5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penyakit Paru Obstruktif Kronis
2.1.1
Definisi Penyakit paru obstuktif kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK ditandai dengan adanya emfisema dan bronkitis kronis. (PDPI, 2003). Sedangkan menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD, 2013), PPOK adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan limitasi aliran udara yang persisten dan progresif, akibat respons inflamasi kronik pada jalan napas dan parenkim paru yang disebabkan gas atau partikel beracun. Eksaserbasi dan komorbid berkontribusi pada beratnya penyakit ini. 2.1.2
Etiologi Banyak hal yang dapat menjadi penyebab penyakit paru obstruktif kronis,
diantaranya yaitu: 1. Merokok Penelitian menyebutkan bahwa kebiasaan merokok merupakan penyebab terbanyak terjadinya PPOK. Kejadian PPOK karena merokok mencapai 90% kasus (Mosenifar, 2013). Merokok sigaret mempengaruhi makrofag untuk melepaskan faktor kemotaktik dan elastase, yang akan menyebabkan kerusakan jaringan. Secara signifikan, PPOK berkembang pada 15% perokok sigaret, walaupun jumlah ini pasti bukan nilai sebenarnya. Usia memulai merokok, jumlah bungkus pertahun, dan status merokok saat ini memprediksi mortalitas.
Universitas Sumatera Utara
6
Sumber: Barnett, 2006 Gambar 2.1 Penurunan FEV1 pada Perokok Orang yang merokok mengalami penurunan FEV1: secara fisiologis normal, penurunan FEV1diperkirakan sekitar 20-30 ml/tahun, tetapi pada pasien PPOK biasanya menurun 60 ml/tahun atau lebih besar. Studi yang dilakukan Nagelmann et al. (2011), menyimpulkan bahwa gangguan fungsi paru dan perubahan struktural paru sudah muncul pada perokok sebelum tanda klinis obstruksi muncul (Mosenifar, 2013). 2. Faktor Lingkungan Menurut Nagelmann et al. (2011) dalam Mosenifar (2013), PPOK juga dapat terjadi pada individu yang tidak pernah merokok. Walaupun peran polusi udara sebagai etiologi PPOK tidak jelas, efeknya lebih kecil bila dibandingkan dengan merokok. Pada negara berkembang, penggunaan bahan bakar biomass serta memasak dan memanaskan dalam ruangan kemungkinan juga menjadi penyumbang terbesar dalam prevalensi PPOK. 3. Hiperesponsif jalan napas Pasien PPOK juga memiliki kecenderungan adanya hiperesponsif jalan napas, seperti pada asma. Tetapi PPOK dan asma benar-benar berbeda. Asma dilihat sebagai fenomena alergi, sedangkan PPOK merupakan hasil dari kerusakan dan
Universitas Sumatera Utara
7
radang karena rokok. Studi longitudinal yang membandingkan kepekaan saluran napas pada awal studi yang kemudian mengalami penurunan fungsi paru telah menunjukkan bahwa peningkatan kepekaan saluran napas secara jelas merupakan prediktor penurunan fungsi paru di waktu mendatang (Reilly, 2010). Tetapi studi ini masih belum jelas. 4. Defisiensi Alfa-1 antitripsin (AAT) Alfa-1-antitripsin merupakan salah satu fraksi protein serum yang dapat dipisahkan melalui elektroforesis dan dapat menetralisir elastase netrofil di interstisium paru sehingga melindungi paru dari penghancuran elastolisis (Mosenifar, 2013). Pada keadaan defisiensi, maka mekanisme perlindungan terhadap
elastolisis
ini
berkurang,
sehingga
bisa
menyebabkan
emfisema.Penelitian Erikson tahun 1963 menyatakan bahwa defisiensi AAT diwariskan secara autosomal-kodominan dan keadaan ini menyebabkan emfisema. Defisensi AAT disebabkan karena mutasi pada gen AAT (Amin, 1996). 5. Sindroma Imunodefisiensi Menurut Lamprecht et al. (2011) dalam Mosenifar (2013), infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan faktor resiko untuk PPOK, bahkan setelah mengontrol variabel pengganggu seperti merokok, obat IV, ras dan usia. Pada pasien defisiensi autoimun dan infeksi Pneumocystis carinii terjadi kerusakan paru yang kortikal dan apikal. 6. Gangguan Jaringan Ikat Cutis laxa adalah gangguan elastin yang digambarkan terutama dengan penuaan prematur. Penyakit ini biasanya kongenital dengan bermacam bentuk penurunan (mis. dominan, resesif). Emfisema prekoks dihubungkan dengan cutis laxa sejak dari periode neonatus atau bayi. Patogenesis penyakit ini karena defek sintesis elastin atau tropoelastin. Sindrom Marfan yaitu penyakit autosomal dominan kolagen tipe I, ditemukan sekitar 10% pasiennya mengalami abnormalitas paru, termasuk emfisema (Mosenifar, 2013).
Universitas Sumatera Utara
8
2.1.3
Patogenesis PPOK dapat terjadi karena berbagai mekanisme patogenesis. Patogenesis
terjadinya PPOK diantaranya adalah: 1. Hipotesis Proteinase-antiproteinase Menurut Laurell dan Eriksson (1963) dalam Vijayan (2013), hipotesis proteinase-antiproteinase didasarkan pada asumsi bahwa kerusakan jaringan dan emfisema terjadi karena ketidakseimbangan proteinase dan inhibitornya. Telah dinyatakan bahwa ada peningkatan kuantitas enzim pendegradasi elastik dibandingkan inhibitornya pada emfisema. Konsep ini diusulkan untuk emfisema yang digambarkan dengan defisienasi AAT. Pasien dengan defisiensi AAT mengalami mutasi pada gen AAT. Mutasi Z adalah mutasi paling umum dan mutasi ini menggangu sekresi protein dari hepatosit. Hasilnya ditandai dengan penuruan level penghambat serin protease di sirkulasi. Dilaporkan bahwa PiZ-α1 AT cenderung mengalami polimerisasi yang dapat menghambat sekresi hepatik, menggangu inhibisi elastase netrofil dan menyebabkan inflamasi (Saphiro dan Ingenito, 2005) . Matrix metalloproteinases (MMP) memiliki kemampuan untuk membelah protein struktural seperti kolagen dan elastin, sehingga berperan dalam patogenesis PPOK. Peningkatan banyak Matrix Metalloprotein dilaporkan pada emfisema karena rokok dan 3 MMP (MMP-2, -9, dan 12) mendegradasi elastin (Huninghake dan Davidson, 1981). Protease lain yang berperan penting dalam patogenesis PPOK adalah cathapsins S, L (dalam makrofag), dan G, serta proteinase-3 (dalamnetrofil) (Saphiro, 2003). 2. Mekanisme Imunologis PPOK berhubungan dengan respon inflamasi paru yang abnormal terhadap partikel atau gas berbahaya, terutama rokok (GOLD, 2011).Menurut Braber et al. (2012) dalam Vijayan (2013), pasien dengan PPOK dilaporkan mengalami peningkatan netrofil di sputum, jaringan paru dan bronchoalveolar lavage (BAL) dan neutrofil berperan penting dalam patogensis PPOK. Level serum
Universitas Sumatera Utara
9
immunoglobulin free light chains (IgLC) meningkat pada PPOK karena rokok. IgLC mengikat netrofil dan cross-linking IgLC pada netrofil menghasilkan peningkatan produksi IL8yang merupakan atraktan selektif untuk netrofil. Menurut Chauhan et al. (1990) dalam Dolina (2013), sel B juga meningkat pada pasien PPOK dan sel ini memproduksi IgCL, selain memproduksi IgG dan IgA. Level serum IgE juga meningkat dan berhubungan dengan merokok. (Singh et al., 2010). 3. Keseimbangan Oksidan-antioksidan Stress oksidatif dapat menggangu vasodilatasi dan pertumbuhan sel endotel (Vijayan, 2013). Ketika oksidan melebihi antioksidan paru; modifikasi protein, lemak, karbohidrat, dan DNA terjadi dan menghasilkan kerusakan jaringan. Oksidan tersebut dapat memodifikasi elastin, sehingga lebih rentan terhadap pembelahan proteolitik. Merokok dapat menginaktivasi histone deacetylase (HDAC2) dan menyebabkan transkripsi kemokin/sitokin netrofil (TNF-α dan IL-8) dan MMP sehingga terjadi degradasi matriks yang mendukung terbentuknya emfisema. 4. Inflamasi Sistemik PPOK juga memiliki manifestasi ekstrapulmomal. Dinyatakan bahwa inflamasi pulmonal persisten dapat menyebabkan pelepasan kemokin dan sitokin proinflamasi ke sirkulasi. Mediator ini dapat menstimulasi liver, jaringan adiposa dan sumsum tulang untuk melepaskan sejumlah leukosit, CRP, interleukin (IL)-6, IL-8, fibrinogen dan TNF-α ke sirkulasi dan menyebabkan inflamasi sistemik (Tkac et al., 2007). Menurut Thomensen et al. (2012) dalam Vijayan (2013) inflamasi sistemik dapat memulai atau memperburuk penyakit komorbid, seperti penyakit jantung iskemik, osteoporosis, anemia normositik, kanker paru, depresi, dll (Vijayan, 2013). 5. Apoptosis Studi terbaru menyatakan bahwa apoptosis terlibat dalam perkembangan PPOK dan telah ditunjukkan adanya peningkatan apoptosis epitel alveolar dan sel endotel di paru pasien PPOK.Karena tidak diimbangi dengan peningkatan
Universitas Sumatera Utara
10
proliferasi protein struktural, maka hal ini akan berakhir dengan kerusakan jaringan paru dan emfisema (Vijayan, 2013). 6. Perbaikan yang Tidak Efektif Ada perbaikan yang tidak efektif pada emfisema dan keterbatasan kemampuan paru dewasa untuk memperbaiki alveolus yang rusak (Vijayan, 2013). 2.1.4
Patofisiologi Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh PPOK merupakan konsekuensi dari
mekanisme patofisiologi PPOK, diantaranya adalah: 1. Pembatasan Aliran udara dan Udara yang Terjebak Inflamasi luas, fibrosis dan eksudat lumen pada saluran pernapasan kecil berhubungan dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC, dan mungkin dengan percepatan penurunan FEV1 (karakteristik PPOK) (Hogg et al., 2004). O’Donnel dan Laneveziana (2007) dalam GOLD (2013) menyatakan bahwa obstruksi saluran napas ini akan menjebak udara saat ekspirasi dan menyebabkan hiperinflasi. Emfisema juga berperan dalam menjebak udara selama ekspirasi. Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi demikian juga kapasitas residual fungsional meningkat, khususnya selama aktivitas, menghasilkan peningkatan dispnea dan keterbatasan kapasitas saat aktivitas. Hiperinflasi berkembang pada tahap awal penyakit dan menjadi mekanisme utama dispnea saat aktivitas. 2. Abnormalitas Pertukaran Gas Menurut Rodriguez-Roisin dan MacNee(1998) dalam ATS-ERS (2004) abnormalitas pertukaran gas menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia. Distribusi abnormal rasio ventilasi-perfusi adalah mekanisme pertukaran gas abnormal pada PPOK. Rodriguez et al. (2009) dalam GOLD (2013), menyatakan bahwa umumnya transfer oksigen dan karbon dioksida memburuk selama perjalanan penyakit. Hal ini menyebabkan retensi karbon dioksida saat dikombinasikan dengan penurunan ventilasi selama kerja pernapasan tinggi karena obstruksi berat dan hiperinflasi bersamaan dengan gangguan dari otot ventilasi.
Universitas Sumatera Utara
11
3. Hipersekresi Mukus Hipersekresi mukus adalah abnormalitas fisiologis pertama pada PPOK. awalnya adalah stimulasi sekresi dari kelenjar mukus yang membesar. Lamakelaman hipersekresi mukus terjadi karena metaplasia epitel skuamosa (ATSERS 2004). Hipersekresi mukus ini menghasilkan batuk produktif yang kronis. Pasien dengan hipersekresi mukus adalah bila terjadi peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran kelenjar submukosa. 4. Hipertensi Pulmonal Terjadi pada kasus PPOK yang sudah lama, biasanya setelah terjadi abnormalitas pertukaran gas. Faktor yang berkontribusi menyebabkan hipertensi pulmonal pada PPOK termasuk vasokonstriksi, disfungsi endotel, dan remodelling arteri pulmonal. Kombinasi ini mungkin suatu saat menyebabkan pembesaran ventrikel jantung kanan (ATS-ERS, 2004). Ada respon inflamasi pada pembuluh darah yang sama dengan yang terjadi pada saluran napas. Emfisema dan hilangnya capillary bed juga berkontribusi terjadinya peningkatan tekanan di sirkulasi pulmonal (GOLD, 2013). 5. Gambaran Sistemik Keterbatasan aliran udara dan khususnya hiperinflasi mempengaruhi fungsi jantung dan pertukaran gas (Barr et al., 2010). Mediator inflamasi ke sirkulasi mungkin berkontribusi pada penurunan massa otot skeletal dan kaheksia, dan mungkin memulai atau memperburuk penyakit komorbid seperti penyakit jantung iskemik, gagal jantung, osteoporosis, anemia normositik, diabetes, sindroma metabolik, dan depresi (GOLD, 2013). Efek sistemik ini berkontribusi
pada
pembatasan
kapasitas aktivitas
pada
pasien dan
memperburuk prognosis, tidak bergantung pada fungsi paru mereka (Postma, dan Boezen, 2006). 2.1.5
Diagnosis
Universitas Sumatera Utara
12
Dalam mendiagnosis PPOK sama seperti mendiagnosis penyakit lain, yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis PPOK harus dipertimbangkan pada pasien yang mengalami dispnea, batuk kronis atau produksi sputum berlebihan, dan riwayat terpajan faktor resiko penyakit. Nilai spirometri dibutuhkan untuk membuat diagnosis dalam konteks klinis. Adanya nilai FEV1/FVC postbronkodilator <0.70 memastikan adanya pembatasan aliran udara yang persisten dan merupakan PPOK (GOLD, 2013). 1. Anamnesis Pada anamnesis ditanyakan beberapa hal untuk melihat adanya riwayat medis pasien yang berhubungan dengan PPOK, yaitu: a. Pajanan terhadap faktor resiko, seperti asap rokok, pajanan di pekerjaan atau lingkungan b. Riwayat medis terdahulu, termasuk asma, alergi, sinusitis, atau polip nasal; infeksi respirasi saat anak-anak dan penyakit pernapasan lainnya c. Riwayat PPOK pada keluarga atau penyakit pernapasan kronis lainnya d. Pola perkembangan gejala: PPOK biasanya berkembang pada usia dewasa dan kebanyakan pasien sadar akan peningkatan kesulitan bernapas dan beberapa keterbatasan sosial beberapa tahun sebelum mencari bantuan pengobatan medis e. Riwayat eksaserbasi atau rawat inap karena penyakit pernapasan terdahulu f. Adanya penyakit komorbid: gangguan jantung, osteoporosis, gangguan muskuloskeletal, dan keganasan yang juga berperan dalam pembatasan aktivitas. g. Dampak penyakit dalam kehidupan pasien, kehilangan pekerjaan dan dampak ekonomi, efek dalam rutinitas keluarga, merasa cemas dan depresi, serta gangguan aktivitas seksual h. Kemungkinan menurunkan faktor resiko, misalnya berhenti merokok Dalam anamnesis juga akan didapatkan gejala dan keluhan-keluhan yang disampaikan pasien tentang penyakitnya. Gejala-gejala pada PPOK diantaranya adalah:
Universitas Sumatera Utara
13
a. Batuk Batuk bisa saja hanya sebentar (pagi awal) awalnya, secara progresif ada terus sepanjang hari, tetapi jarang nokturnal. Batuk kronis biasanya produktif dan sering diabaikan dengan anggapan sebagai konsekuensi dari merokok. Sinkop batuk atau fraktur kosta karena batuk mungkin terjadi (ATS-ERS, 2004) b. Produksi Sputum Sputum mulai terjadi pada pagi hari tetapi lama-kelamaan akan muncul terus sepanjang hari. Sputum bersifat mukoid dan berjumlah sedikit. Produksi sputum ≥3 bulan dalam 2 tahun adalah definisi epidemiologi dari bronkitis kronis. Perubahan warna sputum (purulen) atau volume memberi kesan terjadi eksaserbasi infeksius (ATS-ERS, 2004). Produksi sputum sering sulit dievaluasi karena pasien mungkin lebih memilih menelannya dibandingkan membuangnya. Pasien yang memproduksi sputum dengan jumlah besar mungkin memiliki penyakit bronkiektasis (GOLD, 2013). c. Dispnea Biasanya progresif dan seiring berjalan waktu menjadi persisten. Saat onset, gejala ini terjadi saat aktivitas (naik tangga, mendaki bukit, dll) dan dapat dihindari dengan perubahan perilaku yang tepat (mis. menggunakan elevator). Bagaimanapun, selama penyakit berkembang, dispnea bahkan akan muncul dalam aktivitas ringan atau istirahat (ATS-ERS, 2004). Dispnea menjadi penyebab utama ketidakmampuan dan kecemasan yang dialami pasien berhubungan dengan penyakitnya. d. Mengi dan Dada Sesak Mengi dan dada sesak merupakan gejala tidak spesifik dan mungkin bervariasi setiap hari. Mengi yang dapat terdengar mungkin berasal dari laring. Dada sesak sering diikuti usaha dalam bernapas, berasal dari kontraksi isometrik otot-otot interkostal (GOLD, 2013). e. Gambaran pada Penyakit Berat Lelah, penurunan berat badan dan anoreksia adalah masalah utama pasien dengan PPOK gejala berat dan sangat berat. Sinkop batuk terjadi karena
Universitas Sumatera Utara
14
peningkatan cepat dari tekanan intratorakal selama serangan jangka panjang batuk. Batuk yang parah ini juga bisa menyebabkan fraktur kosta yang biasanya asimptomatis. Tanda-tanda kor-pulmonale juga menunjukkan keadaan penyakit yang buruk. Selain itu, mungkin pasien akan mengalami gejala depresi atau gangguan kecemasan (GOLD, 2013). 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pasien PPOK yang masih dini biasanya tidak menunjukkan kelainan (PDPI, 2003). Seiring dengan perjalanan penyakit, muncullah beberapa tanda dan gejala yang makin lama akan makin khas menjadi gejala PPOK. PPOK memberikan tanda berupa gangguan baik pada sistem pernapasan maupun sistemik. a. Tanda Pernapasan Inspeksi: barrel chest, pursed-lips breathing, gerakan tidak normal dari dada/abdomen dan penggunaan otot-otot pernapasan. Semua ini merupakan tanda pembatasan aliran udara, hiperinflasi dan gangguan mekanis dari bernapas (ATS-ERS, 2004) Palpasi: ditemukan fremitus melemah pada emfisema (PDPI, 2003) Perkusi: penurunan letak diafragma, suara timpani karena hiperinflasi, hati dapat teraba (ATS-ERS, 2004) Auskultasi: suara napas vesikuler normal, atau melemah, terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdengar jauh (PDPI, 2003) b. Tanda Sistemik Distensi vena leher, pembesaran hatidan edema perifer dapat terjadi karena cor pulmonale atau selama inflasi yang parah. Kehilangan massa otot dan
kelemahan otot perifer yang konsisten
dengan malnutrisi dan/atau disfungsi otot skelet. 3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai dalam mendiagnosis PPOK adalah: a. Pemeriksaan darah rutin
Universitas Sumatera Utara
15
Untuk melihat nilai Hb, Ht, leukosit, dll. Peningkatan sel darah merah (eritrositosis), terjadi ketika level oksigen di darah rendah (hipoksemia) dalam waktu yang lama. Sel darah merah membawa oksigen di darah. Karena kerusakan paru, pasien PPOK tidak dapat memperoleh cukup udara. Sehingga reaksi tubuh adalah meningkatkan produksi sel darah merah untuk meningkatkan jumlah oksigen di darah (Husney, 2010) b. Pemeriksaan faal paru dengan spirometri Pemeriksaan faal paru merupakan hal yang esensial untuk diagnosis dan penilaian keparahan penyakit, dan juga membantu memantau progresnya. Nilai yang didapat dari pemeriksaan dengan spirometri adalah FVC, FEV1dan
FEV1 /FVC.Penurunan nilai dari ketiga parameter diatas
menunjukkan adanya gangguan dalam faal paru. Nilai FEV1 yang didapatkan dari hasil spirometri adalah indeks yang paling sering digunakan untuk menilai obstruki aliran udara, menilai beratnya PPOK dan juga untuk memantau perjalanan penyakit. c. Pemeriksaan Radiologi Harus dilakukan pada semua pasien. Pemeriksaan radiologi memang tidak sensitif untuk diagnosis, tetapi membantu dalam menyingkirkan penyakit lain (pneumonia, kanker, efusi pleura, dan pneumotoraks). Umum walaupun tidak spesifik, tanda emfisema adalah diafragma yang mendatar, radiolusensi paru yang ireguler. (ATS-ERS, 2004). Bronkitis kronis berhubungan dengan peningkatan tanda bronkovaskular dan kardiomegali. (Mosenifar, 2013). Dengan komplikasi hipertensi pulmonal, bayangan vaskular hilus menjadi sering, dengan kemungkinan adanya pembersaran ventrikular kanan. d. Analisa Gas Darah Arteri (AGDA) Analisa gas darah arteri memberikan petunjuk tentang keakutan dan keparahan eksaserbasi dari penyakit. Pasien PPOK mengalami hipoksemia ringan sedang tanpa hiperkapnia. Seiring perjalanan penyakit, hipoksemia memburuk dan hiperkapnia mulai berkembang. Mekanisme paru dan pertukaran gas memburuk selama eksaserbasi akut. Umumnya ada
Universitas Sumatera Utara
16
mekanisme kompensasi ginjal yang terjadi bahkan saat CO2 yang kronisbertahan dalam tubuh (bronkitis); sehingga pH biasanya mendekati normal. Biasanya, bila didapati pH dibawah 7,3 dapat menjadi tanda gangguan akut dari sistem pernapasan (Mosenifar, 2013) e. Evaluasi Sputum Pada bronkitis kronis stabil, sputumnya mukoid dan makrofag sangat banyak. Dengan eksaserbasi, sputum menjad purulen karena adanya neutrofil. Peningkatan jumlah sputum merupakan tanda eksaserbasi akut (Mosenifar, 2013). Beberapa organisme yang sering ditemukan dari kultur adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Moraxella catarrhalis juga sering, dan Pseudomonas aeruginosa dapat ditemukan pada pasien dengan obstruksi berat. f. Pemeriksaan Alfa-1 Antitripsin Pasien dengan tingkat AAT rendah, diagnosis definitifnya membutuhkan penentuan tipe Pi. Hal ini dilakukan dengan fokus isoelektris pada serum yang mewakili lokus Pi untuk alel umum dan alel Pi lain yang jarang. Molecular genotyping DNA dapat dilakukan untuk alel Pi yang umum (Reilly, 2010). Tingkat α1-antitripsinharus diperkirakan pada pasien PPOK muda (dekade 4 atau 5) dan memiliki riwayat keluarga yang kuat. Nilai serum α1-antitripsin <15–20% dari batas normal merupakan tanda dari defisiensi α1-antitripsin (ATS-ERS, 2004). 2.2
Merokok dan PPOK
2.2.1
Terminologi Menurut Bristol Public Health (2010), merokok adalah aktivitas
menghirup asap dari tembakau yang dibakar yang dibungkus dalam kertas sigaret, pipa, dan cerutu. Untuk definisi perokok sendiri, CDC memiliki tingkatan untuk jenis-jenis perokok. Definisi untuk tingkatan perokok menurut CDC adalah sebagai berikut: 1. Never smokers (tidak pernah merokok) – dewasa yang tidak pernah merokok atau merokok lebih sedikit dari 100 batang sepanjang hidupnya
Universitas Sumatera Utara
17
2. Former smokers (bekas perokok) – dewasa yang telah merokok sedikitnya 100 batang sepanjang hidupnya, tetapi mengatakan bahwa sekarang tidak merokok 3. Nonsmokers (bukan perokok) – dewasa yang sekarang tidak merokok, termasuk baik bekas perokok dan tidak pernah merokok 4. Current smokers (perokok) – dewasa yang telah merokok 100 batang dalam hidupnya dan masih merokok setiap hari atau dalam beberapa hari (CDC, 2010). Definisi lain yang tidak didefinisikan oleh CDC untuk perokok namun sering digunakan, adalah: 1. Perokok ringan – berbagai kriteria digunakan. <1 bungkus perhari, <15 batang perhari, <10 batang perhari dan 1-39 batang perminggu. 2. Perokok intermiten – istilah luas untuk berbagai macam pola merokok yang secara umum berarti bukan perokok harian. Social smokers, yang merokok hanya dalam pesta, bar, klub malam. Perokok intermiten juga umum untuk pemuda dan populasi yang sedikit (Schane, 2010). Center for Disease and Prevention (CDC) melaporkan bahwa pada tahun 2011 sekitar 43,8 juta dewasa di Amerika Serikat adalah perokok. Ini merupakan 19% dari total orang dewasa disana (21,6% dari pria, 16,5% dari wanita) (CDC, 2010). 2.2.2
Kandungan Zat dalam Rokok Asap rokok sebagai hasil pembakaran dari rokok mengandung lebih dari
4000 zat kimia yang bersifat toksik, karsinogenik dan lainnya bersifat radioaktif dan adiktif. Produk asap dari tembakau terbagi dalam dua komponen yaitu komponen gas dan partikel (Haris dkk., 2012). Komposisi kimia dan asap rokok tergantung pada jenis tembakau, desain rokok (seperti ada tidaknya filter atau bahan tambahan), dan pola merokok individu (Syahdrajat, 2007). Komponen gas pada asap rokok mengandung CO, CO2, O2, hidrogen sianida, amoniak, nitrogen, senyawa hidrokarbon. Komponen partikel antara lain tar, nikotin, benzopiren, fenol, dan kadmium.
Universitas Sumatera Utara
18
Kadar CO dalam asap rokok hanya sedikit tetapi CO memberikan banyak gangguan dalam fungi fisiologis tubuh, diantaranya adalah mengurangi daya ikat oksigen dengan Hb sehingga terjadi penurunan suplai oksigen terhadap jaringanjaringan dalam tubuh. CO juga dapat meningkatkan viskositas darahsehingga mempermudah penggumpalan darah (Syahdrajat, 2007). Tar adalah komponen padat pada asap rokok selain nikotin. Jadi tar sendiri merupakan kumpulan komponen partikel pada asap rokok. Tar dalam bentuk padatnya berwarna kecoklatan dan dapat menyebabkan perubahan warna pada kuku dan jari perokok menjadi kuning kecoklatan (Geiss dan Kotzias, 2007). Kandungan tar pada rokok berkisar antara <1-35 mg dan tinggi pada negaranegara berkembang. Tar bersifatkarsinogenik (Syahdrajat, 2007). Nikotin adalah senyawa alami yang ditemukan di tanaman tembakau. Nikotin termasuk dalam kelompok senyawa alkaloid, sehingga memiliki kecenderungan untuk menyebabkan ketergantungan (Geiss dan Kotzias, 2007).Rokok sigaret menghasilkan 1.2-2.9 mg nikotin. Absorpsi nikotin dari inhalasi asap rokokberlangsung cepat, sebuah bolus nikotin mencapai otak dalamwaktu 10-16 detik. Nikotin mengaktivasi reseptor asetilkolinnikotinik yang memicu pelepasan dopamin. Nikotin mempengaruhi sistem saraf simpatis sehingga meningkatkan frekuensidenyut jantung, tekanan darah, kebutuhan oksigen
jantung,dan
menginduksi
vasokonstriksi
perifer.
Nikotin
mendorongterjadinya adhesi trombosit pada dinding pembuluh darahyang dihubungkan dengan penyakit kardiovaskular. Nikotindimetabolisme di hati, paruparu dan ginjal (Syahdrajat, 2007). Nikotin, CO, dan bahan-bahan lain dalam asap rokokterbukti merusak endotel pembuluh darah, danmempermudah timbulnya penggumpalan darah. Di sampingitu, asap rokok mempengaruhi profil lemak. Dibandingkandengan bukan perokok, kadar kolesterol total, kolesterol LDL,dan trigliserida darah perokok lebih tinggi, sedangkankolesterol HDL lebih rendah (Syahdrajat, 2007).
Universitas Sumatera Utara
19
Tabel 2.1 Kandungan Asap Rokok Terpilih Fase Partikel
Efek
Fase Gas
Tar
Mutagenik, karsinogenik
CO
Nikotin
NO
Hidrokarbon aromatik
Perangsang atau penekan parasimpatis yang dose dependent Mutagenik, karsinogenik
Aldehid
Phesol
Iritan, mutagenik, karsinogenik
Asam hidrosianat
Cresol
Iritan, mutagenik, karsinogenik
Akrolein
β-naphtylamine
Mutagenik, karsinogenik
Amonia
Katekol Benzo(a)pirene Indol
Mutagenik, karsinogenik Mutagenik, karsinogenik Mempercepat tumor
Nitrosamin Hidrazine Vinyl Klorida
Sumber: Behr, 2002
2.2.3
Efek Gangguan ikatan oksigen pada Hb Iritan, pro-inflamasi, siliotoksik Iritan, pro-inflamasi, siliotoksik Iritan, pro-inflamasi, siliotoksik Iritan, pro-inflamasi, siliotoksik Iritan, pro-inflamasi, siliotoksik Mutagenik, karsinogenik Mutagenik, karsinogenik Mutagenik, karsinogenik
Derajat Berat Merokok Secara Internasional, penilaian untuk menentukan derajat berat merokok
adalah dengan menggunakan Indeks Brinkman. Indeks Brinkman, yaitu suatu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Tingkat derajat merokok berdasarkan Indeks Brinkman adalah: 1. derajat ringan (0-200), 2. derajat sedang (200-600), 3. derajat berat (>600). (PDPI, 2003). 2.2.4
Mekanisme Merokok Menyebabkan PPOK Brody (2006) dalam Laniado-Laborin (2009) menyatakan bahwa rokok
mengandung oksidan dengan konsentrasi tinggi. Zat oksidan reaktif yang dilepaskan dari asap rokok dapat menginduksi inflamasi di paru dan saluran napas. Studi menunjukkan bahwa pada biopsi bronkial yang diambil dari saluran napas pusat, perokok memiliki perubahan kronis karena inflamasi, dengan meningkatnya jumlah sel inflamasi di berbagai bagian paru, dan remodeling yang merupakan hasil dari cedera paru dan perbaikannya(Laniado-Laborin, 2009). Menurut Houghton (2012) dalam Vijayan (2013), pajanan kronis asap rokok menyebabkan akumulasi dari makrofag teraktivasi, netrofil dan Limfosit T
Universitas Sumatera Utara
20
CD8+ pada saluran udara bawah dan ruangan alveolus. Makrofag dan netrofil adalah sumber utama protease paru. Elastase berlebihan yang diproduksi netrofil teraktivasi menghasilkan banyak protease serin dan menyebabkan emfisema.
Sumber: Lynes, 2007 Gambar 2.2 Perubahan Jaringan pada PPOK Merokok juga mengaktivasi epitel saluran napas yang memicu terjadinya airway remodeling (Vijayan, 2013). Studi menyatakan bahwa ada hubungan antara tingkat inflamasi makrofag dan netrofil dengan keparahan obstruksi saluran napas (Saetta et al., 2001). Tingkat obstruksi saluran napas menunjukkan derajat berat pada PPOK.
Universitas Sumatera Utara
21
Merokok menyebabkan makrofag produksi MMP-12 yang membelah elastin menjadi beberapa bagian. Bagian elastin bersifat kemotaktik untuk monosit dan fibroblas sehingga meningkatkan inflamasi dan protease dan berakhir dengankerusakan jaringan paru. Ini membuat positive feedback loopyang menghasilkan kerusakan berlanjut dari parenkim paru (Jones dan Metcalf., 2006). Secara umum, inflamasi dan perubahan struktur saluran napas meningkat bersamaan dengan keparahan penyakit dan tetap berlangsung walaupun telah berhenti merokok. Pemicu inflamasi tetap berlangsung walaupun telah berhenti merokok, menyebabkan tetap terjadinya respon inflamasi (Willemse et al., 2005). Studi terbaru menyatakan bahwa pada PPOK terdapat komponen autoimun, yang berkontribusi dalam inflamasi saluran udara bahkan setelah berhenti merokok. Autoantibodi ini mungkin secara langsung melawan antigen dari tembakau atau melawan autoantigen endogen yang merupakan hasil dari inflamasi dan kerusakan paru oksidatif karena merokok (Laniado-Laborin, 2009). 2.3
Derajat Berat PPOK
2.3.1
Kriteria GOLD Kriteria GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease)
adalah suatu kriteria yang dipakai secara internasional yang merupakan kolaborasi antara National Institutes of Health (NIH) danWorld Health Organization (WHO) dalam menentukan derajat keparahan pada pasien PPOK. Kriteria GOLD untuk PPOK mengklasifikasikan penderita PPOK berdasarkan derajat pembatasan aliran udara (obstruksi). Selain untuk mengklasifikasikan, kriteria GOLD ini juga berguna untuk mendiagnosis obstruksi. Derajat keparahan PPOK dinilai berdasarkan nilai dari hasil pemeriksaan spirometri (GOLD, 2010). Nilai spirometri yang digunakan dalam penentuan kriteria GOLD adalah: 1. FVC (Forced Vital Capacity)atau Kapasitas Vital Paksa adalah total volume udara yang dapat pasien keluarkan secara paksa dalam sekali bernapas.
Universitas Sumatera Utara
22
2. FEV1 (Forced Expiratory Volume in One Second)atau Volume Ekspirasi Paksa detik 1 adalah volume udara yang dapat dikeluarkan pasien dalam detik pertama saat ekspirasi paksa. 3. FEV1 /FVC adalah rasio FEV1 terhadap FVC yang dinyatakan dalam fraksi (GOLD, 2013). Kriteria spirometri yang diperlukan dalam kriteria GOLD untuk diagnosis derajat keparahan PPOK adalah FEV1 /FVC setelah pemberian bronkodilator(GOLD, 2010). Tabel 2.2 Kriteria GOLD untuk Derajat Keparahan PPOK Karakteristik
Derajat I : PPOK Ringan II: PPOK Sedang III: PPOK Berat IV: PPOK Sangat Berat
Sumber: GOLD, 2013
FEV1/FVC < 0,70 FEV1 ≥ 80% prediksi FEV1/FVC < 0,70 50% ≤ FEV1 ≤ 80% prediksi FEV1/FVC < 0,70 30% ≤ FEV1 ≤ 50% prediksi FEV1/FVC < 0,70 FEV1< 30% prediksi atau FEV1< 50% prediksi ditambah Gagal nafas kronik
Mild COPD atau PPOK ringan, pada tahap ini pasien mungkin belum menyadari bahwa fungsi parunya tidak normal. Moderate COPD atau PPOK sedang, gejala biasanya berkembang pada tahap ini, dengan napas yang memendek saat melakukan aktivitas. Severe COPD atau PPOK berat, pemendekan nafas semakin buruk pada tahap ini dan sering membatasi aktivitas harian pasien. Eksaserbasi biasanya mulai dapat terlihat pada tahap ini. Very severe COPD atau PPOK sangat berat, pada tahap ini kualitas hidup sudah sangat terganggu dan eksaserbasi pada pasien bisa mengancam jiwa (GOLD, 2010).
Universitas Sumatera Utara