KONFLIK PENGUASAAN HUTAN DI KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA IR H DJUANDA
RIDWAN ADINEGORO
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Konflik Penguasaan Hutan di Kawasan Tahura Ir H Djuanda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2016 Ridwan Adinegoro NIM E14100088
ABSTRAK RIDWAN ADINEGORO. Konflik Penguasaan Hutan di Kawasan Taman Hutan Raya Ir H Djuanda. Dibimbing oleh DIDIK SUHARJITO. Kawasan Tahura Ir H Djuanda Kabupaten Bandung direncanakan akan diperluas dari luasan 590 ha menjadi kurang lebih 3000 ha. Hal tersebut menimbulkan konflik antara pihak pengelola dengan masyarakat Dusun Sekejolang yang merupakan tanah enklave. Penelitian ini bertujuan untuk memahami sistem penguasaan tanah di Tahura Ir H Djuanda dan konflik klaim atas tanah yang terjadi di Kawasan Tahura. Responden dalam penelitian adalah masyarakat Dusun Sekejolang dan pengelola Tahura yang berjumlah 39 orang. Data diperoleh dari hasil wawancara dan Focus group discussion (FGD). Analisis data menggunakan analisis data deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara yuridis tanah di Kawasan Tahura merupakan tanah milik Negara. Penguasaan tanah disekitar Kawasan Tahura oleh warga Dusun Sekejolang diperoleh secara turun temurun dan diakui oleh pemerintah keberadaannya. Konflik yang terjadi di Kawasan Tahura antara pihak pengelola Tahura dengan warga bersifat tertutup. Aktor yang terlibat dalam permasalahan tanah tersebut adalah Pemda, BP Tahura, Lembaga Lembur Kuring, WALHI, LBH. Berdasarkan analisis data yaitu solusi alternatif yang disarankan adalah melalui mediasi oleh pihak ketiga. Kata kunci: perluasan wilayah, Taman Hutan Raya, dan Tanah enklave ABSTRACT RIDWAN ADINEGORO. The forest-land tenurial conflicts in Ir H Djuanda Tahura. Supervised by DIDIK SUHARJITO. The area of Ir H Djuanda Tahura Bandung was planned to be expanded from 590 ha to approximately more than 3000 ha. It emerges conflict between the managers of Ir H Djuanda Tahura with the people of Dusun Sekejolang since the land they lived it‟s on enclaved condition. The aims of this study are to understand the land tenure system in Ir H Djuanda Tahura and also to understand the land conflict happens in the area. The 39 respondents of this study were the people of Dusun Sekejolang and the managers of Ir H Djuanda Tahura. Data were obtained from interviews and focus discussion group. The data were analyzed using descriptive method. The results shows that juridically the land inside the Tahura is belong to the state. The land of Dusun Sekejolang people‟s were owned and managed hereditiary and its existence is recognized by the government. The conflicts take place in Tahura between the Tahura managers and the people are closed conflicts. Actors involved on this issue are the local government, BP Tahura, Lembur Kuring, WALHI, and LBH. Based on data analysis, suggested alternative solution is through third-party mediation. Keywords: territorial expansion, Forest Park, and enclave area
KONFLIK PENGUASAAN HUTAN DI KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA IR H DJUANDA
RIDWAN ADINEGORO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Konflik Penguasaan Hutan di Kawasan Taman Hutan Raya Ir H Djuanda”. Skripsi ini disusun sebagai pelengkap/kewajiban dalam menempuh tugas akhir pada program Sarjana Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Dalam hal ini, saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. 2. 3.
4.
Kedua orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dukungan moral, semangat, materiil, dan doanya. Yth Bapak Prof Dr Didik Suharjito, MS selaku dosen pembimbing atas didikan dan arahannya dalam menyelesaikan skripsi ini. Yth Kepala Pengelola Balai Tahura Ir H Djuanda beserta jajarannya, dan seluruh warga Dusun Sekejolang terutama Bapak RW 09/kepala Dusun serta Keluarga besar MNH 47. Kepada semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2016 Ridwan Adinegoro
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
2
METODE
2
Waktu dan Lokasi Penelitian
2
Analisis Data
3
KONDISI UMUM
3
Taman Hutan Raya Ir H Djuanda
3
Sejarah Tahura
3
Kondisi Biogeografis
4
Kondisi Sosial Ekonomi di Sekitar Kawasan Tahura Ir H Djuanda
4
Sarana dan Prasarana
5
Potensi Wisata Kawasan Tahura Ir H Djuanda
5
Kebijakan Pengelolaan Tahura Ir H Djuanda
5
Desa Ciburial
5
Letak dan luas
5
Kondisi Sosial Ekonomi
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
Akses atas Hutan
6
Sejarah Dusun Sekejolang
8
Sejarah Tahura Ir H Djuanda
10
Permasalahan Klaim Tanah
12
Konflik BP Tahura Ir H Djuanda dengan Warga Sekejolang
12
Aktor yang terlibat Tanah Dusun Sekejolang
12
Penetapan Enklave oleh Pihak Tahura
15
Persepsi Warga Dusun Sekejolang dan Pihak Tahura
16
Kawasan Hutan Merupakan Tempat Tinggal Warga Sekejolang
16
Kawasan Hutan Sebagai Sumber Penghasilan
17
Adat Istiadat
17
Enklave Merupakan Embrio Perambahan Hutan
18
Solusi Masyarakat Dusun Sekejolang
18
SIMPULAN DAN SARAN
19
Simpulan
19
Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
20
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Tingkat Pendidikan di Desa Ciburial Komposisi Penduduk berdasarkan Pekerjaan Akses Masyarakat Pada Dua Masa Penguasaan Hutan Sejarah Dusun Sekejolang Sejarah Tahura Ir H Djuanda Peran pihak-pihak yang terlibat Tanah Dusun Sekejolang Persepsi masyarakat Dusun Sekejolang
6 6 7 8 11 13 16
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Peta Dusun Sekejolang (enklave) di kawasan TAHURA Ir H Djuanda Pal batas yang dibuat oleh Belanda batas Dusun Sekejolang dan Tahura Pal batas yang dibuat oleh Tahura Makam Leluhur (Mama Dapi) sejarah bukti keberadaan Dusun Pihak-pihak yang telibat tanah Dusun Sekejolang Proses FGD dengan warga Dusun Sekejolang Gerbang masuk Kp.Sekejolang Sawen yang di pasang di rumah warga
2 9 9 10 13 14 15 18
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4.
Penetapan kawasan Tahura berdasarkan SK peraturan perundangundangan Metode snowball Ukuran klasifikasi kesejahteraan warga Kampung Sekejolang Daftar warga Dusun Sekejolang menurut tingkat kekayaan
23 24 25 25
PENDAHULUAN Latar Belakang Penguasaan tanah seringkali disebut sebagai penyebab utama terjadinya beberapa konflik komunal atau konflik separatis yang penuh kekerasan. Meskipun tidak jelas apa yang dipertaruhkan di belakang konflik „etnik‟ atau konflik „keagamaan‟, tetapi umumnya dinyatakan dalam berbagai bentuk bahwa masalah tanah dan masalah sumber daya alam merupakan penyebab utama konflik-konflik tersebut (Clark et al 2004). Tanpa memahami bagaimana aturan penguasaan tanah berlaku, maka beberapa program yang didasarkan pada sumber daya alam pun menjadi sangat berpeluang untuk menghadapi masalah besar, yang bisa menyebabkan terjadinya konflik di masa datang. Ada juga bahaya tertentu bahwa program semacam itu bisa memperkecil hak orang atas sumber daya, mata pencaharian dan keamanan (Griffiths 2007). Karena itu, dengan memahami bagaimana tanah dan sumber daya alam dikuasai, diatur dan dibagi-bagi, dan bagaimana bermacam aktor mengakses dan menggunakan tanah dan sumber daya alam itu, maka harus dipahami penyebab sesungguhnya dari konflik-konflik yang terjadi ( Freudenberger 1994). Taman Hutan Raya (TAHURA) Ir H Djuanda yang berada di Kabupaten Bandung menurut ketetapan UU no. 5 th 1990 merupakan Kawasan Konservasi. Pemerintah berencana untuk mengembangkan Kawasan hutan, dengan maksud untuk dijadikan blok perlindungan/koleksi tanaman dan bersih dari pemukiman (UU no. 25 th 2008). Rencana pemerintah tersebut, menyebabkan konflik antara masyarakat sekitar khususnya warga Dusun Sekejolang dengan BP Tahura. Dusun Sekejolang adalah dusun yang berada di wilayah Desa Ciburial. Dusun Sekejolang disebut tanah enklave dan merupakan satu-satunya dusun yang masih ada pemukiman di dalam Kawasan Hutan Tahura Ir H Djuanda sampai saat ini. Status tanah enklave menurut PERMENHUT Nomor : P. 44/Menhut-ii/2012 Pasal 57 Tentang Pengukuhan Kawasan Hutan, dikatakan bahwa hak atas tanah yang diterbitkan oleh pejabat berwenang sebelum diterbitkannya peta register hutan, penunjukan parsial, Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan (RPPH)/Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang merupakan lampiran dari Keputusan Menteri Pertanian/Kehutanan tentang penunjukan areal hutan di provinsi merupakan kawasan hutan, maka hak atas tanah diakui dan dikeluarkan keberadaannya dari kawasan hutan. Pentingnya penilaian penguasaan tanah sebagai hubungan hukum atau hubungan adat, merupakan bagian dari analisis konflik dan hak kepemilikan tanah (Peluso dan Ribot 2003), juga dibutuhkan untuk menjalankan program yang ditujukan untuk membantu komunitas lokal untuk mewujudkan penataan sumber daya alam lebih baik.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini, adalah: 1. Memahami sistem penguasaan tanah di Tahura Ir H Djuanda oleh masyarakat Dusun Sekejolang.
2 2. Memahami konflik klaim tanah yang terjadi di Kawasan Tahura Ir H Djuanda.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Bagi pemerintah, sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan pengembangan kawasan Tahura Ir H Djuanda. 2. Bagi ilmu pengetahuan, sebagai referensi untuk menambah informasi mengenai keberadaan Tahura. 3. Bagi peneliti, sebagai sarana untuk mengaplikasikan teori yang telah di peroleh selama masa studi.
METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Maret 2014 di Kawasan Taman Hutan Raya Ir H Djuanda, tepatnya di Dusun Sekejolang, Desa Ciburial Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung. Objek kajian dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berada di dusun III/9 Sekejolang.
Gambar 1 Peta Dusun Sekejolang (enklave) di kawasan TAHURA Ir H Djuanda
Pengumpulan Data Jenis dan metode pengumpulan data Metode survei dilakukan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung, observasi, dan FGD. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi literatur dengan kajian yang sama. Data primer yang diperoleh melalui wawancara dengan metode snowball. Menurut Bryman (2012) snowball sampling merupakan teknik sampling dimana pada awalnya kelompok kecil orang-orang tertentu yang dianggap memiliki informasi yang relevan terhadap penelitian diambil sebagai responden. Responden
3 tersebut nantinya akan mengarahkan peneliti untuk mewawancarai responden lain yang memiliki pengalaman atau karakteristik yang relevan. FGD dirancang untuk melakukan pengumpulan data dengan menggunakan sebuah forum diskusi dengan tema-tema yang telah dipersiapkan. Tujuannya untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya tentang satu tema yang dijadikan fokus penelitian (Idrus 2009). Jumlah responden yang diperoleh melalui metode snowball sampling yakni 13 responden. Sedangkan jumlah peserta FGD adalah 26 responden. Pemilihan Contoh Pemilihan contoh terdiri atas contoh lokasi dan contoh responden. Contoh lokasi dalam penelitian ini adalah Dusun Sekejolang Desa Ciburial Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung. Lokasi tersebut dipilih secara purposive karena Dusun Sekejolang merupakan tanah enklave yang rencananya akan dipindah alihkan oleh pihak pengelola Tahura Ir H Djuanda. Responden dalam penelitian ini terdiri atas masyarakat Sekejolang, pengelola Tahura, Lembaga Lembur kuring, Karang Taruna Bina Mandiri. Responden tersebut ditentukan secara purposive. Jumlah reponden dalam penelitian ini adalah 39 orang. Jumlah tersebut ditentukan berdasarkan kepada metode pengambilan data yang dilakukan. Responden untuk wawancara ditentukan menggunakan metode Snowball. Metode Snowball adalah salah satu metode dalam pengambilan sample dari suatu populasi dimana Snowball sampling ini adalah termasuk dalam tekhnik non probabilitas/ sample dengan probabilitas yang tidak sama (Sugiyono 2010). Sedangkan untuk jumlah responden FGD ditentukan secara purposive. Analisis Data Hasil penelitian ini disajikan secara analisa deskriptif. Analisa deskriptif dalam langkah-langkahnya adalah penyederhanaan data di lapangan (data kasar), penyajian data dengan bagan dan teks, kemudian penarikan kesimpulan (Sugiyono 2010). Analisis tersebut di lakukan untuk mengetahui status penguasaan tanah oleh masyarakat Dusun Sekejolang, permasalahan klaim tanah, konflik yang terjadi antara Dusun sekejolang dengan BP Tahura, aktor yang terlibat masalah Dusun Sekejolang, serta persepsi/harapan warga Dusun Sekejolang dan BP Tahura. KONDISI UMUM Taman Hutan Raya Ir H Djuanda Sejarah Tahura Taman Hutan Raya Ir H. Djuanda dulunya merupakan sebagian areal dari Kelompok Hutan Lindung Gunung Pulosari dan dirubah fungsinya menjadi Taman Wisata Curug Dago dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 575/ Kpts/Um/8/1980. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 dan peresmiannya dilakukan pada tanggal 14 Januari 1985 bertepatan dengan kelahiran Ir H Djuanda, maka Kawasan Hutan TWA Curug Dago secara resmi dirubah fungsinya menjadi Tahura lr H Djuanda. Tahura Ir H Djuanda terletak di sebelah Utara Kota Bandung Berjarak ±7 km dari pusat kota.
4
Kondisi Biogeografis Secara geografis berada 107°30′00” BT dan 6°52′00” LS, Berdasarkan hasil rekonstruksi tata batas Tahura Ir H Djuanda pada tahun 2003 luasnya adalah 526,98 hektar. Secara administrasi berada di wilayah Ciburial Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung dan sebagian wilayah masuk Desa Mekarwangi, Desa Cibodas, Desa Langensari, dan Desa Wangunharja, Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat serta Kelurahan Dago Kecamatan Coblong Bandung. Sebagian besar kawasan Tahura Ir H Djuanda merupakan ekosistem pinggir sungai (Riparian ecosystem), kondisi topografi lapangan miring, dengan kelerengan (slope) agak curam sampai dengan terjal, dengan ketinggian ± 770 dpl sampai dengan ± 1.350 m di atas permukaan laut. Unsur tanah yang terkandung di areal Tahura Ir H Djuanda didominasi andosol, sebagian kecil gramosol yang peka terhadap erosi. Iklim menurut klasifikasi Schmidt Ferguson termasuk Type B. kelembaban nisbi udara berkisar antara 70% (siang hari) dan 9% (malam dan pagi hari). suhu berkisar antara 220ºC-240ºC (di Iembah) dan berkisar 180ºC – 220ºC (di puncak). Curah hujan rata-rata pertahun 2.500 – 4.500 mm/tahun. Budaya penduduk asli di sekitar Tahura Ir H Djuanda adalah suku sunda. Upacara adat pada umumnya masih dilakukan terutama pada saat pernikahan dan khitanan, terdapat beberapa kesenian seperti pencak silat, jaipongan, kecapi suling dan calung. Keadaan flora terdiri dari tumbuhan tinggi dan tumbuhan rendah, untuk tumbuhan tinggi didominasi jenis pinus (Pinus merkusii) sedangkan untuk tumbuhan rendah didominasi oleh lumut & pakis sehingga berfungsi sebagai laboratonium alam (arboretum). Kondisi fauna hasil inventarisasi yang telah dilakukan pada tahun 2003 yaitu Inventarisasi Primata dan Burung, maka jenis Fauna yang dapat ditemui yaitu jenis primata: Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dan jenis burung : Burung Kacamata (Zoeterops palpebrosus), Perenjak Jawa (Prinia flaviventris), Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides), Burung Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius), Kepodang (Oriolus chinensis), Kutilang (Plenonotus caferaurigaster). Terdapat pula Ayam Hutan (Galus-galus banriva), Musang (Paradoxurus hermaproditus), Sero/Linsang Air (Amblonix Cinerea), Tupai (Collosciurus notatus), dan berbagai jenis mamalia kecil Iainnya. Kemudian terdapat jenis Insecta yaitu capung dan kupu-kupu. Kondisi Sosial Ekonomi di Sekitar Kawasan Tahura Ir H Djuanda Mata pencaharian atau pekerjaan penduduk sekitar kawasan Tahura Ir H Djuanda, sebagian besar sebagai petani yaitu sebesar 936 jiwa. Sebagian lain bekerja sebagai karyawan swasta, Pegawai Negeri Sipil (PNS), wiraswasta, buruh, pertukangan, pensiunan, dan jasa. Profil Desa Ciburial, Cibodas, Langensari, Mekarwangi, dan Wangunharja). Alternatif untuk memperoleh penghasilan bagi sebagian masyarakat sekitar Tahura Ir H Djuanda yang berpendidikan rendah dan tidak mempunyai banyak keahlian adalah bekerja di Kawasan Tahura Ir H Djuanda. Mereka bekerja sebagai penyewa senter, tukang parkir, berjualan, pemandu wisata, tukang ojeg, dan petugas kebersihan Tahura Ir H Djuanda. Mereka tidak memerlukan status pendidikan yang tinggi, akan tetapi mereka hanya perlu keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan pekerjaan tersebut.
5 Sarana dan Prasarana Tahura Ir. H. Djuanda telah membangun beberapa fasilitas berupa: Pusat Informasi, Mushola, Lokasi Parkir, Jalan, Warung Makan, Toilet, Shelter, Tempat Bermain Anak, Lapangan Tenis, Sarana Olahraga pull up, Jogging Track. Potensi Wisata Kawasan Tahura Ir H Djuanda Daya tarik wisata alam yang ada di kawasan Tahura merupakan hasil dari gejala alam dan fenomena alam pegunungan. Beberapa potensi wisata yang bersifat khas dari kawasan ini adalah : pemandangan alam, monumen Ir H Djuanda, keragaman flora dan fauna, kolam pakar, goa Belanda dan Jepang, jalan setapak (jogging track), patahan Lembang, Curug Omas, Curug Dago, Prasasti Thailand. Kebijakan Pengelolaan Tahura Ir H Djuanda Pengelolaan pengunjung dimaksudkan untuk meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan akibat kunjungan dan kegiatan wisatawan pada suatu kawasan. Beberapa teknik pengelolaan pengunjung adalah: Pembatasan Penggunaan Kawasan Pembatasan ini dimaksudkan untuk menghindari konsentrasi pengunjung pada suatu obyek, sehingga tidak menimbulkan kerusakan, Penyebaran Obyek, Pemusatan Lokasi Kegiatan, Penutupan Kawasan, Pembagian Blok Pemantaatan merupakan Bagian dan kawasan Tahura Ir H Djuanda yang dijadikan tempat pariwisata alam/kunjungan/rekreasi aktif, Pembinaan Jumlah Pengunjung. Larangan berada di Kawasan Tahura Ir H Djuanda diatur dalam Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Pasal 50 Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. Setiap orang dilarang: a. Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah, b. Merambah kawasan hutan c. Mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undangundang yang berasal dan kawasan hutan tanpa izin dan pejabat yang berwenang. Desa Ciburial Letak dan luas Desa Ciburial merupakan desa yang terletak di Kawasan Tahura. secara administratif, desa ini berada di wilayah Kecamatan Cimenyan dan merupakan desa yang berada paling utara di Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat. Luas wilayah Desa Ciburial adalah ± 599.216 Ha. Dengan topografi wilayah yang bergunung-gunung tergolong dataran tinggi karena berada pada ketinggian antara 750 s.d. 1.200 m (dpl). Suhu udara rata-rata 25°C dan curah hujan tahunan mencapai 0,29 mm/tahun. Jarak tempuh dari pusat Desa Ciburial ke pusat Kecamatan Cimenyan adalah 12 Km yang dapat ditempuh dengan angkutan umum (angkot) dan ojeg. Jarak tempuh ke pusat Kabupaten Bandung adalah 35 Km dan jarak tempuh ke pusat Kota Bandung 10 Km. Kondisi Sosial Ekonomi Kondisi sosial ekonomi masyarakat mayoritas penduduk Desa Ciburial berjenis kelamin laki-laki sebanyak 6.324 jiwa dan perempuan sebanyak 5.710 jiwa. Tingkat pendidikan di Desa Ciburial secara lengkap disajikan pada Tabel 1.
6
Tabel 1 Tingkat Pendidikan di Desa Ciburial No. 1 2 3 4 5 6
Tingkat Pendidikan Taman Kanak Kanak SD SLTP SLTA D1-D3 S1-S3 Jumlah
Jumlah 6.491 1.150 1.988 1.542 296 301 10.618
% 61,13 14,21 18,72 14,52 2,79 2,83 100,00
Selisih jumlah antara jumlah penduduk secara keseluruhan dengan jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan yaitu sebanyak 1.912 orang. Jumlah tersebut merupakan usia pra sekolah dan usia sekolah di tingkat SD serta mereka yang tidak menyelesaikan tingkat pendidikan terendah bahkan ada yang tidak sekolah, sehingga masih ada warga masyarakat yang buta huruf. Komposisi penduduk berdasarkan pekerjaan yang ada di Desa Ciburial baik di sektor formal maupun informal yang merupakan pengaruh dari tingkat pendidikan yang dimiliki. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi Penduduk berdasarkan Pekerjaan1 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tingkat Pendidikan PNS TNI/Polri Karyawan Swasta Pensiunan Pedagang Petani/Peternak Buruh serabutan Mengurus Rumah Tangga Pemulung Jumlah
Jumlah (jiwa) 202 4 813 93 292 936 286 3.126 1 5.753
% 3,51 0,07 14,13 1,62 5,08 16,27 4,98 54,34 0,01 100,00
Sektor pertanian/peternakan masih menjadi jenis pekerjaan yang dominan Di Desa Ciburial dan pada saat yang sama di barengi oleh pesatnya perkembangan alih fungsi tanah untuk kepentingan ekonomi non pertanian membuat jumlah pekerja di sektor non pertanian juga mengalami kenaikan. Perubahan pola mata pencaharian ini terjadi karena petani beralih menjadi buruh bangunan di resort atau terserap di pembangunan resort yang saat ini massif dilakukan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Akses atas Hutan Akses masyarakat atas hutan akan dikelompok kedalam dua masa penguasaan hutan yakni: masa ketika status hutan dikuasai oleh peran Perhutani 1
Badan Permusyawaratan Daerah tahun 2012
7 dengan fungsi kawasan hutan sebagai Taman Wisata Curug Dago dan ketika status hutan di kuasai oleh peran BP Tahura dengan fungsi kawasan hutan sebagai Taman Hutan Raya. Tabel 3 menjelaskan secara rinci tentang status penguasaan tanah masyarakat. Tabel 3 Akses Masyarakat Pada Dua Masa Penguasaan Hutan No 1
2
Penguasaan Hutan Perum Perhutani
Badan Pengelola (BP) Balai Taman Hutan Raya
Fungsi
Akses masyarakat
Taman Wisata Dago
Akses masyarakat saat masa kawasan hutan berstatus Taman Wisata Dago, mendapatkan akses penuh terhadap kawasan hutan
Taman Hutan Raya
berubahnya pengelolaan hutan dari Perhutani kepada Tahura yang menjadikan Kawasan Hutan sebagai hutan konservasi. Kawasan Hutan tidak dapat di akses oleh masyarakat.
Pada awalnya penduduk Kampung Sekejolang adalah petani pemilik tanah. Seiring dengan perkembangan dan perluasan kota, daerah-daerah penyangga kota mengalami banyak perubahan struktur kepemilikan tanah. Masuknya pemodal untuk kepentingan ekonomi menjadikan tanah di kawasan ini menjadi asset yang sangat berharga. Alih fungsi tanah dan penguasaan tanah terjadi pada awal tahun 1980. Tanah-tanah banyak di jual kepada pemodal dari luar baik oleh individu individu maupun oleh Resort/PT. Hilangnya akses petani terhadap kepemilikan tanah terjadi secara sistematis dan terorganisir baik dilakukan oleh para calo-calo/perantara maupun oleh struktur pemerintahan yang memberikan kemudahan perijinan dan peruntukan yang sebetulnya tidak sesuai dengan tata ruang. Situasi ini menyebabkan petani pemilik tanah mengalami degradasi kelas menjadi tunakisma/petani tidak bertanah. Semakin kecilnya akses petani terhadap tanah telah mendorong petani kecil dan petani tak bertanah keluar dari sektor pertanian. Hubungan antara aktor yang mempunyai modal dan yang berperan sebagai buruh secara parallel berhubungan dengan aktor yang mengontrol akses yang lain dan aktor yang mempertahankan akses mereka. Penempatan akses pada bingkai kerja politikekonomi telah melengkapi model teori perubahan sosial. Hubungan sosial dan perbedaan timbul dari kerjasama dan konflik yang mengelilingi keuntungan dengan sebagian momen ekonomi-politik. Maka dari itu, pendekatan proses menjadi pendekatan yang baik dalam menangkap perubahan tersebut. Analisa proses juga merupakan proses identifikasi dan pemetaan mekanisme akses adalah penambahan, pertahanan, dan pengendalian (Peluso et al 2003). Salah satu upaya utuk mempertahankan kehidupan dengan cara melakukan migrasi ke kota, menjadi buruh bangunan, pedagang keliling, buruh serabutan, petani penggarap dan bekerja disektor informal lainnya. Pilihan ini menjadikan mereka berada pada level subsistensi yang tidak akan mengalami perubahan yang lebih baik dalam mata pencaharian.
8 Saat pengelolaan hutan dipegang oleh Perum Perhutani, masyarakat mendapat akses penuh terhadap hutan untuk bisa dimanfaatkan sumber dayanya, seperti sistem tumpang sari di wilayah Tahura yang menurut masyarakat sangat bermanfaat dan juga masyarakat dapat memanfaatkan tumbuhan buah-buahan yang di tanam pemerintah sebagai tumbuhan pagar pembatas antara kawasan hutan milik pemerintah dan tanah milik warga. Perubahan pengelolaan hutan dari Perhutani beralih kepada Tahura yang menjadikan kawasan ini sebagai hutan konservasi, mengakibatkan hak masyarakat untuk mengakses hutan semakin berkurang. Dampak nyata yang sangat dirasakan oleh warga adalah petani semakin tidak memiliki akses terhadap pemanfaatan sumber daya hutan, baik berupa mencari suluh (kayu bakar), mencari rumput untuk ternak, bertani dan tumpang sari di sela-sela pohon. Cara pandang sektor kehutanan yang menutup akses masyarakat sekitar hutan menunjukan bahwa sektor kehutanan masih berpandangan Ekofasisme. Sejarah Dusun Sekejolang Keberadaan Dusun Sekejolang dari awal adanya dusun hingga sekarang masih tetap diakui keberadaannya oleh pemerintah. Dapat dilihat pada Tabel 4 awal mula adanya Dusun Sekejolang hingga saat ini. Tabel 4 Sejarah Dusun Sekejolang Tahun
Sejarah
1945 1990
Era Kemerdekaan, hutan dalan Penguasaan Republik Masyarakat mulai menjual tanahnya kepada para pemodal, petani beralih menjadi buruh Pemerintah menawarkan kompensasi Tanah kepada warga Dusun Sekejolang Pegawai Tahura Ir H Djuanda mengadakan sosialisasi bibit ke desa Ciburial 250 ijin pembangunan oleh para pemodal/pengembang yang dikeluarkan oleh Walikota dan Bupati, Alih fungsi Desa Ciburial Pemerintah kembali menawarkan kompensasi kepada warga Dusun Sekejolang
2008 Masa Kemerdekaan Republik Indonesia
2010 2012
2014Sekarang
Sesuai Tabel 4 Jauh sebelum adanya taman hutan raya Ir H Djuanda, nenek moyang masyarakat Dusun Sekejolang sudah berada di dalam hutan, bahkan sebelum Belanda menguasai Kawasan Bandung Utara. Ketika masa penjajahan, Belanda juga mengakui tempat tersebut sebagai Dusun2. Tahun 1912 penjajah Belanda mulai menjajah ke wilayah Bandung Utara termasuk di Tahura Ir H Djuanda. Penjajahan tersebut berdampak kepada masyarakat lokal karena masyarakat dijadikan tenaga kerja paksa oleh Belanda sampai tahun 1942. Penderitaan yang dialami oleh masyarakat lokal pun tidak berhenti sampai disitu saja karena penjajahan dilanjutkan oleh Jepang hingga tahun 1945. Bukti yang mendukung bahwa Dusun Sekejolang sudah ada sebelum Tahura Ir H Djuanda didirikan, yaitu dengan adanya pal batas yang dibuat oleh Belanda untuk batas 2
Wawancara bersama Bapak Ihik (sesepuh Dusun Sekejolang)
9 wilayah antara Dusun Sekejolang dan kawasan hutan milik pemerintah kolonial Belanda yang luasnya ± 7,8 Ha (Gambar 2).
Gambar 2 Pal batas yang dibuat oleh Belanda batas Dusun Sekejolang dan Tahura Pal batas tersebut telah berdampingan dengan pal batas yang dibuat oleh pemerintah pihak Tahura. Hal ini disebabkan karena pal batas yang di buat Belanda sudah semakin rapuh dan rawan akan terjadinya pemindahan pal (pelebaran luasan) oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Maka dari itu, pihak Tahura membuat peraturan tegas terhadap beberapa pelanggaran yang terjadi di kawasan hutan pemerintah.
Gambar 3 Pal batas yang dibuat oleh Tahura Bukti lain yang menunjukkan bahwa masyarakat memiliki tanah di Dusun Sekejolang adalah adanya SPPT, PBB, Sertifikat Hak Milik (SHM), dan Berita Acara Tata Batas (BATB) serta adanya makam leluhur Dusun Sekejolang yang masih terpelihara dengan baik. Wasiat nenek moyang Dusun Sekejolang adalah Dusun Sekejolang sebagai pangebetahen (tempat tinggal yang nyaman) untuk kehidupan generasi selanjutnya, jikalau sampai suatu ketika ada yang menginginkan tanah Dusun Sekejolang, maka kewajiban seluruh warga untuk tetap mempertahankannya3. Bisa di lihat pada Gambar 4 mengenai legenda Dusun, pendiri Dusun yang makamnya dikeramatkan oleh masyarakat adalah Mamah Dapi, Mamah dedeh, Aki Tari, Aki Adis, Aki Karmanta, Aki Idi.
3
Wawancara bersama Bapak Mamad (tetua dan tokoh masyarakat Dusun Sekejolang)
10
Gambar 4 Makam Leluhur (Mama Dapi) sejarah bukti keberadaan Dusun Pada tahun 1945 Indonesia dalam era kemerdekaan, hutan dalam penguasaan RI. Semasa kemerdekaan, rata-rata masyarakat Desa Ciburial berprofesi sebagai petani. Merasa kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, pada tahun 1990 sebagian masyarakat terutama yang berprofesi sebagai petani menjual tanahnya kepada para pemodal yang datang ke wilayah Desa Ciburial, pemodal melihat wilayah desa tersebut merupakan tanah yang memiliki prospek yang bagus kedepannya kelak. Para petani yang sudah menjual tanahnya kepada para pemodal lalu beralih profesi menjadi buruh4. Pada tahun 2008 Giliran Pemerintah yang menawarkan kompensasi tanah kepada masyarakat yang masih ada di Desa Ciburial terutama di Dusun Sekejolang, karena Dusun Sekejolang merupakan tanah yang berada di tengah-tengah kawasan hutan milik negara sehingga disebut tanah enklave. Pemerintah melakukan kompensasi terhadap tanah Dusun Sekejolang bermaksud untuk memperluas Kawasan Tahura yang luasnya 590 Ha menjadi ±3.000 Ha. Penawaran dari pemeritah dirasa kurang sesuai dari harga yang telah ditentukan oleh masyarakat Sekejolang, maka praktek kompensasi tanah ditunda. Pada tahun 2010 pegawai Tahura mengadakan Pelatihan dari program pemerintah berupa cara penanaman bibit Jabon. Pelatihan tersebut bermaksud agar para masyarakat memiliki kemampuan lain selain yang di tekuni para masyarakat saat ini seperti : bertani, beternak, buruh lepas. Pada tahun 2012 Bupati dan Walikota Bandung mengeluarkan 250 ijin mendirikan bangunan kepada para pemodal untuk perhotelan, restorant, café dan rumah makan di daerah Desa Ciburial. Melihat keadaan Bandung Utara yang semakin banyaknya bangunan, maka pada tahun 2014 Pemda kembali menawarkan kompensasi tanah kepada masyarakat Dusun Sekejolang agar perluasan kawasan lindung dapat terealisasi dan mencegah terjadinya pelebaran mendirikan bangunan oleh para pemodal. Dalam prakteknya, Pemerintah masih menemui jalan buntu karna belum ada kesepakatan dengan warga Sekejolang. Sejarah Tahura Ir H Djuanda Awal mula nama Tahura Ir H Djuanda di Kota Bandung sejak jaman penjajahan Belanda merupakan Hutan Lindung Gunung Pulosari. Dapat dilihat pada Tabel 5 Sejarah adanya Tahura Ir H Djuanda.
4
Wawancara bersama Ibu Hena (ketua PKK Dusun Sekejolang)
11 Tabel 5 Sejarah Tahura Ir H Djuanda Tahun 1912-1942 1945 1960 Masa Penjajahan Belanda dan Jepang
1963 1965 1980 1985 2003 – Sekarang
Keterangan Tanah dalam penguasaan belanda Era kemerdekaan, hutan dalam Penguasaan Republik Perintisan Hutan Gunung Pulosari menjadi Kebun Raya Rekreasi Hutan ditetapkan sebagai kawasan lindung melalui Djawatan Kehutanan Hutan dikuasai oleh Perhutani Jawa Barat Penetapan Taman Wisata Curug Dago (TWA) seluas 590 Ha Menteri Kehutanan merubah TWA menjadi Tahura melalui Kepres dan membentuk balai pengelola Tahura Sepenuhnya dikelola oleh Pemda melalui Dinas Kehutanan Jawa Barat
Sesuai Tabel 5 Pada masa kolonial Belanda, Tahura Ir H Djuanda sebelumnya merupakan Hutan Lindung Gunung Pulosari yang dibangun oleh pemerintah Hindia-Belanda. Perintisan hutan ini sudah dilakukan sejak tahun 1912 yang telah dijadikan kawasan hutan oleh Belanda bersamaan dengan pembangunan terowongan aliran sungai Cikapundung (sekarang disebut Gua Belanda). Pembangunan Gua Belanda menggunakan tenaga kerja para romusha Indonesia yang sebagian tenaga kerjanya berasal dari Dusun sekejolang. Peresmian hutan lindung itu sendiri baru dilakukan pada tahun 1942. Sejak kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, status kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan Negara yang dikelola oleh Djawatan Kehutanan sampai tahun 1965. Kawasan Hutan Gunung Pulosari dirintis sebagai kebun raya rekreasi pada tahun 1960 oleh Mashudi (Gubernur Jawa Barat) dan Ir Sambas Wirakusumah (Administratur Bandung Utara dan merangkap sebagai Direktur Akademi Ilmu Kehutanan). Pada tahun 1963, sebagian kawasan hutan lindung tersebut mulai dipersiapkan sebagai Hutan Wisata dan Kebun Raya. Untuk tujuan tersebut, kawasan Tahura mulai ditanami dengan tanaman koleksi pepohonan yang berasal dari berbagai daerah. Kerjasama pembangunan Kebun Raya Hutan Rekreasi tersebut melibatkan Botanical Garden Bogor (Kebun Raya Bogor). Pada tanggal 23 Agustus 1965, kawasan tersebut telah diresmikan oleh Gubernur Mashudi sebagai Kebun Raya Hutan Rekreasi Ir H Djuanda yang dikelola oleh Dinas Kehutanan yang dulunya instansi ini bernama Djawatan Kehutanan Provinsi Jawa Barat), pada tahun itu pula pengelolaan dari Dinas Kehutanan diserahkan ke Perum Perhutani Jawa Barat. Pada tahun 1980, Kebun Raya/Hutan Wisata yang merupakan bagian dari komplek Hutan Gunung Pulosari ini ditetapkan sebagai Taman Wisata Curug Dago yang memiliki luas 590 ha dan telah ditetapkan oleh SK. Menteri Pertanian Nomor : 575/Kpts/Um/8/1980 tanggal 6 Agustus 1980.
12 Tahun 1985, Soedjarwo selaku Menteri Kehutanan mengusulkan untuk mengubah status Taman Wisata Curug Dago menjadi Taman Hutan Raya.Usulan tersebut kemudian diterima Presiden Soeharto yang kemudian disahkan melalui Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1985 tertanggal 12 Januari 1985. Peresmian Taman Hutan Raya Ir H Djuanda dilakukan pada tanggal 14 Januari 1985 yang bertepatan dengan hari lahirnya pahlawan nasional Ir H Djuanda. Tahura Ir H Djuanda merupakan Taman Hutan Raya pertama di Indonesia. Untuk menjamin suksesnya pengelolaan Tahura Ir H Djuanda, Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Nomor : 192/Kpts-II/1985 membentuk Badan Pembina Taman Hutan Raya Ir H Djuanda yang diketuai oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA)5. Tahun 2003 bahwa Perum Perhutani sebagai Badan Pelaksana Pengelolaan dan Pembangunan Taman Hutan Raya Ir H Djuanda dan di kelola sepenuhnya oleh Pemda. Permasalahan Klaim Tanah Konflik BP Tahura Ir H Djuanda dengan Warga Sekejolang Sejak perubahan fungsi Kawasan Hutan menjadi Kawasan Konservasi, Warga Dusun Sekejolang mulai merasa terancam dari segi ekonomi, sosial dan budaya adat istiadatnya. akses menuju kawasan hutan sudah perlahan-lahan ditutup bagi masyarakat sehingga hubungan antara BP Tahura dan warga Sekejolang mengalami konflik. Satu-satunya akses terbuka bagi masyarakat Sekejolang menuju Kawasan Hutan sangat berpengaruh terhadap kemampuan untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu dari adanya hak (property right) (Peluso et al 2003). Hak yang dimiliki warga untuk masih tetap mengakses kawasan hutan, dengan cara sistem pengelolaan kawasan hutan yang masih sistem tumpang sari. Para petani yang masih melakukan kegiatan sistem tumpang sari sudah mulai terusik dengan keberadaan monyet ekor panjang yang sengaja di lepas oleh pihak BP Tahura yang selalu merusak perkebunan warga5. Perlakuan BP Tahura ini yang menyebabkan salah satu konflik. Konflik yang terjadi merupakan konflik yang bersifat tertutup (laten), adanya tekanan yang tidak dirasakan langsung dan belum sepenuhnya berkembang (terjadi ketegangan persaingan dalam memperebutkan SDA yang terbatas) (Boedhi 2002). Tidak terbukanya rencana perluasan kawasan Tahura yang dilakukan oleh BP Tahura terhadap masyarakat dan pembuatan peraturan mengenai status tanah, serta perbedaan persepsi merupakan inti dari masalah ini6. Aktor yang terlibat Tanah Dusun Sekejolang Pihak-pihak yang terkait dengan masalah konflik tanah Dusun Sekejolang, baik dari pihak masyarakat maupun Tahura dapat dilihat pada Gambar 5.
5
Wawancara bersama Bapak Roni dan Bapak Asep (pegawai pengelola Tahura Ir H Djuanda) 6 Wawancara bersama Bapak Rohiyana (ketua RT 01 Dusun Sekejolang)
13 Desa Ciburial KTMB
LBH
Sekejolang L.Kuring Tahura Ir H DJuanda
Walhi
BP Tahura
Pemda
Gambar 5 Pihak-pihak yang telibat tanah Dusun Sekejolang Peranan para pihak baik dalam urusan atau di luar urusan masalah tanah Dusun Sekejolang tercantum pada Tabel 6. Tabel 6 Peran pihak-pihak yang terlibat Tanah Dusun Sekejolang Pihak Pemda Lembur Kuring Karang Taruna Bina Mandiri WALHI
LBH
BP Tahura
Peran Pengendalian kawasan sesuai Perda Pertahanan tanah tempat tinggal Pemberdayaan Masyarakat Mendukung mempertahankan tanah Mendukung mempertahankan tanah Mengelola kawasan hutan
Aktif/pasif dalam masalah tanah Dusun Sekejolang Pasif
Kontribusi terhadap Dusun Sekejolang
Aktif
Diserahkan kepada pihak pengelola Tahura Membentuk kelompok penentang pemerintah Membantu mempertahankan Dusun Sekejolang Program intevensi
Aktif
Program intervensi
Aktif
Penawaran tanah
Aktif Aktif
kompensasi
Sesuai Tabel 6 bahwa pihak yang berada di luar kawasan Tahura Ir H Djuanda seperti Pemda berperan dalam penetapan Perda pengendalian kawasan yang diserahkan sepenuhnya melalui Balai Pengelola Tahura Ir H Djuanda. Untuk saat ini, Pemda belum terjun langsung untuk menyelesaikan masalah tanah masyarakat yang ada berada di kawasan hutan negara. Lembaga-lembaga KTMB (Karang Taruna Bina Mandiri), Paguyuban Cinta Lembur Kuring, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), LBH Jabar (Lembaga Bantuan Hukum Jawa Barat) yang terlibat langsung (aktif) dalam mempertahankan Dusun Sekejolang. Lembur Kuring berperan membentuk kelompok penentang pemerintah (Advokasi) yang diantaranya Lembur kuring yang beranggotakan Masyarakat Dusun Sekejolang itu sendiri yang dibantu oleh lembaga WALHI dan LBH Jabar. Lembaga yang berperan aktif dalam mempertahankan Dusun Sekejolang, mengadakan program intervensi untuk menyusun strategi agar masyarakat memiliki kekuatan/hak atas tanah tempat tinggal mereka saat pemerintah mulai datang kembali ke dusun Sekejolang untuk
14 mengambil alih tanah mereka7. Dapat dilihat pada Gambar 6 proses FGD bersama anggota Paguyuban Lembur Kuring (warga Dusun Sekejolang).
Gambar 6 Proses FGD dengan warga Dusun Sekejolang Pada saat melakukan FGD, sampai saat ini persoalan Tahura dengan warga Sekejolang belum menemui titik temu terkait pembebasan tanah enklave, pihak Tahura mengacu pada Perda pasal 11 ayat (1) dan (2) nomor 25 Tahun 2008 menyebutkan bahwa tanah enklave yang berada di kawasan Tahura Ir H Djuanda/ kawasan pemerintah wajib di bebaskan oleh pemerintah daerah dan Pasal 33 UU nomor 2 Tahun 2012 tentang pembebasan tanah memberikan harga Rp.500.000/ (mencakup tanah, bangunan, tanaman dan benda yang berkaitan dengan tanah). Sementara warga menilai harga tanah di wilayah KBU sudah cukup tinggi, sehingga warga merasa wajar apabila menuntut dengan harga jual sebesar Rp.1000.000/ . Apabila tanah hanya di hargai ≤ Rp.500.000/ maka warga merasa keberatan karena sama saja pemerintah membunuh warga dusun sedangkan tanah di luar sana harganya bisa lebih besar,dan belum tentu ketika warga pindah ke tempat tinggal yang baru, mereka bisa lebih nyaman/sejahtera dari ini. Di sisi lain warga sudah mulai terganggu/dirugikan dengan keberadaan monyet-monyet ekor panjang yang merusak perkebunan warga tapi para warga tetap bertahan karna tanah Sekejolang merupakan tanah turun temurun dari nenek moyang warga dusun. Sehingga pihak warga mengharapkan kepada pihak Tahura/pemerintah agar bisa lebih bijak dalam menyelesaikan persoalan ini8. Didalam forum diskusi ini, disampaikan pula oleh beberapa warga bahwa sebelumnya warga Sekejolang pernah berdiskusi bersama pihak warga yang di wakili oleh lembaga Lembur Kuring, pihak WALHI JABAR dan LBH Kota Bandung, menurut WALHI “bahwa wilayah KBU mengalami perubahan fungsi sekitar 70 %, KBU yang luasnya mencapai 38.000 hektar yang terdiri dari hutan produksi 15.700 hektar, hutan konservasi dan cagar alam hampir 3.000 hektar dan hutan lindung lebih dari 7.200 hektar, Tahura Ir H Djuanda hanya seluas ±590 hektar. Adapun luas tanah areal perkebunan campuran serta hortikultura mencapai 8.000 hektar. Sementara pemukiman, penduduk, apartemen dan hotel dan lainnya mencapai 4.000 hektar. Hutan yang rusak 70% mencapai 27.000 hektar, hutan yang masih utuh 30% yaitu 11.000 hektar. Walhi mengajukan gagasan moratorium ijin pembangunan di sekitar kawasan KBU. Walhi mendukung perluasan Tahura tapi tidak mendukung penggusuran warga Sekejolang. 7 8
Hasil diskusi bersama Bapak Untung Aji (wakil ketua organisasi Lembur Kuring) Hasil diskusi bersama Bapak Rohiyana (ketua RT 01 Dusun Sekejolang)
15 Kesepakatan penguasaan tanah yang diatur dalam undang-undang itu bisa berubah jika para aktornya memandang persoalan dengan cara berbeda-beda. Sayangnya Keputusan DPR no IX/2001 tentang Reforma Tanah dan Manajemen Sumber Daya Alam yang diharapkan bisa memecahkan masalah tumpang tindihnya hukum dan interpretasi itu tidak berhasil mendorong para aktor untuk mewujudkan kesatuan penataan penguasaan tanah (Galudra et al 2006). Sementara pihak LBH Kota Bandung mengemukakan bahwa pihak Tahura/pemerintah tidak bisa begitu saja melakukan pencabutan hak tanah masyarakat. Rakyat juga termasuk kepentingan umum, dimana Negara memiliki kewajiban untuk melindungi terhadap hak-hak kepemilikan warga seperti hak atas kepemilikan tanah. Hal ini sudah ditetapkan oleh ajaran HAM bahwa penyelenggara Negara sesungguhnya memilki kewajiban untuk a) menghargai hak asasi manusia rakyatnya; b) melindungi hak asasi manusia rakyatnya; c) memenuhi hak asasi manusia rakyatnya (Hansen 2000:6-7). Hak atas pemukiman adalah bagian dari hak asasi manusia yang tidak bisa begitu saja di cabut. Dalam banyak kasus agraria yang terjadi adalah keberpihakan negara kepada kelompok pemodal. Hak memiliki tanah dalam konteks hukum agraria adalah kepemilikan secara turun temurun dan nilai sosial tanah. Dalam kasus perluasan Tahura, pihak LBH menilai ada proses yang keliru dalam setiap tahapan kebijakan publik dengan tidak melakukan konsultasi publik (melibatkan masyarakat)9. Berbagai cara yang dilakukan oleh masyarakat Sekejolang untuk tetap mempertahankan tanah mereka, seperti menggunakan organisasi masyarakat untuk dijadikan alat pertahanan dan penguatan hak atas tanah. Cara-cara yang digunakan oleh organisasi-organisasi setempat yaitu memperbanyak kegiatankegiatan yang sifatnya berkenaan dengan adat istiadat dan pengembangan kesenian. Sehingga, terkesan Dusun tersebut memiliki ciri khas tersendiri sebagai satu-satunya dusun yang masih tersisa di dalam kawasan hutan (Firman 2014). Dapat dilihat bukti keberadaan Dusun Sekejolang adanya gerbang masuk yang dibuat oleh para anggota Karang Taruna Mandiri pada Gambar 7.
Gambar 7 Gerbang masuk Kp.Sekejolang Penetapan Enklave oleh Pihak Tahura Masyarakat menilai bahwa penetapan enklave merupakan upaya untuk melakukan pengusiran secara halus agar warga secara perlahan merasa tidak nyaman dan selanjutnya memutuskan untuk pindah tempat tinggal10. Keputusan 9
Hasil diskusi bersama anggota Lembur Kuring Ungkapan Bapak Lala saat FGD (warga RT 03 Dusun Sekejolang)
10
16 pelepasan tanah enklave yang dilakukan oleh pihak Tahura menurut masyarakat dilakukan secara tidak transparan karena masyarakat tidak pernah ikut serta untuk dialog permasalahan klaim tanah dan pihak Tahura pun tidak melakukan sosialisasi terhadap rencana pemindah alihan fungsi tanah. Secara tiba-tiba masyarakat baru mengetahui bahwa ada 6 rumah milik warga sudah di ukur dan dalam proses penetapan harga untuk pelepasan hak kepemilikan tanah. Apabila ke 6 rumah tersebut sampai pindah ke tangan pihak Tahura, maka akses jalan menuju Dusun Sekejolang akan ditutup yang otomatis perekonomian di dusun tidak akan berjalan lagi, karena posisi ke 6 KK ini berada di awal jalan masuk menuju Dusun Sekejolang. Maka dari itu warga yang lain sangat melarang keras warga yang menjual tanahnya ke pihak tahura dengan harga yang belum di sepakati dengan seluruh masyarakat Dusun Sekejolang11. Persepsi Warga Dusun Sekejolang dan Pihak Tahura Persepsi terhadap hutan dan kehutanan sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup, adat istiadat, dan kebiasaan serta ketergantungan terhadap hutan dan kehutanan. Masyarakat mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi terhadap hutan, baik dari hasil hutan berupa kayu untuk bahan bangunan, kayu bakar, tanah usaha dan lain-lain (Suharjito dan Darusman 1998). Tabel 7 Persepsi masyarakat Dusun Sekejolang Bahasan Kawasan Hutan/Tahura
-
Tahura
Solusi
-
Persepsi Tempat tinggal Sumber penghasilan Adat istiadat Enklave sebagai embrio perambahan hutan Masyarakat tetap bertahan Ganti rugi yang layak Adanya sosialisasi pembebasan tanah yang transparan
Kawasan Hutan Merupakan Tempat Tinggal Warga Sekejolang Masyarakat Dusun Sekejolang memaknai tempat mereka tinggal sebagai lembur kuring semenjak nenek moyang mereka. Pembangunan Goa Belanda dan Goa Jepang adalah bukti bahwa nenek moyang warga sudah ada bahkan mereka menjadi tenaga Kerja Romusha untuk membangunnya. Orang tua salah satu tokoh sesepuh dusun sering bercerita bahwa ada semacam wangsit atau tutur dari tetua dusun bahwa jika suatu ketika Dusun Sekejolang akan di ambil oleh pihak lain, maka setiap masyarakat dusun harus mempertahankan12. Pihak BP Tahura dan warga Dusun Sekejolang, keduanya sama-sama memiliki klaim atas tanah. Pihak warga Dusun Sekejolang memiliki bukti adanya girik yang dikeluarkan oleh permerintah agraria pada tahun 1800-an serta adanya SPPT/PBB. Pihak Tahura Ir H Djuanda memiliki bukti melalui SK dari pemerintah. Keberadaan Dusun Sekejolang di kawasan hutan menyebabkan pemerintah mengeluarkan Perda pasal 11 12
Wawancara bersama Bapak Untung Aji (wakil ketua organisasi Lembur Kuring) Pendapat Bapak Mamad saat FGD (warga Dusun Sekejolang)
17 11 ayat (1) dan (2) tentang tanah enklave. Pemerintah menyatakan bahwa tanah enklave wajib dibebaskan untuk dijadikan blok perlindungan/koleksi tanaman. Bagi pihak Tahura itu adalah tanah enklave, namun bagi masyarakat tetap akan dipertahankan karena sebagai tanah warisan nenek moyang kecuali ada kesepahaman harga yang sesuai dengan harapan warga Dusun Sekejolang. Kawasan Hutan Sebagai Sumber Penghasilan Keuntungan bagi para Masyarakat Dusun Sekejolang bahwa tempat untuk mencari nafkah merupakan tanah pertanian milik sendiri (bukan tanah sewaan). Sumber penghasilan warga Dusun Sekejolang di tentukan oleh pekerjaan di sektor pertanian dan non pertanian. Pekerjaan di sektor pertanian sangat di pengaruhi oleh musim. Contohnya pada saat musim tanam tiba, buruh tani banyak yang bekerja. Pada umumnya, buruh tani bekerja dari pagi hingga sore hari, upah yang diberikan rata-rata Rp 40.000/hari untuk laki-laki, dan Rp 20.000/hari untuk buruh perempuan, dimana buruh perempuan hanya bekerja dalam waktu setengah hari. Karena sifatnya di pengaruhi oleh musim, pada saat tidak terjadi musim tanam, para buruh tani bekerja di bidang yang sifatnya off farm employment seperti kerja serabutan, kerja bangunan, kuli bangunan. Konsekuensinya adalah di tuntut untuk mempuyai skill yang lain selain kemampuan untuk bertani. Selain bertani, warga umumnya memiliki kemampuan untuk menjadi tukang bangunan, dan diberi upah rata-rata Rp 50.000 /hari. Pekerjaan bangunan banyak dilakukan di Resort yang sedang memasuki tahapan pembangunan konstruksi, sehingga banyak membutuhkan kuli bangunan. Adat Istiadat Penyebab warga tetap bertahan dengan tempat tinggalnya, yaitu kehidupan di Dusun yang sebagian besar penduduknya beragama Islam dan umumnya masih memegang erat adat istiadat Sunda. Warga mendiami tanah Dusun Sekejolang melalui jalan yang telah di lalui oleh para tetua mereka. Jadi, tanah dimana warga Sekejolang berdiri hingga saat ini, telah dihubungkan dengan jalan yang dilalui oleh nenek moyang. Dengan demikian, tanah tersebut memiliki tradisi dan sejarah, karena telah menjadi simbolik keberadaan komunitas lokal beserta budayanya (Ikanubun 1971: 45). Beberapa ajaran leluhur yang masih dilakukan dalam ritual sehari-hari, yaitu: membakar kemenyan, Jumat Kliwonan dan yang paling utama yaitu tradisi adat ruwatan/hajat buruan. Hajat tersebut dimaksudkan untuk menjauhkan malapetaka bagi Dusun Sekejolang dan ingin menjalin silaturahmi antar warga. Acara adat di awali dengan berkumpulnya warga, kemudian berlanjut ke mata air sambil membawa sesaji untuk nadran ke makam leluhur Dusun Sekejolang, setelah itu memandikan anak kecil yang belum baligh oleh sesepuh kampung di tempat pemandian air doa. Pemandian tersebut bermaksud untuk menjauhkan anak-anak kecilterhadap hal-hal yang negatif. Pada acara puncak yaitu pembagian kias/sawen yang lebih dikenal dengan sebutan tolak bala. Sawen itu biasanya di pasang di pintu-pintu rumah tiap warga. Sawen terbuat dari rumput palias, bawang merah, dan beberapa daun lainnya yang diikatkan pada tusuk sate. Ujung tusuk sate tersebut ditancapkan cabe pinit (cabe kecil). Berikut Gambar 8 sawen yang diikatkan pada tusuk sate :
18
Gambar 8 Sawen yang di pasang di rumah warga Masih banyak warga yang menjalankan aliran kebatinan Sunda Kawitan. Kesenian tradisional yang sampai saat ini masih dilestarikan dengan baik yaitu kesenian calung. Calung menjadi suatu identitas/ikon dalam setiap acara di Dusun Sekejolang, seperti untuk pernikahan, hajatan, khitanan, dll. Sedangkan untuk kesenian tradisional lainnya contohnya keseniaan sisingaan, permainan tradisional, jejangkungan, dll. Enklave Merupakan Embrio Perambahan Hutan Dalam konstruksi Tahura keberadaan masyarakat di dalam kawasan hutan merupakan hal yang illegal. Satu satunya jalan adalah mengeluarkan masyarakat keluar dari kawasan hutan, karena kalau di biarkan penduduk dalam enklave akan terus berkembang dan menambah tekanan terhadap Tahura. Pandangan kehutanan yang sentralististis menempatkan keberadaan warga di sekitar hutan sebagai ancaman sekaligus sebagai embrio bagi perambahan hutan. Persoalan enklave adalah merupakan embrio dari perambahan hutan. Sehingga keberadaan enklave didalam kawasan harus di keluarkan, kalau tetap bertahan maka ancamannya adalah pasal berlapis13. Kawasan dengan akses yang terbuka seluruh wilayah Tahura berbatasan langsung dengan kegiatan masyarakat (pemukiman pedesaan, tanah pertanian dan sebagainya) tidak ada satupun hambatan fisik maupun biologi yang memisahkan secara tegas kawasan di dalam maupun di luar Tahura memiliki tingkat kerawanan fisik dan sosial yang tinggi (Peluso et al 2003). Akses yang terbuka, membuat masyarakat bebas dalam melakukan kegiatan di dalam kawasan Tahura, di satu sisi pihak Tahura mendapat keuntungan dari masyarakat Dusun Sekejolang berupa pengamanan kawasan hutan, tetapi di sisi lain pihak Tahura pun mendapat kerugian atas penggunaan kawasan hutan oleh masyarakat lokal maupun luar. Kerugian yang didapat Tahura selain di hadapkan pada situasi alih fungsi tanah komersil yang dilakukan oleh pihak luar, isi dalam kawasan Tahura juga di rambah oleh para masyarakat lokal seperti; penebangan mikro untuk di jadikan kayu bakar. Solusi Masyarakat Dusun Sekejolang Solusi yang di inginkan warga yaitu Masyarakat Dusun Sekejolang memilih untuk bertahan atas dasar amanah dari nenek moyang mereka untuk tetap mempertahankan tanah tersebut dan juga merupakan nilai pengabetahan 13
Wawancara bersama Bapak Agus (pegawai pengelola Tahura Ir H Djuanda)
19 (kenyamanan). Warga tidak ada pilihan lain karena sumber kehidupan mereka dari hasil tanah pertanian, bila suatu saat warga pindah ke tempat tinggal lain, warga takut tidak mendapatkan hasil yang sesuai dengan tempat yang mereka tinggal saat ini (takut sengsara). Jadi masyarakat Sekejolang masih fokus terhadap kepemilikan tanah mereka. Masyarakat berharap ada sosialisasi yang transparan mengenai rencana pembebasan tanah sehingga tidak menjadi komoditas issue. Konsep Ganti Rugi Harga yang layak, Sejauh mana sesungguhnya penyelesaian yang di rasakan adil bagi warga Sekejolang, dengan berbagai kondisi dan situasi yang ada saat ini warga merasakan bahwa ada kepentingan pembangunan dan upaya konservasi alam yang harus di dukung oleh semua pihak. Warga sadar akan hal ini walaupun akan membuat mereka terusir dari dusun. Hendaknya kesadaran ini juga diimbangi oleh sikap BP Tahura yang lebih adil transparan dalam penentuan rencana pembebasan tanah. Selama ini pendekatan yang di lakukan oleh BP Tahura tertutup yang hanya akan menciptakan resistensi bagi warga14.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Adanya perbedaan pengelolaan kawasan oleh para pihak antara pemerintah dengan masyarakat pada objek yang sama (tanah dan SDA), berimplikasi pada situasi sifat sistem penguasaan tanah yang saling bersilangan satu sama lain, pada akhirnya melahirkan konflik atas penguasaan tanah dan SDA, mulai yang bersifat laten sampai yang mencuat. Pemerintah Daerah Jawa Barat telah menetapkan bahwa wilayah Dusun Sekejolang yang berada di kawasan Tahura berstatus tanah enklave. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat Sekejolang, oleh karena dalam Perda Nomor 25 Tahun 2008 disebutkan bahwa setiap tanah yang berstatus enklave, merupakan tanah yang berhak atau wajib di ambil alih oleh pemerintah untuk kepentingan umum. Sementara saat ini, pihak Tahura/pemerintah memberikan kebijakan berupa penawaran ganti rugi bagi warga Dusun Sekejolang, dimana kebijakan tersebut sesungguhnya membuat masyarakat Sekejolang merasa terancam oleh karena dirasakan hak-hak masyarakat menjadi berkurang, baik dari segi penguasaan tanah maupun sosial, ekonomi, dan budaya adat-istiadat. Saran Diperlukan adanya upaya perbaikan hubungan antara pihak BP Tahura dengan masyarakat Dusun Sekejolang melalui mediasi oleh pihak ketiga. Tujuannya memfasilitasi pembentukan lingkungan yang kondusif bagi kedua pihak untuk berdialog membangun rasa saling percaya, membantu dalam proses pemecahan masalah, menghasilkan solusi bersama, membangun hubungan dan komitmen dalam kerjasama jangka panjang.
14
Ungkapan seluruh warga yang diwakili Bapak Aep (ketua RW 09 Dusun Sekejolang)
20
DAFTAR PUSTAKA [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 1982. Tentang Peruntukan Tanah di Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara. Bandung (ID): Laporan Perencanaan. Boedhi W. 2002. Konflik, Budaya atau Peluang: Panduan Latihan Menghadapi dan Menanggapi Konflik Sumberdaya Alam. Bandung: Konsorsium Pembangunan Agraria. Bryman A. 2012. Social Research Methods 4th ed. New York: Oxford. Clark S, Anggraini CS, Ashari I, Barnawi S, Didakus S, Ghewa Y, Mahur A, Manggut P, Said M. 2004. More than just ownership: ten land natural resource conflict case studies from East Java and Flores. Jakarta: World Bank. Firman W. 2014. Peran Kelembagaan dalam Mempertahankan Dusun Sekejolang di Kawasan Taman Hutan Raya Ir H Djuanda, Bandung Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Freudenberger KS. 1994. Tree and Land Tenure Appraisal Tools. Rome: Food and Agriculture Organization of The United Nations. Galudra G, Pasya G, Sirait M, Fay C. 2006. Rapid Land Tenure Assessment (RaTA), Panduan Ringkas bagi Praktis. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Programme. Griffiths T. 2007. Seeing REDD? Avoided Deforestation and The Rights of Indigenous Peoples and Local Communities. London: Forest and Peoples Programme. Idrus M. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta: Erlangga. Ikanubun. 1971. Selajang Pandang Adat Perkawinan di Kepulauan Kei [Skripsi]. Ambon (ID): Universitas Patimura. Hansen, Stepen A. 2000. Thesaurus of Economic, Social and Cultural Right: Terminology and Potential Violation. Washington: American Assosiation of Advacenment of Advacenment of Science. Peluso NL, Ribot JL. 2003. A Theory of acces. Journal of Rural Sociology, 68 (2) 153-181Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Pemerintah RI. 1990. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta (ID): Pemerintah RI. Pemerintah RI. 1998. Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1998. Tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Daerah. Jakarta (ID): Pemerintah RI. Pemerintah RI. 2000. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000. Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom . Jakarta (ID): Pemerintah RI. Pemerintah RI. 2008. Undang-Undang Nomor 25 Pasal 11 Ayat (1) dan (2) Tahun 2008. Tentang Tanah Enclave di Kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Bandung (ID): Pemerintah RI.
21 Pemerintah RI. 2009. Undang-Undang Nomor 1 Pasal 3 Tahun 2009. Tentang Pengendalian Kawasan Bandung Utara (KBU). Bandung (ID): Pemerintah RI. Pemerintah RI. 2012. Undang-Undang Nomor 2 Pasal 1 Ayat (2) Tahun 2012. Tentang Pengadaan Tanah dengan Ganti Rugi yang Layak kepada yang Berhak. Jakarta (ID): Pemerintah RI. Pemerintah RI. 2012. Undang-Undang Nomor 2 Pasal 33 Tahun 2012. Tentang Harga Ganti Rugi Kompensasi Tanah. Jakarta (ID): Pemerintah RI. Pemerintah RI. 2012. Undang-Undang Nomor 2 Pasal 5 Tahun 2012. Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Jakarta (ID): Pemerintah RI. Pemerintah RI. 2012. Undang-Undang Nomor 2 Pasal 9 Ayat (1) Tahun 2012. Tentang Keseimbangan Pengadaan Tanah Terhadap Kepentingan Umum dan Kepentingan Masyarakat. Jakarta (ID): Pemerintah RI. Sugiyono 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Penerbit Alfabeta. Bandung Suharjito D, Darusman D. 1998. Kehutanan Masyarakat: Beragam Pola Partisipasi Masyarakat. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
22
LAMPIRAN
23 Lampiran 1 Penetapan kawasan Tahura berdasarkan SK peraturan perundangundangan No. 1
PERATURAN PERUNDANGAN
2
SK. Mentan Nomor : 575/Kpts/Um/8/1980 Tahun 1984
3
Kepres Nomor : 3/M/1985
4
SK. Menhut Nomor : 192/KptsII/1985 SK. Menhut Nomor : 193/KptsII/1985
5
6
SK. Menhut Nomor : 107/KptsII/1985
7
SK. Menhut Nomor : 107/KptsII/2003 tgl 24 Maret 2003
8
Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2002
9.
Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 25 Tahun 2008 Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 120 Tahun 2009
10.
URAIAN Penetapan Taman Wisata Curug Dago seluas 590 Ha Penataan Batas kawasan oleh Badan INTAGDepartemen Kehutanan Penetapan Taman Wisata Curug Dago menjadi Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda Pengaturan Pengelolaan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda Penunjukkan Anggota Badan Pembina Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Wakil PTN dan Tokoh Masyarakat penunjukan Anggota Badan Pembina Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Wakil PTN dan Tokoh Masyarakat Tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan Pengelolaan Taman Hutan Raya oleh Gubernur atau Bupati/Walikota Perubahan Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 15 Tahun 2000 tentang Dinas Daerah Provinsi Jawa Barat (Terbentuknya UPTD Balai Pengelolalaan Taman Hutan Raya) Pengelolaan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda Petunjuk Pelaksanaan Peda Provinsi Jawa Barat Nomor 25 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda
24 Lampiran 2 Metode snowball
Ibu Elis(pegawai Tahura Bag.penerimaan mhs.penelitian)
Pa Roni (pegawai Tahura Bag.kantor Balai Pengelolaan Tahura)
Pa Agus (pegawai Tahura Bag. Kantor Balai Pengelolaan Tahura)
Pa Asep (Pegawai Tahura Bag.Pembibitan dekat Kp.Sekejolang)
Pa Untung (Mhs.S2 STKS)
Pa RW 09/Kep.Dusun Sekejolang(Pa Aep)
Pa RT 01 Kp.Sekejolang (Pa Rohiyana)
Ketua Karang Taruna(kang Ade) dan Pembina Karta (Pa deden)
Pa Mansyur (Polhut Tahura)
Bu Imas dan Teh Hena(warga Sekejolang)
Pa Ahmad Fitriana Pa Ihik (Pegawai kantor Desa Ciburial) (sesepuhKP.Sekejolang)
25
Lampiran 3 Ukuran klasifikasi kesejahteraan warga Kampung Sekejolang No.
Ukuran
Beunghar/Kaya
Lumayan/Pas-Pasan
Melarat/Sangsara/ Miskin
1.
Rumah
2.
Kendaraan
3.
Pekerjaan
Permanen/Tembok/ Milik Sendiri Punya mobil dan atau motor lebih dari 1 Bos sayur/Juragan/Dunungan/Ban dar
Bilik Kayu/Kecil /Tanah Numpang Tidak punya motor/jalan kaki Kuli bangunan Kerjaserabutan/tida k tentu
4.
Penghasilan
Sederhana/Semi Permanen/Bestong Punya motor satu tapi kredit/nganjuk Petanikecil/penggarap pedagang warung/ kecil/buruh kasar/ tukang ojek 500.000 s/d1.000.000
5.
Pakaian
6.
Pendidikan
Diatas 5 juta Bajunya bagus,belinya di mall/outlet/distro.
8.
D3/S1(Perguruan Tinggi/Universitas) Tanah/Kebun Tanahnya luas diatas 1 Hektar Kesehatan Berobat ke dokter/RSUD
9.
Ternak
Memiliki sapi lebih dari 3
10.
Hutang
Kredit di bank
11. 12.
Kepemilikan Elektronik HP/Laptop
13.
Listrik
TV besar, TV lebih dari 1, kulkas 2 pintu, mesin cuci Punya laptop dan semua anggota keluarga punya HP 900 watt keatas
14.
MCK
7.
Closet duduk/jumlahnya lebih dari 1
Lumayan bagus, belinya di Pasar Lembang
SMP/SMA Tanahnya 5 atau 10 tumbak Puskesmas
300.000 s/d 500.000 Layak pakai, belinya di Cimall Kredit harian/ mingguan ke penjual baju keliling SD tidak tamat Tidak punya tanah
Babadotan/obat warung Maro hasil Ayam minimal dua ekor Bank keliling / rentenir Hutang ke warung / ngebon buat makan TV 14 inch 1 buah Tidak punya TV Radio Dispenser Radio kecil HP murah,tidak punya Tidak punya HP laptop dan laptop 450 watt Numpang ke tetangga WCbiasa/closet WC umum/WC jongkok/jumlahnya 1 sederhana
Lampiran 4 Daftar warga Dusun Sekejolang menurut tingkat kekayaan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
KAYA/BEUNGHAR Mamat RT 02 Kokom RT 02 Engkus RT 02 Engkos RT 02 Fendi RT 02 Ita RT 01 Encep Dadang RT 01 Apep Dedi RT 02 Uju RT 01
LUMAYAN/BIASA SAJA 1. pak aep rt 01 2. pak dana rt 01 3. pak dedi rt 01 4. pak ujang rt 01 5. pak aang rt 01 6. pak manjur rt o1 7. pak engka rt 01 8. pak deden rt 01 9. ibu tati rt 01
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
MISKIN / SANGSARA ibu ratni rt 02 bapak endang rt 03 bapak lala rt 03 bapak ucu rt 03 bapak oom rt 02 ibu nar rt 03 ibu esi rt 03 bapak karma rt 03 ibu jua rt 03
26 10. 11.
Opik Enah RT 01 Ohim RT 03
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
pak ade. n rt 01 pak aped rt 01 pak pupung rt 01 pak pandi rt 01 pak oyok rt 01 pak rohyani rt 01 pak yayan rt 01 pak yoyon rt 01 pak ana rt 01 pak didi rt 01 pak enden rt 01 pak topik rt 01 pak warya rt 01 pak wawan rt 01 pak rohmat rt 01 pak deden s. rt 01 pak rohana b. rt 01 pak ade rt 01
10. 11. 12. 13. 14. 15.
bapak ita rt 03 ibu ena rt 02 ibu ade/malini rt 03 ibu aah rt 01 bapak aceng rt 01 ma anah rt 02
27
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Bandung pada tanggal 23 Februari 1992, putra ke tiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Redi Hariyono dan Ibu Endah Herliawaty Penulis menggenggam bangku pendidikan Taman Kanak-kanak di R.A AN-NUR melanjutkan pendidikan dasar di SDN 10 Cimahi, pendidikan sekolah menengah pertama di MTs Pasundan Cimahi, pendidikan sekolah menengah atas di SMAN 6 Cimahi. Tahun 2010 penulis mengikuti Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar sebagai mahasiswa Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif mengikuti organisasi dan kepanitiaan di IPB. Penulis menjadi anggota FMSC(Forest Managemant Student Club) Divisi Kebijakan 2011, PC Sylva Indonesia Divisi pengkaderan dan penguatan organisasi, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) pada bidang Budaya, Olahraga dan Seni pada periode 2011-2012. Penulis juga mengikuti kepanitiaan acara kemahasiswaan sebagai wakil ketua panitia Forester Cup. Selain aktif dalam bidang kepanitian dan organisasi, penulis juga mengikuti berpengalaman kerja dalam kegiatan Agroforestry dalam hal pengukuran dan Risalah lapangan, 1 tahun kontrak kerja Monitoring dan Evaluasi Tanaman Crash Program Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten periode 2015.