V.
A.
KESIMPULAN DAN SARAN
Rangkuman (Sintesa) Temuan Kelembagaan KIBARHUT dicirikan kesediaan principal mendelegasikan
kemampuan investasi membangun hutan kepada agents untuk memproduksi kayu sebagai komoditas yang ditransaksikan, dengan didukung pengetahuan dan pemahaman agents terhadap jaminan pasar dari principal. Kelembagaan KIBARHUT dilaksanakan dengan suatu surat perjanjian kerjasama (kontrak) yang hanya memiliki fungsi ekonomis atau kontrak non-formal (Tipe 1), dan dengan kontrak yang memiliki fungsi ekonomis dan yuridis atau kontrak formal (Tipe 2 dan Tipe 3). KIBARHUT dibangun dengan memanfaatkan lahan milik (Tipe 1 dan Tipe 2) dan bukan lahan milik/lahan negara (Tipe 3). KIBARHUT dengan memanfaatkan lahan milik memberikan kepastian pemilikan hasil panen atau bagi hasil kayu bagi agents yang lebih tinggi (berkisar 50 – 100%) dibandingkan agents yang menggarap bukan lahan milik (0 – 20%). Agents pada KIBARHUT di lahan milik juga mempunyai hak penggunaan dan kekuasaan (kewenangan) dalam pemasaran kayu KIBARHUT yang lebih tinggi dibandingkan agents pada kontrak di bukan lahan milik. Implikasinya, adalah bahwa hak kepemilikan (property rights) asset produksi (khususnya lahan) memberikan hak (kewenangan) penggunaan hasil panen dan kekuasaan dalam pemanfaatannya. Perbedaan kewenangan pemasaran berdampak juga terhadap struktur pasar dan saluran pemasaran kayu pada KIBARHUT di lahan milik dan di lahan negara. Pada lahan milik terdapat lebih dari satu saluran pemasaran dari agents sampai ke principal/INPAK. Pada KIBARHUT di lahan negara hanya ada satu saluran pemasaran yaitu dari mitra antara ke principal, sehingga struktur pasar secara klasik dapat dinyatakan tidak kompetitif dan mengarah ke transaksi inter-firm (atau terintegrasi vertikal). Pada sisi lain, Kelembagaan KIBARHUT dengan kontrak formal ternyata telah menjamin alokasi komoditas hasilnya secara mudah dan efisien serta dapat memperbesar keuntungan agents, sehingga dapat dengan mudah dipindahtangankan (easily transferable), diperjualbelikan (easily tradable), dan di-internalisasikan
174
diantara para pelakunya. Menurut Ostrom (2005), kelembagaan yang demikian telah mampu menciptakan dan memberikan jaminan pasar yang kompetitif. Jaminan pasar merupakan kewajiban principal sebagai bentuk pemenuhan hak agents, yang diperlukan untuk mendukung keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT. Jaminan pasar tersebut dalam bentuk (i) mengoperasikan log supplier yang bekerjasama dengan sawmill afiliasi di sekitar lokasi tegakan; (ii) adanya lembaga pemasaran (koperasi) yang mempunyai akses langsung ke INPAK (principal); (iii) pemberian fasilitas kredit tunda tebang; dan (iv) pembelian kayu dengan harga pasar dan pemberian bonus/insentif berupa tambahan harga (premium price). Pada kontrak non-formal tidak ditemukan adanya aturan yang mengatur sanksi sehingga resiko terpapar (hukuman karena ingkar janji atau berperilaku oportunis) adalah rendah, tidak efektifnya pengawasan dan tidak efektifnya jalinan komunikasi. Hasil temuan juga menunjukkan perilaku oportunis agents (76,7%) dan oportunis principal (skor 3) pada KIBARHUT dengan kontrak non-formal terindikasi lebih tinggi dibandingkan pada kontrak formal (oportunis agents berkisar 13,3 – 40% dan oportunis principal dengan skor 1). Tingginya indikasi perilaku oportunis berdampak pada sulitnya penegakan kontrak dan tidak adanya umpan balik (aksi balasan) memadai yang diterima para pelakunya. Penegakan hak dan upaya meminimalkan resiko ingkar janji (moral hazard) sekaligus membatasi pemanfaatan kayu oleh pelaku lain, yaitu dengan mengalokasikan biaya kemitraan atau agency costs (diasumsikan sebagai kenaikan 5% biaya input produksi) ternyata menjadikan kelembagaan KIBARHUT adalah tidak layak bagi principal di kontrak non-formal. Temuan menunjukkan bahwa penegakan hak dan peluang keberlanjutan pada kontrak nonformal adalah terkendala dan sulit terwujud karena tingginya perilaku oportunis yang dilakukan para pelaku KIBARHUT (principal dan agents). KIBARHUT dengan kontrak formal di lahan negara (Tipe 3) mempunyai kejelasan hukum atas kontrak, tetapi rendahnya strata hak kepemilikan agents (tidak ada jaminan kepastian pemanfaatan lahan karena adanya sanksi pencabutan hak garap di Sukaraja dan Krucil, dan tidak adanya bagi hasil kayu bagi agents di Krucil) menyebabkan tetap adanya (permasalahan) dorongan untuk berperilaku oportunis atau ingkar janji (moral hazard). Perilaku oportunis agents dengan tujuan memperpanjang waktu (akses) budidaya tanaman semusim/tumpangsari, sekaligus mempertahankan
175
hak garap lahan. Tidak diperolehnya bagi hasil kayu berdampak pada perilaku oportunis agents di Tipe 3 Krucil yang terindikasi lebih tinggi (33%) dan kinerja kelayakan usaha lebih rendah (B/C ratio = 1,25 dan IRR = 35%) dibandingkan Tipe 3 Sukaraja (indikasi oportunis 20%, B/C ratio = 1,98 dan IRR = 36%). Kelembagaan KIBARHUT juga mempunyai permasalahan adverse selection (kesalahan memilih mitra atau para pelaku yang terlibat). KIBARHUT pada kontrak non-formal tidak menjalankan proses perolehan kontrak yang disepakati sehingga agents pada kontrak non-formal tidak hanya warga yang mendaftar, tetapi juga yang tidak terdaftar sebagai agents. Pada sisi lain, kegagalan hubungan kemitraan dengan mediasi Keltan Desa (selaku mitra antara yang dibentuk hanya sebagai pemenuhan syarat kemitraan) pada kontrak non-formal, menunjukkan bahwa hubungan yang mendadak dilakukan (instant) di antara para pelakunya dan pemilihan mitra antara yang sudah banyak berkiprah di berbagai sektor pembangunan sedapat mungkin harus dihindari. Adanya kesalahan memilih mitra di kontrak non-formal terjadi karena tidak ada penegakan dalam proses perolehan kontrak (contracting process) yang dapat membatasi atau menentukan keikutsertaan pelaku dalam kelembagaan KIBARHUT, sehingga manfaat yang diharapkan mempunyai kendala untuk dapat diwujudkan. Temuan penelitian juga menunjukkan relatif sempitnya luasan lahan (± 0,2 ha per petani) yang dimanfaatkan untuk membangun hutan KIBARHUT dan tingkat pendidikan agents yang rendah, sehingga
keterlibatan mitra antara (tokoh/elite
warga) dan tenaga lokal adalah diperlukan untuk kelancaran dan menjembatani hubungan agents dan principal. Keterlibatan mitra antara ditunjukkan dengan mayoritas (95,6%) kelembagaan KIBARHUT adalah hubungan kontraktual 2 tingkat. Mitra antara berperan dalam membina hubungan kemitraan, memotivasi agents, menyampaikan informasi dan menjalin komunikasi, serta berperan sebagai pengawas guna mencermati komitmen para pelaku dalam mematuhi kontrak. Keterlibatan mitra antara juga menghasilkan kelayakan finansial lebih baik bagi principal di Tipe 2 Krucil, yang ditunjukkan dengan nilai IRR (1,14) dan B/C ratio (18%) lebih tinggi dibandingkan hubungan 1 tingkat atau tanpa keterlibatan dan peran mitra antara (IRR = 1,07 dan B/C ratio = 17%). Pada hubungan 2 tingkat tersebut sebagian kegiatan (biaya) kelembagaan KIBARHUT dilakukan mitra antara, sehingga beban principal menjadi berkurang. Keberhasilan hubungan kemitraan pada
176
kontrak formal juga didukung adanya keterlibatan pelaku yang merupakan tokoh (ellite) warga sekaligus yang mempunyai pengaruh dan disegani agents, dan petugas teknis yang secara rutin dan berkala mengunjungi agents. Principal juga mendapatkan manfaat positif sebagai imbalan terhadap korbanan (biaya) yang dikeluarkan. Hasil analisis finansial menunjukkan kelayakan finansial untuk masing-masing pelaku, termasuk bagi principal (B/C ratio berkisar 1,02 – 2,90 dan IRR berkisar 16 – 47%). Hasil PAM menunjukkan adanya surplus konsumen sebesar 42,3% yang dinikmati konsumen kayu (tanaman) hasil KIBARHUT. Adanya surplus konsumen yang dinikmati principal tersebut sebagian diantaranya dikembalikan ke agents dalam bentuk pemberian bonus (harga tambahan), atau premium price sebesar rata-rata Rp 10.000 per m³ dan fasilitas kredit tunda tebang dengan subsidi pembiayaan dari principal. Hasil PAM juga menunjukkan bahwa belum ada kebijakan (policy transfer) yang memberikan insentif bagi pembangunan hutan KIBARHUT. Hasil ini ditunjukkan dengan nilai NPCO < 1 sehingga harga output (kayu tanaman) di pasar domestik masih lebih rendah dibandingkan harga dunianya. Terdapat perbedaan (disparitas) antara harga dunia sebesar 35,8% dibandingkan harga pasar domestik, atau terdapat disparitas sekitar 25,5% antara harga pasar domestik dibandingkan harga paritasnya di pintu pabrik. Adanya selisih harga tersebut secara sederhana dianggap memadai untuk membiayai berbagai biaya-biaya terkait ekspor kayu bundar (KB) hasil tanaman. Jika pemerintah membuka keran ekspor secara ekstrim (tanpa pengenaan tarif bea keluar), maka akan terjadi lonjakan ekspor KB sehingga terdapat kemungkinan kekurangan pasokan bahan baku INPAK di dalam negeri. Kebijakan alternatifnya adalah membuka keran ekspor kayu tanaman dengan menerapkan pajak/tarif bea keluar sebesar minimal 12,75% pada harga patokan eskpor sekitar US$ 109. Jika harga patokan ditetapkan lebih rendah dari US$109, maka tarif bea keluar dapat dikenakan lebih tinggi dari 12,75% dan sebaliknya. Pengenaan tarif bea keluar adalah untuk menghambat kenaikan harga yang terlampau tinggi dan menstabilkan pasokan INPAK di dalam negeri sekaligus peningkatan pendapatan negara. Kebijakan
guna
mendukung
terwujudnya
keberlanjutan
kelembagaan
KIBARHUT adalah kebijakan yang memfasilitasi dan mengapresiasi. Kebijakan yang memfasilitasi terlaksananya pembiayaan kredit tunda tebang dengan subsidi
177
pembiayaan oleh INPAK dapat menjadi alternatif kebijakan pemerintah dalam rangka pembangunan hutan tanaman. Simulasi analisis menggunakan tingkat pembiayaan lebih rendah dari pembiayaan pasar (yaitu sebesar 6% mulai tahun ke–4), telah secara nyata meningkatkan nilai keuntungan privat (private profit) pengelola hutan. Nilai PCR dengan adanya kredit tunda tebang adalah lebih kecil (0,538) dibandingkan tanpa fasilitas kredit (0,701), sehingga meningkatkan keunggulan kompetitif atau memiliki tingkat efisiensi lebih baik dibandingkan tanpa adanya kredit tunda tebang. Nilai PC juga meningkat dari rata-rata 0,577 menjadi 1,324 menunjukkan bahwa kebijakan subsidi bunga pada kredit tunda tebang merupakan kebijakan yang efisien, dan membuat keuntungan diterima petani menjadi lebih besar dibandingkan tanpa adanya kebijakan tersebut. Sintesa hasil temuan–temuan tersebut adalah bahwa tingginya strata hak kepemilikan (property rights) yang melekat pada pelaku ternyata belum memberikan jaminan penegakan kontrak dan keberlanjutan hubungan kemitraan, jika tidak diimbangi kejelasan (tingginya kepastian) hukum atas kontrak, termasuk adanya aturan yang mengatur sanksi guna meminimalkan dorongan pelaku melanggar kepakatan (kontrak), atau berperilaku oportunis yang dapat menganggu keberlanjutan hubungan. Dengan demikian, hubungan kemitraan seharusnya diikat dan diwujudkan dalam suatu kontrak yang memiliki jaminan kepastian hukum dan strata hak kepemilikan yang tinggi. Selanjutnya, kepuasan terhadap bagi hasil (contract share) terwujud jika ada keseimbangan secara proporsional antara manfaat (hak) yang diterima dengan biaya (kewajiban) yang dikeluarkan. Kepuasan terhadap bagi hasil menjadi dasar kesediaan para pelaku untuk terus bersedia bekerjasama, sehingga terjadi keberlanjutan atau interaksi yang berulang (repeated games) dengan didasarkan pada saling percaya yang diperoleh dari pengalaman dan pertemanan yang sudah dan akan terus berlangsung. B.
Kesimpulan
1.
Kelembagaan KIBARHUT mempunyai perbedaan status hukum kontrak (formal atau non-formal) dan status pemilikan lahan (milik atau bukan milik). Pada KIBARHUT dengan kontrak non-formal ditemukan adanya ketidakjelasan hak dan kewajiban, termasuk tidak tersedia atau tidak lengkapnya aturan yang mengatur sanksi menjadikan tingginya kemungkinan para pelaku bertindak
178
oportunis atau ingkar janji, sehingga penegakan kontrak sebagai upaya menjaga kepatuhan, keteraturan dan keberlanjutan hubungan adalah terkendala dan sulit terwujud. Pada KIBARHUT di bukan lahan milik, rendahnya kejelasan dan kepastian
hak
ketidakpatuhan
pemanfaatan dan
perilaku
(penggunaan) oportunis
lahan guna
mengandung
resiko
memperpanjang
hak
pemanfaatan/penggunaan lahan. 2.
Kinerja kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa terbukti efisien dalam alokasi sumberdaya (input produksi) dan layak secara finansial bagi masing-masing pelaku yang terlibat. Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa juga memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Hasil analisis menunjukkan adanya manfaat (insentif positif) yang dinikmati para pelaku dibandingkan korbanan (biaya) masing-masing yang telah dikeluarkan.
3.
Pemasaran kayu KIBARHUT di lahan milik mempunyai lebih dari satu saluran pemasaran dari agents sampai ke principal. Pemasaran dilakukan dengan tidak mengganggu saluran pemasaran kayu yang sudah ada dan bekerja di lapangan, tetapi dengan memberikan alternatif dan jaminan pemasaran yang dapat memperbesar keuntungan agents. Pada KIBARHUT di lahan negara hanya ada satu saluran yaitu dari mitra antara ke principal. Implikasinya adalah kepemilikan terhadap sumberdaya memberikan hak (kewenangan) terhadap komoditas yang ditransaksikan dalam proses pertukaran (pemasaran kayu).
4.
Adanya hak kepemilikan (property rights) yang melekat pada para pelaku kelembagaan KIBARHUT belum memberikan jaminan penegakan kontrak dan keberlanjutan hubungan kemitraan, jika tidak diimbangi kejelasan hukum atas kontrak tersebut. Dengan demikian, hubungan kemitraan dapat berlangsung secara berkelanjutan jika diikat dan ditegakkan dalam suatu kontrak yang memiliki jaminan kepastian hukum dan memiliki strata hak kepemilikan yang tinggi. Keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT juga diwujudkan dengan adanya: a. b.
pendampingan dari tokoh warga dalam membina hubungan kemitraan dan memotivasi agents, menyampaikan informasi dan menjalin komunikasi, peran aktif mitra antara di lapangan dan adanya petugas lapangan (mitra antara dan principal) yang berada dan tinggal di sekitar lokasi, sehingga dapat teratur dan terus menerus menjalin komunikasi dengan agents,
179
c. d. e.
kredit tunda tebang dengan subsidi pembiayaan adalah insentif untuk agents yang disalurkan pada saat tanaman mulai mempunyai nilai jual, pemberian bonus/insentif untuk agents berupa tambahan harga (premium price) kayu hasil KIBARHUT, alokasi biaya guna pemantauan, pengamanan dan koordinasi (agency costs).
C.
Saran
1.
Penegakan proses perolehan kontrak (contracting process) diperlukan untuk dapat membatasi atau menentukan keikutsertaan para pelaku sehingga manfaat yang diharapkan dapat terwujud dan menjadi kenyataan.
2.
Hubungan kemitraan diformulasikan dalam suatu kontrak yang mengatur hak dan kewajiban, dan dapat ditegakkan (enforceable contract) serta disepakati secara sukarela oleh para pelakunya. Formulasi kontrak melalui kesepakatan formal yang dikombinasikan dengan kesepakatan non formal.
3.
Kepuasan terhadap bagi hasil terwujud jika dilakukan secara proporsional berdasarkan kontribusi (kewajiban) dan manfaat (hak) sehingga menjadi dasar kesediaan para pelaku untuk terus bersedia bekerjasama atau terjadi interaksi yang berulang (repeated games).
4.
Kelembagaan KIBARHUT adalah kegiatan yang mampu dilaksanakan rakyat, tetapi pemerintah perlu ikut terlibat melalui kebijakan yang memfasilitasi dan memberikan insentif. Kebijakan ekspor kayu tanaman merupakan insentif untuk membuka peluang pasar kayu tanaman yang lebih kompetitif sekaligus menyetarakan harga domestik dengan harga paritasnya sehingga pendapatan petani meningkat. Kebijakan pemerintah juga dilakukan guna memfasilitasi INPAK dalam membiayai kredit tunda tebang dengan subsidi pembiayaan ke petani. Pelaksanaan kredit tunda tebang juga dapat menjadi alternatif kebijakan untuk pembiayaan pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman.
D.
Saran untuk Penelitian Lanjutan Beberapa substansi yang masih memerlukan penelitian lanjutan adalah sebagai
berikut: 1.
Penelitian mengenai kelembagaan KIBARHUT perlu dilakukan secara lebih lengkap pada lokasi-lokasi lain di Indonesia, khususnya di luar Pulau Jawa, dan
180
kemudian mengintegrasikan atau mensintesiskan keunikan, kekhasan hasil dan kesimpulan-kesimpulan yang diperolah dari berbagai kasus kelembagaan KIBARHUT di Indonesia, sehingga dapat memberikan gambaran yang komprehensif tentang kelembagaan kemitraan dalam rangka pembangunan hutan dan peluang keberlanjutannya. 2.
Analisis tentang perubahan perilaku para pelaku, khususnya petani, dengan adanya kelembagaan KIBARHUT perlu dilakukan sehingga dapat memberikan gambaran tentang tingkat adopsi/kesediaan petani melaksanakan KIBARHUT dengan adanya keterlibatan pihak lain (INPAK dan mitra antara) dalam pembangunan dan pengelolaan hutan.
3.
Analisis tentang aspek lingkungan (ekologi) perlu dilakukan, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang dampak dan manfaat yang diterima oleh para pelaku kelembagaan KIBARHUT baik secara finansial, ekonomis/sosial, maupun lingkungan.
4.
Merumuskan kebijakan dan strategi pembangunan hutan, termasuk kajian mengenai pemberian insentif/subsidi oleh pemerintah yang lebih berorientasi ke output (produk) pembangunan hutan, sehingga dapat mendorong pelaksanaan dan keberlanjutan kemitraan antara INPAK dan rakyat.