5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 NyamukAedes aegypti 2.1.1 Nyamuk Sebagai Vektor Penyakit Nyamuk adalah serangga yang tersebar di seluruh dunia kecuali antartika. Nyamuk dapat hidup antara 5.500 meter di atas permukaan laut sampai 1.250 meter di bawah permukaan laut. Nyamuk tidak hanya menghisap darah manusia dan hewan, tetapi juga dapat menjadi vektor penyakit (Agoes, 2009). Vektor penyakit adalah suatu organisme yang mentransmisikan patogen dan parasit dari manusia (atau hewan) yang terinfeksi ke lainnya dan menyebabkan penyakit yang serius pada populasi manusia. Vektor-vektor tersebut umumnya adalah serangga penghisap darah yang menerima mikroorganisme penyebab penyakit saat menghisap darah manusia atau hewan, kemudian memasukkan mikroorganisme tersebut pada manusia yang lain saat menghisap darah lagi. Secara global, terdapat lebih dari 1 miliar kasus dan lebih dari 1 juta kematian akibat penyakit yang ditularkan oleh vektor (WHO, 2014 ). Nyamuk yang paling penting pada manusia adalah Anopheles, Culex, Aedes, dan Mansonia (Agoes, 2009). Peran dari nyamuk dalam bidang kedokteran adalah sebagai vektor dari penyakit Malaria, Filariasis, Demam Berdarah Dengue, Chikungunya, dan Japanese B ensefalitis (Ideham dan Pusarawati, 2009).
Tabel 2.1 Penyakit yang ditransmisikan oleh nyamuk (WHO, 1997) No.
Vektor
Penyakit
1.
Anopheles
Malaria, Filariasis limfatik
2.
Culex
Filariasis limfatik, Japanese ensefalitis
3.
Aedes
Yellow fever, Demam berdarah dengue, Filariasis limfatik, Chikungunya
4.
Mansonia
Filariasis limfatik
Universitas Sumatera Utara
6
2.1.2Taksonomi Nyamuk Aedes aegypti Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insekta
Ordo
: Diptera
Famili
: Culicidae
Subfamili
: Culicinae
Tribus
: Culicini
Genus
: Aedes
Species
: Aedes aegypti(Natadisastra, 2009).
Nyamuk termasuk ke dalam kelas Insekta. Insekta dibagi menjadi beberapa ordo yaitu ordo Diptera, Anoplura, Sifonaptera, Hymenoptera, Orthoptera, Lepidoptera, Coleoptera, dan Hemiptera. Nyamuk termasuk ke dalam ordo Diptera (Ideham dan Pusarawati, 2009). Nyamuk termasuk ke dalam famili Culicidae yang kemudian terbagi lagi menjadi 3 tribus, yaitu Tribus Anophelini (Anopheles), Tribus Culicini (Culex, Aedes, dan Mansonia), dan Tribus Toxorhynchitini. Nyamuk Aedes aegypti termasuk ke dalam tribus Culicini. (Agoes, 2009).
2.1.3 Morfologi Nyamuk Aedes aegypti Nyamuk Aedes aegypti berukuran 4-13 mm. Nyamuk Aedes aegyptiterdiri dari kepala, toraks, dan abdomen. A. Kepala Pada bagian kepala terdapat sepasang mata, sepasang antena, proboscis, dan palpus. Antena terdiri dari 15 ruas dan terdapat rambut. Rambut antena pada nyamuk jantan lebih lebat dan disebut plumosa, sedangkan rambut antenna betina pendek dan jarang, disebut pilosa. Proboscis halus dan panjangnya melebihi panjang kepala, fungsinya adalah untuk menusuk dan menghisap darah. Pada nyamuk jantan, proboscis digunakan untuk menghisap bahanbahan cair, sedangkan proboscis pada nyamuk betina digunakan untuk
Universitas Sumatera Utara
7
menghisap darah. Palpus terdiri dari 5 ruas dan berambut. Palpus merupakan petunjuk untuk membedakan tiap spesies (Agoes, 2009).
Gambar 2.1 Bagian kepala Culicinae (Aedes) (WHO, 1995) B. Toraks Pada mesonotum (punggung), terdapat gambaran menyerupai bentuk lira (lyre-form) yang berwarna putih. Toraks terdiri dari bagian mesonotum dan postnotum. Bagian lateralnya terdiri dari lobus protoraks, propelura, pronotum posterior, mesopleura, sternopleura, skutelum, mesepimeron, sklerit metasternal lateral, serta sklerit spirakular. Pada mesonotum terdapat gambaran menyerupai bentuk lira (lyre-form) yang berwarna putih. Skutelum terletak pada posterior dari mesonotum dan bentuknya membentuk tiga lengkungan (trilobus). Pada toraks, terdapat sepasang sayap transparan, panjang, mempunyai vena yang permukaannya ditumbuhi oleh sisik-sisik sayap (wing scales). Pada pinggir sayap terdapat sederetan rambut yang disebut fringe. Pada bagian toraks, juga terdapat sepasang halter, dan tiga pasang kaki bersegmen yaitu femur, tibia, dan 5 buah tarsus. Pada tarsus ke-5 terdapat kuku (Agoes, 2009). C. Abdomen Abdomen berbentuk silinder dan terdiri dari 10 segmen. Segmen terakhir merupakan alat kelamin luar. Pada nyamuk betina disebut cerci, sedangkan
Universitas Sumatera Utara
8
pada nyamuk jantan disebut hipopigium. Pada nyamuk betina, di bagian akhir abdomen, terdapat reseptakel sebanyak 3 buah. (Agoes, 2009)
(Hoedojo dan Sungkar, 2008) Gambar2.2 Morfologi Nyamuk Dewasa 2.1.4 Siklus hidup Aedes aegypti Siklus hidup serangga terbagi menjadi 3 jenis yaitu: a. Ametamorfosis Serangga pada jenis siklus hidup ini tidak mengalami metamorphosis, sehingga siklus hidupnya adalah telur yang kemudian menjadi nimfa (hanya satu stadium) dan menjadi dewasa. b. Simple metamorphosis (metamorfosis sederhana) Metamorfosis jenis ini berbeda dengan ametamorfosis karena adanya perbedaan pada fase nimfa. Pada metamorphosis sederhana, fase nimfa terdiri dari beberapa stadium. c. Complete metamorphosis (metamorfosis lengkap) Pada metamorfosis ini, telur menetas menjadi larva, kemudian menjadi pupa, dan menjadi dewasa (Ideham dan Pusarawati, 2009).
Universitas Sumatera Utara
9
Nyamuk
Aedes
aegypti
merupakan
salah
satu
serangga
yang
bermetamorfosis lengkap, sehingga pada siklus hidupnya terdapat fase telur, fase larva, fase pupa, dan fase dewasa (Hoedojo dan Sungkar, 2009). Nyamuk betina Aedes aegypti meletakkan telurnya pada dinding tempat perindukan 1-2 cm di atas permukaan air. Seekor nyamuk betina Aedes aegypti dapat meletakkan rata-rata 100 butir per kali bertelur. Kemudian, setelah 2 hari, telur menetas menjadi larva, lalu melepaskan kulitnya sebanyak 4 kali, tumbuh menjadi pupa, dan kemudian menjadi dewasa. Pertumbuhan dari telur sampai dewasa memerlukan waktu kira-kira 9 hari (Djakaria dan Sungkar, 2008).
(Charlesworth, 2008) Gambar 2.3 Siklus Hidup Nyamuk
Universitas Sumatera Utara
10
A. Telur Aedes aegypti Telur Aedes aegypti berukuran 0,8 mm (Kemkes, 2011), berbentuk lonjong, dan dindingnya berbentuk anyaman seperti kain kasa (Ideham dan Pusarawati, 2009). Telur yang baru diletakkan berwarna putih, tetapi akan berubah menjadi hitam setelah 1-2 jam (Hoedojo dan Sungkar, 2009). Telur Aedes aegypti mampu bertahan pada di tempat kering selama 6 bulan (Kemkes, 2011).
(Ideham dan Pusarawati, 2009) Gambar 2.4 Telur Aedes aegypti B. Larva Aedes aegypti Larva Aedes aegypti terdiri dari bagian kepala, toraks, dan abdomen. a. Kepala Pada bagian kepala, terdapat sepasang antena dengan rambut antena, sepasang mata, rambut-rambut mulut (mouth brush), dan rambutrambut kepala (Agoes, 2009). b. Toraks Bagian toraks terdiri dari segmen-segmen dengan rambut-rambut atau bulu-bulu rusuk (Agoes, 2009). c. Abdomen Bagian abdomen terdiri dari 8 segmen. Sebenarnya terdapat 10 segemen, tetapi segmen ke-8 sampai ke-10 bersatu membentuk alatalat abdominal seperti sifon (pipa udara), pekten, dan anal gill. Pada segmen ke-8 terdapat comb scale yang hanya terdapat satu baris (Agies, 2009). Sifonnya gemuk dan pendek, dan bulu-bulu sifon atau hairtuft hanya satu pasang (Ideham dan Pusarawati, 2009)
Universitas Sumatera Utara
11
(Hoedojo dan Sungkar, 2008) Gambar 2.5 Morfologi Larva Aedes aegypti Larva Aedes aegypti mengalami 4 kali proses pelepasan dan penggantian kulit luar, proses ini disebut proses ekdisis (moulting). Proses tersebut dibagi menjadi 4 instar (stadium-stadium pertumbuhan) (Natadisastra, 2009). Larva instar I berukuran paling kecil yaitu 1-2 mm. Larva instar II berukuran 2,5-3,8 mm. Larva instar III berukuran lebih besar sedikit dari larva instar II dan anatominya struktur tubuhnya sudah mulai jelas terlihat. Larva instar IV berukuran paling besar yaitu 5 mm (Kemkes, 2011). Pada waktu istirahat, larva Aedes aegypti membentuk sudut terhadap permukaan air, berbeda dengan nyamuk Anopheles yang sejajar dengan permukaan air (WHO, 1997).
(Cornstock, 2012) Gambar 2.6 Larva Anopheles dan Culicine (Aedes) di permukaan air
Universitas Sumatera Utara
12
C. Pupa Aedes aegypti Pupa berbentuk seperti koma (Kemkes, 2011). Struktur tubuh pupa terdiri dari kepala dan abdomen dimana segmen-segmen terlihat jelas pada abdomen. a. Kepala Pada bagian kepala, terdapat breathing tube, bakal kepala, bakal antenna, bakal mata, dan bakal kaki. Bagian kepala ini disebut sefalotoraks. b. Abdomen Terdiri dari segmen-segmen dan segmen terakhir terdapat paddle, pada abdomen segmen terakhir terdapat rambut yang halus. Fungsinya adalah sebagai alat gerak sehingga dapat bernafas (Agoes, 2009).
2.1.5 Habitat Aedes aegypti Tempat perindukan utama Aedes aegypti adalah tempat-tempat berisi air bersih yang letaknya berdekatan dengan rumah penduduk (Djakaria dan Sungkar, 2008). Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. Tempat Penampungan Air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti drum, tangka, bak mandi, ember, dan tempayan. b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari, seperti tempat minum hewan peliharaan, vas bunga, perangkap semut, tempat pembuangan air kulkas atau dispenser, barang-barang bekas (ban, kaleng, botol, plastik). c. Tempat penampungan air alamiah, seperti lubang batu, lubang pohon, tempurung kelapa, dan potongan bamboo (Kemkes, 2011).
2.1.6 Perilaku Aedes aegypti Aedes aegypti jantan menghisap cairan tumbuhan untuk kelangsungan hidupnya, sedangkan Aedes aegypti menghisap darah. Darah diperlukan untuk pematangan sel telur agar dapat menetas. Waktu yang diperlukan untuk
Universitas Sumatera Utara
13
menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk menghisap darah sampai telur dikeluarkan (siklus gonotropik) adalah 3-4 hari. Aedes aegypti mempunyai kebiasaan menghisap darah berulang kali dalam satu siklus gonotropik, sehingga nyamuk dapat menularkan penyakit (Kemkes, 2011). Aedes aegypti betina menghisap darah manusia di siang hari (day-biters) di luar (eksofilik) maupun dalam rumah (endofilik). Penghisapan dilakukan dengan dua puncak waktu yaitu pukul 08.00 sampai 10.00 dan 15.00 sampai 17.00 (Djakaria dan Sungkar, 2008). Setelah menghisap darah, nyamuk mencari tempat untuk istirahat untuk menunggu proses perkembangan telur maupun istirahat sementara (Agoes, 2009). Setelah proses pematangan telur selesai, Aedes aegypti betina akan meletakkan telurnya di permukaan air, kemudian telur menepi dan melekat pada dindingdinding habitat perkembangbiakannya. Setiap kali bertelur, Aedes aegypti betina dapat menghasilkan telur sebanyak 100 telur (Kemkes, 2011).
2.1.7 Membedakan Aedes aegypti dengan spesies lainnya Aedes aegypti dapat dibedakan dari nyamuk bergenus lain dari bentuk telur, posisi larva di permukaan air, dan bentuk dewasa. Telur Aedes aegypti terpisah-pisah dan melekat ke dinding-dinding wadah air, telur Anopheles sp. juga terpisah-pisah tetapi berada di permukaan air, berbeda dengan telur Culex sp. yang menyatu berbentuk seperti rakit (raft). Larva Aedes aegypti membentuk sudut di permukaan air, sama halnya dengan Culex sp., tetapi sifon Aedes aegypti lebih pendek dari Culex sp. Larva Anopheles sejajar dengan permukaan air. Pupa Aedes aegypti umumnya lebih kecil dari pupa nyamuk lain. Aedes aegypti memiliki palpi yang lebih pendek dari proboscisnya sedangkan nyamuk dewasa Anophelessp. memiliki palpi yang sama panjang dengan proboscis. Nyamuk Aedes aegypti dan Culex sp. membentuk sudut antara proboscis dan tubuhnya saat menghisap darah, sedangkan proboscis sejajar dengan tubuh Anopheles spp saat menghisap darah (WHO, 1997).
Universitas Sumatera Utara
14
(WHO, 1997) Gambar 2.7 Perbedaan Aedes aegypti dengan spesies nyamuk lainnya 2.1.8 Epidemiologi Aedes aegypti Aedes aegypti tersebar luas di seluruh Indonesia meliputi semua provinsi yang ada. Walaupun spesies ini ditemukan di kota-kota pelabuhan yang pdat penduduknya, namun spesies ini masih dapat ditemukan disekitar kota pelabuhan. Penyebaran Aedes aegypti dari pelabuhan ke desa disebabkan oleh karena larva
Universitas Sumatera Utara
15
Aedes aegypti yang terbawa melalui transportasi yang mengangkut benda-benda berisi air hujan pengandung larva tersebut (Agoes, 2009).
2.1.9 PengendalianAedes aegypti Pengendalian Aedes aegypti dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu: A. Perlindungan perseorangan untuk mencegah gigitan nyamuk Dilakukan dengan cara memasang kawat kasa di lubang-lubang angin di atas jendela atau pintu, tidur dengan kelambu, penyemprotan dinding rumah dengan insektisida malathion dan penggunaan repellent pada kulit (Agoes, 2009). B. Melakukan tindakan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) PSN dapat dilakukan dengan cara: a. Kimia Pemberantasan larva dilakukan dengan larvasida yang dikenal sebagai istilah abatisasi. Larvasida yang biasa digunakan adalah temefos. Dosis yang digunakan adalah 1 ppm atau 10 gram (1 sendok makan) untuk tiap 100 liter air. Abatisasi dengan temefos mempunyai efek residu selama 3 bulan (Djakaria dan Sungkar, 2008). b. Biologi Memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah dan ikan guppy) (Djakaria dan Sungkar, 2008). c. Fisik Cara ini dikenal sebagai kegiatan 3M (Menguras, Menutup, Mengubur) yaitu menguras bak mandi, menutup TPA (Tempat Penampungan Air) di rumah tangga (tempayan dan drum), dan mengubur atau memusnahkan barang bekas (kaleng bekas dan ban bekas). Pengurasan TPA sekurangkurangnya 1 minggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembang biak di tempat tersebut (Djakaria dan Sungkar, 2008)
Universitas Sumatera Utara
16
2.2 Larvasida Nyamuk
2.2.1 Defenisi Larvasida nyamuk adalah suatu zat kimiawi yang digunakan untuk membunuh larva nyamuk. Beberapa larvasida juga efektif dalam membunuh pupa dan nyamuk dewasa, tetapi sangat sedikit membunuh telur ( WHO, 2002).
2.2.2 Syarat Larvasida Banyak bahan kimia yang dapat membunuh larva, tetapi terdapat syaratsyarat agar suatu bahan kimia dapat digunakan sebagai larvasida. Suatu larvasida harus dipillih berdasarkan efikasinya, ekonomisnya, dan keamannya pada pengguna dan organisme non-target. Karakterisitik dari suatu zat kimia yang diinginkan untuk dapat menjadi larvasida yang layak digunakan adalah sebagai berikut: a. Toksisitas tinggi terhadap larva nyamuk b. Kerja yang cepat dan persisten c. Kualitas penyebaran yang baik di dalam air d. Didapatkan dengan mudah dan biaya yang murah e. Aman dan mudah untuk ditransportasikan dan digunakan f. Efektif pada kondisi cuaca apa pun g. Efektif secara primer terhadap larva dan kemungkinan terhadap telur, pupa, dan nyamuk dewasa h. Efektif pada jenis air apa pun dimana larva dapat tumbuh (polusi, asam, basa, keruh) i. Tidak toksik terhadap mahluk hidup non-target (manusia, makanan, tumbuh-tumbuhan, ternak, ikan pemakan larva, dan serangga air pemakan larva) j. Efektif ketika diberikan dalam dosis yang rendah (WHO, 2002).
Universitas Sumatera Utara
17
2.2.3 Klasifikasi Larvasida Larvasida nyamuk dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan senyawa kimianya yaitu inorganik, organik alami, dan organik sintetik. Pengklasifikasian lain dari suatu insektisida adalah berdasarkan caranya memasuki tubuh serangga, dimana racun perut dimakan dan diabsorbsi dari sistem pencernaannya; racun kontak berpenetrasi dari dinding tubuhnya; dan racun pernafasan (fumigant) memasuki tubuh serangga dari spirakel atau pori nafas (WHO, 2002). Saat ini, racun perut dan racun pernafasan tidak lagi digunakan sebagai larvasida melainkan sebagai pestisida. Insektisida yang digunakan sebagai larvasida saat ini adalah racun konttak. Racun kontak inorganik tidak digunakan sebagai larvasida karena menyebabkan polusi yang serius pada lingkungan, misalnya merkuri. Racun kontak organik alami,misalnya pyrethrum dan alkaloid, merupakan racun pada neuromuskular (WHO, 2002). Racun organik sintetik yang digunakan saat ini adalah organoklorin, organofosfat, karbamat, dan piretroid. Organoklorin tidak hanya bekerja sebagai racun neuromuskular, tetapi juga sebagai racun perut, beberapa lainnya sebagai fumigant. Contoh insektisida organoklorin adalah metoksiklor, klorden, heptaklor, dan
toksafen.
Organofosfat
memiliki
mekanisme
kerja
menginhibisi
kolinensterase sehingga menghambat transmisi dari impuls saraf. Organofosfat sering digunakan sebagai larvasida. Contoh organofosfat adalah malathion, parathion, temefos, diazion, dan klorpirifos. Karbamat memiliki mekanisme kerja yang sama dengan organofosfat, namun kurang efektif sebagai larvasida. Contoh karbamat adalah prolan dan dinitrofenol. Piretroid merupakan racun pada neuromuscular, tidak digunakan pada larva karena biaya yang tinggi (WHO, 2002) (Hoedojo dan Zulhasril, 2008). Racun organik alami yang terkenal adalah Piretrum. Piretrum merupakan suatu senyawa aktif dari ekstraksi Chrysanthemum nerariaefolium (Asteraceae) yang menjadi awal pembuatan sintetis turunan-turunan piretroid (Omena et al., 2006).
Universitas Sumatera Utara
18
(Hoedojo dan Zulhasril, 2008)(WHO, 2002) Gambar 2.8 Klasifikasi Insektisida 2.2.4 Insektisida Temefos Nama Kimia Temefos : O,O,O’O’-tetramethyl O,O’-thiodi-p-phenylene bis(phosphorothioate) (WHO, 2O11) Struktur kimia dari temefos adalah :
(WHO, 2011) Gambar 2.9 Struktur kimia Temefos
Universitas Sumatera Utara
19
Insektisida temefos adalah insektisida golongan organofosfat yang sering digunakan untuk pengendalian larva Aedes aegypti di TPA dengan konsenstrasi 1 ppm (1 gram temefos 1% dalam 10 liter air). Temefos dikenal sebagai abate pada kalangan masyarakat. (Hoedojo dan Zulhasril, 2008) Temefos banyak digunakan untuk pengendalian vektor dengue karena biaya yang murah dan dapat diterima oleh masyarakat. Namun, karena penggunaannya yang sangat luas, resistensi Aedes aegypti terhadap temefos banyak dilaporkan
di Amerika Latin (Brazil, Kuba, Argentina, Peru, dan
Kolombia) (Grisales et. al., 2013), Thailand (Jiranjanakit, 2007), Banjarmasin (Istiana et al., 2012) , dan Surabaya (Rahardjo, 2006). Terdapat 3 enzim utama yang berhunbungan dengan resistensi dari Aedes aegypti terhadap temefos, yaitu glutathione S-transferases (GST), cytochrome P450 monooxygenases (CYP450) and carboxylesterases (CE) (Marcombe, 2009). Walaupun diperkirakan paparan temefos kepada manusia melalui makanan dan air minum rendah, terdapat kemungkinan paparan langsung temefos kepada manusia melalui air minum ketika temefos diberikan langsung pada wadah penyimpanan air minum (WHO, 2009). Temefos merupakan insektisida golongan organofosfat. Keracunan organofosfat pada manusia dapat menyebabkan gangguan pada sistem neurologis, respiratorik, dan kardiovaskular yang dapat berakhir kepada kematian (Peter et al., 2014).
2.3 Srikaya (Annona squamosa)
2.3.1 Taksonomi Srikaya (Annona squamosa)
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Ranunculalae
Famili
: Annonaceae
Universitas Sumatera Utara
20
Genus
: Annona
Spesies
: Annona squamosa (Syamsuhidayat, 1991 dalam CRCC, 2012)
2.3.2 Nama lain Srikaya (Annona squamosa) Indonesia
: Srikaya, atis
Inggris
: Sugar apple
Melayu
: Buah Nona, Sri kaya (CRCC, 2012)
(Folorunso dan Olorode, 2006) Gambar 2.10 Buah, ranting, daun, bunga, dan biji Srikaya (Annona squamosa) 2.3.3 Kandungan kimia Srikaya (Annona squamosa) Srikaya (Annona squamosa) mengandung zat aktif acetogenin. Acetogenin adalah metabolit sekunder dari poliketida asam asetat. Senyawa ini memiliki rantai panjang alifatik dengan kelompok fungsional hidroksil, karbonil asetil, dan cincin terminal γ-lakton dengan cincin 1-3 tetrahidrofuran (Costa et. al., 2014).
Universitas Sumatera Utara
21
Acetogenin memiliki struktur kimia :
(IUPAC, 2006) Gambar 2.11 Struktur Kimia Acetogenin Acetogenin telah diteliti memiliki efektivitas sebagai: a. Antitumor b. Antidiabetik c. Antibakteri d. Antihelmintik e. Hepatoprotektor (Saha, 2011) f. Antikonvulsan (Porwal et. al.,2011) g. Anti kutu rambut (Intaranongpai et al., 2006) Bagian-bagian dari pohon srikaya (Annona squamosa) telah digunakan sebagai insektisida secara tradisional. Biji dan daunnya digunakan untuk membunuh kutu kepala dan tubuh. Acetogenin yang diekstrak dari daun, batang, dan biji Annonaceae memiliki aktivitas terhadap serangga (Leatemia dan Isman, 2004).
Universitas Sumatera Utara