BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Material baja sebagai bahan konstruksi Material baja terbuat dari biji besi dan logam besi tua yang dicampur dengan bahan tambahan yang sesuai, kemudian dilelehkan dalam tungku bertemperatur tinggi untuk menghasilkan massa-massa besi yang besar yang dinamakan blok tuangan mentah (pigs) atau besi kasar (pigiron). Besi kasar tersebut selanjutnya dicampur logam lain untuk menghasilkan kekuatan, keliatan, pengelasan dan karakteristik ketahanan terhadap korosi (karat) yang diinginkan (Joseph E.Bowles, 1985).
Gambar 2.1 Proses pembuatan material baja karbon sebagai bahan konstruksi (Sumber : http://www.ushamartin.com) Sifat baja yang penting sebagai bahan konstruksi adalah kekuatannya yang tinggi, keseragaman bahan-bahan penyusunnya, kestabilan dimensional, daktilitas yang tinggi, kemudahan pembuatan dan cepatnya pelaksanaan. Namun, baja
12
Universitas Sumatera Utara
memiliki kekurangan seperti biaya perawatan yang besar, biaya pengadaan anti api yang besar (fire proofing cost), ketahanan terhadap perlawanan tekuk kecil, dan kekuatannya akan berkurang jika dibebani secara berulang/periodik (kondisi leleh atau fatigue) 2.1.1 Klasifikasi baja konstruksi Baja yang akan di gunakan sebagai bahan konstruksi dapat di klasifikasikan menjadi baja karbon, baja panduan mutu tinggi dan baja paduan mutu rendah. Sifat sifat mekanik dari baja tersebut seperti tegangan leleh dan tegangan putusnya diatur didalam ASTM A6/A6M. a.
Baja karbon Baja karbon dibagi atas 3 kategori tergantung dari persentase kandungan karbon yang terdapat didalamnya, yaitu:
Baja karbon rendah (low carbon steel), dimana kandungan arangnya lebih kecil dari 0,15%.
Baja karbon ringan (mild carbon steel), dimana kandungan arangnya berkisar 0,15% - 0,29%.
Baja karbon sedang (medium carbon steel), dimana kandungan arangnya berkisar 0,30% - 0,59%.
Baja karbon tinggi
(high carbon steel), dimana kandungan
arangnya berkisar 0,60% - 1,7%. Baja yang sering digunakan dalam perencanaan struktur ialah baja karbon dengan tingkat kandungan yang terdapat didalamnya bermutu karbon ringan (mild carbon steel), misal baja dengan BJ.37 dengan nilai kandungan karbon yang berada didalamnya antara 0,25 – 0,29 %
13
Universitas Sumatera Utara
tergantung dengan tingkat ketebalan dari besi yang akan di cetak. Unsur lain juga terkandung didalam besi tersebut yaitu mangan ( 0.25 % - 1,5 % ), Silikon ( 0.25-0.30% ) fosfor ( maksimal 0.04 % ) dan sulfur (0.05%). Baja karbon menunjukan titik peralihan leleh yang jelas seperti pada gambar grafik dibawah pada (kurva a). Naiknya persentase karbon meningkatkan tegangan leleh namun menurunkan daktalitas, salah satu dampaknya ialah membuat pelaksanaan pekerjaan pengelasan menjadi lebih sulit. Baja karbon umumnya memiliki tegangan leleh (fy) 210 – 250 Mpa b.
Baja paduan mutu tinggi Yang di maksud dalam kategori baja paduan mutu tinggi ( High Stregh Low- Alloy Steel / HSLA ) yaitu baja dengan mempunyai tegangan leleh berkisar antara 290 – 550 Mpa dengan tegangan putus (fu) antara 415 – 700 Mpa. Titik peralihan leleh dari baja ini nampak dengan jelas pada (kurva b). Penambahan sedikit bahan bahan paduan seperti chromium, columbium, magan, molybden, nikel, fosfor, vanadium, atau zinkonium dapat memperbaiki sifat-sifat mekaniknya. Jika baja karbon memiliki kekuatannya seiring dengan penambahan persentase karbon, maka bahan – bahan paduan ini mampu memperbaiki sifat mekanik baja dengan membentuk mikrostruktur dalam bahan baja yang lebih halus
c.
Baja paduan mutu rendah Baja paduan mutu rendah ( low alloy ) dapat ditempah dan dipanaskan untuk memperoleh tegangan leleh antara 550 – 760 Mpa. Titik
14
Universitas Sumatera Utara
peralihan tegangan leleh tidak tampak dengan jelas (kurva c) . tegangan leleh dari baja paduan mutu rendah ini biasanya ditentukan sebagai tegangan yang terjadi saat timbul regangan permanen sebesar 0.2 % atau dapat ditentukan pula sebagai tegangan pada saat regangan mencapai 0.5 % . Baut yang biasa di gunakan sebagai alat pengencang mempunyai tegangan putus minimum 415 Mpa hingga 700 Mpa. Baut mutu tinggi mempunyai kandungan karbon maksimum 0.30 %, dengan tegangan putus berkisar antara 733 Mpa hingga 838 Mpa
Kurva C
Kurva B Kurva A
Gambar 2.2 Hubungan tegangan – regangan tipikal (Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson,Struktur Baja, 1995)
15
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Sifat – sifat mekanik baja konstruksi Agar dapat memahami struktur perilaku struktur baja, maka seorang ahli struktur harus memahami pula sifat sifat mekanik dari baja. Model pengujian yang paling tepat untuk mendapatkan sifat – sifat mekanik dari material baja adalah dengan melakukan uji tarik terhadap suatu benda uji baja . uji tekan tidak dapat memberikan data yang akurat terhadap sifat sifat mekanik material baja, karena disebabkan beberpa hal antara lain adanya potensi tekuk pada benda uji yang mengakibatkan ketidakstabilan dari benda uji tersebut, selain itu perhitungan tegangan yang terjadi dalam benda uji lebih mudah dihitung pada uji tarik dari pada pada pengujian tekan. Pada gambar dibawah menunjukan suatu hasil uji tarik material baja pada suhu kamar serta memberikan laju regangan yang normal . Tegangan nominal (f) yang terjadi pada benda uji di plot pada sumbu vertical , sedangkan regangan () yang merupakan perbandingan antara pertambahan panjang dengan panjang mula – mula (
) di plot pada sumbu horizontal .
Gambar .2.3 Hasil uji tarik benda uji sampai mengalami keruntuhan (Sumber : Agus Setiawan,Struktur Baja Metode LRFD, 2008 )
16
Universitas Sumatera Utara
Gambar .2.4 Perilaku benda uji hingga mencapai regangan sebesar + 2 % (Sumber : Agus Setiawan,Struktur Baja Metode LRFD, 2008 )
Dari gambar 2.3 terlihat 4 zona perilaku yaitu : zona elastik, zona plastis, zona strain hardening dan zona sepanjang peristiwa terjadinya neckling serta diakhiri dengan kegagalan (failure). Keterangan berikut merupakan penjelasan dari kempat zona diatas :
Dalam
Zona
regangan,
tegangan
dan
regangan
bersifat
proposional, kemiringan linear yang ada merupakan modulus elastisitas / modulus young ( E ) . daerah ini dinamakan zona elastik, zona ini berakhir dengan ditandai dengan tercapainya kelelehan material (fy)
Setelah awal kelelehan terjadi zona berbentuk garis datar ( flat plateau ) pada zona ini setiap peningkatan nilai regangan yang terjadi tidak ada peningkatan nilai tegangan yang mengiringinya. Daerah ini disebut plato plastis
17
Universitas Sumatera Utara
Saat zona plasto plastis berakhir, strain hardening mulai terjadi dan secara bertahap meningkatkan nilai tegangan sampai mencapai tegangan ultimate (Fu). Setelah itu tegangan cenderung menurun dengan bertambahnya regangan sebagai nilai indikasi masuknya daerah neckling yang diakhiri dengan kegagalan fraktur ( failure )
Titik – titik penting dalam kurva tegangan dan regangan ialah :
fp
= Batas Proposional
fe
= Batas Elastis
fyu, fy
= Tegangan Leleh atas dan bawah
fu
= Tegangan Putus
sb
= Regangan saat mulai terjadi efek strain- hardening (penguatan regangan)
u
= Regangan saat tercapainya tegangan putus
Sifat mekanis baja struktural yang digunakan dalam perencanaan yaitu :
Modulus elastisitas (E)
= 200.000 MPa
Modulus geser (G)
= 80.000 MPa
Nisbah poisson (μ)
= 0,3
Koefisien pemuaian (α)
= 12 x 10-6 per oC
18
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan tegangan leleh dan tegangan putus dari baja , SNI 03-1729-2002 mengklasifikasikan mutu dari material baja menjadi 5 kelas, yaitu :
Jenis Baja BJ 34 BJ 37 BJ 41 BJ 50 BJ 55
Tegangan putus minimum fu (MPa) 340 370 410 500 550
Tegangan leleh minimum fy (MPa) 210 240 250 290 410
Peregangan minimum (%) 22 20 18 16 13
Tabel 2.1. Kelas mutu baja berdasarkan tegangan leleh dan putus (Sumber : Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1729-2002)
2.2 Sambungan pada Konstruksi Baja Sambungan ialah satu media yang berfungsi untuk mengabungkan elemen – elemen tunggal pada satu konstruksi baja yang digabung secara tersusun sehingga membentuk satu kesatuan konstruksi. Salah satu fungsi utama sebuah sambungan ialah untuk memindahkan gaya-gaya yang bekerja pada titik penyambungan ke elemen-elemen struktur yang disambung. Pada konstruksi baja, selain memindahkan gaya-gaya yang terjadi, fungsi/tujuan lain dilakukannya penyambungan yaitu :
menggabungkan beberapa batang baja membentuk kesatuan konstruksi sesuai kebutuhan.
mendapatkan ukuran baja sesuai kebutuhan (panjang, lebar, tebal, dan sebagainya).
19
Universitas Sumatera Utara
memudahkan dalam penyetelan konstruksi baja di lapangan.
memudahkan
penggantian
bila
suatu
bagian/batang
konstruksi
mengalami rusak. Pada sambungan baja sering terdapat kemungkinan adanya bagian/batang konstruksi yang berpindah, contohnya antara lain yaitu peristiwa pemuaian dan penyusutan baja akibat adanya perubahan suhu. Dikarenakan bentuk struktur bangunan baja yang begitu kompleks, kejadian perubahan - perubahan baja tersebut sangat menganggu fungsi kekuatan dan ketahanan struktur tersebut khususnya pada daerah titik sambungan baja konstruksi. Pada umumnya sambungan antara elemen tersebut harus direncanakan dengan matang agar struktur bangunan dapat bertahan sesuai dengan perencanaan yang di rencanakan. Kegagalan dalam sambungan dapat mengakibatkan perubahan fungsi struktur bangunan, dan kegagalan yang paling berbahaya adalah keruntuhan pada struktur tersebut akibat perubahan fungsi. Untuk mencegah hal tersebut, maka kekakuan sambungan antara elemen - elemen tersebut harus memenuhi persyaratan dalam perencanaan sambungan. Terdapat dua filosofi yang biasa digunakan dalam perencanaan struktur baja yaitu: 1. Perencanaan dengan metode peninjauan terhadap tegangan kerja / working stress design ( Allowable Stress Design / ASD ) 2. Perencanaan dengan metode
peninjauan kondisi batas / limit states
Design ( Load and Resistance Factor Design / LRFD) Jika ditinjau dari perencanaan struktur baja metode tegangan kerja (working stress / ASD), konstruksi baja dibedakan atas tiga kategori sesuai dengan jenis
20
Universitas Sumatera Utara
sambungan yang dipakai. Ketiga jenis ini adalah sebagai berikut (Charles G. Salmon dan John E. Johnson, 1995) : 1. Jenis 1 AISC. Sambungan portal kaku (rigid connection), Sambungan ini memiliki kontinuitas penuh sehingga sudut pertemuan antara batang-batang tidak berubah, yakni derajat pengekangan (restraint) sambungan untuk berotasi minimal 90% atau lebih dari yang diperlukan untuk mencegah perubahan sudut. Sambungan ini dipakai baik pada metode perencanaan tegangan kerja maupun perencanaan plastis. 2. Jenis 2 AISC. Sambungan kerangka sederhana (simple framing), Sambungan ini memiliki pengekangan rotasi di ujung-ujung batang dibuat sekecil mungkin. Suatu kerangka dapat dianggap sederhana jika sudut semula antara batang-batang yang berpotongan dapat berubah sampai 80% dari besarnya perubahan teoritis yang diperoleh dengan menggunakan sambungan sendi tanpa gesekan (frictionless) atau derajat pengekangan sambungan untuk berotasi maksimal 20%. Kerangka sederhana tidak digunakan dalam perencanaan plastis, kecuali pada sambungan batang-batang tegak lurus bidang portal yang harus mencapai kekuatan plastis 3. Jenis 3 AISC. Sambungan kerangka semi-kaku ( semi-rigid connection). Sambungan ini memiliki pengekangan rotasi sambungan berkisar antara 20% - 90% dari yang diperlukan untuk mencegah perubahan sudut. Sambungan semi-kaku tidak dipakai dalam perencanaan plastis dan jarang sekali digunakan pada metode tegangan kerja, terutama karena derajat pengekangannya sukar ditentukan.
21
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan jika di tinjau dari perancanaan struktur baja dengan metode kondisi batas (limit states design / LRFD), konstruksi baja dibedakan atas dua kategori sesuai dengan jenis sambungan yang dipakai, antara lain : 4. Tipe FR (Fully Restrained) Sambungan terkekang penuh Sambungan ini dulu dikenal sebagai sambungan kaku (rigid connection) dimana sambungan ini dianggap memiliki kekakuan yang tinggi untuk menjaga perubahan sudut antara elemen – elemen yang disambung. Dengan kata lain, momen yang bekerja ditransfer secara penuh dan juga rotasi perputaran pada sambungan itu berputar secara bersamaan sehingga tidak ada penyimpangan, sambungan ini dikenal sebagai sambungan “tipe – 1” pada perencanaan metode ASD 5. Tipe PR (Partially Restrained) Sambungan terkekang sebagian Sambungan ini dulu dikenal sebagai sambungan fleksibel (flexible connection) dimana pada sambungan ini, alat penyambung dibuat sefleksibel mungkin sehingga pada kedua ujung komponen struktur yang disambung dianggap bebas momen. Sambungan ini juga dikenal sebagai sambungan “tipe – 2” pada perencanaan metode ASD
2.2.1 Sambungan Momen (Moment Connections) Sambungan momen adalah salah satu sub bagian dari sambungan “tipe -1” dalam perencanaan dengan mengunakan analisa metode ASD atau sambungan “tipe-FR” dalam perencanaan dengan mengunakan analisa metode LRFD. Sehingga sambungan momen dapat kita didefinisikan sebagai
22
Universitas Sumatera Utara
sambungan yang memiliki kekakuan yang tinggi dimana sambungan ini dapat menjaga perubahan sudut yang terjadi antara elemen – elemen yang disambung satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, momen yang bekerja pada elemen yang disambung ditransfer secara penuh kepada media penyambung yang kemudian media penyambungan tersebut meneruskan gaya momen ke elemen struktur yang tersambung pada sambungan tersebut hal ini menyebabkan rotasi perputaran elemen – elemen struktur pada sambungan itu berputar secara bersamaan sehingga tidak ada penyimpangan sudut atau sangat kecil. Jika kita meninjau sambungan momen berdasarkan metode alat penyambungnya, sambungan ini dapat terbagi atas 2 bagian yaitu : 1. Sambungan momen dengan mengunakan metode las Prinsip kerja dengan mengunakan metode ini yaitu pada komponen elemen struktur pendukung diberikan plat penyambung yang disambung dengan cara pengelasan pada sisi badan dari profil, sementara komponen elemen struktur yang didukung juga di sambung ke plat penyambung dengan mengunakan media las sebagai alat penyambungnya. Sehingga kondisi sambungan tersebut menjadi lebih kaku untuk menjaga perputaran sudut antara elemen struktur yang didukung dengan elemen struktur yang digunakan
sebagai
pendukung
sambungan.
Akan
tetapi
dikarenakan metode pengelasan yang dilakukan pada sistem penyambungan ini maka sifat dari sambungan ini dapat dinyatakan sebagai sambungan definitif atau sambungan tetap
23
Universitas Sumatera Utara
contoh gambar sambungan dengan mengunakan metode pengelasan
Gambar .2.5 Sambungan momen dengan metode las (Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson,Struktur Baja, 1995)
24
Universitas Sumatera Utara
2. Sambungan momen dengan mengunakan metode baut Prinsip kerja dengan mengunakan metode ini yaitu pada komponen elemen struktur pendukung diberikan plat penyambung yang disambung dengan cara pengelasan pada sisi badan dari profil, sementara komponen elemen struktur yang didukung di sambung ke plat penyambung dengan mengunakan media baut sebagai alat penyambungnya. Sehingga kondisi sambungan ini juga menjadi kaku sehingga perputaran sudut antara elemen struktur yang didukung dengan elemen struktur pendukung dapat berotasi / berputar secara bersamaan. Sambungan dengan mengunakan metode baut ini bersifat sementara atau dapat dibuka lagi tanpa merusak alat – alat penyambungnya
Gambar .2.6 sambungan momen dengan metode baut (Sumber : Charles G. Salmon dan John E. Johnson,Struktur Baja, 1995) 25
Universitas Sumatera Utara
Sambungan momen dengan mengunakan metode penyambungan dengan mengunakan media baut sebagai alat penyambungnya sangat banyak digunakan dalam perencanaan sambungan pada konstruksi bangunan baja. Hal ini di sebabkan karena tingkat pengerjaan penyambungan sambungan dengan mengunakan media baut lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan menggunakan sambungan las sebagai media alat penyambungnya, sehingga efisiensi waktu dan biaya dalam hal pelaksanaan konstruksi dapat dicapai. Sambungan dengan mengunakan media baut ini biasanya sering digunakan dalam menyambung elemen elemen struktur antara lain : 1. Sambungan momen untuk penyambungan antara balok dan kolom ( lampiran gambar 2.7.a) 2. Sambungan momen untuk penyambungan antara balok dan balok ( lampiran gambar 2.7.b) 3. Sambungan momen untuk penyambungan antara kolom dan kolom ( lampiran gambar 2.7.c) 4. Sambungan momen untuk penyambungan
antara kolom dan
pondasi ( lampiran gambar 2.7.d)
Gambar 2.7.a. sambungan balok & kolom
26
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.7.b. sambungan balok & balok
Gambar 2.7.c. sambungan kolom & kolom
27
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.7.d. sambungan kolom & pondasi
2.2.2 Sambungan Momen untuk penyambungan balok dan kolom Sambungan momen antara balok dan kolom direncanakan sesuai dengan tingkat derajat kekakuan sambungan, perubahan – perubahan sudut yang terjadi akibat adanya momen membuat beberapa karakteristik sambungan. Hal ini dapat digambarkan dalam sebuah grafik kurva untuk menghubungkan antara momen yang bekerja balok yang dibebani dengan perputaran rotasi sudut antara kolom dan balok atau yang dikenal sebagai grafik kurva momen rotasi ( M - )
Gambar 2.8.a. Klasifikasi sambungan berdasarkan kekuatan ( strength ) 28
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.8.b. Klasifikasi sambungan berdasarkan kekakuan ( rigidity )
Gambar 2.8.c. Klasifikasi sambungan berdasarkan daktailitas ( ductile ) Pada umumnya, kurva momen-rotasi dari sebuah sambungan dapat memberikan beberapa sifat atau karakteristik sebagai berikut : 1.
Kekakuan dari sebuah sambungan diidentifikasi dari kemiringan kurva.
2.
Perilaku sambungan pada umumnya adalah non linier, dimana kekakuan menurun sedangkan rotasi meningkat.
3.
Pada Gambar 2.8.c, daktilitas meningkat seiring meningkatnya rotasi. Sebuah sambungan dapat dinyatakan ductile jika memenuhi syarat bahwa rotasi yang terjadi lebih besar dari 0,03 radians.
29
Universitas Sumatera Utara
Pada Gambar 2.8.a, sehubungan dengan kekuatan (strength), sambungan diklasifikasikan menjadi full strength, partial strength, dan nominally pinned. Sambungan full strength didefinisikan sebagai sambungan dengan moment resistance M sama atau lebih besar dari moment capacity (M ≥ Mcx). Kurva 1, 2, dan 4 menunjukkan sambungan full strength. Sambungan partial strength didefinisikan sebagai sambungan moment resistance M sama atau kurang dari moment capacity (M ≤ Mcx). Kurva 3 dan 5 termasuk ke dalam klasifikasi partial strength. Sedangkan nominally pinned adalah sambungan yang cukup fleksibel dengan momen resistance tidak lebih 25% dari moment capacity. Kurva 6 menggambarkan sambungan tipe nominally pinned.
Pada Gambar 2.8.b, kekakuan (rigidity) sama dengan kekakuan rotasi dimana kurva 1, 2, 3, dan 4 menunjukkan sambungan rigid. Sedangkan kurva 5 termasuk dalam klasifikasi sambungan semi-rigid. Dalam peraturan BS5950 dijelaskan bahwa garis putus-putus antara rigid dengan semi-rigid diperoleh dari rumus 2EI/L. Pada Gambar 2.8.c, kurva 2, 4, dan 5 adalah sambungan ductile. Kurva 1 tidak ductile dan kurva 3 berada antara ductile dan non-ductile. Kurva 6 merupakan jenis sambungan nominally pinned, sehingga merupakan sambungan sederhana.
30
Universitas Sumatera Utara
Dari hasil grafik kurva momen rotasi ( M - ) maka perencanaan sambungan balok berdasarkan tingkat kekuatan sambungan terdapat tipe sambungan yang dikenal dengan istilah sambungan plat ujung / end plat connection. Dimana tipe sambungan plat ujung tersebut dibagi atas 2 jenis tipe sambungan yaitu : 1. Sambungan tipe Flush ( Flush End Plate ) Sambungan ini memiliki bentuk plat penyambung yang lebarnya sama dengan ketinggian balok yang akan disambung sehingga baut yang berguna sebagai media penyambungnya hanya diletakkan pada posisi bagian dalam balok saja 2. Sambungan tipe Extended ( Extended End Plate ) Sambungan ini memiliki bentuk plat penyambung yang lebarnya lebih tinggi dari pada ketinggian balok yang akan disambung sehingga baut yang berguna sebagai media penyambungnya dapat diletakkan pada posisi bagian luar balok penyambung
2.3 Kegagalan yang terjadi pada sambungan baja Perencanaan sambungan struktur konstruksi baja didasari pada konsep yang menyatakan bahwa semua komponen struktur direncanakan untuk tingkat kekuatan dan kekakuan yang sesuai dengan beban yang bekerja. Kekakuan struktur pada umumnya dikaitkan dengan kemampuan layan. Kemampuan layan sendiri terkait dengan kinerja dari suatu struktur atau komponennya selama proses pelayanan terhadap beban.
31
Universitas Sumatera Utara
dari gambar dibawah ini untuk daerah yang mengalami perubahan bentuk akibat gaya yang terjadi
Gambar 2.9 Tegangan dan Regangan yang terjadi pada sambungan end plat (Sumber : The Steel Construction Institute, 1995 dan AISC 2005)
ZONA
Tegangan
Geser Horizontal
Tekanan
Geser Vertikal
NOTASI PROSEDUR PEMERIKSAAN a Tegangan Pada Baut b
Pembengkokan pada plat penyambung
c
Pembengkokan pada plat sayap kolom
d
Tegangan pada plat badan balok
e
Tegangan pada plat badan kolom
f
Sambungan las plat penyambung ke plat sayap kolom
g
Sambungan las plat badan balok ke plat penyambung
h
Gaya geser pada pelat badan kolom
j
Tekanan pada plat sayap balok
k
Sambungan las plat penyambung ke plat sayap kolom
l
Keruntuhan pada bagian plat badan kolom
m
Tekuk pada bagian plat badan kolom
n
Sambungan las plat penyambung ke plat badan balok
p
Geser pada baut
q
Patahan akibat baut pada plat ataupun sayap
32
Universitas Sumatera Utara
2.3.1 Kegagalan akibat tegangan yang terjadi ( failure by tension ) Kegagalan yang terjadi akibat tegangan yang timbul membuat kerusakan dan perubahan beberapa bagian dari sambungan momen antara lain kerusakan yang timbul pada bagian baut penyambung , perubahan pada bagian sayap kolom serta perubahan pada bagian plat penyambung end plate, gaya tegangan yang diberikan pada baut mengakibatkan baut yang terpasangan akan mengalami kegagalan yang mengakibatkan kehancuran ataupun putus pada bagian badan baut. Kekuatan pada masing masing baut pada daerah tegangan tergantung oleh bengkokan yang terjadi pada plat penyambung maupun yang terjadi pada plat sayap untuk kolom pendukung. Dengan menganalisa dan menghitung dari kemampuan perlawanan untuk masing masing barisan baut mengacu pada gambar dibawah ini.
Baris 1 Baris 2 Baris 3 Baris 4
Gambar 2.10 Distribusi tahanan baut dari tegangan yang terjadi (Sumber : The Steel Construction Institute, 1995 dan AISC 2005)
33
Universitas Sumatera Utara
Dengan perhitungan untuk bagian Pelat Sambungan (end plate) = =
−
− 0.85
−
………………………………….. ( pers. 2.2 )
……………………… ( pers. 2.1 )
Sedangkan perhitungan untuk sayap pada kolom ( column flange ) = =
− −
− 0.8
…………………………. ( pers. 2.3 )
…………………………………… ( pers. 2.4 )
Dimana notasi untuk diatas ; g = Jarak horizontal antara pusat baut ke baut dalam satu baris bp = Lebar dari pelat sambungan ( end plate ) B = Lebar sayap kolom tb = Tebal badan dari balok tc = Tebal badan dari kolom sww = tebal las dari badan balok ke pelat penyambung swf = tebal las dari sayap balok ke pelat penyambung Ketentuan untuk plate yang diperlebar bahwa : mx = x – 0.85wf ex = jarak tepi dari plat yang di perlebar ke titik pusat baut nx = nilai minimum antara ex dengan 1,25mx 34
Universitas Sumatera Utara
Nilai nilai yang terjadi pada Pr1, Pr2, Pr3 dan seterusnya, dihitung dari urutan baris yang paling atas ( baris 1 ) hingga baris yang paling bawah, dimana beban yang akan terjadi juga dihitung mulai dari baris paling atas kemudian diteruskan sampai baris yang paling bawah dengan mengkombinasikan baris baris sebelumnya. Untuk bagian pembengkokan pada sayap ataupun pada bagian end plate yang mengalami tegangan. Kehancuran yang terjadi di periksa dan dianalisa secara terpisah. Dengan mengasumsikan perlawan yang terjadi maka kegagalan pada bagian sayap ataupun pada bagian end plate dibagi atas 3 bagian antara lain : Model 1: m
Sayap melentur dengan sempurna
+
+
Model 2: n
m
Sayap melentur tetapi baut putus
′
′
Model 3: S
′
′
Sayap tidak melentur tetapi baut putus
35
Universitas Sumatera Utara
Dalam model 1, mencari persamaan untuk mendapatkan Pr :
=
……….………………………………….. ( pers. 2.5 )
=
……….………………………. ( pers. 2.6 )
Dalam model 2, mencari persamaan untuk mendapatkan Pr : (
=
)
…….………………………….. ( pers. 2.7 )
Dalam model 3, mencari persamaan untuk mendapatkan Pr :
= Σ
…….…………………………………..... ( pers. 2.8 )
Dimana notasi untuk diatas ; Leff = panjang efektif garis lentur sesuai persamaan T – stub ( lamp. Tabel 2.2, 2.3, 2.4 ) t
= tebal sayap kolom ataupun tebal pelat penyambung
Py = Kuat rencana dari kolom ataupun pelat penyambung Pr = Kemampuan lawan dari barisan baut ataupun kelompok Pt’ = Kapasitas tegangan baut ΣPt’ = total kapasitas tegangan baut dalam satu kelompok
m = jarak dari titik pusat baut ke tepi bagian dalam kolom n = jarak dari titik pusat baut ke tepi bagian luar kolom 36
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Panjang efektif ( Leff ) untuk persamaan garis lentur
(Sumber : The Steel Construction Institute, 1995 dan AISC 2005)
37
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3 Panjang efektif ( Leff ) untuk persamaan garis lentur
(Sumber : The Steel Construction Institute, 1995 dan AISC 2005)
38
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4 Panjang efektif ( Leff ) untuk persamaan garis lentur
(Sumber : The Steel Construction Institute, 1995 dan AISC 2005)
39
Universitas Sumatera Utara
Tegangan juga terjadi pada badan balok dan kolom seperti yang dapat digambarkan di bawah ini, dapat kita lihat pada gambar dibawah, pada bagian badan kolom baris pada posisi baris 2 dan posisi baris 3, sangat rentan terjadinya kegagalan perlawanan tegangan dari baut, sedangkan pada posisi badan balok terdapat baris 3 yang mengalami potensi kerusakan akibat pembebanan tegangan pada baut
Jalur kegagalan Pada bagian badan balok
Kegagalan badan kolom pada Baris 2 + Baris 3
Jalur kegagalan Pada bagian badan kolom
Kegagalan badan balok pada Baris 3
Gambar 2.11 Tegangan pada badan kolom dan juga pada badan balok (Sumber : The Steel Construction Institute, 1995 dan AISC 2005)
Adapun kemampuan perlawanan terhadap tegangan tersebut dapat ditententukan dengan mengunakan persamaan sebagai berikut : Pt = Lt x tw x Py ……………………… ( pers. 2.9 )
40
Universitas Sumatera Utara
Dimana notasi diatas sebagai berikut : Lt = panjang regangan efektif pada badan dengan asumsi pelebaran 60O dari baut kepusat badan seperti pada gambar 2.11 tw = tebal badan atau kolom Py = kekuatan rencana baja kolom ataupun baut
2.3.2 Kegagalan akibat gaya tekan ( failure by compression ) Kegagalan pada sambungan juga timbul akibat gaya tekan yang terjadi pada sambungan tersebut, akibat dari gaya gaya tekan yang terjadi kerusakan pada bagian badan kolom yang menjadi retak ataupun badan kolom yang menjadi tertekuk, perlawanan dari badan kolom diteruskan kepada bagian sayap balok menjadi tertekan dan juga sdikit punter antara bagian badan balok dengan bagian sayap balok. Untuk menghitung tekanan yang terjadi dalam badan kolom Pc, terdapat dua persamaan yang dapat dipakai yang kemudian akan di bandingkan untuk mendapatkan nilai yang terkecil, arah perlawanan dari badan kolom dihitung dari perlawanan badan pada panjang penyebaran kekuatan berikut :
Gambar 2.12 Distribusi penyebaran gaya akibat tekan pada bagian kolom (Sumber : The Steel Construction Institute, 1995 dan AISC 2005)
41
Universitas Sumatera Utara
Untuk persamaan diatas dapat ditulis sebagai berikut :
Pc = (b1 + n2 ) x tc x Py ……………………… (pers. 2.10 )
Dimana notasi diatas sebagai berikut : b1 = panjang penahan kekakuan berdasarkan 450 penyebaran melalui pelat penyambung ke bagian tepi dari las n2 = perolehan panjang dari perbandingan 1 : 2,5 penyebaran sayap kolom dan radius kaki tc = tebal badan kolom Pyc = kekuatan rencana kolom tp = tebal dari pelat penyambung Tc = tebal sayap kolom r
= radius kaki kolom
untuk melayani gaya tekan yang terjadi bagian badan pada kolom juga mengalami tekuk, hal ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.13 Distribusi penyebaran tekuk yang terjadi pada badan kolom (Sumber : The Steel Construction Institute, 1995 dan AISC 2005)
42
Universitas Sumatera Utara
Untuk persamaan diatas dapat ditulis sebagai berikut :
Pc = (b1 + n1 ) x tc x Pc ……………………… (pers. 2.11 )
Dimana notasi diatas sebagai berikut : b1 = panjang penahan kekakuan berdasarkan 450 penyebaran melalui pelat penyambung ke bagian tepi dari las n1 = perolehan panjang dari 450 penyebaran melalui setengah dari tiggi penampang kolom, dimana tinggi penampang kolom ( Dc ) tc = tebal badan kolom Pc = kekuatan rencana kolom tp = tebal dari pelat penyambung
untuk melayani gaya tekan yang terjadi bagian sayap dan badan pada balok, tekanan yang terjadi dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.14 Distribusi penyebaran tekuk yang terjadi pada badan kolom (Sumber : The Steel Construction Institute, 1995 dan AISC 2005)
43
Universitas Sumatera Utara
Untuk persamaan diatas dapat ditulis sebagai berikut :
Pc = 1,4 x Pyb x Tb x Bb ……………………… (pers. 2.12 )
Dimana notasi diatas sebagai berikut : Pyb = kekuatan rencana balok tp = tebal dari sayap balok Bb = Lebar sayap balok
2.3.3 Kegagalan akibat geser horizontal (failure by horizontal shear) Kegagalan pada sambungan juga timbul akibat gaya geser yang terjadi pada sambungan tersebut, untuk dapat memberikan kesetimbangan gaya pada sambungan geser horizontal juga dapat terjadi dalam perencanaan sambngan momen, akibat dari gaya gaya geser yang terjadi kerusakan pada bagian badan kolom yang menjadi retak ataupun badan kolom yang menjadi tertekuk, adapun gaya yang terjadi digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.15 Distribusi penyebaran geser horizontal pada badan kolom (Sumber : The Steel Construction Institute, 1995 dan AISC 2005)
44
Universitas Sumatera Utara
Untuk persamaan diatas dapat ditulis sebagai berikut :
Pv = 0,6 x Pyc x tc x Dc ……………………… (pers. 2.13 )
Dimana notasi diatas sebagai berikut : Pyc = kekuatan rencana kolom tc = tebal dari badan kolom Dc = tinggi dari penampang kolom
2.3.4 Kegagalan akibat geser vertikal (failure by vertical shear) Kegagalan pada sambungan juga timbul akibat gaya geser vertikal yang terjadi pada sambungan tersebut, untuk dapat memberikan kesetimbangan gaya pada sambungan, kapasitas untuk gaya geser vertical dihitung mengunakan pengurangan nilai barisan baut yang berada di daerah tegangan, di tambah nilai geser penuh untuk baut yang diabaikan ketika menghitung kapasitas moment, digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.16 Distribusi penyebaran geser vertikal pada badan balok (Sumber : The Steel Construction Institute, 1995 dan AISC 2005)
45
Universitas Sumatera Utara
Untuk persamaan diatas dapat ditulis sebagai berikut :
V < ( ns x Pss ) + ( nt x Pst ) ……………………… (pers. 2.14 )
Dimana notasi diatas sebagai berikut : V = kekuatan geser rencana ns = jumlah baut pada daerah geser Pss = kapasitas geser dari baut tunggal hanya pada daerah geser yang paling kecil dari hasil nilai persamaan berikut : Ps x As………… ( untuk perhitungan geser baut ) d x tp x Pb ……. ( untuk perhitungan geser pada pelat ) d x tf x pb …….. ( untuk perhitungan geser pada sayap ) Pts = kapasitas geser dari baut tunggal hanya pada daerah tegangan yang paling kecil dari hasil nilai persamaan berikut : 0,4 x Ps x As…… ( untuk perhitungan geser baut ) d x tp x Pb ……. ( untuk perhitungan geser pada pelat ) d x tf x pb …….. ( untuk perhitungan geser pada sayap ) Ps = Kuat geser baut As = daerah geser baut, dianjurkan daerah ulir Ts = tebal sayap kolom tp
= tebal end plate
Pb = nilai minimum dari kuat tekan untuk kedua baut, Pbb atau bagian sambungan, Pbs
46
Universitas Sumatera Utara
2.4 Software Fine Elemen Analisis ( FEA ) ANSYS 2.4.1 Pengertian dan sejarah pengunaan ANSYS ANSYS adalah sebuah software analisis elemen hingga dengan kemampuan menganalisa dengan cakupan yang luas untuk berbagai jenis masalah ( Tim Langlais,1999). persamaan
differensial
dengan
ANSYS
mampu
memecahkan
cara memecahnya menjadi elemen-
elemen yang lebih kecil. Pada awalnya program ini bernama STASYS (Structural Analysis System), kemudian berganti nama menjadi ANSYS yang ditemukan pertama kali oleh Dr. John Swanson pada tahun 1970. ANSYS merupakan tujuan utama dari paket permodelan elemen hingga untuk secara numerik memecahkan masalah mekanis yang berbagai macam. Masalah yang ada termasuk analisa struktur statis dan dinamis (baik linear dan non-linear), distribusi panas dan masalah cairan, begitu juga dengan ilmu bunyi dan masalah elektromagnetik. Teknologi ANSYS mekanis mempersatukan struktur dan material yang bersifat non-linear. ANSYS multiphysic juga mengatasi masalah panas, struktur, elektromagnetik, dan ilmu bunyi. Program ANSYS dapat digunakan dalam teknik sipil, teknik listrik, fisika dan kimia.
2.4.2 Sistem Kerja analisa program ANSYS bekerja dengan sistem metode elemen hingga, dimana penyelesaiannya pada suatu objek dilakukan dengan memecah satu rangkaian kesatuan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan dihubungkan dengan node.
47
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.17 pemodelan elemen dengan metode pengunaan node Hasil yang diperoleh dari ANSYS ini berupa pendekatan dengan menggunakan analisa numerik. Ketelitiannya sangat bergantung pada cara kita memecah model tersebut dan menggabungkannya Secara umum, suatu solusi elemen hingga dapat dipecahkan dengan mengikuti 3 tahap ini. Ini merupakan panduan umum yang dapat digunakan untuk menghitung analisis elemen hingga.
Tahapan pendahuluan, langkah yang disiapkan adalah : -
Mendefinisikan titik point, garis, luas, volume
-
Mendefinisikan
jenis
elemen
dan
bentuk
material/geometri
Menghubungkan garis, luas, volume sesuai kebutuhan.
Tahapan Analisa, langkah yang disiapkan adalah : -
menetapkan beban yang ada berupa beban terpusat ataupun terbagi rata,
48
Universitas Sumatera Utara
-
menetapkan perletakan ( translasi dan rotasi)
-
terakhir menjalankan analisisnya .
Tahapan Hasil Analisa data, dalam hal ini hasil yang dapat di tampilkan oleh software ini adalah : -
Tabel perpindahan nodal
-
Tabel gaya dan momen
-
Defleksi (penurunan)
-
Diagram kontur tegangan dan regangan
ANSYS juga memiliki sistem satuan di dalamnya, oleh karena itu kita
harus
menggunakan
sistem
satuan
yang
konsisten
untuk
mengerjakannya.
Tabel 2.5 Satuan yang digunakan dalam software ansys Dimana di dalam program ANSYS untuk menyamakan satuannya, maka nantinya pada bagian command di ketikkan “/units,si” .
49
Universitas Sumatera Utara
Setelah itu kita dapat melihat satuan-satuan yang ada pada bagian output windows di bagian command prompt.
50
Universitas Sumatera Utara