metabolisme lemak dan glukosa, seperti penyakit diabetes melitus, jantung koroner, stroke, perdarahan otak, dan hipertensi. Kegemukan yang tergolong tipe ginekoid memiliki timbunan lemak pada bagian bawah tubuh, yaitu sekitar perut, pinggul, paha, dan bokong. Kegemukan tipe ini banyak diderita oleh perempuan. Jenis timbunan lemaknya adalah lemak tidak jenuh, ukuran sel lemaknya kecil dan lunak. Tipe ginekoid lebih aman bila dibandingkan dengan tipe android karena lebih kecil kemungkinannya untuk terserang penyakit yang berhubungan dengan metabolisme lemak dan glukosa. Namun, orang dengan tipe obesitas ini lebih sulit untuk menurunkan berat badan. 2. Berdasarkan kondisi sel Penelitian oleh Hirsch dan Knittle dalam Purwati (2001) menunjukan bahwa berdasarkan kondisi sel, kegemukan dibagi menjadi beberapa tipe yaitu hiperplastik, hipertropik, dan hiperplastik-hipertropik. Pada tipe hiperplastik, seseorang memiliki jumlah sel lebih banyak dibandingkan dengan kondisi normal, tetapi ukuran selnya sama dengan ukuran sel normal. Kegemukan tipe ini biasanya terjadi sejak masa kanak-kanak dan penurunan berat badan akan sulit terjadi. Kegemukan tipe hipertropik memiliki jumlah sel yang normal, tetapi ukurannya lebih besar dari ukuran sel normal. Kegemukan tipe ini biasanya terjadi setelah dewasa dan berat badannya lebih mudah diturunkan daripada tipe hiperplastik. Tipe hiperplastik-hipertropik memiliki jumlah dan ukuran sel yang melebihi normal. Kegemukan ini berlangsung sejak masa kanak-kanak dan berlangsung terus hingga
Universitas Sumatera Utara
dewasa. Penurunan berat badan pada tipe ini paling sulit dan paling rentan terhadap timbulnya komplikasi. 2.1.3. Patogenesis Keseimbangan pemasukan energi dari saluran cerna dan penggunaan energi dari jaringan adiposa diatur oleh otak. Keinginan untuk makan disesuaikan dengan penggunaan energi agar berat badan tetap stabil. Otak menerima informasi mengenai isi pencernaan dari usus dan metabolisme zat-zat makanan pada hepar melalui nervus vagus. Peninggian konsentrasi glukosa setelah makan menyebabkan penyampaian rangsang dari traktus solitarius pada nukleus serabut saraf vagus diteruskan ke hipotalamus dan komponen sistem limbik pada otak depan (Stanley, 2005). Pada hipotalamus, daerah yang berperan dalam proses makan adalah nukleus lateral hipotalamus yang berperan sebagai pusat makan (feeding center) dan nukleus ventromedial hipotalamus yang berperan sebagai pusat kenyang (satiety center) (Guyton, 2006). Selain itu, terdapat juga nukleus lain seperti nukleus arkuatus yang terletak pada basal hipotalamus yang memiliki reseptor untuk banyak hormon dan peptida yang dapat mengatur rasa lapar dan nukleus paraventrikular (PVN) yang berada dekat dengan ventrikel tiga hipotalamus anterior. PVN merupakan tempat sekresi utama Corticotrophin-Releasing Hormone (CRH) dan TRH (Thyrotropin Releasing Hormon) sehingga ia memegang peranan dalam integrasi sinyal nutrisi dengan aksis HPA (Hipothalamus Pituitary Axis) dan tiroid (Neary dkk, 2004). Pada nukleus arkuatus, terdapat dua neuron yang berperan dalam regulasi nafsu makan dan penggunaan energi yaitu neuron propiomelanocortin (POMC) yang menghasilkan α-melanocyte stimulating hormone (α-MSH) bersama dengan Cocain &
Universitas Sumatera Utara
Amphetamine Related Transcript (CART) dan neuron yang menghasilkan senyawa neuro peptide Y (NPY) dan Agouti Related Protein (AGRP). Pengaktifan neuron POMC akan menyebabkan pelepasan α-MSH yang kemudian berikatan dengan melanocortin receptor (MCR), terutama MCR-3 dan MCR-4 yang berada pada nukleus paraventrikular. Selanjutnya, rangsang akan diteruskan ke nukleus traktus solitarius yang kemudian menstimulasi aktivasi saraf simpatis sehingga terjadi penurunan asupan makanan dan peningkatan penggunaan energi. Pelepasan NPY dan AGRP akan menimbulkan hal yang berlawanan dengan POMC melalui hambatan pada MCR-3 dan MCR-4 sehingga muncul efek peningkatan asupan makanan dan penurunan penggunaan energi (Guyton, 2006). Asupan makanan dapat diatur melalui proses jangka pendek ataupun jangka panjang. Regulasi jangka pendek dipengaruhi oleh faktor distensi lambung dan faktor hormon gastrointestinal, seperti kolesistokinin (CKK), peptida YY (PYY), glucagon-like peptide-1
(GLP-1),
dan
ghrelin.
Faktor-faktor
tersebut
menimbulkan efek penekanan asupan makan, kecuali hormon ghrelin. Ghrelin akan meningkatkan asupan makan dengan cara merangsang pelepasan senyawa orexigenic seperti, NPY dan AGRP. Pada regulasi jangka panjang, hormon yang paling berperan ialah insulin dan leptin. Leptin akan dilepas dari adiposit ke dalam darah ketika terjadi peningkatan jumlah jaringan adiposa, kemudian leptin akan menembus sawar darah otak dan menuju hipotalamus. Leptin memiliki efek menekan nafsu makan melalui beberapa cara, yaitu menurunkan produksi NPY dan AGRP, mengaktivasi neuron POMC, meningkatkan produksi CRH yang akan menurunkan asupan makanan, dan menstimulasi aktivitas simpatis (Guyton, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Pada orang-orang yang mengalami obesitas, terjadi keadaan resistensi leptin dimana meskipun kadar leptin tinggi dalam darah, namun reseptor leptin mengalami defek sehingga tidak dapat berfungsi secara optimal. Studi lain juga menunjukan bahwa disfungsi aksis saluran cerna-otak-hipotalamus melalui jalur hormonal ghrelin/leptin merupakan faktor penyebab dari sepuluh persen pada penderita obesitas (Schwarz, 2011). 2.1.4. Komplikasi Obesitas memiliki berbagai komplikasi, antara lain penyakit kardiovaskuler, diabetes melitus tipe 2 ,Obstructive sleep apnea, gangguan ortopedik, dan risiko cukup tinggi untuk menjadi orang dewasa gemuk (Hidayati, 2005). 2.2. Obesitas pada Anak Kegemukan dapat terjadi pada setiap umur dan gambaran klinis kegemukan pada anak dapat bervariasi dari yang ringan sampai sangat berat. 2.2.1. Gambaran klinis Adapun gambaran klinis anak yang mengalami obesitas adalah sebagai berikut. 1. Pertumbuhan berjalan cepat atau pesat disertai adanya ketidakseimbangan antara peningkatan berat badan yang berlebih dibanding dengan tingginya. 2. Jaringan lemak bawah kulit menebal sehingga tebal lipatan kulit lebih daripada yang normal dan kulit tampak lebih kencang. 3. Kepala tampak relatif lebih kecil dibandingkan dengan tubuhnya atau dibandingkan dengan dadanya (pada bayi). 4. Bentuk muka lebih ‘tembem’, hidung dan mulut tampak relatif lebih kecil, mungkin disertai dengan bentuk dagunya berganda (dagu ganda).
Universitas Sumatera Utara
5. Pada
dada
terjadi
pembesaran
payudara
yang
dapat
meresahkan bila terjadi pada anak laki-laki. 6. Perut membesar yang bentuknya cenderung menyerupai bandul lonceng dan kadang-kadang disertai dengan garis-garis putih atau ungu (striae). 7. Kelamin luar pada anak wanita tidak jelas ada kelainan, akan tetapi pada anak laki-laki tampak relatif kecil. Ukuran penis sebenarnya normal, tetapi hanya tersembunyi sedikit karena sebagian besar terbenam di dalam jaringan lemak di sekitarnya. 8. Pubertas pada anak laki-laki terjadi lebih awal dan akibatnya pertumbuhan
kerangka
lebih
cepat
berakhir
sehingga
tingginya pada masa dewasa relatif lebih pendek. Pada perempuan yang obese menstruasi lebih cepat daripada yang tidak obesitas. 9. Lingkaran lengan atas dan paha lebih besar dari normal dan tangan relatif lebih kecil dan jari-jari yang bentuknya meruncing. Mungkin pula terdapat keadaan dimana sendi tungkai dan tungkainya sendiri dapat mengganggu gerakan. 10. Dapat terjadi gangguan psikologis, misalnya gangguan emosi, sukar bergaul, senang menyendiri, dan sebagainya. 11. Pada kegemukan yang berat, mungkin terjadi gangguan jantung dan paru yang disebut Sindroma Pickliwickian dengan gejala sesak nafas, sianosis, pembesaran jantung dan kadangkadang penurunan kesadaran. 2.2.2. Penilaian Status Gizi Anak Status gizi terutama ditentukan oleh ketersediaan dalam jumlah cukup dan dalam kombinasi yang tepat semua zat-zat gizi di tingkat sel yang diperlukan tubuh untuk tumbuh berkembang dan berfungsi normal. Ada 4 cara untuk menentukan status gizi yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Biokimia Penilaian status gizi secara biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang diperiksa pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan adalah darah, urine, tinja, dan beberapa jaringan tubuh yang lain seperti hati dan otot tertentu (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2002). 2. Biofisika Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan tertentu (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2002). 3. Klinis Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting dalam menentukan status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan
pada perubahan-perubahan yang terjadi yang
dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut, dan mukosa oral, atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid tertentu (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2002). 4. Antropometri Penilaian status gizi dengan cara antropometri banyak digunakan dalam berbagai penelitian atau survei, baik survei secara luas dalam skala nasional maupun survei untuk wilayah tertentu (Supariasa, Bakri, &Fajar, 2002). Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Universitas Sumatera Utara
Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain : a. Berat Badan Berat badan merupakan pengukuran antropometri yang paling banyak digunakan. Berat badan dapat dijadikan ukuran yang valid jika proporsi lain seperti tinggi badan, ukuran rangka, proporsi lemak, otot, tulang, serta komponen “berat patologis” telah disesuaikan. Timbangan yang digunakan haruslah dikalibrasi setiap pemakaian. Jika keadaan memungkinkan, subjek yang ditimbang
bertelanjang
atau
berpakaian
seminimal
mungkin (Arisman, 2010). b. Tinggi Badan Tinggi badan merupakan indikator umum ukuran tubuh, tapi belum dapat menjadi indikator status gizi, kecuali digabungkan dengan indikator lain. Tinggi badan diukur dalam keadaan berdiri tegak lurus, tanpa alas kaki, kedua tangan merapat ke badan, punggung dan bokong menempel pada dinding dan pandangan diarahkan ke depan. Bagian alat pengukur tinggi yang dapat digeser diturunkan hingga menyentuh vertex kepala (Arisman, 2010). c. Lingkar Lengan Pertambahan otot dan lemak di lengan berlangsung cepat selama tahun pertama kehidupan. Seandainya anak itu mengalami malnutrisi, otot akan mengecil, lemak menipis, dan ukuran lengan pun menjadi susut. Pengukuran lingkar lengan dilakukan dengan menggunakan pita plastik berwarna atau gelang yang berdiameter 4 cm (Arisman, 2010).
Universitas Sumatera Utara
d. Tebal Lemak di Bawah Kulit Pengukuran
persentasi
lemak
cukup
mudah
dilakukan dan terbukti akurat karena 85% lemak tubuh tersimpan dalam trisep, subskapula, siprailiaka, biseps, perut, paha, dan dada. Cara pengukurannya yaitu kulit dicubit dengan dua jari, kemudian kaliber menjepit lipatan kulit. Pengukuran setidaknya dilakukan dua kali (Arisman, 2010). e. Indeks Massa Tubuh (IMT) Pengukuran indeks masa tubuh dilakukan dengan cara membandingkan berat badan dalam satuan kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam satuan meter. 2.2.3. Kriteria Obesitas pada Anak Untuk mengetahui apakah seorang anak obesitas atau tidak, maka terlebih dihitung IMT anak tersebut. Cara mengukur dan menginterpretasikan kalkulasi IMT untuk anak ialah sebagai berikut. Pertama ialah mengukur BB dan TB dengan akurat. Kedua menghitung IMT dengan rumus: BB/TB2 (kg/m2). Tahap ketiga yaitu meninjau ulang hasil persentil IMT berdasarkan usia. Persentil IMT berdasarkan usia digunakan untuk menafsirkan nilai IMT. Kriteria IMT pada anak berdasarkan usia dan jenis kelamin. Kriteria ini berbeda dari yang digunakan untuk menginterpretasikan IMT pada dewasa yang tidak mengambil perhitungan berdasarkan usia atau jenis kelamin. Usia dan jenis kelamin dipertimbangkan untuk anak-anak dikarenakan ada dua alasan yaitu jumlah lemak tubuh berbeda-beda sesuai usia dan jumlah lemak tubuh berbeda antara laki-laki dan perempuan. Tahap keempat adalah menentukan tingkatan obesitas. Untuk anak-anak pada masa tumbuh kembang (2-20 tahun), penentuan obesitas ditentukan menggunakan grafik CDC 2000 (lihat di lampiran). Setelah data dimasukkan ke grafik maka dapat
Universitas Sumatera Utara
ditentukan
posisi
persentilnya.
Untuk
persentil
85-94th
dikategorikan dalam overweight dan untuk persentil ≥ 95
th
dikategorikan dalam obesitas. Tabel 2.1. Kategori Status Berat Badan pada Anak berdasarkan CDC 2000 Kategori Status Berat Badan
Rentang Persentil
Underweight Kurang dari persentil ke-5 Normal
Antara persentil ke-5 hingga kurang dari persentil ke85
Overweight
Antara persentil ke-85 hingga kurang dari persentil ke95
Obesitas
Sama dengan atau lebih dari persentil ke-95
Sumber : Centers for Disease Control and Prevention (CDC) 2000 2.2.4. Faktor yang Mempengaruhi Obesitas Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian obesitas antara lain. 1. Jenis kelamin Obesitas lebih umum dijumpai pada wanita terutama pada masa remaja, hal ini disebabkan faktor endokrin dan perubahan hormonal. Perempuan sedikit lebih gemuk dan pada laki-laki pada saat kelahiran sampai anak-anak. Komposisi tubuh berbeda nyata antara laki-laki dan perempuan selama remaja. 2. Umur Obesitas sering terjadi pada saat remaja karena merupakan periode pertumbuhan berat badan dan tinggi badan yang cepat disertai dengan peningkatan lemak tubuh. Obesitas yang muncul pada tahun pertama kehidupan biasanya disertai dengan perkembangan rangka tubuh yang
Universitas Sumatera Utara
cepat. Anak yang obesitas cenderung menjadi obesitas pada saat remaja dan dewasa. 3. Tingkat sosial ekonomi Obesitas yang terjadi
pada kelompok masyarakat
dengan tingkat sosial ekonomi rendah disebabkan karena tingginya konsumsi makanan sumber karbohidrat, sementara konsumsi protein rendah. Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan terhadap kualitas dan kuantitas hidangan. Semakin tinggi tingkat pendapatan, berarti semakin baik kualitas dan kuantitas makanan yang diperoleh, seperti beraneka ragam jenis makanan. Asupan kalori dipengaruhi oleh status ekonomi. Salah satu ukuran status ekonomi adalah tingkat pendapatan total yang diterima oleh keluarga. Peningkatan kebiasaan
tingkat makan
pendapatan
sehingga
akan
cenderung
mempengaruhi untuk
makan
berlebihan. 4. Faktor lingkungan Pola makan, jumlah, dan komposisi nutrisi dalam makanan, serta intensitas aktivitas tubuh merupakan hal yang paling berpengaruh dalam terjadinya obesitas. Gaya hidup modern
dan
santai
seringkali
menyebabkan
ketidakseimbangan jumlah dan kandungan masukan kalori seperti makan fast food, ‘ngemil’ makan berkalori tinggi, dan tinggi karbohidrat pada saat nonton televisi atau bioskop, dan sebagainya. 5. Aktivitas fisik Aktifitas fisik yang rendah memberikan kontribusi yang besar pada peningkatan kejadian obesitas yang terjadi di seluruh dunia. Banyak studi yang menunjukan bahwa perilaku gaya hidup santai (sedentary life style) seperti
Universitas Sumatera Utara
menonton televisi dan bermain komputer memiliki hubungan dengan tingginya kejadian obesitas. Pada studi yang dilaksanakan pada 3132 individu pada tujuh pusat kesehatan di Jepang, terlihat adanya hubungan antara olahraga dan obesitas. Studi ini menunjukan bahwa kejadian obesitas rendah pada kelompok orang yang memiliki kebiasaan berolahraga dengan (OR=0,48) dibandingkan orang yang tidak memiliki kebiasaan olahraga. Studi Coronary Artery Risk Development in Young Adults (CARDIA), diantara orang-orang yang berusia 20 tahun terdapat hubungan yang bermakna antara peningkatan olahraga selama dua tahun dengan penurunan berat badan. Risiko kenaikan berat badan berkurang dengan jogging (OR=0,57) dan aerobik (OR=0,59), tetapi untuk olahraga tim atau tenis tidak menunjukan penurunan berat badan yang signifikan (Fukuda, S. &Takeshita, 2001). 6. Nutrisi Selama beberapa tahun terakhir, makanan telah menjadi lebih terjangkau bagi sejumlah besar orang dan konsep makanan telah berubah dari sebagai nutrisi menjadi simbol gaya hidup dan sumber kesenangan (Dehghan, M., Danesh, N.A., & Merchant, 2015). Meskipun overweight dan obesitas kebanyakan dianggap sebagai hasil dari peningkatan asupan kalori, namun belum ada bukti yang cukup untuk mendukung fenomena tersebut. Pada survei skala besar seperti National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) yang dilaksanakan di Amerika dan survei lain yang dilaksanakan di Jerman, Skotlandia, dan Denmark menunjukan bahwa BMI atau kadar lemak subkutan lebih tinggi pada kelompok dengan asupan tinggi lemak dibanding kelompok dengan asupan rendah
Universitas Sumatera Utara
lemak. Pada survei regional yang dilaksanakan di Tennesse, Kalifornia Utara, dan Finlandia, pertambahan berat badan pada kelompok asupan tinggi lemak secara signifikan lebih besar dari kelompok asupan rendah lemak dengan (OR=1,7). Pada penelitian lain yang menunjukan bahwa risiko obesitas terhadap peningkatan konsumsi daging memiliki OR=1,46. Keadaan ini disebabkan karena makanan berlemak memiliki energy density lebih besar dan tidak mengenyangkan serta memiliki efek termogenesis yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak mengandung protein dan karbohidrat signifikan (Fukuda, S. & Takeshita, 2001). 7. Genetik Penelitian di Amerika Serikat menemukan bahwa anakanak dari orang tua dengan berat badan normal memiliki peluang 10% menjadi obesitas. Peluang tersebut akan meningkat menjadi 40–50%, bila salah satu orang tuanya menderita obesitas dan akan meningkat menjadi 70–80% bila kedua orang tuanya menderita obesitas. Studi lain menunjukaan obesitas yang terjadi pada masa bayi, balita, anak usia 6 tahun dengan salah satu orang tua obesitas maka akan tetap obesitas pada masa dewasa. Bila kedua orang tua obesitas, sekitar 80% anak-anak mereka akan menjadi obesitas dan bila kedua orang tua tidak obesitas maka
prevalensi
Peningkatan
obesitas akan turun
risiko
obesitas
tersebut
menjadi
20%.
kemungkinan
dipengaruhi oleh gen atau faktor lingkungan dalam keluarga. 8. Faktor Psikologis Faktor psikologi dapat menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya obesitas. Gangguan emosional akibat tekanan psikologi dapat mengubah kepribadian seseorang
Universitas Sumatera Utara
sehingga orang tersebut menjadikan makanan sebagai pelariannya. Pada anak, makan berlebihan dapat terjadi sebagai respons terhadap kesepian, berduka atau depresi, dan respons terhadap rangsangan dari luar seperti iklan makanan. Tekanan
perasaan,
misalnya
sangat
kecewa
dapat
mengakibatkan beberapa orang berhenti melakukan kegiatan fisik dan pada saat yang bersamaan orang tersebut makan lebih banyak dari biasa sehingga dapat mengakibatkan kenaikan berat badan. Iklan makanan dapat mempengaruhi kesukaan maupun pilihan makanan. Iklan tersebut berisikan produk makanan yang rendah nilai nutrisinya seperti sereal yang tinggi gula sederhananya serta makanan yang tinggi gula, lemak, garam. Pada anak yang usianya lebih besar, makan baginya merupakan pengganti untuk mencapai kepuasan dalam mencapai kasih sayang. Jadi gangguan psikologis dapat menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya obesitas. 2.2.5.
Kebutuhan Gizi Anak Usia Sekolah Anak usia 7-12 tahun masuk dalam
kategori praremaja. Pada
periode ini pertumbuhan berjalan terus walaupun tidak secepat saat bayi. Pada umumnya kelompok usia ini memiliki kesehatan yang lebih baik dibandingkan dengan kesehatan anak balita, namun nafsu makan mereka cenderung menurun sehingga konsumsi makanan tidak seimbang dengan kalori yang dibutuhkan (Notoatmodjo, 2005). Anak yang tergolong dalam usia sekolah memerlukan makanan yang hampir sama dengan yang dianjurkan untuk anak prasekolah. Namun, karena pertambahan berat badan dan banyaknya aktivitas yang mereka lakukan maka dibutuhkan porsi
yang lebih besar (Pudjiadi, 1997).
Golongan usia 10-12 tahun kebutuhan energinya relatif lebih besar bila dibandingkan dengan golongan usia 7-9 tahun. Hal ini dikarenakan pada
Universitas Sumatera Utara
usia 10-12 tahun mereka mengalami pertumbuhan lebih cepat terutama penambahan tinggi badan. Kebutuhan gizi pada anak usia 10-12 tahun berbeda antara laki-laki dan
perempuan terutama kebutuhan akan zat besi. Anak perempuan
membutuhkan zat besi yang lebih banyak daripada anak laki-laki. Hal tersebut disebabkan karena pada usia tersebut anak perempuan biasanya sudah mulai haid sehingga memerlukan zat besi yang lebih banyak. Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan
untuk anak
usia sekolah (
Menkes RI 2005 dalam Hardinsyah dkk, 2010) adalah seperti dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.2 Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata yang Dianjurkan untuk Anak Usia Sekolah Zat Gizi
Usia 7-9 tahun Laki-laki
Laki-laki
Perempuan
1850
2100
2000
Karbohidrat(gr) 254
254
289
275
Lemak (gr)
72
72
70
67
Protein (gr)
49
49
56
60
Energi (Kkal)
1850
Perempuan
Usia 10-12 tahun
Merujuk pada anjuran perbandingan komposisi energi dari karbohidrat, protein dan
lemak di Amerika Serikat (IOM, 2005) dan menyelaraskan
dengan Pedoman Gizi Seimbang Indonesia (Kemenkes, 2005) serta perhitungan hasil konsumsi pangan (Riskesdas, 2010 dalam Hardinsyah, 2004), maka anjuran kecukupan lemak dalam konteks AMDR (Aceptable Macronutrient Distribution Range) bagi penduduk Indonesia dibagi ke dalam tiga kelompok penduduk seperti disajikan pada tabel berikut.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3 Anjuran Komposisi Energi dari Karbohidrat, Protein, dan Lemak Zat Gizi
Persen Terhadap Total Energi (%)
Makro
Bayi 0-11
Anak 1-3
Anak 4-18
Dewasa**)
bulan *)
tahun **)
tahun**)
Protein
5
15 (5-20)
15 (10-30)
15 (10-30)
Lemak
55
35 (30-40)
30 (25-35)
25 (20-30)
Karbohidrat
40
50 (45-65)
55 45-65)
60 (45-65)
*) Berdasarkan Air Susu Ibu (ASI) dari United Nations University Center. **) Angka dalam kurung merupakan kisaran anjuran di Amerika Serikat (IOM,2005). 2.2.6. Penilaian Pola Makan pada Anak Pola makan pada anak terdiri dari jumlah makanan, jenis makanan, dan frekuensi makan. Penilaian pola makan individu dapat dikelompokkan menjadi : a) Mengingat makanan (food recall) yang dimakan oleh individu selama 24 jam sebelum dilakukan wawancara. Contoh makanan (food model) dapat dipakai sebagai alat bantu. Jumlah bahan makanan yang dikonsumsi diperkirakan atau dihitung dengan ukuran rumah tangga yang kemudian dikonversikan ke dalam ukuran berat. Pemakaian metode food recall ini digunakan untuk mengukur rata-rata konsumsi makanan dan zat gizi kelompok masyarakat yang jumlahnya besar (Supariasa, Bakri, &Fajar, 2002). b) Pencatatan makanan yang dimakan (food records) oleh individu dalam jangka waktu tertentu, jumlahnya ditimbang dan diperkirakan dengan ukuran rumah tangga (Siagian, 2010). c) Frekuensi konsumsi makanan (food frequency questionaire) adalah recall makanan yang dimakan pada waktu lalu. Kuesioner terdiri dari daftar bahan makanan dan frekuensi makan. Cara ini merekam keterangan tentang berapa kali konsumsi bahan makanan dalam sehari, seminggu, sebulan, tiga bulan atau jangka waktu tertentu (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2002).
Universitas Sumatera Utara
d) Riwayat makan (dietary history) yaitu mencatat apa saja yang dimakan dalam waktu lama. Cara ini dilakukan oleh petugas wawancara yang terlatih. Periode yang diukur biasanya adalah selama 6 bulan atau 1 tahun yang lalu. Metode wawancara ini merupakan modifikasi dari cara recall 24 jam untuk dapat memperoleh informasi tentang makanan yang dikonsumsi, frekuensi dan kebiasaan makan (Siagian, 2010). 2.2.7. Terapi Tatalaksana sebaiknya didasarkan pada faktor risiko, termasuk usia, tingkat keparahan obesitas, komorbiditas, dan riwayat keluarga (Krebs & Primak, 2007). Pada anak dengan obesitas yang tidak berkomplikasi maka tujuan primer dari tatalaksana ini adalah untuk mempertahankan asupan makanan yang sehat dan memperbaiki pola aktivitas sehingga pasien tidak perlu mencapai berat badan ideal. Sedangkan pada anak obesitas yang memiliki komplikasi, maka tujuan tatalaksana adalah memperbaiki komplikasi tersebut. Ada beberapa kelompok tatalaksana obesitas pada anak yaitu sebagai berikut. 1. Untuk anak usia 2-7 tahun dengan IMT = persentil 95th dan tanpa komplikasi, tujuan umum tatalaksana adalah mempertahankan berat badan yang ada. Hal ini dimaksudkan untuk menyeimbangkan dengan tumbuh kembang anak. 2. Untuk anak usia 2-7 tahun dengan IMT = persentil 95
th
dan dengan
komplikasi maka diindikasikan untuk melakukan penurunan berat badan pada anak. 3. Untuk anak usia > 7 tahun dengan IMT berada di antara persentil 85 th th
dan 95
dan tanpa komplikasi maka tujuan terapi adalah
mempertahankan berat badan. 4. Untuk anak usia > 7 tahun dengan IMT berada di antara persentil 85 th dan 95
th
dan dengan komplikasi maka direkomendasikan untuk
menurunkan berat badan. Modifikasi perilaku, tatalaksana diet, dan aktivitas fisik merupakan komponen yang efektif dalam pengobatan obesitas pada
Universitas Sumatera Utara
anak. Beberapa cara perubahan perilaku tersebut di antaranya yaitu pengawasan sendiri terhadap masukan makanan, aktivitas fisik, mencatat perkembangannya, kontrol terhadap rangsangan stimulus, mengubah perilaku makan, penghargaan dan hukuman dari orang tua, dan pengendalian diri. 2.3. Anak Usia Sekolah 2.3.1. Karakteristik Anak Sekolah Menurut WHO (World Health Organization) anak sekolah adalah golongan yang berusia antara 7-15 tahun, sedangkan di Indonesia anak sekolah lazimnya anak yang berusia antara 7-12 tahun. Golongan ini memiliki karakteristik mulai mencoba mengembangkan kemandirian dan menentukan batasan-batasan atau norma. Disinilah variasi individu mulai lebih mudah dikenali, seperti pada pertumbuhan dan perkembangan, pola aktivitas, kebutuhan zat gizi, perkembangan kepribadian, serta asupan makanan. 2.3.2. Kebiasaan Makan Anak Anak sekolah dasar memiliki kebiasaan makan yang kurang baik, seperti : 1.
Kebiasaan anak yang suka jajan di sekolah dibandingkan makan di rumah. Kebiasaan banyak jajan merupakan kebiasaan yang tidak baik karena selalu diragukan kebersihannya dan belum tentu makanan yang dibeli tersebut bergizi baik. Selain itu, makanan tersebut dapat menyebabkan badan anak tidak sehat
karena mungkin saja makanan tersebut mengandung
kuman penyakit. 2.
Kebiasaan yang hanya menyukai makanan tertentu tanpa menghiraukan apakah makanan yang disenanginya itu bergizi atau tidak.
3.
Makan tidak teratur, misalnya karena asyik atau sibuk bermain sehingga waktu makan dilewatkan begitu saja. Hal ini dapat
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan penyakit pada organ pencernaan terutama lambung. 4.
Makan yang berlebihan. Kebiasaan ini menyebabkan badan menjadi gemuk dan bila terlalu gemuk, kesehatan pun akan terganggu. Konsumsi makanan yang berlebihan terutama yang mengandung karbohidrat dan lemak akan menyebabkan jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh tidak seimbang dengan kebutuhan energi. Kelebihan energi ini di dalam tubuh akan disimpan dalam bentuk jaringan lemak yang lama-kelamaan akan mengakibatkan obesitas. Selain itu, kebiasaan yang tidak benar memacu seseorang untuk menjadi gemuk. Kebiasaan sering mengkonsumsi makanan kecil yang penuh kalori atau sering diberi istilah ‘ngemil’ dapat meningkatkan kejadian obesitas.
2.3.3.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Asupan Makan pada Anak Sekolah 1. Peran Keluarga Peran keluarga amat penting bagi anak sekolah karena adanya pemilihan makanan yang bergizi. Makan bersama keluarga dengan suasana akrab akan meningkatkan nafsu makan mereka.Sekalipun anak-anak sudah mulai bermain dengan anak-anak lain di luar rumah, keluarga masih merupakan pengaruh sosialisasi yang terpenting. Tidak hanya lebih banyak kontak dengan anggota-anggota keluarga daripada dengan orang lain tetapi hubungan keluarga lebih erat, lebih hangat, dan lebih bersifat emosional. Hubungan keluarga yang erat ini pengaruhnya lebih besar pada anak daripada pengaruh-pengaruh sosial lainnya. 2. Peran Ibu Peranan ibu terhadap lingkungan anak-anak ini tidak terhenti di masa anak-anak saja tetapi masih berlanjut dan kadang-kadang sampai seumur hidup, khususnya pengaruh yang berupa pengalaman yang
Universitas Sumatera Utara
menegangkan, menakutkan, menggoncangkan, dan membahayakan. Secara khusus, ibu sebagai orang yang dekat dengan anak akan dapat melakukan pencegahan masalah kesehatan anak seperti halnya obesitas. Ibu dapat memberikan pengertian, memperbaiki pola asuh makan,
meningkatkan
kegiatan
aktivitas
fisik,
mengenalkan
pendidikan gizi sedini mungkin, membatasi promosi makanan tidak sehat, dan deteksi dini obesitas pada anak. 3. Teman Sebaya Asupan makan banyak dipengaruhi oleh kebiasaan makan teman-teman sekelompoknya. Apa yang diterima oleh kelompok (berupa figur idola, makanan, minuman) juga dengan mudah akan diterimanya. Demikian pula halnya dengan pemilihan bahan makanan. Untuk itu perlu diciptakan dalam kelompok ini suatu kondisi dimana mereka mendapatkan informasi yang baik dan benar mengenai kebutuhan dan kecukupan gizinya sehingga mereka tidak membenci makanan bergizi. 4. Media Massa Media massa lebih banyak berperan disini adalah media televisi, koran, dan majalah. Banyak sekali iklan makan yang kurang memperhatikan perilaku yang baik terhadap pola makan. Oleh sebab itu, informasi tersebut harus ditunjang dengan informasi ilmiah yang benar mengenai kesehatan dan gizi. 5. Sosial Ekonomi dan Uang Jajan Anak Kemampuan keluarga untuk membeli makanan antara lain bergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga, harga bahan makanan itu sendiri, serta tingkat pengelolaan sumber daya lahan dan pekarangan. Kegemaran jajan pada anak sekolah tidak terlepas dari kehidupan ekonomi dan kebiasaan makan keluarga. Kebiasaan jajan anak dipengaruhi oleh tingkat ekonomi keluarga karena anak mendapat uang saku dari orang tuanya.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Pengaruh Aktivitas Fisik terhadap Obesitas Apabila melakukan aktivitas fisik, laju metabolisme akan meningkat di darah dan jaringan tubuh sehingga menghasilkan panas dan meningkatkan suhu. Hal ini akan menyebabkan hiperthermia akibat olahraga (exercise induced hyperthermia, EIH). Banyak faktor yang mempengaruhi regulasi pelepasan hormon sewaktu berolahraga, seperti intensitas dan durasi olahraga, fitness fisik subjek, kekurangan oksigen dan ketersediaannya sewaktu olahraga. Namun, salah
satu faktor yang sering kurang
diperhatikan adalah EIH. Peningkatan metabolisme membakar lemak di tubuh dan membebaskan panas (Radomski, 1998). Penelitian
Hemmingsson
(2006)
menunjukan
adanya
hubungan antara aktivitas fisik dan Indeks Massa Tubuh. Aktivitas fisik memberi efek yang baik terhadap IMT kelompok responden yang obese dibandingkan dengan kelompok responden yang tidak obese. Tingkat aktivitas yang berat lebih memberi efek terhadap IMT responden yang obese
dibanding tingkat aktivitas yang
rendah dengan obesitas. Penelitian Petersen (2004) menunjukan bahwa thermogenesis aktivitas fisik yang ringan dan sedang mencegah terjadinya peningkatan berat badan. Orang dengan IMT yang tergolong underweight, aktivitas fisik yang terlalu banyak akan mengurangi penyimpanan energi dalam tubuhnya sehingga memperburuk status gizinya. Studi yang dilakukan pada tikus yang obese menunjukan bahwa olahraga memberi efek pada jaras sentral yang meregulasi homeostasis energi. Pada tikus yang obese, aktivitas berlari roda mengurangi penumpukan lemak di adiposit secara selektif tanpa meningkatkan kebutuhan energi. Efek ini mungkin diakibatkan sinyal yang dihasilkan oleh aktivitas olahraga seperti interleukin-6, asam lemak dan panas yang memberi efek umpan balik ke otak
Universitas Sumatera Utara
untuk regulasi sistem neuropeptida sentral yang berperan dalam regulasi homeostasis energi. Penggunaan energi setiap hari pada setiap individu bervariasi berdasarkan aktivitas yang dilakukannya. Misalnya, seorang yang duduk menggunakan energi
basal yang sangat rendah dapat
meningkatkan kebutuhan kalori harian sebanyak 500 kalori dengan berenang selama satu jam. Apabila penggunaan kalori melebihi kalori yang disediakan melalui diet, cadangan energi akan diubah sehingga menyebabkan berpengaruh
dalam
penurunan berat badan. Hal ini
penghitungan
kalori
dalam
program
pengaturan berat badan melalui olahraga. Menurut Centre for Disease Control/ CDC (2002) , jenis aktivitas fisik dibagikan menjadi aktivitas ringan, sedang dan berat, seperti berikut: a) Aktivitas Ringan: duduk, naik motor, naik angkutan, antar jemput, mengasuh adik, mencuci piring, menonton TV, main play station, main komputer, belajar di rumah. b) Aktivitas Sedang: bermain di sekolah, berjalan, bersepeda, kegiatan pramuka, main musik, panduan suara, band, palang merah, tenis meja, cuci pakaian menggunakan tangan, mencuci mobil, memasak, menyapu, menyiram tanaman. c) Aktivitas Berat: menari, memain drum, sepak bola, basket, renang, badminton, tenis lapangan, taekwando, aerobik, lari, skiping, sit-up. 2.5.
Pengaruh Pola Konsumsi terhadap Obesitas Obesitas disebabkan oleh konsumsi energi yang melebihi kebutuhan sehari-hari untuk memelihara dan memulihkan kesehatan, proses tumbuh kembang dan melakukan aktifitas jasmani yang berlangsung secara terus-menerus dalam jangka waktu yang cukup lama. Faktor konsumsi makanan ini merupakan faktor yang terpenting untuk terjadinya kegemukan. Banyaknya pilihan jenis makanan, tersedianya
Universitas Sumatera Utara
makanan sepanjang hari dan metode pengawetan makanan yang semakin canggih berpengaruh terhadap tingginya asupan energi (Barasi, 2007). Apabila konsumsi energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah. Leptin kemudian merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro Peptide-Y (NPY) sehingga menurunkan nafsu makan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar daripada konsumsi
energi, maka
jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin sehingga tingginya kadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan (Harrison, 2003). Penelitian Croezen (2007) menunjukan pola makan yang tidak teratur seperti tidak sarapan pagi, asupan alkohol, dan rendahnya aktivitas fisik menyebabkan obesitas (Indeks Massa Tubuh/IMT meningkat). Keseimbangan energi dicapai bila energi yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan sama dengan energi yang dikeluarkan. Keadaan ini akan menghasilkan berat badan ideal/normal. Kelebihan energi terjadi apabila konsumsi energi melalui makanan melebihi energi yang dikeluarkan. Kelebihan energi ini akan diubah menjadi lemak tubuh sehingga berat badan meningkat. Kegemukan bisa disebabkan oleh kebanyakan makan dalam porsi besar, seperti jenis makanan karbohidrat, lemak maupun protein, dan kurangnya aktivitas. Perubahan budaya makan ternyata dapat menyokong kecenderungan terjadinya kegemukan khususnya di negara maju dan pada sebagian masyarakat perkotaan. Kebiasaan makan keluarga suka ditiru oleh anak anak, misalnya makan berlebihan, frekuensi makan sering, makan snack yang berlebihan dan makan di luar waktu makan.
Universitas Sumatera Utara