat ini dipakai sebagai penyelusuran goa karena memiliki nilai historis dan dapat dimasuki dengan aman. 7) Curug Omas merupakan fenomena air terjun Cikapundung setinggi ± 30 M. Berdekatan dengan obyek wisata air panas Maribaya. Hawanya
94
sejuk dan masih asri Lingkungannya. Aliran sungai Cikapundung dapat digunakan untuk kegiatan olah raga menyusuri sungai. 8) Curug Lalay merupakan fenomena goa dengan bebatuan yang terjal yang ditempati burung dan kelelawar. Ditengahnya mengalir Sungai Cikapundung. Lokasi antara Pakar dan Maribaya. 9) Patahan Lembang merupakan fenomena alam yang dikenal dengan (Lembang Fault) Seluruh kawasan Tahura Ir. H. Djuanda memiliki satu jenis batuan, yaitu batuan vulkanik yang berkembang dari jaman kwarter tua. Salah satu fenomena geomorphologi yang paling khas di wilayah ini adalah Patahan Lembang (Lembang Fault). Letak patahan ini berada di Maribaya yang Sekaligus merupakan batas bawah dari Sub DAS Cikapundung Hulu. Fenomena Patahan Lembang ini apabila diamati akan nampak berupa lineament, yaitu struktur geologi yang membentuk garis lurus membujur arah Barat Laut-Tenggara. Secara fisik di lapangan patahan ini berupa punggung bukit atau ngarai terjal (escarpment) yang membujur Iurus, struktur geologi ini, mengontrol aliran sungai, sehingga aliran sungai Sub DAS Cikapundung HuIu berbelok dan mengalir mengikuti arah patahan. 10) Koleksi flora yang beraneka ragam, seperti Sosis (Kegelia aethiopica) yang berasal dari Afrika, Jacaranda filicifolia yang berasal dari Amerika Selatan Mahoni Uganda (Khaya anthotheca) berasal dari Afrika, Pinus Meksiko (Pinus montecumae), Cengal Pasir (Hopea odorata) dari Burma, Cedar Hodura (Cadrela mexicum M Roam) dari
95
Amerika Tengah, Cemara Sumatera (Casuarina sumatrana), Bayur Sulawesi (Pterospermum celebicum), Ampupu atau Kayu Putih (Eucalyptus alba), Mangga (Mangifera indica) dari Jawa, Ki Bima (Podocarpusblume). 11) Koleksi fauna yang bisa dinikmati yaitu Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis), Burung Kacamata (Zoeterops palpebrosus), Perenjak Jawa (Prinia flaviventris), Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides), Burung Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius), Kepodang (Oriolus chinensis), Kutilang (Plenonotus caferaurigaster), Ayam Hutan (Galus-galus
banriva),
Musang
(Paradoxurus
hermaproditus),
Sero/Linsang Air (Amblonix Cinerea), Tupai (Collosciurus notatus), capung dan kupu-kupu. Pada tahun 1985 dibangun sebuah Plaza Monumen yang merupakan sebuah plaza yang relatif lebih tinggi dari tempat sekitarnya, terdapat sebuah patung Ir. H. Djuanda untuk menghormati perjuangan Ir. H. Djuanda. Selama kurun waktu 1985-2007, pihak pengelola melakukan pemeliharaan objek wisata yang sudah ada pada tahun-tahun sebelumnya, seperti Gua Jepang, Gua Belanda, Koleksi Flora dan Fauna. Pada tahun 2006 dilakukan penambahan atraksi wisata yaitu Rumah Flora atau Rumah Aklimatisasi. Tujuan pembangunan Rumah Aklimatisasi ini yaitu untuk mengadaptasikan spesimen hidup yang diambil dari lokasi eksplorasi ditempat yang baru. Jenis tumbuhan yang terdapat di rumah tersebut berasal dan eksplorasi tumbuhan dari daerah Bengkulu (Begonia isoptera, Eria sp., Gunnera
96
macrophylla, Sellaginella sp., Dillenia sp. Amorphophallus sp., dll) dan dari daerah Jambi (Bulbophyllum sp., Appendicula sp., Corimborkis sp., Polyalthia sp., Garcinia spp. dll). Renovasi Jogging-Track dengan memakai paving block juga dilakukan di tahun 2006. Jogging-track ini merupakan jalan setapak menyusuri pinggiran sungai yang berhutan menuju ke puncak Bukit Pakar, sejauh ± 5 km Pakar – Maribaya. Jalan setapak ini juga bisa digunakan untuk tempat olah raga jogging di pagi hari karena udaranya yang bersih dan dapat digunakan untuk melihat panorama Tahura serta pemandangan Kota Bandung. Berdasarkan pemaparan objek daya tarik wisata di atas, selama kurun waktu 1985-2007 hal-hal yang bisa dilihat (something to see) di Tahura Ir. H. Djuanda yaitu Curug Omas, Gua Jepang dan Gua Belanda, Curug Dago, Monumen Ir. H. Djuanda, keindahan alam, serta berbagai jenis tumbuhan yang berasal dari berbagai daerah yang tersusun dengan rapi. Adapun kegiatan wisata alam yang dapat dilakukan (something to do) seperti, bersantai sambil menikmati keindahan alam, lintas alam, penelusuran gua, memotret, dan wisata
ilmiah
berupa identifikasi jenis pohon. Selama kurun waktu 1985-2007 objek daya tarik wisata tidak terlalu banyak. Padahal beberapa tahun terakhir ini, di wilayah Bandung khususnya sudah mulai bermunculan objek wisata baru yang lebih menarik wisatawan untuk berkunjung, misalnya out bond center. Tahura Ir. H. Djuanda yang merupakan tempat yang sangat strategis digunakan untuk out bond lengkap dengan arung jeram menyusuri sungai Cikapundung. Selain itu, masyarakat sekitar yang
97
merupakan asli masyarakat sunda dapat dibina untuk menampilkan pagelaran seni, seperti angklung, jaipongan, dan gamelan. Hal ini dapat dilakukan karena Tahura Ir. H. Djuanda memiliki sebuah Open Stage.
b. Sarana dan Prasarana Suatu objek wisata harus memiliki sarana dan prasarana wisata agar kebutuhan wisatawan dapat terpenuhi. Kenyamanan dan kelengkapan sarana dan prasarana akan mempengaruhi perkembangan suatu objek wisata. Pihak pengelola Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda selama kurun waktu 1985-2007
telah
membangun
beberapa
fasilitas
sebagai
upaya
untuk
meningkatkan kunjungan wisatawan, berupa: pusat informasi, mushola, lokasi parkir, jalan, warung makan, toilet, shelter, tempat bermain anak, lapangan tenis, papan penunjuk arah, sarana olahraga pull up, jogging track. Selain itu, Pihak pengelola bekerjasama dengan masyarakat sekitar membangun sebuah lapak dagang, sehingga wisatawan dapat memenuhi kebutuhannya. Peningkatan pengunjung pada tahun 1987, mengakibatkan pihak pengelola menambah satu buah pos dengan membangun sebuah pos besar lengkap dengan tempat parkir yang sangat luas, shelter-shelter atau gazebo, serta sebuah areal taman bermain yang merupakan tempat bermain anak-anak di bawah pohon rindang yang sejuk lengkap dengan ayunan, perosotan, jungkat-jungkit, dan lainlain (Hasil Wawancara 16 Oktober 2008). Pada tahun 2006, pengelola membangun sebuah mushola di dekat Curug Omas dan melakukan perbaikan jalan dengan mengaspal jalan utama menuju ke
98
Tahura Ir. H. Djuanda. Pada tahun 2007 dibangun Open Stage (panggung terbuka) yang berupa panggung terbuka untuk menampung kegiatan masyarakat atau pengunjung dalam bentuk kegiatan pertunjukan dan atraksi yang mampu menampung berkisar kurang lebih 200 orang. Hasil penelitian menunjukkan penyediaan sarana dan prasarana di kawasan wisata Tahura sudah bisa menyediakan kebutuhan wisatawan, seperti adanya mushola, toilet, open stage, shelter, dan taman bermain. Seiring dengan perkembangan teknologi, seharusnya penyediaan sarana dan prasarana harus lebih ditingkatkan dan disesuaikan dengan aturan-aturan yang berlaku serta tidak merusak lingkungan. Peningkatan ini bertujuan agar Tahura Ir. H. Djuanda bisa bersaing dengan kawasan wisata lain. Dengan demikian wisatawan akan lebih tertarik untuk berkunjung ke Tahura Ir. H. Djuanda.
c. Aksesbilitas Kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda terletak ± 7 km di sebelah utara Kota Bandung dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan pribadi dan angkutan umum. Pada tahun 1985 angkutan umum hanya sampai terminal Dago, dari terminal Dago, bagi pengunjung yang menggunakan angkutan umum harus berjalan kaki. Seiring dengan program pemerintah, maka pada perkembangannya untuk mencapai Tahura Ir. H. Djuanda bisa ditempuh dengan menggunakan Angkot jurusan Ciburial-Ciroyom, Caringin-Dago, dan ojeg.
99
Kawasan ini dapat dimasuki dari berbagai jurusan yaitu: 1) Melalui Terminal Dago Bandung berkisar 2 Km dengan kondisi jalan telah dihotmix, dapat ditempuh memakai kendaraan roda dua, roda empat, dan bis. 2) Melalui jalan Ciumbuleuit-Punclut berkisar 6 Km. Pada tahun 19852004 kondisi jalan kampung masih tanah, dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua trail, akan tetapi setelah tahun 2005 kondisi jalan sudah membaik dan bisa ditempuh dengan kendaraan roda empat. 3) Melalui Lembang-Maribaya berkisar 4 Km dengan kondisi jalan telah dihotmix dapat ditempuh memakai kendaraan roda dua, roda empat dan bis. Hasil penelitian menggambarkan bahwa kemudahan akses menuju kawasan
wisata
Tahura
Ir.
H.
Djuanda
menjadi
salah
satu
faktor
berkembangannya kawasan ini. Aksesbilitas penting diperhatikan, karena dapat memberikan pengaruh yang besar bagi wisatawan. Jaringan transportasi, kondisi jalan, jenis angkutan, waktu tempuh, dan tarif angkutan merupakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi aksesbilitas. Suatu objek wisata yang memiliki akses yang baik, maka jumlah wisawatawan yang berkunjung akan semakin banyak. Sebaliknya, jika aksesnya kurang baik, berbagai hambatan dalam kunjungan dapat dirasakan oleh wisatawam, sehingga berdampak pada berkurangnya jumlah pengunjung.
100
d. Pengelolaan Perencanaan dan pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran secara serasi dan seimbang, serta optimalisasi potensi yang ada. Peran pemerintah dalam perencanaan dan pengelolaan ini sangat menentukan keberhasilannya, secara garis besar penyediaan infra struktur dan memperluas jaringan kerja aparatur pemerintah dengan pihak swasta, pengaturan dan promosi umum ke dalam negeri dan luar negeri, serta dalam hal pengaturan kebijakan dan pengambilan keputusan. Pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda pada tahun 1985 sampai 2003 dikelola oleh Perum Perhutani dibina oleh Dirjen PHPA berdasarkan Kepres No. 3/1985 tanggal 14 Januari 1985 dan SK. Menhut No. 192/kpts-2/1985, tanggal 30 Juli 1985. Perum Perhutani merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
yang
melaksanakan
kegiatan
perencanaan,
pembinaan
dan
pengembangan sumber daya hutan, produksi, industri, pemasaran dan lebih meningkatkan kegiatan sosial berupa pemberdayaan sumber daya masyarakat, khususnya masyarakat desa hutan melalui kelembagaan. Berdasarkan hal tersebut, maka pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda selama kurun waktu 1985-2002 lebih melibatkan masyarakat sekitar. Masyarakat diajak berdiskusi untuk menyelesaikan masalah Tahura Ir. H. Djuanda, seperti peningkatan pengunjung, kebersihan dan keamanan hutan, dan pembangunan sarana dan prasarana. Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan jumlah pengunjung, yaitu mengadakan promosi melalui pamflet, brosur, leaflet, dan siaran TV. Pada
101
tanggal 14 Januari 1985 bertepatan dengan peresmian Tahura Ir. H. Djuanda oleh Presiden Soeharto, Stasiun TVRI menyiarkan siaran langsung dan tunda peresmian tersebut. Promosi ini menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah pengunjung (Hasil Wawancara 8 November 2008). Pihak pengelola juga mengadakan kerjasama dengan Dinas Pariwisata Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Provinsi Jawa Barat. Bentuk kerjasamanya berupa promosi melalui berbagai kegiatan promosi. Selama kurun waktu 1985-2007 belum ada kerjasama dalam hal penyediaan sarana dan prasarana. Pada tahun 2000, kawasan ini pernah diusulkan menjadi Budaya Lembur Sunda, namun usulan ini ditentang karena fungsinya harus tetap dijaga sebagai kawasan hutan lindung, seperti yang diungkapkan oleh Suganda (2007: 35) yaitu Kawasan seluas 60 hektar itu diharapkan menjadi model pemberdayaan dan pembangunan lingkungan masyarakat yang mengacu pada tradisi masyarakat Sunda. Namun rencana tersebut ditentang karena fungsinya harus tetap dipertahankan sebagai kawasan lindung. Pada tahun 2003 berdasarkan SK. Menhut No. 107/kpts-II/2003 tanggal 24 Maret 2003, pengelolaan diserahkan kepada Dinas Kehutanan melalui UPTD Tahura Ir. H. Djuanda. Dinas Kehutanan lebih mengutamakan kawasan tahura sebagai kawasan konservasi alam yang harus dijaga kelestariannya, karena Tahura Ir. H. Djuanda merupakan suatu hutan lindung yang berfungsi sebagai paru-paru Kota Bandung (wawancara 27 Agustus 2008). Adapun tujuan pengelolaan kawasan Tahura Ir. H. Djuanda yaitu: 1. 2.
Terjaminnya kelestarian kawasan hutan dan ekosistemnya Terbinanya koleksi tumbuhan dan satwa serta potensi sumber daya alam kawasan Taman Hutan Raya.
102
3.
4.
Optimalnya manfaat Taman Hutan Raya untuk wisata alam, penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan, menunjang budidaya, adat istiadat/budaya bagi kesejahteraan masyarakat. Terbentuknya Taman Hutan Raya Provinsi yang menjadi kebanggaan provinsi Jawa Barat. (Dinas Kehutanan, 2007: 11)
Perkembangan Tahura Ir. H. Djuanda selama kurun waktu 1985-2007 mengalami pasang surut. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan jumlah pengunjung selama kurun waktu 1985-2007 juga mengalami kenaikan dan penurunan. Berikut ini merupakan perkembangan jumlah pengunjung tahun 20032007: Tabel 4.4 Perkembangan Jumlah Pengunjung Tahura Ir. H. Djuanda Tahun 2003-2007
Sumber: UPTD Tahura Ir. H. Djuanda. 2007. Laporan Jumlah Wisatawan Tahura Ir. H. Djuanda. Bandung: UPTD Tahura Ir. H. Djuanda. Data yang disajikan pada tabel di atas tidak berurutan berdasarkan tahun kajian yaitu dari tahun 1985-2007 karena keterbatasan sumber. Adapun jumlah pengunjung dari tahun 2003-2007 mengalami kenaikan dan penurunan. Pada tahun 2004 mengalami kenaikan sebesar 0,26% dan pada tahun 2005 mengalami penurunan sebesar 0,96%. Pada tahun 2006 dan 2007 jumlah pengunjung mulai mengalami kenaikan kembali. Kenaikan pada tahun 2007 sebesar 0,28%.
103
Kenaikan jumlah wisatawan biasanya terjadi bulan Juni, Juli, Oktober, dan November. Hal ini dikarenakan pada bulan tersebut merupakan musim liburan sekolah, sehingga masyarakat pada umumnya berrekreasi untuk mengisi liburan sekolah. Lain halnya pada bulan- bulan lain yang merupakan bulan sibuk untuk sekolah dan bekerja, sehingga waktu untuk berrekreasi pun sedikit. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan jumlah pengunjung, apabila dilakukan perbandingan antara kurun waktu setelah diresmikan pada tahun 1985 dengan tahun 2007. Pada tahun 2007 memang mengalami kenaikan jumlah pengunjung, namun jumlah pengunjung pada tahun ini merupakan jumlah yang sedikit jika dibandingkan dengan jumlah pengunjung pada awal-awal peresmian Tahura Ir. H. Djuanda. Hal ini berdasarkan hasil wawancara dengan Pak Asep dan beberapa pedagang di Tahura Ir. H. Djuanda. Pak Asep memaparkan bahwa: Jumlah pengunjung Tahura Ir. H. Djuanda setelah diresmikan oleh Presiden Soeharto mengalami peningkatan. Antrian pengunjung sampai ke terminal dago. Karena pengunjung yang sangat banyak, maka banyak dari pengunjung yang memarkirkan kendaraannya di wilayah Tegalega sekarang (Hasil Wawancara 16 Oktober 2008). Pak Irawan juga menjelaskan bahwa: Lima tahun terakhir ini pengunjung Tahura Ir. H. Djuanda mengalami penurunan pengunjung, apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan masyarakat sudah bosan dengan objek daya tarik wisata yang ada, seperi gua, kolam, air terjun, dan koleksi flora dan fauna (Hasil Wawancara 10 Juni 2008). Faktor penyebab penurunan ini diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain, pertama kurang adanya penambahan objek daya tarik wisata. Objek daya tarik wisata ini menjadi hal yang sangat penting, karena minat wisatawan dipengaruhi oleh daya tarik wisata.
104
Seiring dengan bermunculannya objek wisata lain di berbagai daerah khususnya di Bandung, seharusnya Tahura Ir. H. Djuanda lebih ditingkatkan lagi dalam hal sarana dan prasarana wisata alam
di Tahura Ir. H. Djuanda,
peningkatan peran Komisi Kerjasama Pemanfaatan Obyek Wisata Alam Daerah, intensifikasi pemungutan retribusi karcis masuk Tahura, pengembangan daya tarik wisata alam Tahura, pengendalian penerimaan kehutanan dari wisata alam, pembinaan dan pengembangan usaha wisata alam, pembinaan dan pengelolaan pengunjung wisata. Tujuan peningkatan ini agar tidak terjadi penurunan minat wisatawan untuk berkunjung. Dalam hal ini M. J. Prajogo menyatakan bahwa: “Pengembangan pariwisata merupakan usaha yang terus menerus. Pengembangan itu harus mampu memberikan daya saing terhadap daerah tujuan wisata lain, baik dari segi pelayanan, atraksi, maupun objek wisata, dan lain sebagainya sehingga dapat menyesuaikan dengan selera wisatawan” (Spillane, 1987: 130). Kedua, perbedaan tujuan pengelolaan. Pada kurun waktu 1985-2003 pihak pengelola yaitu Perum Perhutani berusaha keras untuk melakukan peningkatan jumlah pengunjung. Hal ini dilakukan karena biaya perawatan dan gaji pegawai berasal dari hasil tiket masuk pengunjung. Selain itu Perum Perhutani merupakan perusahaan umum yang bertugas untuk memanfaatkan sumber daya alam hutan. Berbeda halnya pada kurun waktu 2003-2007 yang dikelola oleh Dinas Kehutanan. Dinas Kehutanan lebih memfokuskan pada usaha untuk melindungi kawasan Tahura Ir. H. Djuanda sebagai konservasi yang harus dilindungi. Hal ini menyebabkan terjadinya pembatasan jumlah pengunjung.
105
Perkembangan kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda juga dilihat dari berbagai usaha yang dilakukan oleh pengelola. Dalam hal ini Spillane (1987: 129-130) berpendapat bahwa: “Kemajuan pengembangan pariwisata sebagai industri, ditunjang oleh bermacam-macam usaha yang perlu dikelola secara terpadu dan baik, diantaranya ialah: (1) promosi untuk memperkenalkan objek wisata; (2) transportasi yang lancar; (3) kemudahan keimigrasian atau birokrasi; (4) akomodasi yang terjamin penginapan yang nyaman; (5) pemandu wisata yang cakap; (6) penawaran barang dan jasa dengan mutu terjamin dan harga yang wajar; (7) pengisian waktu dengan atraksi-atraksi yang menarik; (8) kondisi kebersihan dan kesehatan lingkungan hidup”. Berdasarkan pendapat di atas, usaha yang belum dilakukan selama kurun waktu 1985-2007 antara lain penyediaan penginapan, pengisian waktu dengan atraksi-atraksi yang menarik. Adanya dua unsur dalam mata rantai kegiatan pariwisata yang belum digarap secara sempurna mengakibatkan Tahura Ir. H. Djuanda dapat kalah bersaing dengan objek wisata lain. Keseluruhan delapan unsur di atas menjadi pertimbangan bagi wisatawan untuk berkunjung. Hal ini berarti, jika salah satu dari mata rantai itu lemah, maka mengakibatkan kegagalan dalam upaya pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda. Ndaru Mursito dalam Spillane (1987: 130) menekankan bahwa: “…menelantarkan pembenahan bagian tertentu akan dapat menghambat perkembangan industri pariwisata pada umumnya. Jadi terjaminnya peningkatan pariwisata mutlak membutuhkan mantapnya koordinasi dan kerja sama yang saling bahu-membahu diantara pelbagai pihak yang menunjang pariwisata”. Kerjasama merupakan kunci keberhasilan perkembangan Tahura Ir. H. Djuanda selama kurun waktu 1985-2007. Kerja sama tersebut dilakukan dalam berbagai cara, misalnya kerja sama dalam pembinaan produk wisata, pemasaran, dan kerja sama dalam usaha-usaha pembinaan masyarakat.
106
C.
Dampak Keberadaan Tahura Ir. H. Djuanda Terhadap Mobilitas Sosial Masyarakat Sekitar (1985-2007)
Tahura Ir. H. Djuanda merupakan suatu kawasan konservasi hutan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, penelitian, budaya, dan pariwisata. Peningkatan jumlah pengunjung setelah tahun 1985 mengakibatkan masyarakat tertarik untuk bekerja di sekitar kawasan ini. Pada awal tahun 1985 masyarakat sekitar hanya diperbolehkan untuk berjualan di luar kawasan Tahura. Namun pada pertengahan tahun 1985, pihak pengelola mulai melakukan relokasi pedagang di dalam kawasan Tahura. Pada pertengahan tahun ini juga masyarakat sekitar mulai bekerja dalam bidang yang beragam di Tahura Ir. H. Djuanda. Pekerjaan yang ditekuni oleh masyarakat sekitar, seperti pedagang, pemandu, tukang ojeg, tukang senter, dan pengelola Tahura Ir. H. Djuanda sebagai penjaga keamanan serta penjaga kebersihan (Wawancara 27 Agustus 2008). Masyarakat bekerja sebagai apapun untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Alasan mereka tetap bekerja di Tahura Ir. H. Djuanda selama 22 tahun yaitu, pertama, pendidikan dan keahlian yang rendah. Kedua, jarak yang dekat dengan tempat tinggal mereka, sehingga tidak memerlukan biaya transportasi. Ketiga, sulit mencari tempat untuk berjualan, sehingga mereka tetap bertahan berjualan di Tahura Ir. H. Djuanda. Sebelum mengkaji tentang mobilitas sosial, dibawah ini akan dipaparkan dampak Tahura Ir. H. Djuanda terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat
107
sekitar. Adapun pemaparannya terdiri dari etos kerja, hubungan sosial, stratifikasi sosial, kesejahteraan sosial, dan pendidikan.
1. Etos kerja Selama kurun waktu 1985-2007 etos kerja masyarakat sekitar yang bekerja mengalami turun naik. Arep dan Tanjung (2003: 156) menjelaskan bahwa “etos kerja (Ing: ethos) adalah jiwa atau watak seseorang dalam melaksanakan tugasnya yang dipancarkan ke luar, sehingga memancarkan citra positif atau negatif kepada orang luar orang bersangkutan.” Pada awal tahun 1985 masyarakat sekitar Tahura Ir. Djuanda mulai merintis usaha untuk berjualan. Semangat untuk memperbaiki kehidupan menjadi lebih baik merupakan motivasi utama mereka bekerja di Tahura Ir. H. Djuanda. Ada juga dari masyarakat yang memberanikan diri untuk berjualan asongan di dalam kawasan Tahura. Mereka sembunyi-sembunyi dari pihak pengelola karena diawal tahun 1985 pedagang dilarang masuk ke kawasan ini. Berly memaparkan bahwa: Saya mulai mencari uang di Tahura ini sejak diresmikannya tempat ini oleh Presiden Soeharto. Ketika itu saya masih SD dan menjadi pedagang asongan. Saya bersama pedagang lain sering berjualan di dalam kawasan Tahura. Kita sering ucing sumput dengan pengelola. Hal ini kita lakukan agar kami bisa mendapatkan penghasilan.(Hasil Wawancara 22 Desember 2008) Kebijakan pengelola dipertengahan tahun 1985 untuk merelokasi pedagang ke dalam kawasan Tahura Ir. H. Djuanda memberikan semangat yang luar biasa kepada masyarakat sekitar. Kerjasama pengelola dengan masyarakat menghasilkan suatu lapak-lapak dagang tempat mereka mencari nafkah.
108
Masyarakat sekitar mulai memanfaatkan kebijakan pengelola ini. Mereka mulai mendirikan warung-warung dengan bahan dasar kayu dan bahan-bahan lain yang ramah lingkungan. Setiap hari mereka giat bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 4 sore. Khusus hari libur mereka bekerja lebih awal dan pulang lebih akhir. Hal ini mereka lakukan karena pada hari libur pengunjung yang datang akan meningkat dibandingkan hari biasa. Dengan demikian diharapkan penghasilan mereka pun akan bertambah dan dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa pada awal tahun 1985 masyarakat sekitar memiliki etos kerja yang tinggi. Dikatakan demikian karena mereka disiplin, kerja keras, dan memiliki persepsi untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Herell dalam Setiawan (2007) mengungkapkan bahwa etos kerja itu adalah: 1. Kerja keras, dimana hal ini dihubungkan dengan kumpulan nilai yang kompleks yang mencakup pengorbanan diri, saling ketergantungan rasa percaya dan hemat. 2. Persepsi untuk tercapainya kehidupan yang baik, dengan kata lain insentif untuk bekerja keras secara langsung berhubungan dengan martabat sosial dengan jaminan masa depan. 3. Adanya orientasi jangka panjang dalam unit-unit ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan keturunan. Seiring dengan menurunnya jumlah pengunjung dan pergantian pengelola pada tahun 2003, etos kerja pun semakin menurun. Hal ini terlihat dari motivasi kerja mereka. Kerja bagi mereka adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja. Penghasilan mereka digunakan untuk menunjang kebutuhan hidup anak dan istri. Mereka tidak mencoba bekerja di tempat lain padahal jumlah pengunjung semakin menurun dan pihak pengelola sudah tidak mengizinkan mereka berjualan
109
di Tahura Ir. H. Djuanda. Meskipun ada keinginan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik yang serba kecukupan, namun mereka kurang berusaha untuk mewujudkannya. Bagi mereka asal kebutuhan sehari-hari terpenuhi itu sudah cukup. Penurunan etos kerja ini seharusnya dapat diperbaiki dengan berbagai upaya. Upaya untuk mengubah sistem nilai dan orientasi budaya yang telah mengakar memang tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin. Sistem nilai selalu berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri. Kalau masyarakat sudah sepakat dan bertekad untuk mengubah sistem nilai itu, tentu saja sistem nilai itu akan berubah. Memang mekanisme untuk melakukan perubahan itu tidak sederhana, tapi bukan tertutup jalan sama sekali. Upaya untuk meningkatkan etos kerja masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda dapat dilakukan dengan cara yaitu pertama, membangkitkan kerja keras dengan mengambil nilai kerja keras itu dari ajaran-ajaran agama. Masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yang pada umumnya beragama Islam. Diketahui bahwa Islam mengajarkan untuk bekerja keras dalam hidupnya, karena kerja keras di dunia merupakan ibadah. Salah satu bagian dari syari’at Islam adalah kewajiban bekerja, dan keharaman berpangku tangan serta bermalas-malasan bagi orang yang berkemampuan untuk bekerja. Sebagaimana dinyatakan dalam Alquran surat Al-Jumu’ah (62) ayat 10 bahwa “Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung”.
110
Demikian juga dalam surat At-Taubah (9) ayat 105 bahwa: “Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang yang mu’min, dan kamu akan dikembalikan kepada [Allah] Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berusaha di muka bumi ini agar dapat memperoleh rezeki yang telah ditentukan untuk mereka. Ini dikarenakan Allah telah mengatur sebab seseorang memperoleh rezeki adalah melalui usaha dan kerja keras. Untuk mewujudkan ini tentunya diperlukan partisipasi dan bantuan dari para ulama untuk menyampaikannya kepada umatnya, khususnya yang ada di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda tentang pentingnya kerja keras dalam kehidupan manusia di muka bumi ini. Kedua, sistem nilai paternalistik dapat digunakan untuk meningkatkan etos kerja masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda. Perubahan dimulai oleh patron yang menjadi panutan masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda. Seperti yang diungkapkan oleh Sjafri (2002: 329) bahwa dalam kehidupan masyarakat modelmodel kehidupan pada dasarnya adalah tiruan dari model-model kehidupan para pemimpin, baik pemimpin formal maupun informal. Dengan demikian para pemimpin masyarakat di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda, baik pemimpin tingkat rendah maupun tingkat tinggi, dapat menjadikan dirinya sebagai “alat” tiruan bagi peningkatan etos kerja masyarakat, dengan memberikan keteladanan etos kerja yang tinggi dalam menjalani kehidupannya. Ketiga, menciptakan lingkungan yang memungkinkan orang menjadi terdorong secara gradual untuk mempunyai etos kerja yang tinggi. Lingkungan ini
111
tidak hanya menyangkut masyarakat yang terlibat didalamnya, tetapi terkait lingkungan fisik di mana masyarakat itu berada. Kedua sistem lingkungan itu saling berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu dalam sistem manajemen yang dikembangkan dalam rangka upaya peningkatan etos kerja itu diperlukan sistem manajemen yang memperhatikan kedua sistem manajemen yang memperhatikan kedua sistem itu secara kesatuan yang tidak terpisahkan. Keempat, memberikan pelatihan-pelatihan mengenai etos kerja ke berbagai lapisan masyarakat, seperti karang taruna, pedagang, pemandu, pengelola, dan semua masyarakat yang terlibat di Tahura Ir. H. Djuanda. Seperti konsep dan pendekatan yang dikembangkan oleh Mr Ethos, Jansen Sinamo, Guru Etos Indonesia, yang di ujungnya memperkuat karakter, kompetensi, konfidensi, dan kinerja tinggi yaitu Pelatihan 8 Etos Kerja dilaksanakan secara berimbang. Delapan etos kerja itu antara lain: 1. Kerja adalah Rahmat; Aku Bekerja Tulus Penuh Rasa Syukur 2. Kerja adalah Amanah; Aku Bekerja Benar Penuh Tanggungjawab 3. Kerja adalah Panggilan; Aku Bekerja Tuntas Penuh Integritas 4. Kerja adalah Aktualisasi; Aku Bekerja Keras Penuh Semangat 5. Kerja adalah Ibadah; Aku Bekerja Serius Penuh Kecintaan 6. Kerja adalah Seni; Aku Bekerja Cerdas Penuh Kreativitas 7. Kerja adalah Kehormatan; Aku Bekerja Tekun Penuh Keunggulan 8. Kerja adalah Pelayanan; Aku Bekerja Paripurna Penuh Kerendahan hati Dengan beberapa upaya di atas, diharapkan etos kerja masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda akan meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini juga akan berdampak pada peningkatan sumber daya manusia itu sendiri, sebagai subjek dan objek dari pembangunan masyarakat.
112
2. Hubungan Sosial Selama kurun waktu 1985-2003 pihak pengelola melakukan kerjasama dengan masyarakat sekitar. Hubungan baik pun dilakukan agar tercipta keamanan dan kebersihan di kawasan Tahura Ir. H. Djuanda.
Hubungan sosial antar
masyarakat juga terjalin dengan baik. Hal ini mengakibatkan Tahura Ir. H. Djuanda mengalami perkembangan yang baik. Pihak pengelola dari kepala balai sampai petugas keamanan selalu melakukan silaturahmi kepada semua pedagang. Hubungan yang terjalin tidak lagi hubungan antara pedagang dan pengelola, akan tetapi menjadi hubungan saudara yang saling menghormati, menghargai dan menjaga. Pada akhirnya, kerjasama ini memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak. Masyarakat sekitar yang berdagang di kawasan ini dapat memperoleh pendapatan. Sedangkan bagi pengelola, tugasnya dalam menjaga kebersihan dan keamanan dibantu oleh masyarakat sekitar. Hubungan sesama pedagang juga terjalin dengan harmonis dan rukun. persaingan dalam berdagang dilakukan secara sehat. Hal ini terlihat dari adanya penentuan harga, jarak antara lapak, dan jenis barang dagangan yang berbeda. Selain itu pada tahun 1987 pernah didirikan sebuah koperasi pedagang. Namun pada tahun 1992 koperasi ini bubar. Keharmonisan hubungan antara masyarakat yang bekerja di kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda dengan pengelola mulai berkurang ketika pergantian pengelola oleh UPTD Tahura Ir. H. Djuanda Dinas Kehutanan Prov. Jawa Barat. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tugas antara Perum Perhutani dengan Dinas
113
Kehutanan. Perum Perhutani merupakan suatu perusahaan umum milik pemerintah yang bertugas untuk memanfaatkan sumber daya alam di hutan. Selain itu biaya perawatan dan gaji pegawai berasal dari tiket masuk Tahura, sehingga mereka melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan jumlah pengunjung dengan bekerja sama dengan masyarakat sekitar. Berbeda halnya dengan Dinas Kehutanan, pengelola lebih mengutamakan keaslian alam hutan yang harus dilindungi. Menurut pihak pengelola, Tahura Ir. H. Djuanda merupakan kawasan hutan lindung yang harus dijaga, lapak-lapak pedagang dapat menganggu keaslian hutan. Meskipun demikian, pihak pengelola masih memberikan izin kepada mereka untuk tetap bekerja di Tahura Ir. H. Djuanda. Berdasarkan hal itu, maka hubungan antara pengelola dan pedagang mulai kurang harmonis. Akan tetapi pihak pengelola masih tetap menjalin hubungan baik dan memberikan ijin masyarakat untuk tetap bekerja di Tahura Ir. H. Djuanda. Berbanding terbalik dengan hubungan keduanya, hubungan antara pedagang bertambah kuat. Para pedagang yang sudah tidak dikelola oleh pihak pengelola, akhirnya membentuk suatu persatuan pedagang. Pada tahun 2003 atas inisiatif para pedagang dibentuk sebuah perkumpulan pedagang yang ingin memberikan perubahan bagi para pedagang dan diharapkan dapat mengalami perkembangan yang lebih baik yang didukung oleh pihak pengelola melalui pembinaan kepariwisataan. Namun perkumpulan pedagang ini tidak dapat bertahan lama dikarenakan ada permasalahan intern yang tidak bisa diselesaikan.
114
Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi penduduk di sekitar objek wisata sangat menunjang perkembangan suatu kawasan wisata, karena para wisatawan akan bertemu dan bersosialisasi dengan penduduk setempat, oleh karena itu diperlukan suasana yang mendukung supaya wisatawan senang untuk mengunjungi objek wisata tersebut, sehingga mereka akan lebih sering untuk mengunjungi tempat tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Oka A. Yoeti (1993: 2) bahwa: ... perlu diperhatikan bagaimana kesan masyarakat tentang daerah tujuan wisata yang akan dikunjunginya, keramahtamahan penduduk, suka menolak pendatang baru, bersikap permusuhan dan bagaimana pula bentuk perjalanan yang akan diselenggarakan. Semua ini akan sangat mempengaruhi pikiran diantara beberapa alternative dari kesempatan melakukan perjalanan. Berdasarkan hasil uraian di atas, maka diperlukan suatu pembinaan dan pelatihan untuk masyarakat sekitar mengenai kepariwisataan. Kerjasama antara masyarakat dan pengelola juga perlu ditingkatkan dalam rangka mengembangkan Tahura Ir. H. Djuanda menjadi lebih baik.
3. Stratifikasi Sosial Masyarakat yang bekerja di Tahura Ir. H. Djuanda menempati pelapisan sosial yang beragam. Pitirim Sorokin (1954: 11) dalam Sajogyo (1985: 61) menyatakan bahwa “social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis).” Perwujudan dari stratifikasi sosial tersebut adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Masyarakat yang awalnya pengangguran bisa naik derajat sosialnya dengan bekerja di Tahura Ir. H. Djuanda. Namun tidak semua pekerjaan tersebut
115
dapat menjadikan mereka berada dalam lapisan sosial atas. Bagi masyarakat yang bekerja sebagai pengelola dan diangkat menjadi pegawai BUMN atau PNS maka akan berada dalam lapisan sosial menengah. Para pedagang, tukang parkir, dan penyewa senter menempati lapisan sosial bawah. Hal ini didasarkan pada penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan tersebut. Kamanto Sunarto (2004) memaparkan pendapat dari sejumlah ahli yang melihat bahwa, stratifikasi sosial ini timbul karena dalam masyarakat berkembang terdapat pembagian kerja, sehingga dapat memungkinkan terjadinya pembedaan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa pengelola memiliki kekayaan, kekuasaan, dan prestise yang lebih besar dibandingkan dengan yang lainnya. Masyarakat lain akan memberikan penghargaan dan penilaian yang lebih besar kepada pekerjaan atau hasil usaha menjadi pengelola daripada pedagang atau tukang senter dan tukang parkir. Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Rusli Karim (1998) bahwa ...munculnya pembedaan-pembedaan lapisan dalam masyarakat, membuktikan bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk memberikan penghargaan serta penilaian kepada pekerjaan atau hasil usaha seseorang. Maka dari itu stratifikasi sosial terbentuk karena berdasarkan pada keahlian serta pengakuan individu dari masyarakat. Bagi para pedagang yang sudah bekerja selama 22 tahun status sosial mereka di masyarakat tidak mengalami perubahan. Hal ini dilihat dari kekayaan, kekuasaan, dan prestise yang mereka dapatkan dengan berjualan di Tahura Ir. H. Djuanda hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa terjadinya transformasi pekerjaan dari petani ke pedagang atau pemandu, buruh ke penyewa senter, dan buruh ke
116
pegawai sehingga terjadinya stratifikasi sosial. Semula pekerjaan yang dikenal oleh masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda adalah buruh, petani, dan pegawai Tahura Ir. H. Djuanda. Kemudian setelah peresmian Tahura Ir. H. Djuanda muncul adanya kelompok sosial lain yaitu pedagang, pemandu, dan penyewa senter. Ini merupakan proses diferensiasi sosial. Proses ini terjadi karena adanya perbedaan kekayaan atau pemilikan barang, harga diri, dan pekerjaan, yang kemudian mempertajam stratifikasi sosial. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pegawai BUMN Tahura Ir. H. Djuanda secara keseluruhan lebih tinggi status sosialnya dibandingkan pedagang, pemandu, dan penyewa senter. Kepemilikan barang seperti mobil, sepeda motor, TV, rumah yang permanen, dan lainnya yang lebih banyak dimiliki oleh pegawai BUMN Tahura Ir. H. Djuanda. Transformasi pekerjaan yang terjadi di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda telah memperjelas munculnya stratifikasi sosial, yaitu adanya kelas pegawai BUMN atau PNS Tahura Ir. H. Djuanda, kelas pedagang, serta kelas penyewa senter dan pemandu. Ketiga pelapisan tersebut sekaligus membedakan status sosial diantara mereka. Status sosial seseorang di masyarakat tidak dapat berubah dengan cepat, karena hal ini harus melalui proses. Perubahan status sosial dapat dirubah salah satunya melalui pendidikan. Dengan demikian, upaya yang dapat dilakukan untuk menaikkan status sosial masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yaitu meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan.
117
4. Kesejahteraan Sosial Kesejahteraan sosial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, serta ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan bagi setiap masyarakat untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan hidup. Dengan demikian kesejahteraan sosial masyarakat merupakan keberhasilan hidup secara material, mental, dan spiritual dalam pemenuhan kebutuhan pokoknya dan dalam hubungannya dengan lingkungan
sosial
yang
mampu
menyesuaikan
diri
dengan
kehidupan
bermasyarakat. Keberadaan Tahura Ir. H. Djuanda sebagai tempat yang dapat dijadikan objek wisata mempengaruhi tingkat kesejahteraan sosial masyarakat sekitarnya. Jusman Aputra, Sans Hutabarat, dan Andarus Darahim (1989: 88) memaparkan bahwa tingkat kesejahteraan keluarga dapat diukur dari tingkat pemenuhan kebutuhan hidup keluarga yang meliputi kebutuhan sandang, pangan, perumahan, kesehatan, keselamatan, dan kebutuhan sosial. Adapun tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar yang bekerja di kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda dapat dikategorikan sebagai keluarga sejahtera. Hal ini didasarkan pada terpenuhinya semua aspek-aspek kebutuhan hidup yaitu pertama, pemenuhan kebutuhan jasmani; makan tiga kali dalam sehari, pemenuhan kebutuhan makan sudah dapat mengandung gizi, memiliki pakaian lebih dari lima stel, serta memiliki rumah sendiri dengan ruangan yang terpisah dan mempunyai ventilasi udara yang cukup. Kedua, pemenuhan kebutuhan rohani meliputi keikutsertaan dalam kegiatan keagamaan di masyarakat dan pada
118
umumnya masyarakat pernah berrekreasi. Ketiga, hubungan sosial antar masyarakat juga terjalin secara harmonis. Upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda perlu segera dilakukan, karena apabila tidak, maka kondisi demikian akan diturunkan kepada generasi selanjutnya, dalam hal ini anak-anak mereka. Berdasarkan hal ini, maka peningkatan kesejahteraan masyarakat hendaknya dilaksanakan secara terpadu dengan melibatkan instansi-instansi yang terkait dengan seluruh masyarakat. Pemecahan masalah kesejahteraan yang dialami oleh masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda salah satunya dapat melalui program pembinaan Keterampilan Usaha Ekonomi Produktif, yaitu dengan membuat kerajinan dan jajanan khas Sunda. Program ini dapat menambah pengetahuan dan keterampilan sehingga masyarakat dapat mempunyai tambahan pekerjaan. Dengan demikian, hal ini akan menambah pendapatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda.
5. Pendidikan Pada umumnya tingkat pendidikan masyarakat yang berjualan di Tahura Ir. H. Djuanda yaitu tingkat SD. Dengan pendidikan yang rendah tentu saja kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik menjadi sulit. Pengalaman hidup para pedagang ini memberikan pengaruh kepada anak-anak mereka. Pada akhirnya masyarakat memiliki harapan yaitu pendidikan anak-anak
119
harus lebih tinggi dari orang tuanya. Hal ini diharapkan kehidupannya pun akan lebih baik dari orang tuanya. Usaha dan kerja keras yang dilakukan menyebabkan anak-anak mereka bisa menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi. Namun kebanyakan mereka hanya bisa menyekolahkan anaknya sampai tingkat SMP. Tingkat pendidikan SMA tidak menjadikan kehidupan anak-anak mereka menjadi lebih baik dari orang tuanya. Mereka mendapatkan pekerjaan yang tidak jauh berbeda dengan orang tua mereka. Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan beberapa upaya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan salah satu saluran penting dalam proses mobilitas sosial. Upaya yang dapat dilakukan yaitu pertama, memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya pendidikan. Kedua, penambahan SMP dan SMA gratis bagi masyarakat yang tidak mampu, serta pemberian beasiswa bagi mereka yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi. Program beasiswa ini harus disosialisasikan kepada masyarakat agar informasi ini sampai kepada mereka yang membutuhkan. Ketiga, didirikan sekolah Paket B dan C, sehingga masyarakat yang putus sekolah bisa melanjutkan pendidikannya. Pemaparan di atas menunjukkan bahwa pekerjaan yang ditekuni masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda selama 22 tahun nampaknya telah membawa perubahan bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Mobilitas
sosial horizontal merupakan suatu istilah yang tepat untuk menggambarkan
120
perubahan ini. Soekanto (2005: 219) berpendapat bahwa “gerak sosial horizontal merupakan peralihan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat”. Terbukanya lapangan kerja menyebabkan terjadinya perpindahan struktur pekerjaan
dan
penghasilan
masyarakat.
Masyarakat
sekitar
mengalami
perpindahan pekerjaan yang sederajat, seperti petani menjadi pedagang, buruh tani menjadi tukang senter, dan tukang foto menjadi pedagang. Selain itu, hasil kerja mereka tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap keberhasilan anak-anak mereka. Perpindahan ini tidak mempengaruhi status sosial mereka di masyarakat, meskipun
kesejahteraan
sosialnya
mengalami
perubahan.
Seperti
yang
diungkapkan oleh Cohen (1992: 269) bahwa mobilitas horizontal ialah perpindahan sosial pada tingkat yang sama. Individu yang berganti pekerjaan menunjukkan
mobilitas
horizontal
apabila
pergantian
tersebut
tidak
mempengaruhi status sosial. Sebagian masyarakat juga ada yang mengalami mobilitas vertikal turun, hal ini dilihat dari tingkat kesejahteraanya menurun. Seorang pedagang yang awalnya berjualan makanan (baso, lotek, rujak) karena kekurangan modal, sekarang hanya berjualan makanan dan minuman yang bisa bertahan lebih dari satu minggu, seperti Pop Mie, makanan ringan, dan minuman berkemasan. Tentunya yang tidak memerlukan modal yang besar. Walaupun terdapat banyak contoh mobilitas sosial horizontal, namun dalam kenyataan di lapangan ada sebagian masyarakat yang mengalami mobilitas
121
sosial vertikal baik mobilitas antar generasi, dan mobilitas intra generasi. Mereka mengalami perubahan ekonomi dan sosial yang lebih baik. Masyarakat yang awalnya hanya pengangguran kemudian memiliki pekerjaan dengan bekerja di sekitar kawasan Tahura Ir. H. Djuanda atau yang awalnya buruh menjadi pengelola Tahura bisa menaikkan derajat sosial di masyarakat. Meskipun awalnya mereka hanya bekerja sebagai keamanan dan kebersihan, namun karena kerja keras, ketekunan, rajin, dan sabar mereka diangkat menjadi pegawai BUMN Perum Perhutani atau PNS Dinas Kehutanan. Seperti yang dialami oleh Pak Asep. Kasus lain yaitu keluarga Ibu Tutih, meskipun hanya seorang petani dan penjual jagung bakar di Tahura Ir. H. Djuanda, namun dengan kerja keras, ketekunan, kesederhanaan dan kepiawaian dalam mengatur waktu kerja dapat mendidik anak-anaknya menjadi orang yang sukses. Keberhasilan anak-anak mereka menjadi kebanggaan orang tua, sehingga secara tidak langsung menaikkan derajat sosial mereka di masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, faktor terjadinya mobilitas sosial masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yaitu pertama, struktur pekerjaan. Seseorang yang bekerja sebagai pegawai Tahura Ir. H. Djuanda akan mendapatkan penghasilan yang tetap dan lebih besar dibandingkan bekerja sebagai tukang senter atau pedagang di Tahura Ir. H. Djuanda. Adapun pengaruhnya terhadap kehidupan sosial yaitu naiknya derajat sosial di masyarakat. Kedua, faktor individu. Faktor ini adalah faktor yang banyak mempengaruhi dalam menentukan siapa yang mencapai kedudukan tinggi di
122
masyarakat. Meskipun seseorang telah bekerja sebagai pegawai Tahura Ir. H. Djuanda, namun apabila tidak didukung oleh faktor individu maka tidak akan terjadi mobilitas vertikal, seperti: a) Masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yang memiliki kecakapan lebih banyak dari pada yang lain, tentu kehidupannya akan lebih berhasil daripada yang lain. Seperti yang dialami oleh Pak Asep dan Ibu Tutih. Horton P. L. dan Hunt C. L. (1992: 44) menegaskan bahwa “ … meskipun tidak mungkin untuk dapat mengukur kemampuan secara memuaskan, namun kita berpendapat bahwa faktor penting yang menentukan keberhasilan hidup dan mobilitas”. Berdasarkan pendapat tersebut, seseorang yang cakap (mempunyai kemampuan/keahlian) yang akan memperoleh penghasilan lebih besar dan kedudukan yang tinggi dibandingkan yang lain. b) Masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yang memiliki orientasi sikap untuk berhasil, maka akan berusaha lebih keras untuk mewujudkannya. Berbeda dengan yang tidak memiliki orientasi, maka mereka akan pasrah kepada takdir. Ada beberapa hal yang dilakukan masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda untuk meningkatkan prospek mobilitas, yaitu pertama, pendidikan. masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yang memprioritaskan pendidikan bagi anak-anaknya menyebabkan mobilitas antargenerasi. Seperti Ibu Tutih dan Pak Asep yang mengutamakan pendidikan anak-anak mereka, sehingga dengan pendidikan yang mereka miliki, kehidupan sosial ekonomi menjadi lebih baik dari
123
orang tua. Berbeda halnya dengan pendidikan anak-anak Pak Abdul Rachmat, Ibu Alih, Ibu Natin, dan Pak Ibro. Bahkan ada yang kehidupan anak-anaknya lebih buruk dari orang tuanya. Horton P. L. dan Hunt C. L. (1992: 44) memaparkan bahwa pendidikan merupakan anak tangga mobilitas yang penting. Bahkan jenis pekerjaan kasar yang berpenghasilan baik pun sukar diperoleh, kecuali jika seseorang mampu membaca petunjuk dan mengerjakan soal hitungan sederhana. Cohen (1992: 273) juga menegaskan bahwa: Pada umumnya, frekwensi pendidikan formal yang dimiliki oleh seseorang sangat berkaitan dengan besarnya pendapatan yang digunakan untuk membiayai orang tersebut. Fungsi pokok pendidikan formal dalam hubungannya dengan mobilitas vertikal adalah membekali individu dengan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk memasuki pasaran kerja. Tingkat pendidikan yang memadai akan menempatkan seseorang pada posisi yang menguntungkan bilamana ia harus bersaing dengan orang lain untuk jabatan tertentu. Kedua, etos kerja. Herell dalam Setiawan (2007) mengungkapkan bahwa etos kerja itu adalah: 1. Kerja keras, dimana hal ini dihubungkan dengan kumpulan nilai yang kompleks yang mencakup pengorbanan diri, saling ketergantungan rasa percaya dan hemat. 2. Persepsi untuk tercapainya kehidupan yang baik, dengan kata lain insentif untuk bekerja keras secara langsung berhubungan dengan martabat sosial dengan jaminan masa depan. 3. Adanya orientasi jangka panjang dalam unit-unit ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan keturunan. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, kebiasaan kerja sebagian masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda yang selalu kerja keras, tekun, disiplin, piawai dalam mengatur waktu kerja menentukan keberhasilan dan mobilitas vertikal naik. Sedangkan masyarakat yang tidak memiliki kebiasaan kerja yang
124
baik, maka kehidupannya pun cenderung tidak berubah, bahkan turun. Hal ini didukung oleh pendapat Horton P. L. dan Hunt C. L. (1992: 46) bahwa meskipun kerja keras tidaklah menjamin adanya mobilitas-naik, namun tidak banyak orang dapat mengalami mobilitas naik tanpa bekerja keras. Ketiga, Pola penundaan kesenangan adalah penangguhan hasil langsung untuk dipetik di masa yang akan datang dengan hasil yang lebih besar. Cohen (1992: 274) berpendapat bahwa individu-individu yang menunda untuk sementara jangka pendek lebih besar kemungkinannya untuk menanjak dibandingkan dengan individu-individu yang menyenangi hasil langsung. Seperti halnya ketiga anak Pak Asep dan keempat anak Ibu Tutih. Mereka lebih mengutamakan kuliah daripada langsung bekerja setelah menamatkan SMA. Mereka harus mencurahkan segenap waktu, tenaga, dan kemampuannya untuk
menekuni
kuliah.
Akan
tetapi,
setelah
mereka
menyelesaikan
pendidikannya, mereka mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki gelar sarjana. Berbeda halnya dengan keluarga Pak Abdul Rachmat, meskipun Pak Rachmat sudah diangkat menjadi pegawai BUMN Perum Perhutani, akan tetapi anak-anaknya hanya mengenyam pendidikan sampai SMA dan SMP. Kehidupan sosial ekonomi anak-anaknya pun tidak lebih baik dari orang tua mereka. Selain faktor individu dan struktur pekerjaan, ada satu faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat mobilitas sosial masyarakat sekitar kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda, yaitu letak kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda adalah di desa. Karakteristik desa dan masyarakatnya pun mempengaruhi
125
terjadinya mobilitas sosial vertikal yang kurang intensif yaitu pertama, lembagalembaga yang memungkinkan terjadinya sirkulasi kelas atau menjadi turun naiknya status (seperti misalnya lembaga pendidikan, pelbagai instansi, dan lainnya) umumnya terkonsentrasi di Kota Bandung. Kedua, sehubungan dengan sedikitnya lapisan sosial yang ada pada masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda, maka mobilitas sosial juga menjadi kurang terlihat. Ketiga, peristiwa “differential fertility” yang biasa terjadi di kota, yakni peristiwa “lenyapnya” lapisan atas yang secara demikian memberi peluang bagi kenaikan status dari lapisan bawahnya adalah merupakan gejala yang kurang terlihat di sekitar Tahura Ir. H. Djuanda. Keempat, ketidaksamaan elemen biologic dan psikososial antara orang tua dan anak yang merupakan kondisi yang memungkinkan terjadinya mobilitas vertikal cenderung terdapat di perkotaan yang penduduknya heterogen dibanding dengan di pedesaan homogen. Kelima, setiap perubahan terhadap lingkungan sosial dan kebudayaan akan meningkatkan terjadinya mobilitas vertikal. Gejala ini kurang terlihat di lingkungan masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda. Keenam, “prinsip kekastaan” yakni mendasari jarak sosial antara lapisan pada masyarakat pedesaan lebih kaku disbanding dengan pada masyarakat kota. Berdasarkan pemaparan di atas, mobilitas sosial yang terjadi di kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda tidak hanya dipengaruhi oleh struktur pekerjaan dan faktor individu saja. Akan tetapi karakteristik masyarakat sekitar kawasan Tahura Ir. H. Djuanda yang merupakan masyarakat pedesaan juga sangat berpengaruh terhadap terjadinya mobilitas sosial masyarakat sekitar kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda.
126
Proses mobilitas sosial vertikal mempunyai saluran-saluran dalam masyarakat. Saluran yang terpenting yaitu angkatan bersenjata, lembaga-lembaga keagamaan, sekolah-sekolah, organisasi-organisasi politik, ekonomi, dan keahlian (Saripudin, 2005: 4). Pada umumnya lembaga pendidikan seperti sekolah merupakan solusi konkrit dalam mempercepat terjadinya mobilitas sosial vertikal di masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djuanda. Pendidikan berfungsi sebagai sebuah proses penyeleksian untuk menempatkan orang pada masyarakat sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Dengan demikian, pendidikan menjadi sinkron dengan tujuan mobilitas sosial, karena kemampuan dan keahlian seseorang merupakan faktor penting dalam mobilitas sosial.