eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2015, 3 (3): 547-558 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2015
UPAYA UNI EROPA DALAM MENANGANI PENGUNGSI DARI NEGARA-NEGARA MEDITERANIA SELATAN DI KAWASAN EROPA Ani Kartika Sari1 Abstrak This study aimed to describe the EU's efforts in addressing the issue of refugees from Southern Mediterranean countries. This type of research is descriptive eksplanatif describe EU efforts in tackling permasalaan refugees from Southern Mediterranean countries. The data presented is secondary data obtained through review of the literature and literature such as books, the Internet, and others. The analysis technique used is the technique of qualitative analysis. The results showed that since the Arab Spring, many refugees coming to Europe, especially the European countries close to the coast such as Italy and Greece. The EU as a parent European governments sought to overcome these problems. EU efforts were made to solve the refugee problem by forming EASO, to deal with refugees in the European region. ENP policy is issued to help the Southern Mediterranean countries to accelerate the process of democracy. As well as efforts to restore refugee repatriation Kata Kunci: EU, Southern Mediterranean Refugees, Repatriation. Pendahuluan Memasuki tahun 2010, kawasan Mediterania Selatan mengalami krisis politik. Negara-negara Mediterania Selatan merupakan negara-negara yang berbatasan langsung dengan laut Mediterania, dan secara geografis terletak di Afrika Utara seperti Libya, Tunisia dan kawasan Timur Tengah seperti Mesir, dan Suriah (Asgar Bixby 1993: xi-xiii). Konflik di kawasan Mediterania Selatan bermula dari konflik internal yang terjadi di Tunisia. Masyarakat Tunisia menginginkan kebebasan dan kemakmuran ekonomi, selain itu juga ingin merobohkan sistem pemerintahan otoriter yang sudah dijalankan selama 23 tahun oleh pemerintahan Ben Ali. Konflik inilah yang menjadi titik awal dari konflik yang terjadi negara-negara Mediterania Selatan seperti Mesir, Libya, Suriah, dan Tunisia yang juga menginginkan sistem pemerintah yang lebih baik ( http://www.euinside.eu/en/subjects/the-uprisings-in-the-south-eastmediterranean352013). Gelombang demokratisasi yang terjadi di wilayah
1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 3, 2015: 547 - 558
Mediterania Selatan sejak 2010, menyebabkan arus pengungsi dari Mediterania Selatan ke kawasan Eropa. Uni Eropa (UE) menjadi wilayah tujuan pengungsi dari Mediternia Selatan dikarenakan beberapa hal. Pertama karena kedekatan geografis. Kedua wilayah tersebut hanya dibatasi oleh laut Mediterania, sehingga hanya menggunakan kapal para pengungsi Mediterania Selatan dapat mencapai kawasan Eropa. Selain alasan geografis, perekonomian yang baik, juga menjadi alasan UE dipilih sebagai tempat tujuan para pengungsi. Italia, Yunani, dan Malta, merupakan negara dekat pantai yang mudah dicapai, sehingga menjadi pintu masuk bagi pengungsi untuk menuju negara kaya di Eropa seperti Jerman, Inggris, dan Prancis. Berdasarkan data Frontex berikut jalur yang dilalui para pengungsi untuk memasuki wilayah Uni Eropa: Sebagian besar pengungsi Suriah menggunakan transportasi darat seperti bus dan mobil untuk mencapai Yunani melalui Turki. Setelah mencapai Eropa / Yunani pengungsi Suriah melanjutkan ke negara Swedia dan Jerman. Pengungsi Mesir, memilih melalui jalur laut, dengan mengunakan kapal -kapal kecil mereka menyeberangi laut Mediterania menuju Yunani. Setelah mencapai Eropa / Yunani pengungsi Mesir melanjutkan ke negara Prancis dan Inggris. Pengungsi Libya dan Tunisia, mengunakan jalur laut untuk mencapai Italia. Menggunakan kapal para pengungsi mengarungi Laut Mediterania sehingga mencapai pulau Lampedusa dan melanjutkan ke Prancis. Kedatangan para pengungsi Mediterania Selatan Di Uni Eropa mendapatkan bermacam-macam tanggapan dari negara-negara Uni Eropa. Uni Eropa terdiri dari 28 negara tersebut memiliki peraturan pengungsi yang berbeda (Jurnal Europe Coucil 2003:434). Sehingga perlakuan dan cara penerimaan para pengungsi di setiap negara Uni Eropa itupun berbeda. Kedatangan pengungsi ini berdampak negatif bagi negara-negara UE yang dituju oleh para pengungsi. Terutama negara-negara Uni Eropa yang berada di kawasan pantai yang lebih mudah dicapai pengungsi, jelas lebih banyak pengungsi yang datang dibandingkan dengan negara-negara Uni Eropa yang lain. Dampak pengungsi terhadap negara-negara Uni Eropa mencakup hampir semua bidang seperti, ekonomi, sosial dan Politik. Dampak secara ekonomi contohnya terjadi di Yunani, negara yang berjuluk negara para dewa itu, berbatasan langsung dengan laut Mediterania. Yunani harus menanggung beban atas adanya para pengungsi di negaranya. Pemerintah Yunani tampaknya tidak mampu memenuhi kebutuhan para pengungsi yang paling mendasar, seperti tempat tinggal, makanan dan minuman serta perlindungan, karena pada tahun 2011 Yunani dalam keadaan krisis. Berdasarkan Perjanjian Dublin II negara yang menjadi tujuan pengungsi bertanggung jawab atas proses suaka (http://www.dw.de/upaya-uni-eropa-untuk-batasi-pengungsi/a-15800278).
548
Upaya Uni Eropa Menangani Pengungsi Negara Mediterania Selatan (Ani Kartika S)
Dampak politik atas adanya pengungsi terjadi di Italia. Dimana Italia yang mendapatkan dampak langsung pengungsi terutama pengungsi dari Libya, mengeluarkan kebijakan dengan membiarkan para pengungsi untuk memasuki wilayah Uni Eropa. Bahkan pemerintah Italia memberikan visa Schengen kepada para pengungsi. Sehingga menimbulkan masalah baru bagi negaranegara anggota UE yang lain (http://www.dw.de/masalah-pengungsi-picusengketa-di-uni-eropa/a-14980374). Negara-negara besar seperti Prancis, Jerman dan Inggris sangat menentang kebijakan yang diambil pemerintah Italia. Karena ketiga negara tersebut merupakan tujuan yang paling banyak didatangi oleh para pengungsi karena negara tersebut merupakan negara kaya di Uni Eropa. Adanya permasalahan tersebut Uni Eropa selaku organisasi tertinggi Eropa melakukan beberapa upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut. Seperti kasus pengungsi di Yunani, Uni Eropa membentuk badan urusan suaka yang disebut EASO (European Asylum Support Office) Badan ini membantu negara-negara penerima pengungsi untuk menangani pengungsi secara layak, termasuk pengungsi anak-anak yang tidak memiliki pendamping. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai upaya Uni Eropa dalam menangani pengungsi dari negara-negara Mediterania Selatan di kawasan Eropa. Kerangka Dasar Teori Regionalisme Region/kawasan dapat diartikan sebagai sekumpulan negara yang memiliki kedekatan secara geografis. Selain itu juga negara-negara tersebut memiliki kemiripan sosiokultural. Secara politik terdapat kemiripan politik seperti yang tercermin dalam organisasi internasional (Agung Perwita Anak dan Yanyan Mochamad Yani 2006: 106). Regionalisme merujuk pada suatu proses pertumbuhan integrasi kemasyarakatan dalam suatu wilayah. Proses ini bersifat alami di mana negaranegara yang bertetangga dengan sendirinya melakukan serangkaian kerjasama guna memenuhi kebutuhan negara tersebut. Transnational regionalism dalam proses ini menyangkut arus mobilitas orang-orang, perkembangan jejaring (network), sosial yang kompleks dan melalui berbagai saluran di mana ide-ide, sikap politisi dan aliran-aliran pemikiran tersebar dari satu area ke area lain dengan mudah, serta terciptanya suatu masyarakat sipil regional transnasioal ( Nuraeni, Deasy Silva dan Arifin Sudirman 2010:7). Dengan membentuk suatu organisasi regional atau menjadi anggota organisasi regional, negara-negara tersebut telah mengalang bentuk kerjasama intra-regional. Negara-negara tersebut telah melakukan distribusi kekuasaan di antara mereka untuk mencapai tujuan bersama.
549
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 3, 2015: 547 - 558
Integrasi internasional adalah suatu proses pencapaian kondisi supranasional di mana urusan yang semula ditangani pemerintah nasional beralih ke unit-unit politik yang lebih besar. Dengan kata lain integrasi Internasioal merupakan proses dimana aktor-aktor politik nasional dari berbagai negara diminta mengarahkan loyalitas, harapan, dan kegiatan politik mereka ke instansi pusat dan lebih besar, yang lembaga-lembaganya memiliki atau mengambil alih yurisdiksi yang semula berada di tangan negara bangsa (S Nuraeni, Deasy Silva dan Arifin Sudirman 2010: 102). Uni Eropa sebagai induk regionalisme di Eropa, mempunyai kewangan untuk menyelesaikan pemasalah di kawasana Eropa, terutama permasalah negara anggotanya. Permasalahan negara Eropa yang berdampak kepada negara Uni Eropa lainnya, di bahas dan diselasaikan melalui dewan Eropa. Pengungsi yang terjadi di beberapa negara Eropa, bukan hanya menjadi permasalahan bagi negara penerima pengungsi saja, hal ini dikarenakan negaranegara Eropa sudah terintegrasikan, menjadikan permasalah itu menjadi masalah regional. Pengungsi yang memiliki tujuan ke negara kaya seperti Jerman, Inggris dan Prancis, tidak dapat langsung mencapai negara tersebut. Namun para pengungsi harus melewati negara negara perbatasan seperti Italia, Yunani dan Malta untuk mencapai negara kaya tersebut. Kontrol perbatasan untuk memantau arus pengungsi juga perlu dilakukan secara regional, di Uni Eropa kontrol tersebut dilakukan oleh Frontex. Secara regional permasalah pengungsi juga dibahas dalam beberapa agenda Uni Eropa. Uni Eropa yang merupakan bentuk pemeritah di Eropa juga melakukan koordinasi dengan negara-negara Mediterania Selatan untuk menekan arus pengungsi. Pengungsi Interasional dan Repatriasi Pengungsi adalah suatu status yang diakui oleh hukum internasional. Seseorang yang telah diakui sebagai pengungsi akan menerima kewajiban yang ditetapkan serta hak-hak dan perlindungan atas hak-hak yang diakui oleh hukum internasional dan/ hukum nasional. Seorang pengungsi adalah sekaligus seorang pencari suaka, sebelum seseorang diakui statusnya sebagai seorang pengungsi, pertama-tama dia adalah seorang pencari suaka (Hamid Sulaiman 2002: 40). Pengungsi merupakan orang yang berada di luar negara asalnya atau tempat tinggalnya. Mereka mempunyai dasar ketakutan yang sah akan diganggu keselamatannya sebagai akibat dari kesukuannya, keagamaannya, kewarganegaraan, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat politik yang dianutnya. Serta tidak mampu atau tidak ingin memperoleh perlindungan bagi dirinya dari negara asalnya tersebut, ataupun kembali kesana karena kekhawatiran keselamatan dirinya (Wagiman 2012:69-109).
550
Upaya Uni Eropa Menangani Pengungsi Negara Mediterania Selatan (Ani Kartika S)
Merujuk pada konvensi Jenewa tahun 1951 tentang pengungsi, pengungsi (Refugee) merupakan suatu akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi kerena disebabkan oleh kecemasan yang sunguh-sunguh berdasarkan akan persekusi karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan, pada kelompok sosial tertentu atau opini politik, berada diluar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat atau, karena kecemasan tersebut tidak mau memanfaatkan perlindungan negara; atau seseorang yang tidak mempunyai kewarganegaraan berada diluar negara dimana dia sebelumnya biasanya bertempat tinggal, sebagai akibat peristiwa-peristiwa termaksud tidak dapat atau, karena kecemasan tersebut, tidak mau kembali ke negara itu. Jika kodisi suatu negara dianggap sudah kondusif maka dapat dilakukan Repatriasi. Repatriasi yaitu pemulangan pengungsi atau imigran ke negara asal pengungsi oleh negara yang menampung dan menerima pengungsi tersebut. Repatriasi atau pemulangan pengungsi dan imigran terjadi karena adanya rasa khawatir dari negara penerima pengungsi akan masalah keamanan dan ekonomi sebagai dampak adanya pengungsi dan imigran tersebut. Karena dua masalah tersebut sebagai masalah utama dari suatu negara yang saling berkaiatan dengan kehidupan sosial masyarakat. Namun repatriasi akan dilakukan oleh suatu negara dengan melihat kondisi dari negara asal pengungsi secara keamanan, karena hal tersebut berkaitan dengan hak asasi manusia dari pengungsi. Repariasi sukarela mengacu pada 2 hal, pengungsi pulang secara sukarela dan ada pemulihan ikatan antara warga negara dan tanah air. Kembali adalah istilah yang lebih baik untuk situasi yang paling bermasalah karena hanya mencatat fakta pulang. Repatriasi sukarela kebanyakan terjadi di tengah-tengah konflik tanpa peristiwa politik yang menentukan seperti nasional, tanpa perubahan rezim atau kondisi yang awalnya disebakan penerbangan, dengan hanya ketenangan dalam pertempuran atau sekitar pergeseran pihak persaingan. Proses repatriasi dilakukan oleh UNHCR bersama pemerintah negara penerima, serta begara asal pengungsi. Perjanjian tripartit antara negara asal, negara disinggahi dan UNHCR untuk memberikan jaminan formal bagi keselamatan pengungsi yang kembali berdasarkan persyaratan keamanan mutlak bagi pengungsi. Prinsip prinsip perlindungan dan repatriasi sukarela perlu dilakukan karena meraka berada di bawah ancaman besar dan seringkali dilanggar atau diabaikan hak-haknya sebagai manusia. Dalam konvensi 1951 juga dijelaskan mengenai status hukum pengungsi dan mencantumkan ketetuan-ketentuan tentang hak mereka untuk mendapatkan pekerjaan, dan kesejahteraan, mengenai surat keterangan jati diri dan dokumen perjalan mengenai biaya fiskal dan mengenai hak mereka untuk memindahkan asetnya kenegara lain dimana mereka telah diterima dengan tujuan permukiman kembali. (/www.komnasham.go.id)
551
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 3, 2015: 547 - 558
Prinsip tidak memulangkan kembali para pengungsi, juga ditegaskan dalam pasal 3 konvensi PBB yaitu menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan lainnya, yang menyatakan bahwa” tidak satu negarapun pihak boleh mengembalikan ( memulangkan kembali) atau mengektradisi seseorang ke negara lain dimana terdapat alasan kuat untuk mempercanyai bahwa orang tersebut akan berada dalam keadaan berbahaya. Metodologi Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif eksplanatif, yaitu berupaya untuk menggambarkan upaya Uni Eropa dalam mengatasi pengungsi dari negara-negara Mediterania Selatan di kawasan Eropa. Adapun fokus penelitian adalah Upaya Uni Eropa dan Pengungsi Mediterania Selatan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah, tinjauan pustaka ( library research ) dengan mengumpulkan data-data sekunder yang bersumber dari buku-buku, artikel, dan data-data dari internet yang tingkat kapabilitasnya terhadap permasalahan yang dihadapi dan validitasnya dapat dipertanggung jawabkan.Teknik analisis data yang telah digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, yang menjelaskan dan menganalisis data dengan cara menggambarkan hasil penelitian melalui sejumlah data yang berhasil diperlukan penulis, kemudian menyajikan hasil dari penelitian tersebut yaitu Upaya Uni Eropa dalam mengatasi pengungsi dari negara-negara Mediterania Selatan di kawasan Eropa. Pembahasan dan Hasil Penelitian Pengungsi Mediterania Selatan Arab Spring tahun 2010 menimbulkan gelombang pengungsi Mediterania Selatan, gejolak demokrasi terus menyeruak di kawasan Afrika dan Timur Tenggah. Sistem pemerintahan dikawasan tersebut yang cenderung Otoriter memicu demostrasi yang dilakukan oleh warga negaranya. Serta kondisi pemerintahan yang tidak stabil itu pula menimbulkan gejolak dan konflik di dalam negara itu sendiri. Sehingga menyebabkan warga negara di wilayah tersebut mengungsi ke negara lain, untuk mempertahankan diri dan mendapatkan perlidungan. Dikarenakan negara tetangga mereka sudah tidak mampu menampung, maka para pengungsi tersebut memilih untuk mengungsi ke kawasan Eropa. Berbagai cara mereka lakukan untuk mencapai kawasan Eropa. Mulai menggunakan kapal-kapal kecil hingga perjalanan darat menggunakan mobil, guna mendapatkan perlindungan yang lebih layak. Tahun 2010 pengungsi Mediterani Selatan mencapai 7.390 jiwa, di tahun 2011 mengalami peningkatan yaitu berjumlah 32.170 jiwa, di tahun 2012 sedikit mengalami penurunan sehingga jumlah pegungsi berjumlah 18.360,dan
552
Upaya Uni Eropa Menangani Pengungsi Negara Mediterania Selatan (Ani Kartika S)
di tahun 2013 menjadi puncak tertinggi gelombang pengungsi yang masuk ke Eropa sebanyak 34.160 jiwa (ec.europa.eu/eurostat). Italia merupakan tempat masuk para pengungsi Mediterania Selatan ke kawasan Eropa, berdasarkan data Frontex sejak awal gelombang pengungsi pada tahun 2010 dikawasan Eropa, Italia sudah menampung sekiar 10 ribu pengungsi. Pengungsi tersebut sebagian besar berasal dari Tunisia dan Libya. Hampir setiap hari di kepulauan Lampedusa pengungsi terus berdatangan, sehingga Italia tidak mampu menampung para pengungsi tersebut. Untuk mengurangi dan mempercepat proses pendataan pengungsi pemerintah Italia memberikan visa Schengen kepada para pengungsi tersebut. Namun kebijakan pemerintah Italia yang memberikan visa Schengen kepada para pengungsi tersebut mendapat kritikan dari negara Uni Eropa yang lain. Akibatnya masalah pengawasan perbatasan menjadi bahasan para menteri dalam negera- negara Uni Eropa. Sejak Italia memberikan ijin kepada para pengungsi Mediterania Selatan untuk bergerak bebas di kawasan Schengen. Banyak negara yang memperketat keamanan perbatasan di negara mereka, contohnya Jerman dan Prancis, guna mengamankan dan menghindari banyaknya pengungsi yang masuk kedua wilayah negara tersebut mereka mengerahkan petugas bea cukai dan polisi perbatasan untuk melakukan pengawasan perbatasan. Berbeda dengan Italia yang memberikan visa Schengen kepada para pengungsi untuk mengurangi jumlah pengungsi di negaranya. Dalam membendung gelombang pengungsi yang terus masuk kewilayahnya, pemerintah Yunani membangun dinding berduri di wilayah perbatasan. Pemerintah Yunani berusaha untuk menutup perbatasannya tidak hanya dengan cara peningkatan pengawasan perbatasan dan pembangunan pagar berduri, tetapi terkadang juga dengan cara yang lebih keras yaitu dengan cara, mendorong pengungsi untuk kembali ke Turki. Sehingga tindakan yang dilakukan Yunani ini mendapatkan kecaman dari Amnesti Internasional, yang menganggap tindakan pemerintah Yunani telah melanggar Hak Asasi Manusia (Amnesty Internasional 2013). Sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut UE sebagai induk pemerintahan di Eropa melakukan langkah-langkah strategis untuk membantu menangani masalah pengungsi di negara anggotanya. Langkah awal yang dilakukan oleh Uni Eropa yaitu membentuk suatu sistem perlindungan pengungsi yang teritegrasi di seluruh anggota Uni Eropa, hal ini dilakukan supaya permasalahan pengungsi tidak hanya menjadi beban atau permasalahan bagi negara penerima saja namun juga tanggung jawab regional. European Asylum Support Office (EASO) Permasalahan pengungsi dari Mediterania Selatan merupakan masalah Regional Eropa bukan hanya masalah satu, dua negara Eropa saja. Untuk itu Uni Eropa membentuk European Asylum Support Office (EASO), organisasi ini 553
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 3, 2015: 547 - 558
dibentuk untuk melindungi dan menangangi masalah pengungsi di kawasan Eropa. Tidak meratanya jumlah pengungsi di setiap negara Eropa menjadi pekerjaan EASO. EASO bekerjasama dengan negara asal dan negara ketiga untuk merelokasi pengungsi. Hal ini dilakukan supaya pengungsi mendapatkan penanganan yang tepat. Selain itu juga permasalahan finansial negara penerima menjadikan alasan dilakukannya relokasi pengungsi. 1. EASO di Italia Meluapnya jumlah pengungsi Mediterania Selatan di Italia yang berada di kepulauan Lempudusa, membuat camp pengungsi dianggap melebihi kapasitas dan dianggap tidak layak dihuni. Camp di Lempudusa yang harusnya hanya menampung 5.000 pengungsi harus menerima puluhan ribu pengungsi. Dengan demikian EASO bersama dengan pemerintah Italia membuka beberapa camp penampungan baru di berbagai kota di Italia. Lebih dari 10.000 pengungsi di relokasi dari lempudusa ke kota lainnya seperti Lazio(5.568 pengungsi), Sicilia (324 pengungsi), Catania(160 pengungsi), Calabria (1.730 pengungsi), Veneto (565 pengungsi), Lombardia(424 pengungsi), Punglia (513 pengungsi), Marche(1.124 pengungsi), Friuli Venezie Giulia (649 pengungsi). Relokasi yang dilakukan EASO ini bertujuan untuk menyeratakan jumlah pengungsi sehingga para pengungsi dapat penghidupan yang layak. Selama di camp penampungan EASO memberikan palatihan kepada para pengungsi, dan pendampingan hukum. 2. EASO di Yunani Berbeda dengan Italia, bantuan yang diberikan EASO terhadap pemerintah Yunani tersebut bersifat darurat. EASO memberikan dukungan kepada Yunani dalam menangani masalah pengajuan suaka dan pengungsi, kerjasama EASO dengan pemerintah Yunani sudah berjalan sejak April 2011. Berdasarkan data Frontex di tahun 2012 sejumlah pengungsi dari Yunani telah direlokasikan ke beberapa negara Eropa lainnya sepeti Jerman (145 pengungsi), Belanda (545) dan Prancis (130 pengungsi). Namun dilakukannya relokasi pengungsi ke negara Eropa lain tidak mengurangi jumlah pengunsi di Yunani secara signifikan. Hal ini dikarenakan pengungsi dari Mediterania selatan terusmenerus masuk ke kawasan Yunani puncaknya pada tahun 2013 saat puluhan ribu pengungsi Suriah masuk ke kawasan Yunani. European Neighbourhood Policy (ENP). Selain upaya penanganan pengungsi di dalam wilayah Uni Eropa, Uni Eropa juga mengeluarkan kebijakan yang ditujukan langsung untuk negaranegara Mediterania Selatan, agar proses demokrasi tersebut dapat segera terselesaian dan tidak menimbulkan gelombang pengungsi lagi.
554
Upaya Uni Eropa Menangani Pengungsi Negara Mediterania Selatan (Ani Kartika S)
Pada 21 Februari 2010 Dewan Eropa, mengadakan pertemuan untuk membahas permasalah demokratisasi di Mediternia Selatan, menteri menyuarakan dukungan mereka bagi masyarakat Mediterania Selatan dan berjuang untuk perubahan demokratis, keadilan sosial dan pembangunan ekonomi. Pada saat yang sama Dewan mengutuk represi terhadap demonstran anti-pemerintah di Libya dan negara Mediterania Selatan lainnya, menyerukan penghentian segera kekerasan. Para menteri luar negeri juga menyuarakan komitmen mereka untuk dukungan yang lebih efektif bagi negara-negara dari kawasan dalam transisi mereka menuju demokrasi dan menekankan perlunya kerja sama mengenai masalah pengungsi yang masuk ke kawasan Eropa. Upaya yang dilakukan oleh Uni Eropa untuk menangani permasalahan pengungsi di negara-negara Eropa tidak hanya dilakukan di kawasan internal Eropa semata, namun untuk menanggulangi atau mengurangi dampak dari pengungsi Mediterania Selatan, Uni Eropa sebagai lembaga tertinggi di kawasan Eropa mengeluarkan kebijakan European Neighbourhood Policy (ENP). Kebijakan ENP ini dimaksudkan untuk membantu Negara-negara tetangga Uni Eropa untuk mencapai kemakmuran. Langkah-langkah yang menunjukan dukungan Negara Eropa bagi Negara kawasan Mediterania Selatan untuk mengambil jalan transisi dan proses reformasi. Hal tersebut dilakukan oleh Uni Eropa untuk membatasi masukknya pengungsi ke kawasan Eropa setelah adanya peristiwa Arab Spring. Dalam program European Neighbourhood Policy (ENP), tidak hanya memperkuat kerjasama di bidang politik dan ekonomi saja, melainkan juga untuk memberikan dana langsung kepada negara-negara tersebut untuk memperbaiki kondisi negaranya. Program ENP tidak memberikan efek positif terhadap perekonomian negara Mediterania Selatan, koflik yang terus terjadi pasca terjadi Revolusi di Mediterania Selatan memperlambat laju ekonomi mereka. Serta sanksi ekonomi yang dilakukam Amerika terhadap beberapa negara MS menambah lambat laju pertumbuhan ekonomi tersebut. Upaya Repatriasi Pengungsi Karena tidak tercapainya tujuan dari program ENP dan konflik yang terus terjadi konfli di kawasan Mediterania Selatan upaya Repariasi yang direncakan Uni Eropa tidak dapat terlaksanakan. Beberapa negara seperti Tunisia, meski Presiden Ben Ali telah di turunkan dan dilangsungkan pemilihan presiden baru pada Oktober 2011, konflik masih terjadi di Tunisia. Kebahagian warga Tunisia atas pemilihan langsung hanyalah bersifat sementara, konflik masih terus terjadi antara pro pemerintah baru dan anti pemerintah. Selain Tunisia, di Libya pasca digulingkannya presiden Muamar Khadafi pada Oktober 2011, pemeritahan Libya dikuasai oleh NTC ( National Transsitional Council ), kondisi ekonomi 555
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 3, 2015: 547 - 558
dan politik di Libya yang masih sangat lemah. Sehingga konflik konflik sosial masih sering terjadi terutama antara pro Khadafi dan NTC. Sama halnya Tunisia dan Libya, kondisi Mesir Pasca demokratisasi juga masih sering terjadi konflik. Pasca turunya presiden Husni Mubarak rakyat Mesir pengelar permilihan presiden pada 2012, dan akhirnya terpilihlah Muhammad Mursi sebagai presiden baru Mesir. Namun masa pemerintahan Mursi hanya bertahan satu tahun saja. Tepatnya pada Juni 2013 karena alasan ekonomi yang tidak kunjung membaik pasca penggulingan Husni Mubarok, warga melakukan demostrasi besar-besar dan tidak hanya itu militer Mesir juga turun melakukan kudeta terhadap Presiden Mursi. Karena itulah kondisi Mesir masih tidak aman konflik terjadi hampir disetiap kota di Mesir antara Militir dan pendukung pemerintah Mursi. Kondisi Suriah juga masih sama konflik pemerintah dan oposisi masih terjadi, ditambah munculnya kelompok pemberontak ISIS yang sangat meresahkan pemerintah. Akibat konflik tersebut kondisi Suriah masih tidak aman untuk dilakukannya repatriasi. Karena alasan keamanan tersebutlah UE tidak melakukan Repatriasi pengungsi ke negara-negara Mediterania Selatan, sesuai dengan pasal 3 konvensi PBB, yang menyatakan tidak satu negara pun yang boleh melakukan pengembalian pengungsi ke negara asal karena alasan kemanan. Kesimpulan Upaya Uni Eropa sebagai induk pemerintahan Eropa dalam menangani pengungsi Mediterani Selatan di negara-negara anggota tidaklah mudah. Berbagai upaya dilakukan oleh UE diantaranya, upaya Eropa untuk mensetarakan sistem suaka melalui CEAS ( Common European Asylum System ), yang di aplikasikan oleh EASO (European Asylum Support Office). Tidak hanya penanganan di dalam kawasaan Eropa saja, namun untuk mengurangi jumlah pengungsi UE juga menerapkan kebijakan ENP (European Neighbourhood Policy), yaitu memmbatu negara–negara tetangga Uni Eropa termasuk negara-negara Mediterania Selatan untuk mempercepat proses Demokratisasi. Dalam prakteknya upaya-upaya tersebut dianggap belum maksimal. Masalah antar negara anggota menyangkut masalah pengungsi masih sering terjadi. Tidak meratanya jumlah pengungsi disetiap negara anggota UE juga menimbulkan ketegangan antar anggota. Yunani dan Italia merupakan negara dengan jumlah pengungsi terbanyak dibandingkan negara kaya seperti Jerman, Inggris dan Prancis. Tidak hanya permasalahan di dalam kawasan saja, cara penanganan negara-negara Uni Eropa terhadap pengungsi juga mendapat kritikan dari dunia internasional, permasalah seperti kurangnya penampungan yang tidak layak bagi pengungsi sampai kasus meninggalnya pengungsi saat menuju Lempudesu Italia. 556
Upaya Uni Eropa Menangani Pengungsi Negara Mediterania Selatan (Ani Kartika S)
Saran Uni Eropa sudah melakukan upaya untuk membantu negara–negara anggotanya dalam menangani masalah pengungsi Mediterania Selatan. Upaya yang dilakukan Uni Eropa tak sebatas di dalam kawasan Eropa saja namun juga di luar kawasan Eropa terutama negara asal para pengungsi yaitu negara-negara Mediterania Selatan. Untuk memaksimalkan upaya dan kebijakan yang ada, Uni Eropa perlu menerapkan kebijakn tersebut diseluruh anggota, agar tidak terjadi kesalapahaman antar anggota. Kemudian perlu adanya penekanan agar seuruh negara menerima dan melakukan upaya-upaya tersebut, upaya yang dilakukan Uni Eropa tidak akan tercapai jika negara-negara anggota tidak melaksanakan di dalam negaranya. DAFTAR PUSTAKA Amnesty Internasional. 2013. Frontier Europe: Human Rights Abuses Greece’s Border With Turkey. London: Amnesty International Ltd. Bixby Asga. 1993. Timur Tengah di Kancah Dunia. Bandung: PT Sinar Baru Algesindo. Hamid Sulaiman. 2002. Lembaga Suaka dalam Hukum Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Frankel J. 1991. Hubungan Internasional. Jakarta; Bumi Aksara. Holsti KJ. 1988. Politik Iternasional Kerangka untuk Analisis. Jakarta: Erlangga. Morehouse, Cristal and Michael Blomfield. 2011. Irregular Migration In Europe. Washington D.C: Migration Policy institute. Perwita Anak Agung dan Yanyan Mochamad Yani. 2006. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Pronk Jan P. 1994. Pertikaian Merebak Dunia Survei Tentang Batas-Batas Kerja Sama Pembangunan (Terjemahan). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. S Nuraeni, Deasy Silva dan Arifin Sudirman. 2010. Regionalisme dalam Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar. Santoso Imam. 2004. Pespektif Imigrasi Dalam Pembagunan Ekonomi dan Ketahanan Nasional. Jakarta: Universitas Indonesia. 557
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 3, 2015: 547 - 558
Tamburakan Apriadi. 2001. Revolusi Timur Tengah. Jakarta: PT Buku Seru. Wagiman. 2012. Hukum Pengungsi Internasional. Jakarta: PT Sinar Grafika. Internet “The Uprising in the South East Mediterrannean”, http://www.euinside.eu/en/subjects/the-uprisings-in-the-south-eastmediterranean352013, diakses pada tanggal 5 Mei 2013 “Politik Pengungsi Eropa Belum Seragam”, http://www.dw.de/politikpengungsi-eropa-belum-seragam/a-16286760, di unduh 31 Mei 2013 “Upaya Uni Eropa Untuk Membatasi Pengungi”, http://www.dw.de/upaya-unieropa-untuk-batasi-pengungsi/a-15800278, diunduh 15 Mei 2013 “Masalah Pengungsi picu sengketa di Uni Eropa”, http://www.dw.de/masalahpengungsi-picu-sengketa-di-uni-eropa/a-14980374 di unduh 4 Juni 2013 “Uni
Eropa sumbang 30 juta Eoru untuk Pengungsi Eropa”, http://internationl.sindonews.com/red/2013/03/06/41/724696/uni-eropasumbang-30-juta-eoru-untuk-pengungsi-suriah diunduh 5 Mei 2013
“Meningkat Jumlah Pengungsi Suriah yang masuk ke Eropa”, http://international.sindonews.com/read/2013/04/19/41/739749/mening kat-jumlah-pengungsi-suriah-yang-coba-masuk-ke-eropa, di akses pada 26 Februari 2014 Jurnal Jurnal Europe Council 434/2003, Mekanisme Pemberian Suaka
558