BAB II STUDI LITERATUR 2. 1
Drainase Perkotaan Drainase perkotaan menurut Hasmar (2002) adalah ilmu drainase yang
mengkhususkan pengkajian pada kawasan perkotaan yang erat kaitannya dengan kondisi lingkungan sosial budaya yang ada di kawasan kota. Drainase perkotaan merupakan sistem pengeringan dan pengaliran air dari wilayah perkotaan yang meliputi: 1. Pemukiman 2. Kawasan industri dan perdagangan 3. Kampus dan sekolah 4. Rumah sakit dan fasilitas umum 5. Lapangan olah raga, Lapangan parkir 6. Instalasi militer,listrik, telekomunikasi, pelabuhan udara Kriteria desain drainase perkotaan memiliki kekhususan, sebab untuk perkotaan ada tambahan variabel desain seperti: 1. Keterkaitan dengan tata guna lahan. 2. Keterkaitan dengan masterplan drainase kota. 3. Keterkaitan dengan masalah sosial budaya. Jenis- jenis drainase yaitu: 1. Menurut cara terbentuknya a. Drainase Alamiah (natural drainage) Terbentuk secara alami, tidak ada unsur campur tangan manusia. b. Drainase Buatan (artificial drainage) Dibentuk berdasarkan analisis ilmu drainase, untuk menentukan debit akibat hujan, dan dimensi saluran.
9 Universitas Sumatera Utara
10
2. Menurut letak salurannya a. Drainase muka tanah (surface drainage) b. Drainase bawah muka tanah (sub surface drainage) 3. Menurut fungsi drainase a. Single Purpose Saluran berfungsi mengalirkan satu jenis air buangan saja. b. Multy Purpose Saluran berfungsi mengalirkan beberapa jenis buangan, baik secara bercampur maupun bergantian. 4. Menurut konstruksi a. Saluran terbuka Saluran untuk air hujan yang terletak di area yang cukup luas. Juga untuk saluran air non hujan yang tidak mengganggu kesehatan lingkungan. b. Saluran tertutup Saluran untuk air kotor yang mengganggu kesehatan lingkungan. Juga untuk saluran dalam kota. Sistem jaringan drainase perkotan umumnya dibagi atas 2 bagian, yaitu : 1.
Sistem Drainase Makro Sistem drainase makro yaitu sistem saluran/ badan air yang menampung dan mengalirkan air dari suatu daerah tangkapan air hujan (Catchment Area). Pada umumnya sistem drainase makro ini disebut juga sebagai sistem saluran pembuangan utama (major system) atau drainase primer. Sistem jaringan ini menampung aliran yang berskala besar dan luas seperti saluran drainase primer, kanal-kanal atau sungai-sungai. Perencanaan drainase makro ini umumnya dipakai dengan periode ulang antara 5 sampai 10 tahun dan pengukuran topografi yang detail mutlak diperlukan dalam perencanaan system drainase ini.
Universitas Sumatera Utara
11
2.
Sistem Drainase Mikro Sistem drainase mikro yaitu sistem saluran dan bangunan pelengkap drainase yang menampung dan mengalirkan air dari daerah tangkapan hujan. Secara keseluruhan yang termasuk dalam sistem drainase mikro adalah saluran di sepanjang sisi jalan, saluran/ selokan air hujan di sekitar bangunan, goronggorong, saluran drainase kota dan lain sebagainya dimana debit air yang dapat ditampungnya tidak terlalu besar. Pada umumnya drainase mikro ini direncanakan untuk hujan dengan masa ulang 2, 5 atau 10 tahun tergantung pada tata guna lahan yang ada. Sistem drainase untuk lingkungan permukiman lebih cenderung sebagai sistem drainase mikro. Bila ditinjau deri segi fisik (hirarki susunan saluran) sistem drainase perkotaan
diklassifikasikan atas saluran primer, sekunder, tersier dan seterusnya. 1. Saluran Primers Saluran yang memanfaatkan sungai dan anak sungai. Saluran primer adalah saluran utama yang menerima aliran dari saluran sekunder. 2. Saluran Sekunder Saluran yang menghubungkan saluran tersier dengan saluran primer (dibangun dengan beton/ plesteran semen). 3. Saluran Tersier Saluran untuk mengalirkan limbah rumah tangga ke saluran sekunder, berupa plesteran, pipa dan tanah. 4. Saluran Kwarter Saluran kolektor jaringan drainase lokal.
Universitas Sumatera Utara
12
Gambar 2.1 Hirarki Susunan Saluran di mana: a = saluran primer, b = saluran sekunder, c = saluran tersier, d = saluran kwarter. 2.2
Analisis Hidrologi Untuk menyelesaikan persoalan drainase sangat berhubungan dengan aspek
hidrologi khususnya masalah hujan sebagai sumber air yang akan di alirkan pada sistem drainase dan limpasan sebagai akibat tidak mampunyai sistem drainase mengalirkan ke tempat pembuangan akhir. Disain hidrologi diperlukan untuk mengetahui debit pengaliran. 2.2.1 Siklus Hidrologi Siklus Hidrologi menurut Suripin (2004) adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi. Air di bumi mengalami suatu siklus melalui serangkaian peristiwa yang berlangsung terus-menerus, di mana kita tidak tahu kapan dan dari mana berawalnya dan kapan pula akan berakhirnya. Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk hujan, salju, hujan batu, hujan es dan salju (sleet), hujan gerimis atau kabut. Pada perjalanan menuju bumi beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali ke atas atau langsung jatuh yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah. Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam tiga cara yang berbeda: •
Evaporasi / transpirasi; Air yang ada di laut, di daratan, di sungai, di tanaman, dan sebagainya kemudian akan menguap ke angkasa (atmosfer) dan kemudian
Universitas Sumatera Utara
13
akan menjadi awan. Pada keadaan jenuh uap air (awan) itu akan menjadi bintikbintik air yang selanjutnya akan turun (precipitation) dalam bentuk hujan, salju dan es. •
Infiltrasi/ perkolasi ke dalam tanah; Air bergerak ke dalam tanah melalui celahcelah dan pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Air dapat bergerak akibat aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal atau horizontal di bawah permukaan tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan.
•
Air Permukaan; Air bergerak di atas permukaan tanah dekat dengan aliran utama dan danau, makin landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada daerah urban. Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk sungai utama yang membawa seluruh air permukaan disekitar daerah aliran sungai menuju laut. Air permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa), dan sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponen-komponen siklus hidrologi yang membentuk sistem Daerah Aliran Sungai (DAS).
Gambar 2.2 Siklus Hidrologi (Suripin, 2004)
Universitas Sumatera Utara
14
2.2.2 Analisa Curah Hujan Rencana Hujan merupakan komponen yang sangat penting dalam analisis hidrologi. Pengukuran hujan dilakukan selama 24 jam baik secara manual maupun otomatis, dengan cara ini berarti hujan yang diketahui adalah hujan total yang terjadi selama satu hari. Dalam analisa digunakan curah hujan rencana, hujan rencana yang dimaksud adalah hujan harian maksimum yang akan digunakan untuk menghitung intensitas hujan, kemudian intensitas ini digunakan untuk mengestimasi debit rencana. Untuk berbagai kepentingan perancangan drainase tertentu data hujan yang diperlukan tidak hanya data hujan harian, tetapi juga distribusi jam jaman atau menitan. Hal ini akan membawa konsekuen dalam pemilihan data, dan dianjurkan untuk menggunakan data hujan hasil pengukuran dengan alat ukur otomatis. Dalam perencanaan saluran drainase periode ulang (return period) yang dipergunakan tergantung dari fungsi saluran serta daerah tangkapan hujan yang akan dikeringkan. Menurut pengalaman, penggunaan periode ulang untuk perencanaan: - Saluran Kwarter
: periode ulang 1 tahun
- Saluran Tersier
: periode ulang 2 tahun
- Saluran Sekunder
: periode ulang 5 tahun
- Saluran Primer
: periode ulang 10 tahun
2.2.3 Analisa Frekuensi Curah Hujan Distribusi frekuensi digunakan untuk memperoleh probabilitas besaran curah hujan rencana dalam berbagai periode ulang. Dasar perhitungan distribusi frekuensi adalah parameter yang berkaitan dengan analisis data yang meliputi rata-rata, simpangan baku, koefisien variasi, dan koefisien skewness (kecondongan atau kemencengan).
Universitas Sumatera Utara
15
Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi yang banyak digunakan dalam bidang hidrologi. Berikut ini empat jenis distribusi frekuensi yang paling banyak digunakan dalam bidang hidrologi: - Distribusi Normal
- Distribusi Log Normal
- Distribusi Pearson Type III
- Distribusi Log Person III
- Distribusi Gumbel 2.2.3.1 Distribusi Normal Distribusi normal atau kurva normal disebut juga distribusi Gauss. Perhitungan curah hujan rencana menurut metode distribusi Normal, mempunyai persamaan sebagai berikut: � � 𝐊𝐓 𝐒 𝐗𝐓 � 𝐗
a ta u
𝐊𝐓 �
�+𝐗 𝐓 𝐗 𝐒
..................................... (2.1)
di mana: XT = perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-tahunan, � X = nilai rata-rata hitung variat, S = deviasi standar nilai variat, KT = faktor frekuensi,
merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang dan tipe model matematik disrtibusi
peluang yang digunakan untuk analisis peluang. Distribusi Normal memiliki fungsi kerapatan probabilitas yang dirumuskan: 𝐟 �𝐱� =
𝟏
𝛔. √𝟐.𝛑
𝟏
. exp �� 𝟐 . �
𝐱− µ 𝟐 𝛔
� �
� ∞ � 𝒙 � ∞ ............... (2.2)
di mana µ dan σ adalah parameter statistik, yang masing-masing adalah nilai rata-rata dan standar deviasi dari variat. Untuk mempermudah perhitungan, nilai faktor frekuensi KT umumya sudah tersedia dalam tabel, disebut sebagai tabel nilai variabel reduksi Gauss (Variable reduced Gauss), seperti ditunjukkan dalam Tabel 2.1.
Universitas Sumatera Utara
16
Tabel 2.1 Nilai Variabel Reduksi Gauss. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Periode ulang,T (tahun) 1,001 1,005 1,010 1,050 1,110 1,250 1,330 1,430 1,670 2,000 2,500 3,330 4,000 5,000 10,000 20,000 50,000 100,000 200,000 500,000 1,000,000
Peluang
KT
0,999 0,995 0,990 0,950 0,900 0,800 0,750 0,700 0,600 0,500 0,400 0,300 0,250 0,200 0,100 0,050 0,020 0,010 0,005 0,002 0,001
-3,05 -2,58 -2,33 -1,64 -1,28 -0,84 -0,67 -0,52 -0,25 0 0,25 0,52 0,67 0,84 1,28 1,64 2,05 2,33 2,58 2,88 3,09
Sumber: (Suripin, 2004) 2.2.3.2 Distribusi Log Normal Dalam distribusi Log Normal data X diubah kedalam bentuk logaritmik Y = log X. Jika variabel acak Y = log X terdistribusi secara normal, maka X dikatakan mengikuti distribusi Log Normal. Untuk distribusi Log Normal perhitungan curah hujan rencana menggunakan persamaan berikut ini: � � 𝐊𝐓 𝐒 𝐘𝐓 � 𝐘
a ta u
𝐊𝐓 �
�+𝐘𝐓 𝐘 𝐒
........................................ (2.3)
di mana: YT = perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-tahun, � Y
= nilai rata-rata hitung variat, S = deviasi standar nilai variat, dan KT = faktor frekuensi,
merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang dan tipe model matematik disrtibusi peluang yang digunakan untuk analisis peluang.
Universitas Sumatera Utara
17
Fungsi kerapatan probabilitas Log Normal adalah sebagai berikut: 𝐟 �𝐱� =
𝟏
𝛏. 𝐱. √𝟐.𝛑
𝟏
. exp �� 𝟐 . �
𝐥𝐧 𝐱− 𝛌 𝟐
di mana: 𝛌 � 𝐄 𝐥𝐧 𝐱, dan 𝛏 � �𝐕𝐚𝐫. 𝐥𝐧�𝐱� Persamaan:
𝐂𝐯 =
𝐒𝐥𝐨𝐠 𝐱 𝐥𝐨𝐠 𝐱�
𝐒𝐥𝐨𝐠 𝐱 =
𝛏
� �
..................................... (2.4)
𝐥𝐨𝐠 𝐗 𝐓𝐑 = 𝐥𝐨𝐠 𝐗 𝐢 + k. 𝐒𝐥𝐨𝐠 𝐱 ........................................ (2.5)
........................................................................................ (2.6)
�∑� 𝐥𝐨𝐠 𝐱�−𝐥𝐨𝐠 𝐱𝐢 � 𝟐 ∑ 𝐥𝐨𝐠 𝐱𝐢 ; 𝐥𝐨𝐠 𝐱𝐢 = ................................. (2.7) (𝐧−𝟏) 𝐧
di mana: XTR = besarnya curah hujan dengan periode ulang t, n = jumlah data, log x� = curah hujan harian maksimum rata-rata dalam harga logaritmik, k = faktor frekuensi
dari Log Normal 2 Parameter, (sebagai fungsi dari koefisien variasi, Cv; dan periode ulang t), Slog x = standard deviasi dari rangkaian data dalam harga logaritmiknya, dan
Cv = koefisien variasi dari Log Normal v Parameter. 2.2.3.3 Distribusi Pearson Type III
Secara sederhana fungsi kerapatan peluang distribusi Pearson Type III adalah sebagai berikut: xt =xi + KT.Si .................................................................................... (2.8) di mana: xi = data ke-i, Si = standar deviasi , Cs = koefisien skewness, dan KT = faktor sifat distribusi Pearson Type III. 2.2.3.4 Distribusi Log Pearson Type III Secara sederhana fungsi kerapatan peluang distribusi Pearson Type III ini mempunyai persamaan sebagai berikut: 𝐥𝐨𝐠 𝐗 𝐭 𝐥����� 𝐨𝐠 𝐗
= 𝐥����� 𝐨𝐠 𝐗 𝐢 � 𝐊 𝐓 . 𝐒𝐢 ......................................................... (2.9) =
∑ 𝐥𝐨𝐠 𝐗𝐢 𝐧
...................................................................... (2.10) ��𝐥𝐨𝐠 𝐗𝐢 −𝐥𝐨𝐠 𝐗�𝟐
Si
= standar deviasi =
Cs
= koefisien skewness =
(𝐧−𝟏)
.......................... (2.11)
�𝐥𝐨𝐠 𝐗𝐢 −𝐥𝐨𝐠 𝐗� 𝟐 ...................... (2.12) (𝐧−𝟏).(𝐧−𝟐)𝐒𝐢 𝟑
Universitas Sumatera Utara
18
di mana: xi = data ke-i, Si = standar deviasi , Cs = koefisien skewness, n = jumlah data dan KT = koefisien frekuensi. 2.2.3.5 Distribusi Gumbel Type I Ekstremal Metoda distribusi Gumbel banyak digunakan dalam analisis frekuensi hujan yang mempunyai rumus: Rt = R + K.Sx ................................................................................. (2.13) K = (yt - yn)/Sn .................................................................................. (2.14) Yt = - (0,834 + 2,303 log t/(t-1)) ....................................................... (2.15) di mana: Rt = curah hujan untuk periode ulang t tahun (mm), R = curah1hujan maksimum rata-rata, Sx = standar deviasi, K = faktor frekuensi, dan Sn, Yn = faktor pengurangan deviasi standar rata-rata sebagai fungsi dari jumlah data. 2.2.4 Uji Kecocokan Distribusi Uji kecocokan distribusi adalah untuk menentukan kecocokan (the goodness of fit test) distribusi frekwensi dari sampel data terhadap fungsi distribusi peluang yang di perkirakan dapat menggambarkan atau mewakili distribusi frekwensi tersebut diperlukan pengujian parameter. Untuk pengujian para meter dapat dilakukan dengan Uji Chi-kuadrat (Chi-square) atau Uji Smirnov-Kolmogrov. Uji kecocokan SmirnovKolmogrov sering juga disebut uji kecocokan non parametric (non parametric test), karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu. Tabel 2.2 Nilai kritis Do untuk Uji Smirnov- Kolmogorov.
α
N 0.20 5 10 15 20 25 30 35
0.45 0.32 0.27 0.23 0.21 0.19 0.18
0.10 0.51 0.37 0.3 0.26 0.24 0.22 0.20
0.05 0.56 0.41 0.34 0.29 0.27 0.24 0.23
0.01 0.67 0.49 0.40 0.36 0.32 0.29 0.27
Universitas Sumatera Utara
19
α
N 0.20 40 45 50 n˃50
0.10
0.05
0.01
0.17 0.19 0.21 0.25 0.16 0.18 0.20 0.24 0.15 0.17 0.19 0.23 1.07/n0.5 1.22/n0.5 1.36/n0.5 1.63/n0.5
Sumber: (Suripin, 2004) Prosedur dasarnya mencakup perbandingan antara probabilitas kumulatif lapangan dan distribusi kumulatif fungsi yang ditinjau. Sampel yang berukuran n, diatur dengan urutan yang meningkat. Dari data yang diatur akan membentuk suatu fungsi frekuensi kumulatif tangga. Prosedur pengujian ini adalah sebagai berikut: 1. Urutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan besarnya peluang dari masing-masing data tersebut: X1 P(X1)
X2 P(X2)
Xn P(Xn)
2. Tentukan nilai masing-masing peluang teoritis dari hasil penggambaran data. X1 P’(X1)
X2 P’(X2)
Xn P’(Xn)
3. Dari kedua nilai peluang tersebut tentukan selisih terbesar antara peluang pengamatan dengan peluang teoritis. D = Maksimum [ P (Xm) – P’(Xm) ] 4. Berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnov-Kolmogorov test) tentukan Nilai kritis (Do). Apabila nilai D lebih kecil dari nilai Do maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan persamaan distribusi dapat diterima, tetapi apabila nilai D lebih besar dari nilai Do maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan distribusi tidak dapat diterima. 2.2.5 Intensitas Curah Hujan Intensitas curah hujan adalah jumlah curah hujan dalam satu satuan waktu, umpamanya mm/ jam untuk curah hujan jangka pendek, dan besarnya intensitas curah
Universitas Sumatera Utara
20
hujan tergantung pada lamanya curah hujan. Beberapa rumus yang menyatakan hubungan antara intensitas dan lamanya curah hujan adalah sebagai berikut: 1. Prof. Talbot: 𝐈�
𝐚′ 𝐭� 𝐛
𝐈�
𝐚 𝐭𝐧
.……….….………………………………..…….….... (2.16)
2. Prof. Sherman: ….….…..………………….……………………..…... (2.17)
3. Dr. Ishiguro: 𝐚 𝐈� √𝐭 � 𝐛
….………..…….….……..….………………………... (2.18)
4. Mononobe: 𝐈�
𝐑 𝟐𝟒 𝟐𝟒 𝟐/𝟑 � � 𝟐𝟒 𝐭
..…..…………….…….……………………….... (2.19)
Rumus Mononobe sering digunakan di Jepang, digunakan untuk menghitung intensitas curah hujan setiap berdasarkan data curah hujan harian. di mana: I = intensitas curah hujan (mm/jam), t = lamanya curah hujan (menit), untuk rumus Mononobe dalam (jam), a; b; a′ ; n = tetapan, R 24 = curah hujan yang mungkin terjadi berdasarkan masa ulang tertentu (curah hujan maximum dalam 24 jam - mm).
Harga-harga tetapan untuk setiap rumus intensitas curah hujan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Cara Prof. Talbot: 𝐚′ 𝐭� 𝐛 di mana: 𝐚′ =
𝐈�
[𝐈.𝐭] �𝐈𝟐 � − �𝐈𝟐 𝐭� [𝐈] 𝐍 [𝐈𝟐 ] − [𝐈] [𝐈]
b =
..…..…………….…….……..……..…….………... (2.20)
............................................................................... (2.21)
𝐈 [𝐈.𝐭] − 𝐍 �𝐈𝟐 𝐭� 𝐍 [𝐈𝟐 ] − [𝐈] [𝐈]
............................................................ (2.22)
Universitas Sumatera Utara
21
2. Cara Prof. Sherman: 𝐈�
𝐚 𝐭𝐧
..…..…………….…….…………..……….…..…... (2.23)
di mana: a =
n =
𝐥𝐨𝐠 𝐈 �� 𝐥𝐨𝐠 𝐭� 𝟐 � – [𝐥𝐨𝐠 𝐭 . 𝐥𝐨𝐠 𝐈 ] [𝐥𝐨𝐠 𝐭] 𝐍 [� 𝐥𝐨𝐠 𝐭� 𝟐 ] − [𝐥𝐨𝐠 𝐭] [𝐥𝐨𝐠 𝐭]
[𝐥𝐨𝐠 𝐭][𝐥𝐨𝐠 𝐭] – 𝐍 [𝐥𝐨𝐠 𝐭 . 𝐥𝐨𝐠 𝐈 ] 𝐍 [� 𝐥𝐨𝐠 𝐭� 𝟐 ] − [𝐥𝐨𝐠 𝐭] [𝐥𝐨𝐠 𝐭]
......................... (2.24)
................................... (2.25)
3. Cara Dr. Ishiguro: 𝐈�
𝐚
..…..…………….…….…………..……………….. (2.26)
√𝐭 � 𝐛
di mana: a =
n =
�𝐈√𝐭 � � 𝐈𝟐 � – �𝐈𝟐 √𝐭� [ 𝐈 ] ................................................. (2.27) 𝐍 [ 𝐈𝟐 ] − [ 𝐈 ] [ 𝐈 ] 𝐈 �𝐈√𝐭 � – �𝐈𝟐 √𝐭� 𝐍
𝐍 [ 𝐈𝟐 ] − [ 𝐈 ] [ 𝐈 ]
....................................................... (2.28)
Harga N pada rumus diatas adalah banyaknya harga “t” (lamanya curah hujan) yang ditinjau, misalnya untuk t = 5 menit, 10 menit, 15 menit, 30 menit, 60 menit, 120 menit, 360 menit, 720 menit maka : N = 8. 2.2.6 Pengolahan Data Hujan 1. Hujan Rerata Daerah Aliran a. Cara Rata-rata Aljabar 𝐑�
𝟏 �𝐑 � 𝐑 𝟐 � 𝐑 𝟑 � … 𝐑 𝐧 � .............................................. (2.29) 𝐧 𝟏
di mana: R = curah hujan daerah, n = jumlah pos pengamatan, R1 , R 2 , R n = curah hujan tiap pos pengamatan.
b. Metode Thiessen R=
�𝐀𝟏 𝐑 𝟏 +𝐀𝟐 𝐑 𝟐 + …𝐀𝐧 𝐑 𝐧 � 𝐀𝟏 +𝐀𝟐 + …𝐀𝐧
................................................... (2.30)
Universitas Sumatera Utara
22
di mana: R = curah hujan daerah, R1 , R 2 , R n = curah hujan tiap pos
.
pengamatan, A1 , A2 , An = luas daerah tiap pos pengamatan
Gambar 2.3 Contoh Poligon Thiessen (Wesli, 2008) c. Metode Isohyet R=
�𝐀𝟏 𝐑 𝟏 +𝐀𝟐 𝐑 𝟐 + …𝐀𝐧 𝐑 𝐧 � 𝐀𝟏 +𝐀𝟐 + …𝐀𝐧
.................................................... (2.31)
di mana: R = curah hujan daerah, R1 , R 2 , R n = curah hujan rata-rata pada area
A1 , A2 , An ; A1 , A2 , An = luas area antara garis isohyt (topografi).
Gambar 2.4 Contoh Garis Isohyt Topografi (Sri Harto, 1993) Dalam hal area Kampus USU ini tidak dipakai area DPL (diatas permukaan laut) karena berada dalam luasan daerah yang kecil yang dipakai hanya area lokal saja walaupun daerahnya lebih tinggi maka digunakan elevasi galian dan timbunan. 2.2.7 Banjir Rencana Banjir rencana tidak boleh kita tetapkan terlalu kecil agar jangan terlalu sering terjadi ancaman pengrusakan bangunan atau daerah di sekitarnya. Tetapi juga tidak boleh terlalu besar sehingga ukuran bangunan tidak ekonomis. Jatuhnya hujan terjadi menurut suatu pola dan suatu siklus tertentu. Hanya kadang-kadang terjadi penyimpangan-penyimpangan pada pola itu tetapi biasanya kembali pada pola yang
Universitas Sumatera Utara
23
teratur. Untuk menentukan banjir rencana dalam perencanaan saluran drainase, perlu diadakan pertimbangan-pertimbangan hidro ekonomis yang didasarkan pada: a. Besarnya kerugian yang akan diderita jika terjadi banjir dan sering tidaknya kerusakan itu terjadi. Maka dari pertimbangan ini adalah pentingnya objek yang harus diamankan, misalnya suatu daerah pemukiman penduduk atau perkantoran di dalam kota umumnya dinilai lebih penting dari pada suatu daerah kosong di pedesaan. Kerugian yang diakibatkan genangan air banjir di derah perkotaan dapat berupa kerugian harta benda, terganggunya arus lalu-lintas dan terganggunya kegiatan penduduk. Sedangkan genangan air yang terjadi di daerah pedesaan mungkin hanya mengakibatkan terputusnya hubungan lalulintas kendaraan selama beberapa waktu, yang umumnya tidak begitu besar pebgaruhnya pada kehidupan rakyat setempat. b. Umur ekonomis bangunan Besarnya banjir rencana juga harus disesuaikan terhadapa umur ekonomis bangunan, umpamanya umur ekonomis suatu saluran drainase selama 10 tahun, tentunya tidak akan dibangun terhadap banjir rencana 20 tahun yang mungkin tidak akan pernah terjadi selama umur bangunan itu. c. Biaya pembangunan Pertambahan biaya pembangunan untuk suatu saluran drainase akan sebanding dengan besarnya banjir rencana yang ditetapkan untuk pembangunan saluran drainase tersebut. Untuk menentukan banjir rencana yang akan diterapkan dalam studi ini, diambil pertimbangan berdasarkan ketentuan-ketetntuan mengenai masa ulang dan analisa frekwensi untuk pembangunan saluran drainase. Umpamanya di Inggris digunakan masa ulang 2 tahun untuk sebagian besar saluran drainase, masa ulang 5 tahun diterapkan pada daerah yang mudah diserang
Universitas Sumatera Utara
24
banjir dan masa ulang 10 tahun atau 25 tahun diterapkan pada sluran-saluran di pusat kota. Gorong-gorong jalan utama umumnya didasarkan pada banjir rencana 50 sampai 100 tahun, dan 25 tahun untuk jalan-jalan yang kurang penting. Untuk daerah Kampus USU Medan saluran-salurannya direncanakan terhadap masa ulang banjir 5 atau 10 tahun. Masa ulang yang akan diterapkan pada saluran drainase suatu daerah tertentu dipengaruhi juga oleh karakteristik curah hujan di daerah tersebut. Dalam menentukan banjir rencana diadakan analisa frekwensi. Sasaran utama dari analisa frekwensi dimaksud adalah untuk mengetahui probalbilitas terjadinya banjir selama N tahun dalam masa ulang Tr tahun. Dalam hal ini interval masa ulang atau disebut juga return period dinyatakan dengan Tr yang mana merupakan wktu ratarata berlangsung antara dua kejadian yang disamai atau dilalui. Atau dengan kata lain N tahun kejadian adalah merupakan kejadian yang diharapkan untuk disamai melebihi rata-rata setiap N tahun dalam masa ulang Tr tahun. Jika P (X � x) merupakan probabilitas bahwa x akan disamai atau kurang dari,
maka P (X � x) merupakan probabilitas bahwa x akan disamai atau kurang dari n tahun kejadian berulang.
𝐏 (𝐗 � 𝐱)𝐧 � 𝐏 [(𝐗 � 𝐱)]𝐧 = [𝟏 � 𝐏�𝐗 � 𝐱�]𝐧 ................................. (2.32)
Kejadian yang sama atau kurang dari:
𝐏 (𝐗 � 𝐱)𝐧 � 𝟏 � [𝟏 � 𝐏�𝐗 � 𝐱�]𝐧 .................................................... (2.33) 𝐓𝐫 �
𝟏
𝐏 �𝐗 ≥ 𝐱�
.................................................................................... (2.34) 𝟏
𝐧
𝐏 (𝐗 � 𝐱)𝐧 � 𝟏 � �𝟏 � 𝐓𝐫� ............................................................. (2.35)
Umpamanya untuk banjir dengan masa ulang tahun 10 tahun maka probabilitas terjadinya banjir untuk 2 tahun seekali adalah:
Universitas Sumatera Utara
25
𝟏
𝟐
𝐏 (𝐗 � 𝟓 𝐭𝐚𝐡𝐮𝐧) � 𝟏 � �𝟏 � 𝟏𝟎� =𝟏 � 𝟎, 𝟗𝟐 � 𝟎. 𝟏𝟗 � 𝟏𝟗 % ....... (2.36)
Dengan kata lain untuk perencanaan dengan masa ulang 10 tahun maka probabilitas banjir untuk 2 tahun sekali adalah 19 %. 2.2.8 Koefisien Pengaliran (C) Koefisien pengaliran (C) adalh perbandingan antara jumlah aliran (run off) dengan jumlah curah hujan. Sehingga disingkat dengan: C=
𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐚𝐥𝐢𝐫𝐚𝐧
𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐜𝐮𝐫𝐚𝐡 𝐡𝐮𝐣𝐚𝐧
....................................................................... (2.37)
Persentase angka pengaliran berangsur-angsur bertambah selama hujan berlangsung, juga harga koefisien pengaliran tersebut berbeda-beda, yang mana hal ini dapat disebabkan antara lain: 1. Faktor meteorologi, yang mencakup: a. Curah hujan b. Intersepsi c. Evaporasi d. Transpirasi 2. Faktor daerah, yang mencakupi: a. Karakteristik daerah pengaliran b. Faktor fisik, yaitu antara lain: -
Penggunaan tanah (land use)
-
Jenis tanah
-
Kondisi topografi
Dapat dimengerti betapa sukar untuk menentukan besarnya pengaruh dari setiap faktor itu sendiri-sendiri. Berhubung dengan itu mungkin diperhitungkan semua faktor secara sendiri-sendiri. Pemilihan koefisien pengaliran harus memperhitungkan kemungkinan adanya perubahan tataguna lahan dikemudian hari karena dalam hal ini pengaruh koefisien pengaliran sangat besar dalam menentukan besarnya aliran disuatu
Universitas Sumatera Utara
26
tempat daerah tertentu berdasarkan jenis daerah aliran tersebut, koefisien pengaliran secara umum diperlihatkan Table 2.5 berikut ini: Tabel 2.5 Koefisien Aliran (C) Secara Umum. Tipe Daerah Aliran Rerumputan
Business Perumahan
Industri
Kondisi
Koefisien Aliran C
Tanah pasir, datar, 2%
0.05 - 0.10
Tanah pasir, rata-rata, 2-7%
0.10 - 0.15
Tanah pasir, curam, 7%
0.15 - 0.20
Tanah gemuk, datar, 2%
0.13 - 0.17
Tanah gemuk, rata-rata, 2-7%
0.18 - 0.22
Tanah gemuk Curam, 7%
0.25 - 0.35
Daerah Kota lama
0.75 - 0.95
Daerah pinggiran
0.50 - 0.70
Daerah "Single family"
0.30 - 0.50
"Multi units" terpisah-pisah
0.40 - 0.60
"Multi units" tertutup
0.60 - 0.75
"Suburban"
0.25 - 0.40
Daerah rumah apartemen
0.50 - 0.70
Daerah ringan
0.50 - 0.80
Daerah berat
0.60 - 0.90
Pertamanan, kuburan
0.10 - 0.25
Tempat bermain
0.20 - 0.35
Halaman kereta api
0.20 - 0.40
Daerah yang tidak
0.10 - 0.30
Jalan
Bersapal
0.70 - 0.95
Beton
0.80 - 0.95
Batu
0.70 - 0.85
Untuk berjalan dan naik
0.70 - 0.85
Atap
0.70 - 0.95
Sumber: (Wesli, 2008) 2.2.9 Koefisien Tampungan Daerah yang memiliki cekungan untuk menampung air hujan relatif mengalirkan lebh sedikit air hujan dibandingkan dengan daerah yang tidak memiliki cekungan sama sekali. Efek tampungan oleh cekungan ini terhadap debit rencana diperkirakan dengan koefisien tampungan yang diperoleh dengan rumus berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
27
𝐂𝐬 �
𝟐 𝐓𝐜 𝟐 𝐓𝐜 � 𝐓𝐝
..…..…………….…………..…...….………... (2.38)
di mana: Cs = koefisien tampungan, Tc = waktu konsentrasi (jam), Td = waktu aliran air mengalir di dalam saluran dari hulu hingga ke tempat pengukuran (jam). 2.2.10 Waktu Konsentrasi Waktu konsentrasi pada daerah pengaliran adalah waktu yang dibutuhkan air untuk mengalir dari daerah yang terjauh ke suatu pembuang (outlet) tertentu, yang diasumsikan bahwa lamanya hujan sama dengan waktu konsentrasi pada semua bagian daerah pengaliran dimana air hujan berkumpul bersama-sama untuk mendapatkan suatu debit yang maksimum pada outlet. Waktu konsentasi terdiri dari 2 (dua) bagian: a. Waktu pemasukan (inlet time) atau time of entry yaitu waktu yang dibutuhkan oleh aliran permukaan untuk masuk ke saluran. b. Waktu pengaliran (conduit time) yaitu waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir di sepanjang saluran sampai titik kontrol yang ditentukan di bagian hilir.pada saluran.
Gambar 2.5 Contoh Saluran A – B pada suatu daerah pengaliran (Suyono, 1976) Pada Gambar 2.5, terlihat sebuah saluran drainase melintasi diagonal A- B pada sebuah daerah pengaliran. Bila hujan jatuh pada titik A maka hujan tersebut akan segera mengalirkan ke titik B dan seterusnya, demikian juga halnya air hujan yang jatuh di sekitar titik A akan masuk ke saluran dan seterusnya sampai di titik B.
Universitas Sumatera Utara
28
Dari gambaran ini dapat dijelaskan adalah waktu pemasukan adalah waktu yang dibutuhkan air hujan dari titik terjauh masuk ke titik pengaliran misalnya titik A, sedangkan waktu pengaliran adalah waktu yang dibutuhkan oleh air dalam perjalanan dari titik A ke B. Waktu pemasukan (inlet time) dipengaruhi oleh: 1. Kekasaran permukaan daerah pengaliran. 2. Kejenuhan daerah pengaliran. 3. Kemiringan daerah pengaliran. 4. Sisi dari bagian daerah atau jarak areal pembagi ke saluran. 5. Susunan atap/ perumahan yang ada pada daerah tersebut. Dalam hal ini untuk curah hujan yang berasal dari atap, perkerasan halaman ataupun jalan yang langsung masuk kesaluran, waktu pemasukannya tidak lebih dari 5 menit. Pada daerah komersial yang relatif datar, waktu pemasukan yang dibutuhkan sekitar 10 samapi 15 menit, dan pada daerah pemukiman penduduk yang relatif datar waktu yang dibutuhkan sekitar 20 sampai 30 menit. Waktu pengaliran (time of flow) tergantung pada perbandingan panjang saluran dan kecepatan aliran. Menurut rumus empiris dari Kirpich yang diasumsikan dari rumus Manning untuk koefisien kekasaran rata-rata dan jari-jari hidraulis yang berlaku umum adalah sebagai berikut: 𝐋
𝟎,𝟕𝟕
𝐭 𝐨𝐟 � 𝟎, 𝟎𝟏𝟗𝟓 � 𝐬� √
...................................................................... (2.39)
di mana: t of = waktu pengaliran (menit), L = panjang saluran yang ditinjau dari inlet (pemasukan) sampai ke tampang yang ditinjau (m), s = slope (kemiringan daerah
pengaliran). Maka waktu konsentrasi = waktu pemasukan + waktu pengaliran atau: 𝐭 𝐜 � 𝐭 𝐨𝐞 � 𝐭 𝐨𝐟 .................................................................................... (2.40)
Universitas Sumatera Utara
29
2.2.11 Metode Rasional Untuk menghitung debit rencana pada studi ini dipakai perhitungan dengan metode Rasional. Metode Rasional adalah salah satu metode untuk menentukan debit aliran permukaan yang diakibatkan oleh curah hujan, yang umumnya merupakan suatu dasar untuk merencanakan debit saluran drainase. Adapun asumsi dari Metode Rasional adalah pengaliran maksimum terjadi kalau lama waktu curah hujan sama dengan lama waktu konsentrasi daerah alirannya. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut: 𝐐 � 𝟎, 𝟎𝟎𝟐𝟕𝟖 𝐂. 𝐈. 𝐀 .......................................................................... (2.41)
di mana: Q = debit dalam m3 / det, A = luasan daerah aliran dalam Ha, I = intensitas curah hujan dalam mm/ jam, C = angka pengaliran.
Rumus diatas berlaku untuk daerah yang luas pengalirannya tidak lebih dari 80
Ha, sedangkan untuk daerah yang luas pengalirannya lebih besar dari 80 Ha maka rumus rasional diatas harus dirubah menjadi: 𝐐 � 𝟎, 𝟎𝟎𝟐𝟕𝟖 𝐂. 𝐂𝐬 . 𝐈. 𝐀 ..................................................................... (2.42)
di mana: Q = debit dalam m3 / det, A = luasan daerah aliran dalam Ha, I = intensitas curah hujan dalam mm/ jam, C = angka pengaliran, Cs = koefisien tampungan. 𝐂𝐬 �
𝟐 𝐓𝐜
𝟐𝐓𝐜 +𝐓𝐝
..................................................................................... (2.43)
di mana: Cs = koefisien tampungan, Tc = waktu konsentrasi (jam), dan Td = waktu aliran air mengalir did lam saluran dari hulu hingga ke tempat pengukuran (jam).
2.3
Analisis Hidraulika
2.3.1 Definisi Zat cair dapat diangkut dari suatu tempat lain melalui bangunan pembawa alamiah maupun buatan manusia. Bangunan pembawa ini dapat terbuka maupun tertutup bagian atasnya. Saluran yang tertutup bagian atasnya disebut saluran tertutup
Universitas Sumatera Utara
30
(closed conduits), sedangkan yang terbuka bagian atasnya disebut saluran terbuka (open channels). Sungai, sluran irigasi, selokan, estuary merupakan saluran terbuka, sedangkan terowongan, pipa, aquaduct, gorong-gorong, dan siphon merupakan saluran tertutup. Pada sistem pengaliran melalui saluran terbuka terdapat permukaan air yang bebas (free surface) di mana permukaan bebas ini dipengaruhi oleh tekanan udara luar secara langsung, saluran terbuka umumnya digunakan pada lahan yang masih memungkinkan (luas), lalu-lintas pejalan kakinya relatif jarang, beban kiri dan kanan saluran relatif ringan. Berdasarkan konsistensi bentuk penampang dan kemiringan dasarnya saluran terbuka dapat diklasifikasikan menjadi: a.
Saluran prismatik (prismatic channel), yaitu saluran yang bentuk penampang melintang dan kemiringan dasarnya tetap. Contoh : saluran drainase, saluran irigasi.
b.
Saluran non prismatik (non prismatic channel), yaitu saluran yang bentuk penampang melintang dan kemiringan dasarnya berubah-ubah. Contoh : sungai. Aliran pada saluran terbuka terdiri dari saluran alam (natural channel), seperti
sungai-sungai kecil di daerah hulu (pegunungan) hingga sungai besar di muara, dan saluran buatan (artificial channel), seperti saluran drainase tepi jalan, saluran irigasi untuk mengairi persawahan, saluran pembuangan, saluran untuk membawa air ke pembangkit listrik tenaga air, saluran untuk supply air minum, dan saluran banjir. Saluran buatan dapat berbentuk segitiga, trapesium, segi empat, bulat, setengah lingkaran, dan bentuk tersusun (Gambar 2.6).
Gambar 2.6 Bentuk-bentuk Profil Saluran Terbuka (Suripin, 2004) Universitas Sumatera Utara
31
2.3.2 Klasifikasi Aliran 2.3.2.1 Aliran Permanen dan Tidak Permanen Jika kecepatan aliran pada suatu titik tidak berubah terhadap waktu, maka alirannya disebut aliran permanen atau tunak (steady flow), jika kecepatan pada suatu lokasi tertentu berubah tarhadap waktu, maka alirannya disebut aliran tidak permanen a ta u
tidak
t una k
(unsteady
flow).
Dalam
hal-hal
tertentu
dimungkinkan
menstransformasikan aliran tidak permanen menjadi aliran permanen dengan mengacu pada koordinat referensi yang bergerak. Penyederhanaan ini menawarkan beberapa keuntungan, seperti kemudahan visualisasi, kemudahan penulisan persamaan terkait, dan sebagainya. 2.3.2.2 Aliran Seragam dan Berubah Jika kecepatan aliran pada suatu waktu tertentu tidak berubah sepanjang saluran yang ditinjau, maka alirannya disebut aliran seragam (uniform flow). Namun, jika kecepatan aliran pada saat tertentu berubah terhadap jarak, maka alirannya disebut aliran tidak seragam atau aliran berubah (nonuniform flow or varied flow). Berdasarkan laju perubahaan kecepatan terhadap jarak, maka aliran dapat diklasifikasikan menjadi aliran berubah lambat laun (gradually varied flow) atau aliran berubah tiba-tiba (rapidly varied flow). 2.3.2.3 Aliran Laminer dan Turbulen Jika partikel zat cair yang bergerak mengikuti alur tertentu dan aliran tampak seperti grakan serat-serat atau lapisan-lapisan tipis yang paralel, maka alirannya disebut laminer. Sebaliknya, jika pertikel zat cair bergerak mengikuti alur yang tidak beraturan, baik ditinjau terhadap ruang maupun waktu, maka alirannya disebut aliran turbulen. Faktor yang menentukan keadaan aliran adalah pengaruh relatif antara gaya kekentalan
Universitas Sumatera Utara
32
(viskositas) dan gaya inersia. Jika gaya viskositas yang dominan, maka alirannya laminer, sedangkan jika gaya inersia yang dominan, maka alirannya turbulen. 2.3.2.4 Aliran Subkritis, Kritis dan Superkeritis Aliran dikatakan kritis apabila kecepatan aliran sama dengan kkecepatan gelombang gravitasi dengan amplitudo kecil dinyatakan Fr = 1. Gelombang gravitasi dapat dibangkitkan dengan merubah kedalaman. Jika kecepatan aliran lebih kecil daripada kecepatan kritis, maka alirannya disebut subkritis dinyatakan dengan Fr < 1, sedanglkan jika kecepatan alirannya lebih besar daripada kecepatan kritis, maka alirannya disebut superkritis dinyatakan dengan Fr > 1. Parameter yang menentukan ketiga jenis aliran tersebut adalah nisbah antara gaya gravitasi dan gaya inersia, yang dinyatakan dengan bilangan Froude (Fr). Bilangan Froude untuk saluran berbentuk persegi didefinisikan sebagai:
𝐅𝒓 �
𝐯
�𝐠. 𝐡
…..…..…………….……….….…….….….………..... (2.44)
di mana: V = kecepatan aliran (m/det), h = kedalaman aliran (m), g =percepatan gravitasi (m/det).
2.3.2.5 Distribusi Kecepatan Kecepatan aliran dalam saluran biasanya sangat bervariasi dari satu titik ke titik lainnya. Dalam hal ini disebabkan adanya tegangan geser di dasar dan dinding saluran dan keberadaan adanya tegangan geser di dasar dan di dinding saluran dan keberadaan permukaan bebas. Gambar 2.7 memperlihatkann tipikal distribusi kecepatan pada beberapa tipe potongan melintang saluran. Kecepatan aliran mempunyai tiga komponen arah menurut koordinat kartesius. Namun, komponen arah vertikal dan arah rateral biasanya kecil dan diabaikan. Sehingga , hanya kecepatan aliran yang searah dengan arah aliran yang diperhitungkan.
Universitas Sumatera Utara
33
Komponen kecepatan ini bervariasi terhadap kedalaman dari permukaan air. Tipikal variasi kecepatan terhadap kedalaman air diperlihatkan dalam Gambar 2.8.
Gambar 2.7 Distribusi kecepatan pada berbagai bentuk potongan melintang
Gambar 2.8 Pola distribusi kecepatan sebagai fungsi kedalaman (Suripin, 2004) 2.3.2.6 Rumus Umum Kecepatan Aliran Adapun dalam mencari kecepatan aliran dapat dipakai beberapa rumus sebagai berikut: a. Chezy (untuk aliran tetap seragam)
𝐕 � 𝐂√𝐑𝐈 .................................................................................... (2.45)
di mana: V = kecepatan rata-rata (m/det), C = Koefisien Chezy, R = jari-jari
hidrolik, I = kemiringan dari permukaan air atau dari gradient energi atau dari dasar saluran, garis-garisnya sejajar untuk aliran mantap yang merata.
b. Manning 𝟏
V = 𝐧 𝐑𝟐/𝟑 𝐈𝟏/𝟐 ........................................................................... (2.46)
di mana: V = kecepatan rata-rata (m/det), n = Koefisien Manning, R = jari-
jari hidrolik, I = kemiringan dari permukaan air atau dari gradient energi atau dari dasar saluran, garis-garisnya sejajar untuk aliran mantap yang merata.
Universitas Sumatera Utara
34
c. Strickler
𝐕 � 𝐤𝐬. 𝐑𝟐/𝟑 𝐈𝟏/𝟐 .......................................................................... (2.47) 𝐤𝐬 � 𝟐 𝟔 �
𝐑
𝐝𝟑𝟓
�
𝟏/𝟔
......................................................................... (2.48)
di mana: V = kecepatan rata-rata (m/det), ks = Koefisien Strickler, d35 = diameter yang berhubungan dengan 35% berat material dengan diameter
yang lebih besar, R = jari-jari hidrolik, I = kemiringan dari permukaan air
atau dari gradient energi atau dari dasar saluran, garis-garisnya sejajar untuk aliran mantap yang merata. 2.3.3 Kriteria Teknis Saluran Drainase Dalam perencanaan dan pelaksanaan pembuatan saluran drainase, kriteria teknis saluran drainase untuk air hujan dan air limbah perlu di perhatikan agar saluran drainase tersebut dapat bekerja sesuai dengan fungsinya. kriteria teknis saluran drainase tersebut adalah sebagai berikut: a. Kriteria teknis saluran drainase air hujan: 1. Muka air rencana lebih rendah dari muka tanah yang akan dilayani 2. Aliran berlangsung cepat, namun tidak menimbulkan erosi 3. Kapasitas saluran membesar searah aliran b. Kriteria teknis saluran drainase air limbah: 1. Muka air rencana lebih rendah dari muka tanah yang akan dilayani 2. Tidak mencemari kualitas air sepanjang lintasannya 3. Tidak mudah dicapai oleh binatang yang dapat menyebarkan penyakit 4. Ada proses pengenceran atau penggelontoran sehingga kotoran yang ada dapat tersangkut secara cepat sampai ke tempat pembuangan akhir 5. Tidak menyebarkan bau atau mengganggu estetika. 2.3.4
Dimensi Tampang Saluran Dimensi tampang saluran adalah berdasarkan debit aliran yang harus di
tampung oleh saluran tersebut. Didalam perencanaan ini hubungan debit dengan dimensi tampang ditentukan berdasarkan rumus Manning pada persamaan (2.46): Universitas Sumatera Utara
35
𝐐 � 𝐀. 𝐕 � 𝐀.
𝟏 𝟐/𝟑 𝟏/𝟐 . 𝐑 . 𝐒 ........................................................................... (2.49) 𝐧
Gambar 2.9 Tampang Trapesium (Suripin, 2004) di mana: A = luas tampang basah saluran, R = jari-jari hidrolis = A/P, P = keliling basah, S = kemiringan dasar saluran, n = koefisien kekasaran Manning. Didalam menggunakan rumus Manning harga dari koefisien kekasaran n adalah merupakan suatu harga pendekatan berdasarkan eksperimen. Selanjutnya berdasarkan penyelidikan Robert E. Horton harga n adalah seperti yang terdapat pada tabel berikut: Tabel 2.7 Koefisien Kekasaran Manning. JENIS SALURAN
NORMAL
MAX.
Saluran tanah dengan permukaan bersih
0,018
0,020
Saluran tanah yang bersih setelah hujan
0,022*
0,025
Saluran tanah yang berkerikil dan bersih
0,025
0,030
Saluran tanah yang ditumbuhi rumput pendek
0,027
0,030
Saluran dengan lining beton
0,013*
0,015
Gorong-gorong dalam keadaan baik
0,011
0,013
Gorong-gorong yang mengalami belokan
0,013*
0,014
Sumber: (Suripin, 2004)
Universitas Sumatera Utara