BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar, adapun meningginya emosi terutama karena remaja berada di bawah tekanan sosial dan kondisi baru (Hurlock, 1998). Sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru, misalnya masalah yang berhubungan dengan percintaan yang merupakan masalah pelik pada periode yang berada pada usia 15-18 tahun (Monks, 1996). Ma`shum & Wahyurini (2004) menyatakan remaja mengalami suatu perubahan dalam perkembangan sosialnya, menjalin hubungan dengan orang lain, seperti berteman, bersahabat, pacaran, yang merupakan perwujudan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Hurlock (1998) menambahkan membentuk hubungan baru dan lebih matang dengan lawan jenis merupakan tugas perkembangan pertama yang berhubungan dengan seks dan harus dikuasai oleh remaja. Perkembangan minat terhadap lawan jenis ini lebih dikenal dengan istilah pacaran dalam masyarakat. Biasanya pacaran dimulai dari rasa saling tertarik dan sayang antara dua manusia yang kemudian memilih untuk mengikatkan rasa tersebut secara resmi (persetujuan untuk mejadi pasangan kekasih) diantara pasangan tersebut atas nama pacaran (Ma’shum & Wahyurini, 2004). Pacaran merupakan kelanjutan dari perkenalan dan diteruskan dengan hubungan individu terhadap lawan jenis. Jadi di dalam pacaran ini laki-laki dan wanita saling menjajaki seberapa cocok atau tidaknya mereka berdua, termasuk latar belakang watak, sifat, pendidikan, dan lain-lainnya. Pacaran ini melebihi hubungan sekadar teman, atau teman dekat, namun ini adalah teman paling dekat (Saumiman, 2005). Pacaran juga seringkali dianggap sebagai pintu masuk hubungan yang lebih dalam lagi, yaitu melakukan berbagai aktivitas perilaku seksual seperti touching, kissing, necking, petting hingga sexual intercourse sebagai wujud kedekatan antara dua orang yang sedang jatuh cinta (De Guzman & Diaz, 1999). Hal ini terungkap dari komunikasi personal penulis dengan salah seorang pelajar yang masih duduk di kelas 2 SMA yang bernama Gigo (nama samaran) yang berusia 17 tahun : ”Buatku...yang namanya pacaran itu harus seneng-seneng...banyak yang bisa dilakuin barengbareng...kan udah suntuk tu dirumah..jadi ya...bisa lah cium-cium bibir dikit ngobatin suntuk kak... (Komunikasi Personal, Medan, 03 April 2008)
11
Universitas Sumatera Utara
Hanifah (2002) menyatakan bahwa berbagai banyak aktivitas seksual terjadi tanpa disadari atau direncanakan, hal ini disebabkan oleh tidak terdapatnya komitmen yang jelas mengenai batasan pacaran yang mendorong individu untuk melakukan berbagai aktivitas seksual seperti touching, kissing, necking, petting hingga pada puncaknya melakukan hubungan seksual dengan pacarnya. Lebih lanjut Hurlock (1998) memaparkan berbagai alasan melakukan hubungan seksual dalam berpacaran, salah satunya keyakinan bahwa hubungan seksual dalam pacaran adalah hal yang “harus dilakukan” karena semua orang melakukannya, bahwa laki-laki dan perempuan yang masih berstatus perawan berarti “berbeda” dan hal ini menimbulkan rasa rendah diri pada individu tersebut serta perilaku seksual yang seperti ini merupakan ungkapan dari hubungan yang bermakna memenuhi kebutuhan untuk mengadakan hubungan yang intim dengan orang lain, sebagai bukti cinta, sayang, dan pengikat hubungan. Pernyataan ini didukung oleh dua penelitian yang dilakukan Damayanti (2008) yang melibatkan 8.941 pelajar dari 119 SMU di Jakarta. Hasil yang didapat, 5% pelajar telah melakukan hubungan seksual pranikah, lebih lanjut penelitian yang dilakukan di Yogyakarta mendapatkan hasil 88,9% responden di kota pelajar tersebut mengaku pernah melakukan hubungan seksual pranikah dan 75% diantaranya telah melakukannya lebih dari sekali. Hurlock (1998) menyatakan mempunyai pasangan tetap tidak berarti harus melibatkan rencana untuk masa depan atau berjanji untuk menikah akan tetapi hal itu sering kali menyebabkan timbulnya alasan untuk melonggarkan nilai-nilai dengan diperbolehkannya dilakukan bentukbentuk perilaku seksual yang lebih lanjut. Sebagai buktinya, terdapat salah satu bentuk perilaku seksual yang diterima misalnya, berciuman pada kencan pertama dan mulai bercumbu pada kencankencan berikutnya. Bagi remaja masa kini, berkencan dan mempunyai pasangan tetap, prosesnya dianggap terjadi lebih awal dibandingkan dengan remaja di masa lampau, mereka terlibat dalam keakraban seksual pada usia yang lebih muda dan bersenggama sudah biasa bagi remaja yang mempunyai pasangan tetap. Bersenggama atau melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya, tidak selalu diawali dengan permintaan lisan tetapi dengan stimulasi atau rangsangan langsung yang merupakan bagian dari perilaku seksual terhadap pasangan. Pasangan yang awalnya menolak pada akhirnya bersedia dan menjadi mau melakukannya karena berada dalam keadaan terangsang. (Hanifah, 2002). Sebagaimana yang diungkap oleh Prily (nama samaran) yang berusia 16 tahun berikut ini : ”Ya... mau gimana lagi yah... soalnya kemaren tu lagi sepi dirumahnya... trus... bisa dibilang kebawa sikon (situasi kondisi)... duduknya deket-deket... trus... mulai dipegang-pegang... sampe-sampe aku gak kuat lagi kak...ya udah... mau ajalah aku nge-seks sama pacarku itu...” (Komunikasi Personal, Medan, 05 April 2008) Hanifah (2002) memaparkan alasan mengapa individu mau menuruti keinginan pacarnya untuk berhubungan seksual, antara lain sebagai bukti cinta dan sangat mencintai pacar, agar menjadi miliknya sepenuhnya, dorongan seks, ingin mencoba, takut mengecewakan, takut diputuskan, 12
Universitas Sumatera Utara
terbuai rayuan pacar, butuh kasih sayang, terpengaruh budaya atau gaya hidup bebas, takut kehilangan pacar, terlanjur sayang dengan pacar, dan tidak sadar sepenuhnya. Sebagaimana yang diungkap oleh Prily (nama samaran) yang berusia 16 tahun berikut ini : ”Sebenernya...Prily agak-agak takut sih kak awal-awalnya...cuman karena dibujuk-bujuk sama pacar Prily..katanya dia...gak sayang...gak cinta kalo gak buat kayak gitu...jadi ya Prily takut aja pacar Prily putusin Prily kalo Prily gak turutin maunya dia buat ML (Making Love)...” (Komunikasi Personal, Medan, 04 April 2008) Pada masa pacaran terdapat berbagai perilaku yang ditampilkan oleh para remaja untuk menunjukkan rasa cinta masing-masing, baik dalam tingkah laku yang sangat banyak berkorban dalam hal apapun untuk memenuhi keinginan pasangan mereka dalam perkataan maupun tindakan, termasuk didalamnya melakukan aktivitas seksual (Saumiman, 2005). Fenomena melakukan berbagai aktivitas seksual dalam pacaran ini semakin marak, hal ini disebabkan oleh globalisasi informasi, salah satunya terlihat dari semakin berkembangnya teknologi di bidang komunikasi dan informasi yang memungkinkan terjadinya pertukaran nilai-nilai dari berbagai budaya serta gaya hidup dari berbagai tempat di dunia. Termasuk kebiasaan dan batasbatas dalam menjalin hubungan dengan pacar yang tidak sesuai dengan budaya timur yang identik dengan kesopanan(Yuliandini, 2006). Teknologi berfungsi sebagai sarana pemberi informasi, pemberi identitas pribadi, sarana intergrasi, interaksi sosial dan sebagai sarana hiburan (Hidayat, 2006). Oleh karena itu kemajuan dalam teknologi berkomunikasi merupakan sesuatu yang patut disyukuri, sebab berbagai pemenuhan kebutuhan hidup manusia menjadi lebih mudah. Pada dasarnya, teknologi membawa implikasi positif dalam sejarah kehidupan manusia, bahkan kemajuan teknologi menjadi bukti perkembangan kemampuan manusia untuk menggunakan nalar dan pikirannya dalam mengelola alam dan potensi diri manusia itu sendiri, serta tergabung dalam masyarakat modern yang menurut Denis McQuail ditandai oleh individu yang menghabiskan sebagian besar waktu untuk bertukar informasi dengan media komunikasi dan pemakaian teknologi seperti telepon dan komputer (Raharjo, 2007). Salah satu bentuk perkembangan dalam teknologi komunikasi dan informasi adalah handphone, yang ternyata telah membawa kemudahan bagi manusia di belahan manapun di dunia ini untuk berkomunikasi. Hal ini sangat menolong manusia untuk memperpendek jarak tempuh. Tidak perlu bertemu secara fisik, namun di udara dapat saling bertukar informasi dan menyampaikan pesan. Secara khusus teknologi handphone semakin membuat kerahasiaan (privacy) manusia begitu terjaga, akan tetapi kemudahan ini bisa saja disalahgunakan dan membawa dampak buruk bagi individu yang dirugikan. Ketika hasil pencapaian teknologi kemudian disalahgunakan, maka yang muncul adalah beragam dampak buruk. Tidak hanya tujuan utama dari perkembangan ilmu
13
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan dan teknologi yang tidak tercapai, namun penyalahgunaan rekayasa teknologi itu sendiri akan membuat hidup manusia semakin sulit bahkan tidak terkendali (Raharjo, 2007). Data statistik menunjukkan tidak kurang dari 3 juta orang di Indonesia sekarang sudah menggunakan handphone sebagai alat komunikasinya. Sepertiganya telah menggunakan handphone keluaran terbaru yang menggabungkan kemampuan fotografi dan videografi. Maka tumbuhlah sebuah komunitas baru, para pemakai handphone yang menggunakan fungsi lain, lebih dari sekedar untuk menelpon dan berkirim pesan. Kini mereka menjadi pemakai, penikmat dan pelaku pembuatan tayangan audio visual dengan menggunakan fasilitas teknologi terkini yang terdapat di dalam handphone. Tumbuh dan berkembangnya teknologi handphone mempermudah setiap orang untuk mengekspresikan rasa seni dan eksplorasi peralatan audio visual yang murah meriah, ringan dan instan. Setiap pemakai handphone, mendadak ikut serta berkarya membuat apa saja atas nama seni instan. Membuat berbagai macam dokumentasi, memotret apa saja hingga kecenderungan untuk hal-hal lain yang kadang menyimpang (Sony, 2007). Fenomena ini yang sekarang menjadi trend di kalangan remaja berstatus pelajar. Sebagaimana diungkapkan sejumlah media massa, banyak pelajar yang sudah menggunakan handphone dengan berbagai fasilitas canggih di dalamnya untuk hal-hal yang tak wajar. Salah satunya berhubungan dengan pembuatan dan penyebarluasan gambar-gambar dan video porno, pernyataan ini didukung oleh fakta dan data di lapangan tentang meledaknya pornografi di Indonesia yang sudah semakin mengkhawatirkan. Indikator mengkhawatirkan dapat dilihat dari jumlah penyebaran materi pornografi yang dikemas menjadi industri fotografi, film, mini video dan lain sebagainya. Industri film dengan kemasan pornografi yang kental, ditenggarai telah menjadi pemicu suatu budaya menonton materi serba porno (Apriyanti, 2007). Berdasarkan hasil riset seorang pemerhati perilaku seksual Dr. Andik Wijaya terhadap 202 remaja di kota Malang pada september 2001, diketahui data-data sebagai berikut : Tabel 1. Hasil Riset Perilaku Seksual Remaja di Malang NO
KETERANGAN
JUMLAH
1
Remaja terlibat materi-materi pornografi
93%
2
Pernah melihat materi berbau pornografi
82%
3
Sering melihat materi berbau pornografi
10%
4
Setiap hari melihat materi pornografi
1%
5
Remaja memilih perilaku seks bebas
12 %
6
Pernah melakukan hubungan seks sebelum
15%
menikah 7
Remaja
yang
sudah
bertunangan
telah
100%
melakukan hubungan seks sebelum menikah
Sumber : (Nusantari, 2005) 14
Universitas Sumatera Utara
Dari data di atas terlihat persentase yang hampir seimbang antara remaja yang kecanduan pornografi (10%) dengan remaja yang setuju perilaku seks bebas (12%), bahkan persentase perilaku seks bebas sebelum menikah lebih besar lagi, 15%. Dari 15% pelaku seks bebas sebelum menikah, dua pertiganya (10%) respondennya sangat terkait dengan hobi mengkonsumsi pornografi (Nusantari, 2005). Terdapat sejumlah penelitian yang dilakukan terhadap para remaja yang mendukung data diatas, seperti survei yang dilakukan oleh Synovate Research tentang perilaku seksual remaja di 4 kota, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan, pada September 2004. survei ini mengambil 450 responden dari 4 kota tersebut dengan rentang usia 15-24 tahun. Hasil dari survei tersebut dipaparkan lebih jelas dalam tabel di bawah ini : Tabel 2. Hasil riset dari Synovate Research tentang perilaku seksual remaja NO 1
Remaja
KETERANGAN
JUMLAH
yang
44%
memiliki
pengalaman seksual di usia 16-18 tahun 2
Remaja
yang
memiliki
16%
pengalaman seksual di usia13-15 tahun
Sumber : (Damayanti, 2008) Kasus generasi muda Indonesia yang terjebak pengaruh kultur pornografi ini juga muncul ke permukaan satu persatu. Kasus ‘Bandung Lautan Asmara’, ‘Lombok Lautan Asmara’, atau kasus ‘Medan Membara’ hingga klip singkat ’Pamer Dada’ pelajar SMP yang beredar melalui telepon genggam (Bakuama, 2006). Setelah Bandung Lautan Asmara, Lombok Membara dan Medan Membara, adegan rekaman porno ABG yang diperankan pelajar SMU dari Pekanbaru mencuat ke permukaan dari berita media cetak dan media elektornik. Mulanya via handphone ke handphone di lingkungan sekolah, namun lambat laun menyebar hingga sampai ke situs porno (Basri, 2006). Tahun 2001 dunia pendidikan di Pekanbaru juga terkesima oleh adegan pornografi tersebut. Dua pasangan yang dimabuk asmara melakukan adegan porno yang direkam melalui kamera telepon genggam. Rekaman yang berdurasi sekitar 27 detik ini memperlihatkan adegan hubungan seksual yang selayaknya dilakukan oleh suami istri. Rekaman ini dibagi ke dalam 2 sesion. Sesion pertama berdurasi 13 detik sedangkan sesion ke dua berdurasi 14 detik (Basri, 2006). Seolah tidak ingin ketinggalan, di tahun yang sama kurang lebih enam bulan sejak kemunculan ”Bandung Lautan Asmara”, muncul mini video lain berjudul ”Medan Lautan Asmara” dengan menggunakan hotel kelas melati sebagai settingnya. Rekaman tersebut berisi adegan hubungan seksual sepasang muda-mudi untuk yang pertama kalinya bagi aktor wanita. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui dialog yang terjadi antara aktor pria dan wanita. Aktor wanita tampak tertekan 15
Universitas Sumatera Utara
dan cemas, sedangkan aktor pria terlihat memaksa untuk melakukan hubungan seks sesegera mungkin. Rekaman ini juga menjadi mini video seks pertama di Indonesia yang dibuat dengan visualisasi kekerasan (Sony, 2007). Tercatat hingga akhir tahun 2006 angka koleksi video porno handphone di internet buatan Indonesia yang beredar di masyarakat jumlahnya mencapai 500 lebih dan 90% yang melibatkan pelajar SMA dan mahasiswa. Video-video yang beredar ada beberapa kategorinya. Pertama, memang dibuat dan diedarkan dengan sengaja oleh pelakunya. Kedua, berupa dokumentasi pribadi yang diedarkan tanpa sepengetahuan pembuatnya. Ketiga adalah video yang dibuat dan diedarkan tanpa sepengetahuan pelakunya (Apriyanti, 2007). Selain itu jenis video pornografi dilihat berdasarkan pelakunya juga bermacam-macam, dari pasangan selingkuh, sex party, kejahatan dan perkosaan, homoseksual dan lesbian, dan sepasang remaja yang sedang berpacaran (Sony, 2007). Indonesia sendiri tercatat sebagai negara surga pornografi dan pornoaksi terbesar ke-3 di dunia setelah Rusia dan Scandinavia (Nusa, G, 2006). Bagi publik negeri ini, Pornografi (tulisan, gambar, dan lain sebagainya) atau pornoaksi (perbuatan memamerkan anggota tubuh yang digelar dan ditonton secara langsung) selalu jadi tema hangat. Namun, semua hal tersebut seperti lingkaran, yang tidak bisa dikenali pangkal dan ujungnya, namun rasa ketakutan akan semakin meluasnya kasus-kasus penyalahgunaan teknologi menjadi sebuah kenyataan pahit (Bakuama, 2006). Hal ini didukung oleh semakin tingginya jumlah pengguna handphone di Indonesia yang tidak dibarengi dengan kesadaran moral dan etika untuk tidak menyalahgunakan teknologi sebagai alat untuk membuat tayangan pornografi. Salah satu dari para pengguna yang menyalahgunakan teknologi tersebut menjelaskan beberapa hal yang mendorong mereka membuat tayangan porno tersebut, salah satunya berawal dari perbuatan iseng yang kemudian berkembang menjadi suatu kecerobohan (Bakuama, 2006). Hal ini terungkap saat penulis melakukan komunikasi personal dengan Gigo (nama samaran), seorang pelajar putri berusia 17 tahun (bulan Maret 2008) : ”ehm...buat rekaman-rekaman gitu...kenapa...bisa dibilang iseng kali ya kak...tadinya sih asikasik aja. Soalnya aku sama pacarku enjoy ngebuatnya...biar pacaran kerasa beda...he he...” (Komunikasi Personal, Medan, 27 Maret 2008) Berdasarkan pernyataan diatas alasan mereka melakukan penyalahgunaan teknologi handphone dalam bentuk membuat rekaman berbau pornografi adalah iseng. Sebuah fenomena yang menggemparkan karena sejumlah pelajar dan mahasiswa yang terlibat bahkan menjadi pelaku utama dalam pembuatan film-film porno berdurasi pendek tersebut. Dari 500 rekaman yang berhasil di data, pasangan kekasih yang masih berstatus pelajar dan mahasiswa yang sedang dimabuk cinta ini memutuskan mengeksploitasi hubungan seks yang dilakukan atas kesadaran dan keisengan (Sony, 2007). Hal ini didukung dengan artikel yang memuat satu kasus yang terjadi Februari 2006 pada sepasang pelajar di Singapura yang mengaku memutuskan melakukan aksi merekam adegan 16
Universitas Sumatera Utara
hubungan seks mereka menggunakan handphone hanya karena iseng, sebagai manifestasi hubungan cinta mereka. Alasan lain yang menggambarkan mengapa anak muda Indonesia nekat memutuskan untuk melakukan penyalahgunaan teknologi dan membuat video porno adalah karena rasa sayang yang berlebihan kepada pacar (Sony, 2007). Meskipun fenomena mini video pornografi pelajar saat ini sedang menjadi trend, tidak semua remaja memiliki pemikiran yang sama. Hal ini didukung dengan pernyataan salah satu responden yang memutuskan tidak melakukan perekaman saat responden dan pacarnya melakukan hubungan seksual. Adapun pernyataan responden bernama Sheila (nama samaran), seorang pelajar putri berusia 16 tahun (bulan Mei 2008) yang terungkap saat penulis melakukan komunikasi personal adalah : ”Buat Sheila sih....ngerekam-ngerekam kek gitu bahaya banget...kalo kesebar gimana? Kalo sampe masuk internet...trus beredar disekolah...belon lagi kalo ketauan mami papi? Belun lagi udah dosa ngelakuin kek gitu ditambah lagi direkam...ada bukti lah jadinya...wah...bisa mati Sheila kak...jadi...waktu itu Sheila bilang aja Sheila malu kalo direkam...jadi...gak mau... (Komunikasi personal, Medan 19 Mei 2008)
Proses pengambilan keputusan membuat mini video pornografi pada remaja yang berpacaran menarik untuk diteliti, karena setiap hari baik sadar ataupun tidak kita membuat banyak keputusan. Kebanyakan dari keputusan yang kita buat adalah keputusan yang dianggap tidak begitu penting, misalnya apa yang akan kita makan sewaktu sarapan, baju apa yang akan kita pakai untuk tidur dan lain sebagainya. Tetapi disisi lain, keputusan untuk membeli mobil, rumah atau memilih pekerjaan adalah keputusan-keputusan yang termasuk penting. Membuat keputusan merupakan suatu hal yang sulit dilakukan karena beberapa pilihan biasanya melibatkan banyak aspek, dan sangat jarang satu pilihan terbaik dapat mencakup semua aspek yang diinginkan (Eysenck & Keane, 2001). Pengambilan keputusan didefinisikan oleh Shull, Delbecq & Cummings sebagai suatu kesadaran dalam proses manusia, menyangkut individu dan fenomena sosial, berdasarkan hal-hal yang fakta dan aktual yang menghasilkan pilihan dari satu aktivitas perilaku yang berasal dari satu atau lebih pilihan (Taylor, 1994). Pengambilan keputusan memiliki beberapa komponen seperti yang dipaparkan oleh Martin Starr (dalam Syamsi, 1995) yaitu : Memiliki tujuan, tujuan harus ditegaskan dalam pengambilan keputusan. Apa tujuan pengambilan keputusan itu. Identifikasi Alternatif, untuk mencapai tujuan tersebut, perlu dibuat beberapa alternatif yang nantinya akan dipilih salah satu yang dianggap paling tepat. Faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya, keberhasilan pemilihan alternatif itu baru dapat diketahui setelah keputusan dilaksanakan, salah satu yang mempengaruhinya adalah uncontrollable events pada masa yang akan datang yang tidak dapat diketahui dengan pasti. Dibutuhkan sarana untuk mengukur hasil yang dicapai, masing-masing alternatif perlu disertai akibat positf dan negatifnya, termasuk sudah diperhitungkan didalamnya uncontrollable events. 17
Universitas Sumatera Utara
Pengambilan keputusan sendiri meliputi suatu proses ataupun tahapan. Dunn (dalam Syamsi, 1995) menyatakan lima tahapan pengambilan keputusan, yaitu: Policy Problems, mengambil keputusan pada tahap ini berarti perlu menggunakan metode perkiraan yang akan menghasilkan pilihan-pilihan keputusan untuk memecahkan masalah. Pilihan-pilihan keputusan tersebut berisi tentang perkiraan mengenai akibat dan konsekuensi baik positif atau negatifnya. Policy Alternatives, pada tahap ini pengambil keputusan memilih satu diantara pilihan-pilihan keputusan yang tersedia, yang dianggap paling tepat untuk memecahkan masalah itu. Policy Action, pada tahap ini diperlukan pemantauan agar jangan sampai berlarut-larut jika ternyata pilihan yang dipilih dan diputuskan itu kurang tepat. Policy Outcomes, Pada tahap ini perlu diadakannya evaluasi dengan menggunakan cara yang tepat, jika ternyata hasil evaluasi menunjukkan bahwa hasil pelaksanaan pilihan kurang tepat maka kembali pada tahap Policy Alternatives untuk mengambil pilihan yang lainnya. Policy Performance, pada tahap ini dilakukan penyusunan dan perumusan masalah. Ini berarti bahwa dari hasil yang telah dicapai atas keputusan yang telah diambilnya kemudian untuk memecahkan masalah yang sama dengan situasi yang sama perlu dirumuskan dan disusun terlebih dahulu dengan jelas permasalahan yang sebenarnya. Sedangkan menurut Janis (1987) Tahapan ataupun proses pengambilan keputusan tersebut meliputi lima hal yaitu : Appraising the Challenge, Surveying Alternatives, Weighing Alternatives, Deliberating About Commitment, Adhering Despite Negative Feedback yang akan dipaparkan lebih lengkap pada bab 2. Berangkat dari pemaparan di atas peneliti tertarik dan memfokuskan arah penelitian ini berdasarkan satu kasus yang terjadi di Medan pada Desember 2007 yang melibatkan pasangan remaja yang sedang berpacaran Prily dan Gigo (nama samaran). Sekitar 8 (delapan) bulan yang lalu, tepatnya bulan September 2007 Prily dan Gigo memutuskan untuk meningkatkan keintiman diantara mereka dengan merubah status mereka dari teman menjadi pacar. Secara gamblang mereka memaparkan mereka sangat enjoy dalam menjalani hubungan tersebut, berbagai aktifitas layaknya remaja lainnya mereka lakukan, mulai dari menghabiskan waktu bersama makan dikantin, ’nongkrong’ ditaman sekolah seusai jam sekolah, jalan ke mal sampai ’ngapel’ saat malam minggu tiba (Komunikasi Personal, Medan 29 Mei 2008). Berbagai kegiatan yang dilakukan bersama tersebut ditambah dengan aktifitas lain yang membuat Prily dan Gigo merasa semakin dekat dan tidak terpisahkan, awalnya berpengangan tangan, berciuman, namun aktifitas tersebut semakin meningkat ketika Prily dan Gigo menyerah pada dorongan atau yang lebih dikenal dengan hasrat seksual seperti, mencium disekitar leher (Necking), menggesekkan alat kelamin (Petting), masturbasi bersama, oral seks hingga puncaknya melakukan hubungan seksual yang sepantasnya baru dapat dilakukan ketika telah terikat pada satu lembaga pernikahan (Komunikasi Personal, Medan 29 Mei 2008). 18
Universitas Sumatera Utara
Dilakukannya seluruh aktifitas seksual tersebut tidak begitu saja membuat pasangan remaja ini puas, mereka terus mengeksplorasi hal apa lagi yang bisa membuat pacaran mereka terasa lebih ’menyenangkan’ dan ’berbeda’. Dorongan tersebut akhirnya sampai pada pemikiran Gigo saat usia pacaran mereka 3 (tiga) bulan untuk mengajak Prily merekam akitivitas mereka saat berhubungan seksual, puncaknya adalah tersebarnya rekaman berorientasi seksual tersebut dikalangan teman Gigo dan Prily melalui perantara handphone hingga situs porno yang ada di internet (Komunikasi Personal, 29 Mei 2008). Banyak hal yang sangat mungkin terjadi pada remaja yang berpacaran, salah satunya ketertarikan pada aktifitas seksual baru berupa keputusan untuk melakukan perekaman saat melakukan aktifitas seksual dengan handphone seperti kasus di atas dengan salah satu tujuan, memberi dampak berbeda pada hubungan pacaran tersebut. Bagi sebagian pasangan terdapat sesuatu yang dirasakan dapat merubah hubungan, namun sebagian lagi ada yang merasa tidak akan terjadi perubahan apapun, namun ada juga yang merasa bahwa hubungan pacaran tersebut bisa saja berakhir (Caroll, 2005). Peneliti berharap akan dapat tergali lebih banyak lagi mengenai fenomena pembuatan mini video pornografi pada remaja yang berpacaran seperti perilaku pacaran pada remaja yang memiliki mini video pornografi, tahapan pembuatan mini video pornografi, motif pembuatan, faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan mini video, proses pengambilan keputusan membuat mini video, yang dapat menambah informasi dan menjadi sesuatu yang bermanfaat. B. Perumusan Masalah Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan sebelumnya, maka perumusan masalah penelitian ini adalah : bagaimana proses pengambilan keputusan membuat mini video pornografi. C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memperoleh pemahaman mengenai bagaimana proses pembuatan mini video pornografi pada remaja yang berpacaran. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Manfaat teoritis penelitian ini adalah untuk menambah khasanah dalam pembelajaran mengenai proses pembuatan mini video pornografi pada remaja yang berpacaran dan memberi sumbangan bagi ilmu psikologi khususnya Psikologi Sosial. 2. Manfaat praktis Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat : 1. Memberikan wacana dan informasi tentang fenomena mini video pornografi pada remaja, dengan tujuan agar remaja yang sedang menjalani hubungan pacaran dapat mengenali
19
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan munculnya berbagai bentuk perilaku dalam pacaran yang mengarah pada pemanfaatan untuk kepentingan pornografi yang ada dalam hubungan pacaran. 2. Pihak-pihak yang terkait seperti pasangan remaja yang sedang berpacaran, orang tua, pihak sekolah dapat melakukan antisipasi ketika indikasi perilaku muncul sehingga dapat mencegah munculnya hal-hal yang bersifat pornoaksi yang melibatkan remaja. 3. Menjadi acuan bagi yang tertarik dengan fenomena mini video pornografi pada remaja yang berpacaran.
E. Sistematika Penulisan Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab dengan sistematika penelitian sebagai berikut : BAB I
:
Pendahuluan Bab I berisi tentang uraian singkat mengenai latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II
:
Landasan Teori Bab II berisi uraian teori yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teoriteori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang pengambilan keputusan yang terdiri dari definisi, proses pengambilan keputusan, pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Teori pornografi dan pornoaksi yang terdiri dari definisi, kategori mini video pornografi serta alasan mengapa remaja membuat mini video porno. Teori remaja dan pacaran.
BAB III
:
Metode Penelitian Bab III berisi uraian yang menjelaskan mengenai metode penelitian yang digunakan, partisipan penelitian, lokasi penelitian, prosedur pengambilan partisipan, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, prosedur penelitian.
Bab IV
:
Analisa Data dan Hasil Analisa Data Bab ini menguraikan mengenai data pribadi partisipan, data observasi, data wawancara yang berupa analisa data dan hasil analisa data perpartisipan yang meliputi faktor-faktor yang memicu munculnya aktifitas seksual, bentuk-bentuk aktifitas seksual, proses pengambilan keputusan pembuatan mini video pornografi, faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan dan alasan mengapa remaja membuat mini video pornografi.
Bab V
:
Kesimpulan, Diskusi, dan Saran 20
Universitas Sumatera Utara