BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Gagal Jantung Kongestif
2.1.1
Definisi Gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala klinis akibat kelainan
struktural dan fungsional jantung sehingga mengganggu kemampuan pengisian ventrikel dan pompa darah ke seluruh tubuh. Tanda-tanda kardinal dari gagal jantung ialah dispnea, fatigue yang menyebabkan pembatasan toleransi aktivitas dan retensi cairan yang berujung pada kongesti paru dan edema perifer. Gejala ini mempengaruhi kapasitas dan kualitas dari pasien gagal jantung (AHA, 2001). Gagal jantung kongestif adalah sindroma klinis kompleks akibat kelainan jantung ataupun non-jantung yang mempengaruhi kemampuan jantung untuk memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh seperti peningkatan cardiac output. Gagal jantung dapat muncul akibat gangguan pada miokardium, katup jantung, perikardium, endokardium ataupun gangguan elektrik jantung (SIGN, 2007).
2.1.2
Etiologi Beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif ialah :
a. Penyakit Jantung Koroner Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk menderita penyakit gagal jantung, terutama penyakit jantung koroner dengan hipertrofi ventrikel kiri. Lebih dari 36% pasien dengan penyakit jantung koroner selama 7-8 tahun akan menderita penyakit gagal jantung kongestif ( Hellerman, 2003). Pada negara maju, sekitar 60-75% pasien penyakit jantung koroner menderita gagal jantung kongestif (Mann, 2008). Bahkan dua per tiga pasien yang mengalami disfungsi sistolik ventrikel kiri disebabkan oleh Penyakit Jantung Koroner (Doughty dan White, 2007).
Universitas Sumatera Utara
b. Hipertensi Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan komplikasi terjadinya gagal jantung (Riaz, 2012). Berdasarkan studi Framingham dalam Cowie tahun 2008 didapati bahwa 91% pasien gagal jantung memiliki riwayat hipertensi. Studi terbaru Waty tahun 2012 di Rumah Sakit Haji Adam Malik menyebutkan bahwa 66.5% pasien gagal jantung memiliki riwayat hipertensi. Hipertensi menyebabkan gagal jantung kongestif melalui mekanisme disfungsi sistolik dan diastolik dari ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri menjadi predisposisi terjadinya infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang nantinya akan berujung pada gagal jantung kongestif (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers D.G., 2000).
c. Cardiomiopathy Cardiomiopathy merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak disebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi atau kelainan kongenital. Cardiomiopathy terdiri dari beberapa jenis. Diantaranya ialah dilated cardiomiopathy yang merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya gagal jantung kongestif. Dilated cardiomiopathy berupa dilatasi dari ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi ini disebabkan oleh hipertrofi sel miokardium dengan peningkatan ukuran dan penambahan jaringan fibrosis (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers D.G., 2000). Hipertrophic
cardiomiopathy
merupakan
salah
satu
jenis
cardiomiopathy yang bersifat herediter autosomal dominan. Karakteristik dari jenis ini ialah abnormalitas pada serabut otot miokardium. Tidak hanya miokardium tetapi juga menyebabkan hipertrofi septum. Sehingga terjadi obstruksi aliran darah ke aorta (aortic outflow). Kondisi ini menyebabkan komplians ventrikel kiri yang buruk, peningkatan tekanan diastolik disertai aritmia atrium dan ventrikel (Scoote M., Purcell I.F., Wilson P.A., 2005).
Universitas Sumatera Utara
Jenis lain
yaitu Restrictive and
obliterative cardiomiopathy.
Karakteristik dari jenis ini ialah berupa kekakuan ventrikel dan komplians yang buruk, tidak ditemukan adanya pembesaran dari jantung. Kondisi ini berhubungan dengan gangguan relaksasi saat diastolik sehingga pengisian ventrikel berkurang dari normal. Kondisi yang dapat menyebabkan keadaan ini ialah Amiloidosis, Sarcoidosis, Hemokromasitomatosis dan penyakit resktriktif lainnya (Scoote M., Purcell I.F., Wilson P.A., 2005).
d. Kelainan Katup Jantung Dari beberapa kasus kelainan katup jantung, yang paling sering menyebabkan gagal jantung kongestif ialah Regurgitasi Mitral. Regurgitasi mitral meningkatkan preload sehingga terjadi peningkatan volume di jantung. Peningkatan volume jantung memaksa jantung untuk berkontraksi lebih kuat agar darah tersebut dapat didistribusi ke seluruh tubuh. Kondisi ini jika berlangsung lama menyebabkan gagal jantung kongestif (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers D.G., 2000).
e. Aritmia Artial Fibrilasi secara independen menjadi pencetus gagal jantung tanpa perlu adanya faktor concomitant lainnya seperti PJK atau hipertensi. 31% dari pasien gagal jantung ditemukan gejala awal berupa atrial fibrilasi dan ditemukan 60% pasien gagal jantung memiliki gejala atrial fibrilasi setelah dilakukan pemeriksaan echocardiografi. Aritmia tidak hanya sebagai penyebab gagal jantung tetapi juga memperparah prognosis dengan meningkatkan morbiditas dan mortalitas (Cowie et.al., 1998).
f. Alkohol dan Obat-obatan Alkohol memiliki efek toksik terhadap jantung yang menyebabkan atrial fibrilasi ataupun gagal jantung akut. Konsumsi alkohol dalam jangka
Universitas Sumatera Utara
panjang menyebabkan dilated cardiomiopathy. Didapati 2-3% kasus gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh konsumsi alkohol jangka panjang. Sementara itu beberapa obat yang memiliki efek toksik terhadap miokardium diantaranya ialah agen kemoterapi seperti doxorubicin dan zidovudine yang merupakan antiviral (Cowie, 2008).
g. Lain-lain Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen untuk menyebabkan penyakit gagal jantung kongestif pada laki-laki sedangkan pada wanita belum ada fakta yang konsisten (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers D.G., 2000). Sementara diabetes merupakan faktor independen dalam mortalitas dan kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif melalui mekanisme perubahan struktur dan fungsi dari miokardium. Selain itu, obesitas menyebabkan peningkatan kolesterol yang meningkatkan resiko penyakit jantung koroner yang merupakan penyebab utama dari gagal jantung kongestif. Berdasarkan studi Framingham disebutkan bahwa diabetes merupakan faktor resiko yang untuk kejadian hipertrofi ventrikel kiri yang berujung pada gagal jantung (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers D.G., 2000).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Penyebab Gagal Jantung Kongestif Main Ischemic Heart Disease (35-40%) Cause
Cardiomiopathy expecially dilated (30-34%) Hypertension (15-20%) Cardiomyopathy undilated : Hyperttrophy/obstructive, restrictive (amyloidosis, sarcoidosis) Valvular heart disease (mitral, aortic, tricuspid) Congenital heart disease (ASD,VSD) Alcohol and drugs (chemotherapy-trastuzamab, imatinib) Hyperdinamic circulation (anemia, thyrotoxicosis, haemochromatosis)
Other Cause Right Heart failure (RV infarct, pulmonary hypertension, pulmonary embolism, COPD Tricuspid incompetence Arrhythmia (AF, Bradycardia (complete heart block, the sick sinus syndrome)) Pericardial disease (constrictive pericarditis, pericardial effusion) Infection (Chagas’ disease) Sumber : Kumar, P., Clark, M., 2009. Cardiovascular disease. In : Clinical Medicine Ed 7th
2.1.3
Patogenesis Gagal Jantung Kongestif diawali dengan gangguan otot jantung yang tidak
bisa berkontraksi secara normal seperti infark miokard, gangguan tekanan hemodinamik, overload volume, ataupun kasus herediter seperti cardiomiopathy. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan penurunan kapasitas pompa jantung. Namun, pada awal penyakit, pasien masih menunjukkan asimptomatis ataupun gejala simptomatis yang minimal. Hal ini disebabkan oleh mekanisme kompensasi tubuh yang disebabkan oleh cardiac injury ataupun disfungsi ventrikel kiri (Mann, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Beberapa mekanisme yang terlibat diantaranya: (1) Aktivasi ReninAngiotensin-Aldosteron (RAA) dan Sistem Syaraf Adrenergik dan (2) peningkatan kontraksi miokardium. Sistem ini menjaga agar cardiac output tetap normal dengan cara retensi cairan dan garam. Ketika terjadi penurunan cardiac output maka akan terjadi perangsangan baroreseptor di ventrikel kiri, sinus karotikus dan arkus aorta, kemudian memberi sinyal aferen ke sistem syaraf sentral di cardioregulatory center yang akan menyebabkan sekresi Antidiuretik Hormon (ADH) dari hipofisis posterior. ADH akan meningkatkan permeabilitas duktus kolektivus sehingga reabsorbsi air meningkat (Mann, 2008). Kemudian sinyal aferen juga mengaktivasi sistem syaraf simpatis yang menginervasi jantung, ginjal, pembuluh darah perifer, dan otot skeletal. Stimulasi simpatis pada ginjal menyebabkan sekresi renin. Peningkatan renin meningkatkan kadar angiotensin II dan aldosteron. Aktivasi RAAS menyebabkan retensi cairan dan garam melalui vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Mekanisme kompensasi neurohormonal ini berkontribusi dalam perubahan fungsional dan struktural jantung serta retensi cairan dan garam pada gagal jantung kongestif yang lebih lanjut (Mann, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Patofisiologi Gagal Jantung Kongestif
Sumber : Mann, D.L. 2010. Heart Failure and Cor Pulmonale. In : Harrison’s Cardiovascular Medicine Ed. 17th . Perubahan neurohormonal, adrenergic dan sitokin menyebabkan remodeling ventrikel kiri. Remodeling ventrikel kiri berupa (1) hipertrofi miosit; (2) perubahan substansi kontraktil miosit; (3) penurunan jumlah miosit akibat nekrosis, apoptosis dan kematian sel autophagia; (4) desensitisasi beta adrenergic; (5) kelainan metabolism miokardium; (6) perubahan struktur matriks ekstraselular miosit (Mann, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Remodeling ventrikel kiri dapat diartikan sebagai perubahan massa, volume, bentuk, dan komposisi jantung. Remodeling ventrikel kiri merubah bentuk jantung menjadi lebih sferis sehingga beban mekanik jantung menjadi semakin meningkat. Dilatasi pada ventrikel kiri juga mengurangi jumlah afterload yang mengurangi stroke volume. Pada remodeling ventrikel kiri juga terjadi peningkatan end-diastolic wall stress yang menyebabkan (1) hipoperfusi ke subendokardium yang akan memperparah fungsi ventrikel kiri; (2) peningkatan stress oksidatif dan radikal bebas yang mengaktivasi hipertrofi ventrikel (Mann, 2010). Perubahan struktur jantung akibat remodeling ini yang berperan dalam penurunan cardiac output, dilatasi ventrikel kiri dan overload hemodinamik. Ketiga hal diatas berkontribusi dalam progresivitas penyakit gagal jantung (Mann, 2010).
Gambar 2.2. Grafik penurunan kompensasi tubuh pada pasien gagal jantung kongestif
Sumber : Mann, D.L. 2010. Heart Failure and Cor Pulmonale. In : Harrison’s Cardiovascular Medicine Ed. 17th .
Universitas Sumatera Utara
2.1.4
Kriteria Diagnosis Berdasarkan studi Framingham, diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan
apabila diperoleh : 1 atau dua kriteria mayor + dua kriteria minor
Tabel 2.2. Kriteria Framingham dalam penegakan diagnosis gagal jantung kongestif Kriteria Mayor Dispnea/orthopnea Nocturnal Parkosismal Distensi vena leher Ronki Kardiomegali Edema pulmonary akut Gallop-S3 Peningkatan tekanan vena (>16 cmH2O) Waktu sirkulasi > 25 detik Reflex hepatojugularis Kriteria Minor Edema pretibial Batuk malam Dispnea saat aktivitas Hepatomegali Efusi pleura Kapasitas vital paru menurun 1/3 dari maksimal Takikardia (>120 kali/menit) Kriteria Mayor atau Minor Penurunan berat badan > 4.5 Kg dalam 5 hari Sumber : Marantz et. al., 1988. The relationship between left ventricular systolic function and congestive heart failure diagnosed by clinical criteria. In : Circulation. Ed. 77 : 607-612.
Universitas Sumatera Utara
2.1.5
Klasifikasi New York Heart Association membagi klasifikasi Gagal Jantung Kongestif
berdasarkan tingkat keparahan dan keterbatasan aktivitas fisik : Tabel 2.3. Klasifikasi Gagal Jantung Kongestif Tidak ada keterbatasan dalam aktivitas fisik. Aktivitas Kelas I
fisik tidak menyebabkan sesak nafas, fatigue, atau palpitasi. Sedikit mengalami keterbatasan dalam aktivitas fisik.
Kelas II
Merasa nyaman saat beristirahat tetapi saat melakukan aktivitas fisik mulai merasakan sedikit sesak, fatigue, dan palpitasi Mengalami keterbatasan dalam aktivitas fisik. Merasa
Kelas III
nyaman saat istirahat namun ketika melakukan aktivitas fisik yang sedikit saja sudah merasa sesak, fatigue, dan palpitasi. Tidak bisa melakukan aktivitas fisik. Saat istirahat gejala
Kelas IV
bisa muncul dan jika melakukan aktivitas fisik maka gejala akan meningkat.
Sumber : European Society of Cardiology (ESC), 2012. Guideline for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic heart Failure.
Universitas Sumatera Utara
2.2
Rawat Inap Ulang Pasien Gagal Jantung Kongestif
2.2.1
Epidemiologi Rawat inap ulang atau readmission pada penyakit gagal jantung kongestif
diakibatkan oleh eksaserbasi dari gejala klinis gagal jantung kongestif. Beberapa dipicu oleh faktor concomitant kardiovaskular seperti takiaritmia, unstable coronary syndrome. Selain itu juga bisa disebabkan oleh gangguan Serebrovaskular dan ketidakpatuhan dalam diet dan terapi (AHA, 2009). Rawat inap menjadi salah satu pilihan terapi bagi pasien gagal jantung kongestif. Berdasarkan hasil National Institute for Cardiovascular Outcomes Research (NICOR) tahun 2011 disebutkan bahwa periode April hingga Maret 2011 diperoleh 36.901 pasien yang menjalani rawat inap. Dari 36.901 pasien yang menjalani rawat inap, 30.099 pasien menjalani rawat inap yang pertama dengan durasi rata-rata 11 hari, sedangkan 6.802 pasien menjalani rawat inap ulang atau rehospitalisasi dengan durasi rata-rata 13 hari. Menurut penelitian Tsuchihashi et. al. tahun 1999 sekitar 40% pasien gagal jantung kongestif menjalani rawat inap ulang dalam 1 tahun setelah rawat inap sebelumnya. 10 tahun berikutnya menurut penelitian Majid (2010) persentase pasien gagal jantung yang menjalani rawat inap ulang sebesar 52%. Rehospitalisasi menjadi salah satu faktor yang menentukan prognosis gagal jantung kongestif. Pasien yang mengalami rehospitalisasi, 50% meninggal pada 6 bulan setelah rehospitalisasi dan 25-35% meninggal pada 12 bulan setelah rehospitalisasi (AHA, 2009). Menurut studi yang dilakukan Zaya (2012) bahwa setelah menjalani rawat inap yang ke dua atau ketiga resiko kematian bagi pasien gagal jantung kongestif sebesar 30%.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Rawat Inap Ulang Kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif terjadi karena eksaserbasi dari gejala klinis overload volume dan penurunan cardiac output. Gejala yang menyebabkan pasien CHF mengalami rehospitalisasi ialah Angina (nyeri dada), sesak nafas dan Edema. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi rehospitalisasi pasien CHF ialah :
a. Faktor Kardiovaskular Salah satu gangguan kardiovaskular yang menyebabkan rawat inap ulang ialah iskemik dan infark miokard. Infark miokard dapat berupa STEMI (ST Elevation Miocard Infarction) ataupun NSTEMI (Non ST Elevation Miocard Infarction). Infark miokard menyebabkan jantung kekurangan nutrisi untuk berkontraksi terutama ventrikel. Adanya thrombosis pada arteri koroner sebagai cabang utama yang memperdarahi miokardium juga menyebabkan kekurangan nutrisi pada miokardium yang menyebabkan kegagalan kontraksi ventrikel. Kegagalan kontraksi ventrikel menyebabkan penurunan ejection fraction (Zaya, 2012). Penurunan ejection fraction menyebabkan peningkatan volume cairan tubuh yang memperparah kondisi pasien CHF. Faktor lainnya ialah hipertensi yang tidak terkontrol. Hipertensi tidak terkontrol merupakan faktor komorbid yang menyebabkan rawat inap ulang sebanyak 41% melalui mekanisme peningkatan afterload (Zaya, 2012). Demam reumatik merupakan gejala yang ditimbulkan akibat sequele dari infeksi Streptococcus grup A pada saluran nafas atas. Infeksi tersebut menyebabkan tubuh membentuk antibodi untuk menyerang antigen tubuh sendiri yang menyerupai Streptococcus grup A. Salah satunya terdapat pada katup jantung (Parrilo, 2012). Demam Reumatik paling sering menyebabkan regurgitasi mitral. Regurgitasi mitral meningkatkan preload sehingga terjadi peningkatan volume di jantung. Peningkatan volume jantung memaksa jantung untuk berkontraksi lebih kuat agar darah tersebut dapat didistribusi ke
Universitas Sumatera Utara
seluruh tubuh (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers D.G., 2000), kondisi ini memperburuk kondisi pasien CHF. Selain itu beberapa faktor lain seperti atrial fibrilasi, pemanjangan interval QT dan takikardi juga turut berperan dalam perburukan gejala klinis yang mengharuskan pasien gagal jantung menjalani rawat inap ulang (Zaya, 2012). Beberapa penyakit Peripheral Vascular Disease (PVD) seperti Acute Limb Ischemic (ALI), Deep Vein Trombosis (DVT) biasanya terjadinya secara bersamaan dengan atrial fibrilasi. Gejala yang muncul ialah nyeri, parasthesia bahkan ganggren pada ekstremitas yang mengalami iskemik (Kasirajan, 2007).
b. Faktor Non-Kardiovaskular 1. Faktor Psikososial Ketidakpatuhan terhadap terapi tentu akan memperburuk kondisi umum dari pasien gagal jantung kongestif. menurut studi analitik yang dilakukan majid (2010), 72.5% pasien gagal jantung yang menjalani rawat inap ulang disebabkan oleh ketidakpatuhan terhadap terapi. Sedangkan ketidakpatuhan terhadap diet sebesar 73%. ketidakpatuhan terhadap terapi bisa disebabkan oleh karena depresi, sehingga pasien tidak patuh terhadap terapi dan memiliki pola makan yang tidak sesuai dengan anjuran. Selain itu, dukungan keluarga dan lingkungan sekitar juga penting. Kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar pasien menjadi faktor independen yang menyebabkan kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif. 57% pasien gagal jantung yang menjalani rawat inap ulang kurang mendapat dukungan dari keluarga dan sosial (Majid, 2010). 2. Penyakit Paru
Universitas Sumatera Utara
Pneumonia dan penyakit obstruksi paru seperti Asma dan PPOK menyebabkan kejadian rawat inap ulang sebesar 28% setelah 6-9 bulan sebelumnya menjalani rawat inap (Zaya, 2012). Infeksi paru seperti tuberkulosis, pneumonia dan bronkitis merupakan gangguan pada intrapulmonal. Gejala yang ditimbulkan ialah nyeri dada, sesak nafas, batuk dan batuk darah (Ginzburg, 2006). Sesak nafas dan nyeri dada merupakan gejala yang menyebabkan pasien gagal jantung mengalami rehospitalisasi. Gagal jantung kongestif menyebabkan edema paru akibat retensi cairan tubuh (AHA, 2001). Namun, edema paru sendiri dapat memperparah kondisi CHF. Penumpukan cairan di alveolus paru menimbulkan sesak nafas. Berbeda dengan edema paru, efusi pleura terjadi penumpukan cairan di ekstraparu intrathorakal. Hal ini menyebabkan paru tidak dapat mengembang secara maksimal yang menimbulkan short of breathness. 3. Penggunaan Obat Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) digunakan untuk menghentikan inflamasi melalui mekanisme penghambatan COX sehingga tidak terbentuk prostaglandin (Katzung, 2010). Pada pasien gagal jantung kongestif terjadi vasokontriksi vaskular sebagai mekanisme sistem RAA dan aktivasi sistem simpatis. Kondisi ini menyebabkan tubuh melakukan mekanisme kompensasi untuk vasodilatasi. Salah satunya ialah pelepasan prostaglandin (PGL) sebagai vasodilator (Page, 2000). Penggunaan OAINS pada pasien gagal jantung kongestif akan menghambat pembentukan PGL. Hal ini tentu akan memperparah kondisi pasien gagal jantung kongestif. Digitalis atau digoksin merupakan obat yang hingga saat ini masih sering digunakan dalam terapi pasien kardiovaskular termasuk CHF. Namun, penggunaan dosis tinggi ataupun adanya gangguan
Universitas Sumatera Utara
fungsi ginjal menyebabkan intoksikasi digitalis. Salah satu efek samping yang ditimbulkan ialah disritmia, mual, muntah dan diare (Suprobo et. al., 2011). Hal ini menyebabkan eksaserbasi gejala CHF berupa sesak nafas dan nyeri dada sehingga kembali menjalani rawat inap ulang. 4. Penyakit Imun Antiphospholipid Syndrome (APS) ialah penyakit autoimun yang membentuk antibodi untuk menyerang phospoholipid. Akibatnya timbul thrombosis di arteri atau vena (Belilos, 2012). Sumbatan dapat terjadi diberbagai tempat salah satunya di jantung. Antiphospholipid menimbulkan thrombosis pada arteri koroner jantung dan penerasan katup jantung (Tincani et.al.,2006). Kerusakan yang timbulkan oleh antibodi ini menambah beban kerja jantung sehingga semakin memperparah kondisi pasien CHF. 5. Gangguan Fungsi Ginjal Acute Kidney Injury (AKI) atau Acute Renal Failure (ARF) merupakan salah satu gangguan fungsi ginjal yang menyebabkan penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR). Pada AKI, pemeriksaan fungsi ginjal memperlihatkan adanya peningkatan nilai Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin, dengan ration BUN terhadap kreatinin 20 : 1 (Workeneh, 2013). Peningkatan nilai BUN dan Penurunan GFR menyebabkan retensi cairan sehingga volume cairan tubuh semakin overload (Zaya, 2012). Retensi cairan menyebabkan edema paru dan edema perifer (AHA, 2001) sehingga pasien gagal jantung dapat kembali mengalami rawat inap ulang akibat eksaserbai dari gejala CHF.
Universitas Sumatera Utara
1.3
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kerangka Teori ETIOLOGI Penyakit Jantung Koroner Hipertensi Cardiomiopathy Kelainan Katup Jantung Aritmia Alkohol & Obat-obatan
Gagal Jantung Kongestif
Rawat Inap
Gangguan Kardiovaskular (Iskemik dan Infark Miokard, Hipertensi tidak terkontrol, AF, PVD, Demam reumatik) Gangguan Fungsi Paru (Infeksi, Penyakit paru obstruktif, Edema Paru, Efusi Pleura) Gangguan Fungsi Ginjal (Acute Tubular Necrosis, Gagal Ginjal Akut, Gagal Ginjal Kronis) Pengaruh Psikososial (Ketidakpatuhan terapi dan diet, depresi, kurangnya dukungan keluarga dan
Meninggal Dunia
Stabil
Berobat Jalan
Rawat Inap Ulang
Gambar 2.3 Kerangka Teori
Universitas Sumatera Utara