Universitas Sumatera Utara
BAB II URAIAN TEORETIS
2.1 Komunikasi Kelompok Kecil Kehidupan kelompok adalah sebuah naluri manusia sejak ia dilahirkan. Naluri ini yang mendorongnya untuk selalu menyatukan hidupnya dengan orang lain dalam kelompok. Naluri berkelompok itu juga yang mendorong manusia untuk menyatukan dirinya dengan kelompok yang lebih besar dalam kehidupan di sekelilingnya, bahkan mendorong manusia menyatu dengan alam. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka setiap manusia melakukan proses yang dinamakan adaptasi. Adaptasi dengan kedua lingkungan tadi - manusia lain dan alam sekitarnya - dapat melahirkan struktur sosial baru yang disebut dengan kelompok sosial. Kelompok sosial adalah kehidupan bersama manusia dalam himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang umumnya secara fisik relatif kecil yang hidup secara guyub. Ada juga beberapa kelompok sosial yang dibentuk secara formal dan memiliki aturan-aturan yang jelas (Bungin, 2006:43-44). Sebagaimana kenyataannya, bahwa manusia pada awalnya lahir dalam kelompok formal-primer yaitu keluarga, di mana kelompok ini disebut sebagai salah satu dari jenis kelompok kecil yang paling berkesan bagi setiap individu. Isolasi kehidupan individu dalam keluarga tak bertahan lama, karena seiring dengan perkembangan fisik, intelektual, pengalaman, dan kesempatan, individu mulai melepas hubungan-hubungan keluarga dan memasuki serta menyebar untuk menjalankan berbagai kegiatannya dan bertemu dengan manusia lain yang memiliki kesamaan tujuan, kepentingan, dan berbagai aspirasi lainnya. Dalam proses pelepasan tersebut, kemudian membentuk kelompok
Universitas Sumatera Utara
lainnya, individu terus beradaptasi. Di dalam kelompok, masing-masing anggota berkomunikasi, saling berinteraksi, dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya.
2.1.1 Pengertian Komunikasi Kelompok Kecil Para ahli tidak memiliki kata sepakat mengenai pengertian atau definisi kelompok. Hal itu bukanlah sesuatu yang aneh karena masing-masing ahli mempunyai sudut pandang yang berbeda satu sama lain mengenai pengertian kelompok. Pengertian kelompok dari segi persepsi, seperti dikemukakan oleh Smith, “We may define a social group as a unit consisting of a plural number of separate organism (agents) who have a collective perception of their unity and who have the ability to act or are acting in a unitary manner toward their environment”. Dalam hal ini, Smith menggunakan istilah social group sebagai unit yang terdiri atas beberapa anggota yang mempunyai persepsi bersama tentang kesatuan mereka (Walgito, 2007:6-7). Selain itu terdapat juga pengertian kelompok atas dasar motivasi, tujuan, interdepedensi, interaksi, dan juga struktur. Kelompok yang baik adalah kelompok yang dapat mengatur sirkulasi tatap muka yang intensif di antara anggota kelompok, serta tatap muka itu pula akan mengatur sirkulasi komunikasi makna di antara mereka, sehingga mampu melahirkan sentimensentimen kelompok serta kerinduan di antara mereka. Pengertiaan kelompok tersebut termasuk dalam definisi kelompok kecil, karena dengan jumlah anggota yang kecil memungkinkan semua anggota bisa berkomunikasi secara relatif mudah, baik sebagai sumber maupun sebagai penerima informasi. Para anggota dapat mengatur pertemuan tatap muka, dapat saling berhubungan satu sama lain dengan tujuan yang sama, dan memiliki struktur di antara mereka. Kelompok tidak bisa dipisahkan dengan kegiatan komunikasi. Komunikasi merupakan dasar semua interaksi manusia dan untuk semua fungsi kelompok. Setiap Universitas Sumatera Utara
kelompok harus menerima dan menggunakan informasi dan proses ini terjadi melalui proses komunikasi. Karena pada hakekatnya kelompok terdiri dari dua atau lebih individu yang saling berhubungan, saling bergantung dan berinteraksi antara satu dengan lainnya, untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Interaksi tersebut dilakukan melalui kegiatan komunikasi. Terdapat perbedaan antara dinamika-dinamika kelompok dengan komunikasi kelompok. Kalau dinamika-dinamika kelompok merupakan studi tentang berbagai aspek tingkah laku kelompok, sedangkan komunikasi kelompok hanya memusatkan perhatiannya pada proses komunikasi dalam kelompok-kelompok kecil (Goldberg, 1985:7). Komunikasi
kelompok
kecil
(small
group
communication)
merupakan
komunikasi yang berlangsung secara tatap muka karena komunikator dan komunikan berada dalam situasi saling berhadapan dan saling melihat. Para anggotanya saling berinteraksi satu sama lain dan lebih intens. Menurut Shaw (1976) ada enam cara untuk mengidentifikasikan suatu komunikasi kelompok kecil yaitu suatu kumpulan individu yang dapat mempengaruhi satu sama lain, memperoleh beberapa kepuasan satu sama lain, berinteraksi untuk beberapa tujuan, mengambil peranan, terikat satu sama lain, dan berkomunikasi tatap muka. Jika salah satu dari komponen itu hilang, individu yang terlibat tidaklah berkomunikasi dalam kelompok kecil (Muhammad, 2000:182). Ada empat elemen kelompok yang dikemukakan oleh Adler dan Rodman yaitu interaksi, waktu, ukuran, dan tujuan. Interaksi dalam komunikasi kelompok merupakan faktor yang penting, karena melalui interaksi inilah, kita dapat melihat perbedaan antara kelompok dengan istilah yang disebut dengan coact. Coact adalah sekumpulan orang yang secara serentak terikat dalam aktivitas yang sama, namun tanpa komunikasi satu sama lain. Sekumpulan orang yang berinteraksi untuk jangka waktu yang singkat, tidak Universitas Sumatera Utara
dapat digolongkan sebagai kelompok, karena kelompok mempersyaratkan interaksi dalam jangka waktu yang panjang sehingga akan dimiliki karakteristik atau ciri yang tidak dipunyai oleh kumpulan yang bersifat sementara. Ukuran atau jumlah partisipan dalam komunikasi kelompok tidak ada yang pasti. Tujuan yang mengandung pengertian bahwa keanggotaan dalam suatu kelompok akan membantu individu yang menjadi anggota kelompok tersebut dapat mewujudkan satu atau lebih tujuannya (Bungin, 2006:266-267). Menurut Arni Muhammad (2000:182-184), tujuan komunikasi kelompok kecil mungkin dapat digunakan untuk menyelesaikan bermacam-macam tugas atau untuk memecahkan masalah. Akan tetapi, dari semua tujuan itu sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu untuk tujuan personal dan tujuan yang berhubungan dengan tugas atau pekerjaan. Alasan seseorang masuk dalam kelompok dapat dibedakan atas empat tujuan utama yaitu untuk hubungan sosial, penyaluran, untuk terapi, dan untuk belajar. Tujuan tersebut merupakan tujuan personal. Sedangkan tujuan yang berhubungan untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan yaitu untuk membuat keputusan dan pemecahan suatu masalah.
2.1.2 Tipe Komunikasi Kelompok Kecil Ronald B. Adler dan George Rodman dalam bukunya Understanding Human Communication, membagi kelompok kecil dalam tiga tipe, yaitu: a. Kelompok Belajar (Learning Group) Kata ‘belajar’ atau learning, tidak tertuju pada pengertian pendidikan sekolah saja, namun juga termasuk belajar dalam kelompok (learning group), seperti kelompok keterampilan, kelompok belajar musik, kelompok bela diri, kelompok diskusi dan sebagainya. Tujuannya adalah meningkatkan informasi, pengetahuan, dan kemampuan diri para anggotanya. Universitas Sumatera Utara
b. Kelompok Petumbuhan (Growth Group) Kelompok pertumbuhan memusatkan perhatiannya kepada permasalahan pribadi yang dihadapi para anggotanya. Wujud nyatanya adalah kelompok bimbingan perkawinan, kelompok bimbingan psikologi, kelompok terapi, serta kelompok yang memusatkan aktivitasnya pada pertumbuhan keyakinan diri, yang biasa disebut dengan consciousness-raising group. c. Kelompok Pemecahan Masalah (Problem Solving Group) Kelompok
ini
bertujuan
untuk
membantu
anggota
kelompok
lainnya
memecahkan masalahnya. Kelompok akan memberi akses informasi kepada individu sehubungan dengan masalah yang dialaminya, berupa pengalaman anggota kelompok lain ketika menghadapi masalah yang sama, atau informasi lain yang dapat membantu individu memecahkan masalahnya. Kelompok juga memberi kekuatan emosional kepada individu dalam membuat keputusan dan melakukan sebuah tindakan untuk mengatasi masalah individu (Bungin, 2006:270-271). Tipe komunikasi kelompok kecil dinilai oleh banyak kalangan sebagai pengembangan dari komunikasi antarpribadi. Trenholm dan Jensen (1995:26) mengatakan bahwa komunikasi antara dua orang yang berlangsung secara tatap muka, biasanya bersifat spontan dan informal. Peserta satu sama lain menerima umpan balik secara maksimal. Peserta komunikasi berperan secara fleksibel sebagai pengirim dan penerima. Setelah orang ketiga bergabung di dalam interaksi tersebut, berakhirlah komunikasi antarpribadi, dan berubah menjadi komunikasi kelompok kecil (Wiryanto, 2005:45). Tidak ada batasan yang jelas tentang berapa jumlah orang yang berada dalam satu kelompok kecil, namun pada umumnya kelompok kecil terdiri dari 2-15 orang. Jumlah yang lebih kecil dari 2 orang bukanlah kelompok, begitu juga jumlah anggota kelompok yang melebihi 15 orang, akan menyulitkan setiap anggota berinteraksi dengan anggota Universitas Sumatera Utara
kelompok lainnya secara intensif dan face to face. Bahkan ada juga yang menyatakan komunikasi kelompok kecil antara 20-30 orang, tetapi tidak lebih dari 50 orang.
Sumber Penerima
Sumber Penerima
Sumber Penerima
Sumber Penerima
Sumber Penerima
Sumber: Adaptasi dari DeVito, 1997:344 Gambar 2.1 Model Komunikasi Kelompok Kecil
Pola komunikasi seperti di atas, menurut beberapa penelitian merupakan pola komunikasi dalam kelompok yang paling efektif yaitu pola semua saluran. Karena pola semua saluran tidak terpusat pada satu orang pemimpin, dan paling cepat memberikan kepuasan kepada anggota-anggotanya, dan yang paling cepat menyelesaikan tugas bila tugas itu berkenaan dengan masalah yang sukar (Rakhmat, 2005:163). Anggota-anggota kelompok kecil dapat berkomunikasi dengan mudah. Sumber dan penerima dihubungkan oleh beberapa tujuan yang sama. Kelompok kecil ini mempunyai alasan yang sama bagi anggotanya untuk berinteraksi. Mereka mempunyai
Universitas Sumatera Utara
derajat organisasi tertentu yang mengatur kelompoknya. Komunikasi kelompok kecil ini menitikberatkan pada tingkah laku dalam diskusi kelompok. Menurut Dean C. Barnlund dan Franklyn S. Haiman, bahwa komunikasi antarpribadi menjadi komunikasi kelompok dapat terjadi dengan memusatkan pada kesadaran akan kehadiran orang lain dan pemahaman tentang proses komunikasi. Tipe komunikasi kelompok kecil ini melibatkan dua atau lebih individu secara fisik berdekatan. Pelibatan itu juga dalam hal menyampaikan serta menjawab pesan-pesan secara verbal maupun nonverbal. Komunikasi antarpribadi dan kelompok memiliki perbedaan tipis, bila dilihat dari kadar spontanitas, struktur, kesadaran akan sasaran kelompok, ukuran, relativitas sifat permanen kelompok dan identitas diri (Goldberg, 1985:6-9).
2.1.3 Karakteristik Komunikasi Kelompok Kecil Karakteristik komunikasi dalam kelompok ditentukan melalui dua hal, yaitu norma dan peran. Norma adalah kesepakatan dan perjanjian tentang bagaimana orangorang dalam suatu kelompok berhubungan dan berperilaku satu dengan lainnya. Norma oleh para sosiolog disebut juga dengan ‘hukum’ (law) ataupun ‘aturan’ (rule), yaitu perilaku-perilaku apa saja yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan dalam suatu kelompok. Ada tiga kategori norma kelompok, yaitu norma sosial, prosedural, dan tugas. Norma sosial mengatur hubungan di antara para anggota kelompok. Sedangkan norma prosedural menguraikan dengan lebih rinci bagaimana kelompok harus beroperasi, seperti bagaimana suatu kelompok harus membuat keputusan, apakah melalui suara mayoritas ataukah dilakukan pembicaraan sampai tercapai kesepakatan. Dari norma tugas memusatkan perhatian pada bagaimana suatu pekerjaan harus dilakukan (Bungin,
Universitas Sumatera Utara
2006: 267). Norma selalu ada dalam kelompok, bagaimana pun kecilnya suatu kelompok. Norma di dalam kelompok mengidentifikasikan anggota kelompok itu berperilaku, seperti benar atau salah, baik atau buruk, cocok atau tidak cocok, serta diizinkan atau tidak diizinkan. Tiap kelompok menetapkan sistem nilai dan konsep perilaku normatif mereka sendiri. Pengembangan norma dalam suatu kelompok digunakan untuk mengatur perilaku anggota kelompok. Sikap dan tanggapan anggota kelompok terhadap norma kelompok dapat bermacam-macam. Ada anggota yang tunduk pada norma kelompok dengan terpaksa karena ia termasuk dalam kelompok yang bersangkutan, tetapi ada pula yang tunduk pada norma kelompok dengan penuh pengertian dan penuh kesadaran, sehingga norma kelompok dijadikan normanya sendiri. Anggota yang terakhirlah yang disebut individu menginternalisasi norma kelompok, yaitu norma kelompok dijadikan norma pribadinya, maka individu yang bersangkutan pasti tidak atau jarang melanggar norma-norma yang telah digariskan oleh kelompok. Karena sikap dan perilakunya telah dikendalikan oleh dirinya sendiri. Sebaliknya, apabila seorang individu tunduk pada norma kelompok karena terpaksa, maka individu bersangkutan pasti akan sering melanggar norma kelompok karena belum menjadi normanya sendiri. (Walgito, 2007:55-56). Napier dan Gershenfeld mengemukakan bahwa para anggota kelompok akan menerima norma kelompok, apabila: 1.
Anggota kelompok menginginkan keanggotaan yang kontinyu dalam kelompok.
2.
Pentingnya keanggotaan kelompok.
Universitas Sumatera Utara
3.
Kelompok bersifat kohesif, yakni anggotanya berhubungan sangat erat, terikat satu sama lain, dan kelompok dapat memenuhi kebutuhan anggotaanggotanya.
4.
Keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok semakin penting.
5.
Pelanggaran kelompok dihukum dengan reaksi negatif dari kelompok (DeVito, 1997:304).
Arni Muhammad (2000:193-194) menyebutkan bahwa individu biasanya mematuhi norma-norma kelompok yang mempengaruhi mereka. Ada variabel-variabel kunci yang mempengaruhi tingkat kepatuhan dalam norma kelompok, di antaranya yaitu: 1.
Sifat kepribadian yang mungkin mempengaruhi anggota kelompok untuk patuh, yakni tingkat sifat yang suka menerima, tingkat kepercayaan akan diri menerima, sifat otoriter, intelegensi, kebutuhan untuk mencapai hasil, dan kebutuhan akan persetujuan sosial.
2.
Variabel
dalam
kelompok
yang
mempengaruhi
kepatuhan
yakni
kekompakan, daya tarik kelompok, pentingnya kelompok, dan jumlah interaksi. 3.
Tekanan luar yang mempengaruhi kepatuhan yakni, besarnya kelompok, struktur kelompok, tingkat kesulitan masalah atau tugas yang dihadapi, kebaruan situasi, tekanan untuk konsensus, tingkatan krisis atau keadaan darurat, dan tingkat situasi yang meragukan.
Norma kelompok (group norms) merupakan norma yang relatif tidak tetap. Artinya, norma kelompok dapat berubah sesuai dengan keadaan yang dihadapai oleh kelompok, sehingga norma kelompok yang dahulu berlaku, kini dapat tidak berlaku lagi. Terbentuknya struktur kelompok, membuat dalam suatu kelompok akan terjadi pembagian tugas oleh anggota kelompok, masing-masing anggota akan mempunyai
Universitas Sumatera Utara
status dan peran sendiri-sendiri. Semuanya tentu mengacu pada tujuan yang akan dicapai oleh kelompok. Peran adalah aspek dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peran. Peran dibagi menjadi tiga, yaitu peran aktif, peran partisipatif, dan peran pasif. Peran aktif adalah peran yang diberikan oleh anggota kelompok karena kedudukannya di dalam kelompok sebagai aktivis kelompok, seperti pengurus. Peran partisipatif adalah peran yang diberikan oleh anggota kelompok pada umumnya kepada kelompoknya, partisipasi anggota macam ini akan memberi sumbangan yang sangat berguna bagi kelompok itu sendiri. Sedangkan peran pasif adalah sumbangan anggota kelompok yang bersifat pasif, di mana anggota kelompok menahan diri agar memberi kesempatan kepada fungsi-fungsi lain dalam kelompok dapat berjalan dengan baik atau agar tidak terjadi pertentangan dalam kelompok karena adanya peran-peran yang kontradiktif (Bungin, 2006:267-268). Seseorang tidak hanya terlibat dalam satu kelompok, tetapi juga terlibat dalam kelompok lain. Dengan demikian, seseorang dapat mempunyai status dan peran yang berbeda satu dan yang lainnya. Seseorang dapat menjadi seorang pemimpin di suatu kelompok, tetapi menjadi anggota biasa pada kelompok lain. Karena statusnya berbeda, maka perannya pun berbeda. Karena status dan peran yang bermacam-macam, maka seseorang dapat mengalami konflik peran. Konflik peran akan terjadi apabila seseorang tidak dapat membedakan status dan perannya pada suatu waktu (Walgito, 2007:54). Ada beberapa karakteristik lain dari komunikasi kelompok kecil yang membuatnya unik dari konteks komunikasi lainnya yaitu: 1.
Mempermudah pertemuan ramah tamah. Bila orang datang bersama-sama, mereka cenderung untuk berlomba. Perlombaan itu mempunyai tipe, tidak ada yang menang atau kalah, tetapi mempunyai konotasi yang sama. Universitas Sumatera Utara
Perlombaan ini hanya menghendaki energi atau dorongan dari orang sekelilingnya. Mempermudah pertemuan ini dapat dilakukan untuk menyalurkan energi yang mungkin tidak dapat disalurkan bila orang itu sendiri. 2.
Personaliti kelompok, tiap personaliti anggota dapat dan dipengaruhi oleh personaliti anggota lain dan sebaliknya, dapat juga menentukan personaliti kelompok. Kehadiran orang lain dapat mempengaruhi tiap-tiap individu sehingga mengubah personaliti individu menjadi personaliti kelompok.
3.
Kekompakan yaitu daya tarikkan anggota kelompok satu sama lain dan keinginan mereka untuk bersatu. Kekompakan didasarkan pada kebutuhan tiap-tiap individu tetap dalam kelompok dan kemampuan kelompok memberikan tiap individu dengan beberapa macam keuntungan atau hadiah yang menjadikan anggota kelompok memberikan waktu dan emosinya bagi kelompok.
4.
Komitmen terhadap tugas. Aktivitas individu lainnya dalam kelompok yang dekat dengan komitmen adalah motivasi. Karena dengan adanya motivasi setiap individu, maka hal itulah yang menjadi alasannya masuk dalam kelompok.
5.
Besarnya kelompok. Besarnya kelompok penting bagi perkembangan kelompok. Kelompok janganlah terlalu besar dan terlalu kecil. Jika suatu kelompok begitu kecil, kekecilan itu mungkin membatasi ide-ide dan informasi yang timbul. Jika kelompok terlalu besar, kebesaran itu mungkin membatasi informasi tiap orang untuk didiskusikan. Bastrom (1970) menghitung kemungkinan interaksi yang terjadi dalam kelompok kecil bila anggotanya berkisar antara 2-8 orang.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Jumlah Kemungkinan Interaksi yang Terjadi Menurut Jumlah Anggota Kelompok Jumlah Anggota Kelompok
Jumlah Kemungkinan Interaksi yang Terjadi
2
2
3
9
4
28
5
75
6
186
7
441
8
1.056
Sumber: Adaptasi dari Muhammad, 2000:187 6.
Saling tergantung satu sama lain atau keterikatan. Keterikatan adalah satu bentuk kenyataan dalam semua karakteristik kelompok. Tanpa adanya keterikatan tidak akan ada kelompok. Keterikatan dibangun berdasarkan keinginan tiap anggota kelompok untuk meletakkan tujuan individualnya di bawah tujuan kelompok.
Pergaulan dalam kelompok dapat mempengaruhi dan menghasilkan kebiasaankebiasaan yang melembaga bagi setiap anggota kelompok, kebiasaan itu dapat menciptakan pola perilaku yang dilakukan terus-menerus. Perilaku yang sudah terpolapola itu akan membentuk sikap setiap anggota kelompok. Kebiasaan yang melembaga, perilaku, dan sikap tersebut berjalan secara simultan di antara individu dan kelompok.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Fungsi Komunikasi Kelompok Kecil Keberadaan suatu kelompok, baik kelompok kecil ataupun kelompok besar, dalam masyarakat dicerminkan oleh adanya fungsi-fungsi yang akan dilaksanakannya. Fungsi-fungsi tersebut mencakup fungsi hubungan sosial, pendidikan, persuasi, pemecahan masalah, dan pembuatan keputusan, serta fungsi terapi. Semua fungsi tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, kelompok, dan para anggota kelompok itu sendiri. Fungsi-fungsi tersebut antara lain : a. Fungsi pertama dalam kelompok adalah hubungan sosial, dalam arti bagaimana suatu kelompok mampu memelihara dan memantapkan hubungan sosial di antara para anggotanya, seperti bagaimana suatu kelompok secara rutin memberikan kesempatanan kepada anggotanya untuk melakukan aktivitas yang informal, santai, dan menghibur. b. Pendidikan adalah fungsi kedua dari kelompok, dalam arti bagaimana sebuah kelompok secara formal maupun informal bekerja untuk mencapai dan mempertukarkan pengetahuan. Fungsi pendidikan tergantung pada tiga faktor, yaitu jumlah informasi baru yang dikontribusikan, jumlah partisipan dalam kelompok, serta frekuensi interaksi di antara para anggota kelompok. c. Fungsi persuasi. Seorang anggota kelompok berupaya mempersuasi anggota lainnya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Seseorang yang terlibat usaha-usaha persuasif dalam suatu kelompok, membawa resiko untuk tidak diterima oleh para anggota lainnya, jika usaha-usaha persuasifnya terlalu bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok, dan justru dapat menimbulkan konflik dalam kelompok. d. Fungsi problem solving. Kelompok juga dicerminkan dengan kegiatankegiatannya untuk memecahkan persoalan dan membuat keputusankeputusan. Pemecahan masalah (problem solving) berkaitan dengan Universitas Sumatera Utara
penemuan alternatif atau solusi yang tidak diketahui sebelumnya, sedangkan pembuatan keputusan (decision making) berhubungan dengan pemilihan antara dua atau lebih solusi. e. Fungsi terapi. Kelompok terapi memiliki perbedaan dengan kelompok lainnya, karena kelompok terapi tidak memiliki tujuan. Objek dari kelompok terapi adalah membantu setiap individu mencapai perubahan personalnya. Tentunya, individu tersebut harus berinteraksi dengan anggota kelompok lainnya guna mendapatkan manfaat, namun usaha utamanya adalah membantu dirinya sendiri, bukan membantu kelompok mencapai konsensus. Contohnya adalah kelompok konsultasi perkawiman, kelompok penderita narkoba, dan sebagainya (Bungin, 2006:268-269).
2.1.5 Tahapan-tahapan Masuk Kelompok Apabila seseorang akan masuk dalam suatu kelompok, umumnya ia tidak sertamerta masuk dalam kelompok yang bersangkutan, tetapi ada tahapan-tahapan tertentu. Menurut Johnson dan Johnson (2000), ada beberapa tahapan di mana orang akan masuk dalam kelompok, yaitu sebagai berikut: a. Prospective Member (Calon Anggota) Dalam tahapan ini, baik calon anggota maupun kelompok yang akan dimasuki, masing-masing mengadakan evaluasi atau penilaian. Calon anggota akan melihat hal-hal yang menguntungkan, selain yang merugikan di kelompok bersangkutan. Demikian pula, kelompok yang akan dimasuki memberikan informasi-informasi yang sekiranya dibutuhkan oleh calon anggota. Kemudian, kelompok pun mengevaluasi calon anggota tentang hal-hal yang dibutuhkan oleh kelompok.
Universitas Sumatera Utara
b. New Member Dalam tahapan ini, anggota baru akan menyesuaikan diri dengan hal-hal yang dituntut oleh kelompok. Ia memperoleh status dan peran dalam kelompok. Pada umumnya, anggota baru dalam kelompok belum mendapatkan status dan peran yang cukup penting. Anggota baru perlu memenuhi tuntutan-tuntutan kelompok dan mengikut i norma-norma dan ketentuan yang ada dalam kelompok. c. Full Member Dalam tahapan ini, anggota sudah cukup mapan dalam kelompok, sehingga memungkinkannya memperoleh status dan peran yang berbeda dengan saat berkedudukan sebagai anggota baru. Kelompok juga sudah dapat menerima anggota dengan baik, sehingga interaksinya lebih intens. d. Marginal Member Dalam perkembangan yang ada, ada kemungkinan anggota mempunyai keraguan terhadap kelompok yang bersangkutan. Anggota mungkin sudah tidak cocok dengan norma-norma yang ada dalam kelompok, sehingga ia tidak sepenuh hati ada dalam kelompok yang bersangkutan. e. Ex – member Dalam tahapan ini, anggota yang bersangkutan sudah tidak terikat pada kelompok semula dan ada kemungkinan ia pindah ke kelompok lain. Jika dalam suatu kelompok, tujuan seseorang tidak dapat dicapai, maka ia pindah ke kelompok lain yang mungkin lebih dirasa dapat mencapai tujuannya (Walgito, 2007:15-17). Alasan atau motivasi seseorang masuk dalam kelompok dapat bervariasi, antara lain yaitu karena ingin mencapai tujuan yang secara individu tidak dapat atau sulit dicapai; kelompok dapat memberikan kebutuhan, baik kebutuhan fisiologis maupun psikologis; kelompok dapat mendorong pengembangan konsep diri dan mengembangkan harga diri seseorang; kelompok dapat memberikan pengetahuan dan informasi; serta Universitas Sumatera Utara
dapat memberikan keuntungan ekonomis. Oleh karena itu, dalam masyarakat kita dapat menjumpai berbagai macam kelompok yang berbeda satu dengan lainnya. Dengan tujuan yang berbeda, mereka masuk dalam kelompok yang berbeda atau dengan minat yang berbeda, mereka masuk dalam kelompok yang berbeda pula.
2.1.6 Kelompok Mentoring sebagai Kelompok Belajar Agama Islam Kelompok mentoring Agama Islam termasuk kelompok belajar, dalam hal ini kelompok yang mempelajari nilai-nilai ajaran agama Islam. Tujuan dari kelompok belajar adalah meningkatkan informasi, pengetahuan, dan kemampuan diri para anggotanya. Agama
adalah wahyu yang diturunkan Tuhan untuk manusia. Fungsi dasar
agama adalah memberikan orientasi, motivasi, dan membantu manusia untuk mengenal dan mengahayati sesuatu yang sakral. Lewat pengalaman beragama (religious experience), yaitu penghayatan menjadi memiliki kesanggupan, kemampuan dan kepekaan rasa untuk mengenal dan memahami eksistensi sang Ilahi (Ridwan, 2006:1). Agama Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). dan Islam juga ya’la wa la yu’la alaihi (tinggi dan tak ada yang melebihi). Sebagaimana dalam firman Allah SWT, “ Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…” (QS. Ali-Imran:19). Sehingga dalam penyampaiannya harus benar, tidak boleh ada kesalahan. Karena ilmu agama yang dipresentasikan atau diajarkan itu untuk diikuti oleh yang lain. Proses pembelajaran tersebut, seorang pementor, yang dalam hal ini bertindak sebagai komunikator, menyampaikan pesan atau materi yang berisikan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam kepada para peserta mentoring. Sehingga akan menimbulkan hasil belajar terhadap peserta mentoringnya yaitu para pelajar SMA.
Universitas Sumatera Utara
Materi yang akan disampaikan dalam mengajarkan ilmu agama tidak bisa diberlakukan layaknya seperti mengajarkan ilmu-ilmu duniawi. Oleh karena itu, materi yang akan disampaikan hendaklah telah dikuasai sebelumnya oleh pementor dan tidak hanya bermodalkan pada metode ‘text book’ alias tekstual dan tanpa persiapan, sehingga materi yang disampaikan asal-asalan, dangkal, dan tidak menarik. Karena apa yang disampaikan haruslah sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah, dengan penjelasan yang bisa dimengerti dan tentunya bisa dipertanggungjawabkan, bukan sekedar ra’yu (pendapat) dari pementor sendiri. Sehingga menjadi pementor bukan hanya sekedar basa-basi alias gaya-gayaan, tetapi menjadi seorang pementor hendaknya senantiasa mengintropeksi dan memperbaiki diri serta terus menperdalam dan mengamalkan ajaran yang disampaikannya dalam kehidupan mereka sendiri. Selain itu, sebelum materi diberikan sebaiknya pementor melakukan analisis terhadap peserta (mad’u). Tujuannya untuk mengetahui keadaan mad’u, baik secara psikologs, demografis, dan sosiologis sebelum penyampaian materi. Analisis ini di antaranya melakukan prediksi terhadap hal apa yang didengar, rasakan, dan perhatikan; mampu menyampaikan materi yang sesuai dengan kebutuhan peserta, karena mereka akan menilai materi yang akan diterima berdasarkan apa yang telah mereka ketahui dan yakini sebelumnya; dan memperlakukan peserta sebagai pusat perhatian, untuk mengetahui pandangan peserta terhadap tema pembicaraan, pembicara, dan lingkungan. Dalam pelaksanaan program Mentoring Agama Islam, perlu adanya beberapa fase/tahapan petunjuk yang harus dilaksanakan oleh pementor/tutor, yaitu: 1. Persiapan Usahakan terlebih dahulu pementor/tutor mempraktekkan materi yang akan disampaikan. Buat alokasi waktu (disesuaikan kebutuhan/kondisi) Universitas Sumatera Utara
Persiapan ruhiah mutlak dilakukan (Muroja’ah dan Do’a) Diharapkan tutor dapat mengembangkan materi secara kreatif (tidak hanya berpatokan pada silabus/materi). 2. Pelaksanaan Memberitahukan tentang tujuan bahan tutorial. Memberitahukan tentang pentingnya bahan tutorial yang akan disampaikan. Tidak menuliskan semua hal pada papan tulis, artinya hanya kata-kata inti atau kata-kata emas saja. Penjelasan yang diberikan harus benar-benar relevan, artinya berhubungan dengan masalahnya saja. Menghubungkan hal yang akan diterangkan dengan hal-hal yang telah diketahui oleh peserta. Menyajikan bahan , diusahakan semenarik mungkin. Aktif dalam memperkenalkan diri (agar tidak menjadi orang asing) di tengah mereka. 3. Evaluasi (setelah penyampaian materi) Menilai Peserta Menilai Proses Membuat perencanaan untuk pertemuan berikutnya. Kritik dan saran peserta. Penilaian umum oleh tutor. Kegiatan cepat-cepat untuk menilai penyerapan peserta terhadap materi mentoring. 4. Penyajian Bahan Variasi nada suara, alat dan media, gerak, posisi, berdiri dan duduk. Menyelingi uraian yang serius dengan beberapa kisah (intermezo). Universitas Sumatera Utara
Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengalami sesuatu yang lain atau sedikit menarik nafas. Variasi sikap yang wajar meliputi variasi pandangan, tangan, langkah, senyum, dan pakaian. Variasi kegiatan bila sekiranya peserta nampak lelah/bosan dengan mengadakan ice breaking atau games untuk menyegarkan suasana mentoring. 5. Yang perlu diperhatikan dalam mentoring Penguatan materi. Cinta kepada apa yang diajarkan. Mengetahui latar belakang siswa. Menyajikan pengetahuan aktual dan aktif mengikuti perkembangan tren remaja. Berani memberikan pujian pada siswa. Memberikan semangat pada siswa. Sikap yang harus dikembangkan dalam mentoring: tidak menggurui, tidak menjadi ahli (serba tahu), tidak berdebat, tidak diskriminatif, jangan membaca silabus pada saat dekat ketika akan memberikan materi tersebut, gunakan kata secara jelas, sederhana, dan jangan sering mengulang kata-kata yang sama, hindari kata-kata yang tidak baik/tidak bermanfaat. 6. Perhatian bagi Tutor Hindari kebiasaan-kebiasaan reflek yang tidak disadari saat berbicara seperti garuk-garuk, memainkan ballpoint, memainkan jari, memainkan ujung jilbab. Usahakan ketika berbicara dapat melihat semua peserta, sehingga dapat melihat respon/perhatian mereka (diharapkan jangan sering menunduk), hal ini dilakukan agar peserta merasa diperhatikan dan mereka akan memperhatikan tutor (Rusmiyati, 2003:ii-v). Universitas Sumatera Utara
Hasil belajar tersebut diharapkan tidak hanya terjadi pada wilayah kognitif peserta mentoring atau hanya pada pengetahuan mereka saja, tetapi juga diharapkan menimbulkan hasil pada wilayah afektif dan konatif. Yang pada akhirnya berdampak agar pengetahuan yang diterima oleh peserta mentoring tentang nilai-nilai ajaran Islam, dapat diamalkan dalam perilaku atau tindakan sehari-hari. Mereka bertindak sesuai perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Sehingga dapat membentuk pribadi yang benar aqidahnya, ibadahnya, dan berakhlak yang baik dalam pergaulan masyarakat serta merujuk kepada Al-Quran dan Al-Hadist sebagai pedoman hidupnya. Islam yang tidak hanya bentuk normatif atau preskriptif-preskriptif, normanorma, dan nilai-nilai yang dianggap termuat dalam petunjuk suci, tetapi juga Islam aktual yang tercermin dalam semua bentuk gerakan, praktik dan gagasan pada kenyataannya eksis dalam masyarakat muslim dalam waktu dan tempat yang berbedabeda. Kelompok Mentoring Agama Islam ini sangat membantu dalam dakwah Islam yaitu penyebarluasan ajaran Islam. Karena memang pada kenyataannya, para pelajar hanya diberi sedikit waktu dalam belajar agama di kelas yaitu hanya dua jam setiap minggu. Padahal ilmu agama itu bukan hanya bekal ilmu di dunia, tetapi juga bekal ilmu di akhirat. Sedangkan untuk ilmu dunia, pihak sekolah sangat memberi waktu lama, seperti Matematika, bisa diberi waktu tiga kali seminggu.
2.2 Teori Pertukaran (Exchange Theory) Agama dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan antarmanusia, dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Agama di samping sebagai sebuah keyakinan (belief), juga merupakan gejala sosial. Artinya, agama yang dianut melahirkan berbagai perilaku sosial, yakni perilaku Universitas Sumatera Utara
yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah kehidupan bersama. Kadang-kadang perilaku tersebut saling memengaruhi satu sama lain. Norma-norma dan nilai-nilai agama diduga sangat berpengaruh terhadap perilaku sosial (Ridwan, 2006:127). Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena sosial keagamaan, seperti perubahan dan perilaku sosial ialah teori pertukaran. Teori ini juga termasuk dalam pembahasan teori komunikasi kelompok. Aktivitas manusia, seperti perubahan dan perilaku sosial, menurut perspektif teori pertukaran, tiada lain ialah melakukan pertukaran yang saling menguntungkan satu sama lain. Perilaku yang ditunjukkan oleh seorang individu dalam sebuah komunitas akan berlangsung apabila ia merasa adanya penghargaan (reward) dari anggota komunitas. Bila tidak mendapat pernghargaan, interaksi antaranggota komunitas tidak akan berlangsung. Menurut perspektif pertukaran, manusia selalu melakukan transaksi sosial yang saling menguntungkan, baik keuntungan materi maupun nonmateri. Turner (1978:203) mengemukakan bahwa manusia berusaha memperoleh keuntungan dari transaksi sosial; manusia memperhitungkan untung rugi dalam transaksi sosial; manusia menyadari adanya sejumlah alternatif yang mendorong mereka memperhitungkan untung rugi; manusia bersaing untuk memperoleh keuntungan; pertukaran yang berorientasi keuntungan berlangsung dalam setiap konteks sosial; dan individu mempertukarkan komoditas nonmaterial seperti perasaan dan jasa (Ridwan, 2006:133). Homans’ (1950, 1956, 1961) ideas of interpersonal rewards and cost are quite similar to Thibaut and Kelley’s. Based upon their interaction group, members exchange affect, rewards, and reinforcements. Abasic operant-oriented hypothesis of Homans’ theory is that the greater the exchange of rewadrs, the greater the repetition of the activity which led to them. In like manner, the greater the costs, the greater the
Universitas Sumatera Utara
instability of the relationship and the greater the likehood that interaction will be terminated (Altman, 1973:64). Teori pertukaran menjelaskan bahwa keberadaan suatu komunitas atau kelompok dalam berhubungan dengan komunitas lain atau hubungan antaranggota dalam suatu komunitas akan berlangsung sampai pada suatu titik di mana satu sama lain merasa puas. Bila anggota komunitas merasa tidak puas satu sama lain, akan terjadi perubahan. Secara teoretis perubahan ini akan berlangsung sampai suatu titik di mana terjadi keseimbangan satu sama lain (equilibrium), sehingga anggota komunitas atau kelompok memiliki kepuasan baru. Hal ini akan berlangsung terus-menerus dalam perkembangan sebuah masyarakat. Wood (1982) dalam Liliweri (2001:55-57) mengidentifikasikan 12 karakteristik pendekatan pertukaran, yakni sebagai berikut: 1.
Prinsp Individual
Komunikasi memasuki tahap individual, pada tahap ini setiap individu mulai memprakarsai hubungan antarpribadi dengan orang lain. Dia selalu mempunyai harapan agar kualitas hubungan antarpribadi semakin meningkat. Apabila kualitas memburuk, hubungan antarpribadi dihentikan, tetapi jika kualitas hubungannya hangat, maka ada kecenderungan untuk mempertahankan hubungan tersebut. 2.
Komunikasi Coba-coba
Komunikasi memasuki tahap coba-coba, setiap individu melakukan uji coba terhadap tiap hubungan antarpribadi. Seorang individu akan mencari tahu dengan melakukan uji coba terhadap relasinya, apakah relasi tersebut benar-benar adalah orang yang ingin menjaga hubungan tersebut atau justru hanya hubungan biasa. Apabila individu meragukan informasi itu, dia memutuskan agar hubungan itu dihentikan.
Universitas Sumatera Utara
3.
Komunikasi Eksplorasi
Komunikator terus melakukan penjajagan dengan informasi yang bersumber dari pihak lain, jenis informasi manakah yang lebih menguntungkan dan yang merugikan. Dia tidak langsung memutuskan hubungan antarpribadi, tetapi meneliti ulang informasi yang disampaikan komunikan. 4.
Komunikasi Euphoria
Komunikasi ini dilakukan oleh individu-individu yang telah meleburkan kepentingan yang berbeda dan membentuk satu hubungan baru atas satu dasar atau tujuan yang sama. 5.
Komunikasi yang Memperbaiki
Komunikasi berfungsi memperbaiki dan mengevaluasi kembali hubungan antarpribadi, keputusan selalu berbunyi: kita terus berhubungan antarpribadi! 6.
Komunikasi Pertalian
Dua pihak menetapkan bersama waktu dan tempat kesinambungan komunikasi. 7.
Komunikasi sebagai Pengemudi
Komunikasi memasuki tahap keluwesan kontrol atas kebiasan-kebiasaan hubungan antarpribadi. Daya kontrol itu demikian baik, sehingga menghasilkan kaidah peran bersama. 8.
Komunikasi yang Membedakan
Komunikasi memasuki suasana yang orang mulai berusaha menekankan kembali karakteristik individu. Individu mulai menegaskan kembali pola-pola budaya yang berbeda, kemudian memilih meneruskan relasi dengan cara lain. 9.
Komunikasi yang Disintegratif
Komunikasi memasuki tahap menemukan perbedaan antarpribadi, sehingga bakal menimbulkan disintegrasi. Komunikasi hanya berlangsung kalau menyangkut tema-tema tertentu, jarak sosial antarpribadi semakin besar. Universitas Sumatera Utara
10. Komunikasi yang Macet Komunikasi memasuki tahap mencari peluang dengan menciptakan masalah dan waktu atau kesempatan “yang cocok” agar hubungan antarpribadi dihentikan. 11. Pengakhiran Komunikasi Hubungan antarpribadi memasuki tahap perbandingan tentang perhentian interaksi antarpribadi. Artinya para individu yang sebelumnya terlibat hubungan, masing-masing ingin menghentikan hubungan tersebut. 12. Individualis Komunikasi memasuki tahap akhir, suasana hubungan antarpribadi tidak pasti, masing-masing pihak menyendiri dan tidak tahu dari mana komunikasi harus dimulai. Di dalam kelompok Mentoring Agama Islam telah terjadi proses pertukaran yaitu para anggota kelompok mengharapkan imbalan yang mungkin menjadi alasan mereka untuk ikut dalam kelompok tersebut dan salah satunya mungkin mengharapkan penambahan informasi/pengetahuan mengenai ajaran agama Islam. Sehingga mereka dapat lebih memperdalam kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT, dengan mengamalkan ilmu yang sudah mereka terima dalam kehidupan nyata. Sementara imbalan yang diterima oleh pementor, di sini yang bertindak sebagai komunikator, adalah pahala dari Allah SWT, karena mereka telah melakukan tugasnya sebagai umat Islam yaitu berdakwah yang merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi. Karena pada dasarnya manusia dalam melakukan suatu kebaikan tidak dapat lepas dari keinginannya mendapatkan pahala sebagai bekal penambah timbangan kebaikannya di akhirat nanti. Mereka telah mensukseskan dakwah Islam dengan menyebarkan ilmu agama yang telah diperolehnya kepada orang lain, istilahnya mengamalkan ilmu tersebut. Sedangkan pengeluaran dari pementor dan peserta mentoring, dimungkinkan mereka harus meluangkan waktu mereka di sela-sela aktivitas mereka yang lain, untuk belajar Universitas Sumatera Utara
lebih dalam mengenai agama mereka, yakni Islam. Karena setiap langkah mereka itu bernilai ibadah, selama itu menuju jalan yang diridhai-Nya. Belajar atau menuntut ilmu termasuk kegiatan yang baik, apalagi menuntut ilmu agama. Imbalan lain yang didapat kemungkinan adalah para peserta mentoring dan pementor dapat tetap menjaga hubungan silaturahim antara sesama muslim atau menjaga ukhuwah islamiyah.
2.3 Teori Taksonomi Bloom Kata Taksonomi diambil dari bahasa Yunani, yakni “tassein” berarti untuk mengklasifikasikan dan “nomos”
yang berarti aturan. Taksonomi dapat diartikan
sebagai klasifikasi berhirarki dari sesuatu atau prinsip yang mendasari klasifikasi. Hampir semua – benda bergerak, benda diam, tempat, dan kejadian - dapat diklasifikasikan menurut beberapa skema taksonomi (http://id.wikipedia.org/wiki/Taksonomi). Konsep Taksonomi Bloom dikembangkan pada tahun 1956 oleh Benjamin S. Bloom, seorang psikolog bidang pendidikan. Taksonomi Bloom merujuk pada taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan. Bloom membagi tujuan pendidikan menjadi tiga kawasan menurut jenis kemampuan yang tercantum di dalamnya yaitu kawasan kognitif, kawasan afektif, dan kawasan psikomotor. Tujuan pendidikan direncanakan untuk dapat dicapai dalam proses belajar mengajar. Belajar merupakan proses dalam diri individu yang berinteraksi dengan lingkungan untuk mendapatkan perubahan dalam perilakunya. Belajar adalah aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, dan sikap (Winkel, 1999:53). Hasil belajar merupakan pencapaian tujuan pendidikan pada siswa
Universitas Sumatera Utara
yang mengikuti proses belajar mengajar. Tujuan pendidikan bersifat ideal, sedang hasil belajar bersifat aktual. Hasil belajar merupakan perubahan perilaku siswa akibat belajar. Perubahan itu diupayakan dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam memudahkan memahami dan mengukur perubahan perilaku, maka perilaku kejiwaan manusia dibagi menjadi tiga domain atau ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Setiap proses belajar mempengaruhi perubahan perilaku. Tergantung pada tujuan pendidikannya, perubahan perilaku yang merupakan hasil belajar dapat berupa domain kognitif, afektif, atau psikomotorik (Purwanto, 2005:147). Perubahan itu diperoleh melalu usaha (bukan karena kematangan), menetap dalam waktu yang relatif lama dan merupakan hasil pengalaman. Perubahan dalam setiap domain atau ranah, tidaklah tunggal. Setiap domain terdiri dari beberapa jenjang hasil belajar, dari mulai yang paling rendah dan sederhana sampai dengan yang paling tinggi dan kompleks. Tingkatan disusun dalam sebuah taksonomi yang mencerminkan tingkat kompleksitas jenjang. Menurut Taksonomi Bloom, tahapan seseorang hingga ia memiliki skill terhadap pengetahuan tertentu dimulai dari tahapan kognitif, di mana pada tahapan ini seseorang berproses untuk memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya. Lalu, akan naik ke tahap afektif, yaitu seseorang akan tertarik untuk melakukan adopsi-inovasi. Terakhir, seseorang sampai pada tahap psikomotor, di mana ia benar-benar mempraktikkan pengetahuan yang baru itu, sehingga ia memiliki skill yang baik. Inilah tahapan-tahapan yang akan dilalui oleh seseorang dari tahapan unskill sampai ke tahapan skill terhadap suatu pengetahuan tertentu yang dikemukakan oleh Bloom.
Universitas Sumatera Utara
Psikomotor (Psychomotor)
Afektif (Affective)
Kognitif (Cognitive)
Sumber: Adaptasi dari Budiantoro, 2009:3 Gambar 2.2 Tahapan Taksonomi Bloom 2.3.1 Kawasan Kognitif Hasil belajar kognitif adalah perubahan perilaku yang terjadi dalam kawasan kognisi seorang siswa. Proses belajar yang melibatkan kognisi meliputi kegiatan sejak dari penerimaan stimulus eksternal oleh sensori, penyimpanan, dan pengolahan dalam otak menjadi informasi hingga pemanggilan kembali informasi atau mengingat ketika informasi tersebut diperlukan untuk menyelesaikan masalah. Oleh karena belajar melibatkan otak, maka perubahan perilaku akibatnya juga terjadi dalam otak berupa kemampuan tertentu oleh otak untuk menyelesaikan masalah (Purwanto, 2005:159). Kawasan atau ranah kognitif meliputi tujuan pendidikan yang berkenaan dengan ingatan atau pengenalan terhadap pengetahuan dan pengembangan kemampuan intelektual dan kemampuan berpikir. Dalam kawasan kognitif ini, tujuan pendidikan dibagi menjadi enam jenjang, yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Keenam jenjang itu bersifat hierarkial, dimulai dari jenjang yang paling bawah yaitu pengetahuan sampai ke jenjang yang paling tinggi yaitu evaluasi. Artinya
Universitas Sumatera Utara
jenjang di bawah menjadi prasyarat untuk jenjang di atasnya. Jenjang yang di bawahnya itu harus dicapai lebih dahulu agar dapat mencapai jenjang yang di atasnya. Penerapan konsep jenjang taksonomi tujuan tersebut dapat kita jumpai dalam proses pengembangan tes objektif untuk tujuan-tujuan instruksional yang berada dalam kawasan kognitif. Dalam proses tersebut perlu membuat kisi-kis (blue print) tes. Salah satu model kisi-kisi yang biasa digunakan orang mengandung kolom pengetahuan (C 1 ), pemahaman (C 2 ), penerapan (C 3 ), analisis (C 4 ), sintesis (C 5 ), dan evaluasi (C 6 ). Gambar taksonomi tujuan pendidikan untuk kawasan kognitif menurut Bloom adalah sebagai berikut: Evaluasi Sintesis
Penerapan
Pemahaman
Pengetahuan Mengingat dan menghafal fakta, ide, atau fenomena.
Menterjemahkan, mengiterpretasikan, atau menyimpulkan konsep dengan kata sendiri.
Menggunakan konsep menjadi bagianbagian atau menjelaskan gagasan yang menyeluruh.
Menentukan nilai (value) untuk suatu maksud dengan menggunakan standar tertentu.
Menyatukan konsep Analisis secara terintegrasi Menjabarkan konsep menjadi bentuk menjadi ide/gagasan bagianbagian atau yang menyelumenjelaskan Sumber:ruh. M. Atwi Suparman, gagasan yang menyeluruh.
Sumber: Adaptasi dari Suparman, 2001: 79
Gambar 2.3 Taksonomi Tujuan Pendidikan dalam Kawasan Kognitif Universitas Sumatera Utara
Berikut ini penjelasan setiap jenjang taksonomi tujuan pendidikan dalam kawasan kognitif, yakni: 1. Pengetahuan (Knowledge) Pengetahuan meliputi perilaku-perilaku (behaviors) yang menekankan pada mengingat (remembering). Mengingat terhadap hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya. Mengingat akan hal-hal yang khusus dan umum, ingatan akan ide, fenomena atau peristiwa, istilah, fakta, tanggal, nama orang, metode, proses, pola, struktur, rumus, peraturan, definisi, atau lokasi. Penekanan tujuan pengetahuan lebih banyak pada proses psikologis atas upaya untuk mengingat. Kemampuan ini merupakan kemampuan awal meliputi kemampuan mengetahui sekaligus menyampaikan ingatan bila diperlukan. Hasil dari pengetahuan merupakan tingkatan paling rendah dalam ranah kognitif. Contoh kata kerjanya seperti meniru, menyebutkan, menghafal, mengulang, mengenali, menamakan atau memberi label, mendaftar, mengurutkan, menyadari, menyusun, mengaitkan, dan mereproduksi. 2. Pemahaman (Comprehension) Pemahaman didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami materi/bahan. Proses pemahaman terjadi karena adanya kemampuan menjabarkan suatu materi/bahan ke materi/bahan lain. Seseorang yang mampu memahami sesuatu antara lain dapat menjelaskan narasi (pernyataan kosa kata) ke dalam angka, dapat menafsirkan sesuatu melalui pernyataan dengan kalimat sendiri atau dengan rangkuman. Pemahaman juga dapat ditunjukkan dengan kemampuan memperkirakan kecenderungan, kemampuan meramalkan akibatakibat dari berbagai penyebab suatu gejala. Hasil belajar dari pemahaman lebih maju dari ingatan sederhana, hafalan, atau pengetahuan tingkat rendah. Di antara taksonomi kawasan kognitif, jenjang pemahaman paling banyak digunakan, baik pada jenjang perguruan tinggi maupun jenjang pendidikan di bawahnya. Universitas Sumatera Utara
Alasannya adalah karena jenjang pemahaman merupakan dasar yang sangat menentukan untuk mempelajari dan menguasai jenjang-jenjang taksonomi di atasnya seperti penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi atau bentuk yang lebih terintegrasi seperti pemecahan masalah (Suparman, 2001, 81). Contoh kata kerjanya seperti menjelaskan, mengemukakan, menguraikan, memilih, menunjukkan, menyatakan, memihak, menempatkan, mengubah, menguji ulang, menurunkan, meramalkan, menjabarkan, merangkum, atau menyimpulkan. 3. Penerapan (Aplication) Penerapan merupakan kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari dan dipahami ke dalam situasi konkret, nyata, atau baru. Kemampuan ini mencakup penggunaan pengetahuan, aturan, rumus, konsep, prinsip, hukum, dan teori ke dalam praktek memecahkan masalah atau melakukan suatu pekerjaan. Hasil belajar untuk kemampuan menerapkan ini tingkatannya lebih tinggi dari pemahaman. Contoh kata kerjanya seperti menerapkan, mendemonstrasikan, menghitung, menggunakan, memilih, menentukan, menghasilkan, mendramatisi, menyesuaikan, mengajukan permohonan, menafsirkan, mempraktikkan, menjadwalkan, mensketsa, membuktikan mencari jawaban, atau menulis. 4. Analisis (Analysis) Analisis merupakan kemampuan untuk menjabarkan atau menguraikan (break down) materi atau konsep ke dalam bagian-bagian atau komponen-komponen yang lebih terstruktur atau lebih rinci dan mudah dimengerti. Kemampuan
menganalisis
termasuk
mengidentifikasi
bagian-bagian,
menganalisis kaitan antarbagian, serta mengenali atau mengemukakan organisasi dan hubungan antarbagian tersebut. Hasil belajar analisis merupakan tingkatan kognitif yang lebih tinggi dari kemampuan memahami dan menerapkan, karena untuk memiliki
Universitas Sumatera Utara
kemampuan menganalisis, seseorang harus mampu memahami isi/substansi sekaligus struktur organisasinya. Contoh kata kerjanya seperti memisahkan, membagi, membuat diagram/sketsa, membedakan, membandingkan, mengolah, menganalisis, memberi harga/nilai, menilai, mengkategorikan, mengkontraskan, mendiversifikasikan, mengkritik, mengunggulkan, melakukan pengujian, melakukan percobaan, mempertanyakan, dan mengetes. 5. Sintesis (Synthesis) Sintesis merupakan kemampuan untuk mengumpulkan bagian-bagian secara terintegrasi menjadi suatu bentuk yang utuh dan menyeluruh. Kemampuan ini meliputi memproduksi
bentuk
komunikasi
yang
unik
dari
segi
tema
dan
cara
mengomunikasikannya, mengajukan proposal penelitian, membuat model atau pola yang mencerminkan struktur yang utuh dan menyeluruh dari keterkaitan pengertian atau informasi abstrak. Hasil belajar sintesis menekankan pada perilaku kreatif dengan mengutamakan perumusan pola atau struktur yang baru dan unik. Contoh kata kerjanya seperti menyiapkan, menyusun, mengoleksi, menulis, mengubah, mengkonstruksi, menciptakan, merancang,
mendesain,
merumuskan,
membangun, mengelola, mengorganisasikan, merencanakan, mengajukan proposal, menghasilkan komunikasi, membentuk, menyimpulkan, membuat pola/model, dan menulis. 6. Evaluasi (Evaluation) Penilaian merupakan kemampuan untuk memperkirakan dan menguji nilai suatu materi (pernyataan, novel, puisi, laporan penelitian) untuk tujuan tertentu. Karena membuat penilaian, maka prosesnya menggunakan kriteria atau standar untuk mengatakan sesuatu yang dinilai tersebut seberapa jelas, efektif, ekonomis, atau memuaskan.
Universitas Sumatera Utara
Penilaian didasari dengan kriteria yang terdefinisikan. Kriteria terdefinisi ini mencakup kriteria internal (organisasi) atau kriteria eksternal (terkait dengan tujuan) yang telah ditentukan. Peserta didik dapat menentukan kriteria sendiri atau memperoleh kriteria dari nara sumber. Hasil belajar penilaian merupakan tingkatan kognitif paling tinggi sebab berisi unsur-unsur dari semua kategori, termasuk kesadaran untuk melakukan pengujian yang sarat nilai dan kejelasan kriteria. Contoh kata kerjanya seperti menghargai, menyanggah, menilai, menguji, mengintegrasikan,
mempertahankan,
mengkritik,
berargumentasi,
membedakan,
meramalkan, mendukung, menolak, memilih, dan mengevaluasi.
2.3.2 Kawasan Afektif Kawasan afektif menurut Krathwohl, Bloom, dan Masia adalah yang paling populer dan banyak digunakan. Krathwohl dan kawan-kawan mengurutkan ranah afektif berdasarkan penghayatan. Penghayatan tersebut berhubungan dengan proses ketika perasaan seseorang beralih dari kesadaran umum ke penghayatan yang mengatur perilakunya secara konsisten terhadap sesuatu. Ini berkenaan dengan minat, sikap, dan nilai serta pengembangan penghargaan, dan penyesuaian diri. Krathwohl dan yang lain mengemukakan bahwa taksonomi tujuan pendidikan dalam kawasan afektif terdiri dari lima jenjang, yaitu penerimaan, pemberian respon, penilaian, pengorganisasian, dan karakteristik. Hasil belajar afektif disusun secara hirarkis, mulai dari tingkat yang paling rendah dan sederhana hingga yang paling tinggi dan kompleks.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Tingkatan Pengukuran Hasil Belajar dalam Kawasan Afektif 1. Menerima
1.1 Kesadaran 1.2 Kemauan untuk menerima 1.3 Perhatian yang terkontrol atau terpilih
2. Merespon
2.1 Kepasrahan dalam merespon 2.2 Kemauan untuk merespon 2.3 Kepuasan dalam merespon 3.1 Penerimaan atas nilai
3. Menilai
3.2 Pemilihan atas nilai 3.3 Komitmen 4. Pengaturan
4.1 Konseptualisasi nilai 4.2 Pengaturan sistem nilai
5. Penentuan karakter melalui suatu 5.1 Perangkat yang tergeneralisasi nilai atau kelompok nilai
5.2 Penentuan karakter
Sumber: Adaptasi dari Prasastie, 2008 Berikut ini penjelasan setiap jenjang taksonomi tujuan pendidikan dalam kawasan afektif, yakni: 1.
Penerimaan (Receiving)
Penerimaan merupakan kesadaran atau kepekaan yang disertai keinginan untuk menenggang atau bertoleransi terhadap suatu gagasan, benda, atau gejala. Hasil belajar penerimaan merupakan pemilikan kemampuan untuk membedakan dan menerima perbedaan. Contoh kata kerjanya seperti menunjukkan penerimaan dengan mengiyakan, mendengarkan, dan menanggapi sesuatu.
Universitas Sumatera Utara
a. Kesadaran Kesadaran hampir merupakan perilaku kognitif. Pembelajar menyadari akan sesuatu, yang kemudian dipertimbangkannya seperti sebuah situasi, fenomena, obyek, atau urusan tertentu. Seseorang mungkin saja tidak mampu mengungkapkan dengan kata-kata (verbalize) aspek-aspek stimulus yang menimbulkan kesadaran. b. Kemauan untuk menerima Menunjukkan perilaku bersedia menerima (tolerate) stimulus yang diberikan, bukan menghindarinya. Perilaku ini melibatkan adanya kenetralan atau penilaian yang tertunda (suspended jugment) terhadap stimulus. c. Perhatian yang terkontrol atau terpilih Di tingkat ini penerimaan masih tanpa ketegangan atau asesmen dan siswa mungkin tidak tahu istilah atau simbol teknis untuk menggambarkan sebuah fenomena dengan benar dan tepat pada orang lain. Terdapat unsur di mana pembelajar mengontrol perhatian sehingga ia dapat memilih dan menerima stimulus yang diinginkan. 2.
Pemberian Respon (Responding)
Penanggapan atau pemberian respon merupakan kemampuan memberikan tanggapan atau respon terhadap suatu gagasan, benda, bahan, atau gejala tertentu. Hasil belajar penanggapan merupakan suatu komitmen untuk berperan serta berdasarkan penerimaan. Contoh kata kerjanya seperti mematuhi, menuruti, tunduk, mengikuti, mengomentari, bertindak sukarela, mengisi waktu senggang, atau menyambut. a. Kepasrahan dalam merespon Terdapat suatu perilaku yang pasif dan stimulus yang memancing perilaku ini sulit untuk diterima atau digambarkan (subtle). Terdapat lebih banyak unsur reaksi terhadap sebuah gagasan dan lebih sedikit implikasi dari penolakan atau keterpaksaan (yielding unwillingly).
Universitas Sumatera Utara
b. Kemauan untuk merespon Pembelajar cukup berkomitmen untuk menunjukkan perilaku bahwa ia bersedia untuk merespon, bukan karena takut akan hukuman, namun karena “dirinya sendiri” atau secara sukarela. Unsur penolakan atau keterpaksaan (yielding unwillingly) yang ada pada tingkat sebelumnya, kini digantikan oleh persetujuan yang berasal dari pilihan pribadi seseorang. c. Kepuasan dalam merespon Unsur tambahan pada langkah yang melampaui tingkat respon secara sukarela, adalah bahwa perilaku yang tampak disertai dengan rasa puas, suatu respon emosional, yang umumnya menunjukkan rasa senang, kegembiraan atau suka cita. 3.
Penilaian (Valuing)
Perhitungan atau penilaian, merupakan kemampuan memberi penilaian atau perhitungan terhadap gagasan, bahan, benda, atau gejala. Hasil belajar perhitungan atau penilaian merupakan keinginan untuk diterima, diperhitungkan, dan dinilai orang lain. Contoh kata kerjanya seperti meningkatkan kelancaran berbahasa atau dalam berinteraksi, menyerahkan, melepaskan sesuatu, membantu, menyumbang, mendukung, dan mendebat. a.
Penerimaan atas nilai
Ciri utama perilaku ini adalah konsistensi respon pada kelompok obyek, fenomena, dan sebagainya, digunakan untuk mengidentifikasi keyakinan atau sikap. b. Pemilihan atas nilai Perilaku pada tingkatan ini tidak hanya menunjukkan penerimaan seseorang atas suatu nilai sehingga ia bersedia diidentifikasi berdasarkan nilai tersebut, namun ia juga cukup terikat pada nilai tersebut sehingga ia ingin mengejar, mencari dan menginginkannya.
Universitas Sumatera Utara
c.
Komitmen
Keyakinan pada tingkatan ini menunjukkan kadar kepastian yang tinggi. Komitmen merupakan penerimaan emosional yang kuat atas suatu keyakinan. Kesetiaan terhadap posisi, kelompok atau tujuan juga termasuk dalam komitmen. 4.
Pengorganisasian (Organization)
Pengaturan atau pengelolaan atau pengorganisasian merupakan kemampuan mengatur atau mengelola berhubungan dengan tindakan penilaian dan perhitungan yang telah dimiliki. Hasil belajarnya merupakan kemampuan mengatur dan mengelola sesuatu secara harmonis dan konsisten berdasarkan pemilikan filosofi yang dihayati. Contoh kata kerjanya seperti mendiskusikan, menteorikan, merumuskan, membangun opini, menyeimbangkan, dan menguji. a. Konseptualisasi suatu nilai Pada tingkatan ini kualitas keabstrakan atau konseptualisasi menjadi bertambah yang membuat seseorang melihat bagaimana nilai tersebut berhubungan dengan nilai yang telah diyakininya atau nilai baru yang akan diyakininya. b. Pengaturan suatu sistem nilai Meminta pembelajar untuk menyatukan sekelompok nilai yang sama, atau mungkin nilai-nilai yang berbeda, dan membawanya ke dalam suatu hubungan dengan nilai lain yang telah diatur dengan baik. Pengaturan nilai dapat menghasilkan sintesis yang berupa suatu nilai baru atau kelompok nilai dengan tingkatan yang lebih tinggi. 5. Karakteristk Berdasarkan Nilai-nilai (Characterization by a Value or Value Comple) Penentuan karakteristik berdasarkan nilai merupakan tindakan puncak dalam perwujudan perilaku seseorang yang secara konsisten sejalan dengan nilai atau seperangkat nilai-nilai yang dihayatinya secara mendalam. Hasil belajarnya merupakan perilaku seimbang, harmonis, dan bertanggung jawab dengan standar niali yang tinggi. Universitas Sumatera Utara
Contoh kata kerjanya seperti memperbaiki, membutuhkan, menempatkan pada standar yang tinggi, mencegah, berani menolak, mengelola, dan mencari penyelesaian masalah. a. Perangkat yang tergeneralisasi (Generalized Set) Memberikan suatu konsistensi internal terhadap sistem sikap dan nilai pada saatsaat tertentu yang juga merupakan suatu dasar orientasi yang memungkinkan seseorang untuk mempersempit dan mengatur dunia yang kompleks yang ada disekitarnya dan untuk bertindak secara konsisten dan efektif. b. Penentuan karakter Ini merupakan tingkatan teratas dari proses penyerapan atau internalisasi nilai yang berhubungan dengan pandangan seseorang terhadap dunia, filosofi hidupnya, serta sebuah sistem nilai dengan obyek berupa seluruh bagian dari apa yang telah diketahui atau dapat diketahuinya.
2.3.3 Kawasan Psikomotor/Konatif Kawasan psikomotor pada tahun 1956 kurang mendapat perhatian dari Bloom dan kawan-kawannya, karena mereka tidak percaya bahwa pengembangan tujuan dalam kawasan tersebut sangat berguna. Mereka menyebutkan bahwa tujuan pendidikan dalam kawasan ini berkenaan dengan otot, keterampilan motorik, atau gerak yang membutuhkan koordinasi otot (neuromuscular coordination). Tetapi, pakar lain berhasil mengembangkannya, anatar lain Elizabeth Jane Simpson (1966) dan Anita J. Harrow (1977). Harrow membagi kawasan ini menjadi enam jenjang yaitu gerakan refleks (reflex movements), gerak fundamental dasar (basic-fundamental movements), kemampuan perseptual (perceptual abilities), kemampuan fisis (fisic abilities), gerakan terampil (skilled movements), dan komunikasi wajar
atau tanpa kata (non-discursive
communication). Universitas Sumatera Utara
Namun taksonomi yang paling banyak digunakan adalah taksonomi hasil belajar psikomotor dari Simpson, yang mengklasifikasikan kawasan ini dalam 7 jenjang, yaitu persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, kegiatan kompleks, penyesuaian pola gerakan, dan kreativitas. Taksonomi ini dimulai dengan refleks yang sederhana pada tingkatan rendah ke gerakan saraf otot yang lebih kompleks pada tingkatan tertinggi. Hierarki ranah psikomotor yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Persepsi (Perception) Persepsi merupakan kemampuan menafsirkan rangsangan, peka terhadap rangsangan, dan mendiskriminasikan. Ataupun kemampuan membedakan suatu gejala dengan gejala lain. Kemampuan ini paling rendah dalam ranah psikomotor. Contoh
kata
kerjanya
seperti
memilih,
membedakan,
mempersiapkan,
menyisihkan, menunjukkan, mengidentifikasikan, dan menghubungkan. 2. Kesiapan (Set) Kemampuan menempatkan diri untuk memulai suatu gerakan. Misalnya kesiapan menempatkan dir sebeblum lar, dan sebagainya. Contoh kata kerjanya seperti memulai, mengawali, bereaksi, mempersiapkan, memprakarsai, atau menanggapi. 3. Gerakan Terbimbing (Guided Response) Kemampuan melakukan gerakan meniru model yang dicontohkan. Contoh kata kerjanya seperti mempraktikkan, memainkan, mengikuti, mengerjakan, mencoba, memperlihatkan, memasang, atau membongkar. 4. Gerakan Terbiasa (Mechanism) Kemampuan melakukan gerakan tanpa ada model contoh, tetapi berpegang pada pola. Contoh kata kerjanya seperti mengoperasionalkan, membangun, memasang, membongkar, memperbaiki, melaksanakan, menyususn, mengatur, dan memainkan.
Universitas Sumatera Utara
5. Gerakan Kompleks (Complex Overt Response) Gerakan motoris yang terampil yang di dalamnya terdiri dari pola-pola gerakan yang kompleks, seperti gerakan lancar, luwes, supel, gesit, dan lincah. 6. Penyesuaian (Adaptation) Keterampilan yang sudah berkembang sehingga dapat disesuaikan dalam berbagai situasi, seperti mengubah, mengadaptasi, membuat variasi, dan mengatur kembal. 7. Kreativitas atau Penciptaan (Origination) Membuat pola gerakan baru yang disesuaikan dengan situasi atau permasalahan tertentu, seperti merancang, menyusun, menciptakan, mendesain, mengkombinasikan, dan merencanakan. Untuk lebih mudah memahami tentang Taksonomi Bloom, maka dapat dideskripsikan dalam dua pernyataan di bawah ini: 1. Memahami sebuah konsep berarti dapat mengingat informasi atau ilmu mengenai konsep itu. 2. Seseorang tidak akan mampu mengaplikasikan ilmu dan konsep tersebut, jika tanpa terlebih dahulu memahami isinya. Namun, konsep tersebut mengalami perbaikan seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman serta teknologi. Salah seorang murid Bloom yang bernama Lorin Anderson merevisi taksonomi Bloom pada tahun 1990. Hasil perbaikannya dipublikasikan pada tahun 2001 dengan nama Revisi Taksonomi Bloom. Dalam revisi ini ada perubahan kata kunci, pada kategori dari kata “benda” menjadi “kata kerja”. Perubahan signifikan pada perbaikan struktur ranah kognitif yang dapat dilihat sebagai berikut: •
Mengingat
Universitas Sumatera Utara
•
Memahami
•
Menerapkan
•
Menganalisis
•
Menilai
•
Menciptakan
(http://gurupembaharu.com/index.php?option=com_content&view=article&id=121:takso nomi-bloom-mengembangkan-strategi-berpikir-berbasistik&catid=57:program&Itemid=80) Perubahan ini disebabkan taksonomi perlu mencerminkan berbagai bentuk atau cara berpikir dalam suatu proses yang aktif. Dengan demikian penggunaan kata kerja lebih sesuai daripada kata benda. Masing-masing kategori masih diurutkan secara hirarkis, dari urutan terendah ke yang lebih tinggi. Pada ranah kognitif kemampuan berpikir analisis dan sintesis diintegrasikan menjadi analisis saja. Dari jumlah enam kategori pada konsep terdahulu tidak berubah jumlahnya karena Lorin memasukan katogori baru yaitu creating yang sebelumnya tidak ada. Keenam kategori diubah menjadi kata kerja, kemudian beberapa subkategori juga mengalami perbaikan dan perubahan. Pengetahuan merupakan hasil berpikir bukan cara berpikir, sehingga diperbaiki menjadi mengingat yang menunjukkan suatu proses berpikir tingkat awal. Pemahaman diperbaiki menjadi memahami, kemudian sintesis diubah menjadi menciptakan yang menunjukkan proses berpikir pada masing-masing kategori. Akibatnya urutan dari taksonomi juga berubah seperti tampak di atas. Menilai ditempatkan setelah menganalisis kemudian ditempatkan menciptakan sebagai pengganti sintesis. Hal ini dilakukan untuk menempatkan hierarki dari proses berpikir yang paling mudah ke proses penciptaan yang lebih rumit dan sulit. Pendapat ini cukup masuk akal, Universitas Sumatera Utara
karena seseorang akan sulit untuk menciptakan sesuatu sebelum mampu menilai sesuatu dari berbagai pertimbangan dan pemikiran kritis. Pentahapan berpikir seperti itu bisa jadi mendapat sanggahan dari sebagian orang. Alasannya, dalam beberapa jenis kegiatan, tidak semua tahap seperti itu diperlukan. Contohnya dalam menciptakan sesuatu tidak harus melalui pentahapan itu. Hal itu kembali pada kreativitas individu. Proses pembelajaran dapat dimulai dari tahap mana saja. Namun, model pentahapan itu sebenarnya melekat pada setiap proses pembelajaran secara terintegrasi. Sebagian orang juga menyanggah pembagian pentahapan berpikir seperti itu karena dalam kenyataannya siswa seharusnya berpikir secara holistik. Ketika kemampuan itu dipisah-pisah maka siswa dapat kehilangan kemampuannya untuk menyatukan kembali komponen-komponen yang sudah terpisah. Model penciptaaan suatu produk baru atau menyelesaian suatu proyek tertentu lebih baik dalam memberikan tantangan terpadu yang mendorong siswa untuk berpikir secara kritis.
Universitas Sumatera Utara