4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kehamilan Kehamilan merupakan proses menyatunya sel sperma dengan sel telur yang berlangsung di ampula tuba falopi. Korona radiata akan di penetrasi oleh sperma yang telah dikapasitasi dan terikat dengan zona pelusida. Reaksi akrosom dipicu oleh interaksi ini dan keseluruhan sperma dapat lebih terbenam lagi di dalam sel telur. Ketika menyatunya atau berdifusi pronukleus perempuan dan laki-laki, maka zigot mengalami mitosis, dua buah sel yang diploid dibentuk. Saat pembelahan sel dialami, zigot bermigrasi kebawah sepanjang oviduct ke dalam uterus. Zigot akan berimplantasi setelah 5 hari sesudah fertilisasi (Tao dan Kendall, 2013). Di awali dari konsepsi hingga lahirnya janin disebut masa kehamilan. Normal lamanya kehamilan adalah 280 hari (40 minggu atau 9 bulan 7 hari) di hitung dari hari pertama menstruasi terakhir. Masa kehamilan dibagi atas 3 trimester, yaitu trimester pertama yang dimulai dari awal konsepsi sampai usia 3 bulan (minggu pertama sampai hari terakhir minggu ke 13). Trimester kedua, dimulai dari bulan keempat sampai bulan keenam. Trimester ketiga, dimulai dari bulan ketujuh sampai bulan kesembilan (biasanya berakhir pada usia 38-42 minggu kehamilan) (Saifuddin et al., 2009). Dari minggu ke-8 kehamilan sampai kelahiran merupakan periode janin, yang terjadi rata-rata pada minggu ke-38. Sebelum permulaan kehidupan janin, hampir seluruh organ sudah dibentuk, namun fungsinya belum sempurna perkembangannya (Wylie, 2011). Setengah panjang tubuh janin dicapai kepala pada minggu ke 8-12. Di gusi mulai terbentuk gigi dan kuku mulai tampak. Usus kembali masuk ke dalam rongga abdomen dan cairan amnion mulai ditelan bayi dan menghasilkan urin, serta darah pun mulai dibentuk. Genitalia eksterna sudah berdiferensiasi dan dapat diidentifikasi jenis kelaminnya. Detak jantung janin dapat mulai terdengar dengan stetoskop janin pada minggu ke 17-24, dan gerakan janin mulai dirasakan ibu. Verniks merupakan hasil kerja kelenjar sebasea yang sudah mulai terbentuk pada
Universitas Sumatera Utara
5
usia ini. Paru sudah terbentuk dan alveoli dikelilingi oleh kapiler yang berkembang. Struktur mata telah sempurna, kepala, alis, dan kelopak mata telah ditumbuhi oleh rambut (Saifuddin et al., 2010). Pada minggu ke-29 janin telah terbentuk sempurna dan sistem organ dapat berfungsi sampai tingkat tertentu (Wylie, 2011). Berat janin mencapai 1500-2500 gram pada minggu ke 33-36. Pada minggu ke-35, paru telah matur dan lanugo (rambut halus dan tipis pada kulit janin) mulai berkurang. Pada bayi prematur biasanya masih memiliki banyak lanugo ini. Kehamilan dapat disebut aterm pada minggu ke-38 kehamilan, dimana seluruh uterus akan diliputi oleh bayi. Produksi air ketuban mulai berkurang, namun jumlahnya masih dalam batas normal (Saifuddin et al., 2010). 2.1.1. Perubahan Hemodinamik pada Kehamilan Segera setelah terjadinya fertilisasi, banyak perubahan anatomi dan fisiologi pada wanita hamil dan terus akan belanjut selama kehamilan. Kebanyakan dari perubahan ini merupakan respon tubuh terhadap janin. Hampir seluruh perubahan ini akan kembali seperti keadaan sebelum hamil dan setelah mengalami proses persalinan dan masa menyusui selesai merupakan suatu hal yang sangat menakjubkan bagi seorang wanita (Saifuddin et al., 2010). Peningkatan kebutuhan ibu hamil dan janin yang sedang berkembang dalam
kandungannya
selama
kehamilan
harus
terpenuhi
oleh
sistem
kardiovaskular. Selama kehamilan, perubahan kadar hormon mempengaruhi sistem tersebut. Hasilnya, anatomi dan fisiologi ibu hamil mengalami perubahan. Peningkatan denyut jantung sekitar 15% meningkat dari sebelum hamil (McPhee dan Hammer, 2010). Hipertropi ringan ventrikel kiri dan bising sistolik dengan intensitas rendah merupakan perubahan fisiologis yang normal terlihat dalam kehamilan (Tao dan Kendall, 2013). Setiap menitnya sekitar 625 ml darah melalui sirkulasi ibu dari plasenta selama kehamilan bulan terakhir (Guyton dan Hall, 2008). Pada jantung terjadi peningkatan curah jantung sampai 40%. Namun selanjutnya, oleh karena sebab yang tidak dapat dijelaskan, pada delapan minggu terakhir kehamilan curah jantung turun sampai hanya sedikit diatas normal,
Universitas Sumatera Utara
6
walaupun aliran darah uterus tinggi (Guyton dan Hall, 2008). Sekitar 50% volume plasma meningkat dalam darah dan sel darah merah meningkat sekitar 18%. Pada trimester pertama volume darah meningkat secara bertahap dan pada trimester kedua merupakan terjadinya peningkatan terbesar. Peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus tampak meningkat sekitar 40% (McPhee dan Hammer, 2010). Pada trimester kedua dan ketiga terjadi peningkatan jumlah sel darah merah (Wylie, 2011). Dibandingkan dengan peningkatan sel darah merah, peningkatan volume plasma lebih besar, puncaknya pada usia kehamilan 32 minggu. Oleh karena itu, hal ini menyebabkan hemodilusi, yang tampak sebagai anemia (anemia fisiologis). Dapat pula terjadi penurunan jumlah trombosit secara progresif (trombositopenia gestasional). Walaupun demikian, akibat dari peningkatan kadar fibrinogen, stasis darah vena di dalam tungkai dan penurunan protein S, maka sebenarnya ibu hamil berada dalam keadaan hiperkoagulabel (Tao dan Kendall, 2013). 2.2. Eritropoesis dan Aspek Umum Anemia Proses produksi eritrosit digambarkan dengan istilah eritropoesis. Diferensiasi dari sel induk hematopoetik menjadi eritrosit matang merupakan proses eritropoesis. Untuk mengefektifkan kapasitas fungsionalnya, prekursor eritrosit harus memiliki organel yang memproduksi banyak Hb, hingga sekitar 95% protein sel total tercapai (Kiswari, 2014). Kemampuan dari sel darah merah (eritrosit) mengangkut oksigen dan kebutuhan jaringan atas oksigen akan mempengaruhi dan mengatur produksi sel darah merah tersebut. Kekurangan oksigen atau hipoksia jaringan akan menstimulasi untuk memproduksi eritrosit, hal ini akan memicu terbentuknya dan terlepasnya hormon eritropoetin (Kowalak et al., 2012). Fungsi khusus dari eritrosit mengangkut oksigen ke jaringan-jaringan tubuh dan membantu proses pembuangan karbon dioksida dan proton-proton yang merupakan hasil dari metabolisme jaringan tubuh. Sel darah merah merupakan sel terbanyak dalam tubuh dengan struktur sederhana dibandingkan dengan trombosit, leukosit dan struktur sel tubuh lainnya. Metabolisme aktif dilakukan
Universitas Sumatera Utara
7
oleh eritrosit tetapi proses ini tidak bergantung pada hormon insulin untuk memasukkan glukosa ke dalam sel, berbeda dengan sel adiposa dan sel otot yang sangat bergantung pada hormon insulin (Sofro, 2012). Proses eritropoesis yang kompleks dan diatur dengan baik setiap harinya akan menghasilkan sekitar 1012 eritrosit. Melalui sel progenitor 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺
(Colony-forming unit granulocyte, erithroid, monocyte, and megakaryocyte / unit pembentuk koloni granulosit, eritroid, monosit, dan megakaryosit), 𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐸𝐸 (Burst-
forming unit erythroid / unit pembentukan letusan eritroid) dan 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐸𝐸 (CFU
Eritroid), eritropoesis berjalan dari sel induk menjadi prekursor eritroid yang dikenali pertama kali di sumsum tulang belakang, yang disebut pronomoblas. Pronomoblas merupakan sel yang besar yang memiliki inti ditengah dan nukleoli, sitoplasma berwarna biru tua, dan kromatin yang sedikit menggumpal. Setelah pronomoblas terjadi serangkaian normoblas yang semakin kecil dan melalui beberapa pembelahan sel normoblas ini mengandung sel Hb yang semakin banyak (berwarna merah muda) dalam sitoplasma, hilangnya RNA dan aparatus yang mensintesis protein, menyebabkan warna sitoplasma menjadi semakin berwarna biru pucat dan kromatin menjadi lebih padat. Normoblas mengeluarkan inti akhirnya berlanjut di dalam sumsum tulang dan stadium retikulosit dihasilkan yang masih mengandung sedikit RNA ribosom dan Hb masih mampu disintesis. Sel ini berukuran lebih besar daripada eritrosit matur, selama 1-2 hari berada dalam sumsum tulang dan beredar selama 1-2 hari di darah tepi sebelum menjadi matur, terutama berada di limpa ketika RNA telah hilang seluruhnya. Warna merah muda
dan cakram bikonkaf tak berinti
menunjukkan sel eritrosi telah matur. Sekitar 16 eritrosit matur biasanya dihasilkan oleh satu pronomoblas (Hoffbrand et al., 2005). Proses eritropoesis dapat terjadi diluar sumsum tulang apabila sumsum tulang mengalami kelainan, misalnya fibrosis. Pada keadaan ini eritropoesis terjadi di lien dan hati, maka proses ini disebut eritropoesis ekstrameduler (Bakta, 2012). Proses eritropoesis secara singkat tertera pada gambar 2.1. dibawah ini.
Universitas Sumatera Utara
8
Gambar 2.1. Eritropoiesis Sumber : Br J Pharmacol. Jun 2008; 154(3): 529–541. Sel darah merah yang berbentuk bikonkaf menjadikannya cukup fleksibel untuk melewati pembuluh darah kapiler yang kecil dan sirkulasi limfa, serta memudahkan penghantarkan oksigen ke jaringan tubuh. Setelah sumsum tulang mengeluarkan eritrosit, seiring dengan pekembangan usia, enzim yang terdapat di sitoplasma dikatabolisme, peningkatan kekakuan membran, dan terjadilah kehancuran sel eritrosit. Sel eritrosit dapat bertahan sekitar 120 hari sebelum dikeluarkan dari sirkulasi melalui limfa. Hemoglobin yang terkandung dalam sel darah merah dapat membawa oksigen dan karbon dioksida. Empat rantai globin polipeptida dengan molekul hem yang mengandung besi merupakan bagian dari Hb. Pada masa fetal ini terdapat Hb embrionik, hingga masa fetal akhir, Hb fetal (Hb F) dominan. Pada bulan ketiga sampai keenam terjadi pergantian dalam periode neonatal menjadi Hb dewasa normal (HbA). Afinitas oksigen yang dimiliki HbF lebih tinggi daripada HbA (Mehta dan Hoffbrand, 2006). Struktur tetramer terdiri atas sepasang globin α dan sepasang globin non-α terdapat pada orang dewasa. Sebagian besar Hb dewasa (HbA) terdiri dari sepasang rantai globin α dan sepasang rantai globin β (α2β2). Selain itu juga terdapat sebagian kecil Hb fetus (HbF) dengan sepasang rantai globin α dan rantai globin γ (α2γ2), serta Hb minor (HbA2) yang terdiri dari sepasang rantai globin α dan sepasang rantai globin δ (α2δ2). Secara kuantitatif, pada bayi baru
Universitas Sumatera Utara
9
lahir di dominasi oleh jumlah HbF diikuti oleh HbA dan HbA2. Sebaliknya pada orang dewasa, jumlah Hb di dominasi oleh HbA diikuti oleh HbF dan HbA2 (Sofro, 2012). Banyak zat penting yang dibutuhkan untuk memproduksi Hb dalam eritrosit normal. Asam amino (protein), vitamin B12, vitamin B6, asam folat (vitamin kompleks B2), besi, mineral cobalt (Co), dan nikel (Ni) merupakan zat penting yang dibutuhkan tubuh untuk memproduksi Hb yang baik. Pada orang dewasa, produksi ertrosit sehari mencapai lebih dari 200 milyar yang membutuhkan 20 mg asupan besi. Sebagian pasokan besi didapat dari hasil daur ulang yang merupakan hasil dari eritrosit tua yang di fagosit oleh makrofag sel mononuklear. Sekitar 1-2 mg besi yang berasal dari penyerapan usus, yang pada saat kondisi stabil menggantikan besi yang telah dieksresikan oleh tubuh (Kiswari, 2014). Besi yang diserap di dalam duodenum dan yeyenum apabila berlebihan akan di simpan sementara di dalam sel-sel retikuloendotel yang terdapat di hati. Zat yang tersimpan di dalam sel retikoloendotel sebagai feritin dan hemosiderin dibebaskan untuk digunakan oleh sumsum tulang bagi pembentukan sel darah baru (Kowalak et al., 2012). Defisiensi salah satu zat yang dibutuhkan akan menyebabkan
eritropoesis
menjadi
abnormal.
Anemia
disebabkan
oleh
eritropoesis yang tidak normal, jenis dari anemianya tergantung dari unsur zat mana yang mengalami defisiensi (anemia defisiensi besi, defisiensi B12, atau defisiensi asam folat) (Kiswari, 2014). Eritropoetin adalah hormon yang dibutuhkan dalam proses pembentukan sel darah merah (Longo et al., 2012). Produksi retikulosit dan pelepasan retikulosit dari sumsum tulang di tingkatkan oleh eritropoetin. Eritropoetin (Epo) matur adalah protein yang terglikosilasi tinggi yang mengandung 165 asam amino. Protein akan berinteraksi dengan reseptor eritropoetin (EpoR) yang homolog dengan reseptor pertumbuhan yang lainnya. Ikatan antara eritropoerin dengan reseptornya akan menghasilkan internalisasi reseptor dan menimbukan kejadian berikutnya seperti masuknya kalsium dan fosforilasi tirosin. Reseptor akan diekspresikan pada sel progenitor eritroid awal dan jumlah ekspresinya
Universitas Sumatera Utara
10
meningkat pada perkembangan sel darah merah. Kematian sel apoptotik disebabkan oleh pelepasan eritropoetin dari prekursornya. Ginjal adalah lokasi utama pembentukan hormon eritropoetin pada orang dewasa. Sel hepatosit dan sel fibroblastoid di hati juga menghasilkan sebagian kecil eritropoetin. Pada fetus dan neonatus hari merupakan tempat memproduksi hormon eritropoetin utama. Pada ginjal, sel fibroblastoid tipe 1 pada interstisium peritubular pada korteks dan medula bagian luar menghasilkan hormon eritropoetin. Ginjal akan memproduksi hormon eritroportin dalam jumlah yang sedikit, namun jumlah produksi akan meningkat pada anemia atau penurunan 𝑃𝑃𝑃𝑃2
arteri, keadaan dimana yang dapat menyebabkan hipoksia jaringan.
Awalanya, hipoksia merangsang sintesis mRNA eritropoetin pada sel di korteks bagian dalam, apabila hipoksia berlanjut, sel yang terletak di superfisial juga akan memproduksi hormon eritropoetin. Kadar oksigen rendah menyebabkan protein faktor transkripsi H1F1α (hypoxia inducible factor 1α) berikatan dengan gen eritropoetin dan terjadi peningkatan ekspresinya. Pada saar kadar oksigen normal, enzim propyl hydroxylase dopamine (PHD) yang bersifat oxygendependent menambah gugus hidroksil ke residu prolin pada protein H1F1α kemudian hidroksi prolin akan dikenali oleh protein VHL (Von Hipple-Lindau) yang berbentuk kompleks dengan protein lain, dan dapat melekatkan H1F1α dengan gugus ubiquitin, serta memicu hancurnya oleh proteasom. Jadi, ketika kadar oksigen rendah di dalam darah, hidroksilasi prolin tidak terjadi, H1F1α menjadi stabil dan gen eritropoetin dapat teraktivasi (O’callaghan, 2009). 2.3. Anemia Secara Umum Anemia berasal dari bahasa Yunani yang artinya “tanpa darah”. Anemia adalah defisiensi sel darah merah dan defisiensi Hb. Tidak terpenuhinya kebutuhan fisiologis tubuh oleh karena kondisi kadar sel darah merah (dan kapasitas pembawa oksigennya) tidak mencukupi adalah suatu kondisi anemia. Kebutuhan fisiologis tubuh sangat bervariasi, tergantung dari jenis kelamin, umur, ketinggian diatas permukaan laut, merokok, perilaku dan kebiasaan, serta dalam berbagai tahap dalam kehamilan. Penyebab paling umum yang menyebabkan anemia global adalah kekurangan atau defisiensi zat besi. Penyebab lain seperti
Universitas Sumatera Utara
11
defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, defisiensi vitamin A yang akut dan kronis, infeksi dari parasit, kelainan kongenital atau diperoleh yang dapat mempengaruhi sintesis Hb, produksi sel darah merah atau sel darah merah yang masih hidup, dapat menyebabkan anemia. Menurut WHO, kadar Hb <13,0 gr/dl pada laki-laki, kadar Hb <12,0 gr/dl pada wanita dewasa yang tidak hamil, kadar Hb <11,0 gr/dl, kadar Hb <12,0 gr/dl pada anak umur 6-14 tahun, dan kadar Hb <11,0 gr/dl dinyatakan sebagai anemia. Di Indonesia pada umumnya memakai kriteria sendiri untuk memudahkan klinisi untuk melakukan work up anemia. Kadar Hb <10,0 gr/dl, hematrokrit <30% dan kadar Eritrosit <2,8 juta/𝑚𝑚𝑚𝑚3 adalah kriteria umum di klinik atau rumah sakit di
Indonesia (Bakta, 2012).
2.3.1 Klasifikasi Anemia Berdasarkan derajat anemia, WHO dan NCI (National Cancer Institution) mengklasifikasikan anemia menjadi empat kelompok, seperti yang tertera pada tabel 2.1. dibawah ini. Derajat Derajat 0 (nilai normal)
Derajar 1 (ringan)
Tabel 2.1. Derajat Anemia WHO NCI ≥11.0 g/dl Perempuan : 12.0 – 16.0 g/dl Laki-laki : 14.0 – 18.0 g/dl 9.5 – 10.9 g/dl 10.0 g/dl – nilai normal
Derajat 2 (sedang)
8.0 – 9.4 g/dl
8.0 – 10.0 g/dl
Derajat 3 (berat)
6.5 – 7.9 g/dl
6.5 – 7.9 g/dl
Derajat
4
(mengancam < 6.5 g/dl
< 6.5 g/dl
jiwa)
Menurut Longo dkk dalam buku Harrison’s edisi 18, klasifikasi fungsional dari anemia dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu : 1. Gangguan produksi sumsum tulang (hypoproliferation) 2. Gangguan pematangan sel darah merah (ineffective erythropoesis) 3. Penurunan usia sel darah merah (blood loss/ hemolysis)
Universitas Sumatera Utara
12
2.3.2. Gejala Klinis Anemia Variasi gejala klinis dari anemia sangat bervariasi, tetapi secara umum dapat dibagi menjadi tiga bagian besar. Pertama gejala umum anemia atau sindrom anemia (anemic syndrome). Sindrom anemia adalah gejala-gejala yang timbul pada seluruh jenis anemia pada kadar Hb sudah menurun sampai pada suatu titik tertentu. Gejala-gejala ini timbul akibat hipoksia sampai anoksia suaru organ dan telah terjadi mekanisme kompensasi tubuh terhadapat penurunan kadar Hb. Gejala tersebut dikelompokkan menurut masing-masing organ tubuh, antara lain : 1. Sistem kardiovaskular: lesu, cepat lelah, palpitasi, sesak diwaktu bekerja, takikardi, angina pektoris, dan gagal jantung. 2. Sistem saraf: pusing, sakit kepala, telinga berdenging, kelemahan otot, gelisah, lesu, perasaan dingin pada ekstemitas. 3. Sistem urogenital: libido menurun dan gangguan menstruasi 4. Epitel: elastisitas kulit menurun, rambut tipis dan halus, warna yang pucat pada kulit dan mukosa. Kedua, gejala dari masing – masing anemia, yaitu : 1. Anemia defisiensi besi: kuku berbentuk seperti sendok makan (koilonikia),
rapuh,
dan
tipis
dengan
garis
menonjol
pada
permukaannya yang terasa kasar (disebabkan oleh karena sirkulasi kapiler menurun), lidah terasa perih dan berwarna merah, seperti terbakar akibat atrofi, kulit suduk mulut terasa perih dan kering akibat perubahan epitel (Kowalak et al., 2012). 2. Anemia defisiensi asam folat: lidah memerah (buffy tongue), glotitis, anoreksia, keluhan mudah lupa, mual, dan ikterus ringan. Anemia defisiensi asam folat tidak menyebabkan defisit neurologi atau gangguan neurologi kecuali jika keadaan ini disertai dengan defisiensi vitamin B12 seperti pada anemia pernisiosa (Kowalak et al., 2012). 3. Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali 4. Anemia aplastik: ekimosis, petekie, dan perdarahan, khususnya dari membran mukosa, seperti mukosa hidung, mukosa gusi, mukosa
Universitas Sumatera Utara
13
rektum, mukosa vagina, atau ke dalam retina atau sistem saraf pusat yang disebabkan oleh trombositopenia, infeksi, nyeri tenggorokan tanpa adanya inflamasi yang khas, yang dikarenakan neutropenia (defisiensi neutrofil) (Kowalak et al., 2012). Ketiga, penyakit dasar yang menyebabkan timbulnya anemia. Misalnya, infeksi cacing tambang yang berat yang memiliki gejala pembesaan kelenjar parotis dan telapak tangan berwarna kuning yang dapat menyebabkan anemia defisiensi besi. Kanker kolon yang dapat menimbulkan perubahan sifat defekasi (change of bowel habit), feses dapat bercampur dengan darah atau lendir (Bakta, 2012). 2.3.3. Prinsip Terapi Anemia Prinsip terapi spesifik pada setiap kasus anemia harus diperhatikan setelah terdiagnosis dan diberikan terapi yang jelas sesuai indikasinya, rasional dan efisien. Terapi yang pertama diberikan adalah terapi gawat darurat. Pada pasien anemia dengan payah jantung atau terjadi ancaman payah jantung, harus segera diberikan terapi gawat darurat dengan mentransfusi sel darah merah untuk mencegah perburukan keadaan payah jantung tersebut. Sebelum dilakukan transfusi, spesimen apusan darah tepi, bahan untuk pemeriksaan serum besi dan lainnya harus di ambil dahulu (Bakta, 2012). Kedua, terapi khusus dari masing- masing tipe anemia, tergantung dari hasil pemeriksaan yang dilakukan. Misalnya preparat besi untuk terapi anemia defisiensi besi, asam folat untuk terapi anemia defisiensi asam folat, dan lain-lain. Ketiga, prinsipnya adalah mengobati penyakit dasar penyebab anemia. Penyakit dasar harus ditangani dan di terapi dengan tuntas. Apabila terapi tidak dilakukan dengan tuntas, maka anemia dapat kembali kambuh. Misalnya anemia defisiensi besi disebabkan oleh thalasemia beta, anemia defisiensi besi akibat infeksi kecacingan. Akan tetapi, sayangnya tidak semua anemia yang memiliki penyakit yang mendasari dapat dikoreksi, seperti anemia yang bersifat familier/herediter (Bakta, 2012). Terapi ex juvantivus adalah prinsip terapi yang keempat. Terapi ini diberikan sebelum anemia terdiagnosis atau diagnosa belum dapat dipastikan. Jika
Universitas Sumatera Utara
14
terapi yang diberikan pertama berhasil, maka diagnosa anemia dapat dipastikan. Prinsip terapi ini dilakukan hanya jika fasilitas yang tersedia tidak mencukupi saat diberi terapi, pasien harus diawasi dengan ketat. Apabila terapi yang dibeli direspon dengan baik, maka terapi diteruskan, namun apabila tidak terjadi perbaikan, maka harus dievaluasi ulang (Bakta, 2012). 2.4. Anemia pada Kehamilan Praktisnya, anemia didefinisikan sebagai kadar Ht, konsentrasi Hb, atau hitung jumlah eritrosit dibawah batas nilai normal. Nilai normal kadar Hb pada kehamilan >11–14g/dL. Pada kehamilan, anemia penyakit paling sering yang dapat ditemui. Menurut The World Health Organization (WHO), anemia pada kehamilan dapat ditegakkan bila konsentrasi Hb <11 g/dl (7,45 mmol/L) dan kadar Ht <0,33 (Hollingworth, 2014). Menurut CDC, penilaian anemia pada kehamilan di tentukan berdasarkan trimester kehamilan. Nilai batas anemia pada diuraikan pada tabel 2.2. dibawah ini. Tabel 2.2. Nilai Batas Anemia Ibu Hamil Status Kehamilan Hb (g/dl) Ht (%) Trimester pertama 11,0 33 Trimester kedua
10,5
32
Trimester ketiga
11,0
33
Konsentrasi Hb terus mengalami penurunan pada trimester pertama dan mencapai titik terendah pada trimester kedua, lalu meningkat lagi pada trimester ketiga. WHO (2011) tidak merekomendasikan penilaian anemia pada ibu hamil berdasarkan trimester, tetapi pada trimester kedua kehamilan, kadar Hb dikurangi sekitar 0,50 g/dL. Derajat anemia pada ibu hamil dapat dilihat pada tabel 2.3. dibawah ini.
Universitas Sumatera Utara
15
Derajat Anemia
Tabel 2.3. Derajat Anemia Pada Ibu Hamil Nilai
Non Anemia
≥ 11,0 g/dL
Anemia Ringan
10,0 – 10,9 g/dL
Anemia Sedang
7,0 – 9,9 g/dL
Anemia Berat
< 7,0 g/dL
Menurut kriteria WHO dan pedoman Kemenkes 1999 anemia pada ibu hamil mencapai 37,1% dan proporsi pada ibu hamil di perkotaan 36,4% dan di pedesaan 37,8% (RISKESDAS, 2013). Anemia jelas telah menjadi masalah yang serius karena dapat menyebabkan mortalitas dan mordibitas maternal dan perinatal di seluruh dunia, khususnya di negara berkembang (Hollingworth, 2014). Penyebab tersering anemia pada ibu hamil adalah anemia defisiensi zat nutrisi (besi, asam folat, dll). Defisiensi yang diderita seringnya bersifat multiple dengan manifestasi klinis yang disertai status gizi yang buruk, kejadian infeksi, atau kelainan herediter seperti hemoglobinopati. Penyebab yang menjadi dasar anemia nutrisional mencakup asupan yang tidak mencukupi, absorbsi yang tidak baik, kebutuhan yang meningkat, dan utilisasi nutrisi hemopoetik yang kurang. Hemoglobinopati, proses inflamasi, toksisitas zat kimia, dan keganasan jarang dijumpai menjadi penyebab anemia pada kehamilan (Saifuddin et al., 2010). Anemia pada kehamilan harus diobservasi. Peningkatan volume darah selama kehamilan merupakan anemia yang ringan. Pada anemia yang lebih berat, dapat meningkatkan risiko anemia pada bayi. Apabila terjadi anemia pada trimester pertama dan kedua, berisiko melahirkan bayi prematur. Apabila anemia dialami oleh ibu pada trimester ketiga saja, maka berisiko melahirkan bayi dengan berat bayi lahir rendah. Selain itu, anemia pada kehamilan meningkatkan risiko infeksi pada ibu yang dapat mengganggu perkembangan janin dan meningkatkan risiko kehilangan banyak darah saat proses persalinan (Proverawati, 2011; Kumar et al., 2012).
Universitas Sumatera Utara
16
2.4.1. Defisiensi Besi Defisiensi nutrisi yang paling banyak dijumpai baik di negara maju maupun negara berkembang adalah defisiensi besi. Hal ini berkaitan dengan asupan besi yang tidak adekuat, proses kehamilan, dan kebutuhan perkembangan janin yang cepat. Anemia yang paling umum saat kehamilan adalah anemia defisiensi besi, sekitar 95% anemia pada kehamilan tergolong pada anemia defisiensi besi (Morgan dan Hamilton, 2009). Secara klasik anemia defisiensi besi disebut anemia hipokromik mikrositik (Hollingworth, 2014). Menurut Ani (2013), anemia defisiensi besi memiliki dampak yang negatif terhadap kesehatan ibu dan janin yang dikandungnya, antara lain kelahiran prematur, hipoksia janin, fetal distress,
dan peningkatan morbiditas dan
mortalitas fetomaternal. Besi memiliki peran mensintesis neurotransmitter di otak yang dapat berpengaruh terhadap tingkah laku manusia. Defisiensi zat besi juga dapat menyebabkan turunnya platelet monoamine oxidase dan aktifitas fungsional reseptor dopamin D2. Meningkatnya konsentrasi noreprineprin yang dapat menyebabkan hipoksia juga merupakan efek samping dari defisiensi zat besi. Anemia umumnya ditentukan oleh pengukuran konsentrasi Hb dan Ht, sedangkan untuk mendiagnosa anemia defisiensi besi dipakai kriteria kadar besi serum <50µg/dL, TIBC >350µg/dL, dan saturasi transferin <15% atau kadar feritin serum <20µg/L. Pada pemeriksaan indeks eritrosit dan apusan darah tepi ditemukan adanya anemia hipokromik mikrositer. Anemia defisiensi besi dimana telah terjadi defisiensi besi yang paling parah, yang ditandai dengan penurunan cadangan feritin. Konsentrasi besi serum dan saturasi feritin yang rendah serta konsentrasi Hb dan Ht yang menurun. Apabila seorang perempuan mengawali kehamilan dengan cadangan besi yang rendah, maka kebutuhan besi selama hamil lebih meningkat dan berakibat pada anemia defisiensi besi (Saifuddin et al., 2010). Peningkatan kebutuhan zat besi bejalan linier sesuai dengan usia kehamilan. Walapun pada 5-10 minggu terakhir kehamilan penambahan masa eritrosit berhenti, akan tetapi pada trimester ketiga terjadi peningkatan eritropoesis janin dan akumulasi besi plasenta terjadi. Jumlah kebutuhan besi rata-rata pada
Universitas Sumatera Utara
17
setiap kehamilan sekitar 450 mg. Besi yang di transfer ke janin dan plasenta sebesar 350 mg, 250 mg hilang selama pengiriman di dalam darah, dan 250 mg hilang melalui sel basal. Dibutuhkan tambahan sekitar 450 mg zat besi yang digunakan untuk ekspansi masa eritrosit maternal dan memenuhi cadangan besi yang turun dari penyimpanan zat besi selama gestasi. Sekitar 5,6 mg besi di absorbsi perhari (3,3-8,8 mg/hari) dibutuhkan pada trimster kedua dan ketiga atau sekitar 4,2 mg/hari lebih banyak daripada kebutuhan perempuan yang tidak hamil (Ani, 2013). Untuk mencegah anemia defisiensi besi dapat dilakukan suplementasi besi dan asam folat. Pemberian 60 mg besi selama 6 bulan menurut anjuran WHO untuk memenuhi kebutuhan fisiologi selama kehamilan. Namun, ada banyak literatur yang menganjurkan pemberian 100 mg besi selama 16 minggu lebih baik pada kehamilan. Pada daerah dengan prevalensi anemia yang tinggi, dianjurkan untuk memberi suplementasi sampai tiga bulan setelah melahirkan (Saifuddin et al., 2010). 2.4.2. Defisiensi Asam Folat Kebutuhan asam folat dibutuhkan dalam dosis yang besar pada saat kehamilan, sekitar lima sampai sepuluh kali lipat kebutuhan normal karena terjadi peningkatan replikasi sel pada janin, uterus, dan sumsum tulang. Dianjurkan sekitar 800 µg perhari selama kehamilan. Di negara berkembang, defisiensi asam folat sering terjadi. Penyebabnya karena tidak cukupnya asupan dari makanan atau disebabkan oleh sindrom malabsorbsi dan penyakit saluran cerna lainnya. Anemia defisiensi asam folat banyak dijumpai pada kehamilan ganda, penderita infeksi cacing tambang, keluarnya darah haemorhoid, penyakit hemolitik (malaria kronik), dan infeksi lainnya. Obat-obatan antifolat, seperti obat antiepilepsi (phyenitoin, primidone), pyrimethamine, dan trimethoprim dapat menyebabkan defisiensi asam folat (Hollingworth, 2014). Kadar estrogen dan progesteron yang tinggi selama kehamilan juga memberi efek terhadap penghambatan absorbsi asam folat. Anemia kedua terbanyak setelah anemia defisiensi besi adalah anemia tipe megaloblastik karena defisiensi asam folat. Folat dan turunannya formil FH4
Universitas Sumatera Utara
18
penting untuk sintesis DNA yang mencukupi dan menghasilkan asam amino. Manifestasi klinis anemia megaloblastik dapat disebabkan oleh karena defisiensi asam folat. Gejala klinis dari defisiensi asam folat sama dengan gejala klinis anemia secara umum, hanya saja ditambahkan kulit kasar dan glotitis. MCH dan MCHC biasanya dalam batas normal, sedangkan MCH yang besar berguna untuk membedakan anemia ini dari anemia defisiensi besi maupun anemia fisiologis kehamilan. Penanda awal defisiensi asam folat adalah kadar folat serum yang dibawah normal (< 3 ng/ml). Indikator status asam folat yang baik adalah asam folat dalam eritrosit. Kadar folat dalam eritrosit biasanya rendah pada anemia megaloblastik yang disebabkan defisiensi asam folat (Saifuddin et al., 2010). Anomali kongenital janin juga sering dikaitan dengan defisiensi asam folat ringan, terutama terjadi defek pada penutupan tabung neural (neural tube defect). Selain itu, kelainan pada jantung, saluran kemih, alat gerak, retardasi pertumbuhan, bayi KMK, kelahiran prematur dan solusio plasenta juga dapat disebabkan oleh defisiensi asam folat (Hollingworth, 2014). 2.5. Kadar Hemoglobin Ibu dan Hubungannya dengan Nilai APGAR Bayi Baru Lahir Seperti yang sudah di bahas sebelumnya, WHO mendefinisikan anemia berdasarkan kadar Hb dalam darah. Pada kehamilan sampai dengan minggu ke-20 terjadi penurunan kadar Hb darah karena terjadi peningkatan jumlah volume plasma (50%) dan sel darah merah (25%). Kemudian nilai itu menetap sampai minggu ke-30 usia kehamilan, lalu naik sedikit sebelum masa kelahiran. Di negara berkembang, banyak terdapat ibu hamil yang mengalami defisiensi mikronutrisi seperti zat besi dan asam folat, yang menyebabkan terjadi insiden berat bayi lahir rendah sekilat 6 – 30% dan yang tersering disebabkan oleh bayi kecil masa kehamilan. Bayi kecil masa kehamilan yang matur mungkin tidak berhubungan dengan ketidakmatangan organ seperti pada bayi prematur, tetapi berhubungan dengan kematian sebelum atau saat kelahiran, penyebabnya seperti asfiksia, aspirasi mekonium dan hipoglikemia (Heider et al., 2011).
Universitas Sumatera Utara
19
Defisiensi zat besi sangat mempengaruhi kesehatan ibu dan janin, kadar zat besi yang baik selama kehamilan dapat meningkatkan massa eritrosit (terutama pada trimester kedua) dan membantu pertumbuhan plasenta dan janin (Ribot et al., 2012). Pertumbuhan janin penting untuk memprediksi kesehatan bayi yang dilahirkan. Fetus yang tidak mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan pada masa pertumbuhan janin meningkatkan risiko kematian dan kecacatan bayi, termasuk terganggunya fungsi kognitif dan perkembangan sel saraf dan memiliki risiko yang tinggi menderita penyakit pada saat dewasa (Rodriguez-Bernal et al., 2012). Defisiensi vitamin B kompleks dan asam folat dapat menyebabkan homosisteinemia. Peningkatakan kadar homosistein dapat menyebabkan disfungsi sel endotel dan berefek pada fungsi plasenta. Vitamin dan mineral juga memiliki peranan yang penting pada regulasi gen maupun dalam metabolisme selular dan pertumbuhan janin (Kawai et al., 2011). Jumlah produksi volume plasma pada trimester pertama dan
kedua
menjadi penanda keberhasilan kehamilan, hal ini berhubungan dengan perfusi janin dan ibu berjalan dengan baik. Kegagalan produksi ini dapat menyebabkan insufisiensi perfusi ke janin, yang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin. Kadar Hb yang rendah juga berhubungan dengan meningkatkan resiko kelahiran prematur akibat rupturnya membran. Mekanisme lain yang mungkin, terjadi gangguan fungsional pada tingkat jaringan yang disebabkan oleh konsentrasi Hb yang rendah atau peningkatan stres oksidatif karena defisiensi besi. Gangguan jaringan fungsional
dan/atau
kerusakan oksidatif yang berlangsung di dalam janin dan plasenta dapat memberikan hasil yang buruk pada bayi baru lahir karena selama di dalam kandungan aliran darah ibu ke janin hanya melalui plasenta, sehingga jika terjadi masalah pada plasenta akan mempengaruhi kondisi janin (Savajols et al., 2014; Wylie, 2010). Selain itu, kerusakan oksidatif pada eritrosit dalam janin dan plasenta yang dapat menstimulasi produksi cortico-trophin-releasing hormone (CRH). Regulasi CRH yang abnormal dan produksi sitokin-sitokin inflamasi dapat menghambat aktivitas dari Natural Killer Cell (NK cell) yang merupakan
Universitas Sumatera Utara
20
komponen sistem imun tubuh sehingga meningkatkan risiko infeksi yang dapat mempengaruhi janin (Lone et al., 2004). Mekanisme efek anemia pada ibu terhadap bayi yang dilahirkannya masih belum jelas. Rendahnya kadar Hb ibu dapat menyebabkan hipoksia janin karena pernafasan janin hanya melalui plasenta, sehingga darah yang mengalir di plasenta harus adekuat, apabila kadar Hb ibu hamil rendah, maka kandungan oksigen dalam darah pun rendah, sehingga perkembangan janin dapat terganggu dan dapat menyebabkan gawat janin. Hipoksia janin dapat menstimulus peningkatan kadar noreprineprin yang merangsang peningkatan sintesis cortico-trophin-releasing hormone (CRH), yang dapat menyebabkan kelahiran prematur dan dapat mengancam kesehatan janin. Selain itu, anemia pada ibu hamil juga dapat meningkatkan produksi kortisol janin, yang telah diketahui menginhibisi produksi insulin-like growth factor 2 pada janin, hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan janin (Chumak et al., 2010; Wylie, 2010; Rodriguez-Bernal et al., 2012). Kadar Hb yang rendah pada ibu yang anemia menyebabkan kadar oksigen yang diikat oleh sel darah merah di paru dan di bawa ke jaringan-jaringan tubuh menjadi berkurang. Kadar Hb dan kadar besi pada darah tali pusat dan jaringan plasenta memiliki hubungan yang linear dengan kadar Hb ibu. Berat plasenta dan jumlah kotiledon plasenta secara signifikan berkurang pada ibu anemia berat dan secara langsung berhubungan dengan kadar Hb ibu. Hal ini akan meyebabkan penurunan kadar oksigen di jaringan tubuh, kemudian metabolisme anaerobik akan terjadi. Hal ini dapat menyebabkan fetus mengalami hipoksia dan asidosis yang dapat memperngaruhi nilai APGAR bayi (Al- Hilli, 2010). Anemia pada kehamilan berhubungan dengan pertumbuhan janin terhambat, kelahiran prematur, berat bayi lahir rendah, peningkatan waktu kelahiran, peningkatan risiko infeksi, peningkatan kematian pada ibu dan janin, dan disfungsi otot. Dilaporkan terdapat hubungan antara kadar Hb ibu yang rendah dengan nilai APGAR <5 menit pertama dan menit kelima serta usia gestasi, yang merupakan indeks status kesehatan bayi baru lahir (Lee et al., 2006).
Universitas Sumatera Utara
21
2.6. Nilai APGAR pada Bayi Baru Lahir Pada tahun 1952, dr.Virginia Apgar merancang serangkaian penilaian cepat untuk menilai keadaan klinis pada bayi baru lahir pada usia 1 dan 5 menit, maka dari itu penilaian ini disebut Nilai APGAR (skor APGAR) yang berasal dari nama penemunya. Penilaian ini memiliki 5 komponen, yaitu frekuensi jantung, usaha pernafasan, tonus otot, refleks terhadap rangsangan, dan warna kulit. Menurut APGAR, frekuensi jantung dan usaha pernafasan adalah komponen terpenting pada sistem penilaian ini lalu diikuti dengan refleks terhadap rangsangan, tonus otot dan warna kulit. Nilai APGAR digunakan untuk menilai dan mengevaluasi bayi baru lahir, selain itu nilai APGAR digunakan untuk mengestimasi kemungkinan ketahanan hidup bayi. Nilai APGAR tidak digunakan untuk memprediksi gangguan sistem saraf atau asfiksia bayi baru lahir tetapi dapat memprediksi palsi serebral dan menilai keberhasilan resusitasi. Nelson dan Ellenberg menemukan risiko kerusakan motorik yang berhubungan dengan nilai APGAR yang rendah dalam waktu lama pada bayi cukup bulan (Rubarth, 2012; Li, 2013). Pada tahun 1962, Butterfield dan Covey membuat akronim dari nilai APGAR. Hal ini dilakukan untuk mempermudah klinisi mengingat komponen dari nilai APGAR. A adalah appaerance (warna kulit), P adalah pulse (frekuansi jantung), G adalah Grimace (refleks rangsangan), A adalah Activity (tonus otot), R adalah respiration (usaha pernafasan). Frekuensi jantung bayi baru lahir dapat dirasakan pada umbilikal bayi. Posisi jari pada bagian bawah potongan umbilikal bayi dekat dengan kulit. Penilaian dapat dilakukan selama 6 detik untuk mendapatkan hasil yang lebih cepat. Bayi baru lahir yang tidak ada frekuensi jantung diberi nilai 0, frekuensi jantung < 100 diberi nilai 1 dan frekuensi jantung >100 diberi nilai 2. Usaha pernafasan bayi dilihat apakah bayi memerlukan bantuan pernafasan atau tidak. Bayi baru lahir yang apnea diberi nilai 0 , bayi baru lahir yang hipoventilasi diberi nilai 1, dan bayi baru lahir yang dapat bernafas normal tanpa peningkatan usaha pernafasan diberi nilai 2. Pada refleks rangsangan apabila bayi baru lahir tidak memberi respon diberi nilai 0, bayi merespon dengan
Universitas Sumatera Utara
22
merintih atau sedikit gerakan diberi nilai 1, dan bayi yang langsung nangis diberi nilai 2. Kemudian yang di nilai adalah tonus otot, penilaiaan ini mudah dilihat. Hipotonia dapat disebabkan oleh iskemia pada organ non vital. Hipoksia dan iskemia menyebabkan kekurangan ATP untuk aktifitas otot. Pada bayi baru lahir yang tidak ada tonus otot diberi nilai 0, ekstermitas bayi sedikit fleksi di beri nilai 1, dan apabila gerakan bayi aktif maka diberi nilai 2. Berdasarkan nilai APGAR, nilai 2 diberi apabila seluruh bayi berwana merah jambu, tetapi kebanyakan bayi sedikit sianosis pada menit pertama. Saturasi oksigen meningkat dari 60% menjadi 90% dalam waktu 5 menit. Nilai 1 diberi pada bayi yang akrosianosis, yaitu sianosis pada ekstremitasnya. Akrosianosis biasanya terjadi pada 24 jam pertama, setelah dihangatkan dan perfusi ke jaringan baik, makan akrosianosis mulai tidak tampak (Rubarth, 2012). Untuk komponen-komponen penilaian APGAR pada bayi baru lahir dapat di lihat pada tabel 2.4. Tabel 2.4. Komponen Nilai APGAR Nilai 0 1
2
Frekuensi jantung
Tidak ada
<100x/ menit
>100x / menit
Usaha pernafasan
Tidak ada
Lambat
Menangis kuat
Tonus otot
Tidak ada
Ekstremitas sedikit Gerakan Aktif fleksi
Refleks
Tidak bereaksi
Gerakan sedikit
Reaksi melawan
rangsangan Warna kulit
Seluruh biru/pucat
tubuh Tubuh kemerahan, Seluruh ekstremitas biru
tubuh
kemerahan
Tiap komponen tersebut dijumlahkan, apabila nilainya >7 , menunjukkan keadaan bayi baik. Jika nilai APGAR masih <7 atau bayi memerlukan resusitasi, maka penilaian ini diteruskan setiap 5 menit sampai normal atau sampai 20 menit. Pengelompokan hasil perhitungan nilai APGAR dapat dilihat pada tabel 2.5. dibawah ini.
Universitas Sumatera Utara
23
Hasil
Tabel 2.5. Hasil Penjumlahan Nilai APGAR Status Intervensi
8 – 10
Normal
Tidak membutuhkan intervensi
4–7
Sedang
Membutuhkan tindakan resusitasi
0–3
Berat
Membutuhkan resusitasi segera
Banyak faktor yang berhubungan dengan nilai APGAR yaitu, trauma lahir, kelainan bawaan, infeksi, hipoksia, kelahiran prematur, dan penggunaan obatobatan. Nilai APGAR pada menit pertama umumnya berhubungan dengan pH pada darah tali pusat dan gawat janin selama persalinan. Bayi dengan nilai APGAR 0-4 menunjukkan bahwa pH darah rendah oleh karena tekanan parsial karbon dioksida yang tinggi. Pada payi prematur dengan nilai APGAR yang rendah belum tentu indikasi gawat janin yang berat (Cloherty et al., 2008). Nilai APGAR yang digunakan sebagai respon resusitasi berbeda dengan nilai APGAR pada bayi baru lahir yang bernafas secara spontan. Bayi dengan nilai APGAR yang rendah pada menit pertama namum merespon baik dengan resusitasi memiliki prognosis yang baik. Bayi dengan nilai APGAR rendah dan tidak merespon baik dengan resusitasi selama 10 menit memiliki prognosis yang buruk, bayi tersebut memiliki risiko palsi serebral yang meningkat seiring dengan semakin lamanya nilai APGAR yang rendah (Suradi, 2012).
Universitas Sumatera Utara