BAB II PERCERAIAN MENURUT SISTEM HUKUM DI INDONESIA A. Perceraian Menurut Sistem Hukum Islam 1. Pengertian Perceraian Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, sebab tidak ada perceraian
tanpa
adanya
perkawinan
terlebih
dahulu.Perkawinan
merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri, sedangkan perceraian merupakan akhir dari kehidupan bersuami istri tersebut. Islam telah memberikan ketentuan tentang batas-batas hak dan tanggung jawab bagi suami istri agar perkawinan berjalan dengan sakinah, mawaddah dan warahmah. Bila ada diantara suami istri berbuat diluar hak dan kewajibannya maka Islam memberi petunjuk bagaimana cara mengatasinya dan mengembalikannya kepada yang hak. Tetapi bila dalam suatu rumah tangga terjadi krisis yang tidak lagi dapat diatasi, maka Islam memberikan jalan keluar berupa perceraian.Meskipun perceraian itu merupakan perbuatan yang halal, namun Allah sangat membenci perceraian tersebut. Apabila ditelusuri sumber Hukum Islam, Al-Quran (QS. Al-Baqarah [2]: 227-237, QS.AN-Nisa’ [4]: 19,34,35,128,130, QS.Al-Ahzab [33]: 28,29,39, QS.Al-Thalaq [65]: 1,2,4,6,7) dan Sunnah Shahih, yang mengatur tentang thalaq dan berbagai aspek hukum di dalamnya, maka dapat ditarik beberapa garis hukum tentang perceraian sebagai berikut : a. Perceraian adalah dibolehkan dalam Islam sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan suami istri dan anak-anak dalam kondisi rumah tangga yang tidak mungkin dipertahankan lagi. b. Meskipun perceraian dibolehkan, namun perbuatan tersebut sangat dibenci oleh Allah SWT mengingat besarnya dampak negatif yang akan timbul akibat perceraian. c. Meskipun perceraian diperbolehkan dalam kondisi darurat, namun perceraian harus dilakukan dengan cara-cara ihsan (baik). Mengenai ihsan mencakup asas keadilan, persamaan dan
Universitas Sumatera Utara
pemeliharaan hak dan kewajiban serta harus didasari oleh alasan atau alasan-alasan yang dibenarkan hukum. d. Perceraian merupakan perbuatan hukum yang tidak boleh dilakukan
semena-mena
untuk
menjaga
sakralitas
institusi
perkawinan. Berdasarkan beberapa pokok pikiran tersebut, maka yang menjadi nilai-nilai mutlak dan tidak mungkin diubah dalam ajaran Islam tentang perceraian (nilai-nilai kategori Syari’ah) adalah kebolehan perceraian dalam kondisi tertentu, sedangkan tata cara pelaksanaannya secara “ihsan’ adalah bersifat umum dan dinamis serta berkembang sesuai dengan tuntutan kemaslahatan masyarakat. Sebagai contoh, dalam hadis riwayat Ibnu Abbas r.a disebutkan bahwa thalaq pada masa Rasulullah SAW dan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq serta dua tahun masa ke khalifahan Umar ibn Al-Khaththab, yang dijatuhkan tiga kali sekaligus dihitung satu, setelah itu disaat masyarakat mulai mempermain-main kan thalaq, maka Khalifah Umar ibn Al-Khaththab menetapkan thalaq yang dijatuhkan tiga kali sekaligus dihitung tiga. 24 Pada masa lalu, sebagian ulama berpendapat bahwa hak thalaq merupakan hak mutlak suami sehingga suami dapat menggunakan haknya tersebut kapan, dimana dan dengan alasan apapun.Akibat dari persepsi tersebut banyak terjadi perceraian yang merugikan pihak perempuan dan anak-anak selaku pihak yang paling menderita akibat perceraian.Apabila dikaji
kembali
dasar-dasar hukum
Al-Quran
dan
Sunnah
yang
menempatkan hak thalaq pada suami, ternyata tidak ada suatu ayat atau hadist yang secara tegas mengungkapkan hal itu.Pemberian hak thalaq kepada suami adalah berbentuk fiqih atau pemahaman dari tekstual ayat dan praktek pada Masa Nabi. Pihak yang patut dan layak menilai kondisi rumah tangga apakah sudah sampai ketahap darurat atau belum yaitu pihak yang netral, pihak yang dapat berlaku adil yang tidak memiliki kepentingan apa-apa terhadap salah satu pihak baik kepada suami ataupun istri.Menurut ketentuan 24
Muhammad Ismail Al-Kahlani, Subul Al-Salam, (Bandung : Dahlan, 2009.), jil. 3, hal. 171.
Universitas Sumatera Utara
Hukum Islam yang berlaku di Indonesia pada saat ini bahwa, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 25 Oleh sebab itu, perceraian suami istri yang dilakukan diluar pengadilan, dari kaca mata hukum Islam yang berlaku saat ini di Indonesia dipandang tidak sah dan tidak berkekuatan hukum maka perceraian yang dilakukan diluar Pengadilan Agama dari kaca mata hukum Islam yang belaku saat ini dipandang masih terikat suami istri. 2. Faktor-Faktor Penyebab Perceraian Menurut Hukum Islam, perkawinan itu dapat putus karena beberapa sebab, antara lain karena adanya thalaq dari suami, karena adanya putusan hakim, dan karena putus dengan sendirinya (kematian). Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian adalah sebagai berikut : a. Perceraian karena Thalaq Kata thalaq diambil dari kata “ithlaq” yang berarti melepaskan atau menaggalkan 26 atau secara harfiah berarti membebaskan seekor binatang.Ia dipergunakan dalam Syari’ah untuk menunjukkan cara yang sah
dalam
mengakhiri
sebuah
perkawinan.
Meskipun
Islam
memperkenankan perceraian jika terdapat alasan-alasan yang kuat baginya, namun hak itu hanya dapat dipergunakan dalam keadaan yang mendesak. 27 Menurut Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa thalaq itu dapat dipahami sebagai berikut : “Thalaq menurut istilah Syarak ialah melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan. 28 Maksudnya ialah bahwa perkawinan itu akan putus dan berakhirnya hubungan suami istri dalam rumah tangga apabila suami menjatuhkan thalaq kepada istrinya.
25
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Pasal 115). 1991. Slamet Abidin, Fiqih Munakahat II, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), Cet. I, hal. 9. 27 Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syari’ah Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal.80. 28 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Ahli Bahasa Oleh Moh. Thalib.(Bandung: Al-Ma’Arif, 1998), Jilid, 8, hal.9. 26
Universitas Sumatera Utara
Maka kesimpulan dari pengertian thalaq baik secara bahasa maupun istilah adalah melepaskan atau mengakhiri ikatan perkawinan antara suami dan istri dengan ucapan atau dengan tata cara yang diucapkan. Hal-hal yang menyebabkan sumi mempunyai wewenang dalam menjatuhkan thalaq pada istrinya adalah karena suami diberikan beban membayar mahar dan menyelenggarakan nafkah istri dan anakanaknya. Demikian pula suami diwajibkan menjamin nafkah bekas istrinya selama ia menjalani masa ‘iddah. b. Perceraian karena Khulu’ Khulu’ berasal dari kata “khulu’ al-tsaub” yang berarti melepaskan atau mengganti pakaian pada badan, karena seorang wanita adalah pakaian bagi laki-laki, dan juga sebaliknya. 29Hal ini berdasarkan Firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 187 yang artinya “dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercambur dengan istri-istri kamu, mereka adalah pakaian bagi kamu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.Allah SWT mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsu mu, karena itu Allah SWT mengampuni kamu dan memberi maaf padamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah di tetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.Demikian Allah menerangkan ayat-ayatnya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.” Sama dengan hak yang diberikan kepada suami untuk menceraikan istrinya, maka si istri juga dapat menuntut cerai jika ada cukup alasan baginya.Jika suami berlaku kejam, maka istri dapat meminta cerai (khulu’) dan tidak dipaksa menerima perlakuan yang sekiranya tidak patut baginya.
29
Abdur Rahman, Op.Cit, hal.112.
Universitas Sumatera Utara
Khulu’ adalah salah satu bentuk perceraian dalam Islam yang berarti menghilangkan atau mengurungkan akad nikah dengan kesediaan istri dengan membayar uang ‘iwadh atau uang pengganti kepada suami dengan menggunakan pernyataan cerai atau khulu’. Bila terjadi cerai dengan carakhulu’ maka suami tidak memiliki hak untuk rujuk kepada istrinya.Dari tinjauan sigkat, khulu’ mengandung pengertian “penggantungan” danganti rugi oleh pihak istri. Perceraian akan terjadi bila istri telah membayar sejumlah yang disyaratkan suami. 30 Perceraian yang disebabkan khulu’ adalah merupakan thalaq ba ‘in. maka bila suami telah melakukan khulu’ terhadap istri, suami tidak berhak untuk rujuk kembali kepada istri sekalipun istri rela menerima kembali uang iwadh yang telah dibayarkannya.Jika istri bersedia kembali bekas suaminya tersebut rujuk kepadanya, maka suami harus melakukan akad nikah kembali dengan melengkapi rukun dan syaratnya. c. Perceraian karena Fasakh Fasakh
menurut
memutuskan.Adapun
bahasa
pengertian
berarti fasakh
memisahkan
menurut
istilah
atau adalah
memutuskan akad nikah karena ada sebab yang nyata dan jelas yang menghalangi kelestarian hubungan suami istri. 31Thalaq adalah hak suami, khulu’ merupakan hak istri, sementara fasakh merupakan hak bagi keduanya.Bila sebab fasakh ada pada istri maka hak fasakh ada pada suami, dan begitu juga sebaliknya. Perceraian dalam bentuk fasakh termasuk perceraian dalam proses peradilan.
Hakimlah
yang
memberikan
keputusan
tentang
berlangsungnya perkawinan, atau terjadinya perceraian karena itu pihak penggugat dalam perkara fasakh haruslah mempunyai alat-alat bukti
30
Dasrizal Dahlan. Putusanya Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Perdata Barat (BW): Tinjauan Hukum Islam. (Jakarta: PT Kartika Insan Lestari, 2003), hal. 201. 31 Isni Bustami, Perkawinan dan Perceraian Dalam Islam, (Padang: IAIN IB Press, 1999), hal. 136.
Universitas Sumatera Utara
yang lengkap, sehingga dengan alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan bagi hakim yang menyidangkan perkara tersebut. Fasakh biasanya timbul apabila pihak suami atau istri merasa dirugikan oleh pasangannya itu, merasa tidak memperoleh hak-hak yang sudah ditentukan agama sebagai suami atau istri.Akibatnya salah seorang dari keduanya tidak lagi sanggup melanjutkan perkawinan karena keharmonisan rumah tangga tidak lagi ada dan tidak mungkin untuk mewujudkan perdamaian sehingga fasakh ini perlu ditempuh. Pada dasarnya fasakh adalah hak bagi suami dan juga istri, namun dalam praktek sehari-hari hak fasakh ini lebih banyak dimanfaatkan oleh istri.Barangkali karena suami lebih banyak menggunakan hak thalaq yang ditentukan agama. d. Perceraian karena Li’an Li’an secara etimologi berarti laknat atau kutukan. Sementara secara terminology adalah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika menuduh istrinya berzina dengan empat kali sumpah dan menyatakan bahwa ia adalah termasuk orang yang benar dalam tuduhan, dan pada sumpah kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima laknat atau kutukan Allah SWT jika ia dusta dalam tuduhannya. Bila suami melakukan li’an kepada istrinya, sedangkan istrinya tidak menerima, maka istri boleh melakukan sumpahli’an juga terhadap suaminya. Sehingga dengan demikian dipahami bahwa suami istri saling menyatakan bersedia dilaknati oleh Allah setelah masing-masing suami istri mengucapkan persaksian empat kali oleh diri sendiri yang dikuatkan dengan sumpah masing-masingnya, karena salah satu pihak bersikeras menuduh pihak yang lain melakukan zina, atau suami tidak mengakui anak yang dikandung atau dilahirkan oleh istrinya sebagai anaknya sendiri dan pihak istri bersikeras pula menolak tuduhan suami sedang mereka tidak memiliki alat bukti yang diajukan kepada hakim. e. Perceraian karena Syiqaq Syiqaq artinya adalah perselisihan yang terus menerus antara suami dan istri. Bila ini terjadi maka diadakanlah
dua utusan sebagai
Universitas Sumatera Utara
pendamai antara pihak suami dan istri sebagai upaya mendidik menuju perdamaian rumah tangga yang tak kunjung berhasil. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT Q.S.An-Nisa: ayat 35 yang artinya “dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.” Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu.Sesungguhnya Allah maha mengetahui dan Maha Mengenal. Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa bila keutuhan rumah tangga suami istri terancam karena pertengkaran yang tak mungkin diatasinya maka perlu diadakan juru damai dari kedua belah pihak.Sekiranya hal ini masih juga tidak membuahkan hasil maka persoalannya wajar ditangani oleh hakim untuk member keputusan setelah pihak-pihak pendamai tidak berhasil mendamaikannya. f. Perceraian karena Ila’ Ila’ adalah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu istri tidak di-thalaqataupun diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak istri karena keadaannya terkatung-katung dan tidak berketentuan. Berdasarkan Al-Quran. Surat Al-Baqarah ayat 226-227, dapat diperoleh ketentuan bahwa : 1. Suami yang meng-ila’ istrinya batasnya paling lama hanya empat bulan. 2. Kalau batas waktu itu habis maka suami harus kembali hidup sebgai suami istri atau menthalaq nya. Apabila suami hendak kembali meneruskan hubungan dengan istrinya, hendaklah ia menembus sumpahnya dengan denda atau kafarah. Kafarah sumpah ila’ sama dengan kafarah umum yang terlanggar dalam Hukum Islam. Denda sumpah umum ini di atur dalam Al-Quran Surah Al-
Universitas Sumatera Utara
Maidah ayat 89, berupa salah satu dari empat kesempatan yang diatur secara berurutan, yaitu : 1. Memberi makan 10 orang miskin menurut makan yang wajar yang biasa kamu berikan untuk keluarga kamu, atau 2. Memberikan pakaian kepada seluruh orang miskin, atau 3. Memerdekakan seorang budak, atau kamu tidak sanggup juga maka 4.
Hendak lah kamu berpuasa tiga hari
g. Perceraian karena Zihar Salah satu perceraian antara suami istri yang merupakan wewenang hakim untuk menetapkan putusnya yakni bila suami menyatakan kepada istrinya bahwa istrinya itu disamakan seperti ibunya sendiri.Zihar adalah salah satu bentuk perceraian di zaman zahiliah, bila suami tidak menyukai istrinya lagi dan juga tidak menginginkan istrinya itu kawin dengan lakilaki lain sekiranya istrinya telah diceraikannya.Dengan datangnya aturan Islam Zihar itu tidak lagi dibenarkan, karena menzihar istri dengan menyamakannya dengan ibu berarti mengucapkan perkataan dusta dan mungkar.Suami yang terlanjur men-zihar istrinya agar kembali menarik zihar nya dengan mewajibkan membayar kafarat (denda) degan memerdekakan seorang budak sebelum melajukan hubungan suami istri. Jika suami tidak mampu memerdekakan budak hendaklah ia berpuasa 2 bulan berturut-turut, dan jika juga tidak mampu maka hendaklah ia member makan 60 orang miskin. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT Q.S Al-Mujadalah ayat 3 dan 4 : [3] orang-orang mengzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. [4] Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak) maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturutturut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajib atasnya) memberi makan 60 orang miskin.Demikianlah supaya kamu
Universitas Sumatera Utara
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.Dan itulah hukum-hukum Allah dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. Sekiranya suami tidak ingin kembali kepada istrinya, agar istrinya tidak terkatung-katung maka suami diberi waktu 4 (empat) bulan untuk menentukan apakah ia akan kembali kepada istrinya dengan membayar kafarat ataukah menceraikan istrinya, maka dalam hal ini istrinya berhak mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan. Dengan demikian hakim dapat mengabulkan gugatan istri bila terbukti kebenarannya.
B. Perceraian Menurut Sistem Hukum Adat 1. Pengeritan Perceraian Pada dasarnya kerabat dan masyarakat menginginkan agar perkawinan yang telah dilangsungkan itu dapat bertahan selama-lamanya atau meminjam istilah Djodjodigoeno, sampai kaken-kaken, ninen-ninen artinya sampai si suami menjadi kakek dan istri menjadi nenek yaitu orang yang sudah bercucu dan bercicit. 32 Namun idealisme yang demikian ini di dalam kenyataannya tidak selalu dapat diwujudkan, perceraian atau putusnya perkawinan dapat terjadi dalam masyarakat dan putusan hubungan perkawinan itu dapat terjadi pula karena di dorong oleh kepentingan kerabat dan masyarakat (di Batak misalnya, salah satu alasan timbulnya perceraian oleh karena hubungan yang tidak baik dengan salah satu atau beberapa jabu dari kerabat suami yang menjadi serius dan membawa suasana yang memburuk antara seluruh kaum kerabat si suami). 33 Mahkamah Agung berpendapat bahwa menurut hukmu adat pada umumnya dan menurut hukum adat setempat (Batak-Karo), perceraian dari perkawinan diperbolehkan, dengan alasan karena tidak lagi terdapat hidup bersama secara rukun (onheelbare tweespalt) dan boleh karena kelakuan yang tidak baik dari pihak suami.Menurut Mahkamah Agung maka pihak istri dapat meminta perceraian apabila terdapat alasan yang terakhir ini. 34 3232
Djodjodigoeno, Perceraian Menurut Hukum Adat, 1957. hal. 56. Payug Bangun, Hukum Adat Batak, 1976. hal 105. 34 Keputusan Mahkamah Agung No. 438K/Sip/1959 6 Januari dan No. 75K/Sip/1963 33
Universitas Sumatera Utara
Dari pernyataan diatas menunjukkan bahwa perceraian dalam sistem perkawinan adat dapat terjadi sesuai dengan alasan-alasan yang komplit.Karena perceraian dalam perkawinan banyak terjadi.Sehingga Mahkamah Agung memberikan pernyataan terutama bagi pihak istri berhak untuk mengajukan cerai gugat apabila ada unsur-unsur yang tidak baik dari suami seperti penganiayaan, tidak memberi nafkah, selingkuh dan seterusnya.Masyarakat adat umumnya memandang perceraian sebagai sesuatu yang wajib dihindari.Perceraian menurut adat merupakan problema social dan yuridis. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak dan dalam melakukan perceraian harus didasari dengan beberapa alasan, antara lain : a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebaginya yang sukar disembuhkan. b) Salah satu pihak meninggalkan yang lainnya selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain tanpa alasan yang sah atau karena hal yang lain diluar kemampuannya. c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d) Tidak memberi nafkah, penganiayaan, cacat tubuh atau kesehatan maupun perselisihan 2. Akibat Hukum Perceraian Perceraian atau putusnya perkawinan mempunyai konsekuensi yuridis baik menyangkut hubungan suami istri, keberadaan anak, dan harta benda perkawinan.Adapun akibat hukumnya dapat dilihat dengan mengkoreksikan dengan penyebab putusnya perkawinan. a) Kematian Putusnya perkawinan karena kematian mempunyai akibat adanya hak saling mewarisi dari suami dan istri yang masih hidup.Kecuali jika ada unsur yang menjadikan tidak patut menjadi ahli waris (onwarding).
Universitas Sumatera Utara
Bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminnya, iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari dari sepeninggal suami, jika hamil jangka waktu untuk menikah lagi (iddahnya) sampai melahirkan. Ini juga di pertegas oleh KHI, akan tetapi dalam KHI untuk iddah bagi wanita yang di tinggal suaminya diperjelas dengan menggunakan ukuran hari yaitu 130 hari. b) Perceraian Akibat hukum terjadinya perceraian terhadap hubungan suami istri yang pokok adalah persetubuhan menjadi tidak boleh lagi, tetapi mereka boleh kawin kembali sepanjang sesuai dengan ketentuan hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Dalam perceraian perkawinan itu membolehkan rujuk menurut ketentuan hukum agama islam, usaha rujuk seorang suami terhadap istrinya dapat dialkukan, akan tetapi pasal 41 ayat (3) Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Penagdilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memeberi biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban kepada bekas istri 35. c) Putusan Pengadilan Putusnya perkawinan yang didasarkan putusan pengadilan termasuk dalam kategori talak ba’in sughra.Bilamana li’an terjadi maka perkawianan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedangkan suaminya terbatas dari kewajiban memberi nafkah 36. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian juga diatur dalam Pasal 156 Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Ada tiga akibat putusnya perkawinan karena perceraian, yaitu: 1) Terhadap anak-anak 2) Terhadap harta bersama 3) Terhadap mut’ah (nikah kontrak) Ada tujuan akibat putusnya perkawinan karena perceraian terhadap anak-anaknya, yaitu sebagai berikut: 1) Anak yang belum mumayyiz(belum dewasa) berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh: a) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu 35
(Latif, 1985). Hal 114-115 Pasal 162 KHI
36
Universitas Sumatera Utara
b) Ayah c) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas ayah d) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan e) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping ibu f) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis kesamping ayah 2) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya. 3) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula. 4) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekarang-sekarang samapai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun) 5) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan agama memberikan keputusannya berdasarkan angka 1,2,3 dan 4 6) Pengadilan
dapat
pula
dengan
mengingat
kemampuan
ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya 37. Dalam pasal 41 undang-udang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan tiga akibat putusnya perkawinan karena perceraian terhadap anak-anaknya sebagai berikut: 1) Bapak ibu atau bapak tetap berkewajiaban memelihara dan mendidik anakanaknya semata-mata berdasarkan kepentingan, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan dapat memberi keputusannya. 2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam keadaan tidak dapat memenuhi kewajiabn tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
37
Pasal 156 Inpres Nomor 1 tahun 1991
Universitas Sumatera Utara
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri. Karena perceraian, perkawinan dibubarkan sehingga gugurlah semua akiabt dari perkawinan
itu.
Jika
disitu
ada
kebersamaan
harta
perkawinan,
kebersamanitupun bubar. Tentu saja demikian juga dengan kewajiban suami istri untuk tinggal bersama dalam satu rumah 38. Harta bersama adalah harta yang diperboleh selama perkawinan.Harta bersama dibagi antara berkas suami dengan bekas istri. Hak suami adalah sebagian dari harta bersama, begitu juga istri mendapat bagian yang sama besar dengan suami, yaitu separo harta bersama. 39 Dalam undang-undang Nomor 1 tahun 1974 disebutkan akibat putusnya perkawinan karena perceraian terhadap harta bersama sebagai berikut: 1) Psal 35 ayat (1) undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974: “harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (kecuali) hadiah atau warisan yang diperoleh masing-masing suami istri/ketentuan ayat 2” 2) Pasal 36 ayat (1) undang-undang No 1 tahun 1974: “mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atau persetujuan kedua belah pihak sedang menganai harta bawaan masing-masing suami istri
mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum untuk harta bendanya tersebut. 3) Pasal 37 undang-undang No 1 tahun 1974: “ bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukum masing-masing” yang dimaksud hukum masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Berkenaan dengan mut’ah yang menjadi kewajiaban bagi setiap suami yang menjatuhkan talak kepada isterinya, perlu diikuti rambu-rambu perundangundangan yang telah menentukan bahwa: 1) Mut’ah wajib diberikan oleh suami dengan syarat: a. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’daul dhukul
38 39
Vollman, 1992: hal 114 Salim,2001:hal 84
Universitas Sumatera Utara
b. Perceraian itu atas kehendak suami 40 2) Mut’ah sunnah diberikan oleh bekas suami tanpa syarat 3) Besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatuhan dan kemampuan suami 41 C. Perceraian Menurut Sistem Hukum Nasional (UU No 1 Tahun 1994 tentang perkawinan) 1. Pengetian Perceraian Perceraian adalah berakhirnys perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami istri disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian dan atas keputusan keadilan.Perceraian juga adalah merupakan cerai hidup antara suami istri sebagai
akibat
masing.Dalam
dari hal
kegagalan ini
mereka
perceraian
menjalankan
dilihat
sebagai
peran
akhir
masing-
dari
suatu
ketidakstabilan perkawinan diaman pasangan suami istri kemudian hidup terpisah secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku.Perceraian merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan unutk
saling
meninggalkan
sehingga
mereka
berhenti
melakukan
kewajibannya sebagai suami istri.Sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami istri. Sedangkan pasca perceraian merupakan suatu keadaan stelah putusnya hunbungan perkawinan antara suami sesuai dengan kesepakatan bersama, tetapi di dalam undang-undang No 1 tahun 1974 tetang perkawinan tidak memberikan defenisi mengenai perceraian secara khusus. Pasal 39 undang-undang No 1 tahun 1974 mengenai perkawinan serta penejlasannya secara kelas menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan. Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 pada dasarnya mempersulit terjadinya perceraian. Alasan undang-undang mempersulit adanya perceraian ialah: a. Perkawianan itu tujuannya suci dan mulia, sedangkan perceraian adalah perbuatan yang dibenci oleh Tuhan b. Untuk membatasi kewenangan-kewenangan suami terhadap istri c. Untuk mengangkat derajat dan martabat istri (wanita), sehingga setaraf dengan derajat dan martabat suami (pria) 42 40 41
Pasal 158 KHI Pasal 16 KHI
Universitas Sumatera Utara
2. Alasan-Alasan Perceraian Walaupun perceraian merupakan perbuatan tercela dan di benci oelh Tuhan, tetapi suami istri boleh melakukannya apabila perkawinan mereka sudah tidak dapat dipertahankan lagi.Namun demikian, perceraian harus mempunyai alasan-alasan seperti yang diatur dalam undung-undang, bahwa antara suami dan istri sudah tidak dapat lagi hidup rukun sebagai suami istri. Al-quran dalam kasus perceraian tidak menemukan secara jelas keharusan suami mengemukakan alasan-alasan perceraian.Hukum Islam juuga tidak menemukan secara limitatid alasan perceraian tersebut.Seorang suami dapat saja metalak istrinya karena tidak mencintai lagi, begitu pula istri juga dapat meminta suami untuk tidak mencintainya lagi. 43 Menurut ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai, ini: 1. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah, atau karena hal lain diluar kemampuan. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahayakan pihak yang lain 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menajalankan kewajibannya sebagai suami istri 6. Anatara
suami
dan
istri
terus-menerus
terjadi
perselisihan
dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Pada pasal 39 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding pengadilan, kalimat tersebtu cukup gambling “di depan siding pengadilan” bukan “dengan 42 43
Muhammda 1989, hal 109 Rofiq,2000, hal 43
Universitas Sumatera Utara
putusan pengadilan”. Pasal ini dimaksudkan untuk mengatur talak pada perkawinan menurut agama islam. Dan hal ini besesuaian dengan prinsip yang tercantum dalam Undang-undang Perkawinan pada pasal 1 angka 4 huruf (e) sebagai berikut “karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukur terjadinya perceraian”. Perceraian hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi salah satu dari alasan perceraian.Perceraian harus dengan gugatan ke Pengadilan. Bagi yang beragam islam, perceraian diajukan ke Pengadilan Agama adalah cerai talak. Gugatan perceraian bagi yang beragama Islam ke Pengadilan Agama sedangkan yang bukan beragama Islam diaajukan kepada Pengadilan Negeri. Ketetapan atau peraturan yang mengatur tentang alasan-alasan percerain di atas menunjukan bahwa asas yang dipakai dalam huku perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah mempersulit terjadinya perceraian. Maka jelaslah apa yang bertualang dalam Undang-undang perkawianan No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang pada prinsipnya mempersukut serta melanggar terjadinya perceraian.
Universitas Sumatera Utara